Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 19
PARA perwira
bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju
mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa
hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi,
barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa
teman-teman sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering
tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian,
anggota-anggota pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak
kelihatan lagi, dan begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi
komadonya.
Ketika
mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira
telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk
menyiksa para tawanan! Ada pun pemuda luar biasa itu, entah pergi ke mana
karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak
peristiwa itu, nama Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An
Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama
menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah
memperlihatkan kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil
membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu
membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima
kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk kepada
sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.
Apa bila
pujangga itu lahir batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang
sudah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali
membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat
menaruh rasa benci terhadap para anggota pasukan. Oleh karena ini, ketika dia
dikepung dia tidak mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan
melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan
Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai
menyebut-nyebut namanya, ia menjadi amat terharu dan segera timbullah
kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu
yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang
mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu,
Hek-i Hui-mo, Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin.
Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia sudah mengambil
keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat
dia merasa sangat heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar
bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara
suhu-nya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua
orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?
Dia sendiri
masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena
namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka
orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah
dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota
raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu
Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada
pasukan itu, mengancam perwiranya.
Semua ini
dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar
markas pasukan dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya
yang berbunyi singkat:
APABILA
MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya
kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan
terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya
dia mengira bahwa anggota-anggota pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan
segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan
tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan
pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat
jelata.
Namun
seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai
membunuh orang, yaitu dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada
dinding-dinding markas pasukan pemberontak.
***************
Dia menuju
ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata
bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru.
Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu
berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini
pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Kwan Cu
disambut oleh seorang pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga.
Maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan
perasaan curiga karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh
para hartawan dan bangsawan-bangsawan belaka.
Kwan Cu
tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat
kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta
biaya-biaya lainnya, maka dia sudah mengambil cukup banyak emas dari kamar
harta seorang pembesar kaya raya pada waktu dia memberi ancaman kepada pembesar
yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan
itu sangat banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan
pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka
memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu,
hanya ada seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga
puluh tahun cukup menarik.
Laki-laki
ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan
banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan
Cu diam-diam merasa geli karena dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki
botak itu mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga hingga suaranya
terdengar nyaring sekali.
Pelayan
rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah
pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada
beberapa tempat yang kosong. Akan tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera
dia memesan beberapa makanan.
Selagi
menanti makanan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah
makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor
anjing kurus sedang makan tulang yang hitam.
Pengemis-pengemis
itu berjalan dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan
terpincang-pincang. Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang.
Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai
yang juga selalu berpakaian pengemis, juga pemandangan itu membuat dia melihat
perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan
manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis
itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan
lagi.
Dia kemudian
melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang
dengan muka angkuh.
“Tolong
bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu.
Aku yang akan bayar.”
Pelayan itu
mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah
kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan
Tuan akan kami layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu,
harap Tuan berikan sendiri.”
“Mengapa
begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena
kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap
hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu
menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku
yang memberikan sendiri.”
“Hei,
A-kiu...!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara
dengan Kwan Cu.
Pelayan itu
cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si
botak.
“Ada apakah
memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya
membungkuk-bungkuk.
“Bagaimana
sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata
demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu
mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka
dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan
untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu
melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik.
Pendengaran Kwan Cu amat tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua
percakapan mereka yang sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa
yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dirinya sendiri!
Akan tetapi
kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa
mendongkol atau marah, bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda
itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
“Hm, agaknya
dia orang jauh yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan
bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si
botak berkata agak keras, dan sikapnya ini terang sekali menghina dan tak
memandang mata kepada orang lain.
Kemudian
mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut
mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur
memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara mengenai
dia, sekarang perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia mendengarkan
kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar
cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,”
kata si botak tertawa-tawa.
“Siauw-ongya
mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah
sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.
Si botak
tertawa bergelak, lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk
merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan
menurut. Ha-ha-ha!”
Semua orang
di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu
mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum
berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda
pemogoran yang tak kenal malu.
Akan tetapi
diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga
liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat
itu pula, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu
merasa heran sekali kenapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan
tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya.
Ketika dia
melihat masakan itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak
karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang
seharusnya sudah dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih
sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih
duduk jauh dari rumah makan itu.
Para
pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda
memberi mangkok berisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan
bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu
memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan
memberikan uang itu kepada mereka.
“Bawalah
mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.
Melihat
semua pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan
kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa
mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa
mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat
memperhatikan dirinya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi.
Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul
hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan
sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu.
Ia
meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah
dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya
dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok.
Kwan Cu
memanggilnya. “Sahabat pelayan, harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu
menengok dan menghampirinya.
“Ada
apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.
Kwan Cu lalu
menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika
dia bertanya.
“Masakan ini
sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran
ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”
Wajah
pelayan itu memerah. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak
sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan
berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah
dibuang!
“Kau sombong
amat!” pelayan itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan
mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran
Kwan Cu ada batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah
sepatutnya kalau orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina
orang.
“Begitukah
anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar
aku yang membayarnya!”
Sebelum
pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan
itu hingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat
ditutup kembali. Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan
sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong
dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!
Pelayan yang
tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan
paksa melalui kerongkongannya!
Orang muda
botak yang tadi disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya,
diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya,
meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan
itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat
dan ketakutan.
“Nah, aku
terima kalah,” Kwan Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan
busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau.
Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas
meja.
“Pengemis
liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An
yang botak itu membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat
senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat
tinggi saja yang dapat memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak
itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam
diuntai, ada pun tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa
digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu
telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu
serta kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat
tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang lelaki
muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini
merupakan seorang yang berpangkat pula.
Pangeran An
yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun
kemarahannya telah membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa,
kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.
Ujung
kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong
itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel
di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki
pada dinding!
Kwan Cu
terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui
bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta
lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun
tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara
ketawa mengejek dan berkata,
“Sekarang
terlalu banyak orang pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang
memamerkan tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di
mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang
meja itu, dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.
Ketika Kwan
Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab
ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya
lebih tinggi dari pada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat
mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang
dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan
permukaan dinding.
Ketika
memandang kepada orang yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi
berubah. Dia cepat-cepat menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata
sambil tersenyum pahit.
“Ehhh,
kiranya Suheng tidak menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan
pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak
ini sambil tertawa-tawa mengejek lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti
pula oleh kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut terhadap pemuda baju mewah
yang baru datang.
Kini
perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang,
makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu
dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bila mana.
Tiga orang
pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga
orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula
bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu.
Makin heranlah hati Kwan Cu.
Agaknya
keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga
orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan
pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian,
tidak nanti pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng
(kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara
itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh
perhatian. Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah
mengejek.
Melihat
sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang
bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh
lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya
tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa.
Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya
benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang
kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan
keadaan sebenarnya. Ahh, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu
berkata sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu
hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang
ini.
“Lu
Thong...!” serunya.
Lu Thong
memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak
bicara di tempat terbuka itu.
“Kita masih
bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita
dapat bicara dengan enak dan leluasa.”
Akan tetapi,
melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi
makin curiga dan benci.
“Aku tidak
mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,”
jawabnya.
Lu Thong
mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu?
Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar
keterangan yang sejelasnya mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan
diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari
aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”
Keangkuhan
hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia
menjawab, “Siapa takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku
ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”
Lu Thong
tertawa gembira dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih
berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat
sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi
menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong
membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota.
Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah
makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun,
semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali,
bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi
hormat pula.
Diam-diam
Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan
yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin
yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan
tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong secara diam-diam.
Ketika
memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta
Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima
orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu
tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai
selir-selirnya!
“Aku belum
menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena
itu, mereka inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari
anak malang yang hidup sebatang kara ini.”
Kwan Cu
hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak
mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap
genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini sudah turut menyambut
dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita
bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan
leluasa.”
Kwan Cu
harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh
dengan tanaman bunga beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam
ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga
itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu
silat.
“Kau hidup
mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling
tempat itu. Dia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman
bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok
dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan
sangat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong
tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan
hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.
“Duduklah,
saudaraku. Matamu sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang
sekarang kota raja sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi
para pembesar dan penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi
kekacauan dan persaingan hebat.”
“Seperti
halnya suhu-mu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan
Cu dengan pandang mata tajam.
“Jangan kau
persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang
suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah
ikut terseret dalam permusuhan.”
“Akan tetapi
muridnya bahkan hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah
musnah...,” Kwan Cu menyindir.
“Kau tidak
tahu, Kwan Cu. Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah
wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah
soalnya, Kwan Cu. Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda
istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun
mengetahui di mana adanya kongkong Lu Pin. Oleh karena itulah, biar pun semua
keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh
suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan
Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Hussh,
jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang
panglima gagah perkasa dan bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau
tidak demikian, tidak mungkin aku diangkat menjadi pangeran malah dianggap
sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemm,
begitukah...?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.
Akan tetapi
di dalam hatinya dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh
keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An
Lu Shan namun dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya
watak pemuda ini.
“Kau agaknya
tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku
tidak tahu, bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?”
Kwan Cu bertanya.
Lu Thong
kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang
membayangkan kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada.
“Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka
berceritalah Lu Thong…
Sebagaimana
diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah
mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota
timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh
banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi
kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa
amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar
saja, An Lu Shan lalu memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima
belas laksa orang yang sudah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang,
kemudian pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang
tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat
dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti
kaisarnya.
Memang,
keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi
boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik,
yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena
pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagi pula
dibantu oleh banyak orang pandai, akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu
Shan, ada pun kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan
para dan kaki tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari
orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan
orang-orang kelaparan yang menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi
mata gelap dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam
keributan ini, An Lu Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri.
Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan,
bahkan hal itu akhirnya menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali
orang-orang berkuasa dengan diam-diam saling mempengaruhi dan menanam bibit
permusuhan serta persaingan yang dalam sekali.
Ada pun
fihak tentara Kerajaan Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan
pembalasan. Pada waktu bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya
mengungsi, mereka mendesak kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka
menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga
pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan
hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah
jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah
dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa
harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum
mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan
dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari
sejumlah harta negara yang amat besar.
Telah
dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan
akhirnya dapat bersembunyi di dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak,
karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang
binatang purba kala yang banyak terdapat di dalam goa itu.
Hanya Lu
Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda
ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An
Lu Shan sudah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi
gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini
diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya,
dia berkata,
“Demikianlah,
saudara Kwan Cu. Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap
aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat
persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga supaya persaingan itu
tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat
persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan
pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya,
golongan kedua yaitu tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun
golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hemm,
diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang
teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam
pondongan Ang-bin Sin-kai.
“Ya, memang
dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda
botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”
Lu Thong
menarik napas panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki
bakat baik. Dia itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong,
sebenarnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut
pautnya dengan aku. Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja
untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu,
benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh
suhu-ku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya
oleh suhu-mu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap
pengecut.”
“Kwan Cu,
kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak
membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu
Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang sudah
membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu
hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan
suara membujuk.
“Kwan Cu,
sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih
muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan
Lu pula, walau pun hanya cucu angkat dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu
hanya kau dan aku saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat
nama keluarga kita!”
“Apa
maksudmu?”
“Dengar
baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan
hebat, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi
mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik
sekali?”
“Apa?!” Kwan
Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa
salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali
jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat
anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar
Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa engkaulah orangnya yang
kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah,
sekarang marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka
Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak,
tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini.
Apa bila kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan
hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat
perhitungan dengan dia!”
Mendengar
suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya
kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang
tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu,
agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu
Thong, aku hanyalah seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan
Cu tenang.
Dengan bibir
tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang
telah datang dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur
tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa segera mengundurkan diri.
Kemudian
ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua
yang kini telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan
tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu
mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut
pedang yang berkilauan!
“Lu Thong,
apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
“Kehendakku?”
jawab Lu Thong menyindir. “Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki
kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”
“Aku tidak
sudi!”
“Kau tetap
bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau
hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku,
ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja
sama. Kedua kalinya, kalau memang sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih
ingatkah kau betapa dahulu pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak
mampu mengalahkan aku dan suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu
kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga
orang sahabatku ini. Mereka adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis
Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun
mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa
seorang manusia semacam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”
Bukan main
panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta
merendahkannya itu. "Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan
kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku
tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu
untuk melayani obrolanmu."
Sesudah
berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi
tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
“Kalian mau
apa?!” bentak Kwan Cu.
Lu Thong
memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab,
“Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”
Ucapan ini
ditutup dengan berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat.
Tidak percuma mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang
mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan
nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau
dilihat oleh mata orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak
seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan
serta pengertian tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat,
dia sudah lebih dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang itu hendak
menyerangnya!
Oleh karena
itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa
serangan mereka itu akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat
dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu
sempat melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini
pun sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang
dimiringkan ke arah pangkal lengan.
“Plak! Plak!
Plak!”
Tiga kali
jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan
terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke
atas dan ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh
sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Ada pun pedang
yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka
mendadak menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran
listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat
Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain
saat dia sudah melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja
melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan
kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat dari pada emas.
Bagaimana
tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak
kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa,
bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat digulungkan di
pinggang, tertutup oleh baju luar.
“Kwan Cu,
ternyata selama kau tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan.
Hendak kulihat apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong
sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu
dapat merasakan angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu,
tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga
seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai dahulu, untuk masa itu,
tingkat kepandaian dari Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia merupakan
satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan
tenaga sampai seribu kati kuatnya!
Kwan Cu juga
maklum bahwa Lu Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya,
maka dia berlaku sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari
Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya
yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun
putih, dia tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga
besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri
dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah
menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati
Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya
itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran
dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu
yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti
sarinya!
Kalau dia
mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia
tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu
Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah
dapat berjalan sempurna.
Maka Kwan Cu
segera mencabut sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat
menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas
cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya
dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya
Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong.
Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak
akan mengherankan dirinya. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan
Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu telah melangkah
ke arah yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan Cu
sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.
Kemudian
Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini
gerakannya benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia
menyerang dengan gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang,
adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang
berbahaya.
Pertempuran
ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat
menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan
terlebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan
ilmu silatnya, akan tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat lain yang
sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya
mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong
merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah
toyanya dari pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke
arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke
belakang, berdiri tegak dan berkata,
“Lu Thong,
melihat muka Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf
dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat
tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah
lenyap dari situ.
Lu Thong
menarik napas panjang dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak
mempedulikan ketiga orang pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan
di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu
meninggalkannya seorang diri.
“Dia
benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,”
pikir Lu Thong penasaran.
Ia tidak
menyusahkan keadaan suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak
memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang
Kwan Cu yang sakti tak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang
sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasehat Kwan Cu?
Sampai
berhari-hari Lu Thong masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang
cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak,
mencari jalan baik…..
***************
Pada malam
hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas
genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang
pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di
atas genteng bangunan itu.
Memang, biar
pun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala
jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang
mampu menembus penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan
seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh
dinding yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjaga-penjaga yang
berdiri pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa
terlihat oleh barisan penjaga.
Akan tetapi,
bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan
seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki
ilmu kepandaian luar biasa sehingga membuatnya menjadi seorang sakti.
Tidak sukar
baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang
sangat cepat. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding
tembok tanpa terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya.
Mungkin juga ada di antara penjaga yang melihat sosok bayangan berkelebat, akan
tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh
lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu
sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa
memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah
membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau
meninggalkan kota raja.
Pertama,
karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di
antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua,
dia ingin menyelidiki karena dia sempat teringat akan ucapan Pangeran An Kong,
putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan
jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya
untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong
wanita tadi.
Dahulu dia
pernah dibawa oleh suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan
suhu-nya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki
keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul
akan letak istana itu. Dia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai
ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah
genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang
tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi
banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar
bertingkat. Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk bergantung dengan
kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.
Akan tetapi,
dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi
oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada
pula orang-orang yang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga,
agaknya mereka adalah para pengawal istana.
Tiba-tiba
dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar
nampak lampu dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk
menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik
hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu.
Ia selalu
berlaku amat hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan
gerakan ringan sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini
melayang turun, lalu berjalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik
jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar
itu dia melihat ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan
perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di
antaranya berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah
hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan
Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima
itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya
memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih
tepat lagi gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam
pondongan Ang-bin Sin-kai.
Panglima itu
masih nampak tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya
menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong
bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin
memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Dia tidak
mengenal dua orang panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga
bahwa mereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio
setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di
situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik
perhatiannya. Dia ingin mendengar percakapan mereka.
“Apakah
Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera
mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.
Kwan Cu
maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang
telah membunuh ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh
perhatian.
Seorang di
antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”
Kwan Cu merasa
geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang
pangeran muda.
“Apa
pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.
“Beliau
merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa
oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”
Mendengar
jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang
kongkong-nya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
“Dan beliau
memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?”
tanya An Lu Kui.
Hwesio itu
mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua
untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima
Si).”
“Bagus,”
kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat
serta dalam mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan
mengerahkan seluruh tenaga. Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su
Beng tidak datang?”
“Pinto (aku,
sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
Diam-diam
Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan
sekaligus mengirimkan jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi
yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka
pemuda ini cepat menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tidak lama
kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To)
setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam
dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada
di dalam ruangan.
“Kalian amat
sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih
dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian,
tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah
betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.
Kwan Cu
semakin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di
dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
“Dia itulah
orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai
sekali!”
Tak lama
kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan
aman, tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”
An Lu Kui
tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang
berani mati melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang
belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini
adalah Mo Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo
Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu,
inilah pembantu sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang
bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”
Kiam Ki
Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.
“Hmm, hemm,
apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang
tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut
apa lagi?”
Pujian ini
sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo
Beng Hosiang yang berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama
besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,
“Pinceng
(saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang
namanya menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu
(Sahabat)?”
Wajah Kiam
Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan
ketidak senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki
Sianjin ini memang sombong. Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang
dianggapnya mengembari namanya.
Mereka
berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur
hebat. Sesudah hampir satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin
terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu
dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian
Siangkoan Hai.
Maka kini
mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio
gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa
dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar
meringkik. Akan tetapi tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu
seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.
“Gunung dan
bukit biar pun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular
biar pun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan
dengan pinto?” Jawabannya ini sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini
yang menganggap diri sendiri seakan-akan gunung dan Pak-lo-sian hanyalah bukit,
atau yang mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya ular
biasa!
Sebagaimana
sudah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang
terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu
adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang
paling berkuasa, ada pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su
Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.
Tentu saja
di dalam hati mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan
permusuhan. Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan
dan pengaruh besar, mereka bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara
untuk menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari
Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu.
Tak mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan
yang menyindir dan saling memandang rendah.
Mendengar
ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak
keras menjadi tak senang.
“Memang nama
besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!”
katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.
Terang
sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki
Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan
naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat
suasana sudah mulai panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan
itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja
dia suka sekali melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu.
Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.
Pada masa
itu, dia justru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk
mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan
kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini
tercapai dan beres, baru dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan
dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui
benar-benar cerdik sekali.
Ia melompat
di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
“Pada waktu
rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak
mengapa. Akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua
saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik
sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi suka bersabar dan
mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan
hal-hal yang amat penting demi keselamatan negara.”
An Lu Kui
masih merupakan orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari
putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki
Sianjin.
“Kiam Ki
Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang
tepat.”
Kiam Ki
Sianjin lalu berkata sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum
mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”
Suasana
damai dan persahabatan dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan
kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
“Ang-ciangkun
dipersilakan untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.
Dia
menggunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir
hawa panas. Padahal malam hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini
masih saja ingin mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan
menunjukkan bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!
Melihat
sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini
bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat
menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
“Menurut
hasil penyelidikan mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara,
“pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani kini makin
merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di
dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita
hancurkan. Akan tetapi, walau pun mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya
mereka itu tidak akan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang
membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan
untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan.
Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih
setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu
ditutup oleh sumber uang yang sangat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri
Lu Pin sendiri!”
“Ahh, tentu
harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.
“Memang!
Anjing Lu Pin itu sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk
membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.
“Keparat
jahanam!” Mo Beng Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua
pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang
keladinya.”
An Lu Kui
mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah
diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling
setia terhadap Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya sudah binasa dalam membela
Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun ia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang.
Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang paling
baik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan
dan harta pusaka Kerajaan Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para
pemberontak itu dengan sendirinya akan mengundurkan diri.”
“Akan
tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng
Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.
“Benar, di
mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia
dengan sia-sia. Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan
pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.
“Tadinya aku
pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan
tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah
bersembunyi di dalam sebuah goa dan dari sanalah dia mengatur serta
merencanakan semua pemberontakan para petani.”
Mendengar
ini, tidak saja kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik,
bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini
berdebar keras dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia
adanya kongkong angkatnya, Menteri Lu Pin.
Ketika dia
mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan
kongkong angkatnya itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh
keadaan suhu-nya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia
itu hampir tidak dia pikirkan lagi.
Akan tetapi
sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat
kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri
yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang
amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
“Kongkong
benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan
Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu
di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.
“Di goa
manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.
Suara tosu
ini tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam
istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu
Pin telah diketemukan? Bukan dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini,
akan tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan!
Inilah yang
merupakan daya penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin,
harta yang terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja
sudah habis. Sekarang semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia,
ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
“Inilah yang
masih harus diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung
kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang
terdapat di Bukit Tengkorak Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tak terdapat
bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul menjadi
sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini
adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak
jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”
An Lu Kui
lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat
dengan penuh perhatian.
“Pembantuku
ini, Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau
jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada
seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima
perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh
tinggi besar, berwajah kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih
dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
“Pasukan
penyelidik yang kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami
mencari keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa
daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”
“Ang-bin
Sin-kai...,” kata Kiam Ki Sianjin perlahan.
An Lu Kui
mengangguk membenarkan.
“Kemudian
kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa
rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani
yang kami paksa, daerah ini sering kali didatangi oleh orang-orang yang
kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biar pun tak seorang pun
yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun
agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah
mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan
yang kelihatannya berat.”
Kiam Ki
Sianjin mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”
Akan tetapi
tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah
jendela. Memang pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali
dia juga dapat melihat peta di atas meja itu. Maka saking tertariknya, dia
melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini
ternyata sudah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat
tajam.
Ketika Kiam
Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan
Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan
sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari
pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu
Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
“Siapa...
kau...…?” An Lu Kui bertanya.
Maksudnya
hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu
saja tanpa mereka ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa
lagi ketika dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah
mereka!.....
Terima kasih telah membaca serial ini
No comments:
Post a Comment