Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 21
Cin Hai dan
Kwee An menjadi merah sekali mukanya. Cin Hai kemudian membebaskan totokannya
dan setelah orang Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak, “Kau bilang
diutus oleh Malangi Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai
Cinjin?”
“Apakah
bedanya Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai
Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai
Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”
“Baik, kau
kembalilah kemudian sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan
melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin
karena kalau dia mengganggu anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka,
pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”
Utusan itu
lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu
membalap hingga sebentar saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu
yang mengebul di belakangnya.
“Nah,
Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja,
pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”
“Kalau
demikian, Sie Taihiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk
menggempur gunung itu. Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan
belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”
“Ini pun
kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir
bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol
yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana
mereka dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa
lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan
semangat para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu
dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan
dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”
“Berilah
waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari
boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”
Tentu saja
Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat
menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan
sikap panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap
panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin
menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman
pemuda ini terhadap Lili.
“Memang dia
orang baik, agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada
adiknya ini, “tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk
membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian
antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap
baik dan akan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri
tentang pinangan itu.”
Mereka
berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga
mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.
“Lebih baik
kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang
mereka. Ada pun kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau
utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar
ke sana dan meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka
tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami
kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki
keadaan mereka di gunung itu.”
“Apa yang
dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai
yang walau pun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu
saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.
Biar pun
merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat
apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah
pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.
Berangkatlah
Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga
Lili, sebelum berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu
kepada Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan
perantauan di daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah
naik ke bukit itu.
Nurhacu yang
tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke
dalam markas besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan
kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.
Setelah
kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara
dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara
itu, dari sebuah tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan
yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti
menghadang di tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua
yang berlari cepat itu.
Cin Hai dan
Kwee An merasa curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di
depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda
itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,
“Mohon
tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat
ini, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”
“Anak muda,
kau pandai sekali membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum
dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi
dalam waktu seperti ini berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan
kecurigaan besar!”
Merahlah
wajah pemuda itu. “Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam
Seng sudah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan
yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”
Mendengar
disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang
pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat
Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin
Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah
mengancam hendak membalas dendam kepadanya!
“Hemm, jadi
kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut
Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau
ceritakan di mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”
Mendengar
bahwa yang kini berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya,
tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan
mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bagus, jadi
kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat
ibu dan aku hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah
berhutang nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata
demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.
Pendekar
Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan
tetapi dari samping mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya
pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang
itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!
“Song Kam
Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh
Pendekar Bodoh, akan tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah
membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu
itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan
membantu dia dan ikut-ikutan menjadi jahat?”
Dengan
pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau
bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”
“Memang hal
yang paling sulit di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak
sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin
Hai. Adikku itu terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas
oleh ayahmu, dan ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau
adikku tidak mau menjadi isterinya!”
Dengan
singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh Song Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi
di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan
Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.
Mendengar
penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang
telah didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara
hatinya membisikkan bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar
besar ini dari pada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.
“Biar pun
andai kata mendiang ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi
kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada
Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa
benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai
seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah,
mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata
demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.
“Bocah
lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani
menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam.
Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik
engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan
mungkin kau sudah membantu susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku
Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi
pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”
Akan tetapi,
sambil tersenyum Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini,
memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song
Kun. Demikian berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu
disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi
murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi
murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu
dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu.
Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan
ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”
Mendengar
ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh
musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian
tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa
lagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian Kwee An!
Akan tetapi
Kam Seng tidak takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya
sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin.
Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia
benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong
Siansu hanya karena dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh
besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.
Kalau ia
teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit
hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu
dengan musuh besarnya, meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis
satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar
keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat,
namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?
Sekarang
melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan
melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu
terhadap bayangannya sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah
terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan
hatinya dan berseru, “Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha
sekuat tenaga!”
Sambil berkata
demikian dia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh.
Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu
pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi
penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia
pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.
Kalau
dibandingkan dengan dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda
ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah
menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan
ginkang-nya pun amat baik mendekati kesempurnaan.
Diam-diam
dalam hatinya Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh
mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan
hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang
kalau ia tidak keburu mengelak.
Dari
sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main.
Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung
lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.
Kam Seng
semakin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar
pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia
merasa seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka,
maka dia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.
Pendekar
Bodoh maklum bahwa biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat
menjaga diri, akan tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu
pedang ini apa bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan
dari Wi Kong Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat
menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang
pandai.
Menurut
taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru
tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu
terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang,
akan tetapi dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini
merupakan senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada
pedangnya Liong-cu-kiam!
Setelah
mencabut sulingnya, makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh
menggunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau
dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng.
Akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana
kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.
Tubuh Kam
Seng sudah penuh keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu
menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong
Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan,
Cin Hai segera mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan
suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!
Betapa pun
hebatnya Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja
pedang itu tidak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai
menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa
melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar
biasa ini.
“Kam Seng,
kau mempunyai bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat
yang keliru. Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh,
kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan
sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu,
mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”
Kam Seng
menjadi malu sekali. “Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan
air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi
menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan
dan kehinaan?”
Cin Hai
merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian
melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk
pundaknya. “Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada
waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa
dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa
kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua
bukan asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat
mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan
sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang
kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk
berbakti adalah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah
dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi
kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu
itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau
dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti
akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang
durhaka!”
Kam Seng
memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah
disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh
besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun
dilakukannya.
“Ketahuilah
bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan
akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab
dari peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga
merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku!
Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai,
aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa
sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada
sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat
akibatnya karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan
kau anggap sewajarnya!”
Tunduklah
hati Kam Seng mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi
mudah ditangkap ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan
tak dapat menahan isak tangisnya!
“Susiok
(Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,”
katanya dengan hati terharu.
“Tidak ada
salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di
dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa
yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak
sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.
“Bagus,
semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam
Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang
keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu
bukankah hanya satu pancingan belaka?”
“Tidak, Kwee
Taihiap, sama sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih
kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak
menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok
Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya,
ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin
dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah
orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak
menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku
nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan
Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan
bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke
tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat
itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng
amat nekat dan datang juga ke sana...”
“Lalu
bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin
tahu sekali.
“Kini mereka
juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu
siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan
tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”
“Tak
mungkin!” kata Kwee An.
“Sukar
dipercaya bahwa Hong Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian
mudahnya,” kata Cin Hai.
Kam Seng
tersenyum. “Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng
sangat lihai dan memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan
mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh
orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena
kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai
Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”
“Pengecut
hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia
itu!”
“Kwee
Taihiap, bagaimana jika Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan
puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.
Kwee An tak
dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
“Kam Seng,
kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak
maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk
mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.
“Susiok,
kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi
tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena
Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera
Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara
ini, meski pun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk
membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi,
untuk merampas kembali anak itu pun bukan merupakan hal yang mudah.”
Kemudian
dengan jelas Kam Seng segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan
juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah.
Sesudah menuturkan semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke
benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta
akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.
“Betapa pun
juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah
Kam Seng pergi.
Cin Hai
mengerutkan kening. “Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki
istana Malangi Khan dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji,
lalu bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya
Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”
Kedua orang
pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka
mengambil keputusan untuk berpisah.
Cin Hai
hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun
Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat
tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh
karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi
maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.
Dengan ilmu
lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu
untuk masuk melalui belakang benteng. Dan tepat seperti yang dituturkan oleh
Nurhachu orang Haimi itu, juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan
itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.
Ketika
mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan
orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka
melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan
itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An
saling pandang heran.
“Apakah ada
setan di tengah hari?” tanya Kwee An heran. Siapakah orangnya yang dapat
menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya?
Juga Cin Hai
merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka
kepandaian ginkang-nya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya
sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhu-nya,
yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok
Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial
“Mungkin
kita salah lihat,” katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk
mengganggu orang yang tak mau memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang
lebih penting.”
Mereka
melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian tibalah mereka di bawah tembok
benteng sebelah belakang dari benteng tentara Mongol itu. Mereka menggunakan
ginkang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah.
Cin Hai
terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kurang lebih empat tombak
dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai
beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan istana
kepala bangsa Mongol.
Beberapa
orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua
li, sempat melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka
yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu
bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai sangat
cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!
Sementara
itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah
sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama
sekali dan di bawah dinding ini hanyalah merupakan belukar yang tidak terurus.
Jauh di depan sana tampak tembok-tembok bangunan, yaitu bagian paling belakang
dari benteng Mongol itu.
Kwee An
berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari sudah bersembunyi
di barat. Dia pikir bahwa kalau dia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam
hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Hong Beng dan Goat Lan
akan terancam.
Dari Kam
Seng dia mendapat keterangan bahwa Goat Lan beserta Hong Beng ditahan di dalam
rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh
dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar
sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan.
Di depan dan
belakang, atau pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang
sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya
untuk melihat saja, kalau mereka pergi akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan
dibunuh!
Dengan
perlahan Kwee An bergerak maju di balik belukar dan terus mengintai ke arah
kampung itu. Dia menanti sampai gelap benar barulah dia menggunakan
kepandaiannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan
rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain hingga akhirnya dapat
mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.
Benar saja,
di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang
nampaknya enak-enak saja, sebab mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua
orang muda itu melarikan diri. Apa bila sampai dua orang muda itu memberontak
dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah
itu?
Kwee An
memandang ke arah jendela dan dalam cahaya yang remang-remang melalui tirai
jendela dia melihat ada bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing.
Hatinya berdebar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi!
Ingin dia
melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tidak berarti itu
bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak
berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.
Lagi pula,
sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya
ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka
perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin
Hai dan lebih dahulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.
Akan tetapi,
sebelum dia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana
terdapat istana Malangi Khan yang terpisah cukup jauh, ia mendengar suara orang
memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain
berjalan ke arah rumah kecil itu.
Di bawah
sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak
matang biru mukanya, bahkan pada pipinya sebelah kanan nampak ada tanda
goresan-goresan dan sepasang matanya serta pipinya kelihatan biru seakan-akan
mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tak hentinya
menyumpah-nyumpah, “Akan kubunuh tujuh turunan... kubunuh tujuh turunan...!”
Kemudian dia
memegang pinggangnya sambil membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduhh… jahanam benar
Pendekar Bodoh… aduhhh…!”
Setelah tiba
di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat pada Ban Sai
Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu
Coa-ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini
sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau
pembantu-pembantu Coa-ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan
penculikan di Tiang-an dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab
Thian-te Ban-yo Pit-kip.
“Apakah dua
orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para
penjaga.
“Masih ada,
mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.
Mendadak
terdengar suara Hong Beng dari kamarnya, “Ban Sai Cinjin, kau orang yang
berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang
tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita
bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita mampus!”
“Tutup
mulut! Kau... kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada
kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau
mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat
Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!”
Terdengar
Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang masih terus
menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar
Goat Lan diikuti oleh Coa-ong Lojin.
Dengan hati
berdebar-debar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan
sangat pandainya dia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut
mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas
kamar Goat Lan!
“Nona Kwee,”
dia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau
insyaf? Alangkah keras kepala kau! Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah
dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya! Kau telah menyelamatkan
nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau bahkan
dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti
neraka di utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama
sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal
kau suka membantu kami, membantu hingga Kaisar lalim itu terguling jatuh dari
kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, malah banyak kemungkinan adikmu
akan menjadi seorang pangeran!”
“Ban Sai
Cinjin, percuma saja kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar
ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan
tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, sebab
jika kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk
memukul sampai remuk batok kepalamu!”
Ban Sai
Cinjin menyumpah-nyumpah lagi dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih
terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu
masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang
membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa
amat sakit.
Malam hari
itu sial sekali baginya. Siang tadi dia menghadap Malangi Khan dan hendak minta
Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak mengijinkan, karena Kwee Cin ternyata
telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis.
Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana,
akan tetapi di tengah jalan dia bertemu dengan Pendekar Bodoh!
“Bangsat tua
bangka, kau sungguh curang dan tak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang
semacam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk
bertemu di puncak Thian-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya akan kuberi
hajaran!”
Setelah
berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat!
Coa-ong Lojin bersama kawan-kawannya segera membantu, akan tetapi begitu Cin
Hai mencabut Liong-cu-kiam, sekali gerakkan saja senjata mereka terbabat putus!
Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian lalu
dibuat permainan oleh Cin Hai!
Mukanya
ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai
sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, akan tetapi cukup
untuk membuat muka kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit
semua. Sesudah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai
meninggalkannya!
Tentu saja
si Huncwe Maut merasa terhina sekali sehingga dia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya
terhadap Pendekar Bodoh semakin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan?
Sementara itu, Pendekar Bodoh sudah menghilang di malam gelap, entah ke mana
perginya.
Setelah Ban
Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum,
“Ayah, turunlah sekarang!”
Kwee An
girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia cepat membuka
genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan lalu memegang
tangan ayahnya dan berkata, “Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”
Gadis ini
mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan
tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa.
“Ayah, kita
bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut?
Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar
dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”
Mendengar
ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang. “Asal saja dia tak mengganggu
Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa.”
Sementara itu,
Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi
hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga berbincang dengan asyik sekali sehingga
melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam
benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan, dan juga mendengar bahwa
sebetulnya Kwee Cin sudah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai
Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.
“Ah, kalau
kita tahu akan hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,”
katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau
begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia
membutuhkan bantuan!” Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng
lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban
Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat
Lan menerima seorang tamu lelaki yang disebut sebagai ayahnya, kakek ini merasa
kaget dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan
mengerahkan semua prajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah
tahanan itu!
Kemudian,
pada esok harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit
lagi, bersama Coa-ong Lojin dia menghampiri rumah itu dan sekali dia mendorong,
daun pintu pun terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan
telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An,
orang yang dulu pernah dijumpainya dan yang sudah memaksa Coa-ong Lojin mengobati
Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban
Sai Cinjin, maka cepat dia memegang pundak anaknya.
“Sabar dulu,
Lan-ji,” katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek dia menatap kepada Ban Sai
Cinjin. “Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau
masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan sekarang masih hendak
minta tambah dari aku!”
Ban Sai
Cinjin menjadi marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena
tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya
setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, dia dapat berdiri teguh. Huncwe-nya
terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, kemudian dengan tangan
kanannya dia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
“Orang she
Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang
juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”
Akan tetapi,
Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu
menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan
licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku
setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama
putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan
berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja
kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran
kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa
anjingmu!”
“Manusia
sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh
seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab
itu bila sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus di bawah hujan senjata?”
“Setan Tua,
mampuslah kau!” Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu
menyerang dengan tangan kosong!
Walau pun
serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan
kelihaian gadis ini. Cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong
Lojin. Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh
ayahnya yang sudah mencabut pedangnya.
![Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su Episode Pendekar Remaja](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig9QmjarBjXIjpeuavtZ88cq7QIVn7uyvppms7EMobC7djhxDw12MTV_9Y-4KOSvb-UnNm0iheYTc83qTDQe1L3wpbSkJpfYLPM91wGAZ8arWQs74CUmeEuxQejKe1rAv2xxAM8xeJ3ek/s320/Pendekar+Remaja-738810.jpg)
Akan tetapi,
benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai
Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan
dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shantung yang menjadi sahabat Wi Kong
Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di
sana terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, para
perwira Mongol yang pandai bermain golok hingga jumlahnya semua menjadi empat
belas orang!
Kagetlah
Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di
tempat itu terdapat orang-orang demikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai.
Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tak
boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya.
Apa lagi ketika ia menengok, ternyata tempat itu sudah terkurung oleh barisan
yang sangat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya
tidak kurang dari seratus orang!
Ban Sai
Cinjin biar pun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi dia
tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan
karena dia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar
kembali. Dia menyerang dengan huncwe-nya, dan permainan huncwe-nya ini tetap
saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok.
Ban Sai
Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin yang masih merasa
sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular
yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit
musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang
mengeroyok Kwee An!
Ada pun Goat
Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago
Shantung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini mempunyai kepandaian yang
cukup tinggi, barang kali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin. Apa
lagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang sangat
lincah dan tenaga lweekang-nya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki
tenaga gwakang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shantung yang
berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok pula oleh
lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan
tongkat ular mereka yang berbahaya.
Akan tetapi
Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira.
Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba untuk
merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin
yang kini sudah tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
“Ayah, mari
kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!” Goat Lan berseru sambil
tersenyum.
“Baik, mari
kita coba!” kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit
kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan
berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
“Satu...!”
seru Kwee An.
Mendengar
ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan bambu runcing pada tangan kirinya
dia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga. Ketika Po Gan dengan kaget
melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah
dada seorang pengurus Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang
itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.
“Satu...!”
Goat Lan juga berseru keras.
Kwee An
tersenyum lebar dan tidak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini
berseru, “Dua...!” dan terlemparlah dua orang pengeroyok!
Seruan ini
disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing sudah
dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin
dan seorang perwira Mongol, sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan,
Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-tung Kai-pang yang sudah empas-empis
napasnya!
Melihat hal
ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba, maka
puluhan prajurit segera menyerbu, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan
bersorak-sorak!
Tentu saja
Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut bukan main. Mereka tak usah takut
menghadapi keroyokan para prajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar,
memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali,
maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali
orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki.
Jika saja
pertempuran ini adalah sebuah peperangan, tentulah mereka akan mengamuk dan
tidak akan segan-segan lagi untuk menjatuhkan pukulan maut. Akan tetapi
sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai
Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguh pun mereka
itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.
Pada saat
Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh prajurit-prajurit Mongol bagaikan ribuan
ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Mundur
semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!”
Semua orang
Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di
tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua
segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai
dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, yaitu
putera dari Malangi Khan!
Melihat
betapa semua prajurit Mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan
melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai
Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.
“Pendekar
Bodoh, kau curang! Kau menawan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!”
Cin Hai
tersenyum sindir. “Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu sendiri. Kau telah
menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol
itu tak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih
bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!” Setelah berkata
demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat
itu sambil memondong Pangeran Kamangis!
Ban Sai
Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan dia cepat menuju ke
istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana sampai pangeran
itu dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.
Setibanya di
depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari
Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang
membuat darahnya mendidih saking marahnya.
Malangi
Khan, raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani
menculik puteranya begitu saja dari hadapannya tanpa dapat menangkap orang itu.
Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan itu dengan wajah sebentar
merah dan sebentar pucat, tanda bahwa dia merasa malu dan juga mendongkol
sekali terhadap Pendekar Bodoh.
Ternyata
bahwa setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, Cin Hai lalu melanjutkan
perjalanan dengan cepat sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan
kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan.
Memang penjagaan istana Malangi Khan di tempat itu tak berapa kuat, oleh karena
istana itu memang berada di tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol,
siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu?
Oleh karena
itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari
itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat
perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar
masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih
sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang
seperti seorang raja saja!
“Hei...!
Siapa kau? Berhenti!” Empat orang penjaga segera melompat dan cepat-cepat
menghadangnya.
“Minggirlah,
aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!” Cin Hai menjawab dengan
suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.
Jawaban ini
tentu saja menimbulkan kegemparan di antara para panglima yang sedang menghadap
Kaisar itu. Juga para penjaga segera menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
“Bunuh saja
orang gila ini sebelum dia membikin kacau!” teriak seorang penjaga sambil
menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung
dia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar
suara jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa
kawan-kawannya sendiri.
“Jangan
bunuh dia, tangkap dan bawa dia menghadap di sini!” tiba-tiba terdengar suara
Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah
turun tangan, mentaati perintah ini.
“Orang gila,
lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar dari pada sakit
tubuhmu!” kata seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan
‘orang gila’ yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan
golok tadi.
Cin Hai
tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk menimbulkan keributan, lagi pula
agaknya akan jauh lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan
berpura-pura menyerah dari pada dengan jalan kekerasan.
“Baiklah,
kau belenggu kedua tanganku!” katanya sambil tersenyum.
Melihat
sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu
orang gila, pikir mereka, mengapa raja ingin menghadapinya? Dengan cekatan,
seorang panglima lalu mengambil rantai besi.
“Klik!
Klik!” terdengar suara suara dan dua pergelangan tangan Cin Hai telah
terbelenggu erat-erat!
Ada yang
menganggap perbuatan panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila,
mengapa harus dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya
dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.
Akan tetapi
ketika dua orang panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang
terselip di pinggang Cin Hai, mereka lantas terperanjat dan terheran-heran.
Dengan hanya melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak
dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tak sampai tercabut! Sementara
itu, beberapa kali melangkah dia telah berdiri di hadapan Kaisar Malangi Khan!
“Siapakah
kau? Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi
kenapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau bisa sampai di
istana?” Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya.
Cin Hai
tersenyum dan karena dua tangannya diikat ke belakang ia hanya mengangguk,
kemudian berkata dengan hormat, “Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang
mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang
menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini secara biasa saja, hanya
agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku.”
Malangi Khan
nampak tertegun dan tidak percaya, ada pun semua panglima yang sedang berada di
situ pun terkejut sekali. Akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang
seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar
Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang sangat ditakuti oleh Ban Sai
Cinjin? Tak mungkin!
Beberapa
orang panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena
menyangka bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai
Pendekar Bodoh! Seorang panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding
ke arah Cin Hai dan membentak,
“Orang gila,
jangan kurang ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana
patut menjadi Pendekar Bodoh?”
Baru saja
orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena
orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke
arah Cin Hai. Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang
ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung!
Tadi orang-orang
hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampak
nyatalah sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu
tadi datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati
semua panglima pada waktu melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya
dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan
tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana bisa orang
yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan
tubuh?
Di antara
para panglima itu terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan
mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu
pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini
masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago
nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu di jaman
belasan tahun yang lalu. (baca Pendekar Bodoh)
Oleh karena
itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah pula
mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tak percaya ketika mendengar
orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh, karena mungkinkah orang yang pernah
mengalahkan supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu
ternyata hanya begini sederhana saja?
Akan tetapi
ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu sudah dapat
memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka pun menjadi terkejut sekali.
Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan
tubuh, hanya ada dua jalan.
Yang pertama
adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati
tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh
orang berilmu tinggi yang telah memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu
Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat
diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!
Kalau
seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak
dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang
menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil?
Mohopi
segera berdiri dan memeriksa panglima yang ternyata benar sudah tertotok jalan
darah teng-sin-hiat dengan tepat sekali, lalu dengan beberapa kali tepukan dan
urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani
banyak tingkah lagi. Ada pun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam
berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa
maunya datang ke tempat ini?
“Ehh, kalau
benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-koksu
untuk saling menguji kepandaian?” tanya Malangi Khan.
Cin Hai
tersenyum, “Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik!
Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian
dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna dari pada saling
berperang?”
Malangi Khan
mengerutkan keningnya, “Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, kau berani atau
tidak menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang
baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam
sambutan dari pihak tuan rumah. Juga telah lama aku mendengar bahwa Mongol
memiliki banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol
berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka
mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima
kasih!”
“Beri
ruangan yang lebar dan buka ikatan tangan tamu kita ini!” Malangi Khan berseru
dengan wajah berseri.
Raja bangsa
Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang,
memang terkenal sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan serta
keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki
kepandaian silat tinggi, maka tentu saja dia merasa amat gembira melihat
tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi tiga orang koksunya!
Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam
melihat dua ekor ayam laga akan bertarung!
“Tak usah,
Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan gembira pula, karena pengalamannya dengan
orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda
dahulu. “belenggu ini tak usah dibuka, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu
dengan tangan terbelenggu!”
Tentu saja
ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai
dengan ragu-ragu dan mulailah dia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai
Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.
Akan tetapi
tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan
penghinaan yang tidak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani
menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang
terbelenggu?
Sementara
itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar
sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam lian-bu-thia (ruang
bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, kemudian berjalan dengan
langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Dua tangannya
masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang
mulia, hamba merasa malu untuk melawan orang yang berotak miring!” kata Ganisa,
orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa,
Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang
sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya
sehingga dia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang
gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat
ini!”
Mendengar
perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Dia
lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di
hadapan Cin Hai.
Melihat
gerakan ini, Cin Hai tersenyum lantas berkata dengan beraninya. “Malangi Khan
yang baik, bukankah tadi kau menantang kepadaku untuk menghadapi Sam-koksu
(Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua
sudah merasa jeri untuk menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai
sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tidak ada alasannya. Pertama karena ia
ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar supaya tunduk padanya sehingga mudah
diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin. Kedua kalinya karena gerakan
melompat dari Mohopi tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk menilai sampai
di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila,
kau betul-betul sombong sekali!” Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan
serentak dia melakukan serangan bertubi-tubi.
Pertama-tama
tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini lalu disusul
dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lantas disusul pula dengan
tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan
maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga
serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya
pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan
suara bersuitan!
Akan tetapi,
sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat
menduganya. Pendekar Bodoh ialah seorang pendekar sakti yang memiliki
pengetahuan mengenai pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam
pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak
tipu dari cabang persilatan mana pun juga, sebelum serangan itu melayang dating
ia telah bisa menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk
dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Saat semua
orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang
mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu
Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa
orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika
kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu,
tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga-duga dan
dengan gerakan cepat sekali dia kemudian bergerak maju menyusup di bawah kaki
lawan yang menendangnya! Dengan demikian, dia telah berhasil menyelamatkan diri
dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang
gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika
melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan
sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar
Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang
lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah,
majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan
Citalani atau yang biasanya disebut Thai-koksu (Guru Negara Pertama) dan
Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka
dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat
betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walau pun harus mereka akui
bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.
Mereka masih
mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini mendengar perintah
Malangi Khan, mereka lalu serentak maju berbareng mengirim serangan dengan
maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi
kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat
menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan
tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor
monyet yang amat gesit dan sukar diserang.
Biar pun
penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai?
Dahulu pun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek
Losu, kedua orang ini pun tak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apa lagi baru
murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih
tinggi dari pada tingkat kepandaian Sam-koksu ini, karena itu walau pun mereka
menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat
menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit
pun.
“Koksu,
serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang mukanya menjadi merah
karena merasa malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan
pelindung negara ternyata tidak bisa berbuat apa-apa terhadap seorang yang
demikian sederhana saja.
Mendengar
perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi
yang paling menarik perhatian hingga membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di
tangan Thai-koksu Ganisa, oleh karena orang tua ini memegang seuntai rantai
yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah
Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dulu juga mempunyai senjata macam ini, maka
dia lantas berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak
begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya
bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok
besar itu menyambar cepat, akan tetapi hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil
mempergunakan ginkang-nya yang luar biasa. Namun pada saat tengkorak kecil di
ujung rantai yang dipegang oleh Thai-koksu itu mengarah mukanya, ia cepat
mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.
Dia maklum
dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini
mengandung hawa mukjijat dan kekuatan sihir. Dan di samping ini, juga di dalam
tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya
apa bila ditangkis.
Oleh karena
itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu
mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu. Pada waktu ia melihat
tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu
menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu sudah kena
terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu
terkejut sekali. Ia hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada
di dalam tengkorak itu, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah
mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras
karena dengan tepat sekali tendangan itu sudah membuat sambungan pergelangan
tangannya terlepas!
Sambil
membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok
dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu
melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya yang ‘dimasukkan’ lurus
ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngekk!”
Meski pun
Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lweekang-nya ke arah perut, namun tentu
saja dia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera dia terhuyung mundur
sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!
Ada pun
Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu kembali menerjang dengan goloknya,
membabat secara bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai
yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya
babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga
tubuhnya segera mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani
atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara
saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di
udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang
kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu
menyerong dan menendang ke arah golok!......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment