Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 06
PADA suatu
hari, ketika Lie Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, dia melihat dua orang
laki-laki sedang bertengkar. Tadinya dia tidak hendak mempedulikan kedua orang
yang bercekcok itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat
aneh dan kaku seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri
mereka sambil bersembunyi di balik pohon besar.
Laki-laki
yang bicaranya terdengar kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan
berjenggot panjang, nampaknya gagah sekali dan matanya bersinar tajam. Ada pun
orang yang bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar
dan bermuka kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.
“Gui-kongcu
(Tuan Muda Gui), sudah berkali-kali aku menegur dan menasehatimu agar kau
jangan menggoda anakku lagi, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina
puteriku. Aku biasanya amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku
ini tanda bahwa aku takut kepadamu!”
Laki-laki
muda itu tertawa bergelak dengan sikap menghina sekali.
“Paman
Manako, kau orang tua mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda? Aku
mencinta Lilani, kenapa aku menghina? Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa
pula kau berani menampik pinanganku? Ingat, Paman Manako, kau datang sebagai
seorang perantau, dan kalau tidak ada aku dan ayahku, tidak mungkin kau dapat
tinggal di daerah ini!”
“Kurang
ajar!” bentak lelaki berkumis yang bernama Manako itu. “Gui-kongcu, kau sudah
mengucapkan kata-kata menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tak
ingat bahwa kau masih kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu sudah
menolongku, untuk ucapanmu itu saja aku dapat membunuhmu! Memilih mantu tidak
dapat dipaksa. Anakku Lilani tak suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima
pinanganmu? Sungguh amat tidak tahu malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak
pinangannya, tetapi masih saja mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!”
“Manako!”
pemuda itu membentak marah, kini tanpa menggunakan sebutan paman lagi. “Lupakah
kau sedang bicara dengan siapa?” Pemuda ini kemudian mencabut pedangnya dengan
sikap mengancam.
Orang tua
berjenggot itu tersenyum dan dengan tenang ia pun lalu mencabut pedangnya pula.
“Tentu saja aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera
dari Kepala Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako
bukan seorang penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!”
“Orang Haimi
yang sombong, rasakan tajamnya pedangku!” teriak pemuda tinggi besar itu dan
segera dia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.
Gerak
tipunya ini ialah yang disebut Han-ya Pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci),
sebuah gerakan tipuan dari Ilmu Pedang Tat-mo Kiam-hoat, yakni ilmu pedang
ciptaan pendekar besar Tat Mo Couwsu. Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi
itu menangkis dengan pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali
karena ternyata bahwa tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental
ke belakang!
Ia berseru
keras dan segera menyerang lagi dengan gerak tipu Hui-eng Bok-thou (Elang
Terbang Menyambar Kelinci). Kedua kakinya melompat ke atas dan pedangnya ganas
menyambar. Akan tetapi Manako, orang Haimi itu dengan amat gesitnya lalu
mengubah kedudukan kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu
memutar tubuhnya dengan gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Goa. Dengan gerakan
ini dia segera berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan, kemudian ia membalas
menyerang dengan tak kurang hebatnya.
Sebentar
saja ternyata bahwa ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul dari pada
ilmu pedang lawannya. Maka, cepat dia mendesak serta mengurung pemuda itu
dengan pedangnya yang menyambar-nyambar!
Lie Siong yang
mengintai dari balik pohon maklum bahwa orang tua itu tak berniat buruk, karena
kalau ia mau, dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan
tetapi pemuda itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu
telah berlaku murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia tidak akan
melawan terus. Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta
tuli.
“Kau
benar-benar tak tahu diri!” teriak Manako.
Lalu, sebuah
serangan dengan pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat
pedang pemuda itu terkurung dan tertempel, kemudian orang tua itu membetot
sambil membentak,
“Lepas
senjata!” maka pedang pemuda itu pun terlempar dan terlepas dari pegangan!
Pada saat
itu, tujuh orang yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan
mereka segera mencabut senjata golok dan pedang.
“Orang Haimi
yang sudah bosan hidup!” teriak seorang di antara para perwira itu. “Kau
berlaku kurang ajar terhadap Gui-kongcu?”
“Bukan aku
yang mulai lebih dulu!” jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang
perwira itu segera mengurung dan menyerangnya.
Manako
melawan sekuatnya, akan tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata
lebih tinggi dari pada kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja
Manako terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.
Pada saat
orang tua itu berada dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba nampak
berkelebat bayangan putih dari belakang pohon. Lie Siong yang menyaksikan
keroyokan yang berat sebelah itu tidak mau tinggal diam dan dia sudah melompat
keluar, langsung mengamuk dan mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.
Tubuhnya
bergerak cepat bagaikan halilintar menyambar, maka ke mana saja tubuhnya
berkelebat, seorang perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan
tubuhnya menerima pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah
tanpa dapat bangun kembali!
Pemuda she
Gui yang melihat kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam segera
melarikan diri dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja sudah
dirobohkan oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua
Haimi itu telah memandang dengan bengong.
Manako cepat
menghampiri Lie Siong, memberi hormat dan berkata kagum, “Kau hebat sekali,
anak muda. Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Taihiap!”
“Siapakah
Sie Taihiap itu?” tanya Lie Siong.
“Sie Taihiap
ialah Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya
kalau menghadapi orang-orang jahat.”
Lie Siong
tadi membantu Manako tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh
hatinya yang tak senang melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar
betapa orang tua itu memuji-muji nama Pendekar Bodoh, dia menjadi sebal sekali.
Telah sering kali ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh hingga nama Pendekar Bodoh
ini seakan-akan merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya,
sekarang ketika mendengar lagi ada orang memujinya, langsung membuat ia merasa
tidak puas.
“Sudahlah,
aku tak kenal segala Pendekar Bodoh. Kau pergilah sebelum orang-orang ini
sempat mengeroyokmu lagi!”
Manako
memandang heran kepada pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu
teringat bahwa tadi dia telah melawan perwira-perwira, bahkan bertempur dengan
putera Kepala Daerah. Maka, dengan cepat dia lalu memberi hormat lagi dan
berlari pergi dari situ.
Akan tetapi,
baru saja dia membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba dia telah dicegat
oleh belasan orang perwira yang tadi mengantarkan pemuda she Gui! Ternyata
bahwa Gui-kongcu setelah berlari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira
untuk mengeroyok pemuda yang lihai dan Manako.
“Penggal
leher orang Haimi jahat ini!” Gui-kongcu berseru marah.
Sebentar
saja Manako sudah dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira
yang datang ini tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang
tadi, bahkan di antara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja
yang kegagahannya amat terkenal. Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang
ini bukan lain adalah anak dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang sangat
tersohor karena kegagahannya (Baca Pendekar Bodoh).
Tentu saja
Manako bukan tandingan para perwira ini. Panglima muda yang mempunyai
kepandaian tinggi itu sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa
rendah untuk mengeroyok seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang
lainnya sudah cukup kuat untuk merobohkan Manako sehingga hanya dalam waktu
sebentar saja orang Haimi ini roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.
Lie Siong
yang hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para
perwira yang mengeroyok Manako. Oleh karena pertempuran itu terjadi di belakang
tikungan dan tidak kelihatan dari tempatnya, maka dia cepat berlari menghampiri
tempat itu. Alangkah marah dan terkejutnya ketika dia melihat betapa Manako
telah roboh mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.
“Pengecut
hina dina!” Lie Siong berseru sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik
jubahnya.
Sekali dia
berkelebat, tubuhnya sudah menjadi bayangan putih yang cepat gerakannya laksana
seekor burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira,
kini begitu dia menggerakkan pedangnya, maka golok serta pedang perwira
beterbangan kemudian terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dibarengi
jatuhnya tubuh mereka bertumpang tindih.
Bukan main
kagetnya Panglima Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih
ini. Terpaksa dia harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira
itu akan roboh semua! Ia lantas mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan
cahaya berkilauan, kemudian sekali mengenjot tubuh, ia telah melayang dan
menyambut pedang Lie Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.
“Trang...!”
Sepasang pedang itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.
“Tahan
dulu!” seru Kam Liong.
Lie Siong
yang merasa tercengang menyaksikan ada pedang yang mampu menyambut
Sin-liong-kiam-nya, segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata
tajam.
Kedua
laki-laki muda yang sama tampan dan sama gagahnya ini saling pandang dengan
penuh perhatian. Lie Siong melihat seorang pemuda yang mengenakan pakaian
sebagai seorang panglima, pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan
kegagahan. Sedangkan Kam Liong tercengang pada saat melihat bahwa orang yang
lihai sekali kepandaiannya itu ternyata hanyalah seorang pemuda berkulit muka
halus dengan sikap lemah lembut!
“Saudara
yang gagah, kau siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa
Haimi?”
“Aku tidak
tahu apa yang kau maksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tak peduli apa
yang menjadi persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini
kalian keroyok secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian
ini tidak dapat kuberi ampun!”
Marahlah Kam
Liong mendengar ucapan ini yang dianggapnya sombong bukan main dan kurang ajar.
“Orang sombong!” teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. “Kau terlalu
mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan
Panglima Muda she Kam dari kota raja?”
Mendengar
disebutnya she Kam ini, Lie Siong lalu memandang dengan penuh perhatian. Ibunya
pernah menuturkan kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.
“Ada
hubungan apakah kau dengan Panglima Kam Hong Sin?” tanyanya tiba-tiba.
“Dia adalah
ayahku, bagaimana kau dapat mengetahui namanya? Siapa kau sebetulnya dan siapa
pula guru atau orang tuamu!”
Akan tetapi
Lie Siong tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan dia melangkah maju dan berkata,
“Bagus! Kalau begitu biarlah kita menguji kepandaian masing-masing dan tidak
perlu banyak mengobrol lagi!”
Dia lalu
memutar pedangnya yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihaian
lawan, tidak mau berlaku lambat dan cepat sekali dia menangkis lalu membalas
dengan serangannya yang tak kalah hebatnya.
Kam Liong
adalah putera tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya.
Pemuda ini mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi
dalam ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian
ayahnya. Dia sangat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu
pedang Partai Kun-lun-pai.
Gerakan
pedangnya cukup cepat serta kuat, apa lagi ditambah pula dengan pedangnya yang
bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar,
tentu saja dia jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang.
Akan tetapi,
setelah dia bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh
karena ilmu silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang
aneh yang berbentuk naga itu di samping sangat keras sehingga tidak menjadi
rusak oleh pedang mustikanya, juga amat berbahaya.
Pedang itu
bila menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan
otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat dipergunakan untuk menusuk bagian
tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang
panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran
tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan telah beberapa kali lidah merah ini
mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!
Kam Liong
teringat akan beberapa nama pendekar besar yang pernah dia dengar dari ayahnya.
Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus digunakan dengan amat
hati-hati apa bila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.
“Apakah kau
putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis satu
tusukan ke arah lehernya.
“Aku tidak kenal
Pendekar Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia
mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang!
Ia segera
menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-sut.
Pedangnya berputar demikian hebatnya seolah-olah telah berubah menjadi lima
putaran sehingga kelihatan bagaikan lima bunga teratai dan sesuai sekali dengan
namanya, yaitu Ngo-lian-hoan Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).
Kam Liong
terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa dia harus mengeluarkan seluruh
kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara dia mencurahkan
perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi. Akan
tetapi, setelah ia amat terdesak, ia segera menggunakan gerak tipu Pek-hong
Koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat
sekali hingga merupakan payung penutup tubuhnya yang amat rapat dan kuat.
“Jika
begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga.
Oleh karena apa bila bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee
An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia
berpikir.
“Jangan
mengobrol! Aku tak kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah.
Dia pun
merasa penasaran sekali karena sudah bertempur lima puluh jurus lebih, namun
belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini. Dia lalu berseru
keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut
(Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri
untuk menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, sambil ia menggunakan tangan
kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang membuat tangan
kirinya lantas mengeluarkan uap putih.
Pek-in
Hoat-sut sudah terkenal sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan
dari Guru Besar Bu Pun Su. Tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap
putih itu saja bila menyambar lawan bisa mematahkan tenaga lweekang dan bisa
mendatangkan luka di dalam tubuh.
Akan tetapi
ilmu pedang itu pun luar biasa hebatnya. Pada saat Ang I Niocu menciptakan ilmu
pedang ini untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang
Naga Sakti itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan
darah, dan juga lidah pedang naga yang panjang itu digunakan dengan ilmu
melempar tali yang merupakan kepandaian tunggal dari Lie Kong Sian!
Bukan main
terkejutnya hati Kam Liong pada saat menyaksikan serangan lawannya yang hebat
ini. Dia terkejut dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in Hoat-sut,
akan tetapi lidah pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya sehingga
saat Lie Siong mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari
pegangan Kam Liong!
Kam Liong
kaget sekali dan berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang, lalu
membuat gerakan melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah
gerakan Naga Sakti Menembus Awan yang sangat indah sehingga diam-diam Lie Siong
kagum juga melihat gerakan lawannya.
“Pergi...!
Pergi kalian dari sini!” bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga
pedang Kam Liong yang terampas tadi tahu-tahu sudah terlepas dan meluncur ke
arah dada pemiliknya!
Kam Liong
tidak keburu menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga
pedangnya itu meluncur terus lalu menancap pada dada seorang perwira yang
berdiri di belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus
pedang!
“Kau... kau
tentu putera Ang I Niocu!” seru Kam Liong masih dalam dugaannya, sambil
mencabut pedangnya dan memandang kagum. Mendengar ini, Lie Siong terkejut
sekali dan juga marah.
“Apakah kau
ingin mampus?” bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang.
Akan tetapi
Kam Liong yang sudah tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak lagi berani
melawan dan cepat melarikan diri! Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi
tiba-tiba saja dia mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah
itu, oleh karena itu dia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang
tua yang terluka tadi.
Ketika ia
berlutut, ternyata orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka
dan darah telah keluar cukup banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.
“Orang
muda...,” katanya terengah-engah, “engkau gagah sekali... tak ubahnya Pendekar
Bodoh sendiri... kau pun tentu berbudi... seperti Pendekar Bodoh pula... kau
tolonglah puteriku… Lilani... ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah
she Gui itu! Lekas, tolonglah... dia yatim piatu... tolong anakku...!”
Melihat
keadaan orang tua itu sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,
“Di mana
dia...? Di mana anakmu itu?”
“Di... di
rumahku, di ujung barat kota Tatung, tak jauh dari sini... kau cepat tolonglah
dia... hanya kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku...” tiba-tiba
saja orang tua itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan
yang terakhir!
Lie Siong
cepat bangun berdiri dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang
ditinggalkan oleh kawan-kawannya. “Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau
tidak, awas! Lain kali aku datang mengambil kepalamu!”
Perwira itu
mengangguk-angguk dengan muka pucat. “Baik, baik... Hohan!”
Lie Siong
kemudian melompat pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang
berada di sebelah selatan hutan itu.
Setibanya di
kota itu, Lie Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja dia
mencari keterangan tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi yang
bernama Manako. Ketika ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu,
karena rumah yang dicarinya ini ternyata dalam keadaan tertutup, tetangga itu
memandangnya dengan ragu-ragu dan muka takut.
“Kongcu, kau
mencari Manako, apakah kau masih keluarganya?”
“Bukan, aku
hanya sahabatnya. Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya.”
Muka orang
yang nampak ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isyarat dengan jari
tangannya ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,
“Ssstt,
Kongcu, janganlah kau bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas
kau pergilah dari sini dan jangan katakan kepada siapa pun juga bahwa kau sudah
mengenal Nona itu...! Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han, bukan
bangsa Haimi.”
Lie Siong
memandang tajam dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk
orang itu dengan keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan
ketakutan. Tangan yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja
yang kuat sekali.
“Hayo, lekas
katakan, apa yang telah terjadi dengan Lilani, dan di mana dia berada!”
“Am...
ampun, Hohan...! Gadis itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan
prajurit, ditangkap oleh Gui-siauwya!”
“Kau
maksudkan Gui-siauwya putera Kepala Daerah?”
“Benar,
Hohan.”
“Di mana
rumah Kepala Daerah itu?”
Orang itu
cepat-cepat menunjuk ke arah timur dan berkata, “Di tengah kota ini, bangunan
yang tertinggi dan terbesar.”
Lie Siong
melepaskan pegangannya dan sekali dia berkelebat, maka lenyaplah tubuhnya dari
depan orang yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.
Sangat mudah
untuk mencari gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya
besar dan tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi,
Lie Siong lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu
menegur dan menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya,
empat orang penjaga itu lalu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam
didahului oleh seorang penjaga yang bergegas lari masuk untuk memberi laporan
tentang kedatangan seorang pengamuk muda yang lihai sekali.
Dengan
diiringkan oleh serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam
bersama Kam Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.
Begitu
melihat pembesar ini, Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.
“Hayo
lepaskan Lilani, kalau tidak kepalamu akan kuhancurkan!” katanya dengan bengis.
Pembesar Gui
yang sudah setengah tua itu memandang dengan heran dan gelisah, lalu bentaknya
marah, “Siapakah kau dan apa maksudmu?!”
Juga Kam
Siong lalu maju dan menjura ke arah Lie Siong.
“Taihiap,
harap kau bersabar dahulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat
dirundingkan. Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini,
dan siapakah adanya Lilani?”
Lie Siong
mengerling tajam dan dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu
tidak membayangkan kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh
sindiran.
“Bagus!
Kalian telah membunuh orang Haimi itu dan merampas puterinya, dan sekarang
masih berpura-pura tidak tahu?”
“Siapa yang
membunuh orang dan siapa yang merampas puterinya?” Gui Taijin berseru marah.
“Jangan menuduh sembarangan saja!”
Kam Liong
yang berdiri di samping dengan muka merah kemudian berkata kepadanya,
“Sesungguhnya memang ada pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi
menurut keterangan puteramu, orang Halmi itu adalah seorang pemberontak, oleh
karena itulah maka ketika aku dimintai bantuan, aku segera membantu puteramu.
Akan tetapi tentang perampasan gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!”
Sesungguhnya,
Gui Taijin ini tak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala
peristiwa yang terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya.
Puteranya telah bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan
menggunakan kedudukan dirinya sebagai putera Kepala Daerah.
“Apakah
artinya semua ini?” Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang kini
berdiri dengan ketakutan. “Di mana adanya Gui Kongcu? Benarkah dia sudah
merampas anak gadis orang?”
Salah
seorang penjaga dengan ketakutan lantas memberi hormat dan melapor, “Kongcu
telah membawa gadis itu ke rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai.”
“Keparat...!”
seru Gui Taijin, akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan
dengan mudah dia sudah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan membawanya
lompat keluar dari situ.
“Kau harus
tunjukkan kepadaku di mana adanya tempat itu!” katanya.
Biar pun dia
sedang marah kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak
mengejar ke sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Dia segera mengerahkan
prajurit-prajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi
oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.
Prajurit
yang dikempit dan dibawa berlari oleh Lie Siong itu merasa seakan-akan dibawa
terbang oleh seekor burung besar, maka dengan muka pucat dia lalu menunjukkan
jalan yang menuju ke sebuah dusun di pinggir Sungai Yung-ting. Di tempat ini,
Kepala Daerah Gui memang mempunyai sebuah gedung indah di mana dia dan
keluarganya menghibur diri di musim panas.
Setelah tiba
di tempat yang dicari, Lie Siong lalu melempar tubuh penjaga itu ke samping
jalan di mana penjaga itu rebah dengan tubuh menggigil tanpa berani bangun.
Kemudian pemuda perkasa itu lalu cepat melompat ke atas tembok tinggi yang
mengelilingi gedung itu.
Beberapa
orang penjaga melihatnya dan berteriak-teriak sambil mengejar. Akan tetapi Lie
Siong tidak mempedulikan mereka dan terus saja melompat masuk dan menyerbu ke
dalam. Ia bertemu dengan beberapa orang penjaga yang berlari keluar mendengar
akibat teriakan kawan-kawannya, akan tetapi bagaikan orang membabat rumput
saja, Lie Siong merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan kakinya.
Ketika dia
telah merobohkan para penjaga, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan wanita,
maka cepat ia mengejar ke dalam dari mana jeritan itu terdengar. Ternyata bahwa
jeritan itu terdengar dari ruangan belakang, di mana bangunan didirikan di atas
air. Memang gedung yang indah ini bagian belakangnya berada di atas air Sungai
Yung-ting, sehingga kalau orang duduk di belakang, ia akan menikmati
pemandangan yang indah sekali.
Lie Siong
terus berlari ke arah belakang. Dua orang penjaga yang menghadang di jalan
kembali dirobohkannya dengan sekali pukul. Sekali lagi ia mendengar jeritan
wanita dan kali ini terdengar keras sekali dari balik sebuah pintu.
Dengan marah
Lie Siong lalu menendang daun pintu itu dan alangkah marahnya ketika ia melihat
seorang pemuda, yaitu pemuda yang tadi bertempur dengan orang Haimi itu, sedang
menarik-narik tangan seorang gadis muda yang meronta-ronta, menjerit-jerit, dan
memaki-maki!
Muka
laki-laki jahanam yang tadinya menyeringai seakan-akan merasa gembira melihat
perlawanan gadis itu, tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat ketika dia
mendengar pintu kamar itu mengeluarkan bunyi keras dan melihat daun pintu itu
roboh. Lebih kagetlah dia ketika melihat munculnya Lie Siong, pemuda gagah
perkasa yang telah menghajar para perwira pembantunya siang tadi dengan
hebatnya.
Betapa pun
juga, melihat Lie Siong melangkah menghampirinya dengan mata bersinar marah,
Gui Kongcu masih ingat akan pedangnya yang diletakkan di atas pembaringan. Ia
menyambar pedangnya dan menyambut kedatangan Lie Siong dengan sebuah bacokan
hebat. Akan tetapi tanpa berkejap sedikit pun, Lie Siong lalu mengangkat
tangannya dan dengan gerak tipu Tangan Kapak Membacok Cabang ia kemudian
menangkis sambaran pedang itu dengan babatan tangannya dari samping ke arah
pinggir pedang.
“Krakk!”
Pedang itu
menjadi patah ketika terkena sambaran tangan Lie Siong yang dimiringkan.
Pukulan ini hebat sekali dan tidak sembarangan ahli silat berani mempergunakan
untuk menangkis pedang. Biar bagaimana pun juga tangan terbuat dari pada kulit
dan daging pembungkus tulang, tentu saja tak mungkin dipergunakan untuk diadu
dengan tajamnya pedang.
Akan tetapi
gerakan Tangan Kapak Membacok Cabang ini mengandalkan kecepatan dan
ketangkasan, disertai tenaga lweekang yang sangat kuat. Penggunaannya bukan
untuk menyambut datangnya pedang yang tajam, akan tetapi digerakkan dari
pinggir dengan memukul pedang itu dari samping pada mukanya dengan
mempergunakan tangan yang dimiringkan. Tentu saja kalau gerakan ini kurang
cepat atau kurang tepat, maka banyak bahayanya tangan akan bertemu dengan mata
pedang dan akan terluka!
“Bangsat
hina dina!” Lie Siong membentak marah dan sekali ia majukan tangan kiri, ia
telah mencekik batang leher pemuda cabul itu. “Pergilah!” serunya.
Dan tubuh
Gui Kongcu yang dilempar itu melayang laju keluar dari jendela kamar dan
langsung meluncur ke dalam sungai yang sangat dalam itu, kemudian terdengar
suara…
“Byurrr…!”
tanda bahwa air telah menyambutnya dan setelah itu sunyi.
Gadis itu
memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar.
“Siapakah
kau...?” Dengan jujur gadis ini tidak menyembunyikan kekaguman yang keluar dari
suara dan pandangan matanya.
Lie Song
balas memandang. Ia melihat seorang gadis yang berusia paling banyak enam belas
tahun, berwajah cantik jelita, kecantikan yang sangat aneh dan berbeda dengan
kecantikan wanita biasa. Mungkin karena matanya yang lebar sekali itu atau
rambut dan manik matanya yang hitam, atau mungkin suaranya yang bernada lain
dari pada suara gadis biasa.
“Apakah kau
yang bernama Lilani?” tanya Lie Siong yang lebih heran dari pada tertarik
melihat kecantikan ini.
Gadis ini
mengangguk. “Dan kau siapakah?”
“Aku datang
menolongmu untuk memenuhi pesanan ayahmu.”
Tiba-tiba
saja gadis itu memegang lengan Siong kemudian bertanya dengan muka pucat,
“Bagaimana dengan Ayah? Di mana dia...?”
Benar-benar
gadis yang amat aneh, pikir Lie Siong dengan hati tidak enak sebab merasa
betapa telapak tangan gadis itu dengan halus sudah memegang lengannya. Di mana
ada seorang gadis yang belum dikenalnya memegang lengan seorang pemuda begitu
saja?
Ia menarik
lengannya dan menggeleng kepala, lalu berkata singkat, “Kita pergi dulu dari
tempat ini!”
Karena
maklum bahwa gadis ini tidak memiliki kepandaian tinggi, dia segera memegang
tangan Lilani dan menariknya keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja dia
keluar dari kamar ternyata bahwa gedung itu telah penuh dengan perwira yang
menghadang jalan keluarnya.
Para perwira
dan penjaga dengan senjata tajam di tangan telah menyerbu masuk untuk menolong
putera Kepala Daerah. Ketika melihat pemuda baju putih itu bejalan sambil
menggandeng tangan Lilani, mereka berseru keras dan menyerang.
Bagi Lie
Siong, tidak sukarlah menghadapi mereka itu dan mencari jalan keluar melalui
jalan darah, akan tetapi ia lalu teringat akan gadis itu. Kedatangannya
bukanlah dengan maksud untuk mengamuk dan mencari permusuhan dengan para
perwira itu, akan tetapi khusus untuk menolong Lilani. Melihat para perwira itu
menyerbu, Lie Siong kemudian membalikkan tubuh dan menarik tangan Lilani
memasuki kamar itu kembali.
“Celaka,
mereka mengejar kita!” kata Lilani akan tetapi gadis ini tidak nampak takut.
“Kau pergilah, jangan sampai kau menjadi korban karena menolongku. Aku sanggup
melawan mereka dan sebelum aku mati, pasti aku akan dapat membunuh seorang dua
orang!”
“Bodoh!”
kata Lie Siong.
Dia cepat
bertindak ke arah jendela, lalu menjenguk keluar. Kamar ini berada di bagian
terbelakang, maka di luar jendela itu kosong dan di bawah jendela adalah air
Sungai Yung-ting yang nampak kebiruan. Tidak mungkin membawa gadis itu melompat
keluar, karena tubuh mereka tentu akan terjatuh ke dalam air dan dia tidak
pandai berenang.
Sementara
itu, suara kaki para pengejar telah semakin dekat sehingga Lie Siong merasa
bingung juga. Kemudian ia mendapat akal. Pedang Sin-liong-kiam dicabut dan
tubuhnya tiba-tiba telah melayang naik sambil memutar pedang itu pada
langit-langit di atas kamar.
Terdengar
suara keras dan langit-langit itu berlubang besar, sedangkan potongan kayu
jatuh berhamburan di dalam kamar itu. Lie Siong melompat turun kembali dan
cepat dia menyambar tubuh gadis itu tanpa banyak cakap lagi.

Ketika itu,
para pengejar sudah tiba di depan kamar. Lie Siong menggunakan tangan kiri
mengempit pinggang Lilani yang ramping, lalu menyambar daun pintu yang sudah
roboh ketika ditendangnya tadi. Daun pintu yang berat itu dia lemparkan ke arah
para penyerbu sehingga tiga orang terdepan menjadi terjengkang tertimpa oleh
daun pintu itu.
Kawan-kawannya
di belakang mereka tertimpa pula, sehingga mereka menjadi tumpang tindih dan
untuk sesaat lamanya tak dapat melanjutkan pengejaran. Lie Siong pun cepat
melompat naik sambil mengempit Lilani.
Ketika para
pengejar sampai di dalam kamar, ternyata bahwa dua orang muda itu sudah lenyap!
Tidak lama kemudian Kam Liong dan Gui Taijin datang pula, akan tetapi mereka
tak dapat menemukan Lie Siong mau pun Lilani. Sedangkan Gui Kongcu pun tak
nampak bayangannya!
Sesungguhnya,
dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Kam Liong tentu saja dapat mengejar
Lie Siong yang melarikan diri dari atas genteng. Akan tetapi panglima muda ini
tidak mau melakukannya.
Pertama ia
memang segan bermusuhan dengan Lie Siong yang gagah perkasa dan lihai itu.
Kedua kalinya dia tidak suka akan kebiasaan Gui Kongcu dan tidak mau membantu
perbuatan jahat.
Dia tahu
bahwa pendekar muda baju putih itu tentu mengambil jalan genteng, maka dia
hanya memberitahukan ini kepada para perwira yang segera melompat dan mengejar
ke atas genteng. Namun gerakan mereka tidak secepat Lie Siong.
Pada saat
melihat para pengejarnya kacau-balau akibat serangannya dengan daun pintu tadi,
Lie Siong lalu melompat ke atas langit-langit yang telah berlubang. Dengan
mudah dia menghancurkan genteng dari bawah, lalu keluar dari lubang di genteng
itu. Setelah berada di atas genteng, cepat dia melarikan diri, berlompatan
bagaikan seekor garuda putih terbang sehingga Lilani terpaksa meramkan mata
saking ngerinya melihat tubuhnya melayang-layang di atas genteng yang begitu
tinggi.
Lie Siong
membawa Lilani ke tepi sungai dan melihat perahu-perahu kecil para nelayan
ditambatkan di pinggir sungai, dia cepat melompat ke sebuah perahu kecil yang
terbaik, memutuskan talinya dan segera mendayung perahu itu ke tengah sungai.
“Hai...!”
Pemilik perahu itu berteriak. “Hendak kau bawa kemana perahuku itu?”
Sementara
itu, Lilani yang sudah berada di dalam perahu itu berkata, “Tidak baik mencuri
perahu orang, siapa tahu kalau-kalau nelayan miskin itu akan kehilangan sumber
nafkah bagi keluarganya kalau perahu ini kita bawa pergi.”
Lie Siong
memandang kepada gadis itu dengan heran dan juga kagum. Ia tak menjawab, akan
tetapi merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepotong emas murni. Pada waktu
berangkat dia mendapat bekal tiga puluh potong lebih emas murni seperti ini
dari ibunya.
“Ini cukup?”
tanyanya sambil memperlihatkan emas itu kepada Lilani.
Gadis ini
memandang dengan mata terbelalak. Dia tahu akan nilai emas dan sepotong emas di
tangan Lie Siong ini kalau dijual dapat digunakan untuk membeli sedikitnya tiga
atau empat buah perahu kecil seperti ini.
“Terlalu
banyak,” jawabnya, “sepertiga juga sudah cukup.”
Akan tetapi
setelah mendengar jawaban ini, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun
tangannya dan melemparkan potongan emas itu ke arah orang yang berteriak-teriak
tadi.
“Perahumu
kubeli, inilah uangnya!” seru Lie Siong.
Ketika orang
itu memungut potongan emas yang jatuh tepat di depannya, tentu saja dia menjadi
girang sekali. Karena itu berlari-larilah dia pulang sambil berjingkrak-jingkrak
dan menari-nari karena merasa mendapat keuntungan yang besar sekali.
Lie Siong
membiarkan perahunya dihanyutkan oleh aliran air yang deras dan dia hanya
mempergunakan dayung untuk mengemudikan jalannya perahu. Sejak mereka duduk di
dalam perahu, yaitu pada siang hari tadi, sampai sekarang sudah hampir senja,
mereka tak pernah bicara sepatah kata pun!
Lilani hanya
duduk sambil menundukkan kepala, kadang-kadang memandang ke pinggir sungai dan
hanya sewaktu-waktu saja mengerling kepadanya. Gadis itu nampak susah, bingung
dan juga malu-malu.
Akhirnya dia
tidak dapat menahan lagi. Berada dekat seseorang yang sama sekali tidak pernah
bicara, tidak menengok kepadanya, dan tidak mempedulikannya, jauh lebih sunyi
rasanya dari pada kalau dia berada seorang diri tanpa kawan!
“Kita mau ke
mana?” tanyanya sambil mengerling tajam ke arah pemuda yang angkuh dan tinggi
hati itu.
“Ke mana
saja air ini membawa perahu yang kita tumpangi,” Lie Siong menjawab tanpa
memandang.
“Ke mana
akan dibawanya?”
“Entahlah!”
Lilani
menarik napas panjang. Aneh dan sukar benar pemuda ini. Belum pernah selama
hidupnya ia menghadapi seorang pemuda seperti ini. Hampir setiap laki-laki yang
pernah ditemuinya, baik pemuda mau pun sudah tua, selalu akan memandangnya
dengan mata bergairah, tersenyum-senyum dan segera mengeluarkan ucapan-ucapan
menggoda atau memuji.
Akan tetapi
pemuda ini... menengok pun tidak, bahkan diam saja bagai patung! Sungguh hampir
tak dapat dipercaya bahwa wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata
didamping oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.
“Kau telah
menolongku dari bahaya maut...”
“Hal sekecil
itu tak perlu dibicarakan,” Lie Siong memotong.
Lilani
berpaling dan menggigit bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini,
pikirnya.
“Bolehkah aku
mengetahui namamu?”
“Aku she Lie
dan namaku Siong.”
Lilani
menarik napas lega. Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan
tetapi ia masih merasa penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda
itu sama sekali belum mau menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!
“Di manakah
ayahku? Di mana dia?” tanya Lilani.
Tiba-tiba
pemuda itu menarik napas panjang, lalu mendayung perahunya ke pinggir. Dia
menghentikan perahunya di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya,
menghadapi gadis itu.
Ternyata
bahwa Lie Siong bukan karena keangkuhannya semata maka dia tidak mau menengok
gadis itu, akan tetapi sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib
gadis ini. Sebelum tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani
sudah menjadi yatim piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal
dunia pula.
Melihat
sikap pemuda itu, wajah Lilani menjadi pucat kemudian mengulang pertanyaan
lagi. “Katakanlah, di mana dia?”
“Ayahmu
telah tewas.”
Gadis itu
tidak kelihatan terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan
kedua matanya dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih
mengharukan hati Lie Siong yang mungkin tak akan demikian terharu kalau melihat
gadis itu menangis tersedu-sedu.
Lama mereka
duduk berhadapan dalam keadaan demikian. Lilani duduk seperti patung, adapun
Lie Siong duduk memandangnya dengan penuh keharuan hati, akan tetapi tidak
diperlihatkannya.
“Sudah
kuduga...” Akhirnya Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik.
Ketika ia
membuka kembali matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa dia telah
mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapa pun juga
masih terlihat beberapa titik air mata yang mengalir perlahan menuruni pipinya
yang pucat.
“Tentu oleh
anak buah keparat she Gui itu, bukan?”
Kata-kata
ini merupakan pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua
peristiwa yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya
membantu Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.
Mendengar
penuturan ini, gadis itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di
angkasa, mengepal kedua tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan
air matanya mengalir turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,
“Bangsaku
dimusnahkan! Ibuku terbunuh, sekarang ayahku terbunuh pula! Terkutuklah
manusia-manusia berjiwa iblis itu...!”
Mendengar
ucapan ini, Lie Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan
riwayatnya. Dia mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini,
yang dapat menahan perasaannya sehingga tak menangis menjerit-jerit seperti
gadis-gadis lain yang tertimpa bencana sehebat itu.
“Benar-benarkah
kau ingin mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku,
Taihiap?” tanya Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar
permintaan Lie Siong.
“Tentu saja.
Setelah ayahmu minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui
keadaanmu supaya nanti aku dapat menetapkan apa yang selanjutnya harus
kulakukan dengan kau.”
Lilani
menghela napas, menghapus air matanya dengan ujung baju, kemudian dia mulai
menuturkan riwayatnya dengan singkat.
Lilani
adalah puteri tunggal dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga
ratus orang suku bangsa Haimi yang hidup berkelompok dan selalu
berpindah-pindah. Manako adalah suami dari Meilani dan suami-isteri ini hidup
dengan rukun dan saling mencintai, memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan
ketenteraman.
Manako dan
Meilani pernah tertolong oleh Pendekar Bodoh. Bahkan sebelum menikah dengan
Manako, antara Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga
Kwee An hampir dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi
bergigi hitam itu!
Sesudah
mereka berkenalan dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka
banyak kemajuan yang diperoleh Meilani dan Manako, sehingga pada saat mereka
memperoleh seorang puteri, yaitu Lilani, gigi anak ini tidak dihitamkan seperti
yang telah menjadi kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu
silat kepada puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.
Akan tetapi,
pada waktu Lilani berusia empat belas tahun, mala petaka besar menimpa keluarga
suku bangsa Haimi itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak
menawan mereka untuk dijadikan pekerja paksa sehingga setelah mengadakan
perlawanan sengit dan kehilangan beberapa puluh jiwa, mereka pun terpaksa
melarikan diri ke selatan, keluar dari tapal batas Mongolia,.
Pada waktu
itu, golongan yang lemah dan kecil tentu selalu tertindas dan terinjak oleh
yang besar. Sesudah mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui
kebahagiaan, bahkan sepasukan tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu,
kemudian menyerbu mereka, membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita!
Pertempuran
hebat terjadi. Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan
Meilani yang pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri
Kwee An dan dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor
naga betina. Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula
memainkan pedang, membantu ibu dan ayahnya.
Akan tetapi
kekuatan musuh terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani
melarikan diri dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa
lagi di bawah tusukan banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur
dan lari cerai berai. Banyak yang tewas atau tertawan, dan ada pula yang mampu
melarikan diri secara berpencaran.
Manako
berhasil melarikan diri bersama puterinya, kemudian selama dua tahun lebih dia
merantau bersama Lilani, pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah
dia di kota Tatung dan tinggal di situ bersama puterinya.
Dia tidak khawatir
akan biaya hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih
menyimpan berbagai barang dari emas, bahkan ia pun mempunyai sebatang golok
yang seluruhnya terbuat dari pada emas. Juga keamanannya terjamin, karena pada
masa itu, hanya suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapatkan
gangguan dan dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan
mendapat gangguan dari siapa pun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan
kota setempat.
Manako dan
Lilani hidup berdua dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat
akan keadaan suku bangsanya yang sudah musnah, dan terutama sekali teringat
akan Meilani yang gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat
mereka lakukan?
Lilani
menjadi dewasa dan semakin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Sudah biasa
dikatakan orang bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah
dari Thian Yang Maha Kuasa. Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa
kecantikan Lilani bukan merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar!
Ketika
menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu,
putera kepala daerah she Gui menjadi tergerak hatinya. Dia lalu mengajukan
pinangan kepada Manako untuk minta gadis itu sebagai selirnya.
Manako
adalah bekas kepala suku bangsa, dan betapa pun juga, dia boleh disebut raja
kecil. Tentu saja dia mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, dia
merasa terhina sekali. Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk
dijadikan selir oleh putera seorang Kepala Daerah?
Demikianlah,
ia lalu menolak pinangan itu yang berakhir mala petaka besar baginya. Gui
Kongcu merasa sakit hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya
pemuda bangsawan jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako serta
menculik Lilani!
Sesudah
menuturkan riwayatnya, sambil menghela napas Lilani lalu berkata, “Dulu ibuku
pernah menceritakan kepadaku bahwa di antara orang-orang bangsa Han terdapat
pula pendekar-pendekar seperti Kwee An Enghiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi
setelah menderita akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar
kukira bahwa sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata
sekarang, aku bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ahhh, Lie
Taihiap, dengan jalan bagai manakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?”
Lie Siong
merasa kasihan sekali mendengar riwayat gadis ini.
“Apakah kau
tidak mempunyai keluarga lain?”
Gadis itu
menggeleng kepalanya dengan sedih.
“Tidak
mempunyai sahabat-sahabat yang boleh kau tumpangi?”
Kembali
Lilani menggelengkan kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tidak
dapat berkata-kata lagi, hanya duduk diam dengan hati bingung. Apakah yang
harus dia lakukan? Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya? Ia
sendiri adalah seorang perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
“Dan... ke
manakah tujuanmu? Kau hendak pergi ke manakah?” Lie Siong lalu bertanya
perlahan.
Lilani yang
sejak tadi dapat menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini,
hanya dapat memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu dia menangis
tersedu-sedu! Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air
mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya
terisak-isak.
Lie Siong
menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali
ini ia merasa bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya.
“Lilani,
ayahmu berpesan kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku
sudah melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus
berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat
tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu...”
Tiba-tiba
Lilani menghentikan tangisnya, kemudian ia mengangkat mukanya memandang pemuda
itu. Sebelum bicara, beberapa kali dia menelan ludah karena tenggorokannya
terasa seakan-akan terganjal sesuatu.
“Lie
Taihiap, aku maklum akan maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan
janganlah aku menjadi penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya
aku, kau tidak merasa senang, tidak dapat bergerak bebas. Pertama karena aku
seorang gadis, kedua karena aku lemah. Janganlah kau menjadi bingung, Taihiap,
juga jangan kau memikirkan aku lagi. Pergilah kau melanjutkan perjalananmu,
biar aku seorang diri di perahu ini sampai... sampai... entah ke mana saja
perahu dan air sungai ini membawa diriku!”
Lie Siong
lalu berdiri dan merogoh buntalannya, lalu mengeluarkan sepuluh potong emas
murni. Ia memberikan benda berharga ini kepada Lilani dan berkata, “Kau cukup
maklum akan keadaanku dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu.”
Dengan air
mata masih menitik turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan
emas itu. Ia menggelengkan kepala dan berkata tegas. “Taihiap, kau telah
menolongku dan untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu
harus membalas budimu dengan cara bagaimana. Oleh karena itulah maka aku tidak
berani memberatkan kau lagi, apa lagi menerima pemberianmu ini. Ahh, tidak, aku
tidak dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi... untuk apakah benda
itu...?”
Tertegun
hati Lie Siong mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tak mau banyak cakap,
memasukkan emas itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat.
“Kalau
begitu, selamat berpisah!” katanya lalu melompat pergi.
Lilani duduk
di perahu dan memandang bayangan pemuda itu dengan lemas. Ia merasa seolah-olah
semangatnya telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Merasa betapa seluruh
perasaannya telah terbawa pergi oleh pemuda yang gagah perkasa, tampan dan juga
aneh serta amat pendiam itu.
Ia maklum
bahwa hatinya telah terampas oleh kegagahan Lie Siong dan jantungnya telah
tertembus oleh sinar mata pemuda itu. Ia juga maklum bahwa tanpa adanya pemuda
itu didekatnya, hidupnya tidak ada artinya lagi. Bangsanya sudah musnah, ayah
bundanya juga telah tewas.
Tadinya ia
mempunyai cita-cita untuk membangun suku bangsanya, untuk menggantikan
kedudukan ayahnya kemudian bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan
tetapi kini semua itu lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong. Dengan Lie
Siong di sampingnya, ia merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan
terlaksana.
Tanpa
tertahan lagi dia lalu menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan
menangis dengan hati terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang sangat hebat
ini, terbayanglah wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah dia betapa
ibunya pernah menuturkan kepadanya mengenai perhubungan ibunya dengan seorang
pendekar besar bernama Kwee An yang sekarang bertempat tinggal di Tiang-an.
Ibunya, Meilani, pernah menuturkan kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh
hati kepada pendekar itu.
Ahh, mengapa
dia harus putus asa? Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja dia
dapat mencari Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka
akan mau menolong, menolong puteri tunggal Meilani!
Akan tetapi
teringat akan kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi
gentar lagi. Banyak sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di
dunia ini! Ah, alangkah jauh bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun
dan gagah perkasa itu. Pemuda yang sedikit pun tak mau mengganggunya, jangankan
mengganggu dirinya, bahkan menengok pun tidak. Agaknya dia bukan seorang gadis
cantik! Mungkin di dalam pandangan Lie Siong, dia hanyalah seorang perempuan
yang buruk rupa dan menjemukan!
Mengingat
akan hal ini, kembali hatinya terasa bagai disayat-sayat sehingga air matanya
mengucur makin deras. Tiba-tiba saja ia mendengar suara yang halus datang di
sebelah belakangnya.
“Lilani,
sudahlah, jangan kau terlalu berduka.”
Seketika itu
juga air matanya yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup
rapat, kedua matanya dibuka lebar-lebar dan dia cepat memutar lehernya untuk
menengok. Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak
pinggang!
“Lie
Taihiap…!” Dalam seruan ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.
“Aku merasa
tidak enak hati meninggalkan kau dalam keadaan begini.” kata pemuda itu sambil
mengerutkan kening seakan-akan tak puas akan kelemahannya sendiri. “Apa bila
sampai terjadi sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau
dari cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada
ayahmu.”
“Taihiap...
Thian Yang Agung telah mengirimmu kembali padaku...” Lilani berkata dengan
bisikan terharu.
“Akan tetapi
aku masih tidak tahu harus membawa kau ke mana, Lilani. Sekarang kau carilah
tujuan tertentu supaya aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru
kemudian aku akan melanjutkan perantauanku.”
“Taihiap,
aku sudah mendapat pikiran pada saat kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee
Lo-enghiong dan Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke
tempat tinggal mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentosa. Budimu tak
akan kulupakan selama hidupku, Taihiap.”
“Sudahlah,
jangan bicarakan tentang budi,” kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam
perahu itu. “Aku pernah mendengar bahwa Kwee Lo-enghiong tinggal di kota
Tiang-an. Baiknya kita mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian
kita menuju ke Tiang-an dengan jalan darat.”
Saking
girang hatinya, Lilani tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap
pemuda itu dengan mata berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala
keraguannya. Dengan pemuda ini di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih
lebar dan terang, air Sungai Yang-ting pun seolah-olah merupakan sutera
kehijauan yang dibentangkan di depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia
mendengar hatinya bernyanyi-nyanyi gembira!
Lie Siong
tidak banyak bicara, hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan
lajulah perahu itu terbawa aliran air sungai, ditambah dengan tenaga dayung
dari tangan Lie Siong yang kuat.
Kita
tinggalkan dulu Lie Siong dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha
mereka mencari tempat tinggal Kwee An atau Pendekar Bodoh agar mendapatkan
tempat tinggal dan tempat menumpang bagi gadis itu. Marilah kita menengok
keadaan Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, Lin Lin, yang melakukan
perjalanan hingga perbatasan utara, bahkan memasuki daerah Mongol untuk mencari
Ang I Niocu!
Dengan hati
dipenuhi keharuan dan kegelisahan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan
perbatasan Mongol di mana dahulu Ang I Niocu dan Lin Lin pernah mengadakan
perantauan. Mereka mencari keterangan di sana-sini, mengadakan kunjungan ke
banyak tempat dan pegunungan, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.
Pada suatu
hari, ketika dengan putus harapan Cin Hai serta Lin Lin hendak kembali ke
selatan dan sampai di dalam sebuah hutan, mereka mendengar orang bernyanyi
dengan suara nyaring.
Ahh, kipas
sial, kipas butut!
Apakah
jasamu terhadapku?
Hanya
mendatangkan nama besar yang kosong.
Menambah
musuh menjauhkan sahabat.
Kau tidak
mampu merenggut nyawaku.
Yang jemu
dan telah lama terkurung.
Kau tetap
hanya menghibur badan.
Mengusir
hawa panas mendatangkan angin.
Ahh, kipas
butut, kipas sial!
Hutan itu
liar dan sunyi, maka tentu saja Cin Hai dan Lin Lin terheran-heran mendengar
nyanyian ini, karena selain kata-katanya amat aneh, juga suara itu nyaring
sekali hingga menggema di seluruh hutan!
Suami isteri
ini saling pandang dan cepat menghampiri arah datangnya suara. Mereka tertegun
melihat seorang kakek tua sekali tengah duduk di bawah sebatang pohon besar
sambil memakai sebuah kipas yang benar-benar sudah butut untuk mengipasi
tubuhnya yang gemuk.
Pakaian
kakek ini hampir telanjang tidak terurus dan tubuhnya sudah kotor penuh debu
dan lumpur. Kalau saja tidak melihat kipas yang terbuat dari pada kulit harimau
itu tentu suami isteri pendekar ini tidak mengenal orangnya. Cin Hai yang lebih
dulu mengenalnya dan segera berseru keras,
“Swie Kiat
Siansu! Locianpwe, mengapa kau berada di sini?” Dia kemudian menghampiri
bersama isterinya, dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Kakek tua
renta yang gemuk itu memandang dengan bermalas-malasan, kemudian dia tertawa
bergelak dan memukul-mukul kepalanya dengan kipasnya.
“Ha-ha-ha!
Pendekar Bodoh...! Agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadaku maka di saat
terakhir masih dapat bertemu dengan engkau! Alangkah sempitnya dunia ini? Dan
alangkah cepatnya sang waktu berlari.” Ia memandang kepada Lin Lin dan berkata
pula, “Agaknya kalian sedang menderita, akan tetapi jangan ceritakan hal itu
kepadaku, aku sudah cukup kenyang mendengar penderitaan manusia sehingga
menjadi bosan. Ehhh, Nyonya muda, coba kau buatkan masakan yang cocok untukku,
nanti kuberikan kipasku yang butut ini kepadamu.”
Lin Lin
diam-diam merasa mendongkol bukan main. Untuk apa kipas butut itu baginya? Akan
tetapi dengan muka girang Cin Hai berkata kepadanya,
“Kau
tangkaplah seekor kelinci dan panggang itu untuk Locianpwe.”
Lin Lin
memandang kepada suaminya, akan tetapi karena ia telah percaya penuh kepada
suaminya yang sesungguhnya tidak bodoh itu, dia pun segera bangkit berdiri dan
berlari memasuki hutan.
“Ha-ha-ha,
Pendekar Bodoh, kau baik sekali. Berapa orangkah anakmu sekarang?”
“Dua orang,
Locianpwe, seorang anak perempuan dan seorang lagi anak laki-laki. Putera teecu
itu kini sedang belajar di bawah asuhan Pok Pok Sianjin.”
Kembali
kakek gemuk itu tertawa bergelak-gelak. “Bagus, bagus! Setan tua dari barat itu
agaknya tak mau mampus sambil membawa kepandaiannya yang akan membikin pusing
saja di neraka! Baiklah, kalau begitu, aku pun akan meninggalkan kipas ini untuk
anakmu yang perempuan itu. Akan tetapi aku harus makan dulu, telah dua pekan
lebih aku tidak makan sama sekali!” Sambil berkata begitu, kakek gemuk ini lalu
menggunakan tangan kanannya untuk menekan tanah dan berpindah tempat duduk.
Terkejutlah
Cin Hai ketika melihat bahwa kakek ini ternyata sedang menderita penyakit yang
hebat sekali, agaknya tangan dan kaki kirinya sudah lumpuh tak dapat digerakkan
lagi! Sungguh mengherankan, dalam keadaan demikian apa lagi ditambah dengan dua
pekan tidak makan, kakek ini masih saja nampak gemuk dan sehat!
“Maafkan,
Locianpe. Apakah Locianpwe menderita sakit?”
Swie Kiat
Siansu mengangguk-angguk sambil menghela napas. “Agaknya dosaku terlalu besar
sehingga sebelum mampus harus menderita lebih dulu. Setelah tua, darahku jalan
terlampau cepat sehingga memecahkan urat-urat syaraf dan membuat semua
urat-urat di setengah tubuhku pecah-pecah. Akan tetapi tidak apa, dalam keadaan
sakit atau tidak, kematian akan datang juga akhirnya!”
Cin Hai lalu
teringat akan keadaan orang tua ini pada belasan tahun yang lalu. Swie Kiat
Siansu adalah seorang di antara ‘empat besar’ yang menjagoi seluruh daratan
Tiongkok. Pada masa itu, Bu Pun Su (guru Cin Hai dan Lin Lin) dan Hok Peng
Taisu (guru Ma Hoa) merupakan tokoh besar dari selatan dan timur, ada pun Pok
Pok Sianjin adalah tokoh dari barat. Tokoh dari utara yang paling terkenal
adalah Swie Kiat Siansu inilah!......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment