Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 21
TOK HUI COA
ANG HOK sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat.
Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat
pesta pernikahannya diganggu orang, apa lagi orang itu hanya seorang pemuda
saja.
Akan tetapi,
begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia
melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main.
Pemuda itu
dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik
sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!
Tanpa banyak
cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok...!” Dia sendiri pun
lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.
Memang
benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua Pak-lo-sian Siangkoan Hai
yang sudah kita kenal ketika dia masih kecil. Pemuda ini sudah dewasa, wajahnya
tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang
alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api.
Akan tetapi biar pun kedua matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, namun
mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.
Kun Beng
berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka
dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak
perampok, akan tetapi Ang Hok tidak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok
ini keburu melarikan diri.
Lalu dua
orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok
dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, ada pun Swi Kiat
hendak pergi membantu perjuangan para petani yang sedang terkurung dan terancam
oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan
oleh guru mereka.
Demikianlah,
di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan
pejuang rakyat, ada pun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan. Swi Kiat
berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.
Akan tetapi
alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam
hari itu, dia melihat ada rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian
memilukan hati. Segera dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di
dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan
kejam, dia pun segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.
Dengan hati
penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain merupakan
sisa-sisa perampok yang telah dibasminya. Mereka sedang merayakan pesta
pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya!
Segera
pemuda ini menghujankan senjata rahasianya, yakni batu-batu hitam biasa yang
bisa dipungutnya di mana saja. Memang, di samping ilmu silatnya yang tinggi,
Kun Beng terkenal dengan kepandaiannya menggunakan batu-batu kecil sebagai
senjata rahasia.
Dia
melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu. Akan tetapi
jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya sebab sentilan jari tangannya
dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh
manusia!
Demikianlah,
setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng
tertawa mengejek sambil mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan
ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja,
dua batang golok penjahat lantas terlepas dari pegangan dan orang-orangnya
roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh
pandangan mata mereka.
Ang Hok
maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, karena itu sambil
berteriak-teriak mendorong anak buahnya agar mengurung lebih rapat, dia lalu
melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari
turun gunung!
Kun Beng
marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang
pengeroyok sudah roboh malang melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.
Karena ilmu
lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka walau pun Kun Beng belum
kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya
sampai fajar menyingsing dari timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau
turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang
banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata
pemuda pengejarnya awas sekali dan ke mana pun juga dia lari, selalu dapat
dikejarnya.
Akhirnya Ang
Hok berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan
rawa-rawa berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup
rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas
sampai ke pinggang.
Ternyata
bahwa dia sudah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau ditumbuhi oleh
rumput! Dia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya
tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!
“Tolong...
tolong…!”
Betapa pun
kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapa pun berani dan tabah
hatinya, saat menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut
maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbullah perasaan ngeri dan
takutnya.
Kui Lan biar
pun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun
merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok
meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan
kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang
kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan
terpentang lebar.
Tadinya Kun
Beng sudah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan
minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis
itu terbenam di dalam lumpur, di dalam rawa yang kurang lebih empat tombak
lebarnya.
“Tolonglah
aku...!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.
Akan tetapi
Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan dia lalu memutar otak
bagaimana dia dapat menolong gadis itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai
lenyap.
“Tolonglah...
Taihiap... tolonglah aku...!” kembali Ang Hok menjerit-jerit.
“Aku tak
dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala
kejahatanmu, Tok-hui-coa,” Kun Beng berkata dengan suara dingin. “Apa bila aku
dapat menolong juga bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi
korbanmu.”
Tanpa
disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga tiba-tiba Ang
Hok menjadi beringas dan tertawa bergelak.
“Kau tidak
mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha-ha-ha, lihat kalau kau tidak
mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, terlebih dahulu aku akan
menekannya ke bawah lumpur!”
Sambil
berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di
atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah
riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan dia pun
akan mati.
Bingung
sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang justru dia hendak memaksaku
dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau
dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan
mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.
“Dia akan
mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya,
bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya
menyambar.
“Tak!”
Sebelum dia
tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas
pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan sekarang dengan lemas dia
terkulai, perlahan-lahan tubuhnya dihisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah
lumpur itu terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!
Sekarang
lumpur sudah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak
waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua
tangannya diulur ke depan. Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang
kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain
kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat
dan cepat, dia menarik baju itu.
“Breeeettt!”
“Celaka!”
seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.
Karena
kuatnya gadis itu terbenam dan juga kuatnya dia menarik baju, dia tidak
berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang disambar tadi
robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis
itu telah lenyap dan ‘terbang’, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh
lumpur.
Dengan muka
merah dan hati bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba
dia menjadi girang karena betapa pun juga, sebelah tangan gadis itu telah
keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.
Ada pun Kui
Lan yang sejak tertawan oleh kepala rampok tadi sudah banyak mengalami
penderitaan dan kekagetan, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga
kepalanya terkulai dan ia pun jatuh pingsan!
Sekali lagi
Kun Beng melompat, dan kini dia menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil
menyambar lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi
tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apa lagi karena lumpur
yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun
Beng. Hal ini lantas membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai
di seberang lumpur itu!
Akan tetapi,
kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Dengan tenang pemuda ini
menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali
dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang
penuh lumpur, akhirnya dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah
yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke
arah lumpur dan bergidik.
“Berbahya
sekali,” pikirnya.
Kalau sampai
dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka
berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah
tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke
bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali.
Ternyata
bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian
lagi! Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal
sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian berwarna abu-abu yang sangat pas
dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan hati.
Kun Beng
lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan
oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat
segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.
Perlahan Kui
Lan membuka matanya dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu dia melihat
bahwa dia sedang terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras
dan alangkah kagetnya pada saat dia menengok ke bawah melihat betapa punggung
dan dadanya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian.
Kemudian ia
melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah
melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolong dirinya.
“Keparat!”
desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang
setengah telanjang.
Tanpa pikir
panjang lagi ia kemudian menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi,
bagaikan mempunyai mata di belakang kepalanya, pemuda itu mengelak dan berdiri
lalu menoleh sambil tersenyum.
“Nona,
mengapa kau menyerangku?”
“Kau...
orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, telah berani...
merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!”
Biar pun
hatinya berdebar tak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya,
terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,
“Sabarlah,
Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Meski pun
pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu
sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Memang aku sengaja menanti sampai
kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”
“Kau... kau
kurang ajar!” seru Kui Lan.
Kini dia
cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya.
Pergerakan ini membuat lumpur yang kering itu rontok sehingga nampak kulitnya
yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.
“Nona, aku
sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk
mencarikan pakaian supaya kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan
sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena
betapa pun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”
Setelah
berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu.
Kui Lan tertegun.
Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah
gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi,
bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya
dari lumpur itu? Dan alangkah... tampannya!
Berpikir
sampai di sini, Kui Lan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba
dia menjadi pucat. Baru sekarang dia teringat akan keadaan rumah dan orang
tuanya.
“Ayah...
ibu...!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali.
Dia belum
tahu dengan jelas bagaimana nasib ayah bundanya, karena pada saat terjadi
pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun
dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, dia segera melompat ke dalam kembali
setelah teringat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang!
Ia bingung
sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya
melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.
Tiba-tiba
terdengar suara orang memanggil dari luar goa.
“Kui Lan,
pakailah pakaian ini.”
Dan dari
luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan
girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel
pada tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat
seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Sesudah dia memakai pakaian
yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya
dan cukup pantas biar pun hanya pakaian wanita petani.
“Terima
kasih, kau baik betul...,” kata gadis itu dari dalam goa.
“Tak usah
berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” Pemuda itu
bertanya.
Tiba-tiba
terasalah di dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah
lembut dan halus, sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda
dengan tadi.
Akan tetapi
gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat-cepat
melompat keluar dari goa itu. Kun Beng sudah berdiri di depan goa sehingga
mereka kini berhadapan.
“Aduh,
pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.
Kui Lan
menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis
petani sederhana saja.”
“Bahkan
kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi.
Pemuda ini
memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena
ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah
bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, ada
pun rumahnya juga sudah terbakar musnah!
Berdebar-debar
hati Kui Lan saat mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang
kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikirnya. Dua pasang
mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguh pun berbeda sekali.
Kun Beng
memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, namun
sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan ... suka. Ya,
hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.
“Kau...
siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu
membuat dia merasa malu-malu.
“Namaku The
Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku
mendengar dari orang-orang dusun itu.”
Kui Lan
teringat kembali kepada orang tuanya. Dia cepat-cepat meloncat dan berkata,
“Aku harus pulang...!”
Akan tetapi
tiba-tiba gadis ini merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah
menangkap lengan kanannya.
“Ehh, kau
mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.
Kun Beng
melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.
“Kui Lan,
kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”
Gadis itu
membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kau larang pulang dan apa pula maksud
dan kehendakmu ingin menahanku?”
“Marilah
kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan, dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa
sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan
menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.
Melihat
sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak
kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah.
Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis dia teringat akan orang
tuanya, maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa
menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.
“Taihiap...
katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku...? Dengan orang tuaku...?!”
Kun Beng
mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Marilah kita duduk di
tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”
“Tidak,
tidak! Lekas kau katakan sekarang juga, atau... lebih baik aku pulang!” Ia
hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan
pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu
memberontak.
“Apa boleh
buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan
bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”
“Ayah dan
ibu...?”
Kun Beng
mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu sudah dibakar oleh
mereka...”
Tadi malam
Kui Lan mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih
lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika dia menjadi pucat,
terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk
serta memondongnya.
Pemuda ini
memang sudah dapat menduga lebih dahulu, maka cepat dia menotok jalan darah di
leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia
sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat
sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya.
Untuk
menjaga ini pula, pada waktu dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja
menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga
mereka semua terkubur di situ, supaya tidak kelihatan lagi oleh gadis itu
musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.
Kemudian dia
lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui Lan mengalami pukulan
batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia terus
mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia kembali roboh
pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali, dan pemuda ini lalu merawat gadis itu
baik-baik.
Selama tiga
hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah pingsan, tapi
berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah
lewat dan dia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini
ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia
melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.
"Makanlah,
Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.
Untuk
sejenak Kui Lan merasa nanar. Dia mengumpulkan ingatannya, mengenangkan semua
peristiwa yang sudah terjadi. Kemudian dia menangis sambil menutupkan kedua
tangan di mukanya. Dia teringat akan ayah bundanya yang tewas.
"Tenang,
Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.
"Aku...
sebatang kara...," Kui Lan mengeluh.
"Apa
kau kira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian,
meski pun maksudnya hanya untuk menghibur.
Kui Lan
bangun duduk, akan tetapi segera meramkan mata kembali karena pusing. Kun Beng
cepat menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.
"Minumlah
bubur ini dulu."
Tanpa
membuka matanya, Kui Lan lalu makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya.
Setelah menghabiskan bubur hangat itu ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya
segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang kini sedang
berlutut di dekatnya.
"Berapa
lamakah aku tak sadarkan diri?"
"Kau
terkena demam selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari kau
hanya mengigau saja," kata Kun Beng sambil tersenyum. "Syukurlah
sekarang kau telah sehat kembali."
"Tiga
hari? Dan selama itu... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"
Merah muka
Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia pun segera
mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.
"Apa
artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."
"Ahh...
The-taihiap... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu
dan juga bersyukur bahwa di dalam penderitaannya yang hebat, dia bertemu dengan
seorang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.
"Hushhh,
sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," Kun Beng berkata
sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Tiba-tiba
Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau
menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?"
Mata gadis
itu memandang tajam. Kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun
Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang
masih muda, juga membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.
"Mengapa?
Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu..."
"Taihiap,
kau... kau suka kepadaku?"
Makin merah
muka Kun Beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut
gadis itu. Akan tetapi ia maklum bahwa gadis itu masih lemah hatinya, masih
amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.
Untuk
sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang
dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis
yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?
"Tentu
saja, Kui Lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.
Dengan mata
basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika
dia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.
"Dan
cinta kepadaku?"
Bukan main
bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini adalah urusan lain lagi. Ia tidak berani
memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? Ia memang
suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih
terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.
Semenjak Kun
Beng telah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng
murid Kiu-bwe Coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia
sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng.
Wajah
seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini
lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biar pun dia tidak pernah
bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya
seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan setiap
gerak-geriknya mencocoki hatinya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia
mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?
Namun
bagaimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita sangat hebat ini?
Wajahnya yang agak pucat, yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung
harap dan permohonan itu, ahh, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan.
Lagi pula,
dia hanyalah seorang pemuda yang pertahanan imannya masih sangat lemah dalam
menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang
matanya merayu-rayu dan mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai.
Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Kun Beng mengangguk-anggukkan
kepalanya!
Kui Lan
mengeluarkan keluh perlahan, suara keluhnya yang menyatakan keharuan dan
kebahagiaan hatinya. Dia lantas menubruk pemuda itu dan menyadarkan mukanya
pada dada Kun Beng.
Pemuda ini
merasa betapa air mata yang hangat menembus baju dan membasahi kulit dadanya.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka
tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya.
Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi, biduk pun akan terguling tertelan
buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!
Sampai dua
hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu
senja, tampak bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah
berlari-larian naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan
cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Memang,
setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan
mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te Hui-teng
(Terbang di Atas Bumi).
Pemuda ini
bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh
perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena
pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluarganya.
Ketika dia
bertanya mengenai adik perempuannya, penduduk di dusunnya tak ada yang dapat
memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan
dilarikan oleh kepala perampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang
itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.
"Kemudian
datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang
adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke
sana," demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.
Mendengar
ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. Hatinya sedih bukan main,
juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biar pun sampai
ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua.
Sesudah
mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun sampai di luar goa bekas sarang
perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya ada orang sedang bercakap-cakap. Swi
Kiat cepat menyelinap di antara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam,
dia segera memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah
terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!
"Taihiap,
sungguh aneh dan amat lucu bila kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah
menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan serta cinta kasih,
belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu.
Sebaliknya, kau yang sekarang telah dapat dikatakan menjadi suamiku, juga belum
mengetahui betul keadaanku…" suara ini terdengar demikian manja dan mesra.
Swi Kiat
yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui
Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena
ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah
herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani
wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan
seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sute-nya sendiri!
Swi Kiat
mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia
mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.
"Kui
Lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku
bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."
"Terima
kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."
Kun Beng
duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira. Berkali-kali dia
menghela napas dan seperti tidak merasakan sesuatu sungguh pun tangan kirinya
terus mengelus-elus rambut kepala gadis itu.
"Sayang
sekali iblis mengganggu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya,
sehingga kita lupa... dan kita melakukan pelanggaran yang hebat... aku menyesal
sekali."
"Tidak,
Taihiap! Tidak demikian, aku tidak merasa menyesal. Aku memang sudah rela
menyerahkan jiwa ragaku kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan
dapat menguasai hatiku. Aku... aku girang dan bangga dapat menjadi..."
Sebelum Kui
Lan mengatakan ‘istrimu’, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini
paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.
"Kui
Lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu
seorang gadis sebatang kara..."
"Aku
tidak sebatang kara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"
"Maksudku,
hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatang kara
seperti aku pula."
"Salah!"
Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sebetulnya aku
masih memiliki seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar
besar seperti engkau pula. Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai,
seorang..."
"Apa
katamu?! Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya terkejut sekali dan
melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.
"Mengapa
kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."
"Aduhai,
Kui Lan. Kenapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka...! Kukira
kau…"
"Kau
kira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.
"Kukira
kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan... dan... kalau aku
tahu bahwa kau adalah adik dari suheng-ku, aku takkan... takkan berani..."
"Jadi
kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan perihal dirimu."
"Memang
suhu melarang kami berbicara mengenai keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh,
Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan
aku... aku telah..."
Tiba-tiba
terdengar suara dari luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia
didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.
"Kui
Lan, kau gadis tak tahu malu! Kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun
seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua
perbuatanmu!"
Kalau saja
yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan, belum tentu
mereka akan sekaget itu. Apa lagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara
perlahan dia hanya bisa berkata, "Suheng..."
"Kiat-ko…,"
keluh Kui Lan yang sudah langsung mencucurkan air mata melihat kakaknya itu,
"Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu..."
Wajah Swi
Kiat menjadi semakin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan
main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"
"Kiat-ko,
jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu
telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku... aku cinta padanya. Kiat-ko,
kami... kami saling mencinta... harap kau ampunkan kami..."
Melihat
adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia pun menarik napas panjang, lalu
menghadapi Kun Beng dengan muka keras.
"Sute,
kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku
dan kau harus segera memberi laporan pada suhu, membatalkan pertunanganmu
dengan Bun Sui Ceng!"
Muka Kun
Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.
"Suheng,
tak kusangka bahwa Kui Lan adalah adikmu... Tak mungkin aku membatalkan
pertunangan itu, suhu akan marah sekali."
"Apa
kau bilang? Tidak peduli suhu marah, namun kau harus berani menghadapi akibat
perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!"
Kun Beng
menggeleng kepalanya. "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng.
Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..."
"Apa?
Kau tidak cinta padanya?"
"Aku...
terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena
nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau
adalah kakaknya, aku... aku merasa kasihan dan dia... dia menderita sakit,
kurawat… dan... dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu
kepadaku, membuat aku lupa..."
"Keparat!
Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui
Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau
adalah sute-ku dan aku akan menghabiskan perhitungan ini dengan senjata!"
Swi Kiat
yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar
senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid
Pak-lo-sian Siang-Koan Hai ini.
"Apa
boleh buat, Suheng. Aku... aku tidak dapat melakukan sesuatu yang berlawanan
dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula... aku tak ingin menjadi
suami Kui Lan...”
"Keparat
pengecut!"
Swi Kiat
cepat menyerang sute-nya dengan kipas di tangannya. Serangan ini ditujukan ke
arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apa bila
mengenai sasaran.
Kipas ini
pada bagian gagang dan rangkanya terbuat dari pada gading gajah, sedangkan
permukaannya terbuat dari kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk
menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat
dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Kun Beng
cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah
menerima salah dan berdosa, janganlah menambah dosaku dengan mengangkat tangan
melawanmu..."
Akan tetapi
Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.
"Kiat-ko...
jangan kau serang dia...!" Kui Lan menjerit sambil menangis.
Gadis ini
hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu,
kini tahulah ia bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa pemuda
itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang
timbul dikarenakan hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya
lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni.
Hatinya
perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang
oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapa pun juga, ia masih cinta sekali
kepada Kun Beng dan cintanya itu tidak akan mudah hilang begitu saja.
Seruan Kui
Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan
gerak tipu Khai-san Coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan
gerak tipu Khai-san Koan-jit (Buka Kipas Menutup Matahari). Inilah tipu-tipu
yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang San-hoat.
Melihat
serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak
seperguruannya bukan main-main lagi, namun menyerang untuk mengarah nyawanya!
"Suheng,
ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali
sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang sedang
dilancarkan oleh suheng-nya.
"Mampuslah,
bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya.
Oleh karena
cepatnya Swi Kiat menyerang, kipas maut pada tangannya sudah berhasil
menyerempet pundak kiri Kun Beng yang lalu mengeluh sambil terhuyung ke
belakang. Mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat
sambungan tulang.
"Kiat-ko...!
Jangan bunuh dia...!" Kui Lan menubruk kakaknya.
Pada saat
itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga
telah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini dia lalu
membalas serangan suheng-nya, karena dia merasa telah dilukai.
Tusukan
tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi Kiat. Akan tetapi karena pada
saat itu Kui Lan memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan
tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya.
"Brett!"
baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walau pun tidak parah namun
cukup banyak mengeluarkan darah.
"Kiat-ko,
sudahilah pertempuran ini...! The-taihiap, cukuplah... kasihanilah
aku...!" Kui Lan menangis dan memeluk kakaknya.
Tentu saja
Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk
melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan
menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu.
Tadinya Swi
Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia
tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap
kepalanya.
"Kiat-ko...,
ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak.
Mengingat
akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak
beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya
melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-larian cepat
sekali, merupakan bayangan hitam di kala senja itu, seperti seekor kalong yang
besar sekali terbang pergi.
"Kiat-ko,
dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa
perih sekali.
"Aku
akan mengejarnya," kata Swi Kiat.
"Kiat-ko,
jangan kau bunuh dia. Betapa pun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban
bagaimana juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun
Beng..."
Swi Kiat
sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sute-nya sudah demikian rupa
sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan cara kasar mau pun
halus dia harus mengusahakan hal itu.
"Aku
akan mengejarnya, Kui Lan. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhnya. Andai
kata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku mampu sebab kepandaiannya
tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali
padamu, suka menjadi suamimu."
Setelah
berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya
berkelebat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan
bayangannya lagi.
Kui Lan yang
ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa
semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat,
terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa
itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaiannya belum cukup tinggi sehingga
pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan
Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu,
tidak mengetahui akan adanya bayangan ini.
Bukan main
kagetnya hati Kui Lan ketika secara tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang
pemuda yang yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu
tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang penuh kagum sehingga Kui Lan
merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar
matanya.
"Siapa
kau...?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.
Orang itu
masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaian yang
dikenakannya sangat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik
dari gerak-geriknya mau pun pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena
bangsawan mana pun juga kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat
kebangsawannya.
“Aku bernama
An Kong, seorang pangeran," pemuda itu berkata sambil menjura hormat, akan
tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku
tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu
buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu sehingga kini
kakakmu bermusuhan dengan sute-nya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik
jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang
jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus
ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup bahagia di istanaku.
Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras.
Marilah!" Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong kemudian mengulur
tangan menangkap pergelangan tangan Kui Lan.
KUI LAN
cepat menarik tangannya, akan tetapi terlambat. Pemuda itu gerakannya cepat
sekali dan sebelum dia dapat memberontak, dia sudah diangkat dan dipondong! Kui
Lan terkejut dan menjerit, akan tetapi sebuah totokan yang tepat sudah membuat
dia tidak kuasa lagi membuka mulut.
Bagaimana
pemuda itu dapat tiba di situ? Sebetulnya, karena Swi Kiat membantu para
pejuang rakyat dan membebaskan mereka dari kepungan, pihak pemerintah lalu
menjadi marah sekali. An Kong adalah putera dari An Lu Kui, dan pemuda ini
secara kebetulan dapat melihat Swi Kiat.
Karena dia
pun sedang membantu usaha ayahnya yang sedang berlomba mencari jasa dan
kedudukan di kerajaan, diam-diam dia lalu mengikuti perjalanan Swi Kiat. Hanya
dia saja yang sanggup melakukan hal ini, karena An Kong adalah murid dari
Jeng-kin-Jiu Kak Thong Taisu dan dia memiliki kepandaian tinggi.
Diam-diam
dia mengikuti jejak Swi Kiat, tapi tidak berani menurunkan tangan. Ia maklum
akan kelihaian murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia hendak mencari tahu lebih
dahulu di mana tempat tinggal pemuda itu sehingga dia dapat membawa kawan-kawannya
untuk menangkapnya.
Demikianlah,
dia mengikuti Swi Kiat terus hingga sampai di pegunungan itu dan secara
kebetulan sekali dia melihat pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat. An Kong
adalah seorang pemuda mata keranjang, maka begitu melihat Kui Lan, hatinya
menjadi tertarik sekali. Apa lagi dia mendapat kenyataan bahwa Kui Lan adalah
adik Gouw Swi Kiat, maka tentu saja hal ini sangat baik sekali baginya. Ia
dapat menangkap Kui Lan, selain untuk memenuhi hasrat hatinya, juga hal ini
berarti sebuah pukulan hebat bagi Swi Kiat!
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, Kui Lan dibawa ke istana oleh An Kong dan
hampir saja Kui Lan menjadi korban keganasan dan kekejian bangsawan rendah ini
kalau saja tidak datang Lu Kwan Cu yang menolongnya.
Semua itu
diceritakan oleh Kui Lan kepada Kwan Cu yang mendengarkan dengan penuh
perhatian. Tentu saja cerita Kui Lan tidak sejelas yang di atas, hanya terbatas
pada apa yang diketahui oleh gadis itu. Namun Kwan Cu sudah dapat menduga apa
yang terjadi seluruhnya.
***********
Kwan Cu
menarik napas panjang ketika dia mendengar penuturan itu.
"Kasihan
sekali kau, Kui Lan. Dan terlalu Kun Beng. Tidak kusangka dia akan tersesat
sejauh itu."
"Dia
tidak tersesat, semua yang sudah terjadi adalah kesalahanku. Aku sudah setengah
menduga bahwa dia tidak cinta kepadaku, akan tetapi cinta kasih membuat aku
buta dan akulah yang menyeretnya sehingga dia melakukan semua hal atas diriku
sebagaimana yang kukehendaki."
"Begitukah?"
tanya Kwan Cu.
Diam-diam
pemuda itu berdebar hatinya. Bukankah Kun Beng itu tunangan Sui Ceng? Dan
sekarang Kun Beng melakukan perbuatan itu kepada Kui Lan, berarti Kun Beng tak
berharga lagi menjadi calon suami Sui Ceng.
"Memang
akulah yang bersalah. The-taihiap tidak berdosa, dan aku tidak menyesal. Biar
pun dia tidak mau menjadi suamiku, namun aku tetap akan bersetia kepadanya
sampai mati."
Terharu hati
Kwan Cu mendengar ucapan ini. Dia mengelus-elus kepala Kui Lan seperti sikap
seorang kakak terhadap adiknya.
"Kau
anak baik, Kui Lan. Sayang sekali kau terlalu lemah iman, tidak mampu menguasai
hati menolak godaan iblis yang berupa napsu. Akan tetapi, hal itu pun bukan
salahmu karena pada waktu itu, kau baru saja menderita tekanan batin yang hebat
bukan main sehingga imanmu menjadi lemah."
Dengan mata
basah Kui Lan lalu berkata, "Taihiap, sukakah kau menolongku mencari
mereka itu dan mendamaikan mereka? Apa bila mereka sampai saling bermusuhan,
baik kakakku atau The-Taihiap yang tewas, aku akan kehilangan salah satu orang
yang paling kucinta dan kematian seorang di antara mereka akan membawa nyawaku
pula."
Kwan Cu
mengangguk-angguk. "Baiklah, Kui Lan. Mereka itu pun sahabat-sahabatku,
apa bila aku dapat menemukan mereka, tentu akan kuusahakan sedapat mungkin
untuk mencegah mereka saling membunuh."
"Terima
kasih, Lu-taihiap, terima kasih. Budimu tak akan kulupakan selama
hidupku."
Kwan Cu
tersenyum. "Kau memang anak baik dan perasaanmu halus sekali. Aku pun
seorang yang hidup sebatang kara, biarlah kau kuanggap adikku sendiri."
Bukan main
girangnya hati Kui Lan mendengar ini. "Terima kasih kepada Thian bahwa
hatimu sudah tergerak untuk menolongku, Koko yang baik. Tadinya aku sudah
bingung sekali ke mana aku harus pergi dalam keadaan seorang diri ini, akan
tetapi setelah kau mengangkatku sebagai adikmu, aku tak khawatir lagi karena
kau tentu akan membawaku ke mana pun kau pergi."
Kwan Cu
tertegun. Dia berdiri seperti patung tak mengeluarkan kata-kata lagi. Gadis ini
cerdik sekali dan dapat mempergunakan kesempatan dengan amat cepatnya. Hal itu
tak pernah disangka-sangkanya dan dia merasa betul, sebagai adiknya, Kui Lan
tentu akan ikut dengan dia, atau setidaknya dia harus dapat mencarikan tempat
yang layak bagi Kui Lan!
"Kui
Lan, kau seorang gadis dan kepandaianmu juga belum cukup, mana bisa melakukan
perjalanan jauh yang masih tidak ada ketentuan tujuannya?"
"Dengan
kau di sampingku, aku takut apakah?" kata Kui Lan sambil tersenyum.
"Tentu
saja aku akan selalu melindungimu, akan tetapi kalau kita melakukan perantauan
bersama, akan menimbulkan tiga macam kerugian."
"Kerugian?
Coba sebutkan apa itu!" Kui Lan berkata dengan muka cemberut, akan tetapi
bahkan menambah kemanisannya.
"Pertama,
akan mendatangkan kesan buruk karena orang-orang akan menganggap tidak pantas
seorang gadis melakukan perantauan bersama seorang pemuda."
"He,
bukankah kau ini kakakku sendiri? Apanya yang tidak pantas bagi seorang gadis
melakukan perjalanan bersama kakaknya?"
"Kui
Lan, pandangan mata dan pendengaran telinga orang-orang kang-ouw amat tajam,
mereka akan tahu bahwa kita bukanlah saudara kandung dan tentu akan timbul
dugaan yang tidak-tidak yang kesemuanya hanya akan merusak nama baik kita. Hal
yang kedua, kalau kau ikut aku, perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat dan
bagaimana aku dapat menyusul mereka? Ke tiga, andai kata tersusul, dan kau
berada di dekatku, tentu mereka akan naik darah karena kau yang menjadi pokok
pertentangan mereka. Maka lebih baik kau jangan terlihat oleh mereka."
Menghadapi
alasan-alasan yang amat kuat ini, Kui Lan hanya bisa menghela napas dan
akhirnya mengangkat pundak. Gadis ini lalu berkata tanpa berdaya,
"Habis,
apakah kau mau meninggalkan aku seorang diri di hutan ini?"
"Tentu
saja tidak, adik Kui Lan. Aku mengenal sebuah tempat yang amat cocok bagimu, di
mana kau boleh tinggal dengan hati tenteram dan aku pun bisa meninggalkan
engkau dengan hati tenang pula. Kau boleh tinggal di tempat itu dengan aman
sampai aku dapat menemukan Swi Kiat dan Kun Beng."
"Di
mana tempat itu?" Kui Lan ragu-ragu karena pada dewasa itu agaknya tidak
mungkin mendapat tempat yang aman bagi seorang gadis muda seperti dia, yang
sudah banyak mengalami ganguan-ganguan dari orang jahat.
"Di
dusun Kau-Ling di sebelah utara kota Tan-Shan ada sebuah Kwan-im-bio (Kelenteng
Dewi Kwan Im) yang amat besar dan para nikouw (pendeta wanita) yang berada di
situ terkenal sebagai pendeta-pendeta yang saleh beribadah. Kau boleh tinggal
di sana untuk sementara waktu dengan hati aman dan tentram."
Kui Lan
mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Maka, dua orang muda ini pun
berangkatlah menuju ke kota Tan-shan yang letaknya di sebelah timur laut dari
kota raja.
Menurut
pendapat Kui Lan, mereka telah melakukan perjalanan cepat sekali sebab gadis
ini di sepanjang jalan telah mempergunakan ilmu lari cepat yang pernah dia
pelajari dari ayahnya. Akan tetapi tidak demikian menurut anggapan Kwan Cu.
Kalau saja pemuda ini tidak melakukan perjalanan bersama Kui Lan, dalam waktu
satu hari saja dia tentu akan sampai ke dusun Kau-ling. Sekarang bersama Kui
Lan, dalam waktu lima hari barulah mereka tiba di dusun itu dan langsung menuju
Kwan-im-bio.
"Taihiap
datang...!" seru beberapa orang nikouw yang kebetulan berada di pekarangan
depan kuil itu untuk melakukan tugas menyapu dan lain-lain.
Agaknya
mereka merasa gembira sekali melihat kedatangan pemuda ini dan tahulah Kui Lan
bahwa Kwan Cu telah dikenal baik oleh semua nikouw yang sudah tua-tua itu.
"Selamat
datang, Taihiap. Kebetulan sekali Taihiap berkenan mengunjungi tempat kami
karena kedatangan Taihiap memang sedang diperlukan sekali," kata seorang
nikouw tua yang pekerjaannya sebagai nikouw penyambut tamu.
"Ada
terjadi apakah, suthai? Dan di manakah Ngo Lian Suthai? Teecu mohon bertemu
dengan beliau," kata Kwan Cu.
"Ngo
Lian Suthai terluka oleh Luan-ho Oei-Liong (Naga Kuning dari Sungai Luan) dan
keadaannya payah."
Kwan Cu
terkejut bukan main. "Suthai maksudkan Luan-ho Oei-Liong si bajak laut
yang merajalela di sungai Luan-ho?"
Kwan Cu
memang pernah mendengar nama ini dan biar pun dia belum pernah bertemu dengan
orangnya, akan tetapi sudah lama dia mempunyai niat untuk memberi hajaran
kepada bajak yang dikabarkan orang amat ganas ini.
"Benar
dia, Taihiap."
"Akan
tetapi, kenapa demikian? Apakah Ngo Lian Suthai melakukan pelayaran di Sungai
Luan?"
Nikouw tua
itu menggeleng kepalanya yang gundul halus. "Marilah kita duduk di ruang
tamu, Taihiap. Di sana kita akan bicara dengan leluasa."
"Perkenankan
teecu (murid) menjumpai Ngo Lian Suthai sendiri supaya teecu mendapat
keterangan lebih jelas."
"Menyesal
sekali, Taihiap. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Ngo Lian Suthai tidak
boleh banyak bicara dan bergerak. Beliau harus istirahat. Tentu saja kau boleh
bertemu dengan Ngo Lian Suthai, akan tetapi tidak baik kalau mengajaknya
bercakap-cakap. Hal itu akan mengganggu kesehatannya."
Terpaksa
Kwan Cu membenarkan pendapat ini dan dengan menggandeng tangan Kui Lan, dia
mengikuti nikouw itu ke ruang tamu.
"Siapakah
Siocia ini, Taihiap?" Nikouw tua itu bertanya sambil memandang kepada Kui
Lan dengan sepasang matanya yang bening.
"Dia
ini adalah Gouw Kui Lan, yaitu adik angkatku. Justru kedatanganku ini untuk
minta pertolongan Ngo Lian Suthai supaya suka menerima adikku sementara waktu
tinggal di sini."
"Tentu
saja boleh, Taihiap. Jangan khawatir, Nona, engkau boleh tinggal di sini
seperti di dalam rumahmu sendiri."
"Terima
kasih, Suthai. Sambil menunggu kedatangan saudaraku, tentu saja aku akan ikut
membantu pekerjaan-pekerjaan yang dapat kulakukan di dalam bio ini,"
berkata Kui Lan sambil memandang ke sekeliling.
Tempat itu
memang menyenangkan sekali. Selain bersih, juga dikelilingi oleh tanaman bunga,
nampaknya aman dan penuh kedamaian.
"Sekarang
ceritakanlah, Suthai. Apa yang terjadi dengan Ngo Lian Suthai?"
Nikouw tua
itu lalu menuturkan apa yang telah terjadi lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu
dan Kui Lan tiba di depan kuil itu.
Ngo Lian
Suthai adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun yang menjadi ketua dari
Kwan-im-bio. Selain seseorang ahli batin yang patuh akan semua isi kitab dari
Dewi Kwan Im, juga Ngo Lian Suthai memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup
tinggi, karena dia adalah murid dari Bu-tong-pai.
Lebih dari
dua puluh tahun Ngo Lian Suthai memimpin para nikouw di Kwan-im-bio itu dan
selama itu, kuil ini menjadi semakin terkenal dan mendapatkan banyak
penyumbang. Kuil itu lalu dibangun sehingga merupakan kuil terbesar di daerah
utara. Selain perabot-perabot yang berada di dalam kuil terdiri dari
barang-barang berharga sumbangan para penderma, juga di situ terdapat
patung-patung yang sukar didapat, di antaranya terdapat sebuah patung setengah
badan yang amat besar.
Tinggi
patung itu sama dengan tinggi seorang manusia biasa akan tetapi karena hanya
setengah badan, maka ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari ukuran badan
manusia. Patung itu terbuat dari pada perunggu dan indah sekali. Hanya
bentuknya menyeramkan sekali, karena biar pun dia merupakan sebuah patung
pendeta laki-laki yang berpakaian sebagai pendeta biasa, namun pada kepalanya
terdapat sepasang tanduk seperti tanduk kerbau dan mulutnya bercaling seperti
mulut babi!
Jarang ada
orang yang dapat mengerti apakah arti patung ini dan patung dewa atau iblis
manakah gerangan. Akan tetapi Ngo Lian Suthai yang mendapatkan serta membawa
patung itu dapat menceritakan dengan jelas.
Patung ini
dibuat oleh seorang pendeta Budha yang pandai. Dan arti dari pada patung ini
adalah untuk menggambarkan betapa pada waktu itu banyak terdapat orang-orang
yang mengaku pendeta dan berpakaian seperti pendeta, namun sebenarnya masih
memiliki akhlak yang bejat.
Oleh karena
itu, untuk menyindir bahwa kepala pendeta macam itu masih terisi
pikiran-pikiran busuk, maka kepala patung ditumbuhi sepasang tanduk, dan karena
banyak pula di antara pendeta itu mengeluarkan kata-kata yang tidak selayaknya
seorang suci, pada mulut patung itu dipasangi caling!
Jadi
singkatnya, patung itu adalah untuk memperingatkan para pendeta atau orang yang
menganut penghidupan suci, supaya sesudah digunduli dan jubahnya merupakan
jubah pendeta, isi hati dan pikirannya tidak boleh kotor lagi.
Patung yang
sangat indah dan sukar didapat ini oleh Ngo Lian Suthai diletakkan di ruang
tengah sehingga setiap anak muridnya dapat melihatnya setiap hari, merupakan
patung peringatan yang mengerikan hati bagi setiap muridnya.
Pada suatu
hari, lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu datang, di dalam bio kedatangan
seorang tamu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning yang membawa golok
besar terselip di punggungnya. Laki-laki itu sikapnya kasar sekali, akan tetapi
nikouw itu tetap menyambutnya, karena mengira bahwa orang itu hendak bersembahyang
minta berkah dari Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im, yakni Dewi Welas Asih).
"Di
mana Ngo Lian Suthai? Aku hendak berbicara dengan dia!" Laki-laki tinggi
besar itu berkata dengan kasar dan matanya jelalatan ke dalam.
"Congsu
siapakah dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan Ngo Lian Suthai?"
tanya nikouw tua penyambut itu.
"Beritahukan
bahwa Luan-ho Oei-Liong datang hendak bertemu," kata laki-laki itu.
Mendengar
nama kepala bajak ini, terkejutlah nikouw tua itu.
"Baik…
baik, silahkan Congsu duduk menunggu sebentar, pinni (aku) akan melaporkan
kepada Ngo Lian Suthai," katanya dan cepat-cepat masuk ke belakang utuk
melaporkan hal itu kepada ketuanya.
Akan tetapi
Luan-ho Oei-Liong tidak sabar lagi. Dia segera bertindak masuk ke ruangan
tengah di mana terdapat patung besar dari perunggu itu. Sambil tersenyum puas
dia lalu mengangkat patung itu dengan kedua tangannya, terus diangkat keluar
dan diletakkan di ruang tamu.
Semua nikouw
yang melihat itu menjadi gempar. Mereka tidak berani mencegah, apa lagi sesudah
melihat betapa laki-laki kasar itu mengangkat dan memindahkan patung dengan
mudahnya. Patung itu beratnya hampir seribu kati dan selain Ngo Lian Suthai,
tidak ada yang kuat mengangkatnya.
Tak lama
kemudian, dari dalam keluarlah seorang nenek yang berpakaian pendeta serba
putih, memegang sebatang tongkat hitam yang panjang dan kecil. Gerak-gerik
nenek ini lemah-lembut, begitu pula wajahnya membayangkan sifat yang mulia,
akan tetapi kedua matanya amat berpengaruh.
Pada waktu
dia melirik ke arah patung perunggu yang sudah berdiri di ruang tamu, dia
menggerakkan alisnya yang sudah hampir putih itu dan memandang Luan-ho
Oei-liong.
"Congsu,
pinni telah keluar, ceritakan apakah maksud kedatanganmu dan mengapa pula kau
memindahkan patung itu?"
Melihat
sikap yang halus serta sinar mata yang berpengaruh itu, Luan-ho Oei-liong yang
bermuka kuning berubah sikapnya, tidak sekasar tadi dan dia menjura memberi
hormat.
"Ngo
Lian Suthai, sudah lama siauwte mendengar namamu yang besar sebagai seorang
gagah yang berhati mulia dan pemurah. Oleh karena itu, hari ini aku sengaja
datang ke sini untuk memberi hormat dan untuk mohon pertolonganmu."
"Pertolongan
apakah yang dapat diberikan oleh pinni yang tua dan lemah ini kepada Congsu
yang muda dan gagah perkasa?"
"Hanya
sedikit pertolongan saja, Suthai, yaitu harap Suthai memberikan patung perunggu
ini kepadaku, atau kalau Suthai berkeberatan aku bersedia membelinya,"
jawab kepala bajak itu sambil menunjuk ke arah patung yang berdiri di ruang
itu.
Ngo Lian
Suthai nampak heran luar biasa. "Patung ini? Untuk apakah kau membutuhkan
patung ini, Congsu?"
"Terus
terang saja, Ngo Lian Suthai, patung ini hendak kupergunakan untuk tumbal dan
jimat penunggu perahu sehingga pengaruh jahat akan merasa takut untuk
mengganggu kami. Pendeknya, patung ini akan kami sembah sebagai juru pelindung
keselamatan."
Ngo Lian
Suthai mengerutkan keningnya. "Salah sekali, Congsu. Patung ini merupakan
lambang kejahatan dan kepalsuan, tidak seharusnya dipuja-puja. Maaf, untuk
keperluan itu terpaksa pinni tidak dapat memberikan patung ini kepadamu."
Berubah air
muka kepala bajak itu mendengar ucapan ini, akan tetapi dia masih tetap
tersenyum menyeringai.
"Sebetulnya
keinginan memiliki patung ini adalah atas desakan adikku perempuan Sin-jiu
Siang-kiam (Sepasang Pedang Tangan Sakti) yang bernama Oei Hwa. Dialah yang
terus merasa khawatir akan mara bahaya yang dapat menimpa kami, maka mendesak
agar supaya aku datang ke sini untuk minta atau membeli patung ini, Suthai.
Harap kau orang tua suka mengalah dan menolong kami."
Ngo Lian
Suthai tentu saja sudah mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa, nama seorang
gadis cantik jelita akan tetapi berwatak seperti siluman, yang kabarnya
memiliki kepandaian amat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari Luan-ho
Oei-liong, kakaknya. Maka ucapan pemimpin bajak tadi boleh dibilang di samping
hendak memperkenalkan adiknya, juga merupakan ancaman halus.
Akan tetapi
pendeta wanita itu sama sekali tidak merasa gentar. Karena hatinya sudah bersih
dari perbuatan menyeleweng, maka rasa takut pun lenyap dari lubuk hatinya.
"Menyesal
sekali, Congsu. Patung ini buatan sucouw (kakek guru) yang membuat patung ini
dengan maksud untuk memperingatkan kepada mereka yang menyeleweng dari pada
garis-garis kehidupan manusia sesuai kehendak Thian. Pinni sangat membutuhkan
untuk memberi peringatan kepada murid pinni khususnya dan masyarakat
umumnya."
"Ngo
Lian Suthai, kalau begitu percuma saja kau berjubah pendeta dan memakai nama
sebagai orang suci!" mendadak Luan-ho Oei-liong berkata marah.
Kesabarannya sudah habis.
"Dengan
alasan yang mana kau dapat berkata begitu, Congsu?" Ngo Lian Suthai masih
bersikap tenang dan sabar, bibirnya pun tetap tersenyum ramah.
"Kau
berpura-pura menjadi orang suci, akan tetapi masih pelit dan kikir. Jangankan
untuk menolong orang lain, memberikan patung yang bahkan akan kubeli saja kau
tidak rela! Mana sifat-sifat kesucianmu?"
Ngo Lian
Suthai menggeleng-gelengkan kepala dan berkata sungguh-sungguh.
"Congsu,
tidak ada manusia yang benar-benar suci, kalau pun ada yang mengaku suci, itu
hanya pura-pura dan bohong belaka. Pinni sendiri hanya seorang manusia berdosa
yang berusaha untuk memperbaiki diri dan menjauhkan segala macam nafsu
keduniaan. Memberi itu sifatnya bermacam-macam, begitu pula dengan menolong.
Pemberian atau pertolongan yang mendatangkan keburukan, apa lagi bisa
mendatangkan kejahatan dan penyelewengan, bukanlah pertolongan atau pemberian
lagi namanya. Patung ini adalah lambang kejahatan, seharusnya dianggap sebagai
peringatan, bukan untuk dipuja-puja. Apa bila pinni memberikan kepadamu untuk
kau puja-puja, hal itu berarti bahwa pinni justru telah menolong kau berbuat
sesat. Dan ini adalah dosa besar, Congsu. Kewajiban pinni bukan menolong
manusia menjadi sesat, sebaliknya bahkan mengulur tangan untuk mencegah mereka
berbuat keliru dalam hidupnya. Sekali lagi menyesal sekali, pinni tidak dapat
memberikan patung ini."
"Meski
dibeli dengan harga mahal?" Luan-ho Oei-liong mendesak sambil bangkit
berdiri dari bangkunya.
"Patung
ini hanya dapat dibeli dengan budi pekerti yang baik dan kesadaran. Apa bila
Congsu sudah sadar betul dan dapat memperbedakan antara baik dan buruk,
mengejar kebajikan dan meninggalkan kejahatan, barulah patung ini layak kau
bawa agar supaya kau selalu ingat betapa buruknya kejahatan dan kepalsuan
seperti digambarkan pada diri patung ini."
Merah sekali
wajah kepala bajak yang berkulit muka kuning itu. Dia mencabut goloknya dan
membentak,
"Nikouw
tua bangka yang sombong dan bosan hidup. Kalau begitu hendak kubeli dengan
golokku!"
Setelah
berkata demikian, Luan-ho Oei-liong segera menyerang nenek tua itu dengan
goloknya, disabetnya ke arah leher! Memang kepala bajak ini sudah mendengar
bahwa nenek itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka dia mendahului
menyerangnya.
"Omitohud,
untuk membasmi kejahatan, terpaksa pinni melayanimu, Luan-ho Oei-liong !"
kata nikouw tua itu yang cepat mengangkat tongkatnya menangkis sambaran golok
itu.
Ngo Lian
Suthai adalah ahli lweekang, akan tetapi ketika ia menangkis sambaran golok, ia
merasa tanggannya gemetar. Ia telah tua sekali dan selama menjadi kepala nikouw
di Kwan-im-bio, ia tidak pernah bertempur lagi dan hanya melatih ilmu silat
untuk menjaga kesehatan jasmani saja. Maka tenaganya banyak berkurang, apa lagi
tenaga dari bajak laut itu memang besar sekali.
Para nikouw
yang berada di situ tak seorang pun berani maju karena mereka maklum bahwa
kepandaian bajak laut itu hebat sekali, jauh melebihi kepandaian mereka yang
tak seberapa. Akan tetapi Ngo Lian Suthai memang patut dipuji. Biar pun sudah
amat tua, ia masih gesit dan tongkatnya merupakan benteng pertahanan yang sukar
ditembus.
Kepala bajak
itu menjadi penasaran dan gemas. Goloknya segera diputar semakin cepat dan kali
ini serangan dilakukan sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Kalau saja
pertempuran itu terjadi pada tiga puluh tahun yang lalu, belum tentu Luan-ho
Oei-liong dapat menahan nikouw ini. Akan tetapi sekarang nikouw itu sudah
kehabisan tenaga dan hanya dapat bertarung sampai tiga puluh jurus. Ia mulai
lemah dan setiap kali menangkis serangan, tongkatnya terpental ke belakang.
Akhirnya,
kepala bajak laut itu berhasil membacok ke arah pundak kiri, akan tetapi dia
membalikkan goloknya sehingga bagian yang tidak tajam yang memukul pundak.
Namun pukulan itu bahkan lebih hebat akibatnya, karena tidak saja meremukkan
tulang pundak nikouw itu, tetapi juga mendatangkan luka di dalam dada! Ngo Lian
Suthai terguling dan pingsan.
"Ha-ha-ha,
Ngo Lian Suthai, kau mencari penyakit sendiri, baiknya aku Luan-ho Oei-liong
bukanlah orang yang kejam. Kalau aku menggunakan mata golokku, bukankah tubuhmu
sudah putus menjadi dua?" Sambil berkata demikian, kepala bajak ini
menyambar patung perunggu dan dibawanya lari keluar dari bio.
Para nikouw
lalu sibuk mengangkat ketua mereka ke dalam kamar untuk dirawat lukanya. Namun
luka itu parah sekali sehingga setelah siuman, Ngo Lian Suthai tak dapat bangun
lagi. Dengan suara tenang dan perlahan, nikouw tua itu menyatakan bahwa
nyawanya tidak akan dapat ditolong lagi.
"Paling
lama aku akan dapat bertahan sampai satu bulan," katanya sambil tersenyum.
"Hal ini tidak mengapa, hanya sayang sekali patung itu akan tersenyum dan
setan yang menjadi penghuni di dalamnya akan bersorak kemenangan karena kelak
dia dipuja-puja oleh manusia-manusia sesat."
Demikian
peristiwa yang diceritakan oleh nikouw tua penyambut tamu kepada Kwan Cu.
Pemuda ini menjadi marah sekali, kemudian dia mendapat perkenan untuk menemui
Ngo Lian Suthai di dalam kamarnya.
Pendeta
wanita yang sudah tua itu nampak berbaring di atas dipan sederhana dengan
pundak di balut. Mukanya pucat sekali dan tubuhnya lemah, akan tetapi begitu
melihat Kwan Cu, dia tersenyum dan mengangkat tangan memberi salam.
"Ahh,
Lu-taihiap, kau datang? Kau baik-baik saja, bukan?"
Kwan Cu
terharu. Ia telah mengenal nenek ini ketika dia melakukan perjalanan melewati
dusun ini dan mampir karena tertarik akan keharuman nama Kwan-im-bio dan nama
Ngo Lian Suthai yang amat dihormati oleh banyak orang. Sekali pandang saja Kwan
Cu dapat melihat bahwa nenek itu mengalami luka hebat di dalam dadanya dan tak
dapat ditolong pula, kecuali kalau di situ ada Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja
Obat.
"Teecu
menyesal sekali mendengar mala petaka yang menimpa diri Suthai," kata Kwan
Cu.
"Bukan
mala petaka, orang muda. Segala sesuatu yang telah ditentukan Thian pasti akan
terjadi, kita tidak mampu menolak atau menawarnya. Kau datang dengan
siapa?" tanya nenek itu sambil memandang ke arah Kui Lan.
Nona itu
lalu maju dan berlutut, sedangkan Kwan Cu memperkenalkan, "Nona ini adalah
Gouw Kui Lan, adik angkat teecu. Kedatangan teecu ini pun hendak mohon
pertolongan Suthai agar sudi menerima Kui Lan tinggal untuk sementara waktu di
sini, sampai teecu dapat menemukan kakaknya."
"Boleh,
boleh, tidak perlu khawatir. Tinggalkan dia di sini, tentu akan kami jaga
baik-baik. Akan tetapi, kalau kau hendak pergi Taihiap, dapatkah kau menolongku
mencari Luan-ho Oei-liong di Sungai Luan-ho?"
"Untuk
membalaskan sakit hati Suthai terhadap dia? Teecu tentu akan mencari dia dan
menghajarnya!" kata Kwan Cu gemas.
"Bukan
begitu, Taihiap. Pinni tidak merasa sakit hati pada siapa pun juga. Yang
penting adalah patung itu, hendaknya kau suka merampasnya kembali. Mata biasa
tidak dapat melihatnya, akan tetapi pinni tahu betul bahwa patung itu sudah
dijadikan tempat tinggal oleh pengaruh jahat atau boleh juga disebut siluman.
Oleh karena itulah maka pinni tidak menghendaki patung itu terjatuh ke dalam
tangan orang lain, apa lagi orang-orang yang sesat. Hal ini akan menimbulkan
bahaya dan kejahatan akan merajalela. Kalau sudah terkejar olehmu hancurkan
saja patung itu."
"Baiklah,
Suthai. Teecu akan pergi mencari Luan-ho Oei-liong untuk memenuhi perintah
Suthai."
Nenek itu
menarik napas lega. Ada pun Kui Lan lalu maju ke depan dan berkata lembut,
"Suthai, dalam keadaan seperti ini, sangat tidak baik kalau Suthai terlalu
banyak bicara. Biarkan teecu merawat dan menjaga Suthai."
Ngo Lian
Suthai tersenyum dan memegang lengan gadis itu, lalu melirik ke arah Kwan Cu.
"Lu-Taihiap,
terima kasih kau sudah membawa anak baik ini ke sini. Ternyata dia akan menjadi
perawat yang berhati mulia."
Kwan Cu
merasa bahwa dia sudah terlalu lama mengganggu nenek itu, maka dia lalu
bermohon diri dan berpesan kepada Kui Lan agar hati-hati tinggal di tempat itu,
menanti sampai dia dapat menemukan Swi Kiat.
Pemuda itu
kemudian meninggalkan Kwan-im-bio dan segera menuju ke utara karena terlebih
dahulu, sebelum mencari Swi Kiat dan Kun Beng, Kwan Cu hendak memenuhi
permintaan Ngo Lian Suthai, yakni mencari kepala bajak dan merampas kembali
patung setan itu.
***************
Di sana-sini
kelihatan perahu-perahu nelayan, akan tetapi itu hanyalah perahu-perahu nelayan
miskin tanpa layar. Ada pula yang mempunyai layar, akan tetapi layar yang butut
dan penuh tambalan. Mereka ini boleh berlayar dengan hati tenang.
Akan tetapi
tak ada perahu besar para saudagar yang berani melintasi daerah ini, karena
nama Luan-ho Oei-liong sudah sangat terkenal. Kalau pun ada yang melintas,
tentulah perahu-perahu saudagar yang sudah mendapat izin dari kepala bajak laut
itu, tentu saja setelah membayar uang ‘pajak’!
Di bagian
timur dekat laut, memang terdapat banyak sekali perahu-perahu basar para
saudagar dan dari penghasilan memunggut ‘pajak’ inilah Luan-ho Oei-liong
menjadi kaya raya. Siapa tidak mau membayar pajak, tentu kapalnya akan dirampok
habis-habisan.
Semua
nelayan memandang kepada Kwan Cu dengan mata kaget dan ketakutan ketika pemuda
ini bertanya di mana dia dapat bertemu dengan bajak air Luan-ho Oei-liong.
Mereka mengira bahwa pemuda ini adalah sahabat bajak itu dan tentu saja juga
seorang penjahat. Akan tetapi Kwan Cu tersenyum melihat salah sangka ini dan
berkata,
"Kawan-kawan
harap jangan salah lihat. Aku bukan sahabat kepala bajak itu, melainkan seorang
yang mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan dia. Tunjukkan saja di mana
tempat tinggalnya agar aku dapat menjumpainya."
Walau pun
merasa amat heran, namun semua nelayan tahu belaka di mana orang dapat bertemu
dengan kepala bajak yang menjadi raja Sungai Luan-ho itu.
"Congsu
harap menurutkan aliran air sungai ini dan setelah melalui kota Ceng-tek, di
dalam hutan-hutan pohon pek kiranya Congsu akan dapat bertemu dengannya. Kalau
dia tidak berada di darat dalam hutan itu, tentulah dia berada di perahunya dan
sedang berlayar," kata seorang di antara mereka.
Kwan Cu
mengucapkan terima kasih dan segera melanjutkan perjalanannya menurutkan aliran
air sungai. Dan benar saja, di dalam hutan yang besar di mana sungai itu
mengalir terdapat rumah-rumah para bajak air yang merupakan sebuah perkampungan
kecil. Para bajak menyambut Kwan Cu dengan pandangan curiga.
"Mengapa
kau mencari ketua kami?" tanya seorang di antara mereka.
"Aku
datang untuk membayar pajak kepadanya," Kwan Cu menjawab sambil tersenyum.
"Karena aku utusan para saudagar di kota raja yang hendak mengirim barang
melalui sungai Luan-ho, tentu saja untuk hubungan pertama kali ini aku harus
bertemu dengan dia sendiri."
Para bajak
itu memang sudah dipesan kepalanya bahwa mereka tidak boleh sekali-kali
mengganggu para pembayar pajak yang bahkan harus dilindungi. Karena itu,
mendengar bahwa Kwan Cu adalah ‘langganan’ baru, segera mereka memberi
keterangan.
"Ketua
kami sedang berada di perahunya, di sebelah timur hutan ini. Akan tetapi beliau
sibuk dan pada waktu sekarang kiranya akan marah kalau ada orang
mengganggunya."
"Aku
tidak mengganggunya, justru mendatangkankan keuntungan baginya. Tak mungkin dia
akan marah," kata Kwan Cu tersenyum. "Apa bila kalian takut
mengantarku, berilah pinjam sebuah sampan dan aku akan menjumpainya
sendiri."
Para bajak
itu melihat Kwan Cu hanya seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak membawa
senjata, tidak bercuriga apa-apa, bahkan lalu menggeluarkan sebuah sampan
berikut dayungnya untuk dipinjamkan kepada Kwan Cu. Tentu saja untuk ini Kwan
Cu harus lebih dulu mengeluarkan sepotong uang emas sebagai hadiahnya.
Supaya tidak
menimbulkan kecurigaan, Kwan Cu mendayung perahunya dengan tenaga biasa. Akan
tetapi setelah perahunya dibantu oleh aliran air meninggalkan hutan-hutan itu
jauh di belakangnya, dia mendayung cepat sekali dan tak lama kemudian sampailah
perahunya di bagian sungai yang airnya melimpah-limpah dan amat lebarnya, seperti
samudera kecil. Dan di tengah-tengah samudera kecil itu dia melihat
perahu-perahu atau kapal-kapal besar dengan layar hitam. Itulah tanda dari
perahu bajak sungai!
Jauh di
utara, di kaki langit, nampak mega putih menjulang tinggi seperti uap dari kawah
berapi. Sinar senja mendatangkan pemandangan yang sangat indahnya dan air
sungai mengalir tenang. Kwan Cu tertarik dengan sebuah perahu yang paling besar
dan dicat paling mewah di antara perahu-perahu yang nampak layar hitamnya di
sana-sini. Ke arah perahu besar inilah dia mendayung biduknya.
Ia mendayung
perahunya dari sebelah kanan perahu besar itu dan perahu itu sedemikian
besarnya sehingga dia tidak melihat adanya sampan lain yang datang dari kiri
perahu, yang didayung oleh seorang gadis dengan kecepatan luar biasa pula.
Yang
mendebarkan hati Kwan Cu ialah sebuah patung yang besar sekali, dari perunggu,
yang berdiri di atas perahu dengan megahnya. Tidak salah lagi, tentu inilah
patung yang dirampas dari kuil Kwan-im-bio!
Dengan
gerakan lincah Kwan Cu melompat ke arah perahu besar, tanpa menimbulkan sedikit
pun goncangan pada perahu itu. Hal ini sudah menunjukkan betapa tinggi ginkang
yang dimilikinya, sungguh kepandaian yang hanya dimiliki ahli-ahli silat tinggi
di masa itu.
Dengan hati
tertarik Kwan Cu mendekati patung itu. Di atas perahu sunyi saja dan ada
terdengar suara perlahan dari percakapan orang yang agaknya berada di dalam
bilik di atas perahu itu.
Patung itu
memang hebat. Terbuat dari pada perunggu dan ukirannya halus bukan main. Kedua
mata dan tanduknya warna merah dan seakan-akan mata itu mengeluarkan sinar yang
ganjil. Mengingat kata-kata Ngo Lian Suthai bahwa di dalam patung ini
tersembunyi pengaruh jahat, Kwan Cu bergidik.
Tiba-tiba
perahu bergoncang sedikit. Pada saat Kwan Cu menoleh, dia melihat seorang gadis
yang cantik jelita sudah berdiri di belakangnya. Gadis ini sikapnya gagah
sekali, bertubuh langsing padat dan usianya paling banyak baru delapan belas
tahun.
"Hemm,
tentu inilah Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa adik dari kepala bajak itu," pikir
Kwan Cu saat melihat gadis itu membawa sepasang pedang yang gagangnya kelihatan
tersembul di balik punggungnya.
Sebaiknya,
gadis yang baru saja lompat naik dari sampan itu, terkejut melihat Kwan Cu.
Akan tetapi dia segera membentak, "Maling hina dina, kau boleh mampus
lebih dulu!"
Kata-kata
itu langsung disusul oleh tonjokan tangannya yang kecil mungil, tepat menuju ke
arah dada Kwan Cu.
Pemuda ini
cepat-cepat mengelak dan diam-diam ia merasa amat kagum karena pukulan itu
mendatangkan angin pukulan yang antep dan berbahaya. Hemm, lihai sekali,
pikirnya. Pukulan tadi membuktikan adanya tenaga lweekang yang tak boleh
dipandang ringan.
Sebaliknya,
ketika gadis tadi melihat cara Kwan Cu mengelak, dia jadi tertegun. Elakan itu
demikian cepat dan mudah, sewajarnya seolah-olah orang menghadapi pukulan biasa
saja. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu sepasang pedang sudah
berada di tangannya. Tanpa banyak cakap lagi gadis itu segera menyerang Kwan Cu
dengan sepasang pedangnya.
Melihat
gerakan pedang ini, Kwan Cu menjadi semakin heran. Bukan ilmu pedang biasa
saja, pikirnya. Cepat, kuat dan amat ganas. Gerakan ini mengingatkan dia akan ilmu
silat dari tokoh-tokoh besar di kalangan kang-ouw, tingkatnya tak kalah oleh
ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai sendiri! Murid siapakah wanita ini?
Kwan Cu
cepat mengelak dan untuk mengimbangi serangan-serangan gadis itu, dia lalu
mengeluarkan ilmunya yang didapat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Terjadilah
keanehan! Im-yang Bu-tek Cin-keng memang hebat, begitu Kwan Cu memainkan
ilmunya ini, semua gerakan-gerakan silat lawannya dapat ditiru dan dimainkan
sama baiknya!
Gadis itu
mengeluarkan seruan kaget dan membelalakkan mata dengan amat heran.
"Keparat,
mengapa kau meniru-niru gerakan orang?" bentaknya dengan suaranya yang
halus, akan tetapi dia tidak mengendurkan serangan-serangannya.
Kwan Cu yang
memperhatikan wajah gadis itu, sesudah kini mendengarkan suaranya untuk kedua
kalinya, menjadi berdebar hatinya. Mungkinkah? Tak salah lagi, inilah wajah Bun
Sui Ceng! Dia ingat betul wajah itu, sama benar dengan wajah yang diimpikan,
dan ilmu pedang yang dimainkannya ini memang tepat kalau diturunkan oleh Kiu-bwe
Coa-li, wanita sakti itu!
Ketika gadis
itu masih menyerang dan mencoba mendesak Kwan Cu dengan sepasang pedangnya,
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang wanita.
"Siapa
berani main gila di perahuku? Apakah belum mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam
Oei Hwa?" Bentakan ini disusul oleh keluarnya seorang gadis dari pintu
bilik.
Gadis itu
otomatis menghentikan serangannya dan Kwan Cu menoleh ke arah pintu. Dia
melihat seorang gadis yang bertubuh langsing dan hampir sama dengan tubuh dara
yang menyerangnya. Gadis yang baru muncul ini juga memegang sepasang pedang,
namun pedangnya itu berwarna dua macam. Yang kiri putih dan yang kanan hitam.
Wajahnya
cantik sekali, pakaiannya sangat mewah dan bedanya dengan gadis yang tadi
menyerang Kwan Cu adalah sikap yang sangat genit dari gadis yang muncul dari
pintu ini. Matanya menggerling tajam penuh gairah pada Kwan Cu, bibirnya
tersenyum manis. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah gadis yang menyerang
Kwan Cu, sinar matanya berapi-api dan bibirnya cemberut.
Dari
belakang Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa ini muncul seorang laki-laki pula, yaitu
seorang laki-laki tinggi besar yang berkulit muka kuning. Menjadi kebalikan
dari sikap Oei Hwa, laki-laki ini memandang kepada gadis penyerang Kwan Cu tadi
dengan mata kagum dan kurang ajar sebaliknya memandang kepada Kwan Cu dengan
marah.
"Kau
siapakah, berani lancang naik ke perahu Luan-ho Oei Liong? Apakah kau sudah
tidak menyayangi kepalamu lagi?" tanyanya sambil menudingkan jari
telunjuknya kepada Kwan Cu.
Pertanyaan
yang diajukan oleh Oei Liong ini membuat gadis yang baru saja menyerang Kwan Cu
itu menjadi kaget. Dia menoleh memandang ke arah Kwan Cu dengan bingung.
Ternyata bahwa pemuda ini bukannya anggota bajak. Jadi siapakah gerangan pemuda
tampan yang kelihatan bodoh akan tetapi telah berhasil mengelak dari semua
serangan pedangnya ini?
Ada pun Oei
Hwa yang memandang ke arah gadis itu dengan marah, lalu menyambung pertanyaan
kakaknya sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kepadanya,
"Dan
kau ini, bocah lancang, siapa pulakah kau?"
Setelah Oei
Hwa muncul, memang Kwan Cu makin yakin di dalam hatinya bahwa gadis yang
disangkanya Sin-Jiu Siang-kiam Oei Hwa itu adalah pendatang dari luar dan kalau
dia tidak salah sangka, tentulah gadis ini Bun Sui Ceng adanya!
"Luan-ho
Oei Liong, soal namaku tidak penting. Ada pun kedatanganku ini adalah untuk
mengambil kembali patung ini yang akan kukembalikan ke kuil Kwan-im-bio dan
memberi hajaran padamu atas kekurang ajaran terhadap Ngo Lian Suthai!"
kata Kwan Cu sambil tersenyum.
"Sin-jiu
Siang-kiam Oei-Hwa, ada pun tentang aku, soal namaku juga tidak penting. Dan
kedatanganku sengaja hendak membasmi semua bajak sungai Luan-ho agar kalian
tidak mengganggu lagi kepada mereka yang berlalu lintas di sungai ini!"
kata gadis itu sambil melirik ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini
pun memandangnya dan keduanya tersenyum, merasa geli dan lucu serta gembira
dapat mempermainkan pemimpin-pemimpin bajak itu.
"Keparat!
Kalau begitu biar kuantar kau ke neraka!" Oei Liong mencabut golok
besarnya.
Akan tetapi
adiknya mencegah, kemudian Oei Hwa melangkah maju dan bertanya,
"Kalau
kedatangan kalian ini sama-sama hendak memusuhi kami, kenapa datang-datang
kalian bertempur di atas perahuku?"
Memang Oei
Hwa jauh lebih cerdik dari pada kakaknya dan gadis ini hendak menyelidiki lebih
dulu keadaan dua orang penyerang yang tidak mau memperkenalkan nama itu.
Menghadapi
pertanyaan ini dan melihat betapa kedua mata yang bening itu memandang
kepadanya penuh perhatian dan agak mesra, Kwan Cu menjadi bingung, lalu
menjawab sekenanya saja.
"Kami...
kami hendak berlatih dulu sebelum menghadapi kalian."
Gadis yang
tadi menyerangnya itu memandangnya dengan sinar mata lucu, kemudian menyambung
sambil mengangguk-angguk.
"Betul,
kawan yang baru datang ini hendak mempelajari beberapa petunjuk supaya dapat
digunakan menghadapi kalian kepala-kepala bajak yang sudah tiba masanya
mampus!"
Kwan Cu
menjadi geli dan gemas. Ternyata gadis itu, kalau benar Sui Ceng, masih sama
dengan dulu, lincah jenaka dan suka mempermainkan orang. Juga agak sombong
seperti gurunya, Kiu-bwe Coa-li sehingga datang-datang berani mengaku bahwa
tadi dia sudah memberi petunjuk kepadanya!
Oei Liong
tak sabar lagi. Ia membentak keras sambil menyerang Kwan Cu dengan golok
besarnya. Serangan ini hebat sekali datangnya dan mendatangkan angin keras.
Melihat ini,
gadis yang tadi menyerang Kwan Cu menjadi khawatir sekali. Setelah kini dia
mengerti bahwa pemuda yang tadi diserangnya bukanlah penjahat, ia ingin
menolongnya dari ancaman serangan golok yang diketahuinya amat lihai itu. Ia
hendak melompat dan menangkis serangan golok yang tertuju kepada Kwan Cu, akan
tetapi Oei Hwa sudah mendahuluinya dan menyerang sambil membentak marah,
"Gadis
liar, jangan berlagak!"
Terpaksa
gadis itu menangkis dan terjadilah pertempuran yang hebat antara dua orang
gadis yang sama cantiknya itu. Sama-sama bersenjata siang-kiam (sepasang pedang)
lagi. Setelah bergerak, ternyata bahwa keduanya juga sama lincah dan gesit,
akan tetapi setelah pertandingan berlangsung belasan jurus, segera kelihatan
bahwa ilmu pedang dari Oei Hwa masih kalah jauh.
Ilmu pedang
dari gadis itu benar-benat hebat sekali, ganas dan gerakannya sukar sekali
diduga, apa lagi ditambah pula dengan tenaga lweekang-nya yang mengatasi Oei
Hwa. Oleh karena itu, sebentar saja Oei Hwa terdesak hebat.
Tentu saja
Sin-jiu Siang-kiam ini terkejut dan heran sekali. Belum pernah ia menghadapi
seorang lawan yang begini lihai, padahal sudah ratusan kali dia bertempur
menghadapi orang kang-ouw!
Di lain
fihak, Luan-ho Oei-liong juga sibuk sekali menghadapi Kwan Cu. Berkali-kali
golok besarnya menyambar, membabat, menusuk serta membacok, akan tetapi pemuda
yang bertangan kosong itu seolah-olah merupakan bayangan iblis, semua
serangannya selalu mengenai tempat kosong belaka!
"Setan
keparat!" bentaknya berkali-kali sambil memperhebat serangannya.
Akan tetapi
sebentar saja, setelah beberapa kali Kwan Cu mempermainkannya dengan menjewer
telinga, menyepak pantat, mencolok perut, Oei Liong menjadi kewalahan dan
gentar sekali, mengira bahwa pemuda ini memang benar-benar iblis sendiri yang
datang mengganggunya. Mana ada manusia memiliki kepandaian sehebat itu sehingga
dengan tangan kosong dapat mempermainkannya sedemikian rupa, padahal
tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw tak akan berani main-main terhadap golok
besarnya?
Tiba-tiba
Oei Hwa bersuit keras sekali, memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan
diri. Sebelum Kwan Cu dan gadis lihai itu mengerti apa maksud suitan itu, Oei
Hwa dan Oei Liong melompat ke pinggir perahu terus terjun ke dalam air.
Pada saat
itu pula, perahu besar itu bergoyang-goyang ke kanan kiri! Ternyata bahwa Oei
Hwa tadi melihat anak buahnya datang ke perahu besar dengan sampan, maka dia
memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan diri. Kini, dengan bantuan para
anak buahnya, mereka berusaha menggulingkan perahu itu! Akan tetapi tidak
mudahlah untuk menggulingkan perahu sebesar itu.
Kwan Cu dan
gadis itu terhuyung-huyung di atas perahu dan gadis itu menjadi gelisah sekali.
"Celaka!"
serunya.
Akan tetapi,
ketika dia memandang kepada Kwan Cu, dia melihat pemuda itu tersenyum saja
seenaknya, seakan-akan digoyang-goyang seperti itu di atas perahu merupakan hal
yang menyenangkan baginya.
"Mengapa
kau cengar-cengir saja seperti monyet? Berbuatlah sesuatu, Tolol!" Gadis
itu membentak mengkal.
Kemudian
gadis itu melihat perahunya di tepi perahu besar, yang tergolek-golek karena
gerakan air yang diakibatkan oleh usaha para bajak laut menggulingkan perahu.
"Hayo
lompat ke dalam perahu itu!" ajaknya.
Kwan Cu
tersenyum lebar, karena betapa pun galaknya sikap gadis itu, ternyata untuk
melarikan diri dan menyelamatkan diri masih teringat kepadanya sehingga
mengajaknya lari bersama.
Gadis itu
melompat terlebih dahulu. Akan tetapi segera terdengar jeritnya dan air muncrat
tinggi-tinggi. Ternyata bahwa perahu itu adalah perangkap yang sengaja dipasang
oleh Oei Hwa yang amat cerdik.
Karena sukar
untuk menggulingkan perahu besar, Oei Hwa sengaja membawa perahu kecil itu,
dipasang sedemikian rupa sehingga dari atas terlihat sebagai jalan satu-satunya
untuk melarikan diri, akan tetapi sebenarnya dia dan kakaknya berada di bawah
perahu. Begitu gadis itu meloncat turun, perahu kecil itu segera digulingkan
dan ditarik tenggelam sehingga tentu saja gadis itu terjun ke dalam air!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment