Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 19
PANTAS saja
Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa amat gentar menghadapi sepasang orang
gagah ini, karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal
yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya!
Sie Cin Hai
Si Pendekar Bodoh bersama Lin Lin, isterinya yang berkepandaian tinggi, datang
pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.
“Pendekar
Bodoh…,” dengan bibir gemetar Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan
kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai
terseyum, senyum yang amat dingin. “Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar
namamu. Dan telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama
Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Hari ini kebetulan sekali kami berdua sempat
menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena
aku sudah menerima tantangan suheng-mu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak
mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku tak akan mengganggumu!
Pergilah!”
Bukan main
malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia sedang berada di
rumah sendiri, bagaimana Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja
seperti seekor anjing? Biar pun dia sudah mendengar nama besar Pendekar Bodoh
dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan
lagi pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang
bu-beng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
“Pendekar
Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih
meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri,
bagaimana kau bisa mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.
“Aku tidak
mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggatlah dari depan mataku. Sebal aku
melihatmu!” kata Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah
muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena dia berusaha keras
menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju hingga pipa yang digenggamnya
hampir remuk!
“Kalau aku
tidak mau pergi?” tantangnya.
“Mau atau
tidak, pergilah!” Pendekar Bodoh membentak sambil melangkah cepat ke arah kakek
mewah itu.
Ban Sai
Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang
pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba dia menggerakkan huncwe
mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai!
Akan tetapi
Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara
pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Dia tidak tahu
bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya
dari suhu-nya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali, yaitu
pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia pada
waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan
tiba-tiba dan tidak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga
huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat
dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke
kepalanya, dia sudah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya.
Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja.
Akan tetapi
setelah huncwe itu melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang
sekali, mendadak terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini
terlempar kemudian melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh
berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!
Bukan main
terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti
itu? Ia tak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali
terlihat olehnya betapa huncwe-nya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia
hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit saat
huncwe-nya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong
sedemikian hebatnya!
Sebenarnya,
ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia
tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia
mendiamkannya saja dan pada saat tangan yang memegang huncwe sudah hampir
mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai
melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu
dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut!
Sambaran
hawa putih yang keluar dari pukulan ini lantas membuat tangan Ban Sai Cinjin
terdorong sehingga pukulannya menjadi melenceng dan tidak mengenai kepala Cin
Hai, dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan
mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tak mengira akan hal ini.
Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya tadi, yaitu
memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari hadapannya.
Sementara
itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Dia melihat dengan
jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir
ia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Akan tetapi dia dapat
melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena
kesalahan kakek itu sendiri.
Dalam
pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri.
Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi sangat di luar
sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh.
Coa-ong
Lojin merasa bahwa ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh. Sungguh pun tidak akan
menang, akan tetapi dia mungkin sanggup bertahan sampai beberapa lama, tidak
seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Semenjak
tadi Lin Lin sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang masih
menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini
maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata,
“Kalau aku
tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang.
Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa
kau hendak membunuh orang ini?”
“Isteriku,
dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata
Cin Hai kepada Lin Lin.
“Hemm,
Sin-houw-enghiong terkenal sebagai orang gagah yang berpribudi tinggi, kenapa
hendak kau bunuh?” kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk
sesaat menjadi pucat tidak dapat menjawab.
“Aku hanya
terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi...,” dia mengangkat dadanya
memberanikan hatinya, “peduli apakah kalian dengan urusanku?”
Diam-diam
Ketua Coa-tung Kai-pang ini menyangka bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela
puteranya yang sudah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sebenarnya Cin
Hai dan Lin Lin belum mengetahui bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat
menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan sudah pernah menanam bibit permusuhan
dengan Coa-tung Kai-pang.
“Burung
gagak tentu memilih kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak
ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!”
Biar pun
merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati dari pada Ban
Sai Cinjin dan dia tidak berani melawan.
“Pendekar
Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah kepadamu, karena tak ada sebab
bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku tidak akan sudi menelan
hinaan macam ini lagi!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan
pergi.
Akan tetapi
pada saat itu pula terdengar bentakan, “Pengemis kelaparan, jangan kau pergi
dulu!”
Dari luar
menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan sudah menerkam ke arah
pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini kaget sekali dan cepat menyabet dengan
tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu
mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena
dirampasnya!
Orang ini
bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari
Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan sekaligus menjadi murid dari Kong Hwat Lojin
Si Nelayan Cengeng (baca cerita Pendekar Bodoh).
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke
utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan
Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan
tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan
pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang sedang menggendong Lie Siong
sambil mengalirkan air mata!
Tentu saja
melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani.
Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Dia merasa seperti
pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah di mana.
Lin Lin segera maju menghampiri Lilani dan bertanya,
“Nona yang
manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula
dia?”
Melihat
sikap dan wajah ketiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum.
Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaan
dirinya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai
Cinjin?
Pendekar
Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata, “Nona tak perlu
kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, dan tak pernah
mau mengganggu orang.”
“Siapakah
Sam-wi yang mulia? Kenapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini sedang terluka
hebat dan perlu segera dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku
yang malang ini.”
Kwee An yang
sejak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa
sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie
Siong dia pun berseru kaget,
“Nona,
kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekaslah kau ceritakan keadaanmu dan
jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik.
Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh
mencurigainya lagi.”
Mendengar
ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Dia menurunkan tubuh Lie
Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Cin Hai sambil berkata,
“Sie
Taihiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang
telah Taihiap kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”
“Kau anak
Meilani...?” Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini dia teringat bahwa
wajah gadis ini bagaikan pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani,
gadis Haimi yang dahulu telah menjadi ‘isterinya’ di luar kehendaknya itu! Juga
Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan mereka teringat akan Meilani yang pernah
mereka jumpai. (baca cerita Pendekar Bodoh)
“Bangunlah,
Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?” Lin Lin bertanya sambil
membangunkan gadis itu. “Tentu saja kami kenal baik dengan ayah bundamu, bahkan
ini adalah Kwee Taihiap saudara tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah
tirimu!”
Sungguh
keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan begini ia masih dapat menggoda kakaknya.
Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani mendadak menjatuhkan
diri dan berlutut pula di depannya.
“Bangunlah,
bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan kenapa ia sampai
terluka begini hebat?”
“Dia bernama
Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Taihiap dan...”
“Apa
katamu?” Lin Lin hampir menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng...
jadi dia... dia putera Ang I Niocu?!”
Lilani
mengangguk dan dengan singkat dia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai
Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih
berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu
lagi. Dia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena
sedikit-sedikit Kwee An juga tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan
ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju
ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.
Ada pun Kwee
An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut dia
melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat
berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada
Lilani siapa yang melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong
terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, dia segera memondong tubuh Lie Siong dan
berkata,
“Hayo kita
kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!”
Dan bersama Lilani mereka kemudian berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan
isterinya.
Demikianlah,
ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, dia lalu
memberikan Lie Siong kepada Lilani dan dia sendiri lantas menyerang Coa-ong
Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.
“Pengemis
ular,” kata Kwes An dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau
tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan
dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!”
Coa-ong
Lojin berdiri bengong karena terkajut serta herannya. Bagaimana orang dapat
merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya?
“Siapakah
kau?” tanyanya.
“Kau
berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap,
lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya,” berkata pula Kwee An
sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.
“Kalau aku
tidak mau dan tidak takut mampus?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum
mengejek.
Kwee An
menjadi gemas. “Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran
dari Pek Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama
hidup, hidup tidak mati pun tidak! Di samping itu, aku akan pergi mencari
kawan-kawanmu, semua anggota Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai
bersih!”
“Engko An,
biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci
Im Giok (Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.
“Dan aku pun
harus mematahkan kedua lengannya kalau dia tetap berkukuh tidak mau mengobati
Lie Siong!” kata Cin Hai.
Mau tidak
mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apa lagi dia
pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian
mengerikan sekali. Tadi pun dia telah menyaksikan kepandaian Kwee An yang
demikian mudah merampas tongkatnya.
Ia menarik
napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang
lihai ini. Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan
berkatalah dia dengan gemas,
“Biarlah
sekali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menuruti kehendak orang lain.
Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!” Dia melemparkan bungkusan
obat kepada Kwee An dan hendak pergi.
“Nanti
dulu!” seru Cin Hai. “Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!” Sambil berkata
demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu
dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh
tertotok.
Sementara
itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan cepat memulihkan kesehatannya
setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali
dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,
“Dia harus
disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!”
Cin Hai juga
membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa
berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini langsung mengangkat tangan dan
memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya
lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini
dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi dia tertegun ketika merasa betapa
dalam tangkapan Cin Hai, dia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
“Dia orang
jahat, harus dibunuh!” katanya dengan keras.
“Sabar dulu,
Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan terlebih dulu bahwa obat yang
diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.
Sesudah
dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan
mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk
dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak
kanannya itu lalu dicuci bersih dan dibubuhi obat bubuk yang sudah dicairkan
dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat
dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti
hasil pengobatan itu.
“Sebentar
lagi dia akan siuman dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
“Awas, kalau
kata-katamu tak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang
jahat!” kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi,
tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tidak lama kemudian
terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang
pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah
telah mulai menjadi pulih.
“Baiknya kau
tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh. Sebagai
seorang budiman, ia tidak mau melanggar janji dan melihat Lie Siong betul-betul
dapat disembuhkan, dia lalu menghampiri Coa-ong Lojin dan membebaskan
totokannya sehingga pengemis itu dapat melompat berdiri.
“Baiklah
sekali ini aku Coa-ong Lojin sudah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di
puncak Thian-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi
kalian!”
Setelah
berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi
sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar
keluar dari pintu.
“Ha-ha-ha!
Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang tetapi kepalamu!”
Setelah
Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Dia
menoleh kepada Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo
Sian tersenyum dan berkata,
“Lie Siong,
kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh bagus sekali nasibmu
sehingga hari ini kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah
bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu
adalah Kwee An Taihiap dari Tiang-an!” Memang sebelumnya Lo Sian sudah mendapat
keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja
Lie Siong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda ini dapat menekan
perasaannya, dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
“Siong-ji
(Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri,” kata Lin Lin
dengan terharu sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong
lalu memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama
dengan Lili, yang tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu.
Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba saja ia menjadi
terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya.
Ibunya
mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita?
Mengapa ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini? Mereka ini
adalah pendekar-pendekar besar seperti yang sudah sering kali disebut-sebut
oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing?
Hatinya
menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam
keadaan tertimpa mala petaka, justru orang-orang ini yang telah menolongnya.
Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya dia nampak dalam pandangan mata ketiga
orang ini! Padahal dia ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan
isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi
oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura
memberi hormat dan berkata,
“Sungguh
siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang
gagah perkasa. Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak
membalas budi ini. Maafkan bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari
ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?”
Setelah
berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani,
“Mari kita pergi!”
Gadis itu
memandang dengan perasaan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat
membantah ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya? Ia hanya memandang kepada
Lin Lin dengan sedih, kemudian sambil menahan isak, dia lalu melompat dan
menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.
“Eh, ehh,
Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!” Lo Sian
berseru keras dan segera mengejar pula.
Ada pun Kwee
An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata
saking herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh.
Bagaimanakah pemuda itu dapat bersikap sedemikian dinginnya?
“Dia seperti
orang marah,” kata Cin Hai.
“Tidak,
seperti orang malu,” kata Lin Lin.
“Menurut
pandanganku, seperti orang yang merasa sangat penasaran. Sungguh aneh!” kata
Kwee An.
Selagi
ketiga orang itu merasa terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan
oteh suara Kam Wi yang keras,
“Ah, sungguh
beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari
tiga orang pendekar besar! Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian
telah menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Taihiap!”
Cin Hai
membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. “Kam-enghiong, harap kau tidak
berlaku sungkan. Saling bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita
telah merupakan kewajiban yang tidak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan
atau pun budi. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepada kami maka kau
hendak mencari kami dan usul apakah yang kau maksudkan itu?”
“Harap kau
dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apa bila kesempatan ini
kukemukakan maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan
yang bernama Kam Liong, yang sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di
kerajaan. Tentu kalian masih ingat pada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam
Liong adalah putera satu-satunya.”
“Kami sudah
pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda
yang gagah dan baik.”
Berseri
wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. “Bagus sekali, agaknya memang Thian
telah menjadi penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun
telah melihat puterimu yang bernama Sie Hong Li! Juga suheng-ku, Suhu dari Kam
Liong yang kau kenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun
Tojin, sangat suka melihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu,
kami sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, serta suhu-nya, untuk mengajukan
pinangan kepada Sie Taihiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong
Lie!”
Mendengar
pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini,
kedua orang tua itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah
akibat jengah. Belum pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan
sungguh pun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi
mulutnya tak dapat berkata sesuatu.
Dia hanya
memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan mata
bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling memandang, tidak dapat menjawab,
bahkan tidak berani pula memandang pada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih
menanti jawaban mereka.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
“Ha-ha-ha,
bagaimanakah kalian ini? Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang
seperti pemuda-pemudi yang main mata?”
Kwee An
biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia sedang
berkumpul dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan
untuk balas menggoda adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan
akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam
Wi,
“Kami
menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong
berikan kepada kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami
Hong Li yang bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, juga
dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh
itu terlalu rendah, apa bila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biar pun
masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga
menjadi anak murid dari tokoh Kun-lun-pai yang terkenal.”
“Bagus,
bagus! Jadi kalian sudah setuju? Kalian menerima pinanganku?” Kam Wi yang jujur
dan kasar itu segera memutuskannya.
“Bukan
begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan
begitu saja...” kata Cin Hai.
“Hemmm, jadi
Sie Taihiap menolak?” kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar Bodoh.
Cin Hai
tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan
tidak sabaran.
“Tenanglah,
Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah seperti urusan jual beli barang
murahan saja. Hal ini tentunya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
Sekarang kami tidak dapat memberi keputusan, berilah waktu kepada kami untuk
memikirkan serta mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan
bicara dengan Lili puteri kami itu.”
“Pendekar
Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih
mudah bicara dengan kepalan tangan dari pada dengan bibir dan lidah. Kalau
kiranya kalian berdua menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan
saja sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya
sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak.”
“Bagaimana
kami dapat menolak pinanganmu? Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau
menolaknya. Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri
Kam Liong, akan tetapi...”
“Ha-ha-ha,
jadi kau suka? Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan
merupakan seorang suami yang baik serta bijaksana, seorang anak menantu yang
berbakti! Terima kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, segera kita akan
mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.”
“Nanti dulu,
Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Jika tadi kunyatakan bahwa aku tidak
menolak, itu bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi,
berilah waktu. Kita sedang menghadapi masa sulit, tugas dan kewajiban
menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang
perjodohan? Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu
dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara
tentang perjodohan ini!”
“Baik, baik.
Betapa pun juga aku merasa yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah
setengah menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah
air. Bila keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning
untuk menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas
pertolongan kalian tadi!” Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira
Kam Wi lalu meninggalkan rumah itu.
Pendekar
Bodoh menarik napas panjang. “Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan
perjodohan dianggap mudah begitu saja. Itulah jika orang tidak mempunyai anak
sendiri, tidak merasa betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan.”
“Sesungguhnya
orang itu gegabah sekali,” kata Kwee An, “belum juga diberi keputusan, dia
sudah menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu
kelak akan dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan
kekasarannya.”
“Terus
terang saja, aku sendiri sudah setuju apa bila Lili mendapatkan jodoh seperti
Kam Liong,” kata Lin Lin. “Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu
sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu
Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan
bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan
perjodohan ini?”
“Betapa pun
juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini
menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Aku tidak akan merasa puas apa bila dia
sendiri tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dan dia pula
yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau
sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali kenapa Sin-houw-enghiong
merasa demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima
pinangannya.”
Demikianlah,
mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke utara sambil tak ada hentinya
membicarakan urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar
itu.
***************
![Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su Episode Pendekar Remaja](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig9QmjarBjXIjpeuavtZ88cq7QIVn7uyvppms7EMobC7djhxDw12MTV_9Y-4KOSvb-UnNm0iheYTc83qTDQe1L3wpbSkJpfYLPM91wGAZ8arWQs74CUmeEuxQejKe1rAv2xxAM8xeJ3ek/s320/Pendekar+Remaja-738810.jpg)
Dengan hati
mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi dia tidak berlari terlalu cepat karena
bila ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu,
maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
“Perlahan
dulu, Anak Siong!” kata Sin-kai Lo Sian sesudah dapat menyusul pemuda itu. Lie
Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti untuk menanti
datangnya pengemis tua itu.
“Mengapa kau
meninggalkan mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan
ayahmu? Kau sudah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka
seakan-akan seorang yang sedang marah, mengapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong
yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
“Alangkah
rendah pandangan mereka terhadapku,” hanya inilah yang diucapkan oleh Lie Siong
karena sebetulnya dia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau
menyusulku ada apakah? Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa
yang sudah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tidak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah
kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu
diri dan tidak tahu menerima budi. Biarlah mereka lupakan namaku, nama ibu dan
ayahku!”
Lo Sian
tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Dia benar-benar merasa heran
sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
“Lie Siong,
sesudah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat
mengerti watakmu, sungguh pun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku
menyusulmu bukan untuk mengganggumu, akan tetapi karena aku kini sudah dapat
menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan di mana kiranya kita dapat menemukan
makam ayahmu.”
“Siapa
pembunuhnya? Di mana makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan
wajahnya memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai
Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.
“Tak salah
lagi,” katanya sebagai penutup ceritanya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain
orang, akan tetapi Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak
ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu
dusun Tong-sin-bun!”
“Di tempat
di mana aku pernah membakar rumahnya?”
Lo Sian
mengangguk. “Di dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan
kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau
makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki.”
“Kembali ke
Tong-sin-bun?” Lie Siong berkata ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Dia
lalu menengok ke arah Lilani. “Kita sudah sangat dekat dengan tempat di mana
kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku
bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu,
baru kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini.”
Lo Sian
menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara
menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong
berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin,
dia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai
Cinjin, walau pun untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
***************
Pada masa
itu, keadaan tapal batas sebelah utara memang amat genting.
Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja
rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan barisan
pemerintah yang menjaga di perbatasan.
Malangi Khan
sangat pandai mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa
Tartar untuk bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan
dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa
Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk secara bersama-sama
menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.
Juga ia
masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk
membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan
janji kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan
yang erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak pemerintah kaisar telah
terguling, dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!
Ban Sai
Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah
janji muluk ini, akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun
mempunyai rencana. Bila mana mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan
dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja dia akan menggunakan pengaruhnya
untuk berkhianat terhadap orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat
berkuasa di kota raja.
Sudah lama
suku bangsa Haimi dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi
ini hingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa
ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu
Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya terpakai oleh Malangi
Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh
dibilang dia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban
mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk
bergabung kembali kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup
kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya
bisa mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban
ini, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan secara
paksa, sehingga sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka
membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju
juga.
Pada suatu
hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan
dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang
mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang.
Sungguh amat menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis
panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya,
bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar
saja, pasukan kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat
terkurung dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang
perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan
sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah, akan
tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak
hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat
itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata
bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang
seorang gadis cantik yang memainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang
tunggal pada tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan
pedang, maka robohlah seorang lawan!
Gadis muda
ini bukan lain adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di
bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam
Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan
Kam Liong. Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya
dia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan
dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah,
pada saat dia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan
dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta
dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan
menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi,
ketika Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua
itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh
saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok lalu
menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili seorang saja yang
masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang
melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila
gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru, “Kawan-kawan, jangan
bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”
Akan tetapi,
perintah ini lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata
hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan
main! Setiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi
roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis
itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau membunuh
orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah
bundanya tentang bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun
di antara mereka.
“Bukankah
kalian ini orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku
adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian,
Manako dan Meilani!” seru Lili di antara amukannya.
Benar saja,
mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri.
Mereka sudah pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik
dari pada kepala mereka yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar
bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan
pengeroyokan.
Lili menjadi
kewalahan juga. Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa
merobohkan atau menewaskan beberapa orang di antara mereka.
“Mana Manako
atau Meilani? Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya
lagi. Akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi
itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada
Saliban.
Sungguh
celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang!
Ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis
Han, orang-orang Mongol ini cepat menyerbu dan mengeroyok Lili.
Keadaan Lili
menjadi lebih berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi
bagaimana dia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu
kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi
terhalang.
Lili melawan
terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita
dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus,
belum juga gadis ini kalah! Mayat sudah bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun
sudah menjadi kabur.
Kepalanya
pening, peluh membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak
mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu
menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.
Mendadak
terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang
lain datang menolong.
Orang-orang
Mongol lalu memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang
terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi
Lili sudah lelah sekali sehingga pada saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya
terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap
mata saja dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban
mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang
roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali
ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam.
Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang
sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang
menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga
merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Lili
didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang
terikat erat-erat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang
Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.
Dulu secara
iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu
dan memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya
sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.
“Jangan,
Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee
Taihiap yang telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar
seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.
Ucapan ini
agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ,
karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak
berkumis itu menjadi marah.
“Siapa takut
pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh
orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan
yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik
jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi
Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang
sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah
dan secantik ini.”
Kembali
terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan
tidak setuju. Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia
mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih
menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya
takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam
Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong,
mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah
kembali kalau mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga
bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan
serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan
Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!
Akan tetapi
Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini
tidak akan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun
hebat mala petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.
Dengan
pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur.
Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok
pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Memang
cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati,
mungkin ia tidak akan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat
dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat
tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun
kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan
segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika
melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak
bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat
keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah
sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas,
dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak
berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah
perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik
ayah bundanya?
Pada saat
Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan
sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh
Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan
ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh
orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.
Cuaca pagi
hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di
dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya
seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun
di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya
yang langsing.
Tangan
wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang
pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi
pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam
ayahnya.
Wanita itu
tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang
bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini
sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya.
Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.
Akan tetapi
tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu!
Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok
belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan
karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!
Cepat-cepat
dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah
bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan
sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk
mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya
dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi
wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu
telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili,
digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya, “Siapa kau? Dari mana kau
mempelajari Pek-in Hoat-sut?”
Ketika
wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat
wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat
jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua
sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh
keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu
juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang...
Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.
Dua tangan
yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan
kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau
siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang
memang betul Ang I Niocu adanya.
“Ahh...
Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.
Semenjak
kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu
yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak
melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat
menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya
bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun
ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala
petaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan
menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula
mengalir di atas pipinya.
Sementara
itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau
puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?” bisiknya.
“Betul,
Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu
kakakku bernama Sie Hong Beng.”
Ang I Niocu
memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan
memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang
kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi
menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat
itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban
melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah
sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk
menyerbu.
“Tangkap
Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah
wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak
Lili sambil berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah
anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat
puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil
berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang
tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!
Pedang ini
sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang
pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai
yang mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su
guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek
jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I
Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat
kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa
kalau wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi
itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya
betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im
Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan
Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi
yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat.
Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang
kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu
memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau
nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu
bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan
pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi
kepala mereka.”
“Terima
kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing,
tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi
menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa
pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.
Dengan kedua
tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan
puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan
untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya
atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang
gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara
suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar
Bodoh yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya
sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan
menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya
akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu,
dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu,
aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan
memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu
dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang
pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban
melompat ke depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan
sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang
kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong
itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”
“Ha-ha-ha,
kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis
yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah
perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan
cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam
tanganku!”
Saliban
memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan
tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan
gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras,
“Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi
tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan
senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah
mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana
gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti.
Sebelum
Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya
dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban. Saliban mengangkat pedang
Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat
dan hebat ke arah kepala gadis itu.
Akan tetapi,
dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu
mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara
bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin
belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment