Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 18
Lili menjadi
gembira sekali. Sering kali ayah dan ibunya terkekeh-kekeh kalau bercerita
tentang kedua orang ini yang muncul pada masa ayah ibunya masih muda. Kini
melihat mereka, walau pun sudah nampak tua sekali namun keadaan mereka masih
tetap tidak berubah, persis seperti yang digambarkan oleh ayah dan ibunya, mau
tidak mau Lili lalu tertawa terpingkal-pingkal sehingga dia menggunakan tangan
yang dipegang lengannya itu untuk menutupi mulutnya.
“Ji-wi
Losuhu,” akhirnya dia berkata sesudah dapat menahan geli hatinya. “Jiwi hendak
pergi kemanakah? Apakah Jiwi telah bertemu dengan ayah bundaku?”
“Di mana
ayahmu? Di manakah Sie Taihiap? Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan
dia,” jawab Ceng To Tosu.
“Ayah dan
Ibu juga berada di daerah utara ini,” kata Lili.
“Apa...?
Betulkah?” tanya Ceng Tek Hwesio.
Kemudian Kam
Liong lalu menuturkan kepada kedua orang pendeta ini tentang semua peristiwa
yang terjadi sehingga kedua orang pendeta itu menjadi girang sekali.
“Ahh, usiaku
yang tinggal sedikit ini ternyata penuh dengan kebahagiaan,” kata Ceng To Tosu.
“Berjumpa dengan Nona Sie Hong Li puteri Sie Taihiap sudah merupakan hal yang
membahagiakan, apa lagi sekarang ada kemungkinan bertemu lagi dengan Sie
Taihiap sendiri dan puteranya!”
“Akan tetapi
Ji-wi Losuhu mengapa sampai berada di tempat ini? Ada keperluan penting
apakah?” tanya Kam Liong.
Kini Ceng
Tek Hwesio yang menceritakan dengan muka berseri-seri seakan-akan cerita itu
merupakan sebuah cerita yang menggirangkan hati. Padahal cerita itu amat hebat
dan seharusnya patut dibuat gelisah.
Ternyata
bahwa Malangi Khan, raja bangsa Mongol, sudah membuat persiapan perang
besar-besaran dan bala tentaranya dipecah menjadi dua, satu barisan menyerang
dari utara dan barisan ke dua menyerang dari barat. Pertempuran-pertempuran
kecil sudah pecah antara barisan Mongol yang di bagian barat sebagian besar
sudah menggabung dengan tentara Tartar, melawan pasukan-pasukan penjaga
kerajaan yang tidak berapa kuat.
“Sudah
demikian hebat keadaannya?” kata Kam Liong dengan kaget.
“Itu masih
belum hebat, Kam-ciangkun. Yang paling menggemaskan adalah terdapatnya banyak
sekali orang-orang kang-ouw yang menggabungkan diri dan membantu Malangi Khan!”
“Hebat,
siapakah pengkhianat-pengkhianat bangsa itu?”
“Belum
diketahui, Ciangkun. Akan tetapi menurut laporan-laporan para prajurit yang
dulu menjaga di perbatasan dan telah dipukul mundur, di antara
pemimpin-pemimpin pasukan Tartar dan Mongol, banyak sekali terdapat orang-orang
bangsa kita sendiri yang memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu kami
sengaja mencarimu atas perintah suhu-mu dan siok-humu (pamanmu) yang telah
mengumpulkan beberapa orang gagah untuk menjadi sukarelawan menghadapi serbuan
musuh.”
Berseri
wajah Kam Liong mendengar berita ini. “Suhu dan Siok-hu? Di mana mereka?”
“Tidak jauh
dari sini, di hutan sebelah barat itu, Ciangkun. Marilah kau ikut bersama kami
menjumpainya dan kau juga, Nona Sie. Kau akan bertemu dengan orang-orang gagah
di sana.”
Tentu saja
Lili tidak menolak. Sesudah berpesan kepada para perwira untuk memberi
kesempatan kepada pasukan beristirahat di situ, Kam Liong beserta Lili lalu
berjalan kaki mengikuti dua orang pendeta itu. Mereka mempergunakan ilmu lari
cepat, maka tak lama kemudian sampailah mereka di hutan yang nampak dari tempat
pemberhentian tadi.
Suhu dari
Kam Liong adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi besar berwajah galak.
Sungguh pun usianya telah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi rambut
kepalanya masih subur dan hitam sehingga ia nampak lebih muda dari usia
sebenarnya! Tiong Kun Tojin masih terhitung suheng (kakak seperguruan) yang
ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada mendiang Kam Hong Sin.
Ada pun yang
disebut paman atau siok-hu dari Kam Liong, adalah adik misan dari ayah Kam
Liong dan bernama Kam Wi. Kam Wi juga bukan orang sembarangan, karena dia
memiliki kepandaian yang tinggi pula. Ia menjadi sute (adik seperguruan) dari
Tiong Kun Tojin. Selain sudah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai, juga Kam Wi
telah mempelajari Ilmu Houw-jiauw-kang yang lihai, semacam ilmu silat tangan
kosong yang amat berbahaya.
Oleh karena
itu, Kam Wi jarang sekali mempergunakan senjata, sungguh pun dia pandai pula
memainkan pedang. Dia selalu menghadapi lawannya hanya dengan tangan kosong,
mengandalkan Ilmu Silat Houw-jiauw-kang yang sempurna. Dan oleh karena Ilmu
Silat Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau) inilah maka dia sudah mendapat
julukan Sin-houw-enghiong (Pendekar Harimau Sakti)!
Tiong Kun
Tojin dan Kam Wi mempunyai watak yang cocok. Keduanya beradat keras,
berangasan, akan tetapi jujur serta gagah perkasa, pembela kebenaran dan
keadilan. Kalau Tiong Kun Tojin sudah berusia empat puluh tahun, adalah Kam Wi
baru berusia tiga puluh tahun lebih. Juga ia mempunyai tubuh tinggi besar
seperti suheng-nya.
Pada waktu
mendengar tentang penyerbuan dan pengacauan bangsa Mongol dan Tartar di daerah
perbatasan negaranya, maka kedua orang gagah ini timbul semangat dan jiwa
patriotnya. Mereka segera meninggalkan Gunung Kun-lun-san dan menuju ke utara.
Di sepanjang
perjalanan mereka mengajak para tokoh kang-ouw. Kemudian mereka lalu berkumpul
di hutan itu, hutan yang hanya dilindungi oleh pohon-pohon gundul karena
daunnya telah rontok semua. Dahan-dahannya kini penuh oleh salju yang
menggantikan kedudukan daun-daun yang sudah lenyap.
Di
tengah-tengah hutan yang berada di lereng gunung itu terdapat sebuah goa besar
dan karena adanya goa besar inilah maka tokoh-tokoh Kun-lun-pai itu memilih
tempat ini.
Ketika Kam
Liong dan Lili yang mengikuti dua orang pendeta itu tiba di luar goa, mereka
melihat sinar api dari dalam goa. Ternyata bahwa di dalam goa itu duduk lima
orang yang mengelilingi api unggun yang bernyala besar. Hawa panas keluar dari
goa itu dan karena hawa di luar goa demikian dinginnya, maka panas ini
mendatangkan udara yang nyaman sekali.
“Aduh,
enak... enak...!” kata Ceng Tek Hwesio sambil tersenyum-senyum dan mendekati
mulut goa.
“Kam-ciangkun,
kalau kau dan Nona Sie kuat menghadapi panas yang hebat itu, maka masuklah,
berjumpa dengan suhu-mu. Kami berdua tidak kuat bertahan terlalu lama di dalam
neraka itu!” kata Ceng To Tosu.
Dari luar
Kam Liong sudah melihat suhu-nya dan pamannya duduk bersama tiga orang lain
yang tidak dikenalnya. Nampak mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Kam
Liong maklum bahwa tanpa mempunyai tenaga lweekang yang tinggi, tak mungkin
orang akan dapat bertahan duduk di goa yang panas itu sampai lama.
Ia telah
maklum akan kepandaian Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, namun kedua orang
pendeta itu masih tidak kuat tinggal lama-lama di dalam goa dan kini hanya
duduk di luar goa! Akan tetapi, tidak percuma ia menjadi murid Tiong Kun Tojin,
tokoh luar biasa dari Kun-lun-pai. Ia maklum bahwa untuk kuat bertahan di dalam
goa yang panas itu, dia harus mengerahkan lweekang-nya guna memperkuat daya
Im-kang di dalam tubuh untuk melawan daya Yang-kang. Ia lalu melirik kepada
Lili yang memandang ke dalam dengan sikap acuh tak acuh.
“Nona, kalau
terlalu panas untukmu, biarlah aku masuk menjumpai Suhu dan siok-hu.”
“Siapa bilang
terlalu panas? Aku pun ingin sekali berjumpa dengan orang-orang yang suka
mendekati api itu,” jawab Lili, karena diam-diam gadis ini pun amat tertarik
hatinya melihat lima orang yang seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian mereka
itu.
Mendengar
jawaban ini, selain tertegun Kam Liong juga kagum dan gembira, karena kali ini
ia akan dapat menyaksikan dan membuktikan hingga di mana keunggulan kepandaian
gadis ini. Ia lalu melangkah masuk diikuti oleh Lili.
Bukan main
panasnya hawa di dalam goa itu. Baiknya di langit-langit goa terdapat lobang di
antara batu karang sehingga asap api unggun itu dapat keluar dan tidak
menyesakkan napas di dalam goa. Akan tetapi api yang besar itu benar-benar
membuat kulit serasa hampir terbakar.
Ketika
melihat kedatangan Kam Liong dan Lili, lima orang yang sedang bercakap-cakap
itu segera menunda percakapan mereka dan kini semua mata tertuju kepada dua
orang muda ini.
“Suhu,
sungguh menggembirakan dapat bertemu dengan Suhu di sini!” kata Kam Liong
setelah berlutut, kemudian ia berpaling kepada pamannya dan berkata, “Siok-hu,
apakah Siok-hu baik-baik saja?”
Kedua orang
tua itu girang melihat Kam Liong.
“Ah,
kebetulan sekali. Kau baru datang?” tanya suhu-nya. “Memang kami sedang bicara
tentang penyerbuan musuh. Kebetulan kau datang, karena sesungguhnya secara
resmi, kaulah yang bertanggung jawab menghadapi mereka.”
Sebaliknya,
pada saat Kam Wi melihat Lili yang masih muda dan cantik itu dapat pula
bertahan memasuki goa dan sama sekali tidak nampak kepanasan, diam-diam ia
merasa kagum sekali.
“Eh…
Liong-ji (Anak Liong), siapakah Nona yang gagah ini?”
“Dia adalah
Nona Sie Hong Li, puteri dari Sie Taihiap!”
“Kau
maksudkan Sie Taihiap Pendekar Bodoh?” tanya Kam Wi setengah tidak percaya.
Ketika Kam
Liong mengangguk membenarkan pertanyaan ini, tidak saja Kam Wi yang memandang
dengan penuh perhatian bahkan Tiong Kun Tojin dan ketiga orang lain itu
memandang dengan penuh perhatian. Terdengar seorang di antara ketiga kakek yang
duduk di situ mengeluarkan seruan heran dan berkata,
“Ah,
kebetulan sekali! Telah lama sekali kami merindukan untuk menyaksikan
kepandaian Pendekar Bodoh yang telah amat terkenal namanya. Hari ini bertemu
dengan puterinya, setidaknya kami akan dapat menilai sampai di mana tingkat
kepandaian Pendekar Bodoh yang terkenal itu!”
Mendengar
nama ayahnya disebut-sebut oleh suara orang yang agaknya sombong ini, Lili
segera mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian. Suhu dari Kam Liong
dan juga pamannya, memang patut menjadi orang gagah.
Wajah mereka
kereng dan tubuh mereka pun tinggi besar, terutama sekali pandang mata dua
orang tokoh Kun-lun-pai ini amat tajam dan memandang dengan jujur dan langsung.
Akan tetapi, tiga orang kakek lainnya yang duduk di situ betul-betul membuat
Lili hampir tertawa geli. Orang-orang macam ini pantas sekali kalau menjadi
sahabat Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, karena mereka ini pun mempunyai
bentuk tubuh yang aneh.
Yang bicara
tadi adalah seorang yang tubuhnya seperti anak-anak, kepalanya botak dan
jenggotnya sudah putih semua. Dia mengempit sebuah payung butut. Orang yang ke
dua bertubuh gemuk pendek dengan muka lebar dan mulut serta mata besar. Kepalanya
tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu
tersenyum lebar dan di pinggangnya terlilit rantai yang panjang dan besar.
Orang ke tiga bertubuh tinggi kecil dan kepalanya yang kecil tertutup kopyah.
Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri, ada pun jenggotnya yang hitam
berbentuk jenggot kambing. Ia memegang sebatang tongkat sederhana.
Lili sama
sekali tak pernah menduga bahwa tiga orang ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui
(Tiga Iblis Geledek dari Hailun) yang amat tersohor namanya. Seperti pernah
dituturkan di bagian depan, pada waktu mencarikan obat untuk putera pangeran,
Goat Lan pernah bertemu dengan tiga orang kakek itu. Juga pernah dituturkan
bahwa ketiga orang kakek ini setelah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa pertandingan
pibu melawan rombongan Pendekar Bodoh akan diadakan setahun lagi, yaitu pada
permulaan musim semi, lalu meninggalkan Ban Sai Cinjin untuk melanjutkan
perantauan mereka.
Sungguh pun
ketiga orang kakek ini memiliki kegemaran yang buruk, yaitu suka sekali
berkelahi dan mencoba ilmu kepandaian serta tidak mau kalah, namun mereka masih
tetap merupakan orang-orang gagah yang tak mau melakukan kejahatan. Bahkan
orang pertama, Thian-he Te-it Siansu yang bertubuh kate, dan Lak Mau Couwsu
yang pendek gemuk, mempunyai jiwa pahlawan.
Mereka
berdua ini merasa tak senang mendengar betapa bangsanya banyak yang diculik dan
dirampok oleh orang-orang Mongol dan Tartar. Orang ke tiga, yang bernama Bouw
Ki, sebetulnya adalah seorang keturunan Mongol, akan tetapi ketika mendengar
betapa kedua orang suheng-nya hendak membantu tentara kerajaan mengusir para
pengacau bangsa Tartar dan Mongol, dia segera menyatakan kesediaannya untuk
membantu pula!
Dahulu Bouw
Ki menjadi tokoh di negara Mongol. Akan tetapi semenjak Malangi Khan merebut
tahta kerajaan, dia melarikan diri dan mendendam kepada Malangi Khan yang sudah
banyak membunuh keluarganya.
Demikianlah,
ketika Hailun Thai-lek Sam-kui bertemu dengan Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, kedua
orang tokoh Kun-lun-pai ini, mereka segera mengadakan pertemuan di dalam goa
itu untuk merundingkan maksud mereka membantu gerakan tentara pemerintah yang
hendak mengusir bangsa Tartar dan Mongol. Inilah sebab mengapa Lili menjumpai
mereka di dalam goa.
Ketika
kelima orang tua itu mengadakan pertemuan di dalam goa, dengan jujur Kam Wi
menyatakan bahwa hawa sangat dingin. Mendengar ini, Thian-he Te-it Siansu
tertawa bergelak dan ia mengusulkan membuat api unggun di dalam goa. Ceng Tek
Hwesio dan Ceng To Tosu disuruh mengumpulkan kayu kering dan tidak lama
kemudian bernyala api unggun besar di dalam goa itu.
Karena
panasnya tak tertahankan lagi oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, maka kedua
orang ini lalu keluar dan kemudian disuruh oleh Tiong Kun Tojin untuk mencegat
perjalanan barisan dari kerajaan hingga kebetulan bertemu dengan Kam Liong.
Ada pun
kelima orang pandai itu, sesudah menyalakan api unggun, timbullah sifat Hailun
Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian orang. Mereka dengan sengaja menambah
bahan bakar sehingga kini api unggun itu diadakan tidak lagi untuk mengusir
hawa dingin, melainkan diadakan untuk menguji kepandaian masing-masing!
Tentu saja
kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang mengerti maksud tiga orang tamunya, tidak
mau menyerah kalah begitu saja dan seakan-akan tidak mengerti maksud mereka.
Kedua orang ini bahkan mengajak Hailun Thai-lek Sam-kui bercakap-cakap sampai
Kam Liong dan Lili datang.
Lili yang
merasa mendongkol juga ketika mendengar ucapan Thian-he Te-it Siansu yang menyinggung
nama ayahnya, lalu berkata,
“Siapakah
gerangan Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah) yang telah mengenal nama
ayahku?”
Ketiga orang
aneh itu tidak menjawab, melainkan hanya tertawa-tawa saja dan Bouw Ki sekarang
menambah lagi kayu bakar pada api unggun itu sehingga kini makin besarlah
nyalanya dan makin panas hawanya.
Tiong Kun
Tojin merasa tak enak melihat sikap tiga orang kakek itu, karena menghadapi
puteri Pendekar Bodoh ia tak berani memandang rendah, maka ia lalu
memperkenalkan,
“Kam Liong,
dan kau juga Nona Sie. Ketahuilah bahwa tiga orang tua ini adalah Hailun
Thai-lek Sam-kui yang sangat terkenal. Mereka datang untuk membantu kita
mengusir pengacau di perbatasan.”
Kam Liong
terkejut dan menjura dengan hormat kepada tiga orang kakek itu, akan tetapi
Lili tiba-tiba tertawa mengejek.
“Ahh, tidak
tahunya aku berhadapan dengan tiga orang kakek gagah perkasa, demikian gagah
perkasanya sehingga suka mengeroyok seorang gadis yang bernama Goat Lan!”
Tiong Kun
Tojin dan Kam Wi, juga Kam Liong menjadi tertegun mendengar ucapan ini, dan
mereka merasa khawatir sekali melihat gadis itu berani mengejek tiga orang
kakek itu. Akan tetapi, Hailun Thai-lek Sam-kui memang memiliki watak yang
aneh, mereka ini tidak pernah marah, dan hanya satu kesukaannya, yaitu
berkelahi mencari kemenangan! Kini mendengar ejekan Lili, mereka sama sekali
tidak marah. Lak Mau Couwsu berkata sambil memperlebar senyumnya,
“Ah, murid
Sin Kong Tianglo itu telah menceritakan tentang perjumpaannya dengan kami
bertiga? Bagus, katakan kepadanya bahwa lain kali dia tak akan kami lepaskan
sebelum mengaku kalah. Ha-ha-ha!”
Tiong Kun
Tojin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang dikenal berwatak keras, jujur dan
suka berterus terang. Melihat betapa di antara ketiga orang kakek itu dan Lili
terdapat pertentangan, dia lalu berkata terus terang,
“Dalam waktu
seperti ini, di mana negara dan bangsa sedang terancam oleh musuh dari luar,
sungguh sangat disesalkan kalau di antara kita saling cakar-cakaran! Lebih baik
kita melupakan untuk sementara waktu urusan lama yang terjadi di antara kita,
dan mari kita mempersatukan tenaga untuk menolong negara! Ada pun tentang
pengujian kepandaian, dapat dilakukan di sini tanpa membahayakan nyawa! Biarlah
kutambah lagi api ini untuk melihat siapa yang paling kuat di antara kita.”
Sambil
berkata demikian, tokoh Kun-lun-pai ini lalu menambahkan kayu bakar lagi pada
api unggun yang sudah sangat besar itu. Kam Liong hampir tak dapat menahannya
lagi. Peluhnya telah mulai keluar membasahi jidatnya. Pada waktu ia mengerling
ke arah Lili, ternyata bahwa gadis ini masih tersenyum-senyum seakan-akan tak
merasa panas sama sekali!
“Kam Liong,
kau keluarlah. Kau tak usah ikut serta dalam ujian ini!” kata suhu-nya untuk
menolong muridnya ini, karena dia maklum bahwa kepandaian Kam Liong masih belum
cukup matang untuk dapat menahan panas yang demikian hebatnya.
Kam Liong
lalu menjura dan setelah mengerling sekali kepada Lili, ia lalu keluar dari
situ, disambut oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.
“Aduh,
kukira kau tak akan keluar, Kam-ciangkun. Kalau aku yang berada di dalam, bisa
kering seluruh tubuhku!” kata hwesio gemuk itu.
“Ehh, apakah
Nona Sie masih bertahan di dalam?” tanya Ceng To Tosu heran.
Kam Liong
mengangguk. Ia belum berani mengeluarkan suara, karena pergantian hawa dari
dalam yang panas menjadi dingin sekali di luar, membutuhkan pengerahan tenaga
lweekang untuk mengatur aliran darahnya.
Ada pun Lili
yang menghadapi kelima orang itu, sambil tersenyum-senyum memandang kepada
mereka. Dilihatnya betapa muka kelima orang itu merah sekali tersorot oleh api
unggun dan betapa mereka mempertahankan dengan sinkang mereka yang tinggi,
tetap saja nampak betapa mereka itu telah mulai terserang rasa panas yang luar
biasa ini.
Lili sendiri
juga merasakan serangan hawa panas itu, akan tetapi dia bukanlah puteri
Pendekat Bodoh dan cucu murid Bu Pun Su kalau harus kalah sedemikian mudahnya.
Ia sudah mempelajari latihan sinkang yang luar biasa dari ayahnya, yaitu
latihan sinkang pokok yang dahulu diajarkan oleh Bu Pun Su kepada ayahnya.
Pengerahan sinkang-nya membuat tubuhnya sebentar-sebentar terasa dingin sekali,
maka dia berseru,
“Aduh
dinginnya...”
Thian-he
Te-it Siansu memandangnya dengan kagum dan heran, lalu menganggukkan kepalanya
dan berkata, “Memang dingin sekali! Biar kutambah lagi kayu bakarnya!” Kakek
botak yang kecil ini lalu menambah kayu bakar lagi sehingga api berkobar
semakin tinggi dan hawa panas makin menghebat!
Melihat hal
ini, diam-diam Lili terkejut sekali. Sinkang dari lima orang tua ini
benar-benar hebat sekali, dan karena ia kalah latihan, kalau dilanjutkan
akhirnya ia sendiri yang akan mundur dan mengaku kalah. Akan tetapi, Lili
adalah puteri Pendekar Bodoh dan ibunya terkenal amat cerdik. Gadis ini pun
mempunyai kecerdikan, ketabahan, dan ketenangan yang luar biasa sekali.
Dia lalu
berpikir dan mengingat-ingat dongeng yang dulu sering ia dengar dari kakeknya,
yaitu Yousuf. Sesudah mengingat sebuah dongeng tentang padang pasir, dia
kemudian tersenyum, menghafalkan sajak tentang Abdullah yang terserang panas di
padang pasir. Setelah hafal betul di luar kepala, gadis ini lalu
tersenyum-senyum girang. Dia lalu berdiri dan mengumpulkan semua kayu bakar,
dan dilemparkannya kayu bakar itu ke dalam api unggun. Api kini menyala hebat
sekali sampai menyundul pada langit-langit goa!
Lima orang
tua itu kaget sekali dan cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, karena kini
hawa panas luar biasa hebatnya. Lili sendiri lalu duduk bersila, mengatur napas
dan duduk bagaikan orang bersemedhi, seluruh perasaannya melupakan adanya api
unggun, bahkan kini membayangkan keadaan di luar goa yang tertutup salju dan
dingin sekali.
Sesudah hawa
panas sedikit mereda, tiba-tiba gadis ini lalu menyanyikan sajak yang tadi
dihafalnya di luar kepala. Dia bernyanyi tanpa mempergunakan perasaannya
sehingga ia tidak terpengaruh oleh nyanyiannya sendiri.
Lima orang
tua itu mendengar suara yang merdu dan indah, tak dapat bertahan lagi lalu
memperhatikan kata-kata nyanyian itu. Memang Lili mempunyai suara yang amat
merdu, dan terdengarlah dia bernyanyi keras,
Abdullah
kelana sengsara.
Haus, lapar,
lelah tak berdaya.
Tersesat di
gurun pasir tandus.
Matahari
membakar, panas... haus!
Tak
tertahankan panasnya, serasa dibakar.
Mata silau,
terasa pedas, perih, nanar.
Kulit
mengering.
Kepala
pening...
Aduh
panasnya, panas tak tertahankan...!
Dahulu
ketika Yousuf menyanyikan sajak ini ketika mendongengkannya tentang Abdullah si
musafir kelana, Lili sering kali merasa ikut kepanasan dan seolah-olah dia
merasakan betapa sengsaranya berada di padang pasir yang kering itu. Kini dia
bernyanyi dengan suaranya yang merdu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh
lima orang tua itu. Dan akibatnya sungguh hebat!
Ketika dia
bernyanyi sampai di bagian ‘mata silau, terasa pedas, perih, nanar’, terdengar
keluhan Kam Wi yang tidak kuat lagi membuka matanya, seakan-akan api unggun
yang bernyala itu berubah menjadi matahari yang luar biasa panas dan
menyilaukan matanya. Kepalanya menjadi pening dan betapa pun ditahan-tahannya,
ia tidak kuat lagi sehingga untuk berjalan keluar saja dia tidak kuat lagi.
Suheng-nya,
Tiong Kun Tojin, yang melihat keadaan sute-nya ini, segera menggerakkan kaki
kanannya mendorong tubuh sute-nya itu yang lalu terpental dan bergulingan
keluar sampai di pintu goa. Setelah mendapatkan hawa segar dari luar, barulah
Kam Wi dapat mengerahkan tenaga dan melompat keluar dengan terengah-engah!
Tiong Kun
Tojin menolong sute-nya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, sebab dia
sendiri juga sudah hampir tidak kuat, apa lagi ketika Lili mengulang
nyanyiannya dan menambahkan semua sisa kayu bakar pada api unggun itu!
Juga Hailun
Thai-lek Sam-kui dengan susah payah berusaha untuk menahan serangan hawa panas
yang luar biasa dan yang sekarang menjadi berlipat ganda hebatnya setelah
mereka mendengarkan nyanyian Lili.
“Tutup
mulut...! Jangan menyanyi...!” Thian-he Te-it Siansu membentak.
Akan tetapi
bentakannya ini membuat dia semakin lemah dan pertahanannya tidak dapat melawan
pengaruh panas yang mendesak. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar
dari situ dan langsung diikuti oleh kedua orang sute-nya. Sesampai di luar,
mereka terengah-engah dan cepat-cepat duduk bersemedhi untuk mengatur napas.
Tiong Kun
Tojin berusaha mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh
Kun-lun-pai yang sudah ternama, dia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam
hal menghadapi api unggun oleh gadis yang cerdik dan banyak akal ini. Akan
tetapi gema nyanyian Lili betul-betul membuat dia bohwat (kehabisan akal) dan
terpaksa ia lalu berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang
ternyata sekarang bernyanyi sambil duduk bersemedhi meramkan matanya itu.
Lili memang
sedang memusatkan tenaganya dan biar pun mulutnya bernyanyi, tetapi dia
bernyanyi tanpa menggunakan perasaan atau pikiran. Tahulah Tiong Kun Tojin akan
akal bulus gadis ini dan diam-diam ia menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat
berdiam di situ lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar dari
goa.
Berbeda
dengan yang lain-lain, dia keluar dengan tenang dan sambil berjalan. Dia sudah
mengatur napasnya sehingga ketika tiba di luar goa, keadaannya tidak apa-apa,
hanya mukanya saja telah penuh dengan peluh!
Baru saja
tiba di luar, berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja
mukanya, tanpa peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis
ini sehingga semua orang memandangnya dengan penuh kekaguman.
“Ahh, tidak
mengecewakan kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan
setulus hati.
Juga
Sin-houw-enghiong Kam Wi yang berwatak kasar dan jujur lantas berkata kepada
Kam Liong,
“Liong-ji,
apa bila kau dapat berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh
ayahmu akan tersenyum bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan
pinangan!”
Kam Liong
menjadi kaget sekali dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu.
Diam-diam dia mengerling ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan
merah akibat panasnya api, akan tetapi merah sampai ke telinga-telinganya
saking malu, jengah dan marahnya.
Dia
memandang dengan mata bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk
memaki. Akan tetapi Kam Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam
lalu berkata,
“Nona Sie,
mohon maaf sebanyaknya apa bila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah,
Siok-hu (Paman) tidak bermaksud buruk dan dia sama sekali bukan hendak
menghinamu. Harap kau sudi memaafkannya.”
Mendengar
ucapan dan melihat sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau terus
melanjutkan kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan
tetapi tetap saja dia mengomel,
“Agaknya
orang di sini tidak tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa
mempedulikan orang lain seolah-olah dia yang lebih tinggi dan lebih pintar.
Kam-ciangkun, marilah kita melanjutkan perjalanan, aku hendak mencari
keluargaku. Untuk apa kita lama-lama di sini? Kalau kau masih hendak lama
berdiam di tempat ini, terpaksa aku akan pergi lebih dulu!”
Kam Liong
menjadi serba salah dan memandang kepada suhu serta pamannya. Akan tetapi
sebelum tiga orang ini dapat mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu,
orang pertama dari Thai-lek Sam-kui itu, berkata sambil tertawa,
“Nona Sie,
kau telah mengakali kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum
puas karena belum melihat kepandaianmu yang sebenarnya. Marilah kau melayani
kami sebentar, hendak kulihat apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal
bulusmu!” Sambil berkata demikian, kakek kate ini menggerak-gerakkan payungnya.
Pada waktu
itu Lili sedang merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini
mendengar orang menantangnya, ia menjawab marah,
“Kalian ini
tiga orang iblis tua ternyata jahat dan sombong. Kalian kira aku takut kepada
kalian? Di dalam waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu
perjuangan dan mengusir para pengacau, akan tetapi siapa tahu bahwa ternyata
kalian hanya hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang kalian jumpai.
Kalian hendak mengajak berkelahi? Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut
sedikit pun!”
Sambil
berkata begitu sekali ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam
sudah berada di tangan kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Dia
berdiri dengan sikap gagah sekali, mukanya merah matanya menyala.
Melihat
sikap ini, Tiong Kun Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun
Thai-ek Sam-kui,
“Sam-wi
sungguh tidak dapat membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda
seperti Nona Sie, seharusnya jangan disamakan dengan pembicaraan terhadap
seorang yang telah masak oleh api pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling
kepada Lili dan berkata,
“Nona Sie,
sesungguhnya memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji
kepandaian tiap orang yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka.
Kalau yang dijumpainya itu adalah seorang yang mereka anggap tidak cukup
sempurna kepandaiannya dan tidak cukup berharga, walau dipaksa-paksa sekali pun
jangan harap akan dapat membuat mereka turun tangan mengajak bertanding!
Tantangannya ini ialah suatu cara penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena
itu, harap kau jangan marah dan lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan
saja, yaitu hanya merupakan pibu (pertandingan kepandaian) biasa untuk
menentukan siapa yang tingkatnya lebih unggul!”
Lili
tersenyum menyindir saat menjawab, “Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak,
sungguh pun harus aku akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua
ini termasuk tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan sudah mencapai tingkat
tinggi. Akan tetapi mengapa hanya untuk menghadapi aku seorang saja mereka
bertiga hendak maju berbareng? Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah
kalau hal ini hanya sebuah pibu biasa maka nama mereka akan merosot turun?”
Bouw Ki
orang ke tiga dari Thailek Sam-kui tertawa bergelak.
“Nona Sie,
kami bertiga disebut Tiga Setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak
mempedulikan nama dan juga telah menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama,
hidup bertiga mati bertiga! Nona, bila mana seorang di antara kami menang, kami
tidak dapat memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah, harus kami pikul
bertiga. Ha-ha-ha!”
Lili adalah
seorang gadis yang keras hati, mendengar omongan ini dia menjadi semakin marah.
“Majulah,
majulah! Siapa takut padamu?”
Thian-he
Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara
aneh dan payungnya menyambar ke arah pinggang Lili.
“Anak
Pendekar Bodoh, awaslah!” serunya.
Lili melihat
bahwa biar pun payung itu merupakan benda sederhana saja, namun dia tahu bahwa
itu adalah sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili
sebuah tongkat, juga setiap jari-jari payung itu merupakan tongkat-tongkat
kecil yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia tidak berlaku
ayal lagi dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar
suara keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang
angin pukulan yang aneh, Thian-he Te-it Siansu menjadi kagum sekali.
Begitu
pukulan pertama dari payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili,
lalu menyusullah serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya
dan Lak Mou Couwsu yang mainkan rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah
terkurung oleh tiga orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.
Akan tetapi,
gadis yang berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung
rambut pun, bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui San-hoat
peninggalan dari Swi Kiat Siansu dan memperhebat pula serangan pedang di tangan
kanannya yang memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan ayahnya.
Ketika
Thian-he Te-it Siansu menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung
Lili, gadis ini lalu berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula,
dikebutkan ke arah payung sedangkan pedangnya tidak tinggal diam, melainkan
menahan datangnya rantai dan tongkat!
“Nanti
dulu!” seru Thian-te Te-it Siansu pada saat merasa betapa kebutan kipas itu
telah menolak hawa pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu
kipas maut San-sui San-hoat dari Swi Kiat Siansu?”
Lili tidak
mau menahan senjatanya dan sambil menyerang terus dia berseru, “Kalau betul kau
mau apa?”
“Ha-ha-ha!
Katanya kau puteri Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut
dari Swi Kiat Siansu? Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he
Te-it Siansu yang paling pandai bicara di antara kedua mengejek Lili.
Memang
sesungguhnya, Thian-he Tiat Siansu agak jeri menghadapi ilmu kipas maut dari
Swi Kiat Siansu, karena ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang
mainkan ilmu silat ini. Ketiga orang Iblis Geledek dari Hailun ini memang
pernah mengadu kepandaian dengan Swi Kiat Siansu dan biar pun tokoh terbesar
dari utara ini hanya mainkan sebuah kipas butut, namun ketiga orang iblis ini
terpaksa mengakui keunggulan Swi Kiat Siansu!
Kini melihat
bahwa gadis muda ini pandai pula memainkan ilmu Kipas San-sui San-hoat, di
samping jeri terhadap ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa
jeri apa bila menghadapi nama kakek jagoan dari utara itu. Maka dia sengaja
mengejek Lili agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya dari Pendekar
Bodoh.
Lili adalah
seorang gadis muda yang betapa pun cerdik dan tabahnya, akan tetapi masih
kurang pengalaman. Dalam sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan
segala kepandaian yang pernah dia pelajari, karena namanya juga pibu (mengadu
kepandaian). Kalau dia menyimpan dan tidak mempergunakan sesuatu kepandaiannya,
kalah menang justru tak dapat dipergunakan sebagai ukuran. Mendengar ejekan
Thian-he Te-it Siansu itu, dia menjadi marah sekali.
“Tua bangka,
kau kira aku hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk
mengalahkan orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang beserta tangan
kiriku saja.” Sambil berkata demikian, Lili cepat menyelipkan kipas mautnya di
pinggang, kemudian ia menyerang lagi sambil memutar pedang Liong-coan-kiam
sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata.
“Bagus
sekali. Aku tidak pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi ilmu
ini betul-betul hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.
Memang Ilmu
Pedang Liong-cu Kiam-sut merupakan ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu
sebagian dari Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang
ada orang yang pernah menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang
yang baru dapat dimainkan oleh orang yang telah memiliki kepandaian pokok
segala ilmu silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah dimiliki
oleh Pendekar Bodoh.
Meski pun
Lili sudah dilatih oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis
ini belum sanggup menangkap pelajaran mengenal pokok dan dasar ilmu silat
seperti yang dimiliki ayahnya, maka sukarlah baginya untuk mempelajari Ilmu
Pedang Daun Bambu. Dan sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu menciptakan Ilmu
Pedang Liong-cu Kiam-sut untuk puterinya.
Ilmu Pedang
Liong-cu Kiam-sut ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang
dikatakan oleh Lak Mou Couwsu yang jujur. Apa bila sekiranya yang menghadapi
ilmu pedang ini hanya seorang di antara Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu
mereka akan kuat menahan. Gerakan pedang ini sama sekali tidak pernah terduga
dan pergerakannya amat wajar, tetapi tepat dan sesuai dengan gerakan lawan.
Ilmu pedang
ini menjadi ‘hidup’ apa bila digunakan menghadapi serangan lawan, karena sambil
menangkis, pedang Liong-coan-kiam itu akan terus bergerak dan secara otomatis
menyerang bagian yang paling lemah dari lawan yang masih berada dalam kedudukan
menyerang itu.
Pernah
dituturkan di dalam cerita Pendekar Bodoh betapa pendekar ini menciptakan Ilmu
Pedang Daun Bambu dengan menjadikan daun-daun bambu yang bergerak-gerak tertiup
angin sebagai ‘lawan-lawan’ yang ratusan jumlahnya. Apa bila daun-daun bambu
itu tak bergerak tertiup angin, agaknya Sie Cin Hai si Pendekar Bodoh juga
tidak akan berhasil menciptakan ilmu pedang yang lihai ini. Akan tetapi dengan
ratusan daun bambu yang bergerak-gerak, maka gerakan pedangnya menjadi ‘hidup’
sehingga sungguh pun batang bambu terlindung oleh ratusan daunnya yang
bergerak-gerak, namun tetap saja ujung pedangnya dapat melukai batang-batang
bambu tanpa melanggar sehelai pun daun!
Tentu saja
dalam hal ilmu pedang, Lili masih jauh di bawah kepandaian ayahnya. Selain
belum matang betul, juga pengertiannya mengenai pokok dasar gerakan masih belum
sepandai ayahnya. Ditambah pula sekarang dia menghadapi keroyokan tiga tokoh
besar di dunia kang-ouw yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu
silat mereka yang aneh pula, maka sesudah bertempur puluhan jurus, Lili mulai
terkurung rapat dan terdesak.
Sementara
itu, tidak saja Tiong Kun Tojin dan Kam Wi memandang dengan amat kagum
menyaksikan ilmu kepandaian Lill, akan tetapi terutama sekali Kam Liong menjadi
sangat terkejut. Sedikit pun tidak pernah disangkanya bahwa gadis ini memiliki
kepandaian yang sedemikian hebatnya sehingga mampu menghadapi keroyokan Hailun
Thai-lek Sam-kui! Akan tetapi dia merasa bukan main cemasnya pada saat melihat
betapa gulungan sinar pedang gadis itu semakin menjadi kecil karena terdesak
oleh tiga senjata istimewa yang dimainkan oleh tiga iblis tua itu.
“Liong-ji,”
tiba-tiba saja Kam Wi berkata dengan penuh kekaguman, “Nona ini betul-betul
patut menjadi isterimu! Aku akan melamarnya untukmu kepada Pendekar Bodoh!”
Ucapan ini
dikeluarkan dengan keras sehingga terdengar pula oleh Lili yang menggigit
bibirnya dengan muka makin merah. Akan tetapi dia tidak sempat untuk melayani
orang kasar yang jujur ini.
“Memang
mengagumkan sekali,” Tiong Kun Tojin berkata, “pinto sendiri pun sepenuhnya
setuju kalau Kam Liong dapat berjodoh dengan Nona Sie yang gagah perkasa ini.”
Akan tetapi ucapan tosu ini hanya perlahan dan terdengar oleh Kam Liong dan Kam
Wi saja. Tentu saja Kam Liong merasa amat gembira mendengar ucapan dua orang
ini.
“Sungguh pun
teecu merasa setuju sekali akan tetapi orang seperti teecu mana berharga untuk
menjadi jodohnya?” kata pemuda ini dengan hati berdebar.
Ucapan
terakhir dari pemuda ini terdengar oleh Lili maka ia menjadi makin tak enak
hati. Dia ingin sekali mengalahkan ketiga orang lawannya dan segera pergi dari
mereka yang membuatnya amat jengah dan malu, akan tetapi bagaimana ia dapat
lolos dari kepungan tiga orang lawan yang hebat ini?
Dia telah
mendengar penuturan Goat Lan betapa gadis kosen itu pun kalah menghadapi
keroyokan Thai-lek Sam-kui, maka teringatlah dia akan cerita Goat Lan bahwa
tiga iblis tua ini tak bermaksud mencelakakan lawannya dan hanya bertempur
mati-matian karena haus akan kemenangan belaka!
Mereka tidak
akan melukaiku, pikir Lili, dan gadis ini memutar otaknya yang cerdik. Kalau
aku tidak menggunakan senjata, mereka tentu takkan mendesak hebat dalam
kekuatiran mereka melukaiku dan apa bila mereka memperlambat gerakan, maka
dengan ilmu silat Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) apakah aku takkan
dapat merampas senjata mereka? Setelah berpikir demikian gadis ini kemudian
menyimpan pedangnya dan kini ia bersilat dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na,
ilmu silat tangan kosong ciptaan Bu Pun Su kakek gurunya yang khusus untuk
menghadapi lawan bersenjata!
Tubuh gadis
yang lincah ini menjadi makin ringan dan dia lalu melompat ke sana ke mari
bagai burung merak indah yang menyambar-nyambar di antara sambaran senjata
lawan sambil mencari kesempatan untuk mengulur tangan dan mencengkeram senjata
lawan untuk dirampasnya.
“Aduh,
hebat! Inilah agaknya Kong-ciak Sin-na dari Bu Pun Su yang lihai!” Thian-he
Te-it Siansu berseru. “Dia mau merampas senjata, lekas kita menghadapinya
dengan tangan kosong pula!”
Ternyata
kakek kate ini cerdik sekali dan ia telah tahu akan maksud gadis itu. Lili
menjadi semakin gelisah dan gemas. Karena sekarang ketiga orang lawannya
bertangan kosong dan mereka ternyata adalah ahli-ahli lweekeh yang tenaganya
hebat, harapannya untuk dapat lolos menjadi tipis sekali. Di dalam
kemarahannya, Lili kemudian merubah gerakan tubuhnya dan kini dua lengannya
mengebulkan uap putih dan hawa pukulan yang hebat keluar dari lengan yang
berkulit putih halus itu!
“Hebat
sekali, inilah Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su!” teriak Thian-te Te-it Siansu
dengan gembira.
Dia sudah
mencabut payungnya lagi yang segera dikembangkan untuk menangkis hawa pukulan
yang luar biasa dari Lili. Juga kedua orang adiknya lalu mengeluarkan senjata
masing-masing karena dengan bertangan kosong, mereka tidak akan berani
menghadapi Pek-in Hoat-sut yang lihai.
Bukan main
gemasnya hati Lili. Dia berseru nyaring, “Baiklah, aku akan mengadu jiwa dengan
kalian!”
Dan sekejap
mata kemudian, kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangannya. Inilah
keputusan terakhir yang berarti bahwa gadis ini bukan hendak pibu lagi,
melainkan hendak bertempur mati-matian dengan maksud membunuh!
Akan tetapi,
ketiga orang iblis tua itu tidak takut sama sekali, bahkan terdengar mereka
tertawa-tawa mengejek sambil mengurung Lili. Memang mereka bertiga tentu saja
lebih kuat dari pada Lili, dan betapa pun gadis ini mainkan kipas dan
pedangnya, tetap saja ia terkurung dan tak dapat lolos!
Tiba-tiba
saja berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu tanpa dapat dicegah
lagi oleh Tiong Kun Tojin mau pun Kam Wi, Kam Liong telah meloncat masuk ke
dalam gelanggang pertempuran dengan pedang di tangan.
“Sam-wi
Totiang, harap suka melepaskan Nona Sie!” Panglima Muda ini berteriak sambil
memutar pedangnya, membantu Lili menangkis serangan lawan.
Thai-lek
Sam-kui lalu menunda serangannya, “Ha-ha-ha, Kam-ciangkun, tentu saja kami akan
menghentikan serangan kalau Nona Sie suka mengaku bahwa kepandaian Hailun
Thai-lek Sam-kui masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”
“Jangan
ngacau!” bentak Lili. “Biar pun ada sepuluh orang seperti kalian, ayahku takkan
kalah!” Dengan gemas sekali, gadis ini lalu menyerang lagi dan disambut oleh
Thai-lek Sam-kui sambil tertawa-tawa.
“Sam-wi
Totiang, jangan serang dia!” Kam Liong kembali mencegah.
“Kam-ciangkun,
kau sayang kepada Nona ini? Boleh kau bantu padanya agar permainan ini lebih
gembira. Ha-ha-ha!” Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak.
Demikianiah,
pertempuran kini menjadi lebih ramai lagi dengan adanya Kam Liong yang membantu
Lili. Lili menjadi makin gemas. Bantuan dari Kam Liong tidak menyenangkan
hatinya, karena hal itu dianggap merendahkannya. Akan tetapi apa pula yang
dapat dia lakukan? Betapa pun juga, harus ia akui bahwa seorang diri saja tak
mungkin ia akan dapat lolos dan kini bantuan Kam Liong, biar pun tak dapat
mendatangkan kemenangan baginya namun dapat membuat ia agak bernapas lega,
tidak repot seperti tadi.
Melihat betapa
pertempuran itu, terutama dari pihak Lili, dilakukan dengan mati-matian dan
sungguh-sungguh, timbul hati khawatir pada Tiong Kun Tojin dan Kam Wi. Keduanya
saling memberi tanda dengan mata dan sekali mereka menggerakkan tubuh, mereka
pun telah melompat ke dalam gelanggang pertempuran.
“Sam-wi
Beng-yu, harap suka mengalah dan mundur!” Tiong Kun Tojin berkata sambil
menggerakkan tangannya ke arah payung yang dipegang oleh Thian-he Te-it Siansu.
Si Kakek Kate ini merasa betapa angin pukulan yang amat hebat keluar dari
tangan tokoh Kun-lun-pai itu, maka cepat dia menarik kembali payungnya dan
melompat mundur.
Juga Kam Wi
sebagai tokoh Kun-lunpai ke dua, lalu memperlihatkan kepandaiannya. Dia hanya
mengebutkan kedua ujung lengan bajunya, akan tetapi kedua ujung baju itu sudah
cukup untuk menggempur tongkat dan rantai di tangan Bouw Ki dan Lak Mou Couwsu
sehingga senjata mereka terpental ke belakang!
Hailun
Thai-lek Sam-kui melompat mundur dan Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak.
“Nona Sie, sekarang sudah sepantasnya kalau kau mengakui bahwa kepandaian
Hailun Thai-lek Sam-kui masih lebih unggul dari pada kepandaian Pendekar
Bodoh!”
“Manusia
sombong, kalau sewaktu-waktu kalian mendapat kehormatan bertemu dengan ayah,
kalian ini seorang demi seorang tentu akan mendapat tamparan agar melenyapkan
kesombonganmu!” Setelah berkata demikian, Lili lalu mengangguk kepada Kam Liong
dan berkata,
“Kam-ciangkun,
maafkan, aku tidak dapat berdiam di sini lebih lama lagi!” Dia kemudian
melompat jauh dan tidak pedulikan lagi seruan Kam Liong yang hendak menahannya.
Tiong Kun
Tojin menarik napas. “Seorang gadis yang gagah. Aku setuju usul Sute untuk
menjodohkannya dengan Kam Liong.”
Kam Wi
menegur Thai-lek Sam-kui mengapa mereka ini sebagai orang-orang tua masih suka
mengganggu seorang gadis muda seperti itu. Ada pun Kam Liong, betapa pun
mendongkolnya terhadap Thai-lek Sam-kui, namun ia tidak berani menegur. Mereka
lalu masuk kembali ke dalam goa yang kini telah padam api unggunnya, lalu
merundingkan cara untuk mencegah penyerbuan tentara musuh, yaitu bala tentara
Mongol dan Tartar.
“Pinto
mendengar berita bahwa pasukan Mongol dibantu oleh orang-orang pandai dari
pedalaman, entah siapa-siapa orangnya. Oleh karena inilah maka pinto dan
Siok-hu-mu sengaja mengumpulkan teman-teman untuk menghadapi
pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tak tahu malu itu,” kata Tiong Kun Tojin
kepada muridnya. “Baiknya kau pimpin dulu pasukanmu untuk menjaga garis depan
di sepanjang tembok besar, pinto akan menanti dahulu di sini sampai kawan-kawan
kita tiba di sini, baru kami akan menyusul ke garis depan.”
Setelah
berunding, Kam Liong lalu kembali ke tempat di mana pasukannya berhenti dan
kemudian memimpin pasukannya maju terus ke utara. Di dalam hatinya ia merasa
amat menyesal dan kecewa sekali karena Lili telah meninggalkannya sehingga
diam-diam dia menyumpahi Hailun Thai-lek Sam-kui yang telah menyebabkan gadis
itu menjadi marah-marah dan pergi.
Akan tetapi
secara diam-diam dia juga merasa girang dan bersyukur sekali karena suhu dan
siok-hu-nya sudah berjanji hendak meminang Lili untuknya kepada Pendekar Bodoh!
Maklum bahwa gadis itu pasti akan pergi ke Gunung Alkata-san dimana Hong Beng
dan Goat Lan berada, maka dia pun tidak merasa khawatir. Dia lalu mempercepat
perjalanan pasukannya ke Gunung Alkata-san.
Mari kita
sekarang mengikuti perjalanan Lie Siong putera Ang I Niocu, pemuda remaja yang
gagah perkasa dan berwatak sukar dan aneh itu. Sebagaimana telah diketahui, Lie
Siong berhasil menotok Lo Sian hingga tidak berdaya dan membawa Pengemis Sakti
itu. Ia menculik Lo Sian bukan karena ia benci kepada pengemis ini, akan tetapi
sebenarnya karena dia ingin sekali mengetahui keadaan ayahnya, yakni pendekar besar
Lie Kong Sian.
Setelah
membawa Lo Sian jauh dari Shaning malam hari itu, Lie Siong lalu menurunkan Lo
Sian dari pondongannya dan meletakkannya di atas rumput. Dia tidak membebaskan
Lo Sian dari totokan, sebaliknya bahkan lalu merebahkan diri di bawah pohon dan
tidur. Pemuda ini telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah bangun dan ketika melihat ke arah
Lo Sian, dia melihat pengemis tua itu masih berbaring tanpa dapat bergerak.
Timbullah rasa kasihan dalam hatinya, maka dia lalu menghampiri Lo Sian dan
melepaskan totokannya. Beberapa kali urutan dan tepukan pada tubuh pengemis
itu, terbebaslah Lo Sian. Akan tetapi oleh karena selama setengah malam Lo Sian
berada dalam keadaan tertotok, dia masih merasa lemas dan hanya dapat bangun
duduk dengan payah sekali.
Pengemis ini
segera meramkan mata bersemedhi untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan mengatur
napasnya agar supaya jalan darahnya bisa normal kembali. Lie Siong lalu
menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan pengemis itu dan membantunya
dengan menyalurkan hawa dan tenaga dalamnya hingga sebentar saja Lo Sian merasa
tubuhnya hangat dan kuat.
Diam-diam Lo
Sian merasa heran melihat pemuda ini. Baru saja menotok, menculik dan menyiksanya
dengan membiarkannya dalam keadaan tertotok sampai setengah malam, akan tetapi
sekarang bahkan membantunya melancarkan jalan darahnya sehingga cepat menjadi
baik kembali. Sungguh pemuda yang aneh sekali!
Ia membuka
matanya dan menggerakkan tangannya. Lie Siong lalu menjauhkan diri dan duduk
menghadapi pengemis itu.
“Anak muda,
apa maksudmu menculik kemudian membawaku ke tempat ini?” kata-kata pertama yang
keluar dari mulut Lo Sian ini terdengar tenang sekali.
Pandangan
mata pengemis ini yang begitu tenang dan mengandung tenaga batin yang tinggi,
membuat Lie Siong tiba-tiba merasa malu kepada diri sendiri sehingga mukanya
menjadi kemerah-merahan. Pandang mata ini mengingatkan dia pada ayahnya.
Seperti itulah pandang mata ayahnya, kalau dia tak salah ingat.
“Maaf,
Lopek. Sebenarnya aku tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan
sungguh tidak ada alasan sama sekali bagiku untuk menyusahkan kau orang tua.
Akan tetapi ucapanmu yang kudengar di rumah Thian Kek Hwesio di kuil
Siauw-lim-si di Ki-ciu dahulu itu selalu tidak pernah dapat terlupakan olehku.
Ketahuilah, terus terang saja aku adalah putera tunggal dari Lie Kong Sian, Ang
I Niocu adalah ibuku, dan namaku Lie Siong. Cukup sekian keterangan mengenai
diriku. Sekarang yang paling penting, apakah maksud kata-katamu dahulu itu yang
menyatakan bahwa ayahku telah meninggal dunia? Ketahuilah bahwa aku sedang
mencari ayahku dan di Pulau Pek-le-to aku tidak dapat menemukannya. Karena kau
mengenal ayahku, maka aku ingin agar kau menceritakan apa maksud kata-katamu
tentang kematian ayah itu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu memandang
tajam.
Lo Sian
merasa ngeri melihat mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat
tajam, seakan-akan hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah
mata Ang I Niocu, Pendekar Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan
dunia persilatan.
“Sayang
sekali, orang muda. Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku
sendiri pun tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”
“Lopek,
harap kau orang tua jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan
tetapi sekarang kau menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”
“Aku bicara
sebenarnya, anak muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga
membohong kepadamu. Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu
apa yang telah terjadi dahulu. Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat
Thian Kek Hwesio sampai sekarang. Sebelum itu, yang teringat olehku hanya bahwa
ayahmu telah meninggal dunia.”
“Di mana
matinya dan bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.
Lo Sian
menarik napas panjang. “Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan
kukerjakan pertama-tama kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang
ayahmu itu. Akan tetapi apa daya, pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku
untuk hidup hampir musnah karena aku telah berusaha mengingat-ingat tanpa hasil
sedikit pun juga. Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”
Lo Sian lalu
menceritakan semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di
tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula
semua pengalamannya yang didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia
dulu menolong Lili.
“Ahh, sampai
sekarang aku tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku
disembuhkan oleh Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di
depan mataku, yaitu ayahmu yang telah meninggal dan ucapan pemakan jantung yang
selama ini membuatku tak dapat tidur.”
Lie Siong
mengerutkan alisnya. Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja
sembuh dari sakit gila?
“Betapa pun
juga, anak muda. Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam
keadaan yang mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat
kuburannya, tentu akan mengenal tempat itu.”
Timbul
kembali harapan Lie Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kalau
begitu, Lopek. Terpaksa kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau
benar-benar dia telah meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”
“Boleh,
boleh! Hanya saja... bagaimana dengan Lili?”
“Lili
siapa?”
“Sie Hong
Li, nona yang kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak
atau keponakanku sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”
“Biar saja,
dia bukan anak kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri
sendiri,” jawab Lie Siong tegas.
“Ke mana
kita akan pergi?”
“Sudah
kukatakan tadi, mencari makam ayah.”
“Setelah
itu?”
“Aku akan
mengantarkan seorang gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”
Lo Sian
teringat akan cerita Lili. “Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”
Merah muka
Lie Siong. “Jangan berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani,
seorang gadis Haimi yang kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia
menderita penyakit pikiran dan kutinggalkan di rumah Thian Kek Hwesio. Kita
sekarang menuju ke sana untuk melihat keadaannya.”
Lo Sian
tertegun mendengar kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis
yang berhati keras, akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!
“Baiklah,
aku menurut saja, karena aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang
pendekar besar. Biar pun aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku
dahulu tentu pernah ditolong oleh ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau
sekarang aku membantumu mencarikan makamnya. Jangan sekali-kali kau menganggap
kepergianku denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu, anak muda.
Ahh, bukan sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun
aku Sin-kai Lo Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu
karena aku pun ingin sekali mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian
ayahmu.”
Lie Siong
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang
dianggapnya cukup gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah
kedua orang ini menuju ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang
bernasib malang itu. Tentu saja sebagai seorang yang pendiam dan tidak banyak
bicara, Lie Siong tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.

Dengan hati
girang Lie Siong mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja
gadis ini sekarang berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak
nasehat dan petuah dari Thian Kek Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini
menganggap Thian Kek Hwesio sebagai satu-satunya orang yang dapat diajak bertukar
pikiran. Pendeta tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham
dengan bahasa Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah
tenang dan sabar.
“Itulah
salahnya bila orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang
sudah jauh lebih tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang
gadis seperti engkau melakukan perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti
Lie Siong yang tampan dan gagah. Mudah sekali bagi iblis untuk mengganggu
kalian.” Hwesio itu menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu
dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau
memang benar-benar sudah merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda
itu, jalan satu-satunya bagimu adalah kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu
dan kebiasaan Lie Siong, sebagai seorang gadis Haimi dan seorang pemuda Han
tidak cocok sekali. Kau biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat
oleh peraturan-peraturan kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu
terlepas sedikit saja, akan membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau
menikah denganmu, akan tetapi kalau hal demikian tidak terjadi, jalan
satu-satunya adalah seperti yang kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”
Lilani
mendengarkan nasehat ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai
mengucur. Alangkah besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia
juga dapat merasakan bahwa pemuda itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar
nasehat dari Thian Kek Hwesio, memang dia sudah mengambil keputusan untuk
kembali kepada bangsanya, dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.
Demikianlah,
ketika Lie Siong datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam
kamarnya dan berkata, “Anak muda she Lie. Pinceng telah mendengar semua
penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan saja terus terang kepada
pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”
Lie Siong
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya.
Akan tetapi pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan
berkata, “Betapa pun juga, Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan
meninggalkan dia begitu saja. Aku akan menjaganya, kalau perlu mengambilnya
sebagai adik angkat, atau… bagaimana saja menurut sekehendak hatinya asalkan...
asalkan jangan menjadi suaminya!”
“Pinceng
maklum akan isi hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau
mengakui kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis
itu, kau boleh disebut orang baik.”
“Aku akan
mencari suku bangsa Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu
saja aku tidak akan memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”
Thian Kek
Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa
girang sekali mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak
muda. Kalau kau bukan putera pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang
keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan kebajikan, kiranya pinceng tak akan
mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu. Akan tetapi,
sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas
segala perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran
bersama Lilani dan sungguh pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau
harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya dan sekali-kali jangan
menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan.
Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan
menjadi seorang siauw-jin (orang rendah). Mengertikah kau?”
Kalau
sekiranya yang bicara itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh
luar biasa memancar keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu,
pasti Lie Siong akan menjadi marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu
hanya menundukkan kepala dan menyatakan kesanggupannya.
Ketika
Lilani bertemu dengan Lie Siong, gadis itu memandang dengan mata sayu, lalu
bertanya perlahan, “Taihiap, bilakah kita akan mencari suku bangsaku?”
“Sekarang
juga, Lilani. Hari ini juga!” jawab Lie Siong dengan hati diliputi keharuan
besar.
Ada pun Lo
Sian begitu bertemu dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat dia memberi hormat.
Hwesio sangat tua itu mengangguk-angguk lagi dengan senang.
“Adanya
Sin-kai Lo Sian bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu betul-betul
seorang yang boleh dipercaya,” pikir hwesio ini, karena dia tahu betul orang
macam apa adanya Sin-kai Lo Sian.
“Lebih baik
kita mengantar dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan
rombongan suku bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, baru
kita mencoba untuk mencari keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian sesudah
mereka bertiga mulai melakukan perjalanan.
Lie Siong
menyetujui pikiran ini, akan tetapi dia hendak mengetahui pendirian Lilani yang
kini nampak demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.
“Taihiap
tahu bahwa aku selalu hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya
ikut, karena apakah daya seorang seperti aku?” jawaban ini tak saja membuat Lie
Siong menjadi amat terharu, bahkan Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang
urusan mereka, menjadi kasihan sekali melihat Lilani. Dia lalu bersikap ramah
tamah dan baik terhadap gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka
kepada Pengemis Sakti ini.
Beberapa
hari kemudian, sampailah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas
Mongolia di Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota
dan dusun lainnya di dekat tapal batas, karena penduduknya sebagian besar telah
pergi mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan gangguan tentara-tentara.
Di sepanjang
jalan, Lie Siong dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para
tentara Mongol dan Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah
sekali dan beberapa kali dia menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau dia
bertemu dengan tentara musuh, dia tentu akan menyerang mereka! Sebaliknya,
pemuda itu hanya diam saja tidak menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo
Sian untuk mengetahui isi hati pemuda aneh ini.
Seperti
biasa, di dalam kota Ciang-kou mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil
yang sudah ditinggal pergi oleh para hwesio-nya, dan di sana hanya terdapat dua
orang hwesio penjaga kuil yang ramah tamah.
“Sicu,
sungguh amat berani sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota
ini dapat diserbu oleh gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini
tidak ada bahayanya.” Kedua hwesio ini memandang kepada Lilani dengan kening
dikerutkan.
Betapa pun
Lilani bersikap sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang
berbeda dengan gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa dia bukanlah
gadis bangsa Han. Kulit seorang gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang
kulitnya kekuning-kuningan. Sebaliknya kulit tubuh gadis ini putih
kemerah-merahan.
“Biarkan
mereka datang, akan kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.
Kedua orang
hwesio itu diam saja, akan tetapi di dalam hatinya mengejek orang yang
berpakaian pengemis itu. Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan
Mongol yang mempunyai banyak perwira pandai?
Akan tetapi,
ketika Lie Siong minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan
mengeluarkan uang perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta
melayani mereka dengan ramah. Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa
diam-diam kedua orang hwesio itu telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama
Lilani kepada seorang gagah yang selalu melakukan pengawasan terhadap mata-mata
Mongol di tempat itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman dari Kam
Liong!
Di dalam
usahanya mencari kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari
serangan musuh, Kam Wi memisahkan diri dari suheng-nya, Tiong Kun Tojin dan
pergi sampai ke kota Ciang-kou. Di sepanjang jalan dia selalu berlaku waspada.
Apa bila dia melihat ada orang-orang kang-ouw yang hendak menyeberang ke utara
untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu akan
dibujuknya, baik dengan jalan halus atau pun dengan cara kasar!
Mendengar
laporan kedua orang hwesio itu bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya
mencurigakan bersama seorang gadis Haimi hendak bermalam di kuil, diam-diam Kam
Wi merasa curiga sekali. Pada keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan
Lilani melanjutkan perjalanan mereka, sebelum meninggalkan kota yang sunyi itu,
tiba-tiba saja mereka sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar
yang melompat keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah
Kam Wi.
Begitu
melihat keadaan Lilani, maka tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis
ini memang seorang gadis Haimi. Maka, untuk mencari bukti, dia segera menegur
Lilani dalam bahasa Haimi,
“Apakah kau
orang Haimi?”
Ditegur
demikian tiba-tiba dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan
tetapi dia menjawab juga, “Betul! Saudara siapakah?”
Akan tetapi
Kam Wi tak banyak cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak
menangkap pundak kiri Lilani, “Mata-mata Mongol! Jangan harap kau akan dapat
melepaskan diri dari Sin-houw Enghiong!”
Akan tetapi
Lilani bukanlah seorang gadis yang lemah. Ia pun telah mendapat tambahan
pelajaran silat dari Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa
orang tinggi besar yang berwajah galak itu tiba-tiba menyerang dan hendak
menangkap pundaknya, dia cepat mengelak dan melompat mundur.
Bukan main
marahnya hati Kam Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu.
Sekarang kecurigaannya makin bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari
cengkeramannya pastilah bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi
mata-mata Mongol atau setidaknya pencari orang-orang kang-ouw untuk membantu
gerakan bangsa Mongol.
“Bagus, kau
berani mengelak? Cobalah kau mengelak lagi kalau dapat!” Sambil berkata
demikian, Kam Wi mengeluarkan kepandaiannya yang sangat diandalkan, yaitu Ilmu
Silat Houw-jiauw-kang! Tangannya terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku
harimau dan dia menubruk ke depan untuk menangkap atau mencengkeram pundak
gadis itu!
Lilani
benar-benar menjadi bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat bukan main dan
kedua tangan Kam Wi yang merupakan kuku harimau itu betul-betul sulit untuk
dielakkan lagi. Jalan ke kanan kiri atau ke belakang telah tertutup sehingga
Lilani hanya akan dapat menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke atas atau
amblas ke dalam bumi!
Tetapi pada
saat itu terdengar bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar
mumbul ke atas! Kam Wi sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang
hendak ditangkapnya itu lenyap dari depan matanya dan telah melompati tubuhnya,
melalui atas kepala dan tiba di belakangnya! Ia cepat menengok dan ternyata
bahwa yang menolong gadis itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang
dengan tenangnya.
Memang
sesungguhnya adalah Lie Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam
Wi tadi. Ketika tadi pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya
cengkeraman yang demikian lihainya, cepat dia melompat sambil menyambar
pinggang Lilani, dibawa lompat melewati atas kepala Kam Wi dengan gerakan
Hui-niau Coan-in (Burung Terbang menerjang Mega)! Dengan gerakan ginkang yang
luar biasa ini ia pun berhasil menolong gadis itu sehingga kini Kam Wi
memandang dengan tertegun dan penuh kekaguman.
“Siapa
Saudara muda yang gagah ini? Mengapa dapat bersama dengan seorang gadis Haimi
yang menjadi mata-mata Mongol? Apakah mungkin seorang enghiong yang gagah
perkasa sampai tersesat dan hendak mengkhianati bangsa sendiri?”
Sebelum Lie
Siong sempat menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya. Pengemis tua ini mengangkat
kedua tangan menjura sambil berkata, “Orang gagah, harap kau suka bersabar
dahulu, agaknya kau sudah salah sangka! Kami sekali-kali bukanlah
pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”
Kam Wi
berpaling kepada Lo Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh
perhatian dan berkata, “Ahh, bukankah aku berhadapan dengan Sin-kai Lo Sian?”
Lo Sian
tertegun dan ia mengerti bahwa dulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu
atau bahkan kenal dengannya, akan tetapi dia telah lupa sama sekali. Karena itu
dengan senyum ramah ia berkata,
“Maaf,
memang benar siauwte adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh
otakku yang tumpul tidak ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di
hadapanku sekarang.”
Kam Wi
tertawa bergelak. “Ah, ahh, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku
sudah tak ragu-ragu lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan
tetapi sungguh sangat mengherankan apa bila seorang Sin-kai Lo Sian sampai lupa
kepadaku. Aku adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan Sin-houw-enghiong dari
Kun-lun-pai?”
Akan tetapi
Kam Wi tidak tahu bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya.
Bagaimanakah pengemis ini dapat ingat kepadanya sedangkan terhadap diri sendiri
saja sudah lupa? Akan tetapi Lo Sian tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia
menjura lagi sambil berkata,
“Ah, tidak
tahunya Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami
tidak tahu sebelumnya maka sudah berani bertindak kurang ajar. Harap Enghiong
suka melepaskan kami, karena sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami
hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya maka bisa sampai di tempat ini.”
Kam Wi
berdiri ternganga. Lo Sian sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya ini
benar-benar mengherankan hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak sedemikian
‘sopan santun’ sikapnya. Mengapa pengemis ini begini berubah?
“Sungguh
aneh!” Kam Wi berkata. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para
pengkhianat bangsa, akan tetapi ingin mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku
bangsa Haimi sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa
Mongol sudah menjadi sekutu untuk menyerang dan mengganggu negara kita!”
“Kau
bohong!” tiba-tiba Lilani berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti
itu! Selamanya bangsaku bahkan selalu diganggu oleh orang-orang Mongol, dan
sebaliknya selalu mendapat pertolongan bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa
bersekutu dengan perampok-perampok Mongol!”
“Nona,
baiknya kau datang bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau
bukanlah orang jahat. Apa bila tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada
Sin-houw Enghiong Kam Wi sudah merupakan alasan yang cukup untuk membuatku
turun tangan. Aku Kam Wi selama hidup tak pernah berbohong. Agaknya kau telah
lama meninggalkan bangsamu sehingga kau tidak tahu betapa pemimpinmu yang
bernama Saliban itu sudah membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang
Mongol!”
Lilani kaget
sekali. Saliban adalah seorang di antara sekian banyak pamannya. Memang dia
tahu bahwa di antara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut
cerita mendiang ibunya, Meilani, dulu Saliban pernah memberontak bahkan hampir
saja membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak cintanya oleh ibunya yang
pada masa itu sudah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya.
Lilani
berpaling kepada Lie Siong, “Taihiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan
melenyapkan Saliban yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”
Lie Siong
tidak membantah dan kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu
pergi dari situ. Ada pun Sin-kai Lo Sian cepat memberi hormat kepada Kam Wi dan
berkata,
“Sin-houw-enghiong,
terima kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita berjumpa lagi.”
Setelah berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi.
Akan tetapi
Kam Wi menahannya dengan kata-kata, “Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam
oleh penyerbuan pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang
gagah mau berpeluk tangan saja?”
“Siapa
bilang aku hendak peluk tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku
akan mengerahkan sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”
“Bagus,
kalau begitu kau benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang
mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan. Jika kau bermaksud membantu, pergilah ke
Gunung Alkata-san dan bantulah tentara kerajaan di sana.”
“Aku akan
memperhatikan omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dahulu aku
akan membantu Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul
Lie Siong dan Lilani yang telah berangkat lebih dulu.
Setelah
mengalami peristiwa yang tidak enak itu, dan yang disebabkan oleh keadaannya
sebagai seorang gadis Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan
menyesal sekali mendengar betapa bangsanya sudah dibawa tersesat oleh Saliban
sehingga suku bangsa Haimi kini dipandang sebagai musuh oleh orang-orang gagah
di dunia kang-ouw. Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi dialami saat
bertemu dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti
seorang gadis Han, bahkan rambutnya juga diubah susunannya sehingga kini dia
benar-benar merupakan seorang gadis Han yang cantik.
Mereka
bertiga melanjutkan perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menduga bahwa
diam-diam Sin-houw-enghiong Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi
mereka. Kam Wi merasa curiga kepada mereka yang disangkanya mata-mata bangsa
Mongol.
Kehadiran Lo
Sian memang menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian
yang amat berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah
menyaksikan kelihaian pemuda tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah
dia kalau-kalau mereka itu benar-benar akan menggabungkan diri dengan kaum
pengacau.
Pada suatu
pagi, tibalah mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung
Alkata-san. Dusun itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari
berbagai golongan. Memang amat mengherankan apa bila melihat di tempat yang
jauh di sebelah utara itu begitu banyak terdapat orang-orang dari selatan.
Mereka ini adalah orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan
orang-orang Mongol dan biar pun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya
bahaya perang, namun orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari
kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar.
Pada saat Lo
Sian dan kedua orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar
bentakan keras,
“Ha, bangsat
muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau di sini!” Orang ini ketika
dilihat ternyata adalah Ban Sai Cinjin!
Seperti
telah diketahui, Ban Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu
mengamuk dan telah membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin
ketika orang-orang muda itu mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini,
bukan main marahnya Ban Sai Cinjin sehingga dia langsung menegur di jalan raya.
Ban Sai
Cinjin bukan seorang diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis
tua yang sangat menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti
kawat. Pengemis menyeramkan ini sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin,
ketua dari perkumpulan Coa-tung Kai-pang!
Sebagaimana
sudah dituturkan, dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah
bertempur dan dikalahkan oleh Hong Beng yang telah diangkat menjadi ketua dari
Hek-tung Kai-pang. Dalam usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil
pula menempel raja pengemis yang terkenal galak dan ganas ini dan kini mereka
berada di utara karena memang Ban Sai Cinjin sudah mengadakan persekutuan
dengan Malangi Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw
Hun Ti yang sudah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan
membantu mereka.
Setelah Ban
Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan
Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Dia mengubah
cita-citanya.
Kini dia
berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol dan berpura-pura membantu Malangi
Khan dan kemudian setelah mendapat kemenangan, akan merampas kedudukan tinggi
di kerajaan! Dia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak
orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu
usahanya yang penuh khianat ini.
Ketika
secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, maka tak tertahan lagi ia
segera membentak sambil memandang dengan penuh kebencian. Demikian pula
sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul
marahnya.
“Setan tua,
kau berada di sini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak
Lie Siong sambil mencabut pedangnya.
Akan tetapi
pada saat itu Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang
dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seolah-olah
tidak mengenalnya, dia menjadi lega dan bertanya,
“Pengemis
tua ini bukankah gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran sekaligus juga
mencoba untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun
yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.
“Bangsat tua
tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku
habis!” kata Lie Siong.
Kalau
menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan
tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan
kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, maka
tugasnya akan lebih berat.
Kepandaian
kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan jika kakek
mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka.
Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan bila mana mungkin
hendak segera menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.
Akan tetapi
pada saat pengemis yang menyeramkan itu melihat Lo Sian, rambutnya dan
jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi makin kaku, sepasang matanya memandang
marah.
“Bukankah
kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?” dia bertanya sambil menudingkan jari
telunjuknya ke arah Lo Sian.
Sesungguhnya
pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan sepasang
mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian
mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Ketika mendengar
orang menyebutkan namanya, dia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan
itu sambil menjawab, “Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian.”
“Bagus!”
seru Coa-ong Lojin dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan telah
mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”
Memang
dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan
tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu. Dia hendak menjawab, akan
tetapi tak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang langsung menyerangnya
dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat.
Kedua lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan
lambung Lo Sian.
Lie Siong
melihat hebatnya serangan ini, maka cepat dia melompat dan menggerakkan
pedangnya menahan serangan itu sambil membentak, “Pengemis hina, jangan berlaku
sombong di depan kami!”
Coa-ong
Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong.
Sungguh pun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya digunakan untuk
menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu
menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya.
Sambil
berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong
dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat yang
bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu lalu
dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong.
Tentu saja
pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk
mematahkan tongkat itu. Akan tetapi dia kaget sekali karena ternyata bahwa
tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak pada saat beradu dengan pedangnya
dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat
pengemis ini hebat luar biasa!
Memang,
Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan dia sendiri yang menciptakan
Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat
tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.
Tentu saja
Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari ginkang luar biasa
dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya sudah menggemblengnya semenjak
kecil sehingga kini dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
Ketika
melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, Lo Sian tidak mau
tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk
membantu Lie Siong. Akan tetapi dari samping segera berkelebat bayangan huncwe
maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.
“Ha-ha-ha,
Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?” Sambil
tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian.
Tentu saja
kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwe-nya telah dapat
menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin
menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!
Kalau hanya
menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan
mampu mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini dia dikeroyok
oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apa
lagi ia merasa amat gelisah pada saat melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah
dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.
Kebenciannya
terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk
merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk
menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh
jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya
dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung,
lantas pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah dia tak sadarkan diri
lagi!
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak-gelak. “Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah
mengambil pedang Lie Siong, dan bersama Coa-ong Lojin lalu berlari cepat menuju
ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.
Di kota ini
Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas
dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai
ini? Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang sudah meninggalkan jalan itu
sehingga keadaan menjadi sepi sekali.
Setelah tiba
di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong ke dalam
sebuah kamar. “Dia yang paling berbahaya,” katanya.
Kemudian dia
membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja
Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tidak berdaya. Lilani
segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah
pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang
kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.
“Ban Sai
Cinjin, apakah yang hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong
Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang telah tersedia di atas meja.
Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.
Ban Sai
Cinjin tersenyum. “Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada
kawannya itu yang hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak
orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Ada pun pengemis
ini... ahh, lihat, bukankah dia mirip seperti boneka hidup?” Dia mendekati Lo
Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.
“Lo Sian,
kau benar-benar sudah lupa kepadaku?”
Sesungguhnya
Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia
telah mendengar banyak dari Lili mengenai kakek mewah ini. Karena itu dengan
senyum mengejek dia pun berkata,
“Sungguh pun
ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi
aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai
yang jahat dan tidak berperi kemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah.
Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan
kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda tadi itu harap
kau bebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa
bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau
mengingat nama ayahnya dan suka melepaskannya!”
Tadi pada
saat mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar
bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah
Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.
“Apa...? Dia
putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat kembali akan peristiwa
dahulu...?”
Lo Sian
sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang
yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja dia mengangguk dan berkata, “Mengapa
tidak ingat? Kau maksudkan peristiwa dulu tentang Lie Kong Sian Taihiap? Tentu
saja!”
“Bangsat
rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ahhh, kalau begitu
kalian harus mampus!”
Kakek mewah
ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam
tangannya.
“Nanti dulu,
sahabat,” tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo
Sian, akan tetapi gadis ini...” dia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan.
“Ehh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?”
Lilani
mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.
“Kenalkah
kau kepada Saliban?”
“Dia adalah
pamanku.”
Kembali
Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.
“Biar aku
yang membawamu kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu itu adalah
kawan baik kami, jangan kuatir, kami tidak akan mengganggumu. Akan tetapi
pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!”
“Jangan
bunuh mereka!” Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan
mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.
“Kau tidak
tahu, Nona. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan
menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau
bersiaplah untuk mampus!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri
Lo Sian.
Sementara
itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ahh, pasti ada apa-apanya
dalam ucapan Ban Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie
Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh
oleh Ban Sai Cinjin.
“Ban Sai
Cinjin!” katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi
saat-saat maut iu. “Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”
Terdengar
suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. “Ha-ha-ha! Kau
kini berpura-pura tidak tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!”
Huncwe-nya
terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan
berteriak keras, “Jangan bunuh dia!”
“Lilani,
minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati,” Lo Sian berkata.
“Kini puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian
Taihiap.”
Akan tetapi
Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin
kembali mengangkat huncwe-nya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu
terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.
“Ban Sai
Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan
pengkhianatan?”
Ketika Ban
Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang lelaki tinggi
besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.
“Sin-houw-enghiong
Kam Wi!” berkata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar
sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah? Aku
mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri
urusan orang lain?”
“Ban Sai
Cinjin, janganlah kau memutar-mutar persoalan. Urusan dengan segala macam
pengemis tak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa
kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula
yang telah membujuk banyak orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi
pengkhianat-pengkhianat yang amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong
Kam Wi tidak dapat membiarkannya begitu saja!”
Sambil
berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika
tadi menyatakan bahwa urusan ia tidak mempunyai sangkut paut dengan segala macam
pengemis, diam-diam dia telah menyindir Coa-ong Lojin.
Merah muka
Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. “Kam Wi, kau manusia macam apa berani
berlagak besar-besaran di hadapanku? Sepak terjangku yang mana pun juga, kau
tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban,
baik kita bicarakan nanti sesudah aku bikin mampus pengemis hina ini!” Dia
kembali hendak menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.
“Tahan dulu!
Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang
macam apa maka tidak kau layani lebih dulu?”
Kini Ban Sai
Cinjin benar-benar menjadi marah. “Kam Wi, biar pun orang lain boleh takut
mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak
takut! Sebetulnya apakah kehendakmu?”
“Kau harus
ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima hukuman atas semua perbuatan
pengkhianatanmu!”
“Ho-ho-ho!
Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin
menyindir.
“Ban Sai
Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih mau memandang mukamu
sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak peduli akan urusan pemerintah, akan
tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau,
aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta
diadili oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”
“Kalau aku
memilih yang terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.
“Hukuman
dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”
“Bagus, Kam
Wi! Kau hendak menghukum mati padaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar
seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah, biar aku membereskan jiwa
anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!”
Sambil
berkata demikian, Ban Sai Cinjin segera menggerakkan huncwe-nya, akan tetapi
Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang
dia anggap sombong sekali, segera mendahuluinya berkata,
“Sahabat Ban
Sai Cinjin, biarlah aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun
ini!”
Karena
melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coa-ong Lojin tidak mau merendahkan diri
dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan
tangan kosong.
Kam Wi cepat
mengelak. “Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis
Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk
itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu.”
“Bangsat she
Kam! Sudah semenjak lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai
adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang membawa kesombonganmu di sini,
biarlah kini kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap
sesombong ini!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan
kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang.
Melihat
betapa kedua tangan pengemis itu sekarang tergetar dan mengeluarkan cahaya
kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang dia
dengar disebut Hek-coa Tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya.
Akan tetapi ia tidak takut dan cepat dia mengelak kemudian mengirim serangan
balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung
lawan hingga hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.
Harus
diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan
tetapi juga tenaga lweekang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga
walau pun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pukulannya
sudah membuat lawannya merasa lambungnya bagaikan terlanggar benda tajam!
Coa-ong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai
ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Dia lalu bersilat dengan amat
hati-hati.
Namun segera
ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Di samping
ia menang tenaga, juga ginkang-nya amat mengagumkan. Sepasang kakinya
berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya sangat ganas. Sekali
saja Coa-ong Lojin kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia.
Hal ini
dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin. Maka, sesudah bertempur dua puluh
jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main
mundur.
“Ha-ha-ha-ha,
begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel
busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi
mengejek sambil menyerang makin hebat.
Sementara
itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo
Sian maklum bahwa meski pun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi,
namun apa bila Ban Sai Cinjin ikut maju mengeroyok, maka akan celakalah dia.
Dia merasa bingung sekali. Untuk membantu, dia maklum bahwa kepandaiannya masih
kalah jauh.
Tiba-tiba
terdengar Lo Sian berseru keras, “Sin-houw-enghiong, awas belakang!”
Sebetulnya
seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah
mendengar adanya suara angin pukulan yang sangat hebat menyambar dari belakang.
Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara
pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan,
cepat ia berseru keras sekali.
Tubuhnya
mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan
gelap yang dilakukan Ban Sai Cinjin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan
dengan ginkang hebat ini, selamatlah ia dari penyerangan Ban Sai Cinjin yang
dilakukan dengan cara pengecut sekali itu.
Sesampainya
tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya. Kaki kiri yang ditekuk
ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, ada pun kaki
kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua
kaki itu menggunting dengan kaki kanannya menyerang ke arah pergelangan tangan
Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi
yang sangat lihai karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga
seribu kati beratnya!
“Bangsat Ban
Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini sudah turun
lagi ke bawah.
Akan tetapi
Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, Dengan muka merah saking marah
dan malunya dia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin
juga sudah mencabut tongkat ularnya!
Kam Wi,
tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah
tinggi, dia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang
pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat
kepandaiannya sudah sama dengan dia, karena itu dengan bertangan kosong saja
menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan?
Lo Sian dan
Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat
membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka
ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan
Lilali cepat berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban
Sai Cinjin.
Mereka
melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada
seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut
jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan
Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa.
Betapa pun
Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan
pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi
gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie
Siong.
“Mari kita
bawa dia lari keluar dari sini saja!” kata Lilani.
“Kau boleh
membawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tak dapat meninggalkan
Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biar pun untuk usaha ini
aku akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja
mati sendiri!”
Lilani dapat
memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun apa bila tidak ingat
akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam
Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong
tubuh Lie Siong dan berkata, “Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!” kemudian ia
melompat keluar dari pintu belakang.
Lo Sian
segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak
hebat sekali. Sungguh sangat lucu dan harus dikasihani melihat orang tinggi
besar yang bertangan kosong ini melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri
dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai
kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.
“Sin-houw-enghiong,
biar siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba saja Lo Sian berseru keras.
Pengemis
Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan dia menyerbu bersenjatakan ikat
pinggang ini. Biar pun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, akan
tetapi di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya.
Dan
sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja
apa bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin,
mau pun Sin-houw-enghiong Kam Wi, dia masih ketinggalan amat jauh!
Lo Sian amat
benci kepada Ban Sai Cinjin, biar pun dia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam
kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya
membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci
sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk
menyerang Ban Sai Cinjin.
Ban Sai
Cinjin menjadi marah sekali. “Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni
jiwamu untuk kedua kalinya!” Sambil berkata demikian, huncwe-nya bergerak cepat
dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwe-nya sedemikian
rupa.
Sebenarnya
ikat pinggang itu ketika digunakan oleh Lo Sian, sudah menjadi kaku seperti
besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, seluruh
tenaga lweekang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi
buyar karena dia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi.
Karena ikat
pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan
tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam
keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan
kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian
dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena
ditotok sehingga biar pun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih
dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.
Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak-gelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi,
karena sebentar saja dia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan
Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini
kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya
kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!
“Ha-ha-ha!”
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, kemudian dengan amat tenangnya dia lalu
memasang tembakau pada kepala pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan
mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.
“Kita
bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata
pengemis tongkat ular itu.
“Nanti dulu,
aku mau bicara sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera
menghampiri Kam Wi yang sekarang sudah menggeletak di lantai dengan mata
melotot memandangnya penuh keberanian.
“Orang she
Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri
yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau
menemui maut. Kalau engkau mempunyai kepandaian lebih tinggi, tentu bukan
engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku
membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan
persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah,
tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena
keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus
membunuhmu!”
Kemudian Ban
Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, “Kau pengemis jembel hina dina,
selalu kau mencampuri urusanku dan selalu pula kau menghalangi jalanku. Agaknya
memang dulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku
maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dahulu aku sudah
mengampuni nyawamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati
kepada Lie Kong Sian dan suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”
Bukan main
kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang dia tahu bahwa yang membuat
dia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh
Lie Kong Sian. Bahkan suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le seperti yang telah
diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat
besar ini!
Akan tetapi
apa dayanya? Dia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama
lagi dia akan mati. Maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan
mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.
“Coa-ong
Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis
jembel ini!” kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak
diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga telah
mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian
dari Kam Wi!
Akan tetapi
pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang
yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan…
“Trangg…!
Trangg…!”
Tongkat dan
huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong
Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu
melangkah mundur sampai lima tindak.
Ketika dua
orang ini mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan
Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal
takut itu kali ini nampak gentar juga.
Dua orang
yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai
Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan
seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.
Yang
laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua matanya
membayangkan kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang
pedang yang berkilau cahayanya.
Yang wanita
biar pun telah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung
senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment