Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 03
LILI
memiliki ketenangan ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat sinar golok menyambar
ke arah kepalanya, dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah lantas
bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi, Bouw Hun Ti yang merasa penasaran
terus mengejarnya setelah menangkis serangan Lo Sian yang menyerangnya dari
samping dalam usahanya menolong muridnya.
Lili
bergulingan terus sampai tiba-tiba dia merasakan bahwa tubuhnya berguling ke
atas pangkuan seorang yang duduk di bawah pohon dekat situ. Dia memandang dan
ternyata bahwa ia telah berada di atas pangkuan seorang pengemis yang tinggi
kurus dan berbaju penuh tambalan dan buruk sekali.
Melihat
betapa anak itu kini berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti
melanjutkan serangannya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru keras dan goloknya
terpental hampir terlepas dari pegangan pada waktu golok itu telah mendekati
tubuh Lili. Ternyata bahwa pengemis jembel itu telah mengangkat tongkatnya dan
menangkis golok itu!
“Hemm,
manusia kejam! Apakah kau masih mau menjual lagak di hadapan Mo-kai Nyo Tiang
Le?”
Bouw Hun Ti
makin terkejut karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat
lihai! Tadi ketika menghadapi Lo Sian, walau pun dia yakin akan bisa
mendapatkan kemenangan, akan tetapi kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat
sehingga ia tak mungkin menjatuhkannya dalam waktu pendek. Apa lagi sekarang ditambah
pula dengan seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja
sudah menunjukkan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi!
Bagaimana
sebatang tongkat bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang
digerakkan dengan tenaga luar biasa? Bouw Hun Ti menjadi gentar juga kemudian
dengan marah sekali ia lalu melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan
gurunya untuk minta pertolongan dan bantuan.
Lo Sian yang
baru dapat mengenali pengemis itu, cepat-cepat menghampiri dan berseru girang.
“Suheng! Kau di sini?”
“Sute, dari
mana kau mendapatkan anak ini?” Mo-kai Nyo Tiang Le balas bertanya tanpa
menjawab pertanyaan adik seperguruannya.
Mendengar
pertanyaan ini, barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang sudah
melarikan diri. Ia menghela napas dan berkata,
“Sayang
sekali Suheng. Orang yang dapat menjawab pertanyaanmu itu sudah melarikan diri.
Aku sendiri tidak tahu siapa sebetulnya anak ini.” Ia lalu menuturkan
pengalamannya pada waktu merampas Lili dari tangan Bouw Hun Ti, kemudian
menuturkan pula tentang pengalamannya menolong Thio Kam Seng.
Si Pengemis
Setan itu tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia segera
memandang kepada Lili yang kini sudah berdiri, lalu berkata kepadanya, “Hemm,
anak nakal! Kau tidak mau menceritakan siapa ayah ibumu? Ha-ha-ha, tak perlu
kau bercerita lagi! Aku sudah tahu, siapa ayahmu! Dia adalah seorang maling,
seorang tukang colong ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku!
Ha-ha-ha!”
Bukan main
marahnya hati Lili mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak dengan
kepala dikedikkan, dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar
seakan-akan mengeluarkan cahaya api. Kalau ada orang yang telah mengenal
ibunya, dan melihat Lili bersikap seperti itu, tentulah akan mengatakan bahwa
anak perempuan ini persis sekali seperti ibunya kalau sedang marah.
“Kau... kau
berani menghina ayahku? Jika Ayah mendengar hal ini, biar pun kau berada di
ujung dunia, Ayah pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayahku adalah seorang
gagah perkasa tanpa tandingan! Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dapat
dia patahkan batang lehernya dengan mudah!” Lili betul-betul marah bukan main
mendengar ayahnya disebut tukang colong ayam!
Kembali
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya dia geli sekali sehingga sambil
tertawa dia meraba-raba perutnya. “Ha-ha-ha-ha! Pandai sekali kau menutupi
keadaan ayahmu! Ha-ha-ha, ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang dia bisa
mematahkan batang leher, akan tetapi hanyalah batang leher ayam. Tentu saja dia
kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha-ha-ha!”
“Orang tua
kurang ajar!” Lili semakin marah hingga ia membanting-banting kakinya yang
kecil.
Dia lupa
bahwa suhu-nya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Namun, jangankan baru
supek-nya yang baru dikenal sekarang, walau pun siapa juga tidak boleh menghina
ayahnya!
“Hati-hatilah
kau! Beritahukan siapa namamu supaya dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti
akan dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah...” tiba-tiba
Lili terhenti karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang
tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhu-nya.
“...bahwa
ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam...!” Pengemis tua itu langsung
melanjutkan kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.
“Bukan!”
Lili menggigit bibirnya dengan hati gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku
adalah Sie Cin Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang
terkenal gagah perkasa! Siapa yang tidak kenal kepada ayah ibuku yang menjadi
murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?”
Sambil
berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga
kepada gurunya. Ia merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa
pengemis itu yang tadinya tengah tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo,
ada pun suhu-nya sendiri pun memandangnya dengan mata terbelalak heran!
Lo Sian lalu
mengelus-elus kepala Lili dan berkata, “Ah, anak baik, kenapa tidak dulu-dulu
kau katakan kepadaku? Jika aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang
tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhu-mu dan
Supek-mu ini masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!”
“Akan tetapi,
mengapa Supek tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”
Nyo Tiang Le
tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum. “Lili, Supek-mu tadi hanya
bergurau. Pada waktu ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak
tahu bahwa ayahmu adalah Sie Taihiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini,
apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?”
Lili memang
cerdik. Kini ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia
berkata kepada Nyo Tiang Le, “Supek sudah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek
tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!”
Suara tawa
Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras. “Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh
pencuri ayam? Apa bila ada orang yang mengatakan demikian di depanku, mulut
orang itu tentu akan kuhajar dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak
manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar
yang gagah perkasa!”
Berserilah
wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.
“Suheng,
kalau begitu, aku hendak mengantarkan anak ini pulang kepada Sie Taihiap di
Shaning.”
Nyo Tiang Le
menggelengkan kepalanya. “Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu telah dapat menduga
siapa adanya orang brewok tadi?”
Lo Sian
menggelengkan kepalanya. “Sungguh pun ilmu silatnya sangat lihai dan gerakan
goloknya mengingatkan aku akan ilmu kepandaian golok milik Ban Sai Cinjin, akan
tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu.”
“Dia adalah
murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki. Apakah kau masih ingat pada
Balutin yang dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak
kerusakan!”
Lo Sian
mengangguk karena dahulu ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira
yang amat tangguh itu.
“Nah, orang
tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan dia amat lihai,
apa lagi setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa dia
menculik anak Pendekar Bodoh ini, akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia
melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini
berbahaya sekali.”
Lo Sian
menundukkan kepalanya karena dia juga maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih
lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi
keselamatan Lili dengan baik.
“Habis,
bagaimana baiknya, Suheng?”
“Aku sedang
dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san.
Biarlah kubawa kedua anak ini bersamaku ke sana. Kau pergilah seorang diri
mencari Pendekar Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya sudah selamat dan
sedang bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong.
Sedangkan dulu aku pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang
sudah selayaknyalah apa bila aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona
kecil, kau tentu mau ikut dengan aku, bukan?”
Lili
memandang kepada suhu-nya dan berkata, “Suhu, teecu memang tidak mau pulang.
Teecu baru mau pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, bila
selamanya teecu harus ikut Supek, teecu tidak suka.”
“Mengapa
begitu, Lili?” tanya Lo Sian sambil tersenyum.
“Supek
seorang pengemis!”
“Hussh!”
kata Lo Sian mencela. “Aku pun seorang pengemis!”
“Benar, akan
tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu adalah pengemis bersih, akan tetapi Supek...”
“Hussh,
Lili!” Menegur suhu-nya.
Akan tetapi
Mo-kai Nyo Tiang Le bahkan tertawa geli dan berkata, “Biarlah, Sute. Sudah
sewajarnya apa bila seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan.
He, Lili anak nakal, kau lihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan
menjijikkan?”
Dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan
tahu-tahu jubah luarnya yang butut itu telah terlepas sehingga Lili dan juga
Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang dengan mata terbelalak heran.
Setelah
jubah butut kotor dan penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak
bersih dan gagah sekali. Tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari
sutera halus, sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Dan sikap
pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa
bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak kereng sekali!
“Bagaimana,
apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supek-mu?” tanya Nyo Tiang Le dengan
suara kereng.
Lili merasa
heran dan tertegun sehingga dia memandang dengan mata tak berkedip, lalu
menggelengkan kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu kemudian mengenakan kembali
pakaian bututnya dan wajahnya kembali berseri-seri. Kini Lili baru merasa lega,
karena sebenarnya hatinya lebih enak dan senang menghadapi pengemis tua yang
berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini dari pada menghadapinya dalam
pakaian gagah dan sikap kereng tadi!
“Kenapa
pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?”
kini ia berani membuka mulut bertanya.
Nyo Tiang Le
tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai
di sebelah dalam.
“Ha-ha-ha,
anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah
dan mahal, memakai baju kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah
pakaian yang indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, seperti
sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi apa
bila dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang
sebaliknya, dari luar tampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih!
Ha-ha-ha!”
Lili tidak
percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah
perkasa dan yang terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua
ujar-ujar kuno. Telah sering kali ayahnya memberi pelajaran budi pekertie
padanya dan sering kali pula dia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno
mengenai filsafat hidup. Dan kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le itu, anak yang
berotak tajam ini dapat menangkap maksudnya, maka dia lalu membantah,
“Supek,
betapa pun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya
saja, akan tetapi luar dalam! Biar pun isinya sama bersih dan sama enak, kalau
disuruh memilih, aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih dari pada
yang kulitnya kotor!”
Kembali
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Benar benar! Kau memang seorang
perempuan, sudah seharusnya tahu merghargai keindahan, luar mau pun dalam!”
Demikianlah,
sesudah memesan kepada Lili dan Kam Seng supaya patuh kepada supek mereka, dan
memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo
Sian lalu meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di
Shaning dan mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.
Nyo Tiang Le
juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san.
Pengemis Setan ini sungguh pun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apa
bila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi,
juga usianya berbeda jauh sekali. Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun,
akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Bahkan
kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka
hanya memberi pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian
Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat kepandaian
empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma
Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang kini menjadi guru dari Sie Hong Beng
putera Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh
dan isterinya, dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan
senjatanya kipas maut itu! Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le
telah kenal baik, bahkan dia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang
terkenal paling lihai di antara para tokoh besar itu.
Mo-kai Nyo
Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka
melihat murid sute-nya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil
keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki
bakat yang baik sekali. Dia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu
dengan Pok Pok Sianjin, seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia persilatan
masih hidup.
Thio Kam
Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat
karunia besar dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang saat ia bertemu
dengan Lo Sian, karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam
tangan orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti
Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut
pula mendapat latihan ilmu silat tinggi.
Mari
sekarang kita mengikuti perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah
mereka di Shaning untuk pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.
Semenjak
Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa
meninggal dunia pada dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan
isterinya mengunjungi Tiang-an.
Maka setelah
mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang
tembok kota itu dengan pikiran yang penuh kenangan masa lampau. Bagi Lin Lin,
kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota
di mana dia pernah mengalami banyak sekali penderitaan hidup pada waktu dia
masih kecil.
Mereka
memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung
besar dan kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu
ayah Kwee An dan Kwee Lin. Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat
sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka
saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.
“Enci Ma
Hoa, sekarang kau makin gemuk dan makin cantik saja!” Lin Lin berkata sambil
memandang kepada soso (kakak iparnya) itu. Oleh karena sudah terbiasa sejak
belum menikah dulu, Lin Lin tidak menyebut soso pada iparnya ini, akan tetapi
masih menyebut enci.
“Lin Lin,
kaulah yang semakin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat?
Terlalu lelahkah kau dalam perjalananmu ke sini?”
Cin Hai dan
Kwee An yang saling berpegang tangan dengan perasaan gembira itu juga
mengucapkan kata-kata ramah tamah.
“Ahhh, kami
mendapat kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya
untuk menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”
Pucatlah
wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.
“Apa...?!”
Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orang yang
demikian berani mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya,
akan kuhancurkan kepalanya!” Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita
ini dan sepasang matanya berkilat.
Kwee An juga
marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar
dari pada isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,
“Ahh,
bagaimana bisa terjadi hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan
ceritakanlah hal itu sejelasnya.”
Suara yang
lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh
perasaan Lin Lin dari pada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan
hati marah. Tak terasa lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata
yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya lantas mengalir turun ke atas
pipinya. Sambil menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan
menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai
dan Ma Hoa.
Setelah
mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin sudah dapat menekan perasaan gelisah dan
sedihnya, maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai mengenai penculikan terhadap
Lili, dan juga tentang terbunuhnya Yousuf. Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula
dalam keadaan yang sangat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal
kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan
dengan tangan terkepal ia berkata keras,
“Lin Lin,
kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum
menusuk mata jahanam itu dengan senjataku!”
Juga Kwee An
merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin
Hai bahwa menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah
seorang Turki, Kwee An berkata,
“Tidak
mungkin salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki
yang semenjak dahulu memusuhi Yo-pekhu!”
“Kami pun
menduga demikian,” kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke
barat, hendak mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu di mana banyak
terdapat orang-orang Turki baik pengikut Pangeran Muda mau pun pengikut
Pangeran Tua.”
“Betul
sekali,” kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepala. “Di sana banyak terdapat
kawan-kawan baik dari Yo-pekhu, dan kurasa dari mereka ini kau akan bisa
mendapatkan keterangan.”
“Aku ingin
sekali ikut pergi,” tiba-tiba saja Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku
menghajar penculik Lili!”
Kwee An
memandang kepada isterinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata, “Dalam
keadaanmu sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”
Ma Hoa
membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah. Lin Lin
mengerti akan maksud ucapan itu, maka dia merangkul Ma Hoa sambil berkata,
“Enci yang baik! Sudah berapa bulankah?”
Makin
merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata, “Dua...”
Cin Hai sama
sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa,
maka ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan
pandangan mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin
tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu
tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandangan mata
seperti itulah yang lalu membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!
“Eh, eh,
kalian mengapakah?” Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa,
oleh karena memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih dia bisa
tertawa gembira, sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!
“Jangan
tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.
Akhirnya
bisa juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Ma Hoa kini dalam
keadaan mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, dia
diam saja.
Dua pasang
suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.
“Eh, sampai
lupa aku! Mana si cantik Goat Lan? Kenapa semenjak tadi aku tidak melihat dia?”
kata Lin Lin.
“Ah, dia
telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”
“Dibawa? Apa
maksudmu? Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.
“Goat Lan
telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke
Liong-ki-san untuk dilatih ilmu silat.”
Cin Hai dan
Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa
menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil
Ban-hok-tong.
“Enci Hoa,”
kata Lin Lin yang mendadak teringat akan sesuatu, “aku sudah mengadakan
pembicaraan dengan suamiku mengenai anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud
kami, yaitu tentang anakmu dan anak kami Hong Beng.”
Wajah Ma Hoa
berseri. “Ahh, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”
Lin Lin lalu
menceritakan bahwa Hong Beng sudah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima
latihan ilmu silat.
“Kiranya
tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu.
Bagaimana kalau kita resmikan pertunangan itu sekarang?”
Kwee An
tertawa. “Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana pertunangan
mereka harus diresmikan?”
“Maksudku,
pertunangan ini disahkan di antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu
menerima pinanganku, bukan?” menegaskan Lin Lin.
“Lin Lin,
kau masih saja tidak sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah
kita bicarakan hal ini dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali
dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera
kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?”
Demikianlah,
di antara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan
Goat Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili.
Cin Hai yang pendiam tidak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak
tega untuk mengingatkan isterinya mengenai hal yang tidak menyenangkan ini,
maka dia diam saja.
Sesudah
mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak
tertua dari Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai
segera melanjutkan perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam
saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantarkan mereka sampai di luar
batas kota dan mereka lalu berpisah.
Cin Hai dan
Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan sesudah berpisah dari Ma
Hoa, seluruh perhatian Lin Lin kembali tercurah kepada puterinya dan timbul
lagi kegelisahannya. Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian
setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan
menuju ke kota Lancouw. Pada sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala
pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau pada
waktu mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.
Cin Hai dan
Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki di mana dahulu Yousuf tinggal.
Orang-orang Turki yang tinggal di sana ternyata masih ingat kepada mereka,
karena pada saat mereka masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang
sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan
mengenai keadaan Yousuf.
Ketika
mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat
menyedihkan, dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka
sedihlah hati mereka.
“Bouw Hun
Ti!” seru seorang di antara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun
Ti si anjing pengkhianat yang melakukan hal itu.”
Cin Hai dan
Lin Lin segera mendesak orang tua itu.
“Sahabat,”
kata Cin Hai, “sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain
maksud kami hanyalah hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk
menduga siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah berani
menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar disebutnya nama Bouw Hun Ti,
siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dialah yang
melakukan perbuatan itu?”
Orang Turki
tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka
dia lalu menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar
bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa
ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat
kejam dan berkepandaian tinggi.
Cin Hai dan
Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk menunggu di Lancouw, menghadang
perjalanan Bouw Hun Ti yang tentunya akan pulang ke Turki dengan membawa Lili
yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti
sampai saat itu belum kembali dari timur.
Akan tetapi,
setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu
datang, Cin Hai dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah bukan main. Betapa pun
lambat musuh itu melakukan perjalanan, tidak mungkin akan makan waktu selama
itu. Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur,
mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu.
Kepada
orang-orang Turki yang ada di situ mereka minta tolong agar supaya
mengamat-amati, jika melihat Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, agar
berusaha merampas anak perempuan itu. Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin
Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan yang
diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka
bersedia untuk membantu suami isteri itu dan menolong Lili.
Mereka
maklum bahwa di antara mereka tidak seorang pun dapat melawan Bouw Hun Ti yang
lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan dapat
menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada
suami isteri itu.
Maka
berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguh pun mereka merasa
kecewa dan gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegembiraan karena sudah
mengetahui nama dan keadaan musuh besar mereka.
Kini mereka
kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke
Lancouw, yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah
timur, di sepanjang perbatasan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan
hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang
belajar ilmu silat di situ.
***************
Mo-kai Nyo
Tiang Le bersama dua orang anak-anak murid sute-nya, yakni Lili dan Kam Seng,
sampai di Gunung Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang
anak-anak itu mendaki bukit yang indah sambil menikmati pemandangan alam yang
luar biasa mengagumkan.
Setelah
jatuh ke tangan orang-orang yang bisa ia percaya, Kam Seng kini timbul kembali
sifat-sifat aslinya, yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka
kepada kawan ini dan ketika mendaki bukit yang indah itu, Lili dan Kam Seng
mendahului supek mereka sebab Pengemis Setan ini sebentar-sebentar berhenti
untuk menikmati keindahan pemandangan alam.
Lili dan Kam
Seng sudah diberi tahu oleh supek ini bahwa tujuan mereka adalah puncak bukit
di sebelah utara itu. Maka mereka tidak sabar menunggu supek mereka yang dapat
berdiri diam bagaikan patung sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.
“Supek
benar-benar aneh,” kata Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia
harus mengikuti Lili yang gerakannya lebih gesit dan sangat cepat itu, “apakah
indahnya pohon-pohon dan rumput di bawah gunung?”
Lili hanya
tersenyum sambil berkata, “Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang
merah yang indah!”
Dia lalu
melompat ke depan dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng
tak bisa menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah akibat telah mendaki
bukit itu mencoba untuk mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,
“Supek aneh,
Lili juga aneh. Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?”
Memang, Kam
Seng yang sejak kecil selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh
tak acuh, hingga tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang.
Matanya telah terlampau banyak melihat hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan
putus harapan, bahkan dulu ketika ia menderita kelaparan dan kesengsaraan,
segala sesuatu yang betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.
Karena Lili
berhenti dan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu, maka
Kam Seng dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang
bukan main. Kedua pipinya bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia
memetik beberapa tangkai bunga yang terindah, diikat menjadi satu kemudian
dibawanya dengan hati-hati dan penuh rasa sayang.
Pada saat
itu dari sebuah lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang sangat
gesit gerakannya. Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya
hitam tebal, kelihatan jelas kulit mukanya yang putih kemerahan. Rambutnya juga
tebal dan hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning. Tubuhnya
tegap hingga nampak telah hampir dewasa, biar pun usianya sebenarnya baru
sebelas tahun kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa dia
mempunyai watak yang jujur.
Anak
laki-laki ini berlari turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat ada
dua orang anak yang berada di taman bunga itu dan melihat pula seorang anak
perempuan memetiki kembang yang menjadi kesayangan gurunya, maka dia menjadi
marah sekali.
“Hai! Jangan
sembarangan memetik dan merusak kembang!” tegurnya dari jauh sambil berlari
cepat menghampiri Lili dan Kam Seng.
Lili dan Kam
Seng terkejut, lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa jika
taman bunga ini kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah.
Akan tetapi Lili yang berwatak keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu
saja. Ia memutar tubuh menanti kedatangan anak laki-laki itu dan berteriak,
“Turunlah!
Apa kau kira aku takut padamu? Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik,
mengapa kau bilang merusak?”
Anak
laki-laki yang berlari turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada
lebih dekat, berubah menjadi girang sekali dan seketika itu juga lenyaplah
kemarahannya.
“Lili...!”
serunya girang dan dia mempercepat larinya.
Lili
tertegun mendengar suara ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senja
kala telah mulai tiba dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara
panggilan itu, dia jadi tertegun dan akhirnya berlari menyambut anak laki-laki
itu sambil berseru, “Hong Beng...!”
Memang
semenjak kecil Lili menyebut kakaknya dengan memanggil namanya begitu saja
tanpa diberi tambahan kakak atau engko. Biar pun berkali-kali ayah-bundanya
menyuruh dia menyebut Hong Beng kakak, akan tetapi anak yang bandel ini tetap
saja tak pernah mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya Hong Beng saja!
Segera kedua
orang anak itu berhadapan dan dengan girang. Hong Beng memegang kedua tangan
adiknya.
“Lili...
dengan siapa kau datang? Mana Ayah dan Ibu? Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil)
itu?”
“Aku datang
bersama Supek. Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam
Seng, anak yatim piatu yang diambil murid oleh Suhu.”
Hong Beng
tercengang mendengar keterangan singkat ini. “Ehh, siapakah Supek-mu dan siapa
pula Suhu-mu? Mengapa kau meninggalkan rumah?”
Memang
seperti telah dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke
puncak Beng-san untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu
tinggi yang menjadi tokoh besar di barat. Pada waktu dia pergi, adiknya berada
di rumah dan tidak mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri, adiknya pun
belajar silat dari ayah dan ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu
mempunyai seorang suhu dan supek dan meninggalkan rumah?
Lili hendak
menuturkan pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling
yang amat nyaring dari atas puncak.
“Ah, Suhu
sedang berlatih. Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam
Seng. Oya, mana itu Supek-mu yang kau katakan datang bersamamu?”
“Supek
sedang tergila-gila kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang.”
Lili menerangkan sambil tertawa. Dia telah memungut kembangnya kembali dan
memegang kembang itu dengan rasa sayang.
Akan tetapi
Hong Beng meminta kembang itu dan berkata, “Lili, Suhu akan marah kalau melihat
kembangnya dipetik orang.”
“Mengapa?”
tanya Lili dengan heran.
“Menurut
penuturan Suhu, kembang juga memiliki semangat seperti orang, maka memetik
kembang yang sedang mekar berarti sama dengan membunuh orang muda seperti
kita!”
Lili
memandang kakaknya dengan mata terbelalak penuh rasa sesal. Akan tetapi sambil
tertawa Hong Beng lalu menggandeng tangannya, kemudian mengajaknya berlari naik
ke puncak dari mana terdengar suara tiupan suling yang aneh itu.
“Hayo, Kam
Seng. Larilah yang cepat!” ajak Lili sambil menoleh ke belakang.
Dan merahlah
muka Kam Seng karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar
itu? Terpaksa ia menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti
mereka, akan tetapi dia tetap tertinggal jauh.
Setelah
suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng
menahan langkah kakinya dan berkata, “Ahh, orang yang tidak tahu diri itu
datang lagi rupanya!”
Lili tidak
sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat
menuju ke puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk
telinga itu.
Ketika
mereka tiba di tempat itu, Lili memandang ke depan dengan penuh keheranan. Di
atas tanah yang rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.
Yang satu
adalah seorang kakek berambut serta berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil
meniup suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang
bergerak menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.
Dengan kedua
tangan Lili menutup telinganya karena suara suling yang amat nyaring itu
benar-benar membuat telinganya terasa sakit. Ada pun Kam Seng yang datang
sambil terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan
melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah
dua orang yang sedang bertempur itu.
Kakek tua
itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang kelihatannya sangat aneh.
Sungguh pun kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari
sulingnya terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu sangat nyaring dan
seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan.
Buktinya,
sungguh pun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh
kepandaiannya untuk memukul atau menendang, akan tetapi dia selalu terpental
kembali sebelum dapat menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari
tiupan suling itu mengandung tenaga lweekang dan khikang yang membuatnya
tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!
“Orang itu
adalah seorang jago silat yang mahir ilmu silat Pek-eng Kun-hoat (Ilmu Silat
Garuda Putih). Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat)
dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia
datang kembali, benar-benar orang tak tahu diri!”

Baru saja
Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan
tahu-tahu tubuh orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang,
jatuh bergulingan. Akan tetapi dia cepat melompat bangun kembali dan memandang
ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai
Nyo Tiang Le yang entah kapan sudah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili
merasa heran karena tadi supek-nya tertinggal di belakang, mengapa sekarang
telah mendahuluinya berada di tempat itu?
Orang yang
terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan
berkata, “Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran darimu, lain
kali pasti bertemu pula!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat jauh dan
menghilang di bawah gunung!
Nyo Tiang Le
bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.
“Mo-kai, kau
masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin)
telah membuat dia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”
Tadi Nyo
Tiang Le memang sudah melancarkan dorongan dari jauh, dan hanya dengan angin
pukulannya saja telah berhasil mendorong orang tadi hingga roboh, sungguh dapat
dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan
berkata sambil menghela napas,
“Pok Pok
Sianjin, kenapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia
adalah sute dari Ban Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi, karena itu aku
berani mendorongnya agar dia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”
Pok Pok
Sianjin mengangguk-angguk, “Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin
dan namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia
merengek-rengek dan mendesak untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya,
akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia
datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega maka terpaksa melayaninya
bermain-main sebentar.”
Nyo Tiang Le
kembali tertawa, kini makin keras. “Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar
keterlaluan! Kau bilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan
Seng-im-khikang. Kalau aku tidak buru-buru mendorongnya roboh dengan
Soan-hong-jiu, apakah dia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam
tubuhnya akibat kena serangan hawa dari sulingmu? Ha-ha-ha!”
Pok Pok
Sianjin juga tertawa. “Apa kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan
Seng-im Khikang setelah yakin bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi itu! Ehh,
Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama aku merasa rindu padamu, apakah kau
datang hendak menantangku main catur?”
Mo-kai Nyo
Tiang Le tertawa bergelak. “Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut akan
kepandaian caturmu?”
Pada saat
itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di hadapan Pok
Pok Sianjin. “Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”
Pok Pok
Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata,
“Seperti ibunya... seperti ibunya...!”
Sementara
itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata, “Inikah putera
Pendekar Bodoh? Pantas sekali! Jadi kau orang tua sudah menerima kehormatan
untuk mendidik putera Pendekar Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung
sekali Pok Pok Sianjin!”
Mendengar
ini, Hong Beng cepat membantah, “Bukan Suhu yang mendapat kehormatan besar dan
keberuntungan, Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia
besar!”
Nyo Tiang Le
mengangkat alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang. “Anak ini
pandai membawa diri seperti ayahnya!”
Pengemis
Setan itu menuturkan kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan
sute-nya Lo Sian dan menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw
Hun Ti. “Kini sute-ku sedang menuju ke timur untuk memberi kabar kepada
Pendekar Bodoh. Sementara itu, aku akan menanti di sini dan melatih anak ini,
sambil menanti datangnya orang tuanya yang tentu akan menjemputnya.”
Bukan main
girangnya hati Hong Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di sana untuk
beberapa lama dan ayah ibunya akan datang pula ke sana. Ketika Nyo Tiang Le
menceritakan pula mengenai riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan
juga. “Biar pun bakatnya kurang, namun ia cocok menjadi murid Sute-ku,” kata
Nyo Tiang Le.
Kemudian dua
orang tua itu lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng
bersama Lili dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu. Kam
Seng merasa kagum dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi
juga amat ramah kepadanya.
Sejak hari
itu juga, Lili tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari
Nyo Tiang Le. Dasar otaknya terang dan dia memang sudah memiliki dasar
kepandaian yang diajarkan oleh ayah ibunya semenjak dia masih kecil, maka
sebentar saja dia telah mendapat kemajuan yang amat cepat.
Juga Kam
Seng mulai menerima latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena
Nyo Tiang Le hanya memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim
piatu itu berlatih di bawah pengawasan Hong Beng dan Lili!
Hong Beng
sendiri dengan amat tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok
Sianjin, terutama sekali ilmu silat tongkat yang sudah menjadi keahlian Pok Pok
Sianjin dan sudah menjunjung tinggi namanya sebagai ahli silat kelas satu dan
tokoh terbesar dari dunia persilatan sebelah barat!
Oleh karena
mendapat didikan ilmu silat dari seorang ahli, dan pula karena kini tinggal
bersama kakaknya, Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang ditunggu-tunggu
ternyata belum juga datang, biar pun dia telah berada di atas puncak Beng-san
sampai berbulan lamanya!
Kenapa
sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san,
padahal sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, pasangan suami isteri
pendekar ini dalam perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dulu dan
menengok putera mereka di puncak bukit itu?
Sesungguhnya,
Pendekar Bodoh dan isterinya sudah menemui peristiwa yang hebat dan yang
membuat mereka belum juga tiba di Beng-san.
***************
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan
dari orang-orang Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan
mereka, tidak salah lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang
peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke
timur, mengambil jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu
dengan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di
Beng-san dan menengok putera mereka yang berlatih silat di bawah pimpinan Pok
Pok Sianjin.
Puncak
Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang, maka bila mereka
mengambil jalan di utara, mereka akan melewati Lu-liang-san.
Pada suatu
hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di
tapal batas Mongolia Dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang saat itu belum
begitu besar airnya. Kota Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini di samping
melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka
bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu. Akan tetapi, tidak
ada seorang pun melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu.
Karena itu
dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak
melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san melalui Sungai
Huang-ho. Tetapi, baru saja mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu
dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan bertemu di situ.
Mereka
sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah
timur kota, dan mendadak dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki
berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka. Lin Lin
memandang tajam, karena dari belakang dia serasa sudah mengenal orang itu, akan
tetapi baru saja dia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah
mendahuluinya dan berseru girang, “Lie-suheng…!”
Laki-laki
itu terkejut mendengar seruan ini, lantas segera menghentikan tindakan kakinya
dan cepat membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguh pun
ia masih kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus
sedangkan jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan,
bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.
Akan tetapi
ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan
Cin Hai beserta isterinya yang cepat berlari menghampiri orang itu hanya
melihat betapa kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera
menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan
yang luar biasa besarnya.
“Sie-sute,
kaukah ini? Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?”
Suaranya rata dan tidak berirama, tanda bahwa dia sedang menderita kesedihan
besar sekali.
Cin Hai
segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat. “Lie-suheng, kau
kenapakah?”
“Lie-suheng,
agaknya kau amat bersedih. Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.
Orang itu
memandang kepada mereka ganti berganti, kemudian tiba-tiba dari sepasang
matanya keluarlah air mata yang lalu membanjir turun membasahi kedua pipinya.
Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai
segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan
segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang
menyusahkan hatinya.
Siapakah
orang ini? Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih
ingat bahwa orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun
Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong
Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin.
Dalam cerita
Pendekar Bodoh dikisahkan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang
pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau
lebih terkenal lagi dengan nama julukannya, Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie
Kong Sian tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to
yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur.
Sejak Lie
Kong Sian bersama isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk datang
menyaksikan upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, hingga kini baru
sekali mereka saling bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang
lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi semenjak itu,
mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin
mengunjungi Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua
anak mereka, pulau itu ternyata kosong dan tidak diketahui ke mana perginya Lie
Kong Sian dan isterinya.
Supaya lebih
jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya
diterangkan kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa
cantiknya, dan boleh disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari
kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan
Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda bagaii seorang dara
berusia tujuh belas tahun saja.
Hal ini
bukan saja memang pada dasarnya dia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar
adalah karena pengaruh semacam telur mukjijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali
Putih). Nona Baju Merah ini sangat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga
ini dia tidak segan-segan untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat
sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik
dan muda selalu.
Kecantikannya
ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu
sliat yang disebut juga Ilmu Silat Tarian Bidadari, sehingga kalau ia sudah
mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan
seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya!
Tidak heran
bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini, bahkan
Cin Hai sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu. Akan tetapi Ang I Niocu
mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang
gagah dan tampan itu ditolaknya belaka, bahkan pemuda-pemuda itu diejeknya
sehingga banyak yang patah hati.
Pada
akhirnya ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi
kebaikan pemuda ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang
sanggup mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di
atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka. Pulau ini sangat subur
dan juga indah sekali pemandangannya.
Dua tahun
setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar
wanita ini merasa tubuhnya tidak enak sekali dan sifatnya yang keras itu kini
timbul kembali, bahkan semakin menghebat. Sering kali dia marah-marah besar
kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja.
Akan tetapi
Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan sangat sabar itu, mampu
menghiburnya dan selalu mengalah dalam segala hal. Akhirnya terlahirlah seorang
bayi laki-laki dan keduanya merasa amat berbahagia kembali. Bersama dengan
kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita
itu masih saja sering kali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.
Perubahan
besar nampak terjadi pada dirinya, biar pun terjadinya secara sangat lambat dan
perlahan. Akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi
sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak
itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya yang tadinya halus
dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!
Kini melihat
kecantikannya melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, seperti penyakit yang
memakan habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, bukan main penderitaan
batin yang dirasakannya sehingga hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali ia
melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan
hati hancur.
Lie Kong
Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi semuanya
percuma belaka.
“Isteriku…,”
katanya menghibur pada saat isterinya menangis tersedu-sedu sambil terus
menarik-narik rambutnya yang telah menjadi putih hingga banyak yang terlepas
dari kulit kepalanya, “betapa pun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan
kau, aku akan tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau
bersedih, isteriku...”
Akan tetapi
kata-kata ini bahkan makin menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara
terputus-putus dia berkata, “Ahh... bagaimanakah ini...? Mengapa Thian mengutuk
diriku begini hebat...? Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku
sudah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana kecantikanku yang
dulu...? Ah, aku malu, aku malu...!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.
“Im Giok,
jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanyalah keindahan lahir belaka dan kau
tahu bahwa cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.” Akan tetapi
segala macam hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu.
Ia dan
suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali
putih itu memang mempunyai batas dan syarat yang amat berat. Syarat itu ialah
apa bila seorang yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak,
maka kecantikan itu tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah
dengan cepat dan berlipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia
menjadi seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun!
Akhirnya,
setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie
Kong Sian mendapatkan isterinya sudah minggat dari pulau itu mempergunakan
sebuah sampan dan membawa serta anaknya!
‘Suamiku
yang baik,’ demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie
Kong Siang ‘ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi
menahan derita sehebat ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar
aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi
mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk
mendidik dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar dia menjadi seorang yang
berbudi dan gagah. Selamat tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita
tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!’
Bukan main
terkejutnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang
tercinta itu. Dia cepat menyusul dan mengejar, akan tetapi karena air tak
meninggalkan jejak isterinya, dia lalu mengejar ke lain jurusan, akan tetapi
tetap tak dapat menemukan isteri dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia
tiga tahun lebih.
Hancurlah
kehidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan
penderitaan dalam neraka. Ia kemudian merantau dan mencari-cari jejak isterinya
hingga bertahun-tahun.
Kalau dulu
ia merupakan seorang yang amat tampan dan biar pun sederhana akan tetapi selalu
berpakaian pantas, sekarang dia telah berubah sama sekali. Dia menjadi seorang
pendiam, bahkan kadang kala bagaikan orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong
Sian yang secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin.
Tadinya Lie
Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya ini, tapi karena di
dunia ini tidak ada orang lain yang lebih pantas mendengar tentang
penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil
bercucuran air mata.
Cin Hai dan
Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin
Hai menegur suheng-nya, “Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng
tidak cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami supaya kami
dapat ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?”
Di dalam
lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, walau pun
cintanya itu sudah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau
lebih dari itu hampir seperti cinta seorang anak kepada ibunya.
Lin Lin
merasa lebih terharu lagi. Dia sangat mencinta Ang I Niocu yang dahulu pernah
membelanya tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. Maka kini mendengar
mala petaka yang menimpa diri Ang I Niocu, dia kemudian menangis terisak-isak
tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun!
Setelah puas
menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat mereka bertemu itu,
Lie Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu bisa berada di
tempat itu.
Cin Hai lalu
menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang
dilakukan oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.
Mendengar
ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia
berkata, “Ah, mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan
hidup? Kenapa bahkan orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan
yang harus menderita banyak susah?”
“Suheng,
biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat persembunyian Niocu
dan anakmu, dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”
Lie Kong
Sian menghela napas. “Agaknya sulit sekali. Selain ia pandai menyembunyikan
diri, juga hatinya amat keras dan sekali dia sudah mengambil keputusan,
sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan
masing-masing, Sute. Kau boleh membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah,
apa bila sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti akan kubalaskan
sakit hati Yo-pekhu dan kurampas kembali puterimu.”
Cin Hai yang
maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apa
bila dia yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie
Kong Sian dia diam saja.
Mereka lalu
berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi
dengan muka tertunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin
menggunakan sapu tangan untuk menahan isaknya ketika dia melihat suheng-nya itu
berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.
“Kasihan
sekali Suheng...,” kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang pada
pelupuk matanya.
Karena Cin
Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu
pada waktu terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak
Mongol, maka Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan
diri di Pegunungan Im-san atau Gobi-san di utara.
Oleh karena
itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya
dia bersama isterinya segera membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di
daerah Mongol! Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya
belum juga tiba di Beng-san di mana Lili dengan aman sudah belajar silat di
bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai.
***************
Lo Sian
Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri
menuju ke Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan
tentang Lili yang kini berada di puncak Gunung Beng-san. Seperti biasanya tiap
kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulurkan
tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas hingga
namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.
Setelah tiba
di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Cin Hai. Siapa orangnya
di Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah
kecewa dan kagetnya pada saat melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup,
bahkan masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah itu
belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.
Lo Sian
segera mencari keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah serta
kecewanya ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie sudah terbunuh oleh
seorang peranakan Turki, dan bahwa di samping melakukan pembunuhan yang kejam,
penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.
Sampai lama
Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang
menculik Lili bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!
“Bangsat
besar Bouw Hun Ti,” bisiknya gemas sambil mengertakkan gigi, “benar-benar kau
mencari mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”
Lo Sian lalu
bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya
Pendekar Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri
pendekar itu pergi mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu
cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat pada
tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apa bila pendekar besar
itu pulang, agar supaya suratnya itu diberikan kepadanya.
Dalam surat
itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san
bersama Mo-kai Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian
dia lalu pergi keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi
laporan kepada suheng-nya, dan juga untuk melanjutkan melatih dua orang
muridnya, yaitu Lili dan Kam Seng.
Tentu saja
ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua
orang tua anak itu menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik
bila Lili mendapat pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang mempunyai kepandaian
yang jauh lebih tinggi dari padanya.
Pada suatu
hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, dia tiba di kota Li-coan dan
ketika dia lewat di depan sebuah rumah makan, bau arak yang sangat sedap
menarik hatinya dan menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Dia
lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik.
Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia lalu memperlihatkan
sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!
Pelayan itu
memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak
pesanan Lo Sian, ia menggerutu, “Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang
bekerja keras siang malam tanpa kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping
emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai
banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong
emas besar! Aneh, aneh... dunia memang tidak adil!”
Lo Sian
tersenyum seorang diri. Biar pun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi
telinga Lo Sian yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia
membenarkan keluh kesah pelayan itu.
Memang kalau
dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, semakin berat
pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi
yang kerjanya hanyalah naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, di
mana-mana menjual lagak, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap
kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguh pun
penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!
Pada waktu
pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba saja terdengar
suara dari sudut ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.
“Hai, kau
boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku
mempunyai banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau pun merampok, karena itu
tutuplah mulutmu!”
Lo Sian
terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu,
maka kalau orang dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang
itu memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan
memperhatikan orang itu.
Ternyata
bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya
berpengaruh, membuat orang tak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia.
Akan tetapi, keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan sebab selain
pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya
bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya juga menjungat ke sana
kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap.
Orang ini
juga telah memesan arak wangi serta meminumnya tidak melalui cawan seperti
orang biasa, melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan
di atas mejanya telah ada sebuah guci yang kosong sedangkan guci ke dua telah
diminum setengahnya.
Sekali
pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan
tetapi ia belum pernah melihat orang ini sungguh pun pengalaman Lo Sian cukup
banyak di dunia kang-ouw. Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan
pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah dia termasuk tokoh dari golongan
hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur
dan berkenalan.
Melihat pula
sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian
mengira bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jagoan rimba hijau)
yang ganas dan kejam. Maka sesudah menghabiskan araknya, dia lalu membayar dan
hendak keluar dari rumah makan itu.
Akan tetapi,
baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari
luar masuk dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti serta seorang setengah
tua yang memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, pada saat Bouw Hun Ti melihat
Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,
“Ha-ha-ha-ha,
Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, jika tidak dicari si
anjing she Lo menyerahkan diri!”
Sementara
itu, Lo Sian maklum bahwa orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan
terpaksa dia harus melawan mati-matian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan
berkata,
“Bouw Hun
Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik
puteri Pendekar Bodoh secara amat pengecut, kau pun telah membunuh Yousuf
dengan kejam dan tak kenal malu!”
“Ha-ha-ha,
Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau dapat mengatakan bahwa aku
pengecut dan tidak kenal malu? Coba terangkan, apa sebabnya kau berani berkata
demikian.”
“Hemm, kau
melakukan kekejaman itu pada waktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di
rumah! Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau memang
pengecut!”
Merahlah
wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak, “Manusia jembel yang akan
mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut
lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le
suheng-mu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk
mampus!”
Sambil
berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau
kelaparan dia menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di
depannya sehingga meja itu terbang dan menimpa meja-meja lain.
Lo Sian
berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu
bertempur hebat sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini
Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini
lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya dia takkan
dapat menang apa bila pertempuran itu dilanjutkan.
Apa lagi
menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada
orang yang berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi
kepandaian orang itu. Jalan keluar sudah tidak ada, maka tiada lain jalan bagi
Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan tak akan menyerah kalah begitu saja.
“He,
pengemis jembel!” tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu
berkata. “Katakan saja di mana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti,
biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!”
Akan tetapi,
sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik
mati dari pada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama
kehormatan sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.
“Keparat!”
serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Apa
bila hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang
takut mati!”
“Bedebah!”
kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada
manusia rendah ini!” Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak
mengirim serangan dengan tangan kosong.
Akan tetapi,
pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang
meluncur bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena
dilibat oleh tali itu. Pada saat tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak
kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga
terpaksa ia melepaskan goloknya!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment