Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 13
Kun Hong
sudah menduga akan hal ini dan dia menyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw,
"Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai
begitu?"
Dengan suara
tegas akan tetapi agak gemetar gadis itu menjawab, "Kun Hong, ingatlah
bahwa bagiku, kau adalah... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah
kewajibanku."
"Hui
Kauw... Hui Kauw...." Kun Hong terharu sekali.
Untuk
sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan. Mereka diam saja
tidak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan
pelepasan dari pada hati yang penuh keharuan dan kerinduan. Setelah mereda
gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan ke
kanan kiri lalu bertanya, "Mana dia?"
"Kau
mencari siapa?"
"Janda
itu... Yo-twaso, di mana dia?"
"Oh,
kau maksudkan perempuan hina, pelacur itu?" kata Hui Kauw, suaranya
terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik
yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.
"Perempuan
hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?" Kun Hong bertanya dengan perasaan
amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa
tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!
"Dia
bukan perempuan baik-baik, Kun Hong. Bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan
melarikan diri itu tiba-tiba saja bisa berada di dalam pondok perempuan itu?
Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah
melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para perwira istana."
Teringatlah
sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya, "Ah,
habis bagaimana dengan para anggota Hwa-i Kaipang? Bagaimana jadinya dengan
Hwa-i Lokai?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Hui Kauw
menarik napas panjang. "Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh
orang tewas, termasuk ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih
menjadi buruan sampai sekarang."
Kun Hong
membanting-banting kaki dan dia menangis di dalam hatinya. "Celaka, aku
benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah... benar-benar celaka,
dan benda yang kulindungi, yang sudah menjatuhkan korban banyak orang gagah itu
sekarang masih tertinggal di rumah Yo-twaso..."
"Heee? Kau
tinggalkan mahkota itu di sana? Tadi aku sudah merasa heran melihat kau
menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak nampak. Wah, berbahaya
kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang
mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira istana."
Kun Hong
menggelengkan kepala. "Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah
seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-twaso orangnya baik, harap kau
jangan keliru sangka yang bukan-bukan!"
"Dia
baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik
manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan
cabul."
"Hee?
Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan
membentur pohon, tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku sadar, aku sudah berada
dalam pondok Yo-twaso, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang
telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-twaso?"
"Aku
tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku
melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan kaisar, penghimpun para
orang kang-ouw di istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan
sesudah kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm,
masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika
aku merampas dan membawamu ke sini."
"Celaka...!"
Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat hingga mengagetkan Hui Kauw.
Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis.
"Ah, celaka betul... Yo-twaso... Yo-twaso... kenapa engkau berkorban
untukku sampai sehebat itu?" Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan
dan dia benar-benar menangis.
Hui Kauw
memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena dia menduga hal-hal yang
hebat, "Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong?"
"Ahhh,
Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia... dia telah berkorban untuk keselamatanku,
dengan pengorbanan yang lebih hebat dari pada nyawa...! The Sun itulah orangnya
yang sudah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara
curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada
dalam pondok Yo-twaso dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat
Yo-twaso... dan The Sun itu... ahhh, aku dapat membayangkan hal apa yang telah
dilakukan oleh Yo-twaso untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-twaso tentu tahu bahwa
kalau The Sun melihat aku di sana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-twaso
mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan
dia... ahh, dia mempergunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu
tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi..."
Bukan main
kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini. "Wah... celaka... aku
bahkan menendangnya dua kali! Dan kau... ketika rebah di kamar itu, kulihat
mukamu berbedak langes hitam dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti
seorang kakek lagi berbaring... wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-twaso sudah
sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabui mata
The Sun. Celaka, ahhh... alangkah bodohku... Kun Hong, kau maafkan
kebodohanku..." Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas
kesembronoannya telah menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang
demikian berbudi.
Kun Hong
memegang lengan Hui Kauw. "Hui Kauw, hayo antar aku ke sana, sekarang
juga. Selain aku harus menghaturkan rasa terima kasihku, juga aku merasa
khawatir akan keselamatan Yo-twaso dan A Wan, anaknya. Lagi pula, aku harus
mengambil kembali tongkatku dan mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun
dan kawan-kawannya."
Karena
merasa sangat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw
tak berani membantah lagi. Segera digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya
Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik ke atas
genteng dan dua orang itu mempergunakan ginkang mereka berloncatan dari genteng
ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap.
Waktu itu
tengah malam sudah jauh terlewat, malah hari sudah hampir pagi. Ayam-ayam
jantan sudah mulai berkokok dan sungguh pun belum kelihatan orang-orang keluar
dari rumah masing-masing, tetapi kegelapan malam sudah mulai melepaskan dunia
dari pada cengkramannya yang memabukkan.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat
turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang
anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.
"A Wan,
ada apakah...?" Kun Hong tidak sabar lagi dan segera mendorong pintu yang
sudah berada di depannya. Bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.
"Ahhhhh...!"
Tangan Hui Kauw yang menggandeng tangannya menggigil dan suara gadis ini
gemetar.
"Ada
apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?"
"Paman...!"
A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya
dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.
“Kun Hong...
dia... Yo-twaso itu... entah kenapa dia..."
"Mana
Yo-twaso? Mana...?"
Hui Kauw
menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun
Hong maju.
"Dia di
lantai...," bisiknya.
Kun Hong
berlutut, tangannya meraba dan... begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari
tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, lalu
meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, kemudian
menutupi mukanya dengan tangan. Mulutnya berkata lirih,
"Yo-twaso...
engkau sudah berkorban untukku... alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku.
Yo-twaso, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku
membalas ini semua kepada si keparat The Sun..."
"Tidak...!"
Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang
juga menangis perlahan saking terharunya.
A Wan
berlari menghampiri dan memeluk tubuh ibunya, lalu memandang Kun Hong dan
berkata lagi. "Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas
dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum... sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan
pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun.
Ah, Ibu... Ibu...!"
Tiba-tiba
Kun Hong yang sudah mampu menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali
tarik dia sudah membuat A Wan berdiri pula. "Cukup bertangis-tangisan ini!
Tanpa kegagahan, mana dapat kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari
kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi
muridku!"
"Suhu
(guru)...!" A Wan lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kun Hong,
terisak-isak menahan tangisnya.
"Sekarang,
ceritakan apa yang telah terjadi dengan ibumu!"
Sambil
menahan isaknya A Wan kemudian menceritakan pengalamannya semenjak dia dan
ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah.
Kemudian betapa dia disuruh ibunya memanggil sinshe Thio, akan tetapi meski pun
dia membujuk-bujuk namun sinshe itu tidak mau menolong, malah memaki dan
memukulnya. Lalu dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak
berani mengeluarkan suara tangisan, betapa ketika dia pulang, dia mendengar
jerit ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, ibunya sudah
menggantung lehernya dengan ikat pinggang.
Kun Hong
menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata dengan suara
tergetar, "Dia mencuci noda dengan nyawa. Hui Kauw, adakah orang yang
lebih mulia dari padanya?"
Hui Kauw
tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika dia
memandang ke arah mayat nyonya Yo yang masih menggeletak di lantai.
Perlahan-lahan dia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan
meletakkannya di atas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada
di situ untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu. Semua ini dia lakukan penuh
hormat dan dengan diam-diam, diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun
Hong.
Ketika
menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong. Diambilnya tongkat
itu dan diserahkan kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa
tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.
"A Wan,
dahulu kau dan ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-an, bagaimana kau dan
ibumu bisa tinggal di kota raja ini?"
Dengan
singkat anak itu lalu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita.
Memang sangatlah buruk nasib dia dan ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu
kiranya berlaku curang. Anak dan ibu ini tidak diantar ke Cin-an sebagaimana
yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke kota raja!
Sesudah
sampai di kota raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat
inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-wangwe,
membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di kota raja yang besar dan
ramai itu!
Dapat
dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari
dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa
sandaran!
Dengan amat
sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat
mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan yang amat miskin dengan anaknya. Tentu
saja banyak gangguan yang dia alami, namun janda muda ini berhati keras dan
dapat menjaga diri sehingga biar pun ia dan anaknya hidup miskin dan serba
kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu
dia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.
"Ibu
dan teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan teecu
membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu
kebetulan sekali kami bertemu lagi dengan Suhu," A Wan mengakhiri ceritanya
yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.
"Memang
nasib ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan
ibumu pergi menyusul arwah ayahmu di waktu dia masih muda. Mereka itu, ayah
bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya
dengan penuh keyakinan bahwa sebagai ahli waris mereka engkau akan mewarisi
pula budi pekerti ayahmu yang wataknya gagah perkasa dan ibumu yang suci
budinya."
A Wan
mendengarkan dengan kepala tertunduk untuk menyembunyikan mukanya yang kembali
menjadi merah lagi.
"Wan-ji
(anak Wan), ketika kau dan ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau
melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian
itu?"
"Suhu
maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?"
"Betul...,"
Kun Hong berdebar gembira. "Di mana berada benda itu?"
"Ada
teecu simpan. Suhu jangan khawatir, teecu sembunyikan di tempat rahasia. Begitu
melihat benda itu, teecu bisa menduga bahwa tentu Suhu sedang memperebutkan
benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja teecu sembunyikan selagi Suhu
pingsan. Tunggu sebentar Suhu, teecu hendak mengambilnya, teecu simpan di
belakang rumah." Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.
"Kun
Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah
sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo-twaso...," kata Hui Kauw
terharu.
"Kau
betul, Hui Kauw, dan kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah
Yo-twaso. Sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan
pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang
tuamu?"
Dua orang
muda itu duduk berhadapan di atas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di
rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu
minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang. Suara Hui Kauw yang halus itu
terdengar ketika dia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik.
Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini sejak dia berpisah dari Kun Hong
setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali mahkota kuno dari tangan
Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-coa-to.
Hui Kauw
meninggalkan Pulau Ching-coa-to dengan perasaan hancur dan hati penuh duka
nestapa. Memang baginya pulau itu bukanlah tempat yang mendatangkan kenangan
indah dan andai kata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu,
agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti burung terlepas dari
sangkarnya. Ching-toanio dan Hui Siang bukan merupakan orang-orang yang
mengasihinya, sungguh pun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati
menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching-toanio yang
sudah memeliharanya semenjak dia kecil, sungguh pun wanita itu telah
menculiknya dari tangan ayah bundanya yang asli.
Andai kata
sebelum terjadi peristiwa keributan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu ia
bisa berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan
kebahagiaan baginya. Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain.
Nasib sudah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta
yang sekaligus menarik hatinya dan menjatuhkan cinta kasihnya. Harapannya untuk
bisa hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching-toanio
membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta.
Menyaksikan
wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang
gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah
jatuh benar-benar. Kebutaan mata Kun Hong sama sekali tidak mengecewakan
hatinya, bahkan merupakan hiburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang
dia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang
berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang
laki-laki tentu menjemukan dan buruk sekali!
Siapa dapat
mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh
Ching-toanio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda
perkasa itu sebagai pihak mereka. Sebagai seorang laki-laki gagah, tentu saja
Kun Hong merasa terhina sehingga menolak pernikahan yang hanya merupakan
siasat. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk redam dan buyarlah
semua khayal dan lamunan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun
Hong.
Kini sia
sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu sesudah membantunya mendapatkan
mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhibur. Tidak saja ia telah
berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga dia mendapat kenyataan bahwa Pendekar
Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Dia tidak bertepuk
tangan sebelah.
Kalau
teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa
hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih
besar dari pada keyakinan bahwa orang yang dicintanya itu ternyata membalas
dengan cinta kasih yang sama besarnya pula?
Namun, duka
dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan
dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka
karena mengetahui tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup
oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat
mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat
oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si
Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!
Demikianlah,
dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta,
dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui
Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan kota raja. Selama hidup
belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apa lagi ke kota raja, karena ia
seakan-akan ‘dikurung’ oleh Ching-toanio di dalam pulau. Kalau nenek itu
bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta.
Justru hal
ini malah mendatangkan hiburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya
melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan
perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai
terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya. Selain minggat dari
pulau Ching-coa-to, tujuan perjalanannya adalah untuk mencari ayah bundanya di
kota raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya sejak bertahun-tahun
yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena
keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu.
Meski pun
perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan
keraguan dan kekhawatiran. Dia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ayah
bundanya, juga tak tahu nama mereka. Yang pernah ia dengar dari pelayan tua di
Ching-coa-to yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching-toa-nio dan
membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching-toanio,
bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching-toanio dari kota raja dan
bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee!
Ia merasa
ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan ayah bundanya, apakah ia akan
berhasil mencari seorang she Kwee di kota raja tanpa bahaya keliru cari? Bagai
mana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja akan
tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah ayah bundanya
akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apa lagi
kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir
sampai di sini, Hui Kauw menjadi amat gelisah.
Para penjaga
pintu gerbang tembok kota raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat
begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun
kereng, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum
bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka
pun tidak berani main gila.
Tentu saja
hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya
tidak menarik. Andai kata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak
bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia tak akan terluput dari pada
godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu. Setelah diperiksa sebentar ia lalu
diperbolehkan masuk.
Dapat
dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia sudah memasuki
kota raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya. Hal
pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan
muda dengan muka cengar-cengir maju menyambutnya. Hampir semua pelayan rumah
penginapan di kota raja mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda ini
pun tentu saja dengan mudah dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda
yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kangouw.
"Nona
mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan
Nona mengikuti saya."
Hui Kauw
merasa tidak senang dan sangat sebal melihat muka pelayan muda yang terus
mesam-mesem ini. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan
mengikuti pelayan itu. Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan
melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang
laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw
lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang
tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa
menoleh ke sana ke mari.
Akan tetapi
diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan di situ sehingga ia bisa
mengetahui betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga
semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam
ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di kota raja adalah
sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita.
Kamar itu
biar pun kecil tetapi cukup bersih, biar pun baunya apek dan menyebalkan hati
Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan
diberikannya kepada pelayan itu. Setelah menerima persenan yang besar ini sikap
pelayan itu otomatis berubah. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, mukanya berseri dan
senyumnya melebar memamerkan deretan gigi menguning.
"Terima
kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Apakah ada sesuatu perintah dari Nona?
Barang kali Nona membutuhkan bantuan saya...," katanya menjilat.
Oleh karena
pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya
bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata, "Barang kali kau bisa menunjukkan
kepadaku di mana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja ini."
Biar pun Hui
Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan
pelayan itu sebab mukanya berubah-ubah. Mula-mula matanya terbelalak bagai
orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, akhirnya keningnya berkerut
bagaikan orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.
"Keluarga
Kwee...? Kaya raya...? Ehm, di mana, ya? Nona, di sini banyak sekali keluarga
Kwee. Yang kaya raya juga sangat banyak, apa lagi yang miskin. Keluarga mana
yang Nona maksudkan? Siapa nama hartawan itu?"
Mendengar
ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Dan kalau ia
sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia tak akan bertanya-tanya lagi, pikirnya
mengkal.
"Aku
tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang hartawan she
Kwee."
Pelayan itu
menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng. "Wah, susah kalau begitu,
Nona. Di sini banyak hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!"
Hui Kauw
menggerakkan tangan dan pada lain saat dia telah memperlihatkan dua potong uang
emas. "Kau suka menerima hadiah ini?"
Pelayan itu
bengong, tidak dapat segera menjawab, hanya kala-menjing di lehernya yang kecil
itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin
bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya,
dia tak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras.
Hui Kauw
menahan senyum. "Aku tidak mempunyai kenalan di kota raja ini, oleh karena
itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga hartawan
Kwee yang anak perempuannya pernah diculik orang belasan tahun yang lalu. Nah,
emas ini menjadi milikmu apa bila kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah
akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru."
"Boleh...
baik, Nona... akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan
saya nanti." Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab, lalu cepat-cepat dia
keluar dari kamar itu.
Hui Kauw
juga melangkah ke luar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika dia melihat
berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan
tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri
dari pada segala kemungkinan.
Malam itu
sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri di atas pembaringan. Jengkel
juga hatinya menanti-nanti pelayan yang belum kunjung datang. Akan tetapi dia
menghibur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan
penyelidikan tentang orang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota
sebesar itu. Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian,
malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin
sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan
pikirannya yang risau.
Sukar sekali
ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong
dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan ayah bundanya.
Masih hidupkah mereka? Andai kata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya,
sukakah mereka menerimanya sebagai anak? Bagaimana nanti sikap mereka terhadap
dia? Masih adakah kasih sayang mereka? Bagaimana nanti sikapnya sendiri
terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat sepasang
matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan.
Menjelang
tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap.
Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui
Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini
semakin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya. Jemu sekali ia di
dalam penginapan ini. Seribu kali dia lebih suka bermalam di sebuah hutan, di
atas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa
di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak.
Tiba-tiba ia
tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya. Tapi, sebagai seorang gadis pendekar
yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja dia tegang, selanjutnya sambil
tersenyum mengejek dia tenang-tenang rebah sambil menunggu apa yang akan
datang. Hatinya terasa geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan
senjata tajam. Agaknya ada pencuri yang hendak membuka jendela kamar, pikirnya.
Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya,
terdengar lebih dari pada dua buah kaki yang berpijak di lantai.
Hemmm,
apakah di kota raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok?
Sungguh-sungguh berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan
adalah tempat umum dan di sana banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini
berani datang melakukan kejahatan di sini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak
akan dikeroyok sampai mampus?
"Kraaakkk!"
Akhirnya
daun jendela terbuka. Tiga sosok bayangan yang gerakannya ringan meloncat
memasuki kamar melalui jendela itu. Diam-diam Hui Kauw terkejut karena gerakan
tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat
biasa, akan tetapi orang-orang yang mempunyai kepandaian lumayan. Akan tetapi
ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya.
Hui Kauw
lalu membentak halus. "Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup?
Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!" Memang ia tidak mau
mencari perkara di kota raja yang asing baginya ini. Tiga orang itu tidak
bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat
melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di
ruangan tengah.
"Nona
muka hitam, jangan sombong," cela seorang di antara mereka.
"Hemm,
benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran," kata orang ke dua.
Orang ke
tiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah
bangun dan duduk di pinggir pembaringannya, "Nona, kami bertiga sudah
banyak mengalah, sengaja tidak membikin ribut di depan umum agar kau tak
mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu pada waktu
malam-malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu."
Hui Kauw
mengerutkan kening, membentak, "Orang-orang kurang ajar, kalian bicara
apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari
sini!"
Gadis ini
sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan
sikap kereng dan dengan pedang di tangan.
Seorang di
antara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, sambil cengar-cengir
berkata, "Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar.
Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari istana, kami mata-mata dan
penyelidik yang bertugas di rumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyak
mata-mata pengkhianat dan kaum pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang
simpan kembali pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan."
"Siapa
peduli tentang keadaan kalian? Siapa pun juga kalian, tidak patut memasuki
kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besok
dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, peduli
apa dengan segala kedudukan kalian? Hayo minggat!"
"Ha-ha-ha,
galak benar," orang ke dua yang kumisnya panjang tertawa,
"Biar
pun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok
atau maling tunggal yang datang dari luar kota raja hendak mengacau atau
mencuri di sini. Nona tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang hartawan
di kota raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke
tanganmu?"
"Keparat,
berani kalian menghina orang!"
Tubuh Hui
Kauw bergerak dan terdengarlah suara…
"Plak-plak,
blukk, ngekkk!"
Lalu
terdengar pula susulan suara pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan
melayangnya ketiga tubuh mereka keluar melalui lubang jendela. Mereka masih
terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak dan akhirnya terdengar
berderap-derap langkah mereka pergi meninggalkan tempat itu!
Hui Kauw
tersenyum mengejek dan juga merasa geli hatinya. Begitu sajakah
penyelidik-penyelidik dari istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan
taplak meja di kamar itu. Dua tangannya baru saja ‘makan’ muka dan kepalannya
menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu
jendelanya kembali, menyimpan pedangnya kemudian merebahkan diri di atas
pembaringan seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Menjelang
pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi.
Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Kini dia terbangun karena
mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya. Banyak orang berkumpul di luar
kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang.
“Di sini
kamarnya…!” terdengar suara.
Mendengar
suara ini Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan
sapu tangan, membereskan rambut beserta pakaiannya yang kusut, mengikatkan
pedang di pinggangnya dan mengencangkan tali sepatunya. Malah untuk menjaga
segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian di atas punggungnya.
"Duk-duk-duk!”
Pintunya mulai digedor orang.
"Buka
pintu! Kami pengawal istana hendak memeriksa!"
Huh,
menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di kota raja berkeliaran segala anjing
istana yang kerjanya hanya mengganggu orang. Hemmm, lihat mereka hendak apa
terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal
daun pintu terlepas dan daun-pintu terbuka lebar-lebar.
Dengan
tenang Hui Kauw berdiri tegak. Sikapnya gagah dan matanya tajam menatap ke luar
kamar. Kiranya di luar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang,
dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong.
Sebuah senjata ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya.
Melihat
pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah
Hui Kauw menduga bahwa tentunya orang ini pemimpin mereka itu. Dengan tenang
dia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak memperlihatkan
rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi-tinggi
besar dan gagah-gagah itu.
"Hemmm,
kiranya orang-orang lelaki di kota raja ini hanya kelihatannya saja gagah dan
sombong," kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh
penyesalan dan ejekan, "Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan
berlagak membuat orang sukar tidur enak, dan sekarang pagi-pagi sekali
serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?" Hui-Kauw
sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi
berada di dalam rombongan ini pula.
Tiga orang
laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi
jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya yang tidak menjadi gentar jika
malam tadi mengalami hal seperti mereka?
Tanpa mereka
ketahui bagaimana caranya, tadi malam gadis bermuka hitam itu sudah membuat
mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan
tahu-tahu mereka mendapatkan diri sendiri telah berada di luar kamar! Tentu
saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang
terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal
seperti itu anehnya.
Semalam
dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua
kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu pada seorang pengawal
istana yang menjadi kepala mereka.
Pengawal
istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, yang pagi-pagi sekali
mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah
Tiat-jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama! Seperti telah kita ketahui,
semenjak masih sebagai pangeran, kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran
Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat.
Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari
orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-jiu Souw Ki itulah.
Setelah Kian
Bun Ti menjadi kaisar, hanya tinggal tiga orang di antara tujuh jagoannya yang
masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal istana.
Mereka ini adalah Tiat-jiu Souw Ki, Bhong Lo-koai dan Ang Mo-ko.
Dua orang
kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada Tiat-jiu Souw Ki, akan
tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar bila tidak
menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam istana menjaga
keselamatan kaisar.
Berbeda
dengan Tiat-jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran di luar. Baginya, bertugas
di luar istana memiliki kesempatan lebih banyak untuk dapat melampiaskan
nafsu-nafsunya, mudah mencari ‘rejeki’ dengan memeras atau merampas, mudah pula
mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah di antara hobby-nya
(kegemarannya)!
Di bagian
awal cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-jiu Souw Ki yang tadinya berhasil
merampas kembali mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam istana
kemudian ‘ketemu batunya’ saat Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkan dan
mengalahkannya serta merampas kembali mahkota itu.
Hati Souw Ki
amat penasaran. Dia, seorang pengawal kaisar, berjuluk Tiat-jiu (Si Tangan
Besi), ahli bermain ruyung baja, masih dibantu pula oleh anak buah
perampok-perampok Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang serta si tosu bopeng Ban
Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak!
Mulai saat itu Tiat-jiu Souw Ki menaruh hati benci terhadap wanita-wanita
kang-ouw.
Maka begitu
mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di kota raja itu terdapat
seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya
tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita ke dua yang boleh
begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajak sebelas
orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu
kamar Hui Kauw.
Melihat
sikap Hui Kauw yang menantang dan kereng, Tiat-jiu Souw Ki menjadi panas
perutnya. Dia seorang mata keranjang, dan agaknya kalau nona yang bentuk
tubuhnya menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang
kemarahannya sudah akan mencair kembali.
Akan tetapi
kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya
membuat Souw Ki semakin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.
"He,
monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-jiu
Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang
bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu
kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut
menyerah!"
Sebetulnya Hui
Kauw adalah seorang yang memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam
sudah ia buktikan betapa wataknya sangat halus dan pemurah sehingga tiga orang
laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi
hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah. Namun,
sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan
mukanya, ia tentu akan marah juga.
Demikian
pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi
bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan
mata yang bercahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke muka
Souw Ki sambil berkata.
"Bangsat
rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki
orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak
pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Mengenai maksud kedatanganku di kota
raja adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Tadi malam aku masih
mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar
berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum dapat
menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!"
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Tiat-jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini.
Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak
dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.
"Bangsat
betina! Tidak biasa aku, Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan
perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya kau
mengenal tangan besiku."
"Hemm,
kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!" kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya
dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya.
Dia tahu
bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang
sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu
pula ia berkhawatir.
"Wah-wah,
kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit
kepandaian maka berani malang-melintang di kota raja. Siapa hendak
mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok
minta ampun. Mari... mari... boleh kita bertanding di tempat yang lapang!"
Dia
melangkah lebar ke ruangan dalam di mana terdapat ruangan yang lapang setelah
meja kursi didorong ke pinggir tembok. Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki
berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti
akan mendapatkan kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja
sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang dinanti
bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina!
Hui Kauw
dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan
ini. Dia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang istana
ini agar selanjutnya dia tidak mendapat banyak gangguan lagi.
Panas juga
hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda,
mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah.
Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw lantas menggenjot tubuhnya dan
melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki.
Pengawal
istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar mempunyai
kepandaian tinggi, buktinya dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku
tak akan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita
cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian,
pikirnya.
Betapa pun
juga, sesudah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut
itu sudah merasa menyesal. Saat ini dia sedang berusaha mencari orang tuanya.
Kedatangannya ke kota raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi!
Sekarang, belum apa-apa dia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak
bentrok dengan petugas-petugas istana!
"Tiat-jiu
Souw Ki," katanya dengan suara lembut akibat penyesalan ini. "Terus
terang saja, aku sebenarnya tidak suka ribut-ribut karena kedatanganku di kota
raja ini bukan untuk mencari keributan dengan siapa pun juga. Anak buahmu
kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku.
Melihat julukanmu, tentulah kau pun seorang kang-ouw yang tahu akan
sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri
dan kita tidak saling ganggu."
Belasan
tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-jiu
Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan
peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia
tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.
"Ha-ha-ha,
ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku
Tiat-jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andai kata kau
seorang tokoh sekali pun, kau juga masih harus menghormati aku, apa lagi kau
sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana
bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan
siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki kota raja, baru aku
mau menimbang-nimbang untuk mengampunimu."
Ucapan ini
benar-benar amat sombong dan memandang rendah. Akan tetapi karena Hui Kauw
benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia
menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata, "Tiat-jiu Souw Ki,
baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja
ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan
orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji tidak akan mengganggu kalian
di mana saja kalian berada."
Orang yang
sombong selalu tak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan.
Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang menyangka bahwa gadis muka
hitam itu merasa jeri terhadap dia!
"Ha-ha-ha,
mana bisa urusan begitu gampang? Kau telah bersikap amat garang terhadap
orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun
kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!"
"Kau
memang terlalu sombong!" Hui Kauw membentak.
"Ha-ha-ha,
majulah kalau hendak merasai kelihaianku!" Souw Ki menantang.
Hui Kauw
maklum bahwa tidak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini
sombongnya.
"Lihat
serangan!" dia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah
bergerak maju sambil kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.
Souw Ki yang
memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah
lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan
lawan. Dia bermaksud untuk mengalahkan dalam satu gebrakan ini saja karena
kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang.
Hatinya
girang bukan main ketika melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan,
agaknya sama sekali tak peduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak
menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampangkah? Dia sudah tertawa dalam
hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti
akan dapat dia tangkap.
"Ayaaaaa...
celaka...!"
Tubuh Souw
Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri
ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah
sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar
kemudian malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja
dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw barusan memang
sengaja dilakukan sebagai umpan. Seakan-akan gadis itu membiarkan pergelangan
tangan kirinya disambar, tapi tangan kanannya sudah cepat ‘memasuki’ lowongan
kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga.
Andai kata
tadi Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, walau pun tangan
kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, akan tetapi dia
sendiri juga pasti akan terkena pukulan maut yang akhirnya dapat mengguncangkan
jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!
Hui Kauw
sekarang tersenyum mengejek. "Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku
tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat apa bila kau
sudahi saja pertempuran tiada guna ini."
Tiat-jiu
Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan
ilmu kepandaiannya pun tinggi, tentu saja dia tak menjadi gentar menghadapi
bahaya yang tadi hampir membuatnya kalah itu. Dia maklum bahwa hal tadi dapat
terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena
kesalahannya sendiri.
Dia tadi
terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tak mengira bahwa lawannya,
seorang perempuan muda, mempunyai kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia
sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia
membentak.
"Bocah
sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!"
Tanpa
sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki kembali menerjang Hui Kauw dengan
kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat julukan
Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras
dan cepatnya.
Akan tetapi
Hui Kauw memiliki keanehan yang telah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang
sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-coa-ong Giam Kin, tentu saja Hui
Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang
biar pun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia
tidak menjadi gugup. Dengan tenang tapi cepat nona ini menggeser kakinya,
mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayunkan kaki kiri membalas dengan
sebuah tendangan perlahan tetapi berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung
sepatu adalah pusar lawan!
Tiat-jiu
Souw Ki menggeram. Tangan kirinya menyambar kaki dengan niat mencengkeram
hancur kaki mungil itu, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang
besarnya sebanding dengan kepalan tangannya.
Serangan
balasan yang amat dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan
ginkang-nya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu, Hui
Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke
atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan
otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti
membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan
dengan sasaran berubah pula, kini dari ‘udara’ nona itu menendang ke arah
belakang telinga kanan lawan.
"Setan!"
Souw Ki memaki.
Terpaksa dia
merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia
tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih
cepat lagi.
Ketika
tendangannya luput Hui Kauw melayang turun dan langsung sambil meloncat turun
ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya
yang kecil itu sangat cepat dan bertubi-tubi datangnya, bagai sebuah kitiran
angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan
buah banyaknya yang serentak menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran
berbahaya.
Souw Ki
terpaksa meloncat kian ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak untuk
melindungi bagian tubuhnya yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya
sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, sebab dia betul-betul kalah cepat
sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Jangankan
balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui
Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya
menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari
di sekelilingnya!
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali
telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan
membuat pandang mata Souw Ki berkunang.
Memang
kembali Hui Kauw sudah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini
sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, dia jauh lebih
lihai dan lebih cepat. Apa bila dia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi,
sekali menjatuhkan tangan tentu mampu mencari sasaran yang mematikan, akan
tetapi sampai tiga kali dia hanya menampar saja.
Souw Ki
mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang lantas
menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampirinya untuk menolong
pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,
"Pergi
kalian!"
Kakinya
melayang dan... dua orang pembantu yang sial itu langsung terlempar kemudian
mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini
mencari korban dan melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak
menolongnya.
"Tiat-jiu
Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang." Hui Kauw kembali membujuk untuk
menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.
"Wuuuttttt!"
Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.
"Iblis
betina, jangan mengira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau
menang cepat, tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku ini, akan hancur
kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!"
Terdengar
suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena
dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tak sampai
tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini!
Ketika dia
dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih dapat
menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap
gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga
kali.
Kekalahannya
dari Bi-yan-cu Tan Loan Ki masih bisa dia maklumi setelah dia mendengar bahwa
dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan
terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar
bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!
Hui Kauw
makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini sungguh-sungguh tidak tahu
diri. Kepandaiannya hanya sekian saja tapi mau digunakan untuk menjual lagak.
Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan
senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka dia hanya berdiri dan memandang ragu
ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap
beringas.
Melihat
keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir,
mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.
"Tidak
lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!"
"Weerrr!"
Ruyung yang
beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin
pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hui Kauw berkibar.
"Singgggg!"
Senjata itu
lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat-cepat menundukkan kepala untuk
mengelak. Nona ini maklum bahwa biar pun lawannya hanya mengandalkan tenaga
besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya.
Tangannya
bergerak dan pada lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan
kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki
kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan
kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di
belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang di depan dada dari kiri ke
kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan
tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.
Tiat-jiu
Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut
pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil
berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini
berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya
sombong.
Namun tentu
saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang
ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya jika ia mengadu senjatanya
secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, sebab ia kalah tenaga dan
senjatanya pun kalah berat. Dia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan
diri dari semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan
sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit
lawan.
Memang hebat
juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat
tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan
otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi, tidak hanya menggunakan tenaga otot namun juga
mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya. Biar pun
ruyung itu merupakan senjata yang berat, namun di tangan Souw Ki berubah
menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan
mengeluarkan bunyi.
Hui Kauw
melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari
Ching-toanio. Ilmu pedang Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang
Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari
seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya.
Akan tetapi
karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam,
tentu saja ia mempelajari banyak jenis ilmu silat dan juga termasuk ilmu
pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia
bisa menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu
Pedang Kong-thong-pai.
Malah
sesudah menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis, ia banyak pula
mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin. Ia mencampuri pula ilmu
pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apa
bila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran
yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki.
Setelah
lewat dari tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan
mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia
maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah
agaknya lebih hebat dari pada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan
Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja
mempertahankan diri tanpa balas menyerang.
Kadang-kadang
malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu
senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu
bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang ruyung lalu menyambar
dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan
tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!
Memang
demikianlah kehendak Hui Kauw. Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki
bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu.
Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja.
Tiat-jiu
Souw Ki pantang mengalah, apa lagi dia berada di kota raja di mana berkumpul
banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman
sekerjanya yang masih lebih lihai dari padanya. Bukannya mengaku kalah, dia
malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.
"Manusia
tak tahu diri, lepaskan ruyung!" tiba-tiba Hui Kauw membentak.
Pedangnya
berkelebat menyerang dan... Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat
mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa
terbabat pedang!
Dengan muka
pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke
pergelangan, takut kalau-kalau lengannya itu akan menjadi buntung atau cacad.
Akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat
ujung pedang, namun memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga
mengeluarkan banyak sekali darah.
Sebetulnya
macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti bahwa lawannya si gadis muda
itu merupakan seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh belas kasihan
kepadanya. Akan tetapi kesombongan sudah membutakan matanya terhadap kenyataan,
bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.
"Serbu!
Tangkap pemberontak ini!"
Serentak
sebelas orang anak buahnya segera maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui
Kauw marah bukan main dan terpaksa dia harus mengangkat pedangnya menangkis dan
melakukan perlawanan.
Dengan
kecepatannya, belum sepuluh jurus dia berhasil melukai lengan dan pundak dua
orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing,
lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini akhirnya menarik
datang para penjaga lainnya sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan
itu makin ramai.
Hui Kauw
merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia
berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu,
tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini.
Tiba-tiba
terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan
kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi dia
tetap waspada.
Ketika ia
melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu,
dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat
menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang mempunyai kedudukan
tinggi sehingga ia makin memperhatikan.
Seorang
diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan serta
halus gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang
berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan
kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi
yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan
kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan
mengancam di balik keindahannya itu.
Orang ke dua
adalah seorang kakek yang kurus kecil, usianya lima puluhan. Pakaiannya
sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata. Mukanya biasa
seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking
ngantuknya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bengkok.
Melihat
kedua orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki
kepandaian tinggi, ada pun orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang
rendah. Mungkin dia hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.
Pemuda itu
bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia
bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan
dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan
lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang di antara para pengawal kaisar.
Pada saat
itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan
lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala
bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai
sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat.
Begitu
memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang
jelas memperlihatkan sebagai seorang ahli silat tinggi, The Sun segera
membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok. Tentu saja mereka semua
mengenal ‘The-kongcu’ ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi
dari pada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.
Kini pemuda
itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak
sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang menjual lagak
sambil cengar-cengir itu.
"Nona
yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga
tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong
ini. Andai kata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam atau pun
putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut." Ucapan ini halus, tetapi
penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.
Hui Kauw
bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan
penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan
hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang
tak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab
dengan sama dinginnya.
"Memang
aku adalah seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi
orang-orangmu untuk bisa berlaku sewenang-wenang? Aku tak mencari keributan,
adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang
memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan dan
jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"
Kembali The
Sun tersenyum-senyum yang amat mencurigakan hati Hui Kauw. Pemuda ini tentu
saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini sangat
mencurigakan, dan segera menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan
she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.
"Nona
harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak
mengawasi keamanan kota raja. Kau adalah orang asing, tetapi datang-datang
melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat
mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka
memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan
penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangan Nona di kota raja ini?"
Hui Kauw
bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini.
Akan tetapi karena tadi sudah terlanjur dikeroyok, ia tidak dapat menekan
kedongkolan hatinya begitu saja.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi
mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin
ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"
"He-heh-heh,
anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan
perguruannya," tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan
dengan mata masih mengantuk. "Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah
mengenal aku Bhong Lo-koai."
"Betul,
Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun sudah pernah mendengar namanya
pula," sambung The Sun.
"Aku
tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu," jawab Hui Kauw
yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali
baginya.
The Sun dari
Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga
kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu,
gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas
juga.
Hemmm, kau
mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa
yang tertarik? Biar kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.
"Bhong-lo-enghiong,
dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?”
Bhong
Lo-koai tertawa, kemudian melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata,
"Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat
bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang
pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tak
dapat mengenal ilmu pedangmu."
Hui Kauw
semakin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak,
pikirnya.
"Aku
hanya mau membela diri, sama sekali tak sudi mencari ribut dengan siapa pun
juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak,
jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"
"Heh-heh-heh,
lihat serangan!"
Bhong
Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa
kakek ini adalah seorang yang ‘berisi’, tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki.
Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat
menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.
Cepat Hui
Kauw mengubah kedudukan kaki, agak miring untuk menghindarkan tusukan sambil
mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai
menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai
dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang
mengenal ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat
nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.
Karena
penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi. Kini tongkatnya
menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung tubuh Hui Kauw dari
empat jurusan! Bila tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus
dapat merobohkan gadis ini!
Namun
benar-benar perhitungannya meleset. Ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh
sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapa
pun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak sanggup menembus dinding sinar pedang
Hui Kauw yang amat kokoh kuat.
Di lain
pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena
dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia
tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apa lagi
membunuh orang, maka juga ia tidak sampai menggunakan ilmu pedang simpanannya
yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin
akan menjatuhkan korban itu.
Lima puluh
jurus telah lewat. Mendafak kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui
Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu pedang itu melenting ke atas, lalu dengan
gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong
Lo-koai menarik tongkatnya dan cepat melompat ke belakang untuk menyelamatkan
diri dari pada tusukan pedang.
"Tahan
dulu!" demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya mengantuk itu
kini terbuka agak lebar karena herannya. "Nona, jawablah yang betul, kau
masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?"
Hui Kauw
maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang
mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah
pula dia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.
"Dia
adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?" jawabnya dengan suara
masih tetap dingin.
Mendadak
kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang.
"Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, jika begitu kau she Giam
pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah
kenalan baiknya, malah sahabat baik."
The Sun juga
menjura dengan sikap hormat. "Kiranya Giam-lihiap adalah puteri angkat
mendiang Giam lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya
kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri
angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tak berani
menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan
persahabatan!"
The Sun lalu
mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan
itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan
yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja lalu diubah
menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan
sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang
masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.
Hui Kauw
merasa tidak enak sekali. Jangan dikira hatinya lantas menjadi girang karena
permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai
orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa
adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sebagai
sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biar pun memiliki kedudukan
tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.
Akan tetapi
tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak
pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak
jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan
leluasa.
Beberapa
kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak
nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,
"Nona,
saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau sedang mencari keluargamu dan kau
menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dulu pernah kehilangan
puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau
orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan
dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap
orang penduduk."
"Betul
ucapan The Sun ini, Nona," sambung pula Bhong Lo-koai. "Kami pasti
akan dapat mencarikan orang itu. Tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari karena
khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak akibat salah mengerti."
Diam-diam
Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja dia tidak bermaksud untuk membuka
rahasianya sendiri, akan tetapi jika dibantu oleh The Sun, tentu lebih mudahlah
untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata
manis,
"Terima
kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga
jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun
yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku,
aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya
tahu bahwa di kota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan
seorang anak perempuan. Tentu saja aku tak bermaksud untuk menyusahkan dan
merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku
aku akan berterima kasih sekali."
The Sun
menoleh pada Bhong Lo-koai yang tampak termenung. "Lo-enghiong, kau yang
lebih lama tinggal di sini dari pada aku, apakah tidak mengenal orang yang
dimaksudkan oleh Nona Giam?"
"Nanti
dulu... nanti dulu..." kakek itu meraba-raba keningnya, kemudian dia
mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. "Kau maksudkan hartawan Kwee yang
kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan
tahun yang lalu? Ahh... ahh... jangan-jangan yang engkau maksudkan adalah
Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian
benda-benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh
belas tahun atau delapan belas tahun yang lampau, pada suatu malam kota raja
gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada waktu itu belum
menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota,
kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan
pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat
wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu
dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh
para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong
oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar-benar aneh... dan...
jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"
Hui Kauw menahan
debaran jantungnya. Tidak bisa salah lagi, tentu mereka itulah ayah bundanya.
Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat
wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang
dahulu masih bernama Liu Bwee Lan? Dan penolong sakti itu, tentu saja mendiang
Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya dia menekan perasaan supaya mukanya tidak
menyatakan sesuatu, kemudian dia berkata dengan sikap gembira.
"Ahh,
tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh... ahh, Bhong lo-enghiong,
tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"
The Sun dan
Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting
kedudukannya, dia pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam
keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada
gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung
maksud buruk terhadap pembesar itu?
The Sun
tersenyum. "Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik pada Kwee-taijin.
Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-taijin di rumahnya."
Orang yang
berperasaan halus seperti Hui Kauw tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang
terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi
ia tidak mempedulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar
keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan,
itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya
yang asli, yang selama ini sering dikenangnya dan dirindukan semenjak ia
mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.
"Aku
tidak bermaksud merepotkah ji-wi, tapi..." dia bersungkan.
"Ah,
tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan
sendiri? Tidak usah sungkan, apa lagi memang kami adalah kenalan baik
Kwee-taijin. Marilah."
Tiga orang
itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap sangat
menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan
rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan
Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai.
Hui Kauw
merasa sungkan sekali. Akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan
ketegangan hendak bertemu orang tuanya, dia tidak banyak menolak dan
berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!
Rumah
Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu,
hati Hui Kauw sudah berdebaran dan dia merasa dirinya amat kecil. Rumah
Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi
dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada
artinya.
Rumah
depannya itu dijaga beberapa orang prajurit yang memberi hormat ketika melihat
The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena
gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu. Apa lagi melihat gadis muka hitam
ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah
juga seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena bantuan
mereka dibutuhkan oleh kaisar.
Penjaga
pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini
duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh
gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak yang digantung pada sepanjang
dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan
sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan
yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan lukisan ibu
angkatnya.
Tak lama
kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak
karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu
dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka
masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi
sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan
cantik.
"The-kongcu...!"
dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan
manis.
Diam-diam
Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya telah
tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang
dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis
itu.
"Nona
Kwee, sepagi ini kau sudah tampak begini gembira dan segar cantik. Hendak ke
manakah?" The Sun menegur.
Diam-diam
Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap
seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemmm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak
seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.
"Aku
hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa
ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai
sasaran!" Dara lincah dan jelita itu berkata pula.
The Sun
tersenyum dan menggeleng kepala. "Lain kali saja, sekarang aku lagi banyak
urusan. Adik Kian, hati-hati bila berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan
tembok kota," pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang
kepada Hui Kauw.
"Pelayan
memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona
mencari ayah," katanya dengan suaranya yang besar dan keras.
"Ayah
sedang mandi, kami dipesan agar mempersilakan kalian bertiga menanti
sebentar."
"Baik,
baik... tidak apa, hanya ada sedikit urusan," kata The Sun.
Sementara
itu, pelayan datang membawa hidangan minuman. Hui Kauw merasa sangat canggung
karena dua orang muda itu tiada henti memandang kepadanya dengan sinar mata
penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga.
Dari
percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apa
lagi kalau dilihat pada wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi
pemuda ini menyebut Kwee-taijin sebagai ayahnya. Kalau ayah mereka ini, yaitu
Kwee-taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah ayahnya yang sejati,
dengan sendirinya dua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di
sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian.
Makin
berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat. "Taijin
menanti para tamu di ruangan depan. Silakan sam-wi masuk."
The Sun dan
Bhong Lo-koai bangkit berdiri. Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu.
Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu
berkata kepada The Sun,
"Kami
juga akan berangkat, The-kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan
ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah
selatan."
The Sun
hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang
berlarian ke luar rumah di mana menanti para pelayan yang sudah menyiapkan dua
ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan
tempat itu.
The Sun
memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata
lebih luas dan lebih mewah dari pada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui
Kauw memandang lelaki setengah tua yang segera bangun dari kursinya menyambut
kedatangan mereka bertiga.
Laki-laki
ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Rambutnya sudah berwarna dua,
akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya.
Wajahnya kurus, kelihatan lebih kurus dari pada badannya yang berkerangka
besar, tampan serta gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke
dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan terawat, kuku
seorang sasterawan pada jaman itu. Senyumnya melebar, menyembunyikan sinar duka
yang tergores pada wajahnya sebagai bekas kepahitan hidup.
"Ah,
kiranya The-kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona
ini?" pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus.
Sikap yang
tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan amat
mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat-cepat memberi hormat bersama The Sun
dan Bhong Lo-koai.
"Kwee-taijin,"
kata Bhong Lo-koai setelah mereka dipersilakan duduk, "Justru kedatangan
kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga
dengan Kwee-taijin."
Hening
sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, tetapi mendatangkan heran bagi
Kwee-taijin. Kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh
perhatian.
"Nona
siapakah...?" Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan
bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu
dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu.
Rasa kecewa
memenuhi hati Hui Kauw, membuat dia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini
ayahnya, mengapa tak mengenalnya lagi? Bagaimana mungkin ia mengaku begitu saja
sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah semua orang tak
akan menyangka bahwa dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar
ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya?
Suaranya
gemetar ketika ia berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya,
urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apa bila diijinkan, saya mohon
supaya Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan
ini..."
Berubah wajah
Kwee-taijin. Agaknya dia hendak marah, tetapi karena yang mengajukan permintaan
yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya.
Ada pun
Bhong Lo-koai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera
berkata, "Kwee-taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri
taijin lenyap diculik orang..."
"Ahh...!"
Pembesar itu berseru kaget. "Kau tahu...? Di mana dia itu sebenarnya? Di
mana anakku...?"
Kemudian
pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil
pelayan, lalu katanya, "Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku
minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."
Pelayan
pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-taijin kembali menatap wajah Hui
Kauw penuh perhatian dan seperti tadi, dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat
wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga
atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.
"Kau
betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"
"Saya
tahu betul, Taijin," jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini
berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul ibu kandungnya, akan
mengenal dirinya.
Sementara
itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lo-koai telah siap siaga menjaga segala
kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun
merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun
menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu
mendadak menjadi pucat ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah
dalam, langkah seorang wanita.
Benar saja,
tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik
dan halus gerak-geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan
wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah
nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti
terkena pesona...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment