Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 18
PADA saat
yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya,
tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak
menjadi kacau balau. Dan tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak
terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa
perkasa yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.
Menteri Lu
Pin memandang. Dia menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang
mengamuk sambil memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau
Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!
“Anjing-anjing
pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?”
berkali-kali Ang-bin Sin-kai memaki.
Setiap kali
tangannya diulur, tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan
dilemparkannya sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang
bal karet saja. Tubuh para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah
atau tulang patah.
Keadaan amat
kacau balau, ada pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak
terjang Ang-bin Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek
pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya.
Kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai serta jenggotnya
melambai-lambai mengikuti gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek
di sana-sini.
Ketika
melihat kakek pengemis ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat
penasaran. Kakek pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak
dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di
tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja
mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.
Ketika dua
pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan
seperti seekor burung garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan
kiri dan hebat bukan main, tahu-tahu dia sudah dapat mencekik batang leher
kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental saat beradu dengan
jari-jari tangan kakek ini.
Ang-bin
Sin-kai maklum bahwa untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus
menjatuhkan pimpinan mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang
oleh kedua tangannya adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi
dia lantas membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!
Terdengar
suara keras, suara batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin
Sin-kai melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah
itu ke atas sampai tinggi.
“Lihat
pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati
hendak mengukur tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”
Suara ini
dikeluarkan dengan nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi
makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa
lagi pada waktu mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal,
tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda
menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali suara
keluhan para anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.
Tiga orang
panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian
memandang kepada Ang-bin Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih.
Namun Ang-bin Sin-kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri
Menteri Lu Pin dan berkata sambil tersenyum pahit,
“Inilah
jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”
Menteri Lu
Pin sejak tadi telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan
kepala dan berkata keras,
“Twako, aku
bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan
telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi
para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah
hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta
benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir
penjajah khianat itu dari kota raja!”
“Adik Pin,
suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini
lemah bagaimana dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh
orang-orang pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.
“Kita sama
lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah,
hanya seorang seniman bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal
orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?”
Melihat
sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.
“Orang
bodoh, kau kira aku tak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu,
Adikku. Kau memang patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat.
Kau tidak tahu bahwa sejak kau keluar dari kota raja, secara diam-diam aku
selalu mengikuti kau. Aku sudah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ahh,
adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat
membela negara, benar-benar aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu
kepada diri sendiri.”
“Sin-ko,
jangan kau berkata begitu...”
Menteri Lu
Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek
pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun.
Dari kedua
mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya,
menteri setia yang berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah
yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, orang yang semenjak kecil
mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan
tanah air!
Ketika
berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin
Sin-kai. Tidak patut dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat
seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia
tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya
Hek-i Hui-mo sendiri juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat
menghadapi mereka jika tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?
“Adik Pin,
kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau
dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau
dapat membantu pengerahan para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah
tempat persembunyian yang sangat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah
bukit ini terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil, kau
akan melihat hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa
besar yang penuh tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu
lebar sekali, aku pernah menggunakannya sebagai tempat bertapa. Kau bawalah
harta ini dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh serumpun
pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri
akan segera ke kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya.
Selamat berpisah adikku!”
Bukan main
girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat
kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali.
Memang mereka sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya
kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.
“Terima
kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya.
Dua orang
kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima
yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi
dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang
keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan seorang menteri setia,
namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka kemudian
berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap
Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.
Benar saja
seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat
lebar itu dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat.
Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam goa itu mereka mendaparkan
sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno.
Hiolouw ini
biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa
untuk mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu,
Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang
kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa amat tertarik dan
gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.
Setelah
membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga
orang panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka
lalu ditugaskan untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan
perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian
dari pada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan
sewaktu-waktu datang ke goa itu memberi laporan.
Ada pun
Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari
buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai
membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.
Menteri Lu
Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran
berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya
dari tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia
raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia mengatur dan
menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa,
berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah
menjadi rangka yang amat menyeramkan!
Memang,
Menteri Lu Pin membuat ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar
menjadi kenyataan, namun juga dengan maksud supaya para penjahat yang
iseng-iseng dan kebetulan masuk ke goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur
kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan
sekali itu.
****************
Tadinya
Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini,
menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa
tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam
Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar serta terkejut.
Barulah
mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan!
Apa lagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat
ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i
Hui-mo dan yang lain-lain.
“Kalau
begini, kita sudah menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum
menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci
tangan dari pada kekeruhan ini,” kata Jeng-kin-jiu.
Memang
mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak
mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk
selama ratusan tahun! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An
Lu Shan dan menyatakan bahwa kini sesudah kerajaan digulingkan, mereka hendak
kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Tentu saja
An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan
tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal
berupa harta benda yang sangat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat
menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu bila mana ada kesulitan menimpa
kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.
Sepeninggal
orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak
buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka
yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya.
Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat menjadi takut
sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu
Shan.
***************
Pada suatu
hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai
sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan
‘operasi’ secara berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka
mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap
sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.
Dalam hal
ini tentu terjadi hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi
orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang
diancam ini mempunyai harta, tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas
dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat.
Ada pula
yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga
dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada
pembesar setempat supaya keluarga itu bebas dari pada siksa dan kebinasaan!
Masih banyak lagi hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh orang yang
bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar
setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang
beroperasi itu.
Penduduk
Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan
dijalankan di tempat terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan
itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala
pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah para pemimpin gerombolan yang
tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.
Penduduk
berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang
tersiksa, akan tetapi akibat dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang
menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang
dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.
Di
tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan
mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena
pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan dan mereka kelihatan lemah. Wajah
mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.
Di belakang
tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan
para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh
orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk
panjang. Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar dan nampak kuat luar
biasa. Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing
menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.
Seorang
perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan
suara keras.
“Lihat,
beginilah nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!”
teriaknya dan mulailah dia menghitung, “Satu...!”
Sepuluh
orang algojo itu mengayun cambuk.
“Tarrr...!”
Hampir
berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan.
Jerit mengerikan terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari
kulit di mana cambuk itu menyabet.
Wajah para
penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai
pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah!
Sebenarnya,
mereka ini adalah sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu
Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga
ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga
mereka menjadi korban fitnah belaka.
“Dua...!”
Komandan itu memberi aba-aba.
Akan tetapi
sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya,
tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang
algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!
Mereka cepat
memandang dan dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana
telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu.
Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
“Jangan
pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”
Sambil
berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan
tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas
dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya
berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi
ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!
Para prajurit
menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan
golok terhunus.
“Kau
siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak,
akan tetapi para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena
mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.
“Aku datang
untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak
akan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan
hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah
aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas dapat merasa puas.”
Para perwira
itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda
ini tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya
pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.
“Kau
benar-benar hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh
orang dan masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia
menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.
Pemuda itu
menoleh ke arah penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang
berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya
mengandung pengaruh yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk-
anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan wajah pemuda yang tadinya sangat
keruh dan muram segera berubah girang.
“Boleh,
boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan
tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya,
“Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas semua
dosa-dosaku!”
“Lima ratus
kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.
“Sesukamulah,
mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai
hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri
sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.
Komandan itu
menjadi gemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila,
pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia
adalah seorang yang ‘bijaksana’ dan yang berlaku adil.
“Rakyat
semua!” serunya memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri
mau mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami
berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang
bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian
diharuskan membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu
tiga hari lamanya!”
Sepuluh
orang itu saling pandang seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya
mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan
mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda
ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.
“Saudara
yang baik, apakah kau benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang?
Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara
bekas tawanan itu.
Namun pemuda
ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
“Pergilah,
pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”
Sepuluh
orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu
saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda
yang aneh itu.
“Hayo, pukul
aku!” teriak pemuda ini.
Komandan
menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera
mulai menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang
amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah
pengalaman yang aneh.
Ia telah
merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya
dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring
dan yang tadi dengan secara sangat aneh dapat merampas cambuknya, benar-benar
merupakan seorang hukuman yang luar biasa.
Dengan
gerakan yang tidak dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk
sepuluh orang algojo, dan cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan
sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk mereka masing-masing
dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat dari pada kayu telah
hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!
Tentu saja
hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi
sesudah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar
merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.
Dengan lagak
gagah, algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk
tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa
kali, lantas dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada
pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo
lain.
“Tarrr...!”
Semua
penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan
cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh
pemuda aneh yang tingkah lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua
orang menahan napas dan merasa amat kecewa.
Baju pemuda
itu robek, sedangkan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda
itu mengerutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui
bahwa dia agaknya sama sekali tak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia
lalu pejamkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air mata dan bibirnya
bergerak-gerak seperti berdoa.
Cambuk itu
menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang
mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu
berkata perlahan sambil meramkan kedua matanya.
“Suhu,
semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati.
Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan
Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat...”
Tak seorang
pun di antara para penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa
maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua
yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian
menghela napas dan dia berkata perlahan,
“Dia benar-benar
menerima hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...!
Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Memang
benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima
cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari
bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju
tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya
mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Orang ini bukan lain adalah pujangga
besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan
tahun lamanya, yakni Tu Fu!
Untuk
mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula
pujangga Tu Fu dapat ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur
dulu beberapa hari yang lalu.
Sebagaimana
sudah diceritakan pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon
putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan
Tiongkok. Dia teringat akan pesan suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu
hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai
ini.
Kesukaran-kesukaran
di dalam pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia
bukanlah Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari,
kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul
dia kini telah menjadi seorang yang sakti.
Sesudah
mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya
nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari
mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang
perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu
mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang
semua kejadian itu, karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, pemuda ini pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan
tidak mudah pula dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.
Mata hatinya
telah terbuka mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua
peristiwa di dunia ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan
terakhir tetap di tangan Thian. Oleh karena ini, betapa pun janggal
terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan
pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu
hal yang terpikir olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu
pergi ke kota raja. Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi
kakek angkatnya pula. Peristiwa perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya
mendatangkan akibat pada Menteri Lu Pin. Mustahil bila Ang-bin Sin-kai diam
saja dan tidak menengok keadaan kota raja.
“Pasti Suhu
berada di kota raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur
istana, siapa pun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu
dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di
dalam istana.
Maka
berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia
mendengar pula mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski
dia melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi
ketenangan batinnya.
Dia
melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain,
dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian amat buruk,
menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, harta lain
satu-satunya adalah suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong.
Beberapa
kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke
selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan
kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera
mengungsi ke selatan, pergi sejauh mungkin.
Ketika dia
sudah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi
terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan.
Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru.
Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan
jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.
Ketika Kwan
Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi
terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang.
Seekor babi
gemuk memimpin negara, mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi
serigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja
rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara
kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran...!
Penasaran...!
Sayang
sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri
setia ditumpas habis sekeluarga, pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...!
Penasaran...!
Berulang
kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para
pengungsi menegurnya,
“Tu-siucai,
harap kau diam dan jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua
ditangkap dan dihukum mati?”
Mendengar
teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan
suara keras,
“Di dalam
dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana
kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena
takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih
lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”
Orang yang
menegurnya tadi hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba
saja dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata
bahwa sang penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya
tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur
itu yang menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti
melihat setan di tengah hari.
“Di mana
dia? Ke mana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.
“Dia
menghilang begitu saja!”
Ramailah
rombongan itu. Akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu
Shan, mereka akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya
membicarakan peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul
penyanyi tadi bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu,
seorang sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa,
namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.
Ketika dia
bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak
dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa
melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi
itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin bertiup keras ke arah
mukanya.
Ketika dia
membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan
pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda
sederhana yang menjura sambil berkata,
“Siauwte
mohon maaf sebesarnya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah
berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini.”
Tu Fu biar
pun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan
dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia
menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
“Orang muda
yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”
“Siauwte
seorang tak berarti, Bu-Pun-Su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang
berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan
tadi amat menarik hati siauwte. Apakah siauwte boleh mengetahui siapakah adanya
mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”
Tu Fu
tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu
Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja,
sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah
kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah
menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”
“Apakah yang
terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya.
Biar pun dia
telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam
dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin
Sin-kai seorang, oleh karena itu sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini
tentu saja langsung menggerakkan hatinya.
Orang-orang
yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh.
Demikian pula sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu
silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh
tokoh-tokoh kang-ouw yang mana pun juga. Kekerasan hati dan keteguhan
semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan.
Ketika dia
mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas
mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
“Orang muda,
ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara
kau dengan keluaraga Lu?”
“Sudah
siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan
tentang diri siauwte.”
“Hemm, anak
sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa
hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar
sesuatu tentang dia dari mulutku!”
Kwan Cu
menghela napas kewalahan. Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak
keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,
“Ang-bin
Sin-kai adalah guruku.”
Mendengar
ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil
menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Bu-pun-su,
murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam
penasaran dan sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi
dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya
obat bagi si sakit yang sudah tidak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan
mati-matian berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau
bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan
orang jahat, kau berpura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi
dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi
gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”
Kwan Cu
menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya
apa yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”
“Ang-bin
Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar,
tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh
kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke
kota raja. Akan tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi tokoh-tokoh besar
seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu
benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”
Bukan main
sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua
titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan
nasib gurunya yang sangat dia cinta, sudah setua itu masih terlibat urusan
dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.
Hatinya
mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi
kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak
Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata
perlahan,
“Mengapa
Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu
sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”
Mendengar
ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
“Wahai semua
makhluk yang kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian
kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar!
Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin
Sin-kai yang kuhormati?”
Merah muka
Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa
segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.
“Siucai yang
baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan
sebenarnya bahwa memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa.
Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa
menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”
Tu Fu makin
marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan
gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula
hasilnya jika orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang
masih hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat
padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang bagai
mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka!
Bu-pun-su, engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak
dapat dimengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan
kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia juga berhak untuk
berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan
secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya!
Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula?
Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah air, membiarkan tanah air dan
bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut
seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu
marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu
menjadi tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini
merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul
olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap
artinya.
“Siucai yang
bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang
dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”
“Bu-pun-su
murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”
Kwan Cu
terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama
ini, bukan hanya satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya
yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan
penuh kagum.
Gui Tin menyebut
nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping
sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja,
bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.
Kini melihat
sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya,
sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang
setingkat dengan gurunya, malah melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan
filsafat. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu.
Dengan amat terharu dia berkata,
“Locianpwe,
teecu sudah berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu
melihat alangkah besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena
itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak,
karena sebenarnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”
“Pertama-tama
kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah
sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka
dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa
tindakan suhu-mu itu baik dan sempurna? Di kota Thian-cin ini, tidak jauh dari
sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan
dihukum cambuk. Apa bila kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan
mewakili mereka, kau akan dapat melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para
pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”
Mendengar
ini, bangkitlah semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan
bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia
belaka.”
Tanpa
menanti jawaban, Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat
sekali ke kota Thian-cin di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman
cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin
para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.
Kwan Cu
menurunkan Tu Fu di antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah
dituturkan di bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah
dilanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan
sebagai hukuman pada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan
orang-orang jahat.
Demikianlah
sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu
dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman
itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo
yang tidak mengenal kasihan.
Walau pun
para penonton merasa sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah
gila dicambuki, akan tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa
pemuda ini meramkan matanya dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun
pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat
merah bekas cambuk.
Suara cambuk
algojo memecah di udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah
pakaian Kwan Cu sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan
kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,
“Cukup,
Bu-pun-su! Sudah lima puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari
sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh
kali.
Pujangga ini
benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap
sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa
terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali
cambukan, padahal apa bila dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa,
karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja
ucapan ini selesai dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh
Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak
tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya
tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa hingga tenaga cambukan itu
membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.
Demikian
lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik
melukai pemegang pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan
si algojo terobek kulitnya sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu
mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!
Komandan pasukan
mengira bahwa saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat
mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa,
maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk
turun tangan pula.
Sembilan
batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu.
Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng
sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan
kanan yang berdarah pula!
Geger
keadaan di situ. Para anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan
juga ketakutan. Apa lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan
ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau.....
Terima kasig telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment