Sunday, July 1, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sakti Jilid 21



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Sakti
                     Jilid 21


TOK HUI COA ANG HOK sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu orang, apa lagi orang itu hanya seorang pemuda saja.

Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main.

Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!

Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok...!” Dia sendiri pun lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.

Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita kenal ketika dia masih kecil. Pemuda ini sudah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api. Akan tetapi biar pun kedua matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, namun mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.

Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok tidak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri.

Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, ada pun Swi Kiat hendak pergi membantu perjuangan para petani yang sedang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.

Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang rakyat, ada pun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan. Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.

Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia melihat ada rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Segera dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan kejam, dia pun segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.

Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain merupakan sisa-sisa perampok yang telah dibasminya. Mereka sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya!

Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya, yakni batu-batu hitam biasa yang bisa dipungutnya di mana saja. Memang, di samping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepandaiannya menggunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia.

Dia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu. Akan tetapi jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya sebab sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh manusia!

Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa mengejek sambil mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat lantas terlepas dari pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata mereka.

Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, karena itu sambil berteriak-teriak mendorong anak buahnya agar mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!

Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyok sudah roboh malang melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.

Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka walau pun Kun Beng belum kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata pemuda pengejarnya awas sekali dan ke mana pun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.

Akhirnya Ang Hok berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai ke pinggang.

Ternyata bahwa dia sudah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau ditumbuhi oleh rumput! Dia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!

“Tolong... tolong…!”

Betapa pun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapa pun berani dan tabah hatinya, saat menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbullah perasaan ngeri dan takutnya.

Kui Lan biar pun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.

Tadinya Kun Beng sudah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur, di dalam rawa yang kurang lebih empat tombak lebarnya.

“Tolonglah aku...!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.

Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan dia lalu memutar otak bagaimana dia dapat menolong gadis itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.

“Tolonglah... Taihiap... tolonglah aku...!” kembali Ang Hok menjerit-jerit.

“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu, Tok-hui-coa,” Kun Beng berkata dengan suara dingin. “Apa bila aku dapat menolong juga bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”

Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga tiba-tiba Ang Hok menjadi beringas dan tertawa bergelak.

“Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha-ha-ha, lihat kalau kau tidak mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, terlebih dahulu aku akan menekannya ke bawah lumpur!”

Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan dia pun akan mati.

Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang justru dia hendak memaksaku dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.

“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar.

“Tak!”

Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan sekarang dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan tubuhnya dihisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur itu terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!

Sekarang lumpur sudah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan. Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat dan cepat, dia menarik baju itu.

“Breeeettt!”

“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.

Karena kuatnya gadis itu terbenam dan juga kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang disambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan ‘terbang’, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh lumpur.

Dengan muka merah dan hati bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi girang karena betapa pun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.

Ada pun Kui Lan yang sejak tertawan oleh kepala rampok tadi sudah banyak mengalami penderitaan dan kekagetan, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia pun jatuh pingsan!

Sekali lagi Kun Beng melompat, dan kini dia menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apa lagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini lantas membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai di seberang lumpur itu!

Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Dengan tenang pemuda ini menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, akhirnya dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.

“Berbahya sekali,” pikirnya.

Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali.

Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi! Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian berwarna abu-abu yang sangat pas dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan hati.

Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.

Perlahan Kui Lan membuka matanya dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu dia melihat bahwa dia sedang terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dan alangkah kagetnya pada saat dia menengok ke bawah melihat betapa punggung dan dadanya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian.

Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolong dirinya.

“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah telanjang.

Tanpa pikir panjang lagi ia kemudian menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan mempunyai mata di belakang kepalanya, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.

“Nona, mengapa kau menyerangku?”

“Kau... orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, telah berani... merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!”

Biar pun hatinya berdebar tak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,

“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Meski pun pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Memang aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”

“Kau... kau kurang ajar!” seru Kui Lan.

Kini dia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya. Pergerakan ini membuat lumpur yang kering itu rontok sehingga nampak kulitnya yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.

“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan pakaian supaya kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapa pun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”

Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu.

Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah... tampannya!

Berpikir sampai di sini, Kui Lan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba dia menjadi pucat. Baru sekarang dia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.

“Ayah... ibu...!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali.

Dia belum tahu dengan jelas bagaimana nasib ayah bundanya, karena pada saat terjadi pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, dia segera melompat ke dalam kembali setelah teringat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang!

Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.

Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.

“Kui Lan, pakailah pakaian ini.”

Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Sesudah dia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya dan cukup pantas biar pun hanya pakaian wanita petani.

“Terima kasih, kau baik betul...,” kata gadis itu dari dalam goa.

“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” Pemuda itu bertanya.

Tiba-tiba terasalah di dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus, sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.

Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat-cepat melompat keluar dari goa itu. Kun Beng sudah berdiri di depan goa sehingga mereka kini berhadapan.

“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.

Kui Lan menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana saja.”

“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi.

Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, ada pun rumahnya juga sudah terbakar musnah!

Berdebar-debar hati Kui Lan saat mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikirnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguh pun berbeda sekali.

Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, namun sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan ... suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.

“Kau... siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat dia merasa malu-malu.

“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku mendengar dari orang-orang dusun itu.”

Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya. Dia cepat-cepat meloncat dan berkata, “Aku harus pulang...!”

Akan tetapi tiba-tiba gadis ini merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan kanannya.

“Ehh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.

Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.

“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”

Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kau larang pulang dan apa pula maksud dan kehendakmu ingin menahanku?”

“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan, dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis dia teringat akan orang tuanya, maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.

“Taihiap... katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku...? Dengan orang tuaku...?!”

Kun Beng mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Marilah kita duduk di tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”

“Tidak, tidak! Lekas kau katakan sekarang juga, atau... lebih baik aku pulang!” Ia hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.

“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”

“Ayah dan ibu...?”

Kun Beng mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu sudah dibakar oleh mereka...”

Tadi malam Kui Lan mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika dia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk serta memondongnya.

Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dahulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya.

Untuk menjaga ini pula, pada waktu dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ, supaya tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.

Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui Lan mengalami pukulan batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia terus mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia kembali roboh pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali, dan pemuda ini lalu merawat gadis itu baik-baik.

Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah pingsan, tapi berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan dia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.

"Makanlah, Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.

Untuk sejenak Kui Lan merasa nanar. Dia mengumpulkan ingatannya, mengenangkan semua peristiwa yang sudah terjadi. Kemudian dia menangis sambil menutupkan kedua tangan di mukanya. Dia teringat akan ayah bundanya yang tewas.

"Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.

"Aku... sebatang kara...," Kui Lan mengeluh.

"Apa kau kira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, meski pun maksudnya hanya untuk menghibur.

Kui Lan bangun duduk, akan tetapi segera meramkan mata kembali karena pusing. Kun Beng cepat menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.

"Minumlah bubur ini dulu."

Tanpa membuka matanya, Kui Lan lalu makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Setelah menghabiskan bubur hangat itu ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang kini sedang berlutut di dekatnya.

"Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?"

"Kau terkena demam selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari kau hanya mengigau saja," kata Kun Beng sambil tersenyum. "Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali."

"Tiga hari? Dan selama itu... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"

Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia pun segera mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.

"Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."

"Ahh... The-taihiap... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur bahwa di dalam penderitaannya yang hebat, dia bertemu dengan seorang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.

"Hushhh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," Kun Beng berkata sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?"

Mata gadis itu memandang tajam. Kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda, juga membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.

"Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu..."

"Taihiap, kau... kau suka kepadaku?"

Makin merah muka Kun Beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu. Akan tetapi ia maklum bahwa gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.

Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?

"Tentu saja, Kui Lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.

Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika dia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.

"Dan cinta kepadaku?"

Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini adalah urusan lain lagi. Ia tidak berani memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? Ia memang suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.

Semenjak Kun Beng telah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng.

Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biar pun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan setiap gerak-geriknya mencocoki hatinya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?

Namun bagaimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita sangat hebat ini? Wajahnya yang agak pucat, yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ahh, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan.

Lagi pula, dia hanyalah seorang pemuda yang pertahanan imannya masih sangat lemah dalam menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu dan mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!

Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suara keluhnya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Dia lantas menubruk pemuda itu dan menyadarkan mukanya pada dada Kun Beng.

Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju dan membasahi kulit dadanya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi, biduk pun akan terguling tertelan buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!

Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, tampak bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-larian naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te Hui-teng (Terbang di Atas Bumi).

Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluarganya.

Ketika dia bertanya mengenai adik perempuannya, penduduk di dusunnya tak ada yang dapat memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala perampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.

"Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana," demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.

Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. Hatinya sedih bukan main, juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biar pun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua.

Sesudah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun sampai di luar goa bekas sarang perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya ada orang sedang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap di antara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia segera memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!


"Taihiap, sungguh aneh dan amat lucu bila kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan serta cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya, kau yang sekarang telah dapat dikatakan menjadi suamiku, juga belum mengetahui betul keadaanku…" suara ini terdengar demikian manja dan mesra.

Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sute-nya sendiri!

Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.

"Kui Lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."

"Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."

Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira. Berkali-kali dia menghela napas dan seperti tidak merasakan sesuatu sungguh pun tangan kirinya terus mengelus-elus rambut kepala gadis itu.

"Sayang sekali iblis mengganggu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa... dan kita melakukan pelanggaran yang hebat... aku menyesal sekali."

"Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak merasa menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku... aku girang dan bangga dapat menjadi..."

Sebelum Kui Lan mengatakan ‘istrimu’, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.

"Kui Lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis sebatang kara..."

"Aku tidak sebatang kara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"

"Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatang kara seperti aku pula."

"Salah!" Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sebetulnya aku masih memiliki seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula. Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang..."

"Apa katamu?! Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya terkejut sekali dan melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.

"Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."

"Aduhai, Kui Lan. Kenapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka...! Kukira kau…"

"Kau kira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.

"Kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan... dan... kalau aku tahu bahwa kau adalah adik dari suheng-ku, aku takkan... takkan berani..."

"Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan perihal dirimu."

"Memang suhu melarang kami berbicara mengenai keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku... aku telah..."

Tiba-tiba terdengar suara dari luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.

"Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! Kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu!"

Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan, belum tentu mereka akan sekaget itu. Apa lagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa berkata, "Suheng..."

"Kiat-ko…," keluh Kui Lan yang sudah langsung mencucurkan air mata melihat kakaknya itu, "Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu..."

Wajah Swi Kiat menjadi semakin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"

"Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku... aku cinta padanya. Kiat-ko, kami... kami saling mencinta... harap kau ampunkan kami..."

Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia pun menarik napas panjang, lalu menghadapi Kun Beng dengan muka keras.

"Sute, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau harus segera memberi laporan pada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!"

Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.

"Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adalah adikmu... Tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu, suhu akan marah sekali."

"Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, namun kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!"

Kun Beng menggeleng kepalanya. "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..."

"Apa? Kau tidak cinta padanya?"

"Aku... terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku... aku merasa kasihan dan dia... dia menderita sakit, kurawat… dan... dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu kepadaku, membuat aku lupa..."

"Keparat! Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah sute-ku dan aku akan menghabiskan perhitungan ini dengan senjata!"

Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-lo-sian Siang-Koan Hai ini.

"Apa boleh buat, Suheng. Aku... aku tidak dapat melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula... aku tak ingin menjadi suami Kui Lan...”

"Keparat pengecut!"

Swi Kiat cepat menyerang sute-nya dengan kipas di tangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apa bila mengenai sasaran.

Kipas ini pada bagian gagang dan rangkanya terbuat dari pada gading gajah, sedangkan permukaannya terbuat dari kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Kun Beng cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah dan berdosa, janganlah menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu..."

Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.

"Kiat-ko... jangan kau serang dia...!" Kui Lan menjerit sambil menangis.

Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, kini tahulah ia bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa pemuda itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang timbul dikarenakan hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni.

Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapa pun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu tidak akan mudah hilang begitu saja.

Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu Khai-san Coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san Koan-jit (Buka Kipas Menutup Matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang San-hoat.

Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya bukan main-main lagi, namun menyerang untuk mengarah nyawanya!

"Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang sedang dilancarkan oleh suheng-nya.

"Mampuslah, bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya.

Oleh karena cepatnya Swi Kiat menyerang, kipas maut pada tangannya sudah berhasil menyerempet pundak kiri Kun Beng yang lalu mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang.

"Kiat-ko...! Jangan bunuh dia...!" Kui Lan menubruk kakaknya.

Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga telah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini dia lalu membalas serangan suheng-nya, karena dia merasa telah dilukai.

Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi Kiat. Akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya.

"Brett!" baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walau pun tidak parah namun cukup banyak mengeluarkan darah.

"Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini...! The-taihiap, cukuplah... kasihanilah aku...!" Kui Lan menangis dan memeluk kakaknya.

Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu.

Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya.

"Kiat-ko..., ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak.

Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-larian cepat sekali, merupakan bayangan hitam di kala senja itu, seperti seekor kalong yang besar sekali terbang pergi.

"Kiat-ko, dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali.

"Aku akan mengejarnya," kata Swi Kiat.

"Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapa pun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaimana juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng..."

Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sute-nya sudah demikian rupa sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan cara kasar mau pun halus dia harus mengusahakan hal itu.

"Aku akan mengejarnya, Kui Lan. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhnya. Andai kata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku mampu sebab kepandaiannya tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali padamu, suka menjadi suamimu."

Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaiannya belum cukup tinggi sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya bayangan ini.

Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika secara tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang penuh kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya.

"Siapa kau...?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.

Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaian yang dikenakannya sangat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya mau pun pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan mana pun juga kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat kebangsawannya.

“Aku bernama An Kong, seorang pangeran," pemuda itu berkata sambil menjura hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu sehingga kini kakakmu bermusuhan dengan sute-nya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup bahagia di istanaku. Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras. Marilah!" Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong kemudian mengulur tangan menangkap pergelangan tangan Kui Lan.

KUI LAN cepat menarik tangannya, akan tetapi terlambat. Pemuda itu gerakannya cepat sekali dan sebelum dia dapat memberontak, dia sudah diangkat dan dipondong! Kui Lan terkejut dan menjerit, akan tetapi sebuah totokan yang tepat sudah membuat dia tidak kuasa lagi membuka mulut.

Bagaimana pemuda itu dapat tiba di situ? Sebetulnya, karena Swi Kiat membantu para pejuang rakyat dan membebaskan mereka dari kepungan, pihak pemerintah lalu menjadi marah sekali. An Kong adalah putera dari An Lu Kui, dan pemuda ini secara kebetulan dapat melihat Swi Kiat.

Karena dia pun sedang membantu usaha ayahnya yang sedang berlomba mencari jasa dan kedudukan di kerajaan, diam-diam dia lalu mengikuti perjalanan Swi Kiat. Hanya dia saja yang sanggup melakukan hal ini, karena An Kong adalah murid dari Jeng-kin-Jiu Kak Thong Taisu dan dia memiliki kepandaian tinggi.

Diam-diam dia mengikuti jejak Swi Kiat, tapi tidak berani menurunkan tangan. Ia maklum akan kelihaian murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia hendak mencari tahu lebih dahulu di mana tempat tinggal pemuda itu sehingga dia dapat membawa kawan-kawannya untuk menangkapnya.

Demikianlah, dia mengikuti Swi Kiat terus hingga sampai di pegunungan itu dan secara kebetulan sekali dia melihat pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat. An Kong adalah seorang pemuda mata keranjang, maka begitu melihat Kui Lan, hatinya menjadi tertarik sekali. Apa lagi dia mendapat kenyataan bahwa Kui Lan adalah adik Gouw Swi Kiat, maka tentu saja hal ini sangat baik sekali baginya. Ia dapat menangkap Kui Lan, selain untuk memenuhi hasrat hatinya, juga hal ini berarti sebuah pukulan hebat bagi Swi Kiat!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kui Lan dibawa ke istana oleh An Kong dan hampir saja Kui Lan menjadi korban keganasan dan kekejian bangsawan rendah ini kalau saja tidak datang Lu Kwan Cu yang menolongnya.

Semua itu diceritakan oleh Kui Lan kepada Kwan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentu saja cerita Kui Lan tidak sejelas yang di atas, hanya terbatas pada apa yang diketahui oleh gadis itu. Namun Kwan Cu sudah dapat menduga apa yang terjadi seluruhnya.


                    ***********


  Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


Kwan Cu menarik napas panjang ketika dia mendengar penuturan itu.

"Kasihan sekali kau, Kui Lan. Dan terlalu Kun Beng. Tidak kusangka dia akan tersesat sejauh itu."

"Dia tidak tersesat, semua yang sudah terjadi adalah kesalahanku. Aku sudah setengah menduga bahwa dia tidak cinta kepadaku, akan tetapi cinta kasih membuat aku buta dan akulah yang menyeretnya sehingga dia melakukan semua hal atas diriku sebagaimana yang kukehendaki."

"Begitukah?" tanya Kwan Cu.

Diam-diam pemuda itu berdebar hatinya. Bukankah Kun Beng itu tunangan Sui Ceng? Dan sekarang Kun Beng melakukan perbuatan itu kepada Kui Lan, berarti Kun Beng tak berharga lagi menjadi calon suami Sui Ceng.

"Memang akulah yang bersalah. The-taihiap tidak berdosa, dan aku tidak menyesal. Biar pun dia tidak mau menjadi suamiku, namun aku tetap akan bersetia kepadanya sampai mati."

Terharu hati Kwan Cu mendengar ucapan ini. Dia mengelus-elus kepala Kui Lan seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya.

"Kau anak baik, Kui Lan. Sayang sekali kau terlalu lemah iman, tidak mampu menguasai hati menolak godaan iblis yang berupa napsu. Akan tetapi, hal itu pun bukan salahmu karena pada waktu itu, kau baru saja menderita tekanan batin yang hebat bukan main sehingga imanmu menjadi lemah."

Dengan mata basah Kui Lan lalu berkata, "Taihiap, sukakah kau menolongku mencari mereka itu dan mendamaikan mereka? Apa bila mereka sampai saling bermusuhan, baik kakakku atau The-Taihiap yang tewas, aku akan kehilangan salah satu orang yang paling kucinta dan kematian seorang di antara mereka akan membawa nyawaku pula."

Kwan Cu mengangguk-angguk. "Baiklah, Kui Lan. Mereka itu pun sahabat-sahabatku, apa bila aku dapat menemukan mereka, tentu akan kuusahakan sedapat mungkin untuk mencegah mereka saling membunuh."

"Terima kasih, Lu-taihiap, terima kasih. Budimu tak akan kulupakan selama hidupku."

Kwan Cu tersenyum. "Kau memang anak baik dan perasaanmu halus sekali. Aku pun seorang yang hidup sebatang kara, biarlah kau kuanggap adikku sendiri."

Bukan main girangnya hati Kui Lan mendengar ini. "Terima kasih kepada Thian bahwa hatimu sudah tergerak untuk menolongku, Koko yang baik. Tadinya aku sudah bingung sekali ke mana aku harus pergi dalam keadaan seorang diri ini, akan tetapi setelah kau mengangkatku sebagai adikmu, aku tak khawatir lagi karena kau tentu akan membawaku ke mana pun kau pergi."

Kwan Cu tertegun. Dia berdiri seperti patung tak mengeluarkan kata-kata lagi. Gadis ini cerdik sekali dan dapat mempergunakan kesempatan dengan amat cepatnya. Hal itu tak pernah disangka-sangkanya dan dia merasa betul, sebagai adiknya, Kui Lan tentu akan ikut dengan dia, atau setidaknya dia harus dapat mencarikan tempat yang layak bagi Kui Lan!

"Kui Lan, kau seorang gadis dan kepandaianmu juga belum cukup, mana bisa melakukan perjalanan jauh yang masih tidak ada ketentuan tujuannya?"

"Dengan kau di sampingku, aku takut apakah?" kata Kui Lan sambil tersenyum.

"Tentu saja aku akan selalu melindungimu, akan tetapi kalau kita melakukan perantauan bersama, akan menimbulkan tiga macam kerugian."

"Kerugian? Coba sebutkan apa itu!" Kui Lan berkata dengan muka cemberut, akan tetapi bahkan menambah kemanisannya.

"Pertama, akan mendatangkan kesan buruk karena orang-orang akan menganggap tidak pantas seorang gadis melakukan perantauan bersama seorang pemuda."

"He, bukankah kau ini kakakku sendiri? Apanya yang tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan bersama kakaknya?"

"Kui Lan, pandangan mata dan pendengaran telinga orang-orang kang-ouw amat tajam, mereka akan tahu bahwa kita bukanlah saudara kandung dan tentu akan timbul dugaan yang tidak-tidak yang kesemuanya hanya akan merusak nama baik kita. Hal yang kedua, kalau kau ikut aku, perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat dan bagaimana aku dapat menyusul mereka? Ke tiga, andai kata tersusul, dan kau berada di dekatku, tentu mereka akan naik darah karena kau yang menjadi pokok pertentangan mereka. Maka lebih baik kau jangan terlihat oleh mereka."

Menghadapi alasan-alasan yang amat kuat ini, Kui Lan hanya bisa menghela napas dan akhirnya mengangkat pundak. Gadis ini lalu berkata tanpa berdaya,

"Habis, apakah kau mau meninggalkan aku seorang diri di hutan ini?"

"Tentu saja tidak, adik Kui Lan. Aku mengenal sebuah tempat yang amat cocok bagimu, di mana kau boleh tinggal dengan hati tenteram dan aku pun bisa meninggalkan engkau dengan hati tenang pula. Kau boleh tinggal di tempat itu dengan aman sampai aku dapat menemukan Swi Kiat dan Kun Beng."

"Di mana tempat itu?" Kui Lan ragu-ragu karena pada dewasa itu agaknya tidak mungkin mendapat tempat yang aman bagi seorang gadis muda seperti dia, yang sudah banyak mengalami ganguan-ganguan dari orang jahat.

"Di dusun Kau-Ling di sebelah utara kota Tan-Shan ada sebuah Kwan-im-bio (Kelenteng Dewi Kwan Im) yang amat besar dan para nikouw (pendeta wanita) yang berada di situ terkenal sebagai pendeta-pendeta yang saleh beribadah. Kau boleh tinggal di sana untuk sementara waktu dengan hati aman dan tentram."

Kui Lan mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Maka, dua orang muda ini pun berangkatlah menuju ke kota Tan-shan yang letaknya di sebelah timur laut dari kota raja.

Menurut pendapat Kui Lan, mereka telah melakukan perjalanan cepat sekali sebab gadis ini di sepanjang jalan telah mempergunakan ilmu lari cepat yang pernah dia pelajari dari ayahnya. Akan tetapi tidak demikian menurut anggapan Kwan Cu. Kalau saja pemuda ini tidak melakukan perjalanan bersama Kui Lan, dalam waktu satu hari saja dia tentu akan sampai ke dusun Kau-ling. Sekarang bersama Kui Lan, dalam waktu lima hari barulah mereka tiba di dusun itu dan langsung menuju Kwan-im-bio.

"Taihiap datang...!" seru beberapa orang nikouw yang kebetulan berada di pekarangan depan kuil itu untuk melakukan tugas menyapu dan lain-lain.

Agaknya mereka merasa gembira sekali melihat kedatangan pemuda ini dan tahulah Kui Lan bahwa Kwan Cu telah dikenal baik oleh semua nikouw yang sudah tua-tua itu.

"Selamat datang, Taihiap. Kebetulan sekali Taihiap berkenan mengunjungi tempat kami karena kedatangan Taihiap memang sedang diperlukan sekali," kata seorang nikouw tua yang pekerjaannya sebagai nikouw penyambut tamu.

"Ada terjadi apakah, suthai? Dan di manakah Ngo Lian Suthai? Teecu mohon bertemu dengan beliau," kata Kwan Cu.

"Ngo Lian Suthai terluka oleh Luan-ho Oei-Liong (Naga Kuning dari Sungai Luan) dan keadaannya payah."

Kwan Cu terkejut bukan main. "Suthai maksudkan Luan-ho Oei-Liong si bajak laut yang merajalela di sungai Luan-ho?"

Kwan Cu memang pernah mendengar nama ini dan biar pun dia belum pernah bertemu dengan orangnya, akan tetapi sudah lama dia mempunyai niat untuk memberi hajaran kepada bajak yang dikabarkan orang amat ganas ini.

"Benar dia, Taihiap."

"Akan tetapi, kenapa demikian? Apakah Ngo Lian Suthai melakukan pelayaran di Sungai Luan?"

Nikouw tua itu menggeleng kepalanya yang gundul halus. "Marilah kita duduk di ruang tamu, Taihiap. Di sana kita akan bicara dengan leluasa."

"Perkenankan teecu (murid) menjumpai Ngo Lian Suthai sendiri supaya teecu mendapat keterangan lebih jelas."

"Menyesal sekali, Taihiap. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Ngo Lian Suthai tidak boleh banyak bicara dan bergerak. Beliau harus istirahat. Tentu saja kau boleh bertemu dengan Ngo Lian Suthai, akan tetapi tidak baik kalau mengajaknya bercakap-cakap. Hal itu akan mengganggu kesehatannya."

Terpaksa Kwan Cu membenarkan pendapat ini dan dengan menggandeng tangan Kui Lan, dia mengikuti nikouw itu ke ruang tamu.

"Siapakah Siocia ini, Taihiap?" Nikouw tua itu bertanya sambil memandang kepada Kui Lan dengan sepasang matanya yang bening.

"Dia ini adalah Gouw Kui Lan, yaitu adik angkatku. Justru kedatanganku ini untuk minta pertolongan Ngo Lian Suthai supaya suka menerima adikku sementara waktu tinggal di sini."

"Tentu saja boleh, Taihiap. Jangan khawatir, Nona, engkau boleh tinggal di sini seperti di dalam rumahmu sendiri."

"Terima kasih, Suthai. Sambil menunggu kedatangan saudaraku, tentu saja aku akan ikut membantu pekerjaan-pekerjaan yang dapat kulakukan di dalam bio ini," berkata Kui Lan sambil memandang ke sekeliling.

Tempat itu memang menyenangkan sekali. Selain bersih, juga dikelilingi oleh tanaman bunga, nampaknya aman dan penuh kedamaian.

"Sekarang ceritakanlah, Suthai. Apa yang terjadi dengan Ngo Lian Suthai?"

Nikouw tua itu lalu menuturkan apa yang telah terjadi lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu dan Kui Lan tiba di depan kuil itu.

Ngo Lian Suthai adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun yang menjadi ketua dari Kwan-im-bio. Selain seseorang ahli batin yang patuh akan semua isi kitab dari Dewi Kwan Im, juga Ngo Lian Suthai memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, karena dia adalah murid dari Bu-tong-pai.

Lebih dari dua puluh tahun Ngo Lian Suthai memimpin para nikouw di Kwan-im-bio itu dan selama itu, kuil ini menjadi semakin terkenal dan mendapatkan banyak penyumbang. Kuil itu lalu dibangun sehingga merupakan kuil terbesar di daerah utara. Selain perabot-perabot yang berada di dalam kuil terdiri dari barang-barang berharga sumbangan para penderma, juga di situ terdapat patung-patung yang sukar didapat, di antaranya terdapat sebuah patung setengah badan yang amat besar.

Tinggi patung itu sama dengan tinggi seorang manusia biasa akan tetapi karena hanya setengah badan, maka ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari ukuran badan manusia. Patung itu terbuat dari pada perunggu dan indah sekali. Hanya bentuknya menyeramkan sekali, karena biar pun dia merupakan sebuah patung pendeta laki-laki yang berpakaian sebagai pendeta biasa, namun pada kepalanya terdapat sepasang tanduk seperti tanduk kerbau dan mulutnya bercaling seperti mulut babi!

Jarang ada orang yang dapat mengerti apakah arti patung ini dan patung dewa atau iblis manakah gerangan. Akan tetapi Ngo Lian Suthai yang mendapatkan serta membawa patung itu dapat menceritakan dengan jelas.

Patung ini dibuat oleh seorang pendeta Budha yang pandai. Dan arti dari pada patung ini adalah untuk menggambarkan betapa pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang mengaku pendeta dan berpakaian seperti pendeta, namun sebenarnya masih memiliki akhlak yang bejat.

Oleh karena itu, untuk menyindir bahwa kepala pendeta macam itu masih terisi pikiran-pikiran busuk, maka kepala patung ditumbuhi sepasang tanduk, dan karena banyak pula di antara pendeta itu mengeluarkan kata-kata yang tidak selayaknya seorang suci, pada mulut patung itu dipasangi caling!

Jadi singkatnya, patung itu adalah untuk memperingatkan para pendeta atau orang yang menganut penghidupan suci, supaya sesudah digunduli dan jubahnya merupakan jubah pendeta, isi hati dan pikirannya tidak boleh kotor lagi.

Patung yang sangat indah dan sukar didapat ini oleh Ngo Lian Suthai diletakkan di ruang tengah sehingga setiap anak muridnya dapat melihatnya setiap hari, merupakan patung peringatan yang mengerikan hati bagi setiap muridnya.

Pada suatu hari, lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu datang, di dalam bio kedatangan seorang tamu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning yang membawa golok besar terselip di punggungnya. Laki-laki itu sikapnya kasar sekali, akan tetapi nikouw itu tetap menyambutnya, karena mengira bahwa orang itu hendak bersembahyang minta berkah dari Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im, yakni Dewi Welas Asih).

"Di mana Ngo Lian Suthai? Aku hendak berbicara dengan dia!" Laki-laki tinggi besar itu berkata dengan kasar dan matanya jelalatan ke dalam.

"Congsu siapakah dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan Ngo Lian Suthai?" tanya nikouw tua penyambut itu.

"Beritahukan bahwa Luan-ho Oei-Liong datang hendak bertemu," kata laki-laki itu.

Mendengar nama kepala bajak ini, terkejutlah nikouw tua itu.

"Baik… baik, silahkan Congsu duduk menunggu sebentar, pinni (aku) akan melaporkan kepada Ngo Lian Suthai," katanya dan cepat-cepat masuk ke belakang utuk melaporkan hal itu kepada ketuanya.

Akan tetapi Luan-ho Oei-Liong tidak sabar lagi. Dia segera bertindak masuk ke ruangan tengah di mana terdapat patung besar dari perunggu itu. Sambil tersenyum puas dia lalu mengangkat patung itu dengan kedua tangannya, terus diangkat keluar dan diletakkan di ruang tamu.

Semua nikouw yang melihat itu menjadi gempar. Mereka tidak berani mencegah, apa lagi sesudah melihat betapa laki-laki kasar itu mengangkat dan memindahkan patung dengan mudahnya. Patung itu beratnya hampir seribu kati dan selain Ngo Lian Suthai, tidak ada yang kuat mengangkatnya.

Tak lama kemudian, dari dalam keluarlah seorang nenek yang berpakaian pendeta serba putih, memegang sebatang tongkat hitam yang panjang dan kecil. Gerak-gerik nenek ini lemah-lembut, begitu pula wajahnya membayangkan sifat yang mulia, akan tetapi kedua matanya amat berpengaruh.

Pada waktu dia melirik ke arah patung perunggu yang sudah berdiri di ruang tamu, dia menggerakkan alisnya yang sudah hampir putih itu dan memandang Luan-ho Oei-liong.

"Congsu, pinni telah keluar, ceritakan apakah maksud kedatanganmu dan mengapa pula kau memindahkan patung itu?"

Melihat sikap yang halus serta sinar mata yang berpengaruh itu, Luan-ho Oei-liong yang bermuka kuning berubah sikapnya, tidak sekasar tadi dan dia menjura memberi hormat.

"Ngo Lian Suthai, sudah lama siauwte mendengar namamu yang besar sebagai seorang gagah yang berhati mulia dan pemurah. Oleh karena itu, hari ini aku sengaja datang ke sini untuk memberi hormat dan untuk mohon pertolonganmu."

"Pertolongan apakah yang dapat diberikan oleh pinni yang tua dan lemah ini kepada Congsu yang muda dan gagah perkasa?"

"Hanya sedikit pertolongan saja, Suthai, yaitu harap Suthai memberikan patung perunggu ini kepadaku, atau kalau Suthai berkeberatan aku bersedia membelinya," jawab kepala bajak itu sambil menunjuk ke arah patung yang berdiri di ruang itu.

Ngo Lian Suthai nampak heran luar biasa. "Patung ini? Untuk apakah kau membutuhkan patung ini, Congsu?"

"Terus terang saja, Ngo Lian Suthai, patung ini hendak kupergunakan untuk tumbal dan jimat penunggu perahu sehingga pengaruh jahat akan merasa takut untuk mengganggu kami. Pendeknya, patung ini akan kami sembah sebagai juru pelindung keselamatan."

Ngo Lian Suthai mengerutkan keningnya. "Salah sekali, Congsu. Patung ini merupakan lambang kejahatan dan kepalsuan, tidak seharusnya dipuja-puja. Maaf, untuk keperluan itu terpaksa pinni tidak dapat memberikan patung ini kepadamu."

Berubah air muka kepala bajak itu mendengar ucapan ini, akan tetapi dia masih tetap tersenyum menyeringai.

"Sebetulnya keinginan memiliki patung ini adalah atas desakan adikku perempuan Sin-jiu Siang-kiam (Sepasang Pedang Tangan Sakti) yang bernama Oei Hwa. Dialah yang terus merasa khawatir akan mara bahaya yang dapat menimpa kami, maka mendesak agar supaya aku datang ke sini untuk minta atau membeli patung ini, Suthai. Harap kau orang tua suka mengalah dan menolong kami."

Ngo Lian Suthai tentu saja sudah mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa, nama seorang gadis cantik jelita akan tetapi berwatak seperti siluman, yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari Luan-ho Oei-liong, kakaknya. Maka ucapan pemimpin bajak tadi boleh dibilang di samping hendak memperkenalkan adiknya, juga merupakan ancaman halus.

Akan tetapi pendeta wanita itu sama sekali tidak merasa gentar. Karena hatinya sudah bersih dari perbuatan menyeleweng, maka rasa takut pun lenyap dari lubuk hatinya.

"Menyesal sekali, Congsu. Patung ini buatan sucouw (kakek guru) yang membuat patung ini dengan maksud untuk memperingatkan kepada mereka yang menyeleweng dari pada garis-garis kehidupan manusia sesuai kehendak Thian. Pinni sangat membutuhkan untuk memberi peringatan kepada murid pinni khususnya dan masyarakat umumnya."

"Ngo Lian Suthai, kalau begitu percuma saja kau berjubah pendeta dan memakai nama sebagai orang suci!" mendadak Luan-ho Oei-liong berkata marah. Kesabarannya sudah habis.

"Dengan alasan yang mana kau dapat berkata begitu, Congsu?" Ngo Lian Suthai masih bersikap tenang dan sabar, bibirnya pun tetap tersenyum ramah.

"Kau berpura-pura menjadi orang suci, akan tetapi masih pelit dan kikir. Jangankan untuk menolong orang lain, memberikan patung yang bahkan akan kubeli saja kau tidak rela! Mana sifat-sifat kesucianmu?"

Ngo Lian Suthai menggeleng-gelengkan kepala dan berkata sungguh-sungguh.

"Congsu, tidak ada manusia yang benar-benar suci, kalau pun ada yang mengaku suci, itu hanya pura-pura dan bohong belaka. Pinni sendiri hanya seorang manusia berdosa yang berusaha untuk memperbaiki diri dan menjauhkan segala macam nafsu keduniaan. Memberi itu sifatnya bermacam-macam, begitu pula dengan menolong. Pemberian atau pertolongan yang mendatangkan keburukan, apa lagi bisa mendatangkan kejahatan dan penyelewengan, bukanlah pertolongan atau pemberian lagi namanya. Patung ini adalah lambang kejahatan, seharusnya dianggap sebagai peringatan, bukan untuk dipuja-puja. Apa bila pinni memberikan kepadamu untuk kau puja-puja, hal itu berarti bahwa pinni justru telah menolong kau berbuat sesat. Dan ini adalah dosa besar, Congsu. Kewajiban pinni bukan menolong manusia menjadi sesat, sebaliknya bahkan mengulur tangan untuk mencegah mereka berbuat keliru dalam hidupnya. Sekali lagi menyesal sekali, pinni tidak dapat memberikan patung ini."

"Meski dibeli dengan harga mahal?" Luan-ho Oei-liong mendesak sambil bangkit berdiri dari bangkunya.

"Patung ini hanya dapat dibeli dengan budi pekerti yang baik dan kesadaran. Apa bila Congsu sudah sadar betul dan dapat memperbedakan antara baik dan buruk, mengejar kebajikan dan meninggalkan kejahatan, barulah patung ini layak kau bawa agar supaya kau selalu ingat betapa buruknya kejahatan dan kepalsuan seperti digambarkan pada diri patung ini."

Merah sekali wajah kepala bajak yang berkulit muka kuning itu. Dia mencabut goloknya dan membentak,

"Nikouw tua bangka yang sombong dan bosan hidup. Kalau begitu hendak kubeli dengan golokku!"

Setelah berkata demikian, Luan-ho Oei-liong segera menyerang nenek tua itu dengan goloknya, disabetnya ke arah leher! Memang kepala bajak ini sudah mendengar bahwa nenek itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka dia mendahului menyerangnya.

"Omitohud, untuk membasmi kejahatan, terpaksa pinni melayanimu, Luan-ho Oei-liong !" kata nikouw tua itu yang cepat mengangkat tongkatnya menangkis sambaran golok itu.

Ngo Lian Suthai adalah ahli lweekang, akan tetapi ketika ia menangkis sambaran golok, ia merasa tanggannya gemetar. Ia telah tua sekali dan selama menjadi kepala nikouw di Kwan-im-bio, ia tidak pernah bertempur lagi dan hanya melatih ilmu silat untuk menjaga kesehatan jasmani saja. Maka tenaganya banyak berkurang, apa lagi tenaga dari bajak laut itu memang besar sekali.

Para nikouw yang berada di situ tak seorang pun berani maju karena mereka maklum bahwa kepandaian bajak laut itu hebat sekali, jauh melebihi kepandaian mereka yang tak seberapa. Akan tetapi Ngo Lian Suthai memang patut dipuji. Biar pun sudah amat tua, ia masih gesit dan tongkatnya merupakan benteng pertahanan yang sukar ditembus.

Kepala bajak itu menjadi penasaran dan gemas. Goloknya segera diputar semakin cepat dan kali ini serangan dilakukan sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Kalau saja pertempuran itu terjadi pada tiga puluh tahun yang lalu, belum tentu Luan-ho Oei-liong dapat menahan nikouw ini. Akan tetapi sekarang nikouw itu sudah kehabisan tenaga dan hanya dapat bertarung sampai tiga puluh jurus. Ia mulai lemah dan setiap kali menangkis serangan, tongkatnya terpental ke belakang.

Akhirnya, kepala bajak laut itu berhasil membacok ke arah pundak kiri, akan tetapi dia membalikkan goloknya sehingga bagian yang tidak tajam yang memukul pundak. Namun pukulan itu bahkan lebih hebat akibatnya, karena tidak saja meremukkan tulang pundak nikouw itu, tetapi juga mendatangkan luka di dalam dada! Ngo Lian Suthai terguling dan pingsan.

"Ha-ha-ha, Ngo Lian Suthai, kau mencari penyakit sendiri, baiknya aku Luan-ho Oei-liong bukanlah orang yang kejam. Kalau aku menggunakan mata golokku, bukankah tubuhmu sudah putus menjadi dua?" Sambil berkata demikian, kepala bajak ini menyambar patung perunggu dan dibawanya lari keluar dari bio.

Para nikouw lalu sibuk mengangkat ketua mereka ke dalam kamar untuk dirawat lukanya. Namun luka itu parah sekali sehingga setelah siuman, Ngo Lian Suthai tak dapat bangun lagi. Dengan suara tenang dan perlahan, nikouw tua itu menyatakan bahwa nyawanya tidak akan dapat ditolong lagi.

"Paling lama aku akan dapat bertahan sampai satu bulan," katanya sambil tersenyum. "Hal ini tidak mengapa, hanya sayang sekali patung itu akan tersenyum dan setan yang menjadi penghuni di dalamnya akan bersorak kemenangan karena kelak dia dipuja-puja oleh manusia-manusia sesat."

Demikian peristiwa yang diceritakan oleh nikouw tua penyambut tamu kepada Kwan Cu. Pemuda ini menjadi marah sekali, kemudian dia mendapat perkenan untuk menemui Ngo Lian Suthai di dalam kamarnya.

Pendeta wanita yang sudah tua itu nampak berbaring di atas dipan sederhana dengan pundak di balut. Mukanya pucat sekali dan tubuhnya lemah, akan tetapi begitu melihat Kwan Cu, dia tersenyum dan mengangkat tangan memberi salam.

"Ahh, Lu-taihiap, kau datang? Kau baik-baik saja, bukan?"

Kwan Cu terharu. Ia telah mengenal nenek ini ketika dia melakukan perjalanan melewati dusun ini dan mampir karena tertarik akan keharuman nama Kwan-im-bio dan nama Ngo Lian Suthai yang amat dihormati oleh banyak orang. Sekali pandang saja Kwan Cu dapat melihat bahwa nenek itu mengalami luka hebat di dalam dadanya dan tak dapat ditolong pula, kecuali kalau di situ ada Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat.

"Teecu menyesal sekali mendengar mala petaka yang menimpa diri Suthai," kata Kwan Cu.

"Bukan mala petaka, orang muda. Segala sesuatu yang telah ditentukan Thian pasti akan terjadi, kita tidak mampu menolak atau menawarnya. Kau datang dengan siapa?" tanya nenek itu sambil memandang ke arah Kui Lan.

Nona itu lalu maju dan berlutut, sedangkan Kwan Cu memperkenalkan, "Nona ini adalah Gouw Kui Lan, adik angkat teecu. Kedatangan teecu ini pun hendak mohon pertolongan Suthai agar sudi menerima Kui Lan tinggal untuk sementara waktu di sini, sampai teecu dapat menemukan kakaknya."

"Boleh, boleh, tidak perlu khawatir. Tinggalkan dia di sini, tentu akan kami jaga baik-baik. Akan tetapi, kalau kau hendak pergi Taihiap, dapatkah kau menolongku mencari Luan-ho Oei-liong di Sungai Luan-ho?"

"Untuk membalaskan sakit hati Suthai terhadap dia? Teecu tentu akan mencari dia dan menghajarnya!" kata Kwan Cu gemas.

"Bukan begitu, Taihiap. Pinni tidak merasa sakit hati pada siapa pun juga. Yang penting adalah patung itu, hendaknya kau suka merampasnya kembali. Mata biasa tidak dapat melihatnya, akan tetapi pinni tahu betul bahwa patung itu sudah dijadikan tempat tinggal oleh pengaruh jahat atau boleh juga disebut siluman. Oleh karena itulah maka pinni tidak menghendaki patung itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, apa lagi orang-orang yang sesat. Hal ini akan menimbulkan bahaya dan kejahatan akan merajalela. Kalau sudah terkejar olehmu hancurkan saja patung itu."

"Baiklah, Suthai. Teecu akan pergi mencari Luan-ho Oei-liong untuk memenuhi perintah Suthai."

Nenek itu menarik napas lega. Ada pun Kui Lan lalu maju ke depan dan berkata lembut, "Suthai, dalam keadaan seperti ini, sangat tidak baik kalau Suthai terlalu banyak bicara. Biarkan teecu merawat dan menjaga Suthai."

Ngo Lian Suthai tersenyum dan memegang lengan gadis itu, lalu melirik ke arah Kwan Cu.

"Lu-Taihiap, terima kasih kau sudah membawa anak baik ini ke sini. Ternyata dia akan menjadi perawat yang berhati mulia."

Kwan Cu merasa bahwa dia sudah terlalu lama mengganggu nenek itu, maka dia lalu bermohon diri dan berpesan kepada Kui Lan agar hati-hati tinggal di tempat itu, menanti sampai dia dapat menemukan Swi Kiat.

Pemuda itu kemudian meninggalkan Kwan-im-bio dan segera menuju ke utara karena terlebih dahulu, sebelum mencari Swi Kiat dan Kun Beng, Kwan Cu hendak memenuhi permintaan Ngo Lian Suthai, yakni mencari kepala bajak dan merampas kembali patung setan itu.


                   ***************

 Setelah melewati kota Ceng-tek dan mendekati laut, sungai Luan-ho menjadi makin lebar dan besar. Ada bagian-bagian yang merupakan sungai besar sekali sehingga pantainya di seberang nampak amat jauh, seakan-akan samudera kecil saja.

Di sana-sini kelihatan perahu-perahu nelayan, akan tetapi itu hanyalah perahu-perahu nelayan miskin tanpa layar. Ada pula yang mempunyai layar, akan tetapi layar yang butut dan penuh tambalan. Mereka ini boleh berlayar dengan hati tenang.

Akan tetapi tak ada perahu besar para saudagar yang berani melintasi daerah ini, karena nama Luan-ho Oei-liong sudah sangat terkenal. Kalau pun ada yang melintas, tentulah perahu-perahu saudagar yang sudah mendapat izin dari kepala bajak laut itu, tentu saja setelah membayar uang ‘pajak’!

Di bagian timur dekat laut, memang terdapat banyak sekali perahu-perahu basar para saudagar dan dari penghasilan memunggut ‘pajak’ inilah Luan-ho Oei-liong menjadi kaya raya. Siapa tidak mau membayar pajak, tentu kapalnya akan dirampok habis-habisan.

Semua nelayan memandang kepada Kwan Cu dengan mata kaget dan ketakutan ketika pemuda ini bertanya di mana dia dapat bertemu dengan bajak air Luan-ho Oei-liong. Mereka mengira bahwa pemuda ini adalah sahabat bajak itu dan tentu saja juga seorang penjahat. Akan tetapi Kwan Cu tersenyum melihat salah sangka ini dan berkata,

"Kawan-kawan harap jangan salah lihat. Aku bukan sahabat kepala bajak itu, melainkan seorang yang mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan dia. Tunjukkan saja di mana tempat tinggalnya agar aku dapat menjumpainya."

Walau pun merasa amat heran, namun semua nelayan tahu belaka di mana orang dapat bertemu dengan kepala bajak yang menjadi raja Sungai Luan-ho itu.

"Congsu harap menurutkan aliran air sungai ini dan setelah melalui kota Ceng-tek, di dalam hutan-hutan pohon pek kiranya Congsu akan dapat bertemu dengannya. Kalau dia tidak berada di darat dalam hutan itu, tentulah dia berada di perahunya dan sedang berlayar," kata seorang di antara mereka.

Kwan Cu mengucapkan terima kasih dan segera melanjutkan perjalanannya menurutkan aliran air sungai. Dan benar saja, di dalam hutan yang besar di mana sungai itu mengalir terdapat rumah-rumah para bajak air yang merupakan sebuah perkampungan kecil. Para bajak menyambut Kwan Cu dengan pandangan curiga.

"Mengapa kau mencari ketua kami?" tanya seorang di antara mereka.

"Aku datang untuk membayar pajak kepadanya," Kwan Cu menjawab sambil tersenyum. "Karena aku utusan para saudagar di kota raja yang hendak mengirim barang melalui sungai Luan-ho, tentu saja untuk hubungan pertama kali ini aku harus bertemu dengan dia sendiri."

Para bajak itu memang sudah dipesan kepalanya bahwa mereka tidak boleh sekali-kali mengganggu para pembayar pajak yang bahkan harus dilindungi. Karena itu, mendengar bahwa Kwan Cu adalah ‘langganan’ baru, segera mereka memberi keterangan.

"Ketua kami sedang berada di perahunya, di sebelah timur hutan ini. Akan tetapi beliau sibuk dan pada waktu sekarang kiranya akan marah kalau ada orang mengganggunya."

"Aku tidak mengganggunya, justru mendatangkankan keuntungan baginya. Tak mungkin dia akan marah," kata Kwan Cu tersenyum. "Apa bila kalian takut mengantarku, berilah pinjam sebuah sampan dan aku akan menjumpainya sendiri."

Para bajak itu melihat Kwan Cu hanya seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak membawa senjata, tidak bercuriga apa-apa, bahkan lalu menggeluarkan sebuah sampan berikut dayungnya untuk dipinjamkan kepada Kwan Cu. Tentu saja untuk ini Kwan Cu harus lebih dulu mengeluarkan sepotong uang emas sebagai hadiahnya.

Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, Kwan Cu mendayung perahunya dengan tenaga biasa. Akan tetapi setelah perahunya dibantu oleh aliran air meninggalkan hutan-hutan itu jauh di belakangnya, dia mendayung cepat sekali dan tak lama kemudian sampailah perahunya di bagian sungai yang airnya melimpah-limpah dan amat lebarnya, seperti samudera kecil. Dan di tengah-tengah samudera kecil itu dia melihat perahu-perahu atau kapal-kapal besar dengan layar hitam. Itulah tanda dari perahu bajak sungai!

Jauh di utara, di kaki langit, nampak mega putih menjulang tinggi seperti uap dari kawah berapi. Sinar senja mendatangkan pemandangan yang sangat indahnya dan air sungai mengalir tenang. Kwan Cu tertarik dengan sebuah perahu yang paling besar dan dicat paling mewah di antara perahu-perahu yang nampak layar hitamnya di sana-sini. Ke arah perahu besar inilah dia mendayung biduknya.

Ia mendayung perahunya dari sebelah kanan perahu besar itu dan perahu itu sedemikian besarnya sehingga dia tidak melihat adanya sampan lain yang datang dari kiri perahu, yang didayung oleh seorang gadis dengan kecepatan luar biasa pula.

Yang mendebarkan hati Kwan Cu ialah sebuah patung yang besar sekali, dari perunggu, yang berdiri di atas perahu dengan megahnya. Tidak salah lagi, tentu inilah patung yang dirampas dari kuil Kwan-im-bio!

Dengan gerakan lincah Kwan Cu melompat ke arah perahu besar, tanpa menimbulkan sedikit pun goncangan pada perahu itu. Hal ini sudah menunjukkan betapa tinggi ginkang yang dimilikinya, sungguh kepandaian yang hanya dimiliki ahli-ahli silat tinggi di masa itu.

Dengan hati tertarik Kwan Cu mendekati patung itu. Di atas perahu sunyi saja dan ada terdengar suara perlahan dari percakapan orang yang agaknya berada di dalam bilik di atas perahu itu.

Patung itu memang hebat. Terbuat dari pada perunggu dan ukirannya halus bukan main. Kedua mata dan tanduknya warna merah dan seakan-akan mata itu mengeluarkan sinar yang ganjil. Mengingat kata-kata Ngo Lian Suthai bahwa di dalam patung ini tersembunyi pengaruh jahat, Kwan Cu bergidik.

Tiba-tiba perahu bergoncang sedikit. Pada saat Kwan Cu menoleh, dia melihat seorang gadis yang cantik jelita sudah berdiri di belakangnya. Gadis ini sikapnya gagah sekali, bertubuh langsing padat dan usianya paling banyak baru delapan belas tahun.

"Hemm, tentu inilah Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa adik dari kepala bajak itu," pikir Kwan Cu saat melihat gadis itu membawa sepasang pedang yang gagangnya kelihatan tersembul di balik punggungnya.

Sebaiknya, gadis yang baru saja lompat naik dari sampan itu, terkejut melihat Kwan Cu. Akan tetapi dia segera membentak, "Maling hina dina, kau boleh mampus lebih dulu!"

Kata-kata itu langsung disusul oleh tonjokan tangannya yang kecil mungil, tepat menuju ke arah dada Kwan Cu.

Pemuda ini cepat-cepat mengelak dan diam-diam ia merasa amat kagum karena pukulan itu mendatangkan angin pukulan yang antep dan berbahaya. Hemm, lihai sekali, pikirnya. Pukulan tadi membuktikan adanya tenaga lweekang yang tak boleh dipandang ringan.

Sebaliknya, ketika gadis tadi melihat cara Kwan Cu mengelak, dia jadi tertegun. Elakan itu demikian cepat dan mudah, sewajarnya seolah-olah orang menghadapi pukulan biasa saja. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu sepasang pedang sudah berada di tangannya. Tanpa banyak cakap lagi gadis itu segera menyerang Kwan Cu dengan sepasang pedangnya.

Melihat gerakan pedang ini, Kwan Cu menjadi semakin heran. Bukan ilmu pedang biasa saja, pikirnya. Cepat, kuat dan amat ganas. Gerakan ini mengingatkan dia akan ilmu silat dari tokoh-tokoh besar di kalangan kang-ouw, tingkatnya tak kalah oleh ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai sendiri! Murid siapakah wanita ini?

Kwan Cu cepat mengelak dan untuk mengimbangi serangan-serangan gadis itu, dia lalu mengeluarkan ilmunya yang didapat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Terjadilah keanehan! Im-yang Bu-tek Cin-keng memang hebat, begitu Kwan Cu memainkan ilmunya ini, semua gerakan-gerakan silat lawannya dapat ditiru dan dimainkan sama baiknya!

Gadis itu mengeluarkan seruan kaget dan membelalakkan mata dengan amat heran.

"Keparat, mengapa kau meniru-niru gerakan orang?" bentaknya dengan suaranya yang halus, akan tetapi dia tidak mengendurkan serangan-serangannya.

Kwan Cu yang memperhatikan wajah gadis itu, sesudah kini mendengarkan suaranya untuk kedua kalinya, menjadi berdebar hatinya. Mungkinkah? Tak salah lagi, inilah wajah Bun Sui Ceng! Dia ingat betul wajah itu, sama benar dengan wajah yang diimpikan, dan ilmu pedang yang dimainkannya ini memang tepat kalau diturunkan oleh Kiu-bwe Coa-li, wanita sakti itu!

Ketika gadis itu masih menyerang dan mencoba mendesak Kwan Cu dengan sepasang pedangnya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang wanita.

"Siapa berani main gila di perahuku? Apakah belum mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa?" Bentakan ini disusul oleh keluarnya seorang gadis dari pintu bilik.

Gadis itu otomatis menghentikan serangannya dan Kwan Cu menoleh ke arah pintu. Dia melihat seorang gadis yang bertubuh langsing dan hampir sama dengan tubuh dara yang menyerangnya. Gadis yang baru muncul ini juga memegang sepasang pedang, namun pedangnya itu berwarna dua macam. Yang kiri putih dan yang kanan hitam.

Wajahnya cantik sekali, pakaiannya sangat mewah dan bedanya dengan gadis yang tadi menyerang Kwan Cu adalah sikap yang sangat genit dari gadis yang muncul dari pintu ini. Matanya menggerling tajam penuh gairah pada Kwan Cu, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah gadis yang menyerang Kwan Cu, sinar matanya berapi-api dan bibirnya cemberut.

Dari belakang Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa ini muncul seorang laki-laki pula, yaitu seorang laki-laki tinggi besar yang berkulit muka kuning. Menjadi kebalikan dari sikap Oei Hwa, laki-laki ini memandang kepada gadis penyerang Kwan Cu tadi dengan mata kagum dan kurang ajar sebaliknya memandang kepada Kwan Cu dengan marah.

"Kau siapakah, berani lancang naik ke perahu Luan-ho Oei Liong? Apakah kau sudah tidak menyayangi kepalamu lagi?" tanyanya sambil menudingkan jari telunjuknya kepada Kwan Cu.

Pertanyaan yang diajukan oleh Oei Liong ini membuat gadis yang baru saja menyerang Kwan Cu itu menjadi kaget. Dia menoleh memandang ke arah Kwan Cu dengan bingung. Ternyata bahwa pemuda ini bukannya anggota bajak. Jadi siapakah gerangan pemuda tampan yang kelihatan bodoh akan tetapi telah berhasil mengelak dari semua serangan pedangnya ini?

Ada pun Oei Hwa yang memandang ke arah gadis itu dengan marah, lalu menyambung pertanyaan kakaknya sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kepadanya,

"Dan kau ini, bocah lancang, siapa pulakah kau?"

Setelah Oei Hwa muncul, memang Kwan Cu makin yakin di dalam hatinya bahwa gadis yang disangkanya Sin-Jiu Siang-kiam Oei Hwa itu adalah pendatang dari luar dan kalau dia tidak salah sangka, tentulah gadis ini Bun Sui Ceng adanya!

"Luan-ho Oei Liong, soal namaku tidak penting. Ada pun kedatanganku ini adalah untuk mengambil kembali patung ini yang akan kukembalikan ke kuil Kwan-im-bio dan memberi hajaran padamu atas kekurang ajaran terhadap Ngo Lian Suthai!" kata Kwan Cu sambil tersenyum.

"Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa, ada pun tentang aku, soal namaku juga tidak penting. Dan kedatanganku sengaja hendak membasmi semua bajak sungai Luan-ho agar kalian tidak mengganggu lagi kepada mereka yang berlalu lintas di sungai ini!" kata gadis itu sambil melirik ke arah Kwan Cu.

Pemuda ini pun memandangnya dan keduanya tersenyum, merasa geli dan lucu serta gembira dapat mempermainkan pemimpin-pemimpin bajak itu.

"Keparat! Kalau begitu biar kuantar kau ke neraka!" Oei Liong mencabut golok besarnya.

Akan tetapi adiknya mencegah, kemudian Oei Hwa melangkah maju dan bertanya,

"Kalau kedatangan kalian ini sama-sama hendak memusuhi kami, kenapa datang-datang kalian bertempur di atas perahuku?"

Memang Oei Hwa jauh lebih cerdik dari pada kakaknya dan gadis ini hendak menyelidiki lebih dulu keadaan dua orang penyerang yang tidak mau memperkenalkan nama itu.

Menghadapi pertanyaan ini dan melihat betapa kedua mata yang bening itu memandang kepadanya penuh perhatian dan agak mesra, Kwan Cu menjadi bingung, lalu menjawab sekenanya saja.

"Kami... kami hendak berlatih dulu sebelum menghadapi kalian."

Gadis yang tadi menyerangnya itu memandangnya dengan sinar mata lucu, kemudian menyambung sambil mengangguk-angguk.

"Betul, kawan yang baru datang ini hendak mempelajari beberapa petunjuk supaya dapat digunakan menghadapi kalian kepala-kepala bajak yang sudah tiba masanya mampus!"

Kwan Cu menjadi geli dan gemas. Ternyata gadis itu, kalau benar Sui Ceng, masih sama dengan dulu, lincah jenaka dan suka mempermainkan orang. Juga agak sombong seperti gurunya, Kiu-bwe Coa-li sehingga datang-datang berani mengaku bahwa tadi dia sudah memberi petunjuk kepadanya!

Oei Liong tak sabar lagi. Ia membentak keras sambil menyerang Kwan Cu dengan golok besarnya. Serangan ini hebat sekali datangnya dan mendatangkan angin keras.

Melihat ini, gadis yang tadi menyerang Kwan Cu menjadi khawatir sekali. Setelah kini dia mengerti bahwa pemuda yang tadi diserangnya bukanlah penjahat, ia ingin menolongnya dari ancaman serangan golok yang diketahuinya amat lihai itu. Ia hendak melompat dan menangkis serangan golok yang tertuju kepada Kwan Cu, akan tetapi Oei Hwa sudah mendahuluinya dan menyerang sambil membentak marah,

"Gadis liar, jangan berlagak!"

Terpaksa gadis itu menangkis dan terjadilah pertempuran yang hebat antara dua orang gadis yang sama cantiknya itu. Sama-sama bersenjata siang-kiam (sepasang pedang) lagi. Setelah bergerak, ternyata bahwa keduanya juga sama lincah dan gesit, akan tetapi setelah pertandingan berlangsung belasan jurus, segera kelihatan bahwa ilmu pedang dari Oei Hwa masih kalah jauh.

Ilmu pedang dari gadis itu benar-benat hebat sekali, ganas dan gerakannya sukar sekali diduga, apa lagi ditambah pula dengan tenaga lweekang-nya yang mengatasi Oei Hwa. Oleh karena itu, sebentar saja Oei Hwa terdesak hebat.

Tentu saja Sin-jiu Siang-kiam ini terkejut dan heran sekali. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan yang begini lihai, padahal sudah ratusan kali dia bertempur menghadapi orang kang-ouw!

Di lain fihak, Luan-ho Oei-liong juga sibuk sekali menghadapi Kwan Cu. Berkali-kali golok besarnya menyambar, membabat, menusuk serta membacok, akan tetapi pemuda yang bertangan kosong itu seolah-olah merupakan bayangan iblis, semua serangannya selalu mengenai tempat kosong belaka!

"Setan keparat!" bentaknya berkali-kali sambil memperhebat serangannya.

Akan tetapi sebentar saja, setelah beberapa kali Kwan Cu mempermainkannya dengan menjewer telinga, menyepak pantat, mencolok perut, Oei Liong menjadi kewalahan dan gentar sekali, mengira bahwa pemuda ini memang benar-benar iblis sendiri yang datang mengganggunya. Mana ada manusia memiliki kepandaian sehebat itu sehingga dengan tangan kosong dapat mempermainkannya sedemikian rupa, padahal tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw tak akan berani main-main terhadap golok besarnya?

Tiba-tiba Oei Hwa bersuit keras sekali, memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan diri. Sebelum Kwan Cu dan gadis lihai itu mengerti apa maksud suitan itu, Oei Hwa dan Oei Liong melompat ke pinggir perahu terus terjun ke dalam air.

Pada saat itu pula, perahu besar itu bergoyang-goyang ke kanan kiri! Ternyata bahwa Oei Hwa tadi melihat anak buahnya datang ke perahu besar dengan sampan, maka dia memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan diri. Kini, dengan bantuan para anak buahnya, mereka berusaha menggulingkan perahu itu! Akan tetapi tidak mudahlah untuk menggulingkan perahu sebesar itu.

Kwan Cu dan gadis itu terhuyung-huyung di atas perahu dan gadis itu menjadi gelisah sekali.

"Celaka!" serunya.

Akan tetapi, ketika dia memandang kepada Kwan Cu, dia melihat pemuda itu tersenyum saja seenaknya, seakan-akan digoyang-goyang seperti itu di atas perahu merupakan hal yang menyenangkan baginya.

"Mengapa kau cengar-cengir saja seperti monyet? Berbuatlah sesuatu, Tolol!" Gadis itu membentak mengkal.

Kemudian gadis itu melihat perahunya di tepi perahu besar, yang tergolek-golek karena gerakan air yang diakibatkan oleh usaha para bajak laut menggulingkan perahu.

"Hayo lompat ke dalam perahu itu!" ajaknya.

Kwan Cu tersenyum lebar, karena betapa pun galaknya sikap gadis itu, ternyata untuk melarikan diri dan menyelamatkan diri masih teringat kepadanya sehingga mengajaknya lari bersama.

Gadis itu melompat terlebih dahulu. Akan tetapi segera terdengar jeritnya dan air muncrat tinggi-tinggi. Ternyata bahwa perahu itu adalah perangkap yang sengaja dipasang oleh Oei Hwa yang amat cerdik.

Karena sukar untuk menggulingkan perahu besar, Oei Hwa sengaja membawa perahu kecil itu, dipasang sedemikian rupa sehingga dari atas terlihat sebagai jalan satu-satunya untuk melarikan diri, akan tetapi sebenarnya dia dan kakaknya berada di bawah perahu. Begitu gadis itu meloncat turun, perahu kecil itu segera digulingkan dan ditarik tenggelam sehingga tentu saja gadis itu terjun ke dalam air!.....























Terima kasih telah membaca Serial ini


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12