Saturday, July 7, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Remaja Jilid 18



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Pendekar Remaja

                  Jilid 18


Lili menjadi gembira sekali. Sering kali ayah dan ibunya terkekeh-kekeh kalau bercerita tentang kedua orang ini yang muncul pada masa ayah ibunya masih muda. Kini melihat mereka, walau pun sudah nampak tua sekali namun keadaan mereka masih tetap tidak berubah, persis seperti yang digambarkan oleh ayah dan ibunya, mau tidak mau Lili lalu tertawa terpingkal-pingkal sehingga dia menggunakan tangan yang dipegang lengannya itu untuk menutupi mulutnya.

“Ji-wi Losuhu,” akhirnya dia berkata sesudah dapat menahan geli hatinya. “Jiwi hendak pergi kemanakah? Apakah Jiwi telah bertemu dengan ayah bundaku?”

“Di mana ayahmu? Di manakah Sie Taihiap? Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan dia,” jawab Ceng To Tosu.

“Ayah dan Ibu juga berada di daerah utara ini,” kata Lili.

“Apa...? Betulkah?” tanya Ceng Tek Hwesio.

Kemudian Kam Liong lalu menuturkan kepada kedua orang pendeta ini tentang semua peristiwa yang terjadi sehingga kedua orang pendeta itu menjadi girang sekali.

“Ahh, usiaku yang tinggal sedikit ini ternyata penuh dengan kebahagiaan,” kata Ceng To Tosu. “Berjumpa dengan Nona Sie Hong Li puteri Sie Taihiap sudah merupakan hal yang membahagiakan, apa lagi sekarang ada kemungkinan bertemu lagi dengan Sie Taihiap sendiri dan puteranya!”

“Akan tetapi Ji-wi Losuhu mengapa sampai berada di tempat ini? Ada keperluan penting apakah?” tanya Kam Liong.

Kini Ceng Tek Hwesio yang menceritakan dengan muka berseri-seri seakan-akan cerita itu merupakan sebuah cerita yang menggirangkan hati. Padahal cerita itu amat hebat dan seharusnya patut dibuat gelisah.

Ternyata bahwa Malangi Khan, raja bangsa Mongol, sudah membuat persiapan perang besar-besaran dan bala tentaranya dipecah menjadi dua, satu barisan menyerang dari utara dan barisan ke dua menyerang dari barat. Pertempuran-pertempuran kecil sudah pecah antara barisan Mongol yang di bagian barat sebagian besar sudah menggabung dengan tentara Tartar, melawan pasukan-pasukan penjaga kerajaan yang tidak berapa kuat.

“Sudah demikian hebat keadaannya?” kata Kam Liong dengan kaget.

“Itu masih belum hebat, Kam-ciangkun. Yang paling menggemaskan adalah terdapatnya banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menggabungkan diri dan membantu Malangi Khan!”

“Hebat, siapakah pengkhianat-pengkhianat bangsa itu?”

“Belum diketahui, Ciangkun. Akan tetapi menurut laporan-laporan para prajurit yang dulu menjaga di perbatasan dan telah dipukul mundur, di antara pemimpin-pemimpin pasukan Tartar dan Mongol, banyak sekali terdapat orang-orang bangsa kita sendiri yang memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu kami sengaja mencarimu atas perintah suhu-mu dan siok-humu (pamanmu) yang telah mengumpulkan beberapa orang gagah untuk menjadi sukarelawan menghadapi serbuan musuh.”

Berseri wajah Kam Liong mendengar berita ini. “Suhu dan Siok-hu? Di mana mereka?”

“Tidak jauh dari sini, di hutan sebelah barat itu, Ciangkun. Marilah kau ikut bersama kami menjumpainya dan kau juga, Nona Sie. Kau akan bertemu dengan orang-orang gagah di sana.”

Tentu saja Lili tidak menolak. Sesudah berpesan kepada para perwira untuk memberi kesempatan kepada pasukan beristirahat di situ, Kam Liong beserta Lili lalu berjalan kaki mengikuti dua orang pendeta itu. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat, maka tak lama kemudian sampailah mereka di hutan yang nampak dari tempat pemberhentian tadi.

Suhu dari Kam Liong adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi besar berwajah galak. Sungguh pun usianya telah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi rambut kepalanya masih subur dan hitam sehingga ia nampak lebih muda dari usia sebenarnya! Tiong Kun Tojin masih terhitung suheng (kakak seperguruan) yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada mendiang Kam Hong Sin.

Ada pun yang disebut paman atau siok-hu dari Kam Liong, adalah adik misan dari ayah Kam Liong dan bernama Kam Wi. Kam Wi juga bukan orang sembarangan, karena dia memiliki kepandaian yang tinggi pula. Ia menjadi sute (adik seperguruan) dari Tiong Kun Tojin. Selain sudah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai, juga Kam Wi telah mempelajari Ilmu Houw-jiauw-kang yang lihai, semacam ilmu silat tangan kosong yang amat berbahaya.

Oleh karena itu, Kam Wi jarang sekali mempergunakan senjata, sungguh pun dia pandai pula memainkan pedang. Dia selalu menghadapi lawannya hanya dengan tangan kosong, mengandalkan Ilmu Silat Houw-jiauw-kang yang sempurna. Dan oleh karena Ilmu Silat Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau) inilah maka dia sudah mendapat julukan Sin-houw-enghiong (Pendekar Harimau Sakti)!

Tiong Kun Tojin dan Kam Wi mempunyai watak yang cocok. Keduanya beradat keras, berangasan, akan tetapi jujur serta gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Kalau Tiong Kun Tojin sudah berusia empat puluh tahun, adalah Kam Wi baru berusia tiga puluh tahun lebih. Juga ia mempunyai tubuh tinggi besar seperti suheng-nya.

Pada waktu mendengar tentang penyerbuan dan pengacauan bangsa Mongol dan Tartar di daerah perbatasan negaranya, maka kedua orang gagah ini timbul semangat dan jiwa patriotnya. Mereka segera meninggalkan Gunung Kun-lun-san dan menuju ke utara.

Di sepanjang perjalanan mereka mengajak para tokoh kang-ouw. Kemudian mereka lalu berkumpul di hutan itu, hutan yang hanya dilindungi oleh pohon-pohon gundul karena daunnya telah rontok semua. Dahan-dahannya kini penuh oleh salju yang menggantikan kedudukan daun-daun yang sudah lenyap.

Di tengah-tengah hutan yang berada di lereng gunung itu terdapat sebuah goa besar dan karena adanya goa besar inilah maka tokoh-tokoh Kun-lun-pai itu memilih tempat ini.

Ketika Kam Liong dan Lili yang mengikuti dua orang pendeta itu tiba di luar goa, mereka melihat sinar api dari dalam goa. Ternyata bahwa di dalam goa itu duduk lima orang yang mengelilingi api unggun yang bernyala besar. Hawa panas keluar dari goa itu dan karena hawa di luar goa demikian dinginnya, maka panas ini mendatangkan udara yang nyaman sekali.

“Aduh, enak... enak...!” kata Ceng Tek Hwesio sambil tersenyum-senyum dan mendekati mulut goa.

“Kam-ciangkun, kalau kau dan Nona Sie kuat menghadapi panas yang hebat itu, maka masuklah, berjumpa dengan suhu-mu. Kami berdua tidak kuat bertahan terlalu lama di dalam neraka itu!” kata Ceng To Tosu.

Dari luar Kam Liong sudah melihat suhu-nya dan pamannya duduk bersama tiga orang lain yang tidak dikenalnya. Nampak mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Kam Liong maklum bahwa tanpa mempunyai tenaga lweekang yang tinggi, tak mungkin orang akan dapat bertahan duduk di goa yang panas itu sampai lama.

Ia telah maklum akan kepandaian Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, namun kedua orang pendeta itu masih tidak kuat tinggal lama-lama di dalam goa dan kini hanya duduk di luar goa! Akan tetapi, tidak percuma ia menjadi murid Tiong Kun Tojin, tokoh luar biasa dari Kun-lun-pai. Ia maklum bahwa untuk kuat bertahan di dalam goa yang panas itu, dia harus mengerahkan lweekang-nya guna memperkuat daya Im-kang di dalam tubuh untuk melawan daya Yang-kang. Ia lalu melirik kepada Lili yang memandang ke dalam dengan sikap acuh tak acuh.

“Nona, kalau terlalu panas untukmu, biarlah aku masuk menjumpai Suhu dan siok-hu.”

“Siapa bilang terlalu panas? Aku pun ingin sekali berjumpa dengan orang-orang yang suka mendekati api itu,” jawab Lili, karena diam-diam gadis ini pun amat tertarik hatinya melihat lima orang yang seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian mereka itu.

Mendengar jawaban ini, selain tertegun Kam Liong juga kagum dan gembira, karena kali ini ia akan dapat menyaksikan dan membuktikan hingga di mana keunggulan kepandaian gadis ini. Ia lalu melangkah masuk diikuti oleh Lili.

Bukan main panasnya hawa di dalam goa itu. Baiknya di langit-langit goa terdapat lobang di antara batu karang sehingga asap api unggun itu dapat keluar dan tidak menyesakkan napas di dalam goa. Akan tetapi api yang besar itu benar-benar membuat kulit serasa hampir terbakar.

Ketika melihat kedatangan Kam Liong dan Lili, lima orang yang sedang bercakap-cakap itu segera menunda percakapan mereka dan kini semua mata tertuju kepada dua orang muda ini.

“Suhu, sungguh menggembirakan dapat bertemu dengan Suhu di sini!” kata Kam Liong setelah berlutut, kemudian ia berpaling kepada pamannya dan berkata, “Siok-hu, apakah Siok-hu baik-baik saja?”

Kedua orang tua itu girang melihat Kam Liong.

“Ah, kebetulan sekali. Kau baru datang?” tanya suhu-nya. “Memang kami sedang bicara tentang penyerbuan musuh. Kebetulan kau datang, karena sesungguhnya secara resmi, kaulah yang bertanggung jawab menghadapi mereka.”

Sebaliknya, pada saat Kam Wi melihat Lili yang masih muda dan cantik itu dapat pula bertahan memasuki goa dan sama sekali tidak nampak kepanasan, diam-diam ia merasa kagum sekali.

“Eh… Liong-ji (Anak Liong), siapakah Nona yang gagah ini?”

“Dia adalah Nona Sie Hong Li, puteri dari Sie Taihiap!”

“Kau maksudkan Sie Taihiap Pendekar Bodoh?” tanya Kam Wi setengah tidak percaya.

Ketika Kam Liong mengangguk membenarkan pertanyaan ini, tidak saja Kam Wi yang memandang dengan penuh perhatian bahkan Tiong Kun Tojin dan ketiga orang lain itu memandang dengan penuh perhatian. Terdengar seorang di antara ketiga kakek yang duduk di situ mengeluarkan seruan heran dan berkata,

“Ah, kebetulan sekali! Telah lama sekali kami merindukan untuk menyaksikan kepandaian Pendekar Bodoh yang telah amat terkenal namanya. Hari ini bertemu dengan puterinya, setidaknya kami akan dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Bodoh yang terkenal itu!”

Mendengar nama ayahnya disebut-sebut oleh suara orang yang agaknya sombong ini, Lili segera mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian. Suhu dari Kam Liong dan juga pamannya, memang patut menjadi orang gagah.

Wajah mereka kereng dan tubuh mereka pun tinggi besar, terutama sekali pandang mata dua orang tokoh Kun-lun-pai ini amat tajam dan memandang dengan jujur dan langsung. Akan tetapi, tiga orang kakek lainnya yang duduk di situ betul-betul membuat Lili hampir tertawa geli. Orang-orang macam ini pantas sekali kalau menjadi sahabat Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, karena mereka ini pun mempunyai bentuk tubuh yang aneh.

Yang bicara tadi adalah seorang yang tubuhnya seperti anak-anak, kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Dia mengempit sebuah payung butut. Orang yang ke dua bertubuh gemuk pendek dengan muka lebar dan mulut serta mata besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan di pinggangnya terlilit rantai yang panjang dan besar. Orang ke tiga bertubuh tinggi kecil dan kepalanya yang kecil tertutup kopyah. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri, ada pun jenggotnya yang hitam berbentuk jenggot kambing. Ia memegang sebatang tongkat sederhana.

Lili sama sekali tak pernah menduga bahwa tiga orang ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun) yang amat tersohor namanya. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, pada waktu mencarikan obat untuk putera pangeran, Goat Lan pernah bertemu dengan tiga orang kakek itu. Juga pernah dituturkan bahwa ketiga orang kakek ini setelah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa pertandingan pibu melawan rombongan Pendekar Bodoh akan diadakan setahun lagi, yaitu pada permulaan musim semi, lalu meninggalkan Ban Sai Cinjin untuk melanjutkan perantauan mereka.

Sungguh pun ketiga orang kakek ini memiliki kegemaran yang buruk, yaitu suka sekali berkelahi dan mencoba ilmu kepandaian serta tidak mau kalah, namun mereka masih tetap merupakan orang-orang gagah yang tak mau melakukan kejahatan. Bahkan orang pertama, Thian-he Te-it Siansu yang bertubuh kate, dan Lak Mau Couwsu yang pendek gemuk, mempunyai jiwa pahlawan.

Mereka berdua ini merasa tak senang mendengar betapa bangsanya banyak yang diculik dan dirampok oleh orang-orang Mongol dan Tartar. Orang ke tiga, yang bernama Bouw Ki, sebetulnya adalah seorang keturunan Mongol, akan tetapi ketika mendengar betapa kedua orang suheng-nya hendak membantu tentara kerajaan mengusir para pengacau bangsa Tartar dan Mongol, dia segera menyatakan kesediaannya untuk membantu pula!

Dahulu Bouw Ki menjadi tokoh di negara Mongol. Akan tetapi semenjak Malangi Khan merebut tahta kerajaan, dia melarikan diri dan mendendam kepada Malangi Khan yang sudah banyak membunuh keluarganya.

Demikianlah, ketika Hailun Thai-lek Sam-kui bertemu dengan Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, kedua orang tokoh Kun-lun-pai ini, mereka segera mengadakan pertemuan di dalam goa itu untuk merundingkan maksud mereka membantu gerakan tentara pemerintah yang hendak mengusir bangsa Tartar dan Mongol. Inilah sebab mengapa Lili menjumpai mereka di dalam goa.

Ketika kelima orang tua itu mengadakan pertemuan di dalam goa, dengan jujur Kam Wi menyatakan bahwa hawa sangat dingin. Mendengar ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan ia mengusulkan membuat api unggun di dalam goa. Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu disuruh mengumpulkan kayu kering dan tidak lama kemudian bernyala api unggun besar di dalam goa itu.

Karena panasnya tak tertahankan lagi oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, maka kedua orang ini lalu keluar dan kemudian disuruh oleh Tiong Kun Tojin untuk mencegat perjalanan barisan dari kerajaan hingga kebetulan bertemu dengan Kam Liong.

Ada pun kelima orang pandai itu, sesudah menyalakan api unggun, timbullah sifat Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian orang. Mereka dengan sengaja menambah bahan bakar sehingga kini api unggun itu diadakan tidak lagi untuk mengusir hawa dingin, melainkan diadakan untuk menguji kepandaian masing-masing!

Tentu saja kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang mengerti maksud tiga orang tamunya, tidak mau menyerah kalah begitu saja dan seakan-akan tidak mengerti maksud mereka. Kedua orang ini bahkan mengajak Hailun Thai-lek Sam-kui bercakap-cakap sampai Kam Liong dan Lili datang.

Lili yang merasa mendongkol juga ketika mendengar ucapan Thian-he Te-it Siansu yang menyinggung nama ayahnya, lalu berkata,

“Siapakah gerangan Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah) yang telah mengenal nama ayahku?”

Ketiga orang aneh itu tidak menjawab, melainkan hanya tertawa-tawa saja dan Bouw Ki sekarang menambah lagi kayu bakar pada api unggun itu sehingga kini makin besarlah nyalanya dan makin panas hawanya.

Tiong Kun Tojin merasa tak enak melihat sikap tiga orang kakek itu, karena menghadapi puteri Pendekar Bodoh ia tak berani memandang rendah, maka ia lalu memperkenalkan,

“Kam Liong, dan kau juga Nona Sie. Ketahuilah bahwa tiga orang tua ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang sangat terkenal. Mereka datang untuk membantu kita mengusir pengacau di perbatasan.”

Kam Liong terkejut dan menjura dengan hormat kepada tiga orang kakek itu, akan tetapi Lili tiba-tiba tertawa mengejek.

“Ahh, tidak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang kakek gagah perkasa, demikian gagah perkasanya sehingga suka mengeroyok seorang gadis yang bernama Goat Lan!”

Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, juga Kam Liong menjadi tertegun mendengar ucapan ini, dan mereka merasa khawatir sekali melihat gadis itu berani mengejek tiga orang kakek itu. Akan tetapi, Hailun Thai-lek Sam-kui memang memiliki watak yang aneh, mereka ini tidak pernah marah, dan hanya satu kesukaannya, yaitu berkelahi mencari kemenangan! Kini mendengar ejekan Lili, mereka sama sekali tidak marah. Lak Mau Couwsu berkata sambil memperlebar senyumnya,

“Ah, murid Sin Kong Tianglo itu telah menceritakan tentang perjumpaannya dengan kami bertiga? Bagus, katakan kepadanya bahwa lain kali dia tak akan kami lepaskan sebelum mengaku kalah. Ha-ha-ha!”

Tiong Kun Tojin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang dikenal berwatak keras, jujur dan suka berterus terang. Melihat betapa di antara ketiga orang kakek itu dan Lili terdapat pertentangan, dia lalu berkata terus terang,

“Dalam waktu seperti ini, di mana negara dan bangsa sedang terancam oleh musuh dari luar, sungguh sangat disesalkan kalau di antara kita saling cakar-cakaran! Lebih baik kita melupakan untuk sementara waktu urusan lama yang terjadi di antara kita, dan mari kita mempersatukan tenaga untuk menolong negara! Ada pun tentang pengujian kepandaian, dapat dilakukan di sini tanpa membahayakan nyawa! Biarlah kutambah lagi api ini untuk melihat siapa yang paling kuat di antara kita.”

Sambil berkata demikian, tokoh Kun-lun-pai ini lalu menambahkan kayu bakar lagi pada api unggun yang sudah sangat besar itu. Kam Liong hampir tak dapat menahannya lagi. Peluhnya telah mulai keluar membasahi jidatnya. Pada waktu ia mengerling ke arah Lili, ternyata bahwa gadis ini masih tersenyum-senyum seakan-akan tak merasa panas sama sekali!

“Kam Liong, kau keluarlah. Kau tak usah ikut serta dalam ujian ini!” kata suhu-nya untuk menolong muridnya ini, karena dia maklum bahwa kepandaian Kam Liong masih belum cukup matang untuk dapat menahan panas yang demikian hebatnya.

Kam Liong lalu menjura dan setelah mengerling sekali kepada Lili, ia lalu keluar dari situ, disambut oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.

“Aduh, kukira kau tak akan keluar, Kam-ciangkun. Kalau aku yang berada di dalam, bisa kering seluruh tubuhku!” kata hwesio gemuk itu.

“Ehh, apakah Nona Sie masih bertahan di dalam?” tanya Ceng To Tosu heran.

Kam Liong mengangguk. Ia belum berani mengeluarkan suara, karena pergantian hawa dari dalam yang panas menjadi dingin sekali di luar, membutuhkan pengerahan tenaga lweekang untuk mengatur aliran darahnya.

Ada pun Lili yang menghadapi kelima orang itu, sambil tersenyum-senyum memandang kepada mereka. Dilihatnya betapa muka kelima orang itu merah sekali tersorot oleh api unggun dan betapa mereka mempertahankan dengan sinkang mereka yang tinggi, tetap saja nampak betapa mereka itu telah mulai terserang rasa panas yang luar biasa ini.

Lili sendiri juga merasakan serangan hawa panas itu, akan tetapi dia bukanlah puteri Pendekat Bodoh dan cucu murid Bu Pun Su kalau harus kalah sedemikian mudahnya. Ia sudah mempelajari latihan sinkang yang luar biasa dari ayahnya, yaitu latihan sinkang pokok yang dahulu diajarkan oleh Bu Pun Su kepada ayahnya. Pengerahan sinkang-nya membuat tubuhnya sebentar-sebentar terasa dingin sekali, maka dia berseru,

“Aduh dinginnya...”

Thian-he Te-it Siansu memandangnya dengan kagum dan heran, lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, “Memang dingin sekali! Biar kutambah lagi kayu bakarnya!” Kakek botak yang kecil ini lalu menambah kayu bakar lagi sehingga api berkobar semakin tinggi dan hawa panas makin menghebat!

Melihat hal ini, diam-diam Lili terkejut sekali. Sinkang dari lima orang tua ini benar-benar hebat sekali, dan karena ia kalah latihan, kalau dilanjutkan akhirnya ia sendiri yang akan mundur dan mengaku kalah. Akan tetapi, Lili adalah puteri Pendekar Bodoh dan ibunya terkenal amat cerdik. Gadis ini pun mempunyai kecerdikan, ketabahan, dan ketenangan yang luar biasa sekali.

Dia lalu berpikir dan mengingat-ingat dongeng yang dulu sering ia dengar dari kakeknya, yaitu Yousuf. Sesudah mengingat sebuah dongeng tentang padang pasir, dia kemudian tersenyum, menghafalkan sajak tentang Abdullah yang terserang panas di padang pasir. Setelah hafal betul di luar kepala, gadis ini lalu tersenyum-senyum girang. Dia lalu berdiri dan mengumpulkan semua kayu bakar, dan dilemparkannya kayu bakar itu ke dalam api unggun. Api kini menyala hebat sekali sampai menyundul pada langit-langit goa!

Lima orang tua itu kaget sekali dan cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, karena kini hawa panas luar biasa hebatnya. Lili sendiri lalu duduk bersila, mengatur napas dan duduk bagaikan orang bersemedhi, seluruh perasaannya melupakan adanya api unggun, bahkan kini membayangkan keadaan di luar goa yang tertutup salju dan dingin sekali.

Sesudah hawa panas sedikit mereda, tiba-tiba gadis ini lalu menyanyikan sajak yang tadi dihafalnya di luar kepala. Dia bernyanyi tanpa mempergunakan perasaannya sehingga ia tidak terpengaruh oleh nyanyiannya sendiri.

Lima orang tua itu mendengar suara yang merdu dan indah, tak dapat bertahan lagi lalu memperhatikan kata-kata nyanyian itu. Memang Lili mempunyai suara yang amat merdu, dan terdengarlah dia bernyanyi keras,

Abdullah kelana sengsara.
Haus, lapar, lelah tak berdaya.
Tersesat di gurun pasir tandus.
Matahari membakar, panas... haus!
Tak tertahankan panasnya, serasa dibakar.
Mata silau, terasa pedas, perih, nanar.
Kulit mengering.
Kepala pening...
Aduh panasnya, panas tak tertahankan...!

Dahulu ketika Yousuf menyanyikan sajak ini ketika mendongengkannya tentang Abdullah si musafir kelana, Lili sering kali merasa ikut kepanasan dan seolah-olah dia merasakan betapa sengsaranya berada di padang pasir yang kering itu. Kini dia bernyanyi dengan suaranya yang merdu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh lima orang tua itu. Dan akibatnya sungguh hebat!

Ketika dia bernyanyi sampai di bagian ‘mata silau, terasa pedas, perih, nanar’, terdengar keluhan Kam Wi yang tidak kuat lagi membuka matanya, seakan-akan api unggun yang bernyala itu berubah menjadi matahari yang luar biasa panas dan menyilaukan matanya. Kepalanya menjadi pening dan betapa pun ditahan-tahannya, ia tidak kuat lagi sehingga untuk berjalan keluar saja dia tidak kuat lagi.

Suheng-nya, Tiong Kun Tojin, yang melihat keadaan sute-nya ini, segera menggerakkan kaki kanannya mendorong tubuh sute-nya itu yang lalu terpental dan bergulingan keluar sampai di pintu goa. Setelah mendapatkan hawa segar dari luar, barulah Kam Wi dapat mengerahkan tenaga dan melompat keluar dengan terengah-engah!

Tiong Kun Tojin menolong sute-nya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, sebab dia sendiri juga sudah hampir tidak kuat, apa lagi ketika Lili mengulang nyanyiannya dan menambahkan semua sisa kayu bakar pada api unggun itu!

Juga Hailun Thai-lek Sam-kui dengan susah payah berusaha untuk menahan serangan hawa panas yang luar biasa dan yang sekarang menjadi berlipat ganda hebatnya setelah mereka mendengarkan nyanyian Lili.

“Tutup mulut...! Jangan menyanyi...!” Thian-he Te-it Siansu membentak.

Akan tetapi bentakannya ini membuat dia semakin lemah dan pertahanannya tidak dapat melawan pengaruh panas yang mendesak. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar dari situ dan langsung diikuti oleh kedua orang sute-nya. Sesampai di luar, mereka terengah-engah dan cepat-cepat duduk bersemedhi untuk mengatur napas.

Tiong Kun Tojin berusaha mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah ternama, dia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam hal menghadapi api unggun oleh gadis yang cerdik dan banyak akal ini. Akan tetapi gema nyanyian Lili betul-betul membuat dia bohwat (kehabisan akal) dan terpaksa ia lalu berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang ternyata sekarang bernyanyi sambil duduk bersemedhi meramkan matanya itu.

Lili memang sedang memusatkan tenaganya dan biar pun mulutnya bernyanyi, tetapi dia bernyanyi tanpa menggunakan perasaan atau pikiran. Tahulah Tiong Kun Tojin akan akal bulus gadis ini dan diam-diam ia menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat berdiam di situ lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar dari goa.

Berbeda dengan yang lain-lain, dia keluar dengan tenang dan sambil berjalan. Dia sudah mengatur napasnya sehingga ketika tiba di luar goa, keadaannya tidak apa-apa, hanya mukanya saja telah penuh dengan peluh!

Baru saja tiba di luar, berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja mukanya, tanpa peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis ini sehingga semua orang memandangnya dengan penuh kekaguman.

“Ahh, tidak mengecewakan kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan setulus hati.

Juga Sin-houw-enghiong Kam Wi yang berwatak kasar dan jujur lantas berkata kepada Kam Liong,

“Liong-ji, apa bila kau dapat berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh ayahmu akan tersenyum bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan pinangan!”

Kam Liong menjadi kaget sekali dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu. Diam-diam dia mengerling ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan merah akibat panasnya api, akan tetapi merah sampai ke telinga-telinganya saking malu, jengah dan marahnya.

Dia memandang dengan mata bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk memaki. Akan tetapi Kam Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam lalu berkata,

“Nona Sie, mohon maaf sebanyaknya apa bila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah, Siok-hu (Paman) tidak bermaksud buruk dan dia sama sekali bukan hendak menghinamu. Harap kau sudi memaafkannya.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau terus melanjutkan kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan tetapi tetap saja dia mengomel,

“Agaknya orang di sini tidak tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa mempedulikan orang lain seolah-olah dia yang lebih tinggi dan lebih pintar. Kam-ciangkun, marilah kita melanjutkan perjalanan, aku hendak mencari keluargaku. Untuk apa kita lama-lama di sini? Kalau kau masih hendak lama berdiam di tempat ini, terpaksa aku akan pergi lebih dulu!”

Kam Liong menjadi serba salah dan memandang kepada suhu serta pamannya. Akan tetapi sebelum tiga orang ini dapat mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu, orang pertama dari Thai-lek Sam-kui itu, berkata sambil tertawa,

“Nona Sie, kau telah mengakali kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum puas karena belum melihat kepandaianmu yang sebenarnya. Marilah kau melayani kami sebentar, hendak kulihat apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal bulusmu!” Sambil berkata demikian, kakek kate ini menggerak-gerakkan payungnya.

Pada waktu itu Lili sedang merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini mendengar orang menantangnya, ia menjawab marah,

“Kalian ini tiga orang iblis tua ternyata jahat dan sombong. Kalian kira aku takut kepada kalian? Di dalam waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu perjuangan dan mengusir para pengacau, akan tetapi siapa tahu bahwa ternyata kalian hanya hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang kalian jumpai. Kalian hendak mengajak berkelahi? Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut sedikit pun!”

Sambil berkata begitu sekali ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam sudah berada di tangan kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Dia berdiri dengan sikap gagah sekali, mukanya merah matanya menyala.

Melihat sikap ini, Tiong Kun Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun Thai-ek Sam-kui,

“Sam-wi sungguh tidak dapat membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda seperti Nona Sie, seharusnya jangan disamakan dengan pembicaraan terhadap seorang yang telah masak oleh api pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling kepada Lili dan berkata,

“Nona Sie, sesungguhnya memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian tiap orang yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka. Kalau yang dijumpainya itu adalah seorang yang mereka anggap tidak cukup sempurna kepandaiannya dan tidak cukup berharga, walau dipaksa-paksa sekali pun jangan harap akan dapat membuat mereka turun tangan mengajak bertanding! Tantangannya ini ialah suatu cara penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena itu, harap kau jangan marah dan lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan saja, yaitu hanya merupakan pibu (pertandingan kepandaian) biasa untuk menentukan siapa yang tingkatnya lebih unggul!”

Lili tersenyum menyindir saat menjawab, “Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak, sungguh pun harus aku akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua ini termasuk tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi mengapa hanya untuk menghadapi aku seorang saja mereka bertiga hendak maju berbareng? Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah kalau hal ini hanya sebuah pibu biasa maka nama mereka akan merosot turun?”

Bouw Ki orang ke tiga dari Thailek Sam-kui tertawa bergelak.

“Nona Sie, kami bertiga disebut Tiga Setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak mempedulikan nama dan juga telah menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama, hidup bertiga mati bertiga! Nona, bila mana seorang di antara kami menang, kami tidak dapat memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah, harus kami pikul bertiga. Ha-ha-ha!”

Lili adalah seorang gadis yang keras hati, mendengar omongan ini dia menjadi semakin marah.

“Majulah, majulah! Siapa takut padamu?”

Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara aneh dan payungnya menyambar ke arah pinggang Lili.

“Anak Pendekar Bodoh, awaslah!” serunya.

Lili melihat bahwa biar pun payung itu merupakan benda sederhana saja, namun dia tahu bahwa itu adalah sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili sebuah tongkat, juga setiap jari-jari payung itu merupakan tongkat-tongkat kecil yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia tidak berlaku ayal lagi dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar suara keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang angin pukulan yang aneh, Thian-he Te-it Siansu menjadi kagum sekali.

Begitu pukulan pertama dari payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili, lalu menyusullah serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya dan Lak Mou Couwsu yang mainkan rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah terkurung oleh tiga orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.

Akan tetapi, gadis yang berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung rambut pun, bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui San-hoat peninggalan dari Swi Kiat Siansu dan memperhebat pula serangan pedang di tangan kanannya yang memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan ayahnya.

Ketika Thian-he Te-it Siansu menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung Lili, gadis ini lalu berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula, dikebutkan ke arah payung sedangkan pedangnya tidak tinggal diam, melainkan menahan datangnya rantai dan tongkat!

“Nanti dulu!” seru Thian-te Te-it Siansu pada saat merasa betapa kebutan kipas itu telah menolak hawa pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu kipas maut San-sui San-hoat dari Swi Kiat Siansu?”

Lili tidak mau menahan senjatanya dan sambil menyerang terus dia berseru, “Kalau betul kau mau apa?”

“Ha-ha-ha! Katanya kau puteri Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut dari Swi Kiat Siansu? Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he Te-it Siansu yang paling pandai bicara di antara kedua mengejek Lili.

Memang sesungguhnya, Thian-he Tiat Siansu agak jeri menghadapi ilmu kipas maut dari Swi Kiat Siansu, karena ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang mainkan ilmu silat ini. Ketiga orang Iblis Geledek dari Hailun ini memang pernah mengadu kepandaian dengan Swi Kiat Siansu dan biar pun tokoh terbesar dari utara ini hanya mainkan sebuah kipas butut, namun ketiga orang iblis ini terpaksa mengakui keunggulan Swi Kiat Siansu!

Kini melihat bahwa gadis muda ini pandai pula memainkan ilmu Kipas San-sui San-hoat, di samping jeri terhadap ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa jeri apa bila menghadapi nama kakek jagoan dari utara itu. Maka dia sengaja mengejek Lili agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya dari Pendekar Bodoh.

Lili adalah seorang gadis muda yang betapa pun cerdik dan tabahnya, akan tetapi masih kurang pengalaman. Dalam sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan segala kepandaian yang pernah dia pelajari, karena namanya juga pibu (mengadu kepandaian). Kalau dia menyimpan dan tidak mempergunakan sesuatu kepandaiannya, kalah menang justru tak dapat dipergunakan sebagai ukuran. Mendengar ejekan Thian-he Te-it Siansu itu, dia menjadi marah sekali.

“Tua bangka, kau kira aku hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk mengalahkan orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang beserta tangan kiriku saja.” Sambil berkata demikian, Lili cepat menyelipkan kipas mautnya di pinggang, kemudian ia menyerang lagi sambil memutar pedang Liong-coan-kiam sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata.

“Bagus sekali. Aku tidak pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi ilmu ini betul-betul hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.

Memang Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut merupakan ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu sebagian dari Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang ada orang yang pernah menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang yang baru dapat dimainkan oleh orang yang telah memiliki kepandaian pokok segala ilmu silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah dimiliki oleh Pendekar Bodoh.

Meski pun Lili sudah dilatih oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis ini belum sanggup menangkap pelajaran mengenal pokok dan dasar ilmu silat seperti yang dimiliki ayahnya, maka sukarlah baginya untuk mempelajari Ilmu Pedang Daun Bambu. Dan sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu menciptakan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut untuk puterinya.

Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Lak Mou Couwsu yang jujur. Apa bila sekiranya yang menghadapi ilmu pedang ini hanya seorang di antara Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu mereka akan kuat menahan. Gerakan pedang ini sama sekali tidak pernah terduga dan pergerakannya amat wajar, tetapi tepat dan sesuai dengan gerakan lawan.

Ilmu pedang ini menjadi ‘hidup’ apa bila digunakan menghadapi serangan lawan, karena sambil menangkis, pedang Liong-coan-kiam itu akan terus bergerak dan secara otomatis menyerang bagian yang paling lemah dari lawan yang masih berada dalam kedudukan menyerang itu.

Pernah dituturkan di dalam cerita Pendekar Bodoh betapa pendekar ini menciptakan Ilmu Pedang Daun Bambu dengan menjadikan daun-daun bambu yang bergerak-gerak tertiup angin sebagai ‘lawan-lawan’ yang ratusan jumlahnya. Apa bila daun-daun bambu itu tak bergerak tertiup angin, agaknya Sie Cin Hai si Pendekar Bodoh juga tidak akan berhasil menciptakan ilmu pedang yang lihai ini. Akan tetapi dengan ratusan daun bambu yang bergerak-gerak, maka gerakan pedangnya menjadi ‘hidup’ sehingga sungguh pun batang bambu terlindung oleh ratusan daunnya yang bergerak-gerak, namun tetap saja ujung pedangnya dapat melukai batang-batang bambu tanpa melanggar sehelai pun daun!

Tentu saja dalam hal ilmu pedang, Lili masih jauh di bawah kepandaian ayahnya. Selain belum matang betul, juga pengertiannya mengenai pokok dasar gerakan masih belum sepandai ayahnya. Ditambah pula sekarang dia menghadapi keroyokan tiga tokoh besar di dunia kang-ouw yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat mereka yang aneh pula, maka sesudah bertempur puluhan jurus, Lili mulai terkurung rapat dan terdesak.

Sementara itu, tidak saja Tiong Kun Tojin dan Kam Wi memandang dengan amat kagum menyaksikan ilmu kepandaian Lill, akan tetapi terutama sekali Kam Liong menjadi sangat terkejut. Sedikit pun tidak pernah disangkanya bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya sehingga mampu menghadapi keroyokan Hailun Thai-lek Sam-kui! Akan tetapi dia merasa bukan main cemasnya pada saat melihat betapa gulungan sinar pedang gadis itu semakin menjadi kecil karena terdesak oleh tiga senjata istimewa yang dimainkan oleh tiga iblis tua itu.

“Liong-ji,” tiba-tiba saja Kam Wi berkata dengan penuh kekaguman, “Nona ini betul-betul patut menjadi isterimu! Aku akan melamarnya untukmu kepada Pendekar Bodoh!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan keras sehingga terdengar pula oleh Lili yang menggigit bibirnya dengan muka makin merah. Akan tetapi dia tidak sempat untuk melayani orang kasar yang jujur ini.

“Memang mengagumkan sekali,” Tiong Kun Tojin berkata, “pinto sendiri pun sepenuhnya setuju kalau Kam Liong dapat berjodoh dengan Nona Sie yang gagah perkasa ini.” Akan tetapi ucapan tosu ini hanya perlahan dan terdengar oleh Kam Liong dan Kam Wi saja. Tentu saja Kam Liong merasa amat gembira mendengar ucapan dua orang ini.

“Sungguh pun teecu merasa setuju sekali akan tetapi orang seperti teecu mana berharga untuk menjadi jodohnya?” kata pemuda ini dengan hati berdebar.

Ucapan terakhir dari pemuda ini terdengar oleh Lili maka ia menjadi makin tak enak hati. Dia ingin sekali mengalahkan ketiga orang lawannya dan segera pergi dari mereka yang membuatnya amat jengah dan malu, akan tetapi bagaimana ia dapat lolos dari kepungan tiga orang lawan yang hebat ini?

Dia telah mendengar penuturan Goat Lan betapa gadis kosen itu pun kalah menghadapi keroyokan Thai-lek Sam-kui, maka teringatlah dia akan cerita Goat Lan bahwa tiga iblis tua ini tak bermaksud mencelakakan lawannya dan hanya bertempur mati-matian karena haus akan kemenangan belaka!

Mereka tidak akan melukaiku, pikir Lili, dan gadis ini memutar otaknya yang cerdik. Kalau aku tidak menggunakan senjata, mereka tentu takkan mendesak hebat dalam kekuatiran mereka melukaiku dan apa bila mereka memperlambat gerakan, maka dengan ilmu silat Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) apakah aku takkan dapat merampas senjata mereka? Setelah berpikir demikian gadis ini kemudian menyimpan pedangnya dan kini ia bersilat dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat tangan kosong ciptaan Bu Pun Su kakek gurunya yang khusus untuk menghadapi lawan bersenjata!

Tubuh gadis yang lincah ini menjadi makin ringan dan dia lalu melompat ke sana ke mari bagai burung merak indah yang menyambar-nyambar di antara sambaran senjata lawan sambil mencari kesempatan untuk mengulur tangan dan mencengkeram senjata lawan untuk dirampasnya.

“Aduh, hebat! Inilah agaknya Kong-ciak Sin-na dari Bu Pun Su yang lihai!” Thian-he Te-it Siansu berseru. “Dia mau merampas senjata, lekas kita menghadapinya dengan tangan kosong pula!”

Ternyata kakek kate ini cerdik sekali dan ia telah tahu akan maksud gadis itu. Lili menjadi semakin gelisah dan gemas. Karena sekarang ketiga orang lawannya bertangan kosong dan mereka ternyata adalah ahli-ahli lweekeh yang tenaganya hebat, harapannya untuk dapat lolos menjadi tipis sekali. Di dalam kemarahannya, Lili kemudian merubah gerakan tubuhnya dan kini dua lengannya mengebulkan uap putih dan hawa pukulan yang hebat keluar dari lengan yang berkulit putih halus itu!

“Hebat sekali, inilah Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su!” teriak Thian-te Te-it Siansu dengan gembira.

Dia sudah mencabut payungnya lagi yang segera dikembangkan untuk menangkis hawa pukulan yang luar biasa dari Lili. Juga kedua orang adiknya lalu mengeluarkan senjata masing-masing karena dengan bertangan kosong, mereka tidak akan berani menghadapi Pek-in Hoat-sut yang lihai.

Bukan main gemasnya hati Lili. Dia berseru nyaring, “Baiklah, aku akan mengadu jiwa dengan kalian!”

Dan sekejap mata kemudian, kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangannya. Inilah keputusan terakhir yang berarti bahwa gadis ini bukan hendak pibu lagi, melainkan hendak bertempur mati-matian dengan maksud membunuh!

Akan tetapi, ketiga orang iblis tua itu tidak takut sama sekali, bahkan terdengar mereka tertawa-tawa mengejek sambil mengurung Lili. Memang mereka bertiga tentu saja lebih kuat dari pada Lili, dan betapa pun gadis ini mainkan kipas dan pedangnya, tetap saja ia terkurung dan tak dapat lolos!

Tiba-tiba saja berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi oleh Tiong Kun Tojin mau pun Kam Wi, Kam Liong telah meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan pedang di tangan.

“Sam-wi Totiang, harap suka melepaskan Nona Sie!” Panglima Muda ini berteriak sambil memutar pedangnya, membantu Lili menangkis serangan lawan.

Thai-lek Sam-kui lalu menunda serangannya, “Ha-ha-ha, Kam-ciangkun, tentu saja kami akan menghentikan serangan kalau Nona Sie suka mengaku bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”

“Jangan ngacau!” bentak Lili. “Biar pun ada sepuluh orang seperti kalian, ayahku takkan kalah!” Dengan gemas sekali, gadis ini lalu menyerang lagi dan disambut oleh Thai-lek Sam-kui sambil tertawa-tawa.

“Sam-wi Totiang, jangan serang dia!” Kam Liong kembali mencegah.

“Kam-ciangkun, kau sayang kepada Nona ini? Boleh kau bantu padanya agar permainan ini lebih gembira. Ha-ha-ha!” Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak.

Demikianiah, pertempuran kini menjadi lebih ramai lagi dengan adanya Kam Liong yang membantu Lili. Lili menjadi makin gemas. Bantuan dari Kam Liong tidak menyenangkan hatinya, karena hal itu dianggap merendahkannya. Akan tetapi apa pula yang dapat dia lakukan? Betapa pun juga, harus ia akui bahwa seorang diri saja tak mungkin ia akan dapat lolos dan kini bantuan Kam Liong, biar pun tak dapat mendatangkan kemenangan baginya namun dapat membuat ia agak bernapas lega, tidak repot seperti tadi.

Melihat betapa pertempuran itu, terutama dari pihak Lili, dilakukan dengan mati-matian dan sungguh-sungguh, timbul hati khawatir pada Tiong Kun Tojin dan Kam Wi. Keduanya saling memberi tanda dengan mata dan sekali mereka menggerakkan tubuh, mereka pun telah melompat ke dalam gelanggang pertempuran.

“Sam-wi Beng-yu, harap suka mengalah dan mundur!” Tiong Kun Tojin berkata sambil menggerakkan tangannya ke arah payung yang dipegang oleh Thian-he Te-it Siansu. Si Kakek Kate ini merasa betapa angin pukulan yang amat hebat keluar dari tangan tokoh Kun-lun-pai itu, maka cepat dia menarik kembali payungnya dan melompat mundur.

Juga Kam Wi sebagai tokoh Kun-lunpai ke dua, lalu memperlihatkan kepandaiannya. Dia hanya mengebutkan kedua ujung lengan bajunya, akan tetapi kedua ujung baju itu sudah cukup untuk menggempur tongkat dan rantai di tangan Bouw Ki dan Lak Mou Couwsu sehingga senjata mereka terpental ke belakang!

Hailun Thai-lek Sam-kui melompat mundur dan Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak. “Nona Sie, sekarang sudah sepantasnya kalau kau mengakui bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui masih lebih unggul dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”

“Manusia sombong, kalau sewaktu-waktu kalian mendapat kehormatan bertemu dengan ayah, kalian ini seorang demi seorang tentu akan mendapat tamparan agar melenyapkan kesombonganmu!” Setelah berkata demikian, Lili lalu mengangguk kepada Kam Liong dan berkata,

“Kam-ciangkun, maafkan, aku tidak dapat berdiam di sini lebih lama lagi!” Dia kemudian melompat jauh dan tidak pedulikan lagi seruan Kam Liong yang hendak menahannya.

Tiong Kun Tojin menarik napas. “Seorang gadis yang gagah. Aku setuju usul Sute untuk menjodohkannya dengan Kam Liong.”

Kam Wi menegur Thai-lek Sam-kui mengapa mereka ini sebagai orang-orang tua masih suka mengganggu seorang gadis muda seperti itu. Ada pun Kam Liong, betapa pun mendongkolnya terhadap Thai-lek Sam-kui, namun ia tidak berani menegur. Mereka lalu masuk kembali ke dalam goa yang kini telah padam api unggunnya, lalu merundingkan cara untuk mencegah penyerbuan tentara musuh, yaitu bala tentara Mongol dan Tartar.

“Pinto mendengar berita bahwa pasukan Mongol dibantu oleh orang-orang pandai dari pedalaman, entah siapa-siapa orangnya. Oleh karena inilah maka pinto dan Siok-hu-mu sengaja mengumpulkan teman-teman untuk menghadapi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tak tahu malu itu,” kata Tiong Kun Tojin kepada muridnya. “Baiknya kau pimpin dulu pasukanmu untuk menjaga garis depan di sepanjang tembok besar, pinto akan menanti dahulu di sini sampai kawan-kawan kita tiba di sini, baru kami akan menyusul ke garis depan.”

Setelah berunding, Kam Liong lalu kembali ke tempat di mana pasukannya berhenti dan kemudian memimpin pasukannya maju terus ke utara. Di dalam hatinya ia merasa amat menyesal dan kecewa sekali karena Lili telah meninggalkannya sehingga diam-diam dia menyumpahi Hailun Thai-lek Sam-kui yang telah menyebabkan gadis itu menjadi marah-marah dan pergi.

Akan tetapi secara diam-diam dia juga merasa girang dan bersyukur sekali karena suhu dan siok-hu-nya sudah berjanji hendak meminang Lili untuknya kepada Pendekar Bodoh! Maklum bahwa gadis itu pasti akan pergi ke Gunung Alkata-san dimana Hong Beng dan Goat Lan berada, maka dia pun tidak merasa khawatir. Dia lalu mempercepat perjalanan pasukannya ke Gunung Alkata-san.

Mari kita sekarang mengikuti perjalanan Lie Siong putera Ang I Niocu, pemuda remaja yang gagah perkasa dan berwatak sukar dan aneh itu. Sebagaimana telah diketahui, Lie Siong berhasil menotok Lo Sian hingga tidak berdaya dan membawa Pengemis Sakti itu. Ia menculik Lo Sian bukan karena ia benci kepada pengemis ini, akan tetapi sebenarnya karena dia ingin sekali mengetahui keadaan ayahnya, yakni pendekar besar Lie Kong Sian.

Setelah membawa Lo Sian jauh dari Shaning malam hari itu, Lie Siong lalu menurunkan Lo Sian dari pondongannya dan meletakkannya di atas rumput. Dia tidak membebaskan Lo Sian dari totokan, sebaliknya bahkan lalu merebahkan diri di bawah pohon dan tidur. Pemuda ini telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah bangun dan ketika melihat ke arah Lo Sian, dia melihat pengemis tua itu masih berbaring tanpa dapat bergerak. Timbullah rasa kasihan dalam hatinya, maka dia lalu menghampiri Lo Sian dan melepaskan totokannya. Beberapa kali urutan dan tepukan pada tubuh pengemis itu, terbebaslah Lo Sian. Akan tetapi oleh karena selama setengah malam Lo Sian berada dalam keadaan tertotok, dia masih merasa lemas dan hanya dapat bangun duduk dengan payah sekali.

Pengemis ini segera meramkan mata bersemedhi untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan mengatur napasnya agar supaya jalan darahnya bisa normal kembali. Lie Siong lalu menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan pengemis itu dan membantunya dengan menyalurkan hawa dan tenaga dalamnya hingga sebentar saja Lo Sian merasa tubuhnya hangat dan kuat.

Diam-diam Lo Sian merasa heran melihat pemuda ini. Baru saja menotok, menculik dan menyiksanya dengan membiarkannya dalam keadaan tertotok sampai setengah malam, akan tetapi sekarang bahkan membantunya melancarkan jalan darahnya sehingga cepat menjadi baik kembali. Sungguh pemuda yang aneh sekali!

Ia membuka matanya dan menggerakkan tangannya. Lie Siong lalu menjauhkan diri dan duduk menghadapi pengemis itu.

“Anak muda, apa maksudmu menculik kemudian membawaku ke tempat ini?” kata-kata pertama yang keluar dari mulut Lo Sian ini terdengar tenang sekali.

Pandangan mata pengemis ini yang begitu tenang dan mengandung tenaga batin yang tinggi, membuat Lie Siong tiba-tiba merasa malu kepada diri sendiri sehingga mukanya menjadi kemerah-merahan. Pandang mata ini mengingatkan dia pada ayahnya. Seperti itulah pandang mata ayahnya, kalau dia tak salah ingat.

“Maaf, Lopek. Sebenarnya aku tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan sungguh tidak ada alasan sama sekali bagiku untuk menyusahkan kau orang tua. Akan tetapi ucapanmu yang kudengar di rumah Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu dahulu itu selalu tidak pernah dapat terlupakan olehku. Ketahuilah, terus terang saja aku adalah putera tunggal dari Lie Kong Sian, Ang I Niocu adalah ibuku, dan namaku Lie Siong. Cukup sekian keterangan mengenai diriku. Sekarang yang paling penting, apakah maksud kata-katamu dahulu itu yang menyatakan bahwa ayahku telah meninggal dunia? Ketahuilah bahwa aku sedang mencari ayahku dan di Pulau Pek-le-to aku tidak dapat menemukannya. Karena kau mengenal ayahku, maka aku ingin agar kau menceritakan apa maksud kata-katamu tentang kematian ayah itu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu memandang tajam.

Lo Sian merasa ngeri melihat mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat tajam, seakan-akan hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah mata Ang I Niocu, Pendekar Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan dunia persilatan.

“Sayang sekali, orang muda. Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku sendiri pun tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”

“Lopek, harap kau orang tua jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan tetapi sekarang kau menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”

“Aku bicara sebenarnya, anak muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga membohong kepadamu. Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu apa yang telah terjadi dahulu. Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat Thian Kek Hwesio sampai sekarang. Sebelum itu, yang teringat olehku hanya bahwa ayahmu telah meninggal dunia.”

“Di mana matinya dan bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.

Lo Sian menarik napas panjang. “Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan kukerjakan pertama-tama kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang ayahmu itu. Akan tetapi apa daya, pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku untuk hidup hampir musnah karena aku telah berusaha mengingat-ingat tanpa hasil sedikit pun juga. Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”

Lo Sian lalu menceritakan semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula semua pengalamannya yang didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia dulu menolong Lili.

“Ahh, sampai sekarang aku tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku disembuhkan oleh Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di depan mataku, yaitu ayahmu yang telah meninggal dan ucapan pemakan jantung yang selama ini membuatku tak dapat tidur.”

Lie Siong mengerutkan alisnya. Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja sembuh dari sakit gila?

“Betapa pun juga, anak muda. Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam keadaan yang mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat kuburannya, tentu akan mengenal tempat itu.”

Timbul kembali harapan Lie Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kalau begitu, Lopek. Terpaksa kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau benar-benar dia telah meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”

“Boleh, boleh! Hanya saja... bagaimana dengan Lili?”

“Lili siapa?”

“Sie Hong Li, nona yang kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak atau keponakanku sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”

“Biar saja, dia bukan anak kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri,” jawab Lie Siong tegas.

“Ke mana kita akan pergi?”

“Sudah kukatakan tadi, mencari makam ayah.”

“Setelah itu?”

“Aku akan mengantarkan seorang gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”

Lo Sian teringat akan cerita Lili. “Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”

Merah muka Lie Siong. “Jangan berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani, seorang gadis Haimi yang kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia menderita penyakit pikiran dan kutinggalkan di rumah Thian Kek Hwesio. Kita sekarang menuju ke sana untuk melihat keadaannya.”

Lo Sian tertegun mendengar kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis yang berhati keras, akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!

“Baiklah, aku menurut saja, karena aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang pendekar besar. Biar pun aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku dahulu tentu pernah ditolong oleh ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau sekarang aku membantumu mencarikan makamnya. Jangan sekali-kali kau menganggap kepergianku denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu, anak muda. Ahh, bukan sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun aku Sin-kai Lo Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu karena aku pun ingin sekali mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian ayahmu.”

Lie Siong mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang dianggapnya cukup gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah kedua orang ini menuju ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang bernasib malang itu. Tentu saja sebagai seorang yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lie Siong tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.


Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su Episode Pendekar Remaja


Dengan hati girang Lie Siong mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja gadis ini sekarang berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak nasehat dan petuah dari Thian Kek Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini menganggap Thian Kek Hwesio sebagai satu-satunya orang yang dapat diajak bertukar pikiran. Pendeta tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham dengan bahasa Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah tenang dan sabar.


“Itulah salahnya bila orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang sudah jauh lebih tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang gadis seperti engkau melakukan perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti Lie Siong yang tampan dan gagah. Mudah sekali bagi iblis untuk mengganggu kalian.” Hwesio itu menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau memang benar-benar sudah merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda itu, jalan satu-satunya bagimu adalah kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu dan kebiasaan Lie Siong, sebagai seorang gadis Haimi dan seorang pemuda Han tidak cocok sekali. Kau biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat oleh peraturan-peraturan kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu terlepas sedikit saja, akan membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau menikah denganmu, akan tetapi kalau hal demikian tidak terjadi, jalan satu-satunya adalah seperti yang kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”

Lilani mendengarkan nasehat ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai mengucur. Alangkah besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia juga dapat merasakan bahwa pemuda itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar nasehat dari Thian Kek Hwesio, memang dia sudah mengambil keputusan untuk kembali kepada bangsanya, dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.

Demikianlah, ketika Lie Siong datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam kamarnya dan berkata, “Anak muda she Lie. Pinceng telah mendengar semua penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan saja terus terang kepada pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”

Lie Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya. Akan tetapi pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan berkata, “Betapa pun juga, Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan meninggalkan dia begitu saja. Aku akan menjaganya, kalau perlu mengambilnya sebagai adik angkat, atau… bagaimana saja menurut sekehendak hatinya asalkan... asalkan jangan menjadi suaminya!”

“Pinceng maklum akan isi hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau mengakui kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis itu, kau boleh disebut orang baik.”

“Aku akan mencari suku bangsa Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu saja aku tidak akan memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”

Thian Kek Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa girang sekali mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak muda. Kalau kau bukan putera pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan kebajikan, kiranya pinceng tak akan mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu. Akan tetapi, sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas segala perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran bersama Lilani dan sungguh pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya dan sekali-kali jangan menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan. Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan menjadi seorang siauw-jin (orang rendah). Mengertikah kau?”

Kalau sekiranya yang bicara itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh luar biasa memancar keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu, pasti Lie Siong akan menjadi marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu hanya menundukkan kepala dan menyatakan kesanggupannya.

Ketika Lilani bertemu dengan Lie Siong, gadis itu memandang dengan mata sayu, lalu bertanya perlahan, “Taihiap, bilakah kita akan mencari suku bangsaku?”

“Sekarang juga, Lilani. Hari ini juga!” jawab Lie Siong dengan hati diliputi keharuan besar.

Ada pun Lo Sian begitu bertemu dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat dia memberi hormat. Hwesio sangat tua itu mengangguk-angguk lagi dengan senang.

“Adanya Sin-kai Lo Sian bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu betul-betul seorang yang boleh dipercaya,” pikir hwesio ini, karena dia tahu betul orang macam apa adanya Sin-kai Lo Sian.

“Lebih baik kita mengantar dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan rombongan suku bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, baru kita mencoba untuk mencari keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian sesudah mereka bertiga mulai melakukan perjalanan.

Lie Siong menyetujui pikiran ini, akan tetapi dia hendak mengetahui pendirian Lilani yang kini nampak demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.

“Taihiap tahu bahwa aku selalu hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya ikut, karena apakah daya seorang seperti aku?” jawaban ini tak saja membuat Lie Siong menjadi amat terharu, bahkan Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang urusan mereka, menjadi kasihan sekali melihat Lilani. Dia lalu bersikap ramah tamah dan baik terhadap gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka kepada Pengemis Sakti ini.

Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas Mongolia di Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota dan dusun lainnya di dekat tapal batas, karena penduduknya sebagian besar telah pergi mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan gangguan tentara-tentara.

Di sepanjang jalan, Lie Siong dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para tentara Mongol dan Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah sekali dan beberapa kali dia menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau dia bertemu dengan tentara musuh, dia tentu akan menyerang mereka! Sebaliknya, pemuda itu hanya diam saja tidak menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo Sian untuk mengetahui isi hati pemuda aneh ini.

Seperti biasa, di dalam kota Ciang-kou mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil yang sudah ditinggal pergi oleh para hwesio-nya, dan di sana hanya terdapat dua orang hwesio penjaga kuil yang ramah tamah.

“Sicu, sungguh amat berani sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota ini dapat diserbu oleh gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini tidak ada bahayanya.” Kedua hwesio ini memandang kepada Lilani dengan kening dikerutkan.

Betapa pun Lilani bersikap sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang berbeda dengan gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa dia bukanlah gadis bangsa Han. Kulit seorang gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang kulitnya kekuning-kuningan. Sebaliknya kulit tubuh gadis ini putih kemerah-merahan.

“Biarkan mereka datang, akan kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.

Kedua orang hwesio itu diam saja, akan tetapi di dalam hatinya mengejek orang yang berpakaian pengemis itu. Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan Mongol yang mempunyai banyak perwira pandai?

Akan tetapi, ketika Lie Siong minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan mengeluarkan uang perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta melayani mereka dengan ramah. Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa diam-diam kedua orang hwesio itu telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama Lilani kepada seorang gagah yang selalu melakukan pengawasan terhadap mata-mata Mongol di tempat itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman dari Kam Liong!

Di dalam usahanya mencari kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari serangan musuh, Kam Wi memisahkan diri dari suheng-nya, Tiong Kun Tojin dan pergi sampai ke kota Ciang-kou. Di sepanjang jalan dia selalu berlaku waspada. Apa bila dia melihat ada orang-orang kang-ouw yang hendak menyeberang ke utara untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu akan dibujuknya, baik dengan jalan halus atau pun dengan cara kasar!

Mendengar laporan kedua orang hwesio itu bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya mencurigakan bersama seorang gadis Haimi hendak bermalam di kuil, diam-diam Kam Wi merasa curiga sekali. Pada keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan Lilani melanjutkan perjalanan mereka, sebelum meninggalkan kota yang sunyi itu, tiba-tiba saja mereka sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar yang melompat keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah Kam Wi.

Begitu melihat keadaan Lilani, maka tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis ini memang seorang gadis Haimi. Maka, untuk mencari bukti, dia segera menegur Lilani dalam bahasa Haimi,

“Apakah kau orang Haimi?”

Ditegur demikian tiba-tiba dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan tetapi dia menjawab juga, “Betul! Saudara siapakah?”

Akan tetapi Kam Wi tak banyak cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak menangkap pundak kiri Lilani, “Mata-mata Mongol! Jangan harap kau akan dapat melepaskan diri dari Sin-houw Enghiong!”

Akan tetapi Lilani bukanlah seorang gadis yang lemah. Ia pun telah mendapat tambahan pelajaran silat dari Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa orang tinggi besar yang berwajah galak itu tiba-tiba menyerang dan hendak menangkap pundaknya, dia cepat mengelak dan melompat mundur.

Bukan main marahnya hati Kam Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu. Sekarang kecurigaannya makin bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari cengkeramannya pastilah bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi mata-mata Mongol atau setidaknya pencari orang-orang kang-ouw untuk membantu gerakan bangsa Mongol.

“Bagus, kau berani mengelak? Cobalah kau mengelak lagi kalau dapat!” Sambil berkata demikian, Kam Wi mengeluarkan kepandaiannya yang sangat diandalkan, yaitu Ilmu Silat Houw-jiauw-kang! Tangannya terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku harimau dan dia menubruk ke depan untuk menangkap atau mencengkeram pundak gadis itu!

Lilani benar-benar menjadi bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat bukan main dan kedua tangan Kam Wi yang merupakan kuku harimau itu betul-betul sulit untuk dielakkan lagi. Jalan ke kanan kiri atau ke belakang telah tertutup sehingga Lilani hanya akan dapat menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke atas atau amblas ke dalam bumi!

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar mumbul ke atas! Kam Wi sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang hendak ditangkapnya itu lenyap dari depan matanya dan telah melompati tubuhnya, melalui atas kepala dan tiba di belakangnya! Ia cepat menengok dan ternyata bahwa yang menolong gadis itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang dengan tenangnya.

Memang sesungguhnya adalah Lie Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam Wi tadi. Ketika tadi pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya cengkeraman yang demikian lihainya, cepat dia melompat sambil menyambar pinggang Lilani, dibawa lompat melewati atas kepala Kam Wi dengan gerakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang menerjang Mega)! Dengan gerakan ginkang yang luar biasa ini ia pun berhasil menolong gadis itu sehingga kini Kam Wi memandang dengan tertegun dan penuh kekaguman.

“Siapa Saudara muda yang gagah ini? Mengapa dapat bersama dengan seorang gadis Haimi yang menjadi mata-mata Mongol? Apakah mungkin seorang enghiong yang gagah perkasa sampai tersesat dan hendak mengkhianati bangsa sendiri?”

Sebelum Lie Siong sempat menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya. Pengemis tua ini mengangkat kedua tangan menjura sambil berkata, “Orang gagah, harap kau suka bersabar dahulu, agaknya kau sudah salah sangka! Kami sekali-kali bukanlah pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”

Kam Wi berpaling kepada Lo Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh perhatian dan berkata, “Ahh, bukankah aku berhadapan dengan Sin-kai Lo Sian?”

Lo Sian tertegun dan ia mengerti bahwa dulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu atau bahkan kenal dengannya, akan tetapi dia telah lupa sama sekali. Karena itu dengan senyum ramah ia berkata,

“Maaf, memang benar siauwte adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh otakku yang tumpul tidak ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di hadapanku sekarang.”

Kam Wi tertawa bergelak. “Ah, ahh, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku sudah tak ragu-ragu lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan tetapi sungguh sangat mengherankan apa bila seorang Sin-kai Lo Sian sampai lupa kepadaku. Aku adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan Sin-houw-enghiong dari Kun-lun-pai?”

Akan tetapi Kam Wi tidak tahu bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya. Bagaimanakah pengemis ini dapat ingat kepadanya sedangkan terhadap diri sendiri saja sudah lupa? Akan tetapi Lo Sian tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia menjura lagi sambil berkata,

“Ah, tidak tahunya Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami tidak tahu sebelumnya maka sudah berani bertindak kurang ajar. Harap Enghiong suka melepaskan kami, karena sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya maka bisa sampai di tempat ini.”

Kam Wi berdiri ternganga. Lo Sian sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya ini benar-benar mengherankan hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak sedemikian ‘sopan santun’ sikapnya. Mengapa pengemis ini begini berubah?

“Sungguh aneh!” Kam Wi berkata. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para pengkhianat bangsa, akan tetapi ingin mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku bangsa Haimi sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa Mongol sudah menjadi sekutu untuk menyerang dan mengganggu negara kita!”

“Kau bohong!” tiba-tiba Lilani berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti itu! Selamanya bangsaku bahkan selalu diganggu oleh orang-orang Mongol, dan sebaliknya selalu mendapat pertolongan bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa bersekutu dengan perampok-perampok Mongol!”

“Nona, baiknya kau datang bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau bukanlah orang jahat. Apa bila tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada Sin-houw Enghiong Kam Wi sudah merupakan alasan yang cukup untuk membuatku turun tangan. Aku Kam Wi selama hidup tak pernah berbohong. Agaknya kau telah lama meninggalkan bangsamu sehingga kau tidak tahu betapa pemimpinmu yang bernama Saliban itu sudah membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang Mongol!”

Lilani kaget sekali. Saliban adalah seorang di antara sekian banyak pamannya. Memang dia tahu bahwa di antara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut cerita mendiang ibunya, Meilani, dulu Saliban pernah memberontak bahkan hampir saja membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak cintanya oleh ibunya yang pada masa itu sudah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya.

Lilani berpaling kepada Lie Siong, “Taihiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan melenyapkan Saliban yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”

Lie Siong tidak membantah dan kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu pergi dari situ. Ada pun Sin-kai Lo Sian cepat memberi hormat kepada Kam Wi dan berkata,

“Sin-houw-enghiong, terima kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita berjumpa lagi.” Setelah berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi.

Akan tetapi Kam Wi menahannya dengan kata-kata, “Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam oleh penyerbuan pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang gagah mau berpeluk tangan saja?”

“Siapa bilang aku hendak peluk tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku akan mengerahkan sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”

“Bagus, kalau begitu kau benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan. Jika kau bermaksud membantu, pergilah ke Gunung Alkata-san dan bantulah tentara kerajaan di sana.”

“Aku akan memperhatikan omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dahulu aku akan membantu Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul Lie Siong dan Lilani yang telah berangkat lebih dulu.

Setelah mengalami peristiwa yang tidak enak itu, dan yang disebabkan oleh keadaannya sebagai seorang gadis Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan menyesal sekali mendengar betapa bangsanya sudah dibawa tersesat oleh Saliban sehingga suku bangsa Haimi kini dipandang sebagai musuh oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi dialami saat bertemu dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti seorang gadis Han, bahkan rambutnya juga diubah susunannya sehingga kini dia benar-benar merupakan seorang gadis Han yang cantik.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menduga bahwa diam-diam Sin-houw-enghiong Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi mereka. Kam Wi merasa curiga kepada mereka yang disangkanya mata-mata bangsa Mongol.

Kehadiran Lo Sian memang menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian yang amat berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian pemuda tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah dia kalau-kalau mereka itu benar-benar akan menggabungkan diri dengan kaum pengacau.

Pada suatu pagi, tibalah mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung Alkata-san. Dusun itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari berbagai golongan. Memang amat mengherankan apa bila melihat di tempat yang jauh di sebelah utara itu begitu banyak terdapat orang-orang dari selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan orang-orang Mongol dan biar pun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya bahaya perang, namun orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar.

Pada saat Lo Sian dan kedua orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Ha, bangsat muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau di sini!” Orang ini ketika dilihat ternyata adalah Ban Sai Cinjin!

Seperti telah diketahui, Ban Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu mengamuk dan telah membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin ketika orang-orang muda itu mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin sehingga dia langsung menegur di jalan raya.

Ban Sai Cinjin bukan seorang diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis tua yang sangat menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti kawat. Pengemis menyeramkan ini sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin, ketua dari perkumpulan Coa-tung Kai-pang!

Sebagaimana sudah dituturkan, dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Hong Beng yang telah diangkat menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang. Dalam usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil pula menempel raja pengemis yang terkenal galak dan ganas ini dan kini mereka berada di utara karena memang Ban Sai Cinjin sudah mengadakan persekutuan dengan Malangi Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw Hun Ti yang sudah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan membantu mereka.

Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Dia mengubah cita-citanya.

Kini dia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol dan berpura-pura membantu Malangi Khan dan kemudian setelah mendapat kemenangan, akan merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Dia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.

Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, maka tak tertahan lagi ia segera membentak sambil memandang dengan penuh kebencian. Demikian pula sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.

“Setan tua, kau berada di sini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak Lie Siong sambil mencabut pedangnya.

Akan tetapi pada saat itu Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seolah-olah tidak mengenalnya, dia menjadi lega dan bertanya,

“Pengemis tua ini bukankah gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran sekaligus juga mencoba untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.

“Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!” kata Lie Siong.

Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, maka tugasnya akan lebih berat.

Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan jika kakek mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan bila mana mungkin hendak segera menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.

Akan tetapi pada saat pengemis yang menyeramkan itu melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi makin kaku, sepasang matanya memandang marah.

“Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?” dia bertanya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lo Sian.

Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan sepasang mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, dia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab, “Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian.”

“Bagus!” seru Coa-ong Lojin dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan telah mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”

Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu. Dia hendak menjawab, akan tetapi tak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang langsung menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat. Kedua lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.

Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat dia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan serangan itu sambil membentak, “Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!”

Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong. Sungguh pun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya digunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya.

Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat yang bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu lalu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong.

Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu. Akan tetapi dia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak pada saat beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat luar biasa!

Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan dia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.

Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari ginkang luar biasa dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya sudah menggemblengnya semenjak kecil sehingga kini dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.

Ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, Lo Sian tidak mau tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong. Akan tetapi dari samping segera berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?” Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian.

Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwe-nya telah dapat menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!

Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan mampu mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apa lagi ia merasa amat gelisah pada saat melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.

Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, lantas pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah dia tak sadarkan diri lagi!

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak. “Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah mengambil pedang Lie Siong, dan bersama Coa-ong Lojin lalu berlari cepat menuju ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.

Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini? Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang sudah meninggalkan jalan itu sehingga keadaan menjadi sepi sekali.

Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong ke dalam sebuah kamar. “Dia yang paling berbahaya,” katanya.

Kemudian dia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tidak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.

“Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang telah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada kawannya itu yang hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Ada pun pengemis ini... ahh, lihat, bukankah dia mirip seperti boneka hidup?” Dia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.

“Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?”

Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar banyak dari Lili mengenai kakek mewah ini. Karena itu dengan senyum mengejek dia pun berkata,

“Sungguh pun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperi kemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda tadi itu harap kau bebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan suka melepaskannya!”

Tadi pada saat mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.

“Apa...? Dia putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat kembali akan peristiwa dahulu...?”

Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja dia mengangguk dan berkata, “Mengapa tidak ingat? Kau maksudkan peristiwa dulu tentang Lie Kong Sian Taihiap? Tentu saja!”

“Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ahhh, kalau begitu kalian harus mampus!”

Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.

“Nanti dulu, sahabat,” tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan tetapi gadis ini...” dia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. “Ehh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?”

Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.

“Kenalkah kau kepada Saliban?”

“Dia adalah pamanku.”

Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.

“Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu itu adalah kawan baik kami, jangan kuatir, kami tidak akan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!”

“Jangan bunuh mereka!” Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.

“Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian.

Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ahh, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.

“Ban Sai Cinjin!” katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu. “Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”

Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. “Ha-ha-ha! Kau kini berpura-pura tidak tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!”

Huncwe-nya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras, “Jangan bunuh dia!”

“Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati,” Lo Sian berkata. “Kini puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap.”

Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat huncwe-nya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.

“Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?”

Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang lelaki tinggi besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.

“Sin-houw-enghiong Kam Wi!” berkata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah? Aku mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?”

“Ban Sai Cinjin, janganlah kau memutar-mutar persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang telah membujuk banyak orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat yang amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tidak dapat membiarkannya begitu saja!”

Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa urusan ia tidak mempunyai sangkut paut dengan segala macam pengemis, diam-diam dia telah menyindir Coa-ong Lojin.

Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. “Kam Wi, kau manusia macam apa berani berlagak besar-besaran di hadapanku? Sepak terjangku yang mana pun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti sesudah aku bikin mampus pengemis hina ini!” Dia kembali hendak menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.

“Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang macam apa maka tidak kau layani lebih dulu?”

Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah. “Kam Wi, biar pun orang lain boleh takut mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut! Sebetulnya apakah kehendakmu?”

“Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima hukuman atas semua perbuatan pengkhianatanmu!”

“Ho-ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin menyindir.

“Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih mau memandang mukamu sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak peduli akan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”

“Kalau aku memilih yang terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.

“Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”

“Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati padaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah, biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin segera menggerakkan huncwe-nya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dia anggap sombong sekali, segera mendahuluinya berkata,

“Sahabat Ban Sai Cinjin, biarlah aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun ini!”

Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coa-ong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.

Kam Wi cepat mengelak. “Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu.”

“Bangsat she Kam! Sudah semenjak lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang membawa kesombonganmu di sini, biarlah kini kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang.

Melihat betapa kedua tangan pengemis itu sekarang tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang dia dengar disebut Hek-coa Tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan cepat dia mengelak kemudian mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan hingga hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.

Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga lweekang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga walau pun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pukulannya sudah membuat lawannya merasa lambungnya bagaikan terlanggar benda tajam! Coa-ong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Dia lalu bersilat dengan amat hati-hati.

Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Di samping ia menang tenaga, juga ginkang-nya amat mengagumkan. Sepasang kakinya berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya sangat ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia.

Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin. Maka, sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.

“Ha-ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi mengejek sambil menyerang makin hebat.

Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa meski pun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apa bila Ban Sai Cinjin ikut maju mengeroyok, maka akan celakalah dia. Dia merasa bingung sekali. Untuk membantu, dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.

Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras, “Sin-houw-enghiong, awas belakang!”

Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya suara angin pukulan yang sangat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali.

Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap yang dilakukan Ban Sai Cinjin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan ginkang hebat ini, selamatlah ia dari penyerangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu.

Sesampainya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya. Kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, ada pun kaki kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting dengan kaki kanannya menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang sangat lihai karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!

“Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini sudah turun lagi ke bawah.

Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, Dengan muka merah saking marah dan malunya dia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut tongkat ularnya!

Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, dia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, karena itu dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan?

Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali cepat berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin.

Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa.

Betapa pun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.

“Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!” kata Lilani.

“Kau boleh membawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biar pun untuk usaha ini aku akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!”

Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun apa bila tidak ingat akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata, “Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!” kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.

Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali. Sungguh sangat lucu dan harus dikasihani melihat orang tinggi besar yang bertangan kosong ini melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.

“Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba saja Lo Sian berseru keras.

Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan dia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biar pun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, akan tetapi di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya.

Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apa bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, mau pun Sin-houw-enghiong Kam Wi, dia masih ketinggalan amat jauh!

Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, biar pun dia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.

Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali. “Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua kalinya!” Sambil berkata demikian, huncwe-nya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwe-nya sedemikian rupa.

Sebenarnya ikat pinggang itu ketika digunakan oleh Lo Sian, sudah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, seluruh tenaga lweekang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena dia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi.

Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok sehingga biar pun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar saja dia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!

“Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, kemudian dengan amat tenangnya dia lalu memasang tembakau pada kepala pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.

“Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata pengemis tongkat ular itu.

“Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi yang sekarang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot memandangnya penuh keberanian.

“Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau engkau mempunyai kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!”

Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, “Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau mencampuri urusanku dan selalu pula kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dahulu aku sudah mengampuni nyawamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”

Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang dia tahu bahwa yang membuat dia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian. Bahkan suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le seperti yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini!

Akan tetapi apa dayanya? Dia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi dia akan mati. Maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.

“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga telah mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!

Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan…

“Trangg…! Trangg…!”

Tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.

Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga.

Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.

Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya.

Yang wanita biar pun telah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.......
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12