Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 07
KEEMPAT
orang ini, yakni Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat
Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka sudah mencapai
tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa
Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid.
Dua orang
muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira
Mongol dan berwatak jahat sekali. Dulu Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok
Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) di puncak Hoa-san
menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh.
Kini melihat
keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia
bahwa ia sendiri kelak tak akan terlepas dari pada pengaruh usia tua dan
kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya
kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti
menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan
senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal
sekali.
Tak lama
kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia
tertawa manis sekali dan berkata, “Aku sengaja menangkap keduanya supaya
pasangan ini tidak terpisah, biar pun sudah berpindah tempat ke dalam perut!”
Swie Kiat
Siansu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh
ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan
dan kecintaan! Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi
cacing-cacing perutku!”
Cin Hai
segera membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih serta dibersihkan,
dagingnya kemudian dipanggang. Tidak lama kemudian sudah tercium bau yang sedap
dan menimbulkan selera. Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau
sedap ini olehnya.
“Aduh,
cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!”
Lin Lin
tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian
atas pekerjaannya. Wanita mana pun juga di dunia ini memiliki dua macam
kesenangan yang sama, yaitu mendapat pujian tentang kecantikannya atau
kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan
uap dan aroma kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu.
Kakek tua
yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu cepat menerima daging itu dan
makan dengan amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biar pun
daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu
dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan!
Tanpa
menawarkan kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang saja sambil
menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahap sekali sampai
lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!
Swie Kiat Siansu
kemudian menggunakan tangan kanannya yang masih penuh dengan minyak untuk
mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu dia tertawa dan berkata,
“Ahh, yang
senang saja kalian sepasang ketinci tinggal di dalam perutku!” ia tertawa lagi,
kemudian berkata. “Sayang tidak ada arak...”
“Jangan
khawatir, Locianpwe, kebetulan teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang
cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.
Berserilah
wajah kakek itu. “Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ahh, benar-benar Thian telah
memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat
terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!”
Dia lalu
minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, dia
menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya
dengan puas sekali.
Lin Lin juga
merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan
kepandaian memainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap
sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.
Dua pekan
lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu
untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki
dasar ilmu silat tinggi serta mempunyai pengertian dasar dan pokok segala macam
ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, dia
sudah dapat menerima semua kepandaian itu.
Pada malam
yang ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan
memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, “Nah, kini
bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Ehh, Nyonya muda, tolong kau
panggangkan sepasang kelinci lagi untukku!”
“Baik,
Locianpwe,” jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat
Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah goa di hutan itu.
Sesudah
sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan
dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak milik Cin Hai yang tinggal
seguci lagi. Sesudah makan kenyang, dia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di
atas tanah, berkata, “Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudian ia tidur
mendengkur!
Cin Hai dan
Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang
sangat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari goa
itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.
“Besok kita
disuruh pergi,” kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih
baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera
kita.”
Teringat
akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin
Lin tiba-tiba kembali merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang
dengan mata melamun ke tempat jauh. Nampak dua titik air mata perlahan-lahan
mengalir turun membasahi pipinya.
“Isteriku,
janganlah kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,” Cin
Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin
Lin merasa semakin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil
menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.
Cin Hai
membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih
baik dari pada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka
sekali lagi Cin Hai menghafalkan dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh
Swie Kiat Siansu.
Malam itu
mereka berada di luar goa dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami
isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat, maka berlatih semalam penuh di
bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang sangat baik bagi kedukaan hati
mereka akibat lenyapnya puteri mereka.
Akan tetapi,
alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka
memasuki goa tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu
telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan
kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih dan yang terserang
penyakit berat ini telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama
dinanti-nantinya!
Dengan penuh
penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah
dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang secara
sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk
memberi penghormatan terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh,
dan apa bila rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu
tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.
Baru pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat
itu dan langsung menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka
berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang
Bouw Hun Ti.
Tanpa
mendengar sesuatu pun keterangan tentang kedua orang yang dicari-carinya itu,
akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.
Baru saja
mereka berdua tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring
memanggil mereka. “Ayah... lbu...!”
Cin Hai dan
Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran serta
girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama
Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!
Lin Lin
berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai
juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini dia kalah cepat!
Kegirangan agaknya sudah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan
ilmu berlari cepatnya mendadak menjadi makin hebat.
Juga Lili
dan Hong Beng berlarian turun dari puncak. Sesudah saling berhadapan, Lin Lin
lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.
“Lili...
Lili... anak nakal... kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.
Lili juga
menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian dia
menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!
“Ayah dan
Ibu tidak marah...?” tanyanya.
“Mengapa
marah? Tidak, anakku, tidak!” jawab Cin Hai.
“Mengapa
Kongkong tidak ikut datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, Lin
Lin tiba-tiba menangis lagi.
Hong Beng
maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih sekali ini, dia lalu
menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. “Ibu, apakah yang
terjadi dengan Kongkong?”
Oleh karena
Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai kemudian maju dan berkata tenang,
“Kongkong-mu sudah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Karena itu
kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”
Lili yang
sangat sayang kepada engkong-nya, menjerit keras ketika mendengar berita ini.
“Apa...?!” Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di...
dibunuh oleh bangsat itu...?”
Ketika Cin
Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Ada pun
Hong Beng yang juga sangat sayang kepada kongkong-nya itu, berdiri dengan muka
muram. Pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil
berkata perlahan,
“Jahanam...!
Jahanam...!” Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.
Diam-diam
Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka
dia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,
“Lili, lihat
kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak
cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kongkong-mu.”
Mendengar
ucapan ayahnya ini, bangkitlah semangat Lili dan dengan muka masih basah oleh
air mata ia berkata, “Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan
menghancurkan kepalanya!”
Lin Lin juga
sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini lalu teringat kepada
pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri
tidak jauh dari mereka dan hanya berdiam saja sambil memandang dengan mata
berduka.
Anak ini
adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo Sian atau
kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng berjumpa
kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia
akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.
“Ehh, anak
itu siapakah?” tanya Lin Lin kepada Lili.
Baru Lili
teringat kepada suheng-nya ini dan dia lalu melambaikan tangan kepadanya.
“Lili,
siapakah kedua orang gagah ini?”
“Kam Seng,
kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!”
Dengan
malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada
Cin Hai dan Lin Lin.
“Dia bernama
Thio Kam Seng, murid dari Suhu,” kata Lili.
“Suhu?
Siapakah Suhu-mu?” tanya Cin Hai terheran.
Lili lalu
menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh Bouw Hun Ti, kemudian
tertolong oleh Sin-kai Lo Sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan
kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek
mereka.
Cin Hai dan
Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka sangat
berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang namanya sudah
pernah mereka dengar itu.
“Sekarang di
mana dia, penolong dan suhu-mu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk
menghaturkan terima kasih,” kata Lin Lin.
“Dia sudah
turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu,
melaporkan keadaanku yang sudah tertolong.”
Pada waktu
itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari
mendatangi.
“Nah, itu
dia Supek datang!” kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.
Cin Hai dan
Lin Lin cepat-cepat menengok. Mereka melihat seorang yang berpakaian sebagai
pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.
Mo-kai Nyo
Tiang Le biar pun sudah sering kali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi
belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu.
Dari atas, dia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap
dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir
kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Pada saat melihat dua
orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,
“Lili,
siapakah kedua orang gagah ini?”
“Supek,
mereka ini adalah ayah bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama
sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar
sama dengan ibunya.
Mo-kai Nyo
Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Dia memandang dengan penuh
perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya sudah menjura
kepadanya untuk memberi hormat.
“Ahh, jadi
kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tak
mengenal orang pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan
itu.
“Nyo Loheng
(Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sebetulnya justru
kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu,
terutama sekali kepada adikmu yang sudah menolong jiwa puteri kami.
Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apa bila kami tiada
kesempatan untuk membalas semuanya.”
Mo-kai Nyo
Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam
Seng memandang dengan heran karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini
sedemikian gembiranya.
“Pendekar
Bodoh, kau seperti anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le
setelah tertawa bergelak. “Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi?
Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang
kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di
tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu
kepandaian supaya kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha-ha! Kam
Seng, kau ikutlah padaku turun gunung!” Setelah berkata demikian, Mo-kai
menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.
Lili
tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja
kemudian berkata, “Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang sangat
aneh. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat
baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”
Mereka
beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang
menerima kedatangan mereka dengan girang.
“Pendekar
Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu sudah datang! Apakah kalian telah
bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?”
Setelah
memberi hormat, Cin Hai menjawab, “Belum, Locianpwe.” Ia lalu menceritakan
perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat
Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua.
Pok Pok
Sianjin menarik napas panjang. “Ahh, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku!
Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus
mengalami penderitaan entah berapa tahun lagi.”
Cin Hai dan
Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong
Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka pun turun gunung bersama Lili,
setelah memesan kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan
giat dan rajin.
Pemuda cilik
ini diam-diam merasa sangat kesepian sesudah adik perempuannya turun gunung
mengikuti ayah ibunya. Akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda yang pendiam
dan selain berwatak tenang, dia juga memiliki kekuatan batin yang cukup tabah.
Kesunyiannya ini lalu dia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga
Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang
berbakat ini.
Demikianlah,
apa bila Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok
Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia
menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu
untuknya. Walau pun Lili memiliki watak yang lincah dan tidak dapat tekun
belajar, akan tetapi apa bila dia teringat akan kematian kakeknya, dia lalu
mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah
bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini.
Seperti
telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari sangat pesatnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang berlalu dengan cepatnya
sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah
tua!
Memang aneh
kalau direnungkan. Apa bila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata
setahun, sebulan atau pun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti
datangnya sesuatu, maka nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang
setiap saat memperhatikan jalannya waktu?
Kita semua
tidak merasa dan sungguh pun masa kanak-kanak kadang kala masih suka terbayang
di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang
nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun
itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja!
Siapa bilang
kalau hidup ini lama? Memang benarlah kata para pujangga bahwa hidup yang
singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita
tidak menyesal kalau sudah terlambat!
Tak terasa
lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas.
Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili
sudah berusia delapan belas tahun dan dia kini menjadi seorang gadis yang amat
cantik jelita berwatak gembira dan suka tertawa. Matanya kocak dan selalu
berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek
kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, pada waktu muda!
“Kalau aku
melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai
sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.
Lin Lin yang
biar pun sudah berusia hampir empat puluh tahun tapi masih nampak cantik itu,
mengerling sambil cemberut manja.
“Ah, kau ini
memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa
bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”
Cin Hai
tertawa karena dia sudah maklum sekali bahwa isterinya ini biar pun di mulutnya
mengomel akan tetapi di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di
kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.
Lin Lin
memandang kagum lalu menghela napas. “Betapa pun juga, ada satu hal yang
menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi
bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah dia kelak menikah?”
“Hal itu tak
perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu
silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”
Lin Lin
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku
masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat betapa
indahnya gerakan Sian-li San-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang dia mainkan
itu!”
Cin Hai
memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu kini sedang
melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang sangat indah dan
cepat, dan gerakan Sian-li San-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat
ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia lalu
membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.
Anak
gadisnya ini sungguh mengagumkan sekali, dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari
pemuda manakah gerangan yang patut menjadi menantunya. Dia merasa puas dengan
ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An.
Akan tetapi untuk Lili, dia belum dapat memilih seorang calon menantu yang
cukup sesuai dan cocok.
Sementara
itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang
tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya. Dia segera menengok dan
berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja dia lalu duduk di
dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan sapu tangannya
untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh
kasih sayang.
“Ibu,
sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan padaku untuk pergi mengunjungi
Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”
“Tak baik
bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.
Lili
merengut. “Ahhh…, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku.
Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga sering kali pergi
merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi,
bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun,
Ayah!”
Cin Hai
memandang dengan muka bersungguh-sungguh. “Lili, dahulu itu lain lagi, karena
keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang.
Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak
orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku,
mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”
Lili berdiri
dan dengan sikap menantang berkata keras, “Aku tidak takut! Aku bukan puteri
ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su
kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam
ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang
orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang
kupelajari dengan susah payah tidak akan ada artinya apa bila tidak
dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak
mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah
pendekar namanya!”
Cin Hai
tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini sering kali menggunakan
ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!
“Sudah,
bicara dengan kau takkan ada orang yang bisa menang! Kalau kau hanya rindu
kepada calon Soso-mu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi,
nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana.”
Lili makin
cemberut. “Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara.
Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin menggunakan kepandaian yang telah
kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku
ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau
Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!”
Cin Hai
melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.
“Hussh,
Lili! Jangan kau berkata begitu!”
Lili
memandang pada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata mengingatkan,
“Ibu, apakah kau sudah lupa bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari
bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”
Lin Lin
tidak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak
berdaya).
“Lili,” kata
Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita
untuk menyusulku dalam usaha untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh yang
sudah membasmi keluarga ibumu.”
“Apa
bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam pada keparat Bouw
Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah
dan berkata, “Ahh, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin
melihat aku senang. Kalau Beng-ko lain lagi, ia anak laki-laki, dicinta dan
dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka
hatinya! Ahh, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki saja!”
Cin Hai dan
Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam
hatinya. Anak ini lebih keras kepala dari pada ibunya! Akan tetapi Lin Lin
berpikir lain lagi. Hebat, bisik hatinya, anak ini bahkan lebih gagah dan
bersemangat dari pada ayahnya!
“Sudahlah,
Lili, kau jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai.
“Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”
Setelah Lili
kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.
“Bagaimana
baiknya?” bertanya Lin Lin dengan hati gelisah “Bila dia memaksa dan pergi,
apakah kiranya tidak berbahaya?”
“Berbahaya
sih tidak,” suaminya menjawab setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah
lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang
I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan.
Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tak
hanya kepandaian silat tinggi saja yang mampu menjaga keselamatan tubuh. Banyak
akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya dari pada kepandaian silat lawan.”
“Kalau
begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.
Pendekar
Bodoh menggelengkan kepalanya. “Melarang pun tidak benar. Anak itu bahkan lebih
keras kepala dari pada engkau!”
“Hmm, jadi
aku keras kepala, ya? Kenapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”
Cin Hai
tertawa. “Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu.
Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini. Kita berdua sudah cukup tua,
bukan anak-anak lagi.”
“Kau yang
mulai!”
“Sebaiknya
begini saja. Mulai kini kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan
semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw supaya matanya terbuka
terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau dia sudah tahu akan segala hal
itu, barulah kita dapat memberi perkenan kepadanya untuk pergi merantau dengan
dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi,
dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, tentu dia tidak akan berani
pergi terlalu jauh.”
Karena tidak
dapat mencari jalan lain yang lebih baik, terpaksa Lin Lin pun menyatakan
persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang
tuanya ini. Dia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua
tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para
penjahat).
Sampai
hampir dua pekan dia menerima wejangan dan nasehat, memperhatikan semua cerita
dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Ia lalu mempelajari
pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal
mereka, melalui Propinsi Honan kemudian memasuki Propinsi Hopei menuju ke
Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.
Lin Lin yang
amat sayang pada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada
hentinya memberi nasehat-nasehat supaya dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda
yang sangat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili.
Gadis itu
membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan juga obat-obat untuk
menjaga diri. Pedang Liong-coan-kiam pemberian ayahnya tergantung di
pinggangnya. Bajunya berkembang-kembang merah dengan pinggiran biru, celananya
putih bersih dari sutera mahal, sepatunya berkembang hingga dia nampak cantik
jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika
mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap
demikian gagahnya.
“Ayah, Ibu,
aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.
“Hati-hatilah
di perjalananmu,” kata Cin Hai.
“Sampaikan
salam kami kepada Kwee-pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.
Kemudian
berangkatlah Lili. Dia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning
lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis
tampak berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa
seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.
Apakah ia
akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh
ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasehat
orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhu-nya (uwaknya) di
Tiang-an. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sebenarnya adalah
untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di
Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya
agar ia diperbolehkan pergi!
Oleh karena
inilah maka dia segera membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning!
Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban
Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan,
kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong
Thio Kam Seng!
Dulu ia suka
menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan
lihai itu. Akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin meski pun raja
iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!
Keadaan Lili
yang pakaiannya begitu mewah, cantik jelita, gadis muda yang melakukan
perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi
melihat cara dia naik kuda serta melihat gagang pedangnya yang tergantung pada
pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang
perantau yang pandai ilmu silat sehingga tak seorang pun berani mencoba-coba
untuk mengganggunya.
Hanya satu
kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat
seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka
Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai
yang berwatak sombong dan berlagak tinggi.
Kebetulan
sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika
Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, lalu melompat turun dan
memanggil seorang pelayan.
Seorang
pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,
“Kau urus
baik-baik kudaku pada waktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya
sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di
atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”
Pelayan itu
tersenyum sambil mengangguk-angguk dengan hormat. “Tentu saja, Siocia. Akan
kulakukan pesanmu baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.
“Kuda yang
bagus!” tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke
arah orang yang memuji kudanya.
Orang ini
bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat ada seorang laki-laki muda yang
bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku
hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu,
Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang
cepat datang menghampirinya.
Restoran itu
besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang
banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki
restoran itu, hampir semua mata menengok dan memandang kagum.
Akan tetapi
Lili tak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah
menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap
hal ini biasa saja. Ibunya telah menasehatinya untuk bersikap dingin dan jangan
mempedulikan hal ini.
“Lili, kau
seorang gadis muda yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasehat, “banyak
sekali gangguan yang akan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata
minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis
cantik. Akan tetapi, apa bila mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan
kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tak mengganggumu dengan
ucapan atau perbuatan yang kurang ajar, anggap saja mereka itu seperti
patung-patung hidup yang tak perlu dilayani.”
Oleh karena
itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandang dia dengan
kagum. Malah orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti padanya,
dianggapnya sebagai lalat saja!
Akan tetapi,
ketika dia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan,
tiba-tiba telinganya yang amat tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di
dalam warung itu. Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan
ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji
kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!
Diam-diam
Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini. Apa lagi
ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada
orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.
Akan tetapi
pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan
tangan, lalu dia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili
sedang makan! Dia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan
cara yang sangat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda
kelaparan dan terdengarlah dia berkata keras,
“Kudanya
besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!”
Semua orang
yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili
juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh
karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak
mengerti dan melanjutkan makannya.
Melihat
betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok
Ceng menjadi semakin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa ha-ha
hi-hi ia kemudian menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi
gadis itu sambil memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua
orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan
tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita
itu.
Semenjak
tadi Lili menahan sabarnya, karena ia masih selalu ingat akan nasehat ibunya
supaya menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu
kini duduk dekat di hadapannya, tentu saja dia merasa amat terganggu dan
masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.
“Lalat
kuning sungguh menjemukan!”
Ia lalu
menunda makannya, kemudian dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil
mengerahkan tenaga lweekang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air
kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba saja memercik ke arah Lok Ceng dan tanpa
dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!
Semua orang
terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan
maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu sudah memaki Lok Ceng! Mana
ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!

Akan tetapi,
tak ada seorang pun yang tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan
membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka
hanya mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak
menyangka bahwa gadis cantik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat
menggerakkan tenaga lweekang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.
Oleh karena
itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biar pun dia tahu bahwa dirinya
dimaki ‘lalat kuning’, dia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang
gadis yang melawan apa bila diganggunya, dari pada seorang gadis yang bahkan
tersenyum-senyum melayani gangguannya.
“Aku ingin
sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan
mulut yang manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar
ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.
Mendengar
ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili segera maklum bahwa
kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak
mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang
berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga lweekang yang
diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan
hal ini, bahkan berani mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.
Lili sudah
kehabisan kesabarannya. “Lalat kuning, kau lapar dan hendak makan daging? Nah,
ini makanlah!”
Secepat
kilat tangannya lalu menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan
sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu sudah menyiram mukanya,
bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa
sakit!
Suara tertawa
dari para tamu tadi tiba-tiba saja tak terdengar lagi dan sekarang mereka
memandang dengan muka pucat. Selama ini belum pernah ada orang berani menghina
Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya!
Sementara
itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya amat pedas dan tak dapat dibuka
sehingga dia menjadi gelagapan kemudian menggunakan kedua tangannya untuk
membersihkan mukanya. Keadaannya sangat lucu dan para penonton menahan suara
ketawa mereka karena sungguh pun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti
itu berada dalam keadaan begitu lucunya, akan tetapi mereka tak berani
memperdengarkan suara ketawa.
Kini
kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi
kemerah-merahan karena marah dan berminyak akibat siraman kuah tadi. Matanya
yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.
“Gadis liar,
apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia
membentak dan melangkah maju.
“Ehh, ehh,
cacing muka kuning!” kata Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga
menjadi cacing. “Apakah kau masih belum kenyang?”
Sambil
berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini masakan lain yang penuh
kecap berwarna merah dan masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka
Lok Ceng.
Si Naga Muka
Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah
tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua
matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak sempat memasuki kedua
matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang
hidungnya sehingga dua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap yang
membuat dia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak
copot hidungnya!
Kini para
tamu di restoran itu terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan
ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis sambil mencak-mencak,
sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan.
Lok Ceng
memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada
pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali dia membacok ke kanan kiri
dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih
menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan
ke mana mana.
Para tamu
yang tadinya menahan ketawa, kini menjadi ketakutan dan segera mereka
menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan
pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi.
Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.
Akan tetapi,
Lili tak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong
itu. Biar pun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak
menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia
telah berada di depan si pengamuk itu.
“Gadis liar,
kupenggal lehermu!” teriak Lok Ceng.
“Manusia tak
tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!” Lili balas membentak.
Dengan gerak
tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari
Ilmu Silat Sian-li Utauw, dia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia
dapat masuk di antara kelebatan golok itu dan langsung menggerakkan tangan
kanan ke arah iga lawannya.
“Dukk!”
dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hoat (totokan) yang mengenai
jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali.
Terdengar
Lok Ceng memekik keras dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini
tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih
berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya.
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti kenapa Lok Ceng
berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai
kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum
dan dengan mata berseri-seri dia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang
masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng,
sehingga Lok Ceng sekarang memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir
di sepanjang hidungnya!
Semua orang
yang merasa lebih heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih
memandang dengan bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan
tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke
arah Lok Ceng.
“He, aku mau
membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.
Barulah
pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.
“Nah, ini
untuk membayar masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti
kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning
ini!” Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar
dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri
seperti patung batu.
Pelayan yang
mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.
“Ehh,
Siocia...,” kata pelayan ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku
dan dia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”
Lili tertawa
geli. “Biarlah, bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk
menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”
“Akan
tetapi... tentu dia akan marah dan... bagaimana kalau dia mati?”
Lili berkata
dengan sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman
kepadanya. Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti
kesehatannya akan pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat
ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota
Lok-yang.
***************
Sesudah
melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan, akhirnya sampailah Lili ke
tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Dia segera
memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya dia serahkan kepada
pelayan untuk dirawat baik-baik.
Tanpa
bertanya pada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah,
oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung
yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika
ia bertanya kepada pelayan, ternyata hotel di mana dia bermalam juga milik dari
Ban Sai Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.
“Nona datang
dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?”
Lili
tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah
Ban Sai Cinjin, maka ia hanya menjawab, “Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong
yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai.”
Pada senja
hari itu juga, diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian
yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari rumah
penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa
musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dahulu pernah dilihatnya
dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun
Tong-sin-bun itu.
Akan tetapi
sebelum menuju ke hutan itu, dia sengaja menyelidiki dahulu gedung besar tempat
tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat
ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba
saja dia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua sedang
berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan cepat.
Lili cepat
bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan
terkejutnya ketika dia melihat pemuda itu. Tidak salah lagi, pemuda itu
tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhu-nya,
Sin-kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut suheng-nya, karena mereka
keduanya pernah menjadi murid Sin-kai Lo Sian.
Lili menjadi
girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat
menahan keinginannya ini sebab teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari
gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali.
Dulu Kam
Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana
sekarang dia dapat keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu?
Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan
lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan
cepat menuju ke hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai
Cinjin.
Bagaimanakah
Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin
dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar
Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili,
pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.
Sesungguhnya,
Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dahulu ketika ditolong
oleh Sin-kai Lo Sian, dia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang
tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi
sebenarnya tidak demikian halnya.
Thio Kam
Seng adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song
Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun
merupakan sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena
kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Si
Pendekar Bodoh Cin Hai.
Pada waktu
hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun
telah meninggalkan seorang gadis yang selama itu dipeliharanya sebagai isteri
tidak sah, dan isterinya ini sudah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun juga
terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka dia
mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang dia dapatkan karena
ketampanannya mau pun yang dia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari
rumah orang tua gadis itu!
Setelah Song
Kun tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin ibu Kam Seng lalu hidup
terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia pun merasa malu, dan
hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka dia masih mempertahankan
hidupnya.
Beberapa
bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang bayi
laki-laki yang dia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat
benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa, maka ia memberi nama
keturunan Thio kepada puteranya ini.
Betapa pun
juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam
Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas
dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!
Kui Lin lalu
hidup berdua dengan puteranya dalam keadaan yang sangat miskin. Mereka
terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, sehingga akhirnya Kui Lin jatuh
sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim
piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik.
Ternyata Kam
Seng memiliki otak yang sangat cerdik, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun
kepadanya. Dia bisa berpura-pura bodoh dan jarang berbicara, padahal segala
sesuatu dia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya mengenai ayahnya yang
terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan dia tidak
dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.
Demikianlah,
sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia tertolong oleh Sin-kai Lo
Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya dia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo
Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.
“Kita harus
mencari suhu-mu,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan
gurumu, kau harus melatih diri baik-baik. Akan kuajarkan ilmu-ilmu silat tinggi
kepadamu agar kelak kau tidak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri
Pendekar Bodoh sekali pun!”
Diam-diam
Kam Seng merasa girang sekali. Telah lama dia menahan-nahan dendamnya ketika ia
mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang
menjadi sumoi-nya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu
ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.
Saking
terharu dan sedihnya karena tak berdaya untuk membalas dendam, dulu dia telah
menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkan ia menangis.
Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supek-nya, dia menjadi girang sekali
dan mulai hari itu dia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati
Mo-kai Nyo Tiang Le.
Bertahun-tahun
Kam Seng pergi merantau ikut dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh
propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Sin-kai Lo
Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka
telah tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang sudah
menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.
Terpaksa
Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sute-nya mendidik Kam Seng yang sebetulnya
menguntungkan pemuda itu, sebab kepandaian Pengemis Iblis ini masih jauh lebih
tinggi dari pada kepandaian Si Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai
Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, selalu berpindah-pindah dari barat ke
timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju
dengan cepat sekali.
Ia telah
mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat
Soan-hong Kun-hoat (Ilmu Silat Kitiran Angin) serta ilmu melepas senjata
rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat
dari Pengemis Iblis ini pun telah dia warisi dengan baik sekali.
“Supek,”
kata Kam Seng pada suatu hari setelah supek-nya itu menyatakan kekesalan
hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak
bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin?
Bagaimana kalau kita pergi mencari Suhu di sana?”
Supek-nya
mengangguk-angguk. “Mungkin dugaanmu ini bisa benar juga. Aku pun telah
mempunyai dugaan demikian.” Dia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat
dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Jangankan Sute, aku
sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui
bagaimana dengan nasib Sute. Mari kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”
Mereka lalu
menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu pada waktu malam.
“Supek,
biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu.”
“Kau
berhati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai
Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di
warung arak.
“Jangan
kuatir, Supek. Tidak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari
Supek.”
Pemuda ini
lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Dia melihat
kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang sangat
mewah dan besar. Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain
sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, Kam Seng menghela
napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri.
Semenjak ia
pergi ikut dengan supek-nya belum pernah dia berpakaian baik. Pakaiannya
tambal-tambalan dan kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau saja
dia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supek-nya tentu
melarangnya, dan ia pun merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supek-nya
berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!
Kam Seng
menunggu sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena dia tidak melihat
seorang pun keluar dari kelenteng itu, dia kemudian memberanikan diri dan
menghampiri kelenteng itu. Dengan ginkang-nya yang sudah terlatih baik, dia
lalu melompat ke atas genteng dengan mudahnya. Dari atas genteng ia melihat
bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan
amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan ginkang-nya supaya
genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.
Ketika dia
mengintai ke bawah, dia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam
ruangan itu. Dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Bouw Hun Ti dan Ban
Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih
nampak hitam, demikian pula jenggotnya.
Kam Seng
merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu
menyebut suheng (kakak seperguruan) pada tosu ini. Sungguh mengherankan sekali
bahwa seorang yang usianya lebih tua dari pada Ban Sai Cinjin masih nampak
segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka
lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.
“Memang
Pendekar Bodoh lihai sekali,” dia kemudian mendengar tosu itu berkata sambil
menganggukkan kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi
pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan
pengertian tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau dia
dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi
pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan amat
berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga apa bila menghadapi Pendekar Bodoh,
belum tentu pinto tak akan dapat merobohkannya!”
“Supek
berkata benar,” Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimana pun juga, Pendekar
Bodoh bukan tak dapat dilawan! Pernah juga teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh
masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw
yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara
itu. Kalau kepandaian Suhu saja telah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko
sebab berasal dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak mampu
menundukkan Pendekar Bodoh!”
Ketika Ban
Sai Cinjin menyedot huncwe-nya dan hendak menjawab, tiba-tiba saja tosu itu
menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata
halus, “Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”
Bukan main
kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan
penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini
yang begitu lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tak sekali-kali
boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya bila mana dia bisa berkawan dengan
mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!
Telah
berkali-kali supek-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa ilmu kepandaian
Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pengemis
Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar
pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu
yang menjadi suheng kakek ber-huncwe itu demikian tingginya, dia mendapat
sebuah pikiran yang baik sekali.
Mendengar
ucapan tosu itu, semakin yakinlah dia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali,
maka ia lalu menjawab, “Maafkan teecu yang muda telah berlaku lancang!”
Sesudah
berkata demikian, dia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan
gerakan In-liong San-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah
dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruangan itu
memandang dengan kagum.
Melihat
seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin
lalu melangkah maju, dan bertanya, “Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau
melakukan pengintaian di kelentengku?”
Kam Seng
menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia
berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,
“Tadi teecu
mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena
ada permusuhan pribadi antara teecu dengan Pendekar Bodoh, maka hati teecu
tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu
maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang mampu
mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, maka teecu akan menghambakan diri
menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman
di sini. Jika Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah
harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!”
Kata-kata
ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan dia melompat ke depan, cepat
mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,
“Macammu
hendak menantang Supek?”
Pukulan
tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam
pukulan itu cukup untuk dapat menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa
ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari
Sin-kai Lo Sian, maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.
Akan tetapi,
Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi seluruh
kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le sehingga kepandaiannya sekarang mungkin telah
lebih tinggi dari pada Sin-kai Lo Sian! Dia maklum bahwa dalam hal tenaga
lweekang tidak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu
mempergunakan kecerdikannya.
Dengan
lengan kanan, dia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan,
sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke
depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).
Bouw Hun Ti
merasa terkejut sekali sebab sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu
pukulan lawan itu mendatangkan angin yang sangat hebat dan berbahaya sehingga
terpaksa dia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Pada saat
pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke
belakang!
“Bagus...!”
kata tosu itu yang sesungguhnya merupakan suheng dari Ban Sai Cinjin yang
bernama Wi Kong Siansu.
Wi Kong
Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan adalah seorang
pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa).
Oleh karena merasa khawatir menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, Ban Sai
Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suheng-nya itu yang
ternyata kemudian berhasil dengan baik.
Melihat
pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi
tertarik dan dia lalu berdiri dari bangkunya.
“Bouw Hun
Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia lalu melangkah maju untuk
menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang
kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau
sampai bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”
Semenjak
dulu, Kam Seng tidak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapa pun
juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada di antara orang-orang
yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tak merasa ragu-ragu lagi untuk
memberi tahukan nama ayahnya, bahkan dia pun merubah pula she-nya yang biasanya
Thio itu menjadi Song.
“Teecu
bernama Kam Seng, she Song, dulu Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar
Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”
Mendengar
disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin lalu saling pandang
dengan terkejut sekali. “Apa?! Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang
berjuluk Ang-ho Sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.
“Entahlah,
karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari
ibuku yang sekarang sudah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu
ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh
Pendekar Bodoh!”
“Benar,
benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh.
Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu, anak
muda!”
Kam Seng
memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia
mempunyai maksud tertentu. Dia telah maklum sampai di mana tingkat
kepandaiannya, apa bila diukur dengan kepandaian supek-nya Nyo Tiang Le. Walau
pun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supek-nya itu, namun dari
latihan-latihan dengan supek-nya dia dapat menaksir bahwa supek-nya itu tidak
mungkin akan sanggup merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka
ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena
kalau hal ini memang dapat terjadi, dia tidak ragu-ragu lagi dengan kepandaian
tosu ini dan tidak ragu-ragu pula untuk mengkhianati supek-nya!
Setelah tosu
itu melangkah maju menghadapinya, tanpa sheji (sungkan) lagi Kam Seng segera
menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat yang paling lihai. Dia hendak
mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk
dapat menyerangnya. Kalau saja dia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh
jurus, biar pun tidak dapat merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena
dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!
Wi Kong
Siansu agaknya maklum akan isi pikirannya ini, maka sambil tersenyum kakek yang
amat lihai ini tidak mau memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang
dengan susulan lainnya. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan sudah dekat
dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu, ia
lalu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu
meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment