Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 14
KWAN CU
mengerahkan tenaga pendengarannya. Lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan
membujuk orang-orang yang ditahan di dalam goa itu untuk menyerah dan menurut
serta membantu perjuangannya!
Kwan Cu
tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu. Dia hanya tahu bahwa semua
orang yang ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An
Lu Shan hendak membujuk mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau
menurut, pada besok pagi goa itu akan ditutup untuk selamanya!
Kwan Cu
tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang
tokoh besar itu lalu keluar lagi dari goa dan pergi dengan cepat, setelah
memberi pesan kepada penjaga supaya berhati-hati.
Malam tiba
dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tidak lama kemudian
datang pula serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa
itu. Kwan Cu bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para
tawanan.
Ketika para
penjaga itu sedang bercakap-cakap, mendadak terdengar suara suling yang merdu.
Mereka terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara
suling begitu dekat?
Seorang di
antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba
dia roboh tak berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.
Penjaga-penjaga
yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah
dan memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa lalu berkata dalam
bahasa Han yang kaku.
“Barang kali
peniup suling itu adalah seorang wanita cantik dan si A-sam tentu sedang
bersenang-senang dengan dia!”
Dua orang
penjaga lalu pergi menyusul kawannya. Akan tetapi setelah sampai di sebuah
tikungan mereka ini juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.
Tiga orang
penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang ada dua orang kawannya lagi yang
sudah lama pergi tetapi tidak muncul kembali.
“Ahh, tentu
ada apa-apa!” kata seorang di antara mereka. “Lebih baik kita memberi tanda
rahasia agar kawan-kawan yang lain datang ke sini. Hatiku tidak enak…”
Akan tetapi
sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun
bayangan orang. Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan, kemudian
terdengar teriakan susul menyusul saat tiga orang penjaga termasuk si penjaga
raksasa itu roboh tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.
Pemuda ini
segera mengambil obor yang tadi terpasang di depan pintu goa dan berlari masuk.
Ternyata bahwa goa itu dalamnya sangat luas dan panjang, merupakan sebuah
terowongan yang amat gelap. Di sepanjang terowongan itu terpasang anak tangga
dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga
itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang.
Hmm, agaknya
lubang inilah yang disebut sumur maut oleh komandan yang mengancam dirinya
siang tadi, pikir Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah,
akan tetapi sia-sia karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah.
Terdengar
suara-suara orang di bawah dan Kwan Cu cepat bertanya,
“Saudara-saudara
yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!”
Sejenak
suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.
“Bagaimana
caranya kau dapat menolong kami?” Inilah suara laki-laki yang mengandung
semangat kegagahan.
“Berapa
banyak kawanmu?” tanya Kwan Cu.
“Kini yang
masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang
dan yang sudah hampir mati dua puluh orang lebih!”
Kwan Cu bergidik
dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi dia pun telah mencium bau yang
tidak enak, tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah
mati.
“Berapa
dalamnya sumur ini?” tanyanya pula.
“Kurang
lebih lima tombak!”
Kwan Cu
berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam
sumur itu ke atas sambil menggendong tubuh seorang.
“Dasarnya
tanah keras atau lembek?”
“Tanah keras
atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?”
“Kalian
minggirlah semua, biar ruang di bawah pada bagian tengah kosong, aku hendak
melompat turun!” kata Kwan Cu.
Kemudian
pemuda ini segera menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur
pernapasannya serta menyelipkan suling pada pinggangnya, Kwan Cu lalu melompat
ke dalam sumur, tepat di tengah-tengah dan berseru,
“Awas, aku
datang!”
Kedua
kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi
sedikit sekali oleh cahaya obor yang ada di atas sumur, dia melihat
bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak hitam menakutkan.
“Taihiap,
kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini,
bagaimana selanjutnya kau dapat menolong kami?” tanya suara yang tadi berbicara
ketika Kwan Cu masih berada di atas.
Orang ini
tubuhnya tinggi kurus, tetapi wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya
mengandung kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang
gagah di dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.
“Aku dapat
menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,”
jawabnya sederhana.
Terdengar
seruan kagum dan tidak percaya.
“Taihiap,
dapatkah kau melompat setinggi ini sambil menggendong seorang pula?” tanya
orang yang tinggi itu.
“Akan
kucoba!” kata Kwan Cu.
“Dan para
penjaga, di manakah mereka?”
“Sudahlah,
kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan
datang dan rencana kita gagal,” kata Kwan Cu habis sabarnya.
“Taihiap,
biarlah kau keluarkan aku terlebih dahulu. Dengan menggunakan ikat pinggang
yang disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”
Pikiran ini
baik juga. Kwan Cu kemudian menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan
melompat dengan kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkang-nya dan tanpa
banyak susah dia dapat mencapai pinggiran sumur.
Ketika orang
yang ternyata seorang laki-laki setengah tua itu melihat bahwa orang yang
menolongnya hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan
merasa kagum sekali. Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk
banyak melakukan peradatan. Dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang
yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar
dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.
Sekarang
pertolongan mengeluarkan para korban dilakukan dengan dua jalan. Kwan Cu masih
tetap naik turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah
lemah dan tak kuat merayap melalui tambang buatan. Selain itu ada pula yang
merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepaskan
ke bawah oleh orang tinggi kurus itu.
Akhirnya,
setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang
sudah lemah dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.
“Mari cepat
keluar dari goa ini!” Kwan Cu mengajak tanpa mempedulikan ucapan terima kasih
dari semua orang itu.
Mereka ini
ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tidak salah
lagi, sebagian besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tak mau dipaksa
menjadi tentara oleh An Lu Shan. Yang paling menarik, semua orang ini adalah
semua orang Han asli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara pemerintah
sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil
pusing.
Semua orang
mengikuti Kwan Cu keluar dari goa itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang
kuat sehingga sebentar saja mereka sudah dapat melarikan diri jauh dari goa,
lalu bersembunyi di dalam hutan.
“Nah,
sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,”
kata Kwan Cu.
Orang yang
tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura.
“Taihiap
benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap.
Tentang kawan-kawanku ini, biarlah aku yang akan memimpin mereka meloloskan
diri ke selatan. Aku tahu jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu
mengingat-ingat, siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?”
“Aku bernama
Kwan Cu dan selebihnya tak perlu kuceritakan. Hanya bila kalian hendak
berterima kasih, ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!”
Sesudah
berkata demikian, Kwan Cu segera melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata
orang-orang itu.
***************
Pemuda ini
melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya. Dia hanya beristirahat
untuk makan dan tidur sebentar saja. Dia berusaha sedapat mungkin agar tidak
bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat lagi supaya jangan sampai ada
urusan yang akhirnya menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian, setelah
bertanya-tanya kepada orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota
Ang-tung, kota yang berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu
memuntahkan airnya di Laut Kuning.
Kota
Ang-tung sangat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan
yang menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan para pedagang dari Korea. Banyak
sekali perahu nelayan dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di
situ amat indahnya.
Akan tetapi
ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorang pun sanggup
menyewakan perahunya, biar pun dengan bayaran tinggi.
“Laut di
selatan tidak aman, kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul
ikan-ikan buas yang besar dan sering kali mengganggu perahu nelayan, juga
bajak-bajak laut sekarang banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu
yang hanya bisa membawa barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai,
atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Bila kongcu
menghendaki menyewa perahu untuk digunakan memasuki laut bebas, kiranya akan
bisa kongcu dapatkan di perkampungan nelayan Kim-le-pang.”
“Di mana
letaknya perkampungan Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan hati
girang.
“Tidak jauh,
kurang lebih lima belas li di sebelah timur kota ini.”
Tanpa
membuang banyak waktu lagi Kwan Cu cepat-cepat menuju ke timur dan mencari
perkampungan Kim-le-pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di
pantai laut dekat dusun itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para
nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang
menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan
perahu yang bocor. Mereka ini nampak miskin dan sederhana, akan tetapi sebagian
besar bertubuh tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari
terbakar oleh matahari.
Ketika Kwan
Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkan dirinya, sama sekali
tidak kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Kwan Cu pun dapat
menduga bahwa nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh.
Memang
mereka ini adalah sekelompok peranakan suku bangsa Han. Mereka berdarah Hui dan
Han, dan merupakan suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari
laut. Mereka adalah pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu
dari pada di darat.
Melihat
sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh
karena dia memang amat membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri
mereka dan menjura sambil bertanya,
“Saudara-saudara,
harap maafkan kalau aku mengganggu kalian.”
Seorang
kakek bermata sipit yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang, berpaling
kepadanya dan tanpa melepaskan huncwe-nya dia berkata,
“Kalau tidak
mengganggu, tak perlu meminta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa
pakai minta maaf segala?”
Merah muka
Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Dia dapat menduga bahwa dia
sedang berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.
“Lopek,
sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau
kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu.”
Sekarang
kakek bermata sipit itu menghentikan pekerjaannya menambal layar. Sambil
mencabut huncwe-nya dia menghadapi Kwan Cu dan memandangnya dari atas terus ke
bawah, lalu bertanya,
“Kau mau
apakah?”
“Aku mencari
perahu yang disewakan.”
“Dengan
orangnya?”
“Kalau
mungkin, lebih baik lagi.”
“Ke mana?”
Kwan Cu
merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa
boleh buat, orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.
“Hendak
menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai.”
“Tak
mungkin! Tidak ada perahu yang disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan
huncwe pada mulutnya lagi.
“Lopek, aku
pun tidak hendak menyewa perahumu jika kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku
akan menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” Kwan Cu berkata
agak keras karena dia merasa mendongkol sekali.
Pemuda ini
kemudian memandang ke sekelilingnya dan berteriak, “He, saudara-saudara. Siapa
yang suka menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau?
Aku berani membayar berapa saja yang dimintanya!”
Mendengar
pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka
sebentar saja mengurung Kwan Cu dan sambil melepaskan huncwe-nya, berkata kakek
itu kepada orang banyak,
“Dengarkan
orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu untuk menyeberangi laut dan mencari
pulau. Agaknya dia telah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan
ketawa mengikuti kakek itu.
“Dengar!”
Kwan Cu membentak! “Kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa
perahunya saja. Tidak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian.
Biarlah aku menyewa perahu saja, berikan padaku perahu yang baik dan kuat dan
aku akan membayar mahal!”
“Kau akan
membayar dengan apa?”
“Dengan
emas. Lihat, aku mempunyai sekantong emas!”
Kwan Cu lalu
memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat ‘ambil’ dari rumah gedung seorang
bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu
bahwa dia harus memiliki emas untuk menyewa perahu, sudah mencuri sekantong
uang emas dari hartawan itu pada malam hari!
“Hah, apa
artinya emas? Tidak bisa mengenyangkan perut!” kata kakek itu dan semua nelayan
mengangguk menyatakan setuju. “Mengacaukan saja!”
Kwan Cu
tertegun dan penasaran. “Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa
perahu?”
“Anak muda,
apa pun pembayaran yang kau janjikan, di dusun kami tak ada orang yang begitu
gila untuk memberikan perahunya padamu, karena bila perahu diberikan padamu,
berarti perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!”
Kwan Cu
mendongkol sekali, “Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah
seperti kalian ini, hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut, tidak ramah
dan tidak mau menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”
Setelah
berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil
keputusan untuk mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya
sebagai pembayaran!
Akan tetapi,
tiba-tiba saja terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu.
“Lo-pek-pek, kenapa tidak kau suruh saja dia menyewa perahu nenek gila?”
mendengar ucapan ini, semua orang ketawa.
“Cocok
sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar
dengan nenek gila atau puteranya yang berotak miring!” Terdengar suara di
antara gelak ketawa.
Kwan Cu
terheran-heran. Orang-orang ini tadinya sangat pendiam dan berwajah keras, akan
tetapi setelah disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli! Ia
tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya.
“Di manakah
adanya si nenek gila itu? Apakah dia benar-benar mempunyai perahu dan sekiranya
dia mau menyewakan perahunya, biar pun gila akan kucoba mendatangi.”
Kakek
nelayan itu menggelengkan kepalanya. “Anak muda, biar pun urusanmu tidak ada
sangkut pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan
tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini
ada seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi,
mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Apa bila kau coba-coba mendekati
mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”
Hati Kwan Cu
semakin tertarik.
“Biarlah, di
mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”
Kakek itu
mengangkat pundaknya. “Benar kata mendiang ayah dulu bahwa orang-orang selatan
memang aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat
kampung ini dan di sana kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai
yang ada hutannya. Di sanalah mereka tinggal.”
“Terima
kasih, Lopek. Selamat tinggal!”
Sesudah
mengucap demikian, Kwan Cu menggunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah
semua nelayan ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu
telah meloncat amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata!
Kwan Cu
melanjutkan perjalanannya dengan amat cepat, menuju ke hutan pinggir pantai
seperti yang ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah
pondok kecil yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan
di situ sangat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di
pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia.
Keadaan benar-benar sunyi sekali.
Kwan Cu
menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada
perabot rumah di situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam
rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula batu yang licin dan lebih
besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah.
Kwan Cu
dapat melihat semua ini karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikian pula
jendelanya di kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja
pintu dan jendelanya.
Sampai lama
Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada
orangnya. Ia mencari-cari di depan dan belakang rumah, akan tetapi tidak
kelihatan bayangan orang. Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu.
Namun jelas
ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana sini
terdapat bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah,
dan pecahan-pacahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di
sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.
Kwan Cu
sampai merasa kesal menanti di luar rumah. Kemudian karena melihat di dalam
rumah itu ada hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan
sajak, dia memberanikan diri memasuki ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika
dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari
pujangga ternama.
Hanya orang
yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan
sajak-sajak seindah itu, pikirnya. Makin tertarik dia kepada penghuni rumah
yang dikatakan gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka ini dan bagaimana
mereka nanti menyambutnya?
Akan tetapi,
menanti-nanti kedatangan penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu
karena setelah ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, penghuninya belum juga
kelihatan kembali! Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan
kembali lagi? Ataukah barang kali para nelayan itu mempermainkannya?
Akan tetapi
tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang,
ternyata dari adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan
kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil
keputusan untuk menunggu terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ
sampai besok pagi.
Senja telah
berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di
depan jendela dan termenung, mengharapkan kedatangan tuan rumah. Mendadak dia
melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.
Di bagian
depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik
perhatiannya. Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa
banyak, berbentuk lonjong bundar serta tulang-tulang daunnya kelihatan jelas
sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada
tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat
menarik perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya.
Tadinya
daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang
dapat meniup daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah
sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada hembusan angin. Akan tetapi,
ketika malam tiba dan beberapa ekor jangkerik datang, kemudian
jangkerik-jangkerik itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan
mati!
Kwan Cu
terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan
jangkerik-jangkerik itu, dan apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah
hangus badannya!
Kwan Cu
berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan
tidak berani menjamah daun-daun itu, sungguh pun hatinya ingin sekali karena
dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu
tersentuh pada daun-daun itu.
Oleh karena
itu, ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang, dia lalu menyambar dengan
tangannya dan menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan
jangkerik-jangkerik itu satu persatu sehingga menempel pada pohon dan akibatnya
benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!
“Hebat,”
pikir Kwan Cu, “daun mukjijat apakah ini?”
Akan tetapi
pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat
itu besarnya sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang lucu
dan menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun
mukjijat itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang berjalan
beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik,
akan tetapi aneh.
Kali ini
ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu
memilih daun yang segar dan digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa
begitu ada ulat yang menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak
bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi. Tapi ulat-ulat itu tidak jatuh,
bahkan seolah merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakannya dan menambah
kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai
daun!
“Luar biasa
sekali!” pikir Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat
pula!”
Dia menjadi
sangat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menunggu
di situ. Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai
menggerogoti lain daun yang segar.
Tiba-tiba
saja terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak
telinga. Kwan Cu melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan
alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada
daun. Pada tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali
dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk
seperti disate, kini tidak dapat melepaskan diri dari daun itu, hanya
menggeliat-geliat!
Bukan main
heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak
jauh dan mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang
memiliki kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas am-gi
(senjata-gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang
dapat melakukan hal itu.
Kwan Cu
tertarik bukan main dan mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk
diperiksanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bunyi melengking mengerikan dan
tahu-tahu menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela.
Entah dari
mana datangnya, tiba-tiba saja di depan jendela muncul bayangan seorang nenek
berpakaian putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan
kanannya yang berbentuk bagaikan cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan
suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.
Pemuda ini
terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi
betul-betul berbahaya! Melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini
adalah seorang ahli ilmu silat Eng-jiauw-kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda).
Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat
menghancurkan batu karang yang keras!
“Suthai,
harap maafkan teecu,” kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah berlaku lancang
berani memasuki rumah Suthai.” Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira
bahwa nenek itu tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut suthai.
“Apakah kau
mau mencuri daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” nenek itu
bertanya. Sepasang matanya berputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya
tinggi dan kecil seperti suling ditiup.
“Tidak, tidak,
Suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mukjijat itu? Bahkan untuk
menyentuh pun teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat
membuat hangus tubuh binatang-binatang jangkerik.”
Nenek itu
tertawa dengan suara menyeramkan. “Hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan?
Hi-hi-hi, kau mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu
akan menjadi hangus, hi-hi-hi!” Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat
yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya. “Ha, ulat-ulat yang menjemukan. Hanya
binatang ini saja yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan kubasmi
semua ulat ini!”
Dia
mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum,
kemudian memasukkan tiga ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan
enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang
kehijauan mengalir pada pinggir bibirnya terus ke dagu.
Kwan Cu
bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula
dia menelan ludah melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya,
bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul seleranya. Dia ingin muntah dan
terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.
“Kau ingin
makan ulat ini?” tanya nenek itu kepada Kwan Cu.
Pemuda itu
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, tidak, terima kasih
banyak, Suthai. Tadi teecu sudah makan di dusun Kim-le-pang.”
Nenek itu
kembali memandangnya dengan mata yang aneh.
“Kau
nelayan?”
“Bukan,
Suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk
berusaha menyewa sebuah perahu.”
“Mau menyewa
perahu mengapa datang ke sini? Apakah kau belum mendengar bahwa siapa yang
memasuki rumahku ini harus mati?”
Setelah
berkata demikian, dengan gerakan yang sangat gesit, nenek itu melompat dari
jendela, memasuki rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak
salah lagi adalah Eng-jiauw-kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari
suhu-nya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil mengelak.
“Suthai,
maafkan teecu. Teecu datang tidak dengan maksud buruk. Harap suka maafkan
kelancangan teecu.”
“Hi-hi-hi,
kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat
bertahan!” Setelah berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan
serangan-serangannya yang lihai.
Terpaksa
Kwan Cu melayaninya dan pemuda ini pun lantas mengeluarkan ilmu silatnya untuk
mengimbangi serangan nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak
bahayanya dia akan terluka. Kedua tangan nenek itu sungguh berbahaya sekali,
kukunya panjang dan tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek
itu sudah tinggi.
“Hi-hi-hi,
kau mampu melawanku, benar-benar mengagumkan! Ehh, ilmu silatmu hampir sama
dengan Pai-bun Tui-pek-to!”
Kwan Cu
terkejut. Memang dalam menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu
silat Pai-bun Tui-pek-to yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek
aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?
“Memang
teecu mainkan Pai-bun Tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai
guruku!”
Ucapan ini
sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu telah mengenal
suhu-nya dan dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu
malah menyerang makin hebat lagi.
“Bagus,
hendak kulihat sampai di mana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis
jembel!”
Menghadapi
serangan Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali,
Kwan Cu menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia
mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat dengan sulingnya, juga dia membalas
dengan serangan yang hebat sekali.
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari
pintu yang tidak berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang
dan lebar.
“Ibu,
siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan
dayungnya pada tanah sehingga tergetarlah rumah itu.
Kwan Cu
terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya,
kalau dia ikut maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak
boleh dipandang ringan!
Akan tetapi,
tiba-tiba nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan justru menghentikan
serangannya.
“Kong Hoat,
inilah pemuda yang ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah
puteranya dan bernama Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago
tua yang amat kukagumi.”
Kwan Cu
cepat menoleh. Dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah
sekali. Usianya hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai
potongan tubuh yang lebih besar darinya. Dia kagum sekali melihat pemuda ini
yang tertawa-tawa seperti orang yang selalu gembira.
Dengan amat
hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi
menyerangnya.
“Aku yang
bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apa bila
tanpa mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya
atas petunjuk para nelayan di dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan
sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang
mulia.”
“Kau mencari
perahu, sahabat? Untuk dipakai ke manakah?” Kong Hoat bertanya sambil memandang
tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya sangat jujur.
Kwan Cu
merasa tidak enak kalau berbohong, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat
menceritakan rahasia dan cita-citanya.
“Sebenarnya
aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke
pulau-pulau yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa
beberapa pulau itu mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai
seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata
sendiri.”
Kong Hoat
melemparkan dayungnya ke sudut kemudian pergi duduk di atas sebuah batu karang
yang berada di dalam rumah.
“Aneh, aneh
sekali! Apakah kau tahu bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-makhluk aneh
yang amat berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiri
pun tidak berani pergi ke pulau-pulau itu.”
“Siapa yang
pergi ke pulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematiannya sendiri.
Hi-hi-hi, murid Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, bahkan lebih
aneh dari pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi
sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan serta gagah. Batalkan saja
kehendakmu itu.”
Mendengar
ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apa lagi
puteranya, walau pun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja,
yakni celana pendek sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku saja
lengannya.
“Terima
kasih atas nasehatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Tapi, justru keanehan dan
bahaya itulah yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Apa bila sekiranya
Ji-wi tidak berani mengantarku, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau
menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”
Kong Hoat
bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali
terasa tanah bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda
tinggi besar ini.
“Itulah,
itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya,
akan tetapi ibu...”
“Kong Hoat!
Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega
meninggalkan ibumu mati kesunyian.”
Kong Hoat
tertawa dan aneh sekali! Biar pun mulutnya tertawa, namun kedua matanya
mengeluarkan air mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini.
Jika tidak gila, mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?
“Ibu, kau
lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat dua kakiku dengan
omongan itu. Aku mana bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau
meninggalkan ibu tercinta!”
Dan sekarang
nenek itulah yang menangis terisak-isak, lalu menghampiri puteranya yang segera
di peluknya.
“Kong Hoat,
Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik…”
Terharu hati
Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap
ibunya.
“Saudara
Kwan Cu, apa bila kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau
pakailah perahuku.”
“Aku akan
meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”
Tiba-tiba
saja nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu
cepat mengelak dan Kong Hoat berseru,
“Ibu
jangan…!”
Ibunya
menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu,
“Saudara, kau menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau
tidak tentu aku akan membantu ibuku membunuhmu karena kau sudah menghina kami
orang-orang miskin.”
“Maaf, maaf,
aku tidak bermaksud menghina...” kata Kwan Cu kaget sekali.
“Kami tahu,
dan karena itu sudahlah, jangan kita bicara lagi tentang sewa perahu. Aku
memberikan perahu kami padamu dan habis perkara! Besok pagi-pagi sekali, kau
boleh berangkat dan malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menunggu
datangnya fajar. Berangkat pada waktu fajar menyingsing baik sekali, angin
tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali dari mencari ikan dan
mari kita makan ikan yang kudapat dari laut.”
Kwan Cu
tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi.
Kong Hoat lalu berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor
ikan yang sebesar paha.
Ikan ini
aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah,
akan tetapi kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan
mulutnya berada di bawah. Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi
warnanya aneh dan mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci
Kilin.
“Ha, Kong
Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?”
“Sesudah
berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, ibu,” jawab Kong Hoat sambil
tertawa bergelak dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata!
Kwan Cu
menjadi bengong. ”Ehh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan
bahwa sudah sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap
seekor ikan aneh ini?”
Kong Hoat
dan ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli
sekali.
“Saudara
Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini.
Ketahuilah, di seluruh laut kuning barangkali ikan seperti ini hanya ada
beberapa puluh ekor saja. Dia disebutnya ikan Kilin dan selain sukar
didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam
air ketika aku berusaha menangkap ikan ini, padahal dia telah terkena tusukan
tombakku.”
“Mengapa kau
mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”
Kembali ibu
dan anak itu tertawa bergelak, “Ahh, orang kota hanya memikirkan tentang
kelezatan makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya.”
Mendengar
ini merahlah wajah Kwan Cu
“Maafkan aku
yang bodoh ini,” kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha
akan makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap
Ji-wi (kalian berdua) sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala
keanehan ikan ini.”
Setelah
tertawa geli tanpa bermaksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu
berkata,
“Saudara
Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus
ke timur. Akan tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang hingga ke pinggir
pantai dan merupakan hal yang sangat langka bagi seorang nelayan untuk
mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku
melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak
pernah dapat tidur nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya.”
“Kalau
begitu memang ikan yang aneh dan sukar sekali didapat,” kata Kwan Cu sambil
tersenyum melihat sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu.
”Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan ini?”
Pemuda yang
bernama Kong Hoat itu menengok kepada ibunya dan bertanya, ”Bolehkah aku
menceritakannya ibu?”
Nenek yang
berwajah mengerikan itu mengangguk. “Tentu saja boleh. Ia adalah seorang pemuda
gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak
merasakan daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.”
Setelah
berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Ada
pun Kong Hoat tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.
“Saudara yang
baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku
lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.”
“Tidak apa,
saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu pada ibumu, sebagai
sikap seorang hauw-ji(anak berbakti) tulen!”
“Mendiang
susiok (paman guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu,
“merupakan seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dan dari susiok
inilah aku mendengar bahwa untuk bisa menjadi ahli dalam air, maka obat yang
paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan kalau
lemaknya dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan
air garam. Tulang-tulang siripnya jika dikeringkan kemudian dijadikan bubuk,
dapat menjadi obat yang amat mujarab bagi kita sehingga tulang-tulang kaki dan
tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat
dijadikan minyak dan apa bila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi
kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di
dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat
sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas.”
Akan tetapi
Kwan Cu tidak tertarik oleh semua hal ini. Memang dia tidak tertarik akan
kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu
saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil
selalu bermain-main di dekat air.
Betapa pun
juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan
merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya.
Tahulah dia bahwa memang daging ikan ini mengandung khasiat yang sangat baik
bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima
kasihnya.
Kini mereka
bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini Kwan Cu tahu bahwa wanita tua itu
adalah seorang tokoh kang-ouw yang sangat terkenal dan yang namanya pernah
disebut-sebut oleh suhu-nya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis
Wanita Bumi). Ada pun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu
silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang
tinggi.
“Saudara
Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Engkau yang masih begini muda mempunyai
keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal
amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat.
Kwan Cu
tersenyum... Dia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang
jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata terus terang bahwa dia mencari
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak berani. Suhu-nya sudah memesan
kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan
kepada siapa pun juga tentang kitab itu. Maka dia berkata,
“Saudara
yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuan saja,
hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.”
Kong Hoat
memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu
bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar
telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.
“Nanti dulu,
kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat
yang segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa
sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat.
“Dayung ini
masih jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat
gembira, “Kau seorang pemuda gagah perkasa, maka sangat cocok memegang dayung
ini, saudara Kwan Cu.”
Kwan Cu
menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari baja hitam yang
kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat digunakan
sebagai senjata yang boleh diandalkan.
“Terima
kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan
mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini,” kata Kwan Cu girang.
Kong Hoat
lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat
perahu itu ke tepi pantai dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak
sinarnya yang kemerahan pada permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri
belum memperlihatkan dirinya yang agung.
“Ingat,
saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan
ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak
berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai, hati-hati jangan kau
membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat
mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat
berbahaya. Selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui
perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya
itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang sangat liar dan ganas.”
“Terima
kasih atas segala nasehatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua
nasehat itu,” jawab Kwan Cu.
Tiba-tiba nenek
tua Liok-te Mo-li datang berlari-larian. Tangannya membawa bungkusan kuning dan
ia berkata kepada Kwan Cu, “Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku,
sudah semestinya jika aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa
helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini sebagai bekal di tengah
pelayaranmu yang berbahaya itu.” Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan
bungkusan kuning kepada Kwan Cu.
Kwan Cu
menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat
akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkerik-jangkerik malam
tadi, dia menjadi ngeri.
“Maaf,
Suthai, biar pun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah
menerangkan kepada teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu.
Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apa bila melihat kelihaian daun ini.
Sekarang Suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannya?”
Liok-te
Mo-li tertawa berkikikan. ” Memang, siapa orangnya yang tak akan merasa ngeri?
Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada pula daya
penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua
tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak
racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada waktu kau menghadapi bahaya dari
ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke dalam air dan karena air
laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya
daun-daun ini sehingga mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan jika mereka
kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta
yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau
akan berlayar, anak muda. Kelak apa bila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa
Liok-te Mo-li masih hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia.” Sambil
tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.
“Selamat
saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak
mungkin kau akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada
daun-daun aneh itu dan agaknya dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk
menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri dia memberi daun-daun
kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan
usahamu, saudaraku yang baik.”
Kwan Cu
terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi
besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali sepasang matanya mengucurkan
air mata!
“Jangan
heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh.
Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya
mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau
aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang
mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau
tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali.”
“Akan
tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa aku pergi
dengan tujuan sesuatu,” Kwan Cu membantah.
“Sahabat
baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasa bahwa di
tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat pula barang-barang yang
berbahaya dan aneh. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang
terbaik adalah gigi harimau, sedangkan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di
mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan
berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau
tidak ditahan oleh ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.”
Ketika
mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia
cepat-cepat menyambungnya, ”Apa pun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih
benar. Kepandaianku belum cukup tinggi untuk dapat kugunakan menyelidiki
pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Ilmu
kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian ibu sendiri,
maka hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan
berhasil.”
“Kau terlalu
memujiku, saudara Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai
doamu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima
kasihku kepada ibumu, mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak.”
Setelah
berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah, dipandang oleh
Kong Hoat yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang
lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin
sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh
rahasia itu.
Dayung
pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang dan berat, ada pun
ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak
maju dengan pesat. Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali
menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari
busurnya.
Pemandangan
indah sekali. Permukaan air tenang laksana kaca, diam tak bergerak dan
berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang
di permukaan air. Air yang diterjang oleh kepala perahunya memecah menjadi dua
seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah
oleh perahunya tanpa mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat tanpa
bergoyang, nyaman dan enak sekali.
Kehidupan di
laut nampak mati. Tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada
seekor pun ikan nampak bergerak pada permukaan laut. Benar-benar hening dan
sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah
menjadi alam maut yang tiada ujungnya.
Namun Kwan
Cu tidak merasa takut. Biar pun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah
berada di laut, hatinya hanya berdebar penuh ketegangan. Dia teringat bahwa
dulu dia dianggap sebagai ‘anak laut’ oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra.
Agaknya
kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apa bila dia teringat
akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang
diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia sudah kembali ke alam asalnya
dari mana dia datang!
Sesudah
matahari mulai nampak di permukaan laut, berupa bola besar berwarna merah yang
bernyala-nyala, mulailah tampak kehidupan. Air yang tadinya ‘tidur’ mulai
bergerak sedikit dan di kanan kiri perahunya mulai terlihat air itu berkeriput,
mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di
atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai
terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai ‘mandi’ cahaya matahari di
permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari,
karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti
kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan
masing-masing.
Melihat
semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Dia
pun teringat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah
meninggal dunia. Gurunya itu dahulu sering kali mengajarkannya mengenai
filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.
Alam itu
kekal abadi, karena hidup bukan untuk diri pribadi.
Ucapan di
atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan
besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama
manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi
atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu
melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan
diri pribadi inilah sumber dari pada segala mala petaka yang terjadi di antara
manusia.
Kini,
setelah berada seorang diri di atas lautan, mata Kwan Cu terbuka dan dia
melihat serta mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud
kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk
kepentingan diri pribadi.
Lihat saja
matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Ia melakukan tugasnya, semata-mata untuk
memberi atau menjadi berguna bagi tiap makhluk yang membutuhkannya, sedikit pun
tak pernah meminta, itulah sang matahari.
Lihatlah lautan
bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda
hidup lainnya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut
datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan
tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tidak pernah meminta, hanya memberi
sifat alam yang suci.
Alam
memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini
dapat dipergunakan oleh manusia, bahkan sesudah manusia mati, bumi masih
memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!
Kwan Cu
tersenyum melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam
air dengan bebas dan senangnya. Mengapa justru burung diberi sayap sehingga
pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan untuk hidup di
dalam air? Alangkah besar perbedaan antara dua jenis binatang ini dan mereka
ini keduanya adalah makluk hidup!
Alangkah
besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam beserta isinya, alangkah gaib dan
penuh rahasia mukjijat yang luar biasa hebatnya. Semua ini adalah pekerjaan
Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini menjadi
saksi atas segala keindahan itu.
Sambil
menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya, Kwan Cu
melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang
nampak dari sana sebagai bayang-bayang membiru. Hatinya penuh diliputi
kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian
girangnya sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!
Menjelang
tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang semenjak pagi tadi
sudah kelihatan. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah.
Apakah
perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di
seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak
bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya,
jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.
Inilah
keanehan pertama yang dialami oleh Kwan Cu. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu
masih amat jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat
dekat kelompok pulau itu.
Ia merasa
penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi ke arah
kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan
tempat penyimpanan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Di dalam kitab
sejarah peninggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan
di dalam sebuah pulau kosong, kecil dan berbentuk bundar yang ditumbuhi
pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan
ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau
yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar
yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.
Akan tetapi
sesudah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Apa bila tadi
kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan semakin mendekat biar pun
dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini
tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!
Kwan Cu
menghentikan gerakan dayungnya kemudian memandang ke sekeliling dengan bingung.
Tidak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa kini
tiba-tiba lenyap? Sebenarnya hal ini juga akibat permainan matahari yang
membuat kepulauan itu seakan lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari
laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat
kelompok kepulauan itu tidak terlihat olehnya.
Kwan Cu
teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini, karena itu dia
pun tersenyum dan berkata, “Memang aneh sekali. Tetapi biarlah, aku harus
melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, sebab siapa
tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku.”
Pemuda yang
tabah ini lalu mendayung terus dan mulai berpeluh karena matahari telah
membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang
mengerikan dari arah kiri.
Kwan Cu yang
tak biasa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan
dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tak melihat
sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali
terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara
itu timbul dari dasar laut.
“Hebat!
Suara apakah itu? Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk
lain yang hebat? Hemm, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan
berkuasa!”
Dia merasa
dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian di dalam
hatinya, sesungguh pun tidak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun,
dia merasa lebih tenang andai kata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ
bersamanya pada saat itu.
Dia teringat
akan suhu-nya dan diam-diam dia tertawa dengan hati penuh kasih sayang terhadap
suhu-nya itu. Suhu-nya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat bagaikan lautan
ini. Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat
sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang.
Mendadak
anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan
yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang sedang
datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam,
seperti seekor naga.
“Hai-liong-ong…,”
kata suara hatinya penuh kengerian.
Memang hebat
sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri benda itu datang, makin lama
makin panjang dan besar, dan meski pun benda itu masih jauh, telah datang angin
bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang.
Gelombang
makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng
dengan suara gemuruh laksana derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara
lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara
aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan
permukaan laut, tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di
daratan terjadi gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu
telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak
karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut
hebat!
“Celaka…!”
serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.
Akan tetapi,
di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu
hanya merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan
Cu yang masih memegang dayung lantas terputar-putar, membuat kepala pemuda itu
menjadi pening sekali.
Namun dia
masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam
perahu. Dengan kedua tangan dia memegangi pinggir perahu karena satu-satunya
harapan baginya adalah perahunya itu. Walau pun perahunya akan terbalik, tetap
saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga.
Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan
dirinya.
Tiba-tiba
saja, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal
menerjang perahu dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil
melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu terlempar ke atas. Dayungnya
terlempar keluar dan oleh karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini
jatuh lebih dulu, ditelan gelombang dan agaknya akan menjadi tontonan bagi
penghuni laut.
Sedangkan
Kwan Cu yang turut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari
perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk
perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya
terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya
nekat.
Perahu
bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang,
diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan sangat hebatnya.
Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu,
kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu
berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang
dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain.
Siksaan ini
dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu
merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi.
Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba saja dia teringat
akan sesuatu dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang
hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.
Tiba-tiba
saja teringatlah ia betapa ia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak
seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan
gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini
terbayang jelas di depan matanya.
“Ayah…!
Ibu…!” tiba-tiba Kwan Cu memekik keras.
Sekarang
terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu
bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan
gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai
bersama Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai ‘anak laut’. Ayah bundanya dulu tewas
di lautan dan kini agaknya dia sendiri pun akan mengalami nasib yang sama.
“Ayah...!
Ibu...! Tolonglah anakmu…,” ia berbisik.
Kemudian
timbul marahnya kepada gelombang dan laut. “Kakek laut kau tidak mungkin dapat
menewaskan aku!” pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat.
Sebagai
jawaban, sebuah gelombang yang besar kemudian mengangkat perahunya dan
melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan
tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang dulu telah
menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi
kekuatan alam ini, untuk hidup.
“Kakek
gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau bisa membunuhku pula.
Orang tuaku akan mencegahmu!” teriaknya berkali-kali.
Kwan Cu
bagaikan gila. Biar pun dia diterima oleh gelombang lain, lalu dilemparkan dan
diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan
anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut
sedikit pun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!
“Kakek laut,
mari kita bermain-main!” serunya berkali-kali. “Marilah kita berkelahi sebagai
laki-laki kalau kau memang jantan!”
Demikianlah,
biar pun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikit
pun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira.
Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya.
Orang-orang
yang menghadapi maut, jika dia dapat berlaku tenang dan tidak putus asa,
akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikian pula dengan Kwan
Cu. Kegembiraan dan semangatnya membuat ia tahan menderita, malah tenaganya
menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan
mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang
aman.
Memang,
kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang
tenang yakni air yang berada di antara dorongan dua gelombang yang membalik.
Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang
gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak
aman, yakni yang gelombangnya tak begitu besar. Akhirnya ia berhasil
membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu.
Memang betul
di situ masih ada ombak menyerang. Akan tetapi dengan dua tangannya di pinggir
perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, Kwan Cu dapat mencegah perahunya
berputaran dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang
membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.
Ia tidak
tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah
membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga
Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam
waktu yang amat lama.
Seperti
datangnya, tiba-tiba saja taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak
tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya ‘lewat’ saja dan kini taufan yang
mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi
tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan
taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja!
Hal ini bisa
dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan
sinar melayu dan di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara
jelita yang sedang sakit dan sangat pucat. Langit bersih sekali, laut tenang
dan benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba
Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi
di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah
keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan
tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak
makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa
lagi.
Perutnya
mulai berkeruyuk minta isi. Akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa
mendapatkan makan? Dia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li.
Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat
kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat pada punggung dan bahwa
bungkusan daun mukjijat itu pun masih berada di situ, sungguh pun kesemuanya
itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.
Tiba-tiba,
bagai sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang
dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pepohonan
tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan,
pikirnya.
Dengan penuh
semangat Kwan Cu kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan
seperti dayung. Perahu pun meluncur ke depan, menuju pulau itu, dan Kwan Cu
makin terheran-heran.
Ketika tadi
untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan
amat besar dan karenanya dia mengira bahwa pulau itu tentulah sudah amat dekat.
Akan tetapi, meski pun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan semakin
nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon sudah
kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua
matanya.
“Apakah aku
sedang bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tak beres lagi? Kalau tidak bermimpi
dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras
lagi!”
Tidak
mengherankan apa bila Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya
memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin
dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah
pepohonan yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi.
Kini setelah
dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biar pun Kwan Cu sudah
banyak merantau dengan suhu-nya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan
besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya,
tetapi selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang
tumbuh di pulau itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan
yang tinggi seperti alang-alang!
Pulau setan
apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi
dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu,
karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon
raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang
langit yang pucat.
Kwan Cu
sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang telah
mendapat gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini sanggup mengatur
pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi,
perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuat tubuhnya lemas dan letih.
Kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia tidak akan merasa begitu
letih. Sudah sering kali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja
baginya belum apa-apa.
Cuaca makin
gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu
terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang
berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air
menghitam, hanya berkilau di sana-sini.
Mendadak
perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air supaya
perahunya menyingkir dari penghalang itu. Dia mengira bahwa perahunya tentu
terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu.
Akan tetapi langkah kagetnya ketika tiba-tiba ‘batu karang’ itu bergerak-gerak!
Karena
tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong ‘batu karang’ yang
dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah
benda yang lunak, seperti... seperti tubuh seorang makhluk.
“Tentu ikan
yang terdampar ke pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.
“Ooleihaaaaiii…!!”
terdengar ‘batu karang’ atau ‘ikan’ itu berteriak keras sekali.
Kwan Cu
tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin
malam sudah merasa sangat heran menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong
Hoat, karena selamanya dia belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi
sekarang, mendengar seekor ikan besar dapat mengeluarkan suara
‘ooleihaaaiii...!’ dengan suara mirip seperti manusia, benar-benar membuat dia
merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila!
Dengan
hati-hati sekali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi
sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum
ingin mendarat sebelum menyelidiki terlebih dahulu sebetulnya ikan macam apakah
yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.
‘Hayalieee…!”
Kwan Cu
menarik kembali tangannya yang seperti dipagut ular dan tiba-tiba merasa bulu
tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Di dunia ini tidak mungkin ada
ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu.
Akan tetapi
rasa keingin tahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga
perahunya maju dan kini dia mempergunakan kedua tangannya untuk menangkap ke
depan. Dia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya
dengan sikap siap sedia, kalau-kalau ‘ikan’ itu akan menggigitnya tentu dia
akan cepat memukul.
Akan tetapi,
keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang
dua buah telinga manusia yang besar sekali. Saking terkejutnya, Kwan Cu tidak
melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan
mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya.
Kebetulan
sekali cahaya bulan agak terang. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang
mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya
empat atau lima kali kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut
kepala diikat. Kulit muka dan kepalanya hitam sekali, dan inilah yang membuat
kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap!
“Seorang
manusia!” pikir Kwan Cu dengan girang.
Di tempat
yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimana pun anehnya
manusia itu, tentu amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa
manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar biasa sekali besarnya.
“Saudara
siapakah? Dan kenapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi?
Maafkan jika perahuku menganggumu.” Demikianlah pemuda itu bicara dengan
gembira sambil melepaskan pegangan kedua tangannya pada telinga orang.
Sebaliknya,
muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan
mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing
bagi telinga Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan
gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal.
Mendengar
ucapan orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari
suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan mempunyai bahasa daerah sendiri.
Karena itu dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Maaf, aku
tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya juga tidak mengerti pula apa maksud
kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak
mendarat.”
Sambil
berkata demikian, Kwan Cu mempergunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah
darat. Sesudah itu, pemuda ini kemudian menggunakan tangan untuk mendayung
perahunya ke pinggir.
Akan tetapi
tiba-tiba saja, orang yang terbenam di air sampai lehernya itu menggerakkan
leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang amat besar dan panjang timbul di
permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam
serta besar dan panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika
menindih perahu, perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam!
Kwan Cu
terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, akan tetapi karena besar dan
panjangnya lengan yang berotot besar itu. Barulah dia teringat akan besarnya
kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam
itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan alangkah tingginya orang
ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apa lagi
dilihatnya!
Kemudian dia
melihat bahwa pergelangan kedua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang
kuat. Ketika mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta
tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu.
Teringatlah
Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi
di tanah barat. Dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan
seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan
hendak memakan anak itu.
Dongeng itu
singkatnya begini:
Seorang
bocah nelayan menjala ikan di laut. Yang tersangkut di dalam jalanya bukannya
ikan-ikan besar, namun sebuah pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin
tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas
permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian
membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa.
Kemudian jin
raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Tapi anak itu
mendapat akal. Dia berpura-pura heran dan tak percaya bahwasannya seorang
raksasa begitu besar dapat masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya.
Dikatakannya kalau raksasa itu sanggup membuktikan bahwa benar-benar dia dapat
masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin
dan dia mau dimakan tanpa perlawanan.
Jin raksasa
itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu kembali masuk ke dalam
pundi-pundi itu. Anak itu cepat mengambil sumbat, lantas menutup pundi-pundi
kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya
pundi-pundi itu ke dalam laut kembali!
Kwan Cu
teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah
seorang jin pula? Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal
baginya untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi
aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup
melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu
memiliki kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya
dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan
kaki di darat?
Ia bodoh
sekali dan patut dikasihani. Sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus
menolongnya. Bukankah dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan
Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan raksasa itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment