Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 05
Tokoh muda
ini bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena dasar kedua orang muda ini
memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan
pertolongan Giam Kin yang menyelamatkan dirinya, disambung dengan jalinan cinta
kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini. Giam Kin amat
mencinta Liu Bwee Lan dan begitu pula sebaliknya.
Meski Liu
Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan
tokoh itu, namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya dari
hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua
kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai
ular-ular berbisa.
Dalam
kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila padanya, Liu Bwee Lan malah
berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu dia minta dibuatkan
tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula
dengan ular-ular hijau berbisa!
Demikianlah,
sampai Giam Kin menjadi seorang yang cacat, kemudian tewas di puncak Thai-san,
Liu Bwee Lan akhirnya menjadi pemilik Pulau Ching-coa-to. Semenjak menjadi
pemilik pulau itu, wanita ini berganti nama menjadi Ching-toanio.
Hubungannya
Liu Bwee Lan dengan Giam Kin menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan
demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang
ia culik dari rumah keluarga hartawan di kota raja dan yang ia beri nama Hui
Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan,
ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu.
Orang
berwatak seperti Ching-toanio ini tentu saja kasih sayangnya yang sesungguhnya
hanya terjatuh pada anak kandungnya, Hui Siang. Ada pun kasih sayangnya kepada
Hui Kauw hanya pulasan atau palsu belaka dan seberapa dapat dia akan
mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri.
Malah ketika
Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu
dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak
pungut yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada
Ching-toanio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini.
Malah
kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi
anak sendiri, atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu
tergila-gila, Ching-toanio melakukan perbuatan yang amat keji, yaitu
malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw yang sudah
dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik
itu ketika pada keesokan harinya, pada waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit,
gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih
kemerahan dan halus seperti sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti
pantat kuali!
Dalam hal
ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan
itu tanpa ada perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai
pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh bila Hui Kauw
menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian jika dibandingkan dengan Hui
Siang karena otaknya memang lebih cerdik.
Karena
tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu selisihnya tidak
banyak dengan si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang
dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu silat sakti
yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang dia temukan di antara
kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas.
Ibunya
sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai
mendalam. Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah
pada waktu kecil ia merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru
sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh ibunya yang memaksa datang
seorang guru sastera terkenal untuk melatih sastera kepada Hui Kauw. Inilah
keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia
dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara
diam-diam dari kitab kuno itu.
Demikianlah
sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni pulau Ching-coa-to, yaitu
Ching-toanio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan
ini, di situ terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching-toanio memiliki
harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah
pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya.
Sekarang
kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan,
gadis lincah ini terjerumus ke dalam jurang pada saat ia sedang mencari jalan
menuruni lembah curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor.
Tanah
longsor ini bukan merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau
itu sudah dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan
daerah yang sukar dan berbahaya bagi orang-orang luar yang berniat akan
mengganggu. Tempat ini merupakan hasil dari pada pemikiran orang-orang luar
biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio serta dibantu oleh orang-orang
pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu dan
lain-lain.
Loan Ki
menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan
tubuhnya melayang amat cepat ke bawah. Ia berusaha menggunakan ginkang-nya
untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu
atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding karang sehingga
tubuhnya terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!
"Byurrr!"
Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru
saking dalamnya.
Untuk sedetik
Loan Ki gelagapan, kepalanya masih merasa pening karena kejatuhannya dari
tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa
di bawahnya adalah air. Andai kata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air,
kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia
berkecimpung semenjak kecil.
Ayahnya
tinggal di pantai dan laut adalah tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia
bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup
mulut serta hidungnya, kesadaran segera kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat
tangan dan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu
meluncur naik seperti seekor ikan hiu.
Akan tetapi
begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat ada enam orang
laki-laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki
yang kemarin menyerangnya! Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak,
agaknya terkejut dan heran luar biasa betapa ada seorang manusia jatuh dari
angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki.
Ia
menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ,
"Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti
ikan untuk siocia, kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu...
lucu... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan
beberapa pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"
Loan Ki
melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar
mata mereka kurang ajar. Agaknya perintah itu sangat menyenangkan hati mereka
dan setelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil
tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah
sekarang ia sengaja seperti orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.
"Heiii,
tunggu, aku akan menolongmu, Nona manis!" teriak seorang lelaki yang
berenang cepat sekali.
"Sam-ko,
biarkan aku yang pondong dia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.
"Hayo,
kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dahulu dialah yang berhak
mendapat upah, memondongnya ke tepi!" kata orang yang ke tiga dan ramailah
mereka berlomba dan mulai menyelam.
Akan tetapi
sama sekali tidak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini benar-benar mereka
akan menghadapi seorang ‘iblis air’. Begitu mereka menyelam dan meluncur ke
sana ke mari untuk menangkap gadis yang ‘tenggelam’ tadi, tiba-tiba saja di
depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya
bayangan ini meluncur lewat.
Kagetlah
mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang sangat berbahaya. Mereka mulai hendak
timbul kembali ke permukaan air, menjauhi bahaya pada waktu ‘ikan besar’ itu
menyerang mereka.
Jika saja
peristiwa itu terjadi di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka
mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki
itu saja yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya
terjadi pergumulan hebat.
Tak lama
kemudian, tampaklah kepala enam orang pembantunya tersembul ke luar, lalu
berenang ke pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek
itu sibuk membantu mereka, menyeret mereka yang datang lebih dulu ke darat
karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik sendiri.
Bukan main
keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah
tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka.
Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting
besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah
seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya
menakutkan!
"Eh-ehh-ehhh,
kalian ini kenapakah? Kenapa begini...?"
"Celaka...
anak iblis itu... agaknya ia anak siluman telaga... ikan-ikan mengeroyok
kami... waduh, celaka...!" seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah
sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai hancur
berkeping-keping.
Nenek itu
marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka penakut, tolol, goblok
dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di tepi
telaga muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah
benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu.
Merasa ada
sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut
menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar
benda yang lunak-lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya
seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup, sebesar lengan tangan,
menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan
terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!
Sudah tentu
saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah
mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, tetapi dia selamat,
tidak terluka dan buntalan pakaian berikut mahkota kuno itu masih berada
padanya.
Sambil
memeras pakaian serta rambutnya, dia mengenangkan semua kejadian tadi dan
tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada
Kun Hong sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh
semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di
dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tidak berani melakukan
pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu!
Hatinya
girang bukan main karena sekarang dia sudah sampai di tepi telaga. Kalau ada
perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Tetapi, bagaimana ia dapat
meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang buta itu datang ke pulau ini atas
desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku harus
mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya!
Ia mendongak
memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tak melihat bayangan pemuda buta itu.
Di depannya adalah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon buah. Amat girang
hatinya melihat beberapa pohon penuh dengan buah yang sudah matang. Segera ia
meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon
yang tinggi.
Tiba-tiba
telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua
orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan di belakang
seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk jalan.
Seorang di
antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar yang berpakaian pendeta
berwarna kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang
berat. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun,
bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar. Pakaiannya mewah
sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung
pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan
besar dan berkepandaian tinggi.
Akan tetapi
Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa
pulau ini mengandung banyak rahasia, sulit baginya untuk dapat mencari Kun
Hong. Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat
mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap.
Cepat ia
merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa
dua orang laki-laki itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lalu
menyelinap di antara pepohonan mengikuti ketiga orang itu dengan hati-hati.
Karena ia tidak berani mengikuti dari jarak dekat, ia tak dapat mendengar jelas
apa isi percakapan dua orang itu.
Dengan
melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tidak mungkin akan dapat ditemukan
sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil
yang bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi
petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki
bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu.
Loan Ki
menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ
sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak
penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan
akhirnya ia bisa bersembunyi di balik jendela dan dapat mengintai serta
mendengarkan percakapan di dalam.
Kiranya
bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan saja yang bentuknya bundar, ruangan
yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup dan sengaja ditanam di sana.
Sedikitnya ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah
meja yang besar serta berukir dan pula, disulami sutera tebal berwarna kuning
emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan
indah serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan
tempat kediaman orang kaya.
Akan tetapi
semua kemewahan itu sama sekali tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal
ayahnya pun tak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya
adalah orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki
yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.
Seorang di
antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tubuhnya kecil kurus
seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan
bahwa dia adalah seorang Bangsa Mancu.
Yang tiga
orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang dengan
perawakan yang ramping menarik. Kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang
lebih tiga puluh tahun. Dari senyum dan lirikan mata mereka pada saat menyambut
kedatangan dua orang ini, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang
‘besar’ dalam arti kata berpengaruh di dunia kang-ouw sehingga sikap mereka
tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong.
Berbeda
dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di
tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat-cepat bangkit berdiri serta
membungkuk menyambut kedatangan hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.
"Selamat
datang... selamat datang... Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!"
Dia menjura dengan sikap menghormat.
"Oho,
kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu
tertawa bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.
Laki-laki
tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma
sambil berkata, suaranya tenang dan sikapnya dingin, "Saudara Bouw Si Ma,
aku adalah Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran
segala."
Bouw Si Ma
tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri... orang
sendiri... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari
kuperkenalkan..."
Akan tetapi
hwesio tua itu segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidak sabaran
hatinya.
"Bouw-sicu,
pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to. Mengapa
sekarang Ching-toanio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan
orang-orang lain untuk menyambut pinceng? Apa artinya penghormatan seperti
ini?"
Jelas bahwa
biar pun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak
memandang sebelah mata kepada orang lain. Terang terhadap Bouw Si Ma tidak,
juga terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak. Sebagai
seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk membicarakan urusan
rahasia yang sangat besar, agaknya dia merasa kecewa sekali tahu-tahu kini di
tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing.
Kalau
Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia
mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak-thian Lo-cu ini. Akan
tetapi tiga orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa
mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benar-benar membuat hwesio itu
merasa tak senang hatinya.
Tiga orang
wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara
mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua,
berkata,
“Taisu
tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti
tadi telah diberi tahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong. Jiwi adalah
orang-orang besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik
yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan tetapi, betapa rendah
pun, kami adalah undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa
yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu,
Taisu? Hemm, dia itulah yang tidak diundang, maka wajib disingkirkan."
Loan Ki
kaget bukan main ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam
ruangan itu. Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tamu tak
diundang’ oleh wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan.
Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat
sepasang matanya terbelalak heran dan hatinya berdebar-debar.
Ia tidak
tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu
bergerak ke depan dengan telunjuk menuding, kemudian terdengar angin kecil kuat
menyambar ke depan, mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika
mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang
tadinya merayap di atas jendela.
Ketika ia
memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada
di tempat semula, akan tetapi sudah tidak bergerak lagi dan dua titik darah
menetes dari perutnya!
"Omitohud...!
Bukankah itu ilmu yang disebut Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang
Terbang)?"
Kemudian
hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang sudah menjadi
muridnya sambil berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng
(pendeta asing) di Thian-tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan
hoat-sut (ilmu sihir), amat berbahaya dan jika tingkatnya sudah tinggi, hawa
pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa perlu menggunakan
pedang sekali pun. Melihat toanio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa
pedang, sungguh-sungguh mengagumkan dan sudah sepantasnya kalau mereka bertiga
juga turut diundang oleh Ching-toanio. Aha, siapa kira orang-orang muda kini
mendapat kemajuan begini hebat? Pinceng orang tua benar-benar sudah pikun,
tidak sadar bahwa dunia ini semakin lama tentu akan dikuasai oleh yang
muda-muda... ha-ha-ha-ha!"
Melihat
perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil
tersenyum, "Benar pendapat Taisu. Sam-wi Lihiap ini bukan lain adalah Ang
Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."
"Benarkah?
Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi adalah
sumoi (adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang
Hek-hwa Kui-bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak
Thai-san dan roboh."
Orang tertua
dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Suatu saat kami bertiga
yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang sudah merobohkan
mendiang Hek-hwa suci (kakak seperguruan)."
Ka Chong
Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat
duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang serta mendengar semua ini dengan hati
berdebar.
Setelah
mereka duduk, dia memandang penuh perhatian pada enam orang itu yang mulai
minum-minum, dengan dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan
cantik-cantik serta berpakaian sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa di
dalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin khawatirlah dia karena
sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda
buta itu pergi meninggalkan pulau berbahaya ini.
Kekhawatiran
Loan Ki memang beralasan sekali. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh
besar yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu
bukanlah orang sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di
utara, yaitu Pak-thian Lo-cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-san.
Seperti Ang
Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka, juga Bouw Si Ma ini
menaruh dendam terhadap Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid
Pak-thian Lo-cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid
Siauw-ong-kwi karena Siauw-ong-kwi adalah sute (adik seperguruan) Pak-thian
Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan
pula.
Sebagai
saudara tingkat tua di dalam perguruan, tentu saja Bouw Si Ma mengenal pula
Ching-toanio dan sering kali mengunjungi pulau ini, apa lagi semenjak Giam Kin
tewas di puncak Thai-san. Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara
Bouw Si Ma dan Ching-toanio. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap
Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi
maka sering kali mereka mengincar kedudukan di kota raja semenjak terjadinya
kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah kaisar pertama dari Ahala Beng
meninggal dunia.
Tiga orang
wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan
hitam dan selama belasan tahun mereka merantau ke See-thian (dunia barat)
sehingga mereka tidak tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek-hwa Kui-bo yang
tewas pula di Thai-san.
Kini ketiga
orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman. Akan
tetapi selain mereka pelajari ilmu kepandaian yang hebat, seperti juga halnya
Hek-hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan
tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh
tahun!
Setelah
merantau ke See-thian dan bertemu dengan guru mereka, yaitu seorang pendeta di
Thian-tiok yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa
Sam-cimoi meningkat hebat sehingga melampaui tingkat kepandaian Hek-hwa Kui-bo
sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui Ciau, Kui Biau, dan Kui
Sian.
Bouw Si Ma
yang mewakili Ching-toa-nio dalam hal mencari orang pandai untuk sekutu, dengan
amat cerdiknya segera menggandeng tiga orang enci adik ini. Apa lagi mengingat
bahwa mereka bertiga juga memiliki dendam yang sama di Thai-san atas kematian kakak
seperguruan mereka.
Tentang
kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan
yang amat hebat. Ilmu ini merupakan inti dari pada Ilmu Pedang Hwa-seng
Kiam-sut, yang telah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan kekuatan
hoat-sut, hawa pukulannya saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang.
Orang
berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih
keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang
Pangeran Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan
kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang
kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu
ini.
Ia bernama
Sublai dalam Bahasa Mongol, dan dalam dunia kang-ouw dia menggunakan nama Han
dan disebut Souw Bu Lai. Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau
dibandingkan dengan orang-orang Mongol kebanyakan, karena gurunya merupakan
tokoh Mongol nomor satu.
Sebagai
orang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya
atas daratan Tiongkok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga
dia sekarang menjadi seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai
memainkan delapan belas macam senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan
anak panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.
Pendeta
tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, yaitu seorang
pendeta Buddha yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah pernah menerima
hadiah tongkat kependetaannya di Tibet. Sayang seribu kali sayang bahwa Ka
Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung
cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha.
Dulu dia
bercita-cita menjadi orang yang tertinggi kedudukannya di samping kaisar
melalui keagamaan. Sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia
lalu bercita-cita untuk membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu Lai yang
menjadi muridnya.
Sering kali
dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya itu
menjadi kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai
kekuasaan yang malah melebihi kaisar sendiri!
Pendeta ini
mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi dari pada
tingkat si empat besar yang dulu ditonjolkan di dunia kangouw, yaitu
Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang si tokoh
timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek-hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat
pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan
kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat dari pada baja pilihan di
Himalaya, juga amat berat tapi kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu
ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali!
Pokoknya,
enam orang yang tengah berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai
kepentingan bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu berusaha membalas
dendam kepada Thai-san-pai dan usaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol
yang sudah runtuh.
Setelah
beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menunggu
datangnya Ching-toanio yang sudah diberi tahu oleh salah seorang pelayan,
muncullah Ching-toanio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau
ini segera menjura dengan hormat sekali sambil berkata,
"Harap
cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada
sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya
sudah mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku. Mereka adalah seorang
laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu
adalah mata-mata pihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."
Mendengar
ucapan nyonya rumah ini, otomatis keenam orang itu mengerling ke sana ke mari
dengan pandang mata penuh selidik.
"He-he-he,
gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.
"Iblis
betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.
Sebelum yang
lainnya tahu apa yang mereka maksudkan itu, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu
mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang
mencelat ke arah jendela pula.
"Brakkkkk!"
Angin
dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat
Ngo Kui Biau sudah meloncat masuk kembali sambil melemparkan tubuh seorang
gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan
Ki!
Gadis ini
berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di
atas lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguh pun kedua
matanya masih terbalalak lebar saking heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar
pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah
jendela.
Cepat ia
merendahkan diri untuk mengelak, akan tetapi angin pukulan itu membuat daun
jendela pecah dan tiba-tiba saja ada berkelebat bayangan merah menyambarnya.
Loan Ki berusaha mengelak, akan tetapi gerakan bayangan itu bukan main cepatnya
sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap kemudian ia merasa tubuhnya
melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan
betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu.
Loan Ki
maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini. Akan
tetapi dia tidak memperlihatkan muka takut, malah tersenyum-senyum kecil dengan
mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.
"Bocah
liar, siapa yang suruh kau memata-matai pulau kami?!" Ching-toanio
menghardik, suaranya penuh ancaman.
Loan Ki
mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan
mata-mata. Aku sengaja datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya,
tidak punya niat buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?"
Pertanyaan
itu dia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh
kagum. Bukan main bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau goa
naga masih saja begitu tenang dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga
bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau setidaknya murid orang
pandai.
"Akulah
pemilik pulau ini. Kau mau apa?!" Ching-toanio membentak.
"Wah,
tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja
semua orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang
bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena
kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu.
Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Ada pun aku sendiri
ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang
kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"
Tiga orang
laki-laki yang berada di sana tersenyum, bahkan Ka Chong Hoatsu tertawa
bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis
lincah dan cantik ini telah menyuramkan ‘sinar’ mereka, memandang acuh tak
acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.
"Budak!
Kau berani kurang ajar di hadapan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan
hidup?" teriak Ching-toanio.
Bagaikan
seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk
mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, langsung
mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki.
Hampir saja
Loan Ki tak dapat menghindarkan diri bila ia tidak cepat-cepat menggunakan
gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sulit dari ilmu silat
keturunan Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya mencelat seperti dilemparkan ke atas, lalu
menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya.
Gerakan yang
cepat ini menyelamatkannya, akan tetapi angin pukulan yang dilontarkan nyonya
itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada pada punggungnya.
“Brettt!”
Terdengar
suara dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah,
terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi
dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan
kainnya kembali.
"Oho!
Bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she
Tan?" terdengar suara parau dari Souw Bu Lai.
Sebagai
seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka
kerajaan, maka sekali melihat dia telah mengenalnya, apa lagi karena hilangnya
mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kang-ouw.
Akan tetapi
gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran ketika melihat cara Loan Ki
bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi. Maka, ketika dia
melihat Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini
cepat berseru, "Toanio, tahan dulu!"
Tentu saja nyonya
itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka
Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki, "Nona
cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li Kun-hoat (Ilmu Silat
Bidadari)?"
"Hemmm,
bagus jika kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau
menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum
kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal
pun sudah terlambat!"
Loan Ki sengaja
membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapa pun juga ia tak akan mampu
melawan. Baru seorang nyonya galak itu saja sudah begitu hebat, apa lagi yang
lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai
jurusnya. Dari pada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang
rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja
ini.
"Aha,
bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada
hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"
Dara itu
makin angkuh. Sambil mengangkat dada dan mengedikkan kepala serta meraba gagang
pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata
seakan-akan berkata, "Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana
bisa disamakan dengan aku?"
Akan tetapi
mulutnya berkata bangga. "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama
mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal,
biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini."
Souw Bu Lai
tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak
mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh birahi. Tetapi alangkah kagetnya
hati Loan Ki ketika dia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan
mata, membuatnya berkejap beberapa kali. Ketika ia membuka mata, kiranya
Ching-toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di
depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.
"Budak
liar! Hayo lekas katakan, kau ini apanya ketua Thai-san-pai?" bentak
Ching-toanio, suaranya mengandung ancaman maut.
Biar pun
lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik
dan otaknya tajam. Dia sering kali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan
Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu pula bahwa ketua
Thai-san-pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apa lagi dari golongan
hitam.
Setelah
berpikir beberapa detik lamanya, dia lantas tertawa dengan nada sombong sekali.
"Hi-hi-hik, biar pun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai
membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya
untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus
serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia
mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada
seorang muda sepertiku? Apakah kalian hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu
malu!"
Kembali Ka
Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin
tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini. "He, bocah nakal!
Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui?"
Tanya Ka Chong Hoatsu.
"Hemm,
hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik. Majikan
yang menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui
adalah ayahku, dan nonamu Tan Loan Ki ini adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa
yang berani menentang ayahku?"
"Ha-ha-ha,
Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona
cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!" kata hwesio tua itu
dan semua orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui.
Mereka
menarik napas lega kemudian menyimpan senjata masing-masing sambil mundur.
Ching-toanio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan
tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja
ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan
orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai
kepentingan serupa dengan dia.
Pertama, dia
tahu persis bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik
kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua,
dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui
bersekutu.
Sebagai
seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong
Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki sambil berkata,
"Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa,
bukankah orang bilang bahwa kalau tidak bertempur dulu takkan saling mengenal?
Ayahmu dengan kami adalah segolongan, karena itu tidak bisa kami memusuhimu.
Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan,
bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno itu?"
Loan Ki
tidak goblok untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Ia pun tersenyum ramah dan
berkata, "Wah, ayah tentunya girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya
sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Bagus, dan karena
cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, maka biarlah aku mengaku terus
terang. Mahkota ini telah dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar
yang mencurinya dari istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk
kuberikan kepada ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini.
Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu
merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar jumlah mereka ditambah sepuluh kali,
tidak akan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena sudah
kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-coa-to."
Bagai lagak
seorang anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang sebetulnya tak pernah
terjadi, yaitu tentang pengeroyokan. Padahal kalau tak ada Kun Hong, mana
mungkin ia bisa mendapatkan mahkota itu?
"Ho-ho,
memang tidak mudah, tapi bolehkah pinceng melihat sebentar?" Tongkat
hwesio itu menyelonong ke depan. Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan
tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain
detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!
"Ha-ha-ha,
tenanglah, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah
benar-benar ini mahkota yang asli."
Dengan enak
hwesio itu mengambil mahkota, lalu melihat-lihat dan bergantian dengan
orang-orang yang berada di situ, mengagumi keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki
hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati.
Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena ternyata hwesio tua itu
sepuluh kali lipat lebih lihai dari padanya.
Setelah
semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh
hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya
dengan muka cemberut. "Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio,
lain kali aku balas!"
Ka Chong
Hoatsu hanya tertawa bergelak. Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan
Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan bulat-bulat
gadis ini. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau
kelaparan itu.
"Kau
mau apa?" tanya Loan Ki dengan alis berkerut.
Souw Bu Lai
tersenyum, giginya yang putih berkilat di balik kumis panjang, kumis model
Mongol. "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah
lama kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku..."
"...kau
Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau
percaya!" tukas Loan Ki galak.
Souw Bu Lai
tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memang,
aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran yang berasal dari Mongol. Ayahmu
adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau,
Nona."
"Wah,
sudahlah, aku tak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari
sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah
perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, pulang kembali ke
darat."
"Kau
datang tanpa diundang, pulang pun tidak usah minta diantar," jawab
Ching-toanio cemberut.
"Hi-hi-hik,
kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tak boleh pinjam, curi
pun masih bisa." Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan
tangan ke arah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok
itu...
Hampir saja
ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang sangat cepat
gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya ke kiri sedangkan orang yang lari itu
pun tiba-tiba berhenti, begitu mendadak dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki
memandang heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya sanggup
dilakukan oleh orang pandai.
Keduanya
berpandangan sejenak dan tanpa terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji,
"Aduh cantiknya..."
Orang yang
berlari itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya
sebaya dengan Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun. Memang
Hui Siang luar biasa cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi. Wajahnya
terawat baik atas bantuan pelayan-pelayan ahli. Pakaiannya selalu mentereng
sehingga biar pun ia puteri seorang pemilik pulau, akan tetapi sekali melihat
orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang puteri keluarga kaisar di
istana!
Maka
tidaklah heran apa bila Loan Ki segera memujinya, sungguh pun dia sendiri
adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki sendiri tak
akan kalah baik bentuk wajah mau pun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan
Hui Siang. Akan tetapi oleh karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang
suka merantau sehingga kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja
kulitnya kalah putih dan kalah halus, juga pakaiannya kalah baik.
Hui Siang
adalah seorang dara manja dan wataknya sangat galak dan sombong. Karena hampir
saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki, "Budak
hina! Apakah matamu buta? Ehhh, apakah kau pelayan baru? Belum pernah aku
melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!"
Loan Ki
mendongkol sekali. Ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk
balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata,
"Ibu, celaka sekali, Ibu. Enci Hui Kauw sudah membikin malu kita, sekali
ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-bisa nama keluarga kita terseret ke
dalam lumpur!" Gadis ini mengerling ke kanan kiri seakan-akan tidak
mempedulikan orang-orang yang berada di situ.
Sekali lagi
sepasang mata Souw Bu Lai berkilat-kilat ketika dia melihat Hui Siang.
"Hui
Siang, kau bicara apa? Apa yang telah terjadi?" Ching-toanio berkata,
kemarahannya terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan
bernyala kembali.
"Ibu
ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini? Nah, yang seorang
kudapati berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi
celakanya... ia berpacaran dengan enci Hui Kauw!"
"Hui
Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!" ibunya membentak marah.
Biar pun di
dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup
mengenal tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan
seorang jembel buta.
Hui Siang
cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh ibunya
yang biasanya memanjakan. "Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong? Biar
aku mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan sapu tangan suteranya
kepada si jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel
menciumi sapu tangan itu. Aku marah dan menyerangnya, ehhh... kiranya dia
pandai dan dapat menghindarkan seranganku. Kemudian muncul enci Hui Kauw, dan
enci Hui Kauw malah membela jembel buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan
bukti-bukti yang cukup jelas...?"
"Waahhh,
mata keranjang! Tidak punya mata tetapi bisa mata keranjang, apa yang lebih
aneh dari pada ini? Dasar laki-laki!" Yang berkata demikian adalah Loan Ki
yang segera melompat keluar hendak mencari Kun Hong. Hatinya mendongkol sekali
mendengar penuturan nona cantik tadi dan ia sendiri pun tidak mengerti mengapa
ia merasa iri, gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran
dengan seorang gadis di dalam taman. Menciumi sapu tangan sutera?
Terbayanglah
di depan mata Loan Ki semua pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur,
teringat betapa dalam keadaan bahaya maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh
pemuda buta itu, dihibur, dielus-elus rambutnya, diciumi rambutnya. "Dasar
tukang cium...!" Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang
mengkal.
Tiba-tiba
ada angin berkesiur di sebelahnya, tahu-tahu di depannya sudah menghadang tubuh
laki-laki tinggi besar. Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandang
dirinya sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan
besar. "Nona, kau tak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk
membicarakan hal yang amat penting," katanya sambil mendekat.
Loan Ki yang
sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah hendak menyerangnya. Akan tetapi
ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan
berada di belakangnya. "Aku tidak sudi!" katanya setengah membentak.
"Biarkan aku jalan sendiri!"
"Tidak
bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang akan
menghubungkan kami dengan ayahmu," kata pula Souw Bu Lai.
Sebelum Loan
Ki menjawab, tiba-tiba dia mendengar sambaran angin dari belakangnya. Cepat ia
miringkan tubuh membalik, kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar dan
menyerangnya. Ia kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi
tiba-tiba saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang
lalu dibelenggu!
Gerakan Souw
Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan penangkapan ini cepat dan hebat luar
biasa, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekali pun
sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.
"Monyet-monyet
tua muda, kalian ini mau apa membelenggu dan menangkap aku? Kalian curang,
pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai seribu
jurus!" dia memaki-maki.
"Cih,
budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular
kita, Ibu?" Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata
mendelik.
Bergidik
juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus
dijadikan umpan atau kurban di dalam sumur dikeroyok oleh ratusan ular, dia
benar-benar merasa ngeri. Kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut
kalau-kalau ia benar-benar dilempar ke dalam sumur penuh ular yang amat
menjijikkan!
"Ha-ha-ha-ha,
dia puteri Sin-kiam-eng, mana boleh dibunuh?" Ka Chong Hoatsu berkata.
"Pinceng sangat curiga terhadap sahabat yang buta itu, karena itu
sementara ini pinceng membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan
kerewelan. Ching-toanio, mari kita ke taman menemui orang buta itu."
Beramai
mereka lari ke taman bunga, mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki
tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat dua
tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel
dan menyumpah-nyumpah Pangeran Mongol itu yang hanya tertawa saja. Diam-diam
gadis ini mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi
jengkel sekali, ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri.
Kejengkelan
bertumpuk di hati Loan Ki. Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong
berpacaran dan menciumi sapu tangan seorang gadis bernama Hui Kauw. Ke dua
kalinya karena dia merasa kecil tak berdaya menghadapi orang-orang di dalam
pulau ini, dan ke tiga kalinya sekarang dia menjadi seorang tawanan, dibelenggu
layaknya seekor domba!
Awas kalian
semua, demikian ia menyumpah-nyumpah, sekali ayahku kuberi tahu tentang
penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik, dihancurkan, dan dibasmi oleh
ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi habis, pulau ini
dibumi hanguskan, tidak ada seorang pun manusia atau seekor pun makhluk yang
dibiarkan hidup! Akan tetapi, di balik ancamannya ini, dia sendiri ragu-ragu
apakah ayahnya akan sanggup menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh,
terutama sekali hwesio tua itu.
Akhirnya
mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan
dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tidak dapat menahan mulutnya lagi
yang lantas berteriak-teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki
berseru menegur Kun Hong, "Haaiii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau
berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang, akan
tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-ko!"
Tentu saja
Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki
ini. Ia tidak pedulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan
segera melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,
"Ki-moi!
Kau selamat? Syukurlah!"
"Hong-ko,
kau benar-benar tak punya liangsim (pribudi)! Aku terjerumus ke dalam jurang,
hampir mampus, menerima hinaan orang, akan tetapi kau... kau malah berpacaran
dan enak-enak senang-senang di sini. Wah, sahabat macam apa kau ini?"
Muka Kun
Hong merah sekali sampai ke telinganya. "Ki-moi, jangan kau percaya akan
fitnah orang. Tidak ada yang berpacaran di sini! Dan kau, siapakah orangnya
yang berani menghinamu?"
Sebelum Loan
Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka, terdengar suara bentakan
marah dari Ching-toanio yang mengagetkan mereka hingga memaksa mereka
mengalihkan perhatian. Ching-toanio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan
suara penuh kemarahan.
"Bocah
keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang
balasanmu terhadapku? Berjinah dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman
dan mencemarkan nama baik keluargaku? Keparat, perempuan hina!"
"Plak-plak-plak!"
Terdengar oleh
Kun Hong suara tiga kali, diikuti keluhan perlahan. Meski pun tidak dapat
melihat, dia dapat menduga bahwa muka dara bersuara bidadari itu sudah ditampar
tiga kali oleh si ibu yang galak.
"Ibu...
maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan... dan aku sama sekali
tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang
buta ini telah memasuki taman dan menemukan sapu tanganku yang tertinggal di
sini. Harap ibu jangan mempercayai segala fitnah keji..."
"Setan,
kau malah balik menuduh Hui Siang membohong? Perempuan tak bermalu kau! Adik
sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi
adikmu? Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas
hutang-hutangmu kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan
nyawamu!"
"Srrrrrttt!
Singgggg!"
Bunyi pedang
berdesing memecah angin, menyambar ganas dan menimbulkan cahaya berkilauan. Tak
seorang pun di antara para tamu berani mencampuri urusan antara ibu dan anak.
Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa pedang di tangan nyonya
yang galak dan lihai itu meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah leher si
nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikit pun tak bergerak
seakan-akan sudah rela untuk menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang
yang akan memenggal lehernya serta maut yang akan merenggut nyawanya.
Pada detik
berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan
berkelebat.
"Criinggggg!"
Pedang di
tangan Ching-toanio tahu-tahu sudah buntung, ujung pedang melayang ke atas
entah ke mana sedangkan sisanya masih terpegang oleh Ching-toanio, menggetar
dan mengeluarkan bunyi!
Ching-toanio
berdiri laksana patung, terbelalak kaget, juga orang-orang yang berada di situ,
kecuali Loan Ki yang memandang marah, mengeluarkan seruan heran dan terkejut.
"Wah,
kau betul-betul membelanya, Hong-ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh
seorang gadis muka hitam!" Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan.
Akan tetapi
Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak mempedulikan teriakan Loan Ki
ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan
mukanya itu. "Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang
hendak membunuhmu?"
Ucapan Kun
Hong selain mengandung perasaan kasihan, sekaligus merupakan teguran. Memang
jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara bidadari
ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak
cepat.
"Saudara
Kwa, dia... dia ibuku..." jawab nona itu dengan suara lemah mengandung
isak tertahan.
Kagum hati
Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi mulia, berhati
baja. Tapi dia penasaran, mengapa ibunya seperti itu?
"Dia
bukan ibumu!" Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan
hatinya.
"Heeee?
Saudara Kwa... bagaimana kau bisa tahu akan hal ini...?"
"Dia
tidak mungkin ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekali pun
tak akan mungkin membunuh anaknya, apa lagi seorang ibu. Akan tetapi ia tadi
benar-benar hampir membunuhmu. Ia bukan ibumu!" suara Kun Hong lantang.
Sementara
itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan
Ching-toanio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan
Ka Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai di mana
kelihaian ilmu pedang Ching-toanio yang sudah jarang dapat ditandingi oleh
kebanyakan ahli silat ternama. Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi,
dengan sekali tangkis dapat mematahkan pedang Ching-toanio, sungguh hal ini
membuat hwesio tua ini benar-benar tidak mengerti.
Padahal yang
dipakai untuk menangkis tadi hanyalah sebatang tongkat, dan gerakannya ketika
menangkis tadi pun hanya cepat saja, tidak ada yang terlalu luar biasa. Akan
tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching-toanio sudah dapat menguasai
kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya.
Dibuntungkannya pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta
itu, benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan
ini. Masa ia kalah oleh seorang muda yang buta? Benar-benar tak masuk di akal.
Ia tidak
tahu bagaimana caranya pedangnya sampai patah tadi. Akan tetapi ia tidak peduli
dan mengira hal itu hanya kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya
yang sudah bercacat di luar pengetahuannya. Dengan mata mendelik ia membentak
dan melangkah maju, "Jembel buta, kau siapakah berani mencampuri
urusanku?"
Kun Hong
menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh besar
yang berkepandaian tinggi, bahkan kalau dia tidak keliru, menurut
pendengarannya, orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga
orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu
berkata halus, "Harap Toanio dan Cu-wi sekalian sudi memaafkan. Aku sama
sekali tidak berani turut mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai
seorang manusia biasa, mana bisa aku membiarkan seorang ibu membunuh anaknya sendiri?
Toanio harap insyaf sebelum bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini
sama sekali tak pernah melakukan perbuatan seperti yang difitnahkan tadi."
"Ching-moi
(adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini? Biarlah
kuwakili kau membereskannya!" bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah
sekali karena wanita bekas kekasih sute-nya ini tadi mengalami penghinaan.
Dia adalah
seorang Mancu yang berangasan. Dia pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
malah lebih tinggi dari pada Ching-toanio, dan dia murid dari Pak-thian Lo-cu,
tentu saja dia memandang rendah kepada Kun Hong seorang muda buta.
"Bocah
buta, kau benar-benar tak tahu diri, sudah lancang memasuki tempat tinggal
orang masih berani bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan
siapa pula ayah atau gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil
nyawamu!"
Kun Hong
cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum bahwa
orang ini tentu lebih lihai dari pada Ching-toanio, maka dia berhati-hati.
"Bouw-enghiong
harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong, tentang
orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa
aku telah lancang memasuki Ching-coa-to, akan tetapi aku menyangkal kalau
dianggap bertingkah atau menjual lagak. Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat
yang tidak baik dan apa bila kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku
pergi dan tidak akan lagi mencampuri urusan orang lain."
Ucapan ini
amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi jeri
dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia lalu tertawa
menyeringai dan membentak lagi, "Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa
kau kira di sini tidak ada orang yang mampu memberi hajaran kepadamu? Nah, kau
rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut nyawamu!"
Serta merta
Bouw Si Ma menerjang. Pukulannya lambat dan perlahan saja, akan tetapi angin
pukulan menderu menyerang ke arah dada Kun Hong. Orang muda ini sudah siap,
maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia jeri atau bingung.
Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini sudah terlibat dalam urusan
besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Pulau
Ching-coa-to. Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di
hatinya meski sedikit juga untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Sekarang
karena menuruti Loan Ki, memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang
menarik hatinya dan karena dia ingin melindungi nona bidadari itu, dia terseret
dalam pertempuran.
Dengan hati
sedih ia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-tiauw-kun sehingga lima
kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma
berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin
lama makin berat dan hebat. Akan tetapi, orang yang diserangnya itu bergerak
aneh dan dia merasa seakan-akan menyerang bayangan sendiri saja, sudah tentu
tidak berhasil.
"Bouw-loenghiong,
aku tidak ingin berkelahi..." Terpaksa Kun Hong mengelak lagi karena belum
juga dia habis bicara, lawannya sudah mengirim penyerangan lagi sebanyak tujuh
jurus menggunakan pukulan-pukulan tangan serta tendangan-tendangan kaki yang
lebih gencar dan berat lagi. Setiap pukulan atau tendangan ini mengandung
tenaga lweekang tersembunyi dan cukup kuat untuk mengirim nyawa lawannya ke akhirat.
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Kejam sekali orang ini. Untuk urusan kecil saja sudah
menurunkan tangan maut, menghendaki nyawa orang. Untuk memberi peringatan, pada
jurus ke tujuh selagi kepalan tangan Bouw Si Ma berkelebat ke dekat lehernya,
Kun Hong menyentil dengan telunjuk kanannya ke arah belakang atau punggung
kepalan kiri orang Mancu itu.
"Aduh...
keparat...!"
Orang-orang
yang berada di situ, kecuali Ka Chong Hoatsu, terheran-heran karena tidak ada
yang dapat melihat perbuatan Kun Hong ini. Mereka hanya melihat pemuda buta itu
terhuyung ke sana ke mari dengan kedua tangannya bergerak-gerak seperti
mengimbangi badan agar tidak jatuh. Kenapa Bouw Si Ma yang penuh semangat
menyerang membabi buta itu malah mengaduh-aduh sendiri dan tubuhnya mendadak
menggigil seperti orang terserang demam malaria?
Akan tetapi
karena Bouw Si Ma memang seorang ahli silat tingkat tinggi, hanya sebentar saja
dia menggigil. Segera dia bisa menguasai dirinya kembali dengan jalan
menyalurkan lweekang untuk melawan getaran hebat akibat sentilan si buta yang
tepat menyinggung jalan darahnya itu.
"Bocah
buta she Kwa, kau sudah bosan hidup!" teriaknya sambil mencabut pedangnya
yang berwarna hitam, terus saja menyerang hebat.
Kun Hong
kaget sekali. Desing pedang ketika dicabut dan desir angin serangan senjata itu
membuat dia maklum bahwa ternyata dalam hal ilmu pedang, orang Mancu ini jauh
lebih lihai dari pada ilmu silat tangan kosongnya. Pedang yang digunakannya pun
sebatang pedang yang ampuh, sedangkan tenaga lweekang yang terkandung di dalam
gerakan pedang amat kuat dan matang.
Kiranya
orang Mancu ini seorang ahli pedang, pikirnya. Dia tidak berani gegabah, tidak
mau memandang rendah dan sambil memiringkan tubuh dan menekuk lutut ke
belakang, cepat tongkatnya dia gerakkan untuk menghalau serangan lawan. Benar
saja dugaannya, ketika tongkatnya terbentur dengan pedang lawan, pedang itu
tergetar dan dari getaran ini langsung menyeleweng menjadi serangan lanjutan
yang lebih ganas!
Kun Hong
berlaku hati-hati sekali. Gerakan lawan ini selain cepat dan bertenaga, juga
sangat aneh, belum dikenalnya karena merupakan ilmu pedang dari utara yang
beraneka ragam. Dengan Kim-tiauw-kiam-hoat, yaitu Ilmu Pedang Rajawali Emas
yang gerakannya amat gesit dan kelihatan aneh pula, dia selalu berhasil
menghindarkan diri menggunakan langkah-langkah rahasia sambil menggerakkan
tongkat untuk membentur pedang lawan.
Orang-orang
di situ menjadi makin terheran-heran. Pemuda buta ini terhuyung ke sana ke mari
seperti orang mabuk, cara dia menghadapi serangan-serangan Bouw Si Ma amat aneh
dan kacau, tidak seperti ilmu silat, akan tetapi mengapa semua serangan Bouw Si
Ma selalu mengenai tempat kosong belaka?
Lebih heran
lagi adalah Ka Chong Hoatsu, karena hwesio tua ini melongo menyaksikan
Kim-tiauw-kun, lalu terdengar dia berbisik, "Apa setan tua Bu Beng Cu
sudah menurunkan ilmunya kepada bocah buta ini?"
Pikirannya
melayang-layang ke masa lampau. Ketika masih muda dia pernah bertempur melawan
kakek Bu Beng Cu sampai ribuan jurus, namun akhirnya dia harus menerima
kekalahan dengan tulang pundak patah saat Bu Beng Cu menggunakan ilmu silat
seperti gerakan burung yang amat aneh.
Semenjak itu
dia tak pernah bertemu pula dengan kakek Bu Beng Cu, bahkan selama berpuluh
tahun merantau, belum pernah dia melihat ilmu silat aneh itu dimainkan orang.
Kenapa sekarang tiba-tiba bocah buta ini bisa mainkan ilmu membela diri yang
tampaknya sama benar dengan gerakan-gerakan Bu Beng Cu dahulu?
Sementara
itu, ketika melihat betapa Bouw Si Ma masih belum juga mampu menjatuhkan si
buta, Souw Bu Lai si Pangeran Mongol mengeluarkan gerengan keras dan menerjang
maju sambil membentak, "Setan buta, kau benar-benar hendak menjual lagak
di sini!"
Sekaligus
Pengeran Mongol ini menggerakkan senjatanya yang paling dia andalkan, yaitu
sehelai sabuk baja yang digandeng-gandeng serta saling mengait dan setiap mata
kaitan mengandung duri-duri meruncing. Inilah senjata semacam joan-pian baja
yang berbahaya sekali karena lawan yang terkena ujungnya saja tentu akan
terluka hebat!
Sambaran
senjata mengerikan itu lewat di atas kepala Kun Hong ketika pemuda buta itu
mengelak sambil merendahkan tubuh. Dari suara desir anginnya Kun Hong tahu
bahwa penyerangnya yang baru ini memiliki tenaga gajah sehingga sekali lagi
hatinya mengeluh. Dia kini harus menghadapi pengeroyokan dua orang lawan
tangguh, dan siapa tahu kalau pertempuran ini tidak akan menjadi makin hebat
jika yang lain-lain maju pula.
"Aku
tidak ingin berkelahi... ahhh, kenapa kalian berdua mendesakku?"
"Sublai,
gunakan Liok-coa-kun!" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata kepada muridnya.
Souw Bu Lai
menyanggupi dan segera ruyung lemas di tangannya bergerak cepat sekali,
menyambar-nyambar seperti enam ekor ular yang mengeroyok seekor katak.
Liok-coa-Kun atau Ilmu Silat Enam Ekor Ular adalah ciptaan Ka Chong Hoatsu
sendiri yang berdasarkan penyerangan dan mempertahankan dari enam penjuru,
yaitu dari kanan kiri muka belakang dan atas bawah. Gerakan-gerakannya meniru gaya
gerakan ular yang sukar sekali diduga oleh lawan, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya ilmu silat ini.
Ka Chong
Hoatsu yang merasa curiga menyaksikan gerakan permainan silat Kun Hong sengaja
menyuruh muridnya menggunakan ilmu simpanan itu sebab dia hendak memaksa Kun
Hong mengeluarkan kepandaiannya sehingga dia dapat mengenal betul dari aliran
manakah bocah buta yang amat lihai dan masih muda sudah memiliki ilmu kesaktian
ini.
Tingkat
kepandaian Pangeran Souw Bu Lai sebetulnya tidak lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Bouw Si Ma. Malah boleh dibilang orang Mancu murid Pak-thian Lo-cu
ini lebih matang dan lebih banyak pengalamannya karena memang lebih tua. Akan
tetapi karena senjata yang dipergunakan oleh pangeran itu lebih jahat dan amat
ganas, maka bantuannya ini memiliki daya penyerangan yang tidak kalah hebatnya
sehingga Kun Hong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya.
Kini lebih
banyak lagi jurus-jurus Kim-tiauw-kun harus ia keluarkan untuk menyelamatkan
dirinya, sebab dua orang ini benar-benar mengarah nyawanya. Tongkatnya
berkelebatan, kadang-kadang tampak cahaya kemerahan dari pedang Ang-hong-kiam
yang tersembunyi di dalam tongkat.
Sementara
itu, Ching-toanio menjadi makin marah melihat betapa dua orang tamu yang amat
diandalkan itu tetap juga belum dapat merobohkan si buta yang telah
mendatangkan kekacauan di pulau. Ia menoleh ke arah Hui Kauw dan makin panas
hatinya melihat anak pungutnya ini memandang penuh kagum dan kekhawatiran pada
Kun Hong yang sedang dikeroyok. Malah ia mendengar suara gadis itu perlahan.
"Curang...
curang... matanya sudah buta masih dikeroyok..."
Ching-toanio
meloncat ke depan Hui Kauw, matanya menyinarkan cahaya bengis. "Hui Kauw,
betul-betulkah kau tidak main gila dan berjinah dengan bocah buta itu?"
"Tidak,
Ibu."
"Kalau
begitu, hayo kau bantu Pangeran Souw dan pamanmu Bouw untuk merobohkan dan
membikin mampus setan buta itu!"
Hening
sejenak, kecuali suara beradunya senjata-senjata mereka yang tengah bertempur.
Lalu lirih terdengar "tapi... dua orang yang begitu lihai masih tak mampu
mengalahkan dia, apa lagi aku, Ibu? Kepandaianku amat rendah, mana bisa
menangkan dia..."
"Peduli
amat dengan kepandaianmu! Aku hanya ingin melihat apakah kau ini benar-benar
pacarnya atau bukan. Apa bila kau berani mengeroyoknya dan kemudian membunuhnya
dengan pedangmu, aku baru mau percaya bahwa kau bukan pacar si buta itu!"
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Hui Kauw mendengar ini. Sebetulnya, di luar tahu
ibunya, ia telah mempunyai ilmu silat yang amat tinggi yang ia pelajari secara
rahasia. Ia dapat mengira-ngira bahwa apa bila dibandingkan dengan ibunya
sendiri, bahkan dengan Pangeran Sublai atau malah dengan Bouw Si Ma kiranya ia
tak akan kalah!
Dan melihat
ilmu silat aneh dari Kun Hong, biar pun amat lihai akan tetapi kalau ia maju
lagi mengeroyok, orang buta itu takkan mampu menahan lagi. Akan tetapi, orang
buta itu tak mempunyai dosa. Malah ialah orangnya yang berdosa, karena si buta
ini menghadapi bahaya maut karena dia!
"Tidak,
Ibu," jawabnya dengan suara tetap, "Dia tidak bersalah apa-apa, aku
tidak mau mengeroyoknya. Malah kuharap Ibu suka membebaskan saja dia dan gadis
temannya itu agar keluar dari pulau dengan aman. Mereka berdua itu tidak
mempunyai kesalahan apa pun."
"Anak
setan kau! Kau malah memihak musuh?"
"Mereka
bukan musuh..."
"Kalau
begitu kau ingin mampus!"
"Terlalu
besar budi yang dilimpahkan Ibu sejak aku kecil, kalau Ibu kehendaki, nyawaku
boleh untuk membalas budi itu..."
"Keparat...!"
Terdengar
oleh Kun Hong yang sejak tadi mendengarkan suara bidadari itu, suara yang
sangat mengejutkan hatinya. Suara pukulan-pukulan yang dilakukan bertubi-tubi
kepada tubuh Hui Kauw yang agaknya tidak mau membalas atau mengelak, hanya
mengeluh lirih menahan nyeri.
Meluap
amarah di hati Kun Hong dan gerakan tongkatnya serentak berubah. Segulung sinar
merah berkelebat disusul teriakan kaget Pangeran Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma
yang terhuyung mundur sambil memegangi lengan kanan yang luka-luka berdarah.
Saat itu dipergunakan oleh Kun Hong untuk mencelat ke arah Hui Kauw, kakinya
menendang dan... tubuh Ching-toanio terlempar sampai lima meter jauhnya!
Kun Hong
meraba-raba dengan tangannya, membungkuk kemudian memondong tubuh Hui Kauw yang
sudah lemas dan pingsan. Terkejut sekali hati Kun Hong ketika rabaan tangannya
mendapat kenyataan betapa nona itu terluka hebat sekali, tubuhnya terserang
pukulan beracun dengan beberapa tulang rusuknya patah! Saking marahnya Kun Hong
merasa betapa mukanya menjadi panas sekali.
"Ching-toanio...!"
Dia berteriak dengan suara agak gemetar. "Alangkah kejamnya hatimu! Kau
mengaku bahwa nona ini adalah puterimu, akan tetapi perbuatanmu terhadap dia
sama sekali bukan sikap seorang ibu sejati. Perbuatanmu biadab dan tak patut
dilakukan oleh seorang wanita kepada anaknya. Sebab itu, jelaslah bahwa nona
ini bukan anakmu! Seekor harimau betina yang bagaimana liar dan ganas sekali
pun takkan makan anaknya sendiri, betapa seorang manusia bisa membunuh
anaknya?"
"Jembel
buta setan alas!" Ching-toanio memekik dan memaki-maki.
Malunya
bukan main bahwa ia seorang tokoh dunia kangouw, majikan dari Ching-coa-to yang
tersohor, kini hanya dengan sekali tendang saja telah dibikin terlempar oleh
seorang pengemis muda dan buta lagi!
"Keparat
tak bermalu, urusan antara ibu dan anak, kau orang luar berani
mencampuri?"
Kun Hong
tersenyum pahit, lalu terdengar suaranya dingin, "Alasan seorang iblis di
dalam tubuh seorang ibu. Meski pun mataku buta, hatiku tidak sebuta hatimu. Aku
masih dapat membedakan siapa yang berhak ditolong dan siapa pula yang wajib
diberantas! Nona ini terang tak berdosa, kalian menjatuhkan fitnah hanya untuk
dalih agar dapat menyiksanya, dapat membunuhnya! Tapi, selama Kwa Kun Hong
masih hidup dan berada di sini, jangan harap kau akan dapat mengganggu selembar
rambutnya!"
Dengan
tangan kirinya mengempit tubuh Hui Kauw yang pingsan, Kun Hong berdiri sambil
melintangkan tongkatnya, bersiap menanti serbuan orang-orang itu. Dia bertekad
untuk melindungi nona itu.
"Hong-ko,
mengapa engkau mencampuri urusan orang lain?" Mendadak suara Loan Ki
mencelanya dan gadis ini sudah meloncat ke depannya. "Hong-ko, kau sudah
membikin ribut dan kacau di sini, membikin urusan menjadi makin besar saja. Kau
lepaskan si muka hitam itu dan mari kita ke luar dari pulau ini."
"Ki-moi,
mana bisa aku membiarkan saja orang membunuh dia yang sama sekali tidak
bersalah atas dasar fitnah yang begitu keji?"
"Hong-ko,
kau sudah mati-matian membelanya... apakah... apakah kau sudah jatuh cinta
kepadanya...?"
"Hushh,
jangan bicara yang bukan-bukan, aku... aku..." Tiba-tiba tubuh Kun Hong
menjadi lemas dan dia roboh.
Kiranya Loan
Ki yang tadi memegang-megang tangannya itu secara mendadak menotok jalan darah
di punggungnya yang membuat Kun Hong menjadi lemas kehilangan tenaga. Dia masih
berusaha memulihkan kekuatan, akan tetapi yang mampu dia lakukan hanya
mencengkeram tongkatnya saja, malah tubuh Hui Kauw dalam kempitannya juga
terlepas dan jatuh bergulingan, saling tindih dengan tubuhnya sendiri.
Bagaimana
Loan Ki yang tadinya dibelenggu bisa mendekati Kun Hong dan melakukan
pengkhianatan ini? Gadis ini tadinya memang dibelenggu, akan tetapi ia
dilepaskan oleh Souw Bu Lai ketika pangeran ini maju menyerang Kun Hong. Karena
ujung tali itu tidak dipegangi orang, dengan mudah Loan Ki dapat sedikit demi sedikit
meloloskan kedua tangannya sehingga ia menjadi bebas.
Tidak ada
orang yang memperhatikannya, apa lagi dia merupakan tawanan yang tidak penting
karena tadi orang mengikatnya hanya untuk menjaga kalau-kalau sahabatnya yang
buta itu benar-benar amat lihai dan mengamuk, maka ia dibelenggu untuk
dijadikan jaminan. Siapa kira si buta itu benar-benar mengamuk, tetapi bukan
karena tertawannya Loan Ki, melainkan karena soal lain, yaitu soal nona Hui
Kauw.
Ada pun Loan
Ki sendiri sejak tadi hatinya telah panas dan iri menyaksikan betapa Kun Hong
membela Hui Kauw secara mati-matian. Gadis ini masih terlalu muda untuk dapat
menafsirkan tentang cinta kasih. Ia tidak ingat bahwa untuk dirinya sendiri pun
Kun Hong membela mati-matian.
Sekarang,
melihat Kun Hong membela seorang gadis lain, ia pun menjadi iri hati, bukan
cemburu karena pada saat itu ia tidak tahu apakah ia mencinta si buta ini
ataukah tidak. Pendeknya, hatinya tidak senang melihat Kun Hong membela Hui
Kauw, apa lagi melihat betapa si buta itu memondong tubuh nona yang sudah
pingsan itu.
Oleh karena
itu ia lalu mendekati, menegur dan menotok roboh Kun Hong dengan maksud
menghentikan usaha Kun Hong membela Hui Kauw. Tentu saja Kun Hong terkejut
bukan main. Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa Loan Ki akan berbuat
seperti itu dan inilah sebabnya pula dia mudah dirobohkan.
Dia sama
sekali tidak pernah menduga dan karena itu tidak berjaga diri terhadap Loan Ki.
Kini setelah roboh dan tidak berhasil memulihkan tenaga, dia terkejut dan
terheran-heran, namun tidak khawatir karena maklum bahwa tidak akan ada hal
yang lebih hebat dari pada kematian, sedangkan kematian itu baginya bukan
apa-apa, seperti air sungai yang mengalir kembali ke laut di mana dia akan
bersatu dengan Cui Bi!
Ternyata
Ching-toanio yang ditendang sampai mencelat lima meter oleh Kun Hong tadi tidak
terluka berat, hanya mendapat luka ringan berupa benjol-benjol dan barut-barut
saja. Hal ini adalah karena Kun Hong memang sengaja tidak mengarah nyawa orang,
hanya melakukan tendangan tanpa disertai tenaga dalam yang dapat mengakibatkan
luka hebat. Malah kedua orang pengeroyoknya tadi, Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma,
hanya terluka di lengan kanannya dengan goresan-goresan yang tidak dalam, hanya
mengeluarkan darah akan tetapi ternyata merupakan luka kulit belaka.
Sekarang
ketika melihat betapa Kun Hong sudah roboh, Ching-toanio masih tak mampu
mempertahankan kemarahannya. Ia segera mencabut pedang dan melompat maju untuk
membacok putus leher pemuda buta yang sudah banyak membikin malu kepadanya itu.
"Tranggg!"
Bunga api
berpijar saking kerasnya bentrokan pedang ini.
"Ching-toanio,
tak boleh kau membunuh Hong-ko!" teriak Loan Ki yang menangkis pedang
Ching-toanio dengan pedangnya sendiri. "Kau boleh membunuh mampus anakmu
si muka hitam, tapi Hong-ko tidak bersalah, kau tidak boleh membunuhnya."
Ching-toanio
memandang dengan mata mendelik. "Dia berani mencemarkan nama baik
Ching-coa-to, tampan dan berkepandaian tinggi, tidak tahu malu merayu dan
melakukan perbuatan jinah, masih kau bilang dia tidak berdosa?"
"Ihh,
kau keliru besar toanio. Hong-ko adalah seorang buta, mana dia bisa melihat
tentang cantik tidaknya wanita? Mana bisa dia mampu menarik hati wanita? Tentu
anakmu yang tak tahu malu itu yang sengaja menarik hati dan memikatnya dengan
kata-kata halus. Hong-ko memang seorang muda yang tampan dan berkepandaian tinggi,
tidak heran anakmu itu jatuh cinta. Hong-ko sendiri karena buta mudah saja
dipikat, coba dia dapat melihat, apa dia sudi melayani seorang gadis yang
mukanya seperti pantat kuali?"
"Keduanya
harus mampus!" Ching-toanio kembali menggerakkan pedangnya.
Akan tetapi
kembali Loan Ki menangkis, biar pun dua kali tangkisan itu sudah membuat
telapak tangannya lecet-lecet.
"Ching-toanio,
apa kau sebagai golongan lebih tua tidak malu? Kau berani turun tangan karena
Hong-ko sudah kurobohkan. Hemm, andai kata aku tidak merobohkannya dengan
totokan tanpa dia menduga, apa kau kira kau akan mampu bersikap segalak ini
terhadap dia? Hi-hi-hik, benar-benar orang di Ching-coa-to tidak punya sopan
santun persilatan!"
Bukan main
tajamnya ucapan ini, melebihi tajamnya ujung seribu pedang. Ching-toanio
menjadi pucat mukanya dan menahan pedangnya, matanya mendelik dan muka yang
pucat itu berubah merah. Ia adalah seorang kang-ouw yang sudah memiliki nama
besar, tentu saja sekarang mendengar ucapan ini, ia tidak ada muka untuk nekat
menyerang Kun Hong yang sudah tak berdaya itu.
Semua orang
di situ tahu belaka bahwa robohnya Kun Hong si buta itu adalah karena serangan
gelap yang dilakukan Loan Ki, sama sekali bukan roboh oleh Ching-toanio atau
yang lain. Kemarahannya meluap-luap akan tetapi tertahan sehingga kini
kemarahannya ini ditumpahkan kepada Hui Kauw seorang!
Hanya gadis
inilah yang dapat menjadi bulan-bulanan kemarahannya tanpa ada seekor setan pun
yang berani menghalanginya. Tadi pun hanya si buta itu yang membelanya dan
sekarang setelah si buta roboh, siapa lagi akan membela anak angkat yang
menimbulkan kemarahan dan kebencian ini?
"Anak
keparat, kaulah gara-garanya!"
Ia
menggerakkan pedangnya sambil melompat ke dekat Hui Kauw yang ternyata sudah
sadar dari pingsannya, akan tetapi karena tubuhnya terluka hebat oleh
pukulan-pukulan ibu angkatnya tadi, dia masih belum sanggup bangun. Kini
melihat betapa Kun Hong tak berdaya, rebah dalam keadaan tertotok, hatinya
terkejut bukan main.
Timbul
kekhawatirannya untuk keselamatan si buta ini, dan sekaligus timbul ingatannya
untuk menolong Kun Hong. Maka begitu melihat sambaran pedang di tangan ibunya
ke arah leher, Hui Kauw menggulingkan tubuhnya. Pedang itu meluncur menghantam
tanah dan gadis itu dengan pengerahan tenaga yang luar biasa telah dapat bangun
dan duduk.
Pedang itu,
yang dikendalikan tangan Ching-toanio yang marah mengejar dan menyerang lagi,
namun kini dalam keadaan duduk Hui Kauw lebih mudah mengelak. Semua orang
terheran-heran, terutama sekali Ching-toanio dan Hui Siang.
Bagaimana
mendadak Hui Kauw yang sudah terluka hebat itu memiliki gerakan-gerakan aneh
sehingga dalam keadaan seperti itu bisa menghindarkan serangan pedang? Dengan
penuh keheranan yang berubah menjadi penasaran dan malu, Ching-toanio
memperhebat serangannya, bertubi-tubi mengirim tusukan dan bacokan ke arah
tubuh anak angkatnya.
Akan tetapi,
kemudian benar-benar terjadi keanehan bagi nyonya galak ini. Hanya dengan
menggerak-gerakkan tubuhnya secara aneh, kadang rebah dan ada kalanya meloncat
ke atas dan duduk kembali, Hui Kauw dapat menyelamatkan diri dari semua
serangan itu, sungguh pun makin lama gerakannya makin lemah dan lambat karena
memang luka-luka di tubuhnya sudah parah. Kalau saja tidak sedemikian parah
luka-luka di tubuhnya, tentu dengan kepandaiannya yang masih dirahasiakan itu
ia dapat menyelamatkan diri dengan mudah.
Sementara
itu, Kun Hong yang tadinya terkejut dan heran, juga maklum bahwa dia telah
dikhianati Loan Ki dan tinggal menanti datangnya maut ketika dia roboh tertotok
oleh Loan Ki tanpa dia dapat mencegahnya karena sebelumnya dia tidak berjaga
lebih dahulu dan tidak pernah menduga akan mendapat penyerangan gelap dari gadis
ini.
Tetapi dasar
memang di tubuhnya sudah terisi hawa murni yang amat kuat, sedangkan tenaga
dalamnya adalah tenaga dalam yang dilatih menurut ilmu silat tinggi yang
bersih, maka pengaruh totokan Loan Ki yang bagi orang lain tentu akan dapat
melumpuhkan sampai berjam-jam itu, ternyata bagi Kun Hong hanya melumpuhkannya
beberapa menit saja! Dengan mengerahkan tenaga berulang-ulang, akhirnya Kun
Hong dapat membobol kemacetan jalan darahnya dan tenaganya pulih kembali
seperti sebelum tertotok.
Kun Hong tidak
marah kepada Loan Ki, hanya heran karena dia masih belum mengerti mengapa gadis
lincah itu merobohkan dirinya. Makin besar keheranannya pada saat dia mendengar
betapa secara mati-matian Loan Ki menolong dirinya dari serangan-serangan
Ching-toanio, malah membelanya dengan omongan-omongan pedas.
Tentu saja
keheranan ke dua ini disertai kegirangan hati bahwa terbukti Loan Ki tidak
memusuhinya, malah melindunginya. Akan tetapi mengapa tadi menotoknya roboh?
Dan bagaimana pula setelah menotok roboh dengan serangan gelap, sekarang
membela dan melindunginya mati-matian pula?
Benar-benar
aneh sekali gadis lincah ini. Kun Hong merasa seperti menghadapi sebuah
teka-teki yang sangat kuat. Dia sengaja berpura-pura tak berdaya dan membiarkan
saja Loan Ki bersitegang dengan Ching-toanio, tetapi ketika mendengar betapa
Ching-toanio menyerang Hui Kauw secara hebat dan membabi buta, dia tidak dapat
mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba dia meloncat bangun, sekali mengenjot
tubuh dia telah menyambar ke arah Ching-toanio.
Ching-toanio
mendengar seruan kaget dari semua orang yang tiba-tiba melihat gerakan Kun Hong
yang tadinya lumpuh itu. Pada saat ia melihat betapa si buta itu menerjang ke
arahnya, ia menjadi marah sekali dan pedangnya memapaki dengan sebuah tusukan
kilat ke arah ulu hati. Dalam penyerangan ini, Ching-toanio menggunakan semua
tenaganya karena ia memang marah sekali dan ingin menebus kekalahan dan semua
penghinaan yang dia alami tadi.
Sinar pedang
di tangan Ching-toanio berkelebat menusuk. Kun Hong miringkan tubuhnya dan
pedang itu lantas ambles di bagian dada sampai menembus punggung si buta itu.
Terdengar jeritan-jeritan keluar dari mulut Hui Kauw dan Loan Ki sekaligus.
Akan tetapi kedua orang nona ini yang merasa ngeri dan terkejut sekali, tidak
berusaha untuk maju menolong karena mereka kini, seperti yang lain-lain,
berdiri bengong penuh keheranan.
Biasanya
kalau orang terkena tusukan pedang, apa lagi sampai menembus punggung, tentu
akan mengeluh, atau roboh, setidak-tidaknya darah tentu akan mengalir ke luar.
Akan tetapi si buta ini lain lagi reaksinya. Dia berdiri tegak dengan pedang
lawan masih menancap di bagian pinggir dada, mulutnya tersenyum, sikapnya
tenang dan tidak ada setetes pun darah mengalir ke luar.
Ching-toanio
mengerahkan tenaganya menarik ke luar pedangnya dan... tiba-tiba saja ia
terhuyung ke belakang dan mukanya menjadi pucat. Pedang itu tinggal gagangnya
saja, selebihnya masih ‘menancap’ di dada Kun Hong.
Ketika
pemuda buta itu menggerakkan lengan kanan, terdengar suara…
"Krekk!"
dan jatuhlah sebatang pedang tanpa gagang, sudah patah menjadi tiga potong!
Kiranya
pemuda itu bukan tertusuk pedang, melainkan senjata itu ketika tadi menusuk ulu
hatinya dia miringkan tubuh dan secara cepat dan lihai sekali sampai dapat
mengelabui mata banyak orang-orang pandai, dia berhasil menjepit pedang itu di
bawah ketiaknya!.........
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment