Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 22
MELIHAT ini,
Kwan Cu terkejut bukan main. Baginya sendiri, masih banyak jalan untuk bisa
membebaskan diri dari kepungan bajak. Akan tetapi melihat bahaya yang mengancam
gadis yang disangkanya Bun Sui Ceng itu, dia terpaksa melompat pula ke dalam
air!
Baiknya Oei
Liong tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, sehingga sebelum Oei Hwa turun
tangan, terlebih dulu Oei Liong menangkap gadis itu dan dibawa tenggelam
sehingga gadis itu menjadi lelah dan pingsan karena banyak minum air!
Sebaliknya,
Oei Hwa juga mempunyai maksud hati yang sama dengan kakaknya. Dia tertarik oleh
ketampanan wajah Kwan Cu, maka bagaikan seekor ikan duyung, nona ini menangkap
kedua kaki Kwan Cu dan menyeretnya ke bawah permukaan air!
Oei Liong
memeluk tubuh gadis tawanannya, dibawa berenang ke perahu, demikian pula Oei
Hwa. Pertama-tama, di atas perahu mereka menolong dua orang tawanannya itu.
Tubuh gadis
itu dijungkir balikkan sehingga banyak air sungai keluar dari mulutnya. Akan
tetapi anehnya, ketika Oei Hwa membalikkan tubuh Kwan Cu, tidak setetes pun air
keluar dari pemuda ini.
Oei Hwa
menggaruk-garuk kepalanya, apa lagi ketika dia melihat perut pemuda itu yang
tadinya kembung itu kini telah kempes kembali.
"Hwa-moi
(adik Hwa), gadis ini cantik luar biasa, tidak kalah olehmu. Dia pantas menjadi
isteriku!" kata Oei Liong tertawa girang.
Oei Liong
cepat mempergunakan tambang pengikat layar untuk membelenggu kaki dan tangan
gadis itu, sedangkan sepasang pedang gadis itu yang diambil oleh anak buahnya
dia rampas. Demikian pula Oei Hwa lalu membelenggu kaki tangan Kwan Cu.
"Hwa-moi,
pemuda ini berbahaya sekali. Lebih baik lekas kita binasakan dia!" kata
Oei Liong
Adiknya
melirik dengan sepasang pipi merah. Dalam pakaian basah kuyup serta rambut yang
awut-awutan, warna merah di pipi itu membuat Oei Hwa kelihatan makin cantik.
"Kau
memikirkan kepentingan dirimu sendiri saja, Twako. Pemuda ini kulihat seratus
kali lebih baik dari padamu. Apa hanya kau saja yang memikirkan jodoh?"
Oei Liong
tertegun, kemudian tertawa tergelak-gelak sambil menudingkan jari telunjuknya
kepada muka adiknya yang menjadi malu.
"Sudahlah,
mari kita menghaturkan terima kasih kepada Dewa Air yang telah melindungi
kita," kata Oei Hwa. Keduanya lalu maju dan berlutut di depan patung
perunggu itu!
Kemudian,
diantarkan oleh anak buah mereka, kakak beradik ini lalu menggotong tubuh Kwan
Cu dan gadis tawanan itu ke pantai dan langsung dibawa ke dalam hutan, sarang
mereka. Hati mereka girang sekali karena mereka menemukan orang-orang muda yang
menjadi tawanan itu lihai sekali, akan tetapi mereka memiliki daya untuk
membuat dua orang tawanan mereka itu tak berdaya, yakni dengan jalan meminumkan
obat beracun!
Tiba-tiba,
sebelum mereka jauh meninggalkan pantai, salah seorang anak buah mereka
menjerit sambil menudingkan telunjuk ke tengah sungai. Semua orang menengok dan
aneh sekali! Perahu besar di mana patung perunggu itu disimpan perlahan-lahan
mulai tenggelam, seakan-akan pada bagian bawahnya bocor.
"Celaka,
lekas cegah dia tenggelam!" teriak Oei Hwa dan Oei Liong.
Semua anak
buah bajak segera berperahu dan cepat menuju ke perahu besar itu. Akan tetapi
terlambat, perahu itu telah tenggelam bersama arca yang mengerikan itu!
"Celaka!"
Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa membanting-banting kakinya ketika melihat perahu itu
tenggelam.
Ia tidak
begitu menyayangkan perahunya yang besar dan indah itu tenggelam, terutama
sekali yang membikin ia merasa menyesal adalah tenggelamnya patung perunggu
yang berada di atas perahunya. Tenggelamnya patung itu merupakan tanda bencana
bagi dia dan kawan-kawannya!
"Sudahlah,
Hwa-moi," Luan-ho Oei Liong menghibur adiknya, "Untuk pengganti
patung Dewa Air, aku sudah mendapatkan nona ini dan kau mendapatkan pemuda
ganteng itu, bukankah mereka lebih baik? Mudah nanti kita mencari patung baru
yang lebih baik."
Terhibur
juga hati Oei Hwa ketika ia melirik ke arah Kwan Cu yang dipondongnya. Maka ia
lalu melanjutkan perjalanannya bersama kakaknya dan para bajak sungai, menuju
ke hutan yang mereka jadikan sarang.
Malam hari
itu bulan bersinar gemilang. Di dusun dalam hutan itu, para bajak air sedang
mengadakan perayaan pesta pernikahan dua orang pemimpin mereka. Pesta diadakan
di lapangan yang luas dan dua orang tawanan itu didudukkan di tengah lapangan
dengan kaki tangannya dibelenggu.
Para bajak
sungai hendak menyaksikan betapa kedua orang calon pengantin itu hendak diberi
obat yang disebut oleh pemimpin mereka sebagai obat pengantin! Padahal obat itu
adalah obat beracun yang akan membuat Kwan Cu dan nona tawanan itu mabuk dan
kehilangan ingatan sehingga keduanya akan menuruti segala kehendak Oei Liong
serta Oei Hwa!
Kwan Cu
saling lirik dengan nona di sebelahnya. Diam-diam pemuda ini merasa sangat geli
karena nona ini cemberut dan memandangnya dengan muka marah. Sedikit pun tak
kelihatan nona perkasa itu takut, maka diam-diam Kwan Cu menjadi kagum.
Baginya
sendiri, tidak ada yang perlu ditakutkan, karena kalau dia mau, sesungguhnya
hanya dengan beberapa gerakan saja semua belenggu kaki tangannya akan mudah dia
putuskan dan dengan mudah pula dia akan bisa menolong keselamatan mereka
berdua. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini dan akan menanti dan
melihat lebih dulu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kwan Cu mengganggap semua
itu sebagai lelucon yang menggelikan belaka, bahkan semua yang sedang dihadapinya
merupakan hiburan yang menggirangkan hatinya.
"Dasar
kau yang menjadi biang keladi!" Nona di sebelahnya menggerutu kepadanya.
Kwan Cu
tersenyum dan memandang dengan mata jenaka. Gadis itu makin marah, akan tetapi
juga terheran-heran. Dia sendiri memang berhati tabah dan keras, sedikit pun
tidak sudi memperlihatkan kelemahan hati dan tidak mau kelihatan takut.
Akan tetapi
tersenyum-senyum seperti pemuda itu, dengan pandangan mata demikian jenaka
seakan-akan merasa gembira sekali, tak mungkin dapat dia lakukan! Bagaimana
dalam keadaan demikian berbahaya dan tak berdaya, pemuda itu masih bisa
tersenyum-senyum gembira?
"Kau
cengar-cengir mau apakah?" bentaknya perlahan-lahan sambil pelototkan
matanya. "Sungguh, kalau bukan kau tolol atau gila, agaknya aku yang sudah
berubah ingatanku melihat orang tertawan dan berada dalam keadaan bahaya masih
cengar-cengir seperti badut!"
"Mengapa
tidak bergirang hati? Kau dengar sendiri tadi, kau dan aku hendak dikawinkan
dengan Oei Liong dan Oei Hwa. Siapa yang tidak girang?"
Nona itu
menjebikan bibirnya yang merah. "Hemm, kau girang hendak menjadi suami Oei
Hwa, siluman wanita itu? Dasar mata keranjang! Huh, muak perutku melihat
mukamu!"
Kwan Cu
semakin geli hatinya. "Jadi kau tidak suka dikawin oleh Oei Liong, kepala
bajak yang gagah dan bermuka kuning itu?"
"Siapa
sudi? Lebih baik aku mati!"
"Aha,
sudah tentu kau tidak suka karena kau sudah bertunangan! Bukankah kau adalah
tunangannya The Kun Beng?"
Nona itu
membelalakkan matanya dan mukanya berubah. "Bagaimana kau bisa tahu?
Siapakah kau?"
"Bun
Sui Ceng, lupa lagikah kau kepadaku? Dahulu sudah sering kali kita
bertemu."
"Heeee...?!
Siapa kau?" Gadis itu yang ternyata memang benar Bun Sui Ceng adanya,
bertanya kaget.
"Aku
selamanya takkan bisa lupa kepadamu, takkan lupa kepada mendiang ibumu yang
berhati mulia. Aku adalah bocah gundul yang dulu pernah ditolong oleh
ibumu."
"Kwan Cu...?!?
Kau Lu Kwan Cu...?" Sui Ceng memandang dengan mata terbelalak dan sinar
matanya mencari-cari, menyelidiki ke seluruh kepala serta muka Kwan Cu, maka
tertawalah gadis itu, tertawa geli sekali.
Kwan Cu
mengerutkan kening. Kalau tadi dia mentertawai gadis itu, sekarang dia yang
ditertawai. Apanyakah yang menggelikan? Apakah mukanya bercoreng hitam?
"Ehh,
Sui Ceng, kau cekikikan itu ada apakah?" tanyanya mendongkol.
Sui Ceng
makin geli, menggigit bibirnya agar mulutnya tidak terbuka dalam ketawanya,
karena dia tidak mungkin dapat menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya. Oleh
karena gerakan bibir itu, ia nampak lucu sekali.
"Alangkah
lucunya keadaanku," akhirnya dia dapat berkata, "tak kusangka dapat
bertemu dengan kau disini, dalam keadaan begini pula. Hi-hi-hi Kwan Cu, kau
masih dogol seperti dulu, dogol dan tolol, sungguh menggelikan hati sekali. Dan
kau sekarang agaknya mata keranjang sekali, sehingga engkau kelihatan gembira
benar hendak dikawin oleh siluman wanita Oei Hwa itu."
"Kau
keliru Sui Ceng. Aku bergirang bukan karena akan dipaksa menjadi suami Oei Hwa,
melainkan bergirang karena kau dan aku keduanya akan menikah. Dan melihat
keadaan kita ini, aku merasa bahwa kitalah yang akan saling menikah, kau dengan
aku dan aku dengan kau… bukankah ini menggembirakan sekali?"
Untuk
sejenak Sui Ceng tertegun dan memandang dengan sinar mata bodoh kemudian
tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinga-telinganya.
"Kwan
Cu, kalau aku tidak tahu bahwa kau adalah seorang yang dogol, tolol dan jujur,
aku tentu akan menganggap ucapanmu itu kurang ajar sekali."
Kwan Cu
tersenyum. "Terus terang saja, Sui Ceng, kau tentu lebih suka menikah
dengan aku dari pada dengan siluman muka kuning itu, bukan?"
"Tentu
saja, orang bodoh! Akan tetapi, jangan kita mengoceh yang bukan-bukan. Lebih
baik sekarang mencari jalan bagaimana caranya kita dapat lepas dari bencana
ini, atau bagaimana nanti sikap kita kalau mereka memaksa kita."
"Terserah
kepadamu, aku akan menurut saja apa yang akan kau lakukan."
"Kalau
mereka memaksa, tentu aku akan memberontak dan melawan mati-matian, begitu
mendapat kesempatan melepaskan diri dari belenggu ini."
Kwan Cu
mengangguk-angguk. "Aku pun begitu," katanya.
Hening
sesaat dan mereka saling pandang.
"Kwan
Cu, kau berubah sekali, maka tadi aku tidak mengenalmu. Dulu kau gundul dan
buruk, seperti anak cacingan, sekarang..."
"Sekarang
bagaimana...?"
"Hemm,
harus kuakui bahwa kau sekarang telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan
gagah, pantas saja siluman wanita itu tergila-gila padamu."
Merah wajah
Kwan Cu, merah karena girang. "Ahhh, pujianmu itu berlebihan. Aku bukan
apa-apa kalau dibandingkan dengan Kun Beng..."
"Kau
sudah bertemu dengan dia? Aku belum pernah melihatnya sekarang."
"Aku
pun belum. Akan tetapi semenjak pertemuan tadi, aku sudah menduga bahwa kau
tentulah Sui Ceng, kau masih lincah dan jenaka seperti dulu... dan... lebih
cantik!"
Sui Ceng
menundukkan mukanya, kini agak kecewa menghadapi bahaya yang mungkin akan
menamatkan nyawanya, nyawa mereka berdua.
"Sayang
sekali, Kwan Cu. Tadinya aku hendak mendahului dan mawakili engkau, hendak
menjalankan pesan terakhir dari menteri Lu Pin yang agung. Ternyata agaknya
riwayat kita akan tamat sampai di tempat ini..." Gadis itu menghela napas
berulang-ulang.
"Pesanan
dari Lu-kongkong? Pesan apakah...?" Kwan Cu bertanya.
"Jadi
kau belum sampai ke Goa Tengkorak?"
"Aku
memang hendak menuju ke sana, akan tetapi tertunda karena peristiwa ini."
"Hemm,
sayang... pesanan itu akan hilang begitu saja agaknya kau dan aku tidak akan
terlepas dari ancaman ini. Kasihan Lu-Taijian..."
"Bagaimana
bunyi pesan itu?"
"Kau
harus pergi ke sana sendiri dan membacanya sendiri."
Percakapan
mereka terhenti karena dengan iringan tambur serta gembreng, diiringkan pula
oleh anak buah bajak sungai, nampak datang Oei Liong dan Oei Hwa, keduanya
dalam pakaian pengantin!
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Kwan Cu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hushh!
kau cekakakan ada apakah? Girang barang kali melihat mempelai datang?" Sui
Ceng menegur
Kwan Cu
semakin geli. "Lihat, alangkah lucunya mereka itu...! Mereka sudah
berpakaian pengantin dan kita masih dibelenggu begini macam, hendak kulihat apakah
yang akan mereka lakukan selanjutnya?"
Sui Ceng
benar-benar merasa heran melihat sikap pemuda ini yang sama sekali tidak susah
atau takut. Dia sendiri semenjak tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk
memutuskan belenggu, namun sia-sia belaka.
Kwan Cu
tidak berusaha meloloskan diri, sebaliknya menanti kelanjutan perbuatan para
bajak itu bagaikan seorang anak kecil hendak menikmati tontonan yang bagus.
Memang benar-benar pemuda aneh sekali!
Oei Liong
dan Oei Hwa datang membawa cawan arak dan di tangan kiri masing-masing memegang
guci kecil penuh arak. Inilah arak yang mengandung racun perampas ingatan
orang!
"Manisku,
sebelum engkau memakai pakaian pengantin, terlebih dahulu minumlah arak ini
sebagai tanda pemberian selamat dariku," kata Oei Liong sambil
memperlihatkan guci itu.
"Kau
juga, Kanda. Minumlah arak ini sebagai tanda cinta kasihku," kata Oei Hwa
yang mukanya sudah merah itu dengan sikap genit sekali. Nona ini memang tadi
sudah minum arak sampai mabuk sehingga tidak mengenal malu lagi.
"Aku
tidak sudi!" jawab Sui Ceng membentak keras dan mengedikkan kepalanya.
"Sayang
sekali apa bila harus dipaksa, Manisku. Maafkan, terpaksa aku mempergunakan
kekerasan." Sambil berkata demikian, Oei Liong lalu menggerakkan tangan
menotokkan leher Sui Ceng yang tak dapat mengelak sehingga jalan darahnya
terkena totokan yang lihai itu dan lemaslah dia tak berdaya lagi!
Oei Liong
sudah siap untuk mendekati Sui Ceng dan membuka mulut gadis itu, ketika
mendadak terdengar suara orang-orang menjerit dan berlari-lari. Ternyata bahwa
yang berlari-lari itu adalah para bajak yang menjaga di luar dusun.
"Celaka...
ada siluman mengamuk!" Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para
bajak yang belari-lari itu mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.
Oei Liong
terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu.
Juga diam-diam Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu. Kalau
sekiranya tidak ada gangguan itu, tentu dia telah memutuskan belengu dan
memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan membiarkan saja Sui Ceng
dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.
"Ada
apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar dan tidak tahu aturan sehingga berani
mengganggu upacara pernikahan kami?" teriak Oei Liong dengan marah sekali.
Kepala bajak
ini telah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa telah mencabut
sepasang pedangnya. Dengan hati marah dan mendongkol keduanya lantas melompat
menuju ke arah terjadinya ribut-ribut tadi.
Akan tetapi
mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung
ketika melihat apa yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati
itu.
Dari luar
dusun, nampak bayangan besar berlompat-lompatan menuju ke tempat mereka dan di
bawah sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni
patung perunggu yang tadi tenggelam bersama perahu ke dasar sungai! Terkena
cahaya bulan, patung itu seolah-olah hidup, dua matanya yang merah mengeluarkan
sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan
lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.
Ketika
terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang
terbelenggu dan dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher
Sui Ceng. Tanpa sepengetahuan gadis itu, ia telah berhasil membuka totokan yang
membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya.
Gadis ini
merasa heran akan tetapi dia tidak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah
membebaskannya karena pada saat itu dia pun memandang ke arah bayangan yang
berlompatan itu dengan mata terbelak dan muka pucat. Sui Ceng adalah seorang
gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang tadi sudah tenggelam
bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan
dia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.
Jangankan
Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang sejak kecilnya
mengalami banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada waktu itu duduk
melenggong dengan mulut terbuka dan mata terbelalak lebar memandang ke arah
patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah menjadi patung.
Semua bajak
sungai, seorang demi seorang lantas mengambil langkah seribu dan berlari
tunggang-langgang ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu terus
melompat-lompat menghampiri mereka. Kini tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri
yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan tetapi tangan
mereka terasa lumpuh saking besarnya rasa takut yang mengamuk di dalam hati dan
pikiran.
"Oei
Liong dan Oei Hwa, kalian telah berdosa besar!" demikian patung itu
mengeluarkan suara. Suaranya amat besar dan nyaring sehingga Kwan Cu yang
tadinya sudah seperti berubah menjadi patung, kini siuman kembali dari
keadaannya.
"Kalian
membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta
ijin. Karena dosa-dosa itu, kalian harus binasa...!"
Kemudian
terdengar patung itu menggereng dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong
dan Oei Hwa!
Kakak
beradik ini merupakan orang-orang berhati kejam dan mereka tidak akan merasa
ragu-ragu untuk menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya
akan tahayul. Kini menghadapi kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali
dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan melarikan diri! Oei Liong
sampai tersandung dan jatuh dua kali karena walau pun dia berkepandaian tinggi,
kedua kakinya menggigil sehingga membuat larinya kaku sekali!
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kwan Cu tertawa geli sesudah melihat semua bajak laut berlari pergi.
"Saudara yang baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!"
Sui Ceng
tertegun. Gadis ini pun sudah pucat sekali. Ia membayangkan betapa hebatnya
mati dalam tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu
mengajaknya bicara?
Terjadilah
hal yang sangat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan
bibirnya, dan tiba-tiba patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk,
bergulingkan di atas tanah dalam keadaan rusak karena terbentur batu. Akan
tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata
bersembunyi di dalamnya! Manusia ini lalu tertawa bergelak-gelak dan ternyata
dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya tinggi besar, bermata lebar dan
suaranya besar.
"Matamu
sungguh tajam, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di
dalamnya?" tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.
Kwan Cu
menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian dia pun ikut
tertawa terpingkal-pingkal.
"Ha-ha-ha,
tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja
demikian lihai sehingga tikus-tikus itu melarikan diri."
Pemuda itu
terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan
cepat dia membuka belenggu yang mengikat tangan dan kaki Kwan Cu serta Sui
Ceng, kemudian dia bertanya,
"Kau
siapakah?"
"Lihat
baik-baik, kawan. Sudah lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan
Liok-te Mo-li, ibumu?"
Pemuda itu
memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putera dari Liok-te Mo-li.
Setelah mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu
teringat dan dengan girang sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.
"Ha-ha-ha,
tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tak percuma aku bermain gila
seperti tadi. Kalau saja aku tahu bahwa kaulah yang mereka tawan, tentu aku
akan mengejar mereka terus sampai mereka mampus ketakutan! Sekali lagi,
bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang sembunyi?"
"Mudah
saja. Kau boleh saja menyembunyikan badanmu, akan tetapi pada waktu kau
melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu."
Sui Ceng
terheran-heran. Dia sendiri biar pun memandang kepada patung yang hidup itu
dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.
Kong Hoat
tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air
mata bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Pemuda
tinggi besar ini benar-benar orang aneh sekali, aneh, seperti juga Kwan Cu.
"Ha-ha-ha,
saudara Kwan Cu. Apa kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari
tunggang-langgang sampai dia terkentut-kentut?" sambil berkata demikian,
pemuda yang bertubuh besar ini memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Apa
bila bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya!
Kwan Cu
tertawa terbahak-bahak. "Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang
berlari-lari tunggang-langgang sampai terkencing-kencing!" Kwan Cu juga
memukul-mukul pundak Kong Hoat.
Dalam sendau
gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing
dan sangat terkejut. Tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh
mengatasi kepandaiannya, maka ia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang
bukan main.
"Ehh,
sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?"
Kwan Cu
teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng. "Saudara Kong Hoat, Nona ini pun
bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-bwe
Coa-li."
Mendengar
ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh
hormat kepada Sui Ceng dan berkata,
"Aduh,
alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun
Lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh."
Sui Ceng
tertawa. Semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, dia merasa kagum dan
geli, terutama sekali melihat betapa setiap kali tertawa terpingkal-pingkal,
Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.
"Kong-enghiong,
kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia
ini entah sudah mati atau belum pada saat ini," kata Sui Ceng sambil
melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang matanya memandang rendah. "Lebih
baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu."
"Tak
perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari
cerai berai dan biar pun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang
dapat kau susul. Sebaliknya, jika kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan
datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya
main-main belaka." Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.
"Sui
Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan
takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau
menceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?"
Sui Ceng
terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena dia sendiri pun ingin
sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.
"Aku
memang mendapat tugas dari ibuku untuk menyelidiki keadaan bajak sungai yang
dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa. Semenjak mudanya
Ibuku memang menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga,
juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tidak pernah
melakukan kejahatan, apa lagi merampok rakyat yang memiliki mata pencaharian
menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin
oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan
sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku
akan mampu menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya
itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkan
perahu itu. Kemudian aku lalu menggunakan akal, memakai patung itu untuk
mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu." Sesudah menuturkan
pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil
mencucurkan air mata.
Sui Ceng
geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang
jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan dia lantas mencela, "Saudara Kong
Hoat, kau... cengeng (mudah menangis) sekali!"
Kong Hoat
tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia pun
menjawab, "Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena
mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!"
Ucapan ini
menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang
perkasa itu tertawa-tawa.
Mendadak
terdengar suara orang-orang berteriak. Ternyata, sambil berteriak, para bajak
sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!
"Nah,
mereka benar-benar datang. Tentunya mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar
aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!" kata Kong
Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni
sebatang dayung yang amat panjang dan berat.
"Apakah
kau bersenjata?" tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu.
Pemuda itu
menggelengkan kepalanya.
"Sepasang
pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir,
dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apa lagi ikat pinggangku
masih ada!"
Gadis ini
lalu meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali dia
menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak laksana seekor ular merah
yang menyambar-nyambar. Diam-diam Kwan Cu merasa amat kagum dan teringatlah dia
akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Dia yakin bahwa
dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi
lawan-lawannya. Dia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang
rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan
bergerak secara sembunyi saja.
Gerombolan
bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap, "Di mana adanya keparat
yang sudah menipu kami dan menghina Dewa Sungai?!" Oei Liong berseru
sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
"Aku di
sini dan siap untuk mengemplang pecah kepalamu!" tiba-tiba terdengar
teriakan keras dan terlihat Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret
dayungnya yang besar dan berat.
"Kepung!
Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!" Seru Oei Liong dan
Oei Hwa.
Mereka ini
menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada para anak buah mereka,
karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan
Sui Ceng.
"Kwan
Cu, kau mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan
sabukku!" berkata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian
Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi kedua orang pemimpin bajak itu
dengan tangan kosong saja.
Kwan Cu
tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu dia duduk
di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang akan menonton pertunjukan
bagus. Akan tetapi, secara diam-diam matanya mencari-cari batu-batu kecil dan
kedua tangannya menggerayang mengumpulkan batu-batu ini.
Keadaan
menjadi geger. Puluhan orang bajak sungai yang sudah dikumpulkan itu segera
menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan
Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.
Ketika Oei
Hwa melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, bahkan duduk di bawah pohon
hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi
suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan
Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,
"Calon
suamiku, apakah tadi kau tidak mengalami kekagetan? Marilah kita menyingkir
lebih dulu sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu
ini dan membunuh orang kasar itu!"
"Cih,
perempuan hina dina!" Sui Ceng memaki dengan marah dan segera sinar merah dari
sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa.
Kepala bajak
ini sangat terkejut dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya.
Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti akan
terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan
pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng.
Terpaksa
murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan
kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian kembali
menyerang lagi. Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.
"Hwa-moi,
jangan lukai dia. Ingat, dia calon Soso-mu (kakak ipar perempuan)!" kata
Oei Liong.
Dia segera
maju pula membantu adiknya, tetapi bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan
berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang
kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.
Akan tetapi
Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat
menangkap hidup-hidup gadis perkasa itu. Biar pun hanya bersenjata sehelai
sabuk yang lemas, akan tetapi gadis ini lihai sekali. Tadinya para bajak
mengira bahwa betapa pun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya
memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.
Akan tetapi
tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu
melayang dan ujungnya ‘mencium’ tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu
segera memekik ngeri lantas roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka
sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu
mengarah pada jalan darah kematian dari pada lawan!
Dalam
beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali
berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya
tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa
ada perintah dari Oei Liong dan Oei Hwa, sebagian besar sudah mundur tak
teratur!
Di lain
fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui ‘batunya’. Dayung di
tangan nelayan muda ini sungguh lihai sekali dan kekuatannya laksana seekor
gajah mengamuk. Banyak kepala anak buah bajak yang pecah terpukul dayung,
tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu.
Para bajak
menjadi semakin kocar-kacir. Banyak pula yang tak tahan menghadapi Kong Hoat
lalu mengundurkan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton
mereka yang masih bertempur.
"Pergunakan
jala wasiat!" tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada
anak buahnya.
Barulah para
bajak itu teringat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu
mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, namun untuk
menjala manusia, yakni lawan yang tangguh sekali.
Oei Liong
sendiri bersama Oei Hwa juga mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta
diselipkan di punggung mereka dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai
jala melayang di atas kepala Sui Ceng.
Gadis ini
cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sehelai jala lainnya yang berwarna hijau dan
dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut
sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, maka semua ilmu silatnya tak akan
ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi
mengelak, dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat.
Di lain
fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan
jala untuk mengalahkannya.
"Kwan
Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini
masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.
"Sebentar
aku akan rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu.
Dia cepat
mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena di samping
ia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua
rombongan itu, kedudukan Sui Ceng yang lebih berbahaya karena selain dikeroyok
oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.
Dengan
gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Dia tidak
menyerang siapa pun juga, hanya menunggu saja dan ketika ada jala seorang bajak
laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya lantas berkelebat,
sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di
tengah-tengahnya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Lain jala
menyambar pula. Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah
dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak
itu!
Sui Ceng
amat kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguh pun dia melihat bahwa semua
itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikan pemuda itu.
Dia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala, lalu disambar dan
ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!
"Kanda,
kenapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa
dengan kecewa sekali.
"Kwan
Cu, calon isterimu itu bawel sekali, mulutnya perlu digampar!" Sui Ceng
berkata gemas dengan suara menghina, dan dia cepat melompat ke arah Oei Hwa,
benar-benar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.
Dalam
menampar ini, Sui Ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan Hoa-jiu (Pukulan
Menembus Bunga), maka biar pun tidak hebat datangnya, namun sukar untuk
dielakkan.
"Plakk!"
Sebelah pipi
Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan,
sementara sudut bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng
tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.
"Liong-ko,
terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah
sekali dan dia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng.
Lemparan
pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong Touw-ka (Naga Emas membuka
Pakaian) dan hebatnya bukan main. Pedang itu meluncur cepat bagaikan kilat,
menyambar ke arah dada Sui Ceng.
Tentu saja
Sui Ceng terkejut sekali karena hal ini benar-benar tidak pernah
disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada ‘pedang terbang’ menuju ke dadanya.
Dia cepat melempar tubuh ke kiri, akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet
pedang jika pada saat itu tidak ada sinar berkelebat.
“Tringg…!”
pedang yang meluncur tadi tahu-tahu menyeleweng ke pinggir!
Sui Ceng
cepat memasang kuda-kuda. Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset,
segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan
kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya
ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.
Semua itu
adalah perbuatan Kwan Cu yang sudah bekerja secara cepat dan diam-diam, mengeluarkan
ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tadi ketika
melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak menggunakan
pedangnya untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu
kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng. Kemudian dengan
gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan
sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil
merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang
berdekatan!
Sesudah
melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menengok ke arah Kong
Hoat. Alangkah kaget hatinya ketika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap
oleh jala. Pemuda ini terus mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga
para bajak tak ada yang berani mendekat, hanya menambah jala untuk lebih
memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh
tujuh helai jala.
Dia
benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak
dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala. Akan tetapi mereka yang
menangkapnya juga tidak berani turun tangan!
Kwan Cu
cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jala-jala itu. Para bajak
menyerbu, akan tetapi dengan sangat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat
seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti
sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi
jala itu.
Akan tetapi,
diam-diam Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang
dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam
sudah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala
itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata
jala-jala itu sudah robek sehingga dengan mudah saja dia dapat keluar dari
situ.
“Jahanam
keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan amarah meluap dan
dayungnya lalu mengamuk hebat sekali.
Kwan Cu
kembali duduk di bawah pohon sambil menonton pertempuran. Dia melihat Sui Ceng
kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa serta Oei Liong, karena para anak buah
bajak sudah pada mengundurkan diri, tak berani lagi menghadapi gadis perkasa
itu.
Ada pun Kong
Hoat kini juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh
enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat segera
berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.
Sekarang
pertempuran terpecah dua. Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat
mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini. Kepandaian
mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar ada
pun Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.
Ada pun
pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang
tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian
Oei Hwa. Kini, sesudah tidak dikeroyok lagi, Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya
sedemikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tidak lama kemudian dia
menjerit keras, lalu terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi.
Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!
Melihat Kong
Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat
itu, golok Oei Liong sedang menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala
Kong Hoat. Akan tetapi alangkah kaget hati Oei Liong ketika tiba-tiba dia
merasa goloknya terlepas dari tangan dan pada waktu dia menengok, ternyata
bahwa goloknya itu sudah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala
bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.
Melihat ini,
Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan
sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.
"Saudara
Kong Hoat, kenapa kau membunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui
Ceng dengan suara tidak puas karena menganggap perbuatan Kong Hoat ini
keterlaluan.
"Bun-lihiap,
kejahatan bagaikan pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut
akarnya. Apa bila kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk
kapok," kata Kong Hoat.
Kata-kata
ini segera terbukti. Para anak buah bajak yang melihat kedua orang pemimpin
mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir
kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang
pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.
"Sam-taihiap
(Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."
Melihat
bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar adanya, Sui Ceng lalu tersenyum dan
berkata,
"Terserah
kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti
bagaimana harus melayani mereka itu."
Kong Hoat
lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian
dia berkata,
"Kalian
semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih
mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu.
Kami tak akan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar
pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi,
kalian jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang
pemimpinmu yang telah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau
lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini
menjadi contohnya!"
Sesudah
berkata demikian, Kong Hoat lalu menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon.
Terdengar suara keras, kemudian pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh
dayung itu.
Semua bajak
menjadi pucat dan mengangguk-angguk, menyatakan taat akan pesanan ini.
"Ketahuilah
bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, ada pun aku
sendiri meski pun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama
ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"
Mendengar
nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan
saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah
mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak
air, karena selain sakti, juga pandai sekali di dalam air dan ganasnya terhadap
penjahat luar biasa.
"Hamba
sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata
beberapa orang bajak itu.
"Nah,
sekarang uruslah semua mayat ini dan ubahlah cara hidup kalian," kata pula
Kong Hoat. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu
keluar dari dusun itu.
Setelah tiba
di luar hutan, Kong Hoat kemudian menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya
dengan sejujurnya,
"Ji-wi
benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang
luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mendapat
keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Sesudah
berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.
Sui Ceng dan
Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa.
"Kong
Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa
sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaianmu."
"Akan
tetapi kau jauh lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali
ketika dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang
amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat
kemajuan pesat dalam ilmu silat. Ehh, kata guruku, kau mungkin sudah
mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?"
Merah wajah
Kwan Cu. Tadi ia telah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini ia hanya
menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan
perhatian Sui Ceng tiba-tiba dia berkata,
"Sui
Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tak mau mengambilnya
dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"
Benar saja.
Sui Ceng lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng,
sebaliknya dia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Pedang-pedang
itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau
pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"
"Liong-coa-kiam?
Pedang apakah itu dan milik siapa?" Kwan Cu bertanya dengan suara girang
karena dia telah berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan
tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.
SUI CENG
kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang
itu.
"Pedang
Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa
Tengkorak."
Kini Kwan Cu
teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, maka dia lalu berkata cepat.
"Ahh,
aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kongkong Lu
Pin."
Sudah
bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakan tentang kematian Lu Pin, akan tetapi
ditahannya bibir itu. Memang, biar pun Sui Ceng pernah berkata akan pesan
terakhir dari Menteri Lu Pin, tapi Kwan Cu mengira bahwa kongkong-nya masih
hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.
"Kalau
begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.
Kwan Cu
nampak kecewa sekali. "Benar kata-katamu, Sui Ceng. Kau... kau tentu tidak
sudi melakukan perjalanan bersamaku."
Sui Ceng
tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, kita memang tidak
memiliki keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau
berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kongkong-mu itu lebih
dahulu."
“Hm… kau
tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku
segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."
"Selamat
berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.
"Selamat
berpisah, sampai berjumpa kembali," Kwan Cu berkata tanpa memutar tubuh,
bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi.
Akan tetapi
tiba-tiba Sui Ceng membalikkan tubuhnya sambil berseru,
"Kwan..."
Sui Ceng terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu
ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat
kenyataan ini.
"Ada apakah,
Sui Ceng? Masih ada sesuatu yang harus kita bicarakan agaknya?"
"Aku
lupa untuk bertanya mengenai sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu,"
berkata sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya
menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena
keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling... saling
menikah? Mengapa? Mengapa kau gembira?"
Terbelalak
lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan sangat berpengaruh itu.
Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali. Akan tetapi, pemuda ini semenjak
bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seorang gadis
yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis
ini. Dan semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng!
Terdorong
oleh kejujurannya, lagi pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang
gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu
berkata dengan gagahnya.
"Kenapa
aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku... aku cinta
kepadamu!"
Sui Ceng
bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang
begini terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya,
mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi dia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya
menyatakan kemarahan.
"Kwan
Cu, bagus benar watakmu! Bukankah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun
Beng?"
"Memang
aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.
"Dan
kau masih berani menyatakan cin... cinta... padaku?"
"Mengapa
tidak?"
"Kau
mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"
Kwan Cu
mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah
itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Lagi pula, terus terang saja
kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"
Makin
terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya
dengan bibir tersenyum mengejek, "Hmm, dan kau pikir bahwa kaulah orang
yang paling berharga untuk menjadi... menjadi suamiku?"
Kwan Cu
mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."
Sui Ceng
membanting-banting kakinya. "Kau sungguh kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau
besar mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"
"Kau
sudah melakukan hal itu di atas perahu."
"Ya,
akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."
“Kau ingin
sekali membunuhku?"
"Ya,
jika kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah budi memburukkan
nama orang lain di depanku."
"Dengan
ang-kin-mu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa
kau tidak lakukan hal itu?"
Sui Ceng tertegun.
"Selain sombong... kau… kau…"
“Ya...?"
"Kau
juga tabah sekali. Kau orang aneh, dan agaknya kau sudah miring otakmu."
Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari
meninggalkan Kwan Cu.
Kwan Cu
mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.
"Benar-benarkah
otakku telah miring? Kenapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ahh...
jangan-jangan otakku sudah miring benar-benar... "
Sambil
menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ. Ia langsung
menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kongkong-nya,
yaitu Menteri Lu Pin.
***************
Di dalam Goa
Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.
"Kongkong,
aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!”
Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi
karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu.
Orang ini
adalah Lu Kwan Cu yang sudah berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana
kongkong angkatnya telah meninggal dunia. Pada waktu memasuki goa, Kwan Cu
belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, tetapi sesudah dia
membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu
menuju ke hio-louw, ia melihat makam kongkong-nya itu dan menangislah dia.
Hatinya amat terharu.
Mereka itu
dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin.
Keduanya adalah orang-orang yang sangat dijunjung tinggi dan dikasihi oleh Kwan
Cu. Sekarang keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan
bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih
tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.
Kwan Cu
kemudian meninggalkan goa itu sesudah menutupi goa itu dengan batu-batuan dan
alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya
penuh cita-cita, dan tiba-tiba saja dia merasa sebagai seorang yang memanggul
banyak macam tugas kewajiban.
Pertama-tama,
ia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yaitu Hek-i
Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin beserta para pembantu
mereka. Ke dua, dia akan mencari keluarga An Lu Shan dan akan membunuh mereka
semua, sesuai dengan pesan kongkong-nya, Menteri Lu Pin. Dan urusan ke tiga,
dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw
Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.
Berpikir
tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya
berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari
yang lalu. Sui Ceng benar-benar sudah menjadi seorang gadis yang melampaui
keindahan gadis dalam mimpinya.
Ia
benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa
gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau
iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang
pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun Beng telah melakukan hal
yang sangat rendah terhadap Gouw Kui Lan?
Tidak boleh!
Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya
perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.
Dengan cepat
Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki
betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan semua
musuh yang lain. Dia teringat kepada Lu Thong, cucu kongkong-nya yang berhati
khianat itu.
Dia akan
mempergunakan kekerasan dan memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu
Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini
adalah keluarga An Lu Shan juga.
Semenjak
Kwan Cu menyerbu ke kota raja serta berhasil menolong Kui Lan keluar dari
gedung An Kong, tembok kota raja lalu dijaga makin keras. Jangankan manusia
biasa, seekor burung pun agaknya tidak mungkin lewat di atas tembok kota raja
tanpa terlihat oleh para penjaga yang jumlahnya amat banyak dan selalu
melakukan penjagaan secara bergilir.
Akan tetapi
Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal
budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan
melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk
ke kota raja tanpa terlihat oleh siapa pun juga.
Ternyata
bahwa di dalam kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang
bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan sudah
berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri.
Kemudian Si Su Beng juga berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah
berkat bantuan para jagoannya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin,
tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.
Meski
diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang
terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat
sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya dan mencari jalan
untuk merampas kembali kedudukan ‘Yang Dipertuan’ di Kerajaan Tang yang sudah
dirampas itu.
Malam itu
gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah
gedung di mana tinggal An Kong, pangeran botak putera An Lu Kui yang dahulu
pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga
keturunan atau keluarga An Lu Shan, maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia
macam An Kong itu memang sudah pantas jika menerima hukuman mati, karena selama
hidupnya hanya mengotorkan dunia serta melakukan kejahatan dan kekejian belaka.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruangan
tengah ia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang
telah dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu sudah
pernah dia kalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong
Tek Kauw, dua orang panglima yang mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi yang
bagi Kwan Cu bukan apa-apa.
Melihat An
Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini
mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga
teringat akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.
"An
Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu
sambil melayang ke bawah.
Tadi ketika
mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di
bawah genteng. Kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.
An Kong dan
dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut
cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah
merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah
sekali.
"Bagus,
kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas
lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.
Tapi kali
ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. Dia
datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin
sekeluarga terbinasa secara sia-sia.
Begitu
melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja ia
telah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Setelah
menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat kepandaian pemuda ini
memang tak bisa diukur lagi tingginya. Ia sudah mengetahui semua pokok dasar
segala macam serangan ilmu silat. Maka, menghadapi serangan dari An-kong ini,
dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya.
Dengan
tangan kirinya, dia mempergunakan gerak tipu Kong-ciak Siu-po (Burung Merak Sambut
Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak
Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata, sebelum An Kong tahu apa
yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu.
Pemuda sakti
ini tidak berhenti sampai di situ saja. Dan pada saat kedua kakinya sudah
menginjak lantai, tangan kanannya lantas bergerak melakukan pukulan Pek-in
Hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.
“Krakk!"
Terdengar
kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong, lalu disusul oleh menjeritnya
pangeran botak itu yang terlempar ke belakang kemudian jatuh sambil
mengerang-erang kesakitan.
"Kau
kejam sekali! Ada permusuhan apa di antara kau dan aku maka datang-datang kau
menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan sangat kagum, akan
tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam
berpengaruh.
"Ingat
saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus
mati."
Setelah
berkata demikian, dari tempat ia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada
pangeran botak itu. Biar pun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan
Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan
tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in Hoat-sut yang keluar dari
pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!
Untuk
sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tidak mampu
berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi,
mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan.
Kwan Cu
tentu saja tidak gentar, akan tetapi dia pun tak sudi melayani orang-orang yang
tidak ada sangkut paut dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak, dua orang
perwira itu sudah roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu
bisa terjadi.
Memang,
dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, lagi pula karena dia mempunyai
gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan
mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.
Kwan Cu
menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok. Dijambaknya rambutnya dan
diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.
"Hayo
katakan, di mana adanya An Lu Kui?" bentaknya sesudah orang itu terbebas
dari totokan.
Cang Kwan
gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah memiliki banyak
pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang telah menduduki tempat
yang cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti
seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.
"An-ciangkun
berada di gedungnya sendiri," jawabnya perlahan.
"Di
manakah itu? Hayo kau antar aku!"
Kwan Cu
mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah
boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruangan itu terus melayang naik ke
atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka kemudian tiba di atas sebuah
gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
"Kau
panggil An Lu Kui naik, lekas jika minta nyawamu selamat!" Kwan Cu
mengancam perlahan.
Karena sudah
tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu
berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam.
"An-ciangkun,
harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!"
teriaknya.
Hening
sesaat, kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.
"Eh,
eh, ehh, bukankah yang di atas itu Cang-ciangkun? Kenapa tidak turun
saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang
di bawah genteng.
Kwan Cu
melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri kemudian melompat
menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan
Cu mendahului sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang
jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini pun
cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.
Ada pun An
Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi
terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan
sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan
tulang iga patah-patah!
"lnilah
pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang sudah binasa oleh
keluargamu!" kata Kwan Cu.
Melihat
panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia
mengerahkan tenaga Pek-in Hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu
tewas tanpa banyak penderitaan lagi.
Tiba-tiba
berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh
empat orang kakek. Tiga orang di antara mereka adalah tosu-tosu yang berjenggot
panjang.
Kwan Cu
segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki
Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin,
ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang dulu pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan
Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi ialah seorang hwesio berkepala
gundul dan bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak
kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun
memiliki kepandaian tinggi.
"Eh,
ehh, ehh, dia sudah membunuh An-ciangkun!" Kiam Ki Sianjin berseru kaget.
"Anak muda, bukankah engkau adalah murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu
Kwan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana?”
Kwan Cu
berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Sekarang engkau dan
kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"
Empat orang
kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum sekali melihat sikap pemuda
yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.
"Bagus,
bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati
khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat
terang."
Sebetulnya
Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng
Sian-jin, perutnya sudah menjadi panas. Inilah seorang di antara mereka yang
mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu.
Maka,
seketika itu juga dia memiliki niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya
itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia lalu mengikuti empat
orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua
bangunan di situ.
Ruang depan
bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan
Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi matanya melirik
ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.
"Orang
muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?”
Kiam Ki Sianjin bertanya setelah mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja
bundar yang terukir indah.
"Aku
tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An
Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu
Shan dan para kaki tangannya."
"Hemm,
kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, oleh
karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua,
tapi sayang sekali masih ada seorang lagi yang sempat melarikan dirinya. Dialah
keturunan terakhir dari An Lu Shan."
"Siapakah
dia?" Kwan Cu mendesak sebab dia memang amat tertarik mendengar bahwa
masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.
“Namanya An
Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."
"Aku
pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.
"Bagus,
kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas
semua sampai habis!" kata Kiam Ki Sianjin yang merasa dirinya amat cerdik
telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi
orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi
majikannya!
Sebagaimana
sudah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan
menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena ia
maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si
Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang
yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini berjumpa dengan Kwan
Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan
merasa diri amat pandai.
Akan tetapi,
alangkah kagetnya pada waktu dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa
bergelak.
"Kiam
Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu yang tidak bertulang itu menyemburkan kata-kata
yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang semacam kau ini tahu apa akan
perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah,
menindas rakyat. Tidak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, benar-benar
memualkan perutku! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu
saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah
air dan bila aku telah menyelesaikan tugas-tugasku, aku pun akan membantu
perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada
pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"
Kiam Ki Sianjin
menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya. Bukan karena takut
terhadap ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang
setidaknya menikam ulu hati itu.
"Bangsat
bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat
keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"
Kwan Cu
tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu
dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!"
Dia
melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya.
"Pek-eng Sianjin, mengakulah! Apakah dahulu kau ikut pula mengeroyok suhu
Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"
"Pinto…
(aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup.
Memang dia
sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah
merasa gentar sekali.
“Hemm,
ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama
saja. Kau mesti mampus! Kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw,
dan yang lain-lain!"
"Lu
Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau
bersikap seakan-akan kau merupakan tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus
tahu sopan santun. Orang muda macam engkau ini hendak membunuh tokoh-tokoh
besar yang kau sebutkan tadi? Ha-ha-ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak
kulihat sampai di mana kepandaianmu!"
Ada pun
Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera
teringat bahwa dia sudah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia
pun berkata,
“Anak muda,
biar pun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di
sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin
mencabut pedangnya dan bersikap gagah.
"Nanti
dulu, Pek-eng Toyu. Pinto yang menjadi tuan rumah, jadi pinto pula yang berhak
memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah.
Dia lalu
melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah
kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku
barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada
kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau
sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."
Kwan Cu
marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena
maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.
"Kiam
Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah
kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan
pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku
dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng
Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu
perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau
masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan
melayani segala macam lagu yang ingin kau nyanyikan!"
Kiam Ki
Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan
pedang hitamnya, dia pun tak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu
untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Karena itu kini
dia berlaku cerdik dan hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan
yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,
"Kita
memang tidak mempunyai alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja
kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai
senjata!"
Kiam Ki
Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia
telah mempelajari dengan baik cara menggunakan meja, bangku atau kursi sebagai
senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba ketika dia tidak bersiap dengan
senjata tajam. Dia telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat
tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan
kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas
kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi
baginya menguntungkan itu. Dia sudah siap dengan sindiran-sindiran dan
menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan
senjata yang aneh itu.
Akan tetapi,
Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam pokok dasar
ilmu silat yang dia pelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Maka sambil
tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,
"Baik,
Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"
Pemuda ini
lalu menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah
kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang
sebentar lagi!"
"Jangan
banyak mengobrol, lihat senjata!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun
mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.
Kwan Cu
terkejut. Tidak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki
Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah
hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain.
Ia cepat
melompat untuk menghindarkan diri, tak berani menangkis sebelum mempelajari
cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan
dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari
balik meja itu sehingga sulit pula bagi Kwan Cu untuk melihat pergerakan pundak
dan paha lawannya!
Inilah yang
dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas
sekali dan bisa melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami
ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih
meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan bisa
digunakan untuk mengatur siasat serangannya!
Selama
belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana
ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu sungguh-sungguh hebat sekali, angin
pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran.
Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan
hawa pukulan itu!
Kiam Ki
Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang
amat tinggi, kiranya tidak akan kalah tinggi oleh tingkat dari kelima tokoh
besar, sungguh pun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. Oleh
karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya terasa sakit dan
penasaran bukan main. Dia prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang
masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa
rajinnya, bahkan memperpanjang waktu semedhinya dan memperhebat latihan napas
untuk memperkuat tenaga lweekang-nya.
Tidak aneh
bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang
dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia
hendak membalas kekalahannya yang dulu.
Kwan Cu
merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi
yang lihai. Bagaimana seorang dapat menggunakan meja dengan gerak-gerak tipu
yang demikian teratur baik? Tidak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan
ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini.
Kwan Cu yang
cerdik tidak kekurangan akal. Dia segera mengerahkan ginkang-nya dan tiba-tiba
tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang
serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu segera mengelak dengan lompatan
tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!
Dari atas
barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia
dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah
menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis isi kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu
silat meja itu.
Menghadapi
kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga mulai
kewalahan. Mejanya tidak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian
kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu
dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.
"Roboh
kau!" seru Kiam Ki Sianjin.
"Sabar,
orang tua," jawab Kwan Cu.
Dengan cepat
dia menggerakkan dua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua
kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Ada pun
meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk
melindungi tubuhnya yang melayang turun.
"Bagus
sekali!" tak terasa lagi Kiam Ki Sianjin memuji saking kagumnya melihat
betapa dengan mudahnya pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu
secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi dielakkan saja
oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda
itu, melainkan heran karena pemuda itu memainkan silat meja yang tadi
dimainkannya!
Ilmu silat
meja itu merupakan ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini mampu meniru
sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih di dalam kamarnya, pemuda ini
secara diam-diam mengintainya?
Terpaksa
Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, walau pun
keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kali pun
juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak
menggunakan ginkang-nya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan
yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis
keras. Dua meja bertumbukan di udara.
"Krakkk!"
Meja di
tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa dua kaki meja yang
dipegang oleh kakek ini sudah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga
sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah
kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga ‘senjata’ itu masih
berada di tangannya.
Muka Kiam Ki
Sianjin merah sekali. Dia tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang
amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu sudah menggunakan tangan kiri
memukul meja dan berkat tenaga lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil
mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya.
Sebenarnya, Kiam
Ki Sianjin masih merasa penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena
sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa
malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia kemudian tersenyum pahit dan
berkata,
"Lu
Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada
kesempatan, pinto minta pengajaran darimu."
Kwan Cu
memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan juga
tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat.
Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin,
kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum
sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan
Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar
lunas."
Kwan Cu lalu
menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek, "Pek-eng Sianjin,
marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan
perhitungan!"
Pek-eng
Sianjin menjadi pucat wajahnya. Dia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja
tidak mampu merobohkan pemuda ini, apa lagi dia. Tanpa malu-malu lagi dia lalu
berkata kepada Kwan Cu,
"Orang
muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau
telah berlaku ngawur saja bila menantang pinto. Ketahuilah bahwa sebetulnya
pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan
yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada
Kiam Ki Sianjin atau kepada siapa pun juga."
Kwan Cu
merasa ragu-ragu. Tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang
benar-benar tidak berdosa.
"Kiam
Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"
"Memang
begitulah sepanjang yang pinto dengar. Akan tetapi pinto tidak menyaksikan
sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin.
Sebetulnya,
tosu ini walau pun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng
Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Namun sikap Pek-eng Sianjin
dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban
bercabang.
"Betapa
pun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau
percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok
suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng
Sianjin.
Pucatlah
muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama
juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan
yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik.
Kalau dia
menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal
itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah
sekarang dia menderita hinaan orang, kelak masih ada waktu untuk membalasnya,
pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,
"Pinto
bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan
dan nama baik pinto."
Kwan Cu
tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang
telah dia ketahui kualitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi
hajaran, biar pun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya,
setidaknya dia sudah memberi tamparan kepada batinnya.
"Pek-eng
Sianjin, baik sekali kau tadi mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau
bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau juga tidak akan mampu dan berani
mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu."
Kembali Kwan Cu tertawa.
Menggigil
tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora kemarahannya. Ia merasa telah
dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dia berkata dengan
mata bernyala-nyala,
"Lu
Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu ini, aku hendak menantangmu untuk mengadu
kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san.
Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"
Kwan Cu
tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan
menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir,
aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"
Tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga
sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali
karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan
Cu.
Sebelum Kwan
Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan
Cu, segera mengebutkan lengan bajunya kemudian menghadapinya sambil tersenyum.
"Perlahan
dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda mempunyai kepandaian tinggi dan
watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah
murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"
Kwan Cu
melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek
bundar, bibirnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat
dari pada kain mahal dan amat mewah. Sinar matanya memandang rendah sekali,
karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya apa bila pemuda sehijau ini
memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
"Losuhu
siapakah dan ada maksud apa mengajak berbicara kepadaku?" jawab Kwan Cu
acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.
Hwesio itu
lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil
berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai seorang
tamu, telah semestinya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar
dengan pemuda ini. Telah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin
Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia sudah keburu
meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini,
pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."
Tentu saja
Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia
sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat
sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang,
dia banyak mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu
dan berkata,
"Orang
muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai.
Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu,
apa kau berani menghadapinya?"
Memang Kiam
Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka
menghadapi hwesio itu, tentu saja Kwan Cu akan menyatakan tidak sudi, sebab
pemuda ini memang tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tak ada urusan
dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi
tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali
menerima!
"Orang
sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda
berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan
menatap tajam kepada Bian Ti Hosiang.
Hwesio ini
mencabut pedangnya sambil berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar
girang dapat mencoba ilmu kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu,
keluarkanlah pedangmu yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu."
Kwan Cu
sangat terkejut. Dia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari
kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Dia
sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya pada waktu
menghadapi musuh-musuh besarnya.
Tadi dalam
menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang
Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih terlampau rendah baginya. Bila
kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng
Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam.
Kini hwesio
gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu
menandakan bahwa mata hwesio ini amat tajam. Ia pun sudah pernah mendengar nama
Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini sedang
berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Karena itu dia cepat menjura
sambil tertawa.
“Ahh, tidak
tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Hosiang Locianpwe
dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat (ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di
seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu
pedang lain? Apa lagi antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan
sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini."
Kwan Cu
mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini
tidak dirampas oleh bajak sungai.
Mendengar
kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang
pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda sekali dengan
kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi.
Akan tetapi,
di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua
dari Bu-tong-pai yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini akan
dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Dia
ragu-ragu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin segera tersenyum berkata,
"Bian
Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai
dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"
Bian Ti
Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Apa bila dia
bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling
itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak
keras untuk menimbulkan pengaruh lweekang-nya,
"Lu-sicu,
bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bentakan ini
disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini
dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan
membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam Kiat-ciang (Mengulur
Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang
lihai.
Namun siasat
ini tidak mempan sama sekali terhadap Kwan Cu karena pemuda ini sudah tahu akan
maksud lawannya, sungguh pun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah
kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu
menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni mempergunakan Tian-kiam
Kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment