Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 04
Gerakan Loan
Ki yang dalam sekali gebrakan saja sudah hampir bisa merobohkan lawan, membuat
lawannya ragu-ragu untuk menyerang lagi. Dia lalu bersuit keras dan terdengar
suitan-suitan dari beberapa penjuru. Loan Ki terkejut, maklum bahwa mereka
berdua telah terkepung. Akan tetapi Kun Hong lebih cepat lagi. Sekali bergerak
pemuda buta itu sudah melompat ke arah si pendek.
Dalam
keadaan remang-remang itu si pemegang ruyung tak tahu bahwa yang melompati
dirinya adalah seorang buta. Dia amat kaget dan menghantamkan ruyungnya, akan
tetapi tiba-tiba saja dia jatuh lemas dan ruyungnya terlempar entah ke mana.
Tanpa dia ketahui bagaimana caranya, dia sudah roboh tertotok dan lemas tidak
mampu bergerak mau pun bersuara lagi!
"Ki-moi,
lekas, cari tempat sembunyi...!" kata Kun Hong yang tak menghendaki
terjadinya pertempuran di tempat itu. Dia benar-benar merasa tidak enak sekali
sudah mengganggu tempat orang dan menimbulkan keonaran.
Loan Ki
adalah seorang dara remaja yang tidak pernah mengenal artinya takut setiap kali
menghadapi lawan dalam pertempuran, maka sekarang pun meski dia tahu telah
dikurung musuh, dia tidak merasa gentar sedikit pun. Akan tetapi karena dia
sudah mulai mengenal watak temannya yang buta dan aneh, kini dia maklum pula
bahwa Kun Hong tidak suka menghadapi pertempuran dengan orang-orang yang
sebetulnya memang tidak memiliki urusan apa-apa dengan mereka berdua.
Maka ia lalu
menggandeng tangan Kun Hong, diajak lari kembali menuruni puncak. Akan tetapi
tiba-tiba ia bergidik karena terdengar suara mendesis-desis dan dari bawah
puncak merayap ular-ular tadi bersama penggembala-penggembalanya yang
bersuit-suit. Lawan manusia biasa Loan Ki takkan undur, akan tetapi menghadapi
ular-ular itu ia benar-benar merasa jijik dan ngeri.
Ia cepat
mengajak Kun Hong naik ke puncak lagi dan sekarang di depan mereka sudah muncul
dua orang laki-laki yang memegang golok. Tanpa banyak tanya dua orang laki-laki
itu segera menerjang mereka karena baru saja mereka melihat seorang kawan
mereka rebah tak bergerak dan mereka kira sudah tewas.
Juga kali
ini Kun Hong yang cepat bergerak. Bagaikan seekor burung rajawali sakti dia pun
melayang ke arah kedua orang itu. Dua buah golok berkelebat menyambar ke arah
tubuhnya, akan tetapi golok-golok itu segera terlempar jauh dan dua orang itu
memekik lemah terus roboh tak berkutik!
"Kau
hebat, Hong-ko...!" Loan Ki memuji dengan kagum sekali.
Ia sendiri
sudah mewarisi Ilmu Silat Sian-li-kun-hoat yang terkenal sangat indah
gerakan-gerakannya, akan tetapi menyaksikan gerakan Kun Hong tadi ia sungguh
merasa kagum sekali. Akan tetapi yang dipujinya sama sekali tidak mempedulikan,
malah membentak, "Hayo lekas cari tempat sembunyi, Ki-moi!"
Loan Ki
kembali menarik tangan Kun Hong dan berlari ke arah dinding batu karang. Dari
sebelah kanan dan kiri terdengar bentakan-bentakan orang, juga dari belakang.
Gadis itu melihat banyak lubang-lubang pada dinding itu, lalu menarik Kun Hong
masuk ke dalam sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki orang sambil
merangkak.
Karena
didorong oleh Loan Ki, Kun Hong masuk lebih dahulu, merangkak seperti seekor
tikus memasuki lubangnya, kemudian disusul oleh Loan Ki. Lubang itu kurang
lebih lima meter dalamnya, terus masuk ke dalam, kemudian menukik ke bawah. Kun
Hong berhenti merangkak ketika tangan dan kakinya meraba lubang yang menukik ke
bawah.
"Terus,
Hong-ko... terus. Mereka juga sudah sampai ke sini...," bisik Loan Ki di
belakang pemuda buta itu.
"Tak
dapat terus, lubangnya menukik ke bawah...," jawab Kun Hong.
"...kau
mepetlah, Hong-ko, biarkan aku lewat dan memeriksa di depan..."
Karena
merasa bahwa dia adalah seorang buta, dia lupa bahwa di dalam keadaan gelap pekat
seperti itu sebetulnya dia tidak lebih buta dari pada Loan Ki sendiri. Kun Hong
lalu berbaring mepet untuk memberi jalan kepada gadis itu yang hendak
melewatinya.
Lubang itu
tidak besar. Oleh karena itu, ketika Loan Ki merayap melewatinya, dua orang itu
berhimpitan di dalam lubang. Kun Hong merasa tak enak sekali, jengah dan
berdebar hatinya. Baiknya mereka berdua adalah orang-orang yang sudah mempunyai
kepandaian tinggi sehingga dengan Ilmu Sia-kut-kang (ilmu Melemaskan Tulang)
mereka pun berhasil bersimpang di lubang yang sempit itu.
Loan Ki
agaknya juga merasakan apa yang dirasai oleh Kun Hong, buktinya gadis yang
biasanya jenaka gembira itu kali ini tidak membuka suara kecuali
"ah-uh" seperti orang kepanasan. Dengan hati-hati gadis itu merangkak
ke depan sampai tiba di tempat yang menukik ke bawah.
"Agak
lebar di bawah, Hong-ko. Seperti sumur..."
"Memang,
karena kita tidak tahu bagaimana dasarnya, tak mungkin turun ke bawah..."
Pada saat
itu dari luar lubang terdengar suara mendesis-desis, lalu disusul suara seorang
laki-laki yang parau, "Anak-anak, hayo masuk ke kandang, jangan
berkeliaran lagi, besok kalian harus membantu mencari dua orang musuh
itu."
Disusul lagi
suara yang lebih tinggi, "Heran, ke mana larinya dua orang tadi? Mereka
itu manusia atau setan? He, Lao Siong, apakah sudah dilaporkan kepada
toanio?"
"Tentu
sudah." Lalu mereka bercakap-cakap, akan tetapi sambil menjauhi mulut
lubang sehingga Kun Hong dan Loan Ki tidak dapat mendengar lagi apa yang mereka
bicarakan.
Akan tetapi
betapa kaget hati dua orang itu ketika terdengar suara mendesis-desis dari arah
belakang disusul bau yang amat amis. Kiranya lubang pada dinding batu itu
adalah sarang-sarang ular atau dijadikan ‘kandang’ untuk ular-ular itu!
"Celaka,
ular-ular itu justru masuk ke sini...!" Kun Hong yang berada di belakang
berkata perlahan. Dia cukup tabah dan tenang, akan tetapi dalam keadaan seperti
itu, tentu saja dia merasa ngeri juga.
"Lekas,
Hong-ko, di belakangmu ada batu yang kuseret masuk tadi. Kau pergunakan itu
untuk menutup lubang yang paling sempit dan... hei, aduh, waahh... bungkusanku
jatuh ke dalam sumur, Hong-ko."
Kun Hong
mendengar suara barang berat jatuh. Dengan pendengarannya yang tajam dia
mendapat kenyataan yang menggembirakan hatinya. Lubang itu ternyata dasarnya
tidak keras, juga tidak begitu dalam. Hal ini tentu saja dapat dia ketahui
ketika buntalan pakaian dan mahkota yang dibawa gadis itu terjatuh ke bawah.
Akan tetapi
pada saat itu dia sibuk mendorong batu besar untuk menutupi lubang. Tentu saja
tidak bisa tertutup rapat, akan tetapi lumayan untuk menahan membanjirnya
ular-ular itu ke dalam. Setelah itu dia segera berkata,
"Ki-moi,
mari kita masuk saja ke dalam sumur itu. Tempatnya tidak dalam dan dasarnya
mungkin tanah yang tidak keras."
"Bagaimana
kau bisa tahu?" bisik Loan Ki meragu.
"Buntalanmu
tadi melayang ke bawah tidak terlalu lama, juga suaranya ketika menimpa dasar
sumur menyatakan bahwa dasar itu tidak keras. Tetapi tunggu, biarkan aku yang
melompat masuk lebih dulu. Kau mepetlah!"
Seperti
tadi, kedua orang itu kembali berhimpitan untuk dapat bertukar tempat, kini Kun
Hong yang di depan dan gadis itu di belakangnya. Akan tetapi karena perasaan
mereka terlampau tegang, mereka tidak merasakan lagi kecanggungan seperti tadi.
"Ki-moi,
membaliklah ke belakang dan siap dengan pedangmu kalau-kalau ada ular yang
menerobos masuk. Aku akan meluncur ke bawah dulu!"
Loan Ki
mendengar desir suara perlahan lalu disusul suara Kun Hong dari bawah,
"Ki-moi, lekas kau turun. Tidak begitu dalam di sini dan aku akan
membantumu, jangan takut!"
Loan Ki
merangkak mundur. Saat kakinya menyentuh bibir sumur, hatinya berdebar juga.
Siapa orangnya yang takkan merasa ngeri bila harus masuk ke dalam sumur yang
begitu gelap? Akan tetapi adanya Kun Hong di dalam sumur itu membesarkan
hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi ia melorot turun sambil mengerahkan
ginkang-nya saat tubuhnya melayang ke bawah.
Dia memegang
pedangnya tinggi-tinggi dan kedua kakinya sudah siap untuk menyentuh tanah di
dasar sumur. Akan tetapi tiba-tiba ada dua buah lengan yang kuat dan cekatan
menerima tubuhnya, kemudian menurunkannya ke atas tanah. Kembali dia kagum akan
kehebatan Kun Hong.
"Hong-ko,
ternyata sumur ini dalam juga, sedikitnya tiga kali tinggi orang. Bagaimana
kita akan dapat keluar dari sini?" Loan Ki dalam gelap meraba ke sana ke
mari dan hatinya menjadi kecut ketika mendapat kenyataan bahwa sumur ini pun
tidak lebar, hanya cukup untuk mereka berdua berdiri. Tak mungkin meloncat ke
luar dari tempat sesempit ini.
"Jangan
khawatir, aku akan dapat merayap naik," kata Kun Hong tenang. "Ini
buntalanmu, baru kuingat bahwa kau membawa mahkota kuno itu. Ahh, jangan-jangan
rusak mahkota itu ketika jatuh."
Loan Ki
menerima buntalan itu dan mengikatnya di punggung. Untuk melakukan ini saja
beberapa kali tangan serta sikunya menyentuh dada Kun Hong, begitu sempitnya
tempat itu. Hawanya juga panas bukan main.
Sumur itu
dindingnya adalah batu karang, hanya dasarnya saja tanah lunak. Karena tidak
ada hawa, atau kalau ada pun amat sedikit masuk dari lubang yang kini hampir
tertutup rapat oleh batu tadi, di situ amat panasnya. Apa lagi hawa yang masuk
telah membawa bau amis dari ular-ular yang memenuhi lubang di sebelah luar,
maka pernapasan mereka sesak dan sebentar saja Loan Ki menjadi pusing.
Makin lama
hawa makin panas. Loan Ki dan Kun Hong biar pun memiliki hawa murni dan
lweekang yang kuat, tetap saja menderita hebat dan tubuh mereka telah penuh
keringat. Pakaian mereka sudah basah semua.
"Aduh...
Hong-ko, napasku sesak, aku muak... tidak kuat bertahan. Kita harus keluar dari
neraka ini..." keluh Loan Ki.
Kun Hong
bingung. "Bagaimana mungkin, Ki-moi? Kalau kita naik, tentu akan bertemu
ular-ular itu di dalam lubang jalan ke luar. Menghadapi ular-ular itu memang
masih dapat kita tanggulangi, akan tetapi kau dalam kegelapan... ahh, dan siapa
tahu orang-orang itu masih menjaga di luar. Kau harus dapat bertahan, mungkin
besok pagi-pagi mereka dan ular-ular itu akan ke luar dari lubang dan kita
dapat menerobos ke luar kalau memang tak ada jalan lain. Setidaknya kalau cuaca
terang, kau bisa melihat. Bergerak di malam hari, kita sama-sama buta, tentu
payah."
"Tapi...
aduh, panas dan sesak, Hong-ko..." Gadis itu betul-betul payah dan
sekarang dia menyandarkan kepalanya yang terasa pusing berputar-putar itu
kepada tubuh Kun Hong.
Dahi gadis
itu ternyata sudah basah semua oleh keringat dan tubuhnya panas luar biasa.
Diam-diam Kun Hong terkejut. Kiranya lweekang gadis ini belum begitu tinggi
tingkatnya dan terang tidak akan dapat menahan. Dia lalu berusaha untuk
berkelakar.
"Wah,
kita basah oleh keringat, Ki-moi. Celakanya, keringatku tentu berbau tak enak
dan kuingat kau paling tidak kuat apa bila mencium bau keringat, seperti ketika
kau dikeroyok tempo hari. Jangan-jangan keringatku yang membuat kau muak dan
pusing."
Kun Hong
sengaja berkelakar untuk membangkitkan kegembiraan dan kejenakaan gadis ini
sehingga berkurang penderitaan itu. Akan tetapi dia gagal karena dengan lemah
Loan Ki menjawab, "Tidak, keringatmu tidak bau, Hongko... tapi ular-ular
itu... ah, ngeri aku..." dan gadis itu tiba-tiba saja menangis!
"Lho,
kenapa menangis? Adik Loan Ki, jangan bilang bahwa kau takut...!"
"...tidak!
Aku tidak takut... tapi kalau ular-ular itu masuk ke sini, kita akan dimakan
habis... ihhh, dan semua ini kesalahanku yang membawamu ke sini."
Kun Hong
mendekap kepala di dadanya sambil mengelus-elus rambut yang halus basah itu
dengan sikap menghibur, malah dia memaksa diri tertawa. "Ahh, kau
aneh-aneh saja. Ular-ular itu tidak akan berani menjatuhkan diri ke dalam
lubang, juga tidak akan dapat merayap turun. Andai kata ada yang berani, sekali
kau pukul juga akan remuk kepalanya. Takut apa? Tentang datang ke sini... ehhh,
aku sendiri pun ingin melihat badut-badut itu dihukum!"
Meski pun
lemah dan kepalanya pusing, bangkit juga kegembiraan Loan Ki mendengar ini dan
ia berbisik, "...kau ingin... melihat?"
"Aha,
sampai lupa aku bahwa aku sudah buta. Bukan melihat dengan mataku, tetapi aku
kan dapat meminjam matamu. Kau yang melihat dan kau ceritakan kepadaku,
bukankah sama saja...?"
Loan Ki
dapat juga tertawa. "...Hong-ko, kau... baik sekali..."
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis-desis di atas. Loan Ki merenggutkan kepalanya dan
tubuhnya menegang.
"Celaka...
mereka turun... ular-ular itu...," katanya dengan suara mengandung
kengerian.
Bau amis semakin
menghebat, hawa panas pun tak dapat tertahankan lagi oleh Loan Ki. Ia
melepaskan buntalan pakaian dan mahkota yang membikin tubuhnya lebih panas
lagi. Buntalan itu ia lemparkan begitu saja di atas tanah dan ia bersiap-siap
untuk menghadapi perjuangan mati hidup melawan ular-ular itu.
Buntalan itu
jatuh dan menggelinding di atas tanah, ikatannya terbuka dan tiba-tiba saja
keadaan yang sangat gelap pekat itu berubah. Ada cahaya yang membuat kegelapan
itu berubah remang-remang.
"Hong-ko!
Aku dapat melihat! Ehh, sekarang tidak segelap tadi... heeiii, Hong-ko, kiranya
mahkota itu yang mengeluarkan cahaya!" Suara Loan Ki bersemangat kembali,
ia segera membungkuk, mengambil mahkota itu dan berseru, "Betul, Hong-ko,
ada tiga butir batu permata di bagian depan mahkota ini yang mengeluarkan
cahaya. Nah, begini baru enak hatiku, bisa melihat kalau ada ular
menyerangku!" Suara gadis itu mulai gembira.
Kun Hong
dengan pendengarannya dapat menangkap hal yang lebih menggembirakan hatinya
lagi. Dia tahu sekarang bahwa kelemahan dan kepusingan gadis itu tadi sebagian
besar adalah pengaruh dari rasa ngeri di dalam kegelapan sehingga mengakibatkan
gadis itu pusing. Selain ini, dengan girang dia mendengar betapa suara
mendesis-desis di atas tadi tiba-tiba saja lenyap dan bau amis tidak begitu
hebat lagi, tanda bahwa ular-ular itu takut kepada batu-batu permata yang
mengeluarkan cahaya.
Dia dahulu
pernah mendengar dongeng kakek Song-bun-kwi di puncak Thai-san bahwa di dunia
ini memang banyak terdapat benda-benda mujijat dan aneh, di antaranya batu-batu
mutiara yang disebut Ya-beng-cu. Mutiara Ya-beng-cu ini mengeluarkan cahaya di
tempat gelap dan selain itu, juga ditakuti oleh sebagian besar
binatang-binatang buas.
"Wah,
agaknya Thian Yang Maha Kuasa sengaja menolong kita, Ki-moi. Kalau aku tidak
salah, batu permata di mahkota itu adalah mutiara-mutiara Ya-beng-cu dan aku
pernah mendengar bahwa binatang-binatang takut pada sinarnya. Sekarang kau
bersiaplah, kita harus keluar dari tempat ini!”
"Keluar?"
Loan Ki kaget. "Bukankah amat berbahaya katamu tadi, Hong-ko? Menghadapi
ular-ular itu dalam terowongan sempit, belum lagi para penjaga pulau
ini..."
Kun Hong
menggelengkan kepalanya. "Sekarang tidak perlu lagi, adikku. Tadi yang
paling mengkhawatirkan hatiku adalah kalau melawan ular-ular itu, ular-ular
berbisa yang sangat jahat, apa lagi kita harus menghadapi mereka dalam
terowongan yang sempit. Akan tetapi sekarang, dengan Ya-beng-cu ada pada kita,
ular-ular itu pasti takkan berani mengganggu kita. Kita keluar dan tentang para
penjaga, yahhh, terpaksa kita menghadapi mereka. Kita jelaskan maksud
kedatangan kita yang tidak mengandung niat buruk, kalau mereka tidak mau
menerimanya, kita robohkan mereka dan melarikan diri!"
Loan Ki
mengangguk-angguk, namun ketika melihat ke sekelilingnya adalah dinding batu
yang licin, dia mengerutkan kening. "Hong-ko, bagaimana kita bisa naik?
Meloncat begitu saja? Mungkin aku sanggup meloncat ke atas dan menangkap
pinggiran sumur ini, akan tetapi, bagaimana kalau ada ular-ular di sana? Pula
resikonya terlalu besar kalau sampai tidak berhasil menangkap pinggiran sumur,
apa lagi kalau pada waktu meloncat kepalaku tertumbuk batu karang yang
menonjol."
"Tak
usah meloncat. Kau bawa buntalanmu, pakai mahkota itu di kepalamu."
Gadis itu
terdiam, agaknya heran. Namun diambilnya buntalan pakaian dan diikatkan ke
pundak. Tiba-tiba ia tertawa, tawa jenaka seperti yang sudah-sudah sehingga Kun
Hong ikut tersenyum gembira. Agaknya di dunia ini amat sukar mencari orang yang
takkan turut tersenyum mendengar suara yang mengandung kesegaran watak itu.
"Hi-hi-hik,
Hong-ko... mahkota ini benar-benar pas dengan kepalaku. Menurut dongeng,
permaisuri Kerajaan Tang yang memakai mahkota ini adalah seorang puteri cantik
jelita yang terkenal dengan julukan Puteri Harum karena tubuhnya memiliki
keharuman seribu bunga. Kiranya kepalanya hanya seukuran dengan kepalaku...
hi-hi-hik...!"
Mendengar
kegembiraan gadis itu yang berarti bahwa semangatnya sudah kembali, Kun Hong
menjadi girang sekali. Perjalanan ke luar dari tempat itu, bahkan keluar dari
Pulau Ching-coa-to, bukanlah hal yang mudah dan mungkin akan menghadapi
bahaya-bahaya dan rintangan. Karena itu timbulnya semangat gadis ini kembali
merupakan hal yang amat penting. Mengingat ini, dia segera terjun ke dalam
kegembiraan itu dan berkata,
"Apa
anehnya persamaan kepala itu, Ki-moi? Memang cocok dongeng itu, kalau kepala
permaisuri Kerajaan Tang itu seperti kepalamu, maka sudah semestinya dia cantik
jelita dan mempunyai ukuran kepala yang tepat."
"Ehh,
Hong-ko kau mana bisa melihat kepalaku?"
"Melihat
sih tidak, akan tetapi tadi... ehh, meraba saja sudah cukup jelas
bagiku..."
Loan Ki
teringat betapa dalam gelap tadi ia menangis dan bersandar di dada Kun Hong, malah
kepalanya telah dielus-elus oleh pemuda buta itu. Hal ini mendebarkan
jantungnya sungguh pun ia tidak mengerti mengapa dadanya berhal seperti itu,
berdebar-debar.
"Tapi,
Hong-ko, mana kau tahu aku... cantik jelita?"
Kun Hong
tertawa, geli juga dia mendengar ucapan kekanak-kanakan ini. "Apa
susahnya? Mendengar suaramu saja sudah cukup bagiku."
Hening
sejenak, lalu gadis itu berkata perlahan, "Orang bilang aku cantik, tapi
belum tentu secantik puteri pemakai mahkota ini. Lagi pula, dia terkenal
sebagai Puteri Harum, mana aku bisa sama? Ihhh, tadi keringatku tentu membasahi
bajumu, Hong-ko..."
"Aku
pun berkeringat sampai basah semua pakaianku, Ki-moi, dan tentang keharuman
itu, hemmm... kurasa keringatmu pun... sedap..." Kun Hong setengah
berbohong.
Mana ada
keringat sedap di dunia ini? Akan tetapi memang baginya, keringat Loan Ki tidak
berbau tak enak. Dia sengaja melebih-lebihkan dan mengatakan sedap hanya untuk
menambah kegembiraan hati gadis kekanak-kanakan ini agar semangatnya tak
menurun.
Gadis itu
tidak berkata apa-apa, malah suara ketawanya terhenti dan ia diam saja sampai
agak lama setelah ucapan Kun Hong terakhir ini. Kun Hong heran, miringkan
kepala dan bertanya,
"Ki-moi,
kenapa kau diam saja?" Ia mengulur tangan ke depan, menyentuh tangan gadis
itu dan memegangnya.
Akan tetapi
Loan Ki cepat merenggutnya terlepas dan terdengar suaranya agak gemetar.
"Buntalan pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan
naik?"
Sama sekali
Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang bersifat
kelakar baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki, sangat
dalam membekas di hatinya.
"Kau
duduklah di pundak kananku, siapkan pedangmu menghalau perintang di atas. Aku
akan merayap naik." Kun Hong segera berjongkok untuk memudahkan Loan Ki
duduk di pundaknya.
Akan tetapi
gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak penuh kagum gadis itu
memandang Kun Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu
Pek-houw Yu-chong yang mengandalkan ginkang dan lweekang yang amat tinggi
hingga membuat orang dapat merayap seperti seekor cecak pada dinding yang
terjal. Kalau si buta ini sudah dapat melakukan ilmu ini, berarti bahwa tingkat
kepandaian si buta ini jauh melampauinya, malah jauh lebih lihai dari pada
ayahnya sendiri, Sin-kiam-eng!
Di samping
kekaguman ini, juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk di
atas pundak orang, suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan hal
ini tanpa ia sadari disebabkan oleh kelakar pujian tadi.
Ia pun
maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk di atas pundaknya. Memang
hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak,
selain ia dapat ikut ‘membonceng’ naik, juga ia bertugas sebagai mata pemuda
itu, dengan mahkota di atas kepala itu sebagai pengganti obor penerangan.
Memang begini lebih aman dari pada si buta itu harus merayap naik seorang diri,
sungguh pun harus diakui bahwa untuk dapat mempergunakan Ilmu Pek-houw Yu-chong
dengan diboncengi pundaknya, benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali.
"Hayo,
lekas kau duduk, tunggu apa lagi?" Kun Hong bertanya heran ketika belum
juga Loan Ki duduk di pundaknya.
Tanpa
berkata apa-apa gadis itu lalu duduk di atas pundak kanan Kun Hong yang segera
bangkit berdiri.
"Hati-hati
jangan banyak bergerak, tapi awas melihat rintangan di atas."
Mulailah Kun
Hong merayap ke atas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini. Dengan
punggungnya menempel dinding, ia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk
merayap naik. Dua kakinya bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan
kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk menarik tubuhnya ke atas,
sedangkan punggungnya digunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya tidak
kembali merosot ke bawah! Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap siaga
menjaga datangnya bahaya serangan.
Loan Ki
kagum sekali. Sedikit demi sedikit mereka naik sehingga akhirnya sampai juga ke
pinggiran sumur. Dengan girang Loan Ki melihat bahwa di sana tidak ada ular.
Dia lalu meloncat ke luar, dan menarik tangan Kun Hong untuk membantu pemuda
ini ke luar pula, bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi pemuda lihai itu.
"Tidak
ada ular di sini...," bisik Loan Ki. "Entah ke mana mereka
pergi."
"Agaknya
ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali, dan
dengan mahkota ini kita akan ke luar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa
itu."
"Kalau
begitu mari kita ke luar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat
lain, tadi kita telah tersesat memasuki tempat ini."
Mereka lalu
merangkak ke luar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan. Batu
penutup lubang disingkirkan dan benar saja, tidak ada ular yang berani
menghadang mereka. Agaknya ular-ular itu menjadi ketakutan melihat cahaya
mutiara itu dan mereka pergi meninggalkan lubang.
Setelah tiba
di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong. Girang hati mereka mendapat
kenyataan bahwa di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia. Dan lebih
girang lagi hati Loan Ki melihat adanya bulan yang cukup terang di angkasa.
Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka, kedua orang muda ini merasa
nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang, menyedot hawa
seperti orang kehausan mendapat minum air segar!
"Hong-ko,
bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah
ini."
Kun Hong tak
membantah dan demikianlah, di bawah sinar bulan yang tiga perempat itu kedua
orang muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman
mengerikan tadi. Mereka langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.
“Kurasa tak
baik kita berkeliaran di malam hari, apa lagi tempat ini agaknya mengandung
banyak rahasia. Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha
keluar dan kembali ke daratan.”
"Mana
ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?"
"Paling
baik di atas pohon besar, bahaya satu-satunya hanyalah ular. Akan tetapi dengan
adanya mahkota pusaka itu, kita tak usah khawatir."
Demikianlah,
dua orang muda itu meloncat ke atas pohon besar, memilih cabang besar yang enak
diduduki dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila di atas
cabang pohon, tak bergerak seperti patung.
Tahu bahwa
orang muda yang sakti itu sekarang duduk bersemedhi, Loan Ki tidak mau
mengganggunya, hanya memandang bayangan orang buta itu dengan penuh kekaguman.
Berkali-kali ia mendengar bisikan hatinya sendiri, "...sayang matanya
buta... sayang dia buta... sayang..."
Ia merasa
jengkel akan bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia
merasa sayang akan kebutaan Kun Hong.
"Orang
seperti dia tidak seharusnya dikasihani," dia menghibur diri, "walau
pun buta, dia melebihi sepuluh orang pendekar yang dapat melihat..."
Akhirnya ia
tertidur juga di atas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki
memang tidak perlu khawatir akan terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah
terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia merantau dan sering kali tidur
di dalam hutan seorang diri….
"Hong-ko...
bangun, Hong-ko... tuh di sana aku melihat air telaga!" pagi-pagi sekali
Loan Ki sudah berteriak-teriak membangunkan Kun Hong yang sebetulnya memang
telah sadar atau terjaga dari pada tidur dan semedhinya.
Beberapa
ekor burung sampai kaget oleh teriakan Loan Ki. Mereka beterbangan sambil
berbunyi keras. Gadis itu tertawa geli menyaksikan tingkah burung-burung itu,
akan tetapi Kun Hong sebaliknya geli mendengar suara Loan Ki.
"Bagus,
kalau begitu kita tinggal menuju ke sana, mencari perahu untuk
menyeberang." jawab Kun Hong sambil meluncur turun dari batang pohon itu.
Loan Ki juga
meloncat turun, lalu tertawa. "Wah, kelihatan sekarang betapa kotor
pakaian kita, Hong-ko. Penuh tanah liat!"
"Tidak
apa, pakaian kotor dapat dicuci, Ki-moi."
"Ah,
malu kalau bertemu orang. Aku hendak menukar pakaian dulu, Hong-ko. Kan padaku
ada bekal pakaian bersih. Wah, di mana ya bisa bertukar pakaian?"
Gadis itu
berjalan ke sana ke mari, agaknya mencari gerombolan tanaman yang dapat ia
pergunakan untuk sembunyi dan bertukar pakaian.
"Hong-ko,"
terdengar suaranya dari depan agak jauh, "kau menghadaplah ke sana dulu,
membelakangi aku!"
Hampir-hampir
tidak dapat Kun Hong menahan ketawanya. Dia tersenyum lebar sambil mengacungkan
tangannya seperti hendak menampar kepala temannya itu. "Bocah nakal,
apakah aku kurang buta sehingga kau suruh menghadap ke lain jurusan? Andai kata
kau bertukar pakaian di depan mataku, aku pun tidak dapat melihatmu,
Ki-moi." Akan tetapi tetap saja dia memutar tubuhnya menghadap ke lain
jurusan.
Setelah
selesai berpakaian, Loan Ki menghampiri Kun Hong dan berkata, "Hong-ko,
kau selalu mengajak aku untuk kembali ke daratan, seakan-akan kau takut berada
di pulau ini. Bahkan kau kemarin menyebut apakah aku melihat seorang kakek yang
buntung lengan dan telinga kiri, mata kiri buta, siapakah orang itu?"
"Sebetulnya
orang itu sudah mati, Ki-moi. Yang kumaksudkan itu adalah seorang tokoh jahat
bernama Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena kemarin aku mendengar suara suling dan
berkumpulnya ular-ular itu, aku jadi teringat kepada tokoh ini yang juga
seorang ahli memelihara ular."
"Kau
aneh, Hong-ko. Kalau dia sudah mati, kenapa kau takut?"
"Aku
hanya terheran-heran mendengar ada ular-ular yang digembalakan orang, Ki-moi,
dan aku dapat menduga bahwa pemilik-pemilik pulau ini pasti adalah orang-orang
pandai seperti Giam Kin itu. Kalau kita berdua membikin onar di sini, alangkah
tidak baiknya. Inilah sebabnya maka aku mengusulkan agar kita kembali saja dan
jangan menimbulkan keonaran di tempat orang."
"Baiklah,
malam tadi pun aku sudah merasa menyesal datang ke pulau iblis ini. Mari kita
pergi ke pantai telaga yang kulihat dari atas pohon tadi, Hong-ko."
Loan Ki
menggandeng tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu berlari cepat ke arah
pantai telaga yang dia lihat tadi, yaitu ke sebelah timur, dari arah mana
cahaya matahari memerah membakar angkasa raya. Mahkota yang semalam telah
menyelamatkan mereka itu kini telah aman berada dalam buntalan pakaian yang
tergantung di punggung Loan Ki lagi.
Biar pun
yang seorang adalah orang buta, namun mereka lari cepat sekali. Memang inilah
cara satu-satunya untuk mengajak Kun Hong berlari cepat, yaitu dengan
menggandeng tangannya. Tanpa dituntun, biar pun pemuda itu memiliki kesaktian,
tak mungkin dia akan dapat berlari cepat, tentu akan menabrak-nabrak.
"He,
Ki-moi, kenapa belum juga sampai dan kenapa kau bawa aku menikung-nikung tidak
karuan begini?"
Loan Ki
berhenti, lalu menghela napas panjang. "Pulau ini benar-benar aneh,
Hong-ko. Pulau iblis! Terdapat jalan yang rata, akan tetapi heran sekali,
mengikuti jalan ini agaknya akan membawa kita terputar-putar tidak karuan.
Kulihat seakan-akan keadaan tempat di mana kita berdiri ini serupa benar dengan
tempat di mana kita berangkat tadi..." Ia berseru kaget, lari ke depan
meninggalkan Kun Hong, lalu kembali lagi sambil berkata, "Wahh,
benar-benar ini tempat yang tadi, Hong-ko! Tuh, di situ ada gerombolan pohon
kembang di mana aku bertukar pakaian tadi, pengikat rambutku yang terjatuh di
sana masih ada."
Kun Hong
mengangguk-anggukkan kepala, kulit di antara kedua matanya berkerut.
"Kurasa
pemilik pulau ini adalah seorang ahli dalam alat-alat rahasia dan sengaja sudah
mengatur pulaunya penuh rahasia agar menyukarkan orang asing memasukinya,
seperti keadaan di Thai-san. Ki-moi, coba kau lihat dari atas pohon tadi,
pantai berada di jurusan manakah?"
"Di
timur karena kulihat cahaya matahari di sana pula."
"Nah,
kalau begitu, sekarang kita harus langsung menuju ke timur, jangan menggunakan
jalan yang sengaja dibuat untuk menyesatkan kita. Kita ambil jalan liar saja,
kalau perlu menerabas hutan, asal terus ke timur. Pasti akan sampai di pantai
itu."
Akan tetapi
hal itu ternyata lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Jalan menuju ke
timur ini ternyata harus melalui hutan-hutan liar yang penuh alang-alang,
melalui rawa dan malah melalui hutan kecil penuh duri. Jalannya menanjak dan
pada akhirnya mereka tiba di tebing yang curam. Ketika Loan Ki menjenguk ke
bawah, memang tampak air telaga di bawah sana, namun dalamnya dari tebing itu
tidak kurang dari seratus meter!
Loan Ki
melepaskan tangan Kun Hong, berjalan ke sana ke mari mencari jalan untuk
menuruni tebing curam itu.
"Wah,
sampai di sini buntu, Hong-ko. Biar kucari jalan untuk turun. Tuh, di bawah
sudah kelihatan telaganya, dan jauh ke depan itu menyeberangi telaga akan
sampai di darat kembali. Agaknya jalan menurun di alang-alang itu... heeii,
aduhhh... Hong-ko... tolong...!"
Kun Hong
terkejut sekali, cepat dia bergerak maju dengan didahului tongkatnya, ke arah
suara Loan Ki. Dia mendengar banyak sekali batu-batu menggelinding dan
lenyaplah suara Loan Ki.
Kagetnya
bukan kepalang ketika dia tiba di tempat dari mana suara gadis itu terdengar,
tongkatnya meraba tempat kosong! Kiranya dia berdiri di tepi tebing yang entah
berapa dalamnya dan tongkatnya yang meraba gugusan batu yang pecah, agaknya
Loan Ki yang tadi berdiri di situ sudah terperosok dan jatuh ke bawah bersama
pecahan tanah beserta batu-batu.
Kun Hong
mengerahkan khikang-nya dan berteriak ke bawah, "Ki-moi...!"
Hanya gema
suaranya yang menjawab.
"Loan
Ki...!"
Kembali
suaranya yang menjawab.
"Celaka...
apa yang terjadi dengan dia?" Kun Hong bingung dan menyesal sekali.
Selama dia
buta, baru kali ini dia menyesal akan kebutaan matanya sehingga dia tidak dapat
melihat apa yang terjadi dengan gadis itu dan tak dapat menolongnya. Dia segera
mengambil sebuah batu kecil dan melepaskannya ke bawah. Kepalanya dimiringkan
dan bibirnya berkemak-kemik menghitung waktu.
Tujuh belas
kali dia menghitung, baru batu itu menyentuh air! Kun Hong bergidik. Tidak
mungkin dia mengikuti gadis itu terjun ke bawah. Hal ini berarti kematian
baginya.
Akan tetapi
dia masih mempunyai harapan yang menghibur hatinya. Bukankah Loan Ki pernah
bilang bahwa gadis itu pandai berenang? Kalau dasar di bawah tebing itu adalah
air, belum tentu gadis itu tewas. Akan tetapi, kalau selamat, kenapa dia tidak
menjawab panggilannya?
Kembali
pemuda buta ini menjenguk ke depan dan memanggil. Suaranya nyaring sekali dan
bergema, mengejutkan burung-burung yang sedang beterbangan di sekeliling tempat
itu. Beberapa kali dia memanggil namun tak pernah terjawab kecuali oleh gema
suaranya sendiri.
Kun Hong
menjadi sedih sekali, pelupuk matanya gemetar, kulit di antara kedua matanya
berkerut dalam, wajahnya agak pucat. Lalu dia meraba-raba dengan tongkatnya
mencari jalan turun. Dia hendak menuruni tebing itu dan mencari Loan Ki di
bawah sana.
Akhirnya
dapat juga dia turun melalui celah-celah batu karang. Sukar sekali perjalanan
menurun ini, merayap seperti seekor monyet, hanya berpegang pada batu-batu
karang yang menonjol. Kadang-kadang Kun Hong yang meraba sana meraba sini
kehabisan batu pegangan, maka terpaksa ia menggunakan tongkatnya yang
ditancapkan kepada dinding karang.
Demikianlah,
sambil meraba-raba dia merayap turun terus, tidak tahu ke mana akhirnya dia
akan sampai. Dia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya ini membelok ke sana ke mari
karena memang sering kali dia bertemu dengan jalan buntu yang mengharuskan dia
mencari jalan memutar.
Dia merasa
heran sekali karena ternyata dia tidak sampai di pinggir telaga, malah
tiba-tiba alat penggandanya mencium keharuman bunga-bunga yang beraneka warna
dan kakinya menginjak tanah berumput yang halus. Ketika dia meraba dengan
tangannya, kiranya dia sudah sampai di tengah-tengah rumput yang segar gemuk
dan di sana-sini semerbak harum bunga.
"Heran
sekali seakan-akan aku berada di dalam taman bunga yang sangat luas penuh
bermacam-macam bunga...," pikirnya dan teringatlah dia akan seruan Loan Ki
pada saat kedatangan mereka di tempat itu. Gadis itu telah melihat sebuah taman
bunga yang indah. Inikah taman bunga itu?
Angin
semilir sejuk dan pendengarannya yang tajam menangkap suara orang
bercakap-cakap, suara wanita yang halus terbawa angin. Kun Hong girang sekali,
mengira bahwa tentu Loan Ki yang sedang bercakap-cakap itu. Tetapi dia tidak
berani berlaku sembrono memanggil gadis itu karena dia belum tahu dengan siapa
gadis itu bercakap-cakap dan dalam keadaan bagaimana.
Dengan
hati-hati dia bergerak maju ke arah suara. Setelah agak dekat dan mulai dapat
mendengar jelas, dia menyelinap di balik sebuah pohon buah yang besar,
bersembunyi dan mendengarkan penuh perhatian. Besar kekecewaan hatinya ketika
mendengar bahwa yang bercakap-cakap itu sama sekali bukanlah Loan Ki seperti
yang diharapkannya, akan tetapi suara wanita-wanita yang lain, suara wanita
yang dingin dan tajam mendatangkan perasaan ngeri kepadanya karena dari suara
ini dia dapat menilai orang yang mempunyai watak yang aneh dan dapat kejam
melebihi iblis sendiri.
Akan tetapi
suara ke dua membuat dia berdebar dan kagum. Suara ini halus lunak, merdu dan
kiranya hanya patut dimiliki oleh bidadari, bukan wanita biasa. Suara pertama
adalah suara seorang wanita yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi takkan
kurang dari empat puluhan. Ada pun suara ‘bidadari’ itu adalah suara seorang
gadis remaja.
Bukan main
suara itu, bagaikan nyanyian dewi malam, mengelus-elus perasaan hatinya sungguh
pun dia menangkap getaran-getaran aneh pula dalam suara merdu merayu ini.
Getaran yang mengandung sesuatu yang rahasia dan yang menyembunyikan watak dari
pada si pemilik suara.
"Hui
Kauw, cukup sudah semua alasanmu itu!" terdengar suara dingin dengan nada
kesal. "Jodohmu adalah Pangeran Souw Bu Lai dan kau tidak boleh membantah
lagi. Kau tahu, setelah sekarang kaisar muda yang tak becus menduduki tahta,
pangeran itu mempunyai banyak harapan menjadi kaisar lalu membangun lagi
Kerajaan Goan, dan kau mempunyai harapan menjadi permaisuri kaisar! Orang apa
itu si pemuda she Bun? Huh, hanya anak ketua Kun-lun-pai, biar tampan dan
gagah, tetapi hanya orang biasa. Mana boleh anakku tergila-gila kepada orang
macam itu?"
"Ibu,
aku tidak tergila-gila... aku hanya bertemu satu kali dengan Bun-enghiong, aku
hanya bilang bahwa dia seorang pendekar perkasa. Bukan karena dia aku tidak
sudi menjadi calon jodoh Pangeran Mongol itu, melainkan karena... karena aku
tidak suka menikah. Aku lebih senang tinggal di sini..."
"Huh,
alasan kosong. Siapa yang tidak tahu hati muda? Melihat wajah tampan dan watak
pendekar lalu jatuh hati, hemmm. Sudahlah, tak mau aku berpanjang debat, aku
harus menyambut para tamu kita yang akan membicarakan soal membantu usaha
Pangeran Souw Bu Lai. Dan kau harus tahu, dalam hal kegagahan, kiraku orang she
Bun itu takkan dapat menandingi Pangeran Souw."
"Ibu..."
Kun Hong
mendengar betapa wanita bersuara dingin itu berkelebat pergi dan terkejutlah
dia ketika menangkap desir angin yang amat cepat ketika wanita ini pergi. Wah,
kiranya si suara dingin ini memiliki kepandaian yang hebat. Ginkang-nya terang
tidak di sebelah bawah kepandaian Loan Ki!
Selain dua
orang wanita yang bercakap-cakap ini, Kun Hong tahu bahwa di situ terdapat
sedikitnya tiga orang wanita lain yang lemah lembut gerakan-gerakannya, mungkin
para dayang-dayang yang melayani nona bersuara bidadari ini. Diam-diam Kun Hong
merasa terharu dan juga tercengang.
Tak mungkin
salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun dalam percakapan tadi,
tentu bukan lain adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun Wan, bekas
tunangan kekasihnya, mendiang Cui Bi.
Hatinya
berdebar dan telinganya serasa mengiang-ngiang. Sungguh suatu hal yang amat
kebetulan sekali, urusan yang sangat cocok dengan pengalamannya dahulu. Seperti
juga Cui Bi yang mencintanya dan sudah ditunangkan dengan Bun Wan, juga si
suara bidadari ini hendak dipaksa ibunya untuk berjodoh dengan seorang Pangeran
Mongol, padahal si bidadari ini agaknya condong hatinya kepada Bun Wan!
Benar-benar hal yang terbalik.
Kalau dulu,
Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh calon
jodohnya, sekarang rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang
yang menjadi penyebab terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang
peranan yang dipegangnya dahulu, peranan yang berakhir dengan pengorbanan kedua
matanya untuk mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang menyerahkan nyawanya!
Dia
memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas
panjang. Dasar suara bidadari. Tarikan napas panjangnya saja terdengar begitu
halus seolah-olah helaan napas itu menambah keharuman bunga-bunga di taman!
Perasaan Kun
Hong menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi. Serupa benar nasib
dara bidadari ini dengan mendiang Cui Bi. Apakah ia akan mengalami nasib
seperti Cui Bi pula? Gagal dalam berkasih asmara, dan berakhir mengorbankan
nyawa? Tidak! Tidak boleh! Peristiwa mengenaskan itu tak boleh terulang lagi.
Apa pula terhadap diri seorang dara yang bersuara bidadari ini. Dia akan
berusaha menghalau bahaya itu.
Langkah-langkah
kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening. "Siocia, ini minuman
susu madu yang kau pesan, dan ini pengganti sapu tangan sutera..."
"A Man,
kau letakkan saja di atas meja itu, lalu kau pergilah bersama semua temanmu dan
tinggalkan aku di sini..."
"Tapi
Siocia (nona), toanio (nyonya besar) akan marah jika saya dan teman-teman tidak
menjaga dan melayani Nona di sini..."
"A Man,
aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Sekarang aku mau
berlatih pedang, apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?"
"Ahh...
mana berani... mana berani, Nona."
"Nah,
lebih baik kau cepat-cepat pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau
dan teman-temanmu ikut mencari dua orang asing yang katanya sudah memasuki
pulau dan membunuh banyak ular. Apa bila bertemu dengan mereka yang tentu saja
lihai, kau dan teman-temanmu dapat mencoba semua kepandaian kalian. Apakah
percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu silat? Hayo, keluarlah dari sini,
lekas!"
Terdengar
para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan
wanita dan agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang
paling disayang oleh nona bidadari yang bernama Hui Kauw ini.
Kun Hong
mendengarkan semua itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika
bercakap-cakap dengan para pelayan. Malah ucapan paling akhir itu mengandung
senda gurau yang halus. Alangkah jauh bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi. Loan
Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang lincah jenaka, gembira dan
bebas, andai kata kembang adalah kembang mawar hutan yang tak lekang oleh
panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan angin ribut dan selalu berseri
namun siap melukai siapa pun yang ingin merabanya dengan duri-duri meruncing.
Ada pun dara
bersuara bidadari ini, yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, merupakan
seorang dara yang lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya,
seperti setangkai bunga seruni yang indah jelita, kecantikannya menenteramkan
hati, suaranya bagai musik surga mengamankan jiwa. Kemudian Kun Hong mendengar
desir angin permainan pedang. Pada mulanya angin sambaran itu lambat-lambat dan
juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan tenaganya
kecil. Kun Hong mengerutkan keningnya.
Gadis
bersuara bidadari ini kalau dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan
Ki, apa lagi tingkat Cui Bi. Akan tetapi hawa pukulan pedangnya betul-betul
aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran. Permainan pedang dengan cara
membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak dalam kalangan ilmu
pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus ke arah
lingkaran lainnya yang sejalan atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring,
bacokan lurus dan lain cara penyerangan lagi.
Anehnya,
gerakan pedang dara bersuara bidadari ini lingkarannya berubah-ubah menjadi
lingkaran yang bertentangan, kadang-kadang berputar dari kanan, kadang kala
dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini, mana bisa digunakan untuk
bertempur, pikir Kun Hong heran...
Tiba-tiba
Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia
mencurahkan seluruh perhatiannya menggunakan pendengarannya yang mengikuti
desir angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti
terus permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan,
kekakuan dan kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera
yang sedang pasang, tidak kentara perubahannya makin lama semakin sigap,
semakin licin, makin kuat. Lingkaran-lingkaran membesar, meluas, dan masih saja
mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-lingkaran yang membalik gerakannya.
Kun Hong
menjadi bingung dan malu kepada diri sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan
baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali ini pendengarannya kalah
‘awas’ oleh sepasang mata. Kiranya dara bersuara bidadari ini memiliki ilmu
pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah
kini dia dapat mendengar betapa tenaga lweekang yang terkandung dalam
gerakan-gerakan itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri
memiliki gerakan lingkaran yang penuh rahasia!
"Siuuuttt...
cratt!"
Sebatang
pedang menancap pada batang pohon di depan Kun Hong, batang pohon yang menutupi
dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali. Apakah nona
itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang pada
batang pohon itu?
Dia bersikap
waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari tempat sembunyinya. Dia merasa
malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia akan menjawab nanti apa
bila ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan ‘mengintai’ dengan
telinganya tanpa ijin pemilik taman. Langkah kaki yang ringan dan lesu
mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis. Keharuman yang sedap dan aneh
mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa harumnya seperti...
seperti apakah gerangan?
Tiada bunga
yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti harum bunga
mawar? Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan, biar
pun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana?
Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala. Mendadak wajah
Kun Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah
dalam perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan
seperti inilah anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!
Kun Hong
berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah oleh batang
pohon. Pernapasannya saja dapat terdengar jelas olehnya, napas yang
panjang-panjang dan halus sungguh pun desir napas itu menyatakan bahwa orangnya
sedang mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah bermain pedang mempergunakan
tenaga lweekang seperti itu.
Nona itu
mencabut pedang yang tadi dilontarkan dan menancap pada pohon. Dari suara
cabutan ini dengan kagum sekali Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu
telah menancap setengahnya lebih ke dalam batang pohon, hal yang sekali lagi
membuktikan akan hebatnya tenaga lweekang nona ini.
Dengan
langkah gontai, seperti langkah orang yang baru sembuh dari pada penyakit yang
lama diderita, lemas dan lesu, dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon,
kembali ke tempat tadi. Lalu terdengar oleh Kun Hong betapa dara itu duduk
menggerak-gerakkan tangan, agaknya menyusut peluh dengan sapu tangan sutera
yang ia dengar tadi di antar datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum
lambat-lambat, dengan teguk-teguk kecil, agaknya susu madu tadi.
Tak terasa
lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa betapa lapar perutnya dan
haus kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan atau minum lagi, yaitu
sesudah menyikat habis makanan dan minuman hasil curian Loan Ki. Loan Ki juga
tentunya lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ahh, di mana Loan Ki?
Seakan-akan baru sadar dari pada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan
Loan Ki dan hatinya terbuka, penuh kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki? Dan di
mana ia?
"Benar-benar
aku tiada guna..." Kun Hong memaki diri sendiri. "Loan Ki terjerumus
dan hilang, belum tahu mati atau masih hidup dan... dan aku...aku terlongong
saja di sini mau apa?"
Hampir marah
Kun Hong terhadap dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah
seperti tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu. Mukanya ditengadahkan
ke arah angkasa, bibirnya bergerak-gerak dalam bisikan.
"Cui
Bi... kau tentu suka memaafkan aku... nona yang di depan ini memang terlalu
luar biasa..."
Setelah
berbisik seperti itu, dia sudah hendak menggerakkan kaki sambil mengerahkan
ginkang-nya agar dapat pergi dari tempat itu tanpa terdengar orang. Akan tetapi
baru saja kakinya diangkat sambil dia membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu
berhenti seperti tertahan oleh suara senandung di belakangnya. Suara bidadari
itu bersenandung?
Biar pun
hanya bersenandung, tidak bernyanyi nyaring, tetapi suara itu bagi pendengaran
Kun Hong sedemikian merdunya. Dia menahan napas dan miringkan kepala untuk
dapat menangkap kata-kata nyanyian dalam senandung itu.
Daun labu
belum layu
anak sungai
masih berlagu
kutunggu,
tuanku.
Air sungai
melimpah ruah
kuda betina
menjerit resah
kutunggu,
kekasihku.
Bahtera
menanti kita
mengantar ke
pantai kita
kutunggu,
sahabatku!
Lemas kedua
lutut Kun Hong. Tanpa terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh di atas
tanah. Kulit mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apa lagi di sekitar dua
lubang bekas mata yang tertutup kelopak (pelupuk mata).
Bukan main
suara itu! Tadi baru mendengar suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan
main, suara yang dapat menggetarkan dan menyinggung tali halus hatinya. Kini
suara itu bersenandung, bukan main! Dada Kun Hong serasa hendak meledak oleh
nikmat yang didatangkan oleh senandung itu. Dia sendiri adalah seorang ahli
sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat mau pun sanjak-sanjak kuno.
Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di
ujung daun hijau di waktu subuh itu, dia pun pernah membacanya.
Sanjak lama,
amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai makna yang membayangkan keadaan hati
seseorang. Jelas, kini dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang,
dibuai sedih oleh kesepian, dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ini ada
hubungannya dengan percakapan tentang jodoh dengan ibunya tadi?
Masih
terngiang jelas di telinga Kun Hong suara yang nikmat tadi. Dia masih juga
duduk bersimpuh ketika dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat
itu dengan langkah-langkah gontai. Setelah langkah itu tak terdengar lagi dan
keadaan di situ benar-benar sunyi tiada orang, Kun Hong melangkah ke luar dari
tempat sembunyinya. Bagaikan didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh
besi sembrani, kedua kakinya melangkah ke arah tempat di mana dara tadi
bernyanyi.
Tongkatnya
tertumbuk pada sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang
halus dan dingin. Bau harum yang tadi masih mengambang di udara di sekitar
tempat itu, kini lebih terasa. Kun Hong meraba bangku dingin halus, lalu duduk
menghadapi meja, termenung.
Tanpa
disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus di atas meja.
Sapu tangan sutera! Agak basah dan hangat. Air mata? Keringat? Seperti dalam
mimpi Kun Hong meremas sapu tangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya,
hatinya merasa khawatir kalau-kalau remasannya akan merusakkan benda halus
lemas berbau harum itu. Kemudian, dengan tangan gemetar sapu tangan itu dia
dekatkan ke mukanya, bau harum mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui
Bi terbayang dan muka Kun Hong menjadi merah sekali.
"Maaf,
Cui Bi... dia… dia terlalu luar biasa..." setelah berkata demikian ia
membenamkan mukanya ke dalam sapu tangan itu.
Ganda harum
semerbak sapu tangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk kemudian tenggelam di
alam lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap sapu tangan itu
pada mukanya, seakan-akan yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi
kekasihnya. Terluaplah segenap rindu birahi yang selama bertahun-tahun dia kekang,
dia bendung, dia tahan.
"Cui
Bi... Bi-moi... dewi pujaan... di mana kau...?" Kun Hong mengeluh,
menciumi sapu tangan dan beberapa butir air mata menetes dari sepasang mata
yang tak berbiji lagi itu.
Sedih perih
membuat dia merasa nelangsa sekali ketika sadar bahwa kekasih yang amat
dirindukannya itu telah tiada dan tak tertahankan lagi Kun Hong menitikkan air
mata yang membasahi sapu tangan sutera berganda harum itu. Betapa pun kuat
batin Kun Hong, dia tetap seorang manusia biasa. Sekali waktu tentu akan tunduk
dan kalah oleh arus perasaannya yang mencengkeram hati, mencengkam pikiran. Apa
lagi perasaan rindu dendam bagi seorang muda amatlah berat dilawan.
Kun Hong
pemuda gemblengan itu, yang biar pun sudah buta namun masih mempunyai kegagahan
dan kesaktian yang melebihi orang-orang melek, kini bagaikan dilolosi seluruh
otot di tubuhnya, lemas dan berlutut menciumi sapu tangan sambil menitikkan air
mata seperti lakunya seorang wanita berhati lemah!
Saking hebat
dia dipengaruhi perasaan sendiri, dia menjadi lengah dan pendengarannya tidak
dapat menangkap suara halus dari langkah kaki yang mendekati tempat itu, bahkan
yang kini datang menghampiri dirinya. Langkah halus dan ringan dari sepasang
kaki yang bersepatu merah, dan yang menghampirinya dari belakang.
"Pencuri
busuk, berani kau memasuki tamanku? Hayo berlutut di depan nonamu!" Suara
ini nyaring dan merdu, namun mengandung getaran galak dan tinggi hati.
Kun Hong
terkejut setengah mati, seakan-akan disendal dari dunia lamunannya. Dengan
gugup dia mencengkeram sapu tangan itu dan membalikkan tubuhnya dengan siap
siaga karena ia mendengar suara pedang dicabut oleh wanita yang memakinya ini.
Tongkatnya dipegang erat karena biar pun dari suaranya dia dapat mengenal
seorang gadis remaja yang amat galak, akan tetapi gadis ini dapat datang tanpa
dia ketahui, tanda bahwa ilmu kepandaiannya juga tinggi, maka dia harus siap
menghadapi bahaya serangannya. Akan tetapi gadis itu mengeluarkan seruan
tertahan pada saat melihat bahwa orang yang dibentaknya itu kiranya hanya
seorang buta. Ia mendengus penuh ejekan lalu menyimpan kembali pedangnya.
"Hah,
kiranya hanya seorang jembel buta! Sungguh tidak punya guna para penjaga itu.
Orang macam ini dikatakan menimbulkan onar? Hee, jembel buta, apakah kau
bersama seorang gadis yang datang ke pulau kami secara menggelap? Hayo berlutut
dan jawab baik-baik kalau tidak ingin nonamu turun tangan sendiri memberi
hajaran kepadamu!"
Mengkal
sekali rasa hati Kun Hong mendengar suara seorang dara muda begini galak
memaki-maki dan menghinanya, akan tetapi dia tetap tersenyum sabar, bangkit
berdiri dan menjura.
"Maaf,
Nona. Aku seorang buta yang tidak mengenal jalan tanpa disengaja telah tersesat
sampai di sini, harap Nona sudi memberi maaf."
"Maaf ?
Enak saja bicara! Orang luar yang berani memasuki pulauku ini tak boleh keluar
dalam keadaan hidup lagi. Kau jembel buta berani masuk ke sini dan seperti
orang mabuk menangis menciumi sapu tangan. Hemmm, kiranya kau selain buta juga
gila. Kau terlalu kotor untuk mampus di tanganku. Heeiii, A Man...!" Suara
memanggil ini amat nyaring, mengandung tenaga khikang yang kuat sekali sehingga
diam-diam Kun Hong kagum.
Kiranya
gadis galak ini mempunyai kepandaian yang hebat juga, terang tidak di sebelah
bawah tingkat Loan Ki! Dia makin terheran-heran mendapat kenyataan bahwa di
pulau ini terdapat dua orang gadis yang suaranya jauh berbeda seperti bumi dan
langit, namun yang keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat!
Suara seruan
seperti itu tadi tentu dapat mencapai jarak yang jauh. Benar saja, tak lama
kemudian terdengar suara orang menjawab berulang-ulang dan terdengar bunyi
langkah-langkah kaki berlari-larian ke tempat itu, langkah-langkah ringan
beberapa orang wanita. Kiranya pelayan-pelayan tadi, lima orang banyaknya
dengan A Man di depan, telah lari datang mendengar panggilan itu.
"Ah,
kiranya Siocia telah berada di sini...," terdengar gadis pelayan yang
bernama A Man berkata.
Dengan
pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat menangkap betapa dalam ucapan gadis
pelayan ini terkandung rasa takut dan tunduk, berbeda dengan ketika gadis
pelayan ini tadi bicara terhadap dara bersuara bidadari.
"A Man!
Apa saja kerjamu dan para pelayan ini di sini? Sampai dalam taman kemasukan
jembel buta gila kalian tidak ada yang tahu! Hemm, benar-benar kalian ini
masing-masing patut dihukum sepuluh kali cambukan."
"Ampun,
Siocia... hamba berlima tadi disuruh pergi oleh nona Hui Kauw... dan pada waktu
hamba pergi, di sini ada nona Hui Kauw sedang berlatih silat, tidak ada...
jembel ini... eh, itu adalah sapu tangan nona Hui Kauw! He pengemis buta, kau
telah mencuri sapu tangan nona Hui Kauw?"
Tiba-tiba
nona yang galak itu tertawa, dan suara ketawanya ini merdu sekali sungguh pun
bagi Kun Hong tetap saja mengandung sifat yang liar dan kejam.
"Wah,
kiranya enci Hui Kauw malah memberi sedekah sapu tangannya kepada pengemis buta
ini? Hi-hik, A Man, kau lihat, biar pun buta dan pakaiannya kotor, pengemis ini
masih muda dan wajahnya tampan juga, ya? Dan enci Hui Kauw memberikan sapu
tangannya kepada pengemis ini. Pemberian sedekah yang aneh, hi-hi-hik!"
Merah wajah
Kun Hong, apa lagi ketika mendengar betapa kelima orang pelayan itu pun
sama-sama turut tertawa mengejek. Timbul kemarahan dalam hatinya karena dia
merasa betapa gadis galak ini bersama pelayan-pelayan penjilat itu menghina dan
mentertawai Hui Kauw, dara bersuara bidadari itu. Dengan suara kereng Kun Hong
berkata,
"Kalian
jangan lancang mulut! Nona itu tidak memberi hadiah sapu tangan padaku. Sapu
tangan ini kutemukan di sini, tertinggal oleh nona itu tanpa disengaja.
Alangkah jahatnya kalian menyangka yang bukan-bukan dan menjatuhkan fitnah keji
kepada seorang gadis yang putih bersih!"
"Heee!
Kau membela enci Hui Kauw? Bagus, bagus... memang cocok kau dan ia. A Man, hayo
kau dan teman-temanmu mewakili aku memberi hajaran kepada pengemis buta ini,
pukul sampai dia minta-minta ampun dan suka mengaku bahwa dia adalah pacar dari
enci Hui Kauw!"
Kun Hong
mendengar suara langkah seorang di antara para pelayan itu maju dan disusul
bentakan suara pelayan ini yang tinggi melengking, "Pengemis buta, hayo
kau berlutut mentaati perintah siocia!"
Kun Hong
menggeleng kepala, bersandar kepada tongkatnya dan menggumam, "Kalian
jahat... aku tidak sudi mencemarkan nama seorang yang tak berdosa..."
"Keparat,
hayo lekas berlutut!" Sambaran angin sebuah tongkat mengarah kaki Kun
Hong. Pemuda buta itu tidak mengelak.
"Krakk!"
tongkat patah menjadi tiga potong.
Pelayan
wanita itu menjerit kesakitan, kemudian meloncat mundur dengan muka pucat.
Tongkatnya patah sedangkan telapak tangannya merah-merah dan terasa sakit.
Nona galak
itu mendengus mengejek. A Man berteriak marah, "Jembel busuk, kau tidak
mau berlutut? Kuhancurkan kepalamu!"
Kini pelayan
kepala ini yang mengayunkan sebatang tongkat ke arah kepala Kun Hong. Kali ini
Kun Hong hanya menggerakkan kepalanya ke samping dan sambaran tongkat itu tidak
mengenai sasaran. A Man semakin marah, sampai lima kali tongkatnya menyambar
kepala, namun selalu memukul angin!
Kembali nona
galak itu mendengus, lalu disusul suaranya penuh kemarahan, "A Man, kau
memalukan sekali. Kau yang memiliki dua buah mata tidak mampu mengalahkan
seorang yang tak bermata? Percuma saja kau memiliki dua buah mata yang melirik
ke sana-sini. Kalau ibu mendengar tentang hal ini, hemmm, kurasa kedua biji
matamu akan dicokel ke luar!"
"...ampun,
Siocia... biarlah kuhajar pengemis busuk ini."
"Nah,
keluarkan ngo-coa-tin (barisan lima ular)," berkata pula si nona galak
dengan nada memerintah. "Agaknya jembel buta ini berani masuk mengandalkan
kepandaian, hemmm, dia harus mampus."
"Srattttt!"
Lima batang pedang tercabut dari sarungnya hampir berbarengan.
Kemudian Kun
Hong mendengar langkah-langkah kaki lima orang mengurungnya, gerak langkah yang
teratur sekali dan langkah-langkah itu tidak pernah berhenti, terus mengitari
dirinya, malah di antara derap langkah ini terdengar suara mendesis.
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa lima orang pelayan wanita ini
mengurungnya dengan pedang di tangan kanan dan agaknya seekor ular di tangan
kiri. Dugaannya ini memang benar. Setiap orang pelayan memegang sebatang pedang
dan di tangan kiri mereka terdapat seekor ular hijau yang mendesis-desis sedang
lidahnya yang kehijauan itu menjilat-jilat ke luar.
Lima batang
pedang menyambar cepat dari lima jurusan dan merupakan lima macam serangan yang
berbeda-beda. Ada yang menusuk, membacok, membabat, dan lain-lain. Kun Hong
terhuyung-huyung lima kali, akan tetapi semua serangan itu mengenai angin
belaka.
Akan tetapi
pedang itu secara berantai susul-menyusul mengirim serangan cepat, malah kini
diselingi serangan dengan ular di tangan kiri yang menyambar ke depan dan
gigi-gigi meruncing mengandung bisa itu menggigit-gigit mencari korban!
Sementara itu, mereka masih terus melangkah berputar-putar di sekeliling Kun
Hong.
Diam-diam
pemuda buta ini merasa kagum. Barisan lima orang wanita ini benar-benar kuat
dan seorang ahli silat yang belum memiliki kesaktian, kiranya akan roboh binasa
biar pun agaknya mampu membalas dan merobohkan dua tiga orang pengeroyok.
Gerakan mereka amat teratur dan otomatis sehingga mereka akan merupakan satu
orang dengan lima batang pedang dan lima ekor ular!
Kun Hong
tahu bahwa terhadap serbuan pedang-pedang itu, dengan mudah dia akan bisa
menghindarkan diri, akan tetapi menghadapi lima ekor ular hidup itu amatlah
sukar. Ular tidak dapat disamakan dengan pedang, karena ular adalah makhluk
hidup yang memiliki gerakan sendiri dan sama sekali tidak menurut cara ilmu
silat.
Tentu saja
dia tidak mau terancam bahaya. Begitu serangan lima orang pengeroyoknya makin
menghebat, dia berseru panjang, tubuhnya lenyap terganti segulungan sinar merah
dan... lima orang pengeroyoknya itu riuh rendah menjerit dan berloncatan mundur
sambil terbelalak memandang kedua tangan mereka. Yang kanan memegang gagang
pedang, yang kiri memegang ekor ular berdarah. Ternyata pedang-pedang dan
kepala-kepala ular sudah putus dan menggeletak di atas tanah di depan kaki
mereka!
"Aha,
kiranya ada kepandaian juga si buta gila ini. Pantas saja begitu berani
memasuki Ching-coa-to. Minggirlah kalian budak-budak tak berguna, biar
kuhabiskan nyawa si buta sombong ini. Lihat bagaimana pedangku menembus jantungnya.”
Kun Hong
hanya mendengar suara halus, disusul tiupan angin ke arah hatinya. Dia kaget
sekali dan cepat mengelak selangkah ke kiri. Cara gadis ini mencabut pedang
saja sudah membuktikan bahwa gadis galak ini benar-benar amat lihai, malah
serangan pertamanya juga luar biasa cepatnya, hampir sukar ditangkap angin
sambarannya.
Kun Hong
tidak berani memandang rendah dan dia bersiap mempergunakan tongkatnya yang
berisi pedang Ang-hong-kiam. Seperti juga menjadi penyakit watak para ahli
silat lainnya, Kun Hong ingin pula mengetahui sampai di mana kepandaian gadis
ini dan ilmu silat apakah yang dimainkannya. Oleh karena ini maka dia bersikap
mempertahankan diri, terhuyung-huyung ke sana ke mari dalam langkah-langkah
ajaib untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang lawan yang amat lihai dan
cepat.
Dia makin
kagum. Gerakan-gerakan gadis ini halus dan lemas, mungkin kelihatan indah pula
seperti Ilmu Silat Bidadari yang dimiliki Cui Bi dan juga Loan Ki. Tetapi
sebenarnya terdapat perbedaan yang amat jauh karena ilmu pedang yang dimainkan
gadis galak ini mengandung unsur-unsur gerakan penyerangan seekor ular yang
sangat ganas dan liar. Gerakan berlenggang-lenggok, menggeliat geliat,
menyerang secara tiba-tiba dan kadang kala berdiam diri seperti ular melingkar,
benar-benar merupakan sifat-sifat seekor ular.
Memang
dugaan Kun Hong ini tidak keliru. Gadis itu sesungguhnya mempunyai ilmu silat
yang berasal dari ciptaan Si Raja Ular Giam Kin! Ilmu pedangnya sangat ganas,
keji dan juga curang sekali sehingga belum pernah dia mengalami kegagalan dalam
pertempuran. Akan tetapi kali ini dia bertemu gurunya!
Seperti yang
kita ketahui, di samping ilmu kesaktian yang dia terima dari Raja Pedang Tan
Beng San, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat, pada dasarnya Kun Hong mempunyai
ilmu silat yang pertama kali dilatihnya, yaitu Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat
Rajawali Emas). Tentu saja gerakan-gerakan seekor burung rajawali jauh lebih
hebat, bahkan mampu mengatasi gerakan seekor ular karena dalam kenyataannya
juga selalu seekor ular menjadi ‘mati kutunya’ kalau bertemu dengan seekor
burung rajawali.
Kalau Kun
Hong menghendaki, kiranya tidak sulit baginya untuk mengalahkan gadis galak
ini. Diam-diam dia pun girang karena mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis
ini juga amat lihai, malah lebih lihai dari pada Loan Ki, namun kiranya tidak
selihai gadis bersuara bidadari. Dia girang karena dia menyukai gadis bidadari
itu.
Dia mengerti
bahwa kalau dia mengalahkan gadis sombong dan galak ini, sudah tentu gadis ini
akan menjadi makin sakit hati. Padahal dia adalah seorang tamu tak diundang.
Dan apa bila dia membikin malu dan sakit hati, tentu seluruh isi pulau,
termasuk gadis bersuara bidadari akan marah dan memusuhinya.
Apa lagi
kalau mendengar dari kata-kata gadis ini tadi, agaknya gadis ini masih keluarga
dengan gadis yang bernama Hui Kauw, buktinya selain gadis galak itu menyebut
‘enci’, juga gadis ini menyebut ibu kepada nyonya yang oleh para pelayan
dipanggil toanio. Hui Kauw juga menyebut ibu kepada nyonya itu, apakah kalau
begitu gadis ini masih adik dari Hui Kauw? Sangat boleh jadi. Akan tetapi jika
betul adiknya, kenapa mengeluarkan fitnah keji dan malah agaknya gadis ini
membenci Hui Kauw?
"Nona,
sudahlah. Aku datang ke sini bukan mencari permusuhan, semata-mata karena salah
jalan...," Kun Hong mencoba untuk membujuk lawannya.
"Pengemis
buta banyak cerewet! Lekas berlutut minta ampun dan mengaku bahwa kau adalah
pacar enci Hui Kauw atau... kau mampus di ujung pedangku!" Gadis itu
berseru karena ia merasa berada di atas angin.
Memang
semenjak tadi Kun Hong hanya mengelak, malah jarang menangkis, tak pernah balas
menyerang sama sekali sehingga menurut pikirannya, juga dalam pandangan lima
orang pelayan tadi, pemuda buta itu repot menyelamatkan diri dan tidak mampu
balas menyerang.
"Keji...!
Dara remaja berwatak keji...!" Kun Hong berseru marah dan tiba-tiba sinar
pedang merah bergulung-gulung menyelimuti diri gadis galak itu.
Hawa dingin
menyambar-nyambar dan terdengar gadis itu beberapa kali menjerit karena merasa
betapa hawa pedang dingin menyambar di dekat leher, kepala, dada dan muka,
seakan-akan pedang yang tajam mengancam untuk mengulitinya! Ia heran, kaget,
takut, dan merasa seram.
Barulah ia
mengaku dalam hati bahwa orang buta ini kiranya mempunyai kesaktian yang begini
hebatnya. Dia berusaha mempertahankan diri, namun karena tangannya gemetar,
gerakannya lemah dan akhirnya dia menyerah saja sambil berloncatan karena ngeri
dan takut.
Pada saat
itu terdengar suara halus, "Hui Siang moi-moi (adik), kau bertempur dengan
siapa dan kenapa bertempur?"
Begitu
mendengar suara ini, tiba-tiba Kun Hong melompat jauh ke belakang, cepat-cepat
menghentikan gerakannya. Gadis galak bernama Hui Siang itu kini berdiri dengan
muka pucat, badan gemetar dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ngeri hatinya
jika membayangkan keadaannya tadi dan ia pun memandang kepada si buta dengan
terbelalak. Karena jelas baginya sekarang bahwa orang buta ini benar-benar
lihai luar biasa, ia tidak berani lagi bersikap seperti tadi.
"Enci
Hui Kauw... jembel buta inilah yang dikabarkan mengacau di pulau kita bersama
seorang temannya yang entah ke mana. Dia amat kurang ajar, tadi mengaku bahwa
dia adalah pacarmu, malah dia sudah memperlihatkan sehelai sapu tangan sutera,
katanya pemberianmu. Tentu saja aku menjadi marah dan lantas menyerangnya,
tetapi kiranya dia lihai... pantas dia begitu kurang ajar."
Berubah
wajah Kun Hong, berdebar hatinya dan dia menekan perasaannya yang hendak
terbakar oleh nafsu amarah. Gadis cilik ini benar-benar luar biasa jahatnya,
amat pandai memutar balikkan fakta dan melakukan fitnah keji ke kanan kiri
tanpa mengenal malu lagi. Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara A Man.
"Betul,
nona Hui Kauw, apa yang diucapkan oleh siocia tadi. Si jembel buta ini kurang
ajar sekali, menghina Nona dan kalau tidak salah, sapu tangan Nona masih berada
di saku bajunya..." Suara A Man ini disusul suara empat orang pelayan lain
yang membetulkan omongan ini.
Makin
mendidih darah di dalam dada Kun Hong, Hemmm, kiranya para pelayan ini amat
menjilat-jilat nona muda yang bernama Hui Siang. Dan mereka ini merupakan
sekutu yang diam-diam memusuhi Hui Kauw, si gadis bersuara bidadari. Diam-diam
dia merasa amat kasihan kepada nona bidadari yang suaranya sudah menggores
kulit dada menembus kalbunya itu.
Tiba-tiba
terdengar olehnya desir angin lembut dan tercium ganda harum semerbak yang amat
dikenalnya. Diam-diam dia kagum. Nona bidadari itu sekali menggerakkan tubuh
telah berada di depannya!
Dia
mendengar sambaran tangan diayun ke arah mukanya. Otaknya bekerja cepat. Tentu
nona yang bernama Hui Kauw ini marah dan merasa terhina, maka kini mengayun
tangan menamparnya. Hal yang wajar. Dia hanya mengerahkan tenaga menjaga tulang
muka karena maklum akan kelihaian nona bidadari ini. Sengaja dia tidak menjaga
kulit.
"Plakk!"
Kun Hong
merasa pipi kirinya panas-panas, telinganya mendengar bunyi mengiang, lalu
bibirnya merasa sesuatu yang asin, tentu darah yang keluar dari luka di
belakang pipi dan mengalir keluar dari mulutnya, merembet ke pinggir bibir. Dia
tersenyum, sama sekali tak merasa sakit hati atau marah karena dia yakin benar
bahwa nona itu memukulnya karena merasa terhina. Penghinaan yang paling berat
dan paling besar bagi seorang gadis.
Kun Hong
mendengar betapa gadis itu melangkah mundur empat langkah, lalu terdengar
suaranya marah dan menyesal, namun bagi Kun Hong tetap saja mengandung getaran
halus yang mencerminkan budi luhur.
"Orang
buta, Thian (Tuhan) sudah menciptakan kau menjadi buta. Bukankah itu cukup
untuk mengingatkan kau bahwa orang tidak boleh berbuat dosa? Masih kurang
beratkah hukuman yang jatuh kepada dirimu itu sehingga kau tidak segan-segan
untuk menambah dosa-dosamu dengan mengucapkan penghinaan terhadap diriku? Apa
salahku kepadamu dan mengapa pula kau yang baru sekali ini berjumpa denganku
datang-datang melakukan fitnah keji? Kau memiliki kepandaian, biar buta tentu
bukan seorang bodoh, jawablah!"
Tiba-tiba
saja Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona
bidadari itu betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena dia
merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan orang seperti nona bidadari ini.
Dugaannya tak salah, tidak keliru pula dia menjadi seperti tergila-gila. Memang
sesungguhnya nona ini seorang bidadari yang menjelma di permukaan bumi.
Bukan main
indah dan bersihnya ucapan itu. Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa
terbahak-bahak, hal yang baru kali ini dia rasakan dan lakukan semenjak dia
menjadi buta. Kemudian dia ingat bahwa mungkin sekali sikapnya ini menambah
perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri menghentikan
tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada sebagai
penghormatan seorang terpelajar, lalu katanya,
"Nona,
maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan
menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti
Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah
keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu dari pada rasa nyeri pada mukaku.
Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andai kata betul fitnah keji tadi, aku rela
dan patut dihukum mati." Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung,
"Tentu Nona tahu akan pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa
khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang dekat. Aku sama sekali
tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"
Agaknya
ucapan ini berpengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya
menjatuhkan marah terhadap seorang asing tanpa menyelidik terlebih dahulu. Dia
segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar.
"Adik
Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana
mungkin dia mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"
"Enci
Hui Kauw, kau malah membela dia? Uhh, benar-benar aneh apa bila kau malah
membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya, dia membawa sapu tanganmu, dari
mana dia dapatkan itu?" Kata-kata ini mengandung sindiran tajam,
seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan
tuduhan yang bukan-bukan.
Wajah Hui
Kauw merah, akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tadi aku berlatih
seorang diri di sini dan sapu tangan itu kugunakan untuk menghapus keringat,
kemudian aku pergi dan sapu tangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu
datang dan menemukan sapu tanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal
ini?"
"Tentu
saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku
melihat dia menciumi sapu tanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah amat aneh
kelakuannya itu, Enci yang baik? Dia mengaku pacarmu, dan melihat sapu tangan
itu... diciuminya... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."
"Bohong!
Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada enci-mu
sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak
marah.
"Jembel
buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu, lantas memukul
kepala Kun Hong.
Akan tetapi
hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin.
Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.
"Hui
Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dahulu.
Aku sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" kata Hui
Kauw yang melihat penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar
biasa sekali.
Diam-diam ia
pun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja
mengenai pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta
itu. Tetapi sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan
pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan
oleh si buta!
Hui Siang
membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau
membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu
datang mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang
ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada ibu, kalian berlima menjadi
saksi!"
Maka
pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis
ini amat penurut dan takut, malah sikap mereka amat menjilat-jilat. Kun Hong
mendengar langkah mereka cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu, dan dia
hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona bidadari yang masih berdiri
di depannya tanpa bergerak seperti patung.
Hening
sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula dengan Kun
Hong. Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas
panjang, tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan
memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik, mulai dari kepala sampai ke
pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.
Helaan napas
panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka
dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi.
Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang,
gadis galak itu? Kenapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia
berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi sapu tangan seorang nona yang
asing baginya?
Dengan hati
berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan sapu tangan sutera yang harum itu, lalu
melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan sapu
tangan itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,
"Ini
sapu tanganmu, Nona... maafkan aku... telah menimbulkan hal tidak enak
bagimu..."
Hui Kauw
menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali dia
menghela napas. Kemudian terdengar dia berkata, lirih dan seperti bicara kepada
diri sendiri, "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup
memang derita, banyak duka dari pada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa,
manis suka hanya sekejap mata.”
Kun Hong
tetap tunduk. Kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat ia nampak lebih
tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat
merasakan derita batin yang ditanggung nona muda ini.
Semuda itu,
sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak
kuasa membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong
mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang.
Agaknya
suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat
yang terlarang bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk
ke sini dan membuat keributan? Apa kehendakmu sebetulnya?"
Kun Hong
dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dan
penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya
sendiri. Nona yang bersuara dan berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa
perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik
napas dan menjadi makin kagum.
"Sesungguhnya,
tiada seujung rambut pun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona
Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada
penghuni Pulau Ching-coa-to ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki
yang telah merampas makanan dan minuman. Siapa kira perbuatan ini malah akan
berakibat panjang..."
Dengan
singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan, juga
penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta
maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak
menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu
ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya!
Mendengar
penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas.
"Alangkah
senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Juga alangkah
gembiranya sekali waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh
oleh petualangan, dapat meliar dan melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah
nona Loan Ki itu?"
"Bukan
apa-apa, hanya bertemu di perjalanan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan dia
adalah seorang gadis berjiwa pendekar."
"Ahh,
baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan
makanan walau pun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal,
akan tetapi berdasarkan pribudi yang mengandung welas asih. Ia tentu bukan
orang jahat."
Kembali Kun
Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara bidadari,
ucapan-ucapannya bijaksana laksana seorang ahli filsafat. Rasa kekagumannya
membuat dia lancang berkata, "Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona.
Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan langit..."
Hui Kauw
tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tidak dapat melihat
betapa senyum itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya
seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa
cantik jelitanya, sedangkan aku... aku seorang buruk rupa..."
"Nona,
meski pun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabui aku. Kau seribu
kali lebih cantik jelita dari pada adikmu..." Kembali ucapan ini terlontar
keluar dari bibirnya tanpa pengendalian, akan tetapi setelah sadar Kun Hong
tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.
"Pandangan
seorang buta... ah, andai kata kedua matamu bisa melihat, mungkin berbeda
ucapanmu... ahhh, alangkah besar inginku melihat engkau tidak buta untuk
sebentar saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi..." Nona itu
menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan
kekecewaan yang besar.
"Sahabat
buta, siapakah namamu?"
"Aku
Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."
"Hemmm,
kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri
belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa
buta... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau... eh, menangis dan
menciumi sapu tanganku. Betulkah itu?"
Jantung Kun
Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan keberatan untuk
berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapa pun juga. Akan tetapi kalau
kali ini dia membohong, berarti dia seolah-olah melontarkan fitnah kepada Hui
Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab.
Hening lagi sejenak.
"Kalau
begitu... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa... bahwa kau mengatakan aku ini
pacarmu?"
"Tidak...!
Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri... dengarkanlah
baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan
ibumu, aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan
aku juga mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Lalu
kau pergi... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan sapu
tangan itu di atas meja... dan aku... ahhh, mungkin aku sudah gila... aku
teringat akan seorang yang telah tiada di dunia ini, aku terharu... dan mungkin
aku menangis sambil menciumi sapu tangan itu. Kau maafkan aku, Nona, dan semoga
Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap dirimu,
maafkan aku."
Hening lagi
sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya... asmara yang
telah menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai yang berilmu tinggi, sampai
menjadi begini tentu akibat penderitaan batin. Hemmm, saudara Kwa, silahkan
duduk."
"Terima
kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku
mohon pertolonganmu supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas dari pada
bahaya. Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."
Pada saat
itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong
memiringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali
ini bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat
tinggi.
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga
heran karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya,
"Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka
hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"
Terdengar
suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat orang
tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang
yang tidak bermata!
Akan tetapi
Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan ini karena hatinya
diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu
dan siapa adanya mereka? Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan
Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya ditelikung ke
belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh
seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.
Pembaca
tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan
menjadi tawanan? Baiklah kita mengikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih
baik kita berkenalan terlebih dahulu dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan
para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman. Pemilik
Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan
Ching-toanio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk
disesuaikan dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau
(ching).
Biar pun
usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya
Ching-toanio adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dulu
ketika ia masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik
serta ilmu silatnya juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan sangat
cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang baik karena memang
dia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok
yang terkenal dan semenjak kecil sudah tertanam bibit kejahatan dalam batin Liu
Bwee Lan.
Dua puluh
tahun yang lalu, ketika dia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi
seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan lalu berdikari dan
menjadi perampok tunggal. Pada suatu hari, seorang diri dia melakukan perampokan
di kota raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat
yang berkepandaian tinggi karena sangatlah berbahaya melakukan perampokan di
kota raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai. Liu Bwee Lan ini dengan
nekat dapat merampok rumah gedung keluarga hartawan. Malah karena amat tertarik
melihat seorang anak kecil berusia kurang lebih satu tahun, dia lalu membawa
atau menculik bayi ini pula!
Akan tetapi
hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu
tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh
kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan
dan berwatak seperti iblis...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment