Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 20
Ang I Niocu
mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil
mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah
dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti
ayahnya.
Ahh, ia
merasa menyesal mengapa dia telah menjauhkan diri dari mereka ini. Kalau saja
ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah
ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat
perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu
bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah
Lili membalas serangan lawan. Dia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu
tangan kirinya bergerak…
“Plokk!”
terdengarlah suara yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban
merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang
dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi dia masih mampu mempertahankan dirinya.
Walau pun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar,
ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban
memekik kesakitan pada waktu pukulan Pek-in Hoat-sut itu mengenai dadanya.
Pedangnya terampas dengan amat mudahnya dan akibat pukulan yang lihai itu,
tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah
kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang
betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya dia tidak punya
niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras,
merampas pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.
Karena itu
dia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba rombongan orang-orang Haimi yang
berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak itu
dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban
menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Lili
melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi telah terlambat. Tubuh
Saliban sudah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat
Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri
berlutut di hadapan gadis gagah itu.
“Lihiap,
jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata
seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak
Saliban. “Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol
sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah
tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran
dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah mala petaka, karena dia
pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai pemimpin kami.
Hari ini, Lihiap sudah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan
tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan
orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan
malapetaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri
kami dibunuh oleh orang Mongol!” Sesudah orang tua ini berkata demikian,
kemudian terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu
telah menangis sedih.
Ang I Niocu
yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu
dengan suara mengejek, “Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja
yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampangnya saja yang
gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang
selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata.
Persoalan tak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Apa bila
kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena
sekali Nona ini telah mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”
Orang-orang
Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan
jengah. Mendengar nasehat mengenai kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh
amat memalukan sekali.
“Siapakah
kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua
tadi.
Dengan suara
bangga, Lili segera memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. “Kalian tentu
sudah pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu,
pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ie-ku yang tercinta.
Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan
dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya
seorang manusia biasa itu, biar pun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang
dewata, dengan Ie-ie-ku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”
Nama besar
Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat
sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali
yang tua-tua, juga telah mendengar dan mengenal nama ini. Maka serentak mereka
memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau
begitu, mulai hari ini juga kami mengangkat Lihiap serta Niocu sebagai
pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib
bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, sesudah kami dikalahkan oleh bangsa
Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua
dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa
hari sekali kami dibolehkan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa
Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak
mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut
Saliban yang khianat!”
Mendengar
penuturan ini, baik Lili mau pun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Di mana
tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.
“Tidak jauh
dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua
tadi.
“Nah, kita
tunggu apa lagi? Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I
Niocu.
Orang-orang
Haimi itu terkejut sekali. “Akan tetapi... tempat itu sudah dijaga oleh seratus
orang-orang yang jahat.”
Lili menjadi
hilang sabar. “Pengecut! Kalian tadi sudah mengakui kami berdua sebagai
pemimpin, kenapa sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tak
percaya kepada Ie-ie-ku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi
meninggalkan kalian!”
Mendengar
ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian
dengan wajah girang orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang
jumlahnya masih ada empat puluh dua orang, lalu beramai-ramai mereka pergi
menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang
wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat di
mana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di sana
hanya terdapat gubuk-gubuk yang sangat sederhana dan miskin, dan penghidupan
keluarga Haimi itu tak lebih baik dari pada penghidupan sekelompok ternak.
Benar saja, di sekeliling kampung itu dijaga oleh orang-orang Mongol yang
bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu
mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu
dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke
kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini selalu bercakap-cakap
seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.
“Ie-ie, aku
pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.
Ang I Niocu
cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri-seri. “Betulkah? Kau sudah
bertemu dengan Siong-ji? Di mana? Bagaimana dia?”
Lili adalah
seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biar pun ia gemar sekali berjenaka,
akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
“Menyesal
sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar
sekali, Ie-ie!”
Bukan main
terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga dia lalu menoleh ke
belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat!
Kemudian dia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya
sungguh sangat menyeramkan, “Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau
menganggap dia demikian? Apakah yang telah dia perbuat?”
“Perjumpaanku
yang pertama adalah ketika ia… ia mengganggu seorang gadis cantik!” Kembali Ang
I Niocu terkejut sekali.
“Tak
mungkin! Siong-ji tidak akan melakukan perbuatan seperti itu!”
Akan tetapi
Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong pada waktu pemuda ini
hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya
sehingga kemudian dia bertempur dengan Lie Siong.
“Agaknya
puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya.”
“Siapa gadis
itu, Lili? Dan mengapa puteraku bisa bersama dengan dia dan melakukan
perjalanan bersama?”
“Bagaimana
aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan
pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur
karena tidak saling mengenal.”
“Hemm,
sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?”
“Yang kedua
kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek
Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat itu... puteramu
dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dalam
pertempuran ini... ia...” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah
sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah... berlaku amat
kurang ajar terhadap aku, Ie-ie...”
“Ia berbuat
apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”
“Dia telah
merampas sebelah sepatuku!”
“Apa...??”
Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk
apakah?”
Makin merah
wajah Lili. “Entahlah, siapa tahu?”
Lili
cemberut sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin
Lin, ibunya.
“Aku tidak
dapat mengejar karena kakiku telanjang. Dia pergi sambil membawa sepatuku dan
luka di punggungnya.”
“Hmm,
aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”
“Masih belum
hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah
bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”
“Gila! Apa
artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo
Sian? Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuh
Sin-kai Lo Sian. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”
Sebetulnya
Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang
mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus
dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.
“Harap Ie-ie
mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui satu hal yang
amat penting dan mengejutkan hati. Dia pernah menyatakan dan terdengar oleh
puteramu bahwa... bahwa... suamimu telah meninggal dunia.”
Lili melihat
betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan
tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
“Di mana
matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.
“Inilah
soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan
terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi penjelasan. Ah, kasihan
orang tua itu, dia sesungguhnya tidak dapat memberi keterangan itu karena
ingatannya sudah hilang.”
“Apakah
maksudmu?”
Dengan jelas
Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu
bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata
keluar dari mulutnya lagi.
Lili
memandang dengan terharu dan amat kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah.
Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tapi tidak
mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi
berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi
pukulan itu.
Tanpa
bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata, “Lili, bencikah kau
kepada anakku?”
Lili
terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti
ini. Ia seorang gadis yang jujur, apa lagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak ingin
membohong. Bencikah ia terhadap Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda
itu sering kali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurang
ajarannya.
“Tidak, Ie-ie.
Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa
aku harus membencinya? Biar pun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan
membawa lari sepatuku...”
“Itu tanda
dia suka kepadamu, anak bodoh!”
Lili
tertegun. “Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap
karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.
“Dan kau
suka kepadanya?” Ang I Niocu bertanya pula, masih belum bergerak dan tidak
menoleh.
Berdebar
jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, langsung menyerang dengan
pertanyaan-pertanyaan yang demikian jitu dan terus terang, betul-betul
menyulitkannya. Agaknya demikian pula jika pendekar wanita ini menyerang lawan
dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
“Ie-ie,
bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk
menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”
“Masudku,
Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh lantas memandang tajam
kepada gadis itu, “karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh,
engkaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri
Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut
menjadi mantuku.”
“Enci Goat
Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.
“Lebih-lebih
begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan mengijinkan
Siong-ji menikah selain dengan engkau!”
Bukan main
jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke
telinganya dan dadanya berdebar. Ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu
tanda girang atau marah.
“Tidak
mungkin, Ie-ie. Puteramu itu sudah mencintai seorang gadis lain yang melakukan
perjalanan bersama dia!”
“Apakah kau
yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”
“Aku tidak
mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya
kalau marah. “Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”
“Tidak
mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti
engkau. Ah, sudahlah, hal itu akan mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau
menjadi mantuku?”
“Ie-ie,
dalam hal ini, aku hanya dapat menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku
dapat memutuskannya sendiri?”
Ang I Niocu
memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa
percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan
Lili tak banyak bercakap lagi. Dia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I
Niocu sesudah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya.
Terbayang
berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan
Song Kam Seng tidak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam
sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa
perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya? Apakah
bukan sekedar hendak menghinanya belaka?
Ketika
rombongan itu sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi
itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.
“Siapa
menyuruh kalian datang pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian dibolehkan
masuk ke sini! Mana Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan
kami,” kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah
menyeramkan.
“Bangsat
Mongol, tidak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang lantas
minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!” Lili melompat maju sambil
menudingkan kipasnya.
Sejak tadi
gadis ini sudah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat
karena perjalanan itu. Di sepanjang jalan keadaan gadis ini dan Ang I Niocu
memang menimbulkan keheranan para orang Haimi.
Hawa udara
amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya
kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa
dalam tubuh untuk membikin panas tubuhnya, melawan hawa dingin sambil
melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat.
Ada pun kipas Lili ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tak seorang
pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.
Orang Mongol
tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak-gelak.
“Ha-ha-ha! Mana Saliban? Bagus benar, dia sudah membawa seorang tawanan wanita
yang sedemikian cantiknya! Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka
memberi dia sepuluh potong uang emas untuk ditukar denganmu! Ha-ha-ha!”
Akan tetapi
suara ketawanya segera disusul dengan pekik mengerikan pada waktu Lili
menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol
itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.
Gegerlah
seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para
penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan
halilintar menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, pasti ada
sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu
sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa-sisa para penjaga Mongol itu
melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, pergi meninggalkan
kawan-kawan mereka yang telah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.
Pertemuan
antara keluarga Haimi dengan para prajurit Haimi itu sungguh mengharukan
sekali. Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera
pergi meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah
timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah
mereka berhenti.
Ang I Niocu
tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sulit
baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apa bila terjadi pertempuran
dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi
lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang
kuat.
Sesudah itu,
orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut
menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.
“Lili, kau
pimpinlah orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara
kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur
orang-orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan
orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan.”
“Aku akan
memimpin mereka mencari benteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko
Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku, Ie-ie.”
“Hemm, jadi
Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol?
Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku
hendak mencari puteraku, dan ingin mencari pembunuh suamiku pula. Kau bawalah
mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu
silatmu aku bisa percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”
Setelah
berkata demikian dan memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam
pandangan mata orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama
saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak
kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.
“Untuk
sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini,” kata
Lili kepada orang-orang Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga
kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke
lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”
“Lihiap, aku
tahu di mana adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata
orang Haimi tua yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.
“Bagus
sekali, Paman Nurhacu. Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Tetapi
sekarang perkuatlah penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu
sampai lima hari, kalau keadaan sudah nampak aman, baru kita membawa keluarga
ini menuju ke benteng itu.”
Lili
diperlakukan sebagai kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini
yang dianggap sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini
telah disediakan pula dan para wanita juga melayaninya dengan penuh kebaktian
sehingga diam-diam Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada orang tuanya dan
kawan-kawan lain, agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi
yang ternyata selain jujur, juga amat manis budi ini.
Tiga hari
kemudian, pada siang hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor
kepada Lili.
“Lihiap,
dari arah selatan datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua
orang laki-laki. Dan yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku
bangsa kami yang dulu, yaitu Lilani, puteri Manako dan Meilani! Menanti
keputusan Lihiap apakah yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju
ke sini!”
Berdebar
hati Lili mendengar laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi
dan dua orang laki-laki?
“Bagaimana
macamnya dua orang laki-laki itu?” tanyanya.
“Yang seorang
adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena
pedangnya tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua
berpakaian tambal-tambalan.”
Makin
berdebar dada Lili mendengar ini. Tidak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong
dan Lo Sian! Jadi wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah
puteri dari Manako dan Mellani? Ahh, bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?
“Jangan
menggunakan kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak,
“akan tetapi tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”
“Ditawan...??”
penjaga itu ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari...”
“Cukup!
Jangan membantah. Bawa mereka menghadap ke sini! Dan apa bila mereka melakukan
perlawanan, datang lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”
Sementara
itu, Nurhacu yang mendengar bahwa Lilani sudah datang, dengan girang dia
bersama kawan-kawannya lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala
mereka itu.
Yang datang
memang benar Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di
bagian depan, mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari
suku bangsa Haimi. Pada hari kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan
sepasukan orang Mongol yang terdiri dari belasan orang.
Lie Siong
segera menyerbu dan menangkap seorang di antara mereka, lalu memaksanya memberi
keterangan di mana adanya suku bangsa, Haimi. Orang Mongol yang sudah tak
berdaya lagi itu memberi tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban
berada di sekitar kaki Bukit Alkata-san di sebelah barat, maka Lie Siong segera
mengajak kawan-kawannya untuk mencari di daerah itu.
Ketika
Lilani mendengar suara bersorak dan melihat serombongan orang Haimi datang
berlari-lari menyambutnya, ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.
“Paman
Nurhacu...!” serunya penuh keharuan dan kegirangan.
Kakek Haimi
itu juga berseru, “Lilani... ahh, Lilani...”
Mereka lalu
berpelukan sambil bertangis-tangisan. Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi
dan Lie Siong melihat betapa Lilani seolah-olah hidup kembali, seolah-olah
sudah menempuh hidup baru. Wajah gadis ini berseri gembira, matanya
bergerak-gerak hidup, tidak sayu dan muram seperti tadinya. Dia pun menarik
napas lega.
Pada saat
Lilani bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu beserta
kawan-kawannya, datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.
“Menurut
keputusan Lihiap, mereka bertiga ini harus ditangkap dan dibawa menghadap
kepadanya,” kata penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya
supaya dimengerti oleh dua orang yang mengantar Lilani itu.
Mendengar
ucapan ini, Lie Siong menjadi marah. Dia cepat mencabut pedangnya, lantas
melompat ke hadapan Lilani, melindunginya sambil membentak,
“Apa? Kalian
mau menangkap Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas
pemimpinmu, sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin
kulihat bagaimana kepalamu yang berkumis itu menggelinding meninggalkan
tubuhmu!”
“Jangan,
Taihiap, jangan! Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Apa bila mereka sudah
mempunyai seorang kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah
kita lakukan itu dan kita lihat siapa adanya kepala mereka yang ternyata
seorang wanita itu. Menurut penuturan Paman Nurhacu, Paman Saliban yang jahat
sudah tewas oleh kepala baru ini. Marilah, Taihiap, harap kau jangan mengganggu
mereka.”
Juga Lo Sian
menyabarkan hati Lie Siong sehingga dengan apa boleh buat pemuda ini lalu
menyimpan kembali pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi
itu, pergi menghadap Lili!
Ketika tiga
orang ‘tawanan’ ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.
“Suruh
mereka tunggu.” kata Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena
perutku lapar. Setelah makan, barulah aku akan menerima mereka!”
Nurhacu
menjadi heran sekali. Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan
nampaknya marah. Akan tetapi diam-diam dia melakukan perintah ini dan ketika
tiba di luar pondok tempat tinggal Lili, dia memberitahukan kepada Lilani bahwa
kepala mereka sedang makan serta minta mereka menanti sebentar. Ketika Lilani
menyampaikan warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda ini.
“Siapa sih
dia yang begitu sombong?” katanya.
Akan tetapi
kembali Lilani menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh
orang-orang perempuan Haimi. Riuh rendah di sana, terdengar gelak ketawa dan
tangis. Pertemuan yang sangat mengharukan antara Lilani dan para keluarga
Haimi. Dari orang-orang perempuan ini Lilani mendengar bahwa kepala yang baru
ini adalah seorang wanita cantik yang gagah yang sudah membebaskan mereka dari
tahanan orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum
sekali.
Tak lama
kemudian, seorang penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti. “Tamu yang tertua
dipanggil menghadap lebih dulu,” katanya.
Lo Sian
bangkit dan mengikuti penjaga itu masuk ke dalam. Dia diantar sampai di luar
pintu dan dipersilakan masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan
melangkah masuk, hampir saja dia berseru saking kagetnya.
Akan tetapi
Lili cepat-cepat memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan
melambaikan tangan meminta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku
depan mejanya.
“Lili,
bagaimana kau bisa berada di sini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini?
Mengapa kau menyuruh kami ditangkap”
Lili
tersenyum, “Lo-pek-pek, apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau sudah
menjadi korban dan binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”
“Lili, dia
adalah seorang pemuda yang baik dan dia benar-benar putera Ang I Niocu. Aku
memang diculiknya, akan tetap itu dilakukannya karena dia ingin tahu tentang
ayahnya.”
“Aku tahu,
Pek-pek. Karena itulah maka lebih-lebih harus disesalkan kekurang ajarannya!
Aku telah menolong suku bangsa Haimi dan sudah diangkat menjadi pemimpin
mereka, sekarang dia dan gadis itu datang mau apakah?”
“Lili, gadis
itu adalah puteri kepala suku bangsa Haimi. Lie Siong bersama aku sengaja
mengantarkannya untuk mengembalikannya kepada suku bangsanya. Sudah kusaksikan
sendiri alangkah gembiranya orang-orang Haimi ketika bertemu dengan Nona Lilani
itu. Mengapa kau suruh dia ditangkap?”
“Biar pun
dia puteri Manako dan Meilani, akan tetapi pada saat ini akulah yang menjadi
kepala di sini, Pek-pek. Tidak boleh dia berlaku sesuka hatinya. Kalau dia
ingin menjadi pemimpin dia harus sanggup merebutnya dari tanganku! Aku diangkat
menjadi pemimpin bukan atas kehendakku, dan aku juga diberi tugas untuk
memimpin mereka sampai ke benteng pasukan kerajaan di mana mereka bisa
berlindung. Apakah sekarang aku harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang
gadis bernama Lilani? Sudahlah, Pek-pek, kau duduklah saja dan dengarkan apa
yang hendak dikatakan oleh mereka berdua!”
Lo Sian
terbelalak heran memandang wajah Lili yang nampaknya marah dan cemburu itu.
Tadinya dia mengira bahwa gadis ini sedang main-main, karena seperti biasanya,
Lili suka sekali bermain-main dan berjenaka atau melucu. Akan tetapi sekarang
pemudi ini nampaknya bersungguh-sungguh hingga Sin-kai Lo Sian hanya diam
sambil memandang dan menduga-duga.
Sementara
itu, sudah menepuk tangannya memanggil penjaga yang berada di luar pondoknya.
Ia memerintahkan agar supaya dua orang muda tawanan itu disuruh masuk, Lilani
dan Lie Siong masuk sambil mengangkat kepala, memandang ‘ratu baru’ dari suku
bangsa Haimi itu dengan hati ingin tahu sekali siapakah orangnya yang telah
menolong bangsa itu dan kini menjadi kepalanya.
Sungguh
menarik sekali melihat pertemuan antara tiga orang muda yang elok ini dan Lo
Sian beruntung sekali dapat menyaksikan pertemuan yang menarik ini. Tiga orang
muda itu saling pandang, Lili dengan bibirnya yang manis tersenyum mengejek,
sedangkan Lie Siong dengan mata terbelalak dan muka agak pucat. Ada pun Lilani
untuk sesaat seperti orang terkejut sekali dan mukanya menjadi kemerah-merahan,
akan tetapi gadis ini lalu berlari maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Lili!
“Nona yang
gagah perkasa besar sekali budimu terhadap bangsaku. Perkenankanlah aku
menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu dan percayalah bahwa kami bangsa
Haimi selamanya tak akan melupakan jasa dan pertolonganmu.”
Lili
tersenyum semakin mengejek. “Aku mendengar bahwa kau adalah puteri dari bekas
pemimpin besar suku bangsa Haimi. Bukankah engkau datang untuk menduduki
pangkat pemimpin menggantikan orang tuamu? Sanggupkah engkau menggeser aku dari
tempat dudukku? Ketahuilah, aku sudah dipilih dan diangkat menjadi kepala di
sini dan karena aku memperoleh kedudukan ini mengandalkan pedangku, maka kalau
kau menghendaki kedudukan ini, cobalah kau kalahkan aku lebih dulu.”
“Lihiap,
bagaimana aku berani menantang penolong bangsaku? Memang terus terang saja tadinya
aku memiliki cita-cita untuk memimpin bangsaku yang bodoh. Akan tetapi sekarang
bintang terang telah jatuh dari atas langit menerangi kehidupan bangsaku yang
tertindas dan selalu berada dalam kegelapan. Bintang itu adalah engkau sendiri,
Lihiap. Setelah engkau dikirim oleh Tuhan untuk membimbing bangsaku, bagaimana
aku masih tetap menghendaki kedudukan pemimpin? Tidak, aku cukup puas bila aku
dapat menjadi pelayanmu, Lihiap.”
Tertegun dan
terharu juga hati Lili mendengar ucapan ini, akan tetapi ketika ia melirik ke
arah Lie Siong dan melihat betapa jidat pemuda itu berkerut seakan-akan tidak
senang hati mendengar dan melihat sikapnya, Lili menjadi makin panas.
“Hemm,
siapakah yang ingin menjadi ratu di sini? Aku tidak haus akan kedudukan dan
tidak ingin menjadi kepala! Aku hanya kebetulan saja menjadi pemimpin karena
mereka pilih dan sudah menjadi tugas seorang gagah untuk menolong mereka yang
tertindas. Tentu saja aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadamu tanpa kau
minta sekali pun jika memang betul kau adalah puteri kepala yang berhak menjadi
pemimpin. Akan tetapi bagaimana aku dapat menyerahkan kedudukan ini dengan
begitu saja? Bagaimana aku dapat menyerahkan nasib ratusan orang ke dalam
tangan orang yang belum kuketahui kecakapannya? Karena itu, coba kau
perlihatkan kepandaianmu kepadaku untuk kulihat apakah kau sudah cukup kuat
memimpin orang-orang sedemikian banyaknya!”
Merah wajah
Lilani mendengar ucapan ini. Biar pun dianggap telah berkepandaian tinggi di
antara bangsanya, mungkin yang tertinggi di antara semua orang Haimi, akan
tetapi bagaimana dia dapat memperlihatkan kepandaiannya itu di hadapan seorang
gadis luar biasa seperti Lili ini?
Dia pernah
menyaksikan kepandaian Lili ketika bertempur melawan Lie Siong dahulu itu.
Bahkan Lie Siong sendiri belum tentu sanggup mengalahkan Lili, apa lagi dia?
Dengan gugup dan bingung, Lilani tak dapat menjawab, fia hanya menundukkan
kepala dengan wajah merah.
Dia hendak
minta tolong kepada Lie Siong, akan tetapi dia tidak berani. Pemuda ini tidak
mempedulikan lagi kepadanya dan ia maklum bahwa pemuda ini telah jatuh cinta
kepada Lili yang kini menantangnya! Dia tahu betul bahwa sepatu yang
ditimang-timang oleh Lie Siong pada malam hari dahulu itu adalah sepatu Lili!
Tanpa terasa pula, dua titik air mata mengalir turun dan merayap di sepanjang
pipinya yang halus dan kemerahan.
Melihat
keadaan Lilani, Lie Siong tidak tega sekali dan timbullah hati penasaran
melihat sikap Lili yang dianggapnya amat keterlaluan. Dia harus mengakui bahwa
begitu bertemu dengan Lili hatinya berdebar-debar tak karuan. Gadis itu duduk
di atas kursinya demikian cantik, demikian agung, demikian jelita sehingga
agaknya tiada orang yang lebih pantas menjadi seorang ratu!
Rambut yang
hitam dan gemuk itu agak kacau di kepala yang berwajah indah. Matanya demikian
tajam bersinar dan menyiratkan kekocakan, dengan bibirnya yang manis sekali
tersenyum mengejek, menimbulkan lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya yang padat
dengan potongannya yang langsing itu menambah kegagahan dan kemolekannya. Ahh,
sungguh seorang gadis luar biasa yang kenyataannya melebihi mimpinya!
Ketika ia
melirik ke arah kaki yang kecil mungil itu, teringatlah ia akan sepatu yang
masih dikantonginya dan diam-diam hatinya makin berdebar jengah dan malu. Akan
tetapi kini sikap Lili membuatnya penasaran sekali.
Seorang
gadis seperti ini tidak selayaknya bersikap demikian kejam terhadap Lilani.
Biar pun dia tidak mencinta Lilani, namun hatinya penuh rasa kasihan terhadap
gadis ini dan siapa pun juga, tidak juga Lili yang diam-diam merampas hatinya,
boleh mengganggu dan menyakiti hati gadis yang bernasib malang ini!
“Nona Sie,
sebagai seorang gagah dan terutama sekali sebagai puteri Pendekar Bodoh yang
terkenal budiman, tidak selayaknya kau memperlakukan Nona Lilani seperti ini!
Dia adalah puteri dari kepala suku bangsa Haimi yang sangat dihormati oleh
bangsanya dan sudah sewajarnya apa bila dia menjadi pemimpin bangsanya. Itu
sudah menjadi haknya! Kenapa sekarang kau mengandalkan kepandaian bukan untuk
membantu dan menolong dia, bahkan kau pergunakan untuk menghinanya? Tidak
malukah engkau? Untuk apakah kedudukan ini bagi seorang gagah seperti Nona?”
Mendengar
ucapan ini merahlah wajah Lili, tetapi menambahkan kecantikannya sehingga Lie
Siong yang memandangnya merasa napasnya menjadi sesak! Gadis ini marah sekali,
dan anehnya, dia tidak marah atas kata-kata yang keras ini, melainkan dia marah
melihat pemuda ini membela Liliani! Boleh dibilang marah karena cemburu,
benar-benar aneh.
“Ahhh…, jadi
Nona Lilani mempunyai seorang pelindung yang gagah? Pantas saja Nona Haimi ini
berani melakukan perjalanan ribuan li, tidak tahunya dia selalu berada di bawah
lindungan seorang pemuda gagah! Ha, kalau begitu, biarlah aku mencoba
kepandaian pelindungnya untuk menguji apakah sudah patut bila menjadi pelindung
dan bayangkari seorang Ratu Haimi!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat
turun dari bangkunya dan mencabut pedang Liong-coan-kiam dan kipas mautnya!
Lie Song
adalah seorang pemuda yang keras hati. Menghadapi tantangan Lili, biar pun ia
menjadi bingung sekali, akan tetapi ia merasa malu kalau mundur. Ia pun lalu
mencabut pedang Sin-liong-kiam dan berkata,
“Nona Sie,
sesungguhnya tidak ada alasan bagiku untuk bertempur melawanmu, akan tetapi aku
akan mencemarkan nama orang tuaku kalau aku menolak tantangan berkelahi dari
siapa pun juga. Biarlah kini aku menebus kekalahanku dahulu di kuil
Siauw-lim-si di Kiciu!”
Kini
marahlah Lili. Tidak sepatutnya orang menyebut-nyebut peristiwa ini. Sekaligus
dia teringat akan sepatunya yang dirampas, maka dia berkata keras.
“Bagus!
Biarlah aku pun mendapat kesempatan untuk membalas penghinaanmu. Kau mengaku
putera Ang I Niocu, akan .tetapi aku tetap tidak percaya, karena putera Ang I
Niocu tidak akan sekurang ajar itu! Tidak saja kau telah merampas sepatu yang
berarti menghinaku, akan tetapi kau juga berani menculik Lo-pek-pek!” Sambil
berkata demikian, Lili lalu melompat keluar dari pondoknya.
Lie Siong
juga cepat melompat keluar dan di pekarangan pondok yang luas itu mereka
berhadapan bagaikan dua jago yang berlagak hendak bertempur mati-matian. Semua
orang Haimi, tua muda lelaki perempuan yang memang berkumpul di depan pondok
itu untuk menunggu Lilani, memandang dengan melongo dan terheran-heran. Lilani
dengan diikuti oleh Lo Sian berlari keluar pula dan gadis ini sambil menangis
menjatuhkan diri berlutut di depan Lili.
“Lihiap,
janganlah... Lihiap, kau tidak tahu... Lie Siong Taihiap tidak menghinamu...
dia tidak mencintaiku, pembelaannya keluar dari wataknya yang budiman dan
gagah. Lihiap, jangan kau menyerangnya...”
Lili
tertegun mendengar pengakuan ini, akan tetapi ia tidak pedulikan Lilani dan
tetap saja melompat dan mulai menyerang Li Siong dengan pedangnya. Li Siong
cepat menangkis hingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar
menyilaukan mata!
Lilani
melompat nekad dan berdiri menghalang di antara kedua orang jagoan itu, lalu
dia berkata kepada Lie Siong dengan suara penuh permohonan, “Taihiap, harap
simpanlah pedangmu. Lihiap ini adalah penolong bangsaku, jangan kau musuhi.
Senjata tak punya mata, bagaimana kalau kalian saling melukai...?”
Gadis ini
menangis dan melihat puteri pemimpin mereka menangis sedih, semua orang
perempuan Haimi yang berada di situ tak dapat menahan pula keharuan hati mereka
dan ramailah wanita-wanita itu menangis!
Akan tetapi
Lie Siong yang keras hati sudah tersinggung keangkuhannya oleh Lili. Kalau ia
dibela oleh wanita-wanita ini dengan tangis mereka, selamanya ia akan merasa
rendah dan kurang berharga dalam pandangan Lili, maka ia berseru keras,
“Sie Hong
Li, kau kira aku Lie Siong takut padamu? Biar pun kau puteri Pendekar Bodoh,
akan tetapi aku tidak takut menghadapi pedangmu, ayo keluarkanlah kepandaianmu
dan cobalah kau memenggal kepalaku kalau dapat!”
Lili memang
seorang yang keras dan pemarah pula, sungguh pun ia mudah marah dan mudah pula
ketawa. Mendengar tantangan ini, ia langsung mengeluarkan seruan nyaring dan
tubuhnya berkelebat cepat melampaui atas kepala Lilani lalu dengan gerakan yang
dahsyat pedang dan kipasnya menyambar kepada Lie Siong.
PEMUDA ini
sudah merasakan kelihaian Lili, maka ia tidak berani berlaku lambat. Cepat ia
memutar pedangnya dan ketika pedang gadis itu dapat ditangkisnya, ia rnerasa
betapa angin pukulan hebat menyambar dari tangan kiri yang memegang kipas.
Cepat-cepat dia melompat ke belakang, kemudian dia membalas dengan serangan
kilat. Tidak saja ujung pedangnya menuju ke arah dada Lili, akan tetapi lidah
pedang naganya yang merah dan panjang itu pun terputar mencari sasaran pada
leher lawannya!
Lili
memperlihatkan kepandaiannya. Sekali menyampok dengan kipasnya, maka gagang
kipas sudah menangkis pedang dan angin sampokan kipas telah membuat lidah
pedang lawannya itu tertiup ke samping. Demikianiah, dua orang muda ini kembali
saling serang dengan hebatnya, mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing
dan saling tak mau mengalah.
Lo Sian
tidak bisa berbuat sesuatu. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh
kepandaian dua orang muda luar biasa ini. Diam-diam dia pun menghela napas dan
berkata penuh kekaguman,
“Pendekar-pendekar
remaja ini benar-benar mengagumkan. Ah, aku orang tua sudah tak berguna lagi!”
Sedangkan Lilani hanya dapat menutupi mukanya sambil menangis.
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring sekali dan sesosok bayangan yang luar biasa
gesitnya menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran.
“Orang jahat
dari mana berani sekali berlaku kurang ajar terhadap keponakanku?!” Yang
menyerbu ini adalah seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata
sepasang bambu runcing yang kekuning-kuningan.
Lie Siong
kaget sekali. Ia telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan
tetapi ujung bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau dia tidak
cepat-cepat membuang diri ke kiri! Juga Lili segera melompat mundur. Melihat
betapa wanita itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,
“Pek-bo,
jangan lukai dia!” Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi.
Wanita itu
yang ternyata adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan
sepasang bambu runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada
Lili.
“Hong Li,
kau bertempur dengan orang ini, kenapa kau melarangku menyerangnya.”
Merahlah
wajah Lili. Seruan tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari
hatinya yang menaruh. kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat
menghadapi bambu runcing yang lihai dari pek-bo-nya (uwaknya) itu!
“Pek-bo, dia
ini... dia adalah putera dari Ie-ie Im Giok!”
Terbelalak
mata Ma Hoa memandang kepada Lie Siong. “Apa...?! Dia ini putera Ang I Niocu?
Pantas saja kulihat tadi Sianli Kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya.
Ehh, anak muda, siapa namamu dan bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah
lama aku merasa rindu sekali pada ibumu!” Ma Hoa berkata sambil matanya
memandang dengan penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.
Menghadapi
pandangan mata ini, luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra,
pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini,
membuat ia mau tak mau tunduk terhadap Ma Hoa. Ia cepat menyimpan
Sin-liong-kiam lalu menjura deigan hormat sekali.
“Sudah lama
sekali aku mendengar ibuku bercerita mengenai kegagahan Kwee Taihiap dan Kwee
Toanio, mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat
kepada KweeToanio.”
Ma Hoa
tertawa riang, suara ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara
ketawanya pada waktu muda.
“Anak nakal,
apa-apaan segala sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enci-ku
sendiri, dan kita boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau
sebut toanio, lebih baik kau menyebut aku Ie-ie (Bibi) saja.”
“Baiklah...
Ie-ie!” kata Lie Siong dengan muka merah.
“Nah, begitu
lebih enak pada telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini
sampai bertempur mati-matian? Apa yang kalian perebutkan?”
Lie Siong
tidak dapat menjawab. Lili juga tidak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu
mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada
pipi dan telinga.
“Pek-bo,
kami hanya berpibu menguji kepandaian masing-masing,” akhirnya Lili berkata.
Bagaimana ia bisa menjelaskan semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua,
tentu ia harus menceritakan pula bahwa pada hakekatnya mereka berebutan...
sepatu!
“Benar,
Ie-ie. Kami tadi hanya mengadu kepandaian saja dan aku... aku menyerah kalah
terhadap... Adik Hong Li! Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi lagi untuk
mencari pembunuh ayahku!” Setelah berkata demikian, ia lalu berkata kepada
Lilani,
“Lilani,
sekarang kau telah kuantarkan kepada bangsamu sendiri. Dengan pertolongan
puteri Pendekar Bodoh, aku yakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu.
Juga Lo-pek, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Kini
aku hendak mencari Ban Sai Cinjin dan membalas dendam. Sekarang tidak perlu
bantuanmu lagi.”
Lie Siong
hendak pergi, akan tetapi Ma Hoa yang terheran-heran mendengar ini, segera
berkata “Nanti dulu, Siong-ji (Anak Siong)! Bagaimanakah soalnya? Sudah
pastikah jika ayahmu terbunuh oleh Ban Sai Cinjin?”
“Memang
sudah pasti, Ie-ie, dan sekarang juga aku akan mencarinya untuk membalas
dendam.”
“Kalau
begitu kita bisa mencarinya bersama-sama! Ban Sai Cinjin tidak berada jauh, dia
kini telah menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan aku pun sedang
mencarinya. Ketahuilah bahwa dia telah menculik puteraku, Kwee Cin!”
Semua orang
terkejut mendengar ini, terutama sekali Lili. Gadis ini kemudian maju dan
memeluk Ma Hoa. “Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terculik oleh bangsat
itu? Mari kita cepat mengejarnya, dan aku sendiri akan menghancurkan kepalanya.
Memang masih ada perhitungan lama antara bangsat itu dengan aku!”
“Ie-ie,
kalau begitu, lebih banyak alasan lagi bagiku untuk segera mencarinya! Aku akan
berusaha merampas kembali puteramu sekalian membinasakan kakek jahanam itu!”
kata pula Lie Siong.
“Ehh, ehh,
mengapa kau hendak pergi sendiri? Mengapa tidak bersama kami?” tanya Ma Hoa.
“Aku... aku
lebih senang bekerja sendiri, Ie-ie!” sesudah berkata demikian, tanpa dapat
dicegah lagi Lie Siong lalu melompat pergi.
“Pemuda
aneh...,” Ma Hoa berkata perlahan.
“Jangan
pedulikan dia, Pek-bo...,” kata Lili mendongkol.
“Bagaimana
aku tidak boleh pedulikan dia, putera Ang I Niocu?”
Sementara
itu, Lilani yang semenjak tadi mendengar percakapan itu sambil memandang kepada
Ma Hoa, tiba-tiba menghampiri nyonya ini dan menjatuhkan diri berlutut.
“Kwee-hujin
(Nyonya Kwee), hamba Lilani menghaturkan hormat.”
Ma Hoa
memandang kepada Lilani dengan rasa heran, kemudian ia memandang kepada
orang-orang Haimi yang semuanya berkumis panjang itu. Kemudian teringatlah dia
akan pengalamannya dengan suaminya dahulu, ketika suaminya masih menjadi
tunangannya, dan berkatalah dia, “Jika aku tak salah duga, orang-orang ini
adalah suku bangsa Haimi yang dulu dipimpin oleh Manako dah Meilani. Kau
siapakah, Nona?”
“Hamba
adalah puteri yang malang dari Manako dan Meilani, mendiang orang tuaku!”
Ma Hoa lalu
membungkuk, memeluk Lilani dan ditariknya gadis itu berdiri. “Ah, jadi kau
puteri Meilani? Pantas saja kau cantik jelita seperti ibumu. Jadi kedua orang
tuamu telah meninggal semua? Kasihan, kasihan.”
Melihat
nyonya gagah ini begini halus dan baik budi, Lilani tak dapat menahan keharuan
hati dan menangislah dia. Lo Sian yang sejak tadi juga melihat semua ini, cepat
maju dan memberi hormat kepada Ma Hoa.
“Siauwte
yang bodoh sudah lama mendengar nama besar dari Kwee-toanio dan sekarang telah
mendapat kehormatan untuk bertemu dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri
bahwa nama besarmu itu bukan kosong belaka.”
Lili lalu
memperkenalkan Lo Sian dan dengan singkat ia menceritakan riwayat Pengemis
Sakti ini. Ma Hoa mengangguk-angguk maklum, karena ia telah mendengar hal itu
dari Lin Lin dan Cin Hai.
![Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su Episode Pendekar Remaja](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig9QmjarBjXIjpeuavtZ88cq7QIVn7uyvppms7EMobC7djhxDw12MTV_9Y-4KOSvb-UnNm0iheYTc83qTDQe1L3wpbSkJpfYLPM91wGAZ8arWQs74CUmeEuxQejKe1rAv2xxAM8xeJ3ek/s320/Pendekar+Remaja-738810.jpg)
Kini setelah
Lie Siong pergi lenyaplah rasa cemburu yang amat tidak enak dalam hati Lili,
maka sambil memegang tangan Lilani, dia pun berkata, "Lilani, tadi aku
hanya bergurau saja. Memang, kau harus memimpin bangsamu dan jangan kuatir, aku
akan mengantar kalian sampai benteng penjagaan pasukan kerajaan."
Lilani makin
terharu, dia memeluk Lili dan berkata, "Nona, aku sudah menduga bahwa
hatimu tentu mulia. Orang secantik kau dan puteri Pendekar Bodoh pula, tidak
mungkin berhati kejam. Tadi kau bersikap galak, akan tetapi aku dapat menangkap
sinar matamu yang penuh kebijaksanaan. Akulah yang harus minta maaf kepadamu,
Nona. Kau sudah menolong bangsaku, walau selamanya menjadi pelayanmu, aku akan
rela dan merasa bahagia."
“Jangan kau
bilang demikian, Lilani,” kata Lili.
Ma Hoa yang
tidak tahu akan urusannya kemudian mendengarkan penuturan Lili tentang
pengalaman menolong orang-orang Haimi yang dibantu pula oleh Ang I Niocu.
“Sayang dia
keburu pergi sebelum mendengar penuturanku bahwa ibunya baru tiga hari yang
lalu meninggalkan tempat ini,” kata gadis ini menutup ceritanya. Yang
dimaksudkan dengan ‘dia’ tentu saja adalah Lie Siong, pemuda kurang ajar itu.
“Dia sudah
pergi, biarlah,” kata Ma Hoa. “Sekarang mari kita melanjutkan perjalanan,
mengantar orang-orang Haimi ini ke benteng di mana kita akan menjumpai Goat Lan
dan kakakmu Hong Beng. Di sana pula kita tentu akan bertemu dengan ayah ibumu,
dan juga pek-humu yang sudah berangkat lebih dulu.” Bicara tentang suaminya,
kembali Ma Hoa teringat akan puteranya yang terculik, maka wajahnya menjadi
muram.
“Pek-bo,
bagaimana Adik Cin sampai dapat terjatuh dalam tangan orang jahat?”
“Bila
diceritakan membuat hati menjadi gemas sekali,” kata Ma Hoa. “Mari kita berangkat,
nanti di jalan kuceritakan kepadamu tentang hal itu.”
Setelah
rombongan itu berangkat untuk menuju ke benteng pertahanan tentara kerajaan
dengan Nurhacu orang Haimi tua itu sebagai penunjuk jalan, maka berceritalah Ma
Hoa tentang penculikan Kwee Cing puteranya.
Seperti
telah diketahui, Ma Hoa pergi bersama Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin, oleh karena
Kwee Cin masih terlalu kecil dan tidak baik ditinggalkan seorang diri di rumah
dalam saat mereka terancam oleh musuh-musuh yang jahat. Untuk membawa Kwee Cin
dalam perjalanan ke utara juga kurang baik bagi anak itu.
Sejak
menjadi isteri Kwee An, Ma Hoa belum pernah berpisah terlalu lama dari suaminya
dan mereka hidup rukun serta saling mencinta. Tidak mengherankan apa bila
kepergian Kwee An kali ini membuat Ma Hoa merasa tidak betah di rumah. Apa lagi
dia maklum bahwa perjalanan suaminya itu penuh dengan bahaya, karena itu
hatinya selalu merasa gelisah sekali.
Pada suatu
hari menjelang senja, keadaan dirasakan sunyi sekali oleh Ma Hoa. Memang
rumahnya amat besar dan dia hanya mempunyai dua orang pelayan. Biasanya apa bila
ada Kwee An, di rumah itu nampak gembira dan ramai, apa lagi kalau Goat Lan
berada di rumah. Akan tetapi sekarang, berdua saja dengan Kwee Cin, ia
benar-benar merasa sunyi.
Tiba-tiba
dari pintu pekarangan depan masuk seorang kakek yang berpakaian indah dan
mengisap sebatang huncwe panjang. Dengan tindakan lebar, kakek ini langsung
maju dan menghampiri Ma Hoa yang sedang duduk di ruang depan bersama Kwee Cin.
Kakek ini datang-datang segera bertanya dengan suaranya yang parau dan keras,
“Apakah aku
berhadapan dengan Nyonya Kwee An, ibu dari nona Kwee Goat Lan?”
Ma Hoa belum
pernah bertemu dengan orang ini, akan tetapi matanya yang tajam dapat menduga
bahwa kakek ini bukanlah orang biasa dan ketika ia teringat akan cerita Lin Lin
dan Cin Hai, ia menjadi terkejut sekali karena kakek ini cocok sekali dengan
gambaran Pendekar Bodoh tentang seorang yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe
Maut! Maka diam-diam Ma Hoa bersiap sedia dan berlaku waspada. Ia merasa girang
bahwa selama ini ia berlaku hati-hati dan selalu mempersiapkan bambu runcingnya
di tempat yang tak jauh dari situ.
“Benar, aku
adalah Nyonya Kwee, tidak tahu siapakah Lo-enghiong dan ada keperluan apakah
datang di rumahku yang buruk ini?”
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak, lantas dengan tenang akan tetapi mulutnya tersenyum
menyeringai ia membuang abu tembakau dari kepala pipanya, kemudian mengisinya
lagi dengan tembakau warna hitam! Semua ini ia lakukan sambil matanya terus
memandang kepada nyonya itu dengan kagum. Biar pun Ma Hoa telah berusia hampir
empat puluh tahun, akan tetapi nyonya ini tiada bedanya dengan seorang gadis
yang cantik jelita saja!
Diam-diam Ma
Hoa merasa gelisah, maka dia pun berkata kepada Kwee Cin, “Cin-ji, kau masuklah
ke dalam.”
Kwee Cin
memang selamanya amat taat kepada ayah bundanya. Maka sebagai seorang anak
kecil yang belum dapat menduga hal-hal hebat yang akan terjadi, dia menyatakan
baik dan anak itu lalu masuk ke dalam kamarnya.
Kembali Ban
Sai Cinjin tertawa dan sekarang suara ketawanya terdengar nyaring sekali hingga
terdengar sampai jauh karena kakek ini memang telah mengerahkan khikang-nya
untuk mengirim suara ketawanya kepada dua orang kawannya yang bersembunyi di
luar!
“Kwee-hujin,
ketahuilah bahwa aku bernama Ban Sai Cinjin dan kedatanganku ini hendak mencari
puterimu, yaitu Nona Kwee Goat Lan. Puterimu itu telah berkali-kali melakukan
penghinaan kepadaku dan sekarang aku sengaja datang hendak membuat
perhitungan!”
Warna merah
mulai menjalar pada kedua pipi Ma Hoa. Sekarang dia bangkit dari tempat
duduknya dan Ban Sai Cinjin menjadi makin kagum karena sebenarnya setelah
berdiri, nampak betapa langsing potongan tubuh nyonya yang telah mempunyai dua
orang anak ini.
Ma Hoa
berjalan tenang menghampiri tamunya setelah dia menyambar sepasang bambu
runcing dan menancapkannya pada ikat pinggangnya. Dengan mata bercahaya dan
bibir tersenyum mengejek dia berkata,
“Ban Sai
Cinjin, biar pun baru sekali ini aku bertemu denganmu, akan tetapi telah sering
kali aku mendengar namamu yang buruk dan terkenal. Maka aku tidak merasa heran
apa bila Goat Lan bentrok denganmu, karena memang semenjak kecil dia telah
kudidik untuk membasmi orang-orang jahat dan membela yang benar. Kau datang
mencari Goat Lan untuk membuat perhitungan? Sayang, Goat Lan masih belum
pulang. Akan tetapi kalau kau tetap merasa penasaran, untuk obat kecewamu,
boleh kiranya aku sebagai ibunya mewakili Goat Lan untuk membayar hutang.”
“Bagus
sekali, sama anak sama ibu! Kau dan anakmu terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri, tidak memandang mata kepada orang lain. Baiklah, Kwee-hujin, karena
anakmu tidak ada dan aku jauh-jauh sudah memerlukan datang, biarlah aku
menerima pelajaran darimu!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin cepat
menggerakkan huncwe-nya dan tersebarlah uap hitam yang berbau amat memuakkan.
Akan tetapi
Ma Hoa akan percuma saja disebut seorang pendekar wanita yang gagah perkasa
kalau ia gentar menghadapi uap hitam beracun ini. Puterinya adalah murid Sin
Kong Tianglo Si Raja Obat, sedangkan dia sendiri adalah murid dan anak angkat
dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng, maka setidaknya Ma Hoa juga sudah tahu
akan jahatnya racun ini dan tahu pula obat penawarnya.
Goat Lan
sendiri setelah tamat berlajar dari Sin Kong Lojin, banyak meninggalkan pil-pil
obat penawar racun maka begitu melihat uap hitam ini, Ma Hoa cepat mengeluarkan
tiga butir pil merah dan memasukkan itu ke dalam mulut. Kemudian kedua bambu
runcingnya bergerak mengimbangi gerakan huncwe lawan.
“Bagus, jadi
sebenarnya kaukah yang menjadi murid Hok Peng Taisu?” Ban Sai Cinjin membentak
dan kini huncwe-nya menyambar ke arah kepala Ma Hoa.
“Ban Sai
Cinjin, kau tidak usah banyak cakap, kalau kau mempunyai kepandaian lekas
keluarkan semua hendak kulihat!”
Kembali Ban
Sai Cinjin mengeluarkan suara ketawa yang bahkan lebih nyaring dari pada tadi
sambil menyerang dengan hebatnya, dan sungguh pun Ma Hoa menangkis dengan bambu
runcingnya, namun telinganya yang tajam masih dapat menangkap suara seruan
seperti seekor burung dari luar rumah. Hatinya tergoncang dan pikirannya
bekerja keras.
Ini tentu
ada apa-apanya, dan hatinya mulai berdebar. Akan tetapi oleh karena tidak
terjadi sesuatu dia lalu memutar bambu runcing hendak cepat-cepat mengalahkan
lawan ini. Aku harus melindungi Cin-ji, pikirnya.
Akan tetapi
tidak mudah untuk mengalahkan Ban Sai Cinjin dalam waktu singkat. Setelah
mendapat hajaran dari Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin selain berlaku hati-hati
sekali dan sama sekali tak berani memandang ringan kepada kawan-kawan Pendekar
Bodoh yang ternyata mempunyai kepandaian yang hebat. Dahulu pun jika dia
berlaku hati-hati, tidak mungkin dalam segebrakan saja dia kalah oleh Pendekar
Bodoh.
Akan tetapi
harus diakuinya bahwa ilmu silat bambu runcing yang dimainkan oleh nyonya ini
benar-benar luar biasa sekali. Ia pernah menghadapi sepasang bambu runcing yang
dimainkan oleh Goat Lan dan sudah merasa kagum sekali. Akan tetapi sekarang,
ketika menghadapi permainan Ma Hoa, dia benar-benar terdesak hebat sekali.
Kalau dulu Goat Lan memainkan sepasang bambu runcing sehingga senjata istimewa
itu seakan-akan berubah menjadi lima, sekarang bambu runcing di tangan nyonya
ini seakan-akan telah berganda menjadi delapan!
Selama ini,
Ban Sai Cinjin tiada hentinya berlatih serta memajukan ilmunya sehingga
kepandaiannya sudah naik banyak. Dalam menghadapi nyonya pendekar ini, dia
masih dapat mempertahankan diri dengan mainkan huncwe-nya dan kadang ia
menyemburkan asap hitam biar pun tidak mempengaruhi Ma Hoa yang sudah
memasukkan tiga butir pil merah di dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja Ma
Hoa harus menghindarkan kedua matanya dari serangan asap hitam yang lihai itu.
Pertempuran
telah berjalan tiga puluh jurus dan beberapa kali Ban Sai Cinjin hampir saja
terkena totokan bambu runcing hingga keselamatan nyawanya berada di ujung
rambut. Ia terdesak hebat sekali dan hati kakek mewah ini mulai menjadi gelisah
sekali.
Tiba-tiba
saja terdengar lagi suara burung hantu dan mendadak Ban Sai Cinjin tertawa
menyeramkan sambil melompat jauh ke belakang.
“Kwee-hujin,
tidak percuma kau menjadi isteri Kwee An yang terkenal namanya, karena memang
ilmu silatmu hebat sekali. Aku Ban Sai Cinjin kali ini mengaku kalah. Biarlah
kelak kita bertemu lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.”
“Pengecut!”
Ma Hoa memaki, akan tetapi ia tidak mengejar Ban Sai Cinjin karena kuatir apa bila
kakek pesolek itu menjebaknya dengan tipu ‘memancing harimau meninggalkan
sarangnya’. Ia bahkan cepat melompat ke dalam rumah dan menuju ke kamar Kwee
Cin.
Akan tetapi
mukanya tiba-tiba menjadi pucat sekali ketika melihat dua orang pelayannya
telah rebah menggeletak dalam keadaan tertotok! Sambil menekan debaran
jantungnya yang seakan-akan hendak memecahkan dada, Ma Hoa cepat berlari ke
dalam kamar anaknya. Benar saja seperti yang telah dikuatirkannya, di dalam
kamar itu tidak nampak lagi bayangan anaknya!
Ma Hoa sudah
sering sekali menghadapi peristiwa hebat ketika mudanya, akan tetapi mala
petaka kali ini benar-benar hebat sekali dan sangat menusuk perasaannya. Hanya
saja ia memang telah memiliki pandangan yang luas. Ia tidak menjadi putus asa,
karena puteranya itu hanya diculik orang dan bukan dibunuh. Siapa pun yang
menculiknya, dia masih mempunyai harapan untuk merampasnya kembali.
Cepat ia
berlari keluar kamar dan membebaskan totokan dua orang pelayan itu.
“Lekas
ceritakan, apa yang telah terjadi?” tanyanya dengan tenang.
Dua orang
pelayan itu menceritakan bahwa dari belakang datang dua orang pengemis tua yang
tak berkata sesuatu lalu menotok mereka dan kemudian mereka melihat betapa
kongcu (tuan muda) sudah dipanggul oleh salah seorang di antara dua pengemis
itu dan dibawa lari melalui pintu belakang.
Selesai
mendengar penuturan ini, Ma Hoa lalu cepat mengejar melalui pintu belakang. Ia
mengejar terus sampai sejauh sepuluh li lebih, akan tetapi seperti yang telah
diduganya, ia tidak melihat bayangan dua orang pengemis penculik itu.
“Hemm, tidak
lain ini tentulah perbuatan Ban Sai Cinjin yang sengaja memancing dalam sebuah
pertempuran dan sementara itu kawan-kawannya melakukan penculikan terhadap Kwee
Cin,” pikirnya.
Dia cepat
mengambil keputusan, menyerahkan penjagaan rumahnya kepada dua orang pelayan
karena hari itu juga dia hendak menyusul suaminya ke utara sekalian mencari
jejak Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ketika dia membuka peti di mana dia menyimpan
kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)
yang dititipkan oleh Goat Lan kepadanya, ternyata kitab itu bersama anaknya
telah lenyap pula! Ma Hoa menjadi gemas sekali, dia mengertakkan giginya dan
membanting-bantingkan kaki kanan di atas lantai.
“Ban Sai
Cinjin bangsat tua yang curang! Tunggulah saja kalau sampai aku dapat melihat
mukamu lagi, kau pasti akan kujadikan sate dengan bambu runcingku!”
Demikianlah,
Ma Hoa lalu cepat melakukan pengejaran ke utara dan karena daerah utara memang
sukar sekali dilalui serta Pegunungan Alkata-san masih asing baginya, maka ia
tersesat jalan dan kebetulan sekali dapat menghentikan pertempuran hebat yang
terjadi antara Lili dan Lie Siong.
Setelah Lili
mendengar penuturan Ma Hoa ini, gadis ini pun menjadi marah sekali dan berkata
dengan gemas, “Ban Sai Cinjin memang jahat sekali. Muridnya yang bernama Bouw
Hun Ti sudah membunuh Yousuf kakekku dan menculikku ketika aku masih kecil.
Kemudian Ban Sai Cinjin menurut penuturan dan dugaanku juga sudah meracun
Sin-kai Lo Sian guruku, telah meracuni suhu-ku itu hingga Sin-kai Lo Sian tak
dapat mengingat apa pun, dan yang membunuh Supek Lie Kong Sian juga Ban Sai
Cinjin! Dan sekarang, kembali Ban Sai Cinjin menculik Adik Cin! Benar-benar
orang yang jahanam dan ingin mampus.”
Ma Hoa
menarik napas panjang. “Memang di dunia ini selalu terdapat orang-orang jahat,
Lili. Tidak ada bedanya semenjak dahulu sampai sekarang. Dulu pun ada seorang
jahat bernama Hai Kong Hosiang yang selalu memusuhi orang tua kami dan kami.
Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan Ban Sai Cinjin, Hai Kong Hosiang masih
tidak begitu curang dan jahat!”
Lili juga
pernah mendengar nama Hai Kong Hosiang ini karena sering kali ayah ibunya
menceritakannya tentang pengalaman mereka pada waktu muda.
Demikianlah,
sambil bercakap-cakap Ma Hoa dan Lili, diikuti oleh Lilani dan Lo Sian serta
semua orang Haimi, melanjutkan perjalanan menuju ke lereng Alkata-san di mana
telah nampak tembok besar benteng tentara kerajaan itu.
***************
Marilah kita
tinggalkan dulu mereka yang sedang menuju ke benteng itu dan menengok keadaan
Goat Lan dan Hong Beng yang sudah lama kita tinggalkan.
Karena
mendapat pertolongan dari Kam Liong yang memberi kuda kepada mereka dan semua
pengawal, perjalanan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke Bukit Alkata-san dapat
berjalan cepat dan lancar. Dan sebagaimana yang dituturkan oleh Kam Liong,
benteng itu meski pun sudah tua dan banyak yang rusak, akan tetapi masih baik
dan kuat, juga merupakan tempat penjagaan yang sangat baiknya. Hong Beng
bersama semua prajurit yang mengawalnya lalu menggulung lengan baju dan
memperbaiki bangunan-bangunan yang berada di dalam benteng itu.
Beberapa
hari kemudian, Hong Beng dan Goat Lan mulai mengatur siasat untuk dapat
menjalankan tugas mereka. Dari para penyelidik yang mereka sebar di sekitar
daerah itu, mereka mendapat keterangan bahwa tentara Mongol banyak yang
bersembunyi di atas bukit yang berada di sebelah utara Bukit Alkata-san, dan
amatlah sukar untuk menyerang ke sana.
Selain
daerah itu tertutup salju dan dingin sekali, juga pertahanan tentara Mongol
sangat kuatnya. Bagaimanakah mereka yang hanya memiliki sedikit pasukan itu
dapat melawan tentara Mongol yang ribuan jumlahnya?
“Lebih baik
kita menjaga dan mengatur penjagaan,” kata Hong Beng. “ Kalau kita melihat ada
barisan musuh yang hendak menyeberang ke selatan dan melalui bukit ini, baru
kita serang mereka.”
Penjagaan
dilakukan siang malam dan benar saja, beberapa hari berturut-turut, mereka
berhasil memukul mundur pasukan-pasukan kecil bangsa Mongol yang hendak menuju
ke selatan, seperti biasanya untuk melakukan keganasan terhadap penduduk
Tiongkok di balik tembok besar. Setiap kali terjadi pertempuran, selalu Hong
Beng dan Goat Lan memperlihatkan kepandaiannya dan tak ada seorang pun perwira
Mongol dapat bertahan menghadapi pendekar-pendekar remaja yang gagah dan sakti
ini.
Pasukan-pasukan
Mongol yang hendak melakukan penggarongan ke selatan terpaksa mengambil jalan
memutar dan tidak berani lagi melewati Bukit Alkata-san di mana terjaga oleh
pasukan yang dipimpin oleh dua orang muda ini.
Sementara
itu, hubungan Hong Beng dan Goat Lan makin erat dan cinta mereka berakar makin
mendalam. Namun, sebagai pemuda dan pemudi yang tidak saja gagah lahirnya akan
tetapi juga mulia batinnya, kedua orang muda ini membatasi hubungan mereka dan
sama sekali tidak pernah berani melanggar kesusilaan.
Baik Hong
Beng mau pun Goat Lan bisa menekan cinta kasih mereka dan sudah merasa cukup
bahagia dengan saling berpegang tangan atau saling pandang dengan sinar mata
penuh arti, penuh cinta kasih dan kemesraan. Tentu saja Goat Lan semakin
menghargai tunangannya ini.
Beberapa
pekan mereka berada di sana dan merasa senang karena daerah Alkata-san boleh
dibilang aman, terutama yang termasuk di dalam lingkungan benteng itu. Tidak
ada anggota pasukan yang berani meninggalkan benteng, karena kuatir kalau-kalau
pasukan musuh datang menyerbu.
Maka mereka
sama sekali tidak tahu bahwa hanya seratus li dari tempat itu terdapat Lili dan
Ma Hoa. Juga mereka tidak tahu bahwa dari selatan sudah datang serombongan
orang terdiri dari Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An. Sementara dari jurusan lain
datang pula pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun atau Kam
Liong.
Pada suatu
senja kedua teruna remaja ini duduk di bawah pohon di mana mereka sering kali
duduk, bercakap-cakap dengan asyik dan mesranya. Bulan hanya sedikit, bercahaya
pudar sebab kalah oleh cahaya matahari yang masih ada sisanya menerangi
permukaan bumi.
“Lan-moi...”
terdengar Hong Beng berkata pelan sambil memegang tangan tunangannya.
“Ada apa,
Koko?” jawab Goat Lan sambil memandang mesra. Bibirnya tersenyum manis sekali.
“Kalau
keadaan sudah aman dan kelak kita kembali ke selatan, mendapat pengampunan dari
Hong-siang...”
“Ya...?”
“Aku akan
minta pada ayah bundaku agar... pernikahan kita dapat segera dilangsungkan”
Wajah yang
manis itu memerah sampai ke telinganya dan jari-jari tangan yang runcing dan
halus kulitnya itu mencubit. “Ahh, Koko, kau ini ada-ada saja. Tergesa-gesa ada
apa sih?”
Hong Beng
menengok ke kanan di mana Goat Lan duduk. Mereka duduk di atas rumput dan angin
bertiup sepoi-sepoi menambah segar dan gembira perasaan. Pada senja hari itu,
Goat Lan mengenakan baju berkembang-kembang warna emas, leher baju dan ikat
pinggang kuning, begitu pula celananya terbuat dari sutera kuning yang bersih
dan halus. Pinggiran bajunya sebelah bawah berwarna merah, sama merahnya dengan
bunga yang terselip di atas telinga kanannya.
Rambutnya
disusun meniru model gadis-gadis Mongol atau Boan yang pernah dilihatnya di
sekitar tempat itu, digelung ke atas dan selebihnya diurai memanjang di
belakang punggungnya. Gadis ini benar-benar nampak cantik jelita, terutama
sekali dalam pandang mata Hong Beng yang mencintanya.
“Lan-moi,
aku bukan hendak tergesa-gesa, akan tetapi aku ingin selamanya, tak sedetik pun
berpisah lagi darimu. Kalau kita sudah menikah, barulah harapan itu terkabul!”
Goat Lan
tertawa geli sebab merasa lucu mendengar ucapan kekasihnya. Ia memandang dan
diam-diam merasa kagum melihat betapa kekasihnya nampak tampan dan gagah sekali
dalam pakaian yang berwarna biru itu.
“Jika
begitu, kita harus menjadi sepasang kupu-kupu atau seperti sepasang burung yang
selalu beterbangan di udara, siang malam tak pernah berpisah lagi.”
“Mengapa
harus menjadi kupu-kupu atau burung? Kalau kita sudah menikah, meski pun kita
masih menjadi manusia, kita dapat selalu berkumpul, takkan berpisah lagi
sebentar pun.”
“Mana
mungkin?” Goat Lan kembali tertawa. “Aku harus mengatur rumah tangga, harus
masak, dan kau harus bekerja. Bagaimana kita bisa selalu berkumpul?”
Demikianlah,
sepasang orang muda yang bahagia ini bersenda gurau, kadang-kadang
bersungguh-sungguh membicarakan masa datang yang penuh harapan dan cita-cita.
Tak terasa lagi cuaca menjadi makin gelap dan dua orang muda yang sedang
tenggelam dalam alunan kasih asmara ini sama sekali tidak tahu betapa bayangan
sesosok tubuh yang amat gesit laksana burung walet hitam, melompat dari
wuwungan ke wuwungan lain di atas bangunan-bangunan dalam benteng itu!
Para
prajurit yang sedang bertugas juga tidak melihat bayangan ini yang menandakan
bahwa orang itu benar-benar berkepandaian tinggi sehingga dapat menyerobot
masuk ke dalam benteng tanpa diketahui orang. Dari atas wuwungan yang terdekat
dengan tempat Hong Beng dan tunangannya duduk, orang itu memandang ke arah
mereka. Kemudian, dengan gerak lompat Naga Hitam Naik ke Langit, ia lalu melompat
dari atas wuwungan itu ke atas pohon yang berada belakang Hong Beng.
Ginkang dari
orang itu benar-benar mencapai tingkat tinggi karena ketika ia tiba di pohon
itu, tak selembar pun daun pohon bergoyang! Akan tetapi ia salah hitung kalau
mengira bahwa Hong Beng tidak mengetahui kehadirannya. Walau pun delapan puluh
bagian dari semangat pemuda ini telah terbang oleh gelombang asmara, namun yang
dua puluh bagian sudah lebih dari cukup untuk mengingatkannya bahwa ada gerakan
sesuatu yang mencurigakan di atas kepalanya!
Di dalam
keadaan bahaya, semangat pembelaan dan perlindungan terhadap kekasihnya timbul
dan tanpa sengaja Hong Beng merangkulkan tangan kanannya pada pundak Goat Lan,
sedangkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga lweekang segera dipukulkan
dengan dorongan ke atas pohon dibarengi bentakan, “Turunlah kau!"
Walau pun
hanya dilakukan sambil duduk dan dengan tangan kiri, namun tenaga pukulan Hong
Beng ini mengandung hawa pukulan yang cukup hebat sehingga cabang dan daun
pohon itu bagaikan tertiup angin dari bawah!
“Sie-enghiong,
jangan menyerangku!” terdengar seruan dari atas.
Bayangan
yang amat gesitnya melompat turun dengan gerak tipu Garuda Menyambar Air dan
sebentar saja di depan Hong Beng dan Goat Lan yang sudah bangun itu berdirilah
seorang pemuda yang tampan. Goat Lan segera mengenal orang ini sebagai Song Kam
Seng.
Ia mendengar
dari Lili bahwa pemuda ini dahulunya ditolong oleh Lili dan Lo Sian, akan
tetapi kemudian membalik dan menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia juga telah
mendengar bahwa pemuda ini sesungguhnya adalah putera Song Kun, sute dari Lie
Kong Sian yang lihai dan jahat, dan yang tewas dalam tangan Pendekar Bodoh!
Tentu saja dia menjadi kaget dan bercuriga sekali.
“Siapa kau
dan apa maksud kedatanganmu?” Hong Beng membentak sambil menatap tajam dengan
sikap siap sedia.
Sebelum Kam
Seng menjawab, Goat Lan mendahuluinya, “Beng-ko, dia ini adalah Song Kam Seng
yang pernah kuceritakan kepadamu. Inilah putera dari Song Kun, orang tak
berbudi yang melupakan pertolongan dan berbalik memusuhi Lili!”
Pemuda itu
menjura dengan hormat dan berkata dengan suara dingin, “Memang benar, aku
adalah Song Kam Seng putera Song Kun yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh.”
“Apakah
kedatanganmu ini ada hubungannya dengan urusan itu?” Hong Beng bertanya dengan
sikap menantang.
“Tidak,
Saudara Sie Hong Beng, sekarang belum tiba waktunya bagiku untuk membuat
perhitungan. Semua perhitungan akan kubuat dan kubereskan dengan ayahmu
sendiri, kau tidak usah ikut campur. Sekarang ada urusan pribadi. Aku hendak
bicara mengenai urusan negara, tentang pengacauan orang Mongol, dan yang
berhubungan pula dengan persekutuan yang diadakan oleh Ban Sai Cinjin dan
orang-orang lain.”
“Hemm,
bukankah Ban Sai Cinjin itu susiok-mu?” Goat Lan bertanya dengan pandangan
penuh curiga.
“Betul, Nona
Kwee. Akan tetapi di dalam hal ini, paham dia jauh berbeda dengan aku. Betapa
pun juga, aku bukanlah seorang pengkhianat bangsa dan aku merasa tak setuju
sekali dengan tindakan yang telah diambil oleh Susiok. Juga perbuatannya yang
terakhir ini, yaitu menculik adikmu, Nona, amat tidak kusetujui dan untuk
itulah maka aku sengaja datang ke tempat ini.”
Bukan main
terkejutnya hati Goat Lan mendengar ini, juga Hong Beng merasa kaget dan
cepat-cepat dia mengajak pemuda itu masuk ke dalam bangunan yang menjadi tempat
tinggalnya. Mereka bertiga lalu duduk menghadapi meja.
“Apa
maksudmu dengan penculikan adikku yang kau katakan tadi?” Goat Lan langsung
bertanya kepada Song Kam Seng.
Pemuda itu
menarik napas panjang. “Sudah bukan rahasia lagi bahwa Pendekar Bodoh bersama
kawan-kawannya, juga ayahmu yaitu Kwee-lo-enghiong, sedang menuju ke sini untuk
membantu menjaga tapal batas dan mengusir pengacau-pengacau bangsa Mongol dan
Tartar. Hal ini sangat menggelisahkan hati Malangi Khan, karena baru kalian
berdua saja berada di sini sudah merupakan halangan besar, apa lagi kalau
orang-orang tuamu datang membantumu di sini. Oleh karena itu, Susiok yang
menjadi tangan kanan Malangi Khan, kemudian turun tangan. Dia tahu bahwa ibumu
hanya berada berdua saja dengan adikmu yang masih kecil, karena itu dengan
ditemani oleh Coa-ong Lojin dan seorang pembantunya, Ban Sai Cinjin lalu datang
ke Tiang-an dan akhirnya dapat menculik Kwee Cin adikmu, bahkan sudah berhasil
mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari Sin Kong Tianglo.”
Goat Lan
menjadi pucat sekali. Ia memandang tajam dan berkata, “Kau yang memihak musuh,
mengapa kau datang menceritakan hal ini? Apa kehendakmu?”
“Sudah
kukatakan tadi, Nona, aku bukan datang dengan niat jahat. Aku terpaksa berada
di utara karena terbawa oleh Susiok dan terpaksa karena suhu-ku malu hati
kepada Ban Sai Cinjin, sehingga biar pun Suhu tidak dapat datang sendiri, namun
Suhu menyuruhku mewakilinya. Maksud kedatanganku dan kenapa aku menceritakan
semua ini kepadamu, juga kepada Saudara Sie Hong Beng, tidak lain supaya kalian
bersiap sedia. Ketahulilah bahwa Ban Sai Cinjin hendak menjadikan adikmu
sebagai tanggungan. Tidak lama lagi kalian tentu akan mendengar ancaman dari
Ban Sai Cinjin bahwa kalau Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya membantu
tentara kerajaan, maka Kwee Cin adikmu itu akan dibinasakan lebih dulu!”
“Bangsat
keji!” Goat Lan berseru keras sambil melompat bangun dan tanpa terasa pula
sepasang bambu runcingnya sudah berada di kedua tangannya. “Orang she Song,
lekas tunjukkan kepadaku di mana adikku ditahan agar aku dapat pergi
menolongnya. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat itu, berarti bahwa
kebaikanmu ini palsu belaka untuk menjebak kami dan untuk itu aku akan
membinasakanmu di sini dan sekarang juga!”
“Nona Kwee,
kalau aku mau menunjukkan tempat itu bukan berarti bahwa aku takut akan
ancamanmu, aku lebih takut apa bila aku disangka ikut berjiwa pengkhianat. Akan
tetapi biar pun dengan segan, aku harus memberitahukan padamu bahwa mendatangi
tempat itu untuk menolong adikmu sama halnya dengan membunuh diri! Penjagaan di
situ selain kuat sekali, juga Susiok sendiri berada di sana, selalu berdekatan
dengan adikmu. Dan tentang kepandaian Susiok, dia telah memperoleh kemajuan
hebat apa lagi dibantu oleh Coa-ong Lojin dengan anak buahnya!”
“Tidak
peduli, aku tidak takut! Lekas tunjukkan di mana tempat adikku ditahan!” Goat
Lan mendesak.
Ada pun Hong
Beng tidak berkata sesuatu sebab ia maklum bahwa tunangannya sedang gelisah,
bingung dan kuatir sekali. Song Kam Seng lalu minta kertas dan alat tulis, lalu
menggambarkan keadaan gunung di sebelah utara Alkata-san, di mana terdapat
markas Malangi Khan dan bala tentaranya. Tempat tahanan Kwee Cin itu ternyata
berada paling belakang sehingga untuk datang ke tempat itu harus lebih dahulu
melalui benteng dari tentara Mongol!
“Nah, kalian
lihat sendiri betapa berbahayanya untuk menyerbu tempat ini. Aku memberi
tahukan semua ini agar supaya kalian dapat merundingkan dengan orang-orang
tuamu dan mencari siasat yang baik, jangan sekali-kali berlaku sembrono.
Sungguh mati kalau sampai berlaku nekad dan terjadi sesuatu yang mengerikan,
akulah orang pertama yang akan merasa menyesal sekali. Selamat tinggal!”
“Ucapanmu
tidak menakutkan kami, Song Kam Seng! Betapa pun juga aku akan pergi
membebaskan adikku dan merampas kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip!”
Mendengar
suara nona ini demikian tetap dan nekad, Kam Seng yang sudah melompat sampai di
pintu itu segera menunda kepergiannya. Dia menengok dan berkata, “Jalan
satu-satunya yang lebih aman adalah dari belakang bukit sebab di sana tidak ada
tentara Mongol, akan tetapi perjalanan melalui tempat itu amat berbahaya. Lagi
pula setelah kau berhasil memasuki benteng sebelah belakang itu, kau masih
harus berhadapan dengan Susiok, dengan Coa-ong Lojin, dan banyak lagi
orang-orang kang-ouw termasuk empat puluh orang lebih anggota Coa-tung
Kai-pang.” Sesudah berkata demikian, tubuh Kam Seng berkelebat dan lenyap dari
situ!
“Ginkang-nya
boleh juga!” kata Hong Beng.
“Koko, kita
harus menyusul Adik Cin sekarang juga. Siapa tahu kalau-kalau jahanam itu akan
mengganggunya.”
“Lan-moi,
kurasa kata-kata Song Kam tadi ada benarnya. Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati.
Bukan sekali-kali aku merasa jeri mendengar penjagaan musuh yang demikian
kuatnya, akan tetapi bila memang benar orang tua kita tak lama lagi akan
datang, apakah tidak lebih baik berunding dulu dengan mereka, dan minta nasehat
mereka bagaimana? Kau tahu bahwa Ban Sai Cinjin akan menjaganya dengan luar
biasa kuatnya karena dia maklum bahwa keluarga kita juga tidak akan tinggal
diam begitu saja!”
“Justru
sekaranglah kita harus bertindak, Koko. Bukankah tadi Song Kam Seng sudah
menyatakan bahwa tak lama lagi tentu Ban Sai Cinjin akan mengancam kita agar
jangan membantu tentara kerajaan? Hal ini berarti bahwa sekarang Ban Sai Cinjin
belum tahu bahwa kita telah mendengar mengenai diculiknya adikku, maka
penjagaan di sana tentu belum begitu diperkuat. Kita datang mendadak pula,
kalau mungkin menangkap Ban Sai Cinjin dan memaksanya mengembalikan kitab
Thian-te Ban-yo Pit-kip serta melepaskan Adik Cin.”
Hong Beng
memandang tunangannya. Dia segera tahu bahwa kehendak dan ketetapan hati
tunangannya yang tabah ini tidak mungkin dapat dibantah lagi, dan dia pun
maklum bahwa pekerjaan ini sungguh-sungguh amat berbahaya, maka akhirnya dia
menyatakan persetujuannya.
Hong Beng
lalu memberitahukan kepada para prajurit bahwa dia dan Goat Lan hendak
melakukan penyelidikan pada markas musuh, kemudian pemuda ini membuat sepucuk
surat yang dimasukkan di dalam sampul, diberikan kepada pengawal dengan pesan
agar supaya surat itu diberikan kepada Pendekar Bodoh atau kawan-kawan yang
lain kalau ternyata ada yang datang mencari mereka di benteng ini.
Maka
berangkatlah Hong Beng beserta Goat Lan pada malam hari itu juga, membawa
tongkat hitamnya yang menjadi tanda bahwa dia adalah ketua dari Hek-tung
Kai-pang, sedangkan Goat Lan tidak lupa membawa sepasang bambu runcingnya.
***************
Sie Cin Hai,
Lin Lin dan Kwee An yang melakukan perjalanan cepat serta mereka sudah
berpengalaman di daerah ini di waktu mereka masih muda, dapat lebih dulu tiba
di kaki Gunung Alkatasan. Beberapa kali mereka mengobrak-abrik pasukan-pasukan
Mongol yang berhasil menerobos ke selatan dari jurusan lain karena menjauhi
Bukit Alkata-san yang dijaga oleh sepasang pendekar remaja yang mereka takuti
itu.
Oleh karena
melakukan perjalanan sambil membasmi pasukan-pasukan musuh ini, maka mereka
agak terlambat sampai di benteng di mana Hong Beng dan Goat Lan mengatur
penjagaan pasukan mereka yang kecil jumlahnya.
Para penjaga
benteng dari jauh sudah melihat tiga bayangan orang yang mendatangi dengan
kecepatan luar biasa sekali. Ketika melihat tiga orang gagah itu berdiri di
depan pintu gerbang, seorang penjaga membentak,
“Siapa
diluar?!”
“Kami orang
tua dari Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan. Apakah mereka ada di dalam?” seru
Kwee An dengan suaranya yang nyaring.
Semua orang
di dalam benteng itu tidak ada yang mengenal Pendekar Bodoh, isterinya, dan
Kwee Taihiap, maka mendengar disebutnya orang-orang tua Hong Beng dan Goat Lan,
mereka cepat membuka pintu dan tiga orang pendekar ternama itu diterima dengan
sinar mata kagum dan juga girang. Siapa orangnya yang tak menjadi girang
kedatangan pendekar-pendekar yang boleh diandalkan dalam daerah dan keadaan
yang berbahaya sekali itu?
“Sie-enghiong
bersama Kwee-lihiap baru dua hari ini pergi meninggalkan benteng untuk
menyelidiki kedudukan musuh di gunung utara. Sie-enghiong malahan ada
meninggalkan sepucuk surat, maka kebetulan sekali Sam-wi datang hari ini. Kami
sendiri sudah merasa amat kuatir.” Kepala pengawal menyerahkan surat yang
ditinggalkan oleh Hong Beng.
Cin Hai
segera menerima surat itu dan membacanya,
Ayah, Ibu,
Kwee-pekhu atau Lili dan siapa saja yang kebetulan menerima surat ini!
Kami, Sie
Hong Beng dan Kwee Goat Lan, hari ini didatangi oleh Song Kam Seng yang
menggambarkan bahwa Kwee Cin sudah diculik oleh Ban Sai Cinjin dan kini ditahan
di dalam benteng orang-orang Mongol di bukit utara. Oleh karena itu kami segera
pergi ke sana untuk menolong Adik Cin dan mencoba merampas kembali kitab obat
yang juga dicuri oleh kawan-kawan Ban Sai Cinjin.
Dari sini
menuju ke bukit itu melalui belakang benteng, menurut perhitungan Song Kam
Seng, dapat dicapai dalam waktu satu setengah hari, maka jika dalam waktu tiga
atau empat hari kami tidak kembali ke benteng, berarti kami telah tertahan atau
terbinasa oleh musuh. Sekian harap menjadikan maklum.
Terima
kasih,
Sie Hong
Beng.
Tidak saja
Cin Hai yang terkejut, tetapi Lin Lin dan Kwee An yang mendengar Cin Hai
membacakan surat itu, menjadi amat kaget. Kwee An sendiri menjadi pucat
wajahnya.
“Bagaimana
bisa terjadi hal semacam ini?” tanyanya dengan mata mulai menjadi merah karena
kemarahan mulai bernyala di dalam hatinya.
“Kita harus
berlaku tenang dan sabar,” kata Cin Hai yang di dalam menghadapi segala macam
urusan bersikap tenang seperti suhu-nya. “Menurut laporan kepala pengawal tadi
mereka baru dua hari pergi. Apa bila sekarang kita menyusul ke sana, belum
tentu kita dapat bertemu dengan mereka sehingga bahkan dapat menyulitkan
keadaan. Kita harus percaya penuh kepada Hong Beng dan Goat Lan. Agaknya tak
mungkin mereka berdua akan dapat ditawan musuh. Biarlah kita menanti sampai
empat hari, jadi dua hari lagi, kalau mereka tidak pulang juga, barulah kita
mengambil keputusan apa yang harus kita lakukan.”
Kwee An
mengangguk menyatakan setuju. Sebetulnya dia merasa amat gelisah karena
mendengar bahwa puteranya telah diculik orang, akan tetapi harus dia akui bahwa
kalau sekarang ia nekat menyusul Goat Lan, amat dikuatirkan ia bahkan akan
mempersulit dan mengacaukan usaha Hong Beng dan Goat Lan yang sedang berusaha
menolong Kwee Cin. Lagi pula, ia tidak sangsi lagi akan kelihaian puterinya dan
juga kelihaian Hong Beng yang seperti ucapan Pendekar Bodoh tadi, agaknya tidak
mudah ditawan oleh musuh.
Alangkah
girang hati semua orang, termasuk juga para prajurit di dalam benteng itu,
ketika pada keesokan harinya, dari jurusan barat datanglah serombongan
orang-orang Haimi yang dipimpin oleh Lili dan Ma Hoa diikuti pula oleh Sin-kai
Lo Sian!
Ma Hoa cepat
menceritakan sejelasnya pengalamannya sehingga puteranya, Kwee Cin, sampai
diculik orang, berikut kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip, sebagaimana telah
dituturkan dengan jelas pada bagian depan. Bukan main marahnya Cin Hai, Lin Lin
dan Kwee An mendengar penuturan ini.
“Betapa pun
juga,” kata Kwee An, “kita harus menanti sampai besok pagi. Kalau Goat Lan dan
Hong Beng belum juga kembali barulah kita beramai akan menyerbu ke sana dan
awaslah Ban Sai Cinjin kalau dia berani mengganggu Cin-ji (Anak Cin)!”
Sesudah
membaca surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng, Ma Hoa juga sependapat dengan
suaminya, yaitu akan menanti sehari lagi. Akan tetapi tidak demikian dengan
Lili. Diam-diam hati gadis ini merasa gemas dan benci sekali kepada Ban Sai
Cinjin. Kakek pesolek itu sangat pengecut dan licin, siapa tahu kalau-kalau
Hong Beng dan Goat Lan terjebak ke dalam perangkapnya?
Malam hari
itu, Lili lalu bertemu dengan Nurhacu, orang Haimi yang tua dan banyak
pengalaman di daerah utara ini. Dari Nurhacu dia mendapatkan banyak petunjuk
tentang keadaan bukit di utara itu.
Benteng itu
kini menjadi ramai dan penjagaan diperkuat dengan adanya pasukan Haimi yang juga
gagah. Dan pada malam hari itu pula, Lili keluar dengan diam-diam melalui
penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang Haimi, dan di bawah cahaya bulan
purnama yang muram, gadis ini berlari cepat sekali menuju ke utara! Dia hendak
menyusul Hong Beng dan Goat Lan, dan tentu saja kepergiannya ini tidak
diberitahukan kepada ayah bundanya, karena dia tahu bahwa mereka pasti tidak
akan mau meluluskannya.
Ada pun
Lilani segera dapat merampas hati Lin Lin yang merasa suka dan amat kasihan
melihat nasib gadis ini. Kwee An dan Cin Hai juga segera menganggap gadis ini
seperti keponakan sendiri sehingga Lilani merasa amat terharu.
Gadis yang
lincah dan rajin ini lalu cepat-cepat melayani pendekar-pendekar gagah itu
sehingga dua pasang suami isteri itu semakin menyayanginya. Benar-benar Lilani
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekelilingnya, dan inilah yang
membuat seseorang selalu disuka.
Tentu saja
pada keesokan harinya, semua orang menjadi terkejut dan geger saat melihat
betapa Lili telah tidak ada pula di dalam benteng. Cin Hai dan Lin Lin sudah
mencari ke mana-mana, akan tetapi tidak nampak bayangan Lili. Nurhacu yang
mendengar betapa semua orang mencari Lili, lalu menghadap Cin Hai dan
menceritakan bahwa malam tadi Lili mencari keterangan sejelasnya tentang
keadaan bukit di utara itu.
“Tidak salah
lagi!” Cin Hai membanting kakinya. “anak bengal itu dengan lancang tentu sudah
menyusul kakaknya ke sana!”
Pada saat
semua orang tengah membicarakan urusan perginya Lili ini, tiba-tiba terdengar
suara gemuruh dan tak lama kemudian seorang pengawal dengan wajah berseri
memberi laporan akan datangnya sebuah barisan yang besar sekali, yang dipimpin
sendiri oleh Kam-ciangkun dari kota raja!
Semua orang
menyambut dan benar saja bahwa yang memimpin barisan adalah Kam Liong. Dengan
penuh hormat, Kam Liong memberi penghormatan kepada Cin Hai suami isteri dan
Kwee An serta Ma Hoa, yang dianggapnya pendekar-pendekar yang tingkatnya lebih
tinggi hingga semua orang secara diam-diam menaruh perhatian dan suka kepada
panglima muda ini.
Ketika Kam
Liong mendengar bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah empat hari tidak kembali
dari penyelidikan mereka di markas musuh dan bahwa tadi malam Lili juga telah
mengejar ke sana, pemuda ini lalu mengerutkan keningnya sambil berkata,
“Berbahaya,
berbahaya! Bukit itu penuh dengan tentara Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri
berada di tempat itu! Ahh, terlalu berbahaya! Lebih baik kita segera menyerang
dan menyerbu dengan mendadak, barang kali saja masih dapat menolong putera
Kwee-lo-enghiong dan kedua Saudara Hong Beng dan Goat Lan!”
“Jangan,
Kam-ciangkun. Itu terlalu berbahaya. Kita harus mencari daya upaya lain untuk
menolong mereka itu, dan pula belum tentu ketiga orang anak kami akan mudah
saja mengalami bencana di tempat itu!” kata Cin Hai.
Pada saat
itu pula terdengar suara kaki kuda dan ternyata seorang Mongol yang berkuda
dengan cepat sekali, datang membawa sesampul surat yang katanya harus
disampaikan kepada Pendekar Bodoh!
Melihat
orang Mongol itu datang membawa tanda utusan Raja Mongol, para prajurit tidak
berani mengganggunya dan orang itu lalu dihadapkan kepada Cin Hai. Orang Mongol
itu bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan ganas, sedangkan bibirnya
menyeringai seperti sikap seorang yang tidak takut mati.
“Aku datang
sebagai utusan Malangi Khan yang maha besar!” katanya setelah ia dibawa ke
dalam benteng.
“Mana surat
yang kau bawa?” Cin Hai bertanya.
“Harus
kuserahkan sendiri kepada Pendekar Bodoh,” jawab utusan itu.
“Akulah
orang yang dimaksudkan itu,” jawab Cin Hai.
Orang Mongol
itu memandang seperti tak percaya. Orang ini tampaknya demikian lemah,
pikirnya, mana mungkin dia adalah Pendekar Bodoh yang demikian terkenal dan
bahkan ditakuti oleh Malangi Khan sendiri?
Cin Hai
dapat menduga pikiran orang. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalau kau hendak
berlama-lama, biarlah aku mengambilnya sendiri!”
Tangan
kirinya bergerak perlahan ke depan, mengarah ke dada orang Mongol itu. Orang
Mongol itu cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi ketika
lengan tangannya beradu dengan tangan Cin Hai, ia kesakitan dan sedetik
kemudian seruannya terhenti karena ia telah terkena totokan jari tangan kiri
Cin Hai. Orang Mongol itu berdiri seperti patung dengan sikap masih menangkis
sehingga nampak lucu sekali.
Cin Hai
kemudian menggeledah saku orang itu dan mendapatkan sesampul surat yang
ditujukan kepada Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ketika ia membuka sampulnya
dan membaca, ternyata bahwa surat itu adalah surat yang ditulis oleh Ban Sai
Cinjin dan yang ditujukan kepadanya dan semua kawan-kawannya, bahwa kalau
Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya ikut maju membantu bala tentara kerajaan,
maka Kwee Cin akan dibunuh dan kepalanya akan dibawa ke medan perang.....
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment