Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 16
KWAN CU
terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari sudah naik
tinggi melewati kepalanya. Dia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri,
akan tetapi dia tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut
yang diceritakan oleh Lakayong.
Akan tetapi,
dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu.
Kalau dia melihat ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah
timur air laut bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan di mana
batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.
Malam tiba
dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan
akhirnya karena lelah, menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik
tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu, membiarkan perahunya itu berdiam tak
bergerak di atas air yang tenang.
Untung
baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang
besar sekali kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga dia tak menderita
kelaparan. Untuk minumnya, dia pun sudah membawa bekal seguci minuman yang
rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.
Kwan Cu
tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang.
Saat dia membuka matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai
gantinya, matahari mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya
kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.
Akan tetapi
Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat
ke bawah, yaitu ke pinggiran perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya
bergoyang-goyang, dia menjadi terkejut bukan main. Pada sekeliling perahunya
kelihatan banyak sekali ikan-ikan besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke
mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu
bergoyang-goyang!
“Celaka…”
pikir Kwan Cu.
Ikan itu
banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan
itu akan marah. Bila sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah
dia. Juga tidak mungkin untuk mendayung perahu karena dayungnya tentu akan
melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang
dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.
“Celaka,
bagaimana baiknya sekarang?”
Kwan Cu diam
saja sambil duduk di dalam perahunya. Dia memegang dayung siap akan memukul ikan
yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana
ke mari, kadang kala sengaja menyenggol perahu hingga perahu itu
bergoyang-goyang hampir terbalik.
“Kurang
ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.
Dia teringat
akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat
ketika Liok-te Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini
kepadanya, nenek itu berkata bahwa apa bila dia diserang dan diancam oleh
ikan-ikan buas maka dia dapat menggunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan
diri.
Dengan
perlahan dia membuka bungkusannya, membasahi kedua tangannya dengan air laut,
lalu mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali karena daun-daun itu
sama sekali tidak mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik.
“Mudah-mudahan
Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu.
Dia
melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan
tenaga. Daun-daun itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan
terapung, kedua daun itu bergerak-gerak bagaikan benda hidup. Kwan Cu tidak
heran melihat ini, karena dulu pun sudah pernah melihat betapa daun-daun itu
bergerak-gerak tiap kali tersentuh sesuatu.
Ia memandang
penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor
ikan yang berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya
sama sekali, akan tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar
kemudian menelannya. Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu
juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak
tersembul di permukaan air.
Sudah
menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apa bila melihat seekor ikan lainnya
mati, mereka segera menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan
menggigit segumpal daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam
keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak
berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan
bangkai ikan.
Kwan Cu
bergerak memandang ke belakangnya. Di sebelah kiri perahu dia meyaksikan
pemandangan yang sama. Di sana pun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu
yang mati untuk terkena racun daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula
tanpa dapat menggelepar lagi.
“Hebat…!”
Kwan Cu berseru dengan hati ngeri.
Ia bergidik
melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut.
Agaknya semua ikan di tempat itu akan mati terkena racun yang jahat. Kini
tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa ia akan menyaksikan ‘pesta’
yang menggembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.
Kwan Cu
segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Dia merasa
ngeri, juga merasa malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah
dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu
dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang
terancam tadi.
“Aku tak
akan mempergunakan daun-daun iblis ini lagi,” pikirnya. “Terlalu keji!”
Dengan cepat
dia lalu mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan
laut sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga
kelihatan adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan
yang disebut jalan maut itu.
Apakah
ikan-ikan itu yang dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tidak mungkin, pikirnya.
Sungguh pun ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya,
namun bagi Lakayong dengan perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan
ikan-ikan kecil saja yang tak mengancam keselamatan perahu raksasa itu.
Sehari penuh
dia mendayung dan pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu,
membiarkan perahunya terapung di atas air yang masih tenang.
Pada
keesokkan harinya, dia mendengar suara mendesis-desis seperti mendengar ada
ribuan ekor ular menyerang dirinya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat
bahwa matahari sudah naik agak tinggi dari permukaan laut sebelah timur. Dia
memandang ke kanan kiri dengan heran tidak tahu apakah yang menimbulkan suara
mendesis itu.
Tiba-tiba
saja dia melihat awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara
menuju ke tempat di mana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan
sebagian uap menutupi matahari sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi
gelap. Kemudian dia melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Beberapa ekor
burung laut beterbangan ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang
uap itu, kemudian jatuh dalam keadaan hangus!
Bukan main
kagetnya Kwan Cu. Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu
keluar dari asap atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut
hanya kurang lebih dua kaki di atas air, seolah-olah ada hawa air laut yang
menahannya. Ketika uap hitam itu telah dekat dengan perahunya, Kwan Cu
menggerakkan dayungnya menyentuh uap. Dayung itu segera menjadi hangus
ujungnya!
Pemuda ini
kaget setelah mati dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap
sehingga tubuhnya menempel pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi
gelap karena uap itu sudah melayang di atas perahunya. Kwan Cu mengatur napas
dan mengerahkan lweekang-nya untuk melawan hawa panas ini.
Suara
mendesis-desis itu membisingkan telinganya hingga membuat kepalanya pening.
Pada akhirnya suara mendesis itu menjauh, tidak lama kemudian suara itu lenyap,
hawa panas pun lenyap.
Kwan Cu baru
berani membuka mata dan menggerakkan leher menengok ke atas. Udara bersih dan
ternyata bahwa uap hitam yang mengerikan itu sudah lewat. Baiknya uap itu tadi
melayang agak tinggi dari permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya
akan hangus, tentu saja berikut tubuhnya pula.
Sesudah
yakin bahwa tidak ada bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia
dapat merasakan getaran yang luar biasa hebat pada perahu yang didudukinya.
Kiranya perahu ini sudah terkunci oleh gerakan air yang luar biasa kuatnya dan
Kwan Cu melihat sesuatu yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki oleh perahunya
itu bergerak mengalir dengan kekuatan yang dahsyat sekali.
“Inilah
agaknya batas yang disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar.
Akan tetapi
ketabahan dan ketenangannya tidak lenyap. Dengan kedua tangannya Kwan Cu
mencoba sedapat mungkin untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan
memukul dan menekan ke kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan
berat perahunya yang dibawa hanyut cepat sekali oleh aliran air itu. Memang
sangat aneh. Di laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam sungai
membanjir?
Entah ke
mana perahunya dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia terus bekerja keras
menjaga supaya perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main
cepatnya, jauh lebih cepat dari pada kalau dia mempergunakan tenaga. Hal ini
dapat dia rasai pada sambaran angin dari depan. Juga pada waktu ada air yang
terkena pukulan dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia
merasa betapa air itu dingin sekali seperti salju!
Sampai
matahari tenggelam, masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang
makin lama makin pesat. Dia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh,
dan penglihatan ini menambah kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu sedang
membawa perahunya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia melihat bahwa
‘sungai’ yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu.
Tak lama
kemudian, malam pun tiba. Sinar bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau
kecil itu pun lenyap tak dapat terlihat lagi.
Semalam itu
dia masih terus bekerja. Dia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja
dia melepaskan dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini
terjadi, maka akan berbahayalah keadaannya. Tubuhnya sudah terasa letih sekali,
bukan hanya karena pengerahan tenaga sehari semalam tanpa ada hentinya, juga
karena dia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.
“Celakalah
kali ini,” pikir Kwan Cu. “Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku
dapat bertahan?”
Menghadapi
keadaan yang berbahaya ini, Kwan Cu lalu teringat akan nasehat Lakayong. Benar
juga rakasasa itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut atau jalan maut,
karena memang luar biasa berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi
saja sudah amat berbahaya, dan sekarang terdapat aliran air yang begini
dahsyat.
Menjelang
pagi, tenaga Kwan Cu sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tidak sanggup menahan
lagi. Akan tetapi, tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut,
tanda bahwa tenaga aliran sungai yang tidak kelihatan itu mengecil. Ketika dia
memandang ke depan dalam suasana pagi yang masih suram, dia tahu mengapa
terjadi hal itu. Kiranya di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang
hitam, dan tentu aliran itu tertahan oleh pulau-pulau itu sehingga tenaganya
buyar dan perahunya terlepas dari pegangan aliran itu.
Dengan
mengerahkan sisa tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia
sama sekali berhasil melepaskan perahu dari pada aliran air yang mulai melemah
itu. Ia membiarkan perahunya terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini
tampaklah aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di antara air laut yang
biru, yakni air laut yang tenang dan diam.
Kwan Cu
mengeleng-geleng kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah
timbulnya air kuning itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah sumber
air itu muncul dari dasar laut? Ahh, alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya
alam ini, yang bagi tangan Thian hanya merupakan permainan kecil belaka.
Hal yang
pertama-tama dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum cairan manis yang masih ada
sisanya, kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan terasa kurang
enak. Tangannya gemetar, tanda bahwa urat-uratnya sudah sangat letih.
Sementara
itu, matahari mulai naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air
kuning dan yang menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini
berdebar-debar. Apakah pulau bundar kecil yang dicarinya itu berada di antara
kumpulan pulau itu? Siapa tahu kalau-kalau memang Im-yang Bu-tek Cin-keng
benar-benar berada di atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh
harapan.
Ia mulai
mendayung perahunya mendekati pulau-pulau itu, hendak mulai menyelidik dan
mencari-cari apakah di sana terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun
putih. Akan tetapi dia merasa tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung
lama-lama.
“Aku harus
beristirahat dulu, harus tidur. Akan tetapi amat berbahaya jika tidur di dalam
perahu, jangan-jangan perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.”
Mengigat ini, hatinya menjadi ngeri dan Kwan Cu mengerahkan sisa tenaga untuk
mendayung perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat tidur di
darat.
Pulau itu
kecil saja, akan tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon
kecil kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau
itu, karena tubuhnya sudah amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat,
dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar saja pulaslah dia.
***************
Dua orang
gadis cantik ini berlari-lari, akan tetapi mendadak memandang ke arah perahu
Kwan Cu dengan mata terbelalak. Kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan
halus itu, tiba-tiba menjadi pucat sekali dan keduanya berdiri terpaku pada
tanah yang mereka injak, seakan-akan telah berubah menjadi dua patung batu yang
indah.
Mereka
kemudian berbicara perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap
menghadapi segala macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat bukan main,
sehingga ketika mencabut pedang itu pun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan
mata saking cepatnya. Kemudian mereka berlompat-lompatan ke arah perahu yang
tadi ditarik ke darat oleh Kwan Cu.
Setelah
mereka tiba di dekat perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu
kaget dan kelihatan takut. Ternyata bahwa tubuh kedua orang gadis itu kecil
sekali setelah berada di dekat Kwan Cu yang kelihatan besar bukan main. Dua
orang gadis itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam tahun, padahal
melihat bentuk tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya
tujuh belas tahun!
“Perahu
raksasa!” kata seorang di antara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti
titik pada pipi kanannya, tanda yang menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua
memandang ke kanan kiri, dan tiba-tiba saja dia menjerit perlahan sambil
menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih saja tidur pulas di
bawah sebatang pohon kecil. Gadis dengan tahi lalat pada pipinya menengok
sambil melompat seperti seekor burung walet membalikkan tubuh, dan ia pun
mengeluarkan jerit tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali,
seperti seorang raksasa!
Keduanya
berbicara perlahan dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua
orang gadis itu berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan.
Walau pun tubuh mereka kecil, akan tetapi mereka mempunyai ketabahan besar,
karena kini mereka sama sekali tidak melarikan diri ketakutan, bahkan berani
menghampiri ‘raksasa’ itu.
Hal ini
tidak mengherankan kalau kita mengetahui siapa adanya kedua orang gadis itu.
Mereka ini adalah dua orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku
bangsa katai yang hidup di sebuah di antara pulau-pulau di daerah itu, dan
kedua orang gadis ini sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena di
antara mereka, dua orang gadis ini dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai
kepandaian paling tinggi. Ini dapat dibuktikan dari gerakan mereka yang
benar-benar ringan dan cepat sekali, seakan-akan mereka mempunyai sepasang
sayap seperti burung yang gesit sekali.
Pada saat
mereka tiba di dekat Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis
bertahi lalat pada pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari
balik baju di dadanya, sedangkan gadis ke dua lalu menurunkan tali temali yang
seperti sebuah jala ikan dari punggungnya.
Meski pun
dia sedang tidur pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu adalah
orang-orang biasa, agaknya Kwan Cu masih mampu mendengar juga karena telinganya
sudah terlatih baik. Akan tetapi yang datang adalah dua orang gadis yang
memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun kering yang
mereka injak pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya
ilmu mereka sudah tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang
bahannya lemas dan empuk sekali.
Gadis
bertahi lalat pada pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat
kepala Kwan Cu yang kelihatan besar sekali. Sekali ia mengerakkan tangan, sapu
tangan merah itu melayang dan menyambar muka Kwan Cu.
Pemuda ini
merasa bahwa ada sesuatu yang halus menutupi mukanya. Dia cepat-cepat membuka
matanya, akan tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa
yang membuat dia tidak kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap
saja dia telah tertidur pulas kembali!
Gadis kedua
yang berwajah gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh
Kwan Cu. Dengan gerakan cekatan dia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu
dan dibantu oleh gadis pertama lalu mengikat sana sini sehingga sebentar saja
tubuh Kwan Cu sudah terbungkus jala itu dan kelihatan bagaikan seekor ikan
besar masuk ke dalam jala yang kuat!
“Pergilah
kau memanggil kawan-kawan untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi
lalat kepada adiknya.
Gadis ke dua
sambil tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah
perahunya dan berlayar pergi. Ada pun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan
Cu, memeriksa bungkusan besar milik Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu
diletakkan tidak jauh dari tubuhnya.
Gadis ini
segera membuka bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik
kemerah-merahan, rambutnya bergerak ke kanan dan kiri ketika dengan susah payah
dia membuka bungkusan yang berat itu. Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan
setiap lembar pakaian Kwan Cu diperhatikannya secara baik-baik, oleh karena
bahan pakaian itu sangat asing dan kasar baginya.
Ketika
melihat bungkusan kuning, ia pun membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan
daun Liong-cu-hio yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu,
gadis itu segera melompat kaget sambil mengeluarkan suara keras.
Dicabutnya
sapu tangan merah yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua
tangannya digosok-gosokkan kepada sapu tangan itu. Setelah menyimpan kembali
sapu tangannya, ia duduk dan memegang daun-daun itu!
Sungguh
mengherankan! Daun yang mampu menghanguskan setiap tangan orang yang
menyentuhnya, kini ketika berada di tangan gadis ini ternyata tidak
mendatangkan akibat apa pun. Ternyata sapu tangan merah itu mengandung obat
penawar yang luar biasa sekali.
Gadis itu
belum pernah melihat Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dari
baunya saja dia dapat mengenali racun yang berbahaya dari daun itu. Sesudah
puas memeriksa daun itu, dia lalu membungkusnya kembali.
Kemudian
matanya memandang ke arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu
dibawa oleh Kwan Cu. Ketika berada di dalam tangan gadis itu, suling ini seolah
merupakan sebatang suling yang terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.
Gadis itu
tertawa berkikikan seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar
itu. Ia mengangkat suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi
oleh karena tangannya terlalu pendek sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang
pada suling, saat dia meniup, suling itu hanya mengeluarkan bunyi satu nada
saja.
Pada saat
gadis itu membungkus kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang
berlarian banyak orang. Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan
kini ia dikawani oleh dua puluh orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang
rata-rata memiliki kecantikan yang menarik hati. Akan tetapi mereka ini pun
kecil-kecil seperti dua gadis tadi.
Segera
keadaan di situ menjadi ramai ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan
memandangnya sambil terheran-heran. Mereka kemudian bekerja sama, menyeret
tubuh Kwan Cu ke pantai dan dengan susah payah karena tubuh Kwan Cu berat
sekali, mereka menaikkan Kwan Cu ke dalam perahu pemuda itu, kemudian
beramai-ramai mendorong perahu ke laut. Kepala perahu itu diikat dengan tambang
yang tersedia di perahu Kwan Cu, diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu
kecil milik mereka. Kemudian mereka mendayung perahu-perahu itu dan menarik
perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.
Orang-orang
pendek ini tinggal di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong di
mana Kwan Cu ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus
menariknya ke dusun mereka yang penuh dengan rumah-rumah kecil.
Kwan Cu
dibiarkan berbaring di atas tanah. Pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari
keadaan setengah mabuk akibat pengaruh sapu tangan merah tadi. Dia menggerakkan
kaki tangannya dan merasa betapa tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat.
Ketika dia memandang, ternyata dia berada di dalam sebuah jala yang aneh.
Kwan Cu
terkejut dan terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba
dia mendengar suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir
saja dia berteriak saking kaget dan herannya. Dia melihat dua orang gadis kecil
sekali yang cantik menarik.
Gadis
pertama yang manis dengan tahi lalat di pipinya melakukan gerakan seperti orang
bersilat, bersiap sedia untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik
bersiap-siap. Kemudian dia melihat gadis pertama mencabut keluar sehelai sapu
tangan merah dari balik bajunya, maka terciumlah bahu yang amat harum.
Teringatlah
Kwan Cu bahwa ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bau ini, maka dia dapat
menduga bahwa sapu tangan itulah yang tadi telah membuat dia pingsan. Dia
menggunakan kecerdikannya dan tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam
saja sambil memandang penuh perhatian.
Benar saja,
pada saat melihat bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang
gadis itu tidak jadi menyerang, hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu
menggerakkan matanya memandang ke depan dan dia langsung merasa terheran-heran.
Dia dirubung oleh banyak orang, akan tetapi anehnya, semua orang kecil yang
berada di situ adalah wanita-wanita belaka!
“Mimpikah
aku? Setelah bertemu dengan raksasa-raksasa apakah sekarang aku sudah berubah
pula seperti raksasa dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau
sudah gilakah aku?” demikian Kwan Cu berpikir dengan bingung.
Memang,
kalau di bandingkan, keadaannya kini terbalik sama sekali dengan keadaannya
beberapa hari yang lalu. Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar
tubuhnya dan sekarang, dia menjadi tiga kali lebih besar dari pada
wanita-wanita ini.
“Kalian
siapakah? Dan kenapa aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar
tidak menimbulkan rasa takut pada orang-orang wanita itu.
Akan tetapi
ketika gadis cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi
bingung bukan main karena dia tak mengerti sedikit pun juga akan maksud
kata-katanya. Suara gadis itu merdu dan halus, akan tetapi ucapannya bagi
telinga Kwan Cu hanya terdengar tidak karuan seperti berikut.
“Karika yiyi
kaduka nana...”
Celaka,
sekarang kembali aku bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk
tubuh yang kecil itu, bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengherankan Kwan Cu
karena sesudah bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia
ini terdapat manusia-manusia yang aneh. Yang sangat mengherankan hatinya adalah
bahwa semua orang katai yang berada di situ hanya wanita-wanita belaka! Apakah
ini dunia wanita?
Kwan Cu
teringat akan pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya.
Bahasa yang dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya
sendiri. Jangankan yang digunakan oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang
digunakan di daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan macam!
Akan tetapi,
walau pun ucapannya berlainan namun tulisannya semua sama! Inilah yang
memudahkan seseorang di Tiongkok untuk melakukan hubungan dengan orang-orang di
daerah lain. Saat berada di pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan
menggunakan tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang kecil ini pun dapat
membaca tulisannya.
Sesudah
berpikir demikian, Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti
oleh pandang mata para wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno
seperti yang dipergunakan oleh Lakayong.
Wanita-wanita
kecil itu menghampirinya dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak
mengerti artinya. Kwan Cu lalu menghapus coretan pada tanah itu dan kini dia
mencoret tanah dengan tulisan yang lebih muda usianya dari pada tulisan yang
dipergunakan oleh Lakayong.
‘Dapat
membaca ini?’ tanyanya dalam tulisan itu.
Usahanya
berhasil! Wanita-wanita itu lantas saling pandang, kemudian gadis bertahi lalat
mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.
‘Aku dapat
membaca tulisanmu, kau siapakah dan datang dari mana?’
Bukan main
girangnya hati Kwan Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan
tetapi yang dapat dibacanya dengan jelas.
‘Biarkan aku
duduk dan lepaskan dulu jala ini, aku akan bercerita,’ tulisnya karena amat
sukarlah menulis sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan
diri dengan kekerasan, karena khawatir kalau-kalau akan dicurigai.
Gadis yang
menjadi pemimpin itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain.
Kemudian mereka lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat dua tangan Kwan Cu
di belakang tubuh, juga mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat!
Kwan Cu
merasa geli sekali dan tangan-tangan yang halus serta kecil itu bergerak amat
cepat, jari-jari yang kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia
menahan tawanya dan menenangkan diri. Dia dapat menduga bahwa wanita-wanita ini
tak percaya padanya dan akan membelenggunya lebih dulu sebelum melepaskannya
dari jala itu.
Dugaannya
sangat tepat. Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, jala itu lalu dibuka. Ia
dibolehkan bangun dan duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti
pilar. Di sini ia di ikat lagi, tali yang panjang dibelit-belitkan pada lengan
dan dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu.
Yang lebih
hebat, gadis kedua yang lincah itu sekali melompat telah berdiri pada pundak
kirinya, membawa sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya!
Walau pun hanya longar saja, lehernya tetap diikat pada pilar itu. Satu akal
yang cerdik sekali!
Kwan Cu
duduk bersila sambil bersandar pada tiang batu karang. Dia mencoba dengan
urat-urat tangannya untuk mengetahui sampai di mana kekuatan tali yang
mengikatnya. Ia mendapat kenyataan bahwa jika dia mau, mudah saja baginya untuk
merenggut putus tali itu.
Gadis
bertahi lalat pada pipinya itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan
huruf-huruf di atas tanah di depan Kwan Cu.
‘Aku bernama
Malita dan ini adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau
ini. Kau menjadi tawanan kami dan jangan mencoba untuk memberontak, sebab biar
pun tubuhmu besar tetapi kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu
dengan senjata-senjata kami yang berbisa. Kau seorang laki-laki dan pada saat
ini, kami benci dan tidak percaya terhadap semua laki-laki. Akan tetapi kau
datang dari bangsa raksasa, kau siapakah dan mengapa kau datang ke daerah
kami?’
Kwan Cu
membaca tulisan itu dan tersenyum. Nama-nama yang aneh akan tetapi cukup manis,
pikirnya. Akan tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat
Kwan Cu menjadi heran sekali.
Ia ingin
menjawab pertanyaan-pertanyaan gadis itu, akan tetapi kedua tangannya diikat di
belakang tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia mampu melepaskan
tangannya, akan tetapi hal ini tentu akan membikin mereka takut serta curiga.
Maka, dia menjawab dengan mulutnya.
"Bagaimana
aku dapat menulis jawabannya jika kedua tanganku terikat?” sambil berkata
demikian, ia melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.
Malita dan
Malika bicara, agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.
‘Wajahmu
tampan dan gagah, kau berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan
orang jahat. Akan tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tak percaya lagi
pada semua makhluk jantan. Maka, kami akan melepaskan tangan kananmu agar kau
dapat menulis, akan tetapi awas, sekali saja kau memberontak, kau akan binasa!’
Kwan Cu
tersenyum ramah dan mengangguk-anggukan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau
dan memutuskan ikatan tangan kanan Kwan Cu. Sesudah tali itu putus dan Kwan Cu
membebaskan tangannya, Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan ada pun
tangan kirinya mengeluarkan sapu tangan merahnya.
Kwan Cu
bergidik. Ia lebih takut kepada sapu tangan yang harum itu dari pada pedang di
tangan Malita. Juga Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri.
Wanita-wanita yang berdiri agak jauh dari tempat itu pun juga bersiap sedia,
semua mencabut pedang dan bersikap seperti sekumpulan orang bersiap untuk
bertempur.
Melihat cara
mereka mencabut pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu
terang sekali memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan
lemah, akan tetapi sebaliknya dari pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar
namun lamban, mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.
Kwan Cu lalu
mulai menulis di atas tanah. ‘Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku
tiba di daerah ini tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku
seorang laki-laki, akan tetapi aku tidak pernah menggangu orang, apa lagi orang
wanita. Kalian percayalah kepadaku.’
Kedua orang
gadis itu saling pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut
membaca tulisan Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka,
Kwan Cu dapat menduga bahwa mereka ini sebagian besar tak percaya akan
tulisannya tadi.
‘Kami sudah
cukup sering tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,’
tulis Malita. ‘Karena itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak dapat
sembarangan saja percaya kepadamu. Apa yang kau cari di tempat ini?’
‘Aku mencari
sebuah pulau kecil yang bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap
kalian melepaskan aku dan aku tidak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan
perantauanku. Bahkan kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, aku
akan membantu kalian karena aku adalah seorang sahabat.’
Kembali
orang-orang wanita itu ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya
masih ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba saja terdengar
ribut-ribut dan Kwan Cu menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki kecil
berlari-lari, dikejar oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar
dan beberapa orang pengejarnya telah kena dihajar roboh.
Malita marah
sekali dan dengan pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut
pandangan Kwan Cu hampir menyerupai gerakan Ouw-liong Coan-tah (Naga Hitam
Tembuskan Menara), semacam gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!
Akan tetapi
sebelum Malita dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh itu, Kwan Cu
sudah mendahuluinya. Pemuda ini mempergunakan tangan kanannya yang bebas untuk
mencengkeram segenggam tanah yang langsung dilemparkan ke arah laki-laki kecil
yang melarikan diri.
Lelaki itu
berteriak, lalu roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya
merupakan segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke
tempat itu dan sebentar saja laki-laki itu digiring pergi dalam keadaan
terbelenggu erat-erat.
Malita
kembali menghampiri Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tak segalak tadi, ada pun
senyumnya menghias wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini
memandang Kwan Cu dengan sikap manis.
‘Kenapa kau
merobohkan orang jahat itu?’ tanya Malita dengan tulisannya.
‘Sudah
kukatakan bahwa aku tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki
yang begitu kejam karena merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun
tangan,’ jawab Kwan Cu.
‘Kau pandai
sekali melempar am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian.
Apakah kau benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?’
‘Aku selalu
berada di pihak benar, dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku
berniat buruk, apa kalian kira aku tak akan dapat melepaskan ikatan ini?
Katakanlah kepadaku bahwa kalian percaya kepadaku dan kalian akan melihat bahwa
aku sanggup melepaskan ikatan ini.’
Malita
sangat terkejut, akan tetapi ia tersenyum dan menulis,
‘Kau raksasa
yang aneh, gagah dan berwatak halus. Mengherankan sekali. Aku percaya
kepadamu.’
Setelah
membaca ini, Kwan Cu tertawa girang. Sekali dia mengerahkan lweekang-nya,
terdengar suara keras dan semua ikatannya putus!
Malita,
Malika dan semua wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap
dengan pedang di tangan!
Kwan Cu
tersenyum, berdiri dan menggeliat, diawasi oleh semua wanita-wanita kecil itu
dengan pandangan mata kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di
tanah.
‘Nah,
marilah kita bicara dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa
aku hanya melihat wanita saja dan satu-satunya lelaki yang kulihat adalah yang
tadi menjadi tawananmu? Kenapa pula kalian membenci laki-laki dan bukankah
kalian ini pun adalah puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?’
Membaca
tulisan ini, kembali semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air
mata dan menangis. Sungguh mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi makin terheran.
Akan tetapi Malita menerima sebuah gulungan kertas berikut alat tulis, segera
menulis panjang lebar untuk menceritakan keadaan bangsanya kepada pemuda
raksasa itu.
Semenjak
beberapa keturunan, bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik
dengan banga-bangsa manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini
adalah karena dahulu muncul seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian
tinggi. Wanita ini membenci laki-laki dan dia hanya mau menurunkan
kepandaiannya kepada murid-murid wanita, dengan menyuruh murid-murid itu
bersumpah bahwa kepandaian mereka tidak boleh diturunkan kepada laki-laki.
Demikianlah,
maka para wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar
pun dalam tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apa bila berkelahi, selalu
para wanita yang menang. Juga para penjaga keamanan dan para prajurit terdiri
dari wanita. Sebaliknya, laki-laki hanya bertugas di sawah dan laki-laki pula
yang bertugas mencari makanan.
Mereka
selalu memilih pimpinan mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang
dicalonkan sebagai pemimpin tentulah wanita. Akan tetapi, meski jarang terjadi,
pernah pula seorang laki-laki dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu
saja jika sudah memenuhi syarat-syarat yang berat dan ditentukan oleh bangsa
wanita ini. Dalam hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat
utama, akan tetapi juga pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih dari
pada orang lain.
Raja atau
kepala terakhir yang dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang
sudah banyak pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di
bawah pimpinan ayah ke dua orang gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur,
karena memang pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh bantuan dua orang
puterinya yang memiliki kepandaian silat istimewa.
Malita dan
Malika adalah murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan
oleh nenek sakti, dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh
dibilang yang memiliki kepandaian tertinggi di pulau ini adalah Malita dan
Malika.
Setelah raja
itu meninggal dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan
tetapi, setelah ayah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati
orang-orang lelaki yang dipimpin oleh enam orang laki-laki yang menjadi
pembantu raja. Mereka inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan bahwa sudah
sepatutnya bila laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!
Malita dan
Malika marah sekali dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang
dipimpin oleh enam orang pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang
memimpin barisan wanita. Celakanya, sebagian besar orang-orang lelaki, baik
yang sudah menjadi suami mau pun yang belum menikah, terkena bujukan enam orang
ini sehingga ikut pula memberontak.
Akan tetapi,
semua laki-laki itu hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal
mempermainkan senjata, mereka kalah jauh. Hanya enam orang itu saja yang mampu
melakukan perlawanan hebat karena secara diam-diam sudah mempelajari ilmu
silat.
Akhirnya,
banyak laki-laki menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang
tertawan. Namun, keenam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah
pulau kosong yang mempunyai goa-goa di batu-batu karang. Enam orang laki-laki
itu bersembunyi di dalam goa diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang
masih setia kepada mereka.
Sudah
beberapa kali Malita serta Malika berusaha memimpin barisan para wanita untuk
mengalahkan, menawan atau bahkan membunuh para pemberontak itu, namun alangkah
terkejutnya ketika dia melihat bahwa tidak saja pertahanan mereka sangat kuat
dengan adanya goa-goa yang panjang dan gelap, juga tambah hari kepandaian
mereka tambah hebat.
Apa lagi
enam orang laki-laki itu dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang
laki-laki berjenggot yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian
mereka dalam beberapa hari ini menjadi amat hebat, seolah-olah mereka menemukan
guru yang pandai!
Tadinya,
hanya Malita dan Malika berdua saja dengan mudah bisa mendesak dan hampir mengalahkan
enam orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Namun beberapa pekan kemudian
ketika mereka mencoba untuk menyerang para pemberontak, keenam orang laki-laki
itu maju dan menghadapi Malita dan adiknya. Dan bukan main lihainya enam orang
ini terutama sekali Kahano!
Mereka
bersenjata pedang pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya
baru yang luar biasa sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun
akhirnya, karena anak buah Kahano yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari
ilmu silat, Malita dapat memukul mundur semua laki-laki itu.
Namun mereka
segera berlari-lari dan masuk ke dalam goa, sehingga kembali gerakan Malita
gagal. Untuk menyerbu ke dalam goa amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak
buahnya menghujankan anak panah dari dalam goa!
‘Nah, hal
inilah yang menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.’ Tulis Malita akhirnya
sesudah menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan
yang kecil-kecil. ‘Oleh karena itulah kami amat bercuriga dan membenci kaum
laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu. Laki-laki yang kau
robohkan tadi adalah seorang di antara para tawanan kami yang mencoba melarikan
diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano maju demikian cepatnya
sehingga lihai sekali, kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat
latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu kami akan kalah!’
Kwan Cu
tersenyum, lalu dia pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.
‘Saudara
Malita, Malika dan semua wanita yang berada di sini, maafkan apa bila aku
menyatakan sesuatu yang mungkin akan terasa janggal untuk kalian. Di duniaku,
fihak laki-lakilah yang berkuasa dan fihak laki-laki yang mengatur seluruhnya.’
Para wanita
ribut-ribut sesudah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau
saja tidak dicegah oleh Malita.
‘Kaum
laki-laki memang mau menang sendiri saja!’ Malita menulis dengan coretan cepat,
mengandung kemendongkolan hati. ‘Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa
dulu pernah kaum laki-laki kami memegang kekuasaan dan bagaimana keadaan nasib
kami kaum wanita? Kaum lelaki enak-enak saja, tetapi kami wanita yang bekerja
keras. Bukan itu saja, kami diperlakukan bagai barang permainan, mudah ditukar
dan diperjual belikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya!
Bahkan raja di kala itu memiliki isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu
pula keadaan di duniamu?’
Diam-diam
Kwan Cu harus mengakui bahwa di dunianya memang hampir demikianlah keadaannya.
Memang banyak orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang
menganggap wanita sebagai barang permainan dan memandang rendah sekali kepada
kaum wanita. Bahkan dia pun telah mendengar tentang kaisar dan para pembesar
yang mempunyai selir tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih banyak
lagi. Ia harus berlaku cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran
antara kaum laki-laki dan kaum wanita dari bangsa katai ini.
Kwan Cu lalu
menulis lagi.
‘Sama sekali
tidak begitu. Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali
terhadap wanita. Tak ada seorang pun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah
hanya dengan seorang isteri saja, hidup damai dan rukun, bekerja sama demi
kebahagiaan suami isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga lebih besar dan
karenanya pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh
kaum lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh
pihak wanita.’
Mendengar
ini, para wanita saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata
saking terharu hatinya.
‘Alangkah
bahagianya hidup kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,’
Malita menulis. ‘Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan
itulah sebabnya maka dahulu kaum wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu
kepandaian supaya dapat menguasai laki-laki sehingga kami dapat mencegah
perlakuan sewenang-wenang.'
'Kenapa tak
bisa diatur begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga
di pulau ini akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang aku ceritakan
tadi.’
Wanita-wanita
itu nampak girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus
mengakui bahwa wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat
cantik menarik, terutama sekali Malita dan Malika, yang kecantikannya tidak
kalah oleh wanita wanita di kota raja di negaranya.
‘Akan
tetapi, biar pun kami amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita
akan dapat mengalahkan Kahano yang sudah tua itu. Dia mempunyai niat yang
sangat buruk. Pertama-tama dia menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi
isterinya dan dia pun mau menjadi raja di sini!’ ketika menuliskan hal ini,
muka Malita menjadi merah saking marah dan jengahnya. ‘Dan yang amat
mengkhawatirkan, kepandaiannya makin lama semakin maju pesat sekali setelah dia
berada di pulau kecil itu. Agaknya di pulau pohon putih itu dia mendapatkan
seorang guru yang pandai.’
Mendengar
ini, berdebarlah hati Kwan Cu. ‘Pulau pohon putih? Di manakah itu?’
‘Itulah
pulau yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu ditumbuhi pohon-pohon
putih, dan di sana terdapat banyak sekali goa-goa yang panjang dan aneh.
Sebetulnya pulau itu menjadi tempat penguburan raja-raja kami, bahkan nenek
sakti yang pernah menurunkan ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau itu
dan di kubur di sana pula.’
Kwan Cu
menyembunyikan rasa girangnya. Itulah gerangan pulau yang dimaksudkan di dalam
buku sejarah Gui Tin di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
‘Mari
antarkan aku ke sana, akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan
kutangkap Kahano yang memberontak itu!’ tulisnya gagah sambil berdiri.
Akan tetapi
Malita nampak ragu-ragu. Apa lagi Malika yang berwatak lebih keras dari pada
kakaknya. Gadis ini berdiri dan mencabut pedangnya.
‘Raksasa,’
tulisnya di tanah menggunakan ujung pedangnya, ‘gampang saja kau bicara
seakan-akan kau benar-benar akan dapat menangkan Kahano serta kawan-kawannya.
Sekarang begini saja, aku dan kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biar
pun kau besar sekali dan tentu tenagamu juga amat besar, akan tetapi kalau
tidak memiliki kepandaian, apa gunanya?’
Malika
menegur adiknya dengan kerling mata tajam, kemudian ia pun menulis. ‘Maafkan
adikku yang nakal dan kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, kata-kata itu ada
benarnya pula. Kami tidak mau membiarkan kau yang bermaksud baik itu mengalami
kegagalan dan celaka di tangan Kahano yang lihai. Maka, maukah kau kuuji
kepandaianmu?’
Kwan Cu
mengangguk, dan tanpa banyak cakap, dia bersiap sedia, berdiri menghadapi dua
orang gadis itu dengan hati-hati. Dia dapat menduga bahwa kedua orang gadis
yang kecil ini memiliki ginkang yang amat tinggi dan karenanya tentu mempunyai
kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.
Malita dan
Malika bersiap dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan kedua orang
gadis itu menyerbulah dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang
tinggi sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, ada pun Malika
yang cerdik menggunakan pedangnya untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar.
Benar saja dugaan Kwan Cu. Gerakan kedua orang gadis ini cepat bukan main dan
cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi.
Kwan Cu
menggunakan Pai-bun Tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil
ini. Baiknya pemuda ini sudah mempunyai pandangan mata yang awas dan karena
tubuhnya jauh lebih besar, maka langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan
Malika.
Sekali saja
Kwan Cu melangkah, dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil
yang menyerang dirinya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali,
Malita dan Malika terus mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.
Kwan Cu memperhatikan
gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka
itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan
tubuh sebesar dia, tentu dia tidak akan sanggup menghindarkan diri dari
serangan mereka itu.
Gerakan
pedang mereka selain sangat cepat, juga gerakannya memiliki perubahan yang tak
terduga-duga, begitu indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah
menjadi satu dengan pedang dan bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap,
dua orang gadis itu menyambar-nyambarnya dari segala jurusan.
Kwan Cu
menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia mampu membantu mereka ini dan
mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan
dapat mengalahkan Malita dan Malika. Akan tetapi, hanya dengan tangan kosong
saja, tak mungkin dia bisa mengalahkan mereka tanpa melukai mereka ini. Ia
tentu akan dapat menggunakan Ilmu silat Sin-ci Tin-san yang lihai, akan tetapi
apakah tubuh mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci
Tin-san?
Makin lama,
Malita dan Malika mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan
desakan mereka dengan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Meski ilmu silat ini hanya
terdiri dari tiga jurus pukulan, akan tetapi dapat membuat dia bertahan secara
kuat. Hawa pukulan yang ditimbulkan gerakan kedua tangannya merupakan perisai
yang menangkis semua serangan lawan.
Malita dan
Malika tak dapat mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup
angin pukulan yang membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali
mereka hendak menyerang. Kwan Cu masih tidak puas. Sambil tersenyum dia lalu
mengeluarkan sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan pakaian dan dia
selipkan di ikat pinggangnya.
Malita
memandang heran. Apakah pemuda raksasa yang aneh dan amat lihai ini hendak
menyuling sambil bertempur? Akan tetapi, keheranannya makin bertambah ketika
Kwan Cu bukannya menggunakan benda itu untuk menyuling melainkan
mempergunakannya untuk bertempur!
Dengan
sulingnya ini, Kwan Cu mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai
Kiam-hoat yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Dia bermaksud mengalahkan dua
orang gadis cilik ini dengan merampas pedang mereka. Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika dua orang gadis itu agaknya tidak gentar menghadapi
sulingnya, bahkan agaknya sudah dapat menduga lebih dulu ke mana sulingnya akan
bergerak sehingga mereka mampu mempertahankan diri dengan baik.
Melihat
gerakan mereka, Kwan Cu merasa yakin bahwa mereka sudah mengenali ilmu
pedangnya, karena ke mana pun juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya
sudah bersiap sedia dan setiap elakan demikian tepatnya. Untung bagi Kwan Cu
bahwa kedua orang lawannya yang kecil itu tenaganya kecil pula sehingga baru
hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menangkis serangan-serangan mereka.
Akan tetapi
diam-diam pemuda ini merasa kagum dan girang sekali. Ilmu pedang yang
diperlihatkan oleh Malita dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di
tempat ini menjadi sumber dari ilmu-ilmu silat tinggi. Tidak salah lagi, tentu
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng berada di pulau yang dijadikan tempat sembunyi
kaum pemberontak itu.
Kwan Cu
menjadi girang dan penuh harapan. Memang tujuan dari pada perantauannya ke
tempat-tempat aneh ini adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi, dan sekarang
dia telah menyaksikan orang-orang kecil yang memiliki ilmu silat mengherankan.
Bagaimana dua orang gadis ini seolah-olah mengenal ilmu pedangnya yang dia
pelajari dari Ang-bin Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.
Setelah
mengambil keputusan untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia sudah puas
menyaksikan ilmu pedang mereka, tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring sambil
meyembunyikan sulingnya di balik lengan baju. Kini dia bersilat ilmu silat
Sin-ci Tin-san, akan tetapi bukan menggunakan tangan, melainkan menggunakan
ujung lengan bajunya!
Serangan
yang sangat dahsyat ini benar-benar membuat Malita serta Malika kewalahan
sekali. Seharusnya, ilmu silat ini dimainkan dengan jari tangan yang melakukan
serangan menotok, akan tetapi oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua
orang gadis ini, dia mempergunakan ujung lengan baju sebagai gantinya. Ia telah
memperhitungkan dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus mengalahkan
lawan-lawannya.
Sambaran
pukulan yang dilakukan dengan ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga
lweekang yang berat, maka benarlah sebagaimana perhitungannya, ketika ujung
pedang kedua orang gadis ini beradu dengan ujung lengan bajunya, mereka
berteriak kesakitan karena telapak tangan mereka menjadi panas. Kwan Cu
mempergunakan lweekang-nya untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras
kaku menjadi lembek. Sekejap mata saja dua pedang itu sudah terlibat ujung
lengan baju dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu
lantas terampas olehnya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment