Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 23
PEMUDA yang
bergerak belakangan ini bahkan jauh lebih cepat dari pada dia. Sulingnya
ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu
sudah lebih dahulu digerakkan menyamping membabat pedang!
Sungguh lucu
sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu pada saat pedangnya yang
hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.
Pedangnya
tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak
mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Akan tetapi dalam
pertemuan senjata ini, Kwan Cu sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia
bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan
yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan
lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekang-nya. Karena
itu dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.
Bian Ti
Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu memiliki gerak tipu
yang sama atau hampir sama dengan Tian-kiam Kiat-ciang, atau memang kebetulan
pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia kemudian
memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang
Hoa-khai Tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari).
Ilmu pedang
ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada
sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah
julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai Tiauw-yang
ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung
yang mengitari tubuh Kwan Cu.
Untuk
sejenak Kwan Cu melengak. Tidak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai
memang benar-benar hebat bukan main. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkang-nya,
bergerak memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi
sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apa bila terlalu mendekati tubuhnya.
Juga dengan
gerakan Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang
dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring
dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu
karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat
indah itu.
Setelah
menghadapi belasan jurus serangan, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera
dapat mengenal ‘jiwa’ atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh
pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan
Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan
gambar-gambar di dinding goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat
llmu Silat Segi Tiga.
Dengan
girang dia lalu memuji, "Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"
Biar pun
mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu
dengan ilmu pedang yang sama persis seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang
pada saat itu!
Tadi Kwan Cu
sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak
macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia menggunakan
jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.
Muka Bian Ti
Hosiang menjadi pucat. Dia segera mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan
tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan
pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun
harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!
"Ehhh,
bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" tanyanya
tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan
gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.
Kwan Cu
cepat mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil
menjawab,
"Gerakan
ilmu pedang tidak hanya dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapa pun boleh
saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"
Sehabis
berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tiba mengubah ilmu silatnya dan sekarang
sulingnya diputar cepat sekali.
"Kau
hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-bin
Sin-kai?"
Belum habis
kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi
tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada
hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.
"Inilah
ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu.
Memang
benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dahulu pernah dia
pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia mempunyai kepandaian
asli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali.
Ang-bin
Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai
Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri tidak akan
sanggup memainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.
Hal ini tak
perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapa
pun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih
dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu
silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, maka semakin
kacaulah ilmu silat itu.
Sebaliknya,
biar pun hanya mainkan ilmu silat sederhana saja, kalau yang memainkan itu
telah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang
sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat
bukan main. Apa lagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, namun
diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat
terkenal namanya.
Setelah Kwan
Cu membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk
‘memperkenalkan’ kelihaian Ang-bin Sin-kai, dia lalu mempergunakan sulingnya
menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga mendadak hwesio itu
melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi
jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak
terlepas!
Dengan
lweekang-nya yang tinggi, dia segera dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia
menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar
tidak mempunyai keinginan untuk bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau,
sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas
"Omitohud!
Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng sangat kagum dan
takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah mempunyai kepandaian
yang begitu tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di
depan dada.
"Cianpwe
terlalu memuji. Apa bila tadi Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boanpwe
sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab
Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur serta baik, tentu saja
dia tidak berani berlaku kasar.
Tiba-tiba
tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia
telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak
minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.
"Eh,
anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto
untuk beberapa belas jurus.”
Melihat cara
tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang
ahli lweekang yang sekaligus telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda
itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,
"Kiam
Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" dia tidak mau langsung bertanya
kepada tosu itu, karena terhadap sikap yang kasar dan memandang rendah, Kwan Cu
juga siap mengimbanginya.
"Lu-sicu,
dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."
Kwan Cu
terkejut. Dia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan
Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua
Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana dan patut menjadi locianpwe, tak
tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"
Melihat
pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi dongkol
sekali. Dia pun lalu membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suheng-ku.
Aku lihat tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, karena itu
marilah kita bermain-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah
kau mampu menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."
"Bin
Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri.
Majulah!” Kwan Cu menantang. Cara dia bicara berbeda dengan ketika dia
menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap
tosu ini.
Bin Hong
Siansu bertubuh kurus tinggi dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum
mengejek dia segera memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan
tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di sisi
pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali
Hitam).
Kwan Cu
tidak mengenal ilmu silat ini, akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini
lantas meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti
itu!
Ketika
melihat sikap pemuda ini, Bin Hong Siansu menjadi amat mendongkol dan gemas.
Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang
amat berbahaya. Lawan yang menghadapi dengan kuda-kuda biasa, betapa pun
tangguhnya, akan dapat dia serang secara hebat dan jarang sekali serangannya
ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan
ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang
rendah.
"Awas
batok kepalamu!" bentaknya keras.
Tiba-tiba
tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas
menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi
kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang menjadi serangan
penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu dan
siap dibuka untuk mencengkeram apa bila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!
Kwan Cu
belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat
menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, oleh karena itu dia tidak
berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya
saja sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan
bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus
lebih hebat dan cepat!
Kwan Cu
terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, akan tetapi dia
tidak gentar. Dia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa
membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana
ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin
Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan.
Namun jarak
mereka masih saja sama, belum pernah satu kali pun serangan tosu itu bisa
mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi,
apa bila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main
loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan.
Akan tetapi,
bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena di dalam
gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi
dari pada ginkang Bin Hong Siansu. Meski pun pemuda itu meloncat sambil mundur
atau menyamping, akan tetapi tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tidak
pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan
luar biasa.
Bin Hong
Siansu memiliki julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukan ini
saja sudah dapat diduga bahwa ginkang-nya luar biasa tingginya. Namun
menghadapi pemuda itu, Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!
"Bocah
siluman, kau pengecut!" mendadak Bin Hong Siansu menghentikan serangannya
dan tidak mengejar lagi. "Bila kau memang laki-laki terimalah seranganku,
jangan hanya melarikan diri terus!"
Kwan Cu
tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku
membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!"
Pemuda itu
lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu. Kini dia tidak mau meniru-niru lagi,
melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in
Hoat-sut!
Melihat
pukulan tangan kanan Kwan Cu yang datangnya sangat lambat dan merupakan ilmu
pukulan biasa saja, Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya.
Memang dia belum pernah melihat Pek-in Hoat-sut, bahkan bukan dia saja,
orang-orang kang-ouw juga jarang atau belum pernah melihat ilmu silat ini.
Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasakan kelihaian
ilmu pukulan itu.
Melihat
datangnya pukulan yang lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan
menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah pada
urat nadi di pergelangan tangan lawan.
"Brettt…!"
Terdengar
suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur. Robekan kain beterbangan ke
sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang
telah mengebulkan uap putih.
Bukan
kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum lagi menyentuh tangan
pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?
"Ilmu
siluman…!" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya.
Akan tetapi,
Kwan Cu sudah menjadi amat marah melihat kesombongan dan mendengar hinaan tosu
itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu
dari Kong-ciak Sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, ada
pun tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin Hong Siansu.
Tosu itu
cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,
"Aduuuhhh…
kurang ajar kau...!"
Kiam Ki
Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang sudah terjadi?
Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu sudah mencengkeram dan mencabut sebagian
dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!
Biar pun dia
marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, akan tetapi tosu itu adalah
seorang yang bisa melihat keadaan. Jika tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya
bukan mencabut jenggot, melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia
takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat,
dia berkata,
"Kau
sudah menghinaku, lain kali Kim-san-pai pasti akan mencarimu!" Sesudah
berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,
“Kiam Ki
Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima
hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat
tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak
Tai-hang-san."
Sekali lagi
tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu
melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.
Bian Ti
Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara
tenang, "Pinceng juga masih punya urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih
atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah
ditentukan."
Hwesio ini
lantas berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng sudah mendapat
pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Kemudian ia pun
melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.
Mendengar
ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, hati Kwan Cu menjadi tertarik. "Kiam
Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima
belas?"
Kiam Ki
Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, tetapi kemudian dia tersenyum dan
berkata,
"Akan
ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."
“Musyawarah
tentang apa?"
"Akan
diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka
yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hendak
mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak
itulah kau dengan mudah akan dapat menjumpai mereka."
Berdebar
hati Kwan Cu. Dia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak
perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.
"Terima
kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas
keteranganmu tentang keturunan An Lu Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."
Kiam Ki
Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau juga sudah
berjasa untukku."
Tanpa
mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu segera melompat dan ketika dia sampai di
tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa
orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.
***************
Setelah dia
kehilangan pedangnya, gadis ini ingin mencari senjata lebih dulu, akan tetapi
bukan sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam dia telah
menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di
antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan
sampai lima hari ia tidak berhasil.
Hatinya
sangat kesal dan pada hari ke lima itu, dia memasuki sebuah restoran besar.
Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan
tua yang senang mengobrol mengenai keadaan di kota raja, terutama sekali
mengenai diri keluarga istana.
Terkejutlah
Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan sudah tewas dan kini yang
menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara
halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang
gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan
Tang.
Girang hati
Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan
berhasil mencuri sebilah pedang dari gudang senjata. Biar pun pedang ini bukan
pusaka yang ampuh, akan tetapi merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat
dari pada logam putih seperti perak.
Dengan amat
girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai
besi pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Dia bukanlah seorang
bodoh dan tidak nanti dia mau menggunakan sarung pedang aslinya karena hal ini
tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan dalam sarung
pedang baru, dia pun berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.
Pada
keesokan harinya, kembali dia mendatangi rumah makan itu untuk mendengarkan
berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya,
yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri.
Pelayan itu
tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini
adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus serta sopan, jadi terang
seorang pendekar budiman. Lagi pula, tentang pencurian dari gedung senjata
bukan merupakan hal yang aneh.
"Sudah
sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona.
Padahal jendela dan pintunya tak terbuka." Kemudian disambungnya dengan
suara berbisik-bisik. "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat
digunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"
Kata-kata
ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa
biar pun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini
bersimpati terhadap perjuangan rakyat!
Tiba-tiba
terdengar suara orang di pintu luar.
"He,
pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku
lapar sekali!"
Pelayan tua
itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang baru datang itu
bukanlah tamu kaya atau pun seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang
berpakaian seperti pengemis. Celananya dipenuhi tambal-tambalan, bajunya sudah
butut sekali, rambutnya dipotong pendek sehingga berdiri bagaikan rambut
landak, begitu pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti
jarum-jarum.
Apa bila
pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan
masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng yang lalu tertegun melihat sikap
orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya
tampan sekali.
Akan tetapi
rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng
meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu dia merasa mukanya
gatal-gatal dan geli. Akan tetapi kedua mata pemuda aneh itu bersinar-sinar
mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.
Pelayan tua
itu, tepat seperti dugaan Sui Ceng, merupakan seorang yang simpati kepada
perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu
cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.
"Sicu,
selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untuk
Sicu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal,
seguci harganya...”
"Tak
peduli berapa harganya, keluarkan saja. Ini cukup untuk membayarnya?"
Pemuda itu lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang
besarnya hampir sama dengan tiga jari tangan.
Pelayan itu
tertegun dan wajahnya berseri-seri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini
adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut
kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyaplah
kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,
"Sicu,
simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum
hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."
Pemuda itu
menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling
dan perampok kecil, siapakah yang takut? Nona itu biar pun hanya seorang gadis,
tidak takut rampok, apa lagi aku seorang jantan!" katanya sambil
mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.
Sui Ceng
mengerutkan kening. Tadinya dia mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan
tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tak jadi marah dan
perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.
Tidak lama
kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti
pengemis itu segera makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani
tamu-tamu lain yang duduk pada meja yang jauh dari tempat itu.
Sambil makan
minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,
"Tunggulah
saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu
kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, pasti aku akan menenggak
darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk
matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu
dimasukkan ke dalam mulut.
Kalau saja
pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa
geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she
yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang
dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?
Dengan hati
tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkan restoran,
gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat
pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan
masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir
jalan.
Di depan
kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini
masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda
itu mengangguk ke kanan kiri, lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang
emasnya dan melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata
uang itu dengan wajah girang.
"Hmm,
siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat
sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia tadi mengancam Kwan Cu? Aku
harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.
Malam itu
kembali Sui Ceng menganggur saja. Dia sudah mendapatkan pedang yang cukup
lumayan, akan tetapi karena ia amat tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda
maksudnya untuk memasuki istana. Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga An Lu
Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan
tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa
tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja.
Cepat-cepat dia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari
kelenteng dan berjalan dengan gagahnya ke arah kota raja, lalu langsung menuju
ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh
hangat.
Seperti
kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu
tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar
berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.
"Semalam
terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya sudah dibunuh
orang!"
Sui Ceng
hampir melompat dari bangkunya. "Kau maksudkan An Lu Kui dan An
Kong?"
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain
kita bisa celaka."
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa.
Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.
"Anjing-anjing
penjilat mampus! Ha-ha-ha-ha, kalau daging mereka itu dimasak, biar pun
semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha-ha-ha!"
Sui Ceng
memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran
itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah rumah
yang tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu
berjalan keluar, cepat dia mengikutinya dari jauh.
Pemuda itu
berjalan terus, menuju ke timur dan setelah sampai di depan sebuah rumah gedung
yang sangat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah
dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya
sendiri!
Sui Ceng
terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.
"Pengemis
jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo
pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"
Pengemis
muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah
kalian!"
Sambil
berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan
itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang
patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, hanya mengaduh-aduh dan mengelus-elus
kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.
Sui Ceng
cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali dia menggerakkan tubuh, dia
sudah melayang naik ke atas genteng. Dia hendak mengintai apa yang akan terjadi
di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu
yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi
besar itu!
"Dia
lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"
Tidak lama
kemudian Sui Ceng melihat ada dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua
jurusan berbeda. Yang pertama adalah seorang pemuda gagah dan tampan yang
datang dari sebelah kiri rumah. Kedatangannya amat mencurigakan sebab pemuda
ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya,
seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ.
Orang ke dua
adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang,
kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di
belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.
Pada saat
itu terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel
dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan, kemudian dengan
tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.
Sui Ceng
berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang
kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini
karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah sangat lihai, dengan hati-hati lalu
mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis
itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari
tempat yang amat tinggi itu.
"Hemm,
inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?!" bentak pemuda yang
bertubuh gagah.
Pengemis
muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah. Mereka saling
pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.
"Ha-ha-ha,
kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti
anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah
keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu
yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"
Terdengar
suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas
pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.
"Ha-ha,
tepat sekali makian itu...," katanya perlahan, akan tetapi cukup keras
sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu
Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel
dan Lu Thong sudah berhadapan, mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan
itu.
"Bangsat
busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau
sudah bosan hidup agaknya!"
"Kau
mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar
tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi sebagai keturunan terakhir
bukannya kau bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk
mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu
yang bernama Han Le.
"Aha,
kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi
murid jembel itu. Agaknya dia sudah memberi pelajaran kepadamu bagaimana
caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan
hebatnya.
Lu Thong
adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali.
Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin
Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut
Nyawa), segera dia menggunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel
yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.
Han Le cepat
mengelak sambil memaki, "Berani kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu
Toat-beng? Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan
ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya.
Segera
mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula
tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan tiap serangan mereka
sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasakan sambaran
angin pukulan yang dahsyat.
Hati Sui
Ceng berdebar-debar. Tanpa sengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara
murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong mau pun Han Le sudah
mewarisi seluruh kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seolah-olah
mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan
pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu sering kali
dilakukan, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah.
Sayangnya,
akhirnya Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Apa bila hanya
Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan
kalah atau menang.
Seratus
jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.
Dari atas
genteng, Sui Ceng tidak ada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang
jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan
tenaga dalam yang dahsyat.
Sebaliknya,
Lu Thong memiliki ilmu silat yang amat kuat, dan ia merupakan seorang ahli
gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia bisa mengimbangi
kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras
menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan
lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.
Akan tetapi,
biar pun kedua orang muda itu belum dikenalnya, tetapi sekali mendengar
percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel
itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh
besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat.
Ada pun Lu
Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang sudah membantu penjajah. Apa lagi kalau
diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh
keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan
penjajah.
Tiba-tiba
Han Le mengubah ilmu silatnya dan sekarang gerakannya amat aneh dan sulit
diduga terlebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu
silatnya yang sangat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis
atau mengelak, main mundur terus.
Sui Ceng
merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga
menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk
tangan memuji,
"Bagus
sekali! Ilmu silat seperti itu selama hidup belum pernah aku melihatnya!
Saudara Sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak
berbudi itu"
Lu Thong
yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan
kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!"
Kedua tangan
itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang
luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali.
Han Le
merasa betapa dari kedua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main
hebatnya, yang mendorongnya dengan amat hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini
cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biar pun dia dapat menggagalkan
serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar
sampai tiga tombak lebih!
Pemuda
tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbarengan dengan Sui Ceng.
Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi!
Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari
sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda,
memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!
Lu Thong
terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan
Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri,
terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia
melompat cepat dan dengan marah membentak,
"Kalian
ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kau kira aku
takut. Tunggu aku mengambil senjataku!"
Setelah
berkata demikian, Lu Thong lari memasuki gedungnya dan tidak lama kemudian dia
telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan berat.
Sementara
itu, dengan muka terheran-heran Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda
tampan itu. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat tinggi
pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali
dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak
disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi
menyerang Lu Thong.
Ada pun Sui
Ceng dan pemuda tampan itu saling memandang, agaknya mereka seperti pernah
saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bila mana. Sebelum mereka
keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia
lalu menyerang Han Le.
Pemuda
jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang
tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang
pedang yang berkilauan sinarnya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebilah
po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.
Pertempuran
hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru dari pada
tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong
menunjukkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali.
Sungguh pun
permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, akan tetapi
pertahanan Lu Thong tidak dapat dibobolkan. Berkali-kali Han Le mengeluarkan
tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang
persilatan lain, amat aneh gerakannya dan setiap kali pemuda jembel itu
mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa
melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri.
la
benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang
digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau
namun berisi tenaga yang sangat kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata. Akan
tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya
yang aneh ini dan kembali lagi melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan
dia memiliki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal
benar.
Sementara
itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui
Ceng, terus memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat
berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar-debar dia melangkah maju,
menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,
"Nona,
kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona adalah nona Bun Sui Ceng murid dari
Kiu-bwe Coa-li?”
Sui Ceng
terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi
dia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,
"Bagaimana
saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? Siapakah
saudara?"
Mendengar
ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya
bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak semakin tampan.
"Sekali
bertemu aku sudah menduga! Apa lagi ketika menyaksikan cara kau menyerang
bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”
Seketika itu
juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Dia hanya dapat
membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh…"
Bagaimana
dia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah
tunangannya itu!
Kun Beng
mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat
mencari jalan untuk menghilangkan perasaan yang tidak enak ini. Katanya dengan
wajah berseri,
"Ceng-moi,
marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita
bertiga berlomba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dahulu!"
Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang
tombak pendek.
Sui Ceng
kembali berani mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata
bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni
bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan orang yang
tidak menyenangkan hati.
Kun Beng
tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula. Sambil mengangguk dia lalu mencabut
pedangnya. Keduanya segera melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur
ramai menghadapi Han Le.
Kepandaian
Sui Ceng dan Kun Beng sudah tinggi bukan main, tidak kalah dengan tingkat
kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang.
Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.
Menghadapi
pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apa lagi kini ditambah dengan
pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari
tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapa pun tangguh ilmu toyanya, dia
lantas terdesak hebat sekali.
"Kalian
curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya
dengan nekat.
"Membunuh
seekor anjing jahat atau ular keji tidak perlu menggunakan aturan lagi. Kau
lebih jahat dari pada anjing penjilat atau ular!" Kun Beng berseru sambil
mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.
"Traaang!
Traaang!"
Lu Thong
mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng,
akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya sudah
terlepas dari tangannya. Tepat pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan
yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong pun terlempar dan roboh dengan
sambungan lutut terlepas!
Lu Thong tak
berdaya lagi. Ia meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya
senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.
"Tahan
dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru.
Nampaklah
bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lu Thong sudah berdiri seorang
pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.
Sui Ceng
berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain
adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, dia diam saja karena merasa
malu untuk menegur pemuda ini, apa lagi kedatangannya demikian aneh,
seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan
patut dibunuh itu.
"Hemm,
siapakah kau dan kenapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?”
tanya Han Le penasaran.
SEPASANG
matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang
dipandang tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara bersungguh-sungguh dan
kening dikerutkan dia berkata,
"Aku
tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah
tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian
hendak membunuh dia karena kalian adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci
penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta
kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir dari pada
Menteri Lu Pin!"
"Kau
mengoceh! Justru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus
dibinasakan!" seru Han Le yang sudah marah sekali. Pedangnya berkelebat
membacok ke arah Lu Thong.
Akan tetapi
tiba-tiba saja dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang serta
tangannya yang sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Pemuda
jembel ini marah bukan main. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh menghadapi
Kwan Cu.
"Kau
agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dahulu!"
Segera dia menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang
amat berbahaya.
Kwan Cu
cepat mengelak dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah
perkasa ini. Oleh karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai
Kiam-hoat yang dikenalnya baik, ia sengaja mengelak terus sambil tetap
memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.
Ada pun Sui
Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin
Sin-kai, kenapa dengan Kwan Cu mereka tak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu
juga murid Ang-bin Sin-kai? Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia
hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.
Kun Beng
juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu,
maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui
Ceng.
"Ceng-moi,
biar aku binasakan dahulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le
membikin mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak
menusuk dada Lu Thong.
"Tranggg…!"
Tombaknya
terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata
terbelalak.
"Ceng-moi,
mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"
"Dia itu
adalah Lu Kwan Cu, seorang murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita
dengarkan lebih dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita
membunuh pengkhianat ini.”
Kun Beng
terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong
selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.
"Lu
Kwan Cu bocah gundul dahulu itu...?" tanyanya seperti kepada diri sendiri.
Sementara
itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena pada saat Han Le yang pandai
mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han
Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh bukan main,
yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan
Cu.
"Heeeeei...!
Berhenti dulu! Siapakah kau yang sanggup mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat
dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te Sin-coan (Lingkaran Sakti Langit
Bumi) ini?"
Han Le juga
terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas
perutnya karena sampai begitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang
bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya.
Akan tetapi
dia terkejut sekali karena lawannya lalu bergerak mengikuti serangannya dan
tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti
betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan
dirampas!
"Nanti
dulu, kau siapakah? Dan dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai
Kiam-hoat? Dari mana pula engkau dapat memainkan ilmu pedang berdasarkan
Thian-te Sin-coan? Hayo jawab!" Muka Kwan Cu menjadi tegang.
Han Le kaget
bukan kepalang melihat betapa setelah membalas serangan-serangannya, lawannya
dengan satu kali gebrakan saja telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih
penasaran, maka cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat
sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk dari pada ukiran-ukiran di
dalam goa Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki
jauhnya.
"Kau
pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa memainkan
ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-hio-to?" Kembali Kwan Cu mendesak.
Mendengar
ini Han Le menjadi pucat. Dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.
"Kau...
kau siapakah?”
"Aku
murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku."
Han Le
mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu,
memeluk kedua kaki pemuda itu.
"Aduh,
Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat
bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurang ajaranku," katanya.
Kwan Cu
memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, meski pun
Han Le sudah mengerahkan lweekang-nya, tetap saja pemuda jembel ini kena
ditarik naik dan terpaksa berdiri.
"Hayo
bilang, kau siapa? Jangan main-main!" seru Kwan Cu.
"Siauwte
adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil aku
bocah sengsara sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng
ke Pek-hio-to!"
Kwan Cu
tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.
"Kwan
Cu, apa kau sudah lupa pula kepadaku?" tiba-tiba pemuda tampan yang dia
lihat berdiri di dekat Sui Ceng berkata. "Aku adalah The Kun Beng, murid
Pak-lo-sian!"
Air muka
Kwan Cu kembali berubah dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan
rasanya.
"Dia
ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku," Kun Beng memperkenalkan.
"Koko
!" Sui Ceng menegur tunangannya itu.
Hati Kwan Cu
terpukul. Panggilan gadis itu terhadap Kun Beng dengan sebutan ‘koko’ terdengar
begitu manis dan mesra, namun sangat menusuk jantungnya. Dia memandang kepada
Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.
Tanpa
berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia segera mengetuk dan
mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga lutut yang tadi terlepas tersambung
kembali.
"Suheng,
mengapa kau mencegah siauwte membunuhnya?" Han Le bertanya.
"Dia
ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya sudah musnah, dan dia tersesat karena
berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang
sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang
membantu rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang mempunyai kepandaian
tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau
menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kongkong Lu Pin
sudah meninggal dunia dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu telah
terbinasa pula. Tak ingatkah kau kepada ayah bundamu yang menjadi korban
jahanam An Lu Shan?”
Menitik air
mata dari kedua mata Lu Thong.
"Aku...
tadinya aku bermaksud hendak mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar akan
lebih mudah bagiku membalas musuh-musuhku… menjunjung tinggi nama keluarga, dan
mencuci noda mereka yang dianggap sebagai pemberontak..."
"Kau
keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai
pahlawan-pahlawan bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk
itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh
pula oleh Si Su Beng. Dan kau... apakah kau kira akan dapat mengharapkan kurnia
dari Si Su Beng?"
Pada saat
itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,
"Pasukan
Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!"
Empat orang
muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada. Han Le
memegang kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng juga memegang
tombaknya erat-erat dan Kwan Cu bertolak pinggang dengan kedua matanya yang
bersinar-sinar.
Sesudah
menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biar pun
masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari
tangannya.
"Kau
mau apa?!" bentak Sui sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong.
Akan tetapi
yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya.
"Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini," katanya
dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari
tadi.
"Lu
Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk
menangkapmu!" terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah
datang di luar pekarangan rumahnya.
"Apa
kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kau bela dengan mempertaruhkan
nyawa bangsamu?" kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi
dada Lu Thong.
Dengan muka
merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong lalu berteriak kepada
barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,
"Anjing-anjing
keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu
semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu
Thong keturunan Lu Pin dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah
menghancurkan kepala-kepala anjing!" Sambil berkata demikian, dia memutar
toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun.
Kwan Cu
segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng
dengan pandang mata penuh arti.
Ketiga orang
muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan pembelaan Kwan Cu
terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah
sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap kaum
penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari
menyusul kemudian memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-lim-kun!
Mana bisa
barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah
orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang mempunyai kepandaian luar
biasa sekali.
Biar pun
barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi
menghadapi serbuan lima orang muda yang sakti ini, sekejap saja mereka menjadi
kocar-kacir. Mayat bergelimpangan di sana sini, sungguh amat mengerikan.
Yang paling
hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dengan ganas dan
sedikitnya ada lima orang anggota Gi-lim-kun yang pecah kepalanya terkena
pukulan toyanya!
Di antara
mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak terjangnya. Dia tidak
tega menjadi pembunuh para alat negeri ini. Entah karena terdorong oleh
keinginan mendapatkan harta, atau pun terkena tipuan dan bujukan maka mereka
menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan
tangan kosong saja dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu
tanpa membahayakan nyawa mereka.
Han Le
agaknya juga tidak begitu kejam sebab pedangnya hanya merobohkan orang dan
melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti
gurunya. Setiap kali pedangnya bergerak, seorang anggota Gi-lim-kun menjerit
kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus!
Demikian pula Kun Beng. Dia juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas
Sui Ceng atau Lu Thong.
Akan tetapi,
lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini
bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, di
situ telah datang barisan baru yang jauh lebih kuat dari pada barisan
Gi-lim-kun yang sudah dapat diobrak-abrik, sebab barisan ini adalah barisan
Si-wi, yaitu pengawal pribadi kaisar dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin
bersama panglima-panglima yang berkepandaian tinggi!
Pertempuran
berjalan semakin hebat. Kwan Cu mengetahui bahwa bagi keempat orang kawannya,
Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh. Maka dia segera mencabut sulingnya dan
menghadapi kakek ini. Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi
terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh dari
pada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu.
Akan tetapi,
sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk
melayani keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka
otomatis berkelahi berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran
dengan punggung dihadapkan kepada kawan sendiri sehingga mereka merupakan
lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang! Dengan jalan ini,
Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le mampu mempertahankan diri dengan
kuatnya, bahkan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang
anggota Si-wi.
Namun, Sui
Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini
adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek ini
ikut menyerang empat orang kawannya.
Sui Ceng
mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, Kwan Cu sudah tertawan atau
melarikan diri. Dia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda
itu sudah melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya.
Dia tidak
tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han
Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru,
tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat dari Han Le sehingga
dapat memenangkannya!
Demikian
pula Kun Beng yang sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu mempunyai kepandaian
tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik.
Lu Thong
yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, ada pun Han Le lebih-lebih lagi.
Tidak saja dia telah dapat menduga bahwa suheng-nya yang sudah tinggal di Pulau
Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia
sempat merasakan sendiri kehebatan kepandaian suheng-nya.
Makin lama
kurungan itu makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh
satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah
bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali.
Apa lagi Lu
Thong. Lututnya terasa sakit sehingga gerakannya menjadi semakin lambat.
Akhirnya sebuah tusukan tombak melukai pahanya dan dia pun terhuyung-huyung
roboh. Baiknya Han Le cepat-cepat menyambar tangannya dan menariknya ke dalam
lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga orang muda itu.
Di lain
fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah
dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri beserta dua orang panglima
yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu terus melayani mereka dengan gagah dan
sedikit pun tak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil
merobohkan salah seorang panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi,
sebagai gantinya datang pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin
masih terus melawannya dengan amat kuatnya. Kali ini agaknya tak mudah bagi
Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
Sui Ceng,
Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biar pun korban fihak musuh
yang jatuh tidak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka
yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok
lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga.
Tiga orang
muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua.
Sekarang mereka tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para
pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang kepandaiannya sudah mencapai
tingkat lumayan.
Kwan Cu maklum
pula akan hal ini. Tiba-tiba saja pemuda ini menyimpan sulingnya dan ketika dua
orang panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari
depan, dia melayani dua orang panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat
Kong-ciak Sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki Sianjin dia melancarkan beberapa
pukulan Pek-in Hoat-sut.
Tosu itu
sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap putih itu.
Maka, cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan
lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi,
dua orang panglima itu yang belum mengenal Kwan Cu secara baik, terus mendesak
pemuda itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah
terkena cengkeraman IImu Silat Kong-ciak Sin-na dan golok mereka terlempar
pula.
Kwan Cu
tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia lalu mengangkat tubuh dua orang ini,
yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan
itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan yang mengurung
tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.
"Kawan-kawan,
mari kita lekas pergi!" katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki
kurungan.
Sui Ceng dan
Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di
situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak
melarikan diri seperti yang tadi dia khawatirkan.
Kemudian
Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu
melemparkan panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,
"Kun
Beng, kau terimalah ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar.
Aku akan menggendong Lu Thong!"
Kun Beng
menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia
mengulur tangan, dia sudah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang
masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok
oleh Kwan Cu.
"Lebih
baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!" berkata
Kun Beng kepada Sui Ceng dan Han Le.
Sui Ceng dan
Han Le bisa mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka
mendesak maju dan sebentar saja Han Le serta Sui Ceng juga sudah berhasil
menangkap masing-masing seorang pengeroyok. Tiga orang ini pun mengamuk mencari
jalan keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang
kakinya mereka pegang!
Dalam
pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke
manakah perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan
kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan sengaja
dia melarikan diri di dekat Kiam Ki Sianjin yang sedang menyumpah-nyumpah marah
melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.
"Bodoh,
goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan."
Tosu ini memaki-maki anak buahnya.
"Locianpwe,
mereka menggunakan teman-teman kami sebagai senjata buat mengamuk," jawab
seorang perwira Si-wi.
“Bodoh!
Bacok mampus saja semuanya, meski kawan sendiri tetapi kalau sudah mereka
tangkap, perlu apa takut membacoknya?"
Demikianlah,
para Si-wi itu segera mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata
untuk menangkis dan membacok ketiga orang muda itu sehingga senjata mereka
tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda
perkasa itu.
Melihat
kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya menjadi terkejut.
Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang
itu sudah hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah
menangkap lain orang untuk dijadikan senjata. Biar pun mereka agak lambat maju,
namun mereka dapat juga menipiskan kepungan sehingga keadaan mereka tidak terlalu
terdesak seperti tadi. Apa lagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong
seperti tadi.
"Ehh,
mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali.
Tadi Kwan Cu
berada di dalam kepungan, jadi ada di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan
Han Le, karena ketika itu Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di
tengah-tengah. Akan tetapi kenapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap
dari situ?
Juga kedua
orang kawannya tidak tahu ke mana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong.
Akan tetapi, oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tadi
tidak sempat melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka
dan para pengeroyok!
Ada pun Kwan
Cu, sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati
Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam
Ki-Sianjin cepat mengejar dengan pedang di tangan.
“Bangsat Lu
Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak itu!” serunya.
Kwan Cu
tersenyum sindir. “Kiam Ki Sianjin, orang ini adalah keturunan menteri Lu Pin,
bagaimana aku tak akan membelanya?”
Pemuda ini
menyimpan sulingnya dan sekarang tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang
pedang yang bersinar gemilang. Inilah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan
Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan kepadanya.
Kiam Ki
Sianjin tertegun dan merasa agak jeri. Baru sekarang dia melihat pemuda ini
memegang pedang. Biasanya, hanya dengan tangan kosong atau paling-paling dengan
sebatang suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apa lagi
kalau sekarang memegang sebatang pedang mustika!
"Kiam
Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu?
Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li,
pemuda bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, ada
pun pemuda sederhana itu adalah sute-ku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus
mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja,
kalau saja mereka sampai terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah
membalas dendam kepadamu."
"Habis,
apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.
"Kalau
kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu
mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi
kalau kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan
aku tak akan melupakan maksud baikmu hari ini."
Sampai
beberapa lama Kiam Ki Sianjin terdiam saja, matanya memandang ke arah tiga
orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak
terjang mereka hebat luar biasa dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai
kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.
"Terima
kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Dia lalu membawa Lu
Thong melompat ke barat!
"Sui
Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!"
Pada waktu
mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, tiga orang muda itu menjadi
terheran. Akan tetapi mereka segera memutar senjata memaksa para Si-wi yang
masih berani mengeroyok untuk mundur dan berlarilah mereka ke barat. Kwan Cu
sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka.
Aneh sekali,
setelah mereka sampai di dinding sebelah barat, di situ tidak kelihatan ada
musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu
sudah berada di bawah tembok sambil mengempit tubuh Lu Thong.
"Kau
sudah di sini?" tanya Kun Beng tak mengerti.
Juga Sui
Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian
suheng-nya itu.
Kiam Ki
Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada para anak buahnya
untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawannya yang luka
serta mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda
perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari kota raja dan
memasuki hutan sebelah barat.
Dengan Kwan
Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja. Kemudian mereka
berhenti dan Kwan Cu segera mengambil sapu tangan untuk membalut luka di paha
Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu
Thong dapat berdiri dan berjalan pula, meski pun pahanya yang terluka itu masih
terasa amat sakit.
"Kwan
Cu, kau cerdik sekali, dapat mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk
kita," kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat
alangkah bodohnya pemuda itu pada waktu masih kecilnya. "Kwan Cu,
pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan sudah membuat kita bertemu
sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang biar kita berpisah,
dan kelak aku sangat mengharapkan kedatanganmu untuk menghadiri... pernikahan
kami.” Sambil berkata demikian, pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui
Ceng.
Gadis itu
menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan
pandangan matanya itu.
Akan tetapi
tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun
Beng. Ingin sekali dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin pula dia
menampar muka pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan
nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.
“Ceng-moi,
marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.
“Ke...
manakah? Aku... aku hendak kembali mencari Suthai.”
“Hendak
menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, marilah kita bersama menjumpainya,
memang perlu kita memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari
pernikahan.”
Sui Ceng
makin merah mukanya. Untuk sekejap dia melirik ke arah Kwan Cu dan bukan main
heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada
Kun Beng, yang begitu mengerikan dan membuat dia bergidik. Alangkah anehnya
Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu
mengandung kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.
"Marilah,"
katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang
lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri.
Kwan Cu
menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya kedua
orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka
matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia
merenung sambil kadang-kadang menggigit bibir atau mengepalkan tinju. Wajahnya
pucat laksana seorang yang kehilangan semangatnya.
"Suheng."
Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu.
Kwan Cu
tersadar dan cepat menoleh. Wajahnya amat merah ketika dia melihat pandang mata
pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.
"Suheng,
mengapa kau kelihatan berduka?"
Kwan Cu
benar-benar menjadi sadar dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda
itu.
"Tidak
apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau dapat menjadi murid
suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau
bisa memainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?"
Karena
melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu
duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.
"Aku
adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan
mereka tewas oleh bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku
sedang dikeroyok oleh bala tentara pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan,
datanglah suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah
dari suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak
murid dari Kun-lun-pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat,
tidak sulit bagiku untuk menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu
mendengar tentang jatuhnya pemerintahan Tang dan didudukinya kerajaan oleh An
Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang
membantu pemberontak itu. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan
alasan bahwa kepandaianku masih jauh dari pada mencukupi untuk berhadapan
dengan para tokoh kang-ouw itu. Bahkan suhu lalu menyuruhku untuk menyusulmu ke
Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu, kau tidak ada dan aku
mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku lalu berlatih
seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahwa semua
itu merupakan pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar
sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah bisa
memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"
Kwan Cu
mengangguk. "Sute, ilmu silatmu sendiri sudah sangat tinggi dan baik.
Tidak mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa
lukisan-lukisan itu merupakan petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat di
dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng."
Berseri
wajah Han Le yang tampan. "Ahhh, kalau begitu benar kata suhu. Suheng
telah mewarisi ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Wajahnya bersinar
penuh kekaguman.
Kwan Cu
menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tiada batasnya, Sute.
Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku
bahwa dia amat lemah apa bila menghadapi musuh yang berada di dalam hati
sendiri."
Kwan Cu
termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Dia benar-benar jatuh cinta kepada
gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah
yang amat menyakitkan hatinya.
Andai kata
gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk
menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini
membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah penasaran dan sakit
hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!
"Han
Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”
"Tentu
saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para
penjajah belum terusir dari negara kita."
"Bagus,
kalau begitu kau bawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah berjuang
membela tanah air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya."
Kwan Cu lalu
menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sute-nya.
Lu Thong
sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir
tersenyum pahit.
"Kwan
Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"
Bukan main
kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han
Le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman mengenai hubungan pria dan wanita,
tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biar pun dia hanya sekelebatan saja
melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia telah dapat menduga
dengan tepat sekali.
"Lu
Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang
bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah
insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat sangat
jauh?"
Lu Thong
menarik napas panjang. "Memang aku bodoh dan mudah sekali tertarik oleh
kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi, apa lagi yang mampu kulakukan
sekarang? Keluargaku sudah terbinasa semua, dan kalau kuingat-ingat aku adalah
anak yang paling puthauw (tidak berbakti), anak durhaka." Tiba-tiba Lu
Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.
Kwan Cu
terharu. "Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan
membalaskan sakit hati orang tuamu."
Lu Thong
menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.
"Apa
dayaku? Musuh-musuhku adalah pemerintah penjajah dan mereka amat kuat. Baru
menghadapi pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apa lagi kalau menghadapi
barisan penjajah? Lagi pula, di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki
Sianjin dan lain-lain."
"Kau
tidak berdiri sendirian, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat
yang berjuang dengan penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu
perjuangan mereka?"
"Membantu
para pemberontak?"
“Nah, itulah
kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang itu disebut pemberontak oleh
penjajah, akan tetapi bagaimana mungkin orang-orang gagah yang membela tanah
air dan bangsa dari tindasan penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah
bahwa para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh penjajah."
Lu Thong
melompat bangun. "Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu
perjuangan rakyat dengan taruhan nyawaku."
Kwan Cu
sebaliknya menjadi gembira sekali. "Bagus, kalau begitu kau sungguh-sungguh
saudaraku! Kau ikutlah dengan sute-ku ini dan dia akan membawamu ke tempat
rakyat yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah.
Kelak aku akan menyusul."
Maka
berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju markas pasukan pejuang rakyat yang
terdekat, karena sebelum pergi ke kota raja, memang Han Le sudah dengan aktif
sekali membantu para pejuang ini.
Ada pun Kwan
Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun
Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Dia ingin
sekali membongkar rahasia Kun Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang
dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang sudah merusak
kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suheng-nya sendiri! Akan tetapi,
dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru dan
kongkong-nya.
"Urusan
pribadi harus dikesampingkan," pikirnya dengan hati getir. "Lebih
dulu aku harus mencari mereka yang sudah menewaskan suhu, kemudian aku akan
mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng."
Kwan Cu
teringat akan tantangan Pek-eng Sianjin, maka dia segera berangkat menuju ke
Bukit Leng-san. Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari
daftar orang-orang yang hendak dibalasnya karena membunuh suhu-nya. Hal ini
karena dia sudah mendengar sumpah Pek-eng Sianjin bahwa tosu ini tidak turut
mengeroyok dalam pembunuhan Ang-bin Sin-kai.
Akan tetapi,
sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-san.
Jika dia tidak meladeni tantangan yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar
seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya
akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.
"Aku
harus memenuhi tantangannya lebih dulu, barulah aku akan mencari tempat tinggal
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman
Toat-beng Hui-houw," pikimya.
Selesai
berpikir demikian, Kwan Cu lalu berlari cepat sekali ke selatan.
***************
Dia
mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio yang kini
dikumpulkan di situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga
untuk menjadi kawannya menghadapi Kwan Cu.
Dua orang
tosu itu memang telah mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi
Thian-eng Sianjin dan Te-eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya
adalah orang-orang kang-ouw dari kalangan jalan hitam, karena itu cocok sekali
dengan Pek-eng Sianjin. Mereka adalah pelarian dari Thian-san-pai, yang diusir
dan tidak diakui lagi karena mereka telah melakukan perbuatan jahat. Setelah
bertemu dengan Pek-eng Sianjin, mereka lalu menerima pelajaran ilmu silat baru
dan menjadi saudara angkat yang sehidup semati.
Ada pun
hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, merupakan seorang hwesio pelarian dari
Siauw-lim-pai. Juga seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini sudah melarikan
diri karena terancam oleh fihak Siauw-lim-pai yang hendak menghukumnya sesudah
dia melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang!
Selain empat
orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin menerima pula murid-murid yang juga
menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi yang paling mereka sayangi adalah
tiga orang anak-anak yang usianya baru delapan sembilan tahun. Tiga orang anak
kecil inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan mereka kelak, maka
mereka bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing
mengambil seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka
ini.
Pek-eng
Sianjin ialah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, ada pun Thian-eng Sianjin
mempunyai ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan
Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki ilmu tombak yang lihai dari
Thian-san-pai pula. Ada pun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari
Siauw-lim-pai yang kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari
Pek-eng Sianjin. Kini mereka selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali
sesudah mendengar bahwa tidak lama lagi akan datang seorang musuh besar dari
Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.
Ketika Kwan
Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja. Akan
tetapi setelah dia mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu,
dia melihat sepasukan orang muda yang bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh
orang, menghadang di tengah jalan.
"Apakah
yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?" terdengar seorang di antara pasukan
itu bertanya dengan suara heran.
Mereka adalah
sebagian dari murid-murid Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan
menangkap musuh yang baru datang. Melihat bahwa musuh suhu mereka ternyata
hanya seorang pemuda sederhana yang bertangan kosong, berpakaian sederhana
serta kelihatannya lemah, orang-orang muda ini memandang ringan.
"Betul,
aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan dari Pek-eng
Sianjin. Apakah dia berada di puncak bukit?"
Para orang
muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir mereka
tidak percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa
sih anehnya orang muda yang tubuhnya kelihatan lemah itu?
"Kau
yang bernama Lu Kwan Cu?" tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan tubuh
seperti raksasa sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. "Kalau begitu,
menurutlah saja kami rantai untuk dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau
menurut dari pada kami harus menggunakan kekerasan dan ada tulang-tulangmu yang
patah!" katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.
Kwan Cu
tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang banyak
orang muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua
jurus ilmu silat saja, lalu merasa diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari
keributan dan memukul orang untuk memamerkan kepandaiannya.
Beginilah
contoh orang yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti benar
bahwa hakekat dari pada ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk
menyombongkan diri. Bahkan sebaliknya, makin tinggi ilmu yang telah
dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum mengerti apa-apa sehingga
selalu berlaku merendah.
"Sahabat,
aku datang bukan untuk mencari permusuhan, akan tetapi untuk memenuhi undangan
Pek-eng Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?"
Si muka
hitam itu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Kami mendengar bahwa orang yang
bernama Lu Kwan Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat)
dengan suhu. Akan tetapi kalau orangnya ternyata hanya seperti engkau saja,
untuk apa suhu harus melelahkan diri? Dari pada kau susah-susah menemui
kematian di puncak, lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!"
Setelah
berkata demikian, si muka hitam kemudian memasang kuda-kuda dan kepalan
tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan
tenang Kwan Cu menanti datangnya pukulan tanpa mengelak sedikit pun.
"Bukkk!"
Pukulan itu
dengan kerasnya tiba pada dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda ini berkedip
pun tidak. Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu lalu terlempar ke belakang dan
tulang-tulang jari tangannya patah-patah! Dia bergulingan di atas tanah
mengaduh-aduh karena rasa sakit membuat dia lupa malu. Jantungnya terasa
ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Gegerlah
keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata sehingga sebentar saja
hujan senjata menjatuhi tubuh Kwan Cu. Tapi pemuda ini tidak mau berurusan
dengan anak-anak muda yang dianggapnya masih hijau dan tolol itu. Sekali
tubuhnya berkelebat, para pengeroyok itu melongo karena tahu-tahu pemuda yang
akan dikeroyoknya itu telah lenyap dari situ.
Pada saat
mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke puncak
bukit! Barulah mereka kemudian beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak.
Akan tetapi, mana bisa mereka menyusul larinya pemuda sakti itu?
Sesudah
mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia
bahwa banyak sekali senjata gelap menyambar ke arah dirinya.
Mendengar
suara angin sambaran itu, Kwan Cu pun tahu bahwa yang menyambar hanya
senjata-senjata yang digerakkan oleh orang-orang yang masih lemah tenaganya.
Maka dia hanya memutar kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sedikit saja.
Semua anak panah yang ratusan banyaknya itu runtuh, tak dapat melukainya,
bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek bajunya!
Dia berlari
terus dan berseru, "Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya
tamu yang kau undang sendiri!"
Hati pemuda
ini mulai panas dan biar pun tadinya dia tidak mengandung maksud buruk terhadap
Pek-eng Sianjin, namun sekarang pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng
Sianjin yang ternyata curang sekali itu amat berbahaya bagi keamanan umum dan
perlu disingkirkan.
Belum juga
dia sampai di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh empat
orang yang gerakannya amat gesit. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng
Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan Kek Hosiang, semuanya siap dengan senjata.
"Lu
Kwan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!" berseru Pek-eng Sianjin
yang cepat menyerang dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.
Kwan Cu
marah bukan main, akan tetapi dia tetap mengelak dan menyabarkan hatinya.
Sambil meloncat ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata
lawan, dia berkata keras,
"Pek-eng
Sianjin, insyaflah kau! Aku telah mengampuni nyawamu karena kau bersumpah tidak
ikut membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang kau undang untuk
mengadakan pibu. Mengapa kau berlaku curang, telah menyuruh orang mengeroyok
dan melepas anak panah, sekarang kau mengeroyok pula? Apa kehendakmu?"
"Bangsat
rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau pun telah
menghinaku. Apa kau kira kini aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah
untuk mampus!"
Serangan
mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya. Dia
mengerahkan tenaga lantas menangkis sekaligus serangan empat batang senjata.
Akan tetapi, meski dia berhasil membikin terpental senjata-senjata itu, dia
tidak bisa membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawan-lawannya.
Mengertilah Kwan Cu bahwa para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup
tinggi.
"Pek-eng
Sianjin, sekali lagi kuharap kau mau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia
kang-ouw. Kalau mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau
memang kau sengaja mau mengadu nyawa!"
"Hari
ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!" jawab Pek-eng Sian-jin
sambil menyerang dengan buasnya......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment