Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 15
KETIKA mulai
berusaha membuka belenggu, Kwan Cu melihat betapa bibir yang tebal itu
tersenyum ramah. Agaknya orang hitam besar ini amat gembira melihat Kwan Cu
sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya dari pada belenggu.
Akan tetapi,
dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang
sehingga tenaga Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang
kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke
air.
Akan tetapi,
segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat
mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik
kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
“Bodoh!
Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh
jadi tak tenggelam ke air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu
terlalu dalam.”
Hampir saja
dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar
otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya
akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari
atas perahu amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia mengerahkan tenaga,
perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
“Mari kita
mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah
pantai. “Di sana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”
Akan tetapi
raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang
lengannya yang terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua
tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan
Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas.
Akhirnya dia
mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya
seperti batu karang. Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai
landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu,
menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua
kakinya hanya sampai di perut!
Cepat-cepat
Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan
protes dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika
dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
“Yoleihi,
yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu
bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu,
raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya
yang kuat.
“Tolol, dia
begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya
terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke
darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung
perahunya ke darat.
Setelah dia
sampai di daratan, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini
menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya
memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli.
Setibanya di
darat, ternyata bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang
kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah
sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali.
Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang
lengannya pun masih terbelenggu!
Ketika Kwan
Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk
menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu
mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah
belenggu itu.
“Yoleihi,
yoleihi…! Dasa alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum
sekali. Dia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan
sekali renggut telah berhasil mematahkan belenggu dikakinya.
Akan tetapi
Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak
mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya
di dalam cahaya bulan.
Pertama-tama
dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di
hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya,
tetapi dia tetap merasa terkejut melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua
setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot
memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali.
Rambutnya
hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup
tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang
tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang
luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa.
Raksasa itu
memandang ramah kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang
tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan
tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia
lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya.
Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.
Dengan
demikian besar sekali kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat
makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan
siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya kemudian
membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh
orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah
kepadanya ini.
Maka
berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang
jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di
pulau itu. Dari pohon-pohonnya, semua tanamannya, sampai rumput dan batu,
bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang
lebih tiga kali ukuran biasa!
Yang
mengherankan hatinya, walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini
tidak lebih keras dari pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan
parau. Ada pun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia
memandang kepada ‘orang kecil’ ini dan sering tertawa bergelak dengan nada
geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.
“Kau mentertawakan
aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di
duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar
mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat
manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”
Biar pun
Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti?
Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa
Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.
Akan tetapi,
ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar,
raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar
langkah orang biasa, akan tetapi karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat,
dia sama sekali tidak tertinggal.
Raksasa itu
penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja
Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikit pun juga. Raksasa itu
mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya,
bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya!
Akhirnya
tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah
kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh
rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat.
Raksasa itu
tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu
tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di
tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang
dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku
bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain
dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan
siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau
berpohon putih yang tengah dicari-carinya.
Dusun itu
mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya
sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh
dengan rumah-rumah model pesisir timur Tiongkok. Tetapi pada malam hari itu,
agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan oleh penghuninya dan
ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di
tengah-tengah dusun itu.
Melihat
bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong. Bukan main besar serta kokoh
kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya
bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga
lampu-lampu gantung yang digunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di
dusun itu terbuat dari pada kayu.
Sebagai
pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat ditembusi
oleh sinar api. Nyala api lampu tetap terang, karena ternyata bahwa orang-orang
ini pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!
Raksasa itu
membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang
laki-laki dan perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar.
Mereka duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di
mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.
Ketika
raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan
terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat para
orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang
menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang
wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan bagai melihat setan!
Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut.
Raksasa itu
mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang sangat
berpengaruh seakan-akan sedang menghibur. Sesudah dia selesai berkata-kata,
semua orang lantas berlutut di hadapannya.
Dari
rombongan wanita, mendadak berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh
tinggi ramping dan berwajah halus. Dia boleh dibilang cantik, biar pun kulitnya
kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan
dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis,
gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya lalu berpelukan.
Kini semua
orang yang berada di situ nampak girang. Timbul senyuman di wajah mereka yang
rata-rata membayangkan kejujuran.
Tiba-tiba
saja seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu.
Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini.
Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi
suara ketawa geli. Kaum perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa
terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu.
Kwan Cu
menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam
kegemasannya dia pun lupa akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku
bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada
disini terlalu lama.”
Sambil
berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ. Dia tidak sudi dijadikan
bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan
tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan
mencegah dia keluar, lalu raksasa ini mengangkat tangannya memberi tanda kepada
semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.
Agaknya dia
kini menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah
menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah
Kwan Cu dengan kagum sekali.
Dan
tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati
Kwan Cu, mempergunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang
itu untuk memeluk Kwan Cu kemudian... mencium hidungnya!
Hampir saja
Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus,
melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah
sampai telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita
yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di
selimutkan dari pundak menutup leher sampai ke lutut, datang mengerumuninya.
Dia sudah
merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan
menciuminya. Tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya
mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung
dan gelang dari emas tulen kemudian memberikan perhiasan itu padanya sebagai
tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Kwan Cu menolak
semua hadiah itu dengan halus.
Raksasa
hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan
bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di
ruangan ini diadakan pesta untuk menghormati raja dan Kwan Cu!
Pemuda ini
mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti
kepalanya. Ada juga yang agak putih walau pun bagi bangsa Han masih termasuk
hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam
manis.
Meja
sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, kini dibawa pergi dan sebagai
gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini,
Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain
berwarna yang digunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu,
terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan
dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Ia segera
membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga
memandangnya dengan heran. Pada waktu Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu
seakan-akan bertanya, raja para raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan
tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu.
Kwan Cu
kemudian membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk
memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan
jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan
lweekang-nya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang
berbunyi.
‘Apakah kau
dapat membaca tulisanku ini?’
Raja raksasa
terkejut sekali nampaknya, lalu berteriak keras. Semua orang yang sedang sibuk
membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan
perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu.
Tampak
mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Salah seorang
di antara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing beserta
lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang
amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit
pohon.
‘Tentu saja
kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kita sama, hanya saja suara
bacaannya yang bikin berbeda.’ Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati
Kwan Cu.
Pesta
dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar
girang, membuat dia mengilar akan tetapi baru melihat saja dia sudah merasa
kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau
sedap.
Kini dia
dapat ‘bercakap-cakap’ dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan
dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia
yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah
seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang tadi
menangis sambil memeluknya, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan
Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya!
Suku bangsa
raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa
yang sudah disangka lenyap dari daratan Tiongkok. Mereka sudah hidup sampai
beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat
sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi
mereka, sesudah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka
dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.
Di antara
para pembantunya terdapat dua orang raksasa lainnya yang dalam kepandaian
bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit saja oleh Lakayong. Dua
orang ini bernama Wisang dan Kasang dan oleh Lakayong kemudian diangkat menjadi
pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.
Akan tetapi
telah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mereka
mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apa lagi ketika dua orang itu
bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka
makin menaruh hati dendam.
Bangsa Kuyu
mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap
kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja
selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa
bulan demi kebahagiaan bangsanya.
Pada malam
hari kemarin, seperti biasa, Raja Lakayong mandi di laut untuk memenuhi
peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia
diserang oleh kedua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja
mereka bertempur di darat, agaknya biar pun dikeroyok dua, Raja Lakayong tidak
akan kalah.
Akan tetapi
pertempuran di air amat melelahkan. Dia sudah mulai tua ada pun lawannya masih
muda dan pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan
dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar.
Kemudian
Wisang dan Kasang berlari ke darat, lalu memberi tahu kepada semua orang bahwa
ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan
mereka berdua telah berusaha untuk menolong akan tetapi tak berhasil, dan
sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena
pukulan Raja Lakayong yang melawan secara hebat sebelum dia dikalahkan!
Semua orang
menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan
sampai sehari semalam. Ada pun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak
kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih sangat percaya akan takhyul dan
mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih
berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya!
Karena itu,
selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan terus bersembunyi di dalam
sebuah goa yang gelap agar supaya arwah dari Raja Lakayong tak dapat mencari
mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong mendadak muncul pada malam hari
itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja
Lakayong pada Kwan Cu.
‘Baiknya
Dewa Air masih melindungiku,’ Raja Lakayong menutur selanjutnya, ‘sehingga
ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku
dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar
tidak terguling, karena sekali aku terguling, tentu aku akan mati. Kebetulan
sekali kau datang, sahabat baik, dan aku pun lalu tertolong.’
‘Di mana
adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!’ tulis
Kwan Cu dengan gemas.
Lakayong
tertawa bergelak.
‘Kamu
mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,’ tulisnya. ‘Akan tetapi kau tidak
tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya
aku yang mampu menandingi mereka, itu pun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat
sekali, apa daya orang kecil seperti kau?’
Pada saat
kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu
dibaca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu
saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
‘Kau kecil
dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,’ tulis gadis itu
dengan tulisan tangannya yang halus.
Kwan Cu
merasa mendongkol juga karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
‘Biar pun
aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!’ tulisnya.
Sesudah
semua orang membacanya, tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar.
Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan
telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
‘Dia bilang
apa?’ Kwan Cu menulis.
Akan tetapi
Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa segan untuk
‘menerjemahkan’ kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan
kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan
jawabannya tanpa peduli kepada ayahnya yang tampaknya melarangnya.
‘Dia seorang
kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual. Seorang
laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani membuktikan
omongannya itu pula.’
Membaca
jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Semua orang itu tidak bisa mengikuti
gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat
pemuda kecil itu sudah berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan
sedang bertolak pinggang seperti menantang.
Raksasa muda
itu tertawa sambil mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu agar
duduk kembali. Dorongan itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya,
menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk.
Tetapi
dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak. Secepat
kilat, dari samping dia menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan
kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu
berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia lantas jatuh tersungkur dengan hidung
lebih dulu!
Orang-orang
tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan
memujinya.
Raksasa itu
bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah.
Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu maju menyerang, kini
dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari
kiri dan kanan.
Serangan itu
dahsyat sekali. Akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah
saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai
angin kosong. Raksasa itu terheran-heran ketika kedua tangannya memukul angin,
maka dengan bernafsu ia menubruk lagi, kini dengan tubuh membungkuk seperti
seekor lembu jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu
berpikir, bahwa kalau dia belum memperlihatkan kelihaiannya, tentu dia akan
dipandang rendah oleh orang-orang ini. Karena itu dia menanti kesempatan baik.
Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, dia
bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala
lawannya!
Semua orang
tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia
kehilangan lawannya.
“Bocah
cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriaknya dengan bahasa yang tidak di
mengerti oleh Kwan Cu.
Akan tetapi
orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang
disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu!
Kwan Cu
tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan gerakan yang cepat sekali dia
menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Dia
melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu
menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan
raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan
menangis keras!
Semua orang
menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung serta ditanyai, akan tetapi ia tidak
menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan
darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar
tanpa dapat dicegah lagi. Ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci
Tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!
Liyani
segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia
berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk lagi. Tapi Liyani
menghampiri dirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
‘Kau apakan
dia?’
Kwan Cu
tersenyum dan membalasnya dengan tulisan.
‘Tidak
apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya. Kau minta agar dia menarik lagi
kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!’
Sambil
tersenyum gembira gadis itu berlari-lari ke arah raksasa yang masih menangis
bergulingan bagaikan anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa
itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.
‘Dia sudah
kapok dan minta ampun.’
Kwan Cu
merasa kasihan. Ia segera menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan
mengurut punggungnya! Lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan
Cu, kemudian beranjak pergi dari situ dengan malu.
Kwan Cu
duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening,
lalu menulis,
‘Kau
mempergunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir). Aku tidak suka akan ilmu curangmu
itu, lebih baik mengandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.’
Kwan Cu
dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka dia lalu
menulis dengan panjang lebar.
‘Tidak ada
kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga.
Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu
jujur dan adil namanya? Sama saja dengan seekor kelinci disuruh menghadapi harimau!
Tenagaku jauh lebih kecil, oleh karena itu aku harus menggunakan akal. Aku tadi
juga menggunakan pukulan, akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang aku
tujukan pada bagian yang menyakitkan.’
‘Tubuhnya
kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit,’ bantah
Lakayong.
‘Kau
keliru,’ jawab Kwan Cu. ‘di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah.
Bila kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok
bagian lututmu ini sendiri.’ Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan
lutut raksasa itu.
Sambil
tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu. Dia pun berseru
kesakitan sambil secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang
menendang karena uratnya yang amat perasa telah tersentuh. Dengan rasa
terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali hingga akhirnya Kwan Cu
melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
‘Jika kau
menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin dia tak akan roboh. Akan tetapi
jika kau memukul agak ke bawah hingga mengenai sambungan lututnya, pasti ia
akan roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?’
Lakayong
kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
‘Mungkin aku
akan menghadapi salah satu di antara kedua orang penghianat itu. Mereka masih
muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga sehingga aku perlu
mengetahui rahasia tubuh ini,’ katanya.
Kwan Cu
segera memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul
sambungan siku dari pada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak
dari pada mengenai dada, dan memberi petunjuk bagian berbahaya yaitu leher, ulu
hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir
sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
‘Di mana
adanya dua orang jahat itu?’ tanyanya.
‘Mereka
bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus,
mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok pasti akan menghadap juga.’
‘Apa yang
akan kau lakukan terhadap mereka?’
‘Kau akan
melihat sendiri besok,’ Lakayong menjawab sambil tertawa. ‘Yang sudah pasti,
mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.’
Ada pun
Liyani yang suka sekali kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa
mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan
Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat
mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah
dia bercakap secara langsung dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi
gembira sekali.
Melihat
suling yang ada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang
aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang
yang tadinya sudah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang
dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.
Ada pun
Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang
menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan
pinggang bergerak, semacam tari perut!
Atas
kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk
memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang
bersih di dalam gedung besar itu, berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan
kamar puterinya.
Sebentar
saja Lakayong telah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa amat lelah,
tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak
dan segar. Terlebih dahulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan
pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada
keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di
dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan
kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki
kamarnya.
Gadis itu
telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan
bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, bagai seorang gadis remaja
memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari
pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan
seperti celana anak kecil saja!
Ketika
melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio,
Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.
“Jangan
sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang
bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu pada pagi hari, Kwan Cu
harus mengakui bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya.
Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu
nampak penuh dan manis.
“Kenapa tak
boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tak merasa tersinggung.
“Karena
benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuh
benda itu, maka tanganmu akan menjadi hangus.”
Liyani
menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
“Kau orang
aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka kepadamu, suka
sekali padamu.” Setelah berkata begitu gadis itu keluar dari kamar,
meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali.
Pemuda ini
baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang
cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang
dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat
dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh
sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita
pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum serta makanan, menyediakan
semua itu sambil tertawa-tawa seolah-olah menghadapi sesuatu yang lucu.
Kwan Cu
mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah bila terlalu lama tinggal
di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil
dari pada penduduk di sana akan membuat dia kelihatan sebagai makhluk yang
sangat aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun,
minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu
lezat sekali, semacam kue yang manis.
Tak lama
kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara
kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.
Kwan Cu
mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara
Kwan Cu, mari kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata
Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu.
Ketika
mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan
bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat
sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu
berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah barat di mana terdapat sebuah
telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang
kebiruan itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan
sekali-kali muncul kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran
dan merasa ngeri.
Kepala
binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya
seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan
tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di
belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?
Lakayong
mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan
agaknya sudah sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh
orang itu duduk di sebelah kiri.
“Sudah
siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.
“Mereka
sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja,
tidak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka
berjalan berdampingan bagai dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba
mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
“Kalian
sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di
antara kalian berdua tiada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian
harus mendapatkan kemenangan dalam pertandingan di atas batu jamur. Yang kalah
menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”
“Kami
mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah
Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang
pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar, kemudian dua orang raksasa
muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa
di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti
jamur besar. Tahulah dia bahwa kedua raksasa muda itu harus bertanding di atas
batu karang itu.
“Apakah
mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.
Raja raksasa
itu mengangguk dengan tersenyum.
“Benar, merekalah
para pengkhianat itu. Sayang sekali, sebenarnya mereka merupakan dua orang muda
yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”
“Masih lebih
baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur dari pada memiliki
pembantu cakap akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.
“Kau betul
sekali, saudaraku, cocok sekali dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku
menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam
Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman
seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan
bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah
anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan diberi
kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!
“Bagaimana
kalau dalam pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.
“Aku akan
kalah? Tidak mungkin. Apa lagi sesudah mendapat petunjuk darimu tentang
bagian-bagian tubuh yang lemah, meski pun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan
dapat merobohkan mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.
“Akan
tetapi, andai kata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.
“Kalau aku
kalah? Tidak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan
Liyani.”
Kwan Cu
tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja
raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Jika dia mau, bukankah
dengan mudah dia bisa saja menyuruh tangkap dan bunuh kedua pengkhianat itu?
Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, hati
Kwan Cu menjadi penasaran.
“Bukankah
Liyani sudah menolak pinangan mereka?”
“Karena
Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak
suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”
Percakapan
berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang
disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan menggembung mereka lalu
merayap naik ke atas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap
seperti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal.
Selain
sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga
sudah siap sedia menunggu dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di
sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak akan
ada pertolongan lagi.
Setelah
kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka lalu berdiri
berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan.
Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari
gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling
bertaruh untuk jago masing-masing.
Matahari
telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di
pinggir telaga termasuk Liyani yang mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu.
Ada pun raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan
gembira sekali.
Pertandingan
di atas batu jamur jarang sekali diadakan. Semenjak dulu, sudah beberapa
keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk pertandingan bagi
calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu
itu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalau ada yang kalah dan jatuh ke
bawah, dia tidak akan dimakan singa telaga karena dapat melompat ke perahu.
Berbeda
dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat
hukuman, maka setelah dua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya
perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur,
disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di
dalam perut singa telaga!
Kemudian
Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang
raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu
bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat
kepadanya.
Sebelum dua
orang raksasa itu tadi menghadap raja, pada malam harinya mereka telah
mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian.
Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang
bahwa yang mendatangkan mala petaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah
Kwan Cu. Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa biar pun kecil, pemuda asing
itu mempunyai kepandaian bertempur yang mengherankan, dua orang raksasa muda
itu menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran
yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama
tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat
tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur.
Memang amat
mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak
seberapa lebar dan sekali sudah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti
maut menjadi bagiannya!
Kwan Cu
melihat betapa dua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga dari
pada otak. Mereka memiliki kekuatan, dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot
tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan
dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu.
Diam-diam
Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang
anak-anak yang bergulat saja. Apa bila dia yang maju, dia percaya bahwa dalam
beberapa gebrakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.
Para
penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Kadang-kadang Wisang
tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya
sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa
gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara
kedua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali
menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
“Kau betul,
saudaraku. Mereka tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul atau
menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja.
Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang
kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ahhh, aku
girang sekali karena sekarang terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka
tanpa menghabiskan tenaga!”
Akan tetapi
pemuda itu tak segembira Lakayong, bahkan Kwan Cu memandang ke arah pertempuran
dengan kening berkerut. Matanya yang tajam itu dapat melihat hal-hal yang aneh
dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik
sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup
untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan.
Benar-benarkah
mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin! Hanya ada satu jawaban untuk
memecahkan pertanyaan ini, yaitu bahwa dua orang itu tidak berkelahi sesungguh
hati!
“Mereka
hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan
sesungguhnya!”
Lakayong
tertawa dengan bergelak. ”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang sedang berkelahi
mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa
mereka itu hanya main-main saja? Ha-ha-ha!”
“Jangan kau
menertawakan aku, Raja Lakayong, tapi aku berani bertaruh bahwa sampai matahari
tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”
Akan tetapi
Lakayong tak percaya dan demikianlah, pertempuran terus dilakukan dengan
hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah
senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka
lalu pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus
melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki yang
turut pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan
tujuh orang pembantu saja.
Tidak lama
kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu
dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton
pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan
sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya.
Raja
Lakayong maju. Dia menepuk-nepuk pundak Kwan Cu, lalu merangkul pemuda itu
dengan tangan kirinya sambil berkata,
“Dugaanmu
tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang
kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus
dihukum.”
Kwan Cu
tidak menjawab. Dia tahu bahwa percuma saja apa bila dia hendak berkukuh menyatakan
bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini
terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka
tidak dapat pula membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.
“Pertempuran
terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia
berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.
Pembantu-pembantunya
mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu lalu diperintahkan
supaya menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok
pagi.
Dua orang
raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh
peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka segera dibawa ke pinggir
telaga dan Lakayong berkata,
“Besok
pertandingan kalian dimulai lagi pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian
boleh beristirahat.” Raja ini lalu memberi perintah supaya kedua orang jago ini
dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa
Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena memang kedua
orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud
saling mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak
lebih cerdik.
Mereka
maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menang dan harus menghadapi
Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang sangat kuat
itu. Karena inilah mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling
mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!
Sementara
itu di dalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu
dikawani oleh Liyani.
“Mereka
benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.
Kwan Cu
merasa tidak ada gunanya untuk membantah dan sejak tadi dia memutar otak untuk
memecahkan masalah itu. Dia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua
orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
“Raja
Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai kedua orang itu tewas, bukan?
Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang
cakap?”
“Mengampuni
tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”
”Bukan
mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu
jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi
keinsyafan bahwa kau jauh lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal
untuk menundukkan mereka.”
“Bagaimana
maksudmu, saudaraku yang baik?” tanya Lakayong.
“Begini,”
jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi
suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari
dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu. Aku akan memberi hajaran
kepadanya sampai dia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi
hajaran. Apa bila mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk
menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”
Lakayong
mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang
yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan
merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa
muda itu, sungguh pun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk
menbunuhnya.
Rakyatnya
membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka
mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di
antara semua penghuni pulau itu.
“Baiklah,
besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani
sambil bertanya, “Liyani, dulu kau menolak pinangan kedua orang muda itu.
Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara mereka berdua? Menurut
pandanganmu, siapa di antara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”
Biar pun
pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu
akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, akan tetapi Liyani tidak merasa
malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya dan mengejek. “Wisang?
Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya.”
“Kalau
Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.
“Dia cukup
halus dan baik, akan tetapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan
Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
“Akan tetapi
kenapa?” Lakayong mendesak pula.
“Dia pernah
kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan
pandai dari pada kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja. Kembali gadis ini
tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.
Celaka dua
belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh.
Mana bisa Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat
menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biar
pun dia seorang bertubuh kecil, tapi dia telah memperlihatkan kepandaian dan
agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan
ayahnya!
Ada pun
Lakayong sesudah mendengar jawaban puterinya itu, lalu tertawa bergelak dan
berkata,
“Anak bodoh!
Agaknya kau tak akan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”
Liyani tidak
menjawab, lalu tak lama kemudian dia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan
pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
“Ia seorang
anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,”
berkata Lakayong memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi
isteri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”
“Biarlah
besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari
akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.
Lakayong
memandang dengan muka kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa sudah mengirim
kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Walau pun semua akal dan caramu
belum dijalankan, aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian
akan berhasil. Aku berterima kasih kepadamu.”
“Tidak apa,
Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap
yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau beserta rakyatmu
adalah orang-orang jujur, satu sifat yang paling kukagumi di antara sifat-sifat
yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”
“Kalau saja
aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang
sekali, saudara Kwan Cu.”
Hampir saja
Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi pemuda ini masih sempat menahan
lidahnya.
“Memang ada
sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat
membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dahulu dan akan kuceritakan
kalau urusanmu ini sudah beres,” jawabnya.
Kemudian
mereka mengaso.
Pada
keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti
kemarin, dia melihat Liyani sudah berada di kamarnya. Dia merasa menyesal
mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tidak ada pintunya, kalau ada
akan ditutupnya rapat-rapat supaya jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat
seorang gadis berada di kamarnya, meski pun gadis itu seorang gadis raksasa
membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
“Nona
Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.
Biasanya dia
menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan
jengah mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut
‘Nona’. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi
dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.
“Eh, saudara
Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya
yang lebar bening.
“Ohh, ya,
aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum
menikah,” jawabnya.
Liyani
mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang
ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan
menyenangkan.”
Kwan Cu
terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur
begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti
wanita? Apa maksudmu?”
“Atau
seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini.
Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti
anak-anak.”
“Hemm...”
Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak
dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang...
aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan
sebal.
Ia lalu
melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya
itu. Dia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena
kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada
pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat
merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil
tersenyum dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak,
saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau
kecil sekali, akan tetapi gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa
agaknya kau masih keturunan dewa.”
“Gila!” kata
Kwan Cu makin gemas.
“Aku pun
tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang
bertubuh kecil. Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu.
Ehh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di
antara Wisang dan Kasang?”
“Kau
mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.
Liyani
cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu
sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti
seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
“Belum
menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu
menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh,
kurasa takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya
hanya bertanding pura-pura belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat
yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan
terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut
pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”
Diam-diam
Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan
kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan
darinya dalam hal memilih jodoh!
“Hemm...
Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut
keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat.
Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi
dengan hati-hati.
“Wisang
orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis
kepadanya,” kata gadis itu cemberut.
“Kalau
begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia
lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar
bagiku.”
“Apakah ada
orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena
siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua
pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang,
sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti
engkau!” gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu
sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian
gadis aneh ini?
“Aku
kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani
menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh
sebesar kami, tak akan susah payah aku memilih calon jodohku.”
Berdebar
hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut
berada berdua saja dengan gadis ini.
“Akan tetapi
walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil
berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.
Pemuda ini
sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air
pencuci muka dan makanan pagi.
“Baginda
menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan
pertandingan,” kata pelayan itu.
Setelah
pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi
Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan,
kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun
yang besar sekali.
Benar saja,
di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika
Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan
Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di
dekat Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini
benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang
telah menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya
pemuda itu hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi
mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi
aba-aba sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat.
Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua
ekor harimau bertarung.
Akan tetapi,
belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini
sedang main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang
menonton di situ, termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang
kena diakali.
Kwan Cu
menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah
gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara
pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.
Wisang
menjura kepada Lakayong dan berkata, "Aku dan Kasang mempunyai kekuatan
dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu,
sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah,
biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!"
Kini tahulah
Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan
lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam
kemarahannya Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan
suara kaku,
“Kalian ini
orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja
tak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja
hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”
Wajah Wisang
serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi
Kwan Cu dengan mata mendelik.
“Saudara
Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka
berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah
dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.
Memang tubuh
Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang
raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali.
Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi
Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka,
ini menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu
kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski
pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
“Tidak!
Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”
Wisang
menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang
diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam
kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan
bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami
secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan
yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”
Panas dada
Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja
Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini
dan memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan
Cu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,
“Kalian
majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak
berpura-pura seperti tadi!”
Wisang
tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha!
Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang
kami berdua?”
“Manusia
sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong.
Jangankan baru kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi
sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”
“Setan
kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.
Dia segera
menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu,
menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak
dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar
ke perut Wisang yang besar.
“Ngekkkk!”
Tubuh Wisang
yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua
tangannya memegangi perut.
“Aduh… aduh…
bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa
mulas sekali.
Semua orang
yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan
memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus,
bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil
bertepuk tangan.
Suara ini
menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit
berdiri lagi dan kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya
berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu
sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan
bulat-bulat oleh raksasa itu.
“Majulah,
majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi
dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.
Sambil
menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga
merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor
burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia
terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.
Beberapa
kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap
dan meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu
mengeluarkan kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi,
ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali
namun baginya amat lambat itu.
Setelah
menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani
menyoraki dan menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan
seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum
bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka
merubah siasat mereka.
Kini mereka
tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali
saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil
itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!
Akan tetapi
betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur
hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan
Cu yang sudah menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?
Menghadapi
semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to
(Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit,
dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya
sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada
di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Dia sengaja
tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk
memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan
hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan
kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.
Dia mengelak
sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup
keras sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak
cukup keras untuk merobohkan mereka.
Bahkan dalam
kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat
tingi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik
hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Dipermainkan
secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula
surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum,
heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila
dibuatnya.
“Iblis
kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan
Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan
membentak,
“Setan
cilik, aku patahkan batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha!
Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang
raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku,
ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”
Wisang lalu
menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan
mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat
adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!
Liyani
menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali.
Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan
dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda
yang kecil itu!
Akan tetapi,
ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya,
tiba-tiba saja Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Dia sudah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur
Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet
Pulang ke Sarang).
Kegesitan
tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari
tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan
serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan
Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.
“Blukk!
Blekk!”
Terdengar
suara keras, disusul oleh jeritan mereka.
“Celaka!”
“Aduhh…!”
Keduanya
terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh
tangan masing-masing.
Liyani
tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga
tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi,
sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari
batu yang didudukinya!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang
terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah,
begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya
pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek.
Tanpa
berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin
ganas dan marah. Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka,
makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua
orang itu saling pukul dan saling tendang.
Bahkan satu
kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh
Wisang! Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas,
bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi
tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan
dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga
menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja
agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.
Akan tetapi,
sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu
merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua
kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang
ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!
Dua orang
raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru,
sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah
tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi.
Kini dengan
mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk
maju dan dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling
cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul
sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan
terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu
menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan
kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke
dua raksasa itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala
mereka satu kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!”
Dua buah
kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.
“Aduuuuuuuh…!”
Ketika Kwan
Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak
bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang
besar dan biru!
Ramailah
sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata
yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan
tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan
Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini
bergerak memukul ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini
terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa
tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, ehh,
ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku amat
kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali
mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan
cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang
raksasa muda itu.
Kwan Cu
dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan
kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan
dan belum merasa puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri.
Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di
negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya
dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi
girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan
sekarang semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang
berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada
kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan
Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika
terkena pukulan dahsyat ini.
Namun, semua
gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali
dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak
menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan
Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.
Akan tetapi
dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong
dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka
ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran
berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san,
menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.
Tiba-tiba
Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia
roboh perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih
kembalilah kesehatan Raja itu.
Untuk
sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia
mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara
Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para
penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon
raja kita!” mereka bersorak-sorak.
Liyani
berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga
tingginya sama dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan
Cu cepat memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget
setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih
kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika
mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah
calon jodohku!”
Mau rasanya
Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya
menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak,
tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang
karena Kasang lebih kuat dari pada Raja !”
Semua orang
terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata,
“Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku
tak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai
untuk menjadi jodohnya.”
“Itu bukan
alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku
mau menerima penolakan ini!”
“Alasan
jujur yang bagaimanakah?”
“Pertama,
kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau
menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan
sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu
menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia
berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci
Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak
membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di
sana akan memusuhinya.
Untuk
mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan
tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah
berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak
membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah
mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba
Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan
berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai
calon jodoh yang besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar
yang gagah seperti Kasang.”
“Calon
jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air
matanya.
“Tentu saja,
aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia…
apakah dia suka padamu?”
“Tentang
itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah
dia?”
“Cantik
sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”
“Siapa
namanya?”
Tak
disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti.
Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat
menjawab.
“Siapa
namanya?” Liyani mendesak.
“Namanya…
apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”
“Kalau
begitu kau bohong!”
Kwan Cu
terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid
Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun
Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika
dia berkata demikian.
Kembali
Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi
jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa
bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik
sekali.
Pada waktu
itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan
percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan
hendak dijodohkan dengan Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba
menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak
bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran,
amat berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang
melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai
Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun
kembali. Tulang pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan,
namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau
menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak
tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan
kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.
Ada pun
Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara
Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja,
akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi
muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”
Sesudah Kwan
Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu
menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa
sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan
raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.
“Liyani suka
kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu
suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah
kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.
Mengertilah
Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran
apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak
mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu
sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang
telah kena bujukan Wisang yang jahat.
Demikianlah,
atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja
Lakayong dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya
disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong
melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang
sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan
ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk
melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil
berkata,
“Ah, setelah
menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku
menerima kalah!”
Kasang
segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon
ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk
kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong
berpaling kepada puterinya.
“Liyani, kau
sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa,
keputusannya terserah kepadamu.”
Terdengar
sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”
“Bagus!
Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira
sekali.
Liyani
memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu
menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya
tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat
Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang
aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong
mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi,
saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya.
Kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya
ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang
ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan
di mana letaknya?”
Lakayong dan
Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?!” seru
Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu
memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau
itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih.
Tahukah kalian akan pulau itu?”
“Benar, yang
kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan
saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan
sering kali mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila
kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh
sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di
sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah
laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang
mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan,
saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak
saudara-saudara kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh
dilalui manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan
maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau
mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja
yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong
menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil
menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya
sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali
setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur
pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”
“Terima
kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang
baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi
ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.
Ketika
penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka
mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak
nampak bayangan Liyani.
Kwan Cu
menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik
dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh
taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah
Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas
pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah
merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat
tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...”
berkata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan
tenaga lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang
mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba
terdengan seruan suara nyaring.
“Saudara
Kwan Cu…!”
Kwan Cu
menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang
dikendarai oleh... Liyani!
“Ehh, kau
Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja
menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan
Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan
melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi
bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”
“Kau telah
menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan
Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka?
Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”
Kwan Cu
menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke
perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat
masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah
baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku
sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab
kita tidak sesuai, dan di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan
seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami
gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau
menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa
lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku
mempunyai calon jodohku sendiri.”
“Bun Sui
Ceng...?”
Kwan Cu
tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani!
Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.
“Kau tidak
bohong?”
Kwan Cu
menggelengkan kepala.
“Berani kau
bersumpah?”
Kwan Cu
melongo.
“Bersumpah?
Bersumpah bagaimana?”
“Bersumpah
bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa
kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu
menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang
manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang
memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu
gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku
baik kepadanya.
“Aku
bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia
menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia
berlaku sungguh-sungguh.
Liyani
menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua
tangannya dipentang lebar.
“Dengarlah,
dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah
saudara Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang
menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan
jodoh!”
Suara gadis
ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau
terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu,
saudara Kwan Cu.”
Biar pun
bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda
sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima
kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan
semua orang yang berada di atas pulaumu.”
Setelah
berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan
ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia
melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat
dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara
biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang
indah.
Kwan Cu
melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas
panjang, kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment