Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 25
GADIS ini
berdiri dengan tegak dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai
Cinjin dengan tendangan Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya secara
bertubi-tubi mengirim tendangan berantai yang amat berbahaya!
Ban Sai
Cinjin terkejut sekali dan cepat dia melompat pergi, lalu berkata dengan gemas,
“Lihat, Suheng, betapa jahatnya gadis liar ini. Hmm, ingin aku menghancurkan
kepalanya dengan sekali ketuk agar ia tidak dapat menimbulkan kepusingan lagi!”
Ia menggenggam huncwe-nya erat-erat.
Wi Kong
Siansu melompat maju dan menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik.
Sedikit pun gadis ini tidak takut biar pun dengan kedua tangan lumpuh ia telah
tak berdaya sama sekali.
“Nona Sie,
kenapa kau begitu bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu
bahwa di antara keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau,
Nona, kami berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan
pertemuan pibu dan dengan kau berada di pihak kami, pinto akan berusaha agar
supaya ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapa pun juga, kita
semua masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala
permusuhan yang telah lewat.”
“Enak saja
kau bicara, tosu murah!” bentak Lili dengan marah sekali. Kemudian ketika
melihat Bouw Hun Ti berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandang dirinya
dengan senyum sindir, ia lalu mengertak gigi dan berkata, “Dengarlah, Wi Kong
Siansu! Aku tidak tahu mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati
iblis macam Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lainnya
boleh saja aku menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tak akan pernah memberi
ampun kepada dua ekor binatang bermuka manusia ini!”
“Suheng,
biar kubunuh gadis liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.
“Majulah,
binatang! Kedua kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” teriak Lili
menantang.
“Sabar,
Sute, mengapa mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan
menyusahkan dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke
Thian-san, kami tak akan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan
kesulitan, agaknya terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau
kehendaki, bukan?”
Biar pun dia
merasa amat mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa
bahwa ucapan Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi,
maka meski pun ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan
sanggup menang. Kalau sampai dia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak
lagi, maka dia lalu diam saja sambil menundukkan mukanya.
Gadis ini
tidak takut sama sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagai
mana agar ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah
mendengar pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah
orangnya yang bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie
Siong sudah berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini sudah melarikan
diri dengan menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin.
***************
Lie Siong
melarikan diri dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya
tidak melebihi sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili.
Kalau saja ia tidak memikirkan Lili, tadi pun dia tentu akan menerjang
mati-matian dan biar pun sudah terluka hebat, dia lebih baik mati dari pada
melarikan diri. Akan tetapi dia harus menolong Lili, oleh karena itu dia harus
hidup untuk dapat menyusul dan menolong Lili.
Ia telah
berlari jauh sekali dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka
itu. Dia kini merasa seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya
berkunang-kunang. Dia memang hendak mempertahankan diri, akan tetapi pandangan
matanya makin gelap dan akhirnya dia terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput
tak sadarkan diri lagi.
Ban Sai
Cinjin tidak akan sedemikian tersohor namanya apa bila tidak sangat lihai dalam
menggunakan huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas.
Kakek ini memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat,
maka dia merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang sudah terkena racun
pada panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.
Memang
keadaan Lie Siong mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah
telah berwarna kehitam-hitaman dan tubuhnya panas sekali. Ia pingsan dan menggeletak
di atas rumput sampai fajar mendatang.
Tapi Ban Sai
Cinjin agaknya lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh
manusia yang mana pun juga. Apa bila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh
hidup walau pun nampaknya tidak mungkin bagi pendapat seorang manusia,
sebaliknya seorang yang nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apa bila
telah dikehendaki oleh Thian.
Demikianlah,
ketika Lie Siong rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti
embun pagi, datanglah dua sosok bayangan orang yang melalui tempat itu. Dua
orang ini gerakannya cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak
di tempat itu, mereka lalu mendekati dan memeriksa.
“Dia adalah
putera Ang I Niocu...!” seru suara seorang laki-laki.
“Betul, Koko,
dia adalah Lie Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis
yang cantik jelita. Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang
kebetulan sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di
jalan.
“Aduh, panas
sekali tubuhnya!” Hong Beng berseru ketika dia meraba jidat Lie Siong.
“Lihat,
Koko, pahanya terluka dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat
dia ke tempat yang lebih baik, Koko. Aku harus cepat-cepat mencoba
menolongnya!” kata Goat Lan, murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja
Tabib!
Hong Beng
lalu memondong tubuh Lie Siong yang amat panas itu dan mereka membawa pemuda
itu masuk ke dalam sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon
besar, di atas tanah yang bersih dan kering.
Goat Lan
menurunkan buntalan pakaiannya, menggulung lengan baju dan mengeluarkan
obat-obat penolak racun yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan
lagi dan sangat cekatan, menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat
Lan lalu menyingsingkan pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang
terluka oleh panah tangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan
bambu runcing itu untuk ditusukkan ke luka yang telah membengkak dan berwarna
merah kehitaman itu.
Darah hitam
mengalir keluar dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan segera
menggunakan jari telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian
jalan darah di kaki kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau
darah yang sudah terkena racun supaya keluar dari paha itu hingga Hong Beng sendiri
diam-diam merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.
Kemudian
Goat Lan lalu menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng
membereskan pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan
sedikit arak dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan
tetapi ia masih menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak, “Lili... Lili...!”
Goat Lan dan
Hong Beng saling pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu
mencairkan tiga butir pil merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya agar
meminumkannya.kepada Lie Siong.
Barulah Lie
Siong membuka matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung
keheranan. Akan tetapi dia segera meramkan kedua matanya kembali dan mengeluh.
Kakinya terasa sakit bukan main.
“Jangan
bergerak dulu, Saudara Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” Hong Beng
berkata dengan ramah.
Lie Siong
kembali membuka mata dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu
yang terasa pahit akan tetapi berbau harum itu. Sesudah obat itu memasuki
perutnya, ia merasa betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur
mulai menghilang. Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya
dan tubuhnya menjadi lemas, terus dia tertidur nyenyak. Memang ini adalah
akibat khasiat dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.
“Tidak lama
lagi dia akan sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau dia terus pulas
itu berarti bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau dia tidak dapat
pulas, agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya lagi. Sekarang
dia hanya memerlukan obat penambah darah saja.” Hong Beng mengangguk-angguk dan
kembali ia memandang pada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan
menjadi merah mukanya.
“Mengapa kau
memandangku seperti itu?” tegurnya.
“Lan-moi,
kau... hebat sekali!”
“Hushh, aku
hanya murid yang bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini.
Dengan
kata-kata ini Goat Lan seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa
yang patut mendapat pujian ialah mendiang gurunya. Memang demikianlah watak
yang sangat baik dari Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri,
biar terhadap tunangan sendiri sekali pun.
Mereka tidak
merasa heran pada waktu tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam
igauannya, karena kedua orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa
dengan Lo Sian. Dari Sin-kai Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian
Ang I Niocu dan mendengar akan pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong
dengan Lili. Kemudian Sin-kai Lo Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah
Pendekar Bodoh.
Ada pun Goat
Lan dan Hong Beng melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang,
kedua orang muda ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan.
Pertama-tama untuk mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk
mencari Ban Sai Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo
Pit-kip yang telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin.
Orang tua
mereka berpesan agar mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan
berpesan agar supaya mereka terus saja menuju ke Thian-san, karena tidak lama
lagi Pendekar Bodoh sendiri pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan
pibu dari Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan
dan Hong Beng mengambil jalan ini dan bertemu dengan Lie Siong.
Setelah hari
menjadi senja, barulah Lie Siong bangun dari tidurnya. Begitu bangun dia segera
bertanya kepada Hong Beng,
“Siapakah
Ji-wi (Saudara berdua) yang telah menolong siauwte yang bodoh?”
Hong Beng
dan Goat Lan tersenyum. “Saudara Lie Siong,” kata Hong Beng, “kami bukan
orang-orang lain, aku adalah Sie Hong Beng dan dia ini adalah Kwee Goat Lan.”
Lie Siong
benar-benar terkejut. Ketika dia bersama gurunya mengirim kembali Kwee Cin ke
benteng Alkata-san, dia tidak memperhatikan semua orang, maka dia tidak melihat
mereka ini.
“Ahh...”
katanya dengan tercengang, kemudian wajahnya yang tampan nampak gembira. Akan
tetapi segera dia menjadi pucat ketika teringat kepada Lili, maka dia lalu
melompat berdiri. “Celaka... kita harus cepat kejar mereka!”
“Saudara Lie
Siong, tenanglah. Walau pun lukamu sudah sembuh, akan tetapi lukamu masih lemah
dan kegugupanmu itu amat tidak bagi kesehatanmu,” kata Goat Lan sambil
memandang tajam penuh perhatian seperti layaknya seorang tabib memandang kepada
pasiennya.
Mendengar
omongan ini, Lie Siong baru sadar. Dia pun sudah mendengar bahwa Kwee Goat Lan
yang menjadi tunangan Sie Hong Beng adalah seorang gadis ahli pengobatan, maka
dia lalu menjura memberi hormat sambil berkata,
“Siauwte
memang seorang bodoh dan kasar, sampai-sampai lupa untuk menghaturkan banyak
terima kasih atas pertolongan Lihiap. Tanpa pertolonganmu, agaknya nyawaku
sudah lenyap dalam tangan Ban Sai Cinjin.”
“Lie Siong,
jangan main sandiwara! Namaku Goat Lan, panggil saja namaku karena Lili
biasanya juga memanggil namaku begitu saja!” Kegembiraan Goat Lan timbul
kembali, akan tetapi segera disusulnya kelakarnya ini dengan kata-kata sengit,
“Di mana Ban Sai Cinjin si keparat? Apakah dia pula yang melukai pahamu?”
Lie Siong
senang sekali melihat sikap Goat Lan ini, seorang gadis yang lincah dan yang
mengingatkan dia akan kejenakaan dan kegalakan Lili. Akan tetapi pada saat itu
hatinya penuh oleh kekuatiran terhadap nasib Lili, maka ia lalu berkata,
“Celaka
sekali. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang amat lihai sudah menculik Lili!
Ketika aku hendak menolong, mereka mengeroyokku dan secara curang sekali Ban
Sai Cinjin telah melukaiku dengan panah beracun.”
Lie Siong
lalu menuturkan dengan singkat tentang peristiwa itu. Goat Lan dan Hong Beng
menjadi marah sekali.
“Ban Sai
Cinjin manusia curang dan pengecut!” terdengar Hong Beng menggeram. “Awas saja
kepalamu, kakek jahanam, akan kuhancurkan kepalamu kalau sampai kau berani
mengganggu adikku.”
“Kau baru
sehari semalam meninggalkan mereka. Mereka itu tentu takkan lari jauh. Mari
kita mengejar mereka,” kata Goat Lan.
Maka
berangkatlah tiga orang muda yang perkasa ini menuju ke Thian-san sambil di
jalan mencari keterangan mengenai Ban Sai Cinjin dan rombongannya. Memang tidak
salah, menurut petunjuk dari penduduk kampung yang mereka lalui, Ban Sai Cinjin
mengambil jalan ini dan agaknya rombongan itu pun sedang menuju ke Thian-san
pula.
Sayangnya
bahwa Lie Siong belum boleh menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga
pengejaran itu tidak dapat dilakukan dengan cepat-cepat. Sedikitnya lima hari
Lie Siong harus memulihkan tenaganya kembali, kata Goat Lan dan pemuda itu
tentu saja menurut nasehat nona penolongnya.
***************
Tiga orang
muda itu benar-benar gagah. Melihat mereka berjalan cepat mendaki gunung
melompati jurang, sungguh membuat orang merasa kagum sekali. Hong Beng nampak
gagah dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya tampan. Lie Siong berpakaian
kuning, pedang naganya menempel di punggungnya, tubuhnya lebih kecil dari pada
Hong Beng, akan tetapi ia tampan sekali. Ada pun Goat Lan benar-benar nampak
cantik jelita dan gagah. Sepasang bambu runcingnya tergantung di punggung
seperti pedang.
Sambil
berlari cepat, mereka saling menuturkan riwayat dan pengalaman masing-masing
dan makin lama Lie Siong semakin suka kepada sepasang orang muda ini. Ia
diam-diam menyesal kenapa tidak sejak kecil dia bersahabat dengan orang-orang
ini, dan secara diam-diam ia merasa girang bahwa dahulu ibunya adalah sahabat baik
dari orang-orang tua Goat Lan dan Hong Beng. Bahkan ada rasa bangga dalam
hatinya karena mereka membicarakan ibunya dengan kekaguman, apa lagi Goat Lan
yang pernah ditolong oleh ibunya.
Beberapa
hari kemudian mereka telah sampai jauh di barat dan tiba di daerah bergunung
yang gundul tiada pohon. Tiba-tiba mereka melihat bayangan seorang kakek
melompat-lompat di atas batu yang jika dilihat dari jauh orang itu seperti
seekor garuda putih saja, karena kedua ujung lengan bajunya yang lebar dan
panjang itu berkibar di kanan kirinya seperti sayap dan ujung baju di belakang
terbawa angin seperti ekornya.
“Dia adalah
Thai Eng Tosu pembantu Ban Sai Cinjin!” tiba-tiba Lie Siong berseru.
Tahu-tahu
dia telah meninggalkan kedua orang kawannya dan mengejar ke atas dengan pedang
Sin-liong-kiam di tangan. Melihat gerakan dari Lie Siong yang demikian cepatnya
ini, Goat Lan dan Hong Beng terkejut dan kagum sekali. Memang selama ini Lie
Siong belum pernah memperlihatkan kepandaiannya.
“Tosu
keparat, ke mana kau hendak pergi?!” Lie Siong membentak sambil mengejar.
Memang tosu
itu adalah Thai Eng Tosu, orang tertua dari ketiga ketua Pek-eng-kauw.
Mendengar seruan ini, kakek ini berhenti dan menengok, kemudian dia tersenyum
ketika mengenal pemuda ini. “Jadi kau sudah sembuh? Baguslah, memang orang yang
benar selalu dilindungi oleh Thian.”
“Jangan
berpura-pura alim, siapa tidak tahu bahwa kau adalah kawan dari Ban Sai Cinjin
yang jahat?” bentak Lie Siong sambil memutar pedangnya.
“Anak muda,
memang sudah sepatutnya aku dimaki. Aku dan adik-adikku sudah terbujuk oleh Ban
Sai Cinjin. Akan tetapi semenjak dia merampas puteri Pendekar Bodoh itu, aku
mencuci tangan dan meninggalkan rombongannya. Hanya dua orang adikku yang masih
ikut.” Ia menarik napas panjang tanda bahwa hatinya kesal.
“Ke mana
rombongan itu membawa Lili?” Lie Siong bertanya dengan suara mengancam.
“Katakanlah, baru aku akan mengampuni jiwamu.”
“Kau kira
aku demikian busuk hati untuk mengkhianati mereka? Carilah sendiri!”
Lie Siong
marah. “Bagus, kalau begitu kau harus mampus!”
Thai Eng
Tosu mengeluarkan suling bambunya yang kecil. “Majulah, anak muda, mari kita
main-main sebentar. Apa bila betul-betul kau mampu mengalahkan sulingku ini,
aku berjanji akan memberi tahu dirimu ke mana mereka itu membawa puteri
Pendekar Bodoh!”
Lie Siong
sudah merasa gemas sekali dan cepat menyerang dengan pedangnya. Tosu itu
menangkis dan segera mereka bertempur dengan serunya di atas tempat yang penuh
batu karang itu.
Sementara
itu, Goat Lan beserta Hong Beng juga sudah mengejar sampai di tempat itu, akan
tetapi melihat betapa pedang Lie Siong bergerak hebat sekali, Hong Beng
berkata, “Biarlah, kita menonton dari dekat saja dan jangan dibantu bila Lie
Siong tidak terdesak. Dia keras hati, kalau kita bantu, jangan-jangan dia akan
merasa tak senang.”
“Seperti
Lili...,” kata Goat Lan.
“Memang
mereka cocok sekali seperti kita...” kata Hong Beng.
Kerling mata
Goat Lan menyambar dan keduanya tersenyum bahagia.
Gerakan ilmu
silat tosu itu memang betul-betul lihai sekali dan makin lama ia bertempur,
makin nampak nyata bahwa ilmu silatnya itu mempunyai gerakan-gerakan seperti
seekor burung garuda. Akan tetapi kini ia menghadapi Lie Siong yang di samping
berkepandaian tinggi juga sedang marah dan sakit hati sekali sehingga pedang
naganya bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar.
Pada jurus
ke lima puluh, setelah Lie Siong mulai mendesak lawannya, tiba-tiba pemuda itu
menyambarkan pedangnya dan membabat ke arah leher Thai Eng Tosu. Pendeta ini
membungkuk dan merendahkan tubuhnya sehingga sambaran pedang itu lewat di atas
kepalanya. Akan tetapi ia tahu bahwa lidah naga yang merah itu tidak tinggal
diam dan tahu-tahu sulingnya yang berada di tangan kanannya telah terlibat dan
terbetot oleh lidah naga itu. Sekali Lie Siong membentak sambil menendang, tosu
itu terpaksa mengelakkan diri dan otomatis sulingnya kena dirampas oleh Lie
Siong!
“Sudahlah,
sudahlah, memang orang yang benar selalu menang!” tosu itu berkata sambil
menghela napas ketika melihat betapa sulingnya hancur dibanting oleh Lie Siong.
“Baru tiga hari yang lalu mereka meninggalkan tempat ini menuju ke Thian-san.
Lekaslah kau menyusul ke barat, anak muda yang gagah.”
Lie Siong
segera memberi tanda kepada Goat Lan dan Hong Beng dan mereka bertiga berlari
cepat sekali meninggalkan Thai Eng Tosu yang memandang dengan bengong. Ia
menggeleng-geleng kepalanya dan berkata seorang diri, “Keturunan Bu Pun Su
memang lihai... lihai sekali...”
Sepekan
kemudian, sampailah mereka di kota Hami dan setelah bertanya-tanya mereka dapat
mendengar berita tentang Ban Sai Cinjin dan rombongannya, bahkan mendengar pula
cerita tentang Lili yang amat menarik hati sekali.
Ternyata
bahwa rombongan Ban Sai Cinjin yang terdiri dari Lili, Wi Kong Siansu, Bouw Hun
Ti, Hailun Thai-lek Sam-kui dan kedua tosu dari Pek-eng-kauw, setelah tiba di
kota Hami, lalu mereka berhenti pada sebuah kuil di mana Ban Sai Cinjin sudah
kenal baik dengan pengurusnya.
Lili masih
tetap dalam keadaan tak berdaya dan biar pun gadis ini selalu berusaha untuk
melepaskan diri, namun tidak ada kesempatan sama sekali baginya. Gadis ini
tidak putus harapan, maka dia pun menjaga kesehatannya dengan baik, tidak
pernah menolak untuk makan dan minum, akan tetapi sama sekali tidak mau bicara
dengan mereka.
Ban Sai
Cinjin menderita kepusingan pertama saat Thai Eng Tosu ‘mogok’ di pegunungan
itu dan tidak mau melanjutkan perjalanannya karena tidak setuju dengan
ditawannya Lili. Kemudian ia menjadi makin pusing karena nampaknya Kim Eng Tosu
dan juga Bouw Ki, orang termuda dari Hailun Thai-tek Sam-kui, sudah
tergila-gila kepada Lili dan beberapa kali mencoba mengganggunya.
Setelah
sampai di kuil itu, Bouw Hun Ti lalu mengajukan usulnya kepada Ban Sai Cinjin,
yakniu agar supaya Lili dikawinkan saja kepadanya dengan upacara yang sah! Ban
Sai Cinjin melotot dan hendak memakinya, akan tetapi dengan sungguh-sungguh
Bouw Hun Ti berkata,
“Suhu, ada
tiga hal penting sekali yang mendorong teecu mengajukan usul ini. Pertama, biar
pun teecu telah berusia empat puluh lebih akan tetapi teecu masih belum
menikah, dan seorang isteri Nona Sie itu sudah cukup memenuhi syarat. Ke dua,
kalau Nona Sie sudah menjadi isteri teecu, kiranya Pendekar Bodoh beserta
kawan-kawannya akan suka menghabiskan perkara permusuhannya dengan kita, oleh
karena adanya ikatan keluarga dengan teecu, dan lagi pula kalau Nona Sie sudah
menjadi isteri teecu tentu akan suka mencegah orang tuanya mengganggu kita. Ke
tiga, kita semua akan terbebas pula dari gangguan-gangguan kawan-kawan sendiri
yang tergila-gila kepada Nona Sie!”
Mendengar
ini Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk girang. Memang betul sekali alasan-alasan
muridnya ini, maka dia lalu minta pendapat dari semua orang. Seperti biasanya,
Wi Kong Siansu tidak peduli akan urusan yang dianggapnya remeh ini, ada pun
Hailun Thai-lek Sam-kui juga tidak berani mencegahnya. Demikian juga kedua
orang tosu dari Pek-eng-kauw.
“Kalau saja
Nona Sie suka, tentu tidak ada orang yang berkeberatan,” kata Bouw Ki, orang ke
tiga dari Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menyembunyikan kecewanya.
Ban Sai
Cinjin tersenyum. Untuk ini ia sudah pikirkan baik-baik. “Tentu saja ia akan
suka. Cu-wi lihat saja sendiri nanti.”
Dan pada
keesokan harinya, kuil itu dihias meriah dan penduduk yang mendengar kabar
bahwa di situ akan dilangsungkan pernikahan antara dua orang-orang pelancong,
segera berduyun datang menonton. Dan benar saja, tidak seperti biasanya, Lili
kini menurut saja pada saat dirias seperti pengantin dan dipertemukan dengan
Bouw Hun Ti di depan meja sembahyang!
Tentu saja Hailun
Thai-lek Sam-kui dan yang lain-lain merasa heran sekali. Sebenarnya tidak usah
dibuat heran, kalau orang sudah mengenal betul siapa adanya Ban Sai Cinjin.
Seperti juga pernah dia lakukan kepada Sin-kai Lo Siang, kini dia pun
mempergunakan pengaruh obat beracun yang dicampur di dalam makanan yang dimakan
oleh Lili malam tadi.
Hanya
bedanya, kalau Sin-kai Lo Sian dahulu menjadi gila dan terampas ingatannya,
kini Lili hanya terampas ingatannya dan lumpuh kemauannya saja. Dia seakan-akan
menjadi seorang tanpa semangat dan menurut saja apa yang orang perintahkan
kepadanya!
Akan tetapi,
selagi hwesio penjaga kelenteng itu akan melakukan upacara sembahyang bagi
sepasang pengantin, tiba-tiba dari antara penonton muncul seorang kate kecil
yang bernyanyi sambil menenggak araknya, kemudian ia melangkah ke depan dan
mendorong hwesio itu sehingga terjungkal!
“Enak saja
orang mengawinkan anak orang tanpa bertanya kepada orang tuanya!” seru orang
tua kate itu sambil menggandeng tangan Lili. “Lebih baik dikawinkan dengan aku
Si Tua Bangka!”
Bouw Hun Ti
marah sekali. Akan tetapi ketika ia memandang seperti juga Ban Sai Cinjin dan
yang lain-lain, dia pun menjadi kaget sekali karena kakek kate ini bukan lain
adalah Im-yang Giok-cu! Kedua tokoh Pek-eng-kauw yang tidak kenal siapa adanya
kakek kate ini, menjadi marah melihat kekurang ajarannya, maka cepat sekali Sin
Eng Tosu dan Kim Eng Tosu menyerang dengan ujung lengan baju mereka.
“Enyahlah
kau orang kate!”
Akan tetapi
bukan main hebatnya akibat dari hinaan dan serangan ini. Orang tidak tahu
bagaimana kakek itu bergerak namun tahu-tahu kedua orang tosu berpakaian putih
itu sudah jatuh tersungkur ke kolong meja dalam keadaan pingsan!
Bouw Hun Ti
mencabut goloknya dan sebelum Ban Sai Cinjin sempat mencegah, Bouw Hun Ti telah
melakukan serangan kilat yang hebat sekali ke arah kepala orang kate yang
tertawa-tawa itu! Im-yang Giok-cu mendengar sambaran angin dari belakang dan
tanpa menengok lagi lalu mengangkat guci araknya yang kehijauan itu.
“Traaaaang…!”
Golok yang
dipegang oleh Bouw Hun Ti lantas terpental dari pegangan saking kerasnya
benturan kedua macam benda ini. Dan sebelum Bouw Hun Ti sempat mengelak, tangan
Im-yang Giok-cu sudah ‘masuk’ ke dalam iganya. Bouw Hun Ti mengeluh panjang,
lalu tubuhnya terkulai ke atas lantai!
Orang-orang
yang menonton pengantin menjadi panik dan berserabutan melarikan diri sehingga
tempat itu sebentar saja menjadi sunyi, hanya tersisa Ban Sai Cinjin, Wi Kong
Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Im-yang Giok-cu, beserta Lili saja yang masih
berdiri, karena dua orang tosu Pek-eng-kauw dan Bouw Hun Ti masih belum dapat
bangun. Ada pun hwesio yang tadi melakukan upacara sembahyang ternyata sudah
lari bersembunyi entah ke mana.
Ketika
melihat orang kate yang datang-datang mengamuk, Hailun Thai-lek Sam-kui yang
doyan berkelahi segera mencabut senjata mereka masing-masing. Akan tetapi Ban
Sai Cinjin segera memberi tanda dengan tangannya, mencegah kawan-kawannya itu
turun tangan.
Mata Im-yang
Giok-cu yang lihai melihat gerakan mereka ini, karena itu setelah tertawa
bergelak ia lalu berkata menantang, “Ha-ha-ha, Sam-kui (Tiga Setan), mengapa
tidak jadi mencabut senjata? Kalau kalian hendak meramaikan pesta perkawinanku,
marilah maju!”
Ban Sai
Cinjin buru-buru maju dan menjura di depan Im-yang Giok-cu. “Totiang, belum
lama ini kita saling bertemu dan tidak ada urusan sesuatu di antara kita. Tapi
mengapa Totiang hari ini menggagalkan pernikahan yang sah dan baik-baik?”
Im-yang
Giok-cu menjemput cawan arak di atas meja yang masih penuh, kemudian dia
menenggaknya. Akan tetapi dia lalu menyemburkan arak itu ke arah Ban Sai Cinjin
yang walau pun sudah cepat mengelak, masih saja ujung bajunya terkena arak dan
baju itu menjadi bolong-bolong! Ia kaget sekali dan pucatlah mukanya.
“Arak busuk,
seperti orangnya!” Im-yang Giok-cu memaki. “Ban Sai Cinjin, kejahatanmu sudah
bertumpuk-tumpuk. Kau kira aku tidak dapat melihat bahwa nona ini terpengaruh
oleh obatmu yang jahat? Hayo kau lekas memberi obat penawarnya, kalau tidak,
jangan bilang Im-yang Giok-cu keterlaluan kalau aku membunuh muridmu dan juga
kau dan kawan-kawanmu di tempat ini juga tanpa menanti sampai di puncak
Thian-san!”
Mendengar
ucapan sombong ini, dengan marah Wi Kong Siansu bangun berdiri. Akan tetapi Ban
Sai Cinjin cepat melangkah maju dan berkata dengan hormatnya,
“Totiang,
ternyata matamu tajam sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak mempunyai obat
penawarnya! Biarlah kau boleh mengamuk, belum tentu kami kalah, akan tetapi
Nona ini selamanya akan menjadi seorang boneka hidup!” Ban Sai Cinjin yang
cerdik ini hendak menggunakan keadaan Lili sebagai kunci mencapai kemenangan!
Im-yang
Giok-cu menjadi ragu-ragu, kemudian ia berkata, “Ban Sai Cinjin, buku Thian-te
Ban-yo Pit-kip berada bersamamu, bukalah lembarannya dan carilah di dalamnya,
tentu ada obat penawar untuk racunmu yang keji ini.”
Ban Sai
Cinjin menjadi pucat dan melangkah mundur dua tindak. “Bagaimana kau bisa
tahu?” tanyanya. “Kitab itu sudah terbakar...”
“Sudahlah,
jangan seperti anak kecil! Dahulu Sin Kong Tianglo pernah memperlihatkan
kepadaku bahwa kitab itu terbuat dari kertas yang tidak dapat terbakar karena
sudah direndam dengan obat. Jangan kau bermain gila di hadapanku. Sekarang
begini sajalah, kau kembalikan kitab itu kepadaku agar Nona ini dapat ditolong,
dan aku melepaskan muridmu dan takkan turun tangan, baik di sini mau pun di
Thian-san. Nah, bagaimana? Apakah kau memilih kekerasan?”
Setelah
berpikir-pikir sejenak, Ban Sai Cinjin akhirnya mengalah. Dikeluarkannya kitab
Thian-te Ban-yo Pit-kip yang memang disimpannya sebab dahulu yang terbakar
adalah kitab tiruannya saja. Bersama-sama mereka segera mencari obat penawar
untuk Lili dan ternyata obat itu mudah saja. Ban Sai Cinjin lalu menyediakan
obat itu.
Setelah Lili
disuruh meminumnya yang dilakukan dengan taat, gadis itu lalu jatuh pulas.
Setengah hari Lili tidur, ditunggui oleh Im-yang Giok-cu dan semua orang tidak
ada yang berani turun tangan. Kemudian, menjelang senja Lili sadar dan ternyata
dia telah sembuh kembali!
Ia hendak
mengamuk, akan tetapi Im-yang Giok-cu mencegahnya dan memperkenalkan diri
sebagai guru Goat Lan. “Kau pergilah dan bawalah kitab ini, kembalikan kepada
Goat Lan.”
Lili tidak
membantah. Setelah menghaturkan terima kasihnya ia kemudian melompat dan
menghilang di dalam gelap.
Tentu saja
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali ketika melihat Lili melarikan diri sambil
membawa kitab itu. Ia hendak mengejar, akan tetapi Im-yang Giok-cu
menghadangnya,
“Kitab itu
adalah milik Yok-ong, harus dikembalikan kepada muridnya.”
“Im-yang
Giok-cu, kau terlalu sekali! Kau sudah berjanji takkan menggunakan kekerasan,
akan tetapi tidak saja kau menghina kami, bahkan kitab itu pun kau suruh bawa
pergi.”
“Tenang, Ban
Sai Cinjin. Tadi aku hanya berjanji bahwa aku tidak akan menggunakan kekerasan
dan tidak ikut bertempur di sini mau pun di Thian-san. Aku tidak berjanji apa
pun tentang kitab itu, dan tentang gadis itu. Dia puteri Pendekar Bodoh, harus
dihormati dan ditolong.”
“Keparat!”
seru Ban Sai Cinjin dan dengan gemas dia kemudian memberi isyarat
kawan-kawannya untuk mengeroyok.
Im-yang
Giok-cu tertawa bergelak-gelak, lalu cepat memutar guci araknya menghadapi
keroyokan banyak orang. Hebat sekali sepak terjang kakek kate ini, akan tetapi
jumlah pengeroyoknya terlalu banyak. Ia dikepung oleh orang-orang yang
berkepandaian tinggi, yaitu oleh Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, tiga kakek
Hailun Thai-lek Sam-kui, Sin Eng Tosu, Kim Eng Tosu dan juga Bouw Hun Ti!
Betapa pun
lihainya Im-yang Giok-cu, tentu saja ia tidak tahan menghadapi lawan yang tak
seimbang ini. Kepandaiannya hanya setingkat lebih tinggi dari pada Wi Kong
Siansu, sedangkan para pengeroyoknya, kecuali Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin,
mempunyai kepandaian setingkat dengan Wi Kong Siansu.
Beberapa
kali kakek kate ini telah menerima pukulan senjata lawan dan biar pun tidak
mendatangkan luka hebat, tetap saja semakin melemahkan tenaganya. Akhirnya,
ujung payung yang lihai dari Thian-te Te-it Siansu telah berhasil menotok
iganya dengan telak dan keras sehingga kakek kate ini terhuyung-huyung sambil
tertawa bergelak.
Dia lalu
melontarkan guci araknya sedemikian kerasnya dan orang yang sial menerima
hantaman guci arak ini adalah Bouw Hun Ti sendiri! Guci arak itu melayang
dengan kecepatan yang tidak dapat dielakkan lagi dan dengan mengeluarkan suara
keras, guci arak dan kepala Bouw Hun Ti menjadi remuk dan orang jahat itu telah
menghembuskan napas terakhir sebelum tubuhnya roboh ke lantai! Ternyata bahwa
maut telah meminjam tangan Im-yang Giok-cu untuk membalaskan dendam orang-orang
yang dibikin sakit hati oleh Bouw Hun Ti.
Melihat
muridnya binasa, Ban Sai Cinjin memekik marah dan ia lalu melompat mendekati
Im-yang Giok-cu yang terluka hebat. Sekali huncwe-nya terayun, terdengar suara
pletak, dan retaklah kepala Im-yang Giok-cu yang membuat nyawanya melayang
meninggalkan raganya.
Ban Sai
Cinjin merasa menyesal sekali. Tidak saja ia kehilangan Lili, bahkan juga sudah
kehilangan kitab obat itu. Hanya sedikit keuntungannya, di samping kerugian
kehilangan murid, mereka telah berhasil membunuh Im-yang Giok-cu, karena kalau
kakek kate ini ikut membantu Pendekar Bodoh, ia merupakan tenaga yang amat
menguatirkan.
Ketika Goat
Lan mendengar berita tentang kematian Im-yang Giok-cu, ia menangis sedih sekali
dan mengajak Lie Siong serta Hong Beng untuk mengunjungi kuburan Im-yang
Giok-cu di belakang kelenteng. Jenazah kakek kate ini telah diurus oleh
hwesio-hwesio dan dimakamkan di belakang kelenteng, bersama dengan jenazah Bouw
Hun Ti yang juga dimakamkan di bagian lain di belakang kelenteng.
Goat Lan
menangis dan bersembahyang di hadapan kuburan gurunya, bersumpah untuk
membalaskan dendam kepada Ban Sai Cinjin beserta kawan-kawannya. Malam harinya
mereka bertiga bermalam di kelenteng itu dan alangkah girangnya hati mereka
ketika Lili tiba-tiba muncul dari dalam gelap!
Goat Lan
menubruk dan memeluk Lili, lalu beramai-ramai empat orang muda itu saling
menuturkan pengalaman mereka. Ternyata sesudah ditolong oleh Im-yang Giok-cu,
Lili bersembunyi di dalam sebuah hutan di dekat kota itu. Kemudian, pada
keesokan harinya ia mendengar tentang kematian Im-yang Giok-cu, maka
menyesallah dia mengapa dia tidak dapat membantu kakek penolongnya itu. Ia
pikir bahwa masanya untuk mengadu kepandaian di Thian-san sudah tiba, maka
lebih baik ia menanti di situ untuk mencari kawan-kawan guna menghadapi Ban Sai
Cinjin yang benar-benar amat curang dan lihai.
“Dan
bagaimana kalian bertiga bisa bersama-sama?” Lili bertanya sambil mengerling ke
arah Lie Siong yang semenjak tadi hanya diam saja, hanya kadang-kadang
memandang kepada Lili dengan hati bersyukur bahwa gadis yang dicintainya itu
telah terhindar dari bahaya hebat.
Pada waktu
Lie Siong menceritakan pengalamannya dan betapa ia terluka ketika hendak
menolong Lili, gadis ini melirik dan dengan cemberut dia lantas berkata,
“Selama itu kau melakukan perjalanan mengikuti dan tidak memperlihatkan diri?
Mengapa begitu?”
Merahlah
wajah Lie Siong dan sambil menundukkan muka ia berkata, “Aku takut kalau
ternyata kau... kau tidak suka berjalan bersamaku.”
“Apa-apaan
pula ini, Song-ko?” tegur Lili dengan sepasang mata terbelalak. “Kau sendiri
yang tidak mau melakukan perjalanan bersamaku, dan tahu-tahu kau mengikutiku
tanpa memperlihatkan diri... aneh... aneh...!”
Lie Siong
makin merah mukanya dan terdengar Goat Lan tertawa geli. “Sekarang kita
berempat sudah bertemu dan berkumpul, maka yang sudah biarlah lalu, sekarang
kita melakukan perjalanan bersama menuju ke Thian-an. Dengan berempat kita akan
lebih kuat menghadapi mereka,” kata Hong Beng.
“Enci Lan,”
kata Lili tiba-tiba, “kitabmu masih kusimpan, takkan kuberikan sekarang. Nanti
saja kalau kau dan Beng-ko kawin, akan kuberikan sebagai... hadiah perkawinan!”
Timbul
kembali kenakalan Lili, karena itu Goat Lan juga menjadi gembira, terhibur dari
kesedihan hatinya mendengar tentang kematian gurunya. “Eh, katamu betul, Lili.
Aku jadi teringat akan Sin-kai Lo Sian yang berjumpa dengan kami di jalan.
Katanya dia hendak mengajukan pinangan kepada orang tuamu, meminang engkau
untuk... untuk siapa, ya?” Sambil berkata demikian, dengan penuh arti Goat Lan
mengerling ke arah Lie Siong.
Lili menjadi
jengah dan merah sekali mukanya. Ia mengulurkan tangan hendak mencubit Goat
Lan, akan tetapi Goat Lan cepat mengelak, dan Hong Beng lalu menyela,
“Sudahlah,
kalian ini bersenda gurau saja. Urusan itu sudah bukan rahasia lagi bagi kita
semua, dan urusan itu akan dapat terjadi dengan lancar tanpa ada halangan apa-apa
lagi.”
Maka
berangkatlah dua pasangan muda yang gagah perkasa ini. Di sepanjang jalan, Lili
dan Goat Lan bersenda gurau sehingga Hong Beng dan Lie Siong turut menjadi
gembira pula.
Empat orang
pendekar remaja ini menuju Thian-san di mana mereka hendak mengukur kepandaian
dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Sedikit pun mereka tidak merasa
gentar dan takut sesudah mereka berkumpul menjadi satu. Dengan seorang yang
dicinta di sebelahnya siapakah yang akan merasa takut...?
***************
Musim chun
(semi) sudah tiba. Puncak Thian-san nampak kehijauan dan pemandangan alamnya
indah sekali. Di puncak itu terdapat sebuah kuil besar yang kuno dengan
ukiran-ukiran indah, akan tetapi kuil ini tidak terurus oleh karena penghuninya
telah berpuluh tahun yang lalu mengosongkan tempat ini.
Dahulu, kuil
ini adalah pusat dari partai persilatan Thian-san-pai yang besar. Akan tetapi
akhir-akhir ini habislah orang yang tadinya masih suka mengurus kuil ini,
karena semua anak murid Thian-san-pai lebih suka berkelana di dunia bebas.
Akan tetapi
pagi hari itu di dalam kuil ini tidak sunyi seperti biasanya. Ban Sai Cinjin
dan kawan-kawannya telah berada di tempat itu sedang berunding dengan
kawan-kawannya. Betapa pun juga, setelah Im-yang Giok-cu tewas, mereka tidak
berapa takut menghadapi Pendekar Bodoh. Mereka telah memperhitungkan bahwa
untuk menghadapi teman-teman Pendekar Bodoh, kepandaian mereka masih sanggup
mengimbangi, ada pun Pendekar Bodoh sendiri akan dilawan oleh Wi Kong Siansu.
Tiba-tiba
dari luar kuil terdengar suara nyaring yang menantang mereka, “Ban Sai Cinjin
dan Wi Kong Siansu! Kami sudah datang untuk memenuhi tantanganmu!”
Ban Sai
Cinjin, Wi Kong Siansu, Thian-te Te-it Siansu, Lak Mou Couwsu, Bouw Ki, dan Coa
Ong Lojin serta beberapa orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah datang
terlebih dulu di tempat itu, keluar dari kuil itu dan ketika tiba di luar,
dengan tercengang mereka melihat empat orang muda yang bukan lain adalah Goat
Lan, Lili, Lie Siong dan Hong Beng!
Hati Ban Sai
Cinjin berdebar. Ia tidak melihat Pendekar Bodoh, orang yang paling ditakuti
dan dibencinya, maka untuk menetapkan hatinya dia bertanya, “Mana Pendekar
Bodoh? Apakah dia takut datang ke sini sehingga mewakilkannya kepada
anak-anaknya?”
“Ban Sai
Cinjin, jangan membuka mulut sombong!” Lili berseru marah. “Orang macam kau
tidak pantas untuk dilawan oleh ayahku. Kami orang-orang muda sudah cukup untuk
membuktikan bahwa kepandaian kami tidak kalah olehmu.”
“Cu-wi-enghiong,”
kata Hong Beng yang lebih tenang dan sabar sambil menjura kepada pihak tuan
rumah, “kedatangan kami berempat mengandung dua maksud. Pertama untuk memenuhi
tantangan Wi Kong Siansu yang telah menantang ayah untuk datang berpibu di sini
pada waktu ini. Dan kedua kalinya, kami harus membalas dendam dan sakit hati
kepada Ban Sai Cinjin yang telah membunuh Lie Kong Sian supek, Ang I Niocu bibi
kami dan juga Im-yang Giok-cu suhu dari Nona Kwee. Nah, terserah kepada Wi Kong
Siansu hendak memulai pibu itu atau memberikan kesempatan kepada kami membunuh
Ban Sai Cinjin lebih dulu.”
Wi Kong
Siansu tak dapat menjawab dan hanya saling pandang dengan Ban Sai Cinjin.
Dibandingkan dengan yang lain, sebetulnya Wi Kong Siansu lebih gagah, karena
dalam beberapa pertempuran keroyokan sebelumnya, tosu ini sengaja tidak mau
mengeluarkan seluruh kepandaiannya, karena ia merasa malu untuk mendapatkan
kemenangan sambil mengeroyok. Kini melihat empat orang muda itu menantang,
tentu saja dia merasa malu pula untuk maju mengeroyok.
"Sute,
apakah kau merasa tidak kuat menghadapi seorang di antara mereka?” tanyanya
kepada Ban Sai Cinjin perlahan sekali.
Ban Sai
Cinjin sudah mengenal kehebatan empat orang muda itu, akan tetapi akhir-akhir
ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan kalau bertempur satu lawan satu,
agaknya sukar sekali dipercaya kalau dia akan kalah. Lagi pula, tentu saja dia
merasa malu kalau menyatakan takut.
Maka dia
kemudian melompat maju dan berkata menantang. “Orang-orang muda yang sombong!
Siapa sih takut padamu? Majulah, mana saja, atau kalian hendak mengeroyok aku?”
sambil berkata demikian, dia mengisi huncwe baru yang berwarna hitam dengan
tembakau hitamnya yang terkenal, bahkan lalu mempersiapkan sepuluh batang panah
tangan di saku bajunya.
Kemudian
terjadi hal yang lucu. Empat orang muda itu saling berebut untuk menghadapi Ban
Sai Cinjin!
“Dia
membunuh guruku Im-yang Giok-cu, akulah yang berhak untuk membalasnya!” kata
Goat Lan.
“Tidak, Goat
Lan. Dia telah menewaskan ayah bundaku, akulah yang lebih berhak pula!” kata
Lie Siong sambil mengeluarkan pedangnya.
“Aku yang
paling tua, biar aku saja menghancurkan kepalanya!” kata Hong Beng.
“Tidak,
tidak! Akulah yang akan membunuh anjing tua ini, Enci Lan, kau mengalah sajalah
kepadaku. Siong-ko, biar aku yang membalaskan sakit hati orang tuamu dan
Beng-ko, kau harus mengalah terhadap adikmu!” kata Lili dan sekali menggerakkan
dua kakinya, gadis ini telah melompat menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Lili, kau
tidak boleh bertangan kosong saja!” kata Hong Beng yang amat mengkuatirkan
keselamatan adiknya, karena ia maklum bahwa kelihaian Lili tergantung dari
kipas dan pedangnya.
“Lili, kau
pakailah bambu runcingku!” kata Goat Lan.
Ada pun Lie
Siong segera melompat mengejar dan menyerahkan pedangnya kepada Lili. “Kau
pakailah ini, Lili.”
Lili menatap
dengan mesra dan berterima kasih. “Tak usah, Siong-ko, jangan membikin kotor
pedangmu, kedua tanganku cukup untuk menghadapinya.”
Lie Siong
melompat mundur kembali dan diam-diam tiga orang muda itu merasa gelisah.
Bagaimana Lili demikian sembrono untuk menghadapi Ban Sai Cinjin yang lihai
dengan bertangan kosong saja?
Akan tetapi
Ban Sai Cinjin tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Dia berseru keras
dan segera menyerang Lili dengan huncwe-nya. Gadis itu tersenyum mengejek dan
begitu dia mengeluarkan Ilmu Pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, tidak saja Ban
Sai Cinjin yang menjadi terkejut sekali, bahkan Lie Siong, Hong Beng, dan Goat
Lan juga memandang dengan mata terbelalak. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu
pukulan seperti itu dan seingat Hong Beng, ayahnya sendiri pun tidak pernah
memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Lili ini.
Namun
hasilnya luar biasa sekali. Dalam jurus-jurus pertama saja Ban Sai Cinjin sudah
amat terdesak. Huncwe-nya terbentur dengan tenaga pukulan yang lebih berbahaya
dari pada senjata tajam. Memang hebat sekali Hang-liong-cap-it-ciang ini dan
kalau Lili mau, setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih, dia dapat
membinasakan lawannya.
Akan tetapi,
di samping kegalakan dan kelincahannya, tabiat ayahnya menempel gadis ini. Ia
pemurah dan mudah memberi ampun. Ketika mendapat kesempatan, ia mengirim
pukulan dengan kedua tangan bahkan kaki kirinya juga mendupak ke arah dada
lawan.
Terdengar
bunyi keras dan kembali untuk kedua kalinya huncwe maut dari Ban Sai Cinjin
pecah terkena hawa pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, dan walau pun kakek itu
hendak menangkis, tetap saja dadanya terkena pukulan hingga dia menjerit dan
terlempar roboh sambil memuntahkan darah segar! Walau pun Lili tidak
membunuhnya, namun dia telah menderita luka berat dan untuk sementara waktu
takkan dapat bergerak!
Wi Kong
Siansu melompat ke depan hendak menantang, akan tetapi pada saat itu pula
berkelebat bayangan tujuh orang dan muncullah Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Ma
Hoa, yang dikawani oleh Kam Liong, Kam Wi, dan Tiong Kun Tojin!
“Kami datang
atas perintah Kaisar menangkap pengkhianat dan pemberontak Ban Sai Cinjin, Coa
Ong Lojin dan pengemis-pengemis Coa-tung Kai-pang!” seru Kam Wi sambil
mengeluarkan lengki (bendera titah raja). Melihat bendera ini, Wi Kong Siansu
dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui lalu berlutut.
Coa Ong
Lojin hendak melarikan diri, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya, Tiong
Kun Tojin sudah berhasil menangkapnya dan menotok punggungnya! Kam Wi tertawa
bergelak, lalu berpaling kepada Pendekar Bodoh sambil berkata,
“Urusan kami
sudah beres, beberapa hari lagi kami akan datang ke Shaning mengurus
perjodohan!”
Ia lalu
menyeret Coa Ong Lojin, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang pengemis Coa-tung
Kai-pang, lalu menjura dan meninggalkan tempat itu bersama Kam Liong dan Tiong
Kun Tojin sambil membawa tawanan-tawanan mereka.
Pendekar
Bodoh tersenyum, lalu menjura kepada Wi Kong Siansu. “Wi Kong Siansu, sekarang
kau melihat sendiri betapa jahatnya sute-mu itu. Ia sudah bersekongkol untuk
membunuh putera Kaisar dan bahkan ia membantu pula pergerakan orang-orang
Mongol yang lalu. Nah, karena kita berhadapan sebagai musuh hanya karena
gara-gara Ban Sai Cinjin, perlukah permusuhan ini dilanjutkan lagi?”
Wi Kong
Siansu dan Hailun Thai-lek Sam-kui saling pandang. Terang bahwa keadaan pihak
mereka jauh kalah kuat. Akan tetapi untuk menutup rasa malu, Wi Kong Siansu
lalu berkata. “Pendekar Bodoh, orang-orang seperti kita hanya punya satu macam
kesukaan, yaitu memperdalam pengertian ilmu silat. Kini setelah kita bertemu,
mengapa kita tidak main-main sebentar?”
Cin Hai
menghela napas. “Baiklah, orang tua. Kau boleh menyerangku tanpa kubalas, dan
bila mana dalam sepuluh jurus kau dapat membuatku menggerakkan kaki selangkah
saja, aku mengaku kalah padamu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu berdiri
tegak dan menundukkan kepalanya. Dia memegang sebatang suling dan meramkan matanya
seperti tidur!
“Pendekar
Bodoh, agaknya kau benar-benar sudah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Biarlah aku
mencobanya!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu segera mencabut
Hek-kwi-kiam, lalu berseru, “Lihat pedang!”
Dia membuka
serangan dengan sebuah tusukan ke arah dada Cin Hai. Namun Pendekar Bodoh tetap
tidak membuka matanya, hanya pada saat pedang itu sudah dekat dengan dadanya,
dia baru mengangkat sulingnya menangkis. Wi Kong Siansu merasa telapak
tangannya tergetar, lalu ia menerjang kembali sampai tiga kali, namun tetap
saja sia-sia, karena selalu suling di tangan Cin Hai dapat menangkis dengan
tepat.
Saat Wi Kong
Siansu hendak menyerang untuk yang ketujuh kalinya tiba-tiba berkelebat
bayangan putih dan tahu-tahu Lie Siong telah menangkis dengan Sin-liong-kiam.
“Wi Kong
Siansu, sungguh tidak tahu malu sekali kau menyerang seorang lawan yang tidak
membalas, bahkan melihatmu pun tidak. Kalau kau memang orang gagah, lawanlah
pedangku!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menyerang.
Wi Kong Siansu
kaget sekali melihat gerakan pedang pemuda ini benar-benar luar biasa sekali.
Semua orang lalu menonton karena pertempuran ini jauh lebih menarik dan ramai.
“Heran
sekali...” Cin Hai yang sudah membuka matanya berkata perlahan. “Dari mana ia
memperoleh gerakan-gerakan ini?”
Memang
matanya yang tajam melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang aneh dan lihai,
yang membuat sinar pedang hitam di tangan Wi Kong Siansu makin lama makin
kecil.
“Siong-ji,
tahan! Jangan mendesak orang tua!” Cin Hai berseru dan sekali ia melompat, ia
telah berada di antara ke dua orang yang bertempur itu.
Wi Kong
Siansu menyimpan pedangnya dan menarik napas panjang kemudian berkata, “Hebat,
memang hebat! Keturunanmu memang hebat, Pendekar Bodoh. Pinto mengaku kalah.”
Ia hendak pergi setelah menjura.
Akan tetapi
Lili lalu berkata kepadanya, “Totiang, jangan kau salah sangka. Pembunuh
muridmu, Song Kam Seng, adalah Ban Sai Cinjin. Aku sendirilah yang sudah
mengurus pemakamannya!”
Wi Kong
Siansu amat terkejut dan menoleh. Gadis itu dengan singkat lalu menceritakan
peristiwa itu. Wi Kong Siansu kembali menarik napas panjang lalu pergi dari
situ dengan hati terpukul.
Dengan lega
dan girang, Pendekar Bodoh lalu mengajak semua orang kembali ke timur. Di
sepanjang jalan tiada hentinya saling menuturkan pengalaman masing-masing.
***************
Rumah
Pendekar Bodoh dihias indah. Tidak heran karena pada hari itu dilangsungkan
pernikahan dua orang anak mereka, Hong Beng dengan Goat Lan dan Hong Li dengan
Lie Siong!
Tamu-tamu
sudah memenuhi ruangan dan di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh
persilatan baik kawan mau pun bekas lawan seperti Hailun Thai-lek Sam-kui dan
lainnya! Pasangan Hong Beng dan Goat Lan diperkenalkan kepada tamu-tamu lebih dahulu
dan sesudah mendapat sambutan dan pemberian selamat, mereka lalu mengundurkan
diri, diganti oleh pasangan Lie Siong dan Hong Li.
Akan tetapi,
ketika sepasang pengantin ini sedang menerima penghormatan dan ucapan selamat
dari para tamu, tiba-tiba seorang tinggi besar bangkit berdiri dari bangkunya
dan dengan suara keras berkata, “Cu-wi, sekalian! Sebagai sama-sama orang
kang-ouw, biarlah pada saat ini aku menyampaikan perasaan tidak enak hatiku
kepada sepasang pengantin dan juga tuan rumah!”
Semua orang
segera memandang dan ternyata yang berbicara itu adalah Kam Wi, tokoh
Kun-lun-pai, paman dari Panglima Kam Liong!
“Sebelum
Nona Sie dipinang orang lain, aku telah meminangnya lebih dulu untuk putera
keponakanku, Kam Liong. Biar pun belum resmi, pihak keluarga Sie sudah
menyatakan cocok, bahkan keponakanku sudah mengadakan perjalanan bersama dengan
Nona Sie. Akan tetapi siapa kira pada hari ini aku melihat Nona Sie menjadi
isteri Lie Siong yang sesungguhnya telah menjadi suami dari seorang gadis Haimi
bernama Lilani!”
Terdengar
teriakan nyaring. Pengantin wanita, yaitu Lili, merenggut hiasan kepala yang
menutupi mukanya dan membanting hiasan itu hingga terdengar suara keras.
“Bangsat
tua, apakah kau sengaja datang untuk mengantarkan nyawa?” teriaknya dan ia
hendak menyerang Kam Wi yang telah tertawa bergelak-gelak.
Akan tetapi
Lie Siong memegang tangannya sambil berbisik, “Sudahlah, Li-moi, dia itu orang
mabuk!”
Mendengar
cegahan ini, Lili makin gemas, merenggutkan tangannya dan berkata, “Orang
lemah, lebih baik kau kembali kepada Lilani!” Setelah berkata demikian, dengan
isak di tenggorokan ia lalu melompat keluar dari rumah dan melarikan diri!
Lie Siong
menjadi bingung, membanting topi pengantinnya lalu menyusul dan mengejar Lili
yang berlari seperti terbang cepatnya! Gegerlah keadaan di sana dan Kam Wi yang
masih tertawa-tawa itu ditarik tangannya oleh Tiong Kun Tojin yang cepat
mintakan maaf kepada Pendekar Bodoh untuk sute-nya yang kasar.
Lili berlari
terus, dan ketika ia tahu bahwa Lie Siong mengejarnya, ia berlari makin cepat.
Berhari-hari mereka kejar mengejar dan akhirnya Lili tiba di dekat sumur
rahasia tempat tinggal nenek aneh yang menjadi gurunya. Ia lalu terjun ke dalam
sumur itu.
Lie Siong
terkejut sekali, akan tetapi pemuda ini pun ikut pula terjun ke dalam sumur. Di
dalam kamar di goa yang aneh itu, Lili dan Lie Siong melihat nenek yang gagu
itu tengah duduk bersila dan di pangkuannya terbaring kepala seorang kakek.
Alangkah terkejut
hati Lie Siong ketika melihat bahwa kakek itu adalah gurunya yang mengajarnya
bermain gundu! Nenek itu keadaannya sudah sangat lemah, kurus kering dan pucat,
ada pun kakek itu ternyata telah menjadi mayat! Mendengar gerakan Lili dan Lie
Siong, nenek yang lihai itu membuka matanya.
“Suthai, kau
kenapakah...?” Lili bertanya sambil berlutut.
Nenek itu
mencoret-coret di atas tanah. Lili dan Lie Siong lalu membaca tulisan-tulisan
itu yang ternyata menceritakan riwayat nenek itu bersama kakek yang kini dipangkunya
dan yang telah mati. Ternyata keduanya memiliki riwayat yang ada hubungan dekat
dengan penghidupan Bu Pun Su, guru dari Pendekar Bodoh!
Setelah
selesai menuturkan riwayatnya dengan tulisan, nenek itu tak kuat lagi dan
ketika kedua orang muda itu memandang, ternyata bahwa nenek itupun telah
menghembuskan napas terakhirnya! Dengan penuh khidmat, Lie Siong dan Lili lalu
meninggalkan goa itu, menutupnya dengan batu besar, kemudian keluar dari sumur
itu dan menimbuni sumur itu dengan pepohonan sehingga tempat itu merupakan
sebuah makam yang luar biasa. Kemudian mereka berjalan sambil bergandengan
tangan.
“Li-moi, aku
tidak dapat berkata apa-apa lagi. Tergantung dari keputusanmu sekarang, hanya
inilah tanda bahwa semenjak dahulu aku mencintamu.” Lie Siong mengeluarkan
sepatu yang dulu dirampasnya dari saku bajunya.
Lili
menerima sepatu itu dengan terharu. Setelah membaca riwayat nenek yang menjadi
gurunya itu, lenyaplah marah dan cemburunya terhadap Lie Siong.
“Hemm,
kalian ini laki-laki di seluruh dunia sama saja!” katanya cemberut akan tetapi
kerling matanya membesarkan hati Lie Siong. “Kalau Sucouw Bu Pun Su sendiri
sampai terjerumus, biarlah aku maafkan kau yang satu kali masuk dalam perangkap
nafsu. Akan tetapi, awas, jangan sampai terulang lagi!”
Lie Siong
memegang tangan Lili dengan penuh kasih sayang. “Tidak akan terulang lagi
sampai aku mati, Li-moi. Pula, harap kau ingat bahwa peristiwa antara aku
dengan Lilani itu terjadi sebelum aku berjumpa dengan kau! Sejak aku bertemu
dengan kau... isteriku, jangankan Lilani, biar ada bidadari dari kahyangan
menggodaku, hatiku tetap tidak akan tergoncang!”
Lili
mencibirkan bibirnya sambil merenggutkan tangannya. “Cih, mulut laki-laki
memang manis, pandai membujuk merayu. Siapa dapat percaya?”
Setelah berkata
demikian dia segera melarikan diri, dikejar oleh Lie Siong! Akan tetapi mereka
kini berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa dan juga mereka mengarahkan tujuan
kembali ke Shaning di mana menanti semua keluarga dengan hati gelisah.
***************
Bagaimanakah
riwayat nenek dan kakek guru-guru yang aneh dari Lili dan Lie Siong itu?
Mengapa riwayat mereka sampai mengharukan hati Lili hingga membuat gadis ini
dapat memaafkan kesalahan Lie Siong yang sudah bertindak salah sebelum bertemu
dengan dia?
Untuk
mengetahui ini, dipersilakan untuk membaca cerita Pendakar Sakti (Bu Pun Su Lu
Kwan Cu), di mana akan muncul tokoh-tokoh besar seperti Bu Pun Su, Hok Peng
Taisu, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, di waktu tokoh-tokoh ini masih muda!
Bacalah
riwayat Bu Pun Su di waktu kanak-kanak sampai menjadi seorang pendekar muda
yang sakti dan luar biasa.
T A M A T
********** Sahabat Karib.com **********
No comments:
Post a Comment