Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 17
MALITA dan
Malika menghentikan gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas
tanah dengan ujung sepatunya.
‘Kami
menyerah kalah dan percaya penuh akan kelihaianmu.’
‘Kalian
memiliki ilmu pedang yang hebat sekali,’ jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua
batang pedang kecil itu.
‘Akan
tetapi, Kahano beserta kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka,
kau harus mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga supaya jangan kau
terluka oleh senjata mereka yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu
harus digosok lebih dulu dengan obat kami,’ kata Malita.
Sesudah
mendapat kenyataan bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan
kawan-kawannya menjadi amat gembira dan penuh harapan. Malita segera mengadakan
pesta perjamuan untuk menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu.
Di dalam kesempatan ini Kwan Cu mempelajari bahasa mereka yang terdengar amat
kaku bagi telinganya.
Malita dan
Malika mengajak Kwan Cu untuk berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan
terhadap pemberontak.
“Yang
terberat untuk dihadapi hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata
Malita sambil menjelaskan dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum
dapat dimengerti oleh Kwan Cu, “tentang anak buah mereka, serahkan saja kepada
kami dan kawan-kawan. Asal kau sudah dapat mengalahkan dan menawan enam orang
itu, tentu akan beres. Akan tetapi sukarnya, mereka itu menyembunyikan diri
dalam goa-goa yang panjang dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali.
Setiap kali kami hendak menyerbu masuk, kami lantas dihujani anak panah dan
senjata rahasia dari dalam goa.”
“Kita lihat
saja dulu keadaan mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil
makan hidangan yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya.
Dia merasa
agak malu-malu ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan
hidangan yang bagi mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam
pandangan mereka, pikir Kwan Cu.
Malam hari
itu Kwan Cu bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang
cukup besar bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah
kecil itu, di udara terbuka. Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali.
Pada saat
hari mulai gelap dan dia telah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk
mengaso dan mengenangkan semua pengalamannya yang amat aneh-aneh itu, tiba-tiba
nampak banyak sekali obor yang menerangi tempat itu. Berbarengan dengan
munculnya obor-obor ini, terdengar suara tetabuhan yang amat merdu namun aneh
sekali iramanya. Suara tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang
membuat Kwan Cu merasa heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia
mendengar adanya suara laki-laki yang besar!
Obor-obor
itu makin mendekat dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan
juga gembira, karena tanpa diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah
wanita-wanita dan juga laki-laki bangsa katai itu. Mereka tampak begitu rukun
dan damai, ada pun di antara mereka nampak pula banyak anak-anak kecil yang
dalam pandangan Kwan Cu luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan!
Malita dan
Malika memimpin rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tidak kurang dari
lima puluh orang wanita-wanita muda dan dua puluh orang lelaki muda yang datang
membawa obor itu. Pakaian mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki
biru. Agaknya mereka dalam keadaan dan suasana berpesta riang gembira.
Kwan Cu
bangun dan duduk bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika,
dia menjura tanda menghormat yang dibalas Kwan Cu dengan anggukan kepala dan
senyum ramah.
“Nasehatmu
baik sekali, saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan
kami, sekarang sudah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang
nasehatmu agar kami hidup rukun dan damai saling mengalah dan saling
melindungi, mereka mau menerima dengan gembira dan menyatakan hendak membantu
kami menumpas Kahano dan kawan-kawannya.”
“Bagus
sekali! Tidak ada berita lebih menggirangkan dari pada ini,” kata Kwan Cu.
Ada pun
orang-orang lelaki yang berada di situ, lalu bersama maju dan berlutut di depan
Kwan Cu dengan mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.
Kwan Cu
melihat betapa kaum lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali
nampak sifat rendah diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus
diakui bahwa mereka pun mempunyai bentuk yang tampan dan menarik serta potongan
tubuh yang bagus. Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali ketika mereka memandang
kepada ‘raksasa muda’ itu dengan mata terbelalak ketakutan.
“Kami
sengaja mengumpulkan orang-orang untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata
Malita, kemudian ia memberikan tanda dengan tangannya.
Tetabuhan
dibunyikan semakin gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis
dengan pakaian indah, menari-nari di hadapan Kwan Cu dengan gerakan lemah
gemulai. Kwan Cu terpesona. Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang
demikian indahnya, ditarikan oleh gadis-gadis yang biar pun bentuk tubuhnya
sudah menunjukkan kepenuhan dan kedewasaan, tapi tingginya hanya sampai di
pahanya saja! Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan
indahnya.
Semua ini
menggembirakan hati Kwan Cu, namun yang paling menggembirakan adalah sikap
laki-laki dan wanita yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri,
penuh cinta kasih dan pengertian, tertawa-tawa dan tiada ubahnya dengan
pasangan-pasangan di dusun-dusun di negaranya, di mana hidup petani-petani yang
sederhana akan tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.
“Pesta
seperti biasanya kami lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa
mempergunakan tulisan karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu
sebentar saja sudah menguasai bahasa percakapan yang mudah-mudah.
“Untuk
merayakan apakah?” tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis
cantik yang berputar-putar di hadapannya menurutkan irama lagu.
“Untuk
merayakan dewi bulan. Dalam perayaan itu para dara mendapatkan kesempatan untuk
memilih calon jodohnya.”
Kwan Cu
tertegun. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata. Hemm, benar-benar dunia
nyata di pulau ini. Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak
memilih!
“Jadi
laki-laki tak berhak memilih jodohnya?” tanyanya.
Sepasang
mata Malita memancarkan sinar penasaran. “Laki-laki memilih? Hemm, akan
rusaklah semua kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya.
Laki-laki selalu memilih jodohnya berdasarkan kecantikan wanita dan keindahan
bentuk tubuh! Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau mereka
memilih, tentu tak akan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka selalu
memilih yang cantik-cantik, akan tetapi akhirnya bercekcok di kemudian hari
karena ternyata pilihannya itu tidak cocok dengan wataknya sendiri. Kemudian
bagaimana? Mereka itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”
Kwan Cu
tersenyum. “Malita, agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencian
terhadap laki-laki di dalam hatimu.”
Malita
tersenyum juga menjadi sabar kembali. “Bukan semata-mata terdorong kebencian,
melainkan berdasarkan kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing
kebencian di dalam hati wanita.”
“Kurasa tak
akan terjadi seperti penuturanmu itu apa bila pemilihan laki-laki berdasarkan
cinta kasih.” Kata Kwan Cu.
Tiba-tiba
gadis bertahi lalat di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya,
seakan-akan mendengar sesuatu yang sangat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan
Cu menjadi melongo karena dia tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan
oleh Malita.
“Ehh, kau
tertawa begitu geli, ada apakah?” tanyanya dengan tak senang karena berada di
tengah-tengah orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam
hati Kwan Cu yang merasa bahwa dia akan kembali menjadi buah tertawaan.
“Apakah di
antara bangsa raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila
orang?” tanya Malita.
“Tentu saja
ada. Apa kau kira kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang
mempunyai perasaan dan hati?”
“Bukan
begitu maksudku, saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau serta kepandaianmu,
tadinya kukira bahwa bangsamu adalah manusia-manusia yang sudah pandai dan
tidak bodoh serta lemah sehingga mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang
kita sebut cinta kasih. Akan tetapi ternyata sama saja dengan kami, masih dapat
dipengaruhi oleh perasaan palsu itu.”
“Bagaimana
kau berani menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang
palsu?” tanya Kwan Cu penasaran.
“Cinta kasih
yang timbul di dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih
di dalam dada seorang laki-laki hanyalah palsu belaka! Cinta kasih seorang
laki-laki hanya berdasarkan nafsu, berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada
wajah yang indah, bentuk tubuh yang menggairahkan! Sebaliknya, cinta kasih yang
timbul dalam hati wanita berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang
halus, bukan semata-mata karena wajah yang tampan dan gagah!”
Kwan Cu
kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguh pun
dia memang jarang sekali mendengar atau tidak pernah membaca tentang filsafat
cinta kasih. Namun dia penasaran sekali karena sebagai seorang laki laki dia
merasa laki-laki sangat direndahkan oleh ucapan itu.
“Tak
mungkin!” ia membantah. ”Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada
nafsu dan keindahan. Ada pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”
“Seribu satu
saudara Kwan Cu. Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang
laki-laki tidak akan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad
tubuhnya. Ehh, apakah kau sendiri sudah mempunyai seorang wanita yang kau
kasihi?”
Kwan Cu tak
dapat menjawab, wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis
raksasa Liyani bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia
tidak menyatakan sesuatu.
“Saudara
Kwan Cu, andai kata kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku
berani memastikan bahwa gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan
seorang gadis yang tidak ada hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang
laki-laki yang mau mencintai seorang gadis yang hidungnya lenyap atau rusak.”
Setelah berkata demikian, Malita tertawa mengejek.
“Kau mau
menang sendiri saja,” Kwan Cu merasa perutnya panas, ”aku juga merasa yakin
bahwa tidak ada seorang gadis yang mau menjadi isteri dari seorang laki-laki
yang hidungnya rusak seperti yang kau katakan tadi.”
“Siapa
bilang tidak mungkin? Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang
buruk rupa, yang bopeng, yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni,
karena seperti kukatakan tadi, cinta kasih seorang wanita berdasarkan
kesetiaan, berdasarkan watak baik dan kecocokan hati dan pikiran, bukan seperti
laki laki yang buta cinta, hanya suka kepada apa yang baik dan menarik, akan
tetapi mudah pula bosan setelah melihat wanita lain yang lebih menarik!”
Kwan Cu
menjadi panas, akan tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja
dia tertawa. Untuk apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?
“Sesukamulah,
Malita. Hanya kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam
menetapkan perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita
mau pun dari si lelaki, baik dari fihak wanita mau pun dari fihak laki-laki
jangan sekali kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya baru akan dapat
dibentuk rumah tangga yang damai.”
Pesta
penghormatan itu berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba saja banyak
sekali obor yang mendadak padam dan terdengar jeritan di sana sini. Kwan Cu
terkejut sekali melihat beberapa orang laki-laki yang tadi memegang obor,
terjungkal roboh dan keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan kelihatan
bayangan yang amat gesit di sana sini dan anak panah-anak panah yang kecil
menyambar-nyambar.
Kwan Cu dan
Malita melompat bangun.
“Mereka
datang menyerbu!” seru Malita marah sambil mencabut pedangnya.
“Biar aku
yang menghadapi mereka!” Kwan Cu berseru. Pemuda ini berlari cepat dengan
lompatan-lompatan jauh menuju ke arah para penyerbu.
Memang benar
dugaan Malita, banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil
menghujankan anak panah kepada orang-orang yang sedang berpesta itu. Kahano
yang mendengar bahwa pulau itu kedatangan seorang raksasa dan bahwa para wanita
tengah mengadakan pesta pada malam itu, dan terutama sekali mendengar betapa
para laki-laki yang tertawan kini sudah berbaikan dengan para wanita, menjadi
marah dan memimpin semua orang menyerbu.
Kwan Cu yang
berlari mendatangi, mendadak disambut oleh puluhan batang anak panah yang
kecil-kecil tapi datangnya cukup berbahaya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya
kemudian memutarnya seperti pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil
itu tersampok runtuh. Dia maju terus dan para pemberontak itu ketika
menyaksikan betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari
cerai-berai!
Akan tetapi,
pada saat itu pula, Malita dan Malika serta kawan-kawannya telah datang
menyerbu dan terjadilah pertempuran yang hebat. Kwan Cu menyerang ke sana ke
mari dengan sulingnya. Dia tidak ingin membunuh, hanya mempergunakan tenaganya
untuk membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil berseru berkali-kali,
“Malita,
jangan bunuh mereka, tawan saja!”
Menghadapi
amukan raksasa ini, orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau
balau. Apa lagi memang kepandaian para wanita itu hebat dan walau pun mereka
menerima latihan ilmu silat tinggi yang aneh dari Kahano, namun masih belum
sanggup mengatasi kepandaian para wanita.
Sebentar
saja mereka sudah dapat dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja
mencegah mereka itu melarikan diri, tetapi setelah dia menjaga di pantai dan
menangkap setiap orang katai yang hendak melarikan diri, dan pertempuran
selesai, ternyata bahwa betapa pun juga, Kahano dan lima orang kawannya telah
melarikan diri dari pulau itu!
Malita dan
kawan-kawannya girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano kini telah
dapat tertawan, sungguh pun Malita masih penasaran karena Kahano bersama lima
orang kawannya yang menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri.
Pada malam
hari itu juga, Malita beserta kawan-kawannya lalu memberi nasehat kepada semua
tawanan, dibantu pula oleh orang-orang lelaki yang telah insyaf dan baik
kembali. Para tawanan itu setelah mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu
tidak akan ada tindas-menindas antara laki-laki dan wanita, bahwa akan diadakan
kerja sama yang baik menurut nasehat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi sangat
terharu. Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap
pihak wanita terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih
besar.
“Setiap
pelanggaran atau kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan
oleh wanita mau pun laki-laki, akan diadili dan yang melakukan akan dihukum!”
demikian Malita menutup penerangannya, sesuai dengan nasehat dan penerangan
Kwan Cu yang memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada bangsa katai ini.
Pada
keesokan harinya, diantar oleh Malita, Malika beserta sepuluh orang prajurit
wanita, Kwan Cu naik perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi
Kahano dan lima orang kawannya. Melihat pulau itu dari perahunya, Kwan Cu
berdebar hatinya.
Tidak salah
lagi, inilah pulau yang ditunjuk di dalam buku sejarah, tempat Im-yang Bu-tek
Cin-keng disimpan. Ia melihat pulau yang kecil dan bentuknya bundar dan dari
jauh telah nampak pohon-pohon yang keputih-putihan, batu-batu karang yang
menjulang tinggi dan goa-goa di batu karang yang bermulut hitam gelap.
“Itulah
Pek-hio-to (pulau daun putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano bersama
kawan-kawannya,” kata Malita kepada Kwan Cu.
Di dalam
kegembiraan dan ketegangan hatinya, Kwan Cu tidak menjawab, melainkan dia
mendayung semakin cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur
sangat cepat dan membuat para wanita itu memandang dengan kagum.
Pulau kecil
itu ternyata paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang ada
di sekitar daerah itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.
Sesudah Kwan
Cu mendaratkan perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai.
Malita mengeluarkan sehelai sapu tangan warna putih dari balik bajunya dan
memberikan sapu tangan itu kepada Kwan Cu.
“Seperti
telah kukatakan kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular pada
ujung senjata mereka. Bisa itu sangat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu
sampai terluka, nyawamu akan terancam bahaya. Akan tetapi jika kau
menggosok-gosok kedua tanganmu dengan sapu tangan yang sudah mengandung obat
penawar ini, kau tak usah takut menghadapi ujung senjata mereka.”
Kwan Cu
menerima sapu tangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya kemudian dia
menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dengan sapu tangan itu. Aneh sekali,
terasa panas dan gatal-gatal tangannya, akan tetapi Malita meminta dia
menggosok-gosok terus sampai lenyap rasa gatal-gatal itu.
Benar saja,
lama-lama lenyap rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat di telapak
tangannya. Dia lalu mengembalikan sapu tangan putih kepada Malita dan diam-diam
dia merasa kagum. Agaknya gadis ini adalah seorang ahli mengenai senjata yang
berbahaya dan racun sehingga perlu membawa sapu tangan-sapu tangan yang aneh
dari berbagai warna. Kwan Cu masih teringat sapu tangan merah yang dapat
membuat dia mabuk dan tertidur.
“Di mana
tempat mereka bersembunyi?” Kwan Cu bertanya sambil mengajak Malita dan
kawan-kawannya naik ke tengah pulau.
Mata pemuda
ini memandang ke sekelilingnya dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh
sekali dan keadaannya juga menyeramkan. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak
banyak, akan tetapi daun-daunnya berwarna putih belaka, juga rumput-rumputan
banyak yang berwarna putih.
Pulau ini
mengingatkan dia kepada daerah utara bila mana sedang dilanda musim salju.
Goa-goa yang banyak terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, sehingga
sangat jelas terlihat di antara daun-daun yang putih itu.
“Sukar untuk
mengatakan di mana mereka bersembunyi. Goa-goa di sini banyak sekali dan di
antaranya terdapat lima buah goa yang merupakan terowongan bersambung satu
dengan yang lainnya,” jawab Malita sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah
goa yang gelap. “Nah, goa ini yang terbesar, akan tetapi dari goa ini orang
dapat mencapai goa-goa di lain bagian.”
Kwan Cu
melihat ada bekas tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut goa dan tahu bahwa
memang orang-orang katai itu menyembunyikan diri di dalam goa. Akan tetapi
agaknya sia-sia kalau hendak mengejar, karena orang-orang itu dari dalam goa
yang gelap tentu akan melihat kedatangannya sehingga mereka bisa melarikan diri
melalui mulut goa yang lain. Di samping itu, goa itu memang cukup besar bagi
orang-orang katai, namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan
merangkak! Ini berbahaya sekali! Akhirnya dia mendapat akal.
“Kumpulkan
kayu-kayu bakar dan daun-daun kering di mulut goa yang berhubungan satu dengan
yang lain itu, tutup empat mulut goa dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan
yang satu ini saja terbuka. Setelah penuh dengan kayu bakar , bakar semua
tumpukan itu supaya asapnya memenuhi goa dan terowongan. Asap itulah yang akan
memaksa mereka keluar dari goa melalui mulut goa ini dan aku akan menjaga di
sini.”
Mendengar
siasat ini, Malita mengangguk-angguk dengan kagum. Dia segera mengatur dan
memecah kawan-kawan menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan
membakar mulut goa. Ada pun Kwan Cu lantas bersembunyi di belakang batu karang,
menjaga kalau-kalau para pemberontak itu muncul dari goa besar itu.
Tempat
sembunyi Kwan Cu adalah di balik pohon yang berada di dekat goa dan pemuda ini
bersandar pada batu karang itu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh batu karang
yang hitam itu dan mendapatkan bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya.
Dia memandang dan melihat ukiran-ukiran seperti huruf di dinding batu karang di
luar goa. Akan tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah
tertutup oleh tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu.
Kwan Cu
mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu
karang itu. Sebagian dari kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas
dan ternyata bahwa huruf itu adalah huruf LIU. Berdebar hati Kwan Cu.
Huruf ini
mengingatkan dia akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di
Kun-lun-san, yakni kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa
kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU
PANG yang akhirnya menjadi raja. Dia segera mengerjakan kedua tangannya untuk
melepaskan kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.
Sementara
itu, Malita, Malika dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat
mulut goa yang lainnya dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar
semua itu. Asap yang tebal bergumpal-gumpal lalu memasuki goa dan terus
memasuki terowongan itu!
Karena amat
tertarik oleh ukiran huruf di dinding sebelah luar goa, Kwan Cu lupa bahwa dia
sedang bertugas menunggu munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak
ingat lagi bahwa sudah beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit
batu karang yang sudah amat keras dan menjadi satu dengan batunya. Setelah
dengan susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya sampai
pecah-pecah, akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN
TONG TANG (Guna Anak Ajaib Liu).
Hampir saja
Kwan Cu berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan
anak ajaib she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak
menjadi kaisar patut disebut atau menyebut diri sendiri sebagai anak ajaib. Ia
pun makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah lama
dicari-carinya.
Akan tetapi
pada saat itu asap telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang
keluar dari mulut goa yang dijaga oleh Kwan Cu. Tidak lama kemudian
terdengarlah batuk-batuk dan tampak enam orang katai berlari-lari keluar dari
dalam goa itu.
Gerakan
mereka gesit sekali dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang
nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung racun putih
yang sangat berbahaya pada ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano
beserta lima orang kawannya.
Kwan Cu yang
mendengar suara mereka, lalu memandang. Dia melihat seorang katai yang usianya
sudah agak tua, dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima
orang yang lain berkepala gundul dan biar pun mereka masih muda-muda, namun
wajah mereka buruk rupa dan nampak kejam-kejam.
Kwan Cu
teringat akan penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano
adalah pemuda-pemuda jahat yang dibenci oleh para gadis karena sikap mereka
yang kurang ajar. Yang menarik perhatian adalah sapu tangan yang mengikat
kepala mereka. Sapu tangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama, seakan-akan
dijadikan semacam tanda pengenal bagi golongan mereka.
“Tak salah
lagi, dialah Kahano dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu.
Hati pemuda
ini sedang gembira sekali berhubung sudah ditemukannya huruf-huruf yang
menyatakan bahwa dia benar-benar berada pada pulau yang dicari-carinya. Ia
melompat keluar dan dengan dua kali lompatan saja dia sudah sampai di depan
enam orang yang sedang mengatur napas untuk menghilangkan pengaruh asap yang
menyerang mereka di dalam terowongan dan goa. Cara mereka mengatur napas
membuat Kwan Cu terkejut, karena itulah pengaturan napas dari ilmu lweekang
yang sangat tinggi.
Ada pun
Kahano dan kawan-kawannya, pada saat melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah
sekali.
“Hemm, jadi
kaukah yang memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu
kembali merasa tertegun karena kini Kahano menggunakan bahasa yang biasa
dipergunakan oleh penduduk Tiongkok di bagian utara!
“Kau bisa
bahasa daratan Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.
“Tentu saja
bisa, karena aku pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh
karena itu, mengingat hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak
mencampuri urusan kami dan jangan kau mengganggu kami.”
Memang benar
bahwa sebenarnya Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang telah
lama merantau di daratan Tiongkok daerah utara, yaitu di perbatasan Mongol.
Ketika merantau di sana, dia telah mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw
terkenal sebagai orang yang kurang baik. Kadang-kadang dia turut dengan
serombongan pemain akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok
sekali dengan keadaannya yang pendek kecil itu.
Setelah dia
merasa bosan di daratan Tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke
Jepang dengan naik perahu. Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat
dan akhirnya dia terdampar dalam keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai
itu.
Dia dianggap
sebagai bangsa sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu
sehingga dia tidak dicurigai. Sesudah dapat mempelajari bahasa orang-orang
katai itu, barulah dia berbicara dan mendongeng bahwa dia adalah seorang yang
terpilih oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan tetapi dengan syarat
menjadi bisu untuk beberapa tahun!
Dongengnya
ini dipercaya oleh sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum
wanitanya sehingga semenjak Kahano berada di sana, di antara mereka timbullah
pertentangan. Akan tetapi, ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali
ilmu silat dan bukan merupakan laki-laki yang lemah.
Melihat
kecantikan Malita dan Malika, Kahano yang sudah agak tua itu jadi tergila-gila
dan timbullah satu kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan
mengambil Malita serta Malika sebagai isteri-isterinya!
Mula-mula
kehendak atau cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis
ini kuat sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Namun sedikit demi
sedikit dia menanam rasa penasaran dan memberontak dalam hati kaum laki-laki
sehingga dia berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga. Kemudian
meninggallah raja, ayah dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini
segera dipergunakan oleh Kahano untuk memberontak.
Ketika Kwan
Cu mendengar Kahano dari daratan Tiongkok, dia menjadi sangat marah.
“Kahano, apa
bila kau bukan penduduk asli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau sudah menghasut
orang-orang untuk memberontak dan maksudmu untuk menjadi raja serta mengambil
puteri-puteri itu sebagai isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu.
Lebih baik kau dan pengikut-pengikutmu ini menyerah saja. Aku yang akan
menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum asal saja kalian suka berjanji untuk
selanjutnya tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum
perempuan bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya untuk mencapai
perdamaian antara kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan
persamaan hak, seperti yang terjadi di negara kita.”
Kahano
tertawa bergelak. Biar pun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.
“Ha-ha-ha,
orang muda sombong. Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kau kira
aku tidak tahu bagaimana perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kau
kira aku tidak tahu betapa ayah bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya
kepada orang-orang kaya, tuan-tuan tanah tua, hanya untuk ditukar dengan
makanan? Memang sudah semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan cantik
dan ditakdirkan untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka makhluk lemah
yang harus menurut dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi
sebaliknya. Aku hendak mengubah aturanmu itu, sesuai dengan aturan bangsamu,
apakah kau masih berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah kau ini
berani mati mencampuri urusan orang lain?”
“Aku bernama
Lu Kwan Cu dan aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain.
Akan tetapi sudah menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan
melenyapkan pengacau-pengacau keamanan seperti engkau ini!”
Kahano
mengutuk dan memberi aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai
itu segera bergerak secara teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan.
Melihat gerakan kaki mereka, diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki
gerakan kaki yang amat teratur dan gesit sekali, dan sikap mereka menyatakan
bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tinggi.
Setelah
Kahano berseru keras, enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek pada tangan
mereka bergerak cepat. Serangan mereka tidak dilakukan secara sembarangan,
melainkan secara teratur sekali, susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang
itu sudah berlatih terlebih dahulu untuk maju berenam dengan ilmu silat
tertentu yang harus dilakukan oleh enam orang!
Kwan Cu
terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi, biar pun dia dapat mengelak dari
serangan pertama tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang,
dan ketika dia membalikkan tubuh sambil mengelak ke kiri, orang di sebelah
kanan sudah menyusul serangan ke tiga. Dengan demikian, setiap serangan selalu
datang dari arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat
berbahaya.
“Lihai
sekali!” seru Kwan Cu tanpa terasa lagi.
Dia merasa
gentar untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut
sulingnya, yakni satu-satunya senjata yang selalu berada di tubuhnya. Dengan
suling ini, dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan
keras dan membalas serangan enam orang pengeroyoknya.
Akan tetapi,
segera terjadi hal yang sangat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu.
Tiba-tiba Kahano berseru dan kini enam orang itu semuanya membalasnya dengan
serangan yang mirip dengan ilmu pedangnya pula! Malah lebih hebat lagi, agaknya
enam orang itu setengah dapat menduga ke mana pedangnya akan bergerak
selanjutnya, dan seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai
Kiam-hoat, meski pun belum mahir betul.
Menghadapi
keroyokan yang dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya,
Kwan Cu menjadi bingung sekali. Apa lagi senjatanya hanya sebatang suling yang
tengahnya kosong sehingga tidak dapat dia gerakkan dengan tenaga besar. Maka,
walau pun dia dapat menangkis setiap serangan lawan, namun dia tidak kuasa
membuat lawannya itu melepaskan pedangnya.
Kwan Cu
terkurung semakin hebat dan pada saat-saat tertentu, dengan aba-aba yang
dikeluarkan oleh Kahano, enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba
saja maju menubruk berbareng dengan dahsyat sekali! Walau pun Kwan Cu sudah
berusaha mengelak sambil memutar sulingnya, akan tetapi bajunya terobek oleh
tiga ujung pedang kecil.
Pemuda ini
berubah air mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka mengandung racun yang
berbahaya. Sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, besar kemungkinan
nyawanya akan melayang! Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan,
mendadak Kahano melompat ke atas dan sebuah tendangan yang sangat cepat sudah
mengenai pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling.
Pemuda ini
merasa pergelangan tangannya kaku. Memang dulu Kahano adalah pemain akrobat,
loncatannya tinggi dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu
tidak kuasa memegang sulingnya lagi yang langsung terlempar jauh.
“Ha-ha-ha!
Lu Kwan Cu bocah sombong. Baru kini kau mengenal kelihaian Kahano!” Si katai
berjenggot ini tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak
makin hebat, mendapat tambahan semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka
yang lihai.
Kwan Cu
segera dapat menenteramkan hatinya. Dia teringat bahwa di antara anggota
tubuhnya, yang berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua
tangannya yang sudah diberi obat oleh Malita. Dia teringat pula betapa tenaga
keenam orang ini kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi.
Tendangan
Kahano itu tidak mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena
tepatnya tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat
akan hal ini, Kwan Cu berseri wajahnya dan dia tersenyum.
“Kahano,
kaulah yang sombong. Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil
berkata demikian, Kwan Cu menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang.
Ia lalu
bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan
gwakang sangat besar sehingga baru sambaran hawa pukulannya saja sudah sanggup
merobohkan lawan. Di samping itu, dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan
gerakan ilmu silat Sam-hoan-ciang sehingga dia seakan-akan mempunyai muka tiga
dan gerakan-gerakan kakinya selalu membentuk segitiga sehingga tidak dapat di
serang dari belakang oleh lawan-lawannya.
Sungguh
tepat gerakan Kwan Cu ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci Tin-san, enam
orang pengeroyoknya menjadi bingung luar biasa. Mereka agaknya dapat pula
menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari Sin-ci Tin-san, namun karena ilmu
silat ini dilakukan dengan mengandalkan lweekang yang tinggi dan tenaga yang
besar, tentu saja mereka tidak dapat menirunya!
Hal ini
merupakan keuntungan bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu
kebingungan, tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi pukulan-pukulan
sepuluh jari tangan Kwan Cu yang baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh
mereka tergetar!
Melihat
hasil serangannya, Kwan Cu mengamuk semakin hebat. Dengan heran sekali dia
melihat betapa keenam orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci
Tin-san, karena mereka dapat menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu
silat ini, bahkan mereka mencoba untuk menyerangnya dengan meniru gerakan itu.
Ilmu silat apakah yang mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat
dikembari oleh mereka? Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat
menguasai diri dan kalau sekali ini dia tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya
itu akan menjadi tanda bahwa dialah sebaliknya yang akan kalah dan mendapatkan
bencana besar!
“Robohlah
kalian!” Kwan Cu berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekang-nya.
Kedua
tangannya bergerak cepat sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia
desak adalah Kahano, maka ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano
menjerit, disusul oleh dua orang kawannya.
Ternyata
bahwa hanya setengah pukulan Kwan Cu tadi yang mampu dielakkan mereka, akan
tetapi hawa pukulannya masih menghantam Kahano dan kedua orang kawannya, yakni
seorang yang berada di belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya.
Pedang pendek Kahano terlepas dari pegangan dan si katai brewok ini terpukul
dadanya sehingga dia terlempar ke belakang dengan dada menderita luka dalam.
Orang yang
berada di belakang Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih
tepat jari-jari tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga
si katai gundul ini terlempar bagaikan seekor anjing dilemparkan dan dia roboh
tanpa dapat bangun kembali. Orang yang berada di kanannya, hanya terkena
langgar telunjuk Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang
pedang, pedang itu pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan
sambil mundur dan memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa
tulang-tulang tangan kanannya telah patah-patah.
Tiga orang
lainnya yang berada di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat
mereka dan timbul watak pengecutnya. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil
mengangguk-anggukkan kepala yang gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu
lama kaum lelaki di pulau katai itu diperlakukan seperti wanita sehingga
rata-rata memiliki watak penakut dan berhati kecil.
Kwan Cu
tertawa bergelak dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya
mengamankan pulau itu. Akan tetapi, mendadak dia melihat bayangan beberapa
orang berkelebat dekatnya dan lenyaplah suara ketawanya ketika dia melihat apa
yang sudah terjadi pada saat dia tertawa tadi. Ketika dia memandang, enam orang
laki-laki katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka
tergeletak dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang
tak berkepala lagi itu.
Dengan
kening berkerut Kwan Cu memandang tajam pada Malita, Malika dan beberapa orang
wanita lain yang sudah berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan
Malika menyusut darah yang menempel di pedang mereka dengan menggunakan pakaian
yang menempel pada mayat-mayat itu.
“Mengapa
kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.
Malika
menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan
pemberani. Ia menentang pandang mata Kwan Cu tanpa merasa takut sedikit pun
juga, lalu berkata,
“Kau bilang
kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami
kaum perempuan menjadi barang permainan yang hina dina, hukuman penggal kepala
masih terlampau murah untuk mereka!”
Kwan Cu menghela
napas, lalu berkata,
“Sudahlah,
Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini
jahat sekali dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan
tanda bahwa kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja
sama yang baik?”
“Tidak, sama
sekali kami takkan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang
kami. Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh.
Kami akan melakukan pemilihan raja baru secara adil, kaum laki-laki pun berhak
memilih. Dan kami tak akan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau
wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas
akan dibela, baik dia laki-laki mau pun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang
akan kami hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara
Kwan Cu yang budiman!”
“Semua
berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh
Malita dan Malika, semua orang wanita yang berada di sana menjatuhkan diri
berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis riuh-rendah!
Kwan Cu
tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata di dalam
hatinya, “Perempuan, perempuan... perempuan namamu dan di mana pun sama saja,
paling mudah menangis!” berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang
membantahnya.
“Ahh, Kong
Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun
suka menangis.”
Pikiran
kedua mengejek, “Ahh, Kong Hoat memang dasar cengeng!”
Demikianlah,
menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita
kecil-kecil ini, Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan
tetapi, dia sadar kembali dan berkata.
“Sudahlah,
untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan
ikut menangis pula. Malita dan Malika, saat ini boleh dibilang kalian merupakan
pemimpin bangsamu, jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku
bertindak sebagai seorang manusia yang memang seharusnya sebisa mungkin
menolong manusia lain. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya
kalian tidak keberatan.”
Malita
menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah
permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu,
pasti akan kami turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju
sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya takkan ada
seorang pun dara akan menolakmu, siapa pun dia adanya!” sesudah mengucapkan
kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak, maka
merahlah mukanya.
“Jangan
main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku
tinggal di pulau ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan
dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian
jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersemedhi dan menjauhkan diri
dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”
Malita dan
kawan-kawannya saling pandang dengan heran.
“Kau memang
orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan
permintaan karena tentu tak seorang pun merasa keberatan kalau kau tinggal di
pulau ini.”
“Nah, jika
begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah, kemudian aturlah pemerintahanmu
sebaik-baiknya dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena
aku pun tak akan mengganggu kalian di sana.”
Mendengar
keputusan ini, terkejutlah Malita.
“Mengapa
begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang kala
mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di
sini,” kata Malita.
“Dan sudah
tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.
Akan tetapi
Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan!
Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan tadi kulihat ada
beberapa ekor binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan
bagiku. Aku ingin seorang diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari
siapa pun juga. Kecuali...” sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah
mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku
selalu bersiap sedia untuk menolong kalian. Nah, sekarang pergilah, mayat-mayat
ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”
Terpaksa
Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari sana dengan wajah
kecewa sekali. Akan tetapi, belum berapa lama dia berjalan, dia segera membawa
kawan-kawannya datang lagi dan berlutut.
“Ada apa
lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.
“Saudara
Kwan Cu, sungguh pun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan
mengganggumu di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu engkau
akan datang mengunjungi kami supaya kami dapat melihat bahwa kau masih berada
di dekat kami.”
Kwan Cu
tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang
bukan-bukan sehingga malah akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya
berada seorang diri di tempat itu.
“Baiklah,
kelak bila mana kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang
menyaksikan pernikahan itu!”
Bertitik air
mata di pipi Malita, bahkan Malika juga menangis sesenggukan akibat terharu.
Mereka kemudian pergi dari tempat itu menuju ke perahu-perahu kecil milik
Kahano dan kawan-kawannya, sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda
yang masih terus berdiri bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan
tidak kelihatan lagi.
***************
Setelah
menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano beserta lima orang kawannya, Kwan
Cu segera menghampiri goa yang dijadikan tempat sembunyi para pemberontak tadi.
Ia memeriksa dinding goa dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput
kering dan alangkah gembiranya ketika dia mendapat kenyataan bahwa
dinding-dinding itu, sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh
gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan
jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat
mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!
“Hemm,
kiranya dari sini mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!”
pikirnya.
Gambar-gambar
itu benar-benar hebat luar biasa karena amat banyak dan mengandung gerakan dari
hampir semua ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia
dengar dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dulu telah
membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?
Sampai
seharian penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis.
Ternyata bahwa seluruh terowongan yang menembus ke goa-goa lain juga terhias
gambar-gambar seperti itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang
bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan
senjata di tangan.
Ada yang
bersilat seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang dikeroyok dua, tiga,
sampai dikeroyok puluhan orang! Agaknya lukisan itu dititik beratkan kepada
tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, setiap gerak
kaki atau tangan teratur baik.
Pada saat
menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan bagaimana cara seorang lelaki
dikeroyok oleh puluhan orang, Kwan Cu lantas menjadi terkejut sekali. Bukan
main hebatnya kedudukan orang yang dikeroyok itu, malah jauh lebih kuat dari
pada ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.
Saking
girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan
mempelajari gambar-gambar yang terlukis di dinding goa dan terowongan itu.
Kemudian teringatlah dia akan niat sesungguhnya dari kedatangannya ke pulau
ini, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Hatinya
berdebar keras. Betapa pun jelas ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah
merupakan pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang
membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!
“Bukan tidak
mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat
(teori ilmu silat) dari semua lukisan ini,” pikirnya.
Sesudah
berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari goa kecil itu dan baru dia
merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat
semua lukisan di dinding itu sambil merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari
dua malam dia berada di goa itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia
merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh
dengan pohon-pohon itu.
Keadaan di
situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguh pun
daun-daun itu berbeda corak dan ukurannya. Dan di antara pohon-pohon itu, ada
pula yang mengandung buah-buahan yang biar pun ada yang berwarna merah, namun
merahnya juga pucat seperti dikapur.
KWAN CU
berlaku hati-hati sekali. Biar pun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus,
tetapi dia tidak berlaku sembrono. Buah-buahan itu sangat asing baginya dan
siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung
bisa.
Sebelum makan
buah itu dia menciumnya terlebih dulu, kemudian menancapkan suling pemberian
Hang-houw-siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa
suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat digunakan
untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau
suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah
itu mengandung racun.
Sesudah
dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan.
Ternyata buah itu wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ
terdapat banyak binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak
khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.
Betapa pun
tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam goa
yang kecil gelap itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap
bahwa dia harus terlebih dahulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng,
sebab itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.
Berhari-hari
dia lalu mencari. Semua goa, dari yang besar sampai yang paling kecil dia
masuki, tapi dia tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu.
Akan tetapi,
Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tidak mudah patah semangat.
Dia yakin bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau
Kahano sudah berhasil mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia
akan dapat mengalahkannya.
Ang-bin
Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai,
Kiu-bwe Coa-li dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua
ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu
tentulah mengandung pelajaran ilmu silat yang bukan main tingginya. Kemajuan
ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah
karena Kahano serta kawan-kawannya mempelajari sebagian dari gambar-gambar
lukisan pada dinding itu.
Beberapa
pekan telah berlalu pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di
pulau kosong itu. Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng
yang dicari-carinya, biar pun sudah beberapa kali dia memasuki goa-goa yang
banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar.
Selama
seratus hari ini Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang dilukis di
dinding, karena kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu
terlebih dahulu. Ia percaya penuh akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui
Tin dan meski pun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia, kepercayaannya ini
sama sekali tidak berkurang, bahkan dia menjadi semakin penasaran dan
memaki-maki diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.
Pada suatu
hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba
dia melihat bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia
tidak dapat melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini
cepat luar biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat
seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat
sekali.
Ia menjadi
tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih
bagaikan kapas dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu sangat cepat larinya.
Dia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya, dan meski pun dia tidak atau belum
dapat menangkap binatang putih itu akan tetapi binatang itu pun tidak mampu
memperbesar jaraknya.
Binatang itu
nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang
ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar
terus. Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon
yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!
“Ehh,
ibliskah dia? Bagaimana dapat menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali
pohon-pohon besar ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.
Pemuda ini
mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang
di dekat pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang
menonjol keluar dari permukaan tanah.
“Hemm, jadi
dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.
Ia
mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya
karena dia memang membutuhkan senjata itu untuk memotong sesuatu yang
diperlukan. Dengan pedang yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu
dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Semakin dalam dia menggali,
lubang itu semakin besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan
pengalaman baru baginya. Bagai mana seekor binatang yang begitu kecil bisa
membuat sarang begini besar?
Kurang lebih
tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu
dan ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan
pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya
dia lalu menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi sudah memukul dinding
besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!
“Apakah
ini...?” katanya makin heran.
Ia menjadi
makin bersemangat, menggunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar
pedang besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi
empat yang lebarnya ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat
lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat
ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang
digalinya tepat di bawah peti itu.
Namun Kwan
Cu sudah tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi
dikejar-kejarnya. Sekarang seluruh perhatiannya tercurah pada peti besi ini.
Hatinya jadi berdebar-debar dan diam-diam dia berdoa kepada Thian semoga peti
inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang
Bu-tek Cin-keng!
Ia membawa
peti besi itu ke goanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah
memilih sebuah goa yang paling besar, goa yang tidak merupakan terowongan dan
sinar matahari dapat masuk ke dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, di mana dia
dapat mengaso dan tidur.
Sesudah
makan buah-buahan yang disimpan di dalam goa itu, Kwan Cu mulai mendekati peti
besi dan setelah diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang
melengket di situ, dia tidak mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka
tutup peti besi itu dengan amat hati-hati.
Hampir saja
dia bersorak girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang
sudah kuning. Jelas kelihatan bahwa kitab itu terbuat dari pada sutera putih
yang sudah menguning saking tuanya dan seakan-akan kitab itu akan hancur
menjadi debu apa bila dipegang!
Dengan kedua
tangan gemetar, Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, namun
tiba-tiba mukanya menjadi pucat dan dia segera menarik kembali tangannya.
Keringat dingin membasahi jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu.
Baru kitab
palsu itu saja oleh Panglima An Lu Shan sudah dipasangi racun yang sangat
berbahaya hingga menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti
Hek-mo-ong! Apa lagi kitab ini kalau benar-benar kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,
tentulah yang aslinya! Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu Pang,
juga menggunakan akal seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?
Kwan Cu
mengeluarkan sulingnya dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu
di atas kitab tua itu. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan
legalah hati Kwan Cu. Ia sudah yakin bahwa kitab itu tidak dipasangi racun
jahat, namun ketika dia menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap
saja kedua tangannya gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang tidak
akan merasa seperti itu bila mana mendapatkan kitab yang diinginkan oleh
seluruh tokoh besar di daratan Tiongkok?
Kwan Cu
harus berlaku hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya
yang terbuat dari pada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di
dalam peti lagi dan hanya berusaha membuka halaman pertama, karena pada kulit
muka tidak terdapat tulisan apa-apa.
Setelah
halaman pertama dibuka, dia melihat deretan huruf-huruf kuno yang sudah amat
dikenalnya, yakni huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang palsu dan yang Gui-siucai telah mengerjakannya sampai
hafal betul. Dan huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CIN-KENG!
Tak terasa
lagi dua titik air mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah
kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli!!
Dapat kita
bayangkan betapa girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat
kenyataan bahwa kitab kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul
adalah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli. Kitab itu sudah diperebutkan
oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar. Dia
sendiri semenjak dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan
yang amat jauh dan berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah
berada di tangannya!
Sampai lama
sekali Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut dan bibirnya bergerak-gerak. Ia
menghaturkan terima kasihnya pada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah
Gui-siucai yang sudah membuka rahasia kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat
hati-hati dia mulai mempelajari isi kitab.
Ia harus
berlaku hati-hati sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu
sudah sangat tua. Baru di buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang
tersentuh tangannya menjadi hancur! Bukan itu saja, bahkan bagian tengah
lembaran itu yang bergerak ketika dia buka telah menjadi robek-robek.
Maka dia
mengambil keputusan untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak
berani membuka lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya
benar-benar. Juga ia berlaku amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang
dianggapnya sebagai kitab suci, untuk menghormat manusia sakti yang
menciptanya.
Tiap kali
hendak membaca kitab itu, terlebih dahulu dia berlutut sebagai penghormatan.
Dan menjelang malam hari, dia kembali berlutut menghaturkan terima kasih atas
segala pelajaran yang telah diterimanya pada hari itu. Hal ini dia lakukan
setiap hari!
Pelajaran
yang dia dapat dari lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang
menggerakkan seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative).
Tentang dua tenaga yang bertentangan tapi yang apa bila bersatu akan
mendatangkan kekuatan dan daya penggerak di seluruh permukaan bumi ini. Dia
mendapat uraian yang amat jelas dan terperinci, disertai dengan contoh-contoh.
Kemudian, pada lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya mengenai
unsur tenaga alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).
Kitab itu
bukanlah kitab biasa dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang
luar biasa dan bakat yang amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga
otaknya dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya,
tidak sebaris pun kalimat dialpakannya. Semua dia telan bulat-bulat, lantas
diolah di dalam otaknya yang memang cerdik.
Baiknya dia
berlaku hati-hati, karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia
membalikkan lembar berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi
hancur! Jelasnya, setiap lembar yang sudah dipelajarinya tidak akan mungkin
dibacanya kembali karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat membaca kitab itu
sesudah dia membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang
hampir menjadi debu.
Pelajaran-pelajaran
berikutnya merupakan uraian lengkap tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im
dan Yang di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang berupa tenaga
tersembunyi itu dapat dikuasai dengan baik. Ada pula pelajaran tentang semedhi
dan mengatur pernapasan, tentang cara menggugah panca indera dalam batin
sehingga panca indera di tubuh menjadi kuat dan tajam.
Semua
pelajaran ini disertai penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan
akibatnya, sehingga amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan
semedhi dan pengerahan tenaga lweekang dari Ang-bin Sin-kai, tetapi pelajaran
itu hanya merupakan pelajaran yang sudah mati, yang dilakukannya sebagai tiruan
atau jiplakan belaka. Kini dia baru mengerti mengapa segala macam tenaga yang
tersembunyi di dalam tubuh itu dapat timbul.
Sampai
setahun lebih Kwan Cu jarang sekali keluar dari dalam goanya kalau perutnya
tidak sangat lapar. Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk dan
matanya tidak dapat bertahan lagi. Tubuhnya menjadi kurus kering dan matanya
cekung. Setelah makan waktu satu tahun lebih, barulah selesai bagian melatih
semedhi dan pernapasan yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan
setiap saat.
Kemudian
mulailah kitab itu mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ
dibentangkan tentang ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia,
ilmu silat ilmu silat tinggi yang dibuat partai-partai persilatan menjadi
termasyhur, seperti ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai,
Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi,
yang diajarkan di situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu.
Ternyata pula bahwa lukisan-lukisan di dinding goa-goa dan terowongan itu
adalah ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan ini, memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang ternyata hanya pada variasi dan kembangannya belaka.
Ada pun pada dasarnya semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari
satu sumber!
Untuk
memperdalam pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding goa-goa
dan terowongan-terowongan itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Sesudah
dia mulai dapat menangkap apa yang disebut pokok dasar gerakan ilmu silat
tinggi, matanya menjadi terbuka dan amat mudahlah baginya untuk mempelajari
ilmu-ilmu silat itu.
Ia
mempraktekkannya dengan melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari
berbagai cabang itu. Alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu
silat-ilmu silat itu dengan amat mudahnya! Tanpa disadarinya, dia telah maju
sekali dalam gerakan yang terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan khikang,
serta tanpa terasa latihan napas selama ini telah membuat ginkang-nya istimewa
sekali.
Pada suatu
hari, selagi dia berlatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang
berpohon putih itu, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dulu pernah
didengarnya ketika dia mula-mula naik perahu melintasi lautan ganjil itu. Ia
tidak mempedulikan suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti
gerakan dan dia mainkan pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan
Bu-tong-pai.
Tiba-tiba
datang angin bertiup keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut
di tepi pantai bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri
hendak keluar dari dasar laut! Akan tetapi, Kwan Cu seperti tidak mendengar
semua ini dan tidak merasakan sambaran angin pohon yang begitu hebatnya, yang
membuat pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong.
Orang biasa
saja apa bila kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai
yang kuatnya bukan main itu. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh
semangat, sama sekali tidak merasakan betapa pakaiannya sedikit demi sedikit
mulai meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin. Saking kerasnya angin,
pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah ke mana perginya.
Tanpa
diketahui oleh Kwan Cu, air laut mulai naik menjadi gelombang besar, membuat
air makin mendekati tempat dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh
kakinya, barulah pemuda ini terkejut, seakan-akan air itu menyerangnya.
Otomatis dia melompat untuk mengelak dan otomatis pula dia menendang ke arah
air.
Air itu
muncrat dan terpental saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini
melihat ombak besar mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu.
Seperti
Ang-bin Sin-kai gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi
ombak, bahkan dia menerjang maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap
kali ombak besar menyerangnya, bukan dia terdorong roboh, bahkan air yang
terdampar kepadanya dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi buyar!
Akan tetapi,
makin lama semakin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak
oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Lagi pula,
baru sekarang dia merasa betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena
pakaiannya telah robek di sana sini dan ujungnya sudah hilang semua entah
terbang ke mana!
Angin
bertiup makin keras dan ketika memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan
matanya. Laut menjadi demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai
uap yang hitam menggelapkan langit di atas laut.
Mulai
takutlah hati Kwan Cu menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini
naik semakin tinggi seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu
melompat-lompat mundur dan tiba-tiba dia terkejut setengah mati ketika tanah
yang diinjaknya bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau itu
berubah menjadi sebuah perahu yang mengambang!
“Aduh, akan
kiamatkah dunia?” serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke goanya.
Dalam
berlari ini, beberapa kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau
saja ginkang-nya tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri
mengimbangi goyangan tanah yang makin menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai
di dalam goanya.
Ia melihat
betapa semua pohon bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak
sebatang pun tumbang. Dia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu sangat
banyak dan dalam sekali, maka tidak mengherankan apa bila pohon-pohon itu
demikian kuat menghadapi serangan angin yang demikian dahsyatnya.
Sampai
sehari semalam Kwan Cu berdiam dalam goanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia
mau muntah-muntah. Baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk
menekan perut sehingga isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh ‘gempa bumi’
yang tiada habisnya itu seakan-akan pulau akan meletus setiap saat!
Goa itu
sendiri dindingnya sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau
gambar-gambar di dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya.
Begitu besar perhatian Kwan Cu terhadap pelajarannya sehingga dalam keadaan
sehebat itu, dia sama sekali tak mengkhawatirkan keselamatan dirinya,
sebaliknya mengkhawatirkan kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau
tertunda.
Akhirnya
gempa bumi itu reda dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya
telah sampai di kaki goa di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan
hati Kwan Cu karena kejadian ini berarti bahwa air laut telah naik tinggi
sekali.
Matahari
bersinar kembali, tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera
keluar sesudah menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin
dia peluk saja, terutama peti kitab itu.
Ia melihat
bekas-bekas air laut, di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tidak sebatang
pun pohon tumbang, hal ini amat membanggakan hati pemuda ini. Betapa kuatnya
pohon berdaun putih. Aku harus bisa menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak
tumbang oleh gelombang hidup yang betapa berat sekali pun.
Akan tetapi,
ketika dia tiba di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja,
bahkan pulau-pulau kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali ada di kanan kiri
pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia menengok ke sana ke mari dan betapa
terkejutnya bahwa goanya sekarang juga berubah letaknya.
Biasanya,
matahari terbit menghadapi goanya, berarti bahwa goanya itu menghadap ke timur,
akan tetapi sekarang, matahari terbit dari belakang goa. Hal ini hanya
mempunyai satu arti, yaitu bahwa goanya itu telah berubah letaknya, kini
menghadap ke barat!
Ataukah
matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tidak boleh
jadi, pikirnya. Dia kemudian teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya,
maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang
‘pindah’? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?
Dugaan Kwan
Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sebenarnya sangat tepat. Memang pulaunya
itu telah hanyut! Pulau ini sudah terlepas dari dasar laut, dan hanya karena
pohon-pohon berdaun putih itu akarnya tertanam sampai dalam sekali, berpuluh
meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.
Dengan
pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak bisa
pecah-pecah dan masih merupakan pulau atau ‘perahu besar’ dari tanah dan pohon
dan dengan kuatnya dapat melawan badai, sungguh pun terpaksa harus pindah
tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali.
Bukan baru
satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, tapi sudah berkali-kali apa bila
datang taufan hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan
pulau ini belaka yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng
di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka
kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.
Ketika Kwan
Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang.
Pulau-pulau itu sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh
berkurang dari semula, seolah-olah banyak di antaranya telah lenyap ditelan
ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya
Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana
dengan nasib mereka?
Karena
perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih
yang ia tahu batangnya amat kuat, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting
serta daun-daunnya, kemudian mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu!
Ilmu kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas
batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan
cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!
Mula-mula
dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan sesudah dia berkeliling
dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia
mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia lalu mendarat dengan dada berdebar
tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas
menahan jatuhnya air mata.
Kwan Cu
melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil
semuanya hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih
oleh air yang mengamuk. Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya semakin
terharu karena tak seorang pun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut
oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam di dasar laut atau
masuk ke dalam perut-perut ikan-ikan besar.
Akan tetapi,
saat dia melongok ke dalam sebuah goa, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang
membuat air matanya keluar bercucuran. Di dalam goa itu dia melihat Malita dan
Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh
mereka yang terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak
bernyawa lagi!
Agaknya
dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, mereka sudah berdaya upaya
untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling
berpelukan. Akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik
tinggi sampai menutupi semua pulau itu!
“Malita...
Malika... kasihan kalian ...” kata Kwan Cu yang cepat melepaskan tubuh mereka
dari ikatan. Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah
dingin sekali.
Tiba-tiba
saja dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah
selatan.
“Tentu di
sana terdapat korban lain,” pikirnya.
Ia lalu
berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk
dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dari jauh dia
melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai! Ketika dia berlari cepat dan
sampai di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita
raksasa yang bukan lain adalah Liyani!
“Liyani...!”
Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa.
Tubuh yang
sudah hampir telanjang itu ternyata sudah tidak bernapas lagi, mati seperti
Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan
pengalaman dirinya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka
kepadanya, dan kini, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang
amat memilukan hati.
“Liyani...
agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!”
Tanpa
kesulitan Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu, karena
sejak mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah
meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan
perahu ke pulaunya.
Ia menggali
lubang yang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh lebih
besar ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada
tiga mayat itu.
Dia melihat
betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan
rambut mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan
hati. Tubuhnya hampir telanjang dan gelung rambutnya terlepas, agaknya cukup
lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia
terdampar ke pulau bangsa katai.
Kwan Cu
teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari
ke dalam goanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya kemudian
kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia lalu
merapikan rambut Liyani yang digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu
dipasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang
sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri.
Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.
Ketika dia
hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat
mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau
itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak
kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya
dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun
putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.
Baiknya
pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau saja
terjadi demikian, biar pun andai kata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia
tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu
hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka masih sempat menyembunyikan diri ke
dalam goa-goa yang banyak terdapat di pulau itu.
Semenjak
saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua
bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai,
termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia semakin yakin akan kekuasaan alam
yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa manusia.
Apa daya
manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa
raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah
alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai
itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apa bila dibandingkan dengan
manusia biasa, dan kalau pun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tak
sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan
tetapi kalau alam menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat dimusnahkan!
Kenyataan
ini membuat Kwan Cu semakin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam
tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apa lagi sesudah dia semakin tekun
mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.
Kitab ini
tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi
pelajaran mengenai pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh
manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan
yang sangat tinggi.
Filsafat
kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi
kepandaian seseorang, maka semakin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut
‘kepandaian’ itu sebenarnya hanyalah kosong belaka! Makin terbuka mata orang
akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya
dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang
dimiliki manusia!
Oleh karena
itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, dan makin lama dia mempelajari ilmu dari
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam
wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian,
akan tetapi mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk
mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.
Tanpa
disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang sangat tinggi, mendapatkan semua
dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang semuanya harus berdasarkan
kepada tenaga Im dan Yang. Akan tetapi dengan sadar dia sekarang bisa melihat
betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani
menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari
otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia?
Kalau Yang
Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh
manusia sebagai ‘kepintaran’ itu! Bahkan lebih hebat lagi jika Yang Maha Kuasa
menghentikan napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, karena akan
lenyaplah wujud yang disebut manusia! Apakah makhluk yang begini lemah, yang
mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri
dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!
Sang waktu
berlalu cepat sekali tanpa dirasakan oleh manusia. Setiap lembar dari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, dipelajari Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut
prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.
Itu pun baru
merupakan setengah dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian
latihan tenaga lweekang dan bagian ilmu silat saja. Ketika dia menamatkan
bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang,
ternyata bahwa bagian ini sudah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka,
lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran
tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.
Namun,
setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk
mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu
perang? Dia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama
manusia, lepas dari pada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri.
Ada pun
tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan
menjadi agak kecewa ketika melihat bagian ini tidak mungkin dibaca lagi. Akan
tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam mengenai garis-garis hidup membuat
dia berpikir bahwa betapa pun pandai seseorang mengobati orang sakit, bila
Thian tak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga!
Sembuh
tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini
dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan
tergantung dari pengobatan. Apa bila Thian menghendaki nyawa seseorang, walau
pun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!
Karena kini
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian
depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang
telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu
berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan
Malika.
Juga di atas
‘kuburan’ kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia letakkan tanda batu karang besar.
Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... bukan
main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat
tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:
‘Teecu Lu
Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua
pelajaran yang teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala
pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan.’
Kurang lebih
sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret perahu
buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke
air, melompat ke dalam perahu sambil memegang dayung, lalu mendayung perahu itu
ke tengah samudera.
Tidak lama
kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke
arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam
Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya
itu kelihatan dari perahunya.
Segala
pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata
Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal.
Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi.
Tak lama
kemudian dia sudah memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang
disambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke
arah daratan tanah Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa
pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke
daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw.
**************
Sebagaimana
sudah diceritakan di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang ialah
Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir,
mencari kesenangan dan hiburan bagi diri sendiri belaka, sama sekali tidak mau
mempedulikan pemerintahannya, apa lagi keadaan rakyatnya. Oleh karena itu,
secara sembrono sekali kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai panglima besar
di utara, dan sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An
Lu Shan. Bahkan sampai pada saat An Lu Shan sudah membentuk pasukan yang besar
dan mempunyai niat memberontak, kaisar ini masih enak-enak saja berpelesiran di
istananya yang indah, tentu saja dengan dikelilingi oleh selir-selirnya yang
banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda!
Bukan sampai
di situ saja kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai
menggerakkan tentaranya ke selatan, kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja
di dalam istananya.
“Bentuk
pasukan, hancurkan pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?” katanya acuh tak
acuh, seakan-akan yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka.
Para menteri
yang berwatak jujur dan setia lalu tergopoh-gopoh menghadap kaisar untuk
memperingatkan junjungan ini dari pada mabuk dan mimpinya. Akan tetapi kaisar
tetap tinggal enak-enak, bahkan mencaci para menteri itu sebagai
pengecut-pengecut besar!
Menteri Lu
Pin yang dianggap menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh kaisar,
segera didatangi oleh para menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka
memberi peringatan kepada kaisar.
Menteri Lu
Pin lalu menghadap kaisar, namun diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan
menyindir.
“Apakah kau
yang terkenal sebagai menteri jujur, setia dan keturunan panglima gagah perkasa,
juga berhati pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?”
Merahlah
wajah Lu Pin mendengar sabda kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut
sambil berkata,
“Harap Sri
Baginda segera sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini.
Sebenarnya para perdana menteri dan panglima itu memberi nasehat amat baik
kepada Paduka. Demikian pula kedatangan hamba menghadap ini bukan karena hamba
berhati pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya bahaya besar yang
mengancam keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita
benar-benar sudah terancam bahaya besar sebab tentara An Lu Shan si pemberontak
jahat itu telah makin jauh menyerang ke selatan.”
Marah sekali
Kaisar Hian Tiong mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari
tangannya ke arah pintu.
“Pergi!
Pergilah! Hendak kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau
para barisan penjaga kita dapat dia bobolkan!”
Dengan hati
terpukul, Menteri Lu Pin lalu keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada
para menteri lain atas kegagalannya itu dengan suara penuh kekecewaan dan
kedukaan. Hati para menteri itu tidak senang ketika mendengar bahwa kaisar
tetap saja tenggelam dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya dan apa
bila para pemberontak itu sampai berhasil memasuki kota raja, tentu mereka
sekeluarga sekarang takkan selamat pula. Hal ini yang melemahkan semangat
mereka.
Ketika para
mata-mata An Lu Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para menteri ini
lalu menerima uluran tangan para pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga
dan harta benda serta kedudukan mereka, para menteri ini tidak segan-segan
untuk berkhianat dan memihak pemberontak. Diam-diam mereka memberi kesanggupan
kepada An Lu Shan bahwa apa bila tentara pemberontak itu memasuki kota raja,
mereka diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam supaya pembobolan benteng
kota raja dipermudah!
Menteri Lu
Pin dapat membuka rahasia mereka ini. Dengan hati sangat berang, menteri yang
setia ini segera menghadap kaisar dan membeberkan semua rahasia para menteri
yang berkhianat. Kaisar sangat marah dan baru sadar akan keadaan yang memang
amat berbahaya.
Segera dia
memeritahkan pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para menteri dorna itu
dan menghukum penggal kepala sekeluarga mereka! Sesudah melakukan hal ini,
kaisar lalu menggerakkan barisan untuk mempertahankan kerajaan.
Akan tetapi,
hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang sudah amat terlambat bagi
penyakit yang berat. Dengan dihukumnya para menteri, keadaan menjadi semakin
kalut dan lemah. Kalau saja Kaisar Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para
menteri itu belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan masih dapat diharapkan
akan tertolong.
Terlambatlah
semua usaha kaisar ini. Barisan pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan
memasuki kota raja! Pertahanan kaisar hancur luluh!
Dalam
kekacuan yang menghebat ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu
Shan. Tentu saja An Lu Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin inilah yang
sudah menggagalkan rencananya menghubungi para menteri, dan bahwa Menteri Lu
Pin yang membuka rahasia para menteri pengikutnya sehingga para menteri dorna
itu sekeluarga dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Karena itu, begitu memasuki
kota raja, An Lu Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama
mencari Menteri Lu Pin dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya!
Akan tetapi,
atas desakan keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang sudah melarikan diri,
mengungsi dengan dikawal oleh pasukan panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu
Pin mengumpulkan harta benda dari istana dalam satu peti besar, bukan dengan
niat hendak mempergunakan harta benda itu untuk dirinya sendiri, akan tetapi
dia bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu supaya jangan terjatuh
ke dalam tangan pemberontak dan kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai
pasukan yang akan dipimpinnya untuk memukul mundur para pemberontak itu!
Kota raja
diduduki, dan sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga,
dari yang tua sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu
Shan! Bahkan Lu Seng Hok, puteri Lu Pin atau ayah dari Lu Thong sekeluarganya
juga dibasmi dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para bujang pelayan! Hanya
Lu Thong seorang yang sedang dibawa pergi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yakni
gurunya, yang tidak ikut menjadi korban.
Lu Pin
mendengar tentang berita ini dan di sepanjang jalan, kakek ini menangis keras,
bukan semata-mata karena menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Memang kakek
ini memang berjiwa patriot dan sangat setia kepada pemerintah, maka sambil
menangis ia bersembahyang dan bersumpah bahwa ia akan menuntut balas kepada
pemberontak An Lu Shan! Melihat kesetiaan ini, tiga orang panglima besar yang
turut mengawalnya bersama pasukan kecil, ikut pula menangis.
Akan tetapi
An Lu Shan ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia sudah dapat
mendengar ke mana larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim
pasukan besar untuk melakukan pengejaran terhadap Lu Pin serta rombongannya!
Tiga hari kemudian, benar saja pasukan gerak cepat ini berhasil menyusul
rombongan Menteri Lu Pin.
Terjadilah
pertempuran hebat. Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan
mati-matian, namun jumlah pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di
antara mereka roboh. Akhirnya hanya tiga orang panglima besar itu saja yang
masih sempat menggendong Menteri Lu Pin dan membawa peti harta dan melarikan
diri.
Namun tentu
saja para pengejar yang telah mendengar bahwa menteri tua itu membawa sepeti
harta benda yang tak ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga
orang panglima ini mempunyai kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa
pergi Menteri Lu Pin. Namun, kalau mereka sampai tersusul, menghadapi
pengeroyokan yang demikian banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan diri?
Sudah sehari
semalam mereka melarikan diri, terus dikejar oleh barisan pemberontak.
Akhirnya, pada esok paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat
liar, kuda-kuda yang ditunggangi oleh tiga orang panglima yang membawa lari
Menteri Lu Pin, roboh dan tewas saking lelahnya. Padahal para pengejar sudah
begitu dekat hingga suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.
“Kita
terpaksa melawan mati-matian!” berkata tiga orang panglima yang gagah berani
itu.
Menteri Lu
Pin mengalirkan air mata. “Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku
seorang, padahal bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan
tak berharga ini. Sam-wi Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi
harta ini dan usahakan agar supaya dapat dibentuk pasukan baru guna menumpas
penjahat An Lu Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita. Biarkan aku
mereka tangkap, aku tidak takut mati.”
Namun tiga
orang panglima itu menolak. “Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga.
Tanpa adanya Taijin yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk
pasukan besar? Tidak, Taijin, kalau sudah semestinya kita mati, biarlah kita
bersama-sama mati di tempat ini! Namun kami berjanji bahwa penjahat-penjahat
itu takkan mudah begitu saja untuk merenggut nyawa kita!” Sambil berkata
demikian, tiga orang panglima itu segera mencabut golok besar mereka dan
menanti dengan penuh semangat.
Maka
datanglah para pengejar itu dan mereka menyerbu bagai taufan mengamuk! Tiga
orang panglima perang itu menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah.
Mereka merupakan benteng segitiga yang amat kuat sehingga para pemberontak yang
terdekat segera terjungkal mandi darah akibat terlanggar golok mereka yang
tajam dan kuat.
Hebat sekali
perang tanding yang tidak seimbang ini. Datangnya pemberontak bagaikan semut
dan tak lama kemudian, tiga orang panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai
menerima bacokan yang mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan
banteng-banteng terluka!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment