Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 22
SEORANG yang
tidak memiliki ilmu ginkang yang luar biasa tingginya tidak mungkin dapat
melakukan tendangan selagi tubuhnya masih berada di udara, dan lagi pula, kalau
tidak mengandalkan tenaga lweekang yang amat hebat juga tidak mungkin orang
akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali.
Akan tetapi,
Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari
mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, dia telah
memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya.
Begitu ujung
kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu
menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan
menancap di lantai sampai setengahnya. Ada pun Ji-koksu meringis-ringis karena
dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan
dari Pendekar Bodoh!
Setelah
mengalahkan ketiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi
Khan, kemudian menjura dan berkata, “Harap Malangi Khan yang mulia sudi
memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!”
Untuk
beberapa lama Malangi Khan tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan
herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Dia turun dari tempat duduknya dan
dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan
tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba saja Cin Hai menggerakkan kedua
tangannya dan belenggu besi itu rontok lantas jatuh terlepas dari tangannya!
Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di
sana menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
“Hebat
sekali, Pendekar Bodoh. Sungguh pantas kau disebut pendekar yang terbesar di
dunia persilatan. Aku merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku di
sini, kau akan kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi raja muda yang kuberi
kekuasaan penuh sebagai wakilku!” Raja Mongol itu berseru saking kagumnya.
Akan tetapi
Cin Hai menggelengkan kepalanya dan dengan suara sungguh-sungguh lalu berkata,
“Malangi
Khan yang baik, sejak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara.
Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tidak kusukai adalah
menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke
dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas
tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia.”
Malangi Khan
mengerutkan keningnya. “Kalau begitu, apakah maksudmu datang ke sini? Apakah
kau datang dengan niat mengacau?”
Cin Hai
menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tidak lain hendak
menjemput keponakanku, Kwee Cin yang kini sedang menjadi tamu di istanamu.
Kedua orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka
menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan.”
Mendengar
ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam. “Dan di samping itu, apa lagi
kehendakmu?”
“Aku
mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan
membantumu. Karena orang jahat itu dulu telah melakukan pembunuhan terhadap
ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu
kepadaku untuk diadili!”
Malangi Khan
mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam
dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
“Apa
maksudnya ini, Malangi Khan?” tanya Pendekar Bodoh dan kedua matanya yang lebar
dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa
cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu.
Malangi Khan
tertawa bergelak. “Pendekar Bodoh, kau sudah kuberi kesempatan untuk
mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di
negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut
dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula.”
Ucapan
terakhir ini sesungguhnya bohong, karena meski pun tadinya Bouw Hun Ti juga
membantu suhu-nya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini
Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak
akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di
puncak Thian-san. Maka sebenarnya Bouw Hun Ti kini bukan merupakan pembantunya
lagi. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang
berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
“Selanjutnya
apa kehendakmu, Malangi Khan?” tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
“Kau akan
kutahan di sini dan takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima
pengangkatan atau sebelum bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!”
Cin Hai
tersenyum. “Kalau aku melarikan diri?”
Malangi Khan
juga tersenyum. “Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula,
begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!”
“Malangi
Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu?
Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu
masih belum kau bunuh!”
“Pendekar
Bodoh, kau kira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?”
“Siapa tahu
watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?” Cin Hai sengaja menghina
sehingga Raja itu mendelikkan mata dan segera memberi perintah kepada penjaga
untuk membawa datang Kwee Cin.
Teganglah
seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Dia sudah
mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin kemudian membawanya pergi
dari situ. Penjagaan ribuan orang tentara Mongol itu sama sekali tidak
ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya dia dapat membobolkan
kepungan itu.
Pintu
belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin bersama seorang anak Mongol yang
berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
“Kouw-thio
(Paman)...!” Kwee Cin berseru girang ketika dia melihat Cin Hai dan hendak
berlari menghampiri.
Akan tetapi
sekali sambar saja Malangi Khan sudah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya
dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan
mengancam dia memandang kepada Cin Hai. Pendekar Bodoh merasa sangat lega
melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat sehingga dapat
diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.
“Paman
Malangi, kenapa kau memegang tanganku?” tanya Kwee Cin sambil memandang heran
kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini
bersikap baik terhadap Kwee Cin.
Akan tetapi
melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang
seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak
merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah
nasib keponakannya itu.
“Malangi
Khan, janganlah kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah tidak akan
merampasnya dengan kekerasan.”
Malangi Khan
memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia pun lalu duduk
bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini
dapat melihat orang, karena itu sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji, maka
Raja itu telah percaya penuh kepadanya! Kalau saja ia mau mempergunakan
kepandaiannya, pada saat itu dia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu
saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya.
Sebetulnya
sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena meski pun kelihatan bodoh,
Cin Hai sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan
kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.
Kini melihat
Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba saja Cin Hai
menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tidak disangkanya Pendekar
Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi
menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh bukan merampas Kwee Cin
melainkan menangkap Putera Mahkota!
Tak ada
seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya
sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, sudah berada
di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai
sudah melompat keluar sambil berkata,
“Malangi
Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin secara baik-baik untuk ditukar dengan
puteramu. Aku menanti di benteng Alkata-san!”
Para
panglima beserta penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan
tetapi Malangi Khan berseru keras,
“Jangan
ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!” Raja ini takut
kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan
kelihaian Pendekar Bodoh.
Demikianlah
penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai
Cinjin ketika dia datang menghadap Malangi Khan.
“Dan
sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?” Ban Sai Cinjin bertanya sambil
mengepulkan asap huncwe-nya.
Kedudukan
Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dikatakan sejajar dengan Malangi Khan dan
karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia telah
memberi kebebasan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu
agung.
“Sayang
sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani
mengganggu tempat ini,” kata Raja itu dengan suara menyindir. “Akan tetapi
sudahlah, memang amat sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi
seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tiada jalan lain, terpaksa aku harus
mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar
dengan puteraku.”
“Harap
Paduka berlaku sangat hati-hati.” Ban Sai Cinjin memperingatkan. “Siapa tahu
kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah
saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera
Paduka.”
Beberapa
orang panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya
terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran
tawanan, sebab kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan
tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang
berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran
tawanan penting ini.
“Kau harus
berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki
puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!” kata Malangi Khan.
Demikianlah,
dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke
dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban
Sai Cinjin, tentu sama sekali dia tak akan suka mempercayakan keselamatan
putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!
Kwee Cin
lalu dikeluarkan dari kamar di mana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban
Sai Cinjin mengempit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai
Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa kakek mewah inilah yang dulu menculiknya, dan
tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi
kawan bermain Putera Mahkota Mongol yang baik. Akan tetapi kini ia diserahkan
lagi kepada kakek ber-huncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi
pucat dan ingin menangis.
Setelah
berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana
itu. Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari
cepat, tiba-tiba saja dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang
gerakannya cepat sekali.
Ketika
dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya pada saat melihat
bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan
dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di
desa Tong-si-bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang
tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau saja tidak
berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
“Suhu,
inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai
Cinjin Si Huncwe Maut!” pemuda itu berkata kepada kakek bongkok
terpincang-pincang yang berpegangan pada lengannya.
Kakek itu
membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti
ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah, “Heh-heh-heh, berikan
kepadaku anak itu...” suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek
yang sudah tua sekali, agak menggetar pula.
Biar pun
sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut
sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih
lebih unggul dari pada Lie Siong, juga di tempat itu dia mempunyai banyak
pembantu.
“Apakah kau
datang hendak mengantar kematian?” bentaknya kepada Lie Siong sambil
menggerakkan huncwe-nya di tangan kanan dan dibarengi teriakan untuk memberi
tahu kawan-kawannya. Sebetulnya teriakan ini tidak diperlukan karena para
panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan
sudah memburu keluar semua.
Lie Siong
yang diserang dengan hebatnya oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis mau pun
mengelak. Sebaliknya yang bergerak adalah kakek tua renta itu yang menggerakkan
dua tangannya sambil terkekeh-kekeh.
Biar pun
kedua tangannya kurus tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali,
namun Ban Sai Cinjin terkejut setengah mati. Sekali sambar saja huncwe Ban Sai
Cinjin itu telah kena direbut lalu dibalikkan dan kini huncwe itu menyodok ke
arah perut Ban Sai Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah
kepala kakek mewah itu.
Angin
pukulan dari kakek tua renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin
puyuh menyambar ke arahnya, maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak. Akan
tetapi sebelum dia mengetahui bagaimana kakek renta ini tadi bergerak, Kwee Cin
yang berada di dalam pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan
kakek tua bangka itu!
“Tangkap...!
Keroyok...!” Ban Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian kakek ini dan
para panglima segera maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang
merasa gelisah melihat betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang.
Ban Sai
Cinjin sendiri masih berdiri tertegun karena baru satu kali selama hidupnya dia
menyaksikan orang yang tingkat kepandaiannya sama dengan kakek tua renta ini,
yaitu Bu Pun Su yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak
ada orang lain yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su. Akan tetapi
sekarang, menghadapi kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia
menjadi bingung dan terkejut.
Agaknya
kepandaian kakek tua renta ini tidak berada di sebelah bawah dari kepandaian
Empat Besar, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat
Siansu yang semuanya sudah meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak
ada tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan
tetapi selama hidupnya belum pernah ia melihat atau mendengar tentang kakek
yang aneh ini!
Ada pun
kakek itu kelihatan enak-enak saja meski pun dikurung oleh panglima-panglima
yang bersenjata tajam. Ia mengisap huncwe rampasan itu yang masih ada
tembakaunya mengepul, disedotnya beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip
dan memondong Kwee Cin yang memandang dengan ketakutan.
Sementara
itu, karena para penglima sudah mulai menyerang, Lie Siong cepat mencabut
pedang naganya dan setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring
dan beberapa batang golok atau tombak langsung menjadi patah. Akan tetapi
kurungan tidak mengendur, bahkan makin merapat.
Kakek tua
yang menyedot asap huncwe tampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi
makin buruk.
“Ahh, huncwe
tidak enak, tembakaunya apek berbau busuk!” katanya menyengir lalu dia
menyodorkan huncwe itu kembali kepada Ban Sai Cinjin.
Si Huncwe
Maut ini terbelalak matanya memandang penuh keheranan karena tadi dia melihat
sendiri betapa kakek ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala
api di dalam huncwe, tentu banyak sekali asap yang tersedot. Akan tetapi dia
tidak melihat asap itu keluar lagi seolah-olah lima kali sedotan itu membuat
asapnya terus tersimpan di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang
dipasangnya di dalam huncwe-nya adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena
kaget dan heran, setelah menerima kembali huncwe-nya, dia hanya berdiri
bengong.
Kakek itu
memandang ke arah Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri
memimpin sebagian orangnya untuk menyerang kakek itu dan merampas kembali Kwee
Cin. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar
keluar asap hitam bergulung-gulung bagaikan naga hitam yang jahat. Inilah asap
dari huncwe Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan lweekang dan
khikang luar biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.
“Awas,
mundur...! Asap itu berbahaya sekali...!” Ban Sai Cinjin berteriak gagap,
karena ia maklum akan berbahayanya asap huncwe-nya sendiri yang mengandung
racun hebat. Akan tetapi beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan
seketika menjadi roboh pingsan. Yang lain-lain menjadi takut dan mundur.
Kakek itu
mendekati Lie Siong. “Muridku, hayo kita pergi!”
Baru saja
ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang
cepat sekali ke atas genteng dan lenyap dari pandangan mata!
Kembali Ban
Sai Cinjin terkejut. Itu adalah ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Bagai mana
pemuda itu tiba-tiba saja sudah memiliki kepandaian ini? Melihat gerakan pedang
pemuda tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar,
dapatlah ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh kakek yang
sakti tadi dan dibawa melompat pergi.
Pada saat
dia memandang ke arah Malangi Khan, dari sepasang mata Raja Mongol ini
terbayang maut yang ditujukan kepadanya sehingga dia menjadi kaget. Dia tahu
bahwa Raja ini marah sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi
sehingga Kwee Cin terampas orang.
“Biar hamba
mengejar mereka!” seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng
dan melarikan diri!
Kakek mewah
ini tahu bahwa dia tak akan sanggup mengejar, dan alasannya tadi hanya
dipergunakan supaya dapat melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini
Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya datang dan berada di benteng Alkata-san, amat
berbahaya baginya berada di tempat itu.
Dia kemudian
pergi cepat sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk
mengumpulkan pembantu-pembantu yang pandai guna menghadapi Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya yang amat ditakutinya.
***************
Bagaimana
Lie Siong bisa datang bersama kakek tua renta itu dan siapa pula kakek yang
aneh itu?
Seperti
telah diketahui, setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan kemudian
meninggalkan Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili
dan Ma Hoa ke benteng Alkata-san, Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk
mencari Ban Sai Cinjin guna membalas dendam ayahnya dan juga untuk mencoba
menolong Kwee Cin yang diculik oleh kakek mewah ber-huncwe maut itu.
Dia telah mendengar
bahwa Ban Sai Cinjin membantu bala tentara Mongol, maka ia lalu melakukan
penyelidikan di sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala
tentara Mongol. Tentu saja dia tak berani memasuki perbentengan itu karena tahu
bahwa perbuatan ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam benteng itu
selain terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu tentara Mongol juga
masih terdapat banyak panglima-panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban
Sai Cinjin dan lain-lain.
Demikianlah,
ia hanya bersembunyi saja sambil menanti-nanti bila mana ada kesempatan baik.
Banyak akal terlintas dalam otaknya. Ia dapat menangkap seorang prajurit Mongol
dan kemudian menyamar sebagai prajurit itu memasuki benteng. Atau dia bisa
menanti sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba, atau
menyelidiki di mana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya.
Ketika dia
sedang berjalan di dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba dia mendengar suara
orang tertawa-tawa. Suara ketawa ini mirip seperti suara ketawa anak kecil yang
sedang bermain-main dengan riang gembira. Heran dan kagetlah Lie Siong
mendengar suara ini.
Bagaimana di
dalam hutan seperti ini, dekat perbentengan tentara Mongol dan di daerah
pertempuran, bisa terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main? Dia
segera mencari siapa yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang
sebatang pohon besar, dia berdiri terpukau saking herannya.
Di bawah
pohon itu nampak seorang kakek yang kurus kering dan bongkok, seluruh kulit
mukanya keriputan sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut.
Seorang kakek ompong yang tidak memiliki daging lagi, tengah bermain-main
seorang diri sambil berjongkok di atas tanah!
Pada waktu
Lie Siong memandang penuh perhatian, ternyata bahwa kakek tua renta ini sedang
bermain gundu seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu
yang lain, ia tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie
Siong tidak dapat menahan kegelian hatinya ketika melihat kakek yang saking
tuanya telah kembali menjadi kekanak-kanakan ini!
Akan tetapi
ketika ia memandang cara kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan
jangankan menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi
terbelalak. Ternyata bahwa cara kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali.
Gundunya
terbuat dari tanah liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir. Yang hebat ialah
setiap kali kakek itu menyentil ‘jagonya’, maka gundunya itu akan meluncur
berlenggak-lenggok, kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir
gundu itu satu per satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang
dapat mencari-cari sembilan lawannya!
Tentu saja
Lie Siong mengerti bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki
tenaga lweekang yang sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu
untuk membentur tiga atau empat gundu lain sebelum berhenti. Akan tetapi kakek
ini biar pun gundu jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu
jagonya itu dapat berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti. Dan
juga gundu-gundu yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga
sembilan butir gundu itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar
biasa sekali!
“Hebat...,”
bisiknya di dalam hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak.
Tanpa
menoleh kepadanya, kakek tua renta itu lalu berkata, “Hayo, sekarang giliranmu,
orang muda. Kau bidikkan gundumu!”
Ketika Lie
Siong diam saja, kakek itu lalu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu
ketika melihat sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya.
“Aku... aku
tidak punya gundu,” jawabnya gagap.
Kakek itu
tertawa terkekeh-kekeh. “Ha-ha-ha, aku lupa! Kau pasti masih bodoh bermain
gundu, tentu saja gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah
sebuah gundu agar kau dapat ikut bermain-main.”
Tangan kiri
kakek itu mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah
kirinya.
“Krakk!”
terdengar suara dan gempallah sepotong batu karang!
Kemudian,
seolah-olah batu karang itu hanya sepotong tahu saja kakek itu lalu
mencuwil-cuwilnya dan membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam
sekejap mata.
Dengan hati
berdebar kagum, Lie Siong lalu menerima gundu istimewa itu dan ketika dia menekan,
gundu itu memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan
tetapi yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh kakek luar biasa ini.
“Hayo,
bidiklah!” kakek itu berseru girang.
Dengan
terpaksa Lie Siong lalu berjongkok dan melayani kakek ini bermain gundu! Dia
membidikkan gundunya sambil berpikir. Gundu yang diberikan kepadanya dan
menjadi gundu jagonya adalah terbuat dari batu karang yang keras sehingga lebih
berat dari pada gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu
terbuat dari tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan
membentur gundu lain ke dua, ke tiga dan seterusnya? Paling-paling yang akan
terpental adalah gundu yang dibentur oleh gundu jagonya!
Setelah
berpikir sebentar, Lie Siong segera membidik dan melepaskan gundunya dengan
keras. Gundunya menendang gundu terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke
dua yang sebaliknya terpental pula lantas membentur yang ke tiga. Demikianlah,
dengan pengerahan tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat
gundu-gundu itu saling bentur hingga gundu ke lima, akan tetapi sampai pada
gundu yang ke lima, tenaga benturan telah habis dan mogok di jalan.
“Kau
licik...!” kakek itu bersungut. “Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah
gundu sasaran! Tidak boleh begitu!”
“Tentu saja,
sebab gundu jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan
sekali!” Lie Siong membantah sehingga mereka ini benar-benar seperti dua orang
anak-anak yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.
“Siapa
bilang gundu jagomu keras dan berat? Coba lihat, sekarang aku hendak membidik
gundumu, lihat saja mana yang lebih keras!”
Sambil
berkata demikian, kakek itu menggunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat
dari tanah liat yang dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie
Siong yang terbuat dari batu karang.
“Prakk!”
Kalau
dibicarakan memang sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah
mahir dalam ilmu lweekang dan paham akan kemukjijatannya tenaga lweekang, masih
terbelalak memandang karena belum pernah dia menyaksikan demonstrasi tenaga
lweekang yang demikian hebatnya.
Begitu dua
butir kelereng atau gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu
karang itu langsung hancur berhamburan, sedangkan gundu kakek itu yang terbuat
dari tanah liat kering, sama sekali tidak apa-apa, rontok sedikit pun tidak!
Lie Siong
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap kakek ini, kemudian
menyaksikan pula kehebatan tenaga lweekang-nya, dia dapat menduga bahwa kakek
ini tentulah seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi
anak-anak saking tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya.
Jika saja
betul bahwa kakek ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah
baiknya kalau dia menjadi muridnya! Maka dia lalu ingin mencoba apakah dalam
hal ilmu silat, kakek ini juga lihai. Dia berpura-pura marah dan membentak,
“Kau sudah
merusak gunduku! Kau menghancurkan gunduku!” Sambil berkata demikian Lie Siong
maju menampar pundak kakek itu.
Kelihatannya
kakek itu tidak mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak,
tamparan Lie Siong meleset!
“Kau yang
licik, kalah pandai main gundu, mengapa penasaran? Gundumu pecah bukan karena
salahku, salah gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!” Kakek itu
kelihatan senang sekali karena tidak saja dia menang dalam bermain gundu, juga
gundu lawannya menjadi pecah!
“Kau harus
dipukul!” seru Lie Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan
cepat ke arah pundak orang. Sekali lagi pukulan ini meleset.
Lie Siong
mulai penasaran dan ketika sekarang kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang
bongkok, dia lantas menyerang dengan Ilmu Pukulan Sian-li Utauw (Tari Bidadari)
yang kelihatan lembek akan tetapi mengandung tenaga lweekang dan gerakannya
indah dan cepat. Kembali dia tercengang, karena kakek itu sambil tertawa
haha-hehe selalu dapat menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulut
kakek itu tiada hentinya berkata mengejek,
“Kalah main
gundu kok mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!”
Yang membuat
Lie Siong merasa sangat penasaran sekali adalah sikap kakek itu yang
seakan-akan tidak memandang sedikit pun juga pada ilmu silatnya Sianli Utauw,
buktinya kakek itu tak pernah memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia
lalu mengambil gundu-gundu itu sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam
kantongnya. Biar pun matanya ditujukan kepada gundu, tetapi tetap saja setiap
pukulan Lie Siong selalu dapat dihindarkan dengan amat mudah.
“Sudahlah,
main gundunya tidak becus, masa mau main pukul? Hai, anak nakal dan licik,
lebih baik kau pulang belajar lagi main gundu yang betul!” kata kakek itu dan
sekali saja ia mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini
terlempar sampai dua tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali.
Namun Lie
Siong masih belum merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia
menggerak-gerakkan kedua tangannya, dari tangan dan lengannya segera mengebul
uap tipis putih. Inilah ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ia pelajari dari
ibunya, ilmu pukulan yang amat lihai dari sucouw-nya, yaitu Bu Pun Su!
Kakek itu
nampak tertegun melihat ilmu pukulan ini, kemudian berdiri bengong. Tangan
kanannya memijit-mijit pelipis kepalanya seolah-olah dia sedang mengumpulkan
ingatan untuk mengingat kembali ilmu silat yang dia lihat dimainkan oleh anak
muda ini.
“Apakah Bu
Pun Su hidup lagi?” demikian terdengar dia bertanya kepada diri sendiri.
Lie Siong
yang mendengar ucapan ini menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia juga merasa
bangga karena agaknya kakek ini bisa mengenal ilmu silatnya dan takut
menghadapinya! Maka ia lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi
alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat kakek itu pun bergerak dan
mengebullah uap putih yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa
kakek ini pun mahir Pek-in Hoat-sut, bahkan tenaganya jauh lebih besar dari
pada tenaganya sendiri.
Akan tetapi
ia merasa sudah kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia
menyerang hebat dan begitu kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru
keras karena tubuhnya mencelat ke atas sampai lebih dari tiga tombak! Baiknya
kakek itu tidak berniat jahat sehingga dia terlempar saja tanpa menderita luka
dan dapat turun kembali dengan kedua kaki menginjak tanah.
“Ha-ha, main
gundu kalah, main pukulan juga keok!” kakek itu mengejek seperti seorang anak
kecil mengejek lawannya.
Kini Lie
Siong tidak ragu-ragu lagi dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek aneh itu.
“Suhu yang
mulia, mohon Suhu memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh!”
Untuk
beberapa lama, kakek itu diam saja, kemudian dia terbahak-bahak, seakan-akan
merasa sangat lucu. “Kau minta belajar apa dari padaku? Aku hanya pandai main
gundu. Maukah kau belajar main gundu?”
“Segala
nasehat dan pelajaran dari Suhu, sudah tentu akan teecu terima dan perhatikan
dengan sungguh-sungguh.”
“Bagus, aku
akan mengajarmu bermain gundu hingga kau akan menjadi jago gundu yang paling
istimewa.”
Kakek yang
pikun itu lalu mulai memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie
Siong! Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong sudah mengerti
bahwa permainan gundu ini bukanlah sembarang permainan.
Sentilan
pada gundu itu merupakan gerakan melepas am-gi (senjata rahasia) yang hebat
sekali, digerakkan oleh tenaga lweekang yang amat tinggi. Oleh karena itu,
mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya
dengan menambah tenaga lweekang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu,
ia lalu memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan
sambil bermain-main ini.
Akan tetapi
kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun
ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak
tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguh pun ia masih dapat
menggerakkannya dengan amat sempurna. Lie Song menjadi girang sekali, apa lagi
sedikit demi sedikit suhu-nya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum
pernah dilihat sebelumnya.
Kemudian
pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka dia
lalu berkata kepada suhu-nya beberapa hari kemudian, “Suhu, ada seorang anak
kecil she Kwee yang diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak
itu berada di dalam benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat
menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak
ditolong maka nyawa anak itu terancam bahaya.”
Dalam
beberapa hari berkumpul dengan suhu-nya, Lie Song tahu bahwa kakek ini paling suka
dengan anak kecil, maka dia tadi sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan
menyebutnya anak kecil pula.
“Hmm, apakah
dia kawanmu bermain?”
Lie Siong
hanya menganggukkan kepala dan mendesak agar suhu-nya suka menolong anak kecil
itu sekalian membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama
Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.
“Apakah kau
kira aku tukang bunuh orang?” mendadak kakek itu berkata dengan muka murka dan
marah.
Sampai lama
dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan juga tidak mau mengajak
pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhu-nya marah dan
‘ngambul’, merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak
berani bicara tentang pembunuhan lagi. Pada sore harinya barulah gurunya mau
mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong
Kwee Cin.
Akhirnya
kakek itu mau juga dan sesudah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada
lengan Lie Siong, kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan
kemudian mendaki bukit di mana terdapat perbentengan orang Mongol itu.
Betapa
girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biar pun berpegang
kepada lengannya, akan tetapi gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan
sebaliknya. Dia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika
dia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, dia dapat berlari
jauh lebih cepat dari pada kalau dia berlari sendiri! Juga pada saat dia
melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali.
Ia tahu
bahwa tanpa disengaja, gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja
dia menjadi sangat girang dan kagum sekali. Demikianlah, dengan amat mudahnya
Lie Siong membawa suhu-nya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas
Kwee Cin. Dia makin girang sekali menyaksikan kelihaian suhu-nya yang
benar-benar di luar persangkaannya itu.
Dia kini
makin kenal baik keadaan suhu-nya dan tahu bahwa suhu-nya adalah seorang kakek
yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah menjadi seperti kanak-kanak,
berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang
main gundu.
Dari istana
Malangi Khan, dia langsung membawa suhu-nya dan Kwee Cin ke benteng tentara
kerajaan yang ada di Pegunungan Alkata-san. Memang Lie Siong berniat hendak
mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di benteng Alkata-san, lalu
menghilang bersama suhu-nya dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang
tinggi. Dia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian
Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekali pun.
***************
Kedatangan
Cin Hai, Kwee An, Hong Beng, dan Goat Lan di benteng Alkata-san disambut dengan
girang oleh semua orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya
tidak berada di antara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang
anak laki-laki bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.
Akan tetapi
sesudah dia mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja
diculik untuk nantinya ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan
penuh harapan. Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia
pun menghendaki agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh ayah anak
ini.
Pada hari
itu juga, datang rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-houw-enghiong Kam Wi, dua
orang tokoh besar Kun-lun-san itu yang membawa teman-temannya untuk membantu
perjuangan negara menghadapi orang-orang Mongol. Di dalam rombongan ini
terdapat pula Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang
sudah kita kenal itu. Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga
orang kakek aneh yang suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah
dari dunia kang-ouw lagi.
Sungguh
sangat menarik hati kalau melihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu
dengan Pendekar Bodoh. Rata-rata mereka menyatakan hormatnya terhadap Pendekar
Bodoh dan kawan-kawannya yang sudah tersohor. Yang amat menggembirakan adalah
Sikap Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio.
Pada saat
melihat Cin Hai dan Lin Ling, dua orang pendeta bersaudara ini segera berlari
menghampiri. Ceng Tek Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu
bergerak-gerak sedangkan Ceng To Tosu meweknya semakin menyedihkan. Cin Hai
juga sangat gembira bertemu dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel
perut Ceng Tek Hwesio sambil berkelakar.
“Aduh, biar
sekarang mati pun aku tidak penasaran lagi sesudah bertemu dengan kalian suami
isteri!” kata Ceng Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.
Namun yang
paling aneh dan mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sebab
tiga orang iblis ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh
dan semenjak dulu ingin sekali menguji kepandaiannya. Apa lagi mereka sudah
pernah mencoba kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar
Bodoh, maka begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai
tuan rumah, tiga orang kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing!
Thian-he
Te-it Siansu si kate menggerak-gerakkan payung mautnya, Lak Mouw Couwsu si
hwesio gemuk itu menarik keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi
kurus mengeluarkan tongkatnya dan Thian-he Te-it Siansu lalu berkata,
“Pendekar
Bodoh, sungguh kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita sudah saling bertemu di
tempat ini, hal yang sejak dulu telah sering kali kami impikan. Hayolah kau
perlihatkan kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami
bertiga!”
Tentu saja
Cin Hai menjadi tertegun melihat sikap mereka ini sehingga untuk sesaat tidak
mampu menjawab! Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan kemudian
menantang berpibu (mengadu kepandaian)? Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong
Kun Tojin menjadi merah mukanya.
Ia melangkah
maju dan menjura kepada Cin Hai, “Sie Taihiap, harap suka memaafkan Hailun
Thai-lek Sam-kui yang suka main-main.” Kemudian dia berkata kepada tiga orang
aneh itu,
“Sam-wi betul-betul
tidak memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala rombongan ini, apakah
sengaja Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?” Suara Tiong
Kun Tojin terdengar tandas sekali. Memang tosu ini amat berdisiplin dan
memegang teguh aturan, juga berwatak keras.
Thian-he
Te-it Siansu bergelak mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-lun-san ini. “Ah,
Tiong Kun Totiang mengapa begitu galak? Apa sih buruknya menambah pengetahuan
ilmu silat selagi bertemu dengan orang gagah? Kesenangan kita satu-satunya
hanya ilmu silat, kalau sekarang tidak bergembira, mau tunggu kapan lagi?”
“Bicaramu
memang benar, Siansu. Akan tetapi pibu harus dilakukan dengan aturan dan pada
waktu dan tempat yang tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di
sini bukan untuk main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah
seorang pendekar gagah yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang
Mongol, apakah datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan? Berlakulah sabar,
kalau semua urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak pibu siapa pun
juga, pinto tak akan ambil peduli.”
Thian-he
Te-it Siansu memandang kepada dua orang adiknya, lalu dia menghela napas
berulang-ulang. Akhirnya sambil tertawa dia berkata kepada Pendekar Bodoh,
“Pendekar Bodoh, jika begitu terpaksa kita harus menunggu sampai nanti tahun
depan pada musim chun (musim semi) di puncak Thian-san.”
“Sam-wi
Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), siauwte adalah orang yang bodoh, maka kalau
ada yang hendak memberi petunjuk tentu saja siauwte akan merasa berterima kasih
sekali,” Cin Hai menjawab dengan merendah, dan ternyata bahwa pendekar besar
ini telah dapat menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini.
Kam Wi yang
mendengar bahwa keponakannya, yaitu Kam-ciangkun atau Kam Liong masih belum
menyerang musuh dan sudah menunggu sampai lima hari, dan mendengar pula tentang
usaha Pendekar Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil
menawan putera Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,
“Tidak baik,
tidak baik! Dengan menunda serangan maka kedudukan lawan akan menjadi makin
kuat dan orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!”
Tokoh
Kun-lun-san yang berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang
penglima perang yang ulung. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang
juga tahu bahwa dia adalah adik dari Panglima Besar Kam Hong Sin.
“Lebih baik
pukul hancur perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan
memukul hancur pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee
Taihiap juga. Sekarang kebetulan sekali putera Malangi Khan telah berada di
tangan kita, kita pergunakan untuk mengancamnya. Apa bila dia tidak mau
menyerah dengan damai, besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak
di luar dari bentengnya!”
Pendekar Bodoh,
Kwee An, Ma Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening. Mereka ini merasa tak setuju
sama sekali atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang darl sudut siasat
kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka biar pun Kam Liong menduduki
pucuk pimpinan, namun tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada
orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan.
Cin Hai lalu
menghadapi Kam Wi dan setelah menjura, dia berkata, “Memang apa yang dikatakan
oleh Kam-enghiong betul sekali, akan tetapi jika mengingat akan keselamatan
keponakanku, aku beserta saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-ciangkun
agar supaya penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi
Khan tak akan membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan
menyerahkan Kwee Cin untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah kita
rundingkan kembali tentang penyerbuan.”
Alis mata
Kam Wi yang tebal itu dikerutkan, kemudian dia mengangguk-angguk sambil
berkata, “Kalau saja tidak mengingat bahwa Sie Taihiap adalah calon besan dan
calon mertua Kam Liong, tentu Kam Liong juga akan merasa keberatan melakukan
penundaan-penundaan ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari
lagi...”
“Kam-enghiong,
urusan perjodohan itu belum lagi diputuskan, harap kau suka bersabar. Sesudah
urusan ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah kita pertimbangkan
lagi,” kata Cin Hai tak senang.
Kam Wi
tersenyum. “Aku tidak melihat ada halangan lainnya lagi, maka aku sudah berani
memastikan, bukan begitu, Kam Liong?” Kam-ciangkun hanya menundukkan mukanya
yang menjadi amat merah akan tetapi ia tidak berani melayani pamannya yang
kasar ini.
Pada malam
hari itu, Kam Liong menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup
besar dan meriah. Di tengah-tengah benteng itu, dalam ruangan yang lebar,
dipasang meja-meja besar dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja
dan makan minum dengan gembira.
Sebagai
seorang panglima perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam
Liong sengaja memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan
di luar benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini
terjadi.
Akan tetapi,
tetap saja terjadi hal yang luar biasa dan di dalam benteng itu masuk tiga
orang tanpa ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan
orang itu sudah berada di atas genteng ruang pesta itu.
Dan orang
pertama yang dapat mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat
itu, Cin Hai yang duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo
Sian, Lilani, Hong Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri, tiba-tiba menaruh
sumpitnya di atas meja kemudian berkata dengan suaranya yang keras karena
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang.
“Ji-wi (Tuan
Berdua) yang berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!”
Tentu saja
semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut.
Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka
tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga.
Benar saja, terdengar suara kaki dua orang di atas genteng.
Sesudah
teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng, “Sie
Taihiap, yang datang hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!”
“Lie
Taihiap...!” seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong.
Ma Hoa, Kwee
An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.
“Siong-ji
(Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!” seru Ma Hoa. Akan tetapi
biar pun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan
juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul.
Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.
Benar saja,
di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu
ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin
dengan mata membasahi pipinya.
“Terima
kasih... terima kasih, Siong-ji...,” Ma Hoa berkata sambil memandang ke arah
Lie Siong dengan mata bersyukur.
“Bukan aku
yang telah menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi),” kata Lie Siong merendah.
“Ibu, yang
menolongku adalah Engko Siong bersama suhu-nya, kakek pincang yang bisa terbang
itu!” tiba-tiba saja Kwee Cin berkata sehingga semua orang terheran dan
terkejut mendengarnya.
“Lie Siong,
mengapa kau tidak mengajak suhu-mu ke sini?”
“Dia sudah
berada di sini!” tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. “Tadi pun dia yang mengantar
kami ke sini, entah sekarang ke mana dia pergi!”
Kembali
semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar
suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie
Siong dan Kwee Cin. Kalau benar ada tiga orang, mengapa dia tidak mendengar
suara kaki yang seorang lagi?
“Siong-ji,
manakah gurumu itu? Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih
serta belajar kenal,” Lin Lin berkata kepada pemuda yang tampan dan yang
berdiri dengan muka tunduk itu.
“Dia... dia
tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan siauwte... maafkan karena aku
juga tidak dapat lama-lama tinggal di sini.” Ia menengok ke belakang dan
berkata, “Suhu, marilah kita pergi.”
Terdengar
suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke
arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!
Cin Hai, Lin
Lin, Kwee An, dan Ma Hoa sudah mempunyai ilmu kepandaian yang hampir sempurna,
apa lagi Cin Hai, maka biar pun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka
masih saja sempat melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat
saling pandang.
Sedangkan
Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu ginkang dari
kakek itu masih lebih hebat dari pada kepandaian kedua orang tua mereka, hal
ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang
tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara orang-orang
kang-ouw!
“Siapakah
dia...?” Pendekar Bodoh mengerutkan kening sambil mengingat-ingat. Kwee An dan
Ma Hoa juga merasa yakin belum pernah melihat orang itu.
“Kepandaiannya
mengingatkan kepada suhu Bu Pun Su,” kata Lin Lin.
Tiba-tiba
Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu.
Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama
The Kun Beng yang dahulu pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya,
orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu
Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.
“Hmm, siapa
lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?”
pikir Pendekar Bodoh.
Dia tidak
berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi
diam-diam dia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang
guru yang demikian lihainya.
Dengan wajah
gembira semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee
Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir di sana.
Tiba-tiba terdengar suara girang “Kwee Cin...?”
Anak ini
menengok dengan wajah berseri, kemudian berseru, “Kamangis!” Keduanya lalu
berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang
sekali.
“Kamangis,
kau sudah berada di sini?” tanya Kwee Cin.
“Aku suka
sekali ikut ayah bundamu, mereka orang-orang baik sekali!” jawab Kamangis.
“Ayahmu juga
seorang baik, Kamangis,” kata Kwee Cin.
Ma Hoa dan
Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang.
Akan tetapi
tiba-tiba saja Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Kebetulan
sekali, Kwee-kongcu sudah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita
boleh serbu benteng orang-orang Mongol dan kita akan pergunakan Putera dari
Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan
dapat dihancurkan segala-galanya.”
“Tidak
boleh!” tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya, kemudian sambil
memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata.
“Siapa pun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena
dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapa pun juga
tidak bisa mengganggunya dan aku akan mengembalikannya kepada ayah bundanya
secara baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan
baik pula. Siapa pun boleh tidak setuju dengan omonganku, akan tetapi kalau ada
yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba mengalahkan sepasang
senjataku!”
Sambil
berkata demikian dengan sekali gerakan saja Ma Hoa sudah mencabut sepasang
bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membuat orang
menjadi jeri juga melihatnya!
Kam Wi
adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini dia sudah melotot dan
hendak maju mendebat. Akan tetapi Kam Liong yang tak menghendaki perpecahan,
segera maju dan menjura kepada Ma Hoa, lalu berkata dengan suara lemah lembut
dan sikap sopan santun.
“Mohon
Toanio sudi memaafkan, pamanku tadi mengeluarkan kata-kata yang ditujukan hanya
karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita.
Siauwte dapat memaklumi pula perasaan Toanio terhadap anak ini setelah
Kwee-kongcu terbebas dari benteng orang Mongol, dan kiranya di antara kita juga
tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak
berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio sudah tertolong
sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi
Khan takkan tinggal diam. Bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang
pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka
menyerang, kita harus mendahului menyerang benteng mereka dan sesungguhnya...”
ia melirik ke arah Pangeran Kamangis, “sesungguhnya dengan adanya Pangeran
Mongol ini di sini kita sudah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar.
Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang
karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara
dan demi kemenangan kita, harap Toanio suka menahan dulu anak itu, jangan
dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini.”
Ma Hoa
menggeleng-geleng kepalanya. “Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu!
Aku memang tidak tahu tentang siasat perang, akan tetapi ayahku dahulu juga
seorang panglima perang dan karena semenjak kecil aku diajarkan kegagahan, maka
aku sangat menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran mau pun
perang besar, aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka
mempergunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala
tentara Mongol maka kita harus mempergunakan kecurangan? Bagiku, lebih baik
kalah dengan cara gagah perkasa dari pada menang dengan menggunakan akal
curang!”
Muka
Kam-ciangkun menjadi merah mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar
Bodoh melihat betapa kedua pihak telah bermerah muka, maka ia cepat maju dan
sambil tersenyum, Cin Hai berkata,
“Sebetulnya
tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku
pergi ke benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau dia
bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapa pun juga kalau terjadi
perang tentu akan mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran
ini kita hadapi kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?”
Semua orang
menyatakan setuju dengan usul ini, maka urusan Pangeran Kamangis itu
selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi. Pesta perjamuan berjalan kembali
sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar
mereka. Dua orang anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula,
gembira dan suka akan kegagahan......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment