Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 06
SUARA tangis
itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua
pinggiran daun pintu hingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti
juga tadi, Loan Eng tidak langsung menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke
belakang sambil memandang tajam.
Ia tak
melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan
orang. Suara tangis wanita yang tadi kini sudah pindah ke belakang kamar itu.
Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang
agaknya menembus ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.
Baru saja ia
melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia
merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang
gagah ini tanpa menengok kemudian menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun
dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak
dipegang oleh siapa pun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung
di atas.
Ketika Loan
Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata
rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul
apa bila ada orang memasuki kamar dan alat penggeraknya kena terinjak. Tetapi
ia tidak takut dan melangkah terus!
Baru dua
tindak dia melangkah, agaknya ia kena menginjak alat-alat penggerak lagi yang
dipasang di bawah permadani, karena mendadak terdengar suara keras dan tiga
macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar
dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang
tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk
ke arah perutnya, ada pun senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang dengan
kecepatan kilat menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki,
perut dan kepalanya!
Namun,
Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga.
“Perampok
busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?” bentaknya.
Cepat dia
merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung dan golok
yang menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa
sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda
ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua
kakinya! Ada pun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus
dengan pedangnya.
“Gerombolan
perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kalian semua!” Loan Eng berseru dan
hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang
lebarnya memenuhi kamar itu. Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat
keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala
itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala
yang terbuat dari kawat-kawat baja yang lemas akan tetapi kuat sekali!
Untuk
beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Dia meronta-ronta ke
sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas di dalam jala seorang
nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan
tubuhnya!
Pendekar
wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Dia tidak
boleh gugup menghadapi bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan
pada kawat jala seperti orang orang menggergaji.
Dengan
pengerahan tenaga lweekang-nya, dia berhasil membuat kawat itu putus! Loan Eng
girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin
putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos
keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi dia tidak mau keluar, bahkan
memegangi bagian jala yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang
mendatangi.
Muncullah
dari pintu depan dengan seorang anggota gerombolan yang tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha,
aku dapat menangkap seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya!
Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, segera aku akan melepaskan kau
dari jala itu. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi
mendadak dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau
menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos
keluar dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh anggota gerombolan ini sudah
putus menjadi dua pada bagian pinggangnya!
Dengan marah
sekali Loan Eng lantas menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan
terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan
giginya digigitkan.
Ternyata di
balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang cukup luas dan di seberang sana dia
melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh
Sin Houw, kepala perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat
dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu
terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.
“Jahanam
keparat!” Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar.
Akan tetapi,
celaka sekali baginya! Tak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepada
wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan,
hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, menjadi kurang hati-hati dan
terus mengejarnya.
Pada waktu
pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu,
tiba-tiba saja permadani yang diinjaknya menyeplos ke bawah! Di situ tidak ada
lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang bentuknya segi empat, besarnya
ada sepuluh kaki dan dalam sekali, hanya luarnya ditutupi dengan permadani
tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!
Bukan main
kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang
menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang
pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali
dan sesudah terkena air, terus saja tenggelam!
Loan Eng
terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan
tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini, sedangkan dia
tidak pandai berenang!
Pada saat
itu air bergolak dan permadani yang tadinya sudah tenggelam, kini tersembul
kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika
melihat ujung ekor ikan yang besar!
Ternyata
bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi
marah karena permadani itu tenggelam. Kini ikan itu mulai mengamuk dan
menyerang permadani tadi. Terdengarlah suara kain robek dan sebentar saja
permadani itu sudah cobak-cabik.
Ketika Loan
Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan
kedua kakinya ke bawah sehingga dia bisa mumbul kembali. Cepat-cepat ia
mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tidak pernah
lepas dari tangannya. Biar pun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun
pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya.
Kini nyonya
muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam
air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada
pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya
yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu!
Beberapa
kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu
di depan mulutnya memiliki sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah
Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!
“Celaka,”
pikirnya dengan hati berdebar.
Apa bila dia
berada di darat, biar pun ada sepuluh ekor binatang macam ini, dia takkan
merasa jeri. Akan tetapi, karena dia tidak berdaya dan di dalam air
kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini dia hadapi adalah
bahaya maut yang sukar dielakkan lagi.
“Betapa pun
juga, aku harus dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas.
Cepat-cepat
nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekang-nya dan dengan tangan kiri
berpegang pada gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada
dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang nyonya ini karena biar pun ia merasa
ujung jari-jari tangannya sakit, namun dia berhasil mencengkeram dinding itu
dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat
tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan
tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi!
Bukan main
dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah
sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan
tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa!
Loan Eng
sudah bersiap sedia. Segera ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia
merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyerang. Akan
tetapi dia tidak menyangka bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng
dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan!
Sebetulnya
bagi Loan Eng serangan ini tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang
muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi nyonya ini
masih sempat menggerakkan pedang, diputar di depannya dan ketika ekor itu
menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam.
Akan tetapi,
berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang
memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor ikan.
Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika
ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan tahu-tahu semua
pakaian Loan Eng bagian atas sudah robek!
Pendekar
wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa
oleh ikan itu sehingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup dengan pakaian dalam
yang sempit dan tipis sehingga dia kini dalam keadaan setengah telanjang.
“Bedebah!
Kau harus mampus!” seru Loan Eng dengan marah sekali.
Akan tetapi
berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Andai kata ia
tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan
orang?
Ikan itu
kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa
sakit sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan
Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya.
Dia
mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan berada
dekat dengan dia, cepat sekali pedangnya dia gerakkan ke arah perut, menusuk
kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu
terbelah! Ikan itu lalu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat sehingga tubuh
Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar saja
karena perut ikan itu sudah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah
binantang itu.
Akan tetapi,
air menjadi semakin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan
pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk
menancapkan pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada
gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang
pedang dalam keadaan setengah pingsan. Dia mulai putus asa karena tidak melihat
jalan keluar sama sekali. Tubuhnya terasa kedinginan, karena dalam keadaan
setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam
tulang-tulangnya.
Pada saat
yang sangat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang
dan terdengar suara orang.
"He,
kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!”
Pikiran Loan
Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi, tidak ingat
akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di
dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang
itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga tak kuasa lagi untuk merayap
melalui tambang.
Perlahan-lahan
tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana
dia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali masih sempat melihat
wajah seorang pemuda yang tampan. Ia berusaha mempertahankan rasa muaknya, akan
tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri.
Akan tetapi
tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika kembali membuka mata, dia cepat-cepat
melompat dan pada saat dia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang
tadinya menutupi bagian atas tubuhnya. Dengan terkejut Loan Eng melihat betapa
bagian atas tubuhnya itu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan
cepat-cepat dia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali.
Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil
memandangnya dengan senyum!
“Loan Eng,
baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka masih
mengancam keselamatan kita.”
“Ohhh...”
Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus.
“Kau… Ong Kiat...? Bagaimana kau bisa berada di sini...?”
Orang muda
itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tak ada perubahan pada
wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.
“Tiada waktu
bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakailah pakaian kering ini dan kita
bersiap-siap menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu
melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, lalu membalikkan tubuhnya,
membelakangi Loan Eng.
Makin merah
muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, dia tidak sudi
berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguh pun laki-laki itu telah
berdiri membelakanginya. Akan tetapi dia harus berganti pakaian, karena kalau
nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju
panjang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia
membuka semua pakaiannya dan apa bila pada waktu itu ada perlombaan berganti
pakaian, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti
pakaian!
“Jadi kaukah
orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.
“Tiada
harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku selalu siap sedia
untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekali pun!”
Berdebar
jantung janda muda itu. Dia memeras rambutnya, lalu di gelungnya.
“Punyamukah
jubah panjang ini, Ong Kiat?”
“Ya, aku
melihat kau... kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”
Dengan muka
terasa panas biar pun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah
punggung orang muda itu. “Dan… kau... kau melihat...”
“Apa, Loan
Eng?”
“...tidak
apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!”
Orang muda
itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.
“Ahh, kau
tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.”
“Siapa
bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.”
“Kau keliru!
Setiap orang pasti akan mengatakan bahwa kau tidak ada ubahnya seorang gadis
berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”
“Kau pun
tidak berubah, Ong Kiat, yakni... watakmu, masih baik seperti dulu.”
“Jadi
keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?”
“Hanya
pakaianmu!”
Ong Kiat
tertawa dan biar pun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia
nampak masih muda sekali.
“Memang aku
telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal
di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini.”
Percakapan
mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.
“Akan
kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji
dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari
ruangan itu.
Alangkah
kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua
orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur
itu. Namun Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka
untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan
pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang
dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang
berkepandaian tinggi.
Hebat sekali
sepak terjang dua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar
wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang
mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati para anak buah
gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.
Hanya dalam
waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan
tewas di ujung pedang Loan Eng. Kemudian berdua Ong Kiat ia membasmi semua anak
buah gerombolan. Tak seorang pun dapat melarikan diri.
Ong Kiat
lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan
orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka
semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang
berasal dari kota Hak-keng.
Ong Kiat
segera mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh
gerombolan itu. Ia tak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya
sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan
orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil
menghaturkan terima kasih.
Mereka
membakar gedung sarang gerombolan itu, lalu kedua orang gagah ini mengantar
sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Kiranya tidak perlu diceritakan
betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa
terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang
memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman,
mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar
Hak-keng Taihiap kepadanya.
Kemudian, di
ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan
Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja,
hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.
“Ong Kiat,
di mana orang tuamu?”
Ong Kiat
menarik napas panjang. “Mereka sudah meninggal dunia ketika wabah penyakit
mengamuk di kota ini.”
“Dan kau
hidup sebatang kara?”
Ong Kiat
mengangguk.
“Apakah kau
tidak… tidak beristri?”
Mendengar
pertanyaan ini, seketika merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar,
“Loan Eng, kau kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku tidak akan
melanggar sumpahku!”
Kini Loan
Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan
sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita
kecuali dengan Thio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada
Bun Liok Si!
“Loan Eng,
kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?”
“Ahh, Ong
Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri
yang tidak baik. Aku... aku telah membunuh suamiku sendiri.”
Akan tetapi
Ong Kiat tidak heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah
mendengar tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia
bertanya. “Ahh, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”
Berseri
wajah Loan Eng. “Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia
ini.” Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tak
enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan
kebetulan sekali dapat menolongku keluar dari dalam sumur?”
Ong Kiat
lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya
dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada
suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari
seorang bangsawan dan barang-barang itu harus diantarkan ke kota raja. Pada
waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang
mengantarkan sebuah keluarga yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang
di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh
gerombolan di dalam hutan itu.
Marahlah Ong
Kiat dan seorang diri saja dia kemudian membawa goloknya melakukan
penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia
lalu melakukan pembakaran di bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan
Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan
ini, karena dia pun tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak
bagian-bagian rahasia.
Dia lantas
merobohkan beberapa orang anggota gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang
pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari
pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Dia dapat
merobohkan dua orang anggota gerombolan dan yang dua lagi lari keluar.
Maka waktu
kedatangannya tepat sekali dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya
maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita
satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya.
Melihat
keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini
dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan meminta
sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng
setelah pendekar manita ini siuman kembali.
Mendengar penuturan
Ong Kiat ini, Loan Eng lalu berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu
telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.”
“Ahh, mana
bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, lalu dengan
wajah bersungguh-sungguh ia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi
janda, hanya hidup berdua saja dengan puterimu, kiranya adakah harapan bagiku
untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap dia sebagai anakku
sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya
itu dengan penuh harapan.
Loan Eng
tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu
sebelum dijodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong
Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini
menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam.
Akan tetapi,
setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya
jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus
mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biar pun suaminya telah
meninggal dunia, namun andai kata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama
hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu.
Akan tetapi,
nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang sangat tidak
tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata
bahwa Ong Kiat masih tetap setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain,
bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan betapa gelisah
serta bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini.
Ia maklum
akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa
andai kata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung. Dan juga
puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih
baik adat wataknya dari pada ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan
tetapi... hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, pada
masa itu di Tiongkok, adalah merupakan suatu hal yang langka dan tidak mungkin
bagi seorang janda, apa lagi sudah mempunyai anak, untuk bisa menikah lagi.
Melihat
sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka
sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya dengan nada mendesak.
“Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?”
Loan Eng
mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang
bening itu menjadi basah.
“Ong Kiat,
bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin
mengecewakanmu, kau begitu baik... Sedangkan aku...”
“Hushh Loan
Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi.
Marilah kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah
banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.”
Mendengar
ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan sekarang ia
memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.
“Loan Eng,
aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan
tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?”
Loan Eng
mengangguk, “Bukan cuma itu saja, Ong Kiat. Aku sudah membunuh suamiku sendiri
karena dia menyeleweng, karena cemburu. Apa bila sekarang aku menikah lagi
dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh
suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?”
Ong Kiat
mengerutkan keningnya. Beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini.
“Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar
selalu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain
dengan kita? Pula, hendak kulihat siapa orang-orangnya yang berani mencacimu?
Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tak
terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena sudah bertahun-tahun aku menanti,
bahkan aku telah mengambil keputusan tak akan menikah dengan orang lain. Masa
aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah
selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.”
Demikianlah,
Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk
mengambil keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong
Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana sudah dituturkan pada bagian
depan.
Kemudian
terjadilah peristiwa penculikan Sui Ceng oleh para anak buah suaminya, yakni
anggota-anggota Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, hati Loan Eng merasa ngeri.
Dia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan sangat dikasihinya
itu benar-benar akan menjadi ketua dari Sin-to-pang! Karena itu ia kemudian
membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.
Ke manakah
perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Ke mana lagi kalau tidak ke
Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang
menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia
datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus
mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa
kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan
berbahagia.
Ong Kiat
menerima mereka dengan gembira bukan main. Pernikahan lalu dilangsungkan secara
amat sederhana. Ong Kiat cuma mengundang teman-teman dan kenalan-kenalan yang
dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh
para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat
sekali.
Selagi para
tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah
kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar
wanita) yang tua akan tetapi berwajah kereng sekali. Pendeta wanita ini
memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe
Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan!
Pada saat
itu Loan Eng tengah memeluk puterinya sambil menangis terisak-isak. Selama
dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng marah-marah dan menangis saja. Anak ini
tidak mau keluar dari kamar.
“Ibu, kau
terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak
kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut.
“Ssttt,
anakku. Bukankah paman Ong sangat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik
sekali.”
“Ahh, aku
tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap
ayahku!”
Mendengar
ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak tahu harus
berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian
luar.
Suaminya
masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng
cepat-cepat melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana.
Kemudian dia segera bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih
berbaring menangis di atas tempat tidur.
Ketika Loan
Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi
oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah.
“Suthai, kau
terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan
mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau
datang-datang hendak mengacau?”
Mendengar
ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat,
jangan kurang ajar...!”
Semua orang
menjadi terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng
lalu berlari dan sesudah tiba di hadapan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan
diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Teecu
mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian...,”
katanya dengan suara amat menghormat.
Kiu-bwe
Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya.
“Hemm, Loang
Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni datang
bukan hendak mengganggu, hanya untuk meminta anakmu, karena bukankah dia hanya
mengganggu kebahagianmu saja?”
Pada saat
itu Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat
tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut di depan tokouw aneh
ini?
Sementara
itu ketika melihat Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li lalu menggerakkan cambuknya. Dua
helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Sui Ceng.
Dengan sekali betot saja, tubuh anak itu sudah melayang ke arahnya dan diterima
terus dipondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang.
“Hebat,
hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng.
Kiu-bwe
Coa-li tertawa. “Mau kau turut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu
ibumu yang sedang bersenang-senang!”
Sui Ceng
memandang kepada ibunya yang masih berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang
berdiri di dekat situ, lalu dia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan
menganggukkan kepalanya.
“Aku ingin
belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!”
“Bagus, hayo
kau ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.
“Sui
Ceng...!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.
Tokouw itu
menengok dan berkata dengan suara kereng, “Loan Eng, apa kau tidak rela
memberikan anakmu sebagai muridku?”
“Bukan tidak
rela, hanya teecu berat berpisah dari dia...,” jawab ibu ini.
Kiu-bwe
Coa-li tertawa mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang
akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”
“Suthai, kau
terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu
muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.
“Ong Kiat,
jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat.
Begitu
Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang
bagaikan tertiup angin puyuh.
“Hemm, kalau
tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak
bernyawa pula!” berkata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya,
lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng.
Loan Eng
menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih saja terheran-heran
bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tak dapat melihat
tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu.
“Sudahlah,
Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan
orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku
sendiri di Thian-san tidak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi.
Siapakah dia itu?”
Sesudah
menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak
tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!”
“Ayaaa...!
Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam
padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat.
“Dia telah
beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam
pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggal oleh anakku?”
Loan Eng mengeluh sedih.
Ong Kiat
menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat laun dapat
juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.
Demikianlah
keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul
memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang kini
telah menjadi muridnya. Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan
Lu Kwan Cu lebih lanjut.
***************
Ang-bin
Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak
berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Dia melatih bhesi dan
gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum
memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki
dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan.
Selain itu,
dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biar pun pelajaran
ini menjemukan dan tidak menarik hati, akan tetapi Kwan Cu mempelajari dan
melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang
dahulu dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu,
maka boleh dibilang bahwa dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi.
Akan tetapi,
dalam hal latihan ginkang dan ilmu berlari cepat, Kwan Cu sungguh-sungguh
mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri
merupakan latihan yang terus menerus baginya. Tanpa memberi tahu kepada
muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai semakin cepat menggerakkan kedua kakinya
sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali.
Kadang kala,
pada waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu
ketika melompati jurang-jurang. Karena itu, makin lama semakin hebat dan
semakin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya.
Pada suatu
hari mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai langsung tidur
mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di
dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhu-nya doyan sekali
makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk
ditangkapnya.
Setelah
mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang sedang
menggerak-gerakkan dua telinganya dengan lagak lucu sekali. Kelinci itu pun
mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam
semak-semak. Kwan Cu mengejarnya sambil mengambil beberapa potong batu kecil.
Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi.
Binatang ini
menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu
lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke
arah binatang itu.
Kwan Cu
merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia sudah
mempelajari Pek-po Coan-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan
tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba
dari lain jurusan menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan
membentur batu yang disambitkan Kwan Cu.
Kwan Cu
terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat
orang. Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.
“Binatang
yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur.
Mendadak
melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar.
Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid
kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum
ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali. Kwan Cu tidak menjadi
marah kehilangan kelincinya.
“Maksudku
bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum
juga.
Kun Beng
membelalakkan kedua matanya. “Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti
membunuh juga?”
Dengan wajah
sungguh-sungguh, Kwan Cu menggelengkan kepalanya. “Bedanya sangat jauh!
Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk
memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Tapi membunuh
untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!”
Kun Beng
tertegun. “Ahh, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak
mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan
bicara anak-anak dan aku tak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih
menggembirakan.”
“Main
gundu?” kini Kwan Cu yang terheran-heran.
Anak aneh,
datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak
bisa main gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada
tujuh butir, terbuat dari pada batu-batu hitam yang keras.
“Sebetulnya
harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa
kelinci,” kata Kun Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak mengapa, pakai tujuh
butir pun sudah cukup.”
“Bagaimana
cara memainkannya?” tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.
“Kau
lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran,
kemudian dengan sebutir ini aku akan membidik sehingga berganti-ganti dapat
mengenai enam butir kelerang itu.” Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan
sebutir kelereng dari jarak lima kaki.
Kelereng itu
meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai kelereng
pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam
butir kelereng itu itu terkena benturan semua!
“Bagus!”
kata Kwan Cu memuji, “Kau pandai sekali!”
“Nah, yang
berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh
main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.”
Demikianlah,
dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan
tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu selalu kalah.
“Kau
benar-benar pandai. Siapa sih namamu?’
“Namaku The
Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?”
Kwan Cu
mengangguk. “Suhu-mu itu amat lihai dan terkenal. Suhu-ku sering kali memuji
namanya. Dan suheng-mu yang galak itu, siapa namanya?’
“Suheng
bernama Gouw Swi Kiat, meski pun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai
mainkan sepasang kipas.”
“Kau pun
tentu lihai main kipas.”
Kun Beng
menggelengkan kepalanya. “Aku lebih suka memainkan tombak dan pedang, terutama
sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhu-mu?”
Kwan Cu
menggelengkan kepalanya yang gundul. “Tidak belajar apa-apa, hanya belajar
gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau kenapa bisa berada di tempat ini? Mana
suhu-mu dan suheng-mu?”
“Mereka
masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling
senang berada di dalam hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan daun-daun.
Nah, itu dia suheng-ku datang.”
Benar saja,
Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sute-nya.
“Sute, kau
terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai
berputaran di dalam hutan ini. Ehhh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang
mengacaukan urusan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil
memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Suheng,
Kwan Cu kalah main kelereng denganku!” kata Kun Beng.
“Main
kelereng? Ahh, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia
main silat?”
“Kwan Cu
belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia untuk pibu (mengadu
kepandaian silat)?”
“Dia bohong!
Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka
menyembunyikan kepandaiannya, dia tentu memiliki hati curang dan licik. Ehh, Lu
Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang
dengan sikap sombong.
“Berani sih
tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati orang
yang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesuatu terhadapmu. Akan tetapi,
tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tak punya
kepandaian apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya.
Memang,
semenjak suhu-nya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya dari kitab
palsu, sekarang dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali
ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya.
“Mulutmu
lemas sekali bagaikan perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari
alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi
Kiat membentak sambil mengejek.
“Aku tidak
takut!” jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Bagus,
kalau begitu marilah kita mengukur kepandaian!” Dan sebelum Kwan Cu sempat
menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!
Walau pun
belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhu-nya, namun Kwan Cu sudah
mempelajari cara pergerakan kaki serta kedudukan tubuh, maka dia memiliki
kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi
pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga
pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang
bertubi-tubi!
Swi Kiat
adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja
ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang pria dewasa saja, dalam satu dua
gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal
ilmu silat, dia masih menang jauh. Karena itu, setelah dapat mengelak beberapa
jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi
Kiat.
“Bukkk!”
Tubuh Kwan
Cu berputaran saking kerasnya pukulan Swi Kiat. Untuk sejenak kepalanya terasa
pening dan seolah-olah kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi hanya
sebentar saja, karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan sari
buah coa-ko, ditambah pula latihan lweekang yang tanpa disadarinya sudah
mencapai tingkat tinggi juga.
“Suheng,
jangan pukul dia! Dia betul-betul tidak mempunyai kepandaian silat!” Kwan Cu
mendengar suara Kun Beng mencegah suheng-nya.
Akan tetapi
sambil bertolak pinggang Swi Kiat berkata kepada Kwan Cu, “Hayo lekas kau
mengaku kalah padaku!”
“Kita tidak
berkelahi, bagaimana aku dapat mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil
menggelengkan kepalanya.
“Ehh,
gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?”
“Memang kau
menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!”
“Suheng, dia
benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?”
“Kalau
begitu, sekarang aku akan memaksa dia supaya berkelahi dengan aku!” seru Swi
Kiat yang segera menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat
menangkis serangan suheng-nya itu.
“Ehh, Kun
Beng. Apa kau sudah gila?”
“Tidak
segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau
membalas!” jawab Kun Beng.
Swi Kiat
ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian sute-nya tidak kalah olehnya,
kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada
sute-nya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan sute-nya hanya karena Kwan
Cu, bocah gundul itu.
“Kau
pergilah!” bentaknya kepada Kwan Cu yang memandang semua itu dengan mata yang
bersinar-sinar.
Mendengar
bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk,
Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,
“Kwan Cu,
lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?”
Kwan Cu
mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhu-nya. Di tengah jalan,
dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci
itu kepada suhu-nya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini
gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.
“Suhu, teecu
mendapatkan seekor kelinci!” kata anak itu girang.
Akan tetapi
gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.
“Kwan Cu,
kau membikin malu kepadaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan
tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kenapa kau
biarkan kepalamu yang gundul itu dijadikan permainan pukulan murid Pak-lo-sian
Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?”
Kwan Cu
tertegun. Gurunya tadi masih tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhu-nya ini
tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?
“Suhu, teecu
tidak berniat untuk berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada
alasan bagi teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu dapat
membalas? Dia lihai sekali.”
Merah muka
Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu, “Murid goblok! Kalau tiada hujan
tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak
beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat
sekali bagimu untuk balas memukulnya!”
“Akan
tetapi, Suhu...”
“Tidak ada
tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!”
“Dia lihai,
Suhu...”
“Ehh, kau
takut?”
Mata bocah
gundul itu bersinar penasaran, “Takut?! Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis
sekali pun teecu tidak takut!”
“Kalau
begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau
dia menyerang, balas!”
“Teecu belum
pernah suhu ajari ilmu pukulan.”
“Untuk apa
kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa
lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?”
Kwan Cu
mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia
melihat Swi Kiat dan Kun Beng sedang duduk di bawah pohon bersama gurunya,
yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai!
Keder juga
hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang
dia seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh,
seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa apa bila tidak bersalah dia tidak
boleh takut kepada siapa pun juga!
“Ehh, Swi
Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil
menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran.
Juga Kun
Beng merasa heran sekali sehingga tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata. Ada
pun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Ahh,
bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?”
“Teecu
sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe,” Kwan Cu menjawab dengan suara
tenang.
Siangkoan
Hai tertawa bergelak. “Bersemangat juga anak ini. Ehh, Swi Kiat, dia datang
menegurmu hendak apakah?”
“Tadinya
teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,”
kata Swi Kiat sambil bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang karena hendak
minta digebuk kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi
dari sini!”
“Aku datang
hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!”
Swi Kiat
tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa. Akan tetapi murid kedua dari
Siangkoan Hai ini lalu berkata, “Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan
tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?”
“Aku tidak
ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini aku
akan membalasnya,” kata Kwan Cu masih tetap tenang.
“Kalau
begitu aku akan memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan
Cu.
Sikap bocah
gundul ini tidak seperti tadi, sekarang dia pun bersiap-siap dan memasang
kuda-kuda.
Melihat
sikap Kwan Cu ini, Pak-lo-sian tertawa bergelak. “Ehh, bocah gundul, apakah kau
benar-benar murid Ang-bin Sin-kai? Apa bila benar kau murid Ang-bin Sin-kai,
kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?”
Kini Kwan Cu
mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhu-nya tergantung dari sikap dan sepak
terjangnya, maka kini dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu
nama gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka ranting
itu dipungutnya dan dia menjawab, “Apa pun juga yang berada di tangan suhu,
menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada
waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!”
“Bagus! Eh,
Kun Beng kau lawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!”
Kun Beng
tertegun, akan tetapi dia pikir bagi Kwan Cu lebih baik melawan dia dari pada
menghadapi suheng-nya, “Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, jika kau
roboh berarti kau kalah!”
“Sesukamulah!”
kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapa pun sama juga, asal dia
sudah dapat menebus nama baik suhu-nya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul
dan menyerangku, tentu kubalas.”
Kun Beng
menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang sejak kecil
Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak, dan berbeda dengan suheng-nya, dia
mewarisi ilmu tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
“Awas
senjata!” serunya.
Kwan Cu bingung
sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng,
ujung ranting seolah-olah berubah menjadi banyak sekali yang semuanya serentak
menyerang tubuhnya dengan hebat! Dia kemudian menggerakkan rantingnya menangkis
sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekang-nya memang sudah boleh juga, dia
pun berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng.
Akan tetapi,
ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang
jarang bandingannya. Sebab itu, begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur
turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah
bocah gundul itu!
“Ha-ha-ha!
Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa
gembira.
Sebaliknya,
Siangkoan Hai lantas melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang
murid yang begini tolol? Dia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik,
akan tetapi agaknya otaknya tidak genap!
Watak Kwan
Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia
segera bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi.
“Ehh, Kwan
Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,” kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini
memang memiliki perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu
lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat.
“Menyerah
kalah tak mungkin. Tapi kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan
Cu membandel.
Kun Beng
tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. “Suhu, dia
tidak bisa ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?”
Tiba-tiba
Swi Kiat melompat maju. “Anak ini memang bandel sekali dan dia tidak akan tahu
kelihaian ilmu Suhu kalau belum diberi hajaran. Ehh, Kwan Cu, apakah kau berani
menghadapiku?”
“Mengapa
tidak berani?” jawab Kwan Cu tenang.
“Kau boleh
menggunakan rantingmu, biarlah aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi
Kiat.
“Aku bukan
pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga
membuang rantingnya.
Diam-diam
Siangkoan Hai memuji. “Hemm, anak gundul ini benar-benar mempunyai sifat gagah,
sayang sekali otaknya agak miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali
ini Ang-bin Sin-kai menggelikan sekali.”
Swi Kiat
sudah maju menyerang. Kwan Cu segera mengelak dan menangkis. Dalam hal
mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan
atau tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu. Namun Kwan Cu hanya
membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang.
Ketika dia
menendang, Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh
Kwan Cu terlempar ke belakang lantas dengan suara keras tubuhnya menyusur
tanah! Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya
kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua
kalinya jatuh tersungkur.
“Kau masih
belum mengaku kalah?” bentak Swi Kiat.
Kekerasan
hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk
merayap bangun lagi, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling.
Sampai lima kali dia mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi,
bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun
pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh
dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali.
“Cukup,
Suheng!” kata Kun Beng.
“Diam kau,
Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang
mengejar Kwan Cu lagi.
Sementara
itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga
sekali dan diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang
anak-anak, biar pun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang
sudah memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat. Bagaimana
bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat dari pada baja dan tidak pernah
merasa sakit?
Bila saja
dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu segera dia akan mencegah Swi Kiat
melanjutkan serangannya. Akan tetapi karena ia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak
terluka di dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja.
Tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata, “Bagus sekali! Memang
orang yang kalah dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau
harus mengakui kekalahan dan kelemahanmu!”
Muncullah
Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke
belakang dan tidak melanjutkan serangannya lagi. Ada pun Kwan Cu setelah mendengar
kata-kata suhu-nya ini, merahlah mukanya.
Ingin dia
menangis keras, akan tetapi semangat serta kekerasan hatinya melarang air
matanya mengucur keluar. Ia amat taat kepada suhu-nya, maka sambil menghadapi
Swi Kiat yang berdiri dengan dada terangkat, dia berkata, “Swi Kiat, aku
mengaku kalah.”
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras. “Kwan Cu, dengan pengakuan
ini, kau berarti menang! Orang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut
gagah. Hanya orang yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya
sendirilah yang patut disebut gagah! Orang menangkan orang lain tak akan kekal,
akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Tetapi kau telah dapat
mengakui kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali.
Kelak kau akan berlaku berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua
kalinya. Ha-ha-ha!”
“Bagus,
bagus!” Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa
jembel tua ini benar-benar pandai menjadi guru. Ehh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau
perhatikan baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!”
Sambil
tersenyum Ang-bin Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya,
“Ehh, jago tua utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai di sini?”
“Kau kira
aku akan membiarkan Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Meski pun
kitab itu palsu, aku harus mengejarnya dan memberi hajaran padanya!” kata
Siangkoan Hai.
“Hemm, kau
sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?”
“Biar ke
neraka sekali pun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari
depan hidungku begitu saja?”
Kembali
Ang-bin Sin-kai tertawa. “Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas
muridmu juga memiliki sifat tidak baik itu.”
“Bukan
muridku yang sombong, tetapi muridmu yang terlalu bodoh. Ehh, Ang-bin Sin-kai,
kenapa kau memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?”
Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan
antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya
saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di
bibir itu telah rapat kembali.
“Biarlah dia
bodoh, dan biar kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kau lihat
lima tahun lagi. Kukira dua orang muridmu ini tak akan mampu mempermainkannya
seperti tadi.”
“Begitukah?
Berani kau bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai. “Lima tahun lagi
kita adukan mereka, guru yang kalah harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan
kepada murid yang menang! Setujukah?”
Berseri muka
Ang-bin Sin-kai. Dia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian
Siangkoan Hai ini termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong
sekali.
“Jadi bila
muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu,
sebaliknya kalau muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu
pukulan?” tanya Ang-bin Sin-kai Lu Sin kepadanya.
“Benar,
benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?”
“Baik.
Kelak, lima tahun kemudian, aku akan membawa muridku mencarimu!” Siangkoan Hai
lalu memberi tanda kepada murid-muridnya. “Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo tak
akan jauh dari tempat ini!” tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan
Hai dan kedua muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu.
Ang-bin
Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya.
“Suhu,
apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan.
“Bukan
memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu
silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu
tidak membenci ilmu silat, bukankah kau sudah mampu membela diri dan belum
tentu begitu mudah dipermainkan orang.”
“Mulai
sekarang teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.”
“Hemm, tidak
mudah. Kau mempunyai watak tidak mau menyakiti orang lain. Ini sukar sekali.
Apa bila kau belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan
merobohkan orang, bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus
berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut
aku!”
Ang-bin
Sin-kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhu-nya. Sampai
malam tiba, Ang-bin Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan,
sedikit pun tidak pernah bicara.
Diam-diam
Kwan Cu mengerti bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia
pikir-pikir, peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu
saja amat memalukan gurunya!
“Aku harus
belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,” demikian Kwan Cu
berpikir sambil berlari di belakang suhu-nya.
Setelah
memasuki sebuah hutan besar, hari sudah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu
mengaso di bawah pohon.
“Kau lihat
ini baik-baik!” kata kakek jembel itu.
Setelah memasang
kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan
tahu-tahu dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang!
Semenjak
tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat di dalam otaknya
bagaimana tadi suhu-nya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan
cara memukul ke depan dan kanan kiri!
“Nah, kau
latih gerakan pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!”
“Teecu sudah
melihat Suhu.”
“Coba kau
tiru gerakan Sam-hoan-ciang.”
Kwan Cu memasang
kuda-kuda seperti gurunya tadi, kemudian sambil mengerjakan otak mengingat
bagaimana tadi suhu-nya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan
menggeserkan kakinya, kemudian mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang
dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil
lantas menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang!
Ang-bin
Sin-kai mengangguk sesudah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi. “Gerakan
tanganmu sudah baik, hanya saja tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga
dalam pukulan Sam-hoan-ciang harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh
yang lemah dan jalan darah yang penting, ketika tangan kanan memukul, mulut
harus mengeluarkan suara ‘hah!’ dan kalau tangan kiri memukul harus berbunyi
‘heh!’ Ingat, Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan
kanan, jurus kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan
dibarengkan, mendorong ke depan, dengan agak jongkok dan tenaga dari pusar
disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?”
Kwan Cu
mengangguk. “Mengerti, Suhu.”
“Coba lagi!
Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan lakukan tiga macam pukulan itu terhadap
tubuhku! Mulai!”
Demikianlah,
dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dan dengan perut kosong,
Ang-bin Sin-kai mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai
menggerakkan dua kakinya, dan melihat suhu-nya berdiri di depannya, ia lalu
mulai menyerang dengan jurus pertama. Dia menyalurkan seluruh tenaganya di
ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak,
“Hah!”
Dengan
sedikit gerakan saja Ang-bin Sin-kai bisa mengelak dari pukulan muridnya. Kwan
Cu lalu menyusul dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang sudah diisi
dengan tenaga lweekang yang dipindah dari tangan kanan, segera menyambar dengan
pukulan dahsyat ke arah lambung suhu-nya dan mulutnya berbunyi, “Heh!”
Kembali
Ang-bin Sin-kai mengelak lagi, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak
untuk menanti datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lantas
menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu Sam-hoan-ciang. Sekarang anak ini
memukul dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh suhu-nya
bagian bawah.
Kali ini
Ang-bin Sin-kai tidak mengelak, namun mengulur kedua tangan pula menyambut
dorongan muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang,
bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya! Dia menjadi agak nanar, akan tetapi
cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Mohon Suhu
memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya.
“Kakimu yang
salah, jika tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh
tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau
bertemu dengan lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi
kalau kau menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak
kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah
kau kenapa aku selama ini hanya mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan
kuda-kuda? Karena pokok dasar ilmu silat terletak pada keteguhan pemasangan
kuda-kuda, seperti bangunan berdasar pada tiang-tiang yang kuat. Nah,
berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi
contoh sekali lagi.”
Ang-bin
Sin-kai kembali melakukan gerakan Sam-hoan-ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan
mata yang tak pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya,
kembali dua batang pohon besar menjadi tumbang!
Kwan Cu
merasa kagum bukan main. Dan setelah memberi contoh untuk kedua kalinya,
Ang-bin Sin-kai lalu duduk menyandar di pohon dan sebentar saja dia sudah tidur
pulas! Sudah dua malam kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu
mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh.
Akan tetapi,
Kwan Cu lebih aneh lagi. Kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh
dipuji. Sebenarnya dia merasa sangat lapar, akan tetapi pelajaran baru ini
membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Dia terus berlatih ilmu pukulan
Sam-hoan-ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon
sebagai lawan!
Makin lama
tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin
dapat mengatur tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat laun dapatlah dia
mengerahkan tenaga sampai pada titik yang tepat! Bila tadinya pukulannya pada
pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet,
menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong!
Ketika
Ang-bin Sin-kai pada keesokan harinya membuka matanya, kakek ini amat girang
dan kagum melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan
Cu kini tidak kaku lagi!
“Cukup!
Jangan menghabiskan tenagamu!” serunya.
Kwan Cu
berhenti bersilat. Barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri
saja kedua kakinya gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas
tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh
itu berseri-seri ketika suhu-nya memujinya.
“Bagus, Kwan
Cu, kau telah maju banyak sekali.”
“Masih jauh,
Suhu. Tanpa menyentuh pohon Suhu sudah bisa merobohkan pohon-pohon dalam jarak
lima kaki lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak
dapat merobohkan sebatang pohon juga.”
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak. “Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biar pun
luarnya lecet kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang
bertubi-tubi itu? Kau lihat!”
Setelah
berkata demikian, kakek ini lalu mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan
suara keras, pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak
yang remuk menjadi bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu lantas meleletkan
lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat
tangan-tangannya lecet-lecet malam tadi!
“Harus kau ketahui
bahwa ilmu pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) mesti mengandalkan
tenaga lweekang. Jika malam tadi kau memukul dengan tenaga gwakang dan
mengandalkan kekerasan kulit tangan, kulitmu tak akan lecet sedang pohon ini
pun hanya akan rusak luarnya saja. Akan tetapi karena kau menggunakan tenga
lweekang, kulit tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga gwakang menjadi rusak,
sebaliknya pohon ini terluka pada bagian dalamnya! Oleh karena itu, penggunaan
tenaga lweekang tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul
dengan tepat seperti contoh ini. Lihat!”
Ang-bin
Sin-kai lalu melakukan pukulan jurus kedua dari Sam-hoan-ciang dengan tangan
kirinya, diarahkan pada pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia
berdiri dan…
“Krakkk...!”
pohon itu roboh!
Kwan Cu
menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari
Suhu.”
“Bangunlah,”
kata Ang-bin Sin-kai sambil tertawa. “Kau seperti anak kecil yang mendapat
permainan baru. Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-hoan-ciang ini hanya merupakan
pukulan pertama saja, dan kalau sudah mempelajari semua ilmu-ilmu silat dari
aku, maka pukulan Sam-hoan-ciang ini belum ada seperseratusnya! Apa artinya
mempunyai ilmu menyerang jika tidak dapat mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat,
kepandaian harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang
ahli silat yang baik, mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga
diri dan hanya empat puluh bagian ilmu untuk menyerang lawan. Dalam setiap
gerakan menjaga diri tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau kau
menyerang, berarti kau membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan
pertahananmu. Maka berlatihlah yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang
semudah orang kira!”
Demikianlah,
Ang-bin Sin-kai mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua
kata-kata suhu-nya itu masuk ke dalam kepala yang gundul itu.
“Apa kau
tidak merasa lapar?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Mendengar
ini, perut Kwan Cu berkeruyuk, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan
suhu-nya. Merahlah wajah Kwan Cu dan mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu
tak terdengar oleh suhu-nya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai mempunyai pendengaran
yang amat tajam. Jangankan suara perut berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh
ke tanah saja dia akan mendengarnya. Maka tertawalah kakek itu.
“Setelah
latihan yang menggunakan banyak tenaga lweekang, tiada daging yang lebih baik
melebihi daging ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan
banyak ular-ular besar!” Kakek ini lalu berlari ke hutan yang nampak
kehijau-hijauan, dan Kwan Cu cepat menyusul gurunya.
Ang-bin
Sin-kai memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali
sehingga Kwan Cu yang berjalan di belakang gurunya itu merasa betapa dirinya
sangat kecil tak berarti di bawah pohon-pohon raksasa itu. Ketika mereka sudah
tiba di tengah hutan, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke depan dan berkata,
"Nah,
itu dia calon daging untuk perut kita. Kau tangkaplah yang paling gemuk!"
Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu duduk bersandar pada sebatang
pohon.
Kwan Cu
berdiri terpaku untuk beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor
ular yang amat besar. Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan
pahanya dan panjangnya sekitar tujuh atau delapan kaki! Tubuh ular itu berwarna
kekuning-kuningan, lidahnya panjang warna merah, demikian pula matanya, ada pun
mulutnya lebar sekali.
Berdebar
juga hati Kwan Cu saking ngerinya sungguh pun dia tidak merasa takut sama
sekali. Untuk menangkap yang paling kecil saja, agaknya sangat sukar dan
mengerikan, apa lagi suhu-nya minta dia menangkap yang paling gemuk, yang
berarti ular yang paling besar!
Akan tetapi
Kwan Cu tidak merasa jeri. Apa lagi ada gurunya di situ, apakah yang perlu
ditakutkan lagi? Sebagian besar ular-ular itu membelitkan tubuhnya pada cabang-cabang
pohon, dengan kepala bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan
tubuh.
Pada waktu
Kwan Cu mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara
ular-ular itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi amat
gemuk. Agaknya lebih mudah menangkap yang melingkar di bawah ini karena dia
sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan ular mati yang tidak
bernapas sama sekali.
"Suhu,
teecu akan menangkap yang itu!" katanya sambil menunjuk ke arah ular
terbesar yang melingkar di bawah pohon.
"Bagus,
kau tangkaplah, hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tak
berbisa. Makin besar, semakin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau
sampai tergigit, sukar untuk melepaskan diri dari gigi-giginya yang doyong ke
sebelah dalam itu," berkata Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Suara
suhu-nya ini mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak
ini dengan hati-hati lalu mendekati ular besar itu.
Biar pun
tadinya kelihatan seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat
dekat, ular itu mulai hidup. Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang
merah itu ditujukan kepada Kwan Cu. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis.
Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini kelihatan
betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong
ke dalam itu. Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar
masuk cepat sekali.
Kwan Cu
tidak mau membuang waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya
tinggi-tinggi, dia segera melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu
pukulan Sam-hoan-ciang, karena untuk bertindak dengan ilmu silat lain dia masih
belum bisa. Ia melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak maju, hanya
mengubah sedikit. Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal
untuk memukul, dia membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya
untuk menerkam leher ular!
Ular itu
gesit sekali. Melihat tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat
mengelak ke kiri. Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Walau pun dia
baru mempelajari Sam-hoan-ciang, akan tetapi kecerdikannya membuat dia dapat
memecah gerakan-gerakan ini sehingga jurus ke dua yang dia pergunakan tadi
sebenarnya adalah semacam pancingan belaka!
Dia tidak
melanjutkan serangan, bahkan segera menarik kembali serangannya dan kini
disusul cepat dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju berbareng dan
tubuhnya agak berjongkok. Dan gerakan ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher
ular itu dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat tenaganya.
Ular itu
marah bukan main. Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan
lehernya, meronta-ronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi Kwan Cu
mencengkeram semakin keras karena merasa betapa ular itu licin sekali.
Tiba-tiba
ular itu berganti siasat dan seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh
Kwan Cu dengan ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini sudah dililit
sedemikian rupa sehingga dari paha sampai dada tidak kelihatan lagi.
Kwan Cu
terkejut sekali dan sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Akan
tetapi aneh sekali, tenaga ular itu makin lama semakin hebat dan lilitannya
makin lama makin erat. Ketika ular itu menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak
dapat bertahan lebih lama dan tergulinglah Kwan Cu! Betapa pun juga, dia masih
dapat mengatur jatuhnya dan dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih
dibelit-belit ular yang licin, dingin dan kuat. Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan
seluruh tenaga yang disalurkan kepada lengan tangannya.
Akan tetapi,
tiba-tiba Kwan Cu merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali
sehingga dia sukar untuk bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia
membuat perut dan dadanya mengembung dan sanggup menahan himpitan ular, akan
tetapi oleh karena itu, tenaga pada kedua lengannya berkurang.
Sementara
itu, ular tadi menjadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah
mengerahkan tenaga dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk
tulangnya! Mengapa bocah gundul ini dari perut dan dadanya keluar hawa panas
sekali? Apa lagi, cekikan pada lehernya itu pun mendatangkan rasa sakit.
Sambil
mendesis hebat, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan
muka Kwan Cu dan bergerak hendak menggigit kepala gundul itu. Kalau gigitannya
ini berhasil, agaknya kepala Kwan Cu yang gundul itu akan masuk ke dalam
mulutnya!
Kwan Cu
terkejut dan menahan dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa
kepalanya yang gundul itu gatal-gatal. Dia mengerti bahwa ini tentulah akibat
dari pada semburan uap yang keluar dari mulut ular itu. Tadi ketika ular itu
menyemburkan uap putih yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan kepala untuk
melindungi mukanya, maka kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih
dan kini gatal-gatal.
Rasa
gatalnya tidak tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang
mencekik leher ular untuk digunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal
setengah mati itu! Ular tadi setelah kini merasa bahwa yang mencekik lehernya
hanya satu tangan saja, cepat memberontak sehingga cekikan tangan kiri Kwan Cu
terlepas! Ular itu segera menggerakkan lehernya dan dengan kecepatan luar biasa
sekali mulutnya yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu.
Akan tetapi
Kwan Cu tidak berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri
sehingga mulut itu hanya meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan
Cu menggerakkan kedua tangan mencekik lagi dan kembali terjadi pergulatan
mati-matian.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment