Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 24
Lili
berlutut dan mengangkat kepala pemuda itu, kemudian dipangkunya dan dengan sapu
tangannya, dia menyusuti darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu
membuka matanya dan tersenyum!
“Lili...
akhirnya aku dapat menebus dosaku kepadamu... aku sudah tersesat... aku salah
duga... ayahmu seorang pendekar besar, seorang budiman, ada pun ayahku...
ayahku... dia... dia seperti aku... tersesat…” sampai di sini kedua mata pemuda
itu mengalirkan air mata.
Lili tidak
dapat menahan keharuan hatinya dan dia mendekap muka Kam Seng dengan kedua
tangannya sambil menangis terisak-isak! Walau pun tidak boleh bicara, gadis ini
masih boleh menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.
“Lili... kau
menangis...? Kau menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik... tak
pantas menangisi seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng...
Lili, terima kasih... sampaikan hormatku kepada ayah bundamu..., dan salamku
kepada... kepada... semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun... tunanganmu...”
Maka
habislah napas Kam Seng, pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir
dapat menghembuskan napas penghabisan dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh
hatinya!
Lili
menggunakan tulisan untuk menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis
ini masih memiliki banyak potongan uang emas, maka segala urusan penguburan
jenazah Kam Seng dapat dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ
menganggap bahwa dia adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa
heran bahwa dia tidak dapat bicara.
Setelah
beres mengurus pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili
lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang kebenciannya kepada Ban Sai Cinjin
bertambah lagi, dan dia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati
Song Kam Seng, pemuda yang malang itu.
Hatinya
berdebar tidak enak kalau dia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng,
yang menyebut-nyebut Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai di mana kebenaran
ucapan ini? Ia tidak merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguh pun paman
dari Kam Liong, yaitu Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu dulu
pernah membikin dia marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara
begitu saja!
Juga
diam-diam ia merasa girang karena di dalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia
sudah mempergunakan sejurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan yang sejurus
itu telah membuat ia berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai
Cinjin!
Dia maklum
bahwa sebelum dia memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, meski pun dia memegang
pedang dan kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan
semudah tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga
hari kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.
Dari kota
Kun-lip, Lili kemudian menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke
Shaning, ia bermaksud untuk singgah terlebih dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk
mencari kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Dia teringat pula
bahwa Ang I Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh
suaminya, maka dia kemudian mempercepat perjalanannya sebab ia pun merasa
kuatir apa bila Ang I Niocu mengalami kecelakaan pula.
Menghadapi
orang-orang seperti Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga
amat curang dan licik, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, walau yang
menghadapi mereka itu seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekali
pun!
Ketika dia
tiba di dusun Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar
dan mewah, dia terkejut sekali karena gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan
bumi dan menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah
membakar bagian dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul
telah habis dan menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?
Agar jangan
menarik perhatian orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia
diam-diam lalu meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan di mana
terdapat kelenteng tempat Ban Sai Cinjin bersama kawan-kawannya bersembunyi
itu. Dia sengaja menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia menggunakan
kepandaiannya jalan malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.
Ketika dia
tiba di sebuah hutan pohon pek di mana di tengahnya terdapat sebuah bukit
kecil, tiba-tiba ia menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis
di atas bukit kecil itu!
Kalau saja
Lili bukan seorang yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram
mendengar suara orang menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu.
Akan tetapi, puteri Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan cepat
menghampiri tempat itu!
Malam hari
itu bulan muncul setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih
terang dan permukaannya masih lebih dari separuhnya. Oleh karena sinar bulan
memang mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi sekaligus juga menyeramkan,
tergantung dari tempat di mana bulan mematulkan cahayanya, maka di dalam hutan
itu kelihatan benar-benar mengerikan.
Pohon-pohon
pek yang besar itu kini di bawah sinar bulan nampak laksana setan-setan raksasa
sedang menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun
merupakan binatang berbentuk aneh yang berwarna hitam, yang bersiap untuk
menyeruduk siapa saja yang lewat di hutan itu.
Semua
keseraman ini ditambah lagi oleh suara binatang hutan. Sudah sepatutnya kalau
orang akan merasa lebih ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apa bila pada
saat dan di tempat seperti itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!
Akan tetapil
Lili yang sangat tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu
siapa orangnya yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis.
Ketika ia menyusup-nyusup di antara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil
itu, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu mengeluarkan
kata-kata yang amat jelas terdengar dan yang membuat wajahnya menjadi pucat
sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara itu sambil
menahan tindakan kakinya.
“Ang I
Niocu... tidak kusangka akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang
gagah perkasa. Ahh, kini aku teringat... aku teringat akan semua hal yang
mengerikan itu...”
“Suhu...!”
Lili berteriak pada saat mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang
tadinya berada di benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu.
Gadis ini
melompat dan setelah sampai di puncak bukit kecil di mana terdapat tanaman
bunga mawar hutan yang amat lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang
berlutut dan di depannya menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumuran darah dan
tubuhnya penuh luka-luka!
“Ie-ie Im
Giok...!” jeritan Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis
ini menubruk Ang I Niocu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus
dipangkunya.
Ang I Niocu
ternyata masih belum mati dan ketika dia memandang kepada Lili, bibirnya
tersenyum! Karena cahaya bulan hanya suram-suram, maka sekarang wajah Ang I
Niocu nampak cantik luar biasa dan senyumnya manis sekali, memlbuat hati Lili
menjadi makin terharu.
“Ie-ie Im
Giok, mengapa kau sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie
Im Giok??” tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.
“Lili anak
manis... tenanglah dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang... suamiku…” Ang I
Niocu sukar sekali mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka
hebat pula. Kemudian wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya
Lo Sian menceritakan pengalamannya dahulu.
Karena
maklum bahwa nyawa Ang I Niocu tak akan tertolong lagi, maka Lo Sian segera
menuturkan dengan singkat pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong
Sian, peristiwa yang sudah lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang
tiba-tiba saja telah kembali dalam ingatannya.
“Aku ingat
betul...” ia mulai dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Taihiap mengejar Bouw Hun
Ti murid Ban Sai Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Taihiap hendak
membalas dendam kepada Bouw Hun Ti yang sudah menculik Lili dan juga telah
membunuh Yo-lo-enghiong (Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong
Siansu. Pertempuran itu hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak
akan kalah kalau saja pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan
amat licik kakek mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti
menyerang pula dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian
Taihiap terkena pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan akhirnya tewaslah
dia!” Lo Sian berhenti sebentar, sedangkan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak
gemas sekali dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.
“Kemudian
dengan sedikit akal, yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil
kepala gundul Hok Ti Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap karena hendak
mengambil jantungnya, akhirnya aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya
di tempat ini.”
Demikianlah,
Lo Sian kemudian menuturkan pengalamannya seperti yang telah dituturkan dengan
jelas di dalam jilid terdahulu dari cerita ini.
Berkali-kali
Ang I Niocu mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata, “Bangsat
terkutuk Ban Sai Cinjin! Sayang aku tak memiliki kesempatan lagi untuk
menghancurkan batok kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku sudah membalaskan
dendam suamiku dan aku puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio serta
menghancurkan kuil itu.” Setelah mengeluarkan ucapan ini dengan penuh
kegemasan, kembali napasnya menjadi berat dan keadaannya payah sekali.
“Suhu,
mengapa tidak merawat Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat....”
Lo Sian
menggeleng kepalanya, dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala
masih di pangkuan Lili, “Percuma, Lili... percuma... luka-lukaku amat berat...
aku tak kuat lagi...!”
“Ie-ie Im
Giok! Jangan berkata begitu, Ie-ie!” Lili menangis!
“Anak baik,
setelah suamiku meninggal dan aku... aku sudah mendapatkan makamnya... apakah
yang lebih baik selain... menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya,
Hong Li, dan kau... sekali lagi kutanya... apakah kau membenci Siong-ji...?”
Bukan main
terharunya hati Lili. Dia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya mampu
menggelengkan kepalanya saja. Ia sendiri tak pernah dapat menjawab pertanyaan
dalam hatinya sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang
kadang-kadang timbul rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan
ini adalah karena ia teringat akan hubungan pemuda itu dengan... Lilani! Lebih
tepat disebut cemburu dari pada gemas.
“Kalau
begitu... Hong Li, berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya!
Aku... aku akan merasa gembira sekali, dan juga ayahnya akan... puas melihat
kau sebagai... mantunya! Sukakah kau, Hong Li...!”
Lili tentu
saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini, meski pun ia dapat mengerti bahwa
pertanyaan ini keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang
harus dijawab.
“Ie-ie Im
Giok, kenapa kau tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab,
Ie-ie? Urusan pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”
“Cin Hai dan
Lin Lin tentu akan setuju…,” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu
berkata kepada Lo Sian, “Lo-enghiong, kau... kuserahi kekuasaan untuk...
menjadi wakilku... untuk menjadi wali dari Siong-ji... engkaulah yang akan
mengajukan lamaran kepada Pendekar Bodoh...”
“Tentu, Ang
I Niocu, tentu aku suka sekali. Aku merasa sangat terhormat untuk menjadi
wakilmu dalam hal ini,” jawab Lo Sian dengan terharu.
Keadaan Ang
I Niocu makin lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian serta
menyebut nama Lie Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang
namanya pernah menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir
di dalam pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.
Setelah
menangisi kematian Ang I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian
lalu menguburkan jenazah Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian.
Kemudian mereka duduk menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu
menuturkan keadaan dan pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari
penuturan Ang I Niocu sendiri sebelum Lili datang.
Seperti
sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah berkumpul sebentar dengan Lili, Ang
I Niocu dengan hati marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul
puteranya. Dari gadis inilah pertama kali dia mendengar bahwa suaminya telah
terbunuh orang, dan bahwa Lie Siong telah melakukan penyelidikan untuk mencari
pembunuh itu.
Sampai
beberapa lamanya dia merantau ke selatan, sehingga akhirnya pergilah dia ke
Tong-sin-bun, karena dari Lili dia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga dia
ingin sekali bertemu dan memberi hajaran kepada Ban Sai Cinjin, juga hendak
mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.
Ketika ia
tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengemis
yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di
pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat
keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah
ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis
Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik
oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum Ang I Niocu sempat menegurnya, Sin-kai Lo
Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,
“Bukankah
Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”
“Sin-kai
Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di
manakah puteraku?”
“Siauwte
tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak pernah saling
bertemu lagi.”
Ang I Niocu
mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata,
“Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku sudah berlaku kurang ajar dan
menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendak anak itu? Apakah betul kau
mengetahui siapa pembunuh suamiku?”
Lo Sian
mengangguk. “Tidak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap adalah
Ban Sai Cinjin.”
Kemudian
Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika dia dan Lie Siong
tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku sudah
membunuh Lie Kong Sian.
“Jadi kau
sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan di mana pula dia
dikubur?” Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh
gelombang kedukaan dan kemarahan.
Lo Sian
menggeleng kepalanya dengan sedih. “Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku
belum mendapatkan ingatanku kembali. Aku sengaja datang ke sini untuk
menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali.
Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas...”
“Tentu saja
aku hendak menuntut balas! Di mana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I
Niocu memotong dengan tak sabar lagi.
“Nanti dulu,
Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan
seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biar
pun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan sanggup mengalahkannya, akan tetapi
di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi
Kong Siansu yang menjadi suheng-nya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi
dari pada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang walau pun hanya
menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang
mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek
Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh
kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu
hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”
“Lekas
katakan, di mana letak rumahnya dan di mana pula kuilnya? Aku hendak mencari
Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi
marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam
telinganya.
Lo Sian
menjadi heran sekali, dan melihat kemarahan orang dia tidak berani membantah
lagi. Dia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar
biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah
dia bisa dipukul roboh, maka dia lalu cepat-cepat memberi petunjuk di mana
adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan di mana pula letak kuil di dalam hutan
dekat dusun Tong-sin-bun itu.
Setelah
mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan
terima kasih segera menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian.
Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya.
Ia percaya
penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan
ginkang-nya sehingga dapat melenyapkan diri demikian cepatnya, akan tetapi
tetap saja dia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu mampu mengalahkan Ban
Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tak mudah
untuk dikalahkan. Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang
mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban
Sai Cinjin, apa lagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah dia lalu mengejar ke
dalam dusun itu.
Ternyata
oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai
Cinjin atau pun tokoh-tokoh lainnya, kecuali hanya beberapa belas orang anak
buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi
selirnya.
Di dalam
kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini
dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat dari pada
perbuatan Lie Siong satu tahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah
seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan
puing! Hal ini dapat terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu
menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.
Kemudian
pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah
menjadi gelap dan pada waktu dia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng
itu telah dipasang api yang terang.
Ada pun Lo
Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari
jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun
penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam dia menarik napas panjang menyesali
perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa
dari pendekar wanita yang murka itu.
Kemudian,
setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, dia
pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa
menghadapi Ang I Niocu, dia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu
takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu,
masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk
menolongnya apa bila perlu dan tenaganya mengijinkan.
Sebagaimana
telah dikuatirkan oleh Lo Sian, ternyata benar saja kedatangan Ang I Niocu ini
sudah diduga lebih dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu sampai
di depan kuil yang terang sekali karena di sana dipasang banyak penerangan,
dari dalam muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui,
Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari
Shan-tung yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio
gundul pula yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!
Melihat asap
hitam yang mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, Lo Sian segera maklum bahwa
kakek mewah itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa
dia sudah menanti kedatangan Ang I Niocu!
Akan tetapi
Ang I Niocu tidak merasa takut seujung rambut pun, bahkan kemudian dia
menudingkan pedang yang bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.
“Apakah
engkau yang bernama Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong
Sian?”
Mendengar
pertanyaan yang sifatnya langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk
menghilangkan kegelisahannya melihat wanita yang sangat hebat ini. “Ang I
Niocu, suamimu tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau harus
penasaran? Sebaliknya kaulah yang sudah melakukan perbuatan keterlaluan sekali,
yaitu membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh
seorang gagah?”
“Bangsat
terkutuk! Mana suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertempur dalam pibu
yang adil? Kau tentu sudah melakukan kecurangan seperti yang biasa kau lakukan.
Kau mengira aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau,
hendak kulihat bagaimana kau sampai mampu mengalahkan suamiku!” Sambil berkata
demikian dengan mata menyala-nyala Ang I Niocu kemudian melompat mundur dan
melambaikan pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.
Hati Ban Sai
Cinjin menjadi gentar juga melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua
dari sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan
Ang I Niocu. Pedang itu mencorong dan mengeluarkan sinar putih menyilaukan.
Cahaya lampu yang banyak itu membuat pedang itu semakin berkilauan lagi. Oleh
karena itu, dia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.
Mendadak
terdengar suara ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru
saja keluar dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi
kawan-kawannya. Memang akhir-akhir ini di dalam kuil itu telah berkumpul
beberapa belas orang hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan
tetapi yang sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok
kepala gundul dan jubah pendeta!
“Lihat,
orang macam itu hendak melawan Suhu!” Hok Ti Hwesio berkata kepada
kawan-kawannya atau boleh juga disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa
menyeringai.
Melihat
rombongan hwesio muda ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang
seorang hwesio yang menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin
sekali dia bertanya sambil memandang ke arah mereka,
“Aku pernah
mendengar nama Hok Ti Hwesio, entah siapakah di antara kalian bernama begitu?”
Hok Ti
Hwesio memperkeras suara tawanya, lalu berkata, “Ang I Niocu, kau disohorkan
orang sebagai seorang pendekar wanita baju merah yang cantik bagai bidadari.
Sekarang kau datang menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku?
Hemm, akulah yang tidak mau, Niocu, karena biar pun bajumu masih merah, akan
tetapi mukamu sudah amat tua, terlalu tua...”
Belum sempat
Hok Ti Hwesio menutup mulutnya, tampaklah berkelebat bayangan merah yang
didahului oleh sinar putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.
“Awas...!”
teriak Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng.
Dengan kaget
sekali Hok Ti Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga terhindar
dari sambaran pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu. Dengan gerak tipu
Trenggiling Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio langsung bergulingan
menjauhkan diri. Akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking
marahnya, Ang I Niocu terus mengejarnya!
Dua orang
hwesio murid Hok Ti Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam
menyambar, terbabat putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio
muda yang lain menjadi ngeri dan mundur, ada pun Hok Ti Hwesio telah melompat
berdiri.
Hwesio ini
telah mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak takut. Dia mencabut pisau
terbangnya dan begitu Ang I Niocu menyerang, dia cepat menyambut dengan
pisaunya yang lihai. Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah
terbabat putus!
Hok Ti
Hwesio membaca mantera dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I
Niocu, lalu membentak sambil mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang
I Niocu. Inilah ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong
roboh lawan.
Ang I Niocu
merasa ada tenaga yang mukjijat menyambarnya dari arah depan. Cepat dia
menggerakkan lengan kirinya, maka mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat
itu ketika dia mengerahkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dia pelajari dari Bu
Pun Su.
“Suhu...
tolong...!” Akhirnya Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena dia benar-benar
telah terdesak hebat.
Memang
semenjak tadi Ban Sai Cinjin sudah hendak menolongnya dan sekarang hwesio mewah
ini lalu mengayun huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang! Ang I
Niocu yang sudah menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang
kepala tanpa menengok lagi sambil mengirim pukulan Pek-in Hoat-sut dengan
tangan kirinya ke arah Hok Ti Hwesio.
Sungguh
gerakan yang sangat luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari
belakang tanpa menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang
tidak mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sian-li
Utauw yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.
“Traaang…!”
Ujung huncwe
itu, yakni pada bagian kepalanya yang mengeluarkan asap hitam, terbabat rompal
oleh pedang Liong-cu-kiam sehingga Ban Sai Cinjin lantas melompat ke belakang
dengan kaget.
Ada pun Hok
Ti Hwesio yang mengandalkan ilmu kebalnya yang lihai, hanya miringkan tubuhnya
sambil membalas menyerang dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi bukan main
kagetnya ketika dia merasa betapa dadanya yang sudah miring itu tetap terdorong
oleh tenaga raksasa dari pukulan lawan ini. Ia tak dapat mempertahankan kedua
kakinya lagi dan terlemparlah dia ke belakang!
Akan tetapi,
dengan heran dan makin marah Ang I Niocu melihat betapa hwesio muda itu sama
sekali tidak kelihatan sakit dan telah berdiri kembali. Namun Ang I Niocu tidak
mau memberi kesempatan lagi kepadanya dan cepat pedangnya digerakkan secara
luar biasa sekali ke arah tubuh hwesio itu.
Hok Ti
Hwesio masih berusaha mengelak dan melompat, akan tetapi sinar pedang itu terus
mengurungnya dari segenap penjuru sehingga tidak ada jalan keluar lagi baginya.
Sesudah tiga kali dia berhasil mengelak, pada kali ke empat Liong-cu-kiam
menembus pahanya sehingga dia roboh terguling bermandikan darah dan
berkaok-kaok seperti babi disembelih! Akan tetapi sekejap kemudian, mulutnya
tak dapat mengeluarkan suara lagi karena pedang Liong-cu-kiam secepat kilat
telah menembus jantungnya!
Bukan main
marahnya Ban Sai Cinjin melihat muridnya yang tersayang sudah binasa di tangan
Ang I Niocu. Maka, sambil berseru bagaikan guntur, dia menyerang lagi dengan
huncwe-nya yang ujungnya telah gompal. Ada pun Wi Kong Siansu juga merasa
sangat penasaran melihat sepak terjang Ang I Niocu yang tidak mengenal ampun.
“Ang I
Niocu, sepak terjangmu bukan seperti seorang gagah, tapi lebih pantas seperti
iblis wanita!” seru Wi Kong Siansu sambil melompat maju karena ia maklum bahwa
sute-nya, Ban Sai Cinjin, agaknya bukan lawan wanita gagah ini.
“Wi Kong,
tua bangka tak tahu malu! Kau juga sudah mengotorkan tanganmu dan turut
membantu sute-mu membunuh suamiku. Tua bangka sesat, majulah kau untuk menerima
hukuman dari Ang I Niocu!” seru Ang I Niocu dengan marah sekali.
Muka Wi Kong
Siansu menjadi merah dan dia cepat mencabut pedangnya Hek-kwi-kiam (Pedang
Setan Hitam) maka sebentar saja Ang I Niocu telah dikeroyok dua oleh Ban Sai
Cinjin dan Wi Kong Siansu.
Tingkat
kepandaian Wi Kong Siansu memang lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin dan hal
ini diketahui dengan cepat oleh Ang I Niocu. Gerakan pedang pada tangan Wi Kong
Siansu selain sangat cepat dan berbahaya, juga tenaga lweekang dari tosu ini
pun jauh lebih kuat dari pada Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi,
kalau saja Ang I Niocu hanya menghadapi Wi Kong Siansu seorang, dia tak akan
kalah dan agaknya sulit bagi tosu itu untuk dapat mengimbangi permainan pedang
yang luar biasa hebatnya dari pendekar wanita baju merah itu. Namun, dengan
adanya Ban Sai Cinjin yang memainkan huncwe-nya secara hebat pula, Ang I Niocu
menghadapi lawan yang amat tangguh.
Betapa pun
juga, Ang I Niocu pun tidak memperlihatkan perasaan jeri, bahkan karena dia
sedang marah dan sakit hati sekali, maka gerakan pedangnya adalah gerakan dari
orang yang nekat dan hendak mengadu jiwa, maka masih kelihatan betapa Wi Kong
Siansu dan Ban Sai Cinjin yang masih menyayangi jiwa sendiri itu selalu
terdesak mundur!
Tentu saja
hal ini mengagetkan orang-orang gagah yang berada di sana. Orang yang masih
mampu mendesak mundur Wi Kong Siansu beserta Ban Sai Cinjin, sukar dicari
keduanya di dunia ini!
Diam-diam
Hailun Thai-lek Sam-kui menjadi amat gembira. Tangan mereka telah merasa
gatal-gatal karena makin tangguh lawan, makin besar keinginan mereka untuk
mencoba kepandaiannya.
Akhirnya,
tiga orang kakek ini tak dapat menahan keinginannya lagi dan sambil berseru
keras mereka lalu menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, sehingga kini Ang I
Niocu dikeroyok lima!
Melihat hal
ini, Lo Sian menjadi bingung sekali. Kalau ia maju membantu Ang I Niocu, hal
itu takkan ada artinya sama sekali. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah
jauh dan bantuannya tidak akan menolong Ang I Niocu, bahkan jangan-jangan malah
akan menghancurkan daya tahan dari pendekar wanita baju merah itu. Akhirnya ia
mendapat akal dan larilah Pengemis Sakti ini ke belakang kuil itu.
Karena semua
orang telah berlari ke depan, maka keadaan di belakang kuil sunyi sekali.
Dengan enaknya Lo Sian lalu menurunkan lampu dan menggunakah minyak serta api
untuk membakar kuil. Ia membakar bagian yang terisi banyak kertas maka sebentar
saja kuil itu menjadi lautan api yang mengamuk dari bagian belakang!
Ketika itu
Ang I Niocu sudah mulai terdesak hebat, sungguh pun pedang Liong-cu-kiam sudah
membabat putus rantai besar milik Lak Mau Couwsu dan sudah melukai pundak Bouw
Ki sehingga orang ke tiga dan ke dua dari Hailun Thai-lek Sam-kui tidak dapat
lagi mengeroyok. Sebagai gantinya, kedua saudara Can kini telah maju
mengeroyok.
Ang I Niocu
mengertak gigi kemudian memutar pedangnya lebih hebat lagi. Karena dia tidak
mudah merobahkan para pengeroyoknya, kini dia mulai mengincar hwesio-hwesio
yang menjadi murid Hok Ti Hwesio dan yang masih merubung mayat Hok Ti Hwesio
dengan muka pucat. Begitu ia mendapat kesempatan, Ang I Niocu melompat keluar
dari kepungan lima orang pengeroyoknya dan menerjang kawanan hwesio itu yang
menjadi geger. Kembali tiga orang hwesio telah roboh mandi darah dalam keadaan
mati!
“Ang I Niocu
manusia kejam!” Wi Kong Siansu membentak marah.
Akan tetapi
pada saat itu Ang I Niocu telah mengejar dua orang hwesio lain yang lantas
dibabatnya sehingga tubuh kedua orang ini putus menjadi dua! Diam-diam kelima
orang pengeroyok ini menjadi ngeri juga menyaksikan keganasan Ang I Niocu yang
betul-betul seperti telah berubah menjadi kejam itu. Dengan sepenuh tenaga,
mereka mengerahkan kepandaian mereka untuk merobohkan Ang I Niocu.
Para
pengeroyok Ang I Niocu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yan menduduki
tingkat atas. Wi Kong Siansu mendapat julukan Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua
Pencabut Nyawa), seorang tokoh dari Hek-kwi-san yang di samping memegang pedang
Hek-kwi-kiam, juga mainkan ilmu pedang Hek-kwi Kiam-hoat. Ilmu pedangnya sudah
mencapai tingkat yang tidak kalah oleh Ang I Niocu sendiri.
Juga Ban Sai
Cinjin tadinya sudah amat lihai, dan akhir-akhir ini dia memperdalam ilmu
silatnya lagi sehingga dia memperoleh kemajuan besar. Ilmu tongkatnya yang
dimainkan dengan sebatang huncwe itu benar-benar merupakan tangan maut yang
siap menjangkau nyawa lawan.
Pengeroyok
ke tiga adalah Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Tiga Iblis Geledek
dari Hailun. Baru julukannya saja sudah Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor
Satu di Kolong Langit), maka sudah dapat dibayangkan betapa lihainya payung
yang dia mainkan!
Pengeroyok
ke empat dan ke lima adalah Can Po Gan dan Can Po Tin, kakak beradik jago dari
Shan-tung yang memiliki kepandaian tinggi pula. Maka tentu saja setelah dapat
mempertahankan diri sampai seratus jurus lebih, akhirnya Ang I Niocu menjadi
repot dan terdesak hebat sekali.
Beberapa
kali dia telah menderita luka-luka hebat, akan tetapi berkat latihan-latihan
dan pengalaman-pengalamannya, maka pendekar wanita ini masih mampu
mempertahankan diri dan pada saat ia menerima sambaran senjata lawan yang
mengenai dekat lehernya, ia telah dapat menancapkan pedangnya di lambung Can Po
Tin hingga orang ini menjerit keras lalu roboh tak bernyawa pula!
Ang I Niocu
terhuyung-huyung akan tetapi ia masih dapat melawan dengan nekat. Ketika Can Po
Gan yang menjadi marah menerjangnya, pendekar wanita ini kembali menerima
pukulan pada pundaknya, akan tetapi sekali tangan kirinya melancarkan pukulan
Pek-in Hoat-sut ke arah dada Can Po Gan, orang ini langsung memekik keras dan
terlempar ke belakang dengan dada pecah!
Pada saat
itu juga nampak cahaya api dan kagetlah para pengeroyok Ang I Niocu ketika
melihat betapa kuil itu kini telah menjadi lautan api! Ban Sai Cinjin adalah
orang pertama yang merasa paling kaget dan marah. Ia sudah mendengar betapa
rumah gedungnya di Tong-sin-bun telah menjadi abu, dan sekarang kembali kuilnya
yang indah mentereng ini hendak dimakan api!
Maka dia
lalu melompat meniggalkan Ang I Niocu untuk mengusahakan pemadaman api yang
membakar kuil. Akan tetapi sia-sia belaka karena api telah menjalar dan
nyalanya telah terlampau besar untuk dapat dipadamkan lagi.
Sementara
itu, Ang I Niocu yang merasa betapa kepungannya kini agak longgar, lalu
melompat ke belakang. Dia sudah terlalu letih dan merasa bahwa dia tidak kuat
untuk melawan lagi. Dia melarikan diri ke belakang, dikejar oleh Wi Kong Siansu
dan Thian-he Te-it Siansu, dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi.
Kedua orang tosu ini hendak menangkap Ang I Niocu yang dianggapnya terlalu
ganas dan kejam itu.
Sungguh pun
Ang I Niocu memiliki ginkang yang luar biasa dan kalau sekiranya dia tidak
terluka, kedua orang tokoh besar ini pun belum tentu bisa mengejarnya. Akan
tetapi pada saat itu pendekar wanita ini sudah terluka hebat dan tubuhnya telah
mandi darah yang mengucur dari luka-lukanya.
Ia mencoba
untuk menguatkan tubuhnya, berdiri tegak menunggu kedatangan dua orang
pengejarnya untuk dilawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba sepasang matanya
menjadi gelap, kepalanya pening dan robohlah dia tidak sadarkan diri lagi! Dari
belakang pohon melompat keluar Lo Sian yang cepat memondong tubuh Ang I Niocu,
lalu dibawa lari ke dalam hutan.
Melihat hal
ini, Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu menjadi marah sekali dan mengejar
makin cepat. Sin-kai Lo Sian menjadi sibuk sekali karena bagaimana ia dapat
melepaskan diri dari kejaran dua orang yang memiliki kepandaian berlari cepat
jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya?
Dalam gugupnya,
Lo Sian lalu lari sejadi-jadinya sehingga dia menubruk rumpun berduri dan terus
saja jatuh bangun serta bergulingan sambil memondong tubuh Ang I Niocu! Betapa
pun juga, tetap saja dia mendengar suara dua orang pengejarnya yang lihai.
Ketika Wi
Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu sudah hampir dapat menyusul Lo Sian,
tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan di dalam hutan itu muncul seorang kakek
kate yang memegangi sebuah guci arak dan sebentar-sebentar menenggak isi
ciu-ouw itu sambil melenggang dan kemudian bernyanyi-nyanyi riang! Kakek kate
ini berjalan tepat di tengah lorong menghadang kedua orang tosu yang mengejar
Lo Sian dan ketika mereka sudah berhadapan, kakek kate itu dengan suara masih
dinyanyikan lalu menegur,
“Dua orang
tua bangka mengejar-ngejar orang dengan senjata di tangan dan hawa maut
terbayang di mata, sungguh mengerikan!”
Wi Kong
Siansu dan Thian-he Te-it Siansu cepat memandang dan bukan main kaget hati
mereka ketika melihat bahwa yang menghadang di depan mereka itu adalah Im-yang
Giok-cu, tokoh besar di Pegunungan Kun-lun-san yang jarang sekali
memperlihatkan diri di dunia ramai!
Sebagaimana
para pembaca tentu masih ingat, Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak ini dahulu bersama
Sin Kong Tianglo yang berjuluk Yok-ong (Si Raja Obat) pernah menjadi guru dari
Goat Lan. Pada saat itu, dalam perantauannya Im-yang Giok-cu mendengar bahwa
kitab obat Thian-te Ban-yo Pit-kip peninggalan sahabatnya, Sin Kong Tianglo
yang dulu oleh dia sendiri diberikan kepada Goat Lan, telah dicuri oleh Ban Sai
Cinjin, maka malam hari ini ia memang sengaja hendak mencari Ban Sai Cinjin
untuk urusan itu.
Kebetulan
sekali di dalam hutan ini melihat Wi Kong Siansu dan Thian-te Te-it Siansu
sedang mengejar-ngejar seorang pengemis yang membawa lari tubuh seorang nenek
tua. Ia tidak mengenal Lo Sian, juga tidak tahu bahwa nenek tua yang dibawa
lari oleh Lo Sian itu adalah Ang I Niocu, akan tetapi ia cukup tahu akan Wi
Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu yang kabarnya memusuhi muridnya, Goat
Lan! Oleh karena inilah maka Im-yang Giok-cu sengaja menghadang mereka untuk
menolong orang yang dikejar itu.
Wi Kong
Siansu cepat mengangkat dua tangan memberi hormat lalu berkata, “Apa bila tidak
salah, kami sedang berhadapan dengan sahabat dari Kun-lun-san Im-yang Giok-cu.
Tidak tahu malam-malam begini hendak pergi ke manakah, Toyu (sebutan untuk
kawan seagama To)?”
Karena
Im-yang Giok-cu tidak mengenal Lo Sian dan mengerti bahwa kini orang yang
dikejar itu sudah lari jauh dan di dalam gelap ini tidak mungkin dapat disusul
lagi, ia pun tidak mau mencampuri urusan orang, hanya berkata,
“Wi Kong
Siansu, aku hendak mencari sute-mu yang kabarnya sudah mencuri kitab Thian-te
Ban-yo Pit-kip dari mendiang Sin Kong Tianglo sahabat baikku. Sute-mu harus
mengembalikan kitab itu dengan baik-baik kepadaku untuk kukembalikan kepada
muridku Kwee Goat Lan. Harap sute-mu suka memandang mukaku dan jangan main-main
dengan seorang anak-anak seperti muridku itu.” Setelah berkata demikian, Si
Kate ini kemudian menenggak guci araknya.
Thian-he
Te-it Siansu yang memang suka sekali berkelahi dan sekarang sedang marah sekali
karena dua orang sute-nya tadi sudah dikalahkan oleh Ang I Niocu, dengan sikap
menantang, kakek yang sama katenya dengan Im-yang Giok-cu ini lalu melompat
maju sambil menggerak-gerakkan payungnya dan berkata,
“Im-yang
Giok-cu, kau minggirlah dulu agar aku dapat menangkap setan wanita tadi! Ada
urusan boleh diurus nanti.”
Akan tetapi
Im-yang Giok-cu juga menggerak-gerakkan guci araknya dan berkata, “Tidak bisa,
tidak bisa! Urusanku lebih penting lagi, urusanmu mengejar-ngejar dan
mengeroyok orang yang sudah berlari, sungguh tidak patut dan dapat dihabiskan
saja!”
Thian-he
Te-it Siansu marah sekali dan cepat payungnya bergerak menyambar ke dada
Im-yang Giok-cu. Akan tetapi Si Dewa Arak ini menggerakkan guci araknya
menangkis.
“Krakk!”
Terdengar
suara dan patahlah ujung payung orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui,
sedangkan beberapa tetes arak melompat keluar dari guci itu dan tepat sekali
dua tetes di antaranya menyambar lurus ke arah kedua mata Thian-he Te-it
Siansu! Orang cebol ini terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur.
Wi Kong
Siansu yang cerdik segera melerai. Dia lebih maklum bahwa tokoh besar dari
Pegunungan Kun-lun ini adalah suhu dari Kwee Goat Lan dan tentu saja boleh
disebut berpihak kepada Pendekar Bodoh besertas kawan-kawannya, dan dia maklum
pula akan kelihaian kakek ini, maka dia lalu berkata,
“Im-yang
Giok-cu, kau tidak tahu bahwa kuil sute-ku telah terbakar, maka marilah kita
bersama ke sana dan tentang kitab obat itu boleh kau tanyakan kepada sute-ku.
Di antara kita sendiri, mengapa saling serang?”
Im-yang
Giok-cu tertawa bergelak, lalu menjawab, “Bagus, inilah baru ucapan seorang
cerdik! Urusan harus diselesaikan dahulu, untuk pibu...” dia melirik Thian-he
Te-it Siansu, “puncak Thian-san masih cukup luas, ada pun musim chun memang
selalu menimbulkan kegembiraan pada semua orang untuk main-main!”
Mendengar
sindiran ini, Wi Kong Siansu segera maklum bahwa kakek kate yang lihai ini
sudah mendengar pula tentang tantangan pibu antara dia melawan Pendekar Bodoh
dan kawan-kawannya, maka diam-diam dia mengeluh.
Akan tetapi
ketika mereka bertiga mendapatkan Ban Sai Cinjin di depan kuil, ternyata bahwa
kuil itu semua telah dimakan api. Tak sepotong pun barang dapat diselamatkan,
termasuk kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip juga ikut musnah terbakar.
Untuk
membuktikan bahwa kitab itu betul-betul terbakar, Ban Sai Cinjin lalu minta
kepada Im-yang Giok-cu untuk menanti sampai api betul-betul padam, kemudian ia
membongkar tempat di mana kitab itu tadinya disimpan yaitu dalam sebuah peti.
Peti itu telah menjadi abu dan pada waktu dibongkar, benar saja di dalamnya
terdapat abu sebuah kitab yang samar-samar masih dapat dilihat tulisannya!
Im-yang
Giok-cu menarik napas panjang dan berkata, “Kitab ini telah menyusul pemilik
dan penulisnya. Sudahlah, aku tak dapat berkata apa-apa lagi!” Ia lalu
melenggang pergi sambil menenggak araknya, tak seorang pun berani mencegah atau
mengganggunya.
Ada pun Lo
Sian yang dapat melarikan diri sambil memondong tubuh Ang I Niocu yang berlumur
darah, tanpa disengaja telah lari ke atas bukit di tengah hutan di mana dahulu
dia mengubur jenazah Lie Kong Sian! Bagaikan ada dewa yang menuntunnya, di
dalam kebingungannya melarikan diri dari kedua orang pengejarnya, Lo Sian naik
terus dan di antara pohon-pohon pek itu dia melihat ada serumpun bunga mawar
hutan yang sedang berkembang. Maka saking lelahnya, ia lalu meletakkan tubuh
Ang I Niocu di atas rumput.
Kemudian,
pemandangan di sekitarnya serta keharuan hatinya melihat keadaan Ang I Niocu
yang sudah tak mungkin dapat ditolong lagi itu, membuka matanya dan teringatlah
ia akan pengalamannya dahulu. Melihat rumpun bunga mawar hutan itu, Lo Sian
tiba-tiba lalu menubruk ke arah rumpun itu dan dibuka-bukanya rumpun itu
seperti orang mencari sesuatu, dan nampaklah olehnya gundukan tanah di bawah
rumpun itu.
Lo Sian
mengeluh dan menangis karena sekarang dia teringat bahwa inilah kuburan Lie
Kong Sian! Teringat pula dia ketika dahulu dia melarikan diri membawa jenazah
Lie Kong Sian seperti yang dilakukannya dengan membawa tubuh Ang I Niocu tadi,
dan betapa ia mengubur jenazah Lie Kong Sian di tempat itu.
Dan pada
saat Lo Sian menangisi nasib Ang I Niocu dan suaminya itulah, Lili mendengar
suaranya dan datang ke tempat itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian
depan, Lo Sian dan Lili akhirnya mengubur jenazah Ang I Niocu, pendekar wanita
yang gagah itu, di sebelah makam suaminya yang telah meninggal dunia lebih dulu
beberapa tahun yang lalu.
BEBERAPA
kali Ban Sai Cinjin membanting kakinya dan wajahnya menjadi sebentar pucat
sebentar merah. Dia merasa marah dan sakit hati betul. Telah berkali-kali dia
menerima penghinaan dan kekalahan hebat dari pihak Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya, dan kali ini ia menerima hinaan yang paling hebat.
Gedungnya
habis, kuilnya musnah, semua barang-barangnya menjadi abu, dan muridnya yang
terkasih, Hok Ti Hwesio tewas bersama beberapa orang hwesio lainnya dan juga
kedua saudara Can dari Shan-tung itu tewas dalam membelanya. Bagaimana dia
tidak menjadi sakit hati dan marah?
Juga Wi Kong
Siansu menjadi marah dan penasaran sekali. Dia sudah mendengar dari sute-nya
bahwa muridnya, yaitu Song Kam Seng, juga sudah tewas di dalam tangan Pendekar
Bodoh! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Kam Seng terbunuh oleh Ban Sai Cinjin
sendiri yang dengan pandainya telah rnemutar balik duduknya perkara dan
menyatakan bahwa Kam Seng terbunuh oleh Pendekar Bodoh ketika membantu
orang-orang Mongol di utara!
Kini melihat
sepak terjang Ang I Niocu, Wi Kong Siansu menjadi semakin marah karena menurut
anggapannya, Ang I Niocu telah berlaku kejam dan ganas sekali.
“Orang yang
membawa lari Ang I Niocu tentulah pengemis hina dina itu,” kata Wi Kong Siansu,
“dan tentu Lo Sian pula yang membakar kuil ini!”
“Sayang
dahulu tidak kuhancurkan kepalanya!” kata Ban Sai Cinjin gemas. “Akan tetapi,
sambil membawa orang luka, dia pasti tidak dapat lari jauh dan tidak mungkin
keluar dari hutan sambil membawa-bawa Ang I Niocu. Mari kita mencari dia!”
Demikianlah,
dengan hati penuh geram, Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, diikuti pula oleh
ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui yang juga merasa penasaran, pada pagi hari itu
juga lalu melakukan pengejaran.
Maka dapat
dibayangkan betapa kaget dan gelisahnya hati Lo Sian ketika tiba-tiba lima
orang kakek yang tangguh itu tahu-tahu telah berdiri di depannya di dekat makam
Ang I Niocu dan Lie Kong Sian!
“Ha-ha-ha,
pengemis jembel, apa kau kira akan dapat melarikan diri dari sini?” Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak karena girang dapat menemukan orang yang dibencinya.
Apa lagi ia melihat Lili berada di situ dan melihat gadis musuh besarnya ini,
timbullah harapannya untuk membalas penghinaan yang telah ia derita dari
Pendekar Bodoh. “Di mana Ang I Niocu siluman wanita?”
“Ban Sai
Cinjin, harap kau suka mengingat akan peri kemanusiaan. Kau telah membunuh Lie
Kong Sian, dan sekarang kau telah menewaskan Ang I Niocu pula. Apakah hatimu
masih belum puas? Mereka sudah tewas dan sudah kukubur baik-baik, harap kau
jangan mencari urusan lagi,” kata Lo Sian yang merasa kuatir kalau-kalau lima
orang kakek yang tangguh ini akan mengganggu Lili.
Akan tetapi
Ban Sai Cinjin berseru marah, “Pengemis bangsat! Kau kira aku tidak tahu bahwa
kau yang membakar kuilku? Kau enak saja bicara untuk membujukku agar jangan
mengganggumu dan mengganggu setan perempuan ini. Kau kira aku akan melepaskan
anak Pendekar Bodoh begitu saja tanpa membalas penghinaan-penghinaannya?”
Sambil berkata demikian Ban Sai Cinjin melangkah maju dan menggenggam
huncwe-nya lebih erat lagi.
Akan tetapi
Lili sama sekali tidak merasa jeri, bahkan kini kedua matanya yang bening itu
mengeluarkan cahaya berapi dan wajahnya yang cantik itu sudah menjadi merah
sekali. Sungguh pun dia kini tidak memegang senjata apa-apa karena kipas dan
pedang Liong-coan-kiam telah rusak ketika ia bertemu dengan nenek luar biasa
yang menjadi gurunya itu, namun dia tidak merasa jeri sama sekali, bahkan lebih
tabah dari pada dahulu ketika menghadapi Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.
“Ban Sai
Cinjin manusia binatang! Kau bilang takkan melepaskan anak Pendekar Bodoh, akan
tetapi apakah kau kira aku Sie Hong Li akan membiarkan kau hidup lebih lama
lagi setelah kita bertemu di sini?” Setelah berkata demikian, tubuhnya
berkelebat cepat dan dengan tangan kirinya ia menyerang ke arah leher Ban Sai
Cinjin. Begitu bertemu, gadis ini langsung menyerang dengan tipu dari
Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang lihainya luar biasa!
Saat melihat
gadis itu menyerangnya dengan tangan kosong, Ban Sai Cinjin memandang rendah
sekali dan cepat dia mengulur tangan kiri untuk menangkap pergelangan tangan
gadis itu, sedang tangan kanan menggerakkan huncwe untuk mengetok kepala Lili!
Akan tetapi dia belum lagi kenal kelihaian ilmu pukulan Hang-liong Cap-it
Ciang-hoat yang baru pertama kali ini dipergunakan oleh orang di dunia ramai!
Pada saat
tangan kirinya menyentuh pergelangan tangan kiri Lili, Ban Sai Cinjin berteriak
kaget dan cepat-cepat dia menarik kembali tangannya karena merasa betapa
telapak tangannya seakan-akan menyentuh api membara! Dan Lili hanya menundukkan
sedikit kepalanya untuk menghindarkan serangan huncwe dari lawannya, akan
tetapi tangan kirinya tetap meluncur ke arah leher Ban Sai Cinjin!
Kakek mewah
ini terkejut bukan main dan cepat dia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah,
akan tetapi masih saja tangan kanan Lili yang menyambar lagi mengenai kepala
huncwe-nya.
“Prakk!”
kepala huncwe-nya itu hancur lebur dan api tembakaunya berhamburan!
Ban Sai
Cinjin bergulingan menjauh kemudian melompat berdiri dengan muka pucat dan
memandang ke arah gadis itu dengan kedua mata terbelalak! Juga Wi Kong Siansu
dan ketiga tokoh dari Hailun itu berdiri bengong. Mereka belum pernah
menyaksikan ilmu silat yang sedemikian hebatnya.
Akan tetapi
kekagetan mereka hanya sebentar saja, oleh karena Wi Kong Siansu segera
mencabut Hek-kwi-kiam dari punggungnya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Lili
dan jidatnya berkerut ketika dia berkata dengan garang,
“Sie Hong
Li, hari ini terpaksa pinto akan mengambil nyawamu untuk membalas dendam
muridku, Song Kam Seng!”
Lili
mendengar ini menjadi makin marah. Ia melirik ke arah Ban Sai Cinjin dan maklum
bahwa kakek mewah itu telah memutar balikkan kenyataan, maka ia tersenyum
sindir. Ia tahu bahwa tiada gunanya untuk membantah dan ribut mulut membela
diri, dan dengan suara lantang ia menjawab,
“Wi Kong
Siansu, dahulu kau pernah membantu Ban Sai Cinjin merobohkan aku dengan curang,
kemudian kau berani pula menentang Ayahku. Hemm, pendeta yang bermata buta
seperti kau ini mana bisa membedakan mana salah mana benar, mana baik mana
jahat? Majulah, kau kira aku takut kepadamu?”
Wi Kong
Siansu lalu menerjang dengan pedangnya yang bercahaya kehitaman, mainkan Ilmu
Pedang Hek-kwi Kiam-hoat dengan sangat marah. Akan tetapi segera dia menjadi
terkejut sekali karena benar-benar gadis itu jauh sekali bedanya dengan dahulu.
Dahulu pun
Lili sudah merupakan seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi sekali,
seorang gadis muda yang sudah menerima warisan ilmu-ilmu silat tinggi seperti
San-sui San-hoat dari Swi Kiat Siansu, juga telah mahir sekali mainkan Ilmu
Pedang Liong-coan Kiam-sut, juga ilmu-ilmu pukulan yang lihai dari Bu Pun Su
seperti Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut.
Kini gadis
itu seakan-akan harimau yang tumbuh sayapnya sesudah memiliki ilmu silat yang
gerakannya amat luar biasa dan yang mendatangkan hawa pukulan hebat sekali ini.
Bahkan Wi Kong Siansu tiap kali tergetar tangannya bila mana hawa pukulan dari
tangan nona itu menyambar ke arahnya!
Saat melihat
Wi Kong Siansu agaknya tidak bisa mendesak Lili, Hailun Thai-lek Sam-kui segera
berseru dan maju mengeroyok. Luka Bouw Ki di pundaknya ketika ia mengeroyok Ang
I Niocu telah diobati, sedangkan Lak Mau Couwsu sudah membikin betul rantainya,
maka kini tiga iblis ini dengan lengkap dapat mengurung Lili.
Akan tetapi
gadis ini benar-benar luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan bagaikan kilat
menyambar-nyambar dan setiap serangan senjata lawan bisa dielakkannya dengan
gesit sekali atau ditangkisnya dengan kedua lengannya yang mengandung tenaga
luar biasa. Bahkan serangan gadis ini benar-benar membuat empat orang
pengeroyoknya terkejut dan harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata bahwa
sebelas jurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat ini luar biasa sekali daya
tahan dan daya serangnya.
Ada pun Ban
Sai Cinjin setelah melihat Lili dikurung oleh suheng-nya dan Hailun Thai-lek
Sam-kui, lalu mendelik menghampiri Lo Sian dengan huncwe-nya yang sudah
terpotong tidak berkepala lagi itu! Sin-kai Lo Sian melihat nafsu membunuh di
mata Ban Sai Cinjin, maka Pengemis Sakti ini lalu bersiap sedia untuk membela
diri mati-matian.
“Lo Sian,
dahulu aku sudah berlaku salah karena tidak terus membunuhmu sehingga kau
mendatangkan banyak urusan. Sekarang harus kuhancurkan kepalamu!” Sambil
berkata demikian, Ban Sai Cinjin lalu menyerang dengan gagang huncwe-nya itu.
Biar pun
huncwe-nya telah hilang kepalanya, akan tetapi gagang huncwe itu terbuat dari
baja tulen yang keras sehingga kini merupakan tongkat atau toya pendek yang
masih cukup berbahaya.
Lo Sian yang
selama ini tak pernah terpisah dari tongkatnya, cepat mengangkat tongkat itu
untuk menangkis. Terdengarlah suara keras dan terpaksa Lo Sian melompat mundur
dengan telapak tangan tergetar dan panas!
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak. Kakek mewah ini timbul kesombongannya kalau sudah
menang, maka sambil menyeringai ia lalu mendesak Lo Sian yang memang masih
kalah jauh tingkat kepandaiannya.
Dengan nekat
dan mati-matian Lo Sian berusaha mempertahankan diri sambil membalas serangan
Ban Sai Cinjin, akan tetapi beberapa jurus kemudian terdengar suara keras dan
tongkat di tangan Lo Sian patah menjadi dua oleh gagang huncwe di tangan Ban
Sai Cinjin. Ban Sai Cinjin tertawa bergelak lalu menubruk maju.
Lo Sian
mengelak ke kanan, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Sai Cinjin mengenai
betisnya sehingga membuat Lo Sian terjungkal. Ban Sai Cinjin melangkah maju
dengan gagang huncwe terangkat dan dengan sekuat tenaga ia menimpakan gagang
huncwe itu ke arah kepala Lo Sian!
“Prakk!”
Bunga api berpijar dan gagang huncwe itu untuk kedua kalinya patah dan tinggal
sedikit saja.
Ban Sai
Cinjin kaget sekali dan cepat melompat ke belakang. Ternyata bahwa pada saat
yang amat berbahaya bagi nyawa Lo Sian itu, sebatang pedang berbentuk ular
dengan gerakan cepat sekali telah menangkis gagang huncwe itu dan menyelamatkan
nyawa Lo Sian.
“Lie
Siong...!” Lo Sian berseru girang sekali ketika melihat pemuda yang baru datang
ini.
“Lo-pek,
minggirlah dan biarkan aku membunuh tikus busuk ini!” berkata Lie Siong sambil
memutar pedangnya dan menyerang Ban Sai Cinjin dengan hebatnya.
Seperti
ketika ia menghadapi Lili tadi, kini Ban Sai Cinjin juga merasa heran dan
terkejut sekali. Hanya dengan sekali serang saja pemuda ini sudah dapat
mematahkan gagang huncwe-nya! Alangkah jauh bedanya dengan dulu ketika ia
bertempur melawan pemuda ini.
Padahal dulu
dia sendiri betum semaju ini ilmu kepandaiannya dan akhir-akhir ini ia telah
melatih diri dan memperoleh kemajuan pesat. Namun dibandingkan dengan kedua
orang muda ini, dia telah tertinggal jauh!
Tentu saja
Ban Sai Cinjin tidak tahu bahwa Lili telah mendapat gemblengan luar blasa dari
seorang nenek di dalam sumur yang mengajarnya Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, dan
bahwa Lie Siong juga telah bertemu dengan seorang kakek luar biasa yang
mengajarnya bermain gundu!
Karena
gagang huncwe-nya kini sudah tak dapat digunakan lagi, Ban Sai Cinjin terpaksa
menghadapi Lie Siong dengan kedua tangannya yang juga tidak boleh dipandang
ringan. Dia langsung melancarkan pukulan-pukulan disertai ilmu hoat-sut (ilmu
sihir) yang selain mengandung tenaga luar biasa juga disertai bentakan-bentakan
yang pengaruhnya dapat melumpuhkan semangat lawannya.
Akan tetapi
Lie Siong hanya mengeluarkan suara menyindir. Tangan kirinya mainkan Ilmu
Pukulan Pek-in Hoat-sut yang mengeluarkan uap putih untuk menolak pengaruh ilmu
hitam lawannya, sedangkan pedangnya tetap mengurung Ban Sai Cinjin dengan
rapat.
“Ban Sai
Cinjin, engkau harus membayar nyawa ayahku!” bentaknya berulang-ulang dan
pedangnya yang berbentuk naga itu menyambar-nyambar dekat sekali dengan dada
dan leher Ban Sai Cinjin.
“Suheng,
bantulah aku merobohkan setan ini!” terpaksa Ban Sai Cinjin berseru kepada Wi
Kong Siansu. Tubuhnya sampai mandi keringat dingin karena ia merasa bahwa kalau
dilanjutkan, sebentar lagi ia pasti akan roboh binasa oleh pemuda yang luar
biasa ini.
Pada waktu
mendengar seruan ini, Wi Kong Siansu cepat menengok dan terkejutlah dia melihat
betapa sute-nya berada dalam keadaan amat berbahaya. Cepat ia melompat dan
pedangnya Hek-kwi-kiam segera meluncur dan melakukan serangan kilat ke arah
tubuh Lie Kong. Pemuda ini maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu, karena itu dia
menangkis sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya yang baru diperkuat dengan
latihan yang dia terima dari gurunya yang aneh.
“Traaang…!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang itu beradu.
Pedang
Hek-kwi-kiam juga sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka tidak sampai patah.
Namun Wi Kong Siansu diam-diam terkejut sekali karena baru sekali ini dalam
beradu pedang dia merasa tangannya tergetar hebat!
Kedatangan
Wi Kong Siansu membuat Ban Sai Cinjin bernapas lega, meski pun mereka berdua
juga tidak berdaya mendesak Lie Siong. Tapi sebaliknya, Hailun Thaitek Sam-kui
menjadi sibuk sekali karena setelah ditinggalkan oleh Wi Kong Siansu, mereka sekarang
terdesak hebat oleh Lili.
“Siong-ko
(Kakak Siong), hayo kita bikin mampus lima ekor anjing ini. Ie-ie Im Giok telah
terbunuh oleh mereka ini!” seru Lili kepada Lie Siong.
Mendengar
seruan ini, serangan Lie Siong bukannya lebih cepat, bahkan tiba-tiba daya
serangnya banyak berkurang. Pemuda ini menerima pukulan batin yang amat hebat
saat mendengar warta tentang kematian ibunya ini. Ia menjadi demikian marah,
sedih, gemas, dan menyesal sekali sehingga tubuhnya terasa lemas dan dia tidak
dapat mengerahkan lweekang-nya dengan sempurna lagi.
Hal ini
tentu saja menggirangkan hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin karena tadinya
mereka berdua sudah menjadi gelisah sekali. Hailun Thai-lek Sam-kui terdesak
hebat sedangkan mereka juga agaknya tak akan mampu mengalahkan pemuda ini. Kini
melihat kesempatan ini, Ban Sai Cinjin lalu berkata,
“Jangan
layani mereka lagi, belum tiba waktunya mengadu kepandaian! Kita telah berjanji
musim chun di puncak Thian-san!”
Ucapan ini
hanya untuk menutup rasa malu saja, akan tetapi membuat Hailun Thai-lek Sam-kui
‘ada muka’ untuk mengundurkan diri. Bagaikan sedang berlomba, mereka semua
cepat memutar tubuh lalu melarikan diri dari tempat itu!
“Bangsat
rendah, hendak lari kemana kau?” Lili yang menjadi gemas lalu mengejarnya. Juga
Lie Siong mengejar, akan tetapi pemuda ini tak dapat melampaui Lili karena
kedua kakinya menggigil.
Tiba-tiba
lima orang kakek itu membalikkan tubuh dan ketika tangan mereka bergerak,
banyak sekali am-gi (senjata gelap) menyambar ke arah Lili dan Lie Siong! Lili
segera melompat ke atas dan ketika kaki tangannya bergerak, dia telah dapat
menangkap dua batang panah tangan beracun sedangkan kedua kakinya telah
berhasil menendang jauh empat butir peluru besi!
Yang hebat
adalah Lie Siong. Pemuda ini baru saja digembleng oleh seorang kakek aneh yang
ternyata seorang ahli lweekeh dan juga seorang ahli senjata rahasia. Melihat
datangnya senjata-senjata gelap itu, biar pun tubuhnya sudah gemetar dan lemah
karena luka di dalam batinnya yang terpukul oleh berita kematian ibunya, dengan
tenang Lie Siong lalu berjongkok dan pedangnya disabetkan ke atas hingga semua
senjata rahasia itu terpukul ke atas. Berbareng dengan itu, tangan kirinya
sesudah mencengkeram ke bawah lalu bergerak dan bagaikan kilat menyambar,
batu-batu kerikil dari tangan kirinya itu meluncur ke arah lima orang kakek
itu!
Inilah
serangan gelap yang luar biasa dari Lie Siong. Batu-batu kerikil itu
dipegangnya seperti kalau ia bermain gundu dengan gurunya dan kini batu-batu
itu meluncur dengan luar biasa cepatnya ke arah tubuh lima orang lawan itu,
tepat ke arah jalan-jalan darah di tubuh mereka!
Lima orang
kakek itu sambil berseru kaget lalu bergerak mengelak, akan tetapi Bouw Ki dan
Lak Mao Couwsu kurang cepat gerakannya sehingga biar pun batu-batu kerikil itu
tidak tepat mengenai jalan darah yang dapat mengirim nyawa mereka ke tangan
maut, namun tetap saja kulit mereka pecah-pecah terkena kerikil-kerikil itu!
Dengan berlumur darah, kedua orang ini cepat menyeret tubuh mereka mengikuti
jejak tiga orang kawan lainnya yang sudah melarikan diri terlebih dulu!
Lili hendak
mengejar, akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat Lie Siong terhuyung-huyung ke
depan dan roboh! Gadis ini kaget sekali dan cepat menubruk tubuh Lie Siong,
kemudian diangkatnya. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu menderita luka di dalam
tubuh, maka ia menjadi amat berkuatir. Ketika ia mengangkat Lie Siong hendak
dibawa lari ke makam Ang I Niocu, Lo Sian yang mengejar sudah sampai di situ
dan orang tua ini dengan kaget lalu minta tubuh Lie Siong itu dan dipondongnya
sendiri.
“Terlukakah
dia, Lili?”
Gadis itu
hanya memandang sedih. “Entahlah, Suhu, aku tidak melihat dia terpukul, juga
tidak ada tanda darah. Akan tetapi tahu-tahu dia hendak roboh.”
Mereka lalu
mengangkat tubuh Lie Siong dan meletakkannya di atas rumput di depan makam
kedua orang tua pemuda itu. Lili tanpa diminta lalu pergi mencari air, dan
setelah kembali dia lalu menyusuti muka Lie Siong dengan sapu tangannya yang
sudah basah, kemudian dia mengucurkan air di kepala pemuda itu.
Tak lama
kemudian Lie Siong membuka kedua matanya dan cepat sekali dia melompat bangun.
Kedua matanya memandang beringas bagaikan seekor harimau lapar mencium darah.
“Mana
mereka? Mana pembunuh-pembunuh ibuku? Lili, katakan, mana mereka? Hendak
kucekik semua batang lehernya!” Sambil membelalakkan sepasang matanya Lie Siong
memandang ke sana ke mari dengan mata jelalatan.
Lili
melompat bangun dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi dia memegang tangan Lie
Siong.
“Siong-ko,
tenanglah. Di mana kegagahanmu? Atur napasmu dan tenangkan batinmu, baru kita
bicara lagi.”
Bagaikan
seekor kambing jinak, Lie Siong menurut saja pada saat dipimpin oleh Lili dan
disuruh duduk di atas tanah. Sambil berpegangan tangan, sepasang orang muda ini
lalu duduk meramkan mata dan mengatur napas mengumpulkan tenaga.
Dengan setia
Lili menyalurkan hawa dan tenaga dalam tubuhnya melalui telapak tangan Lie
Siong untuk membantu pemuda ini. Ia sekarang tahu bahwa pemuda ini tadi pingsan
karena pukulan batin yang berduka.
Pikiran Lie
Siong kacau tidak karuan. Tadinya dia sudah dapat mengatur napasnya dan
menentramkan pikiran dan batinnya yang tergoncang, akan tetapi, pada waktu ia
merasa betapa dari dua telapak tangan Lili itu mengalir hawa hangat yang
membantu peredaran darahnya, dia menjadi demikian terheran-heran, girang,
terharu, sedih, semua tercampur aduk menjadi satu sehingga kembali tubuhnya
menjadi panas dingin. Hawa Im dan Yang mengalir di tubuhnya saling bertentangan
dan karena tidak seimbang, sebentar tubuhnya menjadi panas dan sebentar dingin
sekali!
Lili dapat
merasakan ini, maka dia lalu menghentikan emposan semangat dan hawa, lalu
melepaskan tangannya dan berkata perlahan,
“Siong-ko,
jangan kau kacaukan pikiran sendiri. Tenanglah dan ingat bahwa hidup atau mati
bukan berada di tangan manusia.”
Akhirnya Lie
Siong dapat menenangkan batinnya, kemudian dia membuka matanya dan dengan
pandangan sayu dan muka pucat, dia bertanya,
“Di mana...
dia? Mana ibuku?”
Lili
menuding ke arah dua gunduk tanah di depan mereka, dan berkata perlahan, “Kami
telah menguburnya baik-baik, di samping kuburan ayahmu.”
Lie Siong
menoleh cepat dan melihat dua gundukan tanah. Yang satu sudah lama, akan tetapi
yang ke dua masih baru sekali. Ia lalu menubruk dan menangis terisak-isak di
atas kuburan ayah bundanya itu!
Lili tak
dapat menahan keharuan hatinya dan ikut pula mengucurkan air mata, sedangkan
Sin-kai Lo Sian berulang-ulang menarik napas panjang. Dia memberi tanda kepada
Lili agar supaya mendiamkan saja pemuda itu, karena sewaktu-waktu air mata
sangat baik sekali untuk penawar hati yang duka.
Setelah agak
lama Lie Siong menangis sambil memeluk gundukan tanah itu, Lili berkata
perlahan, “Tak baik bagi orang-orang gagah menumpahkan air matanya.”
Lie Siong
mendengar ucapan ini dan terbangun semangatnya. Dia menyusut air matanya hingga
kering dan kini matanya menjadi merah. Ia berlutut di depan gundukan-gundulcan
tanah itu dan berkata dengan suara menyeramkan,
“Ayah, Ibu,
anakmu bersumpah bahwa sebelum aku berhasil membunuh Ban Sai Cinjin, aku tak
akan mau berhenti berusaha.”
Setelah
berkata demikian, ia lalu bangun berdiri dan menoleh kepada Lo Sian, katanya,
“Lo-pek, bagaimanakah terjadinya hal ini?”
Lo Sian
kemudian menceritakan sejelasnya tentang sepak terjang Ang I Niocu, juga dia
menceritakan pula tentang Lie Kong Sian yang tewas di tangan Ban Sai Cinjin
karena dia sudah dapat mengingat itu semua. Setelah mendengar penuturan kakek
pengemis yang budiman ini, Lie Siong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo
Sian.
“Lopek, kau
benar-benar telah melakukan pembelaan hebat sekali terhadap kedua orang tuaku.
Aku Lie Siong bersumpah bahwa selama hidup aku akan menganggapmu sebagai orang
tuaku sendiri. Lo-pek, terimalah hormatku dan rasa terima kasihku yang tulus.”
Lo Sian
menjadi terharu. “Lie Siong, sudah sepatutnya kau menganggap aku sebagai
pengganti orang tuamu, oleh karena, dengan disaksikan oleh Hong Li, pada saat
hendak menutup mata, ibumu berpesan agar supaya aku suka menjadi walimu. Oleh
karena itu, mulai sekarang aku menganggap kau sebagai puteraku sendiri,
Siong-ji.”
“Terima
kasih, Lo-pek, terima kasih banyak,” kata Lie Siong dengan hati terharu sekali.
“Dan sekarang maafkanlah, aku akan cepat menyusul dan mencari Ban Sai Cinjin.
Kalau tugasku ini telah berhasil, barulah aku akan mencarimu dan selanjutnya
kita hidup seperti ayah dan anak.” Setelah berkata demikian, Lie Siong hendak
pergi.
“Tunggu
dulu, aku pun hendak membalas dendamku kepada Ban Sai Cinjin. Marilah kita
gempur dia bersama!” tiba-tiba Lili berkata sambil melangkah maju.
Lie Siong
menengok ke arah dara itu. Tadinya ia tidak pernah mempedulikan kepada Lili
oleh karena sebenarnya dia merasa amat jengah dan malu. Tadi gadis ini telah
bersikap begitu lembut dan baik terhadapnya, sedangkan ia pernah melakukan
hal-hal yang cukup dapat membuat gadis itu merasa marah dan sakit hati. Bahkan
sepatu gadis itu hingga kini masih berada di saku bajunya!
“Nona, harap
kau jangan menyusahkan diri sendiri. Biarlah urusan balas dendam ini aku
lakukan sendiri karena ini sudah menjadi tugasku yang suci.”
“Kau pikir
hanya kau saja seorang yang menaruh hati dendam kepada kakek jahanam itu?
Dengarlah, sebelum kau mengetahui nama Ban Sai Cinjin, muridnya sudah pernah
menculikku di waktu aku masih kecil, bahkan telah membunuh mati kakekku!
Kemudian aku juga pernah bertempur melawan Ban Sai Cinjin dan dirobohkan dengan
cara curang. Apakah itu bukan perbuatan yang harus dibalas? Belum diingat lagi
betapa dia sudah mengajak kawan-kawannya memusuhi kakakku Hong Beng dan calon
iparku Goat Lan!”
“Aku telah
mendengar akan hal itu, Nona. Akan tetapi perjalanan ini jauh dan sukar sekali
karena aku sendiri belum tahu di mana adanya Ban Sai Cinjin. Tadi pun sudah
terlihat betapa Ban Sai Cinjin mempunyai kawan-kawan yang berkepandaian tinggi,
maka dapat dibayangkan betapa sukar dan berbahayanya pekerjaan ini.”
“Kau kira
hanya kau sendiri saja yang memiliki keberanian? Kau kira aku takut kepada Ban
Sai Cinjin dan kawan-kawannya?” Dengan wajah merah ia menegakkan kepala dan
mengangkat dada, sepasang matanya bersinar marah. Timbul sifat-sifat keras dari
dara yang seperti ibunya ini.
Sebetulnya,
tak dapat disangkal lagi Lie Siong akan merasa girang dan suka sekali bila
melakukan perjalanan bersama gadis yang setiap saat menjadi kenangannya ini.
Akan tetapi apa yang ia katakan tadi memang keluar dari hatinya yang tulus. Ia
merasa kuatir kalau-kalau gadis yang dicintainya ini akan menghadapi mala
petaka kalau ikut mencari Ban Sa Cinjin dan kawan-kawannya yang berbahaya dan
berkepandaian tinggi.
Ia ingin
membereskan musuh besarnya ini seorang diri saja dan kemudian, barulah dia akan
mendekati gadis ini. Baginya sendiri, tidak usah takut karena dia sudah
menerima gemblengan hebat dari gurunya yang baru, akan tetapi Lili...?
Tentu saja
dia tidak tahu bahwa Lili juga berpikir sebaliknya! Gadis ini pernah bertempur
melawan Lie Siong dan meski pun dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tidak
rendah, akan tetapi apa bila menghadapi keroyokan Ban Sai Cinjin, Wi Kong
Siansu dan yang lain-lain, bisa berbahaya.
Dia sendiri
sudah membuktikan bahwa walau pun dengan tangan kosong, Ilmu Pukulan Hang-liong
Cap-it Ciang-hoat sudah cukup hebat untuk digunakan menjaga diri. Pendek kata,
kedua orang muda ini saling memandang ringan karena tidak tahu bahwa
masing-masing telah menemukan guru baru.
“Harap kau
bersabar, Nona...,” Lie Siong berkata pula.
“Sungguh
menyebalkan!” Lili berseru marah.
“Apa yang
menyebalkan?” Lie Siong mengerutkan kening dan bertanya tak senang pula. Kalau
dia dianggap menyebalkan...
“Sebutanmu
dengan nona-nonaan itu! Kau adalah putera dari Ie-ie Im Giok, walau pun bukan
keluarga kita sudah seperti saudara saja, atau tepatnya, kita orang segolongan.
Kenapa mesti berpura-pura sheji (sungkan) seperti orang asing? Tadi kau bisa
menyebut namaku, apakah sekarang sudah lupa lagi? Namaku Sie Hong Li atau
seperti sebutanmu tadi cukup dengan Lili saja. Siapa sudi kau panggil nona?”
Merah muka
Lie Siong mendengar ini dan untuk sesaat ia hanya menundukkan mukanya saja
seperti seorang anak kecil dimarahi ibunya! Lo Sian hampir tidak dapat menahan
gelak tawanya melihat sikap kedua orang muda yang sama-sama keras hati ini.
“Lili,” kata
Lie Siong dengan lidah berat karena sesungguhnya dia merasa sungkan dan
malu-malu untuk menyebut nama ini dengan mulutnya, sungguh pun nama ini setiap
saat disebut-sebutnya dengan suara hatinya, “harap kau jangan main-main dan
suka berpikir masak-masak. Tentu saja aku maklum bahwa kau memiliki keberanian
dan tidak takut menghadapi Ban Sai Cinjin. Akan tetapi… urusan membalas dendam
kedua orang tuaku ini biarlah kau serahkan saja kepadaku sendiri. Hanya akulah
seorang yang berhak untuk menuntut pembalasan, karena dua orang tuaku hanya
mempunyai aku seorang! Lili... maukah kau memberi sedikit kelonggaran padaku
dan tidak akan merampas harapanku ini? Jangan kau mendahului aku menewaskan Ban
Sai Cinjin!”
Lili
tertegun. Hemm, jadi demikiankah gerangan maksud hati pemuda ini? Dia tak dapat
menjawab lagi hanya memandang dengan sepasang matanya yang bening.
“Siong-ji,
kau keliru!” tiba-tiba Lo Sian berkata dan kedua orang muda itu terkejut karena
tadi keduanya telah lupa sama sekali akan orang tua ini! “Sebagai calon mantu,
Lili juga berhak penuh seperti engkau pula untuk membalas sakit hati ayah
bundamu!” Sesudah ucapan ini keluar, barulah Lo Sian sadar bahwa dia telah
bicara terlalu banyak dan tak terasa lagi dia menutup mulutnya dengan tangan.
Tiba-tiba
Lili merasa mukanya panas dan menjadi merah sekali, karena itu dia kemudian
menundukkan mukanya. Kenapa Lo Sian membuka rahasia ini? Sungguh terlalu,
pikirnya dengan gemas, akan tetapi juga girang.
Ada pun Lie
Siong yang mendengar ucapan ini otomatis lalu menengok ke arah Lili dan ketika
melihat gadis itu menundukkan mukanya, ia menjadi makin tak mengerti. Tadinya
ia menganggap Lo Sian hanya bergurau saja untuk menggoda dia dan Lili, akan
tetapi mengapa Lili gadis galak itu tidak menjadi marah, bahkan kelihatan
malu-malu?
“Lo-pek,
mengapa kau main-main dalam keadaan seperti ini? Mengapa Lo-pek menyebut Lili
sebagai calon mantu ayah bundaku? Apakah artinya ini?”
Lo Sian
sudah mengenal watak Lie Siong, pemuda yang tidak suka banyak bicara, akan
tetapi yang berhati keras dan jujur. Setelah terlanjur bicara, dia tidak dapat
menutupinya lagi, maka ia lalu menceritakan dengan jelas betapa Ang I Niocu
telah menganggapnya sebagai wali dan telah menetapkan perjodohan antara Lie
Siong dan Lili!
“Nah,
setelah sekarang kau mengetahui bahwa menurut pesan ibumu, Lili adalah calon
jodohmu biar pun belum diajukan pinangan resmi kepada Sie Taihiap, apakah kau
pikir tidak sepatutnya kalau Lili memperlihatkan baktinya kepada mendiang calon
mertuanya? Ingatlah, Siong-ji, kau mengaku aku sebagai pengganti orang tuamu
dan aku pun sudah menganggap engkau sebagai puteraku sendiri. Kau harus tahu
bahwa lawan-lawan yang akan kau hadapi adalah orang-orang yang selain lihai
juga amat cerdik dan curang. Ban Sai Cinjin kiranya tidak perlu kau takuti
kepandalan silatnya, akan tetapi kau benar-benar harus awas dan waspada
menghadapi siasatnya yang licin dan curang. Dengan adanya Lili membantumu,
bukankah kalian akan menjadi lebih kuat dan lebih berhasil membalas dendam?
Tidak saja tenagamu akan menjadi berlipat dua kali sebab kepandaian Lili juga
tidak rendah, bahkan kalian bisa saling menjaga dan saling bela.”
Lili yang
mendengarkan semua ucapan ini sekarang tidak berani mengangkat mukanya yang
kemerahan. Setelah kini rahasia itu dibuka kepada Lie Siong, entah mengapa, dia
tidak berani memandang pemuda itu dengan langsung.
Ada pun Lie
Siong juga menjadi merah mukanya, sebentar dia menoleh kepada makam ibunya
dengan hati terharu, kemudian kadang-kadang dia mengerling ke arah Lili dengan
hati berdebar tidak karuan. Juga pemuda ini tidak dapat menjawab ucapan Lo Sian
tadi sehingga orang tua itu tersenyum, lalu menganggap bahwa kedua orang muda
itu kini sudah setuju untuk melakukan perjalanan bersama.
“Lie Siong,
dan kau Lili. Berhati-hatilah kalian melakukan tugas yang berat ini. Aku akan
kembali ke rumah Sie Taihiap untuk melaporkan semua hal ini agar mereka pun
segera beramai-ramai menyusulmu untuk memberi bantuan.”
Setelah
berkata demikian, Lo Sian kemudian meninggalkan dua orang muda itu dengan
tindakan kaki cepat.
***************
Sepasang
remaja itu berdiri saling berhadapan. Sampai lama sunyi saja, bibir serasa
terkunci rapat-rapat karena malu untuk mengeluarkan suara. Lucu sekali kalau
dilihat. Lili menundukkan mukanya yang kemerahan ada pun Lie Siong memandang ke
lain jurusan tanpa bergerak.
Pemuda ini
mengerutkan keningnya. Dia seharusnya berterima kasih kepada mendiang ibunya
yang demikian tepatnya memilihkan calon isteri untuknya. Ia mencintai Lili, ini
ia tidak ragu-ragu lagi. Bayangan gadis itu tidak pernah meninggalkan cermin
hatinya. Akan tetapi pada saat itu teringatlah dia kepada Lilani.
Lili adalah
seorang gadis yang cantik dan pandai, puteri dari Pendekar Bodoh, seorang gadis
terhormat yang pasti akan didatangi oleh peminang-perninang dari kalangan
tinggi. Bagaimana ia dapat menjadi suami Lili padahal ia yang telah melakukan
perbuatan amat memalukan dengan Lilani? Dia yang sudah melanggar kesusilaan,
yang menyia-nyiakan cinta Lilani dan yang mencemarkan kepercayaan gadis Haimi
itu padanya? Apakah kelak Lili takkan hancur hatinya kalau mendengar tentang
dia dan Lilani?
Dia tahu
bahwa tak mungkin selama hidup ia akan merahasiakan hal itu dari Lili, karena
dengan menyimpan rahasia itu berarti bahwa ia akan menyiksa batin sendiri
selamanya, akan selalu merasa sebagai seorang yang berdosa dan tidak bersih
terhadap Lili!
“Siong-ko,
mengapa kau diam saja. Aku merasa seakan-akan telah menjadi patung, kau juga!”
tiba-tiba Lili gadis yang lincah gembira ini lebih dulu memecahkan kesunyian.
Tidak kuatlah gadis seperti Lili harus berdiam seperti itu lebih lama lagi.
Lie Siong
terkejut dan terbangun dari lamunannya. Ia mengangkat muka dan bertemulah dua
pasang mata. Lili memandang dengan jujur dan terang, membuat Lie Siong merasa
makin kotor dan tak berharga pula.
“Lili...
aku... aku merasa tidak pantas...,” dia menghentikan kata-katanya.
“Tidak
pantas bagaimana, Siong-ko? Lanjutkanlah!” dengan kening berkerut Lili
bertanya, hatinya merasa tidak enak.
“Tidak
pantas seorang pemuda seperti... aku melakukan perjalanan bersama seorang dara
seperti... engkau! Sudahlah, Lili, lebih baik kau pulang saja, biar aku sendiri
mencari dan menghancurkan kepala Ban Sai Cinjin. Kau tunggu saja di rumah dan
kelak... kelak mungkin kita akan bertemu lagi, bila aku tidak roboh di tangan
musuh-musuhku. Selamat berpisah!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu
melompat jauh dan pergi meninggalkan tempat itu.
Lili
membanting-banting kakinya dengan gemas. Dia merasa tidak dipandang mata dan
diremehkan sekali. Dengan marah dia pun cepat berkelebat mengejar.
Lie Siong
heran sekali melihat betapa gadis itu sudah dapat menyusulnya, padahal dia
sudah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang paling tinggi dan tadinya dia merasa
pasti bahwa gadis itu tidak mungkin dapat menyusulnya. Saking herannya dia
menghentikan larinya dan menengok.
“Orang she
Lie! Kalau kau tidak sudi melakukan tugas ini bersamaku, apakah kau kira aku
Sie Hong Li tak dapat melakukannya sendiri? Kita sama-sama lihat saja siapa
nanti yang akan lebih cepat berhasil membasmi Ban Sai Cinjin!” Setelah berkata
demikian, Lili lalu mengerahkan ilmu lari cepat dan membelok ke kiri
meninggalkan Lie Siong!
Lie Siong
tertegun, tidak hanya melihat kemarahan gadis itu akan tetapi melihat betapa
ginkang dari gadis ini benar-benar telah demikian hebatnya sehingga belum tentu
kalah olehnya! Ia ingat betul bahwa dahulu ketika bertempur dengan dia,
kepandaian Lili belum setinggi ini. Bagaimana gadis ini demikian cepat majunya?
Apakah ia khusus dilatih dan digembleng oleh Pendekar Bodoh?
Betapa pun
juga, Lie Siong masih belum tahu bahwa gadis ini bahkan sudah mahir Ilmu
Pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang sangat lihai, dan mengira bahwa Lili
hanya mendapat kemajuan dalam hal ginkang saja. Kini melihat kenekatan gadis
itu mencari Ban Sai Cinjin dan tidak mau pulang, ia menjadi terkejut dan
gelisah.
Apa bila
sampai gadis itu berhasil bertemu dengan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya,
bukankah itu berbahaya sekali? Tanpa terasa lagi, dia pun lalu mengubah arah
tujuannya dan dia berlari cepat mengejar ke arah kiri.
Lili
melakukan perjalanan cepat dengan tujuan Pegunungan Thian-san. Gadis ini
teringat bahwa karena musim chun yang dinanti-nantikan untuk memenuhi tantangan
Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya tak lama lagi tiba, paling banyak tiga puluh
lima hari lagi, maka tentu Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan yang lain telah
menuju ke sana.
Beberapa
hari kemudian dia sampai di kota Kun-lin-an. Gadis ini sama sekali tidak tahu
bahwa Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya juga sudah berada di kota ini, bahkan
telah bertemu dengan Bouw Hun Ti di tempat ini.
Sebagaimana
dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi mencari jago-jago silat yang
suka membantu mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh sekeluarga. Dan pada waktu
itu, Bouw Hun Ti sudah berada di Kun-lin-an bersama tiga orang tosu tua yang
bertubuh kurus kering, akan tetapi tiga orang tosu ini sesungguhnya adalah
tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
Ketika Ban
Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui melarikan diri
dari kejaran Lili dan Lie Siong, mereka tiba di kota ini dan bertemu dengan
Bouw Hun Ti. Segera mereka membuat rencana untuk membikin pembalasan. Dengan
adanya ketiga orang tosu itu, mereka merasa cukup kuat untuk menghadapi
Pendekar Bodoh.
Memang, tiga
orang tosu itu bukanlah orang-orang sembarangan saja, mereka adalah ketua dari
Pek-eng-kauw (Perkumpulan Agama Garuda Putih) dari barat, bernama Thai Eng
Tosu, Sin Eng Tosu, dan Kim Eng Tosu. Mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hendak
menghadapi Pendekar Bodoh, tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe ini dengan senang
hati sanggup membantu dan ikut pergi bersama Bouw Hun Ti.
Memang tiga
orang kakek ini mempunyai dendam terhadap Pendekar Bodoh. Sebetulnya bukan
kepada Cin Hai mereka menaruh dendam, melainkan kepada Bu Pun Su yang telah menewaskan
guru mereka. Akan tetapi oleh karena Bu Pun Su sudah meninggal dunia, maka
dendam mereka itu kini hendak mereka balaskan terhadap murid dari Bu Pun Su!
Oleh karena
Lili telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali, setelah makan dan
membersihkan tubuh serta berganti pakaian, dara perkasa ini lalu masuk ke dalam
kamarnya di sebuah hotel untuk beristirahat. Saking lelahnya maka sebentar saja
ia telah pulas dan di dalam tidurnya bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan
Lie Siong dan bertengkar urusan sepatunya yang dirampas dulu, kemudian mereka
saling menyerang dengan hebat!
Lili
tertegun dengan hati terkejut karena ia benar-benar mendengar suara senjata
beradu nyaring sekali dan suara orang bertempur hebat! Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia hendak melompat turun dari pembaringan, tubuhnya tidak
dapat digerakkan! Ia hendak mengerahkan tenaga, akan tetapi mendapat kenyataan
bahwa dia sudah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali sehingga ia
menjadi lumpuh kaki tangannya. Sementara itu, suara pertempuran di atas genteng
makin menghebat dan dengan bingung serta tak berdaya Lili berpikir-pikir apakah
yang sesungguhnya telah terjadi.
Sebagaimana
diketahui, setelah ditinggalkan oleh Lili di tengah hutan itu, Lie Siong lalu
mengejar dan secara diam-diam dia mengikuti perjalanan gadis yang dikasihinya
itu. Dia tak berani memperlihatkan muka karena dia merasa malu dan kuatir
kalau-kalau Lili akan menjadi marah.
Untuk
melepaskan gadis itu begitu saja dan mencari jalan sendiri, dia tidak tega
karena maklum betapa lihainya lawan-lawan yang mereka kejar-kejar. Maka secara
diam-diam ia hendak melindungi gadis itu dan bila sampai mereka bertemu dengan
musuh, bukankah mereka akan dapat menghadapi dengan lebih kuat?
Demikianlah,
ketika Lili bermalam di hotel di kota Kun-lin-an, secara diam-diam Lie Siong
mengintai dan setelah melihat gadis itu memasuki kamarnya, ia pun kemudian
menyewa sebuah kamar di hotel itu juga! Dia sudah mengambil keputusan untuk
besok pagi-pagi menjumpai Lili dan menyatakan terus terang kehendaknya, yaitu
melakukan perjalanan bersama. Dia sudah nekat dan bersedia untuk ditertawakan
atau bahkan dimaki, karena melakukan perjalanan macam ini sungguh tidak enak
baginya.
Malam itu
Lie Siong tidak dapat pulas. Kalau dia memikirkan hidupnya, dia menjadi amat
gelisah. Kedua orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan, yaitu
terbunuh oleh orang jahat. Kemudian di dalam perantauannya dia telah bertemu
dengan Lilani yang membuat ia selalu menyesali pertemuan itu, dan akhirnya ia
bertemu dengan Lili yang sudah membetot sukmanya serta menguasai cinta
kasihnya, bahkan mendiang ibunya telah berniat menjodohkan dia dengan Lili.
Akan tetapi
kalau dia teringat akan Lilani, hatinya menjadi perih sekali. Memang betul
bahwa dia telah memenuhi kewajibannya seperti yang telah dinasehatkan oleh
Thian Kek Hwesio, orang tua bijaksana ahli pengobatan yang tinggal di kuil
Siauw-lim-si di Ki-ciu itu. Yaitu kewajiban untuk mengantar Lilani sampai dapat
bertemu dengan suku bangsanya kembali.
Kini Lilani
telah berkumpul dengan suku bangsanya dan urusannya dengan Lilani telah beres.
Akan tetapi betulkah urusan itu telah beres? Kalau sampai Lili mengetahui hal
itu bukankah akan terjadi ribut besar?
Benar-benar
Lie Siong menjadi pusing memikirkan hal ini. Tiba-tiba dia mendengar suara di
atas genteng dan terheranlah hatinya. Itu bukan suara orang berjalan, pikirnya.
Lebih pantas kalau suara seekor burung besar mengibaskan sayapnya dan turun
dengan kaki hampir tak bersuara di atas genteng!
Kalau saja
ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu pemuda ini akan terus berbaring di
atas tempat tidurnya, menanti saja apa yang akan terjadi. Akan tetapi pada
waktu itu, pikirannya penuh dengan penjagaan terhadap Lili, maka dia lantas
cepat-cepat memakai sepatunya dan menyambar Sin-liong-kiam. Setelah itu, dia
lalu membuka daun jendela dan secepat kilat dia melompat keluar, terus melayang
naik ke atas wuwungan rumah hotel itu.
Alangkah
terkejutnya ketika ia melihat tiga orang tosu tinggi kurus berdiri di atas
genteng tepat di atas kamar Lili dan seorang di antara mereka meniupkan asap
hijau ke dalam kamar. Pada waktu Lie Siong menengok, selain tiga orang tosu ini
masih nampak pula bayangan seorang gemuk memegang huncwe. Ban Sai Cinjin! Bukan
main marahnya Lie Siong dan tanpa banyak cakap lagi ia segera menerjang dengan
pedangnya, menyerang tiga orang tosu yang sedang mempergunakan obat pulas untuk
mencelakai Lili!
Memang yang
datang adalah tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe yang dibawa oleh Ban Sai
Cinjin. Kakek berhuncwe ini telah melihat Lili berada di dalam kota ini pula.
Sesudah menyelidiki dan mengetahui bahwa gadis musuhnya itu bermalam di hotel
itu, dia lalu mengajak kawan-kawannya untuk menawan gadis itu.
Wi Kong
Siansu mula-mula menyatakan tidak setuju, karena perbuatan ini dianggapnya
terlalu memalukan mereka sebagai orang-orang gagah dan tokoh-tokoh terkemuka.
Akan tetapi Ban Sai Cinjin lalu menyatakan bahwa ia sama sekali tidak hendak
mencelakai Lili, hanya hendak menawannya saja sebagai tanggungan kalau-kalau
mereka kelak kalah oleh Pendekar Bodoh! Biar pun kalah, apa bila mereka
menguasal Lili, tentu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya tidak berani membunuh
atau mencelakai mereka.
Alasan-alasan
yang cerdik dari Ban Sai Cinjin membuat Wi Kong Siansu tidak mampu membantah,
akan tetapi tetap saja kakek kosen ini tak mau ikut turun tangan melakukan
penangkapan itu. Juga Hailun Thai-lek Sam-kui walau pun paling doyan berkelahi
tetapi tidak suka untuk turut membantu penangkapan ini. Oleh karena itu Ban Sai
Cinjin lalu minta pertolongan tiga orang ketiga Pek-eng-kauw itu.
Kepandaian
tiga orang kakek ini memang sangat hebat, kiranya tidak di sebelah bawah
kepandaian Wi Kong Siansu. Selain Ilmu Silat Garuda Putih yang khusus mereka
miliki, juga cara mereka melompat adalah seperti gerakan burung garuda, dengan
dua lengan dipentang dan lengan baju yang lebar seperti sayap.
Selain ini,
Kim Eng Tosu yang termuda di antara mereka, juga merupakan seorang ahli dalam
hal penggunaan obat tidur dan racun-racun yang lihai untuk merobohkan lawan.
Memang, Kim Eng Tosu ini pada waktu mudanya terkenal sebagai seorang
jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang amat ditakuti orang.
Pada saat
tiga orang kakek ini sedang melakukan usaha mereka menangkap Lili dengan
menggunakan asap memabukkan, Lie Siong lantas menerjang mereka dan mengerjakan
Sin-liong-kiam dengan hebatnya. Dia tidak menerima pelajaran khusus dari
gurunya yang baru, kecuali permainan gundu. Akan tetapi, gurunya itu telah banyak
memberi perbaikan terhadap ilmu pedangnya dan ilmu silatnya. Setiap kali ia
berlatih silat di depan gurunya, selalu gurunya itu mencela ini dan memperbaiki
itu sehingga ilmu pedang dan ilmu silat pemuda ini mendapat kemajuan yang luar
biasa sekali, di samping kemajuan-kemajuan dalam ginkang dan lweekang-nya.
Akan tetapi
ketika dia menyerang tiga orang orang tosu itu dengan marah, ketiga ketua
Pek-eng-kauw itu hanya mengebutkan lengan baju mereka yang lebar dan mereka
sudah dapat mengelak dengan cepat sekali. Bahkan Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu
segera menggerakkan tangan mereka dan meluncurlah ujung lengan baju yang
panjang-panjang itu melakukan serangan pembalasan yang hebat.
Lie Siong
kaget sekali melihat kelihaian mereka, akan tetapi ia lalu memutar pedangnya
sedemikian rupa dan melawan mereka dengan sepenuh tenaga. Kim Eng Tosu dan Sin
Eng Tosu juga tertegun menyaksikan seorang pemuda yang memiliki kepandaian
selihai ini, maka mereka berlaku hati-hati sekali.
Lie Siong
belum pernah menghadapi ilmu sesat seperti yang mereka mainkan itu, yaitu
dengan kedua lengan terbuka dan ujung lengan baju menyambar-nyambar, persis
seperti dua ekor burung garuda besar yang menyabet-nyabet dengan sayap dan
kadang-kadang menendang dengan kaki.
Ada pun Ban
Sai Cinjin setelah melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, menjadi marah
sekali dan sambil tertawa bergelak dia pun maju mengurung.
“Ji-wi Toyu,
pemuda ini jahat seperti serigala, harus dibunuh!”
Sementara
itu, Thai Eng Tosu mempergunakan kesempatan itu untuk melompat masuk ke dalam
kamar Lili yang belum terkena pengaruh asap tadi karena keburu datang Lie
Siong. Akan tetapi dalam keadaan masih tidur ia telah ditotok oleh Thai Eng
Tosu yang lihai sehingga ketika ia terbangun dengan kaget, ia telah tak berdaya
lagi.
Thai Eng
Tosu memang cerdik sekali. Pada saat tadi dia menyaksikan gerakan seorang
pemuda yang demikian cepat dan lihainya, dia pikir lebih baik membuat gadis di
dalam kamar tidak berdaya karena dia telah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa
gadis itu pun lihai sekali. Bila sampai gadis itu bangun dan maju berdua dengan
pemuda ini, agaknya tidak akan mudah menangkapnya! Maka setelah membuat Lili
tidak berdaya, barulah dia melompat lagi ke atas genteng untuk mengeroyok Lie
Siong!
Sebetulnya
dalam hal kepandaian, kalau diadakan perbandingan, meski pun dengan Ban Sai
Cinjin seorang saja, Lie Siong sudah tentu kalah latihan serta kalah
pengalaman. Pemuda ini dapat mengatasi Ban Sai Cinjin hanya karena dia menang
tenaga, menang semangat, dan juga pemuda ini semenjak kecilnya mempelajari ilmu
silat yang bermutu tinggi.
Terutama
sekali karena akhir-akhir ini, biar pun dalam waktu singkat, Lie Siong menerima
gemblengan yang amat hebat dari orang luar biasa, tokoh persilatan tersembunyi
seperti kakek tukang main kelereng itu. Maka, dalam hal ginkang dan lweekang,
dia sekarang tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin!
Namun, tetap
saja Ban Sai Cinjin merupakan seorang lawan berat baginya. Apa lagi sekarang di
situ terdapat tiga orang tosu yang kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari
pada kepandaian Ban Sai Cinjin.
Lie Siong
melakukan perlawanan secara nekad. Dia memutar pedang naganya dengan secepat
kilat dan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk merobohkan empat
orang pengeroyoknya.
Akan tetapi,
diam-diam Lie Siong harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia menghadapi
lawan-lawan yang berat seperti empat orang kakek ini. Terutama sekati Thai Eng
Tosu yang bersenjatakan sebatang suling kecil. Bukan main lihai dan
berbahayanya sehingga beberapa kali Lie Siong hampir saja terkena totokan
suling ini kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke samping.
Melihat
betapa Lie Siong sukar sekali dirobohkan, Ban Sai Cinjin menjadi gemas. Maka
tiba-tiba sekali, di luar dugaan ketiga orang tosu kawannya dan juga Lie Siong,
Ban Sai Cinjin melepaskan tiga batang jarum beracun ke arah pemuda itu.
Lie Siong
sedang sibuk menahan serangan tiga orang ketua Pek-eng-kauw yang lihai, maka
tentu saja dia tidak bersiap sedia menghadapi serangan gelap ini. Tetapi dia
dapat melihat menyambarnya tiga sinar hitam ke arah tubuhnya. Cepat ia
menangkis dengan kebutan tangan kiri yang menggunakan hawa pukulan Pek-in
Hoat-sut, namun sebatang jarum hitam tetap saja menancap pada paha kirinya di
atas lutut.
Lie Siong
menggigit bibir dan menahan sakit, akan tetapi seketika itu juga dia merasa
betapa separuh tubuhnya seakan-akan mati. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa
dia telah terkena jarum berbisa, maka dia kemudian melompat ke bawah dan
melarikan diri secepatnya.
Diam-diam
Ban Sai Cinjin merasa girang dan juga kagum karena sedikit pun juga tidak
terdengar keluhan sakit dari mulut pemuda itu, padahal dia maklum bahwa
jarumnya itu mendatangkan rasa sakit yang luar biasa dan di dalam waktu tiga
hari, pemuda itu tentu akan mati!
Dengan cepat
ia lalu melompat turun dan memondong tubuh Lili yang tak berdaya lagi itu
keluar dari kamar dan dibawa pergi bersama tiga orang tosu lihai itu! Kedatangan
mereka disambut oleh Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-tek Sam-kui yang diam-diam
merasa girang juga bahwa dua orang di antara calon lawan mereka yang tangguh
telah berhasil dikalahkan.
“Bagaimana
pun juga harap kau berlaku hati-hati dan jangan sekali-kali mencemarkan namaku
dengan perbuatan hina, Sute!” Wi Kong Siansu berkata kepada Ban Sai Cinjin
sambil melirik ke arah tubuh Lili yang masih setengah pingsan.
Ban Sai
Cinjin tersenyum. “Jangan kuatir, Suheng. Maksudku pun hanya untuk mencegah
Pendekar Bodoh berlaku kejam terhadap kita.”
Dia lalu
menghampiri Lili, menotok jalan darah Koan-goan-hiat dan Kian-ceng-hiat pada
kedua pundak, kemudian dia membebaskan gadis itu dari keadaannya yang lumpuh.
Lili terbebas dari totokan Thai Eng Tosu tadi, akan tetapi sepasang lengannya
tidak dapat dipergunakan karena kedua lengan itu telah menjadi lemas tidak
bertenaga lagi sebagai akibat dari totokan Ban Sai Cinjin tadi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment