Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 11
SIAPAKAH
gadis muda yang lihai sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar
bangsa Han sampai di tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada
tiga orang kawannya yang juga amat tertarik hatinya.
Seorang di
antara ketiga iblis itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas
dan paling doyan tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan
masih mendengkur di bawah pohon di dalam hutan itu.
Bouw Hun Ti
sudah kehabisan kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai
malam tadi. Akan tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir
saja dia menjadi korban kaki kakek aneh ini.
Begitu dia
memegang lengan Lak Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba
saja kaki kanan orang tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah
dadanya! Baiknya pada waktu itu tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it
Siansu yang segera membetotnya ke belakang sehingga tendangan itu tidak
mengenai sasaran. Bouw Hun Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah
orang yang masih tidur mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu
masih tidur nyenyak!
“Bouw-enghiong,
jangan kau bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh
pun dia ini amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh
dibangunkan, karena sebelum tidur dia tentu telah memasang dan membuat semua
urat di tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya, otomatis tentu akan
diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”
Bouw Hun Ti
menjulurkan lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan
kelihaian seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti
sampai matahari naik tinggi barulah orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka
lalu berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan Goat Lan!
Tiga iblis
tua itu memandang kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek
Sam-kui bertanya, “Nona muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau
mampu mengalahkan dia?” Ia menunjuk kepada Bouw Hun Ti.
Goat Lan
menjura dan berkata dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara
bertemu di angkasa tak pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak
ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat
mencontoh burung-burung itu.”
Memang Goat
Lan tak ingin orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui
akan maksudnya mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga
termasuk mereka yang hendak menghalangi usaha mendiang suhu-nya.
Mendengar
jawaban ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang
kepada kawan-kawannya yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri
yang memandang kepada Goat Lan dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan
juga penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang hari, ia makin tertarik akan
kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah oleh
seorang nona yang demikian muda.
“Ha-ha-ha,
Nona yang baik!” kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian
lumayan akan tetapi juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup.
Hutan yang seliar ini berani kau masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat
menyangkal kebenaran ucapanmu, akan tetapi ketahuilah bahwa baru bisa bertemu
dengan kami tiga orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan luar
biasa bagimu. Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun
yang bodoh! Dan sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw
Hun Ti, “adalah seorang yang cukup ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan
kepandaiannya cukup lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan nama, masihkah kau
menganggap bahwa kau terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”
Goat Lan
terkejut sekali mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah
mendengar dari dua orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah
tokoh-tokoh persitatan yang pandai dan ditakuti orang. Akan tetapi, mendengar
nama Bouw Hun Ti membuat dia lebih tercengang lagi dan kemarahan membuat
mukanya menjadi merah padam. Inikah si jahat yahg pernah menculik Lili dan
membunuh Yousuf?
“Sam-wi
Locianpwe,” katanya kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat,
“sesungguhnya merupakan kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh
telah dapat bertemu muka dengan Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”
Terbuka
lebar mata ketiga orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar
nama kami? Bagus, kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”
Akan tetapi
Goat Lan tidak mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan
penuh kebencian kepada Bouw Hun Ti dan berkata,
“Orang she
Bouw, apa bila aku tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek
petani adalah jahanam yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau
melepaskanmu secara begitu saja! Bouw Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus
semua dosa-dosamu dan mampus di tanganku!” Sambil berkata demikian, Goat Lan
mencabut keluar sepasang bambu runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun
Ti.
“Ehh, Nona
manis, sudah miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu
membenciku?” Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian
itu karena sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.
“Dahulu kau
pernah menculik Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah
membunuh Kakek Yousuf! Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri
dari Kwee An, apakah otakmu yang tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku
hendak membunuhmu?” Sambil berkata demikian secepat kilat tubuhnya berkelebat
maju dan ia mengirim serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.
Orang she
Bouw ini menjadi terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah
puteri dari Kwee An dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang
menimbulkan angin dingin mengerikan itu. Ia cepat melompat mundur ke belakang,
akan tetapi kedua ujung bambu runcing di tangan Goat Lan tidak mau
melepaskannya dan terus mengejar hebat.
Terpaksa
Bouw Hun Ti mencabut keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan
sekuatnya. Akan tetapi, begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu,
dia merasa tangannya tergetar dan secara aneh sepasang bambu runcing itu
menggunting goloknya dan diputar sedemikian rupa sehingga goloknya kena
dirampas!
Bouw Hun Ti
berteriak kaget dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang
memandang kagum.
“Sam-wi
Lo-enghiong! Dia ini adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara
musuh-musuhmu yang sombong itu!”
Thian-he
Te-it Siansu melompat ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa
ini mengeluarkan angin sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat
miringkan tubuh dan menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini
tinggi sekali ilmu silatnya, maka ia lalu berkata,
“Locianpwe,
harap kau orang tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Ha-ha-ha,
Nona yang gagah perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena
dimintai bantuan oleh sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat
Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu, sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main
sebentar dan berilah kesempatan kepadaku untuk merasakan kelihaian bambu
runcing dari Hok Peng Taisu!”
Sambil
berkata begitu, payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung
payung yang tumpul itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya
cepat serta mengandung tenaga besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik
kembali, maka cabang-cabangnya berkembang merupakan perisai (tameng) yang kuat
untuk menjaga diri!
“Twa-suheng
(Kakak Seperguruan Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai
kelihaian Nona ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.
Memang
ketiga orang kakek ini paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat
tinggi, hanya ada dua rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur.
Rombongan pertama adalah Hek Pek Mo-ko (Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang
amat ditakuti orang karena tiap kali kedua orang saudara ini turun tangan dalam
pertempuran, pasti mereka membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas yang
haus darah.
Berkelahi
dan membunuh orang merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah
orang yang dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh
tentu masih ingat bahwa Hek Mo-ko menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua
orang Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena bertempur sendiri.
Rombongan ke
dua yang paling doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi
mereka ini, pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat
mereka berbeda dengan Hek Pek Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi
dan mencoba kepandaian orang lain, hanya untuk membuktikan bahwa mereka
mempunyai kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh lawan yang
sudah mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya
lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!
Dalam setiap
pertempuran, ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok
karena sifat mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang
mau mengalah dan yang mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan
ingin mempunyai saham dalam kemenangan itu!
Demikianlah,
pada waktu Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek
gemuk bertopi pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi
Kurus pun lalu melompat maju sambil memutar tongkatnya!
Tentu saja
Goat Lan merasa mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang
terkenal memiliki kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat
tidak tahu malu dan curang. Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga
orang kakek ini.
“Bagus,
tidak tahunya kalian hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil
memutar sepasang bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata
ini berubah menjadi dua sinar kuning yang bergulung-gulung!
Melihat
betapa tiga orang kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam
tersenyum girang. Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis
puteri Kwee An ini, maka kalau tidak dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan
lagi? Ia lalu melompat maju dengan golok di tangan, akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara keras dan goloknya terlempar lagi dari pegangan!
Jika tadi
sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang
diambilnya kembali, kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat
terkejut karena tahu bahwa yang tadi menangkis goloknya dan membuat senjatanya
terlempar itu adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!
“Minggirlah
dan jangan mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak
Mou Couwsu berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”
Bukan main
heran dan kagetnya hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa
dia mengambil kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak
berani coba-coba lagi untuk membantu.
Sementara
itu, Goat Lan merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat
ketiga orang kakek ini benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju
seorang demi seorang, agaknya dia masih akan sanggup melawannya. Akan tetapi
dikeroyok tiga oleh tiga orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian
tinggi, sebentar saja dia sudah terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil,
tanda bahwa gerakannya amat terkurung dan tidak leluasa.
Ia hanya
mengandalkan kegesitan tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap
serangan yang datang. Yang membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan
bahwa tiga orang kakek ini tidak bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata
mereka sudah mendekat tubuhnya, maka senjata itu tiba-tiba ditarik kembali dan terdengar
suara kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya dipermainkan,
maka dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan
yang hebat.
Tiba-tiba
dengan seruan keras, ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan
membelit kedua bambu runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah
ujung payung milik Thian-he Te-it Siansu hendak menotok nadi tangannya,
ditambah lagi dengan totokan dari kanan oleh ujung tongkat Bouw Ki si tinggi
kurus yang mengarah nadi tangan kanannya!
Untuk
menyelamatkan kedua tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu
runcingnya. Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,
“Aduh,
sungguh lihai Ilmu Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.
“Hayo, lekas
mengakulah bahwa kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil
melemparkan sepasang bambu runcing itu ke atas tanah.
“Akuilah
bahwa kami Hailun Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok
Peng Taisu yang terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.
Akan tetapi,
Goat Lan adalah puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga
murid dari guru-guru besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja?
Sambil menggertak gigi, dia lalu mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang
Sin-na, yaitu ilmu silat dari suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu tokoh
Kun-lun-san yang terkenal itu!
Thian-he
Te-it Siansu cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah
bertempur sepuluh jurus, ia berkata dengan gembira,
“Aduh!
Bukankah ini Im-yang Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari
Im-yang Ciok-cu, tosu pemabukan itu, bukan?”
“Memang
Im-yang Giok-cu adalah Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat
serangannya.
“Bagus!” Lak
Mou Couwsu dan Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat
beruntung! Setelah mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil
mengalahkan dia, sekarang kita mendapat kesempatan untuk mengalahkan Im-yang
Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!” Mereka kemudian maju menyerbu lagi dan kembali
Goat Lan yang bertangan kosong dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang
bersenjata aneh!
Memang guru
Goat Lan yang bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok
Peng Taisu. Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu
silat yang memang khusus dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.
Kalau saja
yang mengeroyok Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti
Bouw Hun Ti saja, besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata
para pengeroyoknya. Akan tetapi, yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek
Sam-kui, tiga tokoh persilatan yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya, maka biar
pun senjata-senjata mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun
sukarlah baginya untuk dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan
terdesak hebat!
Pada suatu
saat, dengan sangat tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu
telah menotok pundak kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau
orang lain yang tertotok, betapa pun lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan
akan menjadi kaku dan tak berdaya lagi.
Akan tetapi
tidak percuma Goat Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja
Obat, tokoh yang sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan.
Dari suhu-nya ini, Goat Lan telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk
mengobati segala macam luka dan penderitaan tubuh, juga tentang totokan
berbagai pukulan yang berbahaya.
Begitu
merasa pundaknya kaku akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya
melompat ke atas mengandalkan tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara
sambil mengeluarkan seruan keras dari dalam dada, “Hu! Hu! Hu!”
Kemudian
setelah tubuhnya tiba di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan
pundak kanan di bawah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat
kembali, ternyata bahwa totokan pada jalan darah Kim-seng-hiat di pundak
kanannya itu sudah sembuh kembali!
Melihat
perbuatan gadis ini, tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata
terbelalak. Thian-he Te-it Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan
suara menyatakan keheranannya.
“Hai!
Bukankah yang kau perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong
Sin Kong Tianglo?”
“Dia adalah
Suhu-ku juga!” jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa
mendongkol sekali.
“Hebat!”
kakek kate itu memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung.
Mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo!
Nona, kalau kau tidak memberi tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal
itu masih tidak apa. Akan tetapi setelah kami tahu bahwa kau adalah murid Sin
Kong Tianglo, kami takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thian-te
Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah
meninggal dunia gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”
Goat Lan
terkejut sekali. Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu,
bahwa banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang
amat berharga itu. Dan kini tiga orang iblis tua ini telah dapat menduganya,
celaka! Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak cakap lagi
Goat Lan lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya
melarikan diri!
“He, Nona!
Kau tidak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang
kakek itu mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.
Goat Lan
telah mempunyai ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk
dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh
meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan
penuh batu karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!
“Nona, kau
harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang
segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan
bagaikan seekor ular menyerang!
Goat Lan
menggunakan ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian
ini tua bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian
mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”
Pada waktu
itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan
totokan pada pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di
udara, gadis ini mampu menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh
sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya
turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh
desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.
Goat Lan
berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba
terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa
sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan
kuat sekali gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang yang berpakaian merah
ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.
“Trang!
Trang! Trang!”
Suara ini
lantas disusul dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat
betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap
lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari
situ!
Ketika Goat
Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua
sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang
yang sinarnya berkilauan dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung
pedangnya. Rambut wanita ini sudah putih semua, kulit mukanya penuh keriput
menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar
tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis
yang elok!
“Siapakah
kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan
sungguh pun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali.
Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.
Gadis ini
cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak,
kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku.
Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”
Nenek itu
memandang tajam. “Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada
keperluan apakah?”
Entah
kenapa, terhadap nenek ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap
nenek ini sangat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang
menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening
itulah!
“Sesungguhnya,
aku sedang menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal
dunia, untuk mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di
sekitar lembah sungai ini. Tak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku
mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang
sangat gagah perkasa datang menolongku.”
“Bodoh!”
Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku
(pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum
tentu aku sanggup mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari
to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”
“Untuk
mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat
Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan
wajah tidak sabar.
“Bodoh! Ini
benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa
orang? Gila dan ganjil sekali.”
“Mohon
tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia
mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.
Untuk
beberapa saat nenek itu tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan
menjawab. “Tidak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko,
marilah kau ikut padaku!”
Goat Lan
menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau
mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan
daun itu, supaya dia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang.
Nenek itu membawanya ke utara dan kira-kira dua li jauhnya dari situ, mereka
memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti
malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar
hutan itu.
“Untung kau
bertemu dengan aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari,
sampai selama hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”
Goat Lan
tidak mengerti apa maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir,
siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek
petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?
Mereka
kemudian pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil
menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.
“Kau
lihatlah, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang
disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka
disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”
Bukan main
girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang
terendah, kemudian mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu.
Tadinya ia merasa heran sekali melihat buah yang besarnya hanya sekepalan
tangan itu nampak berkilauan dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada
pohon itu bukanlah buah, melainkan batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat,
tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau.
Ternyata
bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat
bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam
gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan
ujungnya runcing.
Cepat dia
memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu
dia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu
ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.
Goat Lan
menjura di depan nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku,
tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga
telah menolongku memperoleh obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan
nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”
Mendengar
ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan
galak itu lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.
“Anak baik,
kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang
sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau
menolongmu? Di mana pun juga berada, keturunan orang baik-baik tentu akan
mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu diingat lagi,
anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam
hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi
boleh kau melanjutkan perjalanan.”
Setelah
berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa
menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan
mengikuti dia. Suaranya tadi biar pun amat ramah, akan tetapi mengandung
pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek
itu.
Mereka
sampai di depan sebuah goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan
tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu
ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata
bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu yang bernyala terang dan keadaan
kamar itu amat bersih. Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat
dari pada kayu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu
hitam yang halus.
“Jangan kau
duduk di situ, itu adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan
tidurlah!” kata nenek tadi.
Tentu saja
Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa
merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?
“Tidak,
Suthai, biarlah aku yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai
tidurlah di pembaringan itu.”
“Anak
bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau
tidurlah di situ dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah
lagi!”
Goat Lan
menjadi terkejut dan walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan
kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu
duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.
“Kau
tidurlah!” kembali nenek itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam
keadaan bersila seperti orang bersemedhi.
Goat Lan
memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek
yang lihai itu, maka dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.
“Kau bilang
tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal
mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.
Goat Lan
tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum
pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.
“Betul,
Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan
ibuku?”
Akan tetapi
nenek itu hanya berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”
Karena nenek
itu nampak sudah memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani
mengganggunya lagi. Dengan heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek
yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia
tidur nyenyak.
Menjelang
fajar, pada waktu sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis
tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka
mata dan mengerling ke arah nenek itu.
Ternyata
bahwa nenek itu tidak duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia
tidur, akan tetapi sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup
mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja
Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan
hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.
Tiba-tiba
nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih
rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu
menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,
“Kau puteri
tunggal Ma Hoa... alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada
di sini...” Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan
mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.
Ketika nenek
itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan
setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat
Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh
nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali,
sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam
dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan
keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang
cantik sekali!
Bagaikan
mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam
pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras, “Ang I Niocu...!”

Nenek itu
nampak terkejut dan melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari
bawah. Terdengar dia mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah
tertawa setengah menangis, kemudian tubuhnya bergerak dan hanya sekali
berkelebat, dia telah melompat keluar!
“Ang I
Niocu... tunggu...!” Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.
Akan tetapi
ketika dia tiba di luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi!
Goat Lan menarik napas panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I
Niocu, pikirnya dengan hati berdebar tegang.
Ia telah
mendengar dari ibunya tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama
sekali tidak pernah mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu
adalah Ang I Niocu, karena menurut cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang
wanita yang tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika kegelapan
menyembunyikan uban dan keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang
wanita yang benar-benar cantik, gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga
Cilan, maka timbullah dugaannya bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.
Setelah
merasa yakin bahwa nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat
yang dicarinya telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan
kembali ke selatan. Selain membawa obat itu ke kota raja, dia hendak pulang
dulu untuk mengambil kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena kitab
itu penting sekali baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera
Kaisar. Dan di dalam perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.
Dia telah
melakukan perjalanan cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat
meninggalkan Bouw Hun Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan
sambil melancong. Kebetulan sekali di Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai
Cinjin dan sesudah mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang keadaan orang
tua yang mewah itu.
Mendengar
tentang kakek yang pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan
lalu menunda perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan
kelenteng di dalam hutan. Ia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin
yang berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.
Demikianlah,
sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat
menolong nyawa putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang
telah dibebaskan oleh Kam Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong
Siansu yang lihai.
Lili merasa
kagum dan tertarik mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang
pertemuan Goat Lan dengan Ang I Niocu.
“Dan
sekarang, kau hendak ke kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili
sambil memandang wajah calon iparnya yang cantik manis.
“Aku harus
pulang lebih dulu ke Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang
diderita oleh putera Kaisar.”
“Bagus,
kalau begitu, marilah kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi
orang tuamu.”
Berangkatlah
dua orang dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju
ke Tiang-an.
Untuk
menghormat dan menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu
mengadakan pesta di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia
mengundang kawan-kawannya yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dan para
pembesar serta para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio disuruh mengundang
beberapa orang gagah dari kota-kota yang berdekatan.
Banyak
orang-orang yang berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua
termasuk satu golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu
ini yang patut dikemukakan hanya seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di
dusun itu.
Orang ini
bernama Lok Cit Sian dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai
yang tersesat hingga tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit
Sian yang bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu ini meski usianya telah
mendekati lima puluh tahun, namun dia terkenal sebagai seorang bandot tua yang
menjemukan. Kesukaannya inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan
Ban Sai Cinjin, cocok seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat
menjadi sahabat karib apa bila kesukaan mereka sama.
Pesta
berlangsung meriah sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu.
Suara ketawa bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar,
makin lama makin bebas dan tidak dibatasi oleh kesopanan lagi.
Di meja
besar yang berada di tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong
Siansu, ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam
ruangan itu sampai ke ruangan luar juga dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan
meja banyaknya. Meja-meja di ruangan luar diduduki oleh tamu-tamu yang muda,
sebagian besar adalah orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan,
orang-orang muda yang pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi
mengandalkan kekayaan orang tua.
Ketika para
pemuda itu bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua
mata memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat
menarik hati.
Gadis itu
masih amat muda, bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat
sederhana. Akan tetapi kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini
bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru
mulai mekar itu. Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki, akan tetapi
kecantikannya yang wajar itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati
tiap orang laki-laki.
Tentu saja,
melihat datangnya gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan
melihat tikus gemuk. Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah
bola matanya hendak lompat keluar dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum
menyeringai dan mereka sibuk membereskan rambut atau pakaian yang kusut. Banyak
yang menelan ludah pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu melenggang
dengan pinggang yang lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa
pinggang dan tubuh gadis itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti
pohon yang-liu tertiup angin!
Tidak heran
apa bila semua pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini.
Gadis ini bukan lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lilani setelah tertolong oleh Lie
Siong, lalu diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.
Sebagai
seorang gadis Haimi yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu
menyatakan dalam segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta
pemuda penolongnya itu. Akan tetapi, Lie Siong selalu bersikap dingin, biar pun
di dalam hatinya kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan gadis
ini amat menarik hatinya.
Tiap kali
mereka bermalam di rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di
dalam satu kamar. Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan
tetapi dia menjadi terharu juga ketika mendapat kenyataan bahwa gadis ini
benar-benar jujur dan berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal sekamar
dalam sebuah hotel, gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas
pembaringan yang hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh
membelakangi Lie Siong lalu tidur pulas!
Terpaksa Lie
Siong tidak mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri
sendiri karena tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran
kotor. Yang lebih mengharukan hatinya adalah saat dia melihat gadis itu tidur
dalam kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia selimutkan di
atas tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari
tidurnya, ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan
oleh Lilani di atas tubuhnya!
Pernah
Lilani mengatakan bahwa kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di
Tiang-an.
“Mengapa?”
Lie Siong bertanya terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu
ke Tiang-an?”
“Tadinya
memang hanya Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan
tetapi sekarang aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama
denganmu, Lie Taihiap.”
Ucapan yang
sejujurnya ini menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi
ini benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan
berlaku seolah-olah ia tidak mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.
Pada hari
itu, mereka tiba di dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel.
Seperti biasa, pelayan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan
tetapi hal ini tidak mempengaruhi perasaan Lie Siong karena telah sering kali
mereka dianggap suami isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu Lilani menyambut
anggapan ini dengan wajah berseri dan mulut tersenyum manis.
“Taihiap,
marilah kita berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,”
Lilani mengajak Lie Siong ketika mereka telah duduk mengaso.
“Kau
pergilah kalau ingin berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku
menanti kau di sini,” jawab Lie Siong.
Biar pun
hatinya kecewa, Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari
sesuatu yang enak dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja
ia lewat rumah gedung Ban Sai Cinjin dan kini, dengan hati mendongkol ia
melihat betapa mata beberapa orang muda yang sedang makan minum di ruangan
depan itu memandangnya dengan kurang ajar sekali.
“Aduh, Nona
manis, hendak pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil
tersenyum-senyum.
Lilani tidak
mempedulikannya dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu
menghadang di depannya dan berkata,
“Wahai dewi
kahyangan, marilah kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”
“Akur! Nona
ini harus makan minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.
Sambil
tertawa-tawa, pemuda itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik
lengan Lilani. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan
mengirim tamparan ke arah pipinya.
“Plokk!”
Pemuda itu
menjerit kesakitan dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan
hendak menangkap Lilani, akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani
cukup lihai. Beberapa kali tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh
sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Ban Sai
Cinjin yang duduk makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini,
lalu ia berdiri dan bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi
Kong Siansu dan ketiga Thailek Sam-kui yang sedang bertanding mengadu kekuatan
minum arak, tak mempedulikannya dan terus saja duduk minum dengan gembira.
Ban Sai
Cinjin menjadi kaget dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik
menghajar beberapa orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis
itu, matanya yang juling berseri-seri dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat
baik, jangan mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”
Ban Sai
Cinjin tersenyum dan dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah
terjadi.
“Kami dengan
baik-baik menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu
mengamuk dan memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.
“Hem, hem,
galak benar,” kata Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil
tempat masakan, lalu menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging
yang panas mengebul sambil berkata,
“Nona manis,
akulah tuan rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging
ini!”
Biar pun
gerakannya mencokel daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu
bagaikan disambitkan lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu
terkejut sekali ketika merasa betapa sambaran daging itu mendatangkan angin
kuat. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya sehingga kalau ia tidak cepat
menarik tubuhnya ke belakang, tentu daging panas itu akan mengenai mulutnya!
“Tua bangka
kurang ajar!” bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara
gadis ini lain dengan orang Han biasa.
Akan tetapi
pada saat itu, sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi
dan tiga potong daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak
dan memang benar ia dapat menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan
kedua, akan tetapi sambaran daging ke tiga tak dapat dielakkannya lagi.
Dengan tepat
sekali daging ini mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu
juga Lilani merasa seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat
digerakkan lagi! Dia terkejut sekali dan lebih-lebih terkejutnya pada saat
orang tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil
tertawa-tawa, kini melangkah maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur
tangan, dia telah kena dipeluk dan dipondongnya.
“Ha-ha-ha,
burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”
Dengan mata
terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun
segera memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat
menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.
Ketika dulu
dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan
kawan-kawannya memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta
tolong kepada kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali,
maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.
Pekik ini
terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti
bunyi seekor burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini,
akan tetapi Lok Cit Sian sambil tertawa berkata,
“Ha-ha-ha,
burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”
Letak rumah
penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai
Cinjin. Pada waktu itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran
bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani
selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis
ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di
hatinya sehingga kini timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa
senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat
merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?
Tiba-tiba
saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih
melakukan perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah
Lilani mengeluarkan siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam
hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya
Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.
Dan kini
terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta
tolong, demikian Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang
banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di
pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.
Alangkah
marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat
Lilani sedang dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak
tertawa para tamu yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak,
Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang
disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan
kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke
arah tubuh Lilani!
Tak seorang
pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut
sekali. Dia sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara
yang demikian cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir
saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan
Lie Siong.
Baiknya Lok
Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih
dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia
dapat mengelak dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah
pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.
Dengan
gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari
pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan
dibawaya melompat ke pekarangan depan.
Barulah
terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak
terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid
murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan
gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan
menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang
istimewa.
Pedang Lok
Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.
“Traang...!”
Dua pedang
bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata
bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut
ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu,
dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga
itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.
Dia mencoba
untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong
melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit
Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan
tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini,
maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk
menyambut pukulan lawan.
“Aduh...!”
Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih
menempel pada pedang Lie Siong!
Tiba-tiba
Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat
membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.
“Traaang...!”
Lie Siong
merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang
tergetar, sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan
terlibat oleh lidah pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang
menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini
telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat
betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong
bahwa ia menghadapi seorang pandai.
“Bangsat
muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek
itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.
Akan tetapi,
Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat
dapat menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.
Sementara
itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi
mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi
ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan
ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di
belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan
sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu
terlempar ke udara!
Pemuda itu
menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia
jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani
turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh
menggigil dan muka pucat.
Sementara
itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang
tengah mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa
banyak orang mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong,
lalu berseru,
“Taihiap,
mari kita pergi dari sini. Aku takut!”
Lie Siong
tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang
itu, biar pun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh
dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani
yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga
diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani,
belum tentu ia dapat melindungi gadis itu.
Maka dengan
gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak
tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu
bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai
Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie
Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Ban Sai
Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula
pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera
teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia
melompat ke belakang sambil berseru,
“Bangsat
rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”
Akan tetapi
Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang
ramping lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal
Pendekar Bodoh!”
Dia memang
merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama
Pendekar Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang
yang memusuhi Pendekar Bodoh.
Ban Sai
Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
Wi Kong Siansu yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah
melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”
Ban Sai
Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan
dalam. Pesta dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi.
***************
Lie Siong
berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan
mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap
berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan
di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.
“Lilani,
bagaimanakah terjadinya keributan itu?”
Lilani
segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie
Siong mendengarkan dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas
sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,
“Kau
tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan
kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”
Mendadak
Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana.
Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”
“Aku tidak
penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar
mereka!” Dia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan
memegang tangannya.
“Taihiap,
jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong
menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri,
aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi
pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek
gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang
yang lihai dan jahat.”
“Aku tidak
takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”
“Jangan,
Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup
lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu
menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.
Sungguh
mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya
berdebar aneh!
“Jangan
takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka
di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani,
dan segera melompat pergi......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment