Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 20
AN LU KUI
dan kawan-kawannya bersiap menyambut. Akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu
terapung ke atas kepala mereka, terus ke atas lalu sebelum menyentuh
langit-langit, tiba-tiba tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikan seekor
capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah dan
tahu-tahu gulungan peta itu telah dapat dirampasnya!
An Lu Kui
hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari
atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan
sambil tersenyum-senyum. Ada pun peta itu lantas dia masukan ke dalam saku
dengan sikap amat tenang!
Untuk
sejenak, An Lu Kui beserta kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya
gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung
yang begitu ringan dan gesit. Apa bila tidak menyaksikan dengan mata sendiri
sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.
“Siapa kau
yang berani mati bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini
panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.
Kwan Cu
tersenyum dan menjawab, “An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan
tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!”
Mendengar
ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang. Sebaliknya Cang Kwan
panglima brewokan itu membentak,
“Bangsat
kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?”
“Bangsat
besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap
kongkongku Lu Pin? Jangan bermimpi, Kawan!”
“Bohong
besar!” seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu benar
keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”
Kwan Cu
tersenyum lagi. “Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau
tahu baik akan keadaan kongkong-ku. Akan tetapi aku tidak peduli akan
kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya, jangan kalian bermimpi untuk menangkap
Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa! Tidak seperti
kalian ini, hanya kumpulan katak-katak busuk yang berbahaya.”
“Tangkap
dia!” tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid dari
Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang sudah diakui cucu oleh Lu Pin!”
Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.
Kwan Cu
mengelak tangkas sambil menyindir. “Hmm, kau sudah ingat betapa dahulu aku
pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”
“Bangsat,
mampuslah kau!” An Lu Kui berseru sengit dan tombaknya melakukan gerakan
menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.
Akan tetapi,
hanya dengan merendahkan tubuhnya sedikit saja, Kwan Cu sudah berhasil
membebaskan diri dari ancaman, sepasang tombak itu hanya melayang melewati atas
kepalanya. Cang Kwan dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima pembantu An Lui Kui
dengan marah maju menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar
menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.
“Rebahlah
kalian!” bentak Kwan Cu.
Tahu-tahu,
ketika dua batang golok itu sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia
melompat ke belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali
golok mereka, dua kali berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan
sunggguh aneh! Dua orang panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil
mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak
berdaya di dekat dinding.
Kwan Cu
tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia
cepat menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan
panglima itu. Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari
pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara
nyaring.
An Lu Kui
masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat.
Pundaknya kena ditepuk sehingga panglima ini jatuh terduduk dengan tubuh lemas
dan setengah tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!
Pada saat
itu, terasa angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang
hwesio itu sudah turun tangan. Tadi mereka hanya menonton saja karena memang
sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu
Kui dan mencurigainya. Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui dan dua orang
pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang.
Mo Beng
Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang jari-jarinya
dibuka, melakukan pukulan hebat sekali sesuai dengan julukannya. Ada pun Mo
Keng Hosiang Si Ruyung Pemecah Gunung sudah menyerang dengan ruyungnya yang
aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya sudah
dipasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras
menghantam punggung Kwan Cu.
Pemuda ini
terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan
tangan kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu
terhuyung ke belakang. Bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh
Mo Keng Hosiang hampir saja mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu.
Pemuda ini
yang maklum menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil
mengelak dengan gerakan Kong-ciak Kai-peng (Merak Membuka Sayap) hingga
serangan senjata Mo Keng Hosiang lewat di atas punggung serta kepalanya.
Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan
sulingnya.
Mo Beng
Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek
Sin-jiu (Tangan Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang meski pun
dilakukan secara perlahan akan tetapi telah dapat dia duga kehebatannya itu,
dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang
dan kaku laksana baja. Tamparannya dilakukan keras luar biasa dengan maksud
membuat suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.
Namun pemuda
ini sudah mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Baru melihat
sekali saja dia sudah tahu ke mana tamparan itu di arahkan. Maka, sebelum
tamparan itu datang, sulingnya sudah ditarik ke bawah dan tangan kirinya yang
tadi dia pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa, dan
cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!
Bukan main
hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian,
“Bagus sekali!”
Yang memuji
ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja. Seperti sikap Bu-eng
Siang-hiap saat menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama
dua orang pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu
kedua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya.
Namun
diam-diam dia sangat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua
mata tosu ini semakin terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia
menyaksikan ilmu silat demikian anehnya seperti yang sedang dimainkan oleh
pemuda pemegang suling itu!
Kiam Ki
Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Sudah banyak
dia melihat ilmu silat tinggi-tinggi dan serba aneh. Bahkan dia mampu mengenal
ilmu silat dari lima tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari
Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu,
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi belum pernah dia
melihat ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda ini.
Tadi dia
telah mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin
Sin-kai dan memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin
Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali
perbedaannya.
Pemuda ini
bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut
main-main saja, seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang berpura-pura
mau bermain silat. Akan tetapi, semua gerakannya menghindarkan diri dari
serangan kedua lawannya tepat sekali dan biar pun gerakannya ketolol-tololan,
akan tetapi bukan main hebatnya.
Apa lagi
setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat
seperti ilmu silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi
bengong! Setiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda itu melayani hwesio
tangan kilat itu dengan ilmu silat yang sangat mirip dengan Pek-lek Sin-jiu!
Ada pun apa bila Mo Keng Hosiang yang menyerang, pemuda ini juga menghadapinya
dengan ilmu silat tepat sama seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung
itu.
“Iblis muda
dari manakah dia? Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?” Demikian Kiam Ki
Sianjin bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri.
Tosu yang
cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu. Bukan saja karena dia memang
tak suka untuk membantu dua orang hwesio kepercayaan putera mahkota yang
diam-diam dimusuhi pula oleh muridnya, yaitu Si Su Beng, akan tetapi juga dia
hendak mempelajari terlebih dahulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di
mana tingkat kepandaiannya supaya nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu,
dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.
Ada pun Kwan
Cu, setelah menghadapi keroyokan dua orang hwesio itu beberapa puluh jurus,
diam-diam terkejut. Baru sekali ini dia menjumpai lawan-lawan yang benar-benar
tangguh. Walau pun dengan mudah dia dapat menghadapi semua serangan mereka dan
dapat menyelamatkan diri tanpa banyak kesukaran, namun untuk membalas
menyerang, juga bukan hal yang mudah. Setiap pukulan sulingnya dapat ditangkis
oleh tangan yang keras dan kuat dari Mo Beng Hosiang, ada pun senjata yang aneh
dari Mo Keng Hosiang juga cukup tangguh untuk menangkis setiap serangannya
sulingnya.
Ketika dia
mempelajari ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau berdaun putih,
Kwan Cu sudah mempelajari pula semua ilmu-ilmu silat tinggi yang terukir pada
dinding-dinding goa. Ilmu silat itu hampir meliputi seluruh pokok dasar ilmu
silat tinggi yang ada di dunia persilatan.
Dari
latihan-latihan ini, kemudian dimatangkan oleh kepandaian pokok dasar
persilatan yang dipelajarinya dari kitab rahasia itu, Kwan Cu sudah dapat
menggabung semua ilmu silat itu sehingga dengan sendirinya menciptakan berbagai
ilmu silat yang aneh-aneh. Di antaranya, dia telah dapat mengatur ilmu silat
tangan kosong berdasarkan lweekang dan khikang, disertai hawa di dalam tubuh
menurut latihan siulian dari kitab itu.
Ilmu silat
ini dia beri nama Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Ia memberi nama ilmu
sihir karena di dalam gerakan ilmu silat ini bangkit tenaga batin yang amat
kuat sehingga kedua lengannya dapat mengebulkan uap putih seperti mega putih.
Uap putih inilah yang mempunyai pengaruh menolak segala serangan yang dilakukan
berdasarkan tenaga dari ilmu hitam atau segala macam hoat-sut (ilmu sihir).
Selain ini,
masih banyak sekali ilmu-ilmu silat yang aneh dan tinggi yang diciptakan oleh
Kwan Cu. Akan tetapi maklumlah, dia masih muda sekali dan belum banyak
pengalaman bertempur sehingga ketika menghadapi dua orang hwesio yang tangguh
itu, dia masih belum mendapat jalan bagaimana harus mengalahkan mereka.
Menghadapi
ketangguhan mereka, timbullah niat di dalam hati Kwan Cu untuk mencoba
ilmu-ilmu silat yang diciptakannya sendiri. Karena itu, ketika dia mengelak
dari serangan lawan-lawannya, dia segera menyelipkan sulingnya kembali pada
ikat pinggangnya, lalu dia mengeluarkan seruan tinggi dan nyaring.
Maka
berubahlah ilmu silatnya. Kini dia tidak mau meniru ilmu silat dari kedua
lawannya untuk menjaga diri, melainkan langsung mengerahkan tenaga dalam dan
mainkan Pek-in Hoat-sut.
Bukan main
hebatnya akibat dari permainan ilmu silatnya ini. Dengan dua kali sampokan
lengannya yang mengebulkan uap putih, tangan Mo Beng Hosiang tertangkis dan
lantas memekik kesakitan, sedangkan Mo Keng Hosiang berseru terkejut karena
senjatanya terpental dan terputus pada tengah-tengahnya! Kemudian, dua kali
lagi pukulan Kwan Cu diikuti oleh jerit kesakitan dan terpentallah tubuh dua
orang hwesio itu sampai ke dinding ruangan dan mereka rebah tak bergerak lagi
karena sudah pingsan!
Akan tetapi,
Kwan Cu sendiri setelah mengeluarkan empat kali gerakan itu, tubuhnya lalu
terhuyung-huyung dan cepat-cepat dia mengatur pernapasannya sehingga sebentar
saja keadaannya sudah pulih kembali. Tahulah dia bahwa dalam menggunakan tenaga
luar biasa ini, karena kurang pengalaman, dia telah mengerahkan terlampau keras
sehingga menguras hawa di dalam tubuhnya sendiri!
Oleh karena
itu, dia sekarang maklum bahwa ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut tidak boleh dibuat
main-main dan harus dilakukan dengan sewajarnya dan tidak dipaksa. Akan tetapi
dia girang sekali melihat hasilnya, meski pun dia merasa agak menyesal karena
khawatir kalau-kalau dua orang hwesio itu tewas.
“Hebat…
Hebat…! Entah ilmu silat iblis apakah yang sudah kau pergunakan tadi. Anak muda,
kau benar-benar lihai sekali. Amat aneh kalau Ang-bin Sin-kai mempunyai murid
seperti engkau.”
“Kiam Ki
Sianjin, aku memang murid dari mendiang suhu Ang-bin Sin-kai,” kata Kwan Cu
sederhana.
Sesudah
dapat mengalahkan dua orang lawannya yang tangguh tadi, besarlah hati Kwan Cu.
Dia sedang mencari musuh-musuh besar suhu-nya yang sangat tangguh, yakni di
antaranya Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo, dua orang tokoh besar yang sama sekali
tidak boleh dipandang rendah. Maka sekarang, di samping dia ingin memberi
hajaran kepada orang-orang yang bermaksud mencelakakan kongkong-nya ini, juga
dia hendak menguji kepandaiannya sendiri.
“Hemm,
biarlah, aku tidak peduli kau murid dari siapa. Akan tetapi coba kau menghadapi
pedangku, kita main-main sebentar, anak muda.”
Baru saja
kata-kata ini habis dikeluarkan dan tangannya bergerak sedikit ke belakang,
tahu-tahu tosu ini sudah memegang sebatang pedang yang bukan sembarang pedang,
karena pedang itu hitam seluruhnya!
“Hemm, orang
tua. Siapa yang percaya omonganmu? Kau bilang main-main, akan tetapi
mengeluarkan pedang. Dan kau pun bermaksud mencelakakan kongkong, maka dengan
demikian berarti bahwa kau juga musuh. Tak perlu kau menggunakan kata-kata
hendak main-main, marilah kita mengadu kepandaian, hendak kucoba lihainya Dewa
Utara!”
“Bagus,
terimalah ini!” Kiam Ki Sianjin berseru sambil melompat maju dan menusukkan
pedang hitamnya ke arah ulu hati Kwan Cu.
Akan tetapi,
melihat gerakan ini dan mengerling sekilas ke arah pundak tosu itu, Kwan Cu
sudah dapat menduga bahwa serangan ini tidak akan dilanjutkan oleh tosu itu dan
hanya merupakan pancingan belaka. Sebab itu dia sengaja berdiri tegak, tidak
mengelak mau pun menangkis sama sekali!
Sikap pemuda
ini sangat mengherankan hati Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena sudah
kepalang, dia melanjutkan serangannya. Memang benar dugaan Kwan Cu, serangannya
yang dia namakan gerak tipu Menggertak Bintang Menghancurkan Bulan ini,
serangan pedang ke ulu hati lawan tadi hanya gertakan belaka, akan tetapi
sebetulnya pada saat pedangnya sudah mendekati, dia akan menariknya kembali dan
berbareng tangan kirinya menghantam ke arah kepala lawan sambil mengajukan kaki
kirinya ke depan!
Apa bila
lawan dapat terpikat, tentu akan mengelak atau menangkis serangan pedang
sehingga tidak menyangka akan datangnya pukulan tangan kiri yang tiba-tiba dan
amat berbahaya itu. Pukulan tangan kiri ini memang hebat sekali, baru hawa
pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan seorang lawan yang kurang kuat.
Di dalam pukulan ini, Kiam Ki Sianjin menggunakan tenaga yang disebut
Soan-hong-kang (Tenaga Angin Puyuh).
Namun Kwan
Cu sudah bersiap sedia menghadapi ini. Ia sudah dapat menduga bahwa serangan susulanlah
yang berbahaya. Menghadapi pukulan yang mendatangkan hawa pukulan dingin ini,
dia hendak mencoba tenaga pukulan Pek-in Hoat-sut, maka dia tidak mau mengelak,
sebaliknya lalu mengangkat lengan kanan yang telah mengeluarkan uap putih untuk
menangkis.
“Dukkk...!”
“Ayaaaaaaa,
lihai sekali!”
Kiam Ki
Sianjin berseru sambil mudur dua langkah, karena pertemuan lengan itu sudah
membikin gempur kuda-kudanya.
Juga Kwan Cu
merasa lengan kanannya tergetar hebat dan dia pun mundur sampai dua langkah.
Bukan main hebatnya pukulan Soan-hong-kang dari Kiam Ki Sianjin tadi. Akan
tetapi diam-diam Kwan Cu menjadi girang bukan main.
Dia tadi
hanya mengerahkan setengahnya lebih dari tenaga Pek-in Hoat-sut, kira-kira
hanya enam bagian. Kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya, dia yakin
bahwa dia tentu akan dapat membuat tosu itu terpental jauh. Hal ini amat
membesarkan hatinya dan dia tersenyum lebar. Tentu saja dengan pengertian bahwa
ilmunya masih lebih tinggi dari lawannya ini, dia pun menjadi tabah sekali.
“Totiang
(panggilan untuk tosu), kau belum lagi menyaksikan semua pukulanku ini, bagai
mana sudah tahu kelihaiannya? Nah, kini cobalah kau tahan!” Setelah berkata
demikian, Kwan Cu membalas serangan tosu itu dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut,
kini dia tambah tenaganya kira-kira tujuh bagian.
Benar saja,
Kiam Ki Sianjin terkejut bukan main. Ia melihat betapa kedua lengan tangan
pemuda itu mengebulkan uap asap putih yang mendatangkan hawa panas luar biasa.
Angin pukulan itu saja sudah menggetarkan tubuhnya. Maka dia lalu menangkis
sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tangan kirinya menggunakan tenaga
Soan-hong-kang, sedangkan tangan kanannya memainkan pedang hitamnya dengan
cepat sekali.
Akan tetapi
harus dia akui bahwa dia terdesak hebat, karena sebelum mengenai tubuh lawan,
pedang hitamnya itu telah bertolak kembali oleh hawa pukulan aneh dari lengan
beruap putih itu! Sampai tiga puluh jurus Kwan Cu sambil tersenyum-senyum
girang memainkan ilmu Pek-in Hoat-sut.
Hatinya
semakin besar karena dengan ilmu silat ini saja, apabila dia mau mengerahkan
tenaga sepenuhnya, dia percaya akan dapat segera menang dari tosu ini. Akan
tetapi pengalamannya tadi sudah membuat dia kapok, tidak berani lagi dia
mengerahkan terlalu banyak tenaga, khawatir kalau-kalau dia kehabisan hawa
dalam tubuh.
“Kurang
cukup lihai, Totiang? Nah, ini ilmu silatku yang lain!” Pemuda ini dengan
gembira mengejek.
Tiba-tiba
saja ilmu silatnya berubah hebat sekali. Kalau tadi gerakannya tenang namun
bertenaga, sekarang gerakannya lincah dan seperti tidak karuan. Dia
melompat-lompat, menubruk dan kedua kakinya bukan menendang, melainkan
mencakar! Namun kedua tangannya yang dibuka laksana cakar pula, mencengkeram
sana-sini dengan kekuatan serta kecepatan luar biasa sekali. Inilah ilmu silat
ciptaannya sendiri yang dikarangnya menurut lukisan-lukisan pada dinding.
Banyak
sekali pelajaran ilmu silat yang berupa Kin-na-hoat atau ilmu silat
mencengkeram yang dipergunakan untuk merampas senjata musuh. Karena banyaknya
ilmu silat macam ini, dia lalu memilih dan menciptakannya menurut gerakan
seekor burung merak, maka ilmu silat ciptaannya yang aneh ini bernama Kong-ciak
Sin-na atau Ilmu Mencengkeram Burung Merak!
Kembali Kiam
Ki Sianjin tertegun. Kalau selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan Ilmu
Silat Pek-in Hoat-sut yang tadi dimainkan oleh pemuda ini dan yang telah
membuat dirinya repot sekali, adalah ilmu silat yang dimainkan lawannya
sekarang ini, jangankan melihat, bahkan dalam mimpi pun belum pernah dia
menyaksikannya!
Dia bisa
menduga bahwa ini adalah sejenis ilmu mencengkeram, akan tetapi Kin-na-hoat
macam apa? Gerakannya kacau-balau, namun pemuda itu seakan-akan kini mempunyai
empat tangan. Kedua kakinya merupakan dua tangan pula karena pemuda itu
melompat tinggi dan baik kaki mau pun tangannya lalu mencakar-cakar dan
mencengkeram ke arah mata, hidung, tenggorokan, ulu hati dan mencoba untuk
merampas pedangnya!
Kiam Ki
Sianjin bingung dan kelabakan. Dia lalu menjadi penasaran dan mencoba untuk
membabat pinggang pemuda itu ketika lawannya sedang melompat tinggi. Akan
tetapi, kaki Kwan Cu mencengkeram ke arah pundaknya sedemikian cepatnya
sehingga kalau Kiam Ki Sianjin melanjutkan babatannya, sebelum pedang mengenai
tubuh lawan tentu pundaknya sudah akan terkena cengkeraman kaki atau semacam
tendangan yang aneh gerakannya.
Kiam Ki
Sianjin menarik kembali tangannya untuk membabat kaki yang menyerangnya. Akan
tetapi tiba-tiba tangan Kwan Cu mencengkeram pergelangan tangannya dan di lain
saat, pedangnya telah terampas!
Kwan Cu
tertawa dan melompat berjumpalitan ke belakang, kemudian dia berdiri sambil
tersenyum-senyum dengan pedang hitam di tangannya.
“Pedang
busuk!” katanya dan sekali dia menekuk tiga jarinya pada pedang itu, terdengar
suara nyaring karena pedang itu telah patah pada bagian tengahnya!
“Terimalah
kembali senjatamu!” seru Kwan Cu sambil melontarkan potongan pedang itu kepada
pemiliknya.
Kiam Ki
Sianjin melihat dua sinar hitam berkelebat menuju ke tenggorokan dan dadanya.
Dia cepat-cepat mengelak sambil melompat ke samping untuk menghindarkan diri
dari senjatanya sendiri. Akan tetapi ketika dia mengangkat muka, ternyata
pemuda itu telah lenyap dari depannya!
“Setan...!
Iblis...!” Beberapa kali Kiam Ki Sianjin berkata seorang diri sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia harus
akui bahwa selamanya dia belum pernah menghadapi lawan yang sedemikian
pandainya dan dia mengaku bahwa di dunia persilatan telah muncul seorang
pendekar muda yang amat sakti. Maka dia berjanji hendak memperdalam ilmu
silatnya karena dia merasa bahwa dia telah tertinggal jauh sekali.
***************
Selain dari
pada itu, dia pun mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya pada
orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi di samping kepuasan
ini juga dia maklum bahwa kini tidak saja dia menghadapi musuh besar yang lihai
dan yang sudah menewaskan suhu-nya, namun juga mendapat musuh-musuh besar yang
mengancam keselamatan kongkong-nya.
Malam itu ia
tidak langsung keluar dari lingkungan istana, akan tetapi masih mencari-cari
dan menyelidiki. Dia ingin sekali menyelidiki keadaan di sana dan juga ingin
mencari pangeran botak putera An Lu Kui untuk menolong wanita yang terancam
oleh pangeran mata keranjang itu.
Malam sudah
amat larut dan bulan tua mulai menampakkan diri di antara mega-mega hitam. Kwan
Cu sudah mulai putus asa mencari tempat kediaman Pangeran An Kong karena
keadaan di situ sunyi belaka. Dia pikir bahwa pangeran botak itu mungkin sekali
berada di luar istana dan hal ini membuat dia menyesal sekali mengapa tadi
siang dia tidak mengikuti pangeran itu, dan tidak menanyakan keterangan kepada
Lu Thong. Dia menyesal karena dipikirnya bahwa wanita itu tidak akan dapat
tertolong lagi.
Akan tetapi
mendadak dia mendengar suara wanita menangis perlahan. Cepat bagaikan seekor
burung, dari atas genteng Kwan Cu melompat ke bawah dan mengintai ke dalam
sebuah kamar dari rumah gedung yang berada di sebelah selatan kelompok bangunan
istana itu. Hatinya berdebar girang dan juga warna merah menjalari mukanya
ketika dia melihat siapa adanya orang yang berada di dalam kamar itu.
Di dalam
kamar itu sangat terang dan keadaan perabot kamarnya mewah sekali. Bahkan dari
luar jendela saja sudah dapat tercium bau yang amat harum, tanda bahwa penghuni
kamar adalah seorang pesolek yang mewah. Di atas meja yang indah terdapat guci
arak yang menyiarkan bau harum pula, arak baik yang amat mahal.
Wanita yang
menangis terisak-isak dengan suara perlahan karena takut, adalah seorang gadis
berusia kurang lebih delapan belas tahun, berwajah cantik akan tetapi pucat
sekali. Rambutnya terlepas serta terurai menutupi sebagian mukanya yang
berkulit halus, ada pun pakaiannya kusut. Gadis ini duduk di atas sebuah bangku
sambil menangis sedih.
Di depannya,
juga duduk di atas bangku sambil kadang-kadang minum arak dari cawan emasnya,
nampaklah pangeran botak An Kong dengan mata bersinar-sinar dan mulut
tersenyum-senyum.
“Kui Lan,
mengapa kau begitu keras hati dan keras kepala? Mengapa pula kau berduka?
Ingatlah, bukan sembarang wanita dapat masuk ke kamar ini dan lebih-lebih lagi
bukan sembarang wanita dapat menjadi biniku, walau pun hanya bini muda. Aku
amat sayang kepadamu, Kui Lan, kau cantik jelita dan halus gerak-gerikmu, aku
sayang dan kasihan kepadamu. Tahukah kau bahwa kalau bukan kau, tapi gadis lain
yang berkeras menolak kehendakku, akan kusuruh algojo untuk menyiksanya? Atau
aku akan mempergunakan kekerasan. Akan tetapi kepadamu aku tidak mau berlaku
demikian, Kui Lan. Aku cinta padamu dan aku ingin kau membalas cintaku itu.”
Jawaban Kui
Lan gadis itu, hanyalah suara tangis yang lebih menyedihkan hati. Kwan Cu sudah
mendidih darahnya menyaksikan keadaan ini, akan tetapi dia masih bersabar. Dia
hendak mendengar dan melihat lebih lanjut apa yang akan terjadi, oleh karena
dia belum mengerti duduknya perkara.
“Kui Lan,
kalau kau mau menyambut cinta kasihku, dan kalau kau mau berlaku manis
kepadaku, percayalah, ada kemungkinan kau akan kuangkat menjadi isteriku yang
sah! Menurutlah, Kui Lan, bungaku yang manis,” kata pula An Kong dengan suara
membujuk setelah dia menenggak habis arak di dalam cawannya.
Kini gadis
itu menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya. Kwan Cu mendapat kenyataan
bahwa gadis itu memang luar biasa cantiknya.
“Siauw-ong-ya...”
Gadis itu berkata dengan suara gemetar, namun terdengar merdu dan halus, “aku
tidak menghendaki semua kedudukan tinggi itu. Apakah kau tidak kasihan
kepadaku, Siauw-ong-ya. Kau sudah tahu bahwa aku... bahwa di sana sudah ada The
Kun Beng... bahwa aku harus bersetia kepadanya karena... Aku sangat cinta
padanya... Siauw-ong-ya, kembalikanlah aku kepada orang tuaku atau… atau kau
bunuh saja aku agar aku dapat bersetia pada The Kun Beng sampai matiku, sesuai
dengan sumpahku...”
Mendengar
ini, Kwan Cu menjadi terkejut sekali. The Kun Beng... Ia ingat betul nama ini
dan terbayanglah wajah seorang bocah tampan yang manis budi, yaitu murid ke dua
dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Sekaligus terbayang pula semua pengalaman
dirinya dengan murid Pak-lo-sian ini ketika dia masih kecil dan perhatiannya
makin membesar terhadap gadis yang mengaku cinta kepada The Kun Beng ini.
Tapi
sebaliknya, An Kong nampak marah sekali. Pemuda botak ini bangkit berdiri
dengan kasar sehingga bangku yang didudukinya terguling, menimbulkan suara
berisik. Mukanya menjadi semakin merah, sebagian karena pengaruh arak akan
tetapi sebagian besar lagi karena pengaruh kemarahannya.
“Kau
benar-benar keras kepala dan menggemaskan! Bagaimana kau berani menyebut-nyebut
nama The Kun Beng, pemuda liar murid iblis tua Siangkoan Hai itu? Apa kau kira
aku takut jika kau menyebut-nyebut namanya? Apa kau kira aku tak tahu akan
riwayatmu yang kotor dengan pemuda itu? Kui Lan! Boleh jadi kau mencinta pemuda
iblis itu karena tertarik oleh ketampanannya, akan tetapi kau goblok sekali.
Kau pun tahu bahwa dia tak mungkin dapat menjadi suamimu karena dia sudah
bertunangan dengan Bun Sui Ceng, gadis liar itu!”
Kembali Kwan
Cu terkejut dan hatinya berdebar keras, mukanya pun berubah. Kun Beng
bertunangan dengan Sui Ceng? Terbayanglah wajah Sui Ceng yang manis dan
teringat kembali dia akan pembohongan terhadap gadis raksasa Liyani pada saat
dia menuturkan bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng!
Ataukah hal
itu bukan suatu kebohongan? Apakah benar-benar dia mencinta Sui Ceng? Tak
mungkin! Akan tetapi mengapa dia merasai hatinya berdebar dan telinganya panas
mendengar bahwa Sui Ceng sudah bertunangan dengan Kun Beng?
Kembali Kui
Lan mengucurkan air mata. “Meski semua itu benar belaka, Siauw-ong-ya, namun
aku cinta kepada Kun Beng dan aku bersumpah tidak akan menjadi isteri laki-laki
lain, biar pun aku tiada harapan untuk menjadi isterinya.”
“Perempuan
bodoh! Bagaimana kau masih setia terhadap seorang laki-laki yang berlaku begitu
kejam terhadapmu? Dia telah merusak namamu, telah mengkhianati suheng-nya
sendiri, telah melakukan perbuatan terkutuk padamu, telah menyeretmu ke dalam
lumpur kehinaan...”
“Cukup.
Siauw-ong-ya! Walau pun apa yang akan terjadi, aku akan bersetia sampai mati
kepadanya. Dia tetap merupakan laki-laki tunggal yang boleh menguasai hati,
jiwa dan ragaku. Bunuhlah aku kalau kau kehendaki!”
Marahlah An
Kong mendengar ini. Ia melompat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Kui Lan. Ia
mengulur tangan menangkap pergelangan tangan wanita itu, akan tetapi Kui Lan
sigap mengelak.
Kwan Cu yang
tadinya sudah bersiap hendak melompat masuk, tertegun melihat betapa gadis itu
sedikitnya mengerti ilmu silat, karena gerakannya ketika mengelak menunjukkan
bahwa dia mengerti ilmu menjaga diri.
Akan tetapi,
kepandaian gadis itu ternyata tidak seberapa karena di lain saat, tangannya
sudah tertangkap oleh An Kong.
“Kui Lan,
aku cinta padamu. Marilah kita minum arak bersama, Manis!” kembali suaranya melembut
karena sesungguhnya dia tidak tega untuk bersikap kasar terhadap gadis ini. Dia
menarik Kui Lan ke meja dan melepaskan pegangannya, lalu menuangkan arak ke
dalam cawannya yang kosong.
“Minumlah,
Manis, mari kita habiskan isi cawan ini seorang setengah. Hayo minumlah,
Sayang...”
Tetapi Kui
Lan menggunakan tangan kanannya yang tidak terpegang untuk menyampok cawan.
Gerakan ini tidak hanya membuat cawan itu terlepas dari pegangan An Kong, malah
guci arak yang berdiri di atas meja pun terguling sehingga pecah. Arak yang
putih harum mengalir keluar membasahi meja.
Habislah
kesabaran An Kong. “Kau menghendaki kekerasan, bunga liar? Baik, baik, aku akan
melayani kehendakmu!” setelah berkata demikian, An Kong hendak memeluk.
Akan tetapi
Kui Lan menampar mukanya sehingga terpaksa dia menggunakan tangan kiri
menangkap tangan yang menampar itu. Pada saat mereka bergulat, terdengarlah
suara tenang akan tetapi berpengaruh,
“An Kong,
anjing berwajah manusia, lepaskan dia!”
An Kong
kaget sekali. Cepat dia melepaskan Kui Lan dan melompat sambil membalikkan
tubuhnya. Di lain saat dia telah mencabut sepasang senjatanya, yakni kebutan di
tangan kiri dan joan-pian di tangan kanan.
Pada waktu
dia memandang, ternyata bahwa yang berada di dalam kamarnya itu adalah pemuda
berpakaian sederhana yang siang tadi dia lihat di rumah makan dan yang telah
dihinanya kemudian dia dicegah oleh Lu Thong, suheng-nya. Memuncak kemarahannya
dan dengan gemas dia membentak,
“Jembel
busuk, bagaimana kau berani memasuki kamarku?”
Kwan Cu
tersenyum mengejek. “An Kong, semua yang mengelilingi dirimu, pangkat dan
kedudukan, pakaian yang mewah, kamar yang indah, kesemuanya ini hanya merupakan
selimut yang menyembunyikan watak aslimu yang rendah dan hina dina. Orang macam
kau masih berani memaki aku?”
“Bangsat
bermulut kotor! Kau telah mengetahui namaku, apakah kau tidak tahu bahwa aku
adalah murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tokoh besar dari selatan?
Siapakah kau yang begitu berani mati mengantarkan nyawa sendiri ke sini?”
“Aku bernama
Kwan Cu dan gurumu itu sudah lama aku kenal, jadi tidak perlu lagi kau
memperkenalkannya kepadaku.”
An Kong
sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil berseru keras dia segera
menyerang dengan joan-pian di tangan kanannya, lalu diikuti oleh sambaran
kebutannya yang menotok jalan darah Kwan Cu di bagian iga.
Kwan Cu
maklum bahwa kepandaian An Kong cukup tinggi kalau dibandingkan dengan ahli
silat-ahli silat tingkat biasa, akan tetapi baginya tentu saja bukan apa-apa.
Dengan mudah dan sigap dia miringkan tubuh untuk mengelak dari sambaran
joan-pian, ada pun serangan kebutan ke arah iganya itu dapat dia sampok dengan
jari-jari tangannya. Lalu secepat kilat Kwan Cu melanjutkan gerakan menyerang,
dia menyampok muka pemuda botak itu dengan telapak tangannya.
An Kong
terkejut sekali melihat cepatnya gerakan lawan dan bagaimana lawannya dapat
menyampok serangan kebutannya yang terkenal lihai sekali itu. Cepat dia
menggunakan kebutannya untuk menangkis tamparan pada mukanya ini dengan maksud
untuk melukai tangan Kwan Cu.
Akan tetapi,
betapa heran dan kagetnya ketika kebutannya itu pada saat beradu dengan tangan
lawannya, kemudian terpental kembali dan menyabet ke arah mukanya sendiri! An
Kong mengeluarkan teriakan tertahan dan cepat melompat mundur sambil berjungkir
balik beberapa kali.
“Ha, An
Kong, lihatlah baik-baik. Cambukmu bahkan lebih mengerti bahwa orang macam kau
yang harus dihajar!” kata Kwan Cu yang tidak mau memberi hati lagi.
Pemuda ini
lantas menyerang dengan pukulan-pukulan tangan miring yang dipelajarinya dari
lukisan-lukisan di dinding goa. Ini merupakan ilmu silat tangan kosong lain
macam lagi yang telah dipahaminya, yaitu ilmu silat yang dimainkan dengan kedua
tangan miring dan jari-jari tangan terbuka. Kwan Cu menamakan ilmu silatnya ini
Heng-pai Hud-jiu (Ilmu Silat Memuja Budha Tangan Miring). Namun gerakan kakinya
masih mengambil sistem dari Ilmu Siat Sam-hoan-ciang (Ilmu Silat Tiga
Lingkaran) yang dia pelajari dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai.
Menghadapi
serangan-serangan aneh ini, An Kong tak berdaya dan segera dia terdesak mundur
terus. Meski pemuda botak ini mengerahkan kepandaian dan tenaga, mencoba
menyerang lawan dengan sepasang senjatanya, akan tetapi tubuh lawannya bagaikan
bayangan saja yang tak dapat diserang dengan senjata.
Kwan Cu yang
sudah tahu akan semua gerakan lawan, tahu pula ke arah mana senjata itu
menyambar, tentu saja lebih dulu dapat mempersiapkan diri mencari kedudukan
yang kosong lalu menyerang tanpa mempedulikan sambaran senjata yang tentu
takkan dapat mengenai tubuhnya yang sudah mengambil tempat yang kosong itu.
Ada pun Kui
Lan, gadis itu, berdiri dengan mulut ternganga. Ia tahu betul akan kelihaian An
Kong yang memiliki kepandaian setingkat dengan The Kun Beng. Akan tetapi bagai
mana pemuda aneh itu mampu menghadapinya dengan tangan kosong, bahkan dalam
beberapa gebrakan saja telah mendesak An Kong sedemikian rupa?
Kwan Cu
belum pernah menghadapi peristiwa seperti yang dia lihat di dalam kamar tadi.
Hal ini menimbulkan kebenciannya terhadap An Kong dan karena kali ini dia
menghadapi musuh dengan hati benci. Karena itu, dia tidak main-main lagi dan
ingin menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin.
Pada saat
lawannya sudah terdesak hebat di pojok kamar, Kwan Cu cepat memasukkan
tangannya menghantam pinggang An Kong. Pemuda botak ini menjerit keras dan
kedua senjatanya terlepas dari tangannya, lalu dia terhuyung-huyung dan roboh
pingsan. Dari mulutnya keluar darah!
Pada saat
itu terdengar pintu kamar diketok orang dan suara yang keras memanggil.
“Kong-ji
(anak kong), kau belum tidur?”
Itulah suara
An Lu Kui, pikir Kwan Cu. Dia mendengar pula tindakan kaki banyak orang, maka
tahulah dia bahwa An Lu Kui tidak datang sendiri. Cepat dia melompat ke depan
gadis itu.
Kui Lan
melangkah mundur dengan wajah makin pucat. Sepasang matanya yang bening
memandang kepada Kwan Cu penuh kecurigaan. Ketika Kwan Cu mengulurkan tangan
dengan maksud mengajak gadis itu lari keluar dari tempat itu, Kui Lan mundur
lagi sambil menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Tidak...
tidak... jangan kau sentuh aku.”
Bukan main
gemasnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Mukanya menjadi merah sekali. Dia tahu
bahwa gadis ini telah menjadi ngeri hatinya melihat laki-laki, setelah
mengalami kekagetan dari An Kong. Hmm, apakah dia menganggap aku juga seorang
laki-laki mata keranjang? Hatinya gemas dan dia berkata dengan kaku,
“Nona, kamar
ini sudah terkurung, maka aku tidak perlu banyak cakap. Pendeknya, kau ingin
keluar dari sini atau tidak?”
“Tentu
saja!” jawab Kui Lan cepat dan gadis ini lalu menggerakkan kaki melompat ke
arah jendela yang masih tertutup.
Kwan Cu
maklum akan maksud gadis itu, yakni hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi,
melihat gerakan gadis itu yang tidak begitu kuat, dia khawatir sekali dan
sebelum gadis itu sampai di jendela, dia telah menyambar dan tahu-tahu dia
sudah memeluk pinggang yang ramping itu, langsung dipondongnya tanpa
mempedulikan betapa gadis itu terus meronta-ronta dalam pondongannya.
Kwan Cu
mencabut suling dan melompat ke arah jendela, sekaligus menendang daun jendela
terbuka sambil memutar sulingnya. Baiknya dia melakukan hal ini karena begitu
jendela terbuka, beberapa batang golok sudah menyerang ke arah jendela. Akan
tetapi golok-golok ini tertangkis oleh putaran sulingnya sehingga beterbangan
dan mencelat ke sana-sini dan ada pula yang patah menjadi dua! Kemudian Kwan Cu
meloncat ke atas genteng.
An Lu Kui
dan beberapa orang perwira menyusul, akan tetapi dua orang yang terdepan, roboh
kembali ke bawah genteng karena tendangan Kwan Cu yang telah siap sedia. An Lu
Kui yang sudah tahu akan kelihaian Kwan Cu, tidak berani mengejar, hanya
berteriak-teriak memberi tanda pada para pengawal istana untuk mengejar pemuda
itu, kemudian dia segera memasuki kamar puteranya. Alangkah kagetnya ketika dia
melihat keadaan An Kong, maka dia segera menolongnya.
Sedangkan
Kwan Cu dengan gadis itu masih berada di dalam pondongannya, berloncat-loncatan
dari genteng ke genteng hingga dia sampai di dinding tembok yang mengelilingi
kelompok bangunan istana.
Para
pengawal telah siap sedia dan segera mengeroyok pemuda itu. Akan tetapi mereka
ini tentu saja hanya merupakan makanan empuk bagi Kwan Cu. Dengan menggerakkan
kedua kaki dan tangan kanannya, beberapa orang pengawal lantas terlempar jauh
dalam keadaan pingsan menimpa kawan-kawan lain sehingga para pengeroyok menjadi
gentar. Ketika mereka memandang, ternyata pemuda itu bagaikan seekor burung
garuda sudah melompat naik ke atas dinding yang demikian tingginya.
Barisan anak
panah dari dalam dan luar tembok menghujankan anak panah mereka ke arah
bayangan Kwan Cu, namun pemuda itu terlalu gesit bagi mereka. Apa lagi dengan
tangan kanannya mengebut ke sana ke mari, anak-anak panah itu runtuh semua dan
sebentar saja Kwan Cu sudah melompat turun di luar tembok dan menghilang ke
dalam kegelapan.
Gempar
seluruh istana. Belum pernah istana diserbu oleh seorang pengacau sedemikian
lihainya sehingga nama Lu Kwan Cu menjadi buah tutur semua orang. Ketika Lu
Thong mendengar akan hal ini, diam-diam dia mengeluh dan berkali-kali
menyayangkan bahwa pemuda sedemikian saktinya tidak mau bekerja sama dengan
dia…..
***************
Kita
tinggalkan dulu Lu Kwan Cu yang menolong Kui Lan dan membawa lari gadis itu
dari dalam istana. Marilah kita menengok keadaan Menteri Lu Pin, menteri yang
amat setia dan berjiwa patriot.
Di sepanjang
lembah Sungai Fen-ho, di sebelah selatan kira-kira lima puluh lie dari kota
Tai-goan, di antara dua pegunungan besar yakni Pegunungan Tai-hang dan
Pegunungan Lu-liang, terdapat daerah pegunungan yang amat liar. Banyak
bukit-bukit kecil di daerah ini dan di antaranya terdapat sebuah bukit yang
penuh batu karang, akan tetapi anehnya di atas batu-batu karang ini tumbuh pula
pohon-pohon besar.
Di atas
bukit ini, di tempat yang sangat tersembunyi dan tertutup oleh batu-batu karang
raksasa yang menjulang tinggi, tempat yang amat sunyi dan sepi seperti mati,
terdapat sebuah goa batu karang. Goa ini luar biasa besarnya dan amat gelap
sehingga orang akan merasa ragu-ragu untuk memasukinya, karena goa semacam ini
biasanya menjadi tempat persembunyian binatang-binatang buas. Malah di dalam
dongeng, goa-goa besar seperti ini biasanya ditempati oleh naga-naga atau
siluman-siluman buas!
Apa lagi
kalau ada orang memberanikan diri memasuki goa ini, mungkin dia akan jatuh
pingsan saking kaget dan takutnya. Agak ke sebelah dalam dari goa ini yang
diterangi oleh cahaya matahari dari lobang-lobang di atas goa, terdapat pintu
raksasa yang amat tebal dan berat. Sepuluh orang biasa saja belum tentu dapat
mendorong pintu itu sampai terbuka.
Di belakang
pintu raksasa ini terdapat ruangan yang luas serta tinggi. Dan hebatnya, di
sepanjang dinding ruangan luas ini nampak barisan tengkorak-tengkorak yang
tinggi dan besar, berdiri berderet-deret dengan mulut terbuka yang menyeringai
memperlihatkan gigi yang besar-besar. Tengkorak-tengkorak ini dahsyat dan
menyeramkan sekali karena amat besar dan tinggi, sedikitnya ada tiga kali
tinggi manusia biasa.
Bukan main
seramnya keadaan di goa itu. Tengkorak-tengkorak raksasa itu seakan-akan hidup.
Mata mereka yang bolong itu seperti melirik-lirik, ada pun gigi yang
besar-besar itu seperti berbunyi menggerut-gerut. Bahkan kedua lengan yang
besar-besar itu bagaikan bergerak-gerak hendak menerkam siapa saja yang berani
memasuki ruangan itu.
Inilah goa
Tengkorak yang dijadikan tempat sembunyi oleh Menteri Lu Pin. Sebagaimana telah
dituturkan pada bagian depan, Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dari
kepungan para pasukan An Lu Shan, kemudian Ang-bin Sin-kai menunjukkan tempat
sembunyi yang baik bagi adiknya itu, yakni di goa ini.
Tadinya goa
ini menjadi tempat bertapa dari Ang-bin Sin-kai selama bertahun-tahun dan di
sana memang banyak terdapat tulang belulang rangka bekas tulang
binatang-binatang purba kala. Sesudah Menteri Lu Pin bersembunyi di sana,
menteri yang juga seorang ahli seni ukir yang amat pandai itu dalam waktu
senggangnya kemudian membuat tengkorak-tengkorak dari tulang-tulang binatang
purba, lalu didirikan di situ sebagai penjaga goa!
Tengkorak-tengkorak
raksasa inilah yang menolongnya dari bencana, karena siapa saja yang berhasil
membuka pintu raksasa, akan terkejut dan ketakutan, lalu mundur kembali. Siapa
orangnya yang tidak akan gentar menghadapi tengkorak-tengkorak raksasa yang
demikian dahsyat dan mengerikan?
Di dalam
persembunyian itu, Menteri Lu Pin tidak tinggal diam dan enak-enak saja. Dia
mengadakan hubungan dengan para pemimpin pemberontak atau pejuang rakyat yang
menentang pemerintahan An Lu Shan dan kawan-kawannya. Tiga orang panglimanya
yang setia kerap kali datang ke goa itu untuk menerima petunjuk-petunjuk,
mendatangi patriot-patriot yang dikenal baik oleh Lu Pin, menerima harta pusaka
yang diambil sedikit demi sedikit untuk membiayai pasukan-pasukan pejuang!
Akhirnya,
harta pusaka itu habis digunakan oleh para pejuang dan yang tinggal hanyalah sebatang
pedang pusaka Kerajaan Tang yang disebut Liong-coan-kiam. Lu Pin merasa puas
dan senang sekali. Betapa pun juga, dia masih sempat melakukan bakti terhadap
negara. Kalau tadinya para pemimpin pejuang masih sering datang untuk merawat
dan mencarikan makan baginya, kini kakek ini tidak memperbolehkan mereka datang
lagi.
“Kalian
berjuanglah. Usirlah penjajah dari tanah air dan tolonglah rakyat jelata dari
pada penindasan. Itulah kewajiban orang-orang gagah di dunia ini. Dan tentang
aku... jangan kalian pedulikan. Aku sudah tua dan kalau untuk mencari makan
saja, di bukit ini masih banyak buah-buah dan sayur-sayur yang dapat kumakan.
Tinggalkan aku seorang diri,” katanya.
Dan semenjak
saat itu, benar saja kakek ini hidup sebagai seorang pertapa, seorang diri di
tempat sunyi itu. Pada waktu dia merasa lapar, dia keluar dari goanya untuk
mencari buah-buah yang dapat mengenyangkan perut. Pintu raksasa itu dapat
dibuka dari dalam dengan mudah, karena ada alat pembukanya.
Pada suatu
hari, karena makanan yang disediakan di dalam goa sudah habis, kakek Lu Pin
hendak keluar dari goa untuk mencari buah-buah baru. Seperti biasa pula,
sebelum membuka pintu raksasa itu terlebih dahulu dia mengintai dari lubang
kecil yang sengaja dibuatnya untuk mencari tahu keadaan di luar goa.
Alangkah
kagetnya ketika dia melihat betapa di luar goa itu sudah dipenuhi orang-orang
yang berpakaian sebagai tentara dan terdengar pula ringkik kuda di luar goa.
Dia dapat mengerti bahwa mereka ini adalah pasukan dari pemberontak An Lu Shan,
maka segera dia menutup itu dan kembali ke dalam goa, duduk di dekat hio-louw
besar sekali sambil bersemedhi untuk menenteramkan hatinya.
Ia maklum
bahwa fihak pemberontak telah menemukan tempat persembunyiannya. Akan tetapi
diam-diam kakek ini tertawa memikirkan bahwa kedatangan mereka itu tentu bukan
semata-mata untuk menangkapnya, melainkan lebih banyak akibat tertarik untuk
merebut kembali harta pusaka Kerajaan Tang. Dan harta pusaka itu telah habis
dia pergunakan untuk membiayai perjuangan rakyat!
Benar saja
dugaan Menteri Lu Pin. Yang datang itu adalah barisan penyelidik dari An Lu
Shan yang terus-menerus mencari Lu Pin serta harta pusaka kerajaan yang
dibawanya lari. Melihat keadaan goa ini, para penyelidik itu menjadi curiga.
Biar pun mereka belum dapat memastikan bahwa orang yang dicari-carinya berada
di dalam goa, akan tetapi keadaan goa yang tersembunyi ini hendak mereka
selidiki.
Di antara
pemimpin pasukan ini, terdapat beberapa orang perwira yang sangat kuat dan
berkepandaian tinggi. Dengan mempersatukan seluruh tenaga, akhirnya mereka
berhasil juga membuka pintu raksasa.
Akan tetapi
segera mereka melompat mundur kembali dengan muka pucat sekali dan tubuh menggigil
ketika mereka menyaksikan barisan tengkorak besar-besar menyambut mereka di
belakang pintu! Dan anehnya pintu raksasa itu tertutup sendiri!
Hal ini
sebetulnya terjadi karena memang pintu itu dipasangi alat oleh Menteri Lu Pin
dan apa bila terbuka, dapat tertutup kembali. Untuk kakek itu, mudah saja
membuka pintu dari luar karena ada rahasianya dari luar.
“Goa
siluman...,” berkata seorang perwira ketakutan.
“Goa
tengkorak raksasa... siapa tahu di dalamnya terdapat siluman atau raksasa
hidup?” kata yang lain.
“Agaknya tak
mungkin tempat seperti ini didiami oleh manusia,” kata pula suara lain.
Akan tetapi
mereka tetap tidak mau meninggalkan goa itu dan menjaga di luar goa, agak jauh
di tempat aman. Sampai dua pekan lamanya mereka tetap berada di tempat itu!
Tentu saja
kakek Lu Pin yang sudah tua dan lemah tubuhnya itu tidak mempu menahan lagi.
Setiap hari dia selalu mengintai dari lobang dan melihat betapa goa itu tetap
terjaga, tahulah dia bahwa dia akan mati kelaparan di dalam goa. Akan tetapi
dia tidak gentar menghadapi maut.
Di dalam
keadaan tersiksa ini, teringatlah dia akan Lu Kwan Cu. Seluruh keluarganya
telah musnah, kecuali Lu Thong. Ia telah mendengar dari para pemimpin pejuang
rakyat bahwa cucunya itu bahkan menerima kedudukan dari pemberontak An Lu Shan.
Hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Thian Yang
Agung, mengapa dalam keluarga hamba terlahir manusia seperti itu? Rusak dan
hancurlah nama keluarga Lu oleh binatang Lu Thong itu...” berpikir sampai
disini, sering kali kakek ini menangis sedih.
Lalu dia
teringat kepada Lu Kwan Cu, cucu angkatnya. Kepada anak inilah harapannya
disandarkan dan sekarang, pada saat menghadapi maut, kakek ini mengerahkan
seluruh tenaga terakhir untuk mengukir beberapa huruf pada dinding goa. Dengan
tangan-tangan gemetar dan tubuh lemas dia mengukir huruf-huruf pesan terakhir
untuk Lu Kwan Cu ini, kemudian setelah ukiran huruf-huruf itu selesai, dia
roboh tak sadarkan diri lagi sampai maut merenggut nyawanya!
Pada saat
bekas Menteri Lu Pin yang setia itu menghembuskan napas terakhir di dalam Goa
Tengkorak, di luar goa terjadi hal yang lebih hebat lagi.
Tiga orang
tinggi besar berpakaian seperti petani sedang dikeroyok hebat oleh puluhan
orang pasukan penyelidik An Lu Shan. Mereka ini bukan lain adalah tiga orang
panglima yang dahulu mengawal Menteri Lu Pin. Sudah berbulan-bulan mereka tidak
datang dan kini mereka sengaja datang hendak mengunjungi kakek Lu Pin. Betapa
kaget dan cemas hati mereka melihat puluhan orang anggota pasukan musuh sedang
menjaga di situ!
Tanpa banyak
tanya lagi, tiga orang panglima yang sekarang sudah berganti berpakaian bagai
petani itu lalu mencabut senjata dan menyerang pasukan musuh. Mereka mainkan
golok besar mereka dan sekali lagi mereka mengamuk seperti ketika dahulu mereka
mengamuk membela Lu Pin dari kepungan bala tentara musuh. Banyak anggota
tentara lawan mandi darah menjadi korban golok besar mereka.
Akan tetapi
selain fihak musuh terlalu banyak jumlahnya, juga di situ berkumpul pula para
perwira-perwira barisan pemberontak An Lu Shan yang berkepandaian tinggi, maka
tiga orang panglima itu sebentar saja sudah terkurung dan terdesak sangat
hebat. Telah ada beberapa luka di tubuh mereka terkena senjata musuh, namun
mereka mengamuk terus laksana tiga ekor naga sakti.
Pada saat
nyawa tiga orang panglima gagah yang setia ini terancam maut, tiba-tiba saja
terdengar bentakan nyaring.
“Anjing-anjing
pengkhianat, rebahlah kalian!”
Bentakan ini
disusul munculnya seorang gadis cantik yang gagah sekali. Usianya masih sangat
muda, baru belasan tahun. Pakaiannya sederhana sekali dan ringkas, pedangnya
tergantung di pinggang sebelah kiri.
Akan tetapi
gadis muda ini benar-benar hebat sekali sepak terjangnya. Begitu ia muncul,
terdengar jeritan-jeritan di sana-sini dan kelihatan robohnya banyak anggota
tentara An Lu Shan yang mengeroyok ketiga orang panglima itu. Padahal gadis itu
tidak mencabut senjata sama sekali dan hanya mempergunakan kedua tangan dan
kakinya saja.
Melihat hal
ini, para perwira yang tadi mendesak tiga orang panglima pengikut Lu Pin itu
terpecah menjadi dua dan empat orang perwira segera menyambut kedatangan gadis
itu. Melihat gerakan yang tangkas dan kuat dari para perwira, gadis ini
kemudian mencabut senjatanya, yakni sebatang pedang panjang yang cahayanya
berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Akan tetapi
empat orang perwira musuh itu ternyata cukup tangguh sehingga meski pun dengan
susah payah, mereka masih dapat menghadapi amukan gadis cantik ini. Akan tetapi
tiba-tiba entah dari mana datangnya, muncul seorang nenek tua yang memegang
cambuk. Sekali cambuknya berbunyi di udara, empat orang perwira yang mengeroyok
gadis itu berseru kaget dan senjata golok mereka terbang pergi dari tangan
mereka.
Ternyata
bahwa cambuk itu mempunyai sembilan cabang dan kini dengan sekali gerakan saja
telah dapat membelit serta merampas senjata empat orang itu sekaligus! Gadis
itu berseru gembira dan dua kali pedangnya bergerak, robohlah dua orang perwira
dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Yang dua lagi tidak sempat melarikan
diri, karena cambuk nenek itu mengejar mereka dan ujung-ujung cambuk yang
seperti ular itu menotok jalan darah kematian di punggung mereka, membuat
mereka roboh tak bernyawa lagi.
Kemudian
gadis dan nenek itu mengamuk. Banyak sekali tentara di fihak musuh tewas,
termasuk para perwira yang mengeroyok tiga panglima pengikut Lu Pin. Hanya
sedikit saja yang dapat melarikan diri, karena biar pun banyak yang melompat ke
atas kuda dan membalapkan kuda mereka, namun gadis cantik itu mengeluarkan
panah tangan lantas berkali-kali tangannya bergerak. Setiap gerakan melayangkan
sebatang anak panah dan robohlah seorang penunggang kuda. Dari puluhan orang
pasukan itu, hanya ada tujuh orang saja yang sempat melarikan diri dan terbebas
dari pada maut.
SIAPAKAH
gadis dan nenek yang sakti itu? Nenek itu bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li,
nenek sakti tokoh besar dari selatan. Gadis itu adalah muridnya, yakni Bun Sui
Ceng, bocah perempuan yang dahulu amat lincah itu dan kini telah berubah
menjadi seorang gadis yang amat cantik dan perkasa.
Tiga orang
panglima itu memandang semua sepak terjang yang hebat dari nenek serta gadis
itu dengan bengong dan kagum. Kemudian mereka cepat menjura dengan hormat dan
seorang di antara mereka berkata,
“Banyak
terima kasih atas budi pertolongan Suthai dan Lihiap. Jika tidak ada
pertolongan Ji-wi, tentu kami sudah menjadi korban keganasan anjing pemberontak
itu. Mohon tanya, siapakah Suthai dan Lihiap yang gagah perkasa?”
Kiu-bwe
Coa-li menggerak-gerakkan cambuknya dengan sikap tidak sabar, “Sudahlah, cukup
segala penghormatan ini. Pinni (aku) bukan menteri, juga bukan kaisar. Lebih
baik lekas tunjukkan saja di mana adanya Lu Pin bekas menteri itu!”
Melihat
sikap yang amat galak dari Kiu-bwe Coa-li, tiga orang panglima itu terkejut
sekali. Mereka maklum bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat
orang-orang aneh dan maklum pula bahwa tokoh-tokoh ini sering kali mengejar
harta-harta pusaka. Siapa tahu kalau-kalau nenek sakti yang amat galak ini pun
mencari Menteri Lu Pin dengan maksud kurang baik. Mereka adalah patriot-patriot
sejati yang gagah, yang siap mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan
bangsa, siap pula membela Menteri Lu Pin yang amat mereka junjung tinggi.
“Suthai
menanyakan Lu-taijin ada maksud apakah?” tanya seorang di antara mereka.
Bun Sui Ceng
memandang khawatir. Ia sudah maklum akan watak gurunya yang keras dan tidak mau
dibantah oleh siapa pun juga. Benar saja, nenek sakti itu mengerutkan kening
dan pecutnya bergerak-gerak di tangannya.
“Kau peduli
apa dengan segala urusanku? Hayo katakan di mana dia berada dan habis perkara!”
Namun tiga
orang panglima itu adalah orang-orang yang setia. Jangankan baru gertakan
seorang nenek tua yang sakti, walau pun maut mengancam nyawa, mereka takkan
sudi membuka rahasia persembunyian Menteri Lu Pin.
“Kalau
Suthai tidak memberitahukan maksud Suthai menjumpai Lu-taijin, maafkan kami
tidak dapat memberitahukan di mana tempat tinggalnya.”
Baru saja
pembicara itu menutup mulutnya terdengar bunyi nyaring sekali dan…
“Tarrr…!”
Cambuk di
tangan nenek itu menyambar turun ke atas kepala tiga orang panglima tadi!
“Suthai,
jangan...!” Bun Siu Ceng melompat maju sambil mengangkat kedua tangannya
seakan-akan melindungi kepala ketiga orang panglima itu. “Mereka adalah para
pejuang rakyat, jangan dibunuh!”
“Pejuang
atau bukan, mereka telah kurang ajar dan harus dibunuh, habis perkara!” jawab
Kiu-bwe Coa-li dengan suara menyeramkan.
Sui Ceng
cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya dan berkata dengan suara
memohon.
“Suthai,
ampunkan kesalahan mereka. Mereka tidak tahu siapa adanya Suthai. Biarlah teecu
(murid) yang bicara dengan mereka.”
Cambuk
berekor sembilan itu masih bergetar di tangan Kiu-bwe Coa-li dan dipegang di
atas kepalanya. Akan tetapi, perlahan-lahan cambuk itu turun dan nenek itu lalu
berkata penuh penyesalan.
“Hemm, kau
anak nakal! Siapa peduli akan menteri dan kaisar? Dasar kau yang senang
mencari-cari perkara!”
Namun
jawaban ini sudah cukup bagi Sui Ceng. Setiap kali gurunya menyebutnya ‘anak
nakal’, itu berarti bahwa gurunya memenuhi permintaannya. Dengan girang dia
kemudian melompat bangun dan menghadapi tiga orang panglima yang memandang
dengan mata terbelalak, masih kaget dan takut melihat sikap Kiu-bwe Coa-li yang
aneh dan galak.
“Sam-wi
Lo-pek (Paman Bertiga), sebenarnya guruku ini tidak peduli sama sekali tentang
di mana adanya Lu-taijin. Hanya atas desakanku saja beliau terpaksa mencari
tempat persembunyian Lu-taijin. Harap Sam-wi jangan mencurigai kami. Walau pun
kami sudah mendengar bahwa Lu-taijin membawa harta pusaka besar, namun kami
bukan sebangsa perampok dan kunjungan kami hanya sekedar hendak bertemu karena
aku ingin sekali bicara dengan orang tua yang mulia dan gagah perkasa itu.”
Merahlah
wajah tiga orang panglima itu mendengar ini. Mereka segera menjura dalam sekali
dan salah seorang di antara mereka berkata,
“Maaf, maaf!
Mohon maaf sebanyaknya bahwa kami yang sudah menerima pertolongan, sebaliknya
telah berani mati untuk mencurigai Ji-wi. Kebetulan sekali kami pun baru saja
tiba dengan maksud mengunjungi Lu-taijin yang sudah lama kami tinggalkan di
sini. Akan tetapi ketika tadi kami melihat pasukan pemberontak berkumpul di
sini, kami menjadi khawatir dan segera menyerbu mereka. Lu-taijin berada di
dalam goa itu, Lihiap. Marilah kita bersama-sama masuk ke dalam untuk
menemuinya, karena kami sudah sangat ingin melihat keadaannya.”
Biar pun
tiga orang panglima itu bergerak cepat memasuki goa, tetap saja Kiu-bwe Coa-li
dan Sui Ceng dapat mendahului mereka. Dan alangkah heran dan kaget hati tiga
orang itu ketika melihat betapa dengan tangan kirinya saja Kiu-bwe Coa-li dapat
mendorong pintu raksasa itu sehingga terbuka, nampaknya tanpa mengerahkan
tenaga sedikit pun juga.
Mereka
mengeluarkan lidah saking kagumnya. Mereka bertiga yang bertenaga besar masih
tak dapat mendorong pintu itu terbuka dan biasanya mereka hanya masuk dengan
mempergunakan alat pembuka pintu yang tersembunyi di luar pintu itu.
Lima orang
ini memasuki pintu. Kiu-bwe Coa-li nampak tertegun sejenak ketika melihat
tengkorak-tengkorak raksasa itu. Biar pun ia seorang nenek sakti yang sudah
ratusan kali menghadapi bahaya maut dan kejadian yang aneh-aneh serta
menyeramkan, akan tetapi selama hidupnya baru pertama kali ini ia menyaksikan
tengkorak-tengkorak yang begitu menyeramkan.
Ada pun Bun
Sui Ceng yang masuk di belakang gurunya, mengeluarkan seruan tertahan dan
merasa bulu tengkuknya berdiri! Tak terasa pula dia memegang tangan gurunya.
“Apa kau
takut?” tanya Kiu-bwe Coa-li tak puas sambil menoleh dan memandang kepada
muridnya. Bun Sui Ceng cepat melepaskan pegangan tangannya dan menggeleng, kini
mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya yang manis.
Mereka masuk
terus ke dalam dan tiba-tiba tiga orang panglima itu menjerit berbareng.
“Lu-taijin...!”
Tergopoh-gopoh
mereka berlari mendatangi tubuh kakek yang telah menggeletak miring di bawah
dinding goa itu. Tangan kiri kakek itu memegang pedang Liong-coan-kiam, ada pun
tangan kanannya memegang alat pengukir.
“Lu-taijin...!”
kembali tiga bekas penglima itu berseru sambil beramai-ramai mengangkat tubuh
kakek itu yang sudah lemas dan dingin.
Melihat
sekelebatan saja, Kiu-bwe Coa-li tahu bahwa kakek itu sudah tak bernyawa lagi.
“Tidak perlu
ribut-ribut, dia sudah mati,” katanya. “Marilah kita pergi, Sui Ceng, untuk apa
berdiam di sini lebih lama lagi setelah orang yang ingin kau temui itu meninggal
dunia?”
Akan tetapi
muridnya tidak menjawab dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat
muridnya itu tengah membaca ukir-ukiran yang berada di dinding tepat di mana
kakek tadi menggeletak mati. Kiu-bwe Coa-li melangkah maju dan turut membaca huruf-huruf
yang diukir amat indahnya itu.
Lu Kwan Cu
Kau cucu
tunggal setelah seluruh keluargaku dibakar oleh pemberontak An Lu Shan. Lu
Thong tidak termasuk hitungan. Kepadamu kuharapkan agar kau membinasakan
seluruh keluarga An Lu Shan, bukan untuk membalaskan kesengsaraan keluargaku,
melainkan kesengsaraan rakyat dan negara! Pedang Liong-coan-kiam kuberikan
kepadamu. Sekali lagi, bebaskanlah rakyat dari pada angkara penjahat besar An
Lu Shan sekeluarganya!
Kongkong-mu,
LU PIN
“Hebat!
Sampai nyawanya meninggalkan raga, beliau tetap seorang patriot sejati untuk
nusa dan bangsanya,” kata Sui Ceng dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, ia
melihat mata muridnya itu berlinang air mata.
“Hmm, hmm,
hmm, kau sudah terpengaruh oleh semangat kakek itu, Sui Ceng. Mari kita kembali
ke gunung, untuk apa menyeret diri ke dalam kancah permusuhan?”
Gadis itu
menggelengkan kepalanya. “Tidak, Suthai. Meski pun Suthai di mulut berkata
demikian, akan tetapi teecu telah tahu akan perasaan hati Suthai. Bukankah dulu
Suthai juga menjadi marah dan mencoba untuk membasmi kaki tangan An Lu Shan?
Teecu akan membantu untuk memenuhi cita-cita Lu-taijin yang mulia, hendak teecu
basmi para penjahat yang menindas rakyat itu,” katanya dengan gagah.
Kiu-bwe
Coa-li menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka itu kuat sekali, Sui Ceng. An Lu
Shan dibantu oleh banyak orang pandai dan agaknya sudah menjadi takdir bahwa
negara kita harus berada dalam kekuasaan mereka. Lagi pula, bukankah menurut
pesan Lu-taijin, yang diserahi tugas adalah Lu Kwan Cu? Heran aku, siapakah Lu
Kwan Cu itu?”
Tiba-tiba
Sui Ceng tersenyum. Gadis ini memang luar biasa sekali, mudah menangis dan
mudah pula tersenyum. Dia teringat akan Kwan Cu, bocah gundul itu dan tak
terasa pula dia tersenyum geli apa bila mengingat betapa tugas seberat itu
diserahkan kepada bocah gundul setolol itu!
“Suthai,
tidak ingatkah Suthai akan anak laki-laki yang menjadi sebab keributan dahulu?
Semua tokoh besar memperebutkan dia, gara-gara kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng
yang palsu!”
Berubah wajah
nenek sakti itu. “Ahh... dia...?” Dia mengerutkan kening dan berkata. “Sui
Ceng, bocah itu bukan bocah biasa dan siapa tahu kalau-kalau dia sudah
mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Sui Ceng
kembali tersenyum geli. “Mana mungkin begitu, Suthai? Pada waktu gurunya,
Ang-bin Sin-kai, tewas oleh keroyokan kaki tangan An Lu Shan, Kwan Cu tidak
muncul dan sudah lama sekali dia tak memperlihatkan diri. Bagaimana dia bisa
melakukan tugas sepenting ini? Biarlah aku mewakilinya, karena tugas ini bukan
hanya tugasnya, akan tetapi tugas setiap orang gagah yang membela negara dan
bangsanya.”
Diam-diam
Kiu-bwe Coa-li bangga dan girang melihat sikap muridnya. Tidak percuma ia
mempunyai murid yang hanya seorang ini, karena memang muridnya ini berjiwa
gagah. Dia sendiri jemu untuk berurusan dengan segala keruwetan dunia, apa lagi
ia memang merasa amat kecewa ketika tak berhasil membinasakan tokoh-tokoh yang
mengkhianati bangsa.
“Baiklah,
Sui Ceng. Kau boleh melakukan tugas ini, akan tetapi kau berhati-hatilah. Dan
jangan lupa bahwa kau harus mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maksudku
sebetulnya, kau harus mencari pemuda murid iblis utara itu, The Kun Beng.”
Merah sekali
wajah Sui Ceng. Sebetulnya ia mengerti akan maksud gurunya, akan tetapi untuk
mendapatkan penjelasan yang lebih nyata, ia pura-pura bertanya,
“Mengapa
teecu harus mencari dia, Suthai?”
“Bocah
bodoh! Seorang anak harus mentaati kehendak orang tuanya. Sebagai gurumu, aku
sendiri tidak dapat berkata apa-apa, karena dalam hal perjodohan, orang
tuamulah yang lebih berhak. Biar pun ibumu sudah tidak ada, akan tetapi
pesannya harus ditaati. Bukankah ibumu sudah mengikatkan tali perjodohan antara
kau dan The Kun Beng murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Nah, kau
carilah dia supaya perjodohan ini dapat dilangsungkan segera. Tentu saja kau
harus memberi tahu padaku apa bila pernikahan akan dilangsungkan.”
Warna merah
makin menjalar luas sampai membikin merah kedua telinga gadis itu.
“Aahh,
Suthai...! Perlu benarkah itu? Antara dia dan aku tidak ada hubungan sedikit
pun juga. Bahkan semenjak kanak-kanak sampai sekarang, aku tak pernah melihat
dia!”
“Meski pun
begitu, Sui Ceng. Jodoh itu sudah ditakdirkan oleh Thian dan disahkan oleh orang
tua. Apakah sulitnya mencari murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Dia tentu
lihai sekali seperti suhu-nya.”
Sui Ceng
cemberut. “Walau pun dia lihai dan baik, teecu tidak peduli, Suthai. Mana ada
wanita mencari laki-laki? Jika dia memang sudah diikatkan dengan teecu, kenapa
bukan dia yang mencari teecu? Mengapa harus teecu yang mencarinya? Teecu tidak
sudi!”
Kiu-bwe
Coa-li tertawa, suara ketawanya aneh sekali. “Bodoh, apa kau lupa bahwa kita
berdua menyembunyikan diri di gunung dan tidak seorang pun tahu di mana kita
berdua? Andai kata dia mencari, apa kau kira dia mampu menemukan kita?
Sudahlah, kau boleh berangkat dan hati-hatilah, jangan kau berpikiran singkat.
Ingatlah semua nasehat dan pelajaran yang selama ini kau dapatkan dariku.”
Kiu-bwe
Coa-li lalu meraba kepala muridnya dengan sentuhan mesra. Menghadapi sikap yang
tidak seperti biasanya dari gurunya, terharulah hati Sui Ceng sehingga gadis
ini lalu memeluk gurunya sambil menangis.
“Jaga
baik-baik dirimu, Suthai. Tidak lama lagi teecu tentu akan menyambangi Suthai
di puncak gunung.”
Pada saat
itu, tiga orang panglima sedang sibuk mencoba untuk memindahkan hio-louw
(tempat abu hio) yang sangat besar, akan tetapi sia-sia belaka. Hio-louw itu
beratnya seribu kati lebih dan tidak dapat mereka angkat!
Mendengar
suara mereka “ah-ah-uh-uh-uh!” mengerahkan tenaga, Kiu-bwe Coa-li lantas
menengok.
“Eh, ehh,
ehh, tidak mengurus jenazah baik-baik melainkan mengangkat-angkat hio-louw
besar itu, apa-apaan kalian ini?” Kiu-bwe Coa-li menegur mereka.
Mendengar
ini, tiga orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li.
“Suthai yang
mulia, tolonglah kami. Lu-taijin dulu pernah berpesan bahwa apa bila beliau
meninggal dunia, agar supaya jenazahnya dikubur di bawah hio-louw ini. Tidak
tahunya hio-louw ini demikian beratnya sehingga kami bertiga tidak kuat
memindahkannya.”
“Hm, hm, hm,
orang-orang lemah seperti kalian ini mana bisa berhasil melawan pasukan-pasukan
An Lu Shan?” kata Kiu-bwe Coa-li mengejek.
Akan tetapi
dia bertindak juga menghampiri hio-louw itu. Dengan tangan kanannya dia
memegang telinga hio-louw lalu dengan sekali sentak, hio-louw itu terangkat
naik dan diturunkannya lagi di tempat yang agak jauh dari tempat semula!
Ketiga orang
itu saling pandang dan mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut.
Kemudian mereka cepat-cepat menggali lubang di bawah hio-louw itu.
Kiu-bwe
Coa-li mengambil pedang Liong-coan-kiam dari tangan jenazah Lu Pin. Nenek ini
memandang pedang itu dan mengangguk-angguk kagum.
“Pedang
pusaka yang baik,” katanya.
“Suthai,
pedang itu adalah pedang untuk Kwan Cu,” berkata Sui Ceng, mengira bahwa
gurunya menginginkan pedang tadi.
“Untuk apa
pedang macam ini bagiku?” kata Kiu-bwe Coa-li.
Sekali dia
menggerakkan tangan yang memegang pedang, pedang itu meluncur seperti anak
panah dan tertancap sampai ke gagangnya pada dinding batu karang yang diukir
oleh Lu Pin! Pedang itu tertancap di tengah-tengah tulisan-tulisan itu sehingga
sukarlah bagi orang biasa untuk mencabutnya kembali!
“Aku pergi
dulu, Sui Ceng,” kata nenek itu dan tanpa menanti jawaban tubuhnya sudah
berkelebat lenyap dari situ.
Tiga orang
panglima yang sedang menggali lubang, melihat kepergian nenek itu, menjadi
bingung sekali. Mereka keluar dari lubang dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan
Sui Ceng.
“Lihiap,
harap kau jangan pergi dahulu. Siapa yang akan mengembalikan hio-louw itu ke
tempat semula?”
Sui Ceng
ragu-ragu. Akan tetapi melihat kepada mayat Menteri Lu Pin yang wajahnya masih
membayangkan keagungan, dia pun lalu mengangguk.
Tiga orang
itu bekerja keras dan sesudah lubang itu cukup dalam, dan dengan penuh
penghormatan serta diantar oleh tangis, mereka mengubur jenazah Menteri Lu Pin.
Sui Ceng lalu mengerahkan tenaganya, akan tetapi hanya sesudah mempergunakan
kedua tangannya, gadis ini dapat memindahkan hio-louw yang memang amat berat
itu.
Tiga orang
panglima itu juga membaca tulisan yang diukir di dinding, kemudian mereka
menyatakan kepada Sui Ceng bahwa di dalam perjuangan mereka hendak
mendengar-dengar pula kalau-kalau ada pemuda seperti yang dimaksudkan oleh
mendiang Lu-taijin itu. Setelah itu, mereka lalu keluar dari goa.
Sui Ceng
berkata, “Mari kita tutup goa ini dengan batu-batu agar tidak ada sembarang
orang dapat memasukinya dan mengganggu goa ini.” Setelah berkata demikian,
gadis ini melempar-lemparkan batu-batu besar menutupi mulut goa.
Tiga orang
itu tertegun. “Akan tetapi... bagaimana kalau pemuda yang bernama Lu Kwan Cu
itu datang ke sini? Bagaimana dia akan dapat masuk?”
Sui Ceng
tertawa. “Kalau dia sanggup menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, apa
susahnya untuk membongkar batu-batu ini dan membuka goa?”
Terpaksa
tiga orang itu lalu membantu sehingga sebentar saja goa itu telah tertutup oleh
batu-batu yang bertumpuk dan tidak kelihatan dari luar. Kemudian tanpa banyak
cakap lagi Sui Ceng lalu melompat pergi diikuti oleh pandang mata tiga orang
panglima itu yang merasa takjub dan kagum sekali.
***************
Gadis dalam
pondongan Kwan Cu itu meronta-ronta dan memaki-maki minta dilepaskan dari pondongan.
Namun Kwan Cu tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menjawab bahkan
membiarkan saja kedua tangan gadis itu memukul-mukuli dadanya.
Ia merasa
betapa pukulan tangan gadis itu cukup antep dan keras, namun baginya tidak
terasa sama sekali. Diam-diam Kwan Cu merasa mendongkol sekali, maka dia
sengaja tersenyum sambil berlari terus dengan cepatnya, keluar dari kota raja.
Akhirnya
gadis itu tak dapat melanjutkan makiannya karena dia merasa lelah. Dia hanya
menangis sambil menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda yang membawanya
lari.
Setelah tiba
jauh dari tembok kota raja, Kwan Cu masuk ke dalam hutan dan barulah dia
menurunkan gadis itu di bawah sebatang pohon. Malam telah berganti pagi dan
keadaan yang suram sejuk itu seakan-akan menyatakan kepadanya akan kecantikan
wajah dan keindahan bentuk tubuh gadis yang telah ditolongnya. Kwan Cu
tersenyum.
“Nah, di
sini kau boleh memaki-maki dan menjerit sekerasmu. Para pengejar dari istana
telah tertinggal jauh dan keadaan kita tidak terancam bahaya lagi.”
“Kau... kau
laki-laki kasar, kurang ajar dan sombong! Kau berani memondongku, laki-laki
sopan tidak akan sudi menyentuh kulit tubuh seorang gadis yang tidak
dikenalnya. Kalau ada kakakku di sini, kepalamu tentu akan dihancurkan!” Gadis
itu memaki lagi dengan sepasang matanya bersinar-sinar, menyaingi bintang pagi
yang masih berkedip-kedip di angkasa.
Kwan Cu
tersenyum lebar. “Kau maksudkan kakakmu Gouw Swi Kiat? Murid Pak-lo-sian
Siangkoan Hai? Aha, dia takkan marah-marah seperti kau, bahkan akan mengucapkan
terima kasih kepadaku. Wahai gadis manis, tahukah kau mengapa aku menolongmu?”
“Mengapa
lagi kalau kau tidak tertarik oleh kecantikan seorang gadis muda? Laki-laki di
mana-mana sama saja, gila kecantikan dan lupa daratan, lupa peri kemanusiaan
menjadi budak nafsu binatang!”
Berkerut
kening Kwan Cu. Hatinya tersinggung sekali.
“Hemm, entah
karena memang watakmu yang galak dan kasar ataukah karena kau telah mengalami
banyak penderitaan maka kau bisa mengeluarkan tuduhan keji itu. Dengarlah
perempuan, aku menolongmu karena empat hal. Pertama-tama aku benci melihat An
Kong si pangeran botak yang mata keranjang itu. Ke dua karena aku mendengar
bahwa kau adalah kekasih The Kun Beng, salah seorang kenalanku yang baik. Ke
tiga, karena kau adalah adik dari Swi Kiat seorang sahabatku pula, dan keempat
karena aku melihat muka si tua Siangkoan Hai dan murid-muridnya. Kau kira aku
mempunyai maksud lain apa lagi? Kalau kau tidak suka, sudahlah, biarkan aku
pergi. Terima kasih atas segala makian dan tuduhanmu yang keji!”
Setelah
melontarkan kata-kata ini dengan suara gemas, Kwan Cu segera membalikkan
tubuhnya dan hendak pergi. Dia merasa mengkal sekali.
“In-kong...
(tuan penolong), perlahan dulu...”
Kwan Cu
mengangkat alis dan menoleh. Ia tertegun melihat gadis itu berdiri memandang
padanya dengan mata sayu dan di atas kedua pipi yang halus itu nampak
butiran-butiran air mata! Benar-benar heran sekali, bagaimana gadis ini yang
tadi marah-marah malah sekarang berbalik menangis? Sikap dan watak wanita
benar-benar merupakan teka-teki besar bagi Kwan Cu.
“Ada apa
lagi kau memanggil aku? Mengapa pula memakai sebutan In-kong? Aku tidak
menolongmu. Apakah kurang cukup makian-makianmu tadi?”
Makin deras
keluarnya air mata dari sepasang mata yang bening itu.
“Benar-benarkah
kau... tidak akan menggangguku seperti yang kusangka semula?”
Kwan Cu
tersenyum pahit, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Kau memang manis dan
gampang menggugah hati laki-laki untuk mengganggumu. Akan tetapi karena kau
sudah terlalu banyak menderita yang diakibatkan oleh sinar mata keranjang pria
kau kemudian menganggap bahwa semua laki-laki gila nafsu dan mata keranjang.
Tidak Nona, aku Lu Kwan Cu selama hidupku tidak akan mempergunakan kekerasan
mengganggu wanita.”
Gadis ini
terkejut mendengar nama ini, karena tadi di dalam kamar An Kong, dia sama
sekali tidak memperhatikan nama ini.
“Jadi kau
ini Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai yang sering di sebut-sebut oleh Kun Beng?
Ahh, maafkan aku... maafkan aku yang sedang menderita ini...”
Tiba-tiba
gadis itu menubruk maju dan berlutut di depan Kwan Cu.
Pemuda ini
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Kemudian dia mengangkat tubuh
gadis itu sambil memegang kedua pundaknya.
“Sudahlah,
Nona, tak perlu semua penghormatan ini dan kau janganlah terlalu berduka, tidak
baik untuk kesehatanmu.”
Mendengar
ucapan ini, gadis itu lalu memeluk dan menjatuhkan mukanya di dada Kwan Cu
seakan seorang adik yang minta hiburan dari seorang kakak yang menyayanginya.
“Nasibku
amat buruk...,” keluhnya sambil menangis.
Kembali Kwan
Cu menggeleng kepala berkali-kali. Aneh sekali watak gadis ini, pikirnya. Tadi
ditolong dan dipondong begitu saja, memaki-maki dan meronta-ronta, mengatakan
dia kurang ajar dan tidak sopan. Sekarang atas kehendak sendiri bahkan
memeluknya dan mendekapkan muka di dadanya. Alangkah anehnya. Akan tetapi
timbul hati kasihan di dalam hatinya menyaksikan gadis itu terisak-isak di
dadanya.
“Tenanglah,
diamlah, Nona. Kenapa kau begini berduka?” Tanpa terasa, darah Kwan Cu panas
juga.
Dia seorang
pemuda yang belum pernah berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi sampai
bersentuhan kulit atau lebih-lebih lagi memeluk tubuh seorang gadis yang begitu
cantik. Otomatis tangannya mengelus-elus rambut yang hitam panjang serta halus
itu, sedangkan hatinya berdebar tidak karuan.
Rabaan
tangan penuh kasih dan iba di rambutnya agaknya terasa oleh gadis itu. Dengan
kaget dia menjauhkan dirinya, memandang kepada Kwan Cu, akan tetapi sekarang
sinar ketakutan dan curiga telah lenyap dari matanya.
“Apakah kau
kenal baik dengan Kun Beng dan kakakku Swi Kiat?” tanya gadis itu.
“Aku hanya
bertemu dengan mereka pada waktu aku masih kecil. Dahulu kakakmu itu seorang
anak yang berangasan, berbeda dengan Kun Beng yang halus dan ramah. Akan tetapi
dahulu aku tidak tahu bahwa Swi Kiat mempunyai seorang adik perempuan yang
bernama Kui Lan.”
Gadis itu,
Gouw Kui Lan, tersenyum pahit. “Memang kakakku selalu ikut dengan gurunya dan
aku tinggal di rumah bersama orang tuaku. Akan tetapi sekarang kedua orang
tuaku sudah meninggal dunia dan aku hidup berdua dengan Kiat-ko. In-kong, aku
hendak minta pertolonganmu, kau usahakanlah perdamaian antara Kiat-ko dan Kun
Beng.”
“Ehh,
mengapakah? Apakah mereka itu berselisih?”
Kui Lan
mengangguk dan menarik napas panjang, kemudian duduk di atas akar pohon.
“Duduklah, In-kong. Mereka tak hanya berselisih, bahkan Kiat-ko telah bersumpah
untuk mencari dan membunuh Kun Beng... Dan aku tidak rela melihat Kun Beng
terbunuh oleh kakakku. Aku... aku cinta kepada Kun Beng.”
Merah muka
Kwan Cu mendengar pengakuan yang dianggapnya amat ganjil dari mulut gadis ini.
“Aku sudah
mendengar ketika kau bicara dengan pangeran botak An Kong. Akan tetapi, kenapa
mereka bermusuhan? Mereka adalah saudara sepergururan, bagaimana mereka bisa
bermusuhan sedemikian hebatnya sehingga kakakmu bersumpah untuk membunuh
sute-nya sendiri?”
Sampai
beberapa lama Kui Lan ragu-ragu, kemudian dia menghela napas dan berkata, “Kun
Beng sering kali membicarakan engkau, dan memujimu sebagai seorang yang aneh
dan berbudi. Oleh karena itu, tiada salahnya apa bila aku menceritakan semua
peristiwa yang kualami kepadamu, apa lagi karena aku juga hendak minta tolong
kepadamu untuk mengakurkan mereka kembali.”
Kui Lan lalu
bercerita, menuturkan pengalamannya dengan singkat. Akan tetapi, supaya lebih
jelas bagi kita, marilah kita mengikuti sendiri semua pengalamannya itu.
Swi Kiat dan
Kui Lan adalah putera-puteri dari keluarga Gouw yang bertempat tinggal di dalam
Propinsi Hok-kian. Sesungguhnya ayah dari kedua orang anak ini adalah bekas
seorang perwira Kerajaan Tang yang sudah mengundurkan diri karena tidak suka
melihat kaisar dan para pembesar lain melakukan korupsi besar-besaran dan bukan
merupakan pemimpin dan pelindung rakyat, malah sebaliknya mereka merupakan pemeras-pemeras
berwewenang yang lebih jahat dari pada perampok-perampok tulen.
Bekas
perwira she Gouw ini lalu membawa keluarganya pindah ke dalam dusun. Dengan
uang simpanan yang tidak seberapa dia membeli tanah dan hidup sebagai petani
yang berbahagia dan tenteram. Dia di segani di dusunnya karena selain luas
pengertiannya, juga dia mempunyai kepandaian silat yang bagi orang-orang dusun
sudah sangat tinggi sehingga dusun itu menjadi aman. Tidak ada orang jahat
berani memperlihatkan aksinya setelah Gouw-ciangkun ini tinggal di situ.
Pada suatu
hari, Swi Kiat dan adiknya bermain-main di halaman depan rumahnya. Ketika itu
Swi Kiat baru berusia lima tahun dan Kui Lan berusia tiga tahun. Sebagai putera
seorang petani, Swi Kiat memang amat rajin. Kalau dia tidak membantu para
pekerja di ladang, baik hanya untuk mengawasi atau pun membantu sedikit-sedikit
sesuai dengan kemampuan tenaganya yang masih kecil, tentulah dia membantu
pekerjaan ibunya. Pada hari itu, Swi Kiat sedang bertugas menjaga adiknya yang
masih kecil dan mengajaknya bermain-main.
Pada saat
mereka bermain-main, mendadak kelihatan seorang kakek kecil pendek yang
berpakaian sederhana. Entah kakek ini datangnya dari mana karena tahu-tahu dia
telah berada di luar pekarangan rumah dan duduk di atas rumput, memandang ke
arah dua orang anak yang bermain-main itu.
Swi Kiat dan
Kui Lan melihat pula orang itu, akan tetapi tidak memperhatikannya karena hanya
mengira bahwa kakek itu seorang dusun lain yang duduk beristirahat. Padahal
sebetulnya kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang tokoh
besar yang baru namanya saja sudah cukup hebat untuk membuat penjahat-penjahat
segera mengangkat kaki seribu!
“Engko Kiat,
ambilkan bunga itu...,” kata Kui Lan merengek-rengek.
“Mengapa kau
minta bunga yang buruk di atas pohon itu? Lebih baik kucarikan bunga teratai di
empang atau bunga mawar di kebun belakang, lebih bagus dan lebih mudah
mengambilnya,” jawab kakaknya.
“Tidak mau,
aku mau bunga yang di atas pohon itu!’ Kui Lan tetap merengek.
“Baiklah,
baiklah, tapi jangan kau menangis,” Swi Kiat marah-marah, akan tetapi dia lalu
naik ke atas pohon itu untuk mencarikan bunga bagi adiknya.
Dalam usia
lima tahun, Swi Kiat telah mulai berlatih silat dan tubuhnya digembleng oleh
ayahnya sehingga dia mempunyai tenaga dan kegesitan yang lebih dari pada
anak-anak biasa. Bagaikan seekor monyet, dia memanjat pohon itu dan
mengambilkan tiga tangkai bunga.
Tetapi,
sebelum dia turun, tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya sakit dan gatal-gatal.
Alangkah kagetnya ketika anak ini melihat bahwa dia telah dikeroyok oleh
ratusan ekor semut merah karena tanpa disengaja dia tadi telah menyentuh sarang
mereka.
Swi Kiat
memiliki ketabahan besar dan biar pun dia sibuk sekali mengusir semut-semut
yang menggigit badannya, dia tidak mengeluarkan keluhan dan hanya berseru,
“Semut... semut...!”
Ia merayap
turun sambil menggaruk sana menepuk sini. Gigitan semut-semut merah itu sakit
dan gatal luar biasa sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi. Ketika dua
tangannya sibuk mengusir semut, keseimbangan tubuhnya menjadi kacau sehingga
dia terpeleset dari atas dahan!
Anak itu
tentu akan mengalami bencana hebat karena dia terjatuh dari dahan yang tinggi
sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tiba-tiba
terdengar suara orang.
“Bodoh
sekali...!”
Dan
tahu-tahu tubuh Swi Kiat sudah ditangkap oleh sebuah lengan yang pendek kecil
sehingga dia tidak sampai terbanting ke atas tanah. Kakek yang tadi tengah
duduk di luar pekarangan, tahu-tahu telah berada di situ dan dapat menyambut
tubuh Swi Kiat dengan amat mudah.
Swi Kiat
masih sibuk mengusiri semut dan menggaruk ke sana ke mari. Biar pun semua semut
itu sudah pergi, akan tetapi gatal-gatal masih hebat sekali sehingga anak ini
tidak mempedulikan kakek yang telah menolongnya.
Tiba-tiba
kakek itu menggerakkan tangannya dan pundak Swi Kiat ditampar. Aneh sekali,
seketika itu juga lenyaplah rasa gatal serta sakit bekas gigitan semut, sungguh
pun di sana sini masih nampak merah-merah bekas gigitan. Swi Kiat memandang
dengan mata terbelalak, barulah dia teringat bahwa kakek ini telah menolongnya,
maka serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.
“Kakek yang
baik, terima kasih atas pertolonganmu.”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai senang sekali melihat Swi Kiat. Ia dapat melihat bahwa anak ini
bertulang baik dan bakatnya luar biasa. Juga melihat betapa dalam penderitaan,
anak itu tidak mengeluh sama sekali, membuktikan bahwa anak itu mempunyai
ketabahan dan ketenangan. Tiga tangkai kembang masih saja di pegangnya, ini pun
menyatakan bahwa dia memiliki dasar kesetiaan.
Swi Kiat
lalu memberikan kembang itu kepada Kui Lan yang menerimanya dan lantas
bersembunyi di belakang kakaknya, karena dia takut melihat kakek kecil pendek
yang suaranya nyaring itu.
“Anak yang
tangkas, apa bila hendak mengambil bunga di atas pohon, mengapa harus
susah-susah memanjat pohon yang banyak semutnya?” kata Siangkoan Hai tertawa.
“Ehh, kakek
yang aneh. Kembang berada di atas pohon, jika tidak memanjat naik, habis
bagaimana mengambilnya?” tanya Swi Kiat heran.
Siangkoan
Hai tertawa semakin keras. “Banyak jalannya. Kau dapat menyambit tangkai
kembang sehingga kembang-kembang itu turun sendiri ke bawah, atau kau dapat
pula melompat dan mengambilnya tanpa menyentuh dahan pohon yang banyak
semutnya.”
Swi Kiat
berpikir sejenak, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Membicarakannya sangat mudah, akan tetapi siapa dapat melakukan hal itu?”
Memang Swi Kiat seorang anak yang keras hati dan tidak mau kalah begitu saja
bila tidak melihat buktinya.
“Kau tidak
percaya kepadaku? Lihatlah baik-baik!”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai mengambil segenggam batu kerikil, lantas sekali tangannya
bergerak, lima butir kerikil lalu melayang ke arah pohon dan... tak lama
kemudian, lima tangkai bunga melayang ke bawah.
“Hebat bukan
main kepandaianmu menyambit, kakek yang baik. Akan tetapi, bagaimana dengan
jalan ke dua?”
Siangkoan
Hai tertawa makin keras dan tiba-tiba tubuhnya yang pendek kecil melayang ke
arah pohon. Gerakan tubuhnya hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata
karena tiba-tiba dia sudah turun kembali dan ditangannya terdapat sepuluh
tangkai bunga!
Bunga-bunga
ini dia berikan kepada Kui Lan yang tertawa-tawa gembira. Anak ini belum dapat
menghargai dan mengagumi semua perbuatan kakek itu yang dianggapnya aneh. Yang
membikin dia gembira adalah pemberian bunga-bunga yang banyak itu.
“Luar biasa
sekali!” tiba-tiba terdengar suara Gouw-ciangkun datang berlari-lari dari luar
pekarangan, terus menjura dengan hormat kepada Siangkoan Hai.
“Ayah, kakek
ini lihai sekali, aku ingin belajar ilmu kepandaian dari padanya,” berkata Swi
Kiat sambil memandang kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan mata kagum.
“Locianpwe
benar-benar amat mulia, sudi mengajak main-main anak-anakku yang bodoh dan
nakal,” kata Gouw-ciangkun.
“Memang
puteramu ini berjodoh dengan aku, biarlah dia menjadi muridku,” Pak-lo-sian
Siangkoan Hai berkata.
Gouw-ciangkun
adalah seorang bekas perwira dan ahli silat, karena itu dia pun tahu akan
perlunya anak-anaknya mempelajari kepandaian silat. Mendengar ucapan kakek yang
kecil pendek ini, dia lalu menjura dan berkata,
“Banyak
terima kasih atas budi Locianpwe, tetapi bolehkah kiranya siauwte mengetahui
nama Locianpwe yang mulia?”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai berwatak keras dan sombong, akan tetapi dia jujur dan baik hati.
Ia tidak menjawab pertanyaan Gouw-ciangkun, karena baginya perkenalan tak ada
artinya dan bersopan-sopan juga bukan kegemarannya, dia bahkan bertanya kepada
Swi Kiat.
“Ehh, bocah
tangkas. Sukakah kau menjadi muridku?”
Swi Kiat
memang cerdik. Ia sudah yakin betul bahwa kakek ini seorang luar biasa, maka
dia segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, teecu
merasa gembira sekali.”
Siangkoan
Hai tertawa dan menoleh kepada Gouw-ciangkun. “Puteramu sudah setuju, aku tak
punya banyak waktu. Selamat tinggal!” Tiba-tiba saja ia berkelebat dan
tahu-tahu kakek itu dan juga Swi Kiat tidak kelihatan pula bayangannya.
Gouw-ciangkun
terkejut bukan main. Ia girang bahwa puteranya mendapatkan guru yang demikian
lihai, akan tetapi dia juga merasa gelisah karena tidak tahu siapakah gerangan
guru anaknya itu. Maka biar pun kakek itu sudah tidak kelihatan, dia tetap
berseru keras.
“Locianpwe,
mohon kau sudi meninggalkan nama!”
Entah dari
mana datangnya, terdengar amat jauh akan tetapi jelas sekali, ada jawaban,
“Orang menyebutku Pak-lo-sian!”
Mendengar
ini, Gouw-ciangkun tertegun dan berdiri seperti patung. Ia girang bukan main
dan juga kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa kakek kecil
pendek itu adalah tokoh besar dari utara yang karena kesaktiannya mendapatkan
julukan Dewa Utara!
Demikianlah,
semenjak hari itu Swi Kiat mengikuti suhu-nya dan tidak lama kemudian gurunya
mengambil murid seorang anak lain, yakni The Kun Beng. Hanya sekali dalam
setahun, kadang-kadang sampai dua tahun, Swi Kiat datang mengunjungi orang
tuanya atas perkenan suhu-nya yang mengajaknya merantau jauh.
Kehidupan
keluarga Gouw aman dan tenteram sampai terjadi sebuah peristiwa beberapa belas
tahun kemudian…..
Ketika itu
Kui Lan telah berusia tujuh belas tahun dan dia merupakan seorang gadis yang
sangat cantik jelita, bagaikan bunga mawar yang sedang mekar semerbak. Gadis
ini pun mempelajari ilmu silat akan tetapi hanya di bawah pengajaran ayahnya
sendiri yang tentu saja kalah jauh apa bila dibandingkan dengan tingkat
kepandaian Siangkoan Hai.
Tiap kali
Swi Kiat pulang mengunjungi orang tuanya, pemuda ini tentu memberi
petunjuk-petunjuk kepada adiknya sehingga Kui Lan memperoleh kemajuan pesat.
Tentu saja kini tingkat kepandaian Swi Kiat telah jauh melewati ayahnya
sehingga orang tua itu menjadi amat bangga dan girang.
Sebagaimana
sudah dituturkan di bagian depan, sejak Gouw-ciangkun tinggal di dusun itu, keadaan
di situ aman dan tenteram, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan
aksinya. Apa lagi setelah Kui Lan menjadi dewasa dan memiliki kepandaian silat
tinggi, orang-orang makin menaruh hormat dan segan terhadap keluarga Gouw ini.
Akan tetapi,
pada suatu hari, dusun ini sudah kedatangan rombongan orang-orang kasar yang
ternyata adalah gerombolan perampok ganas yang melarikan diri dari utara karena
mereka diobarak-abrik oleh Swi Kiat dan Kun Beng! Kepala perampok yang memimpin
gerombolan ini bernama Ang Hok yang berjuluk Tok-hui-coa (Si Ular Terbang
Berbisa).
Berkat
penyelidikannya, Ang Hok mendapat keterangan bahwa seorang di antara kedua
pemuda murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang gagah itu adalah putera
Gouw-ciangkun yang tinggal di dusun Keng-kin-bun di sebelah utara kota raja.
Dengan hati mengandung dendam, Tok-hui-coa Ang Hok lalu melarikan diri sambil
membawa anak buahnya yang belum tewas menuju dusun itu untuk membalas dendamnya
kepada keluarga Gouw!
Pada senja
hari itu, Gouw-cingkun ditemani oleh isterinya serta Gouw Kui Lan, sedang makan
malam sehabis bekerja keras sehari penuh, mengepalai para buruh tani di sawah.
Mereka makan sambil bercakap-cakap dan seperti biasanya yang dipercakapkan
mereka tentulah Swi Kiat.
“Tahun baru
kurang tiga pekan lagi,” kata Gouw-ciangkun, “tentu Swi Kiat akan pulang.”
“Dulu
Kiat-ko bilang bahwa sekarang dia jarang ikut suhu-nya merantau, karena kakek
itu sekarang selalu bertapa di puncak gunung. Bahkan Kiat-ko sering kali
mendapat tugas untuk membasmi para perampok dan membantu perjuangan rakyat dari
pemberontak An Lu Shan,” kata Kui Lan menyambung.
Mereka
bicara dengan asyik sekali. Tiba-tiba saja mereka terganggu oleh suara gemuruh
di luar rumah, suara banyak orang datang berkumpul di sana. Lalu terdengar
bentakan keras.
“Inilah
rumah keluarga Gouw! Bakar habis, bunuh semua orang!”
Gouw-ciangkun
cepat menyambar goloknya, sedangkan Kui Lan juga buru-buru berlari ke kamarnya
mengambil pedang. Akan tetapi pada waktu itu, rumah bagian depan telah dibakar
serta pintu depan sudah didorong roboh oleh Tok-hui-coa Ang Hok. Di belakang
kepala perampok ini ikut masuk anak buahnya yang sebanyak dua puluh orang.
“Penjahat-penjahat
rendah dari mana berani kurang ajar di rumah kami?” Gouw-ciangkun membentak
marah dan menggerakkan golok menghadang mereka.
“Ha-ha-ha-ha!
Inikah Gouw-ciangkun yang menjadi ayah dari si laknat Gouw Swi Kiat? Keluarga
Gouw, bersiaplah untuk terima binasa!” kata Tok-hui-coa Ang Hok sambil maju
menyerbu, mainkan ruyungnya yang besar dan berat.
Gouw-ciangkun
dapat menduga bahwa mereka itu tentu penjahat-penjahat yang merasa sakit hati
terhadap puteranya. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyambut
serangan lawan dan mengamuk. Akan tetapi alangkah kagetnya saat dia merasa
telapak tangannya panas dan sakit ketika goloknya bertemu dengan ruyung itu. Ternyata
bahwa tenaga kepala perampok itu besar sekali. Sebentar saja Gouw-ciangkun
sudah dikeroyok oleh banyak orang.
“Penjahat-penjahat
anjing, jangan kurang ajar!’ Tiba-tiba Kui Lan membentak.
Gadis ini
melompat keluar dari kamarnya dengan pedang di tangannya. Seorang anggota
perampok yang sudah menghampiri nyonya Gouw dengan golok di tangan, tiba-tiba
saja diserangnya sehingga penjahat itu menjerit dengan dada tertembus pedang!
“Ibu,
menyingkirlah ke dalam kamar!” seru Kui Lan sambil memutar pedang, membantu
ayahnya yang sudah terkepung dan terdesak.
Ada pun
Tok-hui-coa Ang Hok ketika melihat munculnya seorang gadis yang sedemikian
gagahnya, menjadi seperti linglung dan dia memandang tanpa berkedip.
“Ha-ha-ha-ha,
tidak kusangka di sini terdapat setangkai bunga cilan yang harum! Kawan-kawan,
keroyok dan binasakan anjing tua ini, biar aku memetik kembang itu!” katanya
kemudian dan dengan ruyung diputar cepat dia menyambut Kui Lan.
Biar pun
Gouw-ciangkun gagah, akan tetapi dia telah mulai tua dan tenaganya terbatas.
Lagi pula, selama menjadi petani, jarang sekali dia melatih ilmu silatnya dan
juga tidak pernah bertempur, maka gerakannya kaku sekali. Bagaimana kini dia
dapat menghadapi keroyokan belasan orang perampok itu?
Memang benar
bahwa dia telah berhasil pula merobohkan tiga orang pengeroyok setelah mengamuk
secara nekat dan mati-matian. Akan tetapi akhirnya tubuhnya menjadi korban
keganasan para perampok, dihujani oleh pukulan senjata tajam sehingga ia roboh
mandi darah.
Ada pun Kui
Lan, mana dia dapat melawan Tok-hui-coa Ang Hok yang sudah kawakan dan penuh
tipu muslihat pertempuran? Baru dua puluh jurus saja pedang di tangan gadis ini
telah terlempar jauh. Sebelum Kui Lan dapat mengelak, ia telah diringkus dan
sebuah totokan di pundak membuatnya tidak berdaya lagi.
“Ha-ha-ha,
kawan-kawan. Bunuh semua orang di dalam rumah dan bakar habis rumah ini!”
teriak Ang Hok sambil lari keluar memondong tubuh Kui Lan.
Para
perampok itu tentu saja tak mau menyia-nyiakan waktu baik ini. Mereka merampok
dulu habis-habisan, baru membunuh nyonya Gouw dan membakar rumah itu. Kemudian,
dalam perjalanan mereka menyusul pemimpin mereka, mereka terlebih dulu merampok
habis dusun itu dan melakukan pembunuhan keji.
Dalam
keadaan lumpuh tertotok jalan darahnya, Kui Lan dibawa pergi oleh Tok-hui-coa
Ang Hok ke arah pegunungan batu karang di mana banyak terdapat goa-goa yang
besar. Di goa-goa itulah sarang para perampok yang baru datang dari utara ini.
Di sepanjang
jalan terdengar suara Ang Hok tertawa-tawa menyeramkan. Kepala rampok yang
usianya sekitar empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah menyeramkan ini
merasa girang sekali. Sekali ini hasil pekerjaannya memang hebat. Tidak saja
dia dapat membalas dendam dan menghabiskan keluarga Gouw untuk membalaskan
sakit hatinya terhadap Gouw Swi Kiat, juga dia berhasil mendapatkan seorang
gadis yang cantik jelita seperti Kui Lan yang sedang dipondongnya itu.
Hampir
pingsan Kui Lan mengalami perlakuan yang kasar dan tidak senonoh oleh kepala
rampok ini, akan tetapi apa dayanya? Selain kalah pandai dalam ilmu silat, juga
ia telah dibikin tidak berdaya, semua urat-urat ditubuhnya lemas dan tenaganya
lenyap. Baiknya sebelum Ang Hok melakukan hal-hal yang lebih hebat lagi,
datanglah para anak buahnya yang tertawa-tawa sambil memanggul hasil-hasil
rampokan.
Ang Hok
meninggalkan Kui Lan dan keluar dari dalam goa, menemui anak buahnya.
“Kawan-kawan
sekalian. Bunga yang kupetik itu sungguh-sungguh cantik dan aku sudah mengambil
keputusan untuk menjadikan isteriku. Bersiap-siaplah untuk merayakan pesta
pernikahanku malam nanti!’
Kawan-kawannya
bersorak gembira. Memang hal itu merupakan hal baru yang sangat mengherankan.
Biasanya kepala rampok itu mengganggu anak bini orang dan sesudah bosan lalu
dioperkannya kepada anak buahnya. Baru kali ini agaknya kepala rampok itu jatuh
hati terhadap seorang wanita!
Kawanan
perampok itu lalu mendatangi dusun-dusun dan memaksa orang-orang dusun supaya
menyediakan hidangan untuk meramaikan pesta pernikahan pemimpin mereka. Kasihan
sekali orang-orang dusun ini, karena mereka dengan hati berat dan terpaksa
harus melakukan segala perintah ini. Suasana di pegunungan batu karang pada
malam hari itu ramai sekali dan para perampok menari-nari dan minum sampai
mabuk.
Akan tetapi,
tiba-tiba di sana-sini terdengar jeritan orang dan beberapa orang perampok
roboh tak bernyawa lagi. Seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tahu-tahu
telah berdiri di situ dan kedua tangannya bergerak-gerak. Tiap kali tangannya
bergerak, sebutir benda hitam melayang dan mengenai seorang perampok yang tak
dapat menghindarkan diri lagi, terus saja roboh dan mati!
Gegerlah
keadaan di situ. Orang-orang dusun melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat
melarikan diri, pulang ke rumah mereka masing-masing di bawah gunung. Ada pun
para perampok menjadi amat marah sehingga sebentar saja pemuda itu telah
dikepung oleh perampok-perampok yang memegang senjata tajam di tangan......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment