Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 23
PADA
keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan
tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang
masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba saja dari depan dia melihat
debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang
pohon dan memandang ke depan.
Ternyata
yang datang adalah sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh
orang. Di depan sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar
dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.
Melihat
bahwa yang datang hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa
Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia
lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil
mengangkat tangannya.
Ketika
Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat
melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan
wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya
kepada Pendekar Bodoh dan berkata,
“Tak
kusangka bahwa Pendekar Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya
mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”
Cin Hai
sudah mengerti kenapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa
gemas, maka dia kemudian menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi
Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang
puteramu.”
“Kembalikan
puteraku, jika tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh
bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi
hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”
“Sabar,
sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai
oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin,
bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak
memegang janji.”
“Biar pun
bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”
Cin Hai
menggelengkan kepala. “Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu
menahu mengenai perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu
sudah kembali kepada ayah bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan
anak itu di bawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”
“Puteraku
tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat
gelisah.
“Siapa yang
akan berani mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap
orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di
bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin
Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada
Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
“Maafkan
aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di
mana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan
Cin Hai.
“Malangi
Khan, apakah ini berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat
kepadaku?”
“Tentu,
bahkan kau dan saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih
dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”
Melihat
sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan
kembali bertanya, “Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat
Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan
mengganggu mereka lagi, tidak akan menyerang ke selatan lagi?”
“Tidak,
tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus
menyerang ke selatan. Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah,
yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan
mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda
penghargaan.”
Kini Cin Hai
yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis
kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata,
“Malangi Khan, kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”
“Tentu saja!
Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali
perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”
Bukan main
girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat
terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara
hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan
yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang
berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi
adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama
pasukannya yang sangat kuat sudah datang menyerbu!
“Pendekar
Bodoh, apakah artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan
bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,
“Jangan
kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka
bertindak!”
Kemudian,
Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas
mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,
“Kam-ciangkun,
jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”
Kam Liong
terheran melihat Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan
ini, dia segera memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun
dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang
lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.
Dengan sikap
angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya
agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam
Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu
memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.
“Malangi
Khan, benarkah kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”
“Memandang
muka Pendekar Bodoh yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku,
memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang
lalu dan dalam waktu dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada
Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua
prajuritmu yang menjaga tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu
orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya
berdagang.”
Bukan main
girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh
Kaisar dan biar pun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan
tetapi karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh
kepada dia!
Akan tetapi
Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata,
“Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak
berdamai?”
Malangi Khan
memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi
besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi
Cin Hai cepat berkata,
“Kam-enghiong,
Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap
sebagai musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini
melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak
mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”
Keterangan
ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir.
Memang tadinya ia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu
untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.
“Malangi
Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku
mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu
makan dan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan
yang tadi kau kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.
Dia adalah
seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia
sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi
Khan.
“Selain
Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi
Khan berkata dengan angkuh.
“Kalau
begitu, bagaimana kami dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi
membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu
berkata dengan halus,
“Malangi
Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu
menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”
Akan tetapi
Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya
Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,
“Khan yang
baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat
menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau
bawalah semua pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali
diadakan malam gembira antara kita sama kita!”
Mendengar
ucapan ini, lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang
mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”
Dan dia lalu
memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di
belakangnya. Maka, majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam
suasana damai!
Diam-diam
Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu
menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam
memerintahkan penyerbuan besar.” Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa
nasehat ini, dia pun tentu tidak akan melupakan hal ini.
Pertemuan
antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.
“Ada orang
yang mengganggumu di sini?” ayah itu bertanya kaku.
Kamangis
menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan
perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi
dan baik sekali, Ayah.”
Malangi Khan
memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”
Ma Hoa
mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh,
Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh
menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”
Dan serta
merta Kamangis yang sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, “Ibu...”
Ma Hoa
girang dan juga terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau
baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak
angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”
Malangi Khan
tertawa terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang
kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk
tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.
“Ehh, aku
hampir lupa, Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia
menuding ke arah Cin Hai.
Kamangi
terheran dan memandang kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu,
Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku,
demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”
“Ha-ha-ha-ha,
anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah
Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”
Karena
Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat
sambil menyebut, ‘Suhu’! Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun
kemudian memberi hormat kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang
disebut ‘subo’ (isteri guru).
Perjamuan
berjalan dengan lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang
sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi
Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh
lebih keras dari pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.
Hal ini
memang disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat
mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan
dapat menyimpan rahasianya apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan
mempunyai rencana tertentu dan ‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya
tipuan belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan
tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali
menyebutkan nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!
Dengan
bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana
dia lantas tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu
ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih
melanjutkan perjamuan yang amat gembira.
Siapakah
orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan
perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali
dengan keluarga masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan
orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.
Kwee An dan
Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa
agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang
jahat di antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang
perjamuan, akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.
Tiba-tiba
saja dia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa
gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh
Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang
ini tidak berjenggot.
Di antara
kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada
orang yang tubuhnya berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara
diam-diam dia kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati
mempergunakan kesempatan selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi
jendela kamar di mana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!
Setibanya di
luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel
saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting
kering. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam
kamar.
Ternyata
bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia
tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang
ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang
lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan
Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.
Hal ini
tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia
telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian
oleh Malangi Khan dia dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki
kepandaian yang lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya
amat lihai.
Ketika
Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan
orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan
persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah
kebenciannya yang amat hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah,
pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu,
diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan
kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk
membunuh Kaisar Malangi Khan!
Niat ini
bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi
Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan
Tartar Mongol ini.
Kalau ia
dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah
peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan
dan tentu dengan mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara
Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian
diam-diam dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara
Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu
kalau-kalau dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!
Akan tetapi
semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada
saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee
An!
Di dalam
kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai
(tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa
orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat
tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah
pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan
ke arah leher Malangi Khan itu!
Orang itu
menjerit perlahan lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan
kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara
goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin
bergoyang.
Alangkah
kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum
jatuh ke atas lantai, sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri
dengan golok rampasan itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga
mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam
benteng, maka dengan nekat dia lalu menerjang dengan goloknya.
Akan tetapi
tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu.
Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan
dia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!
Kwee An
hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau
saja dia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan
dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.
Suara golok
yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari
tidurnya.
“Hei! Kalian
sedang berbuat apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya
sedang bertempur melawan Kwee An.
“Malangi
Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.
Malangi Khan
bukanlah seorang Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua
panglimanya. Begitu mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu
akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di
antara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu
betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.
“Khalinga,
kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.
Khalinga
berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk
di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi
terus memandang dengan penuh kewaspadaan.
“Malangi,
kau bilang aku mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati
bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada
bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan
hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!”
Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke
arah dada Malangi Khan!
Akan tetapi
Kwee An segera membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas
berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan
kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.
Malangi Khan
melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu
mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.
“Ha-ha!
Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga
tidak takut mati, tidak seperti engkau!”
Melihat
sikap Khalinga ini, maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka
dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini
menimbulkan sayangnya.
“Khalinga,
lekas pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani
memperlihatkan mukamu di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang
Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”
Bagaikan
seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan
diri. Setelah Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani
membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia
tidak berhak ikut mencampuri urusan Negara Mongol!
Sementara
itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti
yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa
Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada
Kaisar Mongol ini.
Juga Kim Wi
dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang
bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang
berhasil menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para
petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah
mengurung sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu
dan kalau saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak
merasa jeri dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak
korban akan roboh di antara kedua pihak.
Ada pun
Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena
kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh
oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa
penolongnya ternyata adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!
Pada
keesokan harinya, Malangi Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya
untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa
pendekar ini kelak akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan
untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.
Sebaliknya,
Kam Liong juga membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah
mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan
pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari
perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang
dagangan mereka.
Semua orang
merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin
Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu,
Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.
Oleh karena
itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa
kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas
hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak
ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.
Dengan
diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan
perang itu menjadi sangat gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai
dua orang pendekar yang setia dan gagah.
“Aku telah
mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah,
“biar pun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan
sedikit tanda mata.”
Kaisar lalu
memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan)
yang bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan
berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga
nampaknya seperti hidup saja.
Ada pun
Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah
menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah
kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat
dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di
belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.
Dengan
memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan
yang besar, karena ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan
kancing ini kepada para pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan
penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!
Demikianlah,
sesudah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan
lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu
kembali ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin
yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.
Ada pun
Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning
karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan
halus dan menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam
rumah dan darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan
seperti pada waktu dahulu.
***************
Ke manakah
perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti
perjalanannya yang penuh bahaya…
Sebagaimana
sudah diketahui, ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng
orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi
tergerak hatinya sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san
untuk menyusul kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.
Ia
mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira
sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu
sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa
demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti
ketika ia masih kanak-kanak dahulu.
Akan tetapi
oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun
masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan
petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa
disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah
tujuannya! Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang
gelap dan menghitam mengerikan.
Setelah
malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati
Lili. Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum
fajar ia sudah dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari
mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah
menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat
oleh pohon-pohon raksasa.
Ia menjadi
mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk
menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan
yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.
Akan tetapi
dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai
bersinar, kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara
burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat
elok. Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar
dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili
menjadi gembira sekali.
Ia pun lalu
ikut berlari-lari, mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu
bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan
nyaring. Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu
itu, dia akan melihat binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main
di dalam cahaya matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta
melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi
yang bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita
berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan
menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!
Ketika
melihat ada sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan
membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili
berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!
Ia mengerutkan
kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada
diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang
ajar itu? Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan
kepada Song Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie
Siong?!
Tanpa terasa
lagi dia menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang
menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong
dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.
Tiba-tiba
dia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah
melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa
amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat
kakinya pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat
sekali dan sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.
Lili memang
beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang
Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak
itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup
ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.
“Kelinci
manja! Ke mana kau hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku
akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”
Kembali Lili
membabat semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu
melompat dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar
saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis
oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.
Dan akhirnya
kelinci itu menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang
menjadi semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke
dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali.
Lili tidak peduli dan mulai membabat lagi.
Pedang
Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja
semak-semak itu dibabat hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah
di bawahnya. Sesudah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi,
kelinci itu tetap tidak kelihatan.
Lili menjadi
penasaran sekali. Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan
tetapi mengapa juga tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu
pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah
terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.
Akhirnya ia
melihat ada sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki.
Ia pun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu
ke mana bersembunyi? Keluarlah!”
Dia lalu
menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara
berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya,
pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?
Dia lalu
mempergunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki
dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur
yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit
ruangan di bawah tanah ini!
Lili menjadi
tertarik sekali. Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki
segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam,
pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam
waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.
Ia harus
menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada
di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar.
Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke
dalam lubang tadi.
Benar
seperti yang disangkanya tadi, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu
dalamnya hanya dua tombak kurang. Sesudah matanya terbiasa dengan pemandangan
suram-suram di dalam lubang itu, ia mulai melakukan penyelidikan. Sinar
matahari yang masuk dari lubang atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya.
Sumur itu
ternyata besar juga, kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding
batu-batu karang yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat
mengherankan hatinya, dia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi
penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada
apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja.
Ia
menyelidiki bagian bawah dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada
lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang
benar di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah.
Ia
mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan
bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya
saja. Ia mencoba lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan
mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun
merupakan ruang terbuka!
Lili makin
tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan
hatinya bahwa di situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi
pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu
itu kuat sekali.
Ia lalu
mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu
angkat seperti penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua
tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya
mengangkat sambil mendorong ke luar.
Dia
berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera
melepaskan kedua tangannya karena pintu itu itu terlampau berat baginya.
Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul
kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka
pintu itu terus sampai dia dapat masuk melalui lubangnya.
Lili adalah
seorang yang keras hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan
berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan
ketika dia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu
terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang
mengganjalnya!
Cepat dia
merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika
melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang
tongkat bambu yang kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh
seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata
terbelalak.
Dia melihat
bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah
menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah
rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya
yang berkulit kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.
Kalau saja
dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang
memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya
sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak
tadi dikejar-kejar oleh Lili.
Setelah dara
itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu
melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia
menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun
lagi dan menutup tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena
mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang
tinggi sekali dari tempat itu.
Lili menjadi
terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat
sebuah pun jalan keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini
nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari
batu hitam!
Lili mulai
merasa takut. Dia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup
bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti
tengkorak. Cepat dia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar
dapat keluar dan melarikan diri.
Akan tetapi
seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar
dari satu dim saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan
sebatang tongkat bambu?
Lili lalu
menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik,
maafkanlah kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini.
Aku tidak dapat membuka pintunya.”
Berkali-kali
ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut,
nenek aneh itu bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk
berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis
penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Liok-te
Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li
telah melakukan dosa karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa
disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”
Kembali Lili
mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap
saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah
sekali. Ia melompat bangun dan membentak,
“Aha, tak
tahunya engkau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai
mati di sini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku
mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini,
kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”
Lili mencabut
Liong-coan-kiam yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia
menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja,
nenek itu sekarang membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing.
Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa
terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri
saking seramnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak
tertawa!
“Kau
menertawakan aku? Agaknya kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang
Liong-coan-kiam ini!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya
dengan hebat, menyerang nenek itu.
Akan tetapi,
pedangnya terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara
ketawa nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi,
maka ia lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya.
Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.
Akan tetapi
ke mana pun juga pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh
tongkat bambu yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara
ketawanya, nenek itu menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan
sangat mudah dia menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya
apa-apa! Dan ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena
sekali tekuk saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam
telah dipatahkan!
“Nenek gila,
kau berani merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia
mengeluarkan kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas
yang ia pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang
lihai.
Kembali ia
terperanjat ketika semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur
tangannya saja nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti
pedang tadi! Lili menjadi makin gelisah.
Celaka,
pikirnya. Sekarang aku harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia
tidak menjadi takut, bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas
terakhir. Kini ia maju menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat
tangan kosong yang dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut
diganti-ganti dengan Kong-ciak Sin-na!
Dua macam
ilmu silat tangan kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan
tetapi ketika digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai
bertemu dengan laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan
Pek-in Hoat-sut untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun
roboh pingsan di depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!
Pada saat
Lili siuman kembali, nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi
tanda agar dia makan buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka
karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau
betina yang menemui manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata
enak dan wangi dan perutnya terasa penuh dan kenyang!
Kemudian
nenek itu menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa
nenek itu telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu
membacanya,
‘Kau
berjodoh untuk menjadi muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu
silat ciptaanku yang kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus
Ilmu Silat Penakluk Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih
mempelajari dan melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara
dan harus bertapa gagu!’
Lili merasa
aneh sekali. Akan tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan
bahkan menjadi murid seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Teecu akan
mentaati semua perintah Suthai.”
Demikianlah,
selama dua pekan, dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan
yang luar biasa lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat
hanya terdiri dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan
yang sukar dan sempurna serta tenaga yang luar biasa.
Setiap hari
gurunya menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan
tangan kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya.
Pertama kali Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan
tenaga dan menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya
melepaskan tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat
menahannya!
Akan tetapi
lambat laun, setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan
tenaganya sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar
biasa dan cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.
Gurunya
bertanya kepadanya melalui tulisan di atas lantai,
‘Aku menurunkan
ilmu silat ini kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut
dari Lu Kwan Cu (Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?’
‘Dia adalah
Sucouw-ku (Kakek Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai
karena dia menepati janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia
menambahkan. ‘Dan bolehkah teecu bertanya, siapakah nama Suthai?’
Nenek yang
bagai tengkorak itu hanya menuliskan tiga huruf di atas lantai yang berbunyi,
‘Bu-liang-sim’ yang artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya
ke arah pintu goa mengusir Lili pergi dari situ.
Lili
berlutut dan mencium tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima
kasih, kemudian dia lalu membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar
dari goa itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu
dilempar keluar oleh gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini
telah menjadi begitu kurus karena selama dua pekan tidak makan!
Kalau dulu
Lili ingin sekali makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan
melihatnya. Dia memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian
membawanya melompat ke atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia
lalu memandang ke kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak
belukar.
Dia menarik
napas panjang dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat
hidup setelah mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia
menghafal keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal
gurunya, dia lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan
sampai terlihat oleh orang lain.
Kemudian
pergilah dia dari sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong
Cap-it Ciang-hoat yang masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah
kehilangan Liong-coan-kiam serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan
tetapi sekarang karena dia sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini,
dia merasa lebih percaya kepada diri sendiri dari pada dahulu.
***************
Sesudah
Malangi Khan menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal
batas utara menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai dari pada sebelum terjadinya
perang. Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan
oleh para penduduknya yang pergi mengungsi, sekarang menjadi penuh lagi, bahkan
bertambah pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang untuk mencari
untung dalam perdagangan di tempat itu.
Kota Kun-lip
juga menjadi ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar
dan perdagangan di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apa
bila kota ini banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi
subur dan maju.
Setelah
mendengar bahwa peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke
selatan, Lili tidak segera kembali ke Shaning karena dia masih belum
menghabiskan tapa gagunya. Dia merasa amat tidak enak untuk berhadapan dengan
orang-orang yang dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu
dan tidak boleh bicara ini!
Sekarang ia
maklum kenapa gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam
waktu ia masih melatih diri dengan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat. Selain tapa
gagu ini merupakan ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun
mempelajari ilmu silat yang aneh dan sukar itu, juga pada waktu melatih ilmu
silat ini, tenaga lweekang selalu terkumpul di dalam dadanya sehingga dengan
mudah disalurkan ke arah kedua tangannya. Kalau ia membuka mulut bicara, maka
itu berarti perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar
atau membocor keluar. Memang, untuk berlatih Hang-liong Cap-it Ciang-hoat
dibutuhkan perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.
Pada pagi
hari itu, sudah genap dua puluh hari dia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong
Cap-it Ciang-hoat telah hampir sempurna dilatih. Tiga hari lagi dia sudah dapat
membuka pantangan bicara, dan hari itu dia berjalan-jalan di dalam kota
Kun-lip. Ketika ia berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba
ada orang memanggilnya,
“Lili...!”
Ia cepat
menengok dan melihat Song Kam Seng tengah duduk di belakang sebuah meja di
halaman luar restoran itu sambil menghadapi hidangan.
“Nona Hong
Li, kau hendak kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah
sangat lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?” Kam Seng
bertanya dengan ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini.
Akan tetapi,
biar pun di dalam hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah
memperlihatkan jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia
tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena dia masih sedang
berpantang bicara. Maka dia berpura-pura tidak melihat, cepat membuang muka dan
hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Gadis liar, baru sekarang aku mendapat
kesempatan melunaskan perhitungan!”
Tiba-tiba
dari belakangnya, Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan
tubuh melompat ke kanan. Ternyata yang baru menyerangnya itu adalah Ban Sai
Cinjin dengan huncwe mautnya!
Kakek ini
memang sedang berada di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri,
sebetulnya kakek itu sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka
Lili tidak melihatnya. Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena
dia teringat betapa gadis ini pernah menghina dan mengganggunya, dan betapa
ayah gadis ini juga sudah menghinanya secara luar biasa sekali.
Karena Lili
tidak bisa membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan menatap ke
arah Ban Sai Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu
untuk berkelahi oleh karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi
akan sempurna. Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa
dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat.
Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini
akan melayani dan menghajarnya.
“Bocah,
bersedialah untuk mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak sambil sekaligus dia
mengirim dua macam serangan.
Tangan
kanannya memukulkan huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat
untuk mengirim tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu akan melompat ke
belakang.
Melihat
gerakan kakek ini, Lili segera tahu bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini
telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang
telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan bahkan telah dihajar setengah mati
oleh Pendekar Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin dia lalu
memperdalam ilmu silatnya atas bantuan suheng-nya, yaitu Wi Kong Siansu yang
lihai dan yang berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).
Menghadapi
serangan Ban Sai Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan
menekuk lutut, mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, karena ia
masih belum mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.
“Susiok,
jangan ganggu Nona Sie!” Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susiok-nya, sedangkan
orang-orang yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat
pertempuran, pada melarikan diri dengan ketakutan.
Delapan
jurus sudah dimainkan oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili. Akan tetapi
setelah melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, ternyata gadis ini
telah mendapat kemajuan yang sangat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga
tubuhnya menjadi ringan dan gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari
Ban Sai Cinjin itu seakan-akan menyerang sehelai bulu yang sedemikan ringan
sehingga yang diserang telah melayang pergi sebelum pukulannya tiba.
“Susiok,
jangan berlaku kejam!” tiba-tiba saja Kam Seng yang semenjak tadi memandang
dengan penuh kegelisahan, kini mendadak meloncat maju dan…
“Tranggg…!”
terdengar suara nyaring ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam
Seng!
Lili
menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada
kedua orang yang kini saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin
mendelik dan terputar-putar saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada
tanda bekas luka-luka goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di
benteng orang Mongol, maka ia terlihat menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah
yang keluar dari mulut dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda
yang berdiri di depannya itu.
“Bangsat
terkutuk! Jadi kau hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak
membela orang yang menjadi musuh kami, menjadi musuhku sekaligus musuh gurumu?
Kau berani melawan Susiok-mu, anjing tak kenal budi?”
“Susiok,
kalau kau menyerang orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona
itu... ? Tidak, Susiok, biar pun aku harus mati, aku akan membelanya!”
“Bangsat,
kau cinta padanya, ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu ini? Kau
benar-benar anjing pengecut, karena itu kau harus mampus!” Dengan kemarahan
yang meluap-luap, Ban Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri.
Song Kam
Seng cepat menangkis dengan pedangnya, akan tetapi walau pun dia sudah
memperoleh warisan ilmu silat yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana dia
dapat melawan susiok-nya (paman gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat
sekali dan hanya dapat menangkis sambil mundur.
Sementara
itu, Lili berdiri dengan sepasang mata menjadi basah. Dia teringat pula akan
pengalamannya dahulu ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu
telah menciumnya dan hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir
saja membunuhnya dan semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda
itu.
Ia maklum
bahwa Kam Seng amat membenci ayahnya dan juga tentu sudah berusaha membencinya
karena ayah Kam Seng tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata
pemuda itu tetap tidak mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya
terhadap dirinya masih amat besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan
paman guru sendiri dan berani pula mengorbankan nyawa. Mengingat sampai di
sini, Lili segera melompat maju hendak membantu Kam Seng, akan tetapi
terlambat!
Dengan satu
serangan secepat kilat, Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda
itu yang terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya!
Ban Sai Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba
dia merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat-cepat
memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun
huncwe-nya ke arah kepala gadis ini.
Lili
menyambutnya dengan gerakan dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan dengan amat
mudah huncwe itu terampas olehnya, ditekuk di antara jari tangannya dan…
“Pletak!”
patahlah huncwe maut dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!
Terbelalak
mata Ban Sai Cinjin memandang ke arah Lili karena tidak disangkanya sama sekali
bahwa gadis ini mampu merampas huncwe-nya dengan tangan kosong. Ia segera
melompat ke belakang dan melarikan diri!
Lili hendak
mengejarnya akan tetapi dia mendengar keluhan perlahan, maka dia teringat
kembali kepada Kam Seng. Cepat-cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih
itu. Bukan main mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu
telah retak dan berlumur darah!....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment