Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 03
KWAN CU
berjalan bersama kakek pengemis yang luka-luka dan di sepanjang jalan kakek
pengemis itu masih bernyanyi-nyanyi. Kwan Cu seorang anak yang cerdik,
mendengar nyanyian yang isinya memaki-maki dan mencela orang she Lu, dia tahu
bahwa kakek ini tentu dibikin sakit hati oleh she Lu.
“Lopek,
apakah anak bangsawan tadi she Lu?”
Kakek itu
berhenti bernyanyi, kemudian memandang padanya. Akan tetapi sebelum dia
menjawab, tiba-tiba kakek itu meramkan matanya. Wajahnya semenjak tadi sudah
pucat dan sekarang matanya berkunang. Tubuhnya lemas dan dia lalu terkulai,
pingsan dalam dekapan Kwan Cu. Ternyata bahwa kakek ini telah kehilangan banyak
darah dan karena semenjak tadi dia menahan sakit dengan nyanyiannya, kini
setelah ia berhenti bernyanyi, rasa sakit itu datang menyerang dirinya bagaikan
gelombang besar yang menelannya!
Kwan Cu
cepat menarik tubuh kakek ini dan karena anak itu diam-diam telah mempunyai
tenaga besar, dengan mudah dia mengangkat dan memondong tubuh yang kurus kering
ini ke pinggir jalan. Dia meletakkan tubuh pengemis tua itu di bawah pohon,
lalu cepat pergi ke sebuah kedai yang ramai.
Pelayan
kedai itu baik hati. Ketika Kwan Cu menceritakan keadaan pengemis tua yang
sengsara, diberinya anak ini semangkok bubur hangat dan sedikit sisa arak. Kwan
Cu menghaturkan terima kasih dan cepat kembali ke tempat dia meletakkan tubuh
pengemis tua tadi. Setelah dia menuangkan sedikit arak ke dalam mulut kakek
itu, maka pengemis tua ini siuman kembali dan dia menerima bubur yang disuapkan
ke dalam mulutnya oleh Kwan Cu.
“Anak, kau
baik sekali. Baru sekarang aku orang she Gui bertemu dengan seorang yang
menaruh perhatian kepada lain orang yang sengsara,” katanya. Dengan bantuan
Kwan Cu, dia lalu duduk bersandar kepada sebatang pohon.
Sementara
itu, hari telah menjadi panas dan hawa di bawah pohon besar itu sejuk benar.
“Kita
mengaso di sini dulu, ehh, siapa pula namamu tadi? Kau she Lu dan namamu?”
“Kwan Cu,”
jawab anak gundul itu sambil menahan perutnya yang terasa perih saking
laparnya.
“Lu Kwan Cu,
nama yang cukup baik, sayang she-nya itu! Ehhh, anak, bagaimana kau sampai bisa
mempunyai she Lu?” kakek itu bertanya.
“Entahlah,
Gui-lopek. Aku sendiri tidak tahu kenapa namaku Lu Kwan Cu. Aku mendapat nama
ini begitu saja, dan kupikir, betapa pun buruknya nama ini masih lebih baik
dari pada yang tidak bernama sama sekali. Pula, apakah artinya nama? Waktu
lahir manusia tidak bernama, dan kalau sudah mati, namanya lenyap pula bersama
tubuhnya ke dalam tanah.”
Kakek itu
membelalakkan matanya. “Ah, benar-benar ajaib! Dari mana kau mendapatkan semua
pengertian itu? Kau murid siapa?”
“Bukan murid
siapa-siapa, Lopek, juga bukan anak siapa-siapa. Aku tahu semua itu dari
buku-buku kuno.”
“Hm, lebih
aneh lagi. Seorang anak pengemis yang jembel dan miskin dapat membaca kitab...”
“Masih kalah
aneh dengan seorang kakek pengemis yang ternyata ahli sastra dan syair!” kata
Kwan Cu. Mereka saling pandang, lalu tertawa.
“Bagus, Kwan
Cu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan! Ketahuilah olehmu, dahulu Menteri
Lu Pin yang mulia itu pernah belajar ilmu kesusastraan padaku! Pernah pula dia
tinggal di rumahku dan makan dari mangkokku. Aku adalah ahli sastra, ahli
bahasa kuno dan namaku Gui Tin. Gui-siucai bukanlah nama yang tak dikenal
orang!”
“Sayang aku tidak
mengenalnya, Lopek,” kata Kwan Cu.
Untuk sesaat
kakek ini nampak kecewa dan marah akan tetapi ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang Kwan Cu yang mengandung kejujuran, kakek ini lalu tertawa
terbahak-bahak sampai keluar air matanya!
“Aahh, memang
lebih mudah memaki orang dari pada memaki diri sendiri! Aku tidak lebih baik
dari pada manusia she Lu itu. Aku masih saja di kotori oleh kesombongan dan
ingin namaku dikenal oleh semua orang! Hanya kesombongan dan impian kosong
belaka. Kau benar, Kwan Cu. Nama Gui-siucai memang nama kosong belaka. Apa
anehnya pada diri seorang pengemis kelaparan yang dikeroyok anjing? Ha-ha-ha!
Akan tetapi pertemuan kita ini bukan kebetulan saja, tentu sudah diatur oleh
Thian yang maha adil! Kau cerdas dan suka dengan kesusastraan. Maukah kau
mengoper pengetahuan yang memberatkan jiwaku ini?”
Kwan Cu
memang cerdik, akan tetapi mendengar ucapan ini, dia masih ragu-ragu akan
maksudnya. “Apa kau maksudkan bahwa kau hendak mengajarkan semua pengetahuan
sastramu, Lopek?”
Gui Tin
mengangguk. “Apa kataku! Kau memang cerdas dan hanya kaulah yang akan mewarisi
pengetahuanku.”
Kwan Cu
merasa girang sekali. Memang dia paling senang akan kesusastraan, maka
mendengar ini dia berlutut di depan kakek pengemis tadi, menyatakan kesediaan
untuk ‘mengoper’ semua pengetahuan dari Gui-siucai.
Gui Tin puas
sekali. Sambil mengurut-urut kedua kakinya yang sakit-sakit, dia berkata, “Kwan
Cu, setelah sekarang kita menjadi guru dan murid, ada baiknya kalau kau
berterus terang. Siapakah sebetulnya orang tuamu dan kau datang dari mana?”
Mendengar
pertanyaan ini Kwan Cu menjawab sejujurnya, ”Lopek sesungguhnya aku tak
berbohong ketika aku berkata bahwa aku tak tahu siapa orang tuaku dan dari mana
aku datang. Seingatku tahu-tahu aku telah berada di pantai Laut Po-hai dan
melihat Ang-bin Sin-kai berkelahi dengan Kak Thong Taisu, karena mereka berdua
memperebutkan aku untuk menjadi muridnya! Akan tetapi aku tidak mau menjadi
murid mereka.”
Mendengar
ini, Gui Tin membelakkan matanya. ”Aduh, aduh! Kalau tidak mendengar dari
mulutnya sendiri, siapa yang sudi percaya? Tidak mau menjadi murid Ang-bin
Sin-kai? Benar-benar aneh pernyataan ini. Akan tetapi sudahlah, kau memang
seorang sin-tong (anak ajaib) dan agaknya kau akan lebih berhasil dari pada
aku. Kita anggap saja bahwa kau memang sengaja diturunkan oleh Thian untuk
menguras dan mengoper semua apa yang pernah kupelajari. Sekarang, kau dengarlah
riwayatku agar kau tahu orang macam apa yang sekarang menjadi gurumu.”
Sampai
matahari terbenam ke kaki langit sebelah barat, pengemis itu bercerita mengenai
riwayat hidupnya. Dia memang seorang terpelajar yang sejak kecilnya hanya
bergulung dengan kitab-kitab saja. Selain ahli sastra dan telah lulus dalam
ujian kota raja sehingga berhak menyandang gelar siucai, Gui Tin ini juga tekun
sekali mempelajari kitab-kitab kuno sehingga dia berhasil memecahkan segala
macam tulisan-tulisan kuno yang tidak dapat di baca oleh para sastrawan lain!
Ketika dia
masih muda, banyak sekali kaum sastrawan datang padanya untuk menerima
wejangan-wejangan atau menghisap sedikit ilmu sehingga tidak ada orang yang
tidak mengenal Gui Tin yang disebut Gui-siucai. Akan tetapi, watak dari Gui Tin
amat aneh.
Ia benci
akan kedudukan dan pangkat. Karena itu, ketika kaisar yang mendengar akan
kepandaiannya memanggilnya untuk diberi kedudukan tinggi, Gui Tin menolaknya
secara keras! Tentu saja kaisar merasa tersinggung dan terhina, lalu menitahkan
pasukan untuk menangkap Gui Tin!
Akan tetapi,
para pembesar yang merasa sangat kagum kepada sastrawan yang pandai ini,
mencegah dan mintakan ampunan kepada kaisar sehingga hukuman kepada Gui Tin
diubah, dari hukuman mati kepada hukuman buang! Ia dilarang tinggal di kota
raja dan harus keluar dari situ!
Gui Tin
menjadi marah dan penghinaan ini membuat perubahan hebat dalam hidupnya. Ia
menjadi seperti gila dan sambil berteriak-teriak memaki-maki kaisar, dia lalu
keluar dari kota raja!
Sudah tentu
saja perbuatannya ini membikin marah orang banyak. Gui Tin tentu sudah terbunuh
mati kalau saja dia tidak ditolong oleh dua orang gagah yang menangkap dan
membawanya pergi ke utara. Dua orang gagah ini ternyata adalah putera-putera
Kaisar Mongol!
Ketika itu,
pemerintahan Mongol memperluas kebudayaan mereka dengan mempelajari kitab-kitab
dari Tiongkok yang dapat mereka rampas dari perpustakaan Kaisar Han. Akan
tetapi karena banyak terdapat kitab-kitab yang kuno dan sulit sekali dibaca,
maka setelah melihat keadaan Gui Tin, dua orang putera kaisar yang ternyata
perkasa sekali itu lalu menolong Gui-siucai dan membawanya ke Mongol!
Kaisar
mendengar tentang hal ini. Gui Tin kemudian dianggap sebagai pengkhianat yang
melarikan diri ke daerah asing, maka seluruh keluarganya lalu ditangkap dan
dihukum mati!
Sampai
belasan tahun Gui Tin tinggal di Mongolia, di mana dia bekerja menterjemahkan
kitab-kitab kuno yang sangat sukar dibaca. Dalan kesempatan ini Gui Tin
memperdalam pengetahuannya dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah yang
banyaknya puluhan macam. Juga dia menemukan kitab-kitab kuno yang ternyata
berisikan pelajaran penting sekali mengenai ilmu perang, ilmu silat dan
lain-lain. Akan tetapi sebagai seorang ahli sastra, Gui Tin tidak suka
mempelajari tentang ilmu silat.
Kembali Gui
Tin menghadapi bahaya hebat ketika Kaisar Mongol minta agar supaya dia
menterjemahkan kita-kitab ilmu perang serta ilmu silat. Tadinya Gui Tin memang
mau mengerjakan perintah itu, akan tetapi ketika dia mendengar bahwa bala
tentara Mongol makin maju dalam ilmu perangnya, dan bahkan kini mempunyai niat
hendak menyerang ke selatan, dia menjadi terkejut dan gelisah sekali.
Tidak,
betapa pun juga, dia tidak mau menjadi pengkhianat! Biar kaisar memperlakukan
dirinya secara tidak adil, betapa pun dia tidak suka kepada para
pembesar-pembesar di negaranya sendiri yang amat korup dan lalim, namun dia
masih mencinta tanah airnya, masih menjunjung tinggi negaranya sendiri!
Oleh karena
itu, dia lalu menghentikan segala penterjemahan kitab-kitab perang dan ilmu
silat! Biar pun demikian, telah banyak ilmu perang yang di terjemahkan dan
telah banyak pula ilmu silat yang tinggi-tinggi dia terjemahkan, sehingga
sekarang banyak tokoh-tokoh besar di kalangan bangsa Mongol memiliki ilmu silat
yang luar biasa!
Menghadapi
pemogokan yang dilakukan oleh Gui Tin dalam menterjemahkan ilmu silat dan ilmu
perang, Kaisar Mongol menjadi marah dan hampir saja Gui Tin dibunuh kalau tidak
di halangi oleh dua orang pangeran yang dahulu menolongnya. Sebaliknya, Gui Tin
hanya diusir dari Mongol! Untuk kedua kalinya satrawan ini diusir oleh kaisar
dan kini dia pergi dengan penuh perasaan jemu menghadapi manusia.
Beberapa
tahun kemudian, orang melihat seorang kakek pengemis yang kurus kering. Tidak
seorang pun mengetahui bahwa dia ini adalah Gui Tin atau Gui-siucai yang dahulu
namanya begitu dimuliakan orang, bahkan sangat dikagumi oleh kaisar dan juga
kaisar Mongol!
Hancur hati
Gui Tin ketika dia mendengar betapa keluarganya sudah dimusnahkan dan semua
dijatuhi hukuman mati. Makin rusak batinnya, dan dia merantau ke sana ke mari
seperti seorang edan.
Kemudian dia
tiba di kota raja dan teringat akan Lu Pin, seorang kawannya yang paling baik,
atau boleh juga dibilang seorang bekas muridnya yang paling dia sayang. Dia
juga kagum melihat bakat luar biasa dari Lu Pin dalam hal seni ukir, maka dia
ingin sekali bertemu dan mengunjungi rumah Lu Seng Hok saat mendengar bahwa
Seng Hok adalah putera dari Lu Pin.
Tidak
tahunya, di halaman gedung ini dia dihina dan hampir saja mati digigit
anjing-anjing yang dikerahkan oleh Lu Thong, cucu dari Lu Pin bekas sahabat
baiknya itu! Tentu saja hatinya menjadi sakit sekali dan makin bencilah dia
kepada manusia, kepada dunia dan kepada diri sendiri.
"Demikianlah
Kwan Cu. Kalau tidak bertemu dengan engkau, agaknya aku tidak melihat sesuatu
lagi untuk lebih lama tinggal di dunia ini. Dengan adanya kau, aku masih ingin
hidup beberapa tahun lagi untuk menumpahkan semua yang telah kupelajari
kepadamu."
Kwan Cu
merasa terharu sekali, dan semenjak saat itu dia memandang kepada gurunya ini
dengan penuh penghormatan, penuh kasih sayang dan dia merawat Gui Tin dengan
penuh kesabaran dan kesetiaan. Dia tidak ragu-ragu untuk mengemiskan makanan
untuk gurunya ini, atau menggendong tubuh gurunya yang lemah bila perjalanan
jauh membuat kaki Gui Tin pecah-pecah dan tulangnya sakit-sakit.
"Kwan
Cu, aku heran sekali melihat engkau. Bagaimana kau bisa berlari secepat ini dan
tubuhmu begitu kuat? Bukankah kau belum mempelajari ilmu silat?" tanya Gui
Tin ketika pada suatu hari Kwan Cu berlari cepat sambil menggendongnya.
"Belum
pernah, Suhu. Sebenarnya, aku hanya pernah mendapat petunjuk dari Pek-cilan Thio
Loan Eng tentang cara bersemedhi dan mengatur napas, juga tentang menyalurkan
hawa dari tian-tan ke seluruh tubuh untuk menguatkan urat-urat dan melancarkan
jalan darah. Entahlah, semenjak aku membiasakan diri siulian, aku merasa
tubuhku kuat dan ringan sekali pada waktu berlari."
"Hm,
itulah pelajaran pokok dari ginkang dan lweekang! Anak yang baik, aku sendiri
pun telah banyak menterjemahkan ilmu-ilmu itu, sayangnya dulu aku tidak menaruh
perhatian sehingga aku sudah lupa lagi dengan isinya dan tidak pernah
mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi."
"Mengapa,
Gui-lopek? Bagiku mempelajari ilmu silat sama halnya dengan mendatangkan
bencana terhadap diri sendiri. Aku tidak suka belajar silat!"
"Ha-ha-ha-ha,
kesukaan kita sama dan pendapat kita sama pula. Sayangnya Kwan Cu, pendapat ini
salah sama sekali!"
Saking
herannya Kwan Cu segera berhenti berlari. Kemudian gurunya minta diturunkan
dari gendongan. Mereka berhenti dan duduk di pinggir jalan yang berumput.
"Mengapa
begitu, Suhu?"
Gui Tin
menarik napas panjang. "Memang kita kaum sastrawan memandang dunia dari
segi keindahan. Kita adalah pencinta damai dan suka akan ketentraman, sesuai
dengan kehendak alam yang suci. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam keadaan
negara kacau, justru ilmu silat jauh lebih penting dan lebih cocok untuk
dipergunakan bagi kebaikan seluruh manusia! Kita lupa bahwa hidup ini memang
perjuangan, ada pun perjuangan itu tergantung dari keadaan. Bila mana negara
sedang dalam keadaan makmur dan damai, memang ilmu silat hanyalah mendatangkan
kekacauan saja, dan ilmu kesusastraan dan kesenianlah yang diperlukan untuk
memperkembangkan kebudayaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang
ini..." Kembali Gui Tin menarik napas panjang. "Apakah artinya
kepandaian seorang ahli sastra? Lihatlah saja Lu Pin itu biar pun dia seorang
ahli sastra, namun dalam keadaan kacau ini apa yang dapat ia perbuat? Melainkan
kekacauan yang keluar dari otaknya, buktinya cucunya sudah menjadi jahat karena
selalu terbenam dan mabuk akan kemewahan dan kemuliaan dunia!"
"Akan
tetapi, Gui-lopek. Bukankah ilmu silat itu adalah ilmu yang berdasarkan
kekerasan, kasar, dan termasuk kepandaian yang jahat saja? Coba saja dipikir,
untuk apa ilmu silat selain menggunakan pukulan untuk menghantam orang lain,
mempergunakan tendangan menyerang orang lain, mainkan senjata tajam untuk
melukai dan membunuh? Nabi-nabi seperti Khong Cu, Lo Cu dan yang lainnya,
pernahkah mereka itu menggunakan pedang untuk mengalahkan orang?"
"Memang
benar, akan tetapi mereka itu pun tidak dapat mendatangkan damai di dalam
negeri. Pula, kita sudah melupakan bahwa yang bersifat jahat itu bukanlah ilmu
silatnya, melainkan orang-orang yang mempunyai ilmu itu. Ilmu kepandaian apa
saja, baik bun(kesusastraan) mau pun bu (ilmu silat), tetap merupakan ilmu yang
tidak mempunyai sifat baik mau pun buruk. Baik atau buruknya tergantung dari
orang yang memilikinya! Segala apa yang sudah ada di dunia ini sudah ada, dan
kekal sifatnya, hanya yang tidak kekal saja yang dipengaruhi oleh baik mau pun
buruk. Seperti air tenang, baru bergerak kalau ada angin lalu atau sesuatu
jatuh ke dalamnya."
Kwan Cu
berpikir. Ada persamaan dalam ucapan gurunya ini dengan ucapan Kak Thong Taisu.
Pada saat
itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak dan muncullah seorang
bertubuh tinggi besar, entah dari mana datangnya. Orang ini ternyata memiliki
ginkang yang luar biasa sekali dan tahu-tahu dia berkelebat berdiri di depan
Gui Tin dan Kwan Cu.
Orang ini
kulitnya putih, tubuhnya tegap dan nampak kuat sekali. Yang paling aneh ialah pakaiannya,
karena pakaian yang menempel di tubuhnya berbeda dengan pakaian orang biasa.
Kepalanya
tertutup oleh topi kain yang di depannya terdapat bentuk seperti tanduk. Pada
luar bajunya yang berlengan panjang itu ditutupi dengan baju rompi lengan pendek
yang indah sekali. Di luar celananya yang panjang itu tertutup pula oleh baju
rok sebatas lutut.
Sungguh aneh
sekali orang ini. Mukanya sama saja dengan orang Han, hanya hidungnya yang agak
panjang dan bengkok ke bawah. Ia tidak berkumis namun memelihara jenggot model
kambing. Pada punggungnya tergantung sepasang siang-kek (tombak bercabang) yang
runcing.
Gui Tin
memandang tajam. Kakek pengemis yang pengalamannya sudah banyak ini tahu dengan
orang macam apa dia berhadapan, maka segera dia bicara dalam bahasa yang sama
sekali tidak di mengerti oleh Kwan Cu. Ternyata Gui Tin telah bicara dalam
bahasa Tartar.
"Siapakah
tuan dan mengapa datang menjumpai kami?"
Mendengar
pertanyaan ini, orang Tartar itu tertawa lagi dan sekarang sepasang matanya
bersinar-sinar girang.
"Tidak
salah lagi!" katanya dalam bahasa Han sehingga Kwan Cu dapat mengerti.
"Kau tentu Gui-siucai bukan? Bagus, bagus! Tadi aku merasa heran sekali
dan bertanya-tanya dalam hati apakah aku bertemu dengan dewa atau setan di
tempat ini, ketika mendengar kalian ini pengemis-pengemis tua dan muda bicara
tentang filsafat-filsafat yang demikian tingginya. Sekarang aku mengerti, kau
tentu Gui-siucai. Siapa lagi kalau bukan Gui Tin si ahli sastra?"
Gui Tin
cepat bangkit dan menjura seperti laku seorang yang tahu akan sopan santun.
"Memang tidak salah. Aku yang bodoh adalah Gui Tin, dan ini adalah muridku
Kwan Cu. Tidak tahu siapakah Tuan?"
Orang Tartar
itu tersenyum dan nampaklah giginya yang berbaris rapi dan putih sekali. Kalau
saja hidungnya tidak demikian bengkok, dia benar-benar tampan sekali, pikir
Kwan Cu sambil memandang heran. Ia menaksir usia orang ini antara tiga empat
puluh tahun.
"Gui-siucai,
baru melihat sepintas saja kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang Tartar, ini
menandakan ketajaman matamu dan bahwa kau memang sudah amat matang dalam
pengalaman. Juga bahasa Tartar yang kau ucapkan tadi, amat halus.
Sungguh-sungguh aku sangat kagum sekali. Ketahuilah, aku bernama An Lu Kui,
adik dari perwira An Lu Shan yang sudah banyak berjasa kepada negara."
Ketika itu
nama An Lu Shan sudah terkenal sekali, karena panglima ini memang sangat gagah
perkasa dan telah banyak membuat jasa dalam membasmi serangan kecil-kecilan
dari musuh di utara dan barat. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah jemu
terhadap para pembesar baik sipil mau pun militer, Gui Tin bersikap dingin
saja.
"Ah,
kiranya Tuan adalah adik dari An-ciangkun yang ternama. Tidak tahu ada
keperluan apakah Tuan menjumpai aku, seorang jembel miskin?"
"Ah,
Gui-siucai, engkau terlalu merendahkan diri. Sebenarnya, aku sengaja datang
untuk mengundangmu supaya datang ke perbatasan utara atas perintah An-cingkun,
terutama sekali atas petunjuk dari Li Kong Hoat-ong yang menjadi penasihat dari
An-ciangkun."
Gui Tin
berpikir sebentar dan diam-diam dia terkejut. "Kau maksudkan Li Kong
Hoat-ong bekas raja dari suku bangsa Yu-yan? Apakah sekarang dia sudah menjadi
penasihat dari An-ciangkun?"
"Gui-siucai
betul-betul mengenal orang-orang besar. Memang tepat sekali apa yang kau duga
itu."
Meski pun
dia sendiri belum pernah memangku jabatan, akan tetapi Gui Tin telah banyak
menterjemahkan buku-buku tentang ilmu perang. Maka, kini timbullah semacam
dugaan yang menggelisahkan hatinya.
Di bawah
pimpinan Li Kong Hoat-ong, bangsa Yu-yan telah banyak sekali mengacaukan negara
Tiongkok, dan setelah bangsa itu dikalahkan, sekarang Li Kong Hoat-ong menjadi
penasihat dari An Lu Shan. Benar bahwa An Lu Shan merupakan seorang perwira
yang banyak berjasa dan tenaganya terpakai sekali oleh pemerintah, akan tetapi
tetap saja An Lu Shan adalah seorang bangsa Tartar, siapa tahu isi hati dari
orang itu?
"Tidak,
tidak. Aku tidak dapat pergi ke perbatasan utara. Aku sudah tua, tubuhku sudah
lemah, tulang-tulangku sudah rapuh, tak mungkin aku bisa melakukan perjalanan
sejauh itu. Harap saja tuan tidak mengganggu lagi." Sambil berkata
demikian kemudian Gui Tin menggandeng tangan Kwan Cu dan diajak pergi dari
situ.
Akan tetapi
baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa
bergelak dan sekali melompat, An Lu Kui telah berada di depan mereka. Orang
Tartar ini mendorong sebatang pohon besar yang mengeluarkan suara keras dan
lantas tumbang, melintang serta menghalang perjalanan Gui Tin dan Kwan Cu!
Kwan Cu
meleletkan lidah saking merasa kagum dan terheran. Bagaimana orang dapat
mendorong roboh sebatang pohon besar sedemikian mudahnya?
Sedangkan
Gui Tin yang melihat ini, lalu memandang tajam dan bertanya, “Hemm, kau
berkepandaian tinggi! Pernah apa kau dengan Li Kong Hoat-ong?”
An Lu Kui
tersenyum. “Dia adalah guruku, juga guru dari kakakku, An-ciangkun.”
Makin
tercekat hati Gui Tin mendengar ini. Lebih hebat lagi kalau raja Yu-yan itu
menjadi guru dari An Lu Shan! Mengapa kaisar tidak mengetahui akan hal ini?
“Jadi kau
hendak menggunakan kekerasan, tetap hendak membawaku ke utara?”
An Lu Kui
menggeleng kepala sambil tersenyum. “Tidak sama sekali, kami mengundang
Gui-siucai dengan hormat. Harap Gui-siucai sudi meluluskan permintaan kami.”
Setelah
berkata demikian, An Lu Kui bersuit keras dan tiba-tiba dari hutan kecil tak
jauh dari situ muncullah lima orang yang membawa delapan ekor kuda yang besar
dan kuat! Ternyata bahwa lima orang ini pun orang-orang Tartar pula.
“Gui-siucai,
silakan naik kuda, kau juga!” kata An Lu Kui kepada Kwan Cu.
Gui Tin
hendak membantah, akan tetapi Kwan Cu berkata, “Gui-lopek, tidak ada gunanya
membantah. Biarlah kita ikut pergi dan menyerahkan nasib kepada Tuhan.”
Mendengar
ini, An Lu Kui tertawa. “Anak baik, siapa namamu?”
“Aku Lu Kwan
Cu, murid dari Gui-lopek.”
Salah
seorang kawan An Lu Kui berkata, ”Ah, untuk apa kita membawa-bawa bocah ini?
Tinggalkan saja!”
“Tidak!” Gui
Tin membentak marah. “Kalau Kwan Cu ditingggalkan, biar pun kalian akan
membunuhku, aku tak sudi pergi!”
Demikianlah,
Gui Tin lalu naik kuda dan Kwan Cu juga naik kuda itu di belakang gurunya,
karena inilah kehendak Gui Tin yang tidak mau berpisah dari muridnya yang
tercinta. Kuda-kuda itu kemudian dikeprak dan berlarilah binatang-binatang
tunggangan yang kuat ini menuju ke utara. Rombongan ini dipimpin sendiri oleh
An Lu Kui yang di perjalanan bersikap sangat ramah tamah terhadap Gui Tin.
Perjalanan
dilakukan cepat sekali. Mereka tidak pernah berhenti di satu kota atau dusun
karena bekal makanan mereka ternyata cukup banyak. Bahkan anehnya, selalu An Lu
Kui memilih jalan sunyi dan menghindari tempat-tempat ramai.
Mereka
melewati Propinsi Shan-si dan ketika telah melalui kota Ta-tung, pada suatu
pagi mereka melewati padang rumput yang sunyi. Di situ hanya nampak beberapa
beberapa batang pohon yang tumbuhnya berjauhan dan keadaan benar-benar sunyi.
An Lu Kui
nampaknya takut-takut melewati tempat ini dan beberapa kali dia menengok ke
arah barat di mana nampak pegunungan kecil.
“Hayo kita percepat
kuda karena sudah dekat!” katanya memberi perintah.
Kuda
dilarikan semakin cepat. Keadaan sunyi sekali, kecuali hanya suara kaki kuda
yang berderap-derap dan bergema di empat penjuru. Memang aneh sekali bagi Kwan
Cu yang baru pertama kali datang di tempat ini. Tempat itu terbuka dan hanya
terkurung oleh pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini seperti raksasa berdiri
megah, akan tetapi suara kaki kuda itu bergema sehingga kalau didengar-dengar,
seakan-akan ada banyak sekali kuda berlari datang dari segenap penjuru.
Mendadak
delapan ekor kuda itu, terutama seekor yang membawa perbekalan dan tidak
ditunggangi orang, hanya dituntun oleh seorang anak buah An Lu Kui, mengangkat
dua kaki depan sambil meringkik ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dua
orang anak laki-laki tahu-tahu telah melompat dari atas pohon dan kini berdiri
menghadang di tengah jalan!
Ketika itu,
Kwan Cu yang duduk sekuda dengan gurunya, menjalankan kudanya di dekat An Lu
Kui. Melihat betapa kuda yang di tungganginya dan kuda An Lu Kui menyeruduk
maju dan pasti akan menubruk dua orang anak laki-laki yang usianya sebaya
dengan dia itu, Kwan Cu tak terasa pula menjerit, “Celaka…!”
Setelah
berkata demikian, Kwan Cu memondong gurunya dan mengerahkan tenaganya melompat
dari atas kuda yang sedang berlari cepat. Memang dia sudah memiliki ginkang di
luar kesadarannya sehingga tubuhnya dapat mencelat dari atas kuda. Akan tetapi
oleh karena dia tidak pernah melatih ilmu melompat, dia tidak tahu cara
bagaimana harus mengatur tubuhnya saat melayang itu sehingga ia jatuh dengan
kacau bersama gurunya.
Namun Kwan
Cu memang berhati setia. Melihat bahwa dia dan gurunya jatuh ke tanah, dia lalu
berguling dan mengatur sedemikian rupa sehingga pada saat jatuh dia berada di
bawah dan gurunya menimpa dadanya! Kepala anak ini membentur tanah kering
hingga debu mengebul, akan tetapi gurunya selamat!
Ada pun An
Lu Kui yang melihat kudanya menubruk seorang di antara kedua orang anak
laki-laki itu, membentak marah, “Anak gila, apakah kau ingin mampus?!”
Akan tetapi,
terjadilah hal yang luar biasa sekali. Kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwan Cu
akan menubruk anak yang lebih kecil, namun ketika kedua kaki depan kuda itu
sudah terangkat akan menimpa anak itu, dia lalu menggerakkan kedua tangannya,
secepat kilat menangkap kedua ujung kaki dan dengan sekali gentak saja kuda itu
sudah melompat ke atas melewati kepalanya sehingga dia selamat!
Anak ini
tertawa-tawa geli, sama sekali tak mempedulikan kuda tadi, tetapi menudingkan
jari telunjuknya ke arah Kwan Cu yang jatuh bergulingan. “Ha-ha-ha, Suheng, kau
lihat! Bocah gundul itu main komidi, lucu sekali!”
Ada pun An
Lu Kui yang kudanya menubruk anak ke dua yang lebih besar, tidak keburu
mencegah sehingga kudanya itu dengan kedua kakinya menendang ke arah dada anak
tadi. Akan tetapi, dengan cepat dan tenang, anak yang besar ini lalu menusuk
lutut kaki depan kuda yang sebelah kanan, yakni kaki yang berada di depan.
Kuda itu
mengeluarkan ringkik kesakitan dan tiba-tiba kedua kaki depannya tertekuk dan
kuda itu jatuh berlutut! Baiknya An Lu Kui adalah orang yang berkepandaian
tinggi, maka cepat dia dapat melayang ke atas dan berpoksai (membuat salto)
beberapa kali sehingga dapat turun dengan selamat!
"Sute,
kau lihat. Bukankah kuda ini lebih lucu lagi? Datang-datang dia malah berlutut
dan memberi hormat kepadaku. Bagus, bagus!"
An Lu Kui
adalah seorang yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw dan tahulah dia bahwa
dua orang anak yang usianya sekitar enam tujuh tahun ini tentulah murid-murid
dari orang pandai. Maka dia tidak berani berlaku sembarangan sungguh pun dia
merasa mendongkol sekali.
"Kalian
ini bocah-bocah kecil murid siapakah? Mengapa kalian menghadang perjalanan
kami?"
Akan tetapi
kedua orang anak kecil itu tidak menjawab dan pada saat itu terdengar suara
yang membuat kuda-kuda menjadi terkejut dan gelisah. Itulah suara ketawa yang
sangat menyeramkan dan ketika An Lu Kui mendengar ini, mendadak dia menjadi
pucat sekali. Suara ketawa itu seperti suara harimau mengaum dan disusul dengan
suara ketawa ini lalu terdengarlah kata-kata yang jauh sekali namun cukup
membuat telinga merasa sakit saking nyaringnya.
"Heh-heh-heh!
Swi Kiat dan Kun Beng, kalian berada di manakah?"
Anak yang
lebih kecil, yaitu yang tadi melontarkan kuda tunggangan Kwan Cu ke atas
kepalanya, segera meruncingkan mulutnya dan keluarlah teriakan yang kecil akan
tetapi cukup nyaring, "Teecu berdua berada di sini, Suhu!"
Kembali An
Lu Kui menjadi amat terkejut sekali. Ternyata bahwa khikang dari pada anak
kecil ini sudah demikian hebatnya!
Baru saja
gema suara jawaban anak ini lenyap, nampak berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang laki-laki berusia sedikitnya enam
puluh tahun yang tubuhnya membuat Kwan Cu hampir tertawa. Orang ini pendek dan
kecil, sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang
pandai.
Akan tetapi,
ketika melihat orang ini, serta merta An Lu Kui segera melangkah maju dan
menjura dengan sikap hormat sekali.
"Siauwte
An Lu Kui mohon maaf apa bila telah melanggar wilayah Pak-lo-sian
Cianpwe," katanya.
Akan tetapi
kakek itu tidak menghiraukan sama sekali, sebaliknya lalu menoleh kepada Gui
Tin dan terdengar dia mengeluarkan suara ejekan dari hidungnnya, "Hemm,
apakah si bangkotan Li Kong Hoat-ong itu telah benar-benar mendapatkan kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng?"
Setelah
berkata demikian tiba-tiba dia menoleh kepada An Lu Kui dan pandang matanya
yang tadinya suram-muram itu mendadak menjadi tajam luar biasa sehingga An Lu
Kui terkejut sama sekali karena pandang mata itu seakan-akan menembusi dadanya!
An Lu Kui
sesungguhnya tidak mengerti tentang kitab itu, maka dengan terus terang dia
berkata, "Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang tingkatnya jauh lebih
tinggi), siauwte sama sekali tidak tahu tentang kitab itu. Mendengar pun baru
sekarang. Sesungguhnya siauwte sudah diutus oleh suhu Li Kong Hoat-ong untuk
mengundang Gui-siucai karena suhu amat mengaguminya."
Pandangan
mata kakek itu benar-banar mengancam sekali. Keningnya yang keriputan itu
menjadi makin nyata garis-garis keriputnya.
"Ehh,
kau hendak mengandalkan nama An Lu Shan dan suhu-mu Li Kong Hoat-ong dan tidak
mau mengaku? Hayo bicara terus terang!"
"Sungguh,
Locianpwe, siauwte… siauwte tidak tahu…" An Lu Kui yang tadinya galak itu
kini nampak ketakutan.
Tiba-tiba tubuh
kakek itu bergerak dan tahu-tahu dia melompat ke dekat orang Tartar itu. Pada
saat lain, sebelum An Lu Kui sempat mengelak, kakek ini telah menangkap batang
lehernya dan sekali menggentak, tubuh orang Tartar ini terlempar ke atas,
tinggi sekali!
Bagaikan
sekarung beras tubuh An Lu Kui terlempar dan dari atas jatuh pula ke bawah
tanpa berdaya sedikit pun. Ternyata tangkapan pada lehernya tadi sekaligus juga
sudah merupakan tekanan pada jalan darahnya yang membuat dia menjadi lumpuh!
Kebetulan
sekali tubuh orang Tartar itu menimpa Swi Kiat, murid terbesar dari kakek itu.
Anak ini usianya paling banyak delapan tahun, akan tetapi kepandaiannya sudah
hebat. Dia menerima tubuh orang Tartar itu dengan kedua tangannya, lalu sambil
tertawa lebar dia melemparkan tubuh itu kepada adik seperguruannya, yaitu yang
bernama Kun Beng.
Anak ini
lebih muda dari Kwan Cu, usianya paling banyak enam tahun, serta wajahnya
tampan dan periang. Sambil tertawa geli anak ini kemudian menggunakan tangan
kanan menahan punggung An Lu Kui yang terlempar ke arahnya. Kemudian, sekali
tangan kiri anak ini menepuk tubuh belakang orang Tartar itu, An Lu Kui
mencelat lagi ke atas dan kini melayang ke arah kakek tadi.
Kakek itu
lalu menerimanya dengan menotok pundak An Lu Kui yang jatuh berdebuk di depan
kakinya. Akan tetapi orang Tartar itu kini sudah terbebas dari totokan dan
dapat bergerak. Ia segera menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat sekali.
"Locianpwe,
biar pun siauwte dibunuh memang benar-benar siauwte tidak tahu tentang kitab
itu," katanya dengan suara gemetar.
Kwan Cu
paling tidak suka kalau orang menggunakan kekerasan, apa lagi melihat kakek dan
dua orang muridnya itu mempermainkan An Lu Kui yang tidak berdaya sama sekali,
timbulah rasa penasaran dalam dadanya.
"Menggunakan
kepandaian untuk menghina orang, sungguh tak patut sekali. Menangkan orang lain
hanya memiliki tenaga besar, menangkan diri sendiri barulah betul-betul patut
disebut kuat!"
"Hushh,
Kwan Cu…" Gurunya mencegah dan memandang khawatir.
Kakek itu
cepat menengok. Ketika melihat Kwan Cu, nampak kekaguman membayang di dalam
sinar matanya.
"Hemm,
kau murid Gui-siucai? Tidak patut, tidak patut!"
"Suhu,
segala kutu buku macam ini apa gunanya? Biarlah teecu menghajar sedikit adat
padanya!" berkata Kun Beng dengan marah, akan tetapi Swi Kiat mencegahnya.
"Kalau
kau sudah katakan dia kutu buku, untuk apa melawan segala kutu buku, Sute?
Tulang-tulangnya terlalu lemah, jangan-jangan dia akan mati dalam
tanganmu!"
"Diamlah
kalian berdua. Kulihat ada apa-apanya dalam diri anak ini." Kakek ini
kemudian berpaling kepada An Lu Kui. "Biarlah, memandang ucapan anak ini
aku percaya padamu. Pergilah!"
Dengan
tergesa-gesa dan juga lega sekali, An Lu Kui lalu mengajak kawan-kawannya, juga
Kwan Cu dan Gui Tin, untuk pergi dari situ cepat-cepat.
Ketika
mereka telah membalapkan kuda dan pergi jauh sehingga kakek dan dua orang
muridnya tidak nampak lagi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu. Biar pun
orangnya tidak kelihatan, namun suaranya terdengar dekat sekali,
"Gui Tin,
lain kali pada waktunya, akulah yang benar-benar akan membutuhkan bantuan
darimu. Selamat jalan!"
Kwan Cu
terheran-heran dan sejak pertemuan tadi, berubahlah pandangannya terhadap ilmu
silat. Sebenarnya sejak Gui Tin bicara tentang ilmu silat dan kegunaannya, dia
telah tertarik sekali, akan tetapi tetap saja hasrat di dalam hatinya untuk
belajar ilmu silat masih amat lemah. Kini, menyaksikan kelihaian kedua orang
anak kecil itu, dia menjadi tertarik dan ingin sekali memiliki kepandaian
seperti mereka! Inilah sifat anak-anak yang betapa pun juga masih melekat di
dalam hatinya.
"An-sianseng
(Tuan An), sebetulnya siapakah kakek yang luar biasa sekali itu?"
Diam-diam
Kwan Cu lalu membandingkan kakek tadi dengan dua orang luar biasa yang pernah
dijumpainya, yakni Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Bila
melihat keadaan, keanehan dan kelihaian mereka, agaknya ketiga orang itu
mempunyai tingkat yang sudah tinggi sekali.
Sebenarnya
An Lu Kui sedang marah, mendongkol dan penasaran sekali. Oleh seluruh barisan
di bawah kakaknya, dia dianggap sebagai seorang gagah yang disegani dan juga
dihormati. Tidak tahunya, di sini dia telah mengalami penghinaan dari seorang
kakek dan dua orang anak-anak. Akan tetapi, oleh karena menganggap Kwan Cu
sudah berjasa di hadapan kakek tadi, dia menjawab juga.
"Dia
adalah seorang sakti bernama Siangkoan Hai yang berjuluk Pak-lo-sian (Dewa Tua
dari Utara). Untuk daerah utara boleh dibilang dia menjadi tokoh terbesar.
Biasanya biar pun orang menduga bahwa dia berada di daerah utara, dia tidak
pernah muncul kecuali terjadi perkara-perkara besar dan biasanya dia tidak mau
mencampuri segala urusan dunia. Kita benar-benar sial sekali bertemu dengan dia."
Akan tetapi,
Gui Tin berkata perlahan kepada Kwan Cu, "Kita benar-benar beruntung
bertemu dengan dia. Aku pun baru kali ini melihat wajahnya, walau pun namanya
sudah lama kudengar. Kwan Cu, perhatikanlah, di dalam dunia persilatan,
terdapat lima orang yang paling terkenal. Mereka itu adalah Pak-lo-sian
Siangkoan Hai yang merajai daerah utara, ke dua adalah Ang-bin Sin-kai yang
menjagoi di pantai timur, ke tiga hwesio tibet bernama Hek-i Hui-mo (Iblis
Terbang Jubah Hitam) yang menjadi tokoh terbesar bagian barat. Ada pun orang ke
empat dan ke lima merajai daerah selatan, yakni yang seorang Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu yang sudah kau kenal dan orang ke dua adalah seorang wanita tua
yang terkenal dengan julukan Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Buntut Sembilan)!
Menurut berita yang pernah kudengar, mereka berlima ini kepandaiannya seimbang
dan kini mereka sedang berusaha untuk memperebutkan sebuah kitab ilmu perang
dan ilmu silat yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. Tadinya kuanggap hal ini
hanya kabar angin belaka, akan tetapi setelah sikap Dewa Tua Utara tadi,
agaknya betul juga kabar itu."
"Gui-lopek,
apakah sesungguhnya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang diperebutkan oleh
orang-orang luar biasa itu? Dan apakah selain lima orang tokoh itu, di dunia
ini tidak ada orang-orang pandai ilmu silat yang lain lagi?"
Pada saat
itu An Lu Kui mendekatkan kudanya. Gui Tin memberi tanda dengan matanya agar
Kwan Cu tak banyak bicara lagi, kemudian kakek pengemis itu berkata seakan-akan
menjawab pertanyaan Kwan Cu,
"Kau tanyakan
tentang nama-nama tokoh besar? Ahh, menyebut yang lain-lain tidak ada artinya.
Kalau Pek-cilan Thio Loan Eng barulah seorang wanita pendekar berilmu
tinggi!"
Mendengar
ini, An Lu Kui mengejek dan tersenyum. "Gui-siucai, kau orang bun mana
tahu tentang tokoh-tokoh besar dalam ilmu persilatan? Walau pun aku belum tentu
dapat menandingi kepandaian Pek-cilan, akan tetapi kalau dibandingkan dengan
suhu Li Kong Hoat-ong, bukankah itu sama saja dengan membandingkan sebuah bukit
anakan dengan Gunung Thai-san?"
Akhirnya
perjalanan mereka tiba di benteng penjagaan di mana An Lu Shan memimpin
barisannya untuk menjaga tapal batas utara. Benteng ini besar sekali, merupakan
suatu perkampungan tersendiri yang dikelilingi dusun-dusun yang penduduknya
campur aduk, ada orang Mongol, ada suku bangsa Uigur, Cou, dan lain-lain.
Ketika Gui
Tin ditinggalkan di ruangan tamu berdua dengan Kwan Cu, kakek ini berkata,
"Kwan Cu, tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tokoh-tokoh persilatan
yang kau tanyakan itu, nanti saja kalau kita sudah dapat meninggalkan tempat
ini, kau kuberi tahu. Sebetulnya, di dalam tangankulah rahasia untuk
mendapatkan kitab kuno itu!"
Kwan Cu amat
terkejut. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Gui Tin memberi tanda dengan
telunjuk di depan mulut, dan dari dalam terdengar tindakan kaki mendatangi.
Setelah
pintu terbuka, ternyata yang masuk adalah An Lu Kui sendiri bersama dua orang
lain. Seorang adalah seorang berpakaian perwira yang bertubuh gagah, sedangkan
yang lain adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar, berusia kurang lebih
lima puluh tahun dan sikapnya agung sekali. Dia berjalan dengan tubuh tegak dan
dada terangkat, bagai sikap seorang raja besar. Inilah Li Kong Hoat-ong, bekas
raja bangsa Yu-yan yang kini menjadi guru dari An Lu Shan dan An Lu Kui!.
An Lu Shan,
panglima yang sudah banyak membuat jasa bagi negara itu, berlaku hormat kepada
Gui Tin. Ia menjura lalu berkata,
“Kami harap
Gui-siucai tidak mendapat banyak kaget dan mengalami banyak kesukaran karena
undangan kami ini. Telah lama kami mendengar nama besar Gui-siucai, dan biar
pun selama ini pemerintah tidak memperhatikanmu, akan tetapi karena aku pun
seorang panglima negara, maka biarlah kau anggap sekarang aku sedang mewakili
pemerintah dan menebus kelalaian pemerintah. Gui-siucai akan hidup kecukupan di
tempat kami ini.”
Gui Tin
adalah seorang terpelajar tinggi yang telah banyak pengalaman dan mempunyai
kecerdikan luar biasa. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur dan tidak suka
memutar balikkan omongan. Sebab itu, mendengar ucapan yang dia tahu hanya
merupakan siasat untuk membela hatinya belaka ini, dia menjawab,
“An-ciangkun,
aku dan muridku sudah dibawa ke sini dengan paksa, lebih baik sekarang lekas
katakan, pekerjaan apakah yang harus kami lakukan? Kami ingin membereskan
urusan ini secepatnya, karena kami ibarat burung-burung yang terbang bebas di
udara. Pernahkah kau mendengar akan burung-burung yang merasa suka di kurung,
biar dalam kurung emas sekali pun?”
Kini Li Kong
Hoat-ong yang tertawa bergelak mendengar kata-kata sastrawan terpelajar tinggi
itu. Pada saat ketawa, Li kong Hoat-ong menutup mulutnya dengan tangan kanan,
agaknya dia hendak menjaga peraturan serta kesopanan dirinya, untuk
memperlihatkan bahwa dia adalah berbeda dari pada orang lain, bahwa ia memiliki
keistimewaan khusus, karena bukankah dia bekas raja?
“Gui-siucai,
inilah yang dibilang bahwa makin tinggi pengertian orang, semakin poloslah
wataknya!” Bekas raja bangsa Yu-yan ini lalu berpaling kepada An Lu Shan dan
berkata, “Muridku, terhadap seorang terpelajar tinggi seperti Gui-siucai ini,
tak perlu kita bicarakan yang lain lagi. Kau lebih baik menerangkan saja maksud
kita.”
Merahlah
wajah An Lu Shan saking jengah dan malunya. Benar-benar seorang yang luar biasa
sekali Gui Tin ini, pikirnya. Pakaiannya seperti pengemis, akan tetapi sikapnya
agung-agungan seperti seorang pembesar tinggi saja! Akan tetapi oleh karena dia
amat membutuhkan tenaga bantuan Gui-siucai, An Lu Shan menahan sabar.
Komandan ini
memberi perintah agar semua penjaga pergi dari ruangan itu, lalu Gui Tin
bersama muridnya diajak masuk ke dalam sebuah kamar. Hanya lima orang yang
berada di kamar itu, yakni An Lu Shan, An Lu Kui, Li Kong Hoat-ong dan Gui Tin
bersama Kwan Cu saja.
“Gui-siucai,
sebelumnya harap kau suka bersumpah bahwa kau takkan bercerita kepada lain
orang tentang hal yang akan kita bicarakan ini,” kata An Lu Shan.
Gui Tin
tersenyum. “Aku tak pernah bersumpah, dan tidak mau bersumpah. Kalau orang
tidak percaya padaku, mengapa aku dibawa ke sini? An-ciangkun, bicaralah. Aku
Gui Tin bukanlah orang yang biasa berpanjang mulut.”
“Gui-siucai,
kami hanya minta padamu untuk menterjemahkan sebuah kitab untuk kami. Kitab itu
kitab kuno sekali dan hanya kaulah orang yang akan dapat menterjemahkannya.
Kami tidak akan mau memeras tenaga orang secara sia-sia, maka kau boleh
tetapkan sendiri biayanya, asal kau suka mengerjakannya cepat-cepat, lebih
cepat lebih baik.”
Gui Tin
mengerling ke arah An Lu Kui dan berkata perlahan. “Hm, agaknya benar dugaan
kakek pendek kecil dulu itu?”
Sesungguhnya,
di dalam hatinya Gui Tin terkejut sekali mendengar ucapan An Lu Shan tadi, akan
tetapi secara pandai sekali dia dapat menguasai debar jantungnya.
An Lu Kui
menjawab, “Memang betul Gui-siucai. Kitab itulah yang berada di tangan kami.
Oleh karena itulah kau tidak boleh membocorkan rahasia ini supaya jangan sampai
ada orang jahat datang merampasnya.”
Gui Tin
mengangguk-angguk, hatinya pun berdebar-debar. Sudah belasan tahun ia ingin sekali
melihat kitab ini, kitab yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia,
karena di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini selain terdapat ilmu-ilmu
silat yang tinggi, juga di situ terdapat ilmu perang, ilmu pengobatan, dan
perbintangan!
“Akan kucoba
menterjemahkan, sungguh pun aku tidak berani memastikan apakah aku bisa
melakukan hal itu. Bolehkah aku melihat kitabnya sekarang juga?”
Li Kong
Hoat-ong bertukar pandang dengan An Lu Shan.
“Mari ikut
dengan aku untuk mengambilnya,” kata komandan ini.
Beramai-ramai
mereka lalu memasuki kamar komandan ini yang berada di tengah-tengah benteng.
Kamar ini terjaga kuat-kuat dan agaknya tidak akan mudah bagi siapa pun juga
untuk menyerbu masuk ke dalam kamar An Lu Shan.
Setelah
berada di kamar, An Lu Shan merapatkan daun pintu, bahkan menguncinya dari
dalam. Kemudian dia menghampiri pembaringannya dan sesudah dia menarik
gantungan kelambu tiga kali, terdengarlah suara keras kemudian pembaringan itu
terangkat naik! Di bawahnya terdapat lubang yang terbuka sendiri di lantai yang
tadinya berada di kolong pembaringan, dan di dalam lubang ini terdapat sebuah
peti kecil.
An Lu Shan
mengambil peti itu dan berkata kepada Gui Tin sambil tersenyum, “Kitab yang
banyak diinginkan oleh banyak orang jahat, apa bila tidak disimpan baik-baik,
tentu akan mudah hilang.”
Gui Tin
mengangguk-angguk. Sambil memandang ke arah peti itu dengan penuh gairah, dia
pun berkata memuji, "An-ciangkun benar-benar teliti. Setan pun agaknya
akan sukar mendapatkan kitab itu di sini!"
An Lu Shan
tertawa, kemudian setelah menutup kembali pembaringan, dia menghampiri meja dan
menaruh peti kecil berwarna hitam itu ke atas meja. Ketika dia membukanya,
nampak sebuah kitab yang sudah tua sekali dan kertasnya berwarna
kekuning-kuningan, terbungkus oleh sutera putih yang bersih.
Debar
jantung Gui Tin semakin menghebat dan sastrawan ini bagaikan orang kelaparan
melihat paha babi panggang. Tak terasa pula dia maju mendekat.
An Lu Shan
tertawa lagi, lalu mengambil kitab itu. "Kau lihat sebentar, dan coba
kenali kitab apa ini!"
Gui Tin
menerima bungkusan sutera putih itu, lalu membukanya. Dia tidak cepat-cepat
membuka kitab itu, akan tetapi memandang sampulnya dahulu dengan penuh
perhatian, lalu menimbang-nimbang berat kitab itu di atas tangannya. Kemudian
dia mencium kitab itu dengan hidungnya yang dikembang-kempiskan.
Setelah itu
dia memandang agak ragu-ragu ke arah kitab itu. Dibacanya beberapa baris
tulisan kuno yang tak karuan bentuknya, dan menurut penglihatan Kwan Cu yang
selalu berada di sisi gurunya, itu bukanlah tulisan, melainkan
gambaran-gambaran yang buruk sekali!
Mendadak Gui
Tin tertawa geli. "Ahh, orang telah main-main, An-ciangkun! Orang mau
meniru, akan tetapi alangkah bodohnya! Kertas ini biar pun sudah kuno namun
tulisan-tulisan dan gambar-gambarnya dilakukan dengan penggunaan tinta baru!
Ini adalah kitab palsu sama sekali!"
Untuk sesaat
hening di dalam kamar itu, kemudian terdengar Li Kong Hoat-ong memuji,
"Gui-siucai benar-benar bermata tajam. Sungguh mengagumkan sekali!"
An Lu Shan
juga merasa kagum maka dia lalu menjura kepada Gui Tin. "Gui siucai sekali
melihat saja tahu perbedaan, sungguh lihai. Sekarang aku percaya benar-benar
bahwa kitab itu tidak akan dapat diterjemahkan orang melainkan Gui-siucai
seorang. Tunggulah, aku akan mengambil aslinya!"
Setelah
berkata demikian, An Lu Shan lalu menekan sesuatu di tembok dan terbukalah
dinding itu, memperlihatkan satu pintu rahasia. Kali ini dia sendiri yang
memasuki pintu rahasia itu, bahkan guru dan adiknya sendiri tidak ikut masuk!
Setelah dia keluar kembali, dia sudah membawa keluar sebuah peti yang lebih
kecil dari pada peti yang palsu tadi. Juga peti ini berwarna hitam, akan tetapi
kelihatannya berat sekali. Ia menaruh peti ini di atas meja, kemudian menyimpan
kembali kitab dan peti palsu yang tadi.
An Lu Kui
sendiri baru pertama kali ini melihat kitab yang asli itu, karena yang pernah
melihatnya hanya An Lu Shan berdua Li Kong Hoat-ong. Oleh karena itu dengan
suara memohon dia berkata kepada kakaknya. "Shan-heng, bolehkah aku
membukanya?"
Sambil
berkata demikian, dia segera mengulurkan tangan kanannya hendak membuka tutup
peti. Akan tetapi cepat sekali An Lu Shan menampar tangan adiknya dan berkata,
"Hati-hati!
Jangan sembarangan menjamah peti ini, Kui-te!" Lalu dia melanjutkan dalam
bahasa Tartar. "Peti ini telah dilaburi racun yang berbahaya sekali!"
Tentu saja Kwan Cu tidak mengerti, akan tetapi Gui Tin mengerti baik kata-kata
ini.
An Lu Shan
lalu meminta semua orang untuk mundur, kemudian dengan tangan kirinya dia
mengambil sebuah bantal dari pembaringannya, dipegang di atas peti, antara dia
dan peti itu sebagai perisai. Kemudian dengan tangan kanannya dia membuka tutup
peti.
“Ser! Ser!
Ser!” terdengar suara dan dari dalam peti itu dengan cepat dan tidak terduga
sekali menyambar tujuh batang anak panah kecil yang ujungnya kehitaman karena
telah direndam racun ular berbisa! Tujuh anak panah ini kesemuanya menancap
pada bantal yang dipegang oleh An Lu Shan.
An Lu Kui
menjadi pucat. Kalau dia yang membukanya, tentu akan celakalah dia! Tidak saja
tangannya akan terkena racun yang dipulaskan di luar peti, juga anak-anak panah
itu tak mungkin dielakkan oleh orang yang membuka peti, kalau tidak mengetahui
lebih dahulu!
"Lihai
sekali kau, An-ciangkun!" Gui Tin juga memuji sedangkan Kwan Cu meleletkan
lidahnya saking ngerinya.
An Lu Shan
hanya tersenyum.
"Untuk
menjaga tangan jahil," katanya sambil mengeluarkan kitab itu.
Kitab yang
ini lebih kecil bentuknya, akan tetapi amat berat dan ternyata kertasnya amat
tipis-tipis sehingga isinya banyak sekali. Ketika Gui Tin membuka kitab itu dia
tertegun.
Benar saja,
inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sebagaimana yang pernah dibacanya dalam
buku-buku sejarah kuno. Inilah kitab yang semenjak ribuan tahun dipakai rebutan
dan siapa yang memegang kitab ini, kalau perorangan merupakan jago terlihai di
muka bumi, kalau negara menjadi negara yang kuat sekali.
Inilah dia
kitab yang selama ini diimpi-impikan oleh semua orang gagah, oleh tokoh-tokoh
besar di dunia kang-ouw, oleh negara-negara di seluruh dunia. Dan kini kitab
ini berada di tangan An Lu Shan, seorang komandan militer yang bersemangat dan
gagah!
Gui Tin
merasa betapa tangannya tergetar. Berbahaya kalau sampai isi kitab ini
diketahui oleh An Lu Shan. Dan dia percaya bahwa yang mampu menterjemahkan
kitab ini hanya dia seorang! Kitab ini ditulis di jaman kerajaan Shia, ribuan
tahun yang lalu.
Tiba-tiba
Gui Tin teringat sesuatu dan ia meraba-rabakan jari-jari tangannya di atas
kitab itu. Hemm, aneh, pikirnya! Pada masa itu, belum ada kertas!
Lalu dia
mengerutkan keningnya untuk mengingat-ingat kembali tentang apa yang sudah
dibacanya mengenai kitab rahasia ini. Kalau tidak salah ingat, kitab aslinya
ditulis di atas sutera! Dan dia membaca sudah beribu kali orang memalsukan
kitab itu supaya aslinya tidak mudah dicuri orang. Hm, apakah yang dipegangnya
ini pun sebuah dari pada kitab tiruan dan palsunya?
Melihat Gui
Tin mengerutkan kening dan diam seperti patung, An Lu Shan lalu berkata,
“Gui-siucai, apa yang kau pikirkan? Sanggupkah kau menterjemahkannya?” Semua
mata memandang kepada Gui Tin dengan sinar tajam mengancam.
Sastrawan
ini maklum kalau dia mengatakan dia tidak sanggup, dia tidak akan diampuni.
Sebaliknya kalau dia sampai menterjemahkan kitab ini, juga tidak ada harapan
baginya untuk bisa pergi dari tempat ini dalam keadaan hidup! Dia yang telah
menterjemahkan, kelak tentu akan dianggap berbahaya oleh An Lu Shan, dan tentu
akan dibinasakan agar jangan sampai membuka rahasia isi kitab itu kepada orang
lain.
Sebelum
menjawab, Gui Tin mengelus-elus kepala Kwan Cu yang berdiri di dekatnya, lalu
dia menatap wajah An Lu Shan sambil berkata, “Biar pun kitab ini sukar sekali
untuk diterjemahkan, akan tetapi aku sanggup mengerjakan asalkan ciangkun dapat
bersabar menanti. Akan tetapi, hanya satu saja permintaanku sebagai biaya
penterjemahan, yaitu, kau lepaskan dan bebaskan muridku ini untuk pergi dari
sini dan jangan mengganggu padanya!"
"Tidak,
Gui-lopek! Aku tidak mau meninggalkan kau orang tua. Siapa yang akan merawat
dirimu, juga siapa yang akan menggosokkan bak untukmu, dan siapa pula yang akan
kau suruh-suruh pada waktu kau mengerjakan semua ini? Gui-lopek, jangan suruh
aku pergi meninggalkanmu!” tiba-tiba Kwan Cu berkata.
Sementara
itu, An Lu Shan yang cerdik sekali ketika melihat betapa Gui Tin amat sayang
kepada muridnya, timbullah sebuah pikiran yang amat cerdik.
“Gui-siucai,
aku berjanji tak akan mengganggu muridmu. Akan tetapi, dia baru kubiarkan pergi
bila mana kau sudah selesai menterjemahkan kitab ini. Ingat, semakin cepat kau
menterjemahkannya, semakin cepat pula aku melepaskan anak ini. Sementara itu,
siapa lagi yang akan melayanimu selain anak ini? Orang lain tidak boleh melihat
kitab ini. Kau tentu mengerti maksudku, bukan?”
Gui Tin
mengerti baik sekali. Siapa saja yang sudah melihat kitab ini harus mati,
temasuk pula Kwan Cu! Maka sastrawan ini menjadi gelisah dan berduka sekali,
akan tetapi dia dapat menindas perasaanya dan menyatakan kesanggupannya.
“Baik, akan
kukerjakan mulai hari ini juga. Akan tetapi aku tak mau diganggu dan biarkan
aku dilayani oleh muridku di dalam kamar tertutup.”
An Lu Shan
mengangguk. “Baik, Gui-Siucai. Kau akan bekerja di dalam kamarku ini dari pagi
sampai petang. Setiap pagi kau masuk ke sini dan sesudah petang kau keluar dari
kamar ini, meninggalkan terjemahan dan kitab aslinya.”
Demikianlah,
mulai hari itu juga Gui Tin mengerjakan terjemahan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, dilayani oleh Kwan Cu. Karena maklum dia dan muridnya diintai dari
luar dan diawasi, Gui Tin tidak berani bicara sembarangan terhadap Kwan Cu, dan
dia melakukan terjemahan itu selambat mungkin.
Isi kitab
ini benar-benar hebat. Di situ tertulis aturan-aturan dan cara-cara melatih
tentara, membentuk barisan, dan mengatur serangan secara lihai sekali. Selain
itu, terdapat pula latihan-latihan ilmu silat yang aneh-aneh, cara untuk
semedhi dalam bentuk yang paling istimewa, kemudian ada pula ilmu pukulan yang
hebat-hebat sehingga baru membaca sebentar saja Gui Tin sudah merasa pening
kepala dan juga ngeri.
Dia pikir
bahwa kalau dia menterjemahkan ilmu silat itu, apa bila sampai dipelajari oleh
orang jahat, maka kelak orang itu akan menjadi manusia berkepandaian iblis yang
sukar ditekan. Sebaliknya, bila dia menterjemahkan ilmu perang, tidak ada
jahatnya. Bukankah An Lu Shan seorang perwira dari kerajaan yang sudah terbukti
membela negara. Kalau perwira itu mendapatkan pelajaran ilmu perang ini,
bukankah hal ini baik sekali dan tidak merugikan rakyat mau pun tidak
membahayakan negara?
Oleh karena
inilah, maka Gui Tin kemudian mulai dengan terjemahannya. Dia sengaja
mendahulukan terjemahan ilmu perang yang aneh-aneh dan lihai itu, yang dia
lakukan sedikit demi sedikit. Ada pun terhadap Kwan Cu, dia memiliki sebuah
cita-cita yang baik sekali.
Kitab ini
adalah kitab tiruan atau kitab palsu, ini Gui Tin yakin betul. Sayang dia sudah
banyak lupa tentang sejarah yang dulu pernah dibacanya mengenai kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi kitab sejarah itu masih bertumpuk pada suatu
tempat di mana dia menyimpan kitab-kitab kunonya. Kalau kelak kitab aslinya
bisa didapat, mungkin dia telah tewas, dan muridnya inilah yang menjadi orang
satu-satunya yang dapat membacanya!.
Oleh karena
itu, maka Gui Tin lalu memberi pelajaran tentang bahasa tulisan kuno itu kepada
Kwan Cu. Ia mengajar sedikit demi sedikit, secara lisan, karena kalau tertulis,
ia khawatir akan terlihat oleh orang lain. Ia minta kepada Kwan Cu supaya
mencatat dan menghafal di dalam otaknya.
Anak ini
memang cerdik sekali. Apa yang sekali terdengar olehnya, seolah-olah langsung
menempel pada otaknya dan tidak mudah terlupa kembali. Oleh karena itu, semua yang
dipelajarinya dapat dihafalnya dengan mudah.
Pada
keesokan harinya, setelah melihat hasil terjemahan Gui Tin, bukan main
girangnya hati An Lu Shan. Ia membaca siasat-siasat kemiliteran yang
rumit-rumit dan hebat-hebat, cara mengatur barisan, mengatur penyerangan dan
mengatur penjagaan.
Hebat!
Inilah yang dicari-cari, inilah yang diimpi-impikannya! Maka serentak mulailah
dia mempraktekkan semua siasat beserta tata peraturan melatih tentara yang
dibacanya dari terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
Tiga bulan
terlewat cepat sekali dan selama tiga bulan ini, Gui Tin baru menterjemahkan
setengah dari pada ilmu perang itu! Akan tetapi hasilnya bagi An Lu Shan bukan
main besarnya! Kini bala tentara yang dipegangnya merupakan barisan yang kuat
dan memiliki pendidikan militer yang lain dari pada yang lain! Semua ini berkat
pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentu saja An Lu Shan merasa bangga
dan puas sekali.
Ada pun
dalam waktu tiga bulan itu, Kwan Cu dengan penuh ketekunan mencurahkan segenap
tenaga, otak, dan perhatian untuk menghafal dan mempelajari bahasa tulisan kuno
yang dipergunakan untuk menuliskan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu. Dan
ketika tanpa sengaja dia melirik ke arah kitab yang sedang diterjemahkan oleh
gurunya, hampir dia berseru girang karena dia dapat membacanya dengan mudah!
"Gui-lopek!
Bukankah baris paling atas bunyinya, ‘Barisan Kwan-im Pouwsat menyebar biji
teratai’…?
"Sstttt!"
Gui Tin cepat menutup mulut Kwan Cu, lalu berkejap mata.
Kwan Cu
cerdik. Dia tahu bahwa sesungguhnya bukan karena terjemahan itu sukar bagi gurunya,
melainkan karena gurunya sengaja memperlambat terjemahan itu!
"Lopek,
mengapa tidak cepat-cepat menyelesaikan saja agar kita dapat segera pergi dari
sini?"
Gui Tin
menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. Sukar baginya untuk bicara
karena dia tahu bahwa selalu ada penjaga yang mengawasi mereka di luar kamar
dan mendengarkan percakapan mereka. Karena itu dia sengaja berkata keras-keras
sambil memberi kedipan mata kepada muridnya itu,
"Enak
saja kau bicara! Apa kau kira menterjemahkan kitab seperti ini sama mudahnya
dengan makan bakso?"
Demikianlah,
dua orang guru dan murid ini main sandiwara. Diam-diam Gui Tin menunjuk ke arah
kitab bagian pelajaran ilmu silat dan minta Kwan Cu membacanya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment