Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 08
SUI CENG
tertarik sekali ketika mendengar seorang di antara para piauwsu itu berkata,
“Jalan satu-satunya bagi kita untuk menolong mereka, tidak lain kita harus
minta bantuan dari Bin Kong Siansu ketua Kim-pan-sai. Selain orang tua itu,
agaknya siluman itu takkan dapat di lawan.”
Pada saat
itu terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng
melirik, yang datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah
dan yang pada saat itu nampak marah sekali.
“Hee,
pengecut-pengecut dari Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)!
Keluarlah untuk terima binasa!” teriak seorang di antara para pendatang itu.
“Hemm,
menyebalkan sekali orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil
mencabut goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya.
Sementara
itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah para anggota
Sin-to-pang (Perkumpilan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat
berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian.
“Kalian ini
orang-orang Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana,
namun kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah bukannya
membantu bahkan mencari masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok
di tanganya.
Seorang di
antara anggota-anggota Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok,
menudingkan goloknya sambil memaki, “Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua
kalian si pemikat she Ong itu membujuk Thio-toanio, tidak nanti akan terjadi
Thio-toanio sampai tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan Terbang Pencabut
Nyawa)! Sekarang mau atau tidak mau kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu,
baru kami akan menolong Thio-toanio.”
“Manusia-manusia
sombong dan bodoh!” para piauwsu itu berseru.
Terjadilah
perang tanding antara belasan anggota Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu.
Semua menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang
berada di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi,
pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan
pertandingan dan terdengar seruan nyaring, “Tahan semua senjata!”
Bayangan ini
adalah Sui Ceng yang tadi bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya
dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan
berpengaruh. Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan
tetapi ada tiga orang anggota Sin-to-pang dan dua orang piauwsu yang berangasan
dan masih saja bertanding dengan hebatnya.
“Tahan kataku!”
teriak Sui Ceng. Sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar,
terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari
pegangan dan terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu.
Orang-orang
itu kaget bukan main karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka lumpuh
untuk sesaat tadi hanyalah seorang anak perempuan! Sui Ceng memang telah
menggunakan gerakan jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka,
kemudian mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan
serangan-serangan ini dengan amat mudah!
“Siauw-pangcu
(ketua cilik)!!” para anggota-anggota Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat
Sui Ceng. Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Sui Ceng!
Para piauwsu
yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka
mengenal pula Sui Ceng yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah
dengan Ong Kiat pemimpin mereka.
“Ah, tidak
tahunya Siocia yang datang!” kata mereka sambil memberi hormat.
Menghadapi
semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan.
Ia berdiri tegak, lalu berkata, “Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai
menimbulkan keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan
dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?”
Karena kini
orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka,
para piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggota-anggota Sin-to-pang untuk
memasuki restoran. Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng
duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-to-pang dan para piauwsu dari Hui-to
Piauwkiok.
Maka
berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni
Thio Loan Eng. Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Pada saat itu, Ong
Kiat yang menjadi ketua dari Hui-to Piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman
dari Hak-keng ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang
yang dikirim itu adalah barang berharga, yaitu sumbangan hartawan-hartawan di
Hak-keng untuk para pembesar di kota raja.
Memang pada
masa itu, di Tiongkok lazim terjadi pengiriman barang-barang ‘upeti’ yang amat
mahal dari para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar,
akan tetapi tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan
‘sogokan’.
Perjalanan
dari Hak-keng ke kota raja harus melalui kota Cin-leng, dan sampai di kota ini
rombongan yang terdiri dari dua gerobak kuda berisi barang kiriman dan dikawal
oleh Ong Kiat beserta tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan
sesuatu. Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani mengganggu
rombongan ini pada saat mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas
gerobak.
Yang pertama
bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to Piauwkiok
(Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning
bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang
berharga itu. Rombongan itu kemudian bermalam di kota Cin-leng.
Keesokan
harinya mereka melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali
ini amat sukar, karena dari Cin-leng ke kota raja harus melalui hutan-hutan
belukar yang amat liar dan di sana tidak terdapat jalan besar yang dapat
dilalui gerobak dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan
dengan membabat rumput dan pepohonan.
Baru saja
mereka memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di
sebelah utara, senja telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya
membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan
menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan
orang yang tak dapat dilihat dengan jelas oleh karena cepatnya gerakan orang
ini. Orang itu hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi,
meninggalkan gema ketawa yang menyeramkan.
“Ibliskah
dia...?” tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat.
“Ssttt,
jangan sembarangan bicara,” Ong Kiat mencela. “Apa kalian tak tahu bahwa orang
itu sengaja mempermainkan kita? Lihat!” Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak
pertama dan ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat
sekali.
Ternyata
bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar
kibar tertiup angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah
hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas
dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga.
Ong Kiat
sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena
ilmu silatnya lebih tinggi dari pada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti
ke mana bayangan tadi melayang sehingga dia juga sempat melihat lenyapnya dua
benderanya. Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian
menjura sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan
berkata,
“Siauwte Ong
Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan
sukalah memberi maaf apa bila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak
tahu. Apa bila sahabat berlaku murah, kami Hui-to Piauwkiok bukanlah
orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas
dari padamu.”
Setelah Ong
Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali. Semua orang menahan napas
dan yang terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin
lalu. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan
dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang
meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat!
Piauwsu ini
bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang
aneh, maka cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri. Ketika dua tangannya bergerak
dari samping, dia telah menangkap dua benda kuning dan putih itu.
Alangkah
mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua
buah benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut
sekali karena ketika dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya
tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang
kayu itu.
“Ong Kiat,
manusia lancang!” terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau sudah berani
sekali mengambil Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia telah dipastikan akan
mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya
akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu
lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!”
Wajah Ong
Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya
mendengar kata-kata yang sangat menghina ini. Dia adalah seorang gagah, walau
pun pekerjaannya sebagai piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap
para perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang
terlalu menghina, dia pasti akan melawan!
“Sahabat
manakah yang begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat
bukanlah orang yang lantas menjadi ketakutan oleh gertak kosong belaka!” Sambil
berkata demikian, dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap.
Tujuh orang
kawannya juga sudah mencabut goloknya masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai
seorang ahli golok yang lihai, seorang murid Thian-san-pai yang tak boleh
dibuat permainan. Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok sehingga
rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.
Kembali
terdengar suara ketawa dan kali ini disertai ejekan. “Kalian sudah bosan hidup,
jangan bilang aku berlaku kejam!”
Sehabis
ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang
betul-betul menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda,
celananya biru tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, ada pun
mulutnya tertutup oleh cambang dan jenggot putih.
Kepalanya
botak kelimis, hanya pada kanan kirinya terdapat rambut hitam yang kaku dan
berdiri. Yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya
itu berkuku panjang dan runcing bagaikan kuku harimau! Ketika dia melompat
keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki
harimau saja.
“Kau tidak
mengenal aku? Ha-ha-ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa
seperti auman harimau.
Ong Kiat
memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh
hek-to (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw
(Harimau Terbang Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya
sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri
lagi.
Ong Kiat
segera memberi hormat. “Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya
Locianpwe yang terhormat.”
Toat-beng
Hui-houw sejak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka begitu mendengar
orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah. “Buka telingamu dan
matamu lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu
sudah tahu bahwa siapa pun juga yang tidak mau mentaati perintah Toat-beng
Hui-houw, berarti harus mati!” Sesudah berkata demikian, secepat kilat
tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!
Piauwsu muda
ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena
serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia
menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus
kuku-kuku panjang dari lawannya itu.
“Traaang...!”
Ong Kiat
berseru kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang karena merasa betapa
goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau
dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok
itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok yang dipegangnya adalah golok
pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah
menjadi rusak pada saat bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!
“Ha-ha-ha!
Kau harus mampus! Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus.
Tubuhnya
bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing
dan panjang.
“Tranggg!
Tranggg!”
Terdengar
suara beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu
terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong
menjadi dua! Kemudian disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang
panjang itu mengenai tubuh mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit
perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang
tindih dalam keadaan yang amat mengerikan!
Keadaan
mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor
harimau yang ganas. Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai
pundak salah seorang di antara ketujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk
merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah.
Ong Kiat
menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya.
Serangannya tidak boleh dibuat permainan, oleh karena dia mempergunakan ilmu
golok Thian-san-pai yang lihai.
Toat-beng
Hui-houw maklum akan hal ini. Karena itu dia pun tidak berani sembarangan
menangkis, melainkan mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk mengelak ke
sana kemari. Orang sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi
Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seakan-akan seekor
harimau yang bersayap!
Tidak saja
dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang kala dia
melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan
Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng
Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya.
Betapa pun
pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa
sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau
Toat-beng Hui-houw menghendaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat
akan roboh binasa.
Tetapi kakek
ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok.
Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru
keras sekali dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok
mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas
golok!
Ong Kiat tak
berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan
goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa
dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok
itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan!
Toat-beng
Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena
dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah, lantas Ong Kiat roboh
dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!
“Ha-ha-ha!
Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!”
Dia lalu
mempergunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggota piauwsu
yang terluka pundaknya tadi. “Hei, kau!” Aku sengaja tidak membikin mampus
padamu agar kau dapat memanggil Pek-cilan, datang ke sini! Katakan bahwa
selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di sini, bila tidak, suaminya
akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!”
Piauwsu itu
tidak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu
kembali ke Hak-keng. Dia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti,
sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio
Loan Eng, dia roboh pingsan!
Dapat diduga
betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan
suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, dia lalu cepat melarikan kuda menuju ke
tempat itu, diikuti oleh semua anggota piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang
kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu sampai di
tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras,
“Toat-beng
Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan
tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum
pernah bertemu dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, dia terkejut
sekali menyaksikan keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal
takut, dan karena itu sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia pun
berkata,
“Toat-beng
Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku
begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?”
Kakek yang
menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu dia berkata,
“Pek-cilan, kau terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak
melihat orang! Kau telah membunuh sute-ku Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang
untuk menagih hutang!”
Terkejut
hati Loan Eng mendengar ini. Ahhh, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah
suheng (kakak seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik
dan hendak memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam
satu pertempuran. Tauw-cai-houw saja sudah amat lihai, apa lagi suheng-nya ini!
Akan tetapi
Loan Eng tidak menjadi jeri. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Toat-beng
Hui-houw, kau mau menang sendiri saja. Sute-mu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw
itu adalah orang gila. Aku melihat jelas dia menangkap seorang anak kecil yang
hendak dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja
dan tidak mencegahnya? Kau tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tidak dapat
diampunkan lagi. Sute-mu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini
kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?”
“Tolol!
Sute-ku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasarkan
Ilmu Gaib) dan untuk itu dia membutuhkan daging serta darah seorang anak
sin-tong (anak ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang
aku yang akan mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!”
Setelah berkata demikian, Toat-beng Hui-houw lalu menubruk dengan kuku-kuku
tangannya yang sangat panjang dan runcing.
Loan Eng
maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga
agaknya pun miring otaknya, maka ia lantas berlaku hati-hati sekali. Pedangnya
diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan
mata.
Kalau
dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata
lebih ganas dan berbahaya. Akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat
sekali dan kakek ini mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Pandangan
mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apa
lagi kini dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau sangat
amis. Diam-diam Loan Eng bergidik.
Dia pernah
mendengar akan kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang
panjang itu sewaktu-waktu apa bila menghadapi lawan tangguh, direndam dalam air
obat terisi racun yang sangat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku
yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka.
Akan tetapi
Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tak mau menyerah dan pantang
mundur. Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaiannya,
menggerakkan pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan.
Pertandingan
terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan ketika Toat-beng
Hui-houw menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama
Loan Eng menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu,
akan tetapi maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu
saja mereka telah menjadi pening dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan
karena gerakan dua orang yang bertempur luar biasa cepatnya.
Baru kali
ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw
benar-benar jauh lebih tangguh dari pada Tauw-cai-houw dan setelah melawan
sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh
buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram pedangnya dan tanpa dapat
ditahan lagi, pedangnya terlepas dari tangannya. Kemudian Toat-beng Hui-houw
menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu
tendang Soan-hong-twi.
Namun,
alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat
memukul, pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh
pingsan.
Melihat hal
ini, sepuluh orang piauwsu yang berada di sana menjadi terkejut dan marah
sekali. Dengan golok di tangan mereka menyerbu Toat-beng Hui-houw. Kakek yang
amat mengerikan ini hanya tertawa bergelak. Begitu tubuhnya bergerak didahului
oleh kedua tangannya yang berkuku panjang, tiga orang piauwsu roboh tak
bernyawa pula!
Melihat
kehebatan ini, tujuh orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka
dan melarikan diri dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam
restoran untuk mencari jalan guna menolong Ong Kiat beserta Loan Eng dan
kemudian datang rombongan anggota Sin-to-pang sehingga terjadi pertempuran
sebagaimana yang sudah dituturkan di bagian depan.
Ada pun
orang-orang Sin-to-pang kemudian menuturkan bahwa mereka mendengar pula
mengenai bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak
mendengar bahwa Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, semua anggota Sin-to-pang ini
sudah merasa sakit hati dan tidak senang kepada Hui-to Piauwkiok. Dan kini,
mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah
kesalahan Ong Kiat. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa justru Toat-beng
Hui-houw turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng
dan karena Loan Eng telah membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng
Hui-houw!
Demikianlah,
dua rombongan dari Sin-to-pang dan Hui-to Piauwkiok saling menuturkan apa yang
mereka ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang
mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya.
“Hanya ada
dua jalan,” kata para piauwsu itu menutup penuturan mereka. “Pertama, kita
minta bantuan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita harus minta
bantuan Thian-san-pai untuk menghadapi Toat-beng Hui-houw yang lihai.”
Sementara
itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tidak dapat berkata-kata saking marahnya
mendengar penuturan tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru
keras dan mencela kata-kata mereka itu.
“Banyak
cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan kepadaku di mana Ibu
ditawan. Menghadapi siluman tua itu saja, kenapa mesti ribut-ribut minta
bantuan orang lain?”
“Siauw-pangcu
berkata benar! Sin-to-pang tak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo,
kawan-kawan dari Hui-to Piauwkiok, marilah kita mengantar Pangcu ke tempat itu
dan kita keroyok siluman itu!” kata orang-orang Sin-to-pang.
Akan tetapi,
para piauwsu yang sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian
Toat-beng Hui-houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggota
Sin-to-pang. Ong Kiat dan Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu
yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi siluman tua itu, apa lagi anak
kecil ini?
Melihat
keraguan orang-orang Hui-to Piauwkiok, Sui Ceng membentak,
“Apakah
kalian takut? Hemm, kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan
kepadanya bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!”
Naik darah
para piauwsu itu mendengar ejekan anak kecil ini.
“Siapa
bilang kami takut? Hayo kita berangkat sekarang juga!” kata mereka.
Diam-diam
Sui Ceng tersenyum karena dia telah berhasil membangunkan lagi semangat mereka.
Orang-orang ini masih belum percaya kepadanya dan perlu dia memperlihatkan
kepandaian agar mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.
“Kalian
boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat.”
Kembali
diam-diam para piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng.
“Hemm, anak
ini sungguh sombong sekali dan keras seperti ibunya,” pikir mereka. Akan
tetapi, karena rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah
mengaburkan kuda mereka, para piauwsu itu juga segera naik ke atas kuda dan
menjalankan kuda mereka cepat sekali.
Pada saat
mereka telah keluar dari kota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika
melihat seorang anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika
mereka memandang dengan penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah
Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari ketua mereka,
orang-orang Sin-to-pang bersorak,
“Hidup
Siauw-pangcu!”
Ada pun
orang-orang Hui-to Piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh
harapan mudah-mudahan ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan
siluman tua itu oleh anak perempuan yang ajaib ini. Ada pun Sui Ceng yang di
depan, segera memberi tanda kepada orang-orang dari Hui-to Piauwkiok untuk
menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang
Toat-beng Hui-houw.
Diam-diam
Sui Ceng merasa agak khawatir juga. Bukan khawatir atau takut menghadapi
Toat-beng Hui-houw, sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi
ibunya! Yang ia khawatirkan adalah gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan
kepada Kiu-bwe Coa-li, dan takut kalau-kalau gurunya kelak akan menegur dan
memarahinya.
Ketika tiba
di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng
Hui-houw, mereka semua kemudian berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih
nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan mayat para piauwsu yang tidak keburu
diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.
Kemudian Sui
Ceng berseru menantang, “Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Marilah kita
bertempur seribu jurus!”
Akan tetapi,
biar pun berkali-kali ia berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu bersama
anggota Sin-to-pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua
itu. Hanya gema suara mereka saja terdengar dari kanan dan kiri sehingga
membuat burung-burung hutan beterbangan serta binatang-binatang kecil berlarian
menyembunyikan diri di dalam semak-semak.
Ke mana
perginya Toat-beng Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak
jauh dari tempat Sui Ceng bersama kawan-kawannya berseru menantang, terdapat
sebuah goa besar sekali di bukit batu karang. Goa inilah tempat sembunyi atau
sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam goa ini pula dia membawa Loan Eng dan
Ong Kiat.
Pada saat
itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan
tetapi dia tengah asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan
merupakan perbuatan manusia lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri goa itu, Loan
Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat
menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan
tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu.
Biar pun ia
tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu
bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa
kali dia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat
penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut goa. Akan tetapi dia tidak
melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.
Mendadak
terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam
ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari
pengaruh totokan, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan
seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak
tertahankan.
“Ha-ha-ha!
He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh sute-ku dan sekarang kau sudah terjatuh
ke dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik
dan bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin
aku muda kembali!”
Sambil
tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu di
mana Loan Eng terlentang tak berdaya. Lebih dahulu kakek ini meraba kaki tangan
Loan Eng, untuk melihat bahwa korbannya benar-benar masih berada dalam keadaan
lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.
Kemudian,
dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali.
Akan tetapi apa dayanya? Dia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang
akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu
untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.
Akan tetapi,
perbuatan yang kemudian dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar
dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan
perbuatan keji seperti itu. Ketika dia sudah mendekatkan mukanya dengan muka
Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan
pada leher Loan Eng yang berkulit halus.
Tiba-tiba
Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia
merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini
hanya ingin mencium lehernya saja. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak
mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel
pada lehernya.
Pelan-pelan
Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya
yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu mulai menghisap
darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng
menghadapi perbuatan kakek siluman ini sehingga kepalanya menjadi makin pening,
tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!
Toat-beng
Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Dia hendak menghisap darah pembunuh
sute-nya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk
suatu maksud, yakni dia hendak ‘mengoper’ darah wanita muda yang cantik jelita
itu agar supaya dia akan menjadi awet muda! Pikiran dari seorang yang telah
lenyap peri kemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!
Sesudah
kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa girang dan
melompat-lompat keluar. Ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan
karena isapan darah yang dilakukan seperti seorang iblis keji itu, melainkan
disebabkan perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang
membuat dia merasa seolah-olah menjadi muda kembali! Ia pun keluar dari goa dan
kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.
“Ha-ha-ha,
segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”
Suara ini
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya hingga terdengar sampai
jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, Toat-beng
Hui-houw juga pandai Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka
tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan
kawan-kawannya.
Mendengar
suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu,
diikuti oleh kawan-kawannya yang segera tertinggal jauh. Dengan berkuda saja
piauwsu dan anggota Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat
Sui Ceng, apa lagi sekarang mereka berlari biasa!
Pada saat
tiba di depan goa, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang
menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!
“Aku menjadi
muda kembali, muda kembali...! Ha-ha-ha…! Toat-beng Hui-houw menjadi muda
kembali!”
Untuk
sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di hadapannya itu seperti bukan manusia
lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Akan tetapi, Sui Ceng yang baru
berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Dia bahkan
melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.
“Ehh, kakek
tua miring otak!”
Toat-beng
Hui-houw segera menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada
seorang anak perempuan kecil berani memakinya?
“Kaukah
Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas kau
lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”
Toat-beng
Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Lagi mimpikah
dia? Ataukah benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri
dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan macam itu kepadanya? Kemudian
ia tertawa bergelak.
“Jadi kau
memang puteri Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula!
Agaknya darahmu lebih segar dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha! Mari, mari! Kau
hendak bertemu dengan ibumu bukan?” Sambil berkata demikian, dia cepat menubruk
hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung
yang indah.
Akan tetapi,
betapa heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan
tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga,
bahkan menendang mukanya! Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia
miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan
pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya sudah
kena ditendang oleh sebuah kaki lain yang sama mungilnya!
“Bukkk!”
Kaki Sui
Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh,
melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagai
seekor burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara
dan turun dengan ringan sekali.
Apa bila
tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia
kurang lihai, akan tetapi karena kakek ini memandang rendah dan tidak mengira
sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu!
Pada saat
ditubruk tadi, secepat kilat Sui Ceng melakukan gerakan melompat Can-liong
Seng-thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian disusul oleh tendangan
Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga dia berhasil
menendang perut lawannya.
Akan tetapi,
yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main
kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya
betul-betul hebat sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga amat kagum
menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, namun kalau saja dia tahu bahwa anak
ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti
oleh kekagetan hebat.
“Anak manis,
aku harus mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.
Akan tetapi,
berkat kegesitan dan ginkang-nya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan
diri. Pada waktu itu rombongan piauwsu dan para anak buah Sin-to-pang sudah
datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum.
Anggota-anggota
Sin-to-pang merasa bangga melihat ‘siauw-pangcu’ mereka itu berani menghadapi
Toat-beng Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu bagai seekor
harimau buas yang menubruk ke sana sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan
seekor burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tanpa
terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.
Kalau
Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya.
Biar pun untuk menjamah tubuh anak ini sulit sekali karena memang kegesitan Sui
Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun
bila dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik
ini.
Akan tetapi
pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Tadi ia menghisap
darah Loan Eng hanya karena hendak membalas sakit hati atas kematian sute-nya
dan ingin awet muda. Sekarang melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak,
dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula apa bila dia menghisap
darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat merupakan satu keluarga, dan
kakek ini telah mempunyai ketiga-tiganya.
“Aku tidak
mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memelihara dalam sangkar, kau burung
cantik!” katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.
Alangkah
herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua
itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya sudah dapat
digulung ke dalam!
Berkali-kali
dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini
benar-benar tidak mudah. Sui Ceng sudah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li,
dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang
lincah ini berbakat baik sekali.
Ketika
melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat para piauwsu
dan anak buah Sin-to-pang lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggota
Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), mau pun para piauwsu dari Hui-to
Piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka
sekarang belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng
Hui-houw. Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur
begitu cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar!
Para
pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya dapat berteriak-teriak saja dan
tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat
bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti dengan bayangan Sui
Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka
dapat membantu Sui Ceng?
“Jangan
bantu aku! Jangan datang mendekat!” Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat.
Ketika tubuh
Toat-beng Hui-houw mendadak menerjang ke arah para pengeroyok sambil
meninggalkan Sui Ceng, terdengarlah jeritan berturut-turut dan empat orang
pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!
“Siluman tua,
kau kejam sekali!” teriak Sui Ceng.
Anak ini
secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu
dia segera menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga
merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.
“Ha-ha-ha,
burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!” berkata Toat-beng Hui-houw
sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang.
Ada pun para
pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan
demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri
dan menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu,
akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka
dan tidak akan sanggup menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa
dengan cuma-cuma saja.
Sekarang
gerakan Sui Ceng tidak lagi secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang
gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan cukup berat. Tadinya Sui
Ceng sengaja mengambil golok karena dia hendak bertempur mati-matian mengadu
jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan justru dia mendatangkan
kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada
artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri.
Hanya dalam
beberapa jurus saja, masih sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah
berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat
pada pundak gadis cilik itu, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas
dari pegangan!
Pada saat
itu tampak menyambar beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu
halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa
bagian tubuhnya. Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan
sekali renggut, tubuh Sui Ceng sudah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw,
kemudian melayang ke depan!
Toat-beng
Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Dia telah terkejut dan
jeri melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah
dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut
di dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu
mungkin hanyalah tertuju kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di
antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!
“Kiu-bwe
Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah
mengganggumu?” katanya penasaran.
Ia cepat
melompat ke belakang sebab jeri menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe
Coa-li yang kini telah berdiri di hadapannya sambil menggandeng tangan Sui Ceng
yang sudah dibebaskan dari totokan pula.
Diam-diam
Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya tadi sampai kalah oleh Toat-beng
Hui-houw. Tadi begitu datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman
itu, dia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada
orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng Kan-goat (Sembilan
Bintang Mengejar Bulan).
Sembilan
helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi dia hanya
berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak dapat melukai kakek
itu. Dari sini saja dia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi
dari pada kepandaian muridnya.
“Siluman
jahat, apa matamu sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni
(muridku), maka sekarang kau harus mati!”
Bukan main
kagetnya Toat-beng Hui-houw.
“Dia ini
muridmu...? Ahh, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia adalah
muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud
untuk mengganggunya, apakah sekarang ia masih dapat bernapas?”
“Kau memang
tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau sudah
menghinaku pula. Maka bersiaplah untuk mati!”
Kembali
Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan-serangan dengan cara
yang ganas dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li
luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia tidak akan merasa puas kalau
lawannya belum roboh binasa!
Toat-beng
Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Dia memang merasa
segan bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika
berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu.
Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.
“Kiu-bwe
Coa-li, kau terlalu sekali. Kau kira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi
Kiu-bwe Joan-pian-mu (Pecut Berbulu Sembilan)?”
“Siapa
peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe
Coa-li mendesak terus.
Toat-beng
Hui-houw mengeluarkan suara nyaring dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah
mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak
dari serangan lawannya lantas membalas dengan serangan pukulan yang
mendatangkan hawa dingin dan berbau amis.
Ternyata
bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai racun
yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu
ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.
Menghadapi
pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya
sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian
wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan
kadang-kadang diselingi suara bergeletar dan dari pecutnya yang berekor
sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan
berbisa dari Toat-beng Hui-houw.
Para piauwsu
dan anggota Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya
seorang tokouw yang memegang cambuk ini saja sudah membuat mereka heran sekali,
karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara
pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar pula bahwa tokouw ini
adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin
terbelalak.
Kini,
sesudah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung,
mereka lalu menjadi bengong dan melongo. Menurut pendapat mereka, pertandingan
ini bukan pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah
berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang
bergerak-gerak luar biasa cepat ke depan. Hampir saja ada yang tertawa
menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan
mereka sedang membadut.
Akan tetapi
Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia pun maklum bahwa permainan
cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan berisi
lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Pada waktu dua orang tua itu sedang
bertempur dengan mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri
berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan
kaki.
Akan tetapi,
tak beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui
keunggulan lawannya, oleh karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama
semakin mendesaknya, makin lama semakin dekat serangan ujung cambuk itu, terus
mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya.
Ia maklum
bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk
menyelamatkan diri lagi. Dia cukup mengenal akan kelihaian totokan ujung cambuk
di tangan Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.
“Cukup,
siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku pasti
akan mengalahkanmu!” kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.
“Keparat
pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” berseru Kiu-bwe
Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.
Toat-beng Hui-houw
cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja
sebuah dari pada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya.
Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya ke arah bagian tubuh ini
sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan
kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.
Gentarlah
hati Toat-beng Hui-houw. Ia cepat melompat dan menyambar sebatang pohon besar.
Sekali cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe
Coa-li yang mengejarnya! Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran
pohon yang besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat
pada muridnya.
“Mari, Sui
Ceng, kita kejar siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.
Akan tetapi
Sui Ceng menarik tangannya dan berkata, “Nanti dulu, Suthai. Teecu harus
menolong Ibu lebih dahulu.”
Kiu-bwe
Coa-li menghentikan langkahnya. “Ibumu? Di mana dia?”
“Dia telah
ditawan oleh Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini.
Mungkin Ibu disembunyikan di dalam goa itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah goa.
Kiu-bwe
Coa-li mengerutkan keningnya. Dia sudah tahu persis akan kejahatan Toat-beng
Hui-houw dan jika orang sudah terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan
harap akan tertolong lagi jiwanya.
“Kalau
begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa goa itu,” katanya.
Guru dan
murid ini kemudian berlari-larian memasuki goa. Para piauwsu beserta anggota
Sin-to-pang juga mendekati goa, akan tetapi mereka tidak berani lancang
memasuki goa, hanya menanti dan berkumpul di luar goa sambil membicarakan
pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan.
Ada pun Sui
Ceng dan gurunya yang memasuki goa, mendapat kenyataan bahwa goa itu lebar
sekali dan di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruangan. Mereka memasuki ruang
sebelah kiri dan membuka pintu ruangan itu yang terbuat dari pada kayu. Cahaya
yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal
tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, sebab yang terlentang
itu tidak lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!
“Ibuuu...!”
Sui Ceng melompat dan menubruk ibunya.
Kiu-bwe
Coa-li yang berdiri di belakang muridnya, segera mengulur tangan dan dengan
beberapa totokan di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya
lagi itu, dapatlah Loan Eng menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi dia sudah
demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa
darahnya hampir habis terisap oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!
“Ibu... kau
kenapakah...?” Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan
mata terbelalak.
“Sui Ceng...
kau datang...?” Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya terdengar seperti
bisik-bisik saja, “Kebetulan sekali... aku ada pesan untukmu...”
“Suthai,
tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan
kata-kata ibunya, karena ia tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.
Kiu-bwe
Coa-li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan dia nampak terkejut, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari
nyonya muda itu, terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.
“Jahanam
benar...” bisiknya.
Ternyata
bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di
luar luka ini masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah
mengering!
“Ibumu tidak
akan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia sudah kehabisan darah,” katanya tenang.
Mendengar ini, Sui Ceng menubruk ibunya dan menangis.
“Sui Ceng,
anakku selamanya tidak akan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis
anaknya, agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya memang aku
harus menebus dosaku pada kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan
kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi jodohnya murid ke dua dari
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu.
Nama murid itu The Kun Beng. Nah... hanya sekian pesanku...!” Loan Eng makin
lemas.
“Ibu..., aku
bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis
itu...!” kata Sui Ceng di antara tangisnya.
Meski
tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa
bibirnya tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang
gagah.
“Kau tentu
akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti... dan tentang
Sin-to-pang... kau... kau benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik…,
mereka telah berusaha menolongku... jadilah ketua yang baik kelak...! Sui Ceng,
jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian... nah, selamat
tinggal, anakku...”
Habislah
tenaga nyonya itu dan Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan
gagah perkasa itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.
“Ibu...!
Ibu...!” Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri
dan berdongak ke atas sambil berkata,
“Toat-beng
Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba waktunya aku Bun Sui Ceng
menghancurkan kepalamu!”
“Tenanglah,
Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw
itu? Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,” kata
Kiu-bwe Coa-li yang merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.
“Tidak,
Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu
sendiri yang akan membalaskan sakit hati ini.”
Kiu-bwe
Coa-li mengangguk-angguk. “Boleh saja, Sui Ceng. Asalkan kau belajar dengan
rajin, tak lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga
baik-baik saja kau menjadi ketua Sin-to-pang. Hanya aku merasa agak menyesal
mengapa ibumu demikian tergesa-gesa menjodohkan kau dengan murid Pak-lo-sian
Siangkoan Hai.”
Sui Ceng
tidak menjawab oleh karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada
pikiran mengenai jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja.
Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam goa.
Di kamar
lainnya mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga sudah tewas dengan tubuh penuh
luka-luka. Walau pun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada
piauwsu ini karena sudah mengawini ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu
yang telah menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan,
ia lalu berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan
sakit hati mendiang ayah tirinya ini.
Lalu Sui
Ceng dan gurunya keluar dari goa, disambut oleh para anggota Sin-to-pang dan
para piauwsu yang memandang penuh hormat.
“Saudara-saudara
sekalian, Ibu beserta Ayah sudah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri
yang akan membalaskan sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian
semua bertenang hati. Sekarang, kalian lakukanlah tugas kewajiban
masing-masing, dan tunggu hingga aku datang untuk memimpin Sin-to-pang. Ada pun
para piauwsu, terserah, hendak menjadi anggota Sin-to-pang baik-baik saja, mau
melanjutkan pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-to
Piauwkiok mau pun Sin-to-pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa
akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala
sepak terjang kalian!”
Para anggota
Sin-to-pang dan anggota Hui-to Piauwkiok menjadi sedih sekali mendengar betapa
ketua mereka telah tewas, akan tetapi melihat sikap dan mendengar ucapan Sui
Ceng yang benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan
sekali keluar dari mulut anak yang masih demikian hijau, terbangunlah semangat
mereka dan serentak menyatakan setuju.
Jenazah Loan
Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir
kepada makam ibu dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya
mengikuti gurunya.
Sejak saat
itu Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li
direnggut dan diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga dia dan
gurunya sangat tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu
yang membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sebagaimana
diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu, bahkan di dalamnya terkandung
pelajaran ilmu silat dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya
Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan
mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu.
Akan tetapi,
ia berada di bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah
amat tinggi kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu
dan nenek yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa
merusak tenaga sendiri.
Cara
melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu
saja dan menelan semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak mau
berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak
betul dan mana yang berguna. Oleh sebab itu, di antara pelajaran-pelajaran yang
masih ia ingat bersama muridnya, lalu dia saring dan pilih lagi, memilih mana
yang sekiranya berguna dan dapat dipakai untuk mempertinggi kepandaiannya.
Melihat
ketekunan muridnya, Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan nenek sakti ini
lalu membatalkan niatnya yang hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang
di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak
Bukit Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-kian
dan Kiang-si.
Kiu-bwe
Coa-li memang berasal dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang
ke dua. Sebagaimana diketahui, tokoh besar selatan yang pertama adalah
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yang selalu merantau di seluruh propinsi selatan
dan tak tentu tempat tinggalnya.
***************
Sementara
itu, Hek-i Hui-mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi
ketakutan dan kaget setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara
amat menyedihkan agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo
menjawab,
“Kau ingat
baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, barulah kau ada
harapan untuk hidup terus!”
Mendengar
ini Siang Pok pun mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar
membutuhkan bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum
bahwa hal itulah satu-satunya jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri
dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada
bunyi isi kitab yang aneh itu.
Lai Siang
Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia
telah digembleng oleh ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu
dia telah biasa menghafal, dan meski pun tadi dia mendengarkan isi kitab yang
dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat
mengingat semuanya!
Setelah jauh
dari kota Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,
“Coba kau
sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada
gunanya bagiku atau tidak!”
Siang Pok
mengumpulkan ingatannya, kemudian mengulang apa yang tadi didengarnya.
Mendengar ini, Hek-i Hui-mo menjadi girang sekali karena semua yang diingat
olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa
yang dapat diingat oleh Siang Pok!
“Anak
baik...! Kau patut menjadi muridku!” katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak
anak itu.
Tepukan ini
bukanlah tepukan biasa, akan tetapi tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan
tulang dari anak laki-laki ini. Akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan
keras hati, maka digigitnya bibir untuk menahan rasa sakit.
“Bagus,
tidak jelek!” kata Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. “Hendak kulihat
kelak, siapa yang paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha-ha-ha, Siang
Pok, kau menjadi muridku dan kelak kaulah yang akan menjagoi di antara
murid-murid semua orang gila itu. Ha-ha-ha!”
Siang Pok
tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam ia
menjadi girang juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang
pendekar dan pahlawan, kemudian diam-diam dia mengagumi sepak terjang dan
kegagahan para pendekar itu.
Sekarang
mendengar bahwa dia hendak diambil murid oleh kakek yang telah ia saksikan
sendiri kelihaiannya, tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri
berlutut di depan Hek-i Hui-mo sambil berkata,
“Segala
petunjuk dari Suhu akan teecu pelajari dengan rajin.”
“Bagus, mari
kita cepat pulang agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh
murid-murid mereka itu.”
“Pulang? Ke
mana, Suhu?”
“Ha-ha-ha,
tentu saja ke Tibet, ke barat! Hayo!” Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo
menyambar tubuh muridnya.
Sekejap
kemudian terpaksa Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang
sekali, membuat kedua matanya pedas ketika suhu-nya membawanya lari luar biasa
cepatnya seakan-akan terbang!
Walau pun
Hek-i Hui-mo melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan,
namun dia harus menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat
yang jauh itu. Siang Pok diterima dengan penuh penghormatan dan juga perasaan
iri hati oleh orang-orang di barat, karena bila menjadi murid Hek-i Hui-mo,
selain dianggap mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima
kurnia besar.
Namun Siang
Pok tidak mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran
ilmu silat kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh
dibilang lupa makan dan lupa tidur! Melihat ini, Hek-i Hui-mo semakin sayang
kepadanya, karena makin besar harapan di hatinya, murid ini kelak akan
menjunjung tinggi namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar
yang sudah berlatih lebih dulu.
Seperti juga
Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali
keluar dan bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai
Siang Pok, karena seperti juga Kiu-bwe Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu, kemudian kalau sudah
mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia akan mencari tokoh-tokoh
lain untuk ditantang pibu!
Seperti
telah kita ketahui, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan
Hek-i Hui-mo dan yang kemudian isinya dibacakan oleh pujangga besar Tu Fu
sambil didengarkan oleh Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo bersama murid-murid
mereka, adalah kitab palsu. Akan tetapi biar pun palsu, kitab ini ditulis di
jaman dahulu oleh orang yang pandai dan hafal akan isi kitab aslinya, maka biar
pun palsu, isi kitab ini merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali.
Bagi orang
yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya
sama sekali dan jika orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini,
bukannya mendapat kemajuan dan kepandaian tinggi, malah tubuh orang itu akan
menjadi rusak. Akan tetapi sebaliknya, apa bila yang mendengarnya adalah
orang-orang berilmu tinggi seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka
dapat menangkap serta menerima isi kitab untuk disaring kembali dan untuk
dijadikan bahan menyempurnakan kepandaian silat mereka.
Oleh karena
inilah, maka hasil dari pada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan
Kiu-bwe Coa-li sangat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu
diolah dan disaring sesuai dengan ilmu kepandaian yang sudah ada pada mereka,
maka tentu saja tidak sama.
Bagi Kiu-bwe
Coa-li, pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang telah didengarnya dari pujangga
Tu Fu itu mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang,
yakni penggunaan tenaga dalam. Walau pun pelajaran lweekang di dalam kitab itu
tidak karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis kitab palsu, namun
sungguh kebetulan sekali perhatian Kiu-bwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng,
justru dikerahkan ke jurusan ini.
Dengan
kecerdikannya yang luar biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini
dan akhirnya dia pun dapat menemukan ilmu aslinya dengan jalan meraba-raba
serta menduga-duga. Ia lalu memperbaiki dengan caranya sendiri, sesuai dengan
kepandaian yang telah dimilikinya, sehingga akhirnya dia pun mendapatkan ilmu
silat berdasarkan pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya menggunakan
tenaga lweekang yang hebat luar biasa!
Sebaliknya,
setelah mendengar dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan
gerakan-gerakan istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu
tongkatnya. Ilmu tongkat Hek-i Hui-mo, yakni permainan tongkat Liong-thouw-tung
(Tongkat Kepala Naga), memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini, setelah
dia mempelajari isi kitab itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan
yang dapat dia olah sedemikian rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju
dengan pesat dan kini merupakan ilmu tongkat yang aneh dan luar biasa!
Jika
biasanya dia mainkan dua senjata, yakni tongkat Liong-thouw-tung di tangan
kanan dan tasbih di tangan kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan
tasbih sebagai alat penangkis, kini dengan hanya mainkan tongkatnya saja
kelihaiannya sudah berlipat kali melebihi sepasang senjatanya itu. Sebab itu
dia lalu tekun memperdalam kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan
diturunkan kepada murid tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.
Sebetulnya,
kalau orang mengetahui isi dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli,
orang takkan merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan
dua macam ilmu jauh berlainan bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab asli
Im-yang Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu silat di dunia ini!
Di situ
terdapat pelajaran pokok dan dasar dari pada segala macam gerakan ilmu silat di
atas dunia. Ilmu silat dengan tangan kosong mau pun dengan senjata yang
bagaimana pun juga, kesemuanya berpokok dan berdasar sama, yakni berdasarkan
menyerang dan bertahan. Ada pun inti sari dari pada dua gerakan ini memang
menjadi isi dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment