Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 07
KWAN CU
mencekik sekuatnya, ada pun ular itu melilit perut serta dada Kwan Cu sambil
meronta-ronta hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu
tidak cukup panjang untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis
kakinya sendiri itu, maka beberapa kali terpaksa dia melepaskan cekikannya dari
kulit leher yang amat licin itu dan beberapa kali pula ular itu menyerang
kepalanya yang dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.
Tak dapat
terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua
tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang
gundul itu, mencari-cari akal.
Akhirnya dia
mendapat akal. Sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia
menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Sesudah
mengambil sepotong batu karang yang sebesar kepalanya dan yang tajam runcing
pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya.
Ular itu
menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu
itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi
ular itu mendoyong ke dalam, maka sesudah batu karang ini memasuki mulut sampai
di belakang gigi-gigi ular, batu itu tidak dapat keluar kembali akibat
terganjal oleh gigi atas dan bawah!
"Bagus,
Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji.
Mendengar
pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu
lagi. Kini ular itu pun menjadi bingung sekali, terus menggerak-gerakkan
kepalanya berusaha hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya.
Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa
eratnya, makin lama semakin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang
dililitnya. Ular itu menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah
dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul
saja pecahlah kepala ular itu!
"Hemm,
bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu
lama, dibikin setengah matang saja!" Ang-bin Sin-kai berkata dengan air
liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah.
Setelah
daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran
kata-kata suhu-nya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biar pun
dipanggang tanpa diberi bumbu dan garam, hanya saja setelah memasuki tubuh,
membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari
biasanya.
Setelah
makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.
"Perkelahianmu
dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular
itu mempunyai tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun
lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang
mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang
(tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau
mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi
mengerahkan ambekan (pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau
menggunakan kekerasan, tentu akan ada tulangmu yang patah dan uratmu
tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang
yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.”
Terbelalak
sepasang mata Kwan Cu memandang suhu-nya.
"Waaah,
Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan
telah terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup
mengalahkan harimau?"
"Kau
baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih
berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di
sebut Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok).
Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya tak akan mudah kau
diserang lawan."
Dengan girang
Kwan Cu kemudian mulai mempelajari Pai-bun Tui-pek-to, yang dilakukan
mengandalkan ginkang yang sangat tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak
dan menangkis serangan lawan serta melindungi diri mempergunakan kecepatan
tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat
bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan
sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to ini sangat baik untuk
seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.
Beberapa
bulan berlalu tanpa terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum
boleh dikata bahwa dia sudah menyempurnakan ilmu Pai-bun Tui-pek-to, karena tak
seperti Sam-hoan-ciang yang hanya mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan
diri ini meski pun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap
jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung dari pada
kedudukan lawan menyerang.
Kini Ang-bin
Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yaitu mencari Bukit Liang-san yang
masih amat jauh. Pada saat mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang
berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari.
Di dalam
kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan
kota itu terdapat telaga kecil yang airnya sangat biru serta dikelilingi
pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai senang sekali pelesir di
daerah ini, maka dia sengaja bermalas-malasan untuk pergi meninggalkannya.
Pada hari
ketiga, pada waktu Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu,
tanpa sengaja mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang wajahnya tampan
dan berpakaian perwira.
Ang-bin
Sin-kai tak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya dengan baik.
Apa lagi, sejak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu
mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini
beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentulah sedang
menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui,
adik dari Panglima An Lu Shan.
Akan tetapi
An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun
tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini,
tidak ada sangkut-pautnya lagi.
Kwan Cu
tidak tahu bahwa sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui
diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu
kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
tulen. Sedangkan kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak
mengenalnya sama sekali. Bila saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin
Sin-kai, agaknya siang-siang dia telah angkat kaki dan kabur.
"Suhu,
ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhu-nya.
"Mana
dia?"
"Entah,
dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, telah beberapa kali teecu melihatnya
dan agaknya dia memperhatikan kita."
"Siapa
sih orangnya?"
"Dia
adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An
Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."
"Hemm,
dia mau apa?"
"Entahlah,
Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai juga.
Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguh pun
dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kedua orang
muridnya."
Kwan Cu lalu
menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya
tersenyum dan berkata gembira,
"Bagus,
kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."
"Penguji
bagaimana, Suhu?"
"Kau
sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to, coba kau hadapi
dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke
luar kota, ke tempat sunyi."
Kwan Cu
mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li
Kong Hoat-ong itu tak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang
pandai dan gagah perkasa, lalu bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat
beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama
suhu-nya dan perlawanannya adalah atas perintah suhu-nya, hatinya menjadi
besar.
Tidak lama
kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah
belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, kemudian
menggandeng tangan suhu-nya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang
tidak jauh dari sana letaknya. Pancingannya berhasil karena melihat wajah Kwan
Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, An Lu Kui lalu mengejar!
Sesudah
berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama
suhu-nya menengok ke belakang. Tampak An Lu Kui berlari cepat menghampiri
mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.
"Ehh,
tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?"
Kwan Cu
memang telah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan
perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja,
maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada
urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?"
Mendengar
jawaban yang kurang ajar ini tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya.
"Bocah
gundul! Ketika dahulu menjadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan
bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang
betul, kau hendak pergi ke mana?"
"Ke
mana pun aku pergi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu
dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat
mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to.
"Setan
cilik! Bukankah kau hendak pergi ke tempat disembunyikan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang
gundul itu sampai pecah!"
Tiba-tiba
saja terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha-ha-ha! Agaknya
semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa
kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke
bawah!"
Bukan main
marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah
matamu buta dan tak mengenal orang? Kau sedang berhadapan dengan An Lu Kui,
adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!"
Kwan Cu
melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!"
"Kau
setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan
kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul.
Akan tetapi
dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari
pukulan ini. An Lu Kui menjadi penasaran dan marah sekali. Oleh karena itu,
sambil menggereng bagaikan seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim
pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!
Akan tetapi,
sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat
lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan
main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki
gerakan demikian lincah.
Ahh,
jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi
pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu
silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang!
Kwan Cu baru
saja belajar beberapa bulan. Ada pun An Lu Kui telah memiliki kepandaian
tinggi, karena itu menghadapi serangan-serangan hebat ini, tentu saja Kwan Cu
menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to,
dia masih dapat mengelak mau pun menangkis, akan tetapi dia tidak dapat
membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!
"Kau
menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela
muridnya. "Campur Pai-bun Tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"
Kwan Cu
maklum akan maksud suhu-nya. Namun karena kurang pengalaman tetap saja dia
tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk semakin hebat
itu.
An Lu Kui
kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih
dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala
lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia
bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat
latihan dari dia.
Celaka,
keluh An Lu Kui, bila aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku
bisa dipermainkan oleh setan besar itu. Maka, dia lalu mencabut sepasang
siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan lantas memutar dua senjata
ini bagaikan kitiran cepatnya.
"Kwan
Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik cara aku mainkan Pai-bun
Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai.
Kwan Cu
tertawa gembira dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor
monyet dia telah melompat ke atas punggung suhu-nya. An Lu Kui merasa kepalang
dan dia sudah merasa malu serta marah dijadikan permainan oleh Kwan Cu, maka
kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan
berbahaya.
Kwan Cu
melihat gerakan tubuh suhu-nya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di
punggung suhu-nya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui
dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu
Kui dan gerakan suhu-nya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak
An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to!
Melihat
betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang
menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui, Kwan Cu
menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi pada
waktu menghadapi serangan An Lu Kui ia terlalu gugup dan terlalu banyak membuang
gerakan sendiri. Sebenarnya, kalau dia bisa tenang seperti suhu-nya, tidak usah
terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun
Tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.
"Kau
lihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai pada muridnya.
"Buka matamu baik-baik, setiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka
sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu
yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"
Kwan Cu
mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya mengenai pintu terbuka adalah
bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan sekarang
setelah berada di punggung suhu-nya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak
menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia bisa melihat betapa setiap
kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama
sekali.
Mendengar
perintah suhu-nya ini, maka mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan
Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di
dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan
Cu tidak ingin menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang,
suhu-nya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya.
“Bak! Buk!
Bak! Buk!” terdengar suara ketika tubuh An Lu Kui terpukul secara tepat oleh
tangan Kwan Cu yang kecil!
An Lu Kui
menyumpah-nyumpah, Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak
girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan
terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke
arah ‘pintu terbuka’ dari lawannya!
Ada pun bagi
An Lu Kui, Ang-bin Sin-kai seakan-akan merupakan manusia asap saja. Ke mana pun
sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak mampu mengenai tubuh kakek aneh itu.
Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biar pun tidak
bisa melukainya, akan tetapi terasa cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama
sekali memanaskan hatinya.
"Orang
Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Entah dengan
gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini,
tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan.
Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua tombak itu dan…
“Krakk!”
terdengar suara dan patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang!
Sambil
tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam
jurang, kemudian berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan
hati terheran-heran.
"Tidak
patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil.
Pergilah!"
An Lu Kui
menjadi malu sekali. Ia menjura sambil berkata, "Mohon banyak maaf siauwte
tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui hendak mohon tanya, siapakah
nama Lo-enghiong yang terhormat?"
Ang-bin
Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan
melompatlah dia turun dari bukit.
"An-sian-seng
(tuan An), suhu-ku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" berkata Kwan Cu yang lalu
cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti suhu-nya.
An Lu Kui
tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga
belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Dia lantas
teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan belum lagi
sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami
hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai!
Ahhh,
alangkah banyak orang Han yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya
mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau
kaisar tidak demikian bodoh dan dapat menghargai orang-orang seperti itu,
negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok?
Dengan hati
mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu untuk kembali ke markas
besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dengan
sangat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin oleh An Lu Shan
benar-benar mendapat kemajuan yang hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran
dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau
Gui-siucai itu…..
***************
Ada pun Kwan
Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu,
Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya
kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan murid-murid
tokoh lain, dia tetap saja terhitung yang paling bodoh.
Terhitung
beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak
bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang di samping menunjukkan
bahwa ia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan
hatinya sakit sekali.
Hal itu
terjadi ketika mereka sudah sampai di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu
sedang hendak bertanya keterangan pada penduduk dusun tentang mendiang gurunya
yang dahulu di tempat ini terkenal dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she
Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh
suara yang keras.
"Lu
Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"
Di depan
Kwan Cu muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar
seperti bal tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan
seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan
yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok
Gui-suicai!
Memang
benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin!
Seperti biasanya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali
ini diikuti oleh muridnya.
Semenjak
menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Dia
mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat
suhu-nya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat
atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhu-nya,
tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja.
Biar pun dia
dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak
menolak ketika suhu-nya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong mempunyai
kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan
nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa hingga seolah dia merupakan seorang
murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan
ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan
pesat sekali.
Ketika
melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang
sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai.
Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama
Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
Sebaliknya,
Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dahulu menolong jembel tua
di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah
ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, sesudah dia merasa
mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi dan bahkan ingin dia
membalasnya! Tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya
masih kongkong-nya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua
ini.
"Gundul
bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang.
Di antara
para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga
mempunyai kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa
bergelak.
"Lucu,
lucu sekali. Ha-ha-ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha-ha-ha! Dan alangkah hebat
dan lucunya keluarga ini. Ehh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang
menjadi muridku ini?"
Ang-bin
Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka
dia lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenalkah
kau kepada pengemis kelaparan ini?" Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bertanya
kepada muridnya.
Juga Lu
Thong menggelengkan kepala sesudah memandang tajam. "Teecu tidak kenal,
Suhu."
"Lu
Thong, inilah Kongkong-mu yang tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu!"
kata Kak Thong Taisu.
Terbelalak
mata Lu Thong.
"Ang-bin
Sin-kai...?" katanya perlahan.
"Ya,
ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"
Ada pun
Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengar kata-kata ini.
"Gundul
jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"
Lu Thong
sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan dia pun sangat cerdik. Dia tahu
bahwa Ang-bin Sin-kai ini merupakan seorang tokoh yang pandai, maka dia
cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan pengemis tua itu.
"Kongkong,
harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Diam-diam
Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika
dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.
Walau pun
Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang
bekerja membantu kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, akan tetapi
melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya.
"Baguslah
kalau kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," berkata
Ang-bin Sin-kai sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam
panjang itu.
"Kongkong,
biar pun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat
mengharapkan semacam ilmu silat dari Kongkong sebagai warisan sehingga kelak
jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal,
namun cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kongkong-nya
sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"
Semua orang
termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik
sekali. Jeng-kin-jiu menegur muridnya.
"Ehh,
Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari
pinceng?"
Buru-buru Lu
Thong memberi hormat kepada suhu-nya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu
merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya
saja, teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kongkong, apakah ini
salah?"
Terdengar
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
"Tidak
mengecewakan kau menjadi cucunya Lu Pin, karena kau mempunyai kecerdikan.
Ha-ha-ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, sebab aku Lu Sin telah menjadi
keluarga dari bumi dan langit. Tak ada manusia yang bukan keluargaku, karena
bukankah semua manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapa pun juga,
untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni
Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He,
hwesio gundul, kau terimalah Kong-jiu Toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu
ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau tak akan mempergunakan
ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.
Kak Thong
Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Apa kau kira aku sudah begitu
rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru aku pun tak dapat kau
kalahkan. Aku bersumpah!" dia mengangkat kedua tangan di depan dada
seperti menghormat kepada Buddha.
Ang-bin
Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini segera bersilat tangan kosong. Dalam
pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak luar biasa cepatnya bagai
orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Tetapi sesudah Ang-bin
Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang seluruhnya
terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!
"Hebat,
hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.
Ang-bin
Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba kau
menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat hwesio bundar ini sampai seberapa jauhnya
memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan
Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"
Kwan Cu baru
saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun
Tui-pek-to dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhu-nya, dengan
taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.
"Lu
Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai Kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut
Selatan)!" kata Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira.
Bagi dia dan
juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan dari pada
pertandingan silat, bagaikan dua orang kakek yang sudah ‘nyandu’ adu ayam
melihat dua jago berlaga.
Berbeda
dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya. Juga
dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama
sekali karena Kwan Cu baru-baru ini saja mulai mempelajari ilmu pukulan dari
Ang-bin Sin-kai, juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang
tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya.
Akan tetapi,
kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah
gundul ini memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik
sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko (buah ular), kemudian Ang-bin
Sin-kai yang memang sengaja terus-menerus melatihnya kuda-kuda sehingga
memiliki dasar kuat sekali.
Begitu Lu
Thong sudah siap, cucu menteri ini serentak melancarkan serangan-serangan hebat
dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat memainkan Pai-bun Tui-pek-to,
ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Pada saat lengan
tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya amat
pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai
sekali.
Memang,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang ahli gwakang yang memiliki
tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan
muridnya ini secara tekun dan menggembleng tangan Lu Thong melalui
latihan-latihan memukul pasir panas. Meski pun usianya masih delapan tahun,
akan tetapi Lu Thong kini sudah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis
serangan tongkat!
Kwan Cu
berlaku sangat hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia selalu
menggunakan tenaga lweekang. Dia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak
lengan lawan dengan meminjam tenaga.
Kagetlah Lu
Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, amat
lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia
menjadi penasaran, kemudian mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu
Silat Lam-hai Kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.
Kwan Cu
terdesak hebat dan payah juga. Biar pun ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to dapat
digunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan meski dia melihat adanya
pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, akan tetapi dia tidak sempat
membalas serangan lawan. Dia belum memahami benar cara mengombinasikan Ilmu
Silat Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang.
Namun dengan
sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong
sudah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai
membuat dia terjungkal.
Menarik
sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka
bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan
menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tak mengeluarkan suara dan tidak
pula bergerak.
Akan tetapi
sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tak mau diam, seperti orang melihat
ayamnya diadu. Dia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru
"ah!", "bagus!" atau mencela "salah!" sambil
memperhatikan semua gerakan muridnya. Kaki tangannya juga bergerak-gerak
seakan-akan dia sendiri yang bertempur.
"Untuk
apa kau sudah mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki
Naga)?" tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya.
Padahal
ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah
serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepatnya bukan
main. Menghadapi serangan ini Kwan Cu tak berdaya dan sebuah tendangan dengan
kerasnya mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk
ke atas tanah!
"Ha-ha-ha!
Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!"
Kwan Cu
menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhu-nya, dia lalu menjura
kepada Lu Thong dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"
Lu Thong
lalu mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya
dengan gembira. Ang-bin Sin-kai segera bangkit berdiri dan pada wajahnya
terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya
pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu
sudah terlihat nyata.
Kwan Cu jauh
lebih kuat. Kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang
hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu tak akan dapat bangun kembali
tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami
pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia pun
senang melihat cara muridnya mengaku kalah.
"Hwesio
gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan.
Sepuluh tahun dari saat ini, kita bertemu lagi dan kita akan mengadu
murid-murid kita. Beranikah kau?"
"Ha-ha-ha!
Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun dari saat
ini kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita."
"Bagus!
Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu
silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu
silat pula kepadanya. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha!
Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada
muridku tak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah,
aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!"
Ang-bin
Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh
kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji,
karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat.
Hilangkanlah semua sifat kesombonganmu, karena apa bila kau pelihara sifat itu,
kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu."
Ketika
mengangkat muka memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata
kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam
lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa
dingin.
“Baik,
Kongkong," katanya perlahan.
Ang-bin
Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak
hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya sudah menurunkan
ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan
dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang digunakan untuk menahan serangan Lu
Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat
dan penerima, dia tak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan
bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak
terkalahkan…..
***************
Setelah
berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, Hek-i Hui-mo (Iblis
Tebang Baju Hitam) lantas melarikan diri secepatnya. Dia tidak percaya akan
keterangan Kwan Cu bocah gundul itu, bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu,
kenapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya?
Hek-i Hui-mo
adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga di
Tibet dia membentuk sebuah perkumpulan agama yang memisahkan diri dari Lama
atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau
anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula.
Hwesio ini
mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu
sekali menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi
ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau tokoh
besar lain menganggap kitab itu tidak ada gunanya lagi, selain dianggap palsu
juga dianggap tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan
lain.
Dia tahu
bahwa di Tiongkok tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Dia
mengenal pula nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tak kalah
oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu.
Tidak ada harapan
untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras.
Maka ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena
kebetulan sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu.
Di samping
Li Po, Tu Fu merupakan seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan
sampai jaman atom ini hasil-hasil karyanya masih terkenal). Dia adalah seorang
dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang
jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat.
Kakeknya
juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, ada pun ayahnya
pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot.
Ia amat mencinta nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin
oleh orang-orang korup, ia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup
sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa
hidupnya dia kenal baik.
Hek-i Hui-mo
maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat
menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li
Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah
dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang
kini Tu Fu sudah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi
Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung.
Di kota
Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur,
terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya laksana kelenteng. Memang rumah ini
adalah bekas kelenteng yang telah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak
ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu
panas tidak terlindung sama sekali.
Agaknya yang
sanggup hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan
tetapi, pada waktu itu di sebelah dalam kelenteng ini ada seorang manusia yang
tinggal.
Orang ini
belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih
dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakaiannya, meski pun kain bajunya
sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang
terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan
ikat pinggang terbuat dari tali hitam.
Kumisnya
hitam serta panjang, menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit
saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya
tertutup oleh sebuah topi butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus,
tulang-tulang pipinya agak menonjol. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam,
sedangkan dahinya lebar sekali.
Inilah dia
Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada
pemerintah sekarang yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela
menderita seperti bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita
seperti dia pula.
Di dalam
kehidupannya yang miskin, kelaparan, dia berduka sekali dan menangis, bukan
hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan
keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil
yang banyak menderita kelaparan seperti keluarganya!
Sejak itu
dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah
permai sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat
sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapa pun
miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan
melihat bahwa sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni
pena bulu, kertas, dan tinta!
Pada waktu
itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai
remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih
saja duduk termenung seperti orang sedang bersemedhi, tangkai pena di tangan
kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang
hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya amat gendut, kulit mukanya hitam dan
misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan
berkata,
"Omitohud!
Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu
keras?" tanya hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya.
Bagaikan
dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil
menuliskan sesuatu yang berguna!"
"Tu-siucai
bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" bertanya pula Hek-i
Hui-mo.
"Untuk
siapa?" Tu Fu mengerutkan kening. "Tentu saja untuk rakyat sebagai
penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil
berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri.
Baru
sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia
heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai
seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya,
"Siapakah
Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap
dimaafkan, di sini siauwte tak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk
disuguhkan."
Hek-i Hui-mo
tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan orang lain? Bagi
pinceng tidak membutuhkan makan minum, tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan
makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!"
Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan
sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar.
To Fu
menerima pemberian ini sambil menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar?
Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai
tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya bila dibandingkan
dengan penderitaan rakyat kecil? Jika mengingat penderitaan mereka itu, perutku
terasa kenyang sendiri dan bajuku telah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya
hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia dari pada hidupku sebagai seorang
sastrawan!"
"Keliru,
keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyang
dua tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran diri sendiri.
Kebahagiaan berada di dalam hati kita sendiri, demikian pula keadaan.
Kebahagiaan dapat diusahakan secara mudah, mengapa kau masih saja duduk
merenung menyusahkan keadaan orang lain? Jika kau suka menerima jabatan, apa
lagi yang menyusahkanmu? Kau mempunyai kepandaian tinggi."
"Cukup!"
tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi
membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin?
Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia sudah bersikap kasar
terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus,
"Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebenarnya
Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.
"Nama
pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i
Hui-mo. Memang sebenarnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan
kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo.
Mendengar
keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ahhh,
Losuhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan
apakah?"
"Tu-siucai,
pinceng tak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud ingin
memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan
mengharap Tu-siucai takkan menolak."
Biar pun
terkenal kejam dan ganas, namun Hek-i Hui-mo juga seorang cerdik dan banyak
pengalaman. Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang meski kepandaiannya
tinggi tapi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu
bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui
Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.
Andai kata
ia menggunakan kekerasan kemudian memaksa sastrawan ini membantunya
menterjemahkan kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau
sampai terjadi demikian, maka agaknya walau pun dia akan memukul sampai mati,
sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i
Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi.
Berbeda
dengan Gui Tin yang lebih tua dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang
kang-ouw, Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia
tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati
mulia dan suka menolong, apa lagi menolong seorang hwesio yang lajimnya
menuntut kehidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.
"Tu-siucai
tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan terlebih dahulu, baru nanti kita bicara
kembali," kata Hek-i Hui-mo.
Tu Fu tidak
berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan
minum arak itu sampai setengah guci.
Setelah Tu
Fu selesai makan, barulah Hek-i Hui-mo mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng dari saku bajunya. Sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia
berkata,
"Pertama-tama
pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Tu-siucai mengenai kitab ini. Pinceng
mendapat kitab kuno ini, akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang
kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali, maka
harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?"
Tu Fu
menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue.
Sastrawan
mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima
kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran
pertamanya.
"Hmm,
sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan
oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan
ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"
Hek-i Hui-mo
tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman
Shia!"
Tu Fu
menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam
bahasa Couw Timur, Losuhu, siauwte tahu betul akan hal ini."
"Kalau
begitu, apakah kitab ini palsu?"
"Bagaimana
orang dapat menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat
mengenal kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa
mengenal barang palsu apa bila sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak
dapat mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun kitab ini benar-benar
amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa
yang ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."
Kembali
Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal
dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai.
Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."
Tu Fu tidak
menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan
membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.
"Aneh
sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang
luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab
ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang
hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi
kitab ini? Apakah gunanya untuk Losuhu?"
Hek-i Hui-mo
merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan
terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali.
Hemm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini,
kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika
menjawab.
"Tu-siucai,
harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab
ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya,
sungguh pun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka
mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan
negara? Jika pinceng bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga
belum tentu hebat, bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu
kepada para orang gagah sehingga bisa dipergunakan untuk membela negara?"
Pada saat Tu
Fu hendak menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar
kelenteng, disusul dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul
menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"
Hek-i Hui-mo
terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng
menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu
kaget bukan main pada waktu melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan
menghilang dari depannya.
"Aduh...,
setankah dia?" katanya perlahan.
Kemudian dia
mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan
main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di
halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!
Memang Hek-i
Hui-mo tak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah
Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan
Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan cepat menyerang dengan amat
hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu
menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor
Sembilan).
Pertempuran
kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain
yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran
antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis
serta elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain
mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.
"Kiu-bwe
Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat
Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala
wanita itu.
"Pendeta
busuk, kau pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.
Sedikit
miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan
di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan,
merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan
jalan darah di tubuh lawannya!
Hek-i Hui-mo
terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan
telah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali
turun tangan tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera
menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga
untuk melindungi tubuhnya.
“Tar! Tar!
Tar! Tar!” beberapa kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li,
sungguh membikin hati menjadi ngeri.
Makin lama
pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga
macam senjata berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah
dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung
sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor
ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut
nyawa yang lihai sekali.
Namun ilmu
silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat
yang pernah menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan
tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama dia melakukan perantauannya
di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa
ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa
puluh lawan binasa di tangannya!
Tasbihnya
berputar menjadi segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun
tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu
bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!
Sukarlah
untuk dikatakan siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini.
Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa
selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan
amat berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah pertandingan mati hidup
yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak
bernyawa lagi di depan kaki lawannya.
Pecut
Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan.
Oleh karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan
dengan kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali,
bagai sembilan buah suling ditiup berbareng.
Hek-i Hui-mo
menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut
Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri
miring. Tenaga wanita sakti ini hebat luar biasa, karena meja itu melayang ke
atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng
berdiri.
Melihat hal
itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking
kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan
kirinya yang kecil.
"Brakkk!"
meja itu pecah berkeping-keping!
Sekarang
tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang
Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu
tak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur.
Akan tetapi
Hek-i Hui-mo tak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi
dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe
Coa-li segera mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di
bagian depan.
"Kraaaakk...
bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
"Aduh,
tahan...! Tahan…! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak
malu? Orang-orang tua bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula.
Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru
berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Kalau saja
mereka tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong
menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang
tokoh lihai ini mau mendengarkan ucapan seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu?
Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau
sedang marah.
"Tu-siucai,
kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.
Tiba-tiba
saja Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini,
pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!
"Harap
Suthai suka bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi
bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang
lebih baik dari pada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"
Hek-i Hui-mo
menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
Tu Fu masih
membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata,
"Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan
mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte
menterjemahkan isi buku ini?"
Kiu-bwe
Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang
lebih panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena
di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih
dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i
Hui-mo, kita lanjutkan pertempuran kita!"
"Baik,
Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!"
Dua orang
jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi
Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po
atau pun sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat
mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu
saling gempur mati-matian seperti tadi.
"Tahan!"
katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak
akan mau menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku
takkan mau menterjemahkannya."
Mendengar
ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat
maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan
orang-orang kang-ouw, bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu
memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.
Kiu-bwe
Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut
sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa
sekali pun, tetap dia tidak akan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa
artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas
pembungkus belaka!
"Habis,
kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?"
tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan.
Tu Fu
mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia
melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.
"Anak
baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu
sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian
sastrawan ini berkata kepada kedua orang tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap
Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah lagi.
Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya
dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara
membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan
mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus
dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian
kembali. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak,
meski Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya.
Bagaimana?"
Kedua orang
tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat
menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka
tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga
mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur
mati-matian dulu.
Andai kata
menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai
terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula,
tentu akan makin berabe saja!
"Aku
setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan
dilakukan dua kali!"
Kiu-bwe
Coa-li memang amat cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan
kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat
bunyi isi kitab itu.
Hek-i Hui-mo
tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih
untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata,
"Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang
diri!"
"Kau
boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.
Tu Fu
mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat
memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan
kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.
"Tu-sianseng,
hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil
memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.
"Ehh,
Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam
kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini
bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk
belajar silat.
"Dia
adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan
pula dan dia datang ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."
"Hemm,
jadi dia boleh dibilang muridmu?"
Tu Fu
mengangguk membenarkan.
"Bagus!
Pinceng hendak mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu
pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan
pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"
Tu Fu
ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini
minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan.
Maukah kau?"
Siang Pok
adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan
dibacanya kitab kuno, tentu saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya
lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.
"Hakseng
bersedia, Sianseng!"
Demikianlah,
mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ
sunyi dan ketika Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang
dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe
Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kitab itu
tidak terlalu tebal sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti
juga kitab-kitab kuno lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja.
Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang
ilmu silat dan tentang ilmu perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini
tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat
lancar.
Kiu-bwe
Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan
sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini
hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja.
Sebaliknya, karena tidak diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang
bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu
silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia
mempunyai cita-cita pemberontakan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini.
Hampir satu
hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak
merasa puas. Karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali
apa yang telah mereka dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo
melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar
kitab itu di depan mereka!
Setelah
melihat kitab itu habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan
cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!
"He,
Losuhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara
ketawa dari jauh sana menjawabnya.
Ada pun
Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu
lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.
Tu Fu
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar
aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang
kasar itu? Aneh... aneh...!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian
tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..
***************
Ketika sudah
berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui
Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai
tadi.”
Sui Ceng
kemudian mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan
tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya
gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.
Semua ada
tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri
tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena
gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan
betapa sukarnya.
Setelah dia
mendengarkan apa yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan
ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat
belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang
Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli
dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi
gerakan-gerakan ini.
Segera ia
lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya
sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa
tidur, setiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia
ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah
ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi
girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.
“Sui Ceng,
ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau
bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh
dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu
silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan
mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka,
hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”
Maka
berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara
empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai
atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru!
Perjalanan ini dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li
terus melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan
latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya.
Pada suatu
hari mereka pun tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda
dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih
makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih
dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang
dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini
dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu
buntalan itu digendong di atas punggungnya.
Di kota
Cin-leng, begitu telah memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe
Coa-li terus saja berdiam dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan
bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat
bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu
dan pergi berjalan-jalan.
Ketika tiba
di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang
sedang makan di ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti
orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah
serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang
kelihatan muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga bahwa
tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
Oleh
gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu
angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng
lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari
para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.
Tentu saja
ada beberapa orang yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi
seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran
seorang diri. Akan tetapi selanjutnya tidak ada lagi yang menaruh perhatian,
karena dia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment