Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 13
MENGAPA Hong
Beng dan Goat Lan yang sedang dinanti-nanti oleh Lili tidak juga datang
menyusul ke kota Ki-ciu seperti yang telah mereka janjikan? Mari kita ikuti
pengalaman mereka. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kedua orang
muda ini menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi undangan pibu yang diterima
oleh Hong Beng dari kelima ketua dari Hek-tung Kai-pang.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hong Beng bersama Goat Lan sudah menuju ke
tempat terbuka di mana kemarin harinya Hong Beng sudah menolong Lo Sian dari
keroyokan para anggota Hek-tung Kai-pang. Ternyata ketika mereka tiba di tempat
itu, di sana sudah berkumpul puluhan orang pengemis anggota Hek-tung Kai-pang
dan semua orang itu telah membuat lingkaran.
Di
tengah-tengah lingkaran, nampak sebuah meja butut dan beberapa buah bangku
butut pula. Di belakang meja, lima orang nampak menduduki lima buah bangku,
duduk berjajar bagaikan arca batu. Kelima orang ini bukan lain adalah lima
orang ketua dari Hek-tung Kai-pang yang sesungguhnya bukanlah saudara-saudara
sekandung melainkan saudara-saudara angkat yang telah bersumpah sehidup semati.
Selain dari pada ini, mereka juga merupakan saudara seperguruan, karena
kelimanya adalah murid dari Hek-tung Kai-ong, pencipta dari Hek-tung Kai-pang
dan ilmu tongkat hitam yang amat lihai.
Lima orang
ketua ini kesemuanya berpakaian tambal-tambalan dan usia mereka antara empat
puluh sampal lima puluh tahun. Setelah mengangkat saudara menjadi ketua dari
Hek-tung Kai-pang, mereka sudah memakai nama baru dengan she (nama keturunan)
Hek pula yaitu Hek Liong, Hek Houw, Hek Pa, Hek Kwi dan Hek Sai.
Semenjak
lima saudara ini menemukan buku pelajaran silat dari guru mereka yang telah
meninggal dunia, dan bersama-sama melatih lagi Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat dari
kitab ini, kepandaian mereka meningkat tinggi sekali dan tiap kali ada
pemilihan pengurus baru tiada seorang pun yang dapat mengalahkan mereka! Baru
menghadapi seorang di antara mereka saja sudah amat berat, apa lagi kalau
menghadapi mereka berlima sekaligus!
Bagaimana
pun juga, Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam ini mendapat nama baik di kalangan
kang-ouw. Juga Ngo-hek-pangcu (Lima Ketua Hek) ini tidak tercela namanya,
karena selama memegang pimpinan, mereka selalu berlaku adil dan juga melakukan
perbuatan-perbuatan gagah.
Akan tetapi,
tentu saja sebagai ketua-ketua dari perkumpulan seperti Hek-tung Kai-pang yang
amat terkenal, mereka juga mempunyai keangkuhan. Ketika mereka tiba di Ta-liong
dari kota raja dan mendengar bahwa anak buah mereka yaitu para kepala ranting
dan cabang yang sudah berkumpul di situ, telah dihajar oleh seorang pemuda yang
membela seorang pengemis golongan lain yang datang mengacau, mereka menjadi
penasaran sekali. Maka diutuslah anak buah mereka untuk menantang pibu kepada
pemuda itu.
Kini,
pagi-pagi sekali Ngo-hek-pangcu telah bersiap sedia menunggu kedatangan orang
yang ditantangnya. Melihat kedatangan dua orang muda, seorang pemuda tampan dan
gagah bersama seorang gadis cantik jelita, maka kelima orang pangcu ini merasa
heran dan juga secara diam-diam mereka merasa kagum. Inikah orangnya yang sudah
dapat mengocar-ngacirkan para pemimpin ranting? Hampir tak dapat dipercaya!
Namun,
sebagai orang-orang kang-ouw yang ulung, mereka tidak berani memperlihatkan
sikap memandang rendah dan segera mereka bangun berdiri ketika melihat Hong
Beng dan Goat Lan menghampiri mereka.
“Maafkan
kami, sahabat muda yang gagah. Kami sebagai pengemis-pengemis hina dina dan
miskin tentu saja tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagai mana layaknya
seorang tamu agung dihormati,” kata Hek Liong, ketua yang paling tua di antara
kelima orang itu.
Merahlah
telinga Hong Beng mendengar ucapan dan melihat sikap ini. Ia merasa betapa
‘tuan rumah’ ini terlalu berlebih-lebihan merendahkan diri dan mengangkatnya
sebagai tamu agung. Akan tetapi Hong Beng memang berwatak sabar dan tenang,
maka dia menjawab sambil menjura pula.
“Akulah yang
minta maaf, Pangcu (Ketua)! Aku sebagai orang luar yang masih hijau dan bodoh,
berani datang mengganggu ketenanganmu. Memang serba sulitlah kedudukanku,
Pangcu. Tidak datang memenuhi panggilanmu, tentu akan mengecewakan hati Ngo-wi
yang gagah, sebaliknya memenuhi undangan, berarti mengganggu rapat ini!”
Mendengar
ucapan yang panjang lebar ini, serta melihat sikap pemuda yang tenang sekali
itu, kelima ketua itu diam-diam makin mengindahkan sikap Hong Beng. Pemuda
dengan sikap seperti ini tak boleh dipandang ringan, pikir mereka.
“Dan
bolehkah kiranya kami bertanya, dengan keperluan apakah Nona ini ikut datang ke
sini?”
Goat Lan
tersenyum dan dengan jenaka sekali dia tersenyum kemudian menjura sambil
menjawab, “Ngo-wi Pangcu (Lima Tuan Ketua), aku hanyalah seorang perantau yang
menjadi sahabat baik orang muda ini. Ketika mendengar sahabat baikku ini
mendapat undangan dari perkumpulan Hek-tung Kai-pang, hatiku amat tertarik
sekali. Aku bersama kedua suhu-ku, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, sudah
sering kali mengunjungi orang-orang besar di dunia kang-ouw dan mengunjungi
perkumpulan-perkumpulan orang gagah di dunia ini yang banyak macamnya. Akan
tetapi, sungguh aku belum pernah bertemu dengan Perkumpulan Hek-tung Kai-pang
yang sudah sangat tersohor di empat penjuru ini!”
Goat Lan
sengaja memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu,
karena ia mengharapkan nama-nama kedua orang gurunya dapat melemahkan hati
kelima orang pangcu itu sehingga permusuhan dapat dicegah. Memang gadis yang
cantik ini tepat sekali perhitungannya, karena saat mendengar nama kedua orang
tokoh persilatan yang tinggi dan tersohor namanya ini, kelima orang pangcu itu
lalu berdiri dari tempat duduk mereka dan menjura ke arah Goat Lan.
“Ahh,
sungguh mata kami seperti buta saja, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di
depan mata! Silakan duduk, Lihiap (Pendekar Wanita), dan perkenalkan nama kami
lima pangcu dari Hektung Kai-pang.” Kelima orang raja pengemis itu lalu
memperkenalkan nama mereka seorang demi seorang.
Hong Beng
juga memperkenalkan nama demikian pula Goat Lan. Berbeda dengan Goat Lan, Hong
Beng tidak mau menceritakan siapa gurunya dan siapa pula orang tuanya. Ia ingin
melihat bagaimana sikap raja-raja pengemis itu.
Akan tetapi
setelah mempersilakan kedua orang tamunya itu mengambil tempat duduk, agaknya
kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu tidak mempedulikan mereka lagi dan melayani
orang-orang yang mulai datang, dan di antara para pendatang baru itu, nampak
pula tiga orang pengemis yang membawa tongkat berbentuk ular. Mereka ini adalah
para ketua Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Ular) dari timur
yang besar juga besar pengaruhnya.
Selain tiga
orang ketua Coa-tung Kaipang ini, nampak juga seorang tosu tinggi kurus, dan
seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya dikuncir panjang ke belakang dan
memakai topi bundar, sikapnya kasar dan berlagak. Tosu ini adalah seorang ahli
silat yang bernama Beng Beng Tojin, seorang tokoh Bu-tong-san yang suka
merantau. Ada pun orang bertopi bundar itu adalah seorang kasar yang terkenal
sebagai ahli gwakang (tenaga kasar) dan ahli tiam-hoat (menotok jalan darah).
Namanya Cong Tan dan dia memiliki julukan It-ci-sinkang (Si Jari Tangan Lihai).
Kelima
saudara Hek yang menjadi ketua Hek-tung Kai-pang itu menyambut kedatangan lima
orang ini dengan penuh penghormatan pula, akan tetapi mereka tidak dipersilakan
duduk seperti Hong Beng dan Goat Lan.
Hong Beng
dan Goat Lan saling pandang dan keduanya merasa heran mengapa tuan rumah tidak
mempedulikan mereka lagi, dan bagaimanakah dengan pibu yang diajukan oleh
kelima orang ketua itu? Bagi Hong Beng dan Goat Lan, memang mereka berharap supaya
tidak terjadi salah paham atau permusuhan, akan tetapi mereka pun, terutama
Hong Beng tidak akan merasa puas sebelum mencoba kepandaian kelima orang tokoh
Hek-tung Kai-pang yang terkenal itu.
Setelah
menyambut tamu-tamu yang baru datang, Hek Liong, saudara tertua dari kelima
orang itu, lalu berkata dengan suara keras kepada para pemimpin Hek-tung
Kai-pang yang hadir di situ.
“Kawan-kawan
sekalian! Sebagaimana telah ditentukan kemarin, maka pemilihan ketua akan
dilakukan hari ini. Oleh karena hari ini sudah tiba waktunya bagi kami yang
sudah memenuhi tugas sebagai ketua, maka dengan ini kami menyatakan turun dari
kedudukan ketua untuk menghadapi pemilihan baru. Nah, silakan kawan-kawan yang
mempunyai calon untuk mengajukan calonnya!”
Setelah
ketua mereka membuka rapat istimewa itu, maka ramailah suara para anggota
perkumpulan pengemis itu. Ternyata bahwa kelima orang tamu yang datang itu,
yaitu ketiga ketua Coa-tung Kai-pang, Beng Beng Tojin, dan Cong Tan, datang
atas kehendak mereka sendiri dengan niat hendak mencoba merobohkan ketua lama
untuk menduduki kedudukan ketua baru dari Hek-tung Kai-pang. Semua yang hadir
dengan suara bulat memilih kelima saudara Hek sebagai ketua lagi.
“Kami
memilih Ngo-hek-pangcu agar tetap menjadi ketua kami!” seru suara para hadirin
dengan serentak.
Mendengar
seruan para anggota Hektung Kai-pang ini, ketiga ketua Coa-tung Kai-pang itu
segera berdiri dengan senyum mengejek. Mereka ini adalah ketua tingkat dua dari
Coa-tung Kai-pang, dan usia mereka baru tiga puluh tahun lebih. Sikap mereka
amat tinggi dan memandang rendah sedangkan mulut mereka selalu tersenyum
seolah-olah menghadapi perkumpulan yang jauh lebih kecil dari pada perkumpulan
mereka sendiri. Juga pakaian tambal-tambalan yang mereka pakai jauh berbeda
dengan pakaian para pemimpin Hek-tung Kai-pang, karena biar pun pakaian mereka
penuh tambalan, namun baik pakaian dasar mau pun tambalannya amat bersih!
“Cu-wi
sekalian,” kata yang tertua di antara mereka, yaitu seorang bertubuh tinggi
besar bermuka hitam, “kami adalah anggota-anggota dewan pimpinan dari Coa-tung
Kai-pang di timur yang mewakili perkumpulan kami. Kedatangan kami ini membawa
maksud yang amat mulia. Menurut hasil perundingan dewan pengurus kami, maka
sungguh tidak layak kalau di negeri ini terdapat terlalu banyak perkumpulan
seperti yang kita sekalian dirikan. Mungkin Cu-wi sekalian juga pernah
mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) dari Secuan
bersama Lo-kai Hwe-koan (Rumah Perkumpulan Pengemis Tua) dari Shantung,
keduanya sudah bergabung dan melebur perkumpulan mereka menjadi cabang dari
perkumpulan kami Coa-tung Kai-pang yang terbesar dan jaya! Oleh karena itu,
maka kedatangan kami ini merupakan wakil dari pada perkumpulan kami untuk minta
Cu-wi sekalian menginsyafi hal ini dan melebur perkumpulan Hek-tung Kai-pang
menjadi cabang pula dari Coa-tung Kai-pang kami!”
Ucapan ini
menyatakan betapa sombongnya Si Muka Hitam itu. Kalau dia dengan suara membujuk
minta agar supaya Perkumpulan Tongkat Hitam itu suka menggabungkan diri dengan
Perkumpulan Tongkat Ular, ini masih bisa diterima. Akan tetapi ia menggunakan
ucapan agar supaya Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam insyaf dan mau melebur
diri menjadi cabang Coa-tung Kai-pang! Sungguh-sungguh tak melihat muka para
pemimpin Hek-tung Kai-pang.
Dengan wajah
berubah merah, Hek Pa, yaitu orang ketiga dari kelima Ketua Hek-tung Kai-pang,
bangkit berdiri dan menudingkan jari tangan kirinya kepada ketiga orang tamu
itu sambil berkata,
“Orang-orang
Coa-tung Kai-pang sombong amat! Siapakah yang tak mendengar bahwa Hwa-i
Kai-pang dan Lo-kai Hwe-koan menggabungkan diri karena kalian paksa dengan
kekerasan? Dan siapa pula yang tidak mendengar bahwa Coa-tung Kai-pang
mempunyai banyak anggota yang sering melakukan pelanggaran dan kejahatan, tidak
patut sebagai perkumpulan pengemis pendekar? Orang lain boleh kalian gertak,
akan tetapi kami para pengurus Hek-tung Kai-pang tak gentar menghadapi tongkat
ularmu!”
Setelah
mendengar ucapan Sam-pangcu (Ketua ke Tiga), para pengemis tongkat hitam yang
berjumlah empat puluh orang lebih itu serentak berseru, ”Betul! Usirlah
orang-orang Coa-tung Kai-pang ini!” Dan dengan tongkat hitam diangkat
tinggi-tinggi mereka serentak maju mengurung!
Akan tetapi
ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu masih saja bersikap tenang, bahkan
kini senyum mereka melebar sombong.
“Hemm,
begitukah kegagahan Hek-tung Kai-pang? Hendak mengandalkan jumlah besar
mengeroyok kami tiga orang? Alangkah rendah dan pengecutnya!”
Mendengar
ejekan ini, Hek Liong lalu berdiri dan dengan gerak tangannya dia meminta
kepada semua anak buahnya untuk mundur. Sesudah keadaan menjadi reda, dia lalu
menghadapi Si Tinggi Besar itu sambil menantang,
“Dengarlah,
kawan! Kami seluruh anggota dan pengurus Hek-tung Kai-pang, tidak mau menerima
usulmu supaya menggabungkan perkumpulan kami dengan perkumpulanmu. Habis, kau
mau apa?”
“Hek-pangcu,”
kata Si Muka Hitam yang tinggi besar itu, “apakah kau lupa bahwa hari ini
adalah hari pemilihan pengurus baru perkumpulanmu? Aku mendengar bahwa siapa
saja yang dapat mengalahkan Hek-tung-hoat, maka dialah yang berhak menjadi
pangcu dari Hek-tung Kai-pang. Nah, kami bertiga juga hendak mencoba-coba
kelihaian Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat!”
“Bagus!”
Tiba-tiba Beng Beng Tojin melangkah maju. “Inilah baru ucapan orang gagah.
Untuk apa bertengkar mulut seperti wanita? Aturan harus dijalankan dan dipegang
teguh. Kedatangan pinto juga ingin menguji kehebatan Hek-tung-hoat dan jika
pinto beruntung, pinto akan merasa senang menjadi pangcu!”
“Aku pun
datang untuk mencoba peruntungan menjadi ketua perkumpulan ini!” tiba-tiba
It-ci-sinkang Cong Tan menyela.
Diam-diam
Hong Beng dan Goat Lan saling pandang dengan perasaan geli dan heran.
Bagaimanakah ada begitu banyak orang yang memperebutkan kedudukan sebagai ketua
perkumpulan para pengemis? Apakah enaknya menjadi ketua pengemis?
Ada pun
kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang ketika mendengar ucapan ini, lalu berdiri
merupakan sebuah barisan dan Hek Liong sebagai orang tertua berkata keras,
“Bagus
sekali! Kalian semua telah mendengar pilihan para pemimpin cabang bahwa kami
berlima masih tetap dikehendaki untuk memimpin Hek-tung Kai-pang. Nah, siapa
yang menyatakan tidak setuju boleh maju ke muka!”
Melihat
sikap kelima orang yang maju bersama ini, Beng Beng Tojin mengerutkan kening
dan berkata lemah, “Apa...? Kalian berlima maju berbareng?”
Juga
It-ci-sinkang CongTan memperlihatkan rasa gentarnya. “Ah, ini tidak adil!”
katanya.
Hek Liong
lalu tersenyum mengejek, “Ketahuilah bahwa kami berlima merupakan saudara
seperguruan yang sudah bersumpah sehidup semati, senasib sependeritaan. Dan
kalian tadi mendengar sendiri bahwa yang diangkat menjadi pangcu adalah kami
berlima, maka andai kata seorang di antara kalian ada yang dapat mengalahkan
aku masih ada empat orang saudaraku yang harus dikalahkan pula. Oleh karena
itu, kami merupakan sebuah kelompok yang tak dapat dipisah-pisahkan. Terserah
siapa yang ingin merobohkan kami, boleh maju. Yang merasa takut tak usah
mencari penyakit!”
Ketiga orang
pemimpin Coa-tung Kai-pang itu tadinya memandang kepada Beng Beng Tojin dan
Cong Tan dengan senyum menghina, akan tetapi tiba-tiba Si Muka Hitam itu
mendapat akal baik.
Ia dan
kawan-kawannya hanya tiga orang sedangkan pihak lawan ada lima orang, belum
ditambah dengan para pemimpin-pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang yang nampaknya
berpihak kepada lima orang ketua mereka. Mengapa dalam keadaan kalah tenaga ini
dia tidak menarik tangan kedua orang ini?
“Ji-wi
Eng-hiong,” katanya kepada tosu serta orang bertopi bundar itu, “Ji-wi
jauh-jauh sudah datang ke sini dan biar pun antara Ji-wi dengan kami bertiga
tidak ada hubungan, namun maksud kedatangan kita di sini adalah sama. Sekarang
dengan secara licik tuan rumah hendak maju berlima, kenapa kita tidak bergabung
saja sehingga kita pun menjadi lima orang? Bila kita menang, percayalah bahwa
kami bertiga tidak akan berlaku curang seperti tuan rumah dan kita kelak boleh
menentukan siapa di antara kita yang paling cakap untuk menjadi ketua!”
Tosu dan
orang bertopi itu saling pandang, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. “Bagus,
memang demikianlah baru adil!”
Sementara
itu, kelima orang she Hek itu telah dapat mengerti kecerdikan pihak Coa-tung
Kai-pang, namun mereka tidak takut.
“Baiklah,
lekas kalian memperlihatkan kepandaian, banyak bicara tak ada guna!” Setelah
berkata demikian, secara otomatis ia beserta kawan-kawannya kemudian berpencar
dan membentuk sebuah barisan segi lima.
“Hayo
serang!” kata Si Muka Hitam, pemuka dari pemimpin Coa-tung Kai-pang sambil
menggerakkan tongkat ularnya.
Beng Beng
Tojin tertawa bergelak, lantas mengeluarkan senjatanya yang istimewa yaitu
sepasang sumpit gading yang panjang dan berujung runcing, sedangkan
It-ci-sinkang Cong Tan juga mengeluarkan senjatanya yang berupa golok. Dengan
berbareng, kelima orang tamu ini menyerang pihak Hek-tung Kai-pang.
Indah sekali
gerakan kelima saudara Hek itu ketika mereka menyambut lawan-lawannya. Tubuh
mereka bergerak secara amat teratur dan begitu tongkat hitam mereka menangkis
senjata lawan, mereka lalu menggerakkan kaki dengan gerakan yang sama dan
dengan teratur sekali mereka lalu menyerang lawan di sebelah kiri
masing-masing, bukan lawan yang rnenyerang tadi!
“Moi-moi,”
kata Hong Beng perlahan kepada Goat Lan yang duduk di sebelah kanannya,
“perhatikan baik-baik. Lima saudara Hek itu menggunakan barisan yang teratur
sekali.”
Goat Lan
mengangguk sambil memandang penuh perhatian. “Memang dugaanmu tepat, Koko.
Mereka tidak mau melayani lawan yang menyerang, sebaliknya menyerang orang di
sebelah kiri sehingga pihak lawan menjadi kacau dan perhatian mereka pecah.
Lihat, benar-benar mereka lihai dan sukar dilawan! Meski pun lima orang melawan
lima, namun pihak lawan selalu akan merasa terkurung dan terkeroyok!”
“Aku pernah
mendengar dari Suhu mengenai Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, dan melihat pergerakan
barisan mereka, kalau tidak salah mereka itu mempergunakan barisan yang hampir
sama dengan Ngo-bun-tin.”
“Apakah ada
persamaannya dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Anasir)?” tanya Goat Lan sambil
menonton pertempuran yang kini berjalan seru itu.
“Tidak
sama,” jawab Hong Beng. “Ngo-bun-tin (Barisan Lima Pintu) memiliki lima pintu,
yaitu Thian-bun (Pintu Langit), Tee-bun (Pintu Bumi), Hai-bun (Pintu Laut),
Hong-bun (Pintu Angin) dan In-bun (Pintu Awan). Kedudukan mereka kuat sekali
karena tiap kali seorang di antara mereka diserang dan menangkis, maka kawan di
sebelah kanan atau kirinya lalu maju menyerang lawan yang menyerangnya itu,
dengan demikian serangan lawan dapat langsung diputuskan.”
Kedua orang
muda itu lalu memperhatikan jalannya pertempuran. Ternyata bahwa Ilmu Tongkat
Hek-tung-hoat memang hebat sekali. Tongkat hitam di tangan kelima orang itu
bergerak bagaikan lima ekor naga hitam yang mengamuk dan setiap kali tongkat
mereka beradu dengan senjata lawan, tentu terjadi benturan yang amat keras dan
jelas nampak bahwa tenaga kelima ketua Hek-tung Kai-pang itu masih menang
setingkat.
Kecuali apa
bila yang ditangkis itu adalah golok di tangan It-ci-sinkang Cong Tan, karena
ternyata bahwa Si Jari Lihai ini benar-benar kuat sekali tenaganya. Hampir saja
karena kurang hati-hati, tongkat di tangan Hek Sai saudara termuda dari lima
ketua itu, terlepas dari pegangan ketika ia menangkis golok Cong Tan!
“Ngo-hek-pangcu
tentu akan menang,” Goat Lan berkata setelah menonton pertempuran yang sudah
berjalan dua puluh jurus lebih itu.
“Memang,
kepandaian pihak tamu masih belum dapat menyamai kelihaian tuan rumah, akan
tetapi kulihat Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat tidak kalah lihai dari pada
Hek-tung-hoat, hanya saja gerakan tiga orang itu masih kurang sempurna. Mereka
itu hanya tokoh-tokoh kedua saja, kalau ketua-ketua dari Coa-tung Kai-pang
tentu akan hebat sekali permainan tongkatnya,” kata Hong Beng.
Memang kedua
orang muda ini mempunyai pandangan yang amat tajam dan awas, hal ini mungkin
disebabkan kepandaian mereka masih jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada
kepandaian mereka yang sedang bertempur. Tepat seperti yang mereka duga, kelima
orang ketua Hek-tung Kai-pang mulai mendesak lawan mereka dan yang pertama kali
terkena pukulan adalah It-ci-sinkang Cong Tan.
Pada satu
saat yang amat tepat, yaitu ketika goloknya menyambar ke arah leher Hek Kwi,
orang ke empat dari Ngo-pangcu ini segera menangkis dan menggunaan tongkat
hitamnya untuk menempel golok. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam
tangkisan ini ia menggunakan gerakan coan (memutar) sehingga Cong Tan merasa
sukar untuk menarik kembali goloknya.
Pada saat
itu, bagaikan telah diatur sebelumnya, tongkat hitam Hek Pa sudah meluncur dan
menotok pundak Cong Tan pada jalan darah Keng-hin-hiat! Cong Tan lalu memekik
kesakitan dan merasa betapa seluruh tubuhnya terlepas dari pegangan dan sekali
Hek Kwi menendang, tubuhnya terlempar keluar dari kalangan pertempuran dan
tidak dapat bergerak pula!
Tidak lama
setelah Cong Tan roboh, kembali Beng Beng Tojin menjadi korban di tangan Hek
Liong, saudara yang paling lihai ilmu tongkatnya. Pada saat Hek Liong menusukkan
tongkatnya ke dada tosu itu, Beng Beng Tojin kemudian menggerakkan sepasang
sumpit gadingnya untuk menjepit dan menggunting tongkat lawan. Jepitan
sumpitnya ini sangat keras, disertai tenaga lweekang yang hebat, akan tetapi
ternyata bahwa ia masih kalah tenaga.
Hek Liong
membuat tongkat dalam tangannya tergetar dan begitu tongkat tadi bergetar
keras, maka jepitan itu dengan sendirinya terlepas. Akan tetapi tongkat itu
masih terus bergetar di antara kedua sumpit itu sehingga Beng Beng Tosu tidak
berani sembarangan menarik sumpitnya karena takut kalau-kalau dia kalah cepat
dan kalau-kalau tongkat itu akan mendahuluinya dengan serangan hebat. Akan
tetapi, pada saat itu, Hek Houw yang sudah menduduki Tee-bun (Pintu Bumi)
dengan cepat sudah mengirim tusukan dengan tongkatnya ke arah lambungnya. Beng
Beng Tojin menjatuhkan diri ke belakang dan…
“Brettt!”
Jubahnya
yang lebar itu tertusuk oleh tongkat hingga robek lebar sekali, sedangkan kulit
pahanya ikut pula robek dan terluka! Masih untung baginya bahwa kedua saudara
Hek ini tidak bermaksud mencelakakannya dan tidak mengejarnya dengan serangan
lain.
Tosu ini
melompat ke belakang, mengebut-ngebutkan bajunya dengan muka merah, lalu
berkata, “Pinto mengaku kalah!” Kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan lenyap
dari situ!
Kini
tinggallah ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang melakukan perlawanan
hebat dan mati-matian. Memang betul seperti yang dikatakan oleh Hong Beng tadi.
Ilmu tongkat mereka benar-benar lihai dan ganas sekali. Tongkat berbentuk ular
pada tangan mereka itu nampak seakan-akan hidup dan tongkat itu seperti ular
asli yang bergerak melenggak-lenggok dengan gerakan amat tak terduga-duga.
Namun, tadi
dibantu oleh orang lain yang cukup tinggi kepandaiannya, mereka masih tak
sanggup mengalahkan kelima ketua Hek-tung Kai-pang, apa lagi sekarang, mereka
yang hanya bertiga itu terkurung oleh kelima orang lawannya yang tangguh.
Mereka terdesak hebat dan terkurung rapat sehingga mereka hanya dapat memutar
tongkat mereka untuk mempertahankan diri tanpa diberi kesempatan membalas
serangan.
Ketika Hong
Beng dan Goat Lan mengerling ke arah para anggota Hek-tung Kai-pang, pada wajah
mereka terbayang kegembiraan besar melihat kemenangan ketua mereka, akan tetapi
tak seorang pun yang menggetarkan suara mau pun gerakan. Wajah mereka tetap
tegang dan siap siaga seperti tadi sehingga diam-diam dua orang muda ini
menjadi kagum. Hal ini membuktikan pula bahwa Hek-tung Kai-pang memang benar
merupakan perkumpulan yang berdisiplin baik.
Tiga orang
pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah sangat terdesak itu semakin lama semakin
lemah gerakan tongkat mereka. Memang harus dipuji keuletan mereka karena sampai
sebegitu lama belum juga kelima orang lawan mereka bisa merobohkan mereka.
Pertahanan mereka kuat sekali.
Tiba-tiba Si
Muka Hitam berseru keras, “Robohkan mereka!”
Dan komando
ini diikuti oleh gerakan mereka menuju ke arah para lawan dengan tongkat mereka
dan tiba-tiba saja dari kepala tongkat itu menyambar keluar senjata rahasia
yang berwarna hitam!
“Celaka,
Koko!” seru Goat Lan yang hendak melompat, akan tetapi tiba-tiba lengannya
dipegang oleh Hong Beng.
“Tenanglah,
Moi-moi,” kata pemuda itu. Karena sangat tegang, maka Hong Beng tanpa
disadarinya pula telah memegang lengan tunangannya sehingga ketika Goat Lan merasa
betapa lengannya dipegang dan tidak segera dilepaskan pula, tiba-tiba mukanya
berubah merah sekali!
“Koko,
lepaskan,” bisiknya, “tak malukah dilihat orang?”
Barulah Hong
Beng sadar bahwa semenjak tadi dia telah memegang lengan orang yang berkulit
halus dan hangat itu, maka dengan muka kemerahan dan mulut tersenyum malu dia
cepat melepaskan lengan tunangannya. Sepasang mata mereka bertemu untuk saat
pendek, karena keduanya segera kembali melihat ke tempat orang-orang bertempur.
Dari sikap
kedua orang muda tadi, ternyata bahwa watak Hong Beng lebih tenang dan
ketenangannya ini membuat pandangannya lebih awas dari pada Goat Lan. Goat Lan
yang merasa tegang dan kuatir, menyangka bahwa ketua-ketua Hek-tung Kai-pang
akan terkena celaka, akan tetapi Hong Beng yang melihat sikap Ngo-hek-pangcu
itu maklum bahwa mereka telah siap dan tidak akan mudah diserang dengan senjata
rahasia begitu saja.
Memang
betul, pada waktu kelima orang ketua she Hek itu melihat benda-benda hitam
menyambar, serentak mereka segera mendekam ke bawah, lantas dengan gerakan yang
berbareng bagaikan telah diatur lebih dahulu, tongkat-tongkat mereka menyapu ke
arah kaki ketiga lawan itu.
Terdengar suara
bak-buk dah terjungkallah tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu! Tulang
kaki mereka sudah terpukul hebat dan walau pun tenaga lweekang mereka telah
mencegah tulang kaki itu remuk, akan tetapi pukulan itu cukup keras sehingga
untuk beberapa lama mereka takkan dapat bangun karena tulang kaki mereka terasa
sakit dan linu sekali. Senjata rahasia yang keluar dari tongkat mereka tadi
adalah jarum-jarum berbisa yang amat berbahaya!
Setelah
dapat berdiri lagi, ketiga orang itu lalu memungut tongkat ular yang tadi
terlepas dari pegangan, kemudian mereka berkata kepada tuan rumah, “Kami sudah
menerima kalah, akan tetapi harap kalian siap menghadapi pembalasan ketua-ketua
kami!” Setelah demikian, dengan terpincang-pincang ketiga orang itu lalu pergi
dari situ.
Barulah
terdengar sorak-sorai dari para anggota Hek-tung Kai-pang karena kemenangan
mutlak dari ketua-ketua mereka ini. Akan tetapi Hek Liong kemudian mengangkat
tangan memberi tanda kepada mereka agar supaya diam.
“Kawan-kawan,”
katanya dengan wajah muram, “hari ini adalah hari yang sial bagi kita, tidak
boleh kita bersuka-ria karenanya. Ketahuilah bahwa baru tiga orang dari
Coa-tung Kai-pang tadi saja sudah demikian lihai, padahal mereka itu adalah
orang-orang dari tingkat kedua. Apa bila ketua mereka yang datang, belum tentu
kami berlima akan kuat menghadapinya. Sekarang akibat kekalahan mereka tadi,
pihak Coa-tung Kai-pang tentu tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, kita
harus berjaga-jaga dan betapa pun juga dari pada harus tunduk kepada Coa-tung
Kai-pang yang jahat, lebih baik kita hancur lebur!”
“Setuju!
Setuju!” terdengar jawaban para pengemis yang bersemangat gagah itu.
Kemudian,
Hek Liong berpaling kepada Hong Beng dan dengan suara kereng ia berkata, “Orang
muda, tadi kami tak berani menantangmu oleh karena kami tadi untuk sementara
meletakkan jabatan. Setelah sekarang kami diangkat kembali, maka menjadi
kewajiban kamilah untuk menegurmu! Kau kemarin telah melukai orang-orang kami
dan setelah kau melihat kelihaian kami tadi, apakah kau tidak lekas-lekas minta
maaf? Ketahuilah, bahwa kami bukanlah orang-orang yang suka menaruh dendam,
asal saja kau suka minta maaf, kami akan memandang muka Lihiap murid Sin Kong
Tianglo yang menjadi sahabatmu ini untuk memaafkan kau dan melupakan segala peristiwa
kemarin.”
Mendengar
ucapan yang mengandung sedikit kebanggaan atas kemenangan tadi, Hong Beng
tersenyum. Akan tetapi ia tidak menjawab, sebaliknya, ia menunjuk ke arah tubuh
It-ci-sinkang Cong Tan yang masih rebah di atas tanah tak bergerak.
“Ehh, Hek-pangcu,
apakah kau lupa orang itu? Apakah kau akan membiarkan dia mati di situ?”
Barulah Hek
Liong beserta adik-adiknya teringat akan Cong Tan yang tadi sudah terkena
totokan, maka cepat mereka menghampiri Cong Tan.
“Pergilah
kau dari sini!” kata Hek Liong sambil menepuk pundak orang itu.
Akan tetapi,
alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tubuh Cong Tan masih saja kaku tak
dapat bergerak dengan kedua mata melotot! Dia mengira bahwa tepukannya untuk
membebaskan totokannya sendiri tadi kurang tepat, maka dia lalu menepuk lagi,
bahkan mengurut urat pundak bekas lawan itu. Akan tetapi sia-sia belaka, tubuh
Cong Tan tetap kaku tak dapat bergerak.
Lima orang
ketua Hek-tung Kai-pang itu menjadi terheran-heran sekali dan seorang demi
seorang mereka lalu turun tangan untuk membebaskan Cong Tan dari pengaruh
totokan. Namun percuma saja, tak seorang pun di antara mereka dapat menolong.
“Celaka!”
terdengar Hek Liong berkata. “Yang tadi terkena totokan adalah jalan darahnya
Keng-hin-hiat, kalau tidak dapat dilepaskan ia akan mati dalam waktu setengah
hari!”
Tiba-tiba
terdengar angin menyambar dan ketika lima orang itu menengok, ternyata Goat Lan
telah melompat ke tempat itu. Gadis ini amat tertarik melihat keadaan yang aneh
itu, dan sebagai seorang ahli pengobatan murid Sin Kong Tianglo, tentu saja ia
amat tertarik dan ingin menyaksikan dengan mata sendiri.
“Ngo-wi
harap mundur dan biarkan aku memeriksanya!” kata gadis ini dan kelima orang
ketua Hek-tung Kai-pang itu lalu melangkah mundur karena mereka maklum bahwa
dara jelita ini adalah seorang ahli pengobatan yang amat terkenal di dunia
kang-ouw.
Goat Lan
segera berjongkok dan memeriksa keadaan tubuh Cong Tan yang masih kaku.
Beberapa kali ia memijit pundak yang tertotok itu dan akhirnya ia tersenyum,
lalu berkata kepada para ketua yang masih merubungnya dengan muka heran.
“Ngo-wi
Pangcu, ketahuilah bahwa orang ini sudah pernah meyakinkan Ilmu Pi-ki-hu-hiat
(Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah), akan tetapi pelajaran yang dilatihnya
itu belum sempurna benar. Ia telah mempelajari ilmu itu di bagian penggunaan
hawa tubuh untuk membuyarkan totokan pada jalan darah. Maka pada waktu tadi
tertotok roboh, dia telah berusaha mengumpulkan hawa di tubuhnya untuk membuka
totokan itu, akan tetapi oleh karena ia belum paham betul, maka penggunaannya
salah, tidak diatur bersama dengan pernapasannya. Karena itu maka sekarang hawa
itu berkumpul di pundaknya, menutup jalan darahnya yang masih tertotok sehingga
ketika Ngo-wi mencoba melepaskannya, tentu saja terhalang oleh hawa tubuh yang
berkumpul ini!”
Sesudah
berkata demikian, Goat Lan lalu mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari perak
dan dengan gerakan cepat sekali dia menusukkan ujung tusuk konde yang runcing
itu pada pundak Cong Tan yang tertotok.
“Aduuuh...!”
It-ci-sinkang
Cong Tan pulih kembali. Orang ini lalu bangun berdiri, memandang kepada Goat
Lan dengan mata melotot lalu memaki,
“Perempuan
kurang ajar! Kau sudah melukai serta mempermainkan aku dalam keadaan aku tidak
berdaya! Kau harus menebus kekurang ajaranmu itu!” Sambil berkata demikian Cong
Tan yang galak segera menyerang Goat Lan dengan jari tangan terbuka, menotok
dada gadis itu! Goat Lan sempat melompat ke belakang sambil memandang heran.
Kelima orang
ketua dari Hek-tung Kai-pang itu menjadi marah dan mendongkol sekali. Ditolong
orang tidak berterima kasih, bahkan lalu menyerang penolongnya, aturan dari
manakah ini? Akan tetapi melihat gerakan mereka, Goat Lan tersenyum dan
berkata, “Biarlah Ngo-wi Pangcu, biar ia melepaskan kemarahannya kepadaku!”
Maka
terpaksa kelima orang she Hek itu lalu mundur, membiarkan Goat Lan menghadapi
It-ci-sinkang Cong Tan yang marah-marah. Memang Cong Tan tadi merasa mendongkol
dan malu sekali karena dia yang tadinya menyombongkan kepandaiannya dan hendak
merebut kedudukan pangcu dari Hek-tung Kai-pang, baru beberapa jurus saja telah
kena tertotok seperti arca bergelimpangan!
Dan pada
saat Goat Lan menolongnya, dia sebetulnya sama sekali tidak mengerti bahwa
dirinya ditolong dan dikiranya bahwa nona itu mempermainkannya dan sengaja
melukai pundaknya, maka ia pun menjadi semakin marah. Untuk melampiaskan
kedongkolannya kepada para ketua Hek-tung Kai-pang, ia tak berani karena merasa
tidak dapat menang, maka kini dia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya
dengan menyerang gadis ini. Mustahil ia akan kalah menghadapi seorang gadis
muda seperti ini!
“Rasakanlah
pembalasan dari It-ci-sinkang Cong Tan!” serunya sambil menyerbu Goat Lan yang
berdiri dengan tenang itu.
Cong Tan
memang bertenaga besar, ia ahli tenaga gwakang dan setiap hari melatih diri di
rumahnya dengan mengangkat dan mempermainkan batu-batu besar yang beratnya
ratusan kati, juga dia telah melatih jari-jari tangannya sehingga jari-jari
tangan itu dapat memukul hancur batu! Yang paling hebat adalah dua jari tangan
kanan dan kirinya, yaitu telunjuk dan jari tengah, karena dia bersilat dengan
jari-jari ini terbuka, digunakan untuk menotok jalan darah lawan!
Akan tetapi,
segera ia mendapat kenyataan bahwa bertempur melawan gadis cantik jelita yang
mengeluarkan aroma harum seperti kembang ini, sama halnya dengan bertempur
melawan bayangannya sendiri pada waktu terang bulan. Ke mana juga ia menubruk
dan menyerang, selalu yang tertangkap dan terpukul olehnya hanyalah angin
belaka!
Dia bagaikan
seekor kerbau gila yang menyerang kain merah yang diikatkan di depan tanduknya.
Menubruk sana menyerang sini, tapi selalu mengenai angin. Goat Lan sambil
tersenyum-senyum mempermainkan orang ini. Hitung-hitung latihan, pikirnya!
Tiga puluh
jurus telah lewat dengan cepat dan karena setiap pukulan yang dikeluarkan oleh
Cong Tan disertai tenaga gwakang yang besar, maka setelah menyerang tiga puluh
jurus, tubuh orang ini telah basah kuyup oleh peluhnya sendiri.
Hong Beng
menonton pertempuran itu dengan tersenyum simpul karena dia merasa geli melihat
lagak Cong Tan, juga diam-diam dia menggelengkan kepala melihat kejenakaan
tunangannya yang mempermainkan orang besar itu.
Ada pun
kelima orang ketua she Hek itu berdiri menonton sambil membelalakkan mata. Baru
sekarang mereka menyaksikan ginkang yang luar biasa lihainya. Hampir mereka tak
dapat percaya betapa dengan hanya mengandalkan keringanan tubuh nona itu dapat
menghindarkan seluruh penyerangan Cong Tan.
Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring dari Goat Lan dan tubuhnya lenyap dari pandangan mata
lawannya. Karuan saja Cong Tan menjadi terkejut sekali. Terdengar suara tertawa
di sebelah belakang dan telinganya mendapat sentilan yang keras hingga terasa
pedas sekali.
Cepat ia
mengayun kedua tangan ke belakang, memukul lawannya yang ternyata sudah berada
di belakangnya itu. Akan tetapi, hanya nampak bayangan berkelebat dan gadis itu
tahu-tahu sudah berada di belakangnya pula, kini mengirim tendangan perlahan ke
arah punggungnya sehingga dia merasa tulang punggungnya sakit sekali serasa
hampir patah-patah!
Demikianlah,
dengan mengeluarkan ginkang-nya yang paling tinggi, Goat Lan melompat-lompat
dan membuat lawannya berputar-putar mengejar angin! Akhirnya saking jengkel,
pening dan lelah, It-ci-sinkang Cong Tan Si Jari Lihai tak dapat mempertahankan
dirinya lagi. Bumi yang dipijaknya serasa berputar-putar, matanya melihat
ribuan bintang sedang menari-nari, dan akhirnya robohlah dia bagaikan orang
mabuk!
Setelah
peningnya lenyap, tanpa peduli dengan suara tawa yang riuh dari para pengemis
Tongkat Hitam, It-ci-sinkang Cong Tan lalu melompat dan berlari bagaikan seekor
anjing terkena pukulan.
Kini kelima
orang ketua Hek-tung Kai-pang itu kembali menghadapi Hong Beng, dan Hek Liong
berkata,
“Bagaimana,
orang muda? Sebagaimana sudah kukatakan tadi sebelum ada gangguan dari si
sombong itu, di antara kami Hek-tung Kai-pang dan kau orang muda she Sie tidak
ada permusuhan sesuatu. Akan tetapi, kau telah menghina kami dan melukai
beberapa orang anggota kami, maka kami harap kau suka minta maaf supaya kami
tidak terpaksa melanjutkan pertikaian kecil yang tidak ada artinya ini.”
“Maaf,
Pangcu,” Hong Beng menjawab dengan tenang sekali. “Aku bersedia minta maaf
andai kata kedatanganku ini dianggap lancang dan ikut mencampuri urusan kalian.
Akan tetapi untuk satu hal itu, sukarlah bagiku untuk minta maaf. Ketahuilah
Pangcu, kemarin ketika aku datang ke tempat ini, aku melihat kawan-kawanmu
telah mengeroyok seorang pendekar budiman sehingga tentu saja aku tak dapat
membiarkan begitu saja satu orang dikeroyok demikian rupa oleh kawan-kawanmu.
Dalam hal ini, kawan-kawanmulah yang bersalah dan sudah sepatutnya bila
kawan-kawanmu itu yang minta maaf pada pendekar yang sedang menderita sakit
itu!”
Hek Liong
mengerutkan keningnya, tanda bahwa ia tidak puas mendengar jawaban ini.
“Saudara
Sie! Kami dapat menerima ucapanmu tadi. Menurut penuturan kawan-kawan kami,
orang gila kemarin itu sudah mengacau dan menghina kawan-kawan kami, dan dia
dikeroyok oleh karena kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian
kawan-kawan kami. Kau sebagai orang luar, sudah membantu sepihak tanpa melihat
dulu sebab-sebab pertempuran. Dan sekarang, karena kau telah datang ke sini dan
untuk mempertahankan nama serta kehormatan kami, kami ingin sekali menerima
pelajaran darimu!”
Sambil
tersenyum tenang Hong Beng bangun berdiri dari tempat duduknya. Memang inilah
maksud kedatangannya, untuk mencoba kepandaian lima orang ketua itu. Memang
mungkin dia dapat mencegah pibu ini dengan memberi penjelasan dan
memperkenalkan siapa adanya pengemis yang dianggap gila itu. Akan tetapi ia
bersabar dulu dan sebelum memperkenalkan Lo Sian, ia hendak lebih dulu merasai
bagaimana lihainya kelima orang pangcu itu.
“Pangcu,”
katanya dengan mulut masih tersenyum, “kini aku sudah datang dan menurut kata-kata
orang, perkenalan akan menjadi lebih erat sesudah dua pihak mengadu tenaga dan
mengukur kepandaian masing-masing. Maka, sebelum kita melanjutkan percakapan
ini, marilah kita main-main sebentar!”
Lima orang
ketua dari Hek-tung Kai-pang itu lalu berdiri dan bersiap menanti di lapangan
pertempuran yang tadi. Semua pengemis segera mengurung lapangan itu dan memilih
tempat duduk, dengan wajah tegang akan tetapi dengan sinar mata gembira mereka
siap menonton pertandingan ilmu silat yang ramai!
Para ketua
mereka tadi sudah memperlihatkan kepandaian mereka, dan pemuda yang tampan itu
sudah menyaksikannya pula, tetapi sekarang pemuda itu berani menghadapi lima
orang ketua itu, mudah saja diduga oleh para pengemis yang kesemuanya memiliki
ilmu silat itu bahwa pemuda ini tentulah memiliki kepandaian tinggi!
Ada pun Goat
Lan yang tadi pun telah menyaksikan kepandaian dari kelima orang ketua Hek-tung
Kai-pang itu, merasa ragu-ragu apakah Hong Beng akan mampu menandingi mereka.
Biar pun gadis ini tidak ragu-ragu lagi akan kelihaian tunangannya, akan tetapi
menghadapi lima orang ketua itu pun bukanlah hal yang ringan.
Betapa pun
juga, lima orang ketua itu telah merasa jeri kepadanya, dan kalau dia turut
mencampuri urusan ini, tentu akan berkurang kegagahan serta kejantanan Hong
Beng dalam pandangan mata mereka. Maka dia diam saja, duduk sambil tersenyum
manis.
“Silakan,
Ngo-wi Pangcu, terserah pada Ngo-wi apakah hendak maju menyerang dengan tangan
kosong ataukah dengan senjata!” kata Hong Beng dengan sikapnya yang tenang.
“Kami adalah
pihak tuan rumah,” jawab Hek Liong, “dan kau adalah tamu kami. Sudah sepatutnya
bila tuan rumah melayani kehendak tamu. Silakan kau saja yang menentukan,
Sie-enghiong, kami hanya melayani saja.”

Hong Beng
berpikir cepat. Dalam hal pibu, orang tidak boleh berlaku sungkan-sungkan, apa
lagi menghadapi keroyokan lima orang seperti Ngo-hengte ketua Hek-tung Kai-pang
ini. Kalau ia menghadapi mereka mengandalkan tangan kosong, meski pun ia tidak
takut dan merasa yakin takkan kalah, namun selain agak sukar mengalahkan
mereka, juga ia tidak dapat memperlihatkan kelihaian ilmu tongkatnya.
Ia tahu
bahwa kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang ini mengandalkan kehebatan ilmu
tongkat mereka. Maka jalan yang paling tepat untuk membuat mereka tunduk betul-betul
adalah mengalahkan Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat mereka dengan ilmu tongkat pula.
Hong Beng
lalu membungkuk untuk mengambil sebatang cabang kering yang besarnya selengan
orang saja dan panjangnya hanya dua kaki lebih, kemudian sambil menjura ia berkata,
“Siauwte
sudah mendengar mengenai kehebatan Hek-tung-hoat, dan karena kebetulan sekali
siauwte pernah mempelajari sedikit ilmu tongkat yang masih sangat rendah, maka
siauwte akan merasa gembira dan berterima kasih sekali apa bila dapat menambah
pengetahuan ilmu tongkat dan menerima sedikit pelajaran ilmu tongkat dari
Ngo-wi untuk membuka mata siauwte!”
Hek Liong
dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran dan tersenyum. Mereka menganggap
pemuda ini terlalu lancang dan terlalu berani. Ia telah diberi kesempatan untuk
memilih, kenapa justru memilih hendak mengadu ilmu tongkat? Pemuda ini terang
mencari penyakit, pikir mereka. Hek Liong yang berpikiran adil, lalu berkata,
“Sie-enghiong,
karena kau hanya memegang sebuah tongkat kayu yang kecil dan lemah, kami merasa
malu untuk maju berbareng. Biarlah aku seorang saja yang mencoba dan main-main
sebentar dengan ilmu tongkat itu.”
Panas hati
Hong Beng mendengar ucapan ini. Terang sekali bahwa ia dipandang ringan sekali
oleh ketua ini. Maka sambil tersenyum ia berkata manis, akan tetapi mengandung
tantangan,
“Pangcu,
sudah kudengar tadi bahwa untuk menghadapi ketua dari Hek-tung Kai-pang, orang
harus menghadapi kelimanya sekaligus. Oleh karena adanya ketentuan itu, mana
siauwte berani melanggarnya? Harap saja Ngo-wi tidak berlaku sungkan-sungkan
dan persilakan maju berbareng, karena bukankah siauwte dianggap sebagai tamu
yang harus dilayani oleh semua tuan rumah?”
“Hemm,
jangan anggap kami keterlaluan, orang muda, kau sendiri yang minta kami maju
berbareng!” seru Hek Liong dengan mendongkol.
Nyata sekali
bahwa pemuda ini tidak mau menerima kebaikannya. Kepandaian apakah yang diandalkan
hingga anak muda ini berani bersikap begini sombong? Ia lalu memberi tanda
kepada empat orang adiknya dan berbareng mereka mengeluarkan tongkat hitam
mereka.
“Awas
serangan!” seru Hek Liong.
Bagaikan
lima ekor ular hitam, tongkat di tangan kelima orang ketua itu lalu menyambar
ke arah tubuh Hong Beng dari lima jurusan. Cepat dan kuat sekali gerakan
serangan tongkat-tongkat itu sehingga angin menyambar ke arah Hong Beng dari
segala jurusan.
Akan tetapi,
dengan memutar cabangnya, sekaligus Hong Beng telah dapat menangkis sehingga
tongkat-tongkat hitam itu terpental kembali. Barulah kelima orang ketua yang
tadinya memandang rendah itu menjadi terkejut setengah mati. Mereka merasa
betapa dari cabang kecil di tangan pemuda itu yang membentur tongkat-tongkat
hitam mereka, seorang demi seorang merasa betapa telapak tangan mereka seperti
digurat pisau tajam rasanya!
Setelah
dapat menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, Hek Liong lalu
berseru keras dan ia cepat memutar-mutar tongkat hitamnya sedemikian rupa
sehingga lenyaplah tongkat itu, berubah menjadi segulung sinar hitam yang amat
mengerikan dan dahsyat sekali datangnya. Juga keempat saudaranya tidak mau
kalah, mengikuti gerakan kakak mereka ini dan sebentar lagi nampaklah lima
gulungan sinar hitam bagaikan lima ekor naga sakti menyerang dan mengurung
tubuh Hong Beng!
“Bagus,
lihai sekali Hek-tung-hoat!” terdengar pemuda itu berseru, dan belum juga habis
ucapannya itu, mendadak lenyaplah tubuhnya, terbungkus oleh sinar putih
kehijauan dari tongkat cabangnya yang diputar secara luar biasa sekali!
Semua
pengemis anggota Hek-tung Kai-pang menahan napas dan hampir tidak percaya
kepada mata sendiri. Kalau mereka sudah biasa melihat gerakan tongkat-tongkat
hitam pangcu mereka, kini mereka melihat gulungan sinar yang lebih hebat lagi.
Lebih panjang, lebar dan mendatangkan angin keras hingga semua pengemis yarig
duduk di atas tanah mengelilingi tempat adu kepandaian itu, merasa muka mereka
tertiup oleh angin yang dingin sekali!
Pakaian
mereka berkibar-kibar dan yang aneh sekali adalah hawa yang keluar dari sinar
putih kehijauan itu karena sebentar terasa dingin sekali dan sebentar pula
terganti oleh hawa yang panas! Inilah Ngo-heng Tung-hoat yang mengeluarkan
hawa-hawa Im dan Yang, ilmu tongkat warisan dari Pok Pok Sianjin yang dimainkan
oleh Hong Beng dengan amat hebatnya, oleh karena pemuda ini memang hendak
menundukkan lima orang ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam yang tadinya
memandang rendah kepadanya!
Apa bila
tadi ketika merasakan tangkisan tongkat ranting di tangan Hong Beng, kelima
orang ketua itu merasa terkejut, adalah sekarang mereka tidak saja menjadi
kaget, akan tetapi merasa amat terheran-heran! Seujung rambut pun mereka tidak
pernah mengira bahwa pemuda itu selihai ini dan tak pernah pula bermimpi bahwa
di dunia ini ada ilmu tongkat sehebat ini! Mereka berusaha untuk memperhebat
gerakan tongkat mereka, mengurung dan menyerbu bayangan Hong Beng dengan
seluruh tenaga, akan tetapi tiap kali tongkat mereka terbentur oleh sinar putih
kehijauan itu, tongkat mereka kembali dan memukul diri sendiri!
Sampai empat
puluh jurus lebih Hong Beng hanya mempertahankan dirinya saja dan tidak
membalas sama sekali. Akan tetapi, tetap saja lima orang lawannya tidak berdaya
sama sekali dan tidak pernah dapat menyentuhnya dengan senjata mereka.
Sesudah Hong
Beng merasa puas menunjukkan kehebatan Ngo-heng Tung-hoat, secara tiba-tiba dia
lalu merubah gerakan tongkatnya dan mulai memainkan Pat-kwa Tung-hoat. Maka
lebih hebat lagilah akibatnya! Karena pemuda itu bersilat dengan gerakan kaki
atau kedudukan sesuai dengan aturan pat-kwa (segi delapan), maka lima orang
lawannya itu seolah-olah menghadapi delapan orang pemuda! Bukan mereka berlima
yang mengurung, bahkan kini mereka merasa seperti terkurung oleh delapan orang!
Mereka kaget
sekali dan gerakan mereka menjadi kacau balau. Nampaknya lawan muda itu berada
di depan akan tetapi baru saja mau diserang, dari belakang telah menyambar
angin cabang dari pemuda itu, seakan-akan pemuda itu dapat memecah dirinya menjadi
delapan orang!
Sekarang
para pengemis yang menonton sudah melupakan peraturan saking kagumnya. Mereka
bergerak dan memuji dengan kata-kata keras, bahkan Goat Lan sendiri setelah
menyaksikan ilmu tongkat tunangannya, menjadi bengong! Ia merasa bangga sekali
dan diam-diam dia mengakui bahwa kalau tunangannya itu mau bermain
sungguh-sungguh, sepasang tombak bambu runcing sekali pun belum tentu akan
dapat mengalahkannya!
“Sie-enghiong,
bukalah mata kami dengan seranganmu!” Hek Liong berkata keras sebab dia belum
pernah melihat serangan pemuda itu. Dia merasa amat penasaran dan hendak
melihat bagaimana hebatnya pemuda itu kalau menyerang.
“Maafkan,
Pangcu!” terdengar Hong Beng berseru.
Seruan ini
lantas disusul oleh teriakan kelima orang ketua itu dan terdengar suara keras. Tahu-tahu
lima batang tongkat hitam itu sudah terlepas dari pegangan masing-masing dan
melayang ke atas! Mereka cepat melompat mundur, dan melihat dengan melongo
betapa Hong Beng menggerakkan tongkatnya ke atas, diputar sedemikian rupa
sehingga ia dapat mengelilingi kelima batang tongkat hitam itu, ‘menangkap’
lima batang tongkat itu dengan putaran cabangnya sehingga tongkat-tongkat itu
terkumpul menjadi satu dan ketika ia mengeluarkan tangan kiri ke depan, lima
tongkat hitam itu telah berada dalam pegangannya. Sambil tersenyum dan menjura,
dia maju memberikan tongkat-tongkat itu kepada pemiliknya!
Untuk
beberapa lama, kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu memandang pemuda ini
dengan bengong, masih belum dapat mempercayai pengalaman mereka sendiri. Akan tetapi,
tiba-tiba Hek Liong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu, diikuti
oleh keempat orang adiknya! Terdengar sorak-sorai para pengemis dan kelima
orang ketua itu memimpin orang-orangnya berseru ramai,
“Hidup
pangcu (ketua) yang baru! Hidup Sie-pangcu yang gagah!”
Bukan main
kagetnya Hong Beng mendengar kata-kata ini dan melihat betapa semua pengemis
sudah berlutut mengelilingi dirinya!
“Ehh, ehhh,
apa-apaan ini? Kuharap kalian tidak main-main dengan aku!” katanya gagap dengan
muka berubah merah, karena ia maklum bahwa ia telah dipilih dan diangkat oleh
mereka menjadi pangcu!
Akan tetapi
Hek Liong yang masih berlutut berkata dengan suara penuh permohonan, “Kami
harap Taihiap tidak menolak. Dengan setulusnya kami mengangkat Taihiap menjadi
pangcu kami, karena selain Taihiap seorang, tidak ada lagi orang di dunia ini
yang patut menjadi pemimpin kami! Harap Taihiap sudi memperkenalkan diri,
siapakah sebenarnya Taihiap ini dan murid orang sakti dari mana?”
Hong Beng
menjadi serba salah. Melihat ketulusan hati mereka, untuk menolak begitu saja
dia tidak tega, akan tetapi kalau dia menerima, bagaimana ia bisa menjadi
pemimpin rombongan pengemis? Dia lalu memandang ke arah tunangannya.
Dengan
senyum lebar yang menambah keayuan, tahu-tahu Goat Lan telah melompat ke dekat
Hong Beng. Sambil memandang kepada tunangannya, gadis ini kemudian berkata,
“Mereka bersungguh-sungguh, tidak baik kalau menolak maksud jujur dari
perkumpulan Hek-tung Kai-pang yang terkenal gagah dan budiman ini!”
Sorak-sorai
gembira menyambut ucapan gadis ini dan Hong Beng merasa seakan-akan tubuhnya
terbenam makin dalam lagi. Tiada harapan untuk keluar sesudah tunangannya
sendiri bahkan menghendaki dia menjadi pemimpin pengemis.
“Baiklah,
baiklah, harap kalian semua suka bangun berdiri dahulu. Hal pertama yang tak
kusukai adalah supaya aku jangan terlalu dipuji-puji dan disanjung-sanjung. Aku
bukan seorang raja, dan apa bila aku mau menerima jabatan ketua, ini hanya
terpaksa karena melihat kebaikan perkumpulan ini.”
Semua orang
berdiri dengan sikap hormat dan diam, menunggu ucapan ketua baru itu
selanjutnya.
“Aku maklum
bahwa kalian tentulah mengharapkan bantuanku untuk menghadapi bahaya yang
mungkin datang dari pihak Coa-tung Kai-pang,” kata pemuda yang cerdik ini. “Dan
aku menerima pengangkatan ini hanya saja dengan beberapa macam syaratnya.”
“Silakan
Pangcu menentukan syarat-syarat itu, kami sekalian tentu saja bersedia untuk
mematuhinya, karena setiap syarat dan usul dari pangcu kami, merupakan perintah
yang akan kami jalankan dengan taruhan nyawa kami!”
Terharulah
hati Hong Beng mendengar kata-kata ini. Dia menghela napas panjang dan berkata,
“Tentu kalian harus mengetahui keadaanku. Biarlah aku berterus terang kepada
kalian karena kita adalah orang-orang sendiri, orang-orang sehaluan yang
bertujuan ingin memberantas dan membasmi kejahatan! Namaku Sie Hong Beng dan
aku adalah putera dari pendekar besar Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh!”
Semua
pengemis, terutama sekali Ngo-hengte, menahan napas dan bukan main terkejut
serta girangnya hati mereka. Kalau tadi mereka berlima masih merasa penasaran
karena kalah sedemikian mudahnya oleh pemuda ini, sekarang rasa penasaran itu
lenyap sama sekali. Pantas saja pemuda itu lihai bukan main karena tidak
tahunya dia adalah putera dari Pendekar Bodoh yang namanya telah menggemparkan
kolong langit!
“Suhu-ku
yang mengajar ilmu tongkat adalah Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari barat!”
Kembali
semua orang tertegun. “Nona ini tadi telah memperkenalkan diri sebagai murid
Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, akan tetapi tentu kalian belum tahu bahwa
dia sesungguhnya adalah puteri dari pendekar besar Kwee An di Tiang-an. Dan
perlu pula kuberitahukan bahwa dia adalah... tunanganku!”
Merahlah
wajah Goat Lan mendengar keterangan ini. Ingin ia mencubit tunangannya itu yang
dianggapnya berlebihan telah memperkenalkan dirinya pula.
“Nah,
setelah kalian mengenal keadaan kami berdua, maka sekarang akan kukemukakan
syarat-syaratku. Biar pun aku menerima jabatan ketua, akan tetapi tidak mungkin
bagiku untuk selalu berada di tempat perkumpulan kalian ini. Aku mengangkat
kelima Saudara Hek sebagai wakil. Segala sesuatu mengenai perkumpulan
kuserahkan kepada mereka berlima untuk mengurusnya. Dan aku pun tidak mau
menurut kebiasaan kalian, tak mau memakai pakaian sebagai pengemis. Akan tetapi
aku telah menerima jabatan ini, maka aku bersumpah hendak membela serta
melindungi Hek-tung Kai-pang dan bertanggung jawab apa bila ada sesuatu yang
mengancam dan yang mengganggu perkumpulan kita!”
Ramailah
sorak-sorai para pengemis mendengar kesanggupan ini. Inilah yang mereka
harapkan. Dengan adanya pemuda putera Pendekar Bodoh ini menjadi ketua mereka,
maka mereka tidak takut menghadapi penjahat yang bagaimana pun juga. Juga
mereka kini tidak kuatir lagi akan serbuan atau gangguan Coa-tung Kai-pang!
Kemudian Hek
Liong berkata kepada Hong Beng, “Pangcu, kami mempersilakan Pangcu bersama
Lihiap untuk datang ke tempat pertemuan kita yang kita sebut Istana Pengemis
untuk merayakan pengangkatan ini, juga untuk mengesahkannya!”
Beramai-ramai
semua pengemis itu lalu mengiringkan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke sebuah
hutan di sebelah utara tempat itu. Hutan ini besar sekali dan ketika sampai di
tengah hutan, Hong Beng dan tunangannya melihat sebuah kuil kuno yang baru saja
diperbaiki. Sungguh pun dari luar nampak sangat miskin, akan tetapi huruf-huruf
yang dipasang di luar kuil amat gagah dan angker. Huruf-huruf itu berbunyi:
Istana Pengemis HEK TUNG KAI PANG.
Ketika kedua
orang muda itu diarak masuk, Hong Beng dan Goat Lan terkejut sekali karena di
sebelah dalam sungguh amat berbeda dengan keadaan di luar. Di situ sangat indah
dan mewah. Meja dan kursi serta perabot-perabot lain terdiri dari barang-barang
pilihan yang mahal, terukir indah dan serba baru! Benar-benar patut menjadi
perabot dan isi ruang sebuah istana kaisar!
Tahulah kini
Hong Beng dan Goat Lan mengapa banyak yang berhati serakah hendak menduduki
jabatan ketua dari perkumpulan pengemis ini. Tidak tahunya keadaan mereka
begitu kaya raya.
Memang
sesungguhnya para pengemis itu yang hidupnya hanya bekerja mengemis dan juga
menerima upah dari pekerjaan kasar atau membantu orang menjaga keamanan, selalu
mengumpulkan hasil pekerjaan mereka kemudian menyerahkannya kepada pusat
sehingga dapatlah dibangun isi istana yang mewah ini. Di samping
perabot-perabot yang indah itu, ternyata banyak pula terdapat harta simpanan
yang besar jumlahnya.
Setelah
bercakap-cakap lebih mendalam, tahulah kedua orang muda itu bahwa harta benda
itu bukannya disimpan begitu saja, akan tetapi digunakan untuk menolong rakyat
miskin dengan jalan menderma dan lain-lain. Maka semakin kagumlah mereka
terhadap perkumpulan pengemis ini dan semakin yakinlah hati Hong Beng bahwa
menjadi ketua perkumpulan macam ini sekali-kali bukanlah hal yang merendahkan
namanya!
Ketika
mereka duduk bercakap-cakap, masuklah pengemis-pengemis yang masih muda, yaitu
anggota-anggota yang ditugaskan untuk mengeluarkan hidangan dan kembali Hong
Beng dan Goat Lan tercengang karena hidangan yang dikeluarkan merupakan
hidangan-hidangan yang mewah dan mahal, sedangkan araknya pun adalah arak
Hangciu yang lezat dan harum, bukan arak sembarang arak.
Pesta
berjalan secara amat meriah dan dua orang muda itu mendapat kenyataan bahwa
pengemis-pengemis itu makan hidangan mereka dengan cara yang amat beraturan dan
sopan. Benar-benar mengagumkan sekali!
Pada saat
pesta berjalan ramai, tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara bentakan parau
dan keras, “Hek-tung Kai-pang Pangcu, sambutlah kami!”
Belum lenyap
gema suara itu, orangnya sudah melayang masuk dan tahu-tahu di tengah ruangan
itu telah berdiri dua orang pengemis tua yang berpakaian tambal-tambalan akan
tetapi bersih sekali dan mereka memegang tongkat ular! Ternyata mereka ini
adalah dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang tingkat satu!
Coa-tung
Kai-pang mempunyai banyak sekali pengurus. Pengurus yang bertingkat satu saja
ada tujuh orang, dan mereka ini adalah murid dari seorang tosu tua yang
menjabat kedudukan pemimpin besar dan bernama Coa Ong Lojin.
Ada pun dua
orang pengurus tingkat satu yang datang ini bernama Kim Coa Jin dan Bhok Coa
Jin. Mereka ini mendapat laporan dari tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang
yang telah roboh di tangan Ngo-hengte dari Hek-tung Kai-pang pagi tadi. Dengan
marah Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin segera mendatangi istana pengemis di dalam
hutan itu dengan maksud untuk merobohkan lima orang ketuanya.
Dengan
tindakan kaki berlagak sekali kedua orang tua itu sambil menggerak-gerakkan
tongkat ular di tangannya menghampiri meja Hek Liong dan adik-adiknya yang
duduk di sebelah kiri Hong Beng dan Goat Lan. Kim Coa Jin tertawa bergelak di
depan lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang itu lalu berkata,
“Pangcu-pangcu
dari Hek-tung Kai-pang benar-benar tak memandang mata kepada kami dari Coa-tung
Kai-pang. Mengadakan perjamuan minum arak sedemikiah ramainya sama sekali tidak
mengundang! Ha-ha-ha, benar-benar tidak memandang mata kepada orang
segolongan.”
Hek Liong
maklum bahwa dua orang tua ini memang datang hendak membuat ribut dan melihat
sikap mereka yang kasar ia tidak mau membiarkan pangcu-nya yang baru untuk
menghadapinya. Karena itu ia sendiri lalu berdiri bersama empat orang adiknya,
menjura sebagai penghormatan sambil berkata,
“Maaf, Ji-wi
datang tanpa kami ketahui sehingga tidak semenjak siang-siang mengatur penyambutan.
Silakan duduk dan minum arak kami yang murah!” Sambil berkata begini Hek Liong
lalu mengeluarkan dua buah cawan, kemudian mengisi sendiri cawan-cawan itu
sampai penuh dengan arak harum.
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Bhok Coa Jin tertawa bergelak, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mengulur
tongkat ularnya sambil berkata, ”Biarlah tongkatku mencoba dahulu bagamana
rasanya arakmu!”
Sambil
berkata demikian, sekali tongkatnya bergerak ke depan, kedua cawan arak yang
disuguhkan itu terguling di atas meja dan araknya tumpah membasahi meja!
Kemudian ujung tongkatnya yang berkepala ular itu meluncur memasuki mulut guci,
dari mulut guci itu keluarlah uap hijau bergulung ke atas!
“Ha-ha-ha!
Ternyata arakmu cukup baik!” kata Bhok Coa Jin kepada lima orang pengurus
Hek-tung Kai-pang itu. “Marilah kita minum arak dari guci yang sudah dicoba
isinya oleh tongkatku tadi!”
Tanpa
diketahui oleh orang lain, Goat Lan membisikkan sesuatu kepada Hong Beng sambil
memberikan tiga buah pil merah kepada tunangannya itu. Hong Beng lalu berdiri
dan mendahului kelima saudara Hek itu berkata kepada dua orang tamu yang aneh
ini,
“Ji-wi
Lo-kai (Dua Tuan Pengemis Tua), melihat bentuk tongkatmu, aku dapat menduga
bahwa kalian tentulah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang! Pertunjukanmu
tadi lucu sekali dan kebetulan aku adalah seorang yang paling doyan arak
beruap! Marilah aku menemani kau berdua minum arak!”
Sambil
berkata demikian, tanpa menanti jawaban tamunya, Hong Beng mengambil guci arak
tadi dan mengisikan arak ke dalam cawan-cawan tamunya yang tadi terguling, juga
dia mengisi cawannya sendiri sampai penuh.
Semua orang
melihat betapa arak yang keluar dari guci itu telah berwarna hijau, padahal
tadinya berwarna kemerahan! Lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang menjadi pucat
karena mereka maklum bahwa arak itu telah dicampuri racun!
“Arak itu
beracun!” seru Hek Liong marah.
“Ha-ha-ha!
Ternyata ketua dari Hek tung Kai-pang berhati pengecut! Kalah oleh orang muda
berhati tabah dan gagah ini!” Kim Coa Jin berkata sambil tertawa
bergelak-gelak. “Siapakah pemuda ini yang menantang kami minum arak? Kami tidak
sudi minum arak dengan segala orang tak ternama!”
Makin
marahlah Hek Liong mendengar ucapan ini. “Bukalah matamu baik-baik karena kau
sedang berhadapan dengan pangcu kami yang baru!”
Kim Coa Jin
dan Bhok Coa Jin melengak dengan hati heran. Kini mereka memandang kepada Hong
Beng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjura ke arah Hong Beng sebagai
penghormatan yang dibalas oleh Hong Beng dengan sepatutnya.
“Tidak tahu
siapakah nama Pangcu yang terhormat?” tanya Kim Coa Jin.
“Siauwte
bernama Sie Hong Beng dan secara kebetulan saja siauwte telah dipilih menjadi
pangcu dari Hek-tung Kai-pang yang mulia. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan ada
keperluan apakah dua orang penting dari Coa-tung Kai-pang datang ke sini?”
“Hemm, kami
adalah pengurus-pengurus Coa-tung Kai-pang, namaku Kim Coa Jin dan ini adalah
adikku Bhok Coa Jin. Kami tidak tahu bahwa Hek-tung Kai-pang telah berganti
pengurus. Bagus, bagus, kami harap saja biar pun kau masih muda, akan tetapi
sudah terbuka pikiranmu untuk menggabungkan perkumpulanmu yang kecil ini pada
Coa-tung Kai-pang yang besar sehingga tak perlu ada pertikaian lagi.”
“Ji-wi
Lo-kai, hal itu tak mungkin dilakukan. Setiap perkumpulan tentu mempunyai
tujuan sendiri-sendiri, dan biarlah kita melakukan tugas kita masing-masing
tanpa harus saling mengganggu, bukankah dengan demikian akan lebih baik lagi
dan tidak ada pertikaian? Aku akan memberi nasehat kepada semua anggota
perkumpulan kami supaya jangan mengganggu perkumpulanmu, dan sebaliknya aku
juga mengharapkan dari pihakmu ada kebijaksanaan seperti itu.”
Tiba-tiba
Kim Coa Jin tertawa bergelak dengan suara menghina dan memandang rendah sekali.
“Pangcu, kau
ternyata masih hijau seperti usiamu. Marilah kita minum arak hijau ini untuk
menambah pengalamanmu. Beranikah kau?”
“Mengapa aku
tidak berani?” kata Hong Beng yang sudah menelan tiga butir pil ang-tan
pemberian tunangannya tadi.
Ia percaya
penuh akan kelihaian tunangannya yang paham betul akan segala macam racun dan
pengobatannya, maka ketika tadi Goat Lan menyerahkan pil itu sambil berbisik
bahwa itulah pil penawar dan penolak racun hijau, ia segera menelannya dan
bertindak seperti yang dituturkan di atas.
Sekarang dia
mengangkat cawan araknya, diturut pula oleh kedua orang tamu itu yang
memandangnya dengan mata heran akan tetapi mulut tersenyum mengejek. Mereka
lalu minum arak itu. Sekali tenggak saja arak hijau itu lenyap dalam perut Hong
Beng.
Sekarang barulah
kedua orang pengemis tua itu terheran-heran. Biasanya, racun hijau yang
dimasukkan di dalam arak itu amat keras. Jangankan menghabiskan secawan, baru
minum beberapa tetes saja cukup untuk membakar isi perut orang dan
menewaskannya seketika itu juga.
Akan tetapi,
pemuda yang tampan dan tenang ini setelah minum secawan tidak kelihatan
terpengaruh sama sekali, seakan-akan arak itu tidak ada apa-apanya! Mereka
menjadi penasaran dan Kim Coa Jin sendiri kini memasukkan kepala tongkatnya ke
dalam guci, menambah racun itu dan menuangkan isi guci ke dalam tiga cawan yang
sudah kosong, memenuhinya kembali.
“Kau kuat
minum secawan lagi, Pangcu?” tanyanya menantang.
Hong Beng
tersenyum. “Mengapa tidak kuat? Marilah kita minum untuk kesejahteraan Hek-tung
Kai-pang!”
Kembali
mereka minum dan sekali lagi Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin saling pandang dengan
heran. Jangankan menjadi mabuk atau roboh binasa, muka pemuda tampan itu merah
pun tidak.
“Secawan
lagi, Ji-wi Lokai?” Kini Hong Beng yang menantang!
Dua orang
pengemis tua itu menjadi bingung. Obat penawar yang tadinya sudah mereka telan
hanya cukup kuat untuk menolak racun dua cawan arak, maka kalau harus minum
secawan lagi, mungkin mereka takkan kuat menahan dan akan roboh binasa dengan
isi perut terbakar!
“Cukup,
cukuplah, Pangcu!” berkata Kim Coa Jin sambil menggerakkan tongkat ularnya.
“Sudah terbuka mata kami bahwa biar pun masih muda, ternyata kau adalah seorang
yang kuat minum. Tidak tahu apakah ilmu tongkatmu sekuat kemampuan minummu!”
Pada saat
itu pula Hek Liong melangkah maju menghadap Hong Beng dan menyerahkan sebatang
tongkat hitam dengan sikap menghormat sekali. Tongkat ini baru saja ia ambil
dari dalam sebuah kamar dan ternyata bahwa tongkat ini luar biasa sekali.
Memang warnanya hitam seperti tongkat-tongkat yang dipegang oleh semua anggota
Hek-tung Kai-pang, akan tetapi tongkat ini mengeluarkan cahaya mengkilap dan
ternyata dapat digulung.
“Tongkat ini
adalah peninggalan sucouw kami Hek-tung Kai-ong. Sudah berpuluh tahun tidak ada
orang yang dapat mempergunakan tongkat lemas ini, maka sekarang kami serahkan
kepada Pangcu!”
Hong Beng
menerima tongkat itu dengan girang dan ketika ia memegang tongkat itu, ia
merasa kagum dan juga girang sekali. Ternyata bahwa senjata luar biasa ini
terbuat dari logam yang amat kuat dan merupakan sebatang tongkat pusaka yang
ampuh sekali. Ia segera turun dari tempat duduknya dan menghadapi kedua orang
tamunya itu dengan sikap tenang.
“Ji-wi
Lo-kai, kami telah cukup maklum bahwa kalian dari Coa-tung Kai-pang ingin sekali
memperlebar pengaruhmu, akan tetapi caramu ini benar-benar kurang sempurna. Apa
kau kira bahwa di kolong langit ini tidak ada orang-orang yang lebih pandai
dari pada pemimpin-pemimpin Coa-tung Kai-pang? Tanpa kusengaja, aku yang muda
dan bodoh telah terpilih menjadi pemimpin Hek-tung Kai-pang, betapa pun juga,
aku akan membela perkumpulan ini dengan tongkat yang sudah dipercayakan
kepadaku. Nah, silakan Ji-wi maju mencoba kekerasan tongkat ini!”
Kim Coa Jin
biar pun merasa amat kagum melihat betapa orang muda ini dapat minum racun dari
tongkat ularnya tanpa akibat sesuatu, tetap saja ia masih memandang rendah
kepada Hong Beng. Tidak mungkin pemuda ini mempunyai kepandaian silat yang
dapat mengimbangi kepandaiannya sendiri.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment