Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 05
BERITA
tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh para
pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang
memiliki kepandaian ilmu silat. Betapa pun juga, karena tahu pula bahwa di
dunia ini banyak terjadi hal yang aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang
pandai, mereka tak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak
mau memasuki hutan itu.
Bahkan Pek I
Hosiang, seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga
menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu
hutan itu.
“Siapa
tahu,” kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, “kalau-kalau di tempat
itu ternyata terdapat seorang pertapa yang sedang mengasingkan diri dan
pertapaannya tidak mau diganggu.”
Akan tetapi,
seperti telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat
itu duduk di luar hutan, merundingkan mengenai kehendak mereka menebang kayu
besi yang terdapat di hutan itu. Ketiga orang ini adalah murid-murid Pek I
Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguh pun tadinya yang tertua di antara
rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan
kedua orang sute-nya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam
hutan itu!
“Bagaimana
pun juga, Sute, kita harus selalu berhati-hati dan lebih baik bekerja secara
diam-diam, jangan banyak berisik,” berkata orang tertua di antara ketiga orang
penebang pohon itu. Kedua sute-nya menurut, karena memang keadaan hutan yang
masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.
Ketika
mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon
besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan
ia cepat memegang tangan kedua sute-nya kemudian ditariknya mereka untuk
bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar.
“Lihat,
apakah itu?” katanya kepada kedua orang sute-nya yang memandang heran.
Dua orang
kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan
putih berkelebat cepat sekali.
“Orangkah
dia?” seorang berbisik.
“Entahlah,
akan tetapi gerakannya sungguh cepat!” memuji orang termuda yang hatinya paling
tabah. “Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam goa itu!”
Kedua orang
kawannya merasa ragu-ragu, akan tetapi karena tak melihat bayangan tadi muncul
kembali, sedangkan sute mereka dengan beraninya telah keluar dari balik pohon
dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute
mereka.
Benar saja,
di tempat yang meninggi terdapat sebuah goa yang lebar. Goa ini amat gelap
sehingga tidak kelihatan apakah goa itu merupakan terowongan atau bukan.
Tiba-tiba
terdengar bentakan dari dalam goa, “He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo
cepat pergi!” Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih
keluar dari goa yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri
seorang pemuda yang luar biasa eloknya!
Muka pemuda
ini berkulit halus dan putih, dan matanya sangat tajam berpengaruh. Garis
mulutnya yang kuat membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja.
Tubuhnya sedang dengan pinggang langsing, pakaiannya sederhana tapi rapi,
berwarna putih seperti pakaian seorang pelajar. Dia mengenakan mantel panjang
yang putih pula, dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher
baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga
sepatunya warna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni goa yang
berpakaian sedemikian putih bersih.
Melihat
pemuda ini hanyalah seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang
penebang pohon itu pun segera bernapas lega.
“Kami adalah
penebang-penebang kayu dan sekarang hendak mencari pohon besi yang banyak
tumbuh di hutan ini,” jawab penebang tertua.
Pemuda itu
menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali kemudian berkata, “jangan
kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!”
Penebang kayu
yang termuda melangkah maju dan berkata marah, “Orang muda, dengan alasan
apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak
apakah yang kau andalkan untuk mengusir kami?”
“Alasannya,
kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini
berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Ada pun tentang hak, aku menggunakan hak
sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini dari pada kalian bertiga!”
Marahlah
penebang muda itu. “Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga tetap
melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang
menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?”
“Tutup mulut
dan pergilah!” seru pemuda itu dan biar pun sikapnya masih setenang tadi, namun
sepasang alisnya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.
Akan tetapi,
biar pun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, akan tetapi ia hanya
merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja
ketiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat
itu tidak takut menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka
yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan
tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.
“Ha-ha-ha-ha,
anak muda! Betapa pun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang
pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!”
Akan tetapi
baru saja penebang pohon itu menutup mulutnya, pemuda itu sudah lenyap.
Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda
ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang
sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa bisa dicegah pula! Ternyata bahwa
dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu sudah berhasil merampas kapak
dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah!
Dua orang
penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah,
mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang
kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu!
Namun
kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu
tak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya
dua lengan tangannya saja bergerak cepat serta tubuhnya bergoyang-goyang
menghindari sambaran keempat senjata itu dan...
“Aduh...!
Aduh...!”
Dua orang
itu merasa kedua lengan mereka mendadak menjadi lemas dan sakit sekali, oleh
karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu sudah
berhasil menotok pergelangan tangan kedua orang penebang pohon itu! Kembali
senjata-senjata mereka terpaksa harus mereka lepaskan sehingga jatuh bertumpuk
di atas tanah!
Sudah tentu
saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja
mereka alami itu. Bagaimana mereka yang memegang senjata dan memiliki
kepandaian tinggi, sekarang dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang
demikian mudahnya oleh pemuda ini? Ilmu silat apakah yang tadi dipergunakan
oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan
berdiri bagai patung. Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan
memandang dengan hati merasa seram.
“Pergilah...!
Pergilah...!” pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan
tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya!
Tiba-tiba
terdengar suara dari dalam goa. “Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke
dalam jurang! Untuk apa melayani mereka?”
Pemuda baju
putih itu menengok ke arah goa dan menjawab, “Mereka hanya tiga orang penebang
pohon yang tak berarti, Ibu!”
“Mereka
telah lancang, berani mendekati tempat kita!” suara dari dalam goa itu semakin
nyaring.
Tiba-tiba
ketiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar
biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba
mereka telah roboh pingsan!
Ketika tiga
orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah
berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba-raba
pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar
biasa sekali oleh bayangan merah tadi.
“Ah, Sute.
Jika kau tadi mendengar omonganku, tak akan kita mengalami kesengsaraan ini!”
kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.
Penebang
termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuat hatinya
berdebar-debar.
“Mereka
itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?” tanyanya perlahan.
“Mungkin!
Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang
dapat merampas senjata kita secara demikian aneh,” kata orang ke dua.
“Dan
bayangan merah tadi... apakah dia itu? Dia pandai bicara, akan tetapi
gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!” kata yang tertua sambil
bergidik karena teringat akan serangan bayangan merah tadi. “Sungguh berbahaya
sekali!”
“Betapa pun
juga, aku masih penasaran, Suheng!” kata yang termuda. “Tidak mungkin pemuda
tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi dia
seorang manusia biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di
tempat itu? Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan
diri.”
“Habis kau
mau apa, Sute? Terhadap orang-orang lihai seperti mereka itu, lebih baik kita
menjauhkan diri,” kata yang tertua.
“Celaka,
kapak dan golok kita tertinggal di depan goa!” mengeluh orang ke dua.
“Kita harus
melaporkan hal ini kepada Suhu!”
Demikianlah,
sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon
ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan
pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah
dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang ‘siluman’ di hutan itu yang
disebutnya ‘Pek-ang Siang-mo’ (Sepasang Iblis Putih Merah).
Pek I
Hosiang mendengarkan penuturan ketiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan
hatinya merasa amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya,
bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.
“Kalian
bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti
yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang tengah bertapa. Mungkin
pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain
kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini sangat
banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?”
Sungguh pun
mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa
tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala
sendiri. Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi
sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja dia sangat
tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali
melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu.
Diam-diam ia lalu mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang
aneh itu.
Di dalam
hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang Siang-mo itu,
terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya.
Pemandangan di situ sungguh indah.
Pada suatu
pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka cita menyambut datangnya
sang matahari, di atas lapangan itu nampak sinar pedang bergulung-gulung
menyelimuti bayangan putih yang gerakannya cepat sekali. Ada kalanya gerakan
sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bayangan putih itu sebagai tubuh
seorang pemuda berbaju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang
amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan
sedang menari saja.
Tidak saja
ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih
aneh lagi. Disebut pedang seperti bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan
memainkannya sama dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi
juga mengerikan.
Ukurannya
besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini
tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat apa bila disebut bentuknya
seperti tongkat pendek. Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong
(naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat dari
pada logam yang sangat keras berkilauan dan berwarna putih sedangkan tubuh naga
yang melibatnya berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya
sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu
keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.
Setelah
bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya
makin lama semakin cepat dan kembali tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan
sinar senjatanya yang dahsyat.
“Cukup,
Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!” terdengar suara nyaring dari seorang
wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu
dengan penuh perhatian.
Wanita itu
mengenakan pakaian serba merah. Walau pun potongan pakaiannya itu amat
sederhana, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang
melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah
seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih tampak kuat
dan penuh, kulit tangannya halus dan putih.
Akan tetapi
kalau orang berhadapan muka dengannya, dia akan terkejut melihat bahwa wanita
ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya juga
berkeriput, sungguh pun matanya masih bening dan bersinar amat tajam, bahkan
giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik!
Masih jelas
nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk
muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang
hebat, dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan
tak pernah nampak tersenyum.
Pembaca
tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I
Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan
dunia persilatan karena kegagahannya. Tak ada seorang pun ahli silat di dunia
kang-ouw yang tidak mengenal atau tidak mendengar namanya yang besar. Ia amat
terkenal, baik karena kepandaiannya mau pun karena kecantikannya yang luar
biasa.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat
memperhatikan serta menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga
kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan
berupa telur Pek-tiauw (rajawali putih) dan sudah banyak makan telur yang dapat
memelihara kecantikannya ini. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia
masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.
Akan tetapi
segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Bahkan keadaan yang
ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya,
apa lagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar.
Khasiat
telur Pek-tiauw itu walau pun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu
wanita yang sudah makan obat ini, apa bila mempunyai putera, akan musnalah
khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah
melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, bahkan
ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh
tahun!
Pada bagian
depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput
di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, secara
diam-diam Ang I Niocu lalu meninggalkan suaminya, Lie Kong Sian, dan pergi
merantau membawa putera tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh,
dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, dia selalu memilih jalan
yang sunyi supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.
Akhirnya dia
memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana dia lalu
mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan.
Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah goa yang besar dan amat dalam. Akan
tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan
keperluan putranya yang amat dicintainya.
Segala
keperluan Lie Siong, makanan lezat serta pakaian indah sampai barang-barang
permainan apa saja, dia adakan dan tanpa segan-segan pada malam hari Ang I
Niocu mendatangi kota-kota besar untuk mencari barang-barang itu.
Dengan amat
rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia
mengajarkan ilmu silat pedangnya yang luar biasa, yakni Sianli Utauw (Tari
Bidadari), Ngo-lian-hoan Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan
yang disebut Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak Sin-na
(Ilmu Silat Burung Merak)! Lie Siong ternyata mempunyai otak yang cerdik dan
bakat yang baik sekali sehingga dia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan
cepat dan baik sekali.
Akan tetapi,
oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah
bergembira, maka dia pun menjadi seorang pemuda yang sangat pendiam, keras
hati, dan angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini
sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan
sebuah senjata istimewa untuk Lie Song.
Ang I Niocu
mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang
senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa peduli akan
jauhnya tempat itu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga
kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia pun berhasil
mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya!
Demikianlah,
dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong semakin gagah seakan-akan seekor
harimau muda yang tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada
ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu.
Ia
menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya, yaitu Lie Kong Sian, dan mengapa
dahulu mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan
mengenai pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar
Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su
yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang
suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat
baiknya.
“Kelak kalau
kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat
orang pendekar ini, Siong-ji,” Ang I Niocu sering kali berkata.
Akan tetapi,
ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh dari pada
hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh
dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan dia merasa
penasaran dan ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu!
Telah
beberapa kali Lie Siong minta pada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi
ibunya selalu mencegahnya. “Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji.
Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki
kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat
dan pandai.”
Demikianlah,
pada pagi hari itu, seperti biasanya Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di
bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa sangat puas karena
ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tak ada kesalahan
sedikit pun. Diam-diam dia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya sudah
mencapai tingkat yang tidak lebih rendah dari pada kepandaiannya sendiri! Dia
telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.
“Siong-ji,”
Ang I Niocu berkata sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata
penuh kasih sayang, “sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu telah
sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan
hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga
diri.”
Berseri
wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih
mencelanya.
“Kalau
begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?”
Ang I Niocu
menggelengkan kepala. “Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau
pergi, bagaimanakah dengan aku?”
“Kenapa,
Ibu? Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang
sunyi ini. Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?”
Tiba-tiba
kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam. “Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah
mukaku ini baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apa bila orang lain
melihat mukaku yang buruk ini!” Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.
Lie Siong
juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya. “Aneh sekali, Ibu. Aku
merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku, wajahmu
sangat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu
menganggap wajahmu buruk? Aku sudah sering kali melihat wanita-wanita di dusun
bawah gunung dan tak ada seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata
Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak
tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang
tidak akan pernah menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan
kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!”
Ang I Niocu
memegang tangan puteranya. “Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah
ibumu pada waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya
seperti bumi dengan langit!”
“Aku tak
peduli, Ibu. Bagiku, bagaimana pun juga perubahan yang terjadi pada wajahmu,
kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi
wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku
bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau
membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!”
Dengan
terharu Ang I Niocu memeluk puteranya. “Aku girang mendengar ucapanmu ini,
Siong-ji. Kau tidak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini
yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau
mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!”
“Kalau
begitu, kau mau turun gunung, Ibu?”
Kembali
kening Ang I Niocu berkerut lagi. “Nanti dulu, Siong-ji... aku masih
ragu-ragu... wajahku ini...”
Lie Siong
bangun berdiri dan membanting-banting kaki. “Lagi-lagi Ibu berbicara tentang
wajah...!”
“Ahhh, kau
tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan
tetapi sekarang, seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi
mereka?”
“Mereka
siapa, Ibu?”
“Ayahmu,
Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa...”
“Sudahlah,
sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kau sebut-sebut terus!” kata Lie
Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!
Pada saat
itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan
memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya
dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan
tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian
putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Hwesio ini
bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar.
Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena
hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya ‘Sepasang Iblis’ yang ditakuti
semua orang itu.
Dia telah
dapat menemukan goa tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan
kapak milik ketiga orang muridnya berserakan di depan goa. Melihat goa itu
kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya dia
mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.
Pek I
Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
“Omitohud!
Harap dimaafkan apa bila pinceng mengganggu Ji-wi, dan telah datang tanpa
diundang. Jika pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang
sedang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh
semua orang di sekitar pegunungan ini.”
Tiba-tiba
Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu, kemudian membentak,
“Pergilah...! Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!”
Pek I
Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan
sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.
“Maaf, maaf!
Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng telah berlaku lancang, akan tetapi
pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai.
Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang
beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng
bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung.
Pinceng kini sengaja datang untuk memintakan maaf bagi tiga orang murid
pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?”
“Sudahlah,
sudahlah!” Ang I Niocu lalu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang
sabar. “Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula mengenalkan
nama kami. Kau pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan
menjatuhkan tangan kepadamu!”
Akan tetapi
Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar. “Toanio (Nyonya Besar), harap suka
berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tidak bermaksud buruk. Sudah
bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini,
namun pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah
dua orang sakti yang bertapa di sini.”
“Cukup...!
Pergi...!” Ang I Niocu membentak lagi.
“Omitohud!
Banyak sudah pinceng berjumpa orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang
seaneh Ji-wi ini...”
“Kau mencari
penyakit!” Sambil membentak marah, Ang I Niocu segera maju menyerang dengan
sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Pukulan ini luar biasa
hebatnya, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih!
“Omitohud!”
Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat bagaikan kilat dia
mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya.
Ketika dua
lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur
tiga langkah, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannya
terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada
orang yang bisa menahan pukulan Pek-in Hoat-sut! Ia pun maklum bahwa hwesio ini
bukanlah orang sembarangan.
Sebaliknya,
melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.
“Bukankah... pukulan tadi adalah sebuah gerakan dari Pek-in Hoat-sut?” katanya
sambil memandang dengan mata terbelalak.
Kembali Ang
I Niocu tertegun. “Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas
minggat dari sini?!” Ia maju lagi, siap menyerang kembali.
“Ahh...
kalau begitu..., Toanio ini tentulah Ang I Niocu!”
Bukan main
terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah
mengenalnya. Selama ini dia berusaha untuk menjauhi manusia supaya tidak ada
orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi
seorang nenek tua buruk.
“Bangsat
gundul! Dengan menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!” teriaknya dan
kembali dia memukul.
Akan tetapi
Pek I Hosiang dapat mengelak dengan cepat sambil berkata, “Tentu Ang I Niocu!
Siapa lagi wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat
Pek-in Hoat-sut selain Ang I Niocu?”
Ucapan ini
semakin membakar hati Ang I Niocu. Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I
Hosiang, ia masih nampak cantik jelita, sungguh pun sudah amat tua, akan tetapi
ia mengira bahwa hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan
cantik jelita tadi.
Ketika ia
hendak menyerang kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata, “Ibu, berikanlah hwesio
ini kepadaku!”
Ang I Niocu
tiba-tiba teringat akan puteranya dan dia lalu timbul pikiran untuk mencoba
kepandaian puteranya itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah apa bila
dipergunakan sebagai ujian bagi puteranya.
“Baik, kau
majulah dan hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini,”
katanya sambil melompat mundur.
Di dalam
hatinya, Lie Siong tidak setuju dengan pendapat ibunya. Dia sama sekali tidak
menganggap hwesio tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata satu
kata pun. Memang dia sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian
untuk mencegah ibunya turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau
ibunya yang maju, hwesio ini pasti akan tewas!
Demikianlah,
tanpa menanti hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju
dan menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw. Hwesio itu kagum
sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk
mencoba kepandaian ‘siluman’ ini.
Pek I
Hosiang adalah seorang hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid
tunggal dari Biauw Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang sangat terkenal. Bagi
pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw
Leng Hosiang adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta
wanita) yang lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin
Hai si Pendekar Bodoh!
Oleh karena
itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak seperti gurunya yang tersesat,
Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio yang suci dan beribadat.
Pek I
Hosiang sudah sering mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu
silat Pendekar Wanita Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I
Niocu mendapat latihan dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi
seperti Pek-in Hoat-sut, Kong-ciak Sin-na dan lain-lain. Karena itu ketika ia
melihat pemuda itu bersilat demikian indahnya, dia dapat menduga bahwa tentu
inilah ilmu silat yang disebut Sian-li Utauw!
Meski pun
gerakan pemuda itu lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian
yang indah, namun dia maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani
memandang ringan. Beberapa kali dia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga
pemuda ini, akan tetapi ia terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya
tergetar tiap kali bertemu dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali.
“Pantas...!”
serunya sambil mengelak dari sebuah pukulan. “Pantas sekali kau menjadi putera
Ang I Niocu yang lihai!”
Selama hidup
Pek I Hosiang belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka
saking gembiranya, dia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya
pendek yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.
“Anak muda,
mari kita coba-coba mengadu senjata!” katanya.
Lie Siong
mewarisi watak ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini,
dia tidak mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong!
Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, yaitu semacam ilmu silat
yang banyak menggunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk
menghadapi lawan bersenjata dengan tangan kosong.
Pek I
Hosiang terkejut bukan main dan biar pun mulutnya tetap tersenyum dan sepasang
matanya memandang kagum, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan
tak senang. Alangkah sombongnya anak muda ini, pikirnya. Karena itu, dia segera
memutar kedua toyanya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya
bermain toya.
Perlu
diketahui oleh para pembaca yang belum membaca kisah Pendekar Bodoh bahwa
tingkat ilmu silat Biauw Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka
karena Pek I Hosiang juga sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya
itu, maka tentu saja Lie Siong tidak dapat bertahan lama menghadapinya dengan
tangan kosong.
Kedua toya
pendek di tangan Pek I Hosiang bergerak laksana sepasang ular besar yang menyerang
dengan berlenggak-lenggok, sehingga semua usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat
Kong-ciak Sin-na untuk merampas senjata ini tidak pernah berhasil. Bahkan
lambat akan tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu!
Melihat
betapa pemuda itu masih saja tak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang
lalu memainkan gerak tipu Hing-san Chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan
Tentara). Kedua toyanya menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan
sinar putih yang mendatangkan angin menderu.
Lie Siong
diam-diam terkejut juga melihat kehebatan lawan ini, maka dia terpaksa cepat
menggerakkan dua kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan langkah Tui-po
Lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua
tangannya menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menolak
datangnya dua toya yang berbahaya itu.

Namun,
gerakan kedua toya di tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus
seperti senjata lainnya, tetapi menyerang secara berlenggak-lenggok tak tentu
dari mana arahnya sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguh pun dengan tenaga
Pek-in Hoat-sut yang lihai. Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua
kakinya, dan sambil berseru keras dia melompat dengan gerakan Lee-hi Ta-teng
(Ikan Melompat ke Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin
(Naga Iblis Berjungkir Balik) maka tubuhnya lalu berjumpalitan di udara dan
dengan jalan ini ia terhindar dari serangan lawan. Ketika dia melompat turun
kembali, pada tangannya sudah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga
itu!
Bukan main
kagumnya Pek I Hosiang melihat Sin-liong-kiam yang hebat itu!
“Bagus,
jangan berlaku sheji (sungkan), anak muda yang gagah, kau majulah dengan
pedangmu itu!”
Mereka
bertempur lagi dan kali ini pertempuran itu betul-betul hebat dan ramai sekali.
Lie Siong memutar pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan
Kiam-hoat, sedangkan Pek I Hosiang memainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang
juga luar biasa cepat dan kuatnya.
Akan tetapi,
akhirnya hwesio tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan
yang muda namun lihai itu. Dengan gerakan tipu Lian-hwa Gai-ho (Bunga Teratai
Membuka Daun), Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya.
Pek I
Hosiang sangat terkejut menyaksikan hebatnya serangan ini. Sungguh pun pedang
lawannya itu tidak runcing, akan tetapi bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa
yang runcing, karena kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat
digunakan untuk menotok jalan darah atau melukai tubuh. Dia cepat-cepat
menangkis dengan toya di tangan kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri
mengemplang lawan.
Inilah
gerakan ilmu toya yang disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya
Heng-cia Kun-hoat yang lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat ini
mengutamakan gerakan pembalasan yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri
menangkis, maka toya kedua pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim
serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Akan tetapi,
Lie Siong sudah tahu akan sifat ilmu toya ini, karena itu pada waktu dia tadi
menyerang dengan gerakan Lian-hwa Gai-ho, dia telah siap sedia dengan tangan
kirinya. Melihat toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, dia
cepat mengulurkan tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak Sin-na mencoba
merampas toya itu!
Tentu saja
Pek I Hosiang tidak mau membiarkan toyanya dirampas, maka ia cepat-cepat
mengubah gerakan toya kiri ini ke samping supaya tidak sampai dirampas. Akan
tetapi ternyata bahwa gerakan merampas dari pemuda itu hanyalah gerakan
pancingan belaka untuk mengalihkan perhatian Pek I Hosiang, karena sebenarnya
yang hendak merampas senjata lawan adalah tangan kanannya yang memegang pedang.
Ketika
lawannya memperhatikan gerakan tangan kiri, maka ketika pedang itu ditangkis
oleh toya kanan, Lie Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari
pedang naga itu dengan cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru
keras dan menarik, toya kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas!
Pek I
Hosiang kaget sekali, cepat menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan,
melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan
tetapi sebetulnya tak perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak
menyerangnya, juga tidak mengejarnya.
Sambil
melihat sebatang toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang
menghela napas dan tersenyum pahit.
“Omitohud!
Kau anak muda betul-betul mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!” Ia
menjura kepada Lie Siong.
Pemuda itu
tidak menjawab, hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi
terbelit oleh lidah pedang naganya, kini terlepas lantas meluncur ke arah
pemiliknya dengan kecepatan laksana anak panah yang terlepas dari busurnya! Pek
I Hosiang cepat mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus
dadanya itu.
Akan tetapi,
Ang I Niocu tidak puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya
itu.
“Hwesio
busuk, lekas kau pergi dari sini dan tinggalkan toyamu!” katanya dan secepat
kilat dia sudah mencabut pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu.
“Tidak seorang pun yang datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!”
Ia lalu
menerjang dengan cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga
hingga pedangnya berkelebat dan berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I
Hosiang terkejut dan cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.
“Traang...!
Traaaang...!”
Saat dua kali
pedang Liong-cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat
mudahnya toya-toya itu terbabat putus!
Ang I Niocu
melompat mundur kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata
singkat, “Pergilah!”
Pek I
Hosiang menjadi pucat dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia
tersenyum sabar dan menjura.
“Terima
kasih atas petunjuk dari Ang I Niocu dan puteramu!” hwesio ini lalu melompat
dan turun gunung dengan tindakan kaki cepat sekali.
Sesudah
bayangan hwesio itu tidak nampak lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya,
“Ibu, Liong-cu-kiam itu hebat sekali. Kalau pedang Sin-liong-kiam beradu dengan
pedang Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?”
“Siong-ji,
apa kau kira ibumu akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji
terlebih dulu? Cabutlah pedangmu itu!”
Lie Siong
meloloskan Sin-liong-kiam, ada pun Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam.
“Nah, mari kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak
kalau akan bertemu dengan pedangku!”
Anak dan ibu
itu lalu bermain pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat
dari pada pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah cara Ang I Niocu melatih
anaknya! Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, setiap kali
berlatih dengan ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu
dirobohkan oleh ibunya!
Pernah ia
mengalami ditotok sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika
berlatih senjata tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan
darah! Hal ini memang disengaja oleh Ang I Niocu untuk melatih ketabahan kepada
puteranya. Sekarang mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru
kali ini mereka lakukan. Liong-cu-kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu
sehingga terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi
kedua pedang itu ternyata tidak rusak!
Seratus
jurus lebih mereka bermain pedang dan yang nampak hanyalah bayang-bayang putih
dan merah yang diselimuti oleh gulungan cahaya pedang Liong-cu-kiam yang putih
seperti perak dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti
emas!
“Sudah
cukup...!”
Keduanya
berhenti dan menyimpan pedang masing-masing. Hati Lie Siong merasa puas sekali
dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang
dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah
olehnya!
“Siong-ji,
sekarang telah banyak orang yang tahu akan tempat tinggal kita, malah hwesio
gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tidak perlu lagi kita
lebih lama tinggal di tempat ini!”
Lie Siong
menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali
tidak membayang pada wajahnya yang elok.
“Jadi, kita
turun gunung?” tanyanya penuh harapan.
Betapa pun
keras hatinya sehingga dia sering kali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong
adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi
kalau ibunya belum memberi persetujuannya.
Akan tetapi
ibunya menggeleng kepala. “Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama
kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi
dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!”
“Akan
tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu...? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di
tempat ini...”
Ibunya
lantas mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. “Aku sudah mempunyai
kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang
memberi kenang-kenangan kepadaku.” Sambil berkata demikian, dia mengusap-usap
pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.
“Ibu, dari
manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?”
Ibunya
menghela napas panjang dan teringatlah dia akan segala pengalaman bersama
Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu.
“Sesungguhnya,
Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang
lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang berada di dalam tangan Pendekar
Bodoh.”
“Ah, aku
ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couw-mu itu,
Ibu.”
“Anak bodoh,
jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling
tinggi ilmu kepandaiannya. Tiada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya,
dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang, walau
pun ibumu juga pernah mendapat latihan darinya.”
“Hemm, aku
pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang sering kali Ibu
puji-puji.”
“Pergilah
dan kau tentu akan berjumpa dengan mereka yang pandai itu. Pergilah dan
berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu.”
Sesudah
berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam goa lalu
mengumpulkan pakaian puteranya. Dia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian
warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong
selalu diberi pakaian warna putih atau kuning oleh ibunya sehingga lama
kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.
“Nah, kau
pergilah, Anakku. Kau sudah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku,
carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau telah tahu siapa
adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu,
karena itu berhati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau
Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari-cari kita. Kasihan ayahmu itu, kau
carilah dia dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah,
doaku besertamu selamanya.”
“Selamat
tinggal, Ibu. Dan... Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku bisa bertemu dengan Ibu
lagi?”
“Tak perlu
kau bingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat
lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”
Berat hati
Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Dia telah melangkah keluar
dari goa, akan tetapi tiba-tiba dia kembali lagi dan memeluk ibunya.
“Ibu,
berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi.”
Ang I Niocu
merasa terharu dan dia lalu tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun
meninggalkan bibirnya. Ia lalu mendekap kepala puteranya dan mencium jidat
puteranya yang tercinta itu.
“Jangan
gelisah, Siong-ji. Apakah kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk
selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”
Maka
berangkatlah Lie Siong dengan membawa sebungkus pakaian yang diikatkan pada
punggungnya, ada pun pedangnya, Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya
disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.
Ketika dia
telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, dia
mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua
puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu. Mereka adalah
penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringi enam orang yang
bukan lain adalah para pengusaha kayu.
Mereka ini
merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu
dengan sepasang ‘siluman’ itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih
orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar
adalah murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak
menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!
Lie Siong
tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka
itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Pada
saat Lie Siong sampai di dekat tempat itu, ternyata dia melihat empat orang
yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.
Keempat
orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika
mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu
dan timbul hati ngeri dan takut di antara sebagian besar para penebang pohon.
Oleh karena itu, untuk membakar semangat kawan-kawannya, empat orang yang
terkuat itu kemudian memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat
sekali!
Sebatang
pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat
batangnya dengan seutas tambang yang besar dan sangat kuat, kemudian empat
orang itu lalu mengerahkan tenaga menarik tambang itu. Urat-urat menonjol pada
dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka
sengaja sudah menanggalkan baju agar tidak robek.
Memang
kehebatan tenaga mereka sulit dipercaya. Empat ekor kerbau saja belum tentu
akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi pada saat empat
orang ini mengerahkan tenaga, segera terdengar suara keras sekali dan pohon itu
roboh berikut akar-akarnya!
Karena semua
orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian, maka tak ada
seorang pun di antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara
mereka, yang menonton demonstrasi itu.
Berbareng
dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang
tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat
orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan
tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie
Siong.
Ia merasa
heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah
menjadi kemarahan ketika dia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak
turut bersorak memuji. Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie
Siong, sebab tiga orang penebang pohon yang pernah dia robohkan itu tidak
berani ikut serta bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan
menegur,
“Eh, Sobat!
Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai
kepandaian kami? Ketahuilah bahwa hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami
berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang Siang-mo itu akan ditumpas!”
Semua orang
kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal
pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.
Lie Siong
merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali saat mendengar
betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang dia dapat menduga tentu
dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tak berubah sedikit
pun juga, ia berkata acuh tak acuh,
“Apa sih
anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke
dalam hutan di atas ini.”
“Eh, ehh,
mengapa kau berkata demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.
“Karena
tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau
kalian pergunakan untuk menarik lawan, biar pun hanya satu kakinya saja, kalian
tidak akan mampu merobohkannya!”
Bukan main
marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga ikut memandang dengan
heran dan marah.
“Orang muda,
kau tahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul
aku akan menghancurkan kepalamu!” kata salah seorang di antara empat jagoan itu
yang bertubuh besar pendek.
“Siapa
bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”
“Kau bicara
sungguh-sungguh?” Si Jenggot Pendek berkata sambil tersenyum menghina. “Kalau
begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau
merasa pasti bahwa kami tidak akan dapat merobohkanmu?”
Semua orang
tertawa mengejek mendengar ini. Enam orang pengusaha itu lalu berdiri
sekelompok kemudian berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran
melihat keberanian pemuda tampan ini.
Akan tetapi
Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin. “Mengapa tidak berani? Kalau kau dapat
menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian
patut naik ke hutan itu.”
“Bagus!”
seru Si Jenggot Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari
tubuhmu, jangan kau persalahkan kami, anak muda yang manis!”
Terdengar
suara orang-orang tertawa disusul dengan ejekan, “Bila kakinya sudah copot,
bagaimana dia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?”
Kembali
terdengar semua orang tertawa geli sungguh pun mereka memandang semakin
tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang lalu menduga-duga siapa
gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring?
“Boleh, aku
berjanji,” jawab Lie Siong yang ingin mempermainkan orang-orang sombong itu,
“sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apa bila kalian tak dapat
merobohkan sebelah kakiku maka selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan
menebang pohon di hutan itu!”
“Jadi!!”
seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena
ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!
Semua orang
lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para
pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok
lain yang tersendiri, tidak berani mendekati para ‘thauwke’ (majikan) itu.
Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek
memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,
“Kau sudah
siap?”
Lie Siong
menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian
dia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat
kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya
demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang
tertawa mengejek.
Kalau orang
yang mempunyai kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang
teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa
pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan
purnama? Sungguh lucu dan menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan
tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar
bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.
Tentu saja
mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam sudah mengerahkan ilmu
memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan
cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sian-li Utauw (Ilmu
Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!
“Aku sudah
siap!” Lie Siong berkata dengan suara dingin saja seakan-akan tidak sedang
menghadapi urusan penting.
Sambil
tertawa haha-hihi, Si Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang pada kaki
kanan Lie Siong tepat pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di
bawah betisnya. Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu
cukup kuat takkan terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan-kawannya dan
sambil tersenyum-senyum ia berkata perlahan,
“Kita
menggunakan tenaga tiba-tiba menariknya agar dia jatuh terjengkang!”
Tiga orang
itu tersenyum gembira kemudian menganggukkan kepalanya. Mereka segera berdiri
berbaris dan memegang tambang itu.
Semua orang
memandang dengan napas tertahan, karena betapa pun mereka merasa lucu dan
penasaran kepada pemuda yang mereka anggap berotak miring ini. Melihat wajah
yang elok dan kulit yang halus itu mereka merasa kasihan juga.
Sedikitnya
kaki yang tidak seberapa besarnya itu pasti akan patah akibat tarikan empat
orang kuat ini, pikir mereka. Bahkan salah seorang pengusaha yang berpakaian
kuning dan yang masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan
berkata,
“Hian-te,
kenapa kau melakukan hal yang bodoh ini? Kau mintalah maaf kepada mereka dan
aku yang tanggung bahwa perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja.”
Lie Siong
paling tidak suka apa bila ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka
sambil mengerling tajam ke arah orang itu, dia pun berkata, “Jangan ikut
campur, dan mundurlah!” Tentu saja semua orang semakin merasa tak senang
melihat sikap ini, dan orang baju kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.
“Aku sudah
siap, hayo tariklah sekuatmu!” kata Lie Siong sekali lagi.
Orang
berjenggot pendek itu lalu memberi aba-aba, “Tarik...!!”
Empat orang
itu langsung mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat
pada lengan dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayang
sudah di mata mereka betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan
kaki patah. Akan tetapi... sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti
itu!
Pemuda elok
itu masih berdiri seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan dan kedua tangan
ditaruh di belakang. Sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali
tidak merasa akan tarikan dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk
mempertahankan diri!
“Aduh...!
Sungguh aneh!” terdengar suara penonton.
“Tak masuk
di akal!”
“Tak
mungkin...!”
“Ajaib
sekali...!”
Jika semua
orang yang menonton menjadi terheran-heran, empat orang jagoan itu lebih
terkejut lagi. Tambang itu sudah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar
bergerit saking kuatnya mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seolah-olah
sedang menarik sebuah gunung saja!
Untuk sesaat
mereka saling pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka segera menarik
lagi. Kini tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka ‘ah-ah, uh-uh’
sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana
terdorong ke mari, namun tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu
sama sekali tidak bergeming sedikit pun!
Kini tak
seorang pun penonton dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka
hampir lupa! Keempat orang jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda
itu dengan mulut ternganga saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti
menarik. Mustahil tidak dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka
mengerahkan tenaga seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!
Peluh
sebesar kacang telah menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka pun
mulai terengah-engah setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga
sepenuhnya.
Lie Siong
merasa bahwa sudah cukup ia memperlihatkan tenaganya, karena itu dia lalu
membentak keras.
“Tidak lekas-lekas
lepaskan tambang?” Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki
kanannya melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang
jagoan itu lalu terdorong ke depan, dan karena mereka masih belum melepaskan
tambang itu, mereka jatuh saling timpa!
Yang paling
sial adalah Si Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan
karena jatuhnya dengan hidung di depan, maka ketika merangkak bangun kembali,
hidungnya yang tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah!
Kini
ramailah orang-orang itu memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana
mungkin terjadi hal yang aneh ini? Walau pun sudah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, mereka masih belum dapat percaya bahwa seorang pemuda yang
lemah-lembut dan berkulit halus itu dapat memiliki tenaga yang demikian
besarnya. Siapakah pemuda lihai ini? Mereka saling bertanya tanpa berani
menanyakan sendiri kepada pemuda itu.
Pada saat
itu nampak dua orang berlari dari bawah lereng. Mereka ini adalah seorang laki-laki
tinggi besar bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di
situ dan melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang,
“Dia adalah
iblis putih!”
Orang ini
adalah seorang di antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie
Siong, dan mendengar seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang
menggigil dan bahkan ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan
tetapi, ketika mereka melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua
orang lalu menjadi tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie
Siong. Hwesio itu bukan lain adalah Pek I Hosiang sendiri.
Melihat
bahwa yang menimbulkan keributan itu adalah Lie Siong, Pek I Hosiang segera
merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil memberi hormat.
“Omitohud,
tak tahunya Siauw-enghiong (Orang Muda Gagah) yang datang di sini! Harap suka
maafkan murid-murid pinceng yang bodoh dan tidak tahu aturan, Siauw-enghiong.
Sesungguhnya ketika pinceng mendengar bahwa mereka ini hendak menyerbu ke dalam
hutan, segera pinceng menyusul ke sini untuk mencegah mereka.”
Melihat Lie
Siong hanya berdiri tanpa menjawab, hwesio itu lantas memandang kepada semua
orang dan berkata,
“Cuwi
sekalian, harap mendengarkan kata-kata pinceng. Mulai sekarang janganlah ada
seorang pun berani mengganggu hutan di atas itu! Ketahuilah bahwa di situ
tinggal dua orang pendekar sakti yang mengasingkan diri! Pegunungan ini
mempunyai banyak sekali hutan-hutan besar, mengapa harus mengganggu hutan
kecil? Kalau kalian sayang diri, jangan sekali-kali berani memasuki hutan itu
lagi. Ang I Niocu dan puteranya bukanlah siluman, akan tetapi pendekar-pendekar
besar yang berkepandaian tinggi dan tidak mau diganggu!”
Semua orang
terkejut mendengar ini, karena tak pernah mereka sangka bahwa hwesio ini pun
telah kenal kepada dua orang yang tadinya dianggap siluman itu, terutama sekali
para murid yang pernah mendengar nama Ang I Niocu yang tersohor! Mereka cepat
memandang kepada pemuda yang diperkenalkan sebagai putera Ang I Nicou itu,
tetapi alangkah heran dan kagetnya semua orang ketika melihat bahwa di situ
tidak nampak lagi bayangan pemuda tadi! Pemuda tadi telah lenyap bersama
buntalan pakaiannya tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali Pek I Hosiang.
Hwesio ini lalu berkata,
“Dia sudah
pergi!” Dia menghela napas. “Masih baik bahwa pemuda itu sendiri yang datang di
sini, tidak bersama ibunya. Kalau kalian berani mengganggu ibunya, tak dapat
kubayangkan kengerian yang menjadi akibatnya!”
Semenjak
saat itu, semua orang memandang hutan itu sebagai tempat keramat dan tak
seorang pun berani naik ke situ. Nama Ang I Niocu makin terkenal, dan juga
puteranya menjadi buah bibir semua orang yang tinggal di sekitar Pegunungan
Ho-lan-san....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment