Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 12
HARI telah
menjadi gelap ketika bayangan Lie Siong berkelebatan cepat di atas genteng
gedung Ban Sai Cinjin di mana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati
Hailun Thai-lek Sam-kui. Keadaan di dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena
Ban Sai Cinjin, ketiga kakek Thai-lek Sam-kui, Wi Kong Siansu, dan juga Lok Cit
Siang telah pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan.
Orang-orang
tua yang lihai ini melanjutkan percakapan di dalam kuil ini supaya tidak
terganggu oleh orang-orang muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu.
Hanya Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu
yang kini terdiri dari orang-orang muda. Pesta itu kini dimeriahkan oleh
beberapa orang wanita penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.
Tentu saja
Lie Siong tidak tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat
itu, dan ia pun tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki
ketabahan hati seperti ibunya dan juga memiliki kecerdikan dan pandangan luas
seperti ayahnya.
Ia maklum
bahwa seorang diri menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para
orang tua yang pandai itu, merupakan hal yang bodoh sehingga sama saja dengan
membunuh diri. Oleh karena itu, dia segera menuju ke ruang belakang yang sunyi
dan mencari akal. Satu-satunya jalan untuk dapat menghajar mereka, pikirnya,
adalah dengan cara membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah perhatian
mereka.
Gerakan
tubuh Lie Siong demikian hati-hati dan ginkang-nya memang sudah sempurna
seperti ibunya, maka anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta
pora di dalam gedung tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti
Hwesio dan Song Kam Seng yang sudah memiliki ilmu silat tinggi juga tidak
mengetahuinya.
Hal ini
bukan menandakan bahwa kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong
Siansu ini masih rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat
ramainya sehingga tentu saja mereka tidak memperhatikan keadaan di luar mau pun
di atas gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang berani mengganggu rumah gedung
Ban Sai Cinjin?
Tiba-tiba,
nampak api bernyala hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala
api di sebelah kanan dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung
itu sudah kebakaran di tiga tempat, yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah
orang-orang yang berpesta pora menjadi geger.
“Kebakaran...!
Kebakaran...!” Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang berlari
serabutan ke sana ke mari.
Hok Ti
Hwesio dan Song Kam Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang
membakar bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api
yang membakar gedung itu besar juga dan terjadi di tiga tempat.
Di dalam
keributan itu, sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan
seekor burung garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya
menyambar, menjeritlah beberapa orang muda yang roboh dengan mandi darah! Ternyata
bahwa Lie Siong yang merasa marah dan sakit hati karena Lilani diganggu, kini
mulai menurunkan tangan maut sebagai pembalasan dendam!
Dengan
pedang di tangannya, pemuda ini meyerbu orang-orang yang nampak di dalam
gedung. Ke mana saja tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh
oleh pedangnya atau oleh serangan tangan kiri dan kakinya. Beberapa orang
mengeroyoknya dengan senjata di tangan, akan tetapi dalam beberapa gebrakan
saja, pengeroyok yang jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat
bangun pula!
Sepak
terjang Lie Siong benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan
melebihi ibunya dahulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung
itu adalah penjahat-penjahat belaka yang harus dibasmi dari muka bumi. Maka
sebentar saja, selagi api masih belum dapat dipadamkan, belasan orang telah ia
robohkan!
Hok Ti
Hwesio dan Kam Seng masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika ada
seorang pemuda datang kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap,
“Celaka, ada musuh mengamuk... banyak kawan dibunuh...”
Mendengar
ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga
dan menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil
berteriak marah, Hok Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah
gedung.
Dia melihat
seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda
itu adalah orang yang siang tadi telah mengacau, dia pun menjadi marah sekali.
Dicabutnya pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,
“Keparat
keji rasakan tajamnya senjataku!” Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu
melayang dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.
Melihat
benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat-cepat mengelak. Akan
tetapi segera menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Sekali ini
Lie Siong menggerakkan pedangnya dan…
“Traaang…!
Traaang…!” dua buah pisau itu dapat ditangkis.
Lie Siong
merasa kagum juga ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa
pisau itu dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi kekagumannya
berubah kekagetan pada waktu pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu
menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat-cepat melompat ke samping dan
segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat.
Dengan
pedangnya yang aneh dia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah
siap dengan pisau di kedua tangannya! Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie
Siong, datanglah Kam Seng yang telah mencabut pedangnya. Tidak lama kemudian
Lie Siong telah dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng.
Lie Siong
mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat
sekali, akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama
sekali. Dia lalu bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong
Kiam-sut.
Tubuhnya
yang semenjak kecil telah dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari
Bidadari) menjadi lemas. Ada pun gerak geriknya selain indah juga cepat sekali.
Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan
tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika dia
bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang hebat.
Melihat
Pek-in Hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi
seorang muda dari rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka
bertemu dengan orang-orang muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu
Silat Pek-in Hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang
pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya
ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!
Dengan penuh
semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng kemudian menyerang sambil mengerahkan
seluruh kepandaian mereka sehingga Lie Siong belum dapat merobohkan mereka.
Kepandaian kedua orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan apa bila Lie Siong
tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang tinggi, agaknya sulitlah
baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.
Lebih-lebih
kaget hati Lie Siong pada waktu ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, oleh
karena tendangan yang kekuatannya sedikitnya seribu kati itu, dan yang pasti
akan membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya mampu membuat tubuh
hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu
melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali
lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.
Tentu saja
Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat
hebat, maka dia menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk
membinasakan dua orang yang dianggapnya amat berbahaya ini.
Penjahat-penjahat
dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan
mendatangkan kekacauan dan kejahatan di antara sesama hidup. Maka dia segera
memutar pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang
Kam Seng, karena walau pun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat
menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah
berbahayanya.
Diam-diam
Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda
yang berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama
sekali tidak nampak seperti seorang penjahat, dapat bersatu dengan orang-orang
jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tak berniat
sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja,
berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.
Betapa pun
juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat bila dibandingkan dengan
kedua orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga
di tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng hingga pemuda
itu terhuyung mundur dengan wajah pucat sekali. Baiknya dia masih dapat
mengerahkan ginkang-nya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka
hebat, hanya untuk beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi
kaku tak dapat digerakkan lagi.
Lie Siong
mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio. Ia ingin sekali menjatuhkan serangan maut,
akan tetapi Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan
untuk maju mengeroyok. Sekarang api sudah dapat dipadamkan dan semua orang
telah berkumpul di sana. Melihat betapa Kam Seng sudah dikalahkan serta Hok Ti
Hwesio memberi tanda, maka lebih dari dua puluh orang serentak maju mengeroyok.
Lie Siong
makin gembira melihat datangnya keroyokan dan pedangnya berkelebat makin ganas,
merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang
pemuda ini sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.
“Lekas,
panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.
Lie Siong
terkejut dan teringatlah dia pada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur
dengan dia. Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi kepandaiannya
sudah dibuktikannya datang pula mengeroyok, maka akan berbahayalah keadaannya.
Dia pun
teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan. Alangkah gelisah
gadis itu ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Dia sudah
membakar rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya sudah
mereda. Telah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang
dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula,
ia pun telah mulai lelah sesudah bertempur menghadapi keroyokan itu.
Dengan
gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayunkan pedangnya serta
memutarnya sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang
yang menyilaukan saja, kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur
menyelamatkan diri, dia cepat melompat ke atas genteng!
“Bangsat
hina dina, jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau
yang disambitkannya.
Lie Siong
memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru
saja ia terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin
menderu dan lima batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada
tubuhnya.
Lie Siong
terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak
lupa untuk memutar pedangnya melindungi diri. Untung dia bergerak cepat, kalau
tidak, tentu ia akan terkena sengan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat
melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata
rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!
Dengan marah
sekali Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata, “Percuma
saja dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”
Ia menghela
napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudahnya
dapat menghindarkan diri dari serangannya tadi. Dia telah menyempurnakan
pelajaran melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari
suhu-nya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengan
mudah dan indahnya.
Dengan hati
amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh,
orang-orang muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang
gagah yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Apa lagi yang tua-tua
seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain!
Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol supaya
mampu menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.
Sementara
itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Dia sudah melakukan
pembalasan yang cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani.
Tiada seorang pun di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat
dikasihani itu.
Hutan di
mana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan
perjalanan lambat. Ketika tiba di tempat di mana tadi dia meninggalkan Lilani,
ternyata bahwa tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa
heran sekali.
Ia ingat
benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani di situ, di bawah pohon besar itu, akan
tetapi mengapa sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah
perginya? Mendadak Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan.
Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya
dengan hati gelisah tidak karuan.
Apakah
Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat? Menggigil
sepasang kaki Lie Siong ketika dia memikirkan hal ini. Dia sendiri merasa heran
karena belum pernah selama hidupnya dia menderita perasaan takut dan gelisah
seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa
takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi
gemetar seluruh tubuhnya!
“Siapa?!”
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak
sambil tangannya memegang pedang!
Lie Siong
tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir
ia bersorak saking girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada di situ
dalam keadaan baik.
“Lilani...
aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri
yang agak gemetar.
Terdengar
isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian berlari dan
menubruk Lie Siong sambil menangis!
“Taihiap...
ahhh, Taihiap...”
Gadis ini
tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa
dan tidak akan kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang
memuncak membuat dia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk
leher pemuda itu, menciumnya dengan hati gembira dan penuh cinta kasih, sambil
mulutnya berbisik tiada hentinya, “Taihiap... Taihiap...”
Baru kali
ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air
mata yang hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa
dua lengan tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang
menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!
Ia memegang
kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya
dan ia lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.
“Lilani...”
suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya,
“jangan... jangan menangis, Lilani...”
“Taihiap...”
Lilani tersedu saking girangnya.
Belum pernah
pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan
girang, perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata
menaruh hati kasih kepadanya. “Taihiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang,
tentu pedang itu akan menembus dadaku...”
“Lilani...!”
Lie Siong mendekap makin erat.
“Benar,
Taihiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi bila kau sampai mendapat
celaka dan terbinasa.”
Demikianlah,
pertemuan yang amat mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam
hutan yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang
dingin menusuk tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang
buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.
Pertemuan
dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang.
Bintang-bintang yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan
ini, dan bayang-bayang pohon merupakan selimut yang amat hangat.
Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum.
Di antara
para pendekar remaja yang kita ikuti perjalanan dan pengalamannya hanya Sie
Hong Beng, putera Pendekar Bodoh yang sulung, yang belum kita ketahui bagaimana
nasibnya. Baiklah kita jangan meninggalkannya terlebih lama lagi dan mari kita
mengikuti perjalanan pendekar remaja putera Pendekar Bodoh ini.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Sie Hong Beng diantar oleh ayahandanya untuk
belajar ilmu silat tinggi dari Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari di
Beng-san. Selama sepuluh tahun, Hong Beng mendapat gemblengan ilmu silat
tinggi, memperdalam ilmu lweekang dan ilmu tongkat yang luar biasa sekali.
Ilmu tongkat
ini disebut Ngo-heng Tung-hwat dan masih ada semacam lagi yang disebut Pat-kwa
Tung-hwat. Untuk mainkan dua macam ilmu tongkat ini saja, dibutuhkan waktu
selama lima tahun oleh Hong Beng untuk dapat mempelajarinya dengan sempurna.
Yang istimewa pada ilmu tongkat ciptaan Pok Pok Sianjin ini adalah bahwa untuk
mainkan ilmu tongkat ini, tidak diperlukan tongkat yang khusus. Sebatang
ranting pohon yang terkecil, sampai batang pohon muda yang besar, dapat pula
dipergunakan sebagai senjata yang istimewa lihainya.
Sesudah
menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Hong Beng, Pok Pok Sianjin lalu
menyembunyikan diri di dalam goa di puncak Gunung Beng-san dan menyuruh
muridnya turun gunung melakukan perjalanan merantau sarnbil mempergunakan
seluruh pelajaran itu dalam praktek,
Pada waktu
Hong Beng menuruni gunung di mana untuk sepuluh tahun dia berdiam dan
mempelajari ilmu silat dengan tekunnya, dia telah menjadi seorang pemuda yang
gagah sekali. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya lebar dan tampan, berkulit halus.
Wajah dan tubuhnya sama benar dengan ayahnya di waktu muda, demikian pula
wataknya pendiam dan sabar, bahkan berpakaian sederhana seperti ayahnya pula.
Akan tetapi,
kalau ayahnya, yaitu Pendekar Bodoh, di waktu mudanya sering kali suka
merendahkan diri dan dalam kepandaian silat suka mengalah dan berpura-pura
bodoh sehingga dijuluki Pendekar Bodoh, adalah Hong Beng mempunyai watak tidak
mau kalah dalam hal kepandaian silat. Watak ini agaknya ia warisi dari ibunya,
karena pada waktu mudanya, Lin Lin juga memiliki watak demikian. Bahkan pada
waktu kecilnya, Hong Beng dan adiknya, Hong Li atau Lili yang memiliki
pendirian sama, sering membicarakan nama julukan ayah mereka.
“Sungguh
menggemaskan, ayah yang berkepandaian setinggi langit tidak ada lawannya,
mengapa disebut Pendekar Bodoh?” kata Lili sambil merengut.
“Memang aku
pun merasa penasaran sekali,” jawab Hong Beng. “Menurut patut, ayah harus
dijuluki Pendekar Sakti, bukan Pendekar Bodoh.”
Akan tetapi,
kalau keduanya mengajukan rasa penasaran ini kepada ayah mereka, Sie Cin Hai
hanya terbahak-bahak saja dan menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Anak-anak
bodoh, manakah yang lebih baik, gentong arak disangka penuh akan tetapi kosong
melompong ataukah gentong arak yang dianggap kosong akan tetapi penuh isi?”
“Tentu saja
lebih baik yang disangka kosong akan tetapi penuh isi!” Lili yang berotak
terang menjawab dengan kontan.
“Nah,” jawab
ayahnya masih sambil tertawa, “demikian pula soal nama julukan. Lebih baik
disangka bodoh akan tetapi tidak bodoh dari pada dianggap pinter akan tetapi
goblok!”
Betapa pun
juga, setelah menjadi dewasa, Hong Beng masih saja tak mau merendahkan diri dan
berpura-pura bodoh seperti ayahnya. Ia adalah seorang pemuda yang maklum akan
kepandaian sendiri, dan hasratnya besar sekali untuk menguji ilmu kepandaiannya
dengan kepandaian orang lain.
Bila orang
melihat Hong Beng turun gunung dengan pakaian yang demikian sederhana, berwarna
biru dengan rambut atas diikat pita kecil, warna sepatunya hitam tanpa kaos,
orang tidak akan mengira bahwa dia adalah putera Pendekar Bodoh dan murid Pok
Pok Sianjin yang sakti.
Pemuda ini
tidak membawa senjata apa-apa, bertangan kosong dan meski pun tubuhya tinggi
tegap, namun kulit mukanya putih dan halus. Pakaiannya seperti seorang petani
sederhana, akan tetapi sikap dan gerak gayanya yang lemah lembut membuat ia
pantas dianggap orang seperti seorang pemuda terpelajar yang lemah. Tapi, jika
orang melihat betapa dia menuruni gunung yang penuh batu karang dan jurang
dengan tindakan kaki yang cepat bukan main, seolah-olah kakinya tidak menginjak
tanah, orang akan menjadi bengong terheran-heran.
Dari Gunung
Beng-san, pemuda ini menuju ke timur, melakukan perjalanan seenaknya, karena
dia pun tidak tergesa-gesa. Pada suatu hari, dia tiba di kota Ta-liong di
lembah Sungai Kuning dan amat heranlah ia melihat betapa kota yang besar dan
ramai itu penuh dengan pengemis dan jembel! Yang amat mengherankan hatinya
adalah betapa para pengemis itu, sebagian besar memegang sebatang tongkat
berwarna hitam dan biar pun mereka menjalankan pekerjaan mengemis, akan tetapi
gerakan tubuh mereka bagi mata Hong Beng yang awas, menunjukkan bahwa mereka
itu pandai ilmu silat!
Memang
sesungguhnya kota Ta-liong adalah kota pusat dari perkumpulan pengemis dari
Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang sangat tersohor
serta mempunyai cabang dan anggota sampai di kota raja! Hek-tung Kai-pang
adalah sebuah perkumpulan pengemis yang sudah puluhan tahun umurnya sehingga
telah mengalami pergantian pimpinan sampai beberapa kali.
Tiap tiga
tahun sekali, di kota Ta-liong tentu diadakan pertemuan antara para
pemimpin-pemimpin cabang untuk mengangkat seorang pemimpin baru. Kebetulan
sekali ketika Hong Beng tiba di kota itu, para pemimpin cabang datang berkumpul
untuk mengadakan pemilihan ketua baru, maka kota itu penuh dengan pengemis
bertongkat hitam.
Pada waktu
itu Hek-tung Kai-pang dipimpin oleh lima orang ketua karena ketika diadakan
pemilihan pada tiga tahun yang lalu pilihan jatuh kepada lima saudara yang
menjadi anak murid dari Hek-tung Kai-ong (Raja Pengemis Bertongkat Hitam)
pendiri dari perkumpulan itu. Baru sekarang anak murid Hek-tung Kai-ong dipilih
menjadi ketua.
Beberapa
tahun sudah perkumpulan itu dipimpin oleh lain orang oleh karena anak murid
Hek-tung Kai-pang sendiri tiada yang mampu mengalahkan pemimpin dari luar itu.
Lima saudara yang menjadi murid Hek-tung Kai-ong sendiri ini lalu melatih diri
dan akhirnya berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong hingga
akhirnya mereka berhasil merebut kedudukan ketua. Untuk menjaga perpecahan di
antara mereka, serta untuk memperkuat kedudukan dan menjaga nama Hek-tung
Kai-ong pendiri perkumpulan itu, mereka berlima bermufakat untuk memegang
pimpinan bersama-sama.
Dengan
demikian, maka calon pemimpin baru apa bila hendak menggantikan mereka, harus
dapat mengalahkan mereka berlima! Maka, sampai tiga kali pimpinan, jadi tiga
kali tiga tahun, Ngo-heng-te (Lima Saudara) dengan Hek-tung-hoat-nya (Ilmu
Tongkat Hitam) ini selalu menjadi pimpinan dan tak terkalahkan!
Seperti
biasa, para pengemis telah berkumpul di sebuah tempat terbuka di sebelah utara
kota, di mana terdapat padang rumput dan beberapa batang pohon besar. Mereka
masih menanti di bawah pohon-pohon, ada yang sedang duduk melenggut, ada yang
berbaring mendengkur, ada yang membuka bungkusan dan makan hasil mengemis, dan
sebagian besar duduk bercakap-cakap mengobrol ke barat ke timur sehingga
keadaan menjadi sangat ramai sekali.
Kurang lebih
ada empat puluh orang pengemis berkumpul di tempat itu, dan semuanya merupakan
pengemis-pengemis tua yang menjadi pimpinan berbagai cabang Hek-tung Kai-pang.
Lima orang ketua mereka belum datang, maka mereka masih saja menanti.
Menurut
desas-desus mereka kelima orang pangcu (ketua) itu akan datang dari kota raja
di mana mereka tinggal. Biar pun ketua itu tinggal di kota raja, akan tetapi
mereka tidak berani mengadakan pertemuan di sana, oleh karena tentu saja mereka
akan diusir dan diserbu oleh para perwira kerajaan yang tidak memperbolehkan
orang-orang kotor ini merusak pemandangan indah di kota raja!
Tiba-tiba
semua pengemis itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis lain yang aneh
keadaannya. Pengemis ini belum tua benar, kurang lebih baru berusia empat puluh
tahun, berwajah tampan dan pucat, sedangkan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang tidak beres ingatannya. Ia tertawa-tawa dan meringis sambil
memutar-mutar manik matanya secara mengerikan. Tangannya memegang sebatang
tongkat bambu dan pakaiannya tidak karuan, demikian pula rambutnya. Bahkan di
pinggir mulutnya nampak tanah lumpur, seakan-akan dia habis makan tanah lumpur.
“Anjing-anjing
berkeliaran di mana-mana, ha-ha! Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana!” kata
pengemis bertongkat bambu itu sambil menudingkan tongkatnya kepada
pengemis-pengemis lain yang memandangnya heran.
Tak ada
seorang pun di antara para pengemis ini mengenal orang yang baru datang dan
pandang mata marah mulai nampak pada para pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang
itu. Siapakah yang begitu kurang ajar berani datang ke tempat itu dan
mengganggu mereka?
“He, orang
gila!” Seorang pengemis, yang pendek gemuk lalu memaki. “Apakah matamu buta?
Apakah nyawa anjingmu minta diantar oleh tongkat hitam?”
Pengemis
aneh ini sebenarnya Sin-kai Lo Sian. Pengemis sakti yang telah menjadi gila.
Sebagaimana sudah kita ketahui, Lo Sian telah ditangkap oleh Ban Sai Cinjin
sepuluh tahun yang lalu, dipaksa minum obat beracun sehingga menjadi gila. Selama
itu, Lo Sian berkeliaran di mana-mana dan karena keadaannya telah berubah
sedemikian rupa dan menjadi gila, tidak seorang pun dapat mengenalnya pula
sehingga dahulu suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le, tak berhasil mencarinya. Di
dalam perantauannya dalam keadaan tidak sadar dan tidak ingat sesuatu, Lo Sian
kebetulan tiba di kota Ta-liong dan melihat banyaknya pengemis berkumpul di
situ, ia menjadi tertarik dan datang pula ke tempat itu.
Mendengar
teguran Si Pendek Gemuk tadi, Lo Sian hanya tertawa haha-hehe, dan dia
menggunakan tongkatnya untuk mencokel tanah di depan kakinya. Begitu tongkatnya
digerakkan, tanah itu tercokel terbang ke arah perut Si Pengemis Gendut.
Pengemis gendut itu terkejut sekali, cepat dia mengelak akan tetapi sambaran
tanah lumpur ke dua telah tiba dan tepat sekali mengenai mulutnya.
“Plak!”
Pengemis gendut itu gelagapan dan sebagian besar lumpur itu telah memasuki
mulutnya!
“Bangsat
kurang ajar” teriak pengemis lain dan semua pengemis yang tidak tidur sudah
berdiri mengepal tongkat hitamnya. “Butakah matamu bahwa kau berhadapan dengan
rombongan pengurus Hek-tung Kai-pang? Ayo lekas mengaku siapakah kau dan kenapa
kau datang memusuhi kami?”
Kalau
otaknya tidak gila, tentu Lo Sian tahu siapa sebetulnya mereka ini, karena ia
pun telah mendengar nama Hek-tung Kai-pang, bahkan dahulu dia menjadi kawan
baik dari Hek-tung Kai-ong pencipta perkumpulan itu. Tetapi dalam keadaan
seperti itu, jangankan mengenal orang lain, dirinya sendiri pun dia tidak kenal
lagi. Maka mendengar makian pengemis yang bertubuh jangkung kurus ini, dia lalu
menggerakkan tongkat bambunya mencokel tanah lagi dan beterbanganlah tanah
lumpur ke arah para pengemis yang telah berkumpul itu!
“Kurang
ajar, kau benar-benar ingin mampus di bawah gebukan tongkat kami!”
Maka
menyerbulah sekalian pengemis itu dengan tongkat hitam terangkat, mengeroyok Lo
Sian. Semua pengurus cabang Hek-tung Kai-pang telah mempelajari Ilmu Tongkat
Hek-tung-hoat, akan tetapi tingkat mereka apa bila dibandingkan dengan
Ngo-heng-te dan Hek-tung-hoat-nya itu masih amat jauh.
Hek-tung-hoat
adalah ilmu tongkat yang luar biasa sukarnya, dan amat dirahasiakan cara
mempelajarinya. Inilah pula sebabnya mengapa kelima saudara itu dahulu masih
belum menguasai sepenuhnya ilmu tongkat ini. Setelah mereka mendapatkan kitab
pelajaran yang disembunyikan oleh Hek-tung Kai-ong, barulah mereka dapat
memperdalam ilmu tongkat itu.
Ada pun Lo
Sian, biar pun ingatannya telah lenyap dan dia telah menjadi seorang gila,
namun ilmu silatnya masih belum lenyap. Ilmu silatnya yang berasal dari
Thian-san-pai amat tinggi dan termasuk golongan atas, maka tentu saja apa bila
dibandingkan dengan para pengemis itu, ia masih menang jauh.
Akan tetapi,
sungguh pun sudah kehilangan pikirannya, Lo Sian masih belum kehilangan
wataknya yang baik dan penuh welas asih, maka dia tidak ingin membunuh sekalian
pengemis yang mengeroyoknya, ditambah lagi dengan jumlah pengeroyoknya yang amat
banyak, maka sebentar saja ia dikepung oleh puluhan orang pengemis dan
berkali-kali ia menerima gebukan tongkat hitam!
Pertempuran
itu benar-benar ramai dan lucu. Lo Sian sambil tertawa-tawa tidak karuan,
mempermainkan para pengeroyoknya, membuat para pengemis itu terjungkal dan
roboh karena dikait kakinya. Mereka jatuh tidak terluka, bangun lagi dan biar
pun hujan tongkat hitam itu mengenai tubuh Lo Sian sehingga pakaiannya hancur
dan kulitnya ada yang pecah, namun seperti tidak terasa oleh pengemis sakti
yang mempunyai kekebalan dan lweekang yang tinggi itu.
Pada saat
itu, datanglah Hong Beng yang kebetulan tiba di kota itu. Pemuda ini memiliki
jiwa yang gagah dan adil. Dari jauh dia telah melihat dan mendengar ribut-ribut
itu dan ketika dia menghampiri tempat pertempuran ia melihat seorang pengemis
dikeroyok oleh puluhan pengemis tongkat hitam. Tadinya dia mengira bahwa para
pengemis itu tentulah berebut makanan, akan tetapi ketika menyaksikan cara Lo
Sian main silat, dia terkejut karena mengenal ilmu silat yang tinggi dari
Thian-san-pai.
“Curang!”
seru pemuda ini dengan marah. “Puluhan orang mengeroyok seorang, sungguh tidak
tahu malu!”
Hong Beng
lalu menyerbu ke depan. Seorang pengemis tongkat hitam menyambutnya dengan
tusukan tongkat pada lambungnya, akan tetapi dengan amat mudah, Hong Beng
mengeluarkan tangannya dan sekali membetot, tongkat hitam itu berpindah tangan.
Kaki kirinya bergerak menendang dan terlemparlah tubuh pengemis itu sampai tiga
tombak lebih dan jatuh sambil berkaok-kaok kesakitan.
Para
pengemis menjadi marah dan beberapa orang maju menyerbu Hong Beng. Akan tetapi,
mana mereka dapat menandingi Hong Beng yang berkepandaian tinggi? Memang
keahlian pemuda ini adalah permainan tongkat, dan sekarang tangannya telah
memegang sebatang tongkat yang baik, maka tentu saja ia merupakan seekor naga
yang dikeroyok oleh beberapa banyak tikus! Sekali ia menggerakkan tongkatnya,
langsung terdengar jerit kesakitan dan tubuh empat orang pengemis terlempar tak
dapat bangun lagi karena tangan atau kaki mereka patah-patah!
Tiba-tiba
terjadi suatu keanehan. Lo Sian yang sedang dikeroyok dan menghadapi para
pengeroyoknya sambil tertawa-tawa gembira, menjadi marah sekali ketika melihat
sepak terjang Hong Beng.
“Kau berani
melukai kawan-kawanku?!” teriaknya dan tongkat bambunya dengan cepat sekali
menyambar ke arah leher Hong Beng!
Pemuda ini
lebih merasa heran dari pada terkejut. Mengapa ada orang yang membalas
pertolongan dengan serangan demikian berbahaya? Akan tetapi dengan tenang dia
lalu mengangkat tongkatnya menangkis dan terkejutlah dia pada saat merasa
betapa tenaga pengemis gila ini benar-benar tidak rendah. Ia lalu mainkan
tongkatnya dan sekarang ia berkelahi dengan hati-hati sekali. Barusan pengemis
tongkat bambu ini menyebut para pengeroyoknya sebagai kawan-kawan, apakah
dengan demikian bukan berarti bahwa ia telah mencampuri urusan dalam
orang-orang golongan lain?
“Orang tua,
tahan dulu. Aku tidak bermaksud jahat!” kata Hong Beng.
Akan tetapi
Lo Sian tetap menyerangnya kalang kabut sambil mengeluarkan ilmu tongkat dari
Thian-san-pai yang paling lihai. Sekarang para pengemis memindahkan kemarahan
mereka kepada Hong Beng dan sambil berteriak-teriak mereka lalu maju membantu
Lo Sian, mengeroyok Hong Beng. Kini pemuda inilah yang dikeroyok!
Melihat
betapa Lo Sian tidak memperdulikannya, dan betapa para pengemis itu serentak
mengeroyoknya dengan nekad, Hong Beng merasa mendongkol juga. Akan tetapi ia
kini tidak mau melukai pengeroyoknya, cukup mendorong mereka roboh
tumpang-tindih saja.
Pada waktu
dia mengerahkan kepandaiannya, tongkat bambu di tangan Lo Sian dapat dipukulnya
sehingga remuk dan dia berhasil mendorong Lo Sian sehingga terjungkal dan
bergulingan beberapa kali tanpa melukainya. Tiba-tiba Lo Sian menjerit-jerit
seperti orang ketakutan.
“Aduh...!
Pemakan jantung...! Pemakan jantung...!” Sambil memegang kepalanya dengan kedua
tangan, larilah Lo Sian dengan amat cepatnya bagaikan orang dikejar setan!
Mendengar
dan melihat kejadian ini, para pengemis tongkat hitam menjadi bengong dan
memandang ke arah bayangan Lo Sian, untuk sementara lupa kepada Hong Beng yang
dikeroyoknya! Pemuda ini pun menjadi terheran-heran dan dia pun segera membuang
tongkat rampasannya lalu melompat pergi mengejar bayangan Lo Sian yang
berlari-lari sambil menjerit-jerit!
Sesudah
keluar dari kota Ta-liong, Hong Beng akhirnya dapat menyusul Lo Sian yang masih
berlari-lari. Pemuda ini mendahuluinya, lalu membalikkan tubuh dan menghadang
di tengah jalan sambil berkata,
“Perlahan
dulu, Lopek!” Ia mengangkat tangan memberi isyarat agar supaya orang tua itu
berhenti. “Siapakah kau dan apakah artinya sikapmu yang aneh ini?”
Lo Sian
memandang Hong Beng dengan tajam, kemudian tiba-tiba pengemis ini tertawa.
“Ha-ha-ha! Kau manusia berhati kejam! Kau hendak membunuhku? Bunuhlah! Kau kira
aku takut mati? Ha-ha-ha!”
Sambil
berkata demikian, Lo Sian lalu menggerakkan tangannya dan menyerang dengan
gerak tipu Kumbang Jantan Menyambar Bunga. Akan tetapi dengan kedua tangan yang
digerakkan cepat sekali Hong Beng berhasil menangkap kedua pergelangan tangan
Lo Sian.
“Orang tua,
mengapa kau mengamuk dan kenapa pula kau berlari-lari seperti ketakutan? Ada
apakah? Cobalah kau mengaku terus terang, siapa kau dan percayalah bahwa aku
yang muda akan berusaha untuk membantumu dan menolongmu dari kesukaran!”
“Siapa aku?
Tidak tahu! Tidak tahu!” Lo Sian meronta-ronta, lalu sambil membelalakkan
matanya, ia berteriak-teriak lagi, “Pemakan jantung! Pemakan jantung! Hi-hi...,
pemakan jantung.” Ketika Hong Beng melepaskannya, ia berlari lagi ke dalam
hutan di dekat situ.
Hong Beng
merasa terharu sekali. Ternyata olehnya bahwa kakek itu benar-benar gila. Tanpa
disadarinya, kedua kakinya bergerak mengejar ke dalam hutan, akan tetapi oleh
karena sekarang Lo Sian tak mengeluarkan teriakan-teriakan lagi, agak sukarlah
baginya untuk dapat menyusul pengemis yang telah berlari ke dalam hutan belukar
itu.
Tiba-tiba ia
mendengar teriakan-teriakan di sebelah belakang dan ketika ia menengok, ia
melihat betapa puluhan pengemis tongkat hitam tadi pun kini telah mengejarnya!
Dengan mendongkol sekali karena hatinya masih merasa sangat iba kepada pengemis
gila tadi, Hong Beng lalu menghadapi para pengemis itu dan mendahului memaki,
“Orang-orang
berhati kejam dan jahat! Kalian ini sudah tahu bahwa pengemis tadi adalah
seorang yang tidak waras pikirannya, kenapa masih saja kalian mengeroyoknya.
Apakah itu dapat disebut perbuatan yang pantas?”
Seorang di
antara para pengemis itu, yang bongkok tubuhnya dan yang mewakili
kawan-kawannya bicara, memberi hormat dan berkata,
“Orang muda
yang gagah! Kau tidak tahu bahwa si gila tadi yang mulai lebih dulu dan
mengganggu kami. Kami sekali-kali bukan orang-orang yang berhati jahat dan
bersikap pengecut, karena ketahuilah bahwa kami adalah anggota-anggota terpilih
dari Hek-tung Kai-pang!”
Hong Beng
pernah mendengar nama perkumpulan pengemis ini dari suhu-nya yang memuji
perkumpulan ini sebagai perkumpulan yang berhaluan patriotik dan memusuhi para
perampok dan pengacau. Pengemis-pengemis Hek-tung Kai-pang selalu merasa
dirinya menjadi pelindung dari rakyat kecil yang miskin. Akan tetapi oleh
karena Hong Beng tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan ini, ia segera
bertanya,
“Kalau
begitu, ada maksud apakah kalian mengejarku?”
“Sayang
sekali bahwa pada waktu kelima Pangcu (Ketua) kami tiba, kau telah pergi dan
kini para Pangcu kami yang merasa amat tertarik mendengar kepandaianmu
memainkan tongkat, mengundang padamu untuk mengunjungi perkumpulan kami dan
mengajakmu berpibu (mengadu kepandaian).”
Berserilah
wajah Hong Beng mendengar tantangan ini. Memang, setiap kali mendengar orang
pandai, hatinya ingin sekali mencobanya, apa lagi kalau dia yang ditantang!
Akan tetapi, dia masih tertarik dengan Lo Sian pengemis gila tadi dan hendak
mencari serta menyelidikinya lebih dulu, maka dia lalu berkata,
“Baiklah,
katakan pada Pangcu-pangcumu bahwa aku Sie Hong Beng menerima baik undangan
mereka. Besok pagi-pagi aku akan datang mengunjungi tempat di mana kalian tadi
berkumpul.”
Para
pengemis itu tertegun ketika mendengar pemuda itu menerima tantangan kelima
pangcu mereka, dan sikap mereka berubah menghormat sekali. Si Bongkok tadi
menjura dan berkata,
“Orang muda
yang gagah! Kami percaya bahwa seorang gagah seperti kau tentu takkan melanggar
janji. Hanya harap kau berhati-hati menghadapi Hek-tung-hoat dari lima orang
pangcu kami!” Dia lalu mengajak kawan-kawannya mengundurkan diri. Ada pun Hong
Beng lalu melanjutkan perjalanannya mencari pengemis gila tadi.
Pada saat
itu pula, di dalam hutan itu terdapat dua orang lainnya yang juga melakukan
perjalanan sambil bersenda gurau. Mereka ini adalah Lili dan Goat Lan yang
melakukan perjalanan menuju ke Tiang-an. Kedua orang gadis gagah ini pun
mendengar teriakan-teriakan para pengemis tadi dan cepat mereka menuju ke
tempat itu. Akan tetapi para pengemis itu telah pergi meninggalkan Hong Beng
dan ketika Lili melihat Hong Beng, dia cepat-cepat menarik tangan Goat Lan dan
bersembunyi di balik semak belukar.
“Ssstt, Goat
Lan, jangan sampai terlihat oleh orang itu!” bisiknya perlahan.
Melihat
sikap Lili, Goat Lan menjadi terheran dan tertarik sekali. Ia tidak mengenal
siapa gerangan pemuda yang gagah dan tampan itu. Tentu saja Lili segera
mengenal muka kakaknya, akan tetapi Goat Lan belum pernah bertemu muka lagi
dengan Hong Beng semenjak mereka masih kecil.
“Ada apakah,
Lili? Mengapa kau agaknya takut kepada pemuda itu? Siapakah dia?”
“Eh, ehh,
agaknya kau tertarik padanya, Goat Lan!” Lili menegur sambil merengut. “Ingat,
kau adalah tunangan kakakku.”
“Ihh, dasar
kau anak gila!” Goat Lan mencubit lengan Lili, karena tahu bahwa Lili hanya
menggodanya saja. “Pantasnya yang tertarik adalah engkau yang belum
bertunangan!”
“Mana bisa
aku tertarik kepadanya? Dia... dia telah menghinaku Goat Lan, dan sekarang aku
minta kepadamu agar sukalah kau membalaskan penghinaan itu!”
Goat Lan
terkejut. “Menghinamu? Dia...? Mengapa diam saja? Hayo kita menyerbunya dan
memberi hajaran kepada orang kurang ajar itu! Penghinaan apakah yang telah dia
lakukan kepadamu?”
“Terus
terang saja aku pernah bertemu dengan dia dan melihat bahwa dia mempunyai
kepandaian tinggi, aku kemudian mengajaknya pibu, akan tetapi aku... aku kalah
dan ditertawakan olehnya! Aku... aku takut dan malu melihatnya, Goat Lan, maka
kalau kau mau membelaku, kau keluarlah dan kau jatuhkanlah dia! Akan tetapi
jangan kau katakan tentang aku karena aku merasa malu. Biarlah aku bersembunyi
saja melihat betapa kau mengalahkan dan merobohkannya! Atau... barang kali kau
tidak berani dan tidak mau membelaku?”
“Siapa tidak
berani? Kaulihat saja. Mari kita kejar dia!”
Demikianlah,
kedua orang dara jelita ini menyusup semak-semak belukar mengejar Hong Beng
yang berjalan sambil memandang ke sana ke mari, mencari jejak Lo Sian.
Tiba-tiba,
pemuda ini terkejut sekali ketika melihat seorang gadis cantik melompat keluar
dari balik semak-semak dan memakinya, “Pemuda sombong dan kurang ajar, kau
berani sekali menghina adikku? Bersiaplah untuk menerima beberapa pukulan
balasan dariku!” Sambil berkata demikian, langsung saja Goat Lan menyerang Hong
Beng dengan ilmu silatnya Im-yang Kun-hoat yang lihai!
Hong Beng
tercengang melihat kehebatan serangan ini dan tanpa berani berlaku lamban ia
cepat mengelak.
“Ehh, ehh,
apakah dunia ini sudah terbalik? Mengapa kau datang-datang menyerangku?”
tanyanya terheran-heran, dan juga kagum sekali melihat betapa elok dan cantik
manis gadis yang menyerangnya ini.
“Tutup mulut
dan bersiaplah kalau kau memang seorang laki-laki yang gagah!” Goat Lan
membentak dan menyerang lagi lebih hebat!
Melihat
serangan ini, maklumlah Hong Beng bahwa kini dia berhadapan dengan seorang
gadis pendekar yang pandai sekali, maka cepat dia lalu mengelak lagi. Goat Lan
melihat gerakan pemuda itu dan diam-diam juga terkejut karena pemuda ini
benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Dia menyerang terus bertubi-tubi,
akan tetapi Hong Beng selalu mengelak dan menangkis. Benturan lengan mereka menyatakan
kepada keduanya bahwa tenaga lweekang pihak lawan benar-benar tak boleh dibuat
gegabah.
“Nanti dulu,
Nona, kau siapakah dan mengapa pula engkau menyerangku tanpa alasan? Apakah
salahku?”
“Tak usah
bertanya! Jika kau memang mempunyai kepandaian, jangan menyombongkan itu di
hadapan adikku, akan tetapi lawanlah aku! Ataukah, kau tidak berani karena kau
berhati pengecut?”
Ucapan ini
betul-betul mengenai hati Hong Beng dan menyentuh perasaan dan wataknya yang
tidak mau kalah.
“Bagus,
gadis sombong dan galak. Hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu!”
Hong Beng
lalu membalas dengan serangannya dan demikianlah, kedua orang muda itu
bertempur dengan seru sekali. Mereka saling serang, saling desak, akan tetapi
keduanya memang sama-sama gesit dan lihai.
Ilmu silat
Hong Beng yang berdasarkan pada Pat-kwa Kun-hoat dan Ngo-heng Cio-hwat
benar-benar luar biasa, akan tetapi Goat Lan adalah murid orang-orang sakti
pula. Untuk menghadapi Hong Beng yang ternyata tangguh bukan main itu, dia
segera mengeluarkan Im-yang Sin-na, pelajaran yang diwarisinya dari Im-yang
Giok-cu.
Tubuh kedua
orang muda ini sampai lenyap menjadi dua bayangan yang berkelebatan ke sana ke
mari dan kadang-kadang bergulung-gulung menjadi satu. Hong Beng merasa penasaran
sekali karena jangankan mengalahkan gadis ini, mendesak pun ia tidak dapat! Ia
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, dan berkat tenaga lweekang-nya
yang lebih kuat sedikit dari pada Goat Lan, ia berhasil mendesak nona itu.
Akan tetapi,
harus diakui bahwa dalam urusan ginkang, nona itu masih menang darinya,
sehingga betapa pun Hong Beng mendesak, dia tidak mampu menyentuh nona itu yang
gesit laksana burung walet. Pertempuran dilanjutkan dengan hebat, seratus jurus
lebih telah lewat sehingga keduanya makin penasaran dan juga kagum.
Goat Lan
benar-benar menjadi marah sekali. Masa dia tidak dapat mengalahkan pemuda dusun
ini? Sebagaimana diketahui, Goat Lan telah mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu
melalui ibunya, maka dia lalu mengeluarkan ilmu silat yang diterimanya dari
ketiga guru besar itu untuk menghadapi Hong Beng.
Belum pernah
Goat Lan begitu bersungguh-sungguh mengerahkan semua kepandaiannya sehingga
pada jidatnya telah keluar beberapa titik peluh. Juga Hong Beng merasa pusing
karena gerakan gadis itu cepat sekali.
Pada suatu
saat, ketika Goat Lan telah terdesak sampai di bawah sebatang pohon, Hong Beng
mengeluarkan serangan dengan gerak tipu Dewa Hutan Membelah Kayu. Dengan tangan
kanan dibuka jarinya dia menubruk, lantas menyerang dengan tangan kanan itu,
membuat gerakan kapak membelah kayu ke arah pundak Giok Lan, sedangkan tangan
kirinya juga sudah bersiap untuk menyusul dengan serangan menotok dari bawah
kiri. Ia mengembangkan tangan kirinya agar supaya gadis itu tak mengira akan gerakan
susulan ini.
Akan tetapi,
Goat Lan telah mendapat gemblengan yang hebat dari para gurunya. Ketika melihat
serangan ini, dia hanya melangkahkan kaki kiri ke belakang, lalu membalikkan
kedudukan tubuhnya sambil menekuk kaki kirinya itu yang kini berada di depan.
Karena tubuhnya menjadi doyong, maka serangan Hong Beng itu kini tidak mengenai
sasaran dan dengan cerdik sekali Goat Lan bersikap seolah-olah ia tidak
memperhatikan tangan kiri Hong Beng yang siap menotok. Akan tetapi diam-diam
gadis ini yang maklum bahwa ia telah membuka kesempatan bagi lawan untuk
menyerang dan menotok punggungnya, telah mengerahkan ilmu khikang dan
mengumpulkan napas memasang Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa dan Melindungi
Jalan Darah).
Benar saja,
Hong Beng tidak mau melewatkan kesempatan itu dan dengan girang tangan kirinya
lalu menotok jalan darah di punggung lawannya. Akan tetapi oleh karena ia tidak
ingin melukai lawannya, dia hanya melakukan totokan perlahan saja yang cukup
untuk membuat tubuh lawannya menjadi lemas.
Akan tetapi,
alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa jari tangannya mengenai kulit dan
daging yang lunak sekali seakan-akan tidak berurat sama sekali! Ia maklum bahwa
dia sudah kena dipancing dan bahwa lawannya telah menutup jalan darahnya, maka
dia cepat hendak melompat mundur. Terlambat! Tangan kiri Goat Lan sudah ‘masuk’
dari bawah lengan kanannya dan berhasil pula menotok iga di bawah pangkal
lengannya.
“Dukk!”
Hong Beng
masih keburu mengerahkan lweekang sehingga bagian tubuh yang tertotok menjadi
sekeras batu! Namun tenaga totokan Goat Lan itu masih membuatnya terhuyung
mundur tiga langkah!
“Bagus
sekali! Kau sungguh lihai sekali, Nona. Aku yang bodoh mengaku kalah karena
ginkang-mu yang luar biasa. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku kalah
dalam hal kepandaian seluruhnya. Apa bila kau merasa masih sanggup
menghadapiku, marilah kita menggunakan senjata!” Biar pun ia mengaku kalah akan
tetapi Hong Beng masih belum puas dan menantang untuk bertempur mempergunakan
senjata.
Diam-diam
Goat Lan terheran. Pemuda ini cukup simpatik, karena sungguh pun tadi tak dapat
dikatakan pemuda ini kalah, akan tetapi dengan jujur pemuda ini berani mengakui
kekalahannya yang sedikit dan kurang berarti itu, bahkan sekarang berani secara
sopan menantang untuk melanjutkan pertempuran dengan senjata! Mengapakah pemuda
yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini oleh Lili disebut kurang ajar?
Namun ia tentu saja tidak mau menyerah kalah dalam hal ketabahannya, maka dia
lalu tersenyum dan menjawab,
“Siapa takut
kepada senjatamu? Keluarkanlah!”
Dengan rasa
heran Goat Lan melihat pemuda itu mengambil sebatang ranting kayu yang
tergeletak di atas tanah. Ranting ini hanya sebesar ibu jari kaki dan
panjangnya paling banyak selengan orang.
Melihat senjata
lawannya itu, Goat Lan diam-diam terkejut, karena hanya orang dengan kepandaian
tinggi saja yang menggunakan senjata seringan itu. Makin sederhana senjata
orang, maka makin berbahaya dan lihailah ilmu kepandaiannya, demikian ayah
bundanya pernah berkata.
Dia menjadi
malu untuk mengeluarkan sepasang bambu kuningnya, maka dia pun lalu mencari dua
batang ranting yang sama besarnya dengan ranting di tangan Hong Beng, lalu
sebelum lawan menyerangnya, tanpa berkata sesuatu dia segera mengirim serangan
hebat dengan ranting di tangan kiri.
Tadi saat
melihat Goat Lan mengambil dua batang ranting pula seperti yang dipungutnya,
Hong Beng benar-benar terheran sampai dia membelalakkan matanya. Tadinya
disangka bahwa gadis ini tentu akan bersenjatakan pedang atau senjata tajam
lainnya.
Akan tetapi
ia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran sampai lama sebab laksana
seekor ular, ranting di tangan nona itu telah menyerangnya dengan gerakan yang
sangat luar biasa! Dia cepat-cepat menggerakkan rantingnya untuk menempel
ranting lawan dan merampasnya, akan tetapi belum juga rantingnya dapat
menangkis, ranting lawan sudah ditarik kembali dan kini ranting di tangan kanan
gadis itu menotok ke arah lehernya!
“Hebat!”
seru Hong Beng memuji ilmu silat yang luar biasa ini. Berbeda dengan dia yang
memegang ranting di tengah-tengah, gadis itu memegang rantingnya pada ujungnya
dan menggunakan sepasang ranting itu untuk menotok.
Setelah Hong
Beng melayani Goat Lan sampai tiga puluh jurus lebih, makin lama makin
terheranlah dia. Ilmu silat gadis ini benar-benar luar biasa sekali dan sungguh
pun ilmu tongkatnya yang dua macam itu, yakni Pat-kwa Tung-hwat serta Ngo-heng
Tung-hwat merupakan raja ilmu tongkat yang jarang bandingnya di muka bumi ini,
namun ternyata bahwa menghadapi ilmu silat gadis ini ia tidak dapat banyak
berdaya dan hanya mampu mengimbanginya saja, tanpa dapat mendesak meski tidak
pula sampai terdesak! Saking herannya, Hong Beng lalu melompat mundur sampai
dua tombak lebih dan berkata,
“Tahan,
Nona! Aku harus mengetahui terlebih dahulu siapakah lawanku yang mempunyai
kepandaian sedemikian hebatnya! Aku Sie Hong Beng selama hidupku belum pernah
mengganggu orang, terlebih lagi orang seperti kau! Kenapakah kau memusuhiku
sampai sedemikian rupa?”
Seketika itu
juga lenyaplah kemarahan dari wajah Goat Lan dan gadis ini berdiri bengong
seperti patung! Mendengar disebutnya nama itu, untuk sesaat wajahnya menjadi
pucat, kemudian menjadi kemerah-merahan dan tanpa terasa lagi kedua ranting di
tangannya terlepas dan jatuh ke atas tanah. Seakan-akan lemaslah kedua
lengannya dan hatinya berdetak tidak karuan.
“Kau...
kau... bernama Sie Hong Beng...?” katanya perlahan seperti berbisik.
“Ya, aku
bernama Sie Hong Beng, yaitu kalau tidak ada dua Sie Hong Beng di dunia ini.
Dan kau siapakah? Siapa pula adikmu yang katamu tadi pernah kuhina itu?”
Goat Lan
tidak mampu menjawab, hanya mukanya saja sebentar pucat sebentar merah.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa tidak jauh dari sana dan ketika Hong Beng
menengok ternyata yang sedang tertawa itu adalah Lili adiknya! Gadis nakal ini
tertawa-tawa sambil menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon besar
sekali.
“Hi-hi, Enci
Goat Lan!” Kini tiba-tiba ia menyebut ‘enci’. “Bagaimana kepandaian pemuda itu?
Boleh juga, bukan? Apa kau sekarang sudah mulai melupakan kakakku dan tertarik
oleh pemuda ini?”
“Hemm,
diakah adikmu dan kau... kau bernama Goat Lan, Kwee Goat Lan?!”
Kini muka
Hong Beng yang menjadi kemerah-merahan, karena ternyata bahwa gadis ini adalah
tunangannya sendiri yang belum pernah dijumpainya selama ini! Dengan gemas Hong
Beng lantas melemparkan rantingnya dan hampir berbareng dengan gerakan Goat
Lan, dia lalu mengejar Lili yang sembunyi di balik pohon besar itu!
“Awas
kutempeleng kepalamu yang penuh akal jail itu!” seru Hong Beng.
“Lili, anak
nakal! Kujewer telingamu!” Goat Lan juga berkata sambil mengejar dengan cepat
pula.
Hong Beng
mengejar dari sebelah kiri dari pohon dan Goat Lan mengejar dari sebelah kanan
pohon yang besar itu. Hampir saja kedua orang muda ini bertumbukan di belakang
pohon satu sama lain, karena ternyata bahwa Lili yang nakal itu tidak ada pula
di tempat itu.
Saking
gugupnya, hampir saja tangan Hong Beng menangkap Goat Lan yang dikiranya Lili
dan dengan mulut tersenyum malu-malu serta mata tidak berani memandang, Goat
Lan berdiri di depannya. Hong Beng tercengang dan terpesona. Alangkah cantik,
gagah, dan manisnya tunangannya ini.
TERDENGAR
lagi suara ketawa dari atas dan ketika keduanya menengok ke atas, ternyata
bahwa Lili sekarang telah duduk di atas cabang pohon besar itu!
“Turunlah
kau, Lili! Bagus betul perbuatanmu, sesudah berpisah bertahun-tahun, masih saja
kau berani mempermainkan kakakmu sendiri!” kata Hong Beng gemas.
“Aku tidak
mau sebelum kau berjanji tak akan menempeleng kepalaku!” kata Lili dengan sikap
manja.
“Hemm,
seperti anak kecil saja kau, Lili! Biarlah, kali ini kau kuampunkan. Turunlah!”
“Tidak,
Beng-ko, kalau aku turun, aku takut kepada Enci Lan!”
“Memang aku
akan mencubit bibirmu!” kata Goat Lan gemas dengan muka yang masih berubah
merah karena jengah.
“Nah, Engko
Hong Beng. Kau dengar sendiri bagaimana galaknya calon nyonyamu! Jika kau tidak
berjanji akan membalas Enci Lan dan mencubit bibirnya kalau ia menyerangku, aku
tidak mau turun dan tidak mengaku sebagai adikmu!”
Digoda
seperti itu, baik Hong Beng mau pun Goat Lan menjadi gemas dan malu-malu, akan
tetapi tentu saja mudah diketahui bahwa di dalam dada mereka merasa bahagia
sekali.
“Sudahlah,
Lili, kau turunlah, tentu saja... Nona Kwee tidak akan marah kepadamu.”
“Aihh, aihh!
Mengapa pakai nona-nonaan segala? Engko Hong Beng, kau benar-benar bocengli
(tidak tahu aturan, tidak berbudi), mengapa menyebut calon Soso (Kakak Ipar)
dengan sebutan yang bersifat sungkan-sungkan? Kau harus menyebutnya Moi-moi!”

Muka kedua
orang muda itu semakin merah mendengar godaan ini dan pada saat itu, Lili
melompat turun. Goat Lan segera mengulurkan kedua tangannya kepada Lili, tapi
bukan untuk mencubit bibir atau menjewer telinga, melainkan untuk memeluknya.
“Lili, aku
minta dengan sangat, kasihanilah aku dan jangan kau menggoda lagi. Sudah lebih
dari cukup kau menggodaku!” bisiknya.
“Engko Hong
Beng,” kata Lili dan ia memandang kepada kakaknya dengan bangga, “aku girang
sekali menyaksikan kepandaianmu yang amat hebat! Tidak percuma kau menjadi
kakakku dan menjadi calon suami Enci Goat Lan yang cantik jelita!”
“Lili!!”
seru Goat Lan.
“Lili...!”
bentak Hong Beng hampir berbareng. “Jangan kau menggoda saja!”
Lili yang
jenaka itu kemudian menjura kepada mereka berdua. “Maaf, maaf! Aku hanya
main-main saja. Engko Han Beng, mengapa kau bisa berada di tempat ini dan
apakah hubunganmu dengan orang-orang pengemis yang mengerikan tadi?”
Dengan
singkat Hong Beng lalu menceritakan perjalanan serta pengalamannya. Ketika
mendengar tentang Lo Sian, Lili berubah air mukanya.
“Beng-ko,
coba kau ceritakan bagaimana wajah orang gila itu!”
Dengan heran
Hong Beng lalu menuturkan tentang wajah Lo Sian dan mendengar ini, Lili berseru,
“Suhu...!”
Baik Hong
Beng mau pun Giok Lan menjadi amat terkejut dan heran mendengar seruan ini.
Mereka memandang kepada Lili dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
“Tentu dia
Suhu! Siapa lagi?” Lili lalu menuturkan tentang Lo Sian, pengemis sakti yang
dulu sudah menolongnya dari tangan Bouw Hun Ti dan yang kemudian bahkan menjadi
suhu-nya.
“Aku pun
hendak mencarinya. Kalau begitu hayo kita kejar dia!”
Tiga orang
muda itu lalu melanjutkan perjalanan mengejar Lo Sian yang melarikan diri.
Berkat ilmu ginkang mereka yang sudah sempurna, dalam waktu sebentar saja
mereka sudah dapat menyusul Lo Sian yang masih berlari-lari dan
berteriak-teriak,
“Pemakan
jantung...! Pemakan jantung...!”
“Suhu...!”
Lili berseru memanggil dengan hati terharu sekali.
Gadis itu
mendahului kedua orang kawannya dan melompat ke hadapan Lo Sian. Wajah Lo Sian
yang beringas itu menghadapi Lili dan sepasang matanya yang liar memandang
dengan tajam. Dengan hati ngeri Lili melihat betapa mata itu sudah menjadi
merah dan amat mengerikan.
Untuk sesaat
Lo Sian berdiri bagaikan patung, dan dengan perlahan ia berkata, “Kau...? Aku
sudah pernah melihatmu... kau...?”
“Suhu, teecu
adalah Lili, Sie Hong Li muridmu! Suhu, mengapa Suhu menjadi begini...?” Tak
terasa lagi air mata mengalir turun dari sepasang mata Lili yang bagus itu.
Lo Sian
tidak dapat mengingat siapa adanya Lili, akan tetapi perasaannya membisikkan
kepadanya bahwa gadis ini adalah seorang yang baik kepadanya, maka dia tidak
mau menyerang dan kemarahan serta ketakutannya lenyap. Akan tetapi pada saat
itu pula ia melihat Goat Lan dan Hong Beng yang sudah datang dan memandangnya
dengan mata berkasihan.
Tiba-tiba
orang gila ini menjadi liar lagi dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung!
Pemakan jantung!” Lalu ia maju menubruk dan menyerang Hong Beng dan Goat Lan.
Melihat
keadaan orang itu, Goat Lan cepat turun tangan dan berhasil menotok dada Lo
Sian. Pengemis gila ini roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi.
“Aku harus
merobohkannya supaya dapat memeriksanya!” Goat Lan berkata singkat dan tanpa
menanti pendapat kawan-kawannya dia segera berjongkok dan memeriksa nadi Lo
Sian.
“Keadaan
jantungnya baik,” kata Goat Lan sambil memeriksa dada dan detik urat nadi.
Hong Beng
memandang dengan kagum kepada tunangannya itu. Ia sendiri sedikit-sedikit sudah
pernah mempelajari ilmu pengobatan dari ibunya yang belajar dari ayahnya pula,
akan tetapi tentu saja kepandaiannya ini tidak ada artinya apa bila dibandingkan
dengan tunangannya yang menjadi murid Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat.
“Paru-parunya
agak lemah,” terdengar Goat Lan berkata pula.
Tanpa
berkata sesuatu gadis ini lalu mengeluarkan bambu kuningnya, dan menggunakan
ujung bambu yang runcing untuk mengerat lengan Lo Sian. Beberapa titik darah
keluar dari luka kecil itu. Goat Lan menggunakan jari tangannya untuk mengambil
darah ini yang segera diperiksanya dan darah itu ia tempelkan pada ujung
lidahnya! Tak lama kemudian ia meludahkan darah itu dan berkata,
“Darahnya
mengandung bisa yang amat aneh!” Ia lalu berpaling kepada Lili dan berkata,
“Menurut perhitunganku, bila kakek ini dulunya tidak gila seperti yang kau
katakan, tentu dia pernah terkena racun hebat, sehingga racun itu mengotorkan
darahnya dan merusak ingatannya. Lili, kalau di dunia ini ada orang yang dapat
menolongnya, maka orang itu bukan lain adalah Thian Kek Hwesio yang tinggal di
kuil Siauw-lim-si di Kiciu, tidak jauh dari sini.”
“Siapakah
dia dan apakah dia mau menolongku mengobati Suhu ini?” tanya Lili penuh gairah.
“Kalau aku
yang minta, mungkin dia takkan menolak. Dia adalah sahabat baik mendiang Suhu
dan dia terkenal sebagai ahli penyakit gila, dan ahli pula mengobati orang
terkena racun. Aku pernah diajak oleh Suhu mengunjungi Thian Kek Hwesio. Kita
dapat langsung menuju ke sana.”
“Sayang
sekali aku tidak dapat ikut. Baiklah, aku akan menyusul setelah urusanku pibu dengan
ketua-ketua dari Hek-tung Kai-pang beres.” kata Hong Beng. “Tidak patut kalau
aku melanggar janji, bukan perbuatan yang patut dibanggakan apa bila seorang
gagah melanggar janjinya.”
Goat Lan
mengerutkan kening. Gadis ini pernah mendengar nama Hek-tung Kai-pang dan
mendengar pula bahwa kelima orang kepala dari perkumpulan pengemis ini adalah
orang-orang lihai yang telah mewarisi ilmu tongkat Hek-tung-hoat yang lihai.
Menurut
ibunya, ilmu tongkat Hek-tung-hoat masih satu cabang dan bahkan berasal dari
Ilmu Tongkat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu karena Hek-tung Kai-ong
pencipta Ilmu Tongkat Hitam itu pernah mendapat petunjuk-petunjuk dari Hok Peng
Taisu. Maka teringat betapa tunangannya akan menghadapi lima orang ketua
Hek-tung Kai-pang itu, hatinya menjadi gelisah sekali.
“Lima ketua
dari Hek-tung Kai-pang itu amat lihai ilmu tongkatnya,” kata Goat Lan tanpa
berani memandang kepada Hong Beng.
“Aku tidak
takut..., Moi-moi,” kata Hong Beng sambil mengerling ke arah Lili. Akan tetapi,
Lili tidak mempunyai nafsu untuk menggoda orang ketika ia melihat keadaan Lo
Sian dan ia mendengarkan dengan kesungguhan hati dan penuh perhatian.
“Aku
percaya, Koko (Kanda), akan tetapi... karena mereka itu bukan orang-orang
jahat, maka tidak baik kalau sampai terjadi bentrok yang menimbulkan
permusuhan. Kalau saja Adik Lili mau ikut dengan kau... dan biarlah aku yang
mengantarkan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) ini kepada Thian Kek Hwesio...”
“Kurasa
tidak perlu, Moi-moi (Dinda). Kalau Lili ikut dengan aku, jangan-jangan aku
akan dianggap takut dan dicap pengecut!”
Tiba-tiba
Lili bangun dan berkata, “Biarlah aku yang mengantarkan Suhu ke Kiciu. Kiciu
tak berapa jauh dari sini dan pula, perjalanan ini tidak berbahaya sama sekali.
Enci Lan, kau pergilah bersama Beng-ko, dan seperti yang kau katakan tadi,
lebih baik kita jangan menanam bibit permusuhan dengan Hek-tung Kai-pang.
Hatiku juga tidak akan merasa tenteram jika Beng-ko pergi seorang diri saja ke
sana. Nah, Enci Lan, coba kau buatkan surat untuk Thian Kek Hwesio agar dia
dapat dan mau menolong Suhu.”
Goat Lan
segera mempergunakan bambu runcingnya untuk mengambil kulit pohon yang lebar,
kemudian dengan ujung bambunya ia menuliskan beberapa kata-kata di atas ‘surat’
istimewa ini. Melihat betapa Goat Lan setuju dengan usul Lili, Hong Beng tidak
berani membantah lagi, karena siapakah orangnya yang tak akan merasa gembira
dan bahagia melakukan perjalanan bersama dengan tunangannya, apa lagi bila
tunangan itu secantik dan segagah Goat Lan?
Demikianlah,
dengan membawa ‘surat’ dari Goat Lan, Lili hendak memulihkan keadaan suhu-nya
dan ternyata Lo Sian menurut saja kepada Lili ketika Lili mengajaknya pergi!
Hong Beng dan Goat Lan lalu kembali, menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi
janji kepada Hek-tung Kai-pang pada keesokan harinya.
Thian Kek
Hwesio adalah seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk dan berwajah tenang
dan riang. Hwesio ini telah banyak merantau dan sudah beberapa kali ia melawat
ke negeri barat untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha. Di dalam
perantauannya ke barat inilah dia mendapatkan ilmu pengobatan yang luar biasa.
Memang
semenjak mudanya, Thian Kek Hwesio paling senang mempelajari ilmu ini dan
ketika ia berada di negeri barat, ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan,
khususnya untuk mengobati orang-orang yang terganggu pikirannya dan orang-orang
yang menjadi korban racun-racun jahat. Dia mempelajari ilmu jiwa yang sangat
dalam sampai puluhan tahun lamanya sehingga ketika ia kembali ke tanah airnya,
ia telah menjadi seorang ahli berilmu tinggi.
Akhirnya ia
menghentikan perantauannya dan tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si di Kiciu.
Sambil memperkembangkan Agama Buddha yang dianutnya, ia pun selalu mengulurkan
tangan untuk mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Tidak
jarang, apa bila terjangkit wabah penyakit di suatu tempat, tidak peduli tempat
itu letaknya amat jauh, Thian Kek Hwesio pasti akan mendatanginya kemudian
mengulurkan tangan menolong orang-orang yang menjadi korban. Oleh karena ini,
namanya menjadi sangat terkenal sekali.
Walau pun
Thian Kek Hwesio bukan seorang ahli dalam hal ilmu silat, namun namanya tetap
dihormati dan disegani oleh para tokoh kang-ouw. Banyak tokoh-tokoh besar dunia
persilatan yang menjadi sahabatnya, di antaranya adalah Sin Kong Tianglo yang
memiliki kepandaian tinggi tentang ilmu pengobatan.
Lili
mengajak Lo Sian menuju ke Kiciu untuk mendatangi hwesio suci ini guna meminta
pertolongannya mengobati Lo Sian. Di dalam perjalanan Lo Sian diam saja tak
banyak berkata-kata, akan tetapi nampak lebih tenang setelah berada dekat Lili.
Beberapa
kali gadis itu mencoba untuk mengingatkan bekas gurunya ini, akan tetapi Lo
Sian tetap tidak dapat mengingat sesuatu, tidak dapat mengenal Lili dan tidak
ingat akan namanya sendiri. Akan tetapi, dia tidak nampak gelisah, tidak
berteriak-teriak lagi dan sering kali dia memandang kepada Lili dengan penuh
kepercayaan dan dengan muka menyatakan ketenangan hatinya.
Meski pun Lo
Sian sudah menjadi gila, namun ilmu lari cepatnya masih belum lenyap dan
karenanya Lili dapat mengajaknya berlari cepat sehingga sebentar saja mereka
sudah berada di dekat kota Kiciu. Ketika mereka berlari sampai di sebuah tempat
yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang berkejar-kejaran.
Yang dikejar
adalah seorang pemuda, ada pun yang mengejarnya seorang gadis cantik. Lili
merasa heran sekali melihat gadis itu yang sambil mengejar, menangis dan
berseru memanggil,
“Taihiap...
jangan tinggalkan aku! Taihiap... tunggulah dan bawa aku bersamamu...!”
Pemuda itu
lalu menoleh dan berkata dengan suara sedih, “Lilani, jangan kau dekati aku
lagi...! Aku seorang yang jahat dan rendah budi! Jangan kau dekati lagi,
Lilani...!”
“Taihiap,
kalau kau tetap hendak meninggalkanku, aku akan membunuh diri! Aku tidak
sanggup berpisah darimu lagi...”
Kedua orang
itu adalah Lie Siong dan Lilani. Setelah pada malam hari itu di dalam hutan,
akibat dorongan hati terharu, keduanya lalu saling menumpahkan perasaan hati
dan lupa akan keadaan di sekelilingnya. Maka, pada esok harinya, bersama
munculnya matahari, muncul pula pertimbangan dan kesadaran di hati Lie Siong.
Pemuda ini
menjadi sangat terkejut dan menyesal sekali mengingat akan perbuatannya sendiri
dan dia merasa sangat malu. Bagaimanakah dia, seorang pemuda yang memiliki
kepandaian dan yang sering kali dapat nasehat-nasehat dari ibunya, telah
menjadi mata gelap dan runtuh hatinya terhadap kecantikan dan cumbu rayu dari
seorang gadis cantik seperti Lilani?
Ia menyesal
sekali, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lilani, gadis itu nampak lebih
cantik dan berseri wajahnya. Sepasang mata gadis itu memandangnya dengan penuh
cinta kasih sehingga Lie Siong menjadi gelisah sekali. Apakah yang sudah dia
lakukan terhadap seorang gadis berhati tulus dan bersih seperti Lilani? Ah, dia
berdosa, demikian pikirnya.
“Lilani...”
katanya dengan suara perlahan, “aku... aku sudah berdosa kepadamu... aku... aku
tak dapat lagi memandang mukamu.”
Akan tetapi
Lilani menubruk dan merangkulnya. “Taihiap, mengapa kau berkata begitu? Aku,
Lilani, bersumpah tak akan mencinta lain orang kecuali engkau. Engkaulah
pujaanku dan hanya kepadamulah Lilani menyerahkan jiwa raganya...”
Makin
perihlah perasaan hati Lie Siong mendengar ucapan dan melihat sikap gadis ini.
Ia maklum dan percaya sepenuhnya bahwa Lilani benar-benar sangat mencintanya,
akan tetapi dia...? Dapatkah dia selamanya harus berada di sisi Lilani?
Dapatkah dia menjadi suami dari gadis ini...? Makin dipikirkan, makin gelisah dan
menyesallah hati pemuda itu. Dia melanjutkan perjalanan dengan wajah muram dan
Lilani mengikutinya dengan cemas dan tak mengerti.
Akan tetapi,
dengan penuh kesetiaan dan kesabaran, gadis itu melayani Lie Siong dan
mengikutinya ke mana saja pemuda itu pergi tanpa mau mengganggunya dan tidak
pula bertanya mengapa Lie Siong berhal seperti itu.
Akhirnya
mereka sampai di tempat itu dan dengan terus terang Lie Siong menyatakan bahwa
dia tidak ingin melakukan perjalanan selamanya bersama Lilani.
“Lilani, dari
sini ke Tiang-an tidak jauh lagi. Aku... aku tidak dapat mengantarkan kau terus
ke Tiang-an. Mengapa kau tidak pergi saja seorang diri?”
Lilani
menjadi pucat. “Taihiap, mengapakah kau berkata demikian? Aku... aku tidak
ingin ke Tiang-an, tidak ingin ke mana pun juga kecuali ke tempat engkau
berada. Aku tidak mau meninggalkan kau, Taihiap, aku ingin terus berada di
sampingmu, ke mana pun juga kau pergi.”
Berkerutlah
kening Lie Siong mendengar ucapan ini. “Tidak, tidak, Lilani! Aku sudah satu
kali melakukan pelanggaran, melakukan perbuatan yang takkan dapat kulupakan
selama hidupku. Aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Akan tetapi... kalau kau
terus berada di dekatku... aku... aku tidak dapat menanggung bahwa kegilaan
tidak akan membutakan mataku lagi...”
“Kenapa
pelanggaran? Mengapa hal ini kau anggap kegilaan? Taihiap, tidak percayakah kau
bahwa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku? Aku tidak mengharapkan apa
pun asal dapat selalu berada di dekatmu...”
“Tidak,
tidak! Tidak mungkin, Lilani!” Dan larilah Lie Siong meninggalkan gadis itu!
Lilani mengejar sambil berteriak-teriak memilukan dan mereka berkejaran terus
sampai terlihat oleh Lili dan Lo Sian.
Lili berdiri
terheran-heran mendengar dan melihat keadaan dua orang yang berkejaran itu.
Akan tetapi berbeda dengan Lo Sian. Orang tua ini masih belum kehilangan watak
pendekarnya, dan kini melihat dua orang muda berkejaran, sungguh pun yang
mengejar adalah yang wanita, namun karena Lilani menangis memilukan, dengan
mudah saja dia dapat menduga bahwa di dalam hal itu yang bersalah tentulah
laki-laki yang dikejar itu! Tubuhnya bergerak dan berkelebat cepat menghadang
di depan Lie Siong!
“Orang
jahat! Kau sudah berani mengganggu seorang gadis dan kemudian melarikan diri?”
Ucapan yang
dikeluarkan tanpa disengaja ini telah mengenai tepat sekali pada perasaan hati
Lie Siong. Ia menjadi pucat dan memandang pada orang yang menegurnya. Apakah
jembel mengerikan ini telah mengetahui rahasianya pula? Apakah melihat
perbuatannya di dalam hutan pada malam hari yang telah menghikmatnya kemarin?
“Jangan kau
mencampuri urusanku!” seru Lie Siong dan cepat dia hendak melanjutkan larinya.
Akan tetapi Lo Sian cepat-cepat menggerakkan tangannya yang diulurkan hendak
mencengkeram pundak Lie Siong.
Melihat
gerakan yang mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong maka ia pun cepat
mengelak. Sambil miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan
sebuah totokan ke arah pinggang kanan Lo Sian yang dapat menangkis pula. Akan
tetapi ketika kakek ini menangkis, tubuhnya langsung terpental ke belakang dan
terhuyung-huyung, tanda bahwa dia kalah tenaga!
“Orang
kurang ajar! Kau berani mengganggu Suhu?” tiba-tiba saja nampak berkelebat
bayangan merah dan angin yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan.
Pemuda ini
cepat melompat ke belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang
menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh
lebih lihai dan hebat dari pada serangan jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang
murid memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada suhu-nya?
Akan tetapi
Lili tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini. Gadis
ini pun merasa kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat
dielakkan dengan begitu mudahnya! Tadi dia telah menyerang dengan gerak tipu
Pai-bun Twi-san (Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan maksud mendorong pemuda
itu agar terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya pemuda
itu telah dapat melompat dengan tepat dan mudah. Sekarang dia maju menyerang
lagi dengan hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah
berani melawan suhu-nya tadi!
Lo Sian
berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat
itu. Sebaliknya, Lie Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa
gerakan gadis yang menyerangnya itu benar-benar luar biasa sekali! Cepat bagai
seekor burung walet dan tiap pukulan yang menyerangnya mendatangkan angin yang
kuat sekali.
Diam-diam
Lie Siong merasa gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka
menghadapi lawan yang tangguh. Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari
yang dipelajarinya dari ibunya. Tentu saja oleh karena Lie Siong menerima
pelajaran langsung dari Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan matang
betul.
Kini giliran
Lili yang diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda lawannya ini dapat
bersilat dengan ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah
gerakannya dan dengan cepat dia bersilat dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw, sama
dengan ilmu silat Lie Siong!
Pemuda ini
makin kaget dan ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu
Silat Sian-li Utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili!
Gadis ini menggigit bibir dan menjadi marah, ia berseru keras dan kini ia
mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Kedua lengan tangannya yang berkulit
halus itu mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong.
Pemuda ini
hampir berseru keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu
Silat Pek-in Hoat-sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata
bahwa Lili lebih mahir bersilat dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tak
mengherankan, karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini, kepandaian
Pendekar Bodoh masih lebih lihai dari pada Ang I Niocu.
Sementara
itu, Lo Sian yang gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, ada pun
Lilani yang sudah dapat mengejar sampai di sana, langsung memandang dengan
terheran-heran melihat betapa dua orang itu bertempur seakan-akan sedang
menari-nari saja! Gerakan keduanya demikian sama dan cocok, lemah lembut dan
lemas, teramat indah dipandang mata.
“Tahan
dulu!” seru Lie Siong yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat
ini banyak sekali persamaannya dengan kepandaiannya sendiri. “Siapakah kau,
Nona?”
Lili
menjawab dengan mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, lalu mencibirkan bibirnya
sambil menjawab ketus, “Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Apakah telah
menjadi kebiasaanmu menanyakan nama setiap orang wanita yang kau jumpai?”
Tentu saja
Lie Siong menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir hingga
telinganya menjadi merah. Memang hatinya sedang merasa rusuh karena
perbuatannya terhadap Lilani, sekarang ia dicap oleh gadis ini sebagai seorang
mata keranjang! Tanpa berkata sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-liong-kiam dan
menghadapi gadis itu dengan mata memandang tajam.
Akan tetapi,
sebelum mereka bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju,
menghadapi Lili dengan muka merah dan mata bersinar.
“Jangan kau
mengeluarkan kata-kata kotor kepada Taihiap! Dia adalah seorang pendekar gagah
perkasa, sama sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali
kau berani memaki padanya!”
Sikap Lilani
amat galak, seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Melihat
sikap gadis ini, Lili tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam
sarung pedang kembali dan berkata, “Sudahlah, jangan kau kuatir, aku tak akan
melukai atau membunuh kekasihmu! Hanya ada satu hal yang sangat mengecewakan
hatiku, kau adalah seorang gadis yang cantik jelita mengapa begitu tidak tahu
malu mengejar-ngejar seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!” Sambil berkata
demikian, Lili kemudian memegang tangan Lo Sian dan berkata,
“Suhu, mari
kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!”
Lo Sian
tertawa haha-hihi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok pada
Lie Siong dan berkata, “Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada
seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!”
Ketika kedua
orang itu sudah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih
berdiri termenung dengan pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam
di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan
tetapi juga kata-kata Lo Sian tadi bagaikan mengiris jantungnya.
Dia baru
sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara
menggetar, “Taihiap, jangan kau tinggalkan Lilani!”
Lie Siong
menghela napas berulang dan ketika dia memandang kepada Lilani, timbullah rasa
iba yang besar.
“Lilani, aku
telah melakukan dosa besar terhadapmu...”
“Bukan kau,
Taihiap, akan tetapi kita berdua. Namun bagiku perbuatan kita itu bukanlah
dosa…”
Memang
sebetulnya hubungan antara pria dan wanita di luar perkawinan yang dirayakan,
bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang
amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitik beratkan pada upacara, akan
tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat
dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak
pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari
janjinya.”
Lie Siong
dapat menduga akan hal ini, karena itu dengan hati perih dia berkata, “Lilani,
ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi...
aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!”
Ucapan ini
bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akan tetapi gadis ini
mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia
lalu berkata,
“Bagaimana
seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta
kasihmu, Taihiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apa bila selama
hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tak dapat hidup jauh darimu, dan aku tak
mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku
kembali!”
Berat sekali
hati Lie Siong mendengar ini. “Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau
kepada suku bangsamu.”
“Taihiap,”
mendadak saja gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya
yang seperti bintang pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat
mengerti. Akan tetapi... bukankah kau jatuh cinta kepada... gadis tadi?”
Lie Siong
meloncat mundur bagai kakinya disengat ular. “Apa maksudmu...? Dari mana kau
mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami
telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?”
Lilani
tersenyum sedih. “Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Taihiap.
Tadi kau dengan gadis itu bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira!
Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok sekali
dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!”
Hampir saja
Lie Siong tertawa bergelak-gelak saking geli hatinya, sungguh pun hatinya
tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.
“Lilani, kau
sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan
ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu
disebut ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) dan aku pun masih heran
memikirkan bagaimana gadis tadi sanggup memainkannya. Padahal ilmu silat itu
adalah ciptaan dari ibuku sendiri!”
Dengan hati
masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai memainkan Sian-li Utauw
itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil
keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis
aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Kenapa pula gadis
itu pandai memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat dari pada
kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?
Berkali-kali
Lilani berkata dengan penuh perasaan, “Taihiap, aku mempunyai perasaan bahwa
kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat
kalian berdua bersilat seperti menari itu, ahhh, alangkah cocoknya!”
Diam-diam
Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan
cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap
cemburu sedikit pun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap
sederhana dan harus dikasihani.
“Tidak, Lilani.
Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur lagi. Aku belum puas
apa bila belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa
persangkaanmu itu tidak benar!”
“Jangan,
Taihiap. Dia kelihatan galak dan lihai bukan main. Bagaimana kalau kau sampai
terluka? Ahhh...”
“Aku harus
menghadapinya!” kata Lie Siong berkeras. “Di samping aku hendak menguji
kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sian-li Utauw dan Pek-in
Hoatsut.
***************
Sementara
itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari
kuil Siauw-lim-si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda
dan gadis yang dijumpainya di jalan, sungguh pun di dalam perjalanan tadi ia
tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sian-li Utauw pemuda itu
sedemikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut.
Ia pun ingin
sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, sebab ia masih merasa
penasaran apa bila belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu.
Walau pun wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun dia
berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada
harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar
dan pengganggu anak gadis!
Memikirkan
halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi
gemas sekali. Gemas dan benci terhadap pemuda itu, karena dia dapat menduga
bahwa gadis itu tentulah korban permainan pemuda mata keranjang itu!
Thian Kek
Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Sesudah menerima ‘surat’
dari Goat Lan, pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,
“Nona, tentu
saja aku suka berusaha menolongmu. Apa lagi kalau ada surat dari Kwee Lihiap
yang kukenal baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?”
“Teecu
(murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai,” jawab Lili.
Hwesio itu
mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.
“Ah, puteri
Pendekar Bodoh? Betul-betul merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa
aku masih berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan
siapakah sahabat ini?” Dia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri
bagaikan patung.
“Dia adalah
Sin-kai Lo Sian yang kini berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu
adalah untuk mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat
kepadanya. Dahulu ketika teecu masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo
Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu lagi, teecu mendapatkan Suhu
berada dalam keadaan seperti ini.”
Thian Kek
Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga
berpengaruh itu, lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian dia maju
dan menghampiri pengemis gila itu.
“Sahabat,
kau kenapakah?”
Akan tetapi,
begitu melihat hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba langsung
menyerangnya dengan pukulan keras mengarah dadanya. Lili terkejut sekali dan
untung bahwa dia berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu
menangkap lengannya.
“Suhu,
jangan begitu, Losuhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu.”
Akan tetapi,
Lo Sian tiba-tiba justru memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata
mengandung ketakutan dan dia berteriak-teriak, “Pemakan jantung...! Tolong,
pemakan jantung...!”
Agaknya
melihat hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh
gemuk dari Thian Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka
dia berteriak-teriak ketakutan.
“Nona,
tolong bikin dia tak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku)
memeriksanya,” kata Thian Kek Hwesio dengan muka masih tenang saja.
Lili lalu
mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang
percaya penuh kepada Lili, maka ketika ditotok, dia diam saja tidak melawan
sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan.
Thian Kek
Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan
jari-jari tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, lalu dia pun
menggunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari
tubuh orang gila itu.
Lili
mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya,
hwesio itu menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,
“Hebat
sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih sehingga
seluruh darahnya sudah menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng
menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan
tetapi sulit membuat ia kembali teringat akan segala kejadian yang lalu.”
“Tolonglah,
Losuhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak bisa teringat
sesuatu asalkan dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia
akan dapat mengingat-ingat lagi.”
“Tentu saja
pinceng akan berusaha menolongnya, dan mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu
pinceng.”
Hwesio
gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih
dan ada pula yang kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum
emas), alat pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi
Tiongkok.
“Nona Sie,”
kata hwesio itu, “coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau
buka kembali jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu
totokan), tak mungkin pinceng dapat menolongnya.”
Lili
melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia segera membuka bungkusan
pakaiannya, mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki dan tangan Lo Sian
pada kaki pembaringan, lalu ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan
totokannya tadi.
Begitu
terbebas, Lo Sian segera meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung!
Pemakan jantung! Tolong… tolong!”
Thian Kek
Hwesio tersenyum dan mulailah dia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan
yang tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum
putih ke leher belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila
itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin
mengecil dan akhirnya dia jatuh pingsan atau pulas!
Delapan
belas jarum sudah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher,
tiga di pundak kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan
pada sekitar kepalanya! Mau tidak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara
pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah
orang bisa tetap hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak
jarum? Yang sangat luar biasa adalah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir
keluar dari jarum-jarum yang ditusukkan itu.
“Biarlah dia
mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama
sekali pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu.”
Dengan jelas
tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan
Lo Sian ketika dia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika dia telah selesai
menuturkan pengalamannya dan ketika hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai
Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.
“Hemm,
disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie.
Ketahuilah bahwa Sin-kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang
sungguh pun tidak sampai menewaskan nyawanya, tetapi membuat seluruh isi
kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng
sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak
akan menjadi gila lagi. Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum
racun, ia berada dalam keadaan yang amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang
terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir
berani menuduh, kakek mewah itu yang menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin,
segala macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!”
Pada saat
itu terdengar Lo Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi
kepalanya, karena bila kepalanya bergerak-gerak ia kuatir kalau-kalau jarum
yang masih menancap di lehernya itu akan melukainya. Thian Kek Hwesio juga
menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk
matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.
“Syukurlah,
baik hasilnya,” hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu.
Lili melihat
dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, sesudah dicabut
ujungnya berwarna kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan!
Thian Kek
Hwesio lalu memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi
minum secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai
lama terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan, kemudian keluhannya berhenti dan
jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi mukanya dan akhirnya dia membuka
matanya.
“Di mana
aku...?” tanyanya seperti orang baru bangun tidur.
“Buka ikatannya,”
kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang
tua itu.
Lo Sian
bangun dan duduk dengan pandang mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali
mendapat kenyataan bahwa pandang mata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak
liar seperti tadi.
“Ehh,
siapakah kalian dan di manakah aku berada?” kembali Lo Sian bertanya sambil
memandang kepada Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti.
Lili lalu
maju dan memegang tangannya. “Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong
Li atau Lili, anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!”
Terbelalak
mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di depannya sambil
tersenyum itu. “Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku..
serasa aku pernah mendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!”
“Suhu, kau
telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh
tahun. Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu.”
Kini Lo Sian
memandang kepada hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biar pun Lo Sian
masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa
hwesio gendut itu sudah menolongnya, maka dia lalu cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan hwesio itu.
“Omitohud!”
Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat-cepat mengangkat bangun
Pengemis Sakti, itu. “Tak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu,
ternyata kau adalah seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah
bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha
Kuasa, biar pun dia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara
di ruang depan, terlalu sempit di kamar ini.”
Ketiga orang
itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak
mempengaruhi keadaan kesehatan Lo Sian. Dia kini tidak gila lagi, akan tetapi
dia juga tidak ingat akan kejadian di masa lampau.
Setelah
mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku
dan Lo Sian berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu
untuk membantu bekas suhu-nya itu teringat kembali.
Akan tetapi
betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi!
Tiba-tiba matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau
bekas gurunya ini kumat lagi penyakit gilanya. Akan tetapi Thian Kek Hwesio
memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang.
Berkali-kali
Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu semua urat
syarafnya agar bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras, “Ah... yang
teringat olehku hanya Lie Kong Sian...! Lie Taihiap itu telah... mati! Benar,
Lie Kong Siang telah tewas... ahh, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong
Sian telah tewas!” Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk
menutupi mukanya lalu ia menangis tersedu-sedu!
Lili hendak
menghampirinya, akan tetapi dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya
bertanya, “Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia?”
Suaranya
terdengar gemetar, karena gadis ini sering kali mendengar dari ayah-bundanya
bahwa Lie Kong Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she
Lie itu adalah suheng dari ayahnya.
Lo Sian
mengangguk-angguk sambil menahan tangis. “Benar, dia telah meninggal dunia. Lie
Kong Sian yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!”
Pada saat
itu pula terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan
orang yang maju menerkam tubuh Lo Sian dari atas!
“Pengemis
gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!”
Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong.
Dengan hati
tak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi
mengintai dari atas genteng, kemudian menubruk hendak menangkap Lo Sian. Dia
melompat dengan gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari
tangan kanannya meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.
“Suhu, awas
serangan!” Lili berseru kaget.
Baiknya Lo
Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Dia cepat memutar tubuh sambil
miringkan pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia
terluput dari totokan itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut,
bayangan Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.
“Hem,
kiranya kau!” seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal
bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia. “Kau datang mau
apakah?”
“Suhu-mu
yang gila ini sudah berbicara tidak karuan dan dia telah menghina ayah ketika
menyatakan bahwa ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan
sehat, bagaimana dia berani mengatakan bahwa ayah telah mati?”
“Siapa bilang
bahwa ayahmu mati, anak muda?” Lo Sian berkata dengan sabar. “Yang mati adalah
Lie Kong Sian, bukan ayahmu...”
“Orang gila!
Lie Kong Sian adalah ayahku!” sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju
hendak menyerang Lo Sian.
Sementara
itu, Lili memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda
ini adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul
kegembiraannya tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang
I Niocu yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ayah bundanya, akan tetapi
dia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik!
Juga di
dalam hatinya tiba-tiba timbul niat ingin menguji kepandaian putera Ang I Niocu
ini. Maka tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang
Lo Sian, Lili segera bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan
tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.
“Bagus,
gadis liar!” Lie Siong membentak. “Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah.”
“Aku mengaku
kalah? Terhadap engkau? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku
putera pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak
mungkin sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!”
Terbelalak
mata Lie Siong memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal
keadaan ayah-bundanya?
“Kau
siapakah?” dia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan
tetapi kembali Lill mengejek dengan bibirnya yang manis.
“Apa kau
kira dengan mengaku sebagai putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk
memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih
kepandaianmu!” Sesudah berkata demikian, Lili kemudian mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam
yang tajam.
“Bagus,
gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka
kau berani membuka mulut besar!” Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang
aneh, yaitu Sin-liong-kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini
lantas melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan
mati-matian!
Lili
mempunyai Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, yaitu ilmu pedang
yang berdasarkan pada Ilmu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, sebab itu tentu
saja ilmu pedangnya ini hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan
pedangnya maka lantas berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, sedangkan
pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata!
Baik Lo Sian
yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, mau pun Thian Kek Hwesio yang
masih tetap duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu
pedang yang hebat ini. Bahkan Thian Kek Hwesio biar pun tidak pandai ilmu silat
akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu
tinggi, menjadi kagum sekali hingga berkali-kali menyebut nama Buddha,
“Omitohud! Alangkah hebatnya ilmu pedang ini!”
Akan tetapi,
ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, maka silaulah mata
mereka berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih,
sedangkan pedangnya menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat
menyilaukan pandangan mata.
Begitu kedua
sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah
bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu
menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning
emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seolah-olah ada dua
ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.
Api lilin di
atas meja yang terdapat di ruangan itu bergerak-gerak hampir padam karena
tiupan angin senjata mereka berdua. Saking gembiranya dapat menyaksikan
permainan pedang ini, Thian Kek Hwesio segera bangkit berdiri, mengambil tiga
batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja. Di dalam penerangan tiga
batang lilin tambahan ini, nampak makin indahlah sinar pedang kedua orang muda
keturunan orang-orang pandai itu.
Diam-diam
kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili mau pun Lie Song amat kagum
menyaksikan kehebatan kepandaian lawan. Kini Lili diam-diam percaya bahwa
pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu, oleh karena dia mengenal Ilmu Pedang
Ngo-lian-hoan Kiam-hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh ayahnya,
bahkan ayahnya pun dulu pernah memberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang
itu. Apa bila diadakan perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang
lihai, akan tetapi dalam hal ginkang dan tenaga lweekang, dia agaknya masih
kalah latihan.
Sebaliknya,
Lie Siong menjadi makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya.
Benar-benar ilmu pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Dulu
ibunya pernah memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar
Bodoh yang amat lihai dan agaknya inilah ilmu pedang itu!
Apakah gadis
ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin
tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini.
Ia diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu
amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi korban.
Akan tetapi,
yang membuat hatinya berdebar-debar aneh, adalah cara Lili mainkan ilmu
pedangnya. Ia setengah dapat menduga bahwa bila lawannya mau, tentu ia sudah
dapat dirobohkan! Akan tetapi tiap kali ujung pedang lawannya yang tajam itu
telah mendekati tubuhnya, tiba-tiba gerakan pedang diubah sedemikian rupa
sehingga tidak melukainya!
Ia menjadi
marah, malu dan penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang
berwatak keras dan tak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim
totokan-totokan dengan lidah pedang naga dan menusuk dengan tanduk pedang
naganya. Dia berusaha untuk membalas setiap serangan dengan pembalasan tak kalah
lihainya.
Sudah tiga
empat kali lawannya ‘mengampuni’ dirinya dengan merubah jalan pedangnya, maka
dia pun ingin sekali mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula
pada lawannya untuk melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana
ia dapat mendesak lawan yang mainkan ilmu pedang sehebat itu?
Ia tidak
diberi kesempatan sama sekali bahkan pedang Lili makin gencar mengurungnya
sehingga gulungan sinar kuning keemasan kini semakin mengecil, sebaliknya
gulungan sinar pedang yang putih makin membesar dan menghebat gerakannya.
Lebih hebat
lagi ketika Lili mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri
gadis itu mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya
merasa heran dan menduga bahwa gadis itu hendak mempermainkannya dan
menyombongkan diri dengan melayaninya sambil mengebut-ngebut kipas. Tidak
tahunya begitu kipas itu mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran.
Angin kipas
itu menyambar sehingga membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul
dengan pukulan kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok ke
pundaknya. Lie Siong benar-benar merasa terkejut.
Tak pernah
diduganya bahwa gadis lawannya itu demikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja
sudah demikian hebat dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang
setelah gadis itu menggunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa. Siapakah
gadis ini?
Dengan
pedang dan kipasnya, Lili makin mengurung dan kini gadis ini menjadi bangga
karena dapat mendesak pemuda itu. Kelak ia akan menceritakan kepada ayah
bundanya betapa ia telah dapat mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu
saja ia tidak mau melukai pemuda itu karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda
ini tentulah putera dari Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak kemudian memaksa
pemuda itu untuk mengakui keunggulannya.
Akan tetapi,
Lili sama sekali tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras
hati seperti ibunya dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja!
Rasa penasaran dan malu membuat Lie Siong menjadi marah dan nekad.
Ia pikir
bahwa bila ia terlalu mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan
diri terhadap desakan gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas.
Maka ia lalu memilih jalan nekad. Biarlah aku dirobohkan dan tewas, pikirnya,
asal saja aku mampu membalasnya!
Sesudah
berpikir demikian, dia lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba
Lili menyerang dengan kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam
meluncur cepat ke arah tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan
untuk menotok lambungnya! Serangan berganda yang amat berbahaya dan agaknya
sangat sukar untuk ditangkis atau dielakkan lagi.
Akan tetapi,
Lie Siong tidak mau mempedulikan dua senjata lawannya yang mengancam dirinya
ini, sebaliknya dia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki
Lili! Pikirnya, kalau senjata-senjata lawannya diteruskan, tentu sedikitnya dia
akan dapat mematahkan sebuah kaki lawan!
Lili merasa
terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad
seperti itu! Dia lalu berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas. Dengan
sendirinya kipasnya tidak mengenai sasaran dan pedangnya yang tak dapat
ditariknya kembali itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi hanya
menyerempet pundak kanan Lie Siong!
Lie Siong
merasa betapa pundaknya menjadi perih dan sakit sekali, juga melihat darah
mengalir dari pundaknya. Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan saat
pedangnya dapat dielakkan oleh kaki Lili yang melompat ke atas, dia lalu
menggerakkan pedang itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan gerakan yang
amat tak terduga telah melibat sepatu kiri di kaki Lili!
Gadis itu
terkejut dan hendak menarik kakinya. Akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki
kirinya, Lie Siong telah membetot sehingga sepatu kiri itu terlepas dari kaki
Lili dan masih terlibat oleh lidah pedang naga itu!
“Bangsat!
Kembalikan sepatuku!” Lili berseru keras.
Akan tetapi
Lie Siong yang merasa sudah mampu membalas hinaan yang diterimanya dalam
pertempuran itu, yaitu hinaan yang berupa ‘pengampunan’ berkali-kali dari
desakan pedang, segera membawa sepatu itu dan melompat keluar dari situ.
Lili hendak
mengejar, akan tetapi tanpa sepatu, kaki kirinya terasa sakit sekali menginjak
lantai yang kasar. Pada saat itu, dari luar rumah kuil itu terdengar seruan Lie
Siong,
“Kau harus
membayar penghinaan dan kesombonganmu dengan sepatumu! Tak mudah mendapatkan
sepatu yang masih dipakai dari puteri Pendekar Bodoh yang ternyata tolol dan
bodoh melebihi ayahnya dan sombong pula!”
Lili hampir
menangis saking jengkelnya dan melompat keluar.
“Kubunuh
kau, bangsat rendah!” makinya, akan tetapi begitu kakinya menginjak batu-batu
tajam, ia mengeluh, melompat kembali ke ruang itu, duduk di atas sebuah bangku
dan... menangis!
Thian Kek
Hwesio datang menghampiri Lili dan menghiburnya, “Nona Sie, mengapa kau
menangis? Bukankah kau telah dapat mengusirnya?”
“Dia...
manusia kurang ajar itu... dia sudah membawa pergi sebuah sepatuku!” jawab Lili
masih menangis.
Sesungguhnya,
kejadian perampasan sepatu tadi sangat cepatnya sehingga mata Thian Kek Hwesio
yang tidak terlatih itu sama sekali tidak melihatnya. Kini dia memandang ke
arah kaki kiri Lili dan dia berseru kaget,
“Omitohud...!
Bagaimana ada laki-laki yang begitu kurang ajar? Nona Sie, apakah betul ucapanmu
tadi bahwa dia adalah putera Ang I Niocu? Pinceng pernah mendengar nama Ang I
Niocu yang terkenal sekali.”
Akan tetapi
Lili tidak dapat menjawab, hanya melanjutkan tangisnya. Hatinya mangkel sekali
dan ingin dia dapat menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya!
“Aku tidak
tahu siapa Ang I Niocu dan siapa pula pemuda itu, tetapi ilmu kepandaiannya
memang hebat,” tiba-tiba Lo Sian berkata. “Aku masih ingat kepada Lie Kong Sian
dan agaknya pemuda itu memang patut menjadi putera Lie Kong Sian. Ilmu sitatnya
tinggi dan tadi dia merampas sepatumu hanya untuk membalas penghinaan yang
berkali-kali kau lakukan kepadanya.”
Thian Kek
Hwesio memandang heran kepada pembicara ini, “Eh, Sicu, apa maksudmu? Mengapa
kau menyatakan bahwa Nona Sie telah menghinanya berkali-kali?”
Lo Sian yang
telah waras pikirannya dan memiliki pandangan yang lebih awas dari Thian Kek
Hwesio berkata tenang, “Lo-suhu, di dalam pertempuran tadi, Nona ini memang
selalu menjadi pendesak dan lebih lihai kepandaiannya. Akan tetapi Nona ini
sengaja tak mau melukai dan merobohkan lawan, malah selalu memberi ampun dan
menarik kembali serangannya pada saat pedangnya akan mengenai sasaran. Di dalam
sebuah pibu, tentu saja hal ini dianggap gerakan yang amat menghina dan
merendahkan lawan. Bagi orang gagah, lebih baik dirobohkan dari pada diberi
ampun dan diberi kesempatan melepaskan diri dari ancaman senjata!”
Merahlah
wajah Lili sesudah mendengar ucapan Lo Sian ini. Tidak disangkanya bahwa
suhu-nya masih bermata setajam itu dan dapat melihat semua gerakannya! Akan
tetapi, hwesio gendut itu menggeleng-geleng kepala dan menghela napas
berkati-kali.
“Kalian
orang-orang dunia persilatan ini benar-benar aneh sekali! Untung pinceng tidak
pernah mempelajari ilmu silat, karena kalau pinceng dulu mempelajarinya, entah
sudah berapa kali pinceng harus berkelahi seperti binatang buas!”
Terpaksa
Lili menerima pemberian Thian Kek Hwesio, yaitu sepasang sepatu hwesio yang
besar. Dia memotong dan menjahit lagi sepatu itu, dikecilkan untuk dapat
dipakai oleh sepasang kakinya yang kecil mungil. Kemudian ia membujuk kepada Lo
Sian untuk ikut dengan dia ke rumah ayah-bundanya di Shaning.
“Aku tidak
kenal siapa adanya ayahmu yang bernama Pendekar Bodoh itu, akan tetapi oleh
karena aku yakin bahwa dahulu tentu aku pernah mengenalmu dan tahu bahwa kau
adalah seorang yang mulia, maka biarlah aku ikut dengan kau, Nona.”
“Suhu,
mengapa kau menyebutku nona saja? Sungguh tidak enak bagiku. Sebutlah saja
namaku seperti dulu, yaitu Lili!” kata Lili cemberut.
Lo Sian
tersenyum. Air mukanya mulai berseri dan bercahaya seakan-akan kehidupan baru
memasuki tubuhnya. Ia merasa gembira dapat melihat kejenakaan, kemanjaan, dan
kegagahan nona ini, maka ia lalu menjawab,
“Baiklah,
Lili, walau pun aku sama sekali tidak mengerti mengapa kau menyebutku Suhu,
padahal kalau melihat kepandaianmu, lebih patut akulah yang menjadi muridmu!”
Demikianlah,
setelah menanti sampai tiga hari akan tetapi tidak melihat kedatangan Hong Beng
dan Goat Lan, Lili menjadi hilang kesabaran dan ia mengajak Lo Sian menuju ke
Shaning kembali ke rumah orang tuanya.
Di sepanjang
jalan tiada hentinya Lili menuturkan hal-hal yang terjadi pada waktu dahulu
kepada Lo Sian, namun, Sin-kai Lo Sian mendengar semua ini sebagai hal yang
baru sama sekali dan ia tidak ingat apa-apa melainkan kematian Lie Kong Sian!
Ini pun tak ia ketahui sebab-sebabnya. Lupalah dia akan nama-nama seperti Ban
Sai Cinjin, Hok Ti Hwesio, Mo-kai Nyo Tiang Le dan yang lain-lain.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment