Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 08
PEMUDA ini
terkejut bukan main karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa
lengannya, tulang lengannya langsung terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan
baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir
saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja!
Dia cepat
menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian
setelah berdiri ia lalu menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini
dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai.
Ia melakukan
serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang
mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung,
sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar! Inilah gerak
tipu yang disebut Sam-in Koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan).
Gerakan tiga
macam pukulan ini dilakukan susul menyusul, maka boleh dibilang hampir
berbareng datangnya. Dan karena yang diarah oleh tiga pukulan ini merupakan
anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya
serangan Sam-in Koan goat ini. Satu saja di antara ketiga pukulan itu mengenai
sasaran, sudah cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!
“Bagus...!”
seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini.
Dengan
sangat tenang kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama-
tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala untuk menghindarkan diri
dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil
menangkis pukulan ke arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah
pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan dia kemudian mengangkat kakinya menyambut
tendangan itu dengan tendangan pula.
Sungguh
mengherankan sekali. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat
datangnya, ada pun kakek itu hanya mengangkat kakinya sedikit saja untuk
menyambut tendangan pemuda itu. Akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam
Seng berseru kaget dan tubuhnya segera terlempar ke belakang tiga tombak lebih!
Masih baik bahwa ia mempunyai ginkang yang sempurna sehingga ia dapat
berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun
dengan kaki terlebih dulu!
Bukan main
kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai
dari pada supek-nya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan tosu itu. “Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai
murid, teecu akan merasa bahagia sekali.”
Wi Kong
Siansu tertawa bergelak. “Sayang kau ditinggal mati ayahmu dan tidak bertemu
dengan guru yang baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali
lipat lebih pandai dari pada sekarang.”
Ban Sai
Cinjin lalu maju dan mengebulkan huncwe-nya.
“Song Kam
Seng, kau tadi bilang bahwa kau memiliki rahasia yang hendak kau tuturkan.
Apakah rahasia itu? Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang benar
kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara
kami dengan ayahmu dahulu terdapat hubungan yang baik sekali.”
“Sesungguhnya
amat malu untuk menuturkan keadaan teecu,” kata Kam Seng sambil menundukkan
kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu. “Semenjak kecil teecu
telah ditinggal mati ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum
teecu terlahir. Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati yang
mengandung dendam pada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya teecu? Kemudian,
teecu bertemu dengan Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat
kepada teecu. Sungguh pun kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan
juga Sin-kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengan Pendekar Bodoh
sehingga hati teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, namun
terpaksa teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu
silat dari siapa pun juga dari pada tidak mempunyai kepandaian sama sekali.
Nah, kebetulan sekali pada hari ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang
sedang berusaha mencari Sin-kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa sute-nya itu tentu
telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, karena itu ia lalu menyuruh teecu
mengadakan penyelidikan ke sini!”
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa
yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?”
“Teecu juga
maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe
sudi menerima, teecu ingin tinggal di sini mempelajari ilmu silat dan kemudian
bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukuman kepada Pendekar Bodoh.”
Ban Sai
Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong
Siansu sambil berkedip pada sute-nya itu, berkata kepada Kam Seng, “Anak muda,
kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui
keadaan seseorang? Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak
memusuhi sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah
kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka supaya kau dapat menyelamatkan diri
dari kami? Kalau kau sekarang bisa memancing agar Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke
sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan
kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah
kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum
mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid.”
“Baiklah,
harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga teecu pasti akan membawa
Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!” Sesudah berkata demikian, Kam Seng
lalu memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu.
Ban Sai
Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suheng-nya sudah
berkata, “Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan
gerakan matanya dan bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andai kata
sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri, apa yang perlu kita takuti untuk
seorang pemuda macam dia?”
Sementara
itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat supek-nya yang masih menantinya. Hatinya
girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalaskan
dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi
gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apa lagi dia?
Menurut
supek-nya ini, Pendekar Bodoh mempunyai banyak orang-orang pandai. Isteri
Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan mempunyai kepandaian yang
amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu serta suaminya Lie Kong Sian yang
terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi
iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang mempunyai kepandaian
tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang
lihai!
Bagaimana ia
dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan supek-nya amat
menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin supek atau suhu-nya mengijinkan dia
berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh.
Kini,
pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang kepandaiannya amat
tinggi, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Dia tadi belum melihat
Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dahulu hendak
membelek perutnya, akan tetapi dia pun tidak takut. Andai kata Hok Ti Hwesio
mengenalnya, dia rasa masih dapat melayani hwesio itu, dan apa lagi kalau dia
sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani
mengganggunya.
“Bagaimana,
Kam Seng? Apakah kau melihat suhu-mu berada di sana? Dan apakah Ban Sai Cinjin
berada di sana pula?”
“Teecu rasa
Suhu berada di sana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi
teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena di sana teecu melihat ada
murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua
menyerbu ke sana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun
Ti!”
Girang
sekali hati Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka
dia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.
Kam Seng
mengajak supek-nya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi.
Akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng, dia mendengar suara
Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.
“Pengemis
kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau
kelaparan tidak perlu kau mencuri makanan di sini. Turunlah! Ada makanan anjing
tersedia untukmu!”
Bukan main
marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Dia
memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi,
ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya
menginjak lantai ruangan itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali sebab melihat
Ban Sai Cinjin dan seorang tosu tua muncul dari balik pintu. Ban Sai Cinjin
mengebulkan asap huncwe-nya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai
Nyo Tiang Le bahwa dia kini harus melawan mati-matian.
Terdengar
tosu yang tidak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng,
“Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto tentu suka
menjadi suhu-mu.”
Tentu saja
Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.
“Kam Seng!
Apakah artinya ini?”
Akan tetapi
sebelum pemuda itu menjawab, Ban Sai Cinjin telah menegur Pengemis Iblis itu,
“Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu begini
kasar? Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?”
“Ban Sai
Cinjin, semenjak dahulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka
memberi keterangan tentang sute-ku Lo Sian. Di manakah dia?”
Ban Sai
Cinjin mengeluarkan suara menghina. “Apa kau kira aku adalah bujang pengasuh
dari Lo Sian? Kau carilah sendiri, di sini tidak ada sute-mu yang gila itu!”
“Gila...?
Sute-ku tidak gila...!” kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.
Merahlah
wajah Ban Sai Cinjin sebab tanpa sengaja ia hampir saja membuka rahasianya.
Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.
“Kau dan
Sute-mu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat kenapa malam-malam datang
ke tempat tinggal orang lain mencari Sute-mu?”
Mo-kai Nyo
Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan di
situ masih ada tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih
merasa heran mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia
pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.
“Sudahlah,
aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!”
katanya mengajak pemuda itu.
Akan tetapi,
sungguh di luar dugaannya sama sekali jawaban yang dia dengar dari mulut pemuda
itu, “Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhu-ku
yang baru Wi Kong Siansu!”
Barulah kini
Mo-kai Nyo Tiang Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat
terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.
“Apa
katamu?! Kam Seng, apa artinya ini? Apakah kau sudah gila?!”
Pemuda itu
memandangnya tajam. “Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kau
mengira akan bisa memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian
tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau pergilah
dari sini!”
Marahlah
Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda
yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang
ajar.
“Kam
Seng...! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, maka terpaksa aku harus
binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!”
Tiba-tiba
Kam Seng tersenyum. “Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku.
Aku adalah putera dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan semenjak dulu aku sudah
bersumpah untuk membalas kematian ayahku pada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau
tetap tak mau lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit
kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau
kau tidak mau lekas pergi, janganlah menganggap aku keterlaluan apa bila aku
terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!”
Serasa
meledak dada Mo-kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan
terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.
“Murid
durhaka! Manusia berhati rendah!”
Akan tetapi,
dengan amat marah Kam Seng telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan
mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil
berseru, “Kau pergilah!”
Dengan
amarah yang meluap-luap Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata
rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh
beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu
melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang
dilakukannya dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu!
Kam Seng
maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena dia tahu pula bahwa
mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa dia pun
segera mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakan pukulan yang sama.
Walau pun
jarak di antara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan
Soan-hong-jiu dari Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam
Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khikang
sepenuhnya untuk menangkis.
Dua angin
pukulan bertemu dan akibatnya, Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya
menimpa dinding di belakangnya! Akan tetapi tangkisannya itu menyelamatkan
jiwanya, karena sedikitnya sudah membentur tenaga pukulan bekas supek-nya
sehingga dia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.
“Kau harus
mampus!” Mo-kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya
untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat
bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan
tersenyum mengejek.
“Wi Kong
Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu
malu untuk mencampuri urusan antara guru dengan muridnya sendiri!” teriak
Mo-kai Nyo Tiang Le marah sekali.
Wi Kong
Siansu tertawa bergelak. “Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi!
Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa
dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan
saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?”
Saking
marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi nekat.
“Bagus!”
teriaknya “Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Toat-beng Lo-mo!”
“Ha-ha-ha!
Majulah, mari kita main-main sebentar!” jawab tosu itu.
Nyo Tiang Le
menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi
itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya.
Toat-beng
Lo-mo Wi Kong Siansu melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya
yang panjang, yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan
darah. Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali.
Mo-kai Nyo
Tiang Le amat kaget saat menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang
dipergunakannya selalu terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan
baju itu. Segera maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang dan khikang, ia
masih kalah setingkat!
Oleh karena
merasa percuma saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan
mengalah, yakni melompat mundur beberapa tindak sambil berkata, “Toat-beng
Lo-mo, kepandaianmu sungguh mengagumkan sekali! Perkenankan aku pergi membawa
muridku yang murtad!” Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar
tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut, akan tetapi Wi Kong Siansu sudah
mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.
“Mo-kai!
Jangan kau lanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan
pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan
muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!”
Mo-kai Nyo
Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat
memenangkan tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah
menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi orang gagah, soal
kehormatan lebih penting dan lebih mahal dari pada nyawa. Muridnya berlaku
khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Jika ada
orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar.
Sambil
berseru keras, Mo-kai Nyo Tiang Le kemudian mencabut tongkatnya yang tadi dia
selipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu
itu dengan gerak tipu Sian-jin Tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).
“Bagus!”
seru Wi Kong Siansu.
Tosu ini
segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lantas
mengibaskan lengan baju kanannya ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu
Burung Elang Menyambar Ayam. Nyo Tiang Le cepat mengelak dan dia lalu memutar
tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan
kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan berkelebatan,
ujungnya dapat menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat
dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan
maut!
Akan, tetapi
Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang telah banyak pengalaman dan
kepandaiannya tinggi sekali. Dia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini,
maka biar pun dia tak menggunakan senjata, tetapi kedua ujung lengan bajunya
sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le.
Nampaknya
dia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja,
akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat
Mo-kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.
Setelah
menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang
tangguh itu, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo
Tiang Le berseru keras dan tubuhnya lantas bergulingan ke atas lantai sambil
melakukan serangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat
Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan
Mustika!
Toat-beng
Lo-mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat serta
berbahaya ini. Ujung tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi
dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan selalu mengejarnya ke mana juga
ia melompat. Dia sudah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu
meringankan tubuh dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian
penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya!
Pada saat
dia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya,
tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang
amat tak terduga mengubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar
Bunga, langsung menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini
amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi.
Akan tetapi
Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan. Dia sangat tenang dan tidak menjadi
gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan
lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula hingga kain ini kini melibat
tongkat milik lawannya. Sekarang kedua ujung lengan baju itu sudah membelit
tongkat dan tak dapat dilepaskan lagi.
Melihat
kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le segera menggerakkan tangan
kirinya, dengan jari tangan terbuka ia langsung memukul kepala tosu itu dengan
pukulan Soan-hong-jiu yang hebat.
Kalau
pukulan ini mengenai kepala tosu itu, biar pun dia amat kuat dan lihai, agaknya
dia akan mendapat luka di dalam kepala dan nyawanya tidak akan dapat
diselamatkan lagi. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, tosu itu
menarik kepalanya ke bawah lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu,
diserudukkan ke arah dada Nyo Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya!
Nyo Tiang Le
kaget sekali, menahan napas dan mengumpulkan lweekang-nya pada dada untuk
menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan atau pun ditangkis lagi itu.
“Dukkk...!”
Tubuh Nyo
Tiang Le langsung terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu
nampak pucat dan terhuyung-huyung akan tetapi pada saat itu dia bisa mengatur
napasnya kembali.
Sedangkan
Nyo Tiang Le, sesudah terguling sambil muntahkan darah merah dari mulut,
ternyata juga dapat melompat berdiri lagi! Akan tetapi pada waktu itu pula,
dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia
terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi terlambat!
“Takk!”
Terdengar
suara ketika kepala huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepala
Pengemis Iblis. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan
matanya gelap. Tiba-tiba dia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak
dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri!
Ban Sai
Cinjin tertawa terbahak-bahak. “Dia telah terluka di dalam otaknya, sekarang
dia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh
dan mampus!”
Kam Seng
terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sebetulnya ia
tak mengira bahwa supek-nya akan mengalami nasib yang sehebat itu. Tadinya ia
hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru
kepada tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas
dendam.
Juga
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu menghela napas panjang dengan rasa sesal.
“Sute,
mengapa kau menewaskannya? Permusuhan akan menjadi makin hebat.”
Ban Sai
Cinjin tersenyum. “Suheng, pengemis itu terlalu menghina kita, dan orang jahat
dan berbahaya seperti dia sudah sepatutnya dilenyapkan agar kelak tidak
menimbulkan kepusingan.”
Kam Seng
lalu berlutut di depan Wi Kong Siansu dan berkata, “Suhu, betapa pun juga,
Mo-kai Nyo Tiang Le pernah melepas budi kepada teecu, apakah teecu boleh mengubur
jenazahnya?”
Tosu itu
nampak girang. “Bagus, Kam Seng. Sikapmu ini menyenangkan hatiku, karena boleh
kuharapkan kesetiaanmu kepadaku kelak. Kau susullah dia, kurasa tidak akan jauh
dari sini kau akan dapat menemukannya.”
Kam Seng
segera melompat keluar dan mengejar ke arah Nyo Tiang Le tadi melompat pergi.
Dan benar saja, di tempat yang tak jauh dari kelenteng itu dia mendapatkan
tubuh supek-nya itu sudah tak bernyawa lagi, rebah di atas tanah dalam keadaan
terlentang!
Kedua mata
pengemis iblis itu terbuka dan di bawah sinar buIan, mata itu seakan-akan
memandangnya dengan penuh penyesalan, mulut yang sudah biru itu pun seakan-akan
berbisik, “Murid durhaka!”
Ia bergidik
dan cepat menggunakan sapu tangan untuk menutupi muka itu. Kemudian dia
menggali lubang di tanah dekat tempat itu untuk mengubur jenazah supek-nya.
Demikianlah,
semenjak saat itu, Kam Seng menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia menerima latihan
ilmu silat yang tinggi sehingga kepandaiannya maju pesat sekali. Ketika Hok Ti
Hwesio, murid Ban Sai Cinjin yang kini telah menjadi seorang hwesio muda yang
cakap tiba di kelenteng itu, hwesio muda ini memandang kepada Kam Seng dan
berkata,
“Sute,
agaknya aku pernah melihat mukamu, entah di mana.”
Kam Seng
tersenyum dan menekan debar jantungnya. “Tidak bisa jadi, Suheng. Selama
hidupku baru sekali ini aku bertemu dengan kau.”
Karena Kam
Seng pandai membawa diri dan sangat menghormat kepada semua orang sebagai orang
baru, dia amat disuka. Selain Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin
masih mempunyai seorang murid lain yang usianya baru empat belas tahun, yaitu
putera seorang pangeran dari kota raja. Pangeran itu maklum akan kelihaian Ban
Sai Cinjin, maka ia lalu memberikan puteranya untuk dididik oleh kakek lihai ini.
Anak muda
ini datang dua bulan setelah Kam Seng berada di kelenteng itu dan namanya
adalah Ong Tek. Sebelum berguru kepada Ban Sai Cinjin, Ong Tek pernah
mempelajari ilmu silat dari panglima kerajaan, sehingga ilmu silatnya pun sudah
lumayan juga.
Kam Seng
memberikan banyak petunjuk kepada sute-nya yang dikasihinya ini, dan sebaliknya
Ong Tek juga memberi pelajaran ilmu surat kepada suheng-nya ini. Hubungan
mereka sangat erat karena dengan lain-lain orang yang berada di sana, terutama
dengan Hok Ti Hwesio, kedua anak muda ini kurang merasa cocok.
Dengan amat
tekun dan rajin, Kam Seng berlatih ilmu silat dari Suhu-nya yang baru dan tanpa
terasa lagi, setahun telah lewat dengan amat cepatnya.
Begitulah
riwayat Kam Seng yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-beran
melihat betapa Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata
menuju ke kelenteng di mana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh hwesio
cilik murid Ban Sai Cinjin!
Sebenarnya,
Kam Seng baru saja datang dari dusun Tong-sin-bun, ke rumah Ban Sai Cinjin
untuk menjemput orang setengah tua itu yang menjadi utusan dari Pangeran Ong.
Utusan ini adalah seorang guru silat yang dahulu pernah pula mengajar Ong Tek
di kota raja dan kini dia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok
puteranya serta membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan
lain-lain.
Kedatangan
Kam Seng dan guru silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda
ini berlari menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, dia
segera bertanya, “Tan-kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?”
“Baik,
Kongcu, semua baik. Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu suka
belajar dengan rajin di sini.”
Mereka
bertiga lalu masuk ke ruang dalam, di mana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti
Hwesio. Ban Sai Cinjin tidak berada di situ, oleh karena kakek mewah ini lebih
banyak bermalam di dusun Tong-sin-bun.
Semenjak Wi
Kong Siansu tinggal di kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tak merasa leluasa apa
bila tinggal bermalam di situ pula. Dia merasa malu kepada suheng-nya karena
dia memiliki kesukaan yang meniadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu
misalnya meminum minuman keras, bermain judi dengan kawan-kawannya, atau
bergurau dengan perempuan-perempuan penyanyi.
Mata Lili
yang tajam masih dapat mengenal Hok Ti Hwesio sebagai hwesio kecil yang dulu
hampir membelek perut Kam Seng, maka semakin heranlah dia melihat betapa kini
Kam Seng dapat bersahabat dengan hwesio itu! Juga dia heran sekali ketika
mendengar Kam Seng menyebut ‘Suhu’ kepada tosu tua yang duduk di situ!
Di manakah
adanya suhu Sin-kai Lo Sian serta supek Mo-kai Nyo Tiang Le? Demikian dara
perkasa ini bertanya seorang diri dengan penuh rasa bingung.
Lili
mendengarkan guru silat she Tan itu bercerita mengenai keadaan di kota raja dan
hatinya berdebar keras ketika guru silat itu berkata, “Agaknya keturunan
Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai berdatangan dan mengacau pula di
sekitar kota raja.”
Tak hanya
Lili yang mengintai dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan
semua orang di bawah genteng juga tertarik sekali.
“Seorang
pemuda keturunan Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya, oleh karena menurut
cerita Kam Thai-ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh,
telah mengacau di kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu
Gui Kongcu. Bahkan pemuda jahat itu sudah melarikan seorang gadis bangsa Haimi
yang tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!”
Kam Seng
amat tertarik dan bertanya, “Tan-kauwsu, siapakah namanya? Dan apakah ia
benar-benar putera Pendekar Bodoh? Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?”
Guru silat
itu menggeleng kepalanya. “Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya
saja, menurut penuturan Kam-ciangkun, pemuda jahat itu amat lihai. Kam-ciangkun
telah terkenal memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi dia mengaku
bahwa pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan
Pendekar Bodoh!”
Tentu saja
Lili merasa heran dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu?
Benarkah Hong Beng kakaknya? Boleh jadi, karena dia mendengar dari ayah ibunya
bahwa kakaknya itu pun sudah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang
setelah merantau dulu untuk meluaskan pengalaman.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa
yang tertawa itu adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa
menyeringai dengan sikap menghina dan berkata,
“Ha-ha,
kenapa orang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggap dia
seakan-akan seorang dewata? Kenapa orang agaknya memuji-muji musuh sehingga
memperkecil semangat sendiri? Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja padaku,
siapa yang takut kepadanya? Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!”
Semua orang
tahu bahwa Hok Ti Hwesio ini selain sombong seperti gurunya, juga amat lihai.
Ia telah mempelajari tidak saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir
dan ilmu lainnya yang aneh dan mukjijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar
biasa, bukan ilmu kebal yang timbul akibat tenaga lweekang, akan tetapi ilmu
kebal yang dipelajari oleh pengaruh sihir.
Sebagaimana
pernah dituturkan pada bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak
segan-segan untuk makan jantung manusia. Selain itu, dia sangat terkenal pula
dengan kepandaiannya melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang
disebutnya sendiri ‘hui-kiam’ (pedang terbang).
Pedang kecil
ini dapat ia lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang kecil ini dapat
mengejar sasarannya dan dapat pula terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu
saja pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, namun karena
kepandaiannya melempar yang telah terlatih baik dan karena bentuk pedang itu
agak bengkok, ditambah pula dengan pengerahan tenaga yang tepat, maka pedang
itu seolah-olah dapat terbang kembali.
Ketika Lili
mendengar ucapan hwesio muda ini, timbullah kemarahannya. Hampir saja dia melompat
turun untuk mengamuk dan menampar mulut hwesio yang berani menantang-nantang
ayahnya itu.
Akan tetapi
ia teringat akan nasehat ayahnya yang berkata, “Lili, kelemahan yang paling
membahayakan diri kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau
takut dan marah, maka kau tak akan dapat berlaku tenang dan mutu permainan
silat akan menjadi turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Karena itu, baik
dalam keadaan bagaimana juga kau harus sanggup menguasai hatimu, dan dapat
membebaskan diri dari rasa takut dan nafsu marah.”
Aku tak
boleh marah, pikirnya dan setelah dengan susah payah ia dapat menekan hawa
amarah yang mengalun di dalam dadanya, barulah Lili memandang kembali ke bawah.
Ia mendengar Tan-kauwsu masih banyak menceritakan keadaan kota raja dan saat
melihat kepala Hok Ti Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar
tujuh batang lilin yang dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili
untuk mempermainkan orang ini. Memang gadis ini mempunyai watak yang persis
seperti ibunya, jenaka, nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.
Di atas
genteng itu terdapat banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan.
Ia lalu menggaruk lumpur ini dari celah-celah genteng kemudian membuat beberapa
butir pil lumpur sebesar kacang.
Lili bekerja
dengan hati-hati sekali hingga sama sekali tak menimbulkan suara, kemudian dia
meletakkan sebutir pil lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan
kirinya, dan menggerakkan jari tengah dan ibu jari kanan untuk menendang atau
menyelentik pil itu ke bawah.
Dia tidak
berani menggunakan tangan menyambit karena kalau dia lakukan hal ini, tentu
angin tenaga sambitannya itu akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang
yang berkepandaian tinggi itu. Begitu pil tanah liat itu terkena tendangan jari
tengah, benda kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala
Hok Ti Hwesio yang gundul licin dan mengkilap.
“Plokk!”
Pil tanah
liat itu dengan jitu sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng
serta melengket pada kulit kepalanya! Akan tetapi tubuh hwesio muda itu tidak
bergerak sedikit pun juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya.

Hal ini amat
mengejutkan hati Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini
cukup untuk membuat tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah
batok kepala hwesio itu?
Sebaliknya,
Hok Ti Hwesio juga terkejut sekali. Dia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi
kulit kepalanya cukup terasa pedas. Yang membuat dia sangat terkejut adalah
kelihaian serangan ini. Mengapa dia tidak mendengarnya sama sekali? Bagaimana
orang dapat menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara?
Dan lagi,
kalau memang betul yang menyambitnya seorang manusia yang berada di atas
genteng, kenapa dia dan yang lain-lainnya tidak mendengarnya? Mungkin
pendengaran telinganya kurang tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan
mendengarnya!
Maka dia
lalu meraba kepalanya dan menyangka bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu
hanya tahi cecak yang kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi
Kong Siansu mendengar suara ‘plok’ tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat
sesuatu apa pun, hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di
atas tanah di luar kelenteng.
Benda hitam
kecil ke dua meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat.
Tiba-tiba saja Hok Ti Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan
marah sekali. Kali ini dia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua
telinganya. Dengan tepat sekali tiga pil tanah liat kecil itu menghantam hidung
dan kedua daun telinganya.
Tak salah
lagi, ini tentu perbuatan seorang manusia. Tidak mungkin binatang cecak bisa
melempar tahi demikian kebetulan!
“Bangsat
rendah, kalau kau memang berani, turunlah!” bentaknya sambil mendongakkan
kepalanya memandang ke arah genteng.
Akan tetapi
malang baginya, karena ia berseru sambil menengadah, sebutir pil tanah liat
yang tidak kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, dan tahu-tahu telah
memasuki mulutnya sehingga tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan lalu
turun ke perut!
“Kurang
ajar! Keparat!”
Hok Ti
Hwesio menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan
langsung naik ke genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-kauwsu dan
Ong Tek memandang kelakuan hwesio itu dengan heran.
Ketika tiba
di atas genteng, Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari, akan tetapi dia tak
melihat bayangan seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga
heran sekali dia melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu. Ia berpikir
bahwa kalau memang benar ada orang mengganggunya, tentulah orang itu melakukan
hal itu karena marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, karena itu
dengan suara keras ia berkata,
“Apa bila
yang datang tadi Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa
Pendekar Bodoh dan konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani
menyerang dengan sembunyi! Kalau ia berani turun ke sini, dalam beberapa jurus
saja tentu pisauku ini akan menembus lehernya!”
Baru saja
ucapannya habis, mendadak terdengar bentakan nyaring dari atas, “Bangsat gundul
bermulut besar!” Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan
gagah sekali.
Semua orang
amat terkejut melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja
memiliki ginkang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tak
terdengar sama sekali?
Yang lebih
terkejut adalah Kam Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini
sebagai Lili!
“Lili...!”
ia berseru perlahan dengan mata terbelalak.
Apa bila
orang melihat sinar matanya, di sana akan terbayang kasih sayang yang besar,
tercampur kebencian yang mengejutkan. Memang, semenjak dahulu ketika tertolong
oleh Sinkai Lo Sian, Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia
kagum akan kecantikan dan kejenakaan gadis ini, sehingga dulu sering kali ia
diam-diam memandang kepada gadis itu dengan pikiran melamun. Akan tetapi, di
samping rasa kasih sayangnya ini, ia mengandung kebencian hebat sekali
mengingat bahwa dara jelita ini adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar
Bodoh!
Seruan
perlahan ini terdengar juga oleh Lili, maka dia menengok dan tersenyum manis.
“Kukira tadi bukan Kam Seng yang berada di sini, akan tetapi ternyata
benar-benar kau! Kenapa kau berada di sini? Di manakah Suhu dan Supek?”
tanyanya sambil memandang tajam. Sinar matanya berkelebat seolah-olah hendak
menembus dada Kam Seng hingga pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan
mukanya berubah merah.
Sementara
itu, Wi Kong Siansu beserta yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat
duduknya, dan Hok Ti Hwesio bertanya kepada Kam Seng,
“Sute,
siapakah perempuan ini?”
Tiba-tiba
timbul sebuah pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai
perasaan tidak suka kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi suheng-nya, dan dia
ingin mengadu hwesio ini dengan Lili agar dengan demikian dia dapat mengadukan
dua orang yang termasuk dalam daftar musuhnya.
“Suheng,
engkau tadi mencari Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong
Li atau Lili!”
Lili makin
terheran mendengar ucapan Kam Seng ini. “Dan Si Gundul ini kalau tak salah
tentulah si tukang membelek perut, bukan? Apakah dia sekarang menjadi
suheng-mu, Kam Seng?”
Makin
merahlah muka Kam Seng mendengar hal ini. “Lili...” katanya perlahan. “Sekarang
tidak ada hubungan antara kau dan aku lagi, aku... aku sudah menjadi murid Wi
Kong Siansu, yaitu suhu-ku yang baru ini!”
Lili
tersenyum mengejek. “Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan? Dari
dulu pun kita tidak mempunyai hubungan sesuatu!”
Sementara
itu, Hok Ti Hwesio tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Bagus, hendak kulihat
sampai di mana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!”
Sambil
berkata demikian, ia lantas menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah
dada Lili yang berdiri dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili lalu tertawa
mengejek dan sambil mengelak gesit ia mentertawakan hwesio itu.
“Tukang
sembelih babi! Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu? Apakah kau masih
ingin merasai pil tanah liat lagi? Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?”
Sambil berkata demikian, tangan Lili terayun dan dia melemparkan dua butir pil
lagi yang masih dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pil itu menyambar ke
arah sepasang mata Hok Ti Hwesio!
Bukan main
kagetnya Si Kepala Gundul ini pada saat melihat dua titik hitam berkelebat
menyambar matanya. Dia cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua
butir pil tanah liat itu benar-benar cepat sekali.
“Tak! Tak!”
Bagaikan dua
buah pelor besi, dua butir pil tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang
gundul, meski pun tidak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup
mendatangkan rasa sakit!
“Perempuan
liar, kau harus mampus!” serunya marah.
Dia langsung
maju lagi menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-jiu
Ciong-kiam (Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang). Gerakan ini merupakan
serangan yang berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan
tangan kanan sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya. Pedang
kecil ini siap untuk diputar dan ditusukkan apa bila pukulan itu dapat
dielakkan lawan.
Akan tetapi,
Lili yang sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari ayah ibunya,
bahkan sudah menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan
melalui ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini. Ia maklum bahwa
pedang kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan
lanjutan, maka dia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil memainkan
Ilmu Silat Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya
seakan-akan sedang menari-nari menghadapi serangan lawannya. Mulutnya yang
kecil manis itu tiada hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling
tajam ke arah lawannya, ia menyindir,
“Tikus
gundul! Tiada guna kau maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si
keparat itu keluar untuk kuambil kepalanya!”
Hok Ti
Hwesio semakin marah, apa lagi ketika dia mendengar Wi Kong Siansu berkata
sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu, “Itulah Ilmu Silat
Sianli Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau
tidak akan menang menghadapi Nona ini!”
Hanya ada
seorang saja di dunia ini yang ditakuti serta ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yakni
gurunya, Ban Sai Cinjin. Walau pun dia menghormati supek-nya ini, akan tetapi
di dalam kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan supek-nya itu
bahkan semakin menambah kemarahannya.
“Biarlah,
Supek. Masa teecu tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?”
Ia lalu maju
lagi dan kini mengirim serangan maut bertubi-tubi. Pisau belati di tangannya
menyambar-nyambar cepat sekali dan karena ginkang-nya memang sudah sangat
tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga lweekang-nya yang
sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang
mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan.
Lili sudah
mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan meski pun belum sempurna
seperti ayahnya, namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula
tentang dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia
menghadapi serangan-serangan Hok Ti Hwesio.
Dia melihat
hwesio itu menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-ging King-thian (Pelangi
Panjang Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya,
ada pun kaki kanan hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan
tenaga Kim-kong-twi (Tendangan Sinar Emas).
Melihat
gerakan pedang dan kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu
memancing dirinya untuk mengelakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-le
Coan-po (Ikan Gabus Terjang Ombak) atau Cian-liong Seng-thian (Naga Sakti Naik
ke Langit) agar supaya tubuhnya naik ke atas hingga pedang kecil yang
berkelebat di atas kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu
Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga).
Ia pun
maklum akan berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang
berhati tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang
tepat, maka dengan sengaja seakan-akan tak tahu bahaya, ia segera melompat ke
atas mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-liong
Seng-thian!
Hok Ti Hwesio
menjadi girang sekali melihat pancingannya ternyata berhasil dan benar saja,
seperti yang sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar
dari atas, memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara
di Kepala Naga)! Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan
serangan berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju
memukul ke arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga
Thiat-ciang-kang (Pukulan Tangan Besi)!
Kam Seng
yang melihat bahaya mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta
kasihnya itu, hampir saja berseru ngeri karena tak terbayang olehnya bagaimana
orang dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu!
Akan tetapi
Lili berlaku tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan
tangannya itu secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar
suara…
“Cringg...!”
Ternyata dia
sudah berhasil menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar
di pergelangan tangan kirinya! Ada pun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut
dengan tangan kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!
“Ah...
tangan kanan itu sudah terang mainkan Pek-in Hoat-sut akan tetapi tangan kiri
itu... apakah itu yang disebut Kong-ciak Sinna, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun
Su?” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum.
Akan tetapi,
orang-orang lain tak memperhatikan ucapan ini karena mereka lebih tertarik
melihat akibat dari dua gerakan gadis yang lihai itu. Hok Ti Hwesio tadi merasa
terkejut setengah mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis
pedangnya hanya dengan gelang di tangannya! Akan tetapi kekagetannya itu tidak
berarti apa bila dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan
tangan kirinya bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu!
Ia tidak
merasa bahwa kepalan tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan
lawannya, akan tetapi dari telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa
lengan kirinya seakan-akan hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang
lengannya yang kiri, dan dia tahu bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga
pukulannya sendiri!
Sambil
berseru keras hwesio ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang
pedangnya untuk menotok urat lengan kirinya. Dengan cara demikian dia
membuyarkan tenaga sendiri yang membalik karena tangkisan gadis itu secara
istimewa tadi!
“Perempuan
liar! Jangan lari!” teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap
untuk menutup rasa malunya dan untuk memperbesar semangatnya.
Ia menubruk
maju lagi dan kini ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran
dan sedih sekali sehingga ingin sekali dia menangis berkaok-kaok saking jengkel
hatinya. Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang sejak
masih kecil dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat
tinggi, bahkan sudah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan
ilmu hitam, juga sudah ‘bertapa’ mencari kesaktian dari makhluk halus, bermalam
di tanah pekuburan, sekarang dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi
seorang gadis yang bertangan kosong?
Saking
jengkelnya, ia tidak ingat lagi akan pengalamannya yang tadi. Bila Hok Ti
Hwesio tidak begitu jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa
dia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari
padanya.
“Hemm, tikus
gundul! Binatang rendah macam kau inikah yang hendak melawan ayah? Ha, kau
perlu diberi rasa sedikit!”
Setelah
berkata demikian, Lili mengubah caranya bersilat dan kini dia memainkan Sianli
Utauw bagian yang paling cepat. Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi
sinar kemerahan dari bajunya yang berkembang merah itu sehingga pandangan mata
Hok Ti Hwesio menjadi pening.
Sering kali
ia menyaksikan gurunya atau supek-nya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum
pernah melihat yang secepat ini. Dia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya
menyambar ke arah bayangan tubuh lawannya. Akan tetapi tiap kali pedangnya
menyerang, dia merasa hanya mengenai angin belaka karena lawannya sudah
berhasil mengelak lebih dulu. Dan sebagai imbangannya…
“Tokk!”
terdengar suara ketika kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili.
Beberapa
puluh jurus mereka bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar
suara ‘tak-tok! tak-tok!’ karena selalu tangan atau pun kaki Lili berkenalan
dengan kepala yang gundul klimis itu.
Gadis ini
benar-benar merasa kagum dan heran. Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu
dilakukan dengan tenaga lweekang yang penuh dan kuat luar biasa. Jangankan baru
kepala orang, biar pun kepala patung batu akan pecah atau retak terkena
serangan ini. Bagaimanakah hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan
adem-adem saja, seakan-akan yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat
belaka?
Sebaliknya,
Hok Ti Hwesio menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga
tak terasa lagi dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar!
Bukan main gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biar
pun ia dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng!
Wi Kong
Siansu khawatir kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam
otaknya akibat pukulan-pukulan lihai itu, maka dia segera membentak, “Hok Ti!
Mundur kau...!”
Kali ini Hok
Ti Hwesio tidak membangkang, karena di dalam suara supek-nya terdengar perintah
yang amat keras. Lagi pula, tadinya dia hendak mengadu nyawa karena merasa malu
untuk mengundurkan diri mengaku kalah setelah dia tadi bersumbar, kini ia
melihat kesempatan baik karena supek-nya yang memerintahnya mundur!
Dengan gerak
lompatan Naga Hitam Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai
(salto) tiga kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau
belati yang berada di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili!
Inilah
keistimewaan Hok Ti Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu lantas menyambar
dengan cepatnya, merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili
yang sama sekali tidak menduganya. Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih
tersenyum, Lili mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu
Kwan-im-siu-koai-to (Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat
menangkap hui-kiam (pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, dia
mengirim pulang pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio
disusul suara ejekannya,
“Nah,
makanlah pisau penyembelih babimu ini!”
Baru saja
tubuh Hok Ti Hwesio melompat turun, pisaunya telah terbang dan menyambar
perutnya yang kecil karena jarang makan itu. Dia terkejut sekali sehingga tidak
sempat mengelak atau menangkis, maka dia cepat mengerahkan kekebalannya ke
tempat yang terserang itu dan…
“Brett!”
hanya pakaiannya sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya
lecet pun tidak!
“Terlalu
enak bagimu!” Lili berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia
melancarkan pukulan Pek-in Hoat-sut ke arah hwesio itu dengan kedua lengannya!
“Celaka!”
seru Wi Kong Siansu.
Dari
tempatnya tosu ini segera menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis
serangan angin pukulan yang sudah dilancarkan oleh Lili. Akan tetapi, masih
tetap saja sebagian tenaga pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga hwesio
itu terpental menubruk dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih
dari padanya!
Kalau saja pukulan
ini tak tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu, maka tak dapat diharapkan
Hok Ti Hwesio akan dapat bernapas lagi. Walau pun dia kebal, akan tetapi
pukulan Pek-in Hoat-sut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian
dalam. Kini Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak terlalu parah dan
tidak membahayakan jiwanya, hanya cukup membuat dia terduduk mengeluh panjang
pendek sambil berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.
“Ganas,
ganas...!” kata Wi Kong Siansu sambil memandang kepada Lili. “Tidak kusangka
bahwa Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu
kini dipergunakan oleh cucu muridnya secara demikian kejam!”
Lili
tersenyum manis dan menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu ia pun berkata, “Wi
Kong Siansu, aku yang muda sudah sering kali mendengar namamu yang besar
sebagai orang yang berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada
benarnya, akan tetapi agaknya kau orang tua sudah menjadi pikun dan lupa akan
ejekan orang-orang jaman dahulu yang berbunyi: peluh orang lain berbau busuk,
akan tetapi kotoran sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau mencela aku yang
muda, bahkan membawa nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi, bukankah tikus gundul
itu murid keponakanmu sendiri? Kenapa kau tidak mencelanya sama sekali? Apakah
kau anggap bahwa perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?”
Merahlah
wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang
semenjak kecil gemar berkelahi dan karena sering kali bertengkar, maka ia juga
menjadi pandai berdebat! Apa lagi karena dia sering kali mendengar ayahnya
memberi nasehat dengan segala macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya
dapat dia pergunakan untuk ‘memukul’ lawan, telah hafal di dalam kepalanya.
Dengan
kata-katanya yang lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi
Kong Siansu sehingga tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!
“Hemm, Nona
muda, biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini
sombong di hadapan Toat-beng Lo-mo! Agaknya ayahmu hanya memberi didikan ilmu
silat saja kepadamu, sama sekali tidak memberi pelajaran mengenai tata susila
dan sopan santun!”
Kembali Lili
tersenyum lebih manis lagi. Semakin manis senyum gadis ini, maka semakin
berbahayalah dia, karena itu merupakan tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya
dan berada dalam keadaan yang amat waspada.
“Totiang,
orang-orang dulu yang lebih tua dari padamu telah menyatakan bahwa manusia
dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan
dari keputihan hatinya (budiman).”
Mulai
bersinar pandang mata Wi Kong Siansu. “Bocah lancang mulut! Apakah kau mau
menyatakan bahwa kau anggap aku seorang jahat?”
“Tak ada
sangka-menyangka dalam hal ini, Totiang,” kata Lili sambil mengerling ke arah
Kam Seng dengan pandangan mengejek. “Ayah pernah berkata bahwa burung gagak
hanya akan berkawan dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan
burung sorga! Aku tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan
semua orang di sini jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa
orang-orang yang bernama Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, yang keduanya tinggal
di tempat ini juga adalah binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari
muka bumi ini!”
Ucapan ini
terasa bagai tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam
Seng merupakan ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi
merah sekarang berubah menjadi pucat.
Wi Kong
Siansu berkata lagi, “Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat
sekali. Sikapmu menantang kepadaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi
seorang anak kecil seperti kau. Kam Seng, kau wakili aku dan coba kau uji
kepandaian Nona ini!”
Kam Seng
tidak berani membantah. Gurunya sudah tahu bahwa sebelum dia datang di tempat
itu, ia adalah suheng dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan
sikap ragu-ragu dan membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga
kepadanya. Pula, Lili adalah anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas,
sungguh pun cara membalas dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam
otaknya!
Dia amat
sayang kalau nona yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik
kalau dia dapat mengambil nona ini menjadi isterinya! Bukan karena cinta kasih
murni, akan tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya!
Sambil
menekan debar jantungnya, Kam Seng segera melangkah maju sambil mencabut
pedangnya.
“Lili,”
katanya dengan suara tenang, “kau sudah berani menghina Suhu. Lekas cabutlah
pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah
kepandaianmu sesuai dengan kesombonganmu ini!”
Lili tidak
menjawab, bahkan dia lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh
perhatian dari kepala sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak
tampan dan gagah, mukanya putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke
atas. Pakaiannya bersih dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan
leher kuning emas dan celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng
yang dulu itu! Dulu hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering,
berpakaian compang-camping dan kotor.
“Hemm, Kam
Seng, kau benar-benar sudah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu itu semewah
keadaan dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar
mencerminkan keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi
kedok dari pada kebobrokan di sebelah dalam!” Suara ini dikeluarkan dengan
bibir masih tersenyum simpul, seolah-olah ia adalah seorang dewasa yang sedang
memberi nasehat kepada seorang anak kecil.
“Sudahlah,
Lili, jangan banyak cakap lagi,” Kam Seng menjawab dengan muka kemerah-merahan.
“Tidak ada gunanya bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!”
“Lagakmu
seperti orang gagah saja!” Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan dia
mengeluarkan sebuah kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi
tubuhnya yang tidak gerah!
Bagi
pandangan orang lain dan juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah
sekali kepada lawannya. Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan
menghadapinya dengan kipas di tangan!
“Lili, lekas
kau keluarkan pedangmu. Aku tak mau menyerang orang bertangan kosong!” Ucapan
ini sengaja dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti
Hwesio yang dibencinya.
Akan tetapi
Lili hanya tersenyum saja dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi. “Untuk
menghadapi seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!” katanya.
Tidak
seperti Kam Seng dan orang-orang lainnya, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas
di tangan Lili itu dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik
perhatian tosu ini, melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu.
Orang lain
apa bila memegang kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara
empat jari dan ibu jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang
dijepit antara ibu jari dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain
lurus dan tegang!
Berdebarlah
dada tosu ini karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di utara, yaitu
Swie Kiat Siansu, ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya.
Bagaimana gadis ini bisa menjadi murid Swie Kiat Siansu?
“Kam Seng,
jangan pandang ringan kipas itu, kau seranglah!” katanya kepada muridnya.
Lili
diam-diam memuji ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut
dan memperhatikan kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih
kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan
sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat dari pada gading yang keras.
Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi
telah digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula.
Ia masih
merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai
senjata? Akan tetapi karena suhu-nya telah menyuruhnya menyerang, ia lantas
bergerak maju.
“Awas
pedang!” teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng Kan-goat
(Bintang Mengejar Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.
Laksana
sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar
terus kemana saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh
pedangnya adalah pundak kanan Lili. Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam
Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau hendak menewaskan
gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada
Lili untuk mengelak.
Akan tetapi,
ternyata Lili sama sekali tak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini
dengan senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapa pun juga, dia tidak
bisa membatalkan serangannya karena hal ini akan membikin marah suhu-nya dan
biar pun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga!
Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment