Sunday, July 1, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sakti Jilid 22



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Sakti
                     Jilid 22


MELIHAT ini, Kwan Cu terkejut bukan main. Baginya sendiri, masih banyak jalan untuk bisa membebaskan diri dari kepungan bajak. Akan tetapi melihat bahaya yang mengancam gadis yang disangkanya Bun Sui Ceng itu, dia terpaksa melompat pula ke dalam air!

Baiknya Oei Liong tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, sehingga sebelum Oei Hwa turun tangan, terlebih dulu Oei Liong menangkap gadis itu dan dibawa tenggelam sehingga gadis itu menjadi lelah dan pingsan karena banyak minum air!

Sebaliknya, Oei Hwa juga mempunyai maksud hati yang sama dengan kakaknya. Dia tertarik oleh ketampanan wajah Kwan Cu, maka bagaikan seekor ikan duyung, nona ini menangkap kedua kaki Kwan Cu dan menyeretnya ke bawah permukaan air!

Oei Liong memeluk tubuh gadis tawanannya, dibawa berenang ke perahu, demikian pula Oei Hwa. Pertama-tama, di atas perahu mereka menolong dua orang tawanannya itu.

Tubuh gadis itu dijungkir balikkan sehingga banyak air sungai keluar dari mulutnya. Akan tetapi anehnya, ketika Oei Hwa membalikkan tubuh Kwan Cu, tidak setetes pun air keluar dari pemuda ini.

Oei Hwa menggaruk-garuk kepalanya, apa lagi ketika dia melihat perut pemuda itu yang tadinya kembung itu kini telah kempes kembali.

"Hwa-moi (adik Hwa), gadis ini cantik luar biasa, tidak kalah olehmu. Dia pantas menjadi isteriku!" kata Oei Liong tertawa girang.

Oei Liong cepat mempergunakan tambang pengikat layar untuk membelenggu kaki dan tangan gadis itu, sedangkan sepasang pedang gadis itu yang diambil oleh anak buahnya dia rampas. Demikian pula Oei Hwa lalu membelenggu kaki tangan Kwan Cu.

"Hwa-moi, pemuda ini berbahaya sekali. Lebih baik lekas kita binasakan dia!" kata Oei Liong

Adiknya melirik dengan sepasang pipi merah. Dalam pakaian basah kuyup serta rambut yang awut-awutan, warna merah di pipi itu membuat Oei Hwa kelihatan makin cantik.

"Kau memikirkan kepentingan dirimu sendiri saja, Twako. Pemuda ini kulihat seratus kali lebih baik dari padamu. Apa hanya kau saja yang memikirkan jodoh?"

Oei Liong tertegun, kemudian tertawa tergelak-gelak sambil menudingkan jari telunjuknya kepada muka adiknya yang menjadi malu.

"Sudahlah, mari kita menghaturkan terima kasih kepada Dewa Air yang telah melindungi kita," kata Oei Hwa. Keduanya lalu maju dan berlutut di depan patung perunggu itu!

Kemudian, diantarkan oleh anak buah mereka, kakak beradik ini lalu menggotong tubuh Kwan Cu dan gadis tawanan itu ke pantai dan langsung dibawa ke dalam hutan, sarang mereka. Hati mereka girang sekali karena mereka menemukan orang-orang muda yang menjadi tawanan itu lihai sekali, akan tetapi mereka memiliki daya untuk membuat dua orang tawanan mereka itu tak berdaya, yakni dengan jalan meminumkan obat beracun!

Tiba-tiba, sebelum mereka jauh meninggalkan pantai, salah seorang anak buah mereka menjerit sambil menudingkan telunjuk ke tengah sungai. Semua orang menengok dan aneh sekali! Perahu besar di mana patung perunggu itu disimpan perlahan-lahan mulai tenggelam, seakan-akan pada bagian bawahnya bocor.

"Celaka, lekas cegah dia tenggelam!" teriak Oei Hwa dan Oei Liong.

Semua anak buah bajak segera berperahu dan cepat menuju ke perahu besar itu. Akan tetapi terlambat, perahu itu telah tenggelam bersama arca yang mengerikan itu!

"Celaka!" Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa membanting-banting kakinya ketika melihat perahu itu tenggelam.

Ia tidak begitu menyayangkan perahunya yang besar dan indah itu tenggelam, terutama sekali yang membikin ia merasa menyesal adalah tenggelamnya patung perunggu yang berada di atas perahunya. Tenggelamnya patung itu merupakan tanda bencana bagi dia dan kawan-kawannya!

"Sudahlah, Hwa-moi," Luan-ho Oei Liong menghibur adiknya, "Untuk pengganti patung Dewa Air, aku sudah mendapatkan nona ini dan kau mendapatkan pemuda ganteng itu, bukankah mereka lebih baik? Mudah nanti kita mencari patung baru yang lebih baik."

Terhibur juga hati Oei Hwa ketika ia melirik ke arah Kwan Cu yang dipondongnya. Maka ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama kakaknya dan para bajak sungai, menuju ke hutan yang mereka jadikan sarang.

Malam hari itu bulan bersinar gemilang. Di dusun dalam hutan itu, para bajak air sedang mengadakan perayaan pesta pernikahan dua orang pemimpin mereka. Pesta diadakan di lapangan yang luas dan dua orang tawanan itu didudukkan di tengah lapangan dengan kaki tangannya dibelenggu.

Para bajak sungai hendak menyaksikan betapa kedua orang calon pengantin itu hendak diberi obat yang disebut oleh pemimpin mereka sebagai obat pengantin! Padahal obat itu adalah obat beracun yang akan membuat Kwan Cu dan nona tawanan itu mabuk dan kehilangan ingatan sehingga keduanya akan menuruti segala kehendak Oei Liong serta Oei Hwa!

Kwan Cu saling lirik dengan nona di sebelahnya. Diam-diam pemuda ini merasa sangat geli karena nona ini cemberut dan memandangnya dengan muka marah. Sedikit pun tak kelihatan nona perkasa itu takut, maka diam-diam Kwan Cu menjadi kagum.

Baginya sendiri, tidak ada yang perlu ditakutkan, karena kalau dia mau, sesungguhnya hanya dengan beberapa gerakan saja semua belenggu kaki tangannya akan mudah dia putuskan dan dengan mudah pula dia akan bisa menolong keselamatan mereka berdua. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini dan akan menanti dan melihat lebih dulu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kwan Cu mengganggap semua itu sebagai lelucon yang menggelikan belaka, bahkan semua yang sedang dihadapinya merupakan hiburan yang menggirangkan hatinya.

"Dasar kau yang menjadi biang keladi!" Nona di sebelahnya menggerutu kepadanya.

Kwan Cu tersenyum dan memandang dengan mata jenaka. Gadis itu makin marah, akan tetapi juga terheran-heran. Dia sendiri memang berhati tabah dan keras, sedikit pun tidak sudi memperlihatkan kelemahan hati dan tidak mau kelihatan takut.

Akan tetapi tersenyum-senyum seperti pemuda itu, dengan pandangan mata demikian jenaka seakan-akan merasa gembira sekali, tak mungkin dapat dia lakukan! Bagaimana dalam keadaan demikian berbahaya dan tak berdaya, pemuda itu masih bisa tersenyum-senyum gembira?

"Kau cengar-cengir mau apakah?" bentaknya perlahan-lahan sambil pelototkan matanya. "Sungguh, kalau bukan kau tolol atau gila, agaknya aku yang sudah berubah ingatanku melihat orang tertawan dan berada dalam keadaan bahaya masih cengar-cengir seperti badut!"

"Mengapa tidak bergirang hati? Kau dengar sendiri tadi, kau dan aku hendak dikawinkan dengan Oei Liong dan Oei Hwa. Siapa yang tidak girang?"

Nona itu menjebikan bibirnya yang merah. "Hemm, kau girang hendak menjadi suami Oei Hwa, siluman wanita itu? Dasar mata keranjang! Huh, muak perutku melihat mukamu!"

Kwan Cu semakin geli hatinya. "Jadi kau tidak suka dikawin oleh Oei Liong, kepala bajak yang gagah dan bermuka kuning itu?"

"Siapa sudi? Lebih baik aku mati!"

"Aha, sudah tentu kau tidak suka karena kau sudah bertunangan! Bukankah kau adalah tunangannya The Kun Beng?"

Nona itu membelalakkan matanya dan mukanya berubah. "Bagaimana kau bisa tahu? Siapakah kau?"

"Bun Sui Ceng, lupa lagikah kau kepadaku? Dahulu sudah sering kali kita bertemu."

"Heeee...?! Siapa kau?" Gadis itu yang ternyata memang benar Bun Sui Ceng adanya, bertanya kaget.

"Aku selamanya takkan bisa lupa kepadamu, takkan lupa kepada mendiang ibumu yang berhati mulia. Aku adalah bocah gundul yang dulu pernah ditolong oleh ibumu."

"Kwan Cu...?!? Kau Lu Kwan Cu...?" Sui Ceng memandang dengan mata terbelalak dan sinar matanya mencari-cari, menyelidiki ke seluruh kepala serta muka Kwan Cu, maka tertawalah gadis itu, tertawa geli sekali.

Kwan Cu mengerutkan kening. Kalau tadi dia mentertawai gadis itu, sekarang dia yang ditertawai. Apanyakah yang menggelikan? Apakah mukanya bercoreng hitam?

"Ehh, Sui Ceng, kau cekikikan itu ada apakah?" tanyanya mendongkol.

Sui Ceng makin geli, menggigit bibirnya agar mulutnya tidak terbuka dalam ketawanya, karena dia tidak mungkin dapat menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya. Oleh karena gerakan bibir itu, ia nampak lucu sekali.

"Alangkah lucunya keadaanku," akhirnya dia dapat berkata, "tak kusangka dapat bertemu dengan kau disini, dalam keadaan begini pula. Hi-hi-hi Kwan Cu, kau masih dogol seperti dulu, dogol dan tolol, sungguh menggelikan hati sekali. Dan kau sekarang agaknya mata keranjang sekali, sehingga engkau kelihatan gembira benar hendak dikawin oleh siluman wanita Oei Hwa itu."

"Kau keliru Sui Ceng. Aku bergirang bukan karena akan dipaksa menjadi suami Oei Hwa, melainkan bergirang karena kau dan aku keduanya akan menikah. Dan melihat keadaan kita ini, aku merasa bahwa kitalah yang akan saling menikah, kau dengan aku dan aku dengan kau… bukankah ini menggembirakan sekali?"

Untuk sejenak Sui Ceng tertegun dan memandang dengan sinar mata bodoh kemudian tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinga-telinganya.

"Kwan Cu, kalau aku tidak tahu bahwa kau adalah seorang yang dogol, tolol dan jujur, aku tentu akan menganggap ucapanmu itu kurang ajar sekali."

Kwan Cu tersenyum. "Terus terang saja, Sui Ceng, kau tentu lebih suka menikah dengan aku dari pada dengan siluman muka kuning itu, bukan?"

"Tentu saja, orang bodoh! Akan tetapi, jangan kita mengoceh yang bukan-bukan. Lebih baik sekarang mencari jalan bagaimana caranya kita dapat lepas dari bencana ini, atau bagaimana nanti sikap kita kalau mereka memaksa kita."

"Terserah kepadamu, aku akan menurut saja apa yang akan kau lakukan."

"Kalau mereka memaksa, tentu aku akan memberontak dan melawan mati-matian, begitu mendapat kesempatan melepaskan diri dari belenggu ini."

Kwan Cu mengangguk-angguk. "Aku pun begitu," katanya.

Hening sesaat dan mereka saling pandang.

"Kwan Cu, kau berubah sekali, maka tadi aku tidak mengenalmu. Dulu kau gundul dan buruk, seperti anak cacingan, sekarang..."

"Sekarang bagaimana...?"

"Hemm, harus kuakui bahwa kau sekarang telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas saja siluman wanita itu tergila-gila padamu."

Merah wajah Kwan Cu, merah karena girang. "Ahhh, pujianmu itu berlebihan. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Kun Beng..."

"Kau sudah bertemu dengan dia? Aku belum pernah melihatnya sekarang."

"Aku pun belum. Akan tetapi semenjak pertemuan tadi, aku sudah menduga bahwa kau tentulah Sui Ceng, kau masih lincah dan jenaka seperti dulu... dan... lebih cantik!"

Sui Ceng menundukkan mukanya, kini agak kecewa menghadapi bahaya yang mungkin akan menamatkan nyawanya, nyawa mereka berdua.

"Sayang sekali, Kwan Cu. Tadinya aku hendak mendahului dan mawakili engkau, hendak menjalankan pesan terakhir dari menteri Lu Pin yang agung. Ternyata agaknya riwayat kita akan tamat sampai di tempat ini..." Gadis itu menghela napas berulang-ulang.

"Pesanan dari Lu-kongkong? Pesan apakah...?" Kwan Cu bertanya.

"Jadi kau belum sampai ke Goa Tengkorak?"

"Aku memang hendak menuju ke sana, akan tetapi tertunda karena peristiwa ini."

"Hemm, sayang... pesanan itu akan hilang begitu saja agaknya kau dan aku tidak akan terlepas dari ancaman ini. Kasihan Lu-Taijian..."

"Bagaimana bunyi pesan itu?"

"Kau harus pergi ke sana sendiri dan membacanya sendiri."

Percakapan mereka terhenti karena dengan iringan tambur serta gembreng, diiringkan pula oleh anak buah bajak sungai, nampak datang Oei Liong dan Oei Hwa, keduanya dalam pakaian pengantin!

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Kwan Cu tertawa terkekeh-kekeh.

"Hushh! kau cekakakan ada apakah? Girang barang kali melihat mempelai datang?" Sui Ceng menegur

Kwan Cu semakin geli. "Lihat, alangkah lucunya mereka itu...! Mereka sudah berpakaian pengantin dan kita masih dibelenggu begini macam, hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya?"

Sui Ceng benar-benar merasa heran melihat sikap pemuda ini yang sama sekali tidak susah atau takut. Dia sendiri semenjak tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memutuskan belenggu, namun sia-sia belaka.

Kwan Cu tidak berusaha meloloskan diri, sebaliknya menanti kelanjutan perbuatan para bajak itu bagaikan seorang anak kecil hendak menikmati tontonan yang bagus. Memang benar-benar pemuda aneh sekali!

Oei Liong dan Oei Hwa datang membawa cawan arak dan di tangan kiri masing-masing memegang guci kecil penuh arak. Inilah arak yang mengandung racun perampas ingatan orang!

"Manisku, sebelum engkau memakai pakaian pengantin, terlebih dahulu minumlah arak ini sebagai tanda pemberian selamat dariku," kata Oei Liong sambil memperlihatkan guci itu.

"Kau juga, Kanda. Minumlah arak ini sebagai tanda cinta kasihku," kata Oei Hwa yang mukanya sudah merah itu dengan sikap genit sekali. Nona ini memang tadi sudah minum arak sampai mabuk sehingga tidak mengenal malu lagi.

"Aku tidak sudi!" jawab Sui Ceng membentak keras dan mengedikkan kepalanya.

"Sayang sekali apa bila harus dipaksa, Manisku. Maafkan, terpaksa aku mempergunakan kekerasan." Sambil berkata demikian, Oei Liong lalu menggerakkan tangan menotokkan leher Sui Ceng yang tak dapat mengelak sehingga jalan darahnya terkena totokan yang lihai itu dan lemaslah dia tak berdaya lagi!

Oei Liong sudah siap untuk mendekati Sui Ceng dan membuka mulut gadis itu, ketika mendadak terdengar suara orang-orang menjerit dan berlari-lari. Ternyata bahwa yang berlari-lari itu adalah para bajak yang menjaga di luar dusun.

"Celaka... ada siluman mengamuk!" Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para bajak yang belari-lari itu mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.

Oei Liong terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu. Juga diam-diam Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu. Kalau sekiranya tidak ada gangguan itu, tentu dia telah memutuskan belengu dan memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan membiarkan saja Sui Ceng dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.

"Ada apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar dan tidak tahu aturan sehingga berani mengganggu upacara pernikahan kami?" teriak Oei Liong dengan marah sekali.

Kepala bajak ini telah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa telah mencabut sepasang pedangnya. Dengan hati marah dan mendongkol keduanya lantas melompat menuju ke arah terjadinya ribut-ribut tadi.

Akan tetapi mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung ketika melihat apa yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati itu.

Dari luar dusun, nampak bayangan besar berlompat-lompatan menuju ke tempat mereka dan di bawah sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni patung perunggu yang tadi tenggelam bersama perahu ke dasar sungai! Terkena cahaya bulan, patung itu seolah-olah hidup, dua matanya yang merah mengeluarkan sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.

Ketika terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang terbelenggu dan dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher Sui Ceng. Tanpa sepengetahuan gadis itu, ia telah berhasil membuka totokan yang membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya.

Gadis ini merasa heran akan tetapi dia tidak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah membebaskannya karena pada saat itu dia pun memandang ke arah bayangan yang berlompatan itu dengan mata terbelak dan muka pucat. Sui Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang tadi sudah tenggelam bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan dia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.

Jangankan Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang sejak kecilnya mengalami banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada waktu itu duduk melenggong dengan mulut terbuka dan mata terbelalak lebar memandang ke arah patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah menjadi patung.

Semua bajak sungai, seorang demi seorang lantas mengambil langkah seribu dan berlari tunggang-langgang ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu terus melompat-lompat menghampiri mereka. Kini tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan tetapi tangan mereka terasa lumpuh saking besarnya rasa takut yang mengamuk di dalam hati dan pikiran.

"Oei Liong dan Oei Hwa, kalian telah berdosa besar!" demikian patung itu mengeluarkan suara. Suaranya amat besar dan nyaring sehingga Kwan Cu yang tadinya sudah seperti berubah menjadi patung, kini siuman kembali dari keadaannya.

"Kalian membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta ijin. Karena dosa-dosa itu, kalian harus binasa...!"

Kemudian terdengar patung itu menggereng dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong dan Oei Hwa!

Kakak beradik ini merupakan orang-orang berhati kejam dan mereka tidak akan merasa ragu-ragu untuk menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya akan tahayul. Kini menghadapi kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan melarikan diri! Oei Liong sampai tersandung dan jatuh dua kali karena walau pun dia berkepandaian tinggi, kedua kakinya menggigil sehingga membuat larinya kaku sekali!

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kwan Cu tertawa geli sesudah melihat semua bajak laut berlari pergi. "Saudara yang baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!"

Sui Ceng tertegun. Gadis ini pun sudah pucat sekali. Ia membayangkan betapa hebatnya mati dalam tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu mengajaknya bicara?

Terjadilah hal yang sangat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan bibirnya, dan tiba-tiba patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk, bergulingkan di atas tanah dalam keadaan rusak karena terbentur batu. Akan tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata bersembunyi di dalamnya! Manusia ini lalu tertawa bergelak-gelak dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya tinggi besar, bermata lebar dan suaranya besar.

"Matamu sungguh tajam, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di dalamnya?" tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.

Kwan Cu menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian dia pun ikut tertawa terpingkal-pingkal.

"Ha-ha-ha, tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja demikian lihai sehingga tikus-tikus itu melarikan diri."

Pemuda itu terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan cepat dia membuka belenggu yang mengikat tangan dan kaki Kwan Cu serta Sui Ceng, kemudian dia bertanya,

"Kau siapakah?"

"Lihat baik-baik, kawan. Sudah lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan Liok-te Mo-li, ibumu?"

Pemuda itu memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putera dari Liok-te Mo-li. Setelah mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu teringat dan dengan girang sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.

"Ha-ha-ha, tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tak percuma aku bermain gila seperti tadi. Kalau saja aku tahu bahwa kaulah yang mereka tawan, tentu aku akan mengejar mereka terus sampai mereka mampus ketakutan! Sekali lagi, bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang sembunyi?"

"Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan badanmu, akan tetapi pada waktu kau melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu."

Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biar pun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.

Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Pemuda tinggi besar ini benar-benar orang aneh sekali, aneh, seperti juga Kwan Cu.

"Ha-ha-ha, saudara Kwan Cu. Apa kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tunggang-langgang sampai dia terkentut-kentut?" sambil berkata demikian, pemuda yang bertubuh besar ini memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Apa bila bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya!

Kwan Cu tertawa terbahak-bahak. "Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tunggang-langgang sampai terkencing-kencing!" Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.

Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat terkejut. Tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya, maka ia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.

"Ehh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?"

Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng. "Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li."

Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada Sui Ceng dan berkata,

"Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun Lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh."

Sui Ceng tertawa. Semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, dia merasa kagum dan geli, terutama sekali melihat betapa setiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.

"Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah sudah mati atau belum pada saat ini," kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang matanya memandang rendah. "Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu."

"Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biar pun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, jika kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya main-main belaka." Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.

"Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau menceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?"

Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena dia sendiri pun ingin sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.

"Aku memang mendapat tugas dari ibuku untuk menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa. Semenjak mudanya Ibuku memang menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tidak pernah melakukan kejahatan, apa lagi merampok rakyat yang memiliki mata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan mampu menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkan perahu itu. Kemudian aku lalu menggunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu." Sesudah menuturkan pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.

Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan dia lantas mencela, "Saudara Kong Hoat, kau... cengeng (mudah menangis) sekali!"

Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia pun menjawab, "Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!"

Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu tertawa-tawa.

Mendadak terdengar suara orang-orang berteriak. Ternyata, sambil berteriak, para bajak sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!

"Nah, mereka benar-benar datang. Tentunya mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!" kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang amat panjang dan berat.

"Apakah kau bersenjata?" tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apa lagi ikat pinggangku masih ada!"

Gadis ini lalu meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali dia menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak laksana seekor ular merah yang menyambar-nyambar. Diam-diam Kwan Cu merasa amat kagum dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Dia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya. Dia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.

Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap, "Di mana adanya keparat yang sudah menipu kami dan menghina Dewa Sungai?!" Oei Liong berseru sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.

"Aku di sini dan siap untuk mengemplang pecah kepalamu!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dan terlihat Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.

"Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!" Seru Oei Liong dan Oei Hwa.

Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada para anak buah mereka, karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.

"Kwan Cu, kau mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!" berkata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi kedua orang pemimpin bajak itu dengan tangan kosong saja.

Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu dia duduk di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang akan menonton pertunjukan bagus. Akan tetapi, secara diam-diam matanya mencari-cari batu-batu kecil dan kedua tangannya menggerayang mengumpulkan batu-batu ini.

Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak sungai yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.

Ketika Oei Hwa melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,

"Calon suamiku, apakah tadi kau tidak mengalami kekagetan? Marilah kita menyingkir lebih dulu sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar itu!"

"Cih, perempuan hina dina!" Sui Ceng memaki dengan marah dan segera sinar merah dari sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa.

Kepala bajak ini sangat terkejut dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti akan terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng.

Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian kembali menyerang lagi. Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.

"Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon Soso-mu (kakak ipar perempuan)!" kata Oei Liong.

Dia segera maju pula membantu adiknya, tetapi bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.

Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hidup-hidup gadis perkasa itu. Biar pun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, akan tetapi gadis ini lihai sekali. Tadinya para bajak mengira bahwa betapa pun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.

Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang dan ujungnya ‘mencium’ tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu segera memekik ngeri lantas roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu mengarah pada jalan darah kematian dari pada lawan!

Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei Hwa, sebagian besar sudah mundur tak teratur!

Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui ‘batunya’. Dayung di tangan nelayan muda ini sungguh lihai sekali dan kekuatannya laksana seekor gajah mengamuk. Banyak kepala anak buah bajak yang pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu.

Para bajak menjadi semakin kocar-kacir. Banyak pula yang tak tahan menghadapi Kong Hoat lalu mengundurkan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih bertempur.

"Pergunakan jala wasiat!" tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada anak buahnya.

Barulah para bajak itu teringat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, namun untuk menjala manusia, yakni lawan yang tangguh sekali.

Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa juga mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di punggung mereka dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui Ceng.

Gadis ini cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sehelai jala lainnya yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, maka semua ilmu silatnya tak akan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat.

Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.

"Kwan Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.

"Sebentar aku akan rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu.

Dia cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena di samping ia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, kedudukan Sui Ceng yang lebih berbahaya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.

Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Dia tidak menyerang siapa pun juga, hanya menunggu saja dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya lantas berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di tengah-tengahnya sehingga tidak dapat digunakan lagi.

Lain jala menyambar pula. Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu!

Sui Ceng amat kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguh pun dia melihat bahwa semua itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikan pemuda itu. Dia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala, lalu disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!

"Kanda, kenapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa dengan kecewa sekali.

"Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, mulutnya perlu digampar!" Sui Ceng berkata gemas dengan suara menghina, dan dia cepat melompat ke arah Oei Hwa, benar-benar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.

Dalam menampar ini, Sui Ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan Hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga), maka biar pun tidak hebat datangnya, namun sukar untuk dielakkan.

"Plakk!"

Sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan, sementara sudut bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.

"Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah sekali dan dia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng.

Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong Touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian) dan hebatnya bukan main. Pedang itu meluncur cepat bagaikan kilat, menyambar ke arah dada Sui Ceng.

Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena hal ini benar-benar tidak pernah disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada ‘pedang terbang’ menuju ke dadanya. Dia cepat melempar tubuh ke kiri, akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang jika pada saat itu tidak ada sinar berkelebat.

“Tringg…!” pedang yang meluncur tadi tahu-tahu menyeleweng ke pinggir!

Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda. Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.

Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang sudah bekerja secara cepat dan diam-diam, mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak menggunakan pedangnya untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng. Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan!

Sesudah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menengok ke arah Kong Hoat. Alangkah kaget hatinya ketika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala. Pemuda ini terus mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tak ada yang berani mendekat, hanya menambah jala untuk lebih memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala.

Dia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala. Akan tetapi mereka yang menangkapnya juga tidak berani turun tangan!

Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jala-jala itu. Para bajak menyerbu, akan tetapi dengan sangat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu.

Akan tetapi, diam-diam Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam sudah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala-jala itu sudah robek sehingga dengan mudah saja dia dapat keluar dari situ.

“Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan amarah meluap dan dayungnya lalu mengamuk hebat sekali.

Kwan Cu kembali duduk di bawah pohon sambil menonton pertempuran. Dia melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa serta Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, tak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu.

Ada pun Kong Hoat kini juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat segera berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.

Sekarang pertempuran terpecah dua. Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini. Kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar ada pun Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.

Ada pun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Oei Hwa. Kini, sesudah tidak dikeroyok lagi, Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya sedemikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tidak lama kemudian dia menjerit keras, lalu terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!

Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok Oei Liong sedang menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat. Akan tetapi alangkah kaget hati Oei Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan pada waktu dia menengok, ternyata bahwa goloknya itu sudah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.

Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.

"Saudara Kong Hoat, kenapa kau membunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui Ceng dengan suara tidak puas karena menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.

"Bun-lihiap, kejahatan bagaikan pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Apa bila kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata Kong Hoat.

Kata-kata ini segera terbukti. Para anak buah bajak yang melihat kedua orang pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.

"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."

Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar adanya, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata,

"Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus melayani mereka itu."

Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia berkata,

"Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami tak akan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi, kalian jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu yang telah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!"

Sesudah berkata demikian, Kong Hoat lalu menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar suara keras, kemudian pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.

Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk, menyatakan taat akan pesanan ini.

"Ketahuilah bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, ada pun aku sendiri meski pun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"

Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali di dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar biasa.

"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa orang bajak itu.

"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubahlah cara hidup kalian," kata pula Kong Hoat. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.

Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat kemudian menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya dengan sejujurnya,

"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mendapat keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Sesudah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.

Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa.

"Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaianmu."

"Akan tetapi kau jauh lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali ketika dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Ehh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?"

Merah wajah Kwan Cu. Tadi ia telah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini ia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng tiba-tiba dia berkata,

"Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tak mau mengambilnya dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"

Benar saja. Sui Ceng lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya dia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,



   Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


"Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"


"Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?" Kwan Cu bertanya dengan suara girang karena dia telah berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.

SUI CENG kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.

"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak."

Kini Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, maka dia lalu berkata cepat.

"Ahh, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kongkong Lu Pin."

Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakan tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir itu. Memang, biar pun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, tapi Kwan Cu mengira bahwa kongkong-nya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.

"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.

Kwan Cu nampak kecewa sekali. "Benar kata-katamu, Sui Ceng. Kau... kau tentu tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku."

Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, kita memang tidak memiliki keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kongkong-mu itu lebih dahulu."

“Hm… kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."

"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.

"Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali," Kwan Cu berkata tanpa memutar tubuh, bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi.

Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng membalikkan tubuhnya sambil berseru,

"Kwan..." Sui Ceng terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat kenyataan ini.

"Ada apakah, Sui Ceng? Masih ada sesuatu yang harus kita bicarakan agaknya?"

"Aku lupa untuk bertanya mengenai sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling... saling menikah? Mengapa? Mengapa kau gembira?"

Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan sangat berpengaruh itu. Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali. Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seorang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng!

Terdorong oleh kejujurannya, lagi pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.

"Kenapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku... aku cinta kepadamu!"

Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi dia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.

"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"

"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.

"Dan kau masih berani menyatakan cin... cinta... padaku?"

"Mengapa tidak?"

"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Lagi pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"

Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya dengan bibir tersenyum mengejek, "Hmm, dan kau pikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi... menjadi suamiku?"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."

Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau sungguh kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"

"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."

"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."

“Kau ingin sekali membunuhku?"

"Ya, jika kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah budi memburukkan nama orang lain di depanku."

"Dengan ang-kin-mu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"

Sui Ceng tertegun. "Selain sombong... kau… kau…"

“Ya...?"

"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, dan agaknya kau sudah miring otakmu." Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.

Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.

"Benar-benarkah otakku telah miring? Kenapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ahh... jangan-jangan otakku sudah miring benar-benar... "

Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ. Ia langsung menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kongkong-nya, yaitu Menteri Lu Pin.


                   ***************

 Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.

"Kongkong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!” Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu.

Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang sudah berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kongkong angkatnya telah meninggal dunia. Pada waktu memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, tetapi sesudah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, ia melihat makam kongkong-nya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu.

Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Keduanya adalah orang-orang yang sangat dijunjung tinggi dan dikasihi oleh Kwan Cu. Sekarang keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.

Kwan Cu kemudian meninggalkan goa itu sesudah menutupi goa itu dengan batu-batuan dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, dan tiba-tiba saja dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban.

Pertama-tama, ia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yaitu Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin beserta para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluarga An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kongkong-nya, Menteri Lu Pin. Dan urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.

Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar sudah menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya.

Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun Beng telah melakukan hal yang sangat rendah terhadap Gouw Kui Lan?

Tidak boleh! Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.

Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan semua musuh yang lain. Dia teringat kepada Lu Thong, cucu kongkong-nya yang berhati khianat itu.

Dia akan mempergunakan kekerasan dan memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan juga.

Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja serta berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong, tembok kota raja lalu dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tidak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang jumlahnya amat banyak dan selalu melakukan penjagaan secara bergilir.

Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapa pun juga.

Ternyata bahwa di dalam kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan sudah berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng juga berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan para jagoannya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.

Meski diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya dan mencari jalan untuk merampas kembali kedudukan ‘Yang Dipertuan’ di Kerajaan Tang yang sudah dirampas itu.

Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di mana tinggal An Kong, pangeran botak putera An Lu Kui yang dahulu pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan, maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas jika menerima hukuman mati, karena selama hidupnya hanya mengotorkan dunia serta melakukan kejahatan dan kekejian belaka.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruangan tengah ia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang telah dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu sudah pernah dia kalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa.

Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.

"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah.

Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng. Kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.

An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.

"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.

Tapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. Dia datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia.

Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja ia telah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat kepandaian pemuda ini memang tak bisa diukur lagi tingginya. Ia sudah mengetahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat. Maka, menghadapi serangan dari An-kong ini, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya.

Dengan tangan kirinya, dia mempergunakan gerak tipu Kong-ciak Siu-po (Burung Merak Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata, sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu.

Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja. Dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya lantas bergerak melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.

“Krakk!"

Terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong, lalu disusul oleh menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang kemudian jatuh sambil mengerang-erang kesakitan.

"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apa di antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan sangat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.

"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus mati."

Setelah berkata demikian, dari tempat ia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak itu. Biar pun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in Hoat-sut yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!

Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tidak mampu berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan.

Kwan Cu tentu saja tidak gentar, akan tetapi dia pun tak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut paut dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak, dua orang perwira itu sudah roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, lagi pula karena dia mempunyai gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.

Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok. Dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.

"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui?" bentaknya sesudah orang itu terbebas dari totokan.

Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah memiliki banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang telah menduduki tempat yang cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.

"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri," jawabnya perlahan.

"Di manakah itu? Hayo kau antar aku!"

Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruangan itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka kemudian tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.

"Kau panggil An Lu Kui naik, lekas jika minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.

Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam.

"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!" teriaknya.

Hening sesaat, kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.

"Eh, eh, ehh, bukankah yang di atas itu Cang-ciangkun? Kenapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.

Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri kemudian melompat menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini pun cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.

Ada pun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah!

"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang sudah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu.

Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in Hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.

Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat orang kakek. Tiga orang di antara mereka adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang.

Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang dulu pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi ialah seorang hwesio berkepala gundul dan bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.

"Eh, ehh, ehh, dia sudah membunuh An-ciangkun!" Kiam Ki Sianjin berseru kaget. "Anak muda, bukankah engkau adalah murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu Kwan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana?”

Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Sekarang engkau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"

Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum sekali melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.

"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."

Sebetulnya Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, perutnya sudah menjadi panas. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu.

Maka, seketika itu juga dia memiliki niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia lalu mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.

Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.

"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?” Kiam Ki Sianjin bertanya setelah mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.

"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan para kaki tangannya."

"Hemm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, oleh karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, tapi sayang sekali masih ada seorang lagi yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."

"Siapakah dia?" Kwan Cu mendesak sebab dia memang amat tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.

“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."

"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.

"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!" kata Kiam Ki Sianjin yang merasa dirinya amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya!

Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena ia maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini berjumpa dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.

Akan tetapi, alangkah kagetnya pada waktu dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.

"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu yang tidak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang semacam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tidak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, benar-benar memualkan perutku! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan bila aku telah menyelesaikan tugas-tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"

Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya. Bukan karena takut terhadap ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.

"Bangsat bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"

Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!"

Dia melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin, mengakulah! Apakah dahulu kau ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"

"Pinto… (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup.

Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah merasa gentar sekali.

“Hemm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau mesti mampus! Kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"

"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau merupakan tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau ini hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha-ha-ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"

Ada pun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia sudah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,

“Anak muda, biar pun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.

"Nanti dulu, Pek-eng Toyu. Pinto yang menjadi tuan rumah, jadi pinto pula yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah.

Dia lalu melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."

Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.

"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang ingin kau nyanyikan!"

Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia pun tak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Karena itu kini dia berlaku cerdik dan hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,

"Kita memang tidak mempunyai alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!"

Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baik cara menggunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba ketika dia tidak bersiap dengan senjata tajam. Dia telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. Dia sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.

Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam pokok dasar ilmu silat yang dia pelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,

"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"

Pemuda ini lalu menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"

"Jangan banyak mengobrol, lihat senjata!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.

Kwan Cu terkejut. Tidak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain.

Ia cepat melompat untuk menghindarkan diri, tak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja itu sehingga sulit pula bagi Kwan Cu untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya!

Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan bisa melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan bisa digunakan untuk mengatur siasat serangannya!

Selama belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu sungguh-sungguh hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!

Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi, kiranya tidak akan kalah tinggi oleh tingkat dari kelima tokoh besar, sungguh pun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. Oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya terasa sakit dan penasaran bukan main. Dia prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu semedhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekang-nya.

Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu.

Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat menggunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tidak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini.

Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Dia segera mengerahkan ginkang-nya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu segera mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!

Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.

Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga mulai kewalahan. Mejanya tidak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.

"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.

"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu.

Dengan cepat dia menggerakkan dua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Ada pun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.

"Bagus sekali!" tak terasa lagi Kiam Ki Sianjin memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi dielakkan saja oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu memainkan silat meja yang tadi dimainkannya!

Ilmu silat meja itu merupakan ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini mampu meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih di dalam kamarnya, pemuda ini secara diam-diam mengintainya?

Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, walau pun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kali pun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak menggunakan ginkang-nya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.

"Krakkk!"

Meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa dua kaki meja yang dipegang oleh kakek ini sudah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga ‘senjata’ itu masih berada di tangannya.

Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. Dia tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu sudah menggunakan tangan kiri memukul meja dan berkat tenaga lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya.

Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih merasa penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia kemudian tersenyum pahit dan berkata,

"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu."

Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan juga tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas."

Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek, "Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"

Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Dia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak mampu merobohkan pemuda ini, apa lagi dia. Tanpa malu-malu lagi dia lalu berkata kepada Kwan Cu,

"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja bila menantang pinto. Ketahuilah bahwa sebetulnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapa pun juga."

Kwan Cu merasa ragu-ragu. Tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.

"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"

"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar. Akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin.

Sebetulnya, tosu ini walau pun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Namun sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.

"Betapa pun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.

Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik.

Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, kelak masih ada waktu untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,

"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto."

Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang telah dia ketahui kualitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biar pun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia sudah memberi tamparan kepada batinnya.

"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau tadi mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau juga tidak akan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.

Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora kemarahannya. Ia merasa telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dia berkata dengan mata bernyala-nyala,

"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu ini, aku hendak menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"

Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.

Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya kemudian menghadapinya sambil tersenyum.

"Perlahan dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda mempunyai kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"

Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, bibirnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat dari pada kain mahal dan amat mewah. Sinar matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya apa bila pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak berbicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.

Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai seorang tamu, telah semestinya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Telah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia sudah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."

Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia banyak mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,

"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apa kau berani menghadapinya?"

Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, tentu saja Kwan Cu akan menyatakan tidak sudi, sebab pemuda ini memang tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tak ada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!

"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan menatap tajam kepada Bian Ti Hosiang.

Hwesio ini mencabut pedangnya sambil berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar girang dapat mencoba ilmu kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu."

Kwan Cu sangat terkejut. Dia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya pada waktu menghadapi musuh-musuh besarnya.

Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih terlampau rendah baginya. Bila kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam.

Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini amat tajam. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini sedang berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Karena itu dia cepat menjura sambil tertawa.

“Ahh, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Hosiang Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat (ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apa lagi antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini."

Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.

Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda sekali dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi.

Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini akan dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Dia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin segera tersenyum berkata,

"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"

Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Apa bila dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekang-nya,

"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!"

Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam Kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.

Namun siasat ini tidak mempan sama sekali terhadap Kwan Cu karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawannya, sungguh pun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni mempergunakan Tian-kiam Kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.























Terima kasih telah membaca Serial ini


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12