Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 09
PADA waktu
ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup
pundak, tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas
lalu mengubah gerakan kipasnya dan kini dia mengebut ke arah pedang Kam Seng
yang ujungnya sudah mendekati pundaknya.
Kam Seng
hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya. Gerakan dengan kipas di
tangan yang sangat sederhana namun luar biasa sekali, dibarengi penyerangan
yang luar biasa pula. Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang
luar biasa.
Permukaan
kipas menangkis ujung pedang, lalu kebutannya mendatangkan angin yang menyambar
wajahnya sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari
gading itu cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangan
kanannya yang memegang pedang!
“Lihai
sekali...!” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. “Aku berani bertaruh bahwa
ini tentulah Ilmu Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!”
Sementara
itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan wajahnya
menjadi pucat. Karena tadi memandang rendah hampir saja ia terkena totokan
hanya dalam segebrakan saja. Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi
Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya.
Kam Seng
berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku sheji (sungkan) lagi. Ia
mengerahkan kepandaiannya dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang
Hek-kwi Kiam-sut, yaitu ilmu pedang ciptaan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang
amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya.
Diam-diam
Lili kagum juga melihat ilmu pedang ini. Sayang dia sudah berkumpul dengan
orang-orang jahat, pikirnya. Bila ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu
ilmu sitatnya akan amat berguna.
Sama sekali
Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari
pendidikan Mo-kai Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang pelajaran dari
Wi Kong Siansu. Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat
yang dia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.
Lili maklum
bahwa ilmu kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya dari pada Hok Ti
Hwesio. Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti
Hwesio mendasarkan kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanan
pun kuat, bahkan batok kepalanya juga dapat menahan pukulan maut.
Sebaliknya,
Kam Seng mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangan yang dilancarkan
pemuda ini sangat berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada
lawan. Akan tetapi, daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio.
Ilmu Kipas
Maut yang dia warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar
biasa sekali, dan disebut ilmu silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan
Air). Kipas yang dulu dipergunakan oleh Swie Kiat Siansu adalah kipas yang
layarnya terbuat dari pada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang gadis,
Lili tidak suka menggunakan kipas yang buruk rupa.
Ia sengaja
membuat kipas yang kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang
dilukisi dan ditulisi syair. Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat
digunakan untuk senjata, akan tetapi juga dapat dipakai untuk pemantas dan
untuk mencari angin sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan
syairnya ditulis sendiri oleh ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada
kipas ini.
Dalam
perkelahian menghadapi lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia
berlaku amat hati-hati agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak.
Maka ia lalu menutup kipasnya, dan hanya mempergunakan gagangnya saja untuk
menghadapi Kam Seng.
Hal ini
tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali untuk
menjatuhkan lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi
tiga kali lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua pada
kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok. Permukaan kipas
dapat digunakan untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya
saja dapat membuat lawan menjadi bingung. Dengan menutup kipas itu, maka
senjata ini hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau
mengirim serangan totokan.
Sebelum
berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dahulu Kam Seng telah mendapatkan
gemblengan dari Mo-kai Nyo Tiang Le dan ia telah sering menderita sehingga ia
menjadi tekun sekali melatih lweekang, maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak
dapat dibilang rendah tingkatnya.
Kalau saja
Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, maka
dapat dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan sanggup
dirobohkan olehnya. Akan tetapi karena Lili menghadapinya dengan kipas
tertutup, maka pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali.
Tetapi masih
saja Lili selalu berada pada pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan
dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan
dan perkembangan serangan lawan lantas dapat mendahuluinya. Berbeda dengan
ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau mengejeknya dan tidak mau
mempermainkannya pula, sebab di dalam hatinya tidak terkandung kebencian
terhadap Kam Seng, hanya ada penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu
tersesat.
Setelah bertempur
hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai berhasil
mendesak Kam Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili
dapat berkelahi sedemikian kuatnya dengan hanya bersenjatakan sebuah kipas
kecil? Ia lalu mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mo-kai Nyo Tiang
Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili betul-betul hebat sekali dan ujung
gagang gading itu selalu mengancam jalan darahnya.
Pada waktu
pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang
mementalkan gagang gadingnya kemudian membalas dengan totokan ke arah iga,
terpaksa Kam Seng harus menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau
Lapar Mengintai Korban. Dengan amat cepatnya, ia langsung menggerakkan pedang
menyapu pergelangan kaki gadis itu.
Menghadapi
serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang amat mengagumkan. Ia tidak
melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan dengan berani dia lalu
memapaki datangnya pedang ini dengan gerakan kaki yang dinamakan gerak tipu
Dewa Bumi Menginjak Ular.
Kaki
kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah
dapat menyambut permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, dia
menekan dan menggerakkan tenaga lweekang pada kakinya yang terus menindih dan
menginjak pedang itu di atas tanah!
Kam Seng
terkejut sekali. Dia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan
tetapi sia-sia belaka. Pedangnya itu seakan-akan sudah terjepit dan tertindih
oleh batu karang yang berat sekali sehingga tidak dapat terlepas dari tindihan
kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum! Kemudian, gagang kipas gading di
tangan Lili cepat menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng.
Melihat
datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal
yang membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu
dia melepaskan gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan
gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Dia dapat menghindarkan diri dari
totokan, akan tetapi dia harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa dia
telah kalah!
Dengan muka
merah dia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka, akan tetapi diam-diam
dia amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.
“Hebat...!
Hebat...!” kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih
menginjak pedang.
Sekali tosu
tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung
lengan baju melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu dia membetot
keras akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang
itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili!
Dia terkejut
dan diam-diam dia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu
betul-betul hebat. Ia segera dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan
tenaga Thai-san-cui, karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah
betotannya dapat tertahan.
Kakek ini
tersenyum-senyum, kemudian berseru, “Lepas!”
Dia lalu
mengerahkan tenaga Im-yang-cui. Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga
membetot semata, sebab ujung bajunya itu membetot dengan tenaga terbalik, yaitu
justru mendorong pedang itu ke depan, kemudian di tengah-tengah dorongannya
ini, barulah ia menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang sifatnya
bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng, maka
kehebatannya pun luar biasa sekali.
Lili maklum
bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka tiba-tiba saja ia
melepaskan tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu
jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik
pedang itu!
Memang gadis
ini selain nakal, juga mempunyai banyak akal dan lihai sekali. Biar pun jari
kakinya tersembunyi di dalam sepatu kain, dan tenaganya dapat berkurang
karenanya, namun dia masih dapat melakukan gerakan yang lihai ini. Pedang itu
yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga
menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan
terbang menuju ke arah leher tosu itu!
Kini Wi Kong
Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak
mau ‘kalah muka’! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, dia
kemudian merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu dengan tepat sekali
memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si kakek yang
lihai!
Semua orang
langsung memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu
bergoyang-goyang seakan-akan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili
sendiri pun merasa amat kagum dan terkejut karena makin maklum bahwa dia kini
menghadapi seorang tosu yang berilmu tinggi sekali.
Dengan
tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian sambil
tersenyum-senyum kepada Lili dia pun berkata,
“Siancai...
Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau
masih begini muda, akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan
kau sudah mewarisi kepandaian Swie Kiat Siansu! Tak percuma kau menjadi puteri
Pendekar Bodoh! Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang
anak-anak seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin
mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang ke sini.”
“Totiang,
kau bilang tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin
bertempur dengan kau? Telah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan
dengan kau, dan juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau si kepala
gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk yang bernama Bouw Hun Ti
untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya!”
Pada waktu itu,
Bouw Hun Ti tidak berada di kelenteng itu. Bahkan dia tidak ada pula di dusun
Tong-sin-bun, oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu
telah pergi jauh ke utara.
Bouw Hun Ti
memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biar pun ia telah berhasil
mengundang datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya, namun ia masih
berkhawatir juga. Sesudah berunding dengan suhu-nya dan supek-nya itu dan
mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke utara untuk mengunjungi tiga orang
sahabat baiknya yang berilmu tinggi, yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui
(Tiga Iblis Geledek dari Hailun).
Ketiga orang
ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu
sebuah kota di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk
mereka agar datang kemudian bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh beserta
kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang
ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan yang
dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan.
Mendengar
kata-kata Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong
Siansu lalu tertawa.
“Ahh,
sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan sedemikian
mudahnya menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Lagi pula, pada saat ini
murid keponakanku itu tidak berada di sini.”
“Bohong!”
seru Lili marah. “Totiang, kau ingatlah. Walau pun aku tidak ingin bermusuhan
dengan kau orang tua, akan tetapi kalau engkau hendak menyembunyikan dan
membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!”
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari dalam kelenteng, disusul dengan
mengebulnya asap hitam diikuti berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk
yang berpakaian mewah. Ban Sai Cinjin telah datang pula sambil membawa
huncwe-nya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa dia sudah siap untuk
bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam
gelap?
Sebagaimana
sudah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko
besar di dusun Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula
rumah penginapan di mana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini
pula.
Ketika
menyaksikan kecantikan Lili, para pengurus hotel segera memberi laporan kepada
Ban Sai Cinjin yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia
amat gembira mendengar bahwa di hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita.
Penuturan pengurus rumah penginapan itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian
tinggi, malah membuat hatinya makin gembira.
“Ha-ha-ha!
Inilah yang selama ini kucari-cari,” katanya. “Aku telah merasa bosan dengan
gadis-gadis yang lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah
layu dan rontok. Aku menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi
ketika dia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana
perginya, dan ditunggu-tunggu belum juga kembali, maka mulai curigalah hati Ban
Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sin-bun, orang dapat melancong ke manakah?
Apa lagi seorang gadis muda!
Dia lalu
teringat akan penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan
karena Ban Sai Cinjin merasa bahwa dia mempunyai banyak musuh yang mendendam
sakit hati kepadanya, maka ia lalu berlaku waspada.
Digantinya
tembakau pada huncwe-nya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di
tengah hutan itu. Benar saja, dia melihat gadis cantik jelita itu sedang berada
di dalam kelentengnya dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.
Ia kemudian
tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan
kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,
“Nona, kau
mencari Bouw Hun Ti? Ha-ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku
mewakilinya menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu,
tentu kau tidak kuperbolehkan mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan
kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!”
Melihat
munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa dia harus melawan mati-matian,
karena dia tahu akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.
“Hemm, aku
tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher
muridmu Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya pada
waktu aku masih kecil dan terutama sekali untuk membalas dendam karena dia
sudah membunuh kakekku, yaitu Yo Se Fu!”
“Mudah saja,
mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun
Ti, kita makan minum untuk menghormat kedatanganmu!”
Lili maklum
bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tidak boleh
gegabah, apa lagi di situ terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari
orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari
penyakit sendiri.
“Ban Sai
Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa
mau meladeni orang seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada
di sini, sudahlah!” Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ.
Akan tetapi
tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.
“Ha-ha-hi-hi,
enak saja kau mau pergi dari sini! Kau berani datang ke kelentengku tanpa
kupanggil, dan kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau
berlaku sesuka hatimu? Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau
berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang
sombong ini?”
“Suhu, dia
adalah puteri dari Pendekar Bodoh dan tadi pun dia hampir saja membunuh teecu!”
tiba-tiba Hok Ti Hwesio berkata sambil menudingkan jarinya ke arah Lili dengan
pandangan marah. Hwesio muda ini ingin sekali suhu-nya membalaskan hinaan yang
dia alami tadi.
Merah muka
Ban Sai Cinjin mendengar ini. Apa bila gadis ini sudah dapat mengalahkan Hok Ti
Hwesio, itu tandanya bahwa kepandaian gadis ini tidak boleh dibuat gegabah. Dia
menengok kepada Kam Seng dan Wi Kong Siansu dengan heran.
“Ada Suheng
dan Kam Seng di sini, bagaimana dia bisa mengganggu Hok Ti?”
Kam Seng
buru-buru berkata, “Teecu juga sudah kena dikalahkan oleh Nona ini.”
“Hemm, hemm,
lihai juga,” Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk. “Baiknya Suheng belum turun
tangan, biarlah aku yang meringkus bocah ini!” Sambil berkata demikian, dengan
gerakan yang tak terduga-duga, Ban Sai Cinjin cepat mengulurkan tangan kirinya
hendak menangkap pundak Lili.
Gadis itu
segera mengelak dan menggunakan kipasnya yang masih dipegangnya untuk mengebut
dan menotok pergelangan tangan lawan yang diulur itu. Ban Sai Cinjin hanya
tersenyum-senyum saja dan sama sekali tidak mau mengelak. Kakek ini sudah
memiliki kekebalan yang melebihi Hok Ti Hwesio sehingga dia tidak takut akan
segala totokan biasa saja.
“Awas,
Sute!” seru Wi Kong Siansu yang maklum bahwa sute-nya memandang rendah kepada
gadis muda itu.
Akan tetapi
sudah terlambat, karena ujung gagang kipas di tangan Lili dengan tepat telah
menotok jalan darah di pergelangan tangan Ban Sai Cinjin. Kakek ini cepat
mengerahkan kekebalannya, akan tetapi dia segera menjerit karena kaget dan
kesakitan, dan alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa lengan kirinya
menjadi lumpuh!
Bukan main
hebatnya totokan yang tadi dilancarkan oleh kipas Lili ini, sehingga dia dapat
mematahkan kekebalan Ban Sai Cinjin dan masih dapat menembusi kulit tebal itu
untuk mencari sasarannya.
Sambil
berseru keras, Ban Sai Cinjin melompat ke belakang dan cepat dia menggunakan
tangan kanannya untuk mengetok kemudian mengurut lengan kirinya, dan dengan
cepat dia dapat membebaskan lengan kirinya dari pengaruh totokan yang lihai
itu!
Lili juga
terkejut dan kagum sekali. Totokannya tadi berbahaya dan dapat menewaskan
seorang lawan, akan tetapi kakek itu tidak menjadi roboh dan bahkan dapat
memulihkan kembali jalan darahnya dengan cepat.
“Kurang
ajar!” teriak Ban Sai Cinjin dengan marah sekali sehingga mukanya yang merah
itu berubah menjadi pucat sekali. “Kau ganas dan liar, harus mampus di
tanganku!”
Cepat
seperti harimau menerkam ia lalu menubruk maju dan menggerakkan huncwe-nya
mengetok kepala Lili dengan gerakan yang cepat sekali. Lili tak mau berlaku
lambat dan mendadak nampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika
gadis ini mencabut pedangnya, yaitu Liong-coan-kiam pemberian ayahnya!
“Tranggg…!”
Terdengar
bunyi keras ketika huncwe itu beradu dengan pedang dan bunga api berpijar
indah.
Ilmu silat
Ban Sai Cinjin benar-benar hebat, ganas dan kuat sekali. Huncwe di tangannya
menyambar-nyambar, diliputi uap hitam yang menyeramkan dan berbau tak enak
sekali.
Akan tetapi,
pedang Liong-coan-kiam di tangan Lili bergerak-gerak dengan indahnya pula.
Sedikit pun huncwe lawannya tidak dapat mendekati tubuhnya, karena ke mana saja
huncwe itu berkelebat, selalu terhalang oleh sinar pedang yang agaknya secara
otomatis mengikuti gerakan lawannya. Tubuh gadis itu ketika bersilat pedang
bergerak dengan lincah dan indah bagaikan orang sedang menari, begitu lemah
gemulai, namun demikian kuatnya. Benar-benar mengagumkan!
Dan kini Wi
Kong Siansu sendiri memandang dengan mata terbelalak, bukan saja saking
kagumnya, akan tetapi juga karena heran dan bingung. Belum pernah dia
menyaksikan ilmu pedang yang sehebat dan seaneh ini!
Inilah ilmu
pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan Pendekar Bodoh. Ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut
ini berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, ilmu pedang sederhana yang aneh dan
lihai sekali yang diciptakan oleh Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh (baca cerita
Pendekar Bodoh).
Oleh karena
ilmu pedang ini ciptaan ayah Lili sendiri dan tidak pernah diturunkan kepada
orang lain, tentu saja ilmu pedang ini jarang sekali terlihat di dunia
persilatan, berbeda dengan ilmu-ilmu pedang dari cabang persilatan besar
seperti Gobi Kiam-hoat, Kun-lun Kiam-hoat, dan lain-lain yang banyak dimainkan
oleh para muridnya.
Kalau
melihat Lili sedang mainkan pedang ini, agaknya ia lebih mahir dari pada
ayahnya sendiri, yaitu dalam hal kelincahan serta keindahan gerakan. Akan
tetapi, sesungguhnya tentu saja ia tak dapat menandingi ayahnya, terutama
sekali dalam kematangan gerakan dan pengalaman pertempuran.
Kini menghadapi
seorang lawan berat seperti Ban Sai Cinjin, meski pun ilmu pedangnya berhasil
membingungkan lawan dan membuat huncwe maut di tangan Ban Sai Cinjin tak banyak
berhasil, namun pertempuran ini membuat gadis itu menjadi letih sekali. Tiap
kali senjatanya beradu dengan senjata lawan, dia langsung merasa urat-uratnya
tergetar dan pertempuran kali ini telah memaksa dia mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaga.
Ia memang
tak usah khawatir akan terkena senjata lawan, akan tetapi sebaliknya, sukar
pula baginya untuk dapat merobohkan lawan tangguh ini. Huncwe itu benar-benar
lihai sekali dan memiliki gerakan yang serba aneh dan tak terduga.
Ban Sai
Cinjin menjadi gemas dan marah luar biasa. Perasaan ini timbul dari rasa malu
dan penasaran. Benar-benarkah dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut dan juga Si
Golok Malaikat, orang yang sudah puluhan tahun malang-melintang di kalangan
kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan, sekarang tidak berdaya merobohkan
seorang bocah yang belum ada dua puluh tahun usianya? Dan seorang bocah
perempuan pula, yang berkulit halus, bermata bintang, berbibir merah semringah,
dan nampak lemah?
Jarang ada
seorang lawan, seorang kang-ouw yang bagaimana tangguhnya pun, mampu melawan
huncwe-nya sampai lebih dari dua puluh jurus. Akan tetapi gadis manis ini telah
melawannya sampai lima puluh jurus dan sedikit pun dia belum dapat
menjatuhkannya!
“Bangsat
perempuan, kau harus mampus!” mendadak Ban Sai Cinjin berseru marah dan kini
tangan kirinya yang tadi tidak ikut menyerang, lalu dikepal-kepal dan kepalan
tangan itu tak lama kemudian berubah menjadi kemerah-merahan!
Thio Kam
Seng atau lebih benar Song Kam Seng, terkejut sekali melihat kepalan tangan
susiok-nya ini. Celaka, pikirnya, kini Lili berada di pinggir jurang maut! Ia
maklum bahwa kalau kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin sudah menjadi
kemerah-merahan, itu tandanya bahwa kakek ini telah mengerahkan tenaga
Ang-tok-jiu (Tangan Merah Beracun)! Jangan kata sampai terkena pukul, baru
tersambar oleh angin pukulan tangan Ang-tok-jiu ini saja, lawan dapat roboh
menderita luka hebat yang dapat membawanya ke lubang kubur!
Harus diakui
bahwa Lili adalah seorang gadis yang boleh dikata pengalamannya dalam hal
pertempuran masih hijau dan jarang sekali dia bertempur menghadapi tokoh-tokoh
kang-ouw seperti Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, dia adalah puteri dari sepasang
suami isteri pendekar besar.
Ayahnya, Sie
Cin Hai atau Pendekar Bodoh, adalah seorang ahli silat yang sangat jarang
tandingannya, sedangkan ibunya, Kwee Lin atau Lin Lin, juga memiliki kepandaian
yang amat tinggi. Lebih-lebih lagi karena baik ayah mau pun ibunya telah
mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran dan terutama sekali ayahnya
sudah sering menghadapi akal-akal serta ilmu-ilmu jahat dan kejam yang dimiliki
oleh golongan hek-to (jalan hitam, penjahat). Karena itu sering kali gadis ini
didongengi oleh ayah bundanya, termasuk juga tentang Ang-se-jiu (Tangan Pasir
Merah) dan Ang-tok-jiu yang sudah pernah dia dengar dari ayahnya.
Ia tidak
mengira bahwa kakek ini memiliki ilmu yang jahat ini pula, maka setelah melihat
kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin berubah merah, cepat ia menyelipkan kipasnya
di saku bajunya dan ia pun segera menggerak-gerakkan tangan kirinya lalu
mengerahkan tenaga sinkang-nya, bergerak-gerak ke kanan kiri hingga tak lama
kemudian dari seluruh lengan kirinya mengebullah uap putih. Inilah Ilmu Silat
Pek-in Hoat-sut, yakni ilmu turunan dari sucouw-nya (kakek guru) yang bernama
Bu Pun Su!
Pada waktu
huncwe Ban Sai Cinjin melayang ke arah pelipisnya, dia menangkis dengan
pedangnya dan secepat kilat Ban Sai Cinjin menonjok ke arah dadanya dengan
tangan kiri yang mengandung tenaga Racun Merah itu! Angin pukulan itu sudah
terlebih dahulu menyambar, namun dengan tenang akan tetapi waspada dan cepat
sekali Lili kemudian menangkis pula dengan tangan kiri.
Hebat sekali
tenaga pukulan Ang-tok-jiu dan tenaga tangkisan Pek-in Hoat-sut ini. Orang
tidak melihat dua lengan tangan itu beradu, akan tetapi tubuh kedua orang itu
terpental mundur sampai dua tindak ke belakang!
Ban Sai
Cinjin menjadi pucat saking kagetnya melihat betapa gadis muda itu sanggup
menangkis pukulan mautnya sedemikian lihainya. Sedangkan Lili juga terkejut
sekali dan buru-buru dia mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya ketika
merasa betapa seluruh urat pada tangan kirinya terasa kesemutan! Ini adalah
tanda bahwa betapa pun hebatnya ilmu silat Pek-in-hoat-sut, akan tetapi dalam
hal tenaga dalam, dia masih kalah terhadap kakek ini.
Pengalaman
ini membuat dia berlaku hati-hati sekali. Berkali-kali Ban Sai Cinjin kembali
melancarkan serangan dengan pukulan Ang-tok-jiu, karena kakek ini pun maklum
bahwa dia masih menang tenaga sehingga apa bila dia menyerang bertubi-tubi, ada
harapan dia akan melukai gadis itu.
Akan tetapi
kini Lili menangkis dengan cerdik sekali. Ia menggunakan tangkisan dari ilmu
pukulan Pek-in Hoat-sut dari samping, dengan cara menyampok tenaga serangan
lawan dari samping, tidak mengadu tenaga seperti tadi. Oleh karena ini, selalu
apa bila pukulan Ang-tok-jiu datang, dia tidak perlu mengadu tenaga dan hanya
menyampok dari samping sambil mengelak saja. Dengan cara demikian, maka tenaga
pukulan lawan yang hebat itu tidak langsung datangnya dan tidak demikian telak
menghantamnya.
Wi Kong
Siansu makin kagum saja, demikian pula Ban Sai Cinjin diam-diam juga kagum
sekali kepada puteri Pendekar Bodoh ini. Tadinya ia tidak ingin menggunakan
kelicikan dalam pertempuran ini, karena ia segan untuk merobohkan lawannya yang
masih muda dan wanita pula ini dengan ilmu hitam. Namun, karena tahu bahwa ia
tidak mudah dapat merobohkannya, dan hal ini akan lebih memalukannya lagi,
tiba-tiba dia lalu menyedot huncwe-nya dan sekali dia berseru keras, dari
mulutnya menyembur keluar asap hitam yang amat berbahaya menuju ke muka Lili!
Gadis itu
terkejut sekali. Sungguh pun asap itu masih jauh dari mukanya, namun ia telah
mencium baunya yang amat memuakkannya. Ia cepat melempar tubuhnya ke belakang,
melakukan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang membuat gerakan poksai (salto)
sampai tiga kali dan turun beberapa tombak jauhnya dari lawannya.
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak. Ia maklum bahwa lawannya takut kepadanya, maka ia
berseru, “Nona manis, kau hendak lari ke mana?”
Lalu dia
menyedot huncwe-nya pula dan kesempatan itu dia pergunakan untuk membuka
kantong tembakau yang tergantung pada huncwe-nya lalu mengisi kembali mulut
huncwe itu dengan tembakau baru. Ia sudah mengambil keputusan untuk merobohkan
lawannya dengan asap mautnya!
Lili maklum
bahwa sungguh pun hawa Pek-in Hoat-sut dari tangan kirinya akan dapat menolak
asap hitam itu buyar terkena hawa Pek-in Hoat-sut, asap yang ringan itu masih
akan dapat menyerangnya. Asap macam ini tidak menyerangnya mengandalkan tenaga
tiupan, melainkan mengandalkan kejahatan racun yang dikandungnya.
Karena itu
ia segera melepaskan tenaga Pek-in Hoat-sut dari lengan kirinya dan sebagai
gantinya, dia cepat mengeluarkan kipasnya. Sekali dia menggerakkan jari tangan
kirinya, kipasnya ini telah terkembang dan dipegangnya seperti hendak mengipas
tubuhnya.
Ban Sai
Cinjin belum tahu bahwa gadis ini sudah mewarisi Ilmu Silat San-sui San-hoat
(Ilmu Kipas Bukit dan Air) yang lihai dari Swie Kiat Siansu, maka tanpa
memperhatikan kipas ini, dia lalu menyerbu lagi dengan sekaligus mengeluarkan
tiga serangan. Tangan kirinya memukul dengan Ang-tok-jiu, tangan kanannya
menggerakkan huncwe menotok leher, dan dari mulutnya menyembur asap yang hitam
dan tebal ke arah muka lawannya!
Lili merasa
girang saat melihat lawannya tidak memperhatikan kipasnya, dan gadis yang cerdik
ini lantas mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya yang sangat lihai ini.
Dia menanti datangnya serangan dengan amat tenang dan sengaja berlaku agak
lambat untuk menarik perhatian lawan.
Untuk
menghindarkan diri dari tiga serangan itu, dia mempergunakan ginkang-nya (ilmu
meringankan tubuh) yang luar biasa, berkelit ke kanan sambil merendahkan tubuh
sebab dia maklum bahwa asap hitam itu tidak akan turun ke bawah. Ia sengaja
menanti untuk memancing lawannya.
Benar saja,
melihat keadaan gadis yang agaknya lambat gerakannya ini, Ban Sai Cinjin
menjadi girang dan mengira bahwa gadis itu telah terkena racun asap hitamnya,
maka ia melanjutkan serangan dengan mencengkeram ke bawah sambil mengayun
huncwe-nya. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba kipas di tangan kiri Lili
dikebutkan ke arah uap hitam yang tebal tadi sehingga uap itu melayang ke arah
muka Ban Sai Cinjin!
Tentu saja
sebelumnya Ban Sai Cinjin telah menggunakan obat penawar untuk menolak pengaruh
asap hitam dari huncwe-nya sendiri sehingga serangan asap yang membalik ke
mukanya ini tidak membahayakannya sama sekali. Akan tetapi bukan itulah
kehendak Lili. Kebutan kipasnya ini bermaksud membuat asap hitam itu menutupi
pandang mata lawannya dan maksudnya ini memang berhasil baik. Betapa pun juga,
Ban Sai Cinjin tak berani menghadapi racun asap tembakaunya sendiri dengan mata
terbuka.
Untuk sesaat
sambil meniup ke arah asap itu dia meramkan matanya dan dengan tidak
terduga-duga sekali, tiba-tiba saja ia merasa pangkal lengan kirinya sakit sekali!
Ternyata bahwa tadi pada waktu ia sedang menghadapi asap yang membalik itu,
secepat kilat Lili mengelak dari serangan kedua tangannya, bergerak sambil
menggeser kakinya ke kanan dan dari samping dia segera mengirim totokan dengan
kipasnya yang dapat tepat sekali mengenai pangkal lengan kiri lawannya!
Tubuh Ban
Sai Cinjin terhuyung ke belakang dan tiba-tiba dia merasa datangnya angin
dingin ke arah leher dan lambungnya! Ia maklum akan bahaya maut itu. Ternyata
bahwa lambungnya sudah diserang oleh pedang Liong-coan-kiam dengan gerakan
Lutung Sakti Memetik Buah sedangkan lehernya telah diserang oleh sepasang
gagang kipas dengan gerakan Gunung Thai-san Menimpa Kepala!
Ban Sai
Cinjin mengeluarkan keringat dingin dan cepat dia menjatuhkan diri ke belakang.
Akan tetapi gerakan kipas ke arah lehernya itu luar biasa cepatnya.
“Krekk!”
terdengar suara dan pundaknya masih terkena gagang kipas itu.
Ban Sai
Cinjin menjerit dan maklum bahwa sambungan tulang pundaknya telah terlepas!
Lili tidak mau memberi hati dan terus mendesak dengan serangan yang lebih hebat
lagi. Agaknya tak lama lagi nyawa Ban Sai Cinjin terpaksa akan meninggalkan
raganya.
Akan tetapi,
tentu saja Wi Kong Siansu tidak mau tinggal diam melihat sute-nya terancam
bahaya maut. Cepat bagaikan seekor burung gagak menyambar bangkai, dia melompat
ke belakang gadis itu dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan
bajunya!
Lili sedang
mengerahkan seluruh tenaga serta perhatiannya untuk menewaskan kakek mewah yang
dibencinya itu. Sungguh pun dia mendengar angin pukulan Wi Kong Siansu dari
belakang dan mencoba untuk mengelak, dia tetap terlambat.
Gerakan Wi
Kong Siansu luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jalan darah kim-to-hiat di
punggungnya telah kena tertotok oleh ujung lengan baju tosu itu. Lili mengeluh
perlahan, kipas dan pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya dengan lemas
tak berdaya langsung terkulai ke atas lantai!
Ban Sai
Cinjin dengan meringis-ringis sudah dapat bangun kembali dan melihat keadaan
Lili yang sudah roboh oleh suheng-nya, ia masih dapat tertawa terbahak-bahak.
“Bagus, Suheng, bagus! Kau telah dapat merobohkan kuda betina liar ini!”
Matanya
berkilat penuh dendam terhadap Lili, kemudian perlahan-lahan ia bergerak maju
menghampiri gadis muda itu. Lili masih dapat memandang lawannya ini dan
pikirannya masih berjalan terang, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah lemas
tidak dapat digerakkan lagi.
Gadis ini maklum
akan bahaya yang akan menimpa dirinya, dan sinar ketakutan segera terbayang
pada matanya. Gadis ini tidak takut akan mati, akan tetapi ia maklum bahwa
terjatuh ke dalam tangan manusia iblis seperti Ban Sai Cinjin ini, tentulah
nasibnya akan jauh lebih mengerikan dari pada kematian!
Akan tetapi,
pada saat itu tiba-tiba bayangan tubuh Kam Seng berkelebat dan pemuda ini
tahu-tahu telah mendahului Ban Sai Cinjin menyambar tubuh Lili yang terus
dipeluk dan dipondongnya!
“Kam Seng!
Kau lepaskan dia!” Ban Sai Cinjin berseru keras dengan mata melotot.
Kam Seng
memandang kepada susiok-nya. Hatinya bimbang ragu. Di lubuk hatinya ada
perasaan cinta yang besar terhadap gadis ini, sungguh pun perasaan itu tertutup
kabut kebenciannya karena kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar
Bodoh, musuh besarnya! Jika gadis jelita ini harus mati, maka dialah yang
berhak membunuhnya, bukan orang lain. Apa lagi dia merasa ngeri dan jijik
memikirkan nasib gadis jelita ini di tangan susiok-nya. Maka ia lalu memandang
kepada suhu-nya dan berkata,
“Suhu,
maukah Suhu memberikan puteri musuhku ini kepada teecu?”
Wi Kong
Siansu adalah seorang kakek yang tajam pandangan matanya. Karena sudah
berpengalaman, dia dapat merasa bahwa muridnya yang tersayang tentu jatuh hati
dan tertarik oleh kecantikan gadis ini. Sebaliknya, dIa pun dapat melihat sinar
mata dahsyat dari mata sute-nya, maka dia lalu berkata kepada sute-nya,
“Sute,
berikan gadis ini kepada Kam Seng. Kau tentu masih ingat bahwa ayah gadis ini
adalah musuh besar dari Kam Seng dan biarkanlah dia melepaskan rasa sakit hati
dan dendamnya kepada puteri musuh besarnya!”
Ban Sai
Cinjin memandang marah, akan tetapi ia lalu tertawa.

“Baik, baik,
Suheng. Kau yang meronohkannya, maka kau pula yang berhak menentukan nasibnya.
Akan tetapi awaslah kalau gadis ini sampai terlepas, Kam Seng. Dia lihai sekali
dan kau tak akan dapat menguasainya!”
Wi Kong
Siansu juga tertawa. “Sute, kau sudah tua. Kam Seng lebih muda, maka kau tentu
tahu akan kehendak hatinya melihat gadis cantik ini. Biarkanlah dia
melampiaskan dendamnya dan biar dia pula yang menghabiskan nyawa musuhnya ini.
Hati-hati, Kam Seng, jangan sampai dia terlepas!”
Hok Ti
Hwesio juga berkata kepada Kam Seng sambil menyeringai, “Sute, bila kau sudah
selesai dengan dia, berikanlah kepadaku. Aku perlu jantungnya untuk obat!”
Kemudian
hwesio ini berjalan masuk ke kelenteng. Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin juga
berjalan masuk untuk mengobati lukanya.
Ong Tek,
putera pangeran yang semenjak tadi menyaksikan segala peristiwa ini dengan dada
berdebar dan muka pucat, lalu ikut pergi pula ke dalam kamarnya sambil menarik
tangan Tan-kauwsu. Kini Wi Kong Siansu tinggal berdua dengan Kam Seng yang
masih memondong tubuh Lili yang lemas.
“Muridku,
kau tentu mencinta gadis ini, bukan?”
Bukan main
terkejutnya hati pemuda itu mendengar ucapan suhu-nya. Untuk beberapa lama dia
tidak mau dan tidak dapat menjawab, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga
dengan suara perlahan,
“Suhu lebih
waspada dan awas. Sesungguhnya, sakit hati teecu terhadap ayah gadis ini amat
besar, karena itu teecu hendak menjadikannya sebagai isteri di luar kehendaknya
atau pun kehendak orang tuanya. Hal ini akan dapat teecu pergunakan untuk
membalas penghinaan dan sakit hati, jika tak terkabul cita-cita teecu untuk
menewaskan Pendekar Bodoh.”
Wi Kong
Siansu menggeleng-geleng kepalanya. “Salah... salah..., muridku. Aku mengerti
akan maksudmu, akan tetapi apa kau kira akan mudah saja menjadikan gadis ini
sebagai sekutu kita? Biar pun kau dapat memaksanya menjadi isterimu, akan
tetapi apa kau kira dia akan tunduk begitu saja? Kau jangan memandang rendah
gadis ini. Dia benar-benar lihai sekali. Lebih baik kau tamatkan saja
riwayatnya supaya kelak kita tidak mengalami gangguan dari padanya.”
Tosu ini
membicarakan tentang mati hidup seorang gadis bagaikan bicara tentang seekor
domba saja! Memang, bagi Wi Kong Siansu, urusan-urusan dunia sudah tidak masuk
hitungan pula, dan mati hidup baginya hanya urusan kecil.
“Akan teecu
pikir-pikir dulu, Suhu,” kata Kam Seng dan dia lalu membawa Lili ke dalam
kamarnya. Di ruangan dalam, dia bertemu dengan Ong Tek yang menghadangnya dan
pemuda tanggung ini berkata,
“Suheng...
hendak kau apakan gadis ini?”
Wajah Kam
Seng berubah merah. “Kau tak usah tahu, Sute. Kau masih kecil dan belum tahu
urusan. Gadis ini adalah musuh besarku, ayahnya dulu telah membunuh ayahku.”
“Ah...!”
hanya demikian seruan Ong Tek yang segera berlari kembali ke dalam kamarnya.
Akan tetapi sebelum memasuki kamarnya dia merasa pundaknya dipegang orang.
Ketika dia menengok ternyata Hok Ti Hwesio yang memegangnya.
“Ong-sute,
jangan kau turut campur dengan urusan itu. Seng-sute sedang berpesta-pora, ia
mendapat keuntungan besar, mendapat hadiah seorang bidadari jelita. Kau tentu
tidak tahu...! Ha-ha-ha!”
“Tidak...
tidak!” Ong Tek menjadi pucat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Suheng,
besok pagi juga aku akan pergi dari sini. Aku mau pulang saja ke kota raja! Tak
tertahan olehku semua kejadian yang mengerikan ini. Tidak kusangka sama sekali
bahwa kalian demikian... demikian...”
“Apa
maksudmu, Sute?” Hok Ti Hwesio memandang tajam.
“Mengapa
kalian bisa begitu kejam terhadap seorang gadis seperti dia?” Sambil berkata
demikian, Ong Tek lalu melompat ke dalam kamarnya, kemudian menutupkan pintunya
keras-keras. Terdengar dia menangis dan berkata-kata dengan Tan-kauwsu utusan
dari kota raja itu.
Hok Ti
Hwesio termenung sambil mengerutkan jidat. Kemudian dia lalu mencari suhu dan
supek-nya untuk menceritakan sikap dari putera pangeran ini.
Sementara
itu, dengan dada berdebar keras, Kam Seng memondong tubuh Lili ke dalam
kamarnya, lalu menutup daun pintu dan melemparkan tubuh Lili ke atas
pembaringannya. Gadis itu terbanting ke atas pembaringan dengan tubuh lemas dan
rebah telentang tak berdaya. Hanya sepasang matanya saja yang masih bertenaga
dan kini ditujukan kepada Kam Seng dengan tajam berapi-api!
Ia telah
mendengar semua percakapan tadi dan tahu akan maksud pemuda ini. Yang
membuatnya terheran-heran adalah ketika mendengar bahwa Kam Seng adalah musuh
besar Pendekar Bodoh, bahwa ayahnya sudah membunuh ayah pemuda ini!
Sungguh-sungguh mengherankan, akan tetapi keheranannya ini tersapu habis oleh
kebenciannya terhadap pemuda ini.
Dia maklum
bahwa dia tidak berdaya sama sekali. Telah dicobanya untuk membebaskan diri
dari pada totokan Wi Kong Siansu, akan tetapi sia-sia saja. Dia maklum dengan
hati penuh kengerian bahwa dia telah berada di dalam tangan Kam Seng dan tak
akan dapat melawan sedikit pun juga.
Akan tetapi
masih ada semangat di dalam hatinya yang tidak karuan rasanya itu, yaitu
semangat untuk membalas dendam. Biarlah, pikirnya, dan tunggulah saja! Apa bila
aku sampai lepas dari pada totokan ini, akan kuhancurkan kepalamu hingga
menjadi bubur!
Sementara
itu Kam Seng duduk menghadapi Lili dengan wajah sebentar merah sebentar pucat.
Ia menatap wajah dan tubuh Lili tanpa berkedip. Seribu satu macam pikiran kini
teraduk di dalam hatinya. Pikirannya menjadi pening.
Berkali-kali
dia sudah mengulurkan tangan hendak meraba muka gadis, itu, akan tetapi selalu
ditariknya kembali. Pandangan mata Lili yang bagaikan dua cahaya api itu terasa
menusuk matanya. Hatinya penuh gairah kalau ia melihat wajah yang manis hidung
yang kecil bangir, apa lagi bibir yang luar biasa indah dan manisnya itu. Akan
tetapi sepasang mata Lili merupakan dua pedang mustika yang membuat dia
senantiasa tak enak pikiran.
“Dia musuh
besarku!” demikian bisik hatinya. “Aku boleh membunuhnya, menghinanya! Ayahku
dulu juga terbunuh oleh ayahnya!”
“Akan tetapi
ia dan Sin-kai Lo Sian pernah menolongku!” bisik suara lain di hatinya. “Dan
aku... aku cinta kepadanya. Dan alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi
isteriku untuk selamanya!”
“Sekarang
pun kau bisa mengambilnya menjadi isterimu!” bisik suara pertama.
“Siapa tahu
kalau ia akan dapat tunduk terhadapmu dan membalas cintamu. Setidaknya malam
ini kau akan menjadi suaminya!”
Terdorong
oleh bisikan ini, Kam Seng mengulurkan tangan kanan. Untuk beberapa lama
jari-jari tangannya membelai-belai rambut Lili yang halus. Belaian ini penuh
dengan kasih sayang, akan tetapi mendadak dia menarik kembali tangannya ketika
pandang matanya bertemu dengan sinar mata Lili.
Demikianlah,
sampai lewat tengah malam Kam Seng berada dalam keadaan ragu-ragu. Nafsu
dendamnya mendorongnya untuk membunuh Lili, untuk menghinanya, untuk dapat
melampiaskan sakit hatinya terhadap ayah gadis itu. Akan tetapi ada kekuasaan
lainnya yang menahan kehendaknya ini, kekuasaan cinta. Kekuasaan ini membuat
dia tidak tega untuk menyakiti Lili baik menyakiti hati mau pun raganya.
Akhirnya dia
tidak kuat pula menghadapi pandangan mata Lili. Dia mencabut pedangnya dan
hendak membebaskan gadis ini dari siksaan lebih lanjut. Hendak dibunuhnya gadis
ini dan habis perkara!
“Lili,”
katanya sambil berdiri dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu, dan
sebelum itu hendaknya kau ketahui bahwa engkau adalah puteri musuh besarku!
Ayahku bernama Song Kun dan menjadi kakak seperguruan ayahmu, akan tetapi
ayahmu telah membunuhnya! Ayahmu telah membunuh ayahku dan karena itulah aku
hidup sengsara. Karena itulah ibuku terlunta-lunta dan aku menjadi yatim piatu,
menjadi pengemis untuk bertahun-tahun lamanya! Karena itu kau harus mati! Kau
harus berterima kasih kepadaku karena kau terhindar dari penghinaan, terhindar
dari penghinaan Susiok, dan... dan... aku pun tidak sampai hati menghinamu!
Aku... aku kasihan kepadamu!”
Ia berhenti
sebentar dan dilihatnya air mata mengalir turun dari sepasang mata indah dan
jelita itu.
“Lili,
bersiaplah untuk mati,” katanya sambil mengangkat pedangnya.
Dari kedua
mata gadis itu tidak nampak rasa takut sedikit pun, bahkan sinar berapi-api
tadi telah padam, bibirnya agak tersenyum. Lili memang merasa lega bahwa ia tak
akan menjadi korban penghinaan, maka dia menghadapi kematian dengan amat
tabahnya.
Kam Seng
mengayun pedangnya ke atas dan... tiba-tiba saja ia menurunkan pedangnya
kembali, bahkan pedang itu terlepas ke atas lantai! Ia lalu meramkan mata dan
menubruk Lili, lalu... mencium jidat gadis itu satu kali. Dilemparkannya
tubuhnya ke belakang dan dia pun terduduk di atas bangku yang tadi didudukinya.
Ia
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Terdengar helaan napas berkali-kali.
“Ahh, Lili... aku... aku tidak tega membunuhmu... aku... aku cinta kepadamu!”
Sinar mata
Lili mulai berapi-api lagi. Untuk ciuman pada jidatnya itu saja ia sudah dapat
membunuh Kam Seng kalau dapat. Keadaan menjadi sunyi kembali.
Kam Seng
duduk seperti tadi, menghadapi Lili, tidak tahu harus berbuat apa! Betapa pun
bencinya kepada Pendekar Bodoh, hatinya tetap tidak tega untuk mengganggu apa
lagi membunuh gadis ini.
“Lili...
Lili... aku tidak sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku bisa
membunuh gadis yang kucinta dengan seluruh jiwaku? Tidak, Lili, tidak! Aku
tidak akan membunuhmu, akan tetapi... aku pasti akan mencari ayahmu, aku harus
membalas sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!” demikian keluh kesah yang
keluar dari mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
Pada saat
itu, terdengar suara senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan
Hok Ti Hwesio, “Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu
merobohkan gadis setan ini...!”
Mendengar
seruan ini, Kam Seng melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong
kepada suhu-nya, yaitu Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada suhu-nya
sendiri, berarti bahwa tentu terjadi mala petaka hebat dan datang musuh yang
tangguh.
Ia hendak
melompat keluar dari kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa
khawatir bahwa kalau ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan
gadis yang dikasihinya itu akan diganggu oleh Hok Ti Hwesio atau Ban Sai
Cinjin. Untuk beberapa saat dia merasa ragu-ragu, lalu menghampiri Lili dan berkata,
“Lili, aku
hendak membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh
rasa cinta kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku
pasti akan membalas dendamku pada ayahmu yang sudah membunuh ayahku!”
Sesudah
berkata demikian, Kam Seng segera menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok
pundak Lili. Dia telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka dia tahu
pula bagaimana harus membuka totokan dari suhu-nya itu. Setelah menotok pundak
gadis itu, dia lalu melompat keluar sambil membawa pedangnya, langsung menuju
ke ruang depan dari mana terdengar suara senjata beradu.
Walau pun
pengaruh totokan yang menghentikan jalan darahnya sudah lenyap dan jalan
darahnya sudah terbuka kembali, akan tetapi Lili masih merasa lemas dan hanya
dapat bergerak perlahan. Dia segera mengumpulkan semangat dan mengatur
pernapasannya untuk melancarkan kembali jalan darahnya.
Dia melihat
betapa kipas dan pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam
Seng. Hatinya merasa tidak karuan karena dia telah mengalami ketegangan hebat
selama dibawa di dalam kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan
juga diam-diam ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu.
Ada sedikit
rasa girang dalam hatinya bahwa biar pun pemuda itu telah menggabungkan diri
dengan orang-orang jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam
dan jahat. Masih ada kegagahan di dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan
supek-nya Song Kun, karena ia pernah ia diceritakan tentang halnya Song Kun ini
oleh ibunya.
Setelah
kesehatannya pulih kembali, Lili cepat mengambil senjata-senjatanya kemudian
melompat keluar di mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia
tiba di ruang luar, di bawah sinar lampu ia melihat seorang gadis cantik manis
yang memiliki gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga oleh Ban
Sai Cinjin, Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio!
Sungguh
mengagumkan sekali betapa gadis cantik manis itu bisa menghadapi lawannya
sambil tersenyum-senyum dan mainkan kedua tangannya yang tidak memegang
senjata. Ginkang-nya sungguh hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu
bermain di antara tiga bunga itu menyambar-nyambar, di celah tiga gulungan
sinar senjata di tangan tiga pengeroyoknya.
“Goat
Lan...!” Lili berteriak girang pada waktu ia mengenal wajah manis yang
tersenyum-senyum itu.
“Hai, Lili,
anak nakal! Kau di sini?” Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya
masih sempat berjenaka.
“Goat Lan,
jangan khawatir. Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!”
Lili segera
mencabut keluar kipas dan pedangnya, lantas menyerbu dan menyerang Ban Sai
Cinjin. Ia merasa segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja
memilih Ban Sai Cinjin dan membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti
Hwesio.
Ban Sai
Cinjin sudah merasakan kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka
hebat oleh gadis ini. Dalam keadaan sehat dia masih belum dapat mengalahkan
Lili, apa lagi sekarang pundaknya masih belum sembuh benar, tentu saja ia
merasa amat gelisah.
Kalau saja
ia tidak sedang terluka, tadi pun Goat Lan tak nanti dapat mempermainkan dia
begitu mudah. Dan ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja
tadi sore ia tidak bertempur dengan main-main dan memandang rendah. Terpaksa ia
menggigit bibir, dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Ban Sai
Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian sangat tinggi,
juga sudah mengenal banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak
tipu-tipu curang. Pengalamannya amat luas dan tenaga lweekang-nya juga telah
mendekati batas kesempurnaan. Oleh karena itu biar pun ia sudah terluka masih
amat sukarlah bagi Lili untuk dapat merobohkan kakek mewah ini. Sebaliknya,
jangan harap bagi Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang
mempunyai ilmu kipas dan ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Berbeda
dengan pertempuran antara Lili melawan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan
seimbang, pertempuran antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam
Seng dan Hok Ti Hwesio, berjalan berat sebelah. Ketika tadi dikeroyok tiga,
gadis itu masih dapat melayani dengan senyum simpul, apa lagi sekarang. Meski
pun kepandaian Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian silat para ahli silat biasa, akan tetapi bagi gadis manis itu mereka
berdua ini masih merupakan ahli-ahli silat kelas rendah saja!
Bagaimanakah
gadis itu yang ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ?
Dan mengapa tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio
pada saat Lili tertawan dalam kamar Kam Seng?
Seperti
sudah dituturkan pada bagian depan, dalam percakapan antara Ong Tek putera
pangeran dan Hok Ti Hwesio, pemuda cilik dari kota raja itu merasa amat muak
dan tidak senang melihat peristiwa yang terjadi di dalam kuil di mana dia
belajar silat kepada Ban Sai Cinjin.
Betapa pun
juga, Ong Tek adalah seorang pemuda bangsawan yang sejak kecil dididik dengan
pelajaran-pelajaran kesopanan dan juga dia sudah banyak membaca kitab-kitab
kuno di mana terdapat segala macam pelajaran mengenai kebajikan. Ia menjadi
terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata sendiri betapa jahat adanya
orang-orang yang selama ini dia hormati dan junjung tinggi. Maka dia lalu masuk
ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu dia memaksa kepada Tan-kauwsu, utusan
dari ayahnya itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang
ke kota raja.
Sikap pemuda
bangsawan ini membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat hwesio ini
menjumpai suhu-nya. Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari kota
raja itu, dia pun mengerutkan alisnya.
“Sungguh
berbahaya,” katanya perlahan. “Bila anak itu pulang dan menceritakan segala
peristiwa yang terjadi kepada ayahnya dan para pembesar, tentu nama kita akan
hancur dan tercemar.”
“Kenapa
pusing-pusing, Suhu? Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan
hendak merusak nama kita, lebih baik kita lenyapkan dia bersama guru silat itu,
habis perkara!”
Ban Sai
Cinjin menjadi ragu-ragu. “Enak saja kau bicara! Apa kau kira Ong Tek itu orang
biasa saja yang boleh kita perbuat sesuka kita! Apa bila dia sampai lenyap, apa
kau kira Pangeran Ong tidak akan mencari dan menimbulkan huru-hara yang akan
menyulitkan kita?”
Hok Ti
Hwesio tersenyum “Apa sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek?
Sedangkan menghadapi orang-orang besar seperti pendekar Pek-le-to Lie Kong
Sian, Mo-kai Nyo Tiang Le, Sin-kai Lo Sian, kita masih sanggup membereskan
mereka tanpa banyak ribut dan tiada seorang pun mengetahui, apa lagi seorang
manusia macam Ong Tek dan seorang guru silat seperti orang she Tan itu? Suhu,
mengapa kita tidak mau meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan
mereka? Kita sebarkan bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-kauwsu adalah
puteri Pendekar Bodoh itu, bukankah ini baik sekali?”
Wajah Ban
Sai Cinjin berseri. “Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!” ia memuji.
“Kita lenyapkan kedua orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh
seperti Lo Sian. Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap jejak mereka dan tak seorang pun
mengetahuinya.”
Pada saat
itu, terdengar tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari kelenteng itu.
“Nah, itulah
mereka yang agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus
bertindak cepat sebelum Supek mengetahui!” berkata Hok Ti Hwesio yang merasa
takut kepada supek-nya, Wi Kong Siansu yang pada waktu itu sudah berada di
dalam kamarnya.
Ban Sai
Cinjin dan Hok Ti Hwesio segera melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek
diikuti oleh Tan-kauwsu yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.
“Ong Tek,
kau hendak pergi ke manakah?” Ban Sai Cinjin membentak.
Melihat
suhu-nya datang bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi sangat terkejut dan
sinar ketakutan membayangi wajahnya yang tampan.
“Suhu...
teecu hendak... hendak pulang ke kota raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa
rindu kepada ayah dan ibu...!”
“Hemm, kau
hendak lari dari kami, ya? Bagus, murid macam apa kau ini? Tidak boleh, kau
tidak boleh pergi! Tentu di kota raja kau hendak membuka mulut besar tentang
kami, ya?”
“Tidak...
tidak, Suhu... tidak!” kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat suhu-nya
melangkah maju dengan huncwe mengancam di tangan.
“Kau murid
durhaka. Kau harus diberi hajaran!”
Tan-kauwsu
segera melompat maju. “Jangan kau berani mengganggu Ong-kongcu, Ban Sai Cinjin!
Ingat, dia adalah putera Pangeran Ong!”
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula
ikut campur bicara! Apa kau kira aku takut kepada segala macam pangeran? Biar
kepada Kaisar sendiri pun aku tidak takut!” Ia lalu melangkah maju dan mengayun
huncwe-nya ke arah kepala guru silat she Tan itu!
Serangan ini
hebat dan cepat sekali, akan tetapi Tan-kauwsu sungguh pun tidak memiliki ilmu
silat yang dapat dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun dia sudah
banyak merantau dan telah mempunyai pengalaman yang banyak dalam pertempuran.
Ia cepat mengelak ke belakang, akan tetapi hawa pukulan huncwe itu masih
membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Pada waktu
Ban Sai Cinjin hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba saja dari
atas genteng menyambar turun sesosok bayangan manusia yang gerakannya begitu
cepat sehingga nampak bagaikan seekor burung garuda menyambar.
“Manusia
setan!” bayangan itu berseru dengan suaranya yang nyaring dan merdu. “Kau
benar-benar kejam!”
Dan
tiba-tiba huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah
kepala Tan-kauwsu itu terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas!
Ketika Ban
Sai Cinjin yang merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya
telah berdiri seorang gadis yang cantik manis dengan dua buah lesung pipit di
sepasang pipinya. Gadis ini cantik dan jenaka sekali, sepasang matanya
bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum lebar
sehingga giginya yang rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak
berkilat.
Ban Sai
Cinjin tercengang karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis
muda dapat menahan huncwe-nya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia
sedang menghadapi seorang gadis muda yang menjadi murid orang sakti.
Gadis cantik
itu tersenyum manis. “Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut.
Hemm, pantas saja kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh
orang lagi.” Dia lalu menengok ke arah Ong Tek dan Tan-kauwsu, lalu berkata
kepada Ong Tek,
“Aku sudah
mendengar bahwa kau adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa
tersesat dalam neraka dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau
lekas melanjutkan niatmu pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut,
boneka besar pengusir burung di sawah ini serahkan saja kepadaku!”
Ong Tek lalu
memandang tajam, agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu di dalam
ingatannya, kemudian dia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti
oleh Tan-kauwsu.
“Ong Tek,
jangan kau berani pergi dari sini!” seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut
pisaunya dan menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek!
Pisau itu
terbang lewat di dekat gadis itu yang dengan tenang mengulurkan tangan dan
sekali tangannya bergerak, pisau itu telah disampoknya ke bawah sehingga pisau
itu kini meluncur ke bawah dan menancap di atas lantai!
“Hmm, hwesio
gundul, telah banyak aku mendengar tentang hwesio-hwesio gundul yang pada
hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat rendah yang banyak mencemarkan nama para
pendeta Buddha! Agaknya kau yang paling rendah di antara mereka semua!”
Bukan main
marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan serta melihat sikap gadis itu. Tanpa
banyak cakap lagi ia lantas menyerang dengan huncwe-nya. Juga Hok Ti Hwesio
lalu menubruk kembali pisaunya, mencabutnya dari lantai dan maju menyerang.
Ban Sai
Cinjin yang biasanya amat sayang kepada gadis cantik, biar pun harus diakui
bahwa dara di hadapannya ini memiliki kecantikan yang sangat menggiurkan dan
jarang terdapat, kini hatinya sama sekali tidak terguncang, bahkan ingin sekali
dia membunuh gadis ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya lalu menyerang
hebat kepada gadis manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong.
Sungguh
hebat ilmu ginkang dari gadis itu. Dengan lincahnya dia dapat mengelakkan diri
dari sambaran huncwe dan pisau lawannya, bahkan dia masih sempat memaki-maki
dan mentertawakan sambil membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang
tidak boleh dipandang ringan.
Ban Sai
Cinjin terkejut sekali melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia pun
mengeluh dalam hatinya. Selamanya hidup, belum pernah dia mengalami malam
sesial ini. Secara berturut-turut telah datang dua orang gadis yang aneh dan
lihai sekali!
Kalau saja
ia tidak terluka pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia
akan dapat menyerang lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat
melihat betapa gadis itu mempergunakan Ilmu Silat Bi-ciong-kun (Kepalan
Menyesatkan) yang menjadi pecahan dari Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-im
Siu-ban-po (Dewi Kwan Im Menyambut Selaksa Musuh)!
Akan tetapi
pergerakan kedua tangan gadis ini sangat aneh, agak berbeda dengan ilmu silat
tersebut, dan yang membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah
ilmu ginkang dari gadis ini. Ilmu meringankan tubuhnya mengingatkan dia kepada
empat besar di dunia dan terutama sekali kepada Bu Pun Su!
Akan tetapi,
gadis yang sekarang tertawan di dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu
murid Bu Pun Su sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu ginkang-nya!
Melihat
betapa dia bersama gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali dia
menerima pukulan tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai
berteriak-teriak memanggil supek-nya minta bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya
yang hebat, ia terhindar dari mala petaka ketika tangan gadis itu berhasil
memukulnya sampai dua kali......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment