Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 27
PEMUDA ini
sekarang sudah memandangnya kembali dan sambil tersenyum, Kwan Cu lagi-lagi
tidak mengelak, hanya mengeluarkan seruan kaget. "Ayaaa...! Kau galak
sekali!"
Dan kembali
terjadi keanehan. Mata golok yang sudah menyambar dekat dengan leher, tiba-tiba
menyeleweng dan bahkan membalik hendak menyerang pundaknya sendiri!
"Ilmu
siluman...!" beberapa orang berbisik.
Akan tetapi
hanya Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Kiam Ki Sianjin beserta Hek-i
Hui-mo saja yang setengah dapat menduga akan tetapi mereka masih sangsi
mengenai semacam ilmu sinkang (tenaga dalam yang sakti) yang pernah mereka
dengar namun belum pernah mereka saksikan, yakni tentang lweekang yang dapat
disalurkan melalui suara sehingga dengan bentakan-bentakan saja orang yang
mempunyai kepandaian ini dapat merobohkan lawan atau menangkis pukulan!
Benar-benarkah
pemuda ini dapat memiliki kepandaian seperti itu? Hanya seorang yang sudah
yakin, yakni Yok-ong. Dia menduga bahwa pemuda yang dia kenal sebagai Kwan Cu
adanya itu, tentu telah mewarisi kepandaian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan
kalau hal ini betul, maka tidak heran kalau Kwan Cu memiliki sinkang sehebat
itu.
Siok Tek
Tojin masih penasaran dan hendak menerjang lagi akan tetapi tiba-tiba saja Bin
Kong Siansu ketua Kim-san-pai melompat maju dan menahannya.
"Siok
Tek Toyu biarkan pemuda itu melanjutkan dongengannya agar supaya kita dapat
mendengar baik-baik." Ketua Kim-san-pai ini menahan sambil memegang
lengannya.
Siok Tek
Tojin langsung merasa lengannya lumpuh dan menggigil ketika terpegang oleh
ketua Kim-san-pai ini, maka tahulah dia bahwa pencegahan itu bukan main-main.
Ia lalu menjura dan mengundurkan diri.
Kwan Cu
tertawa. "Tentu Cu-wi Locianpwe ingin sekali mendengar siapa orangnya yang
berjubah hitam dan yang sebenarnya merupakan pembunuh tulen dari Bian Ti
Hosiang dan Bin Hong Siansu. Sebelum boanpwe menyebutkan namanya, baiklah
boanpwe lebih dahulu melanjutkan dongeng ini. Siok Tek Tojin yang sudah
bersekongkol, lalu pura-pura menolong dua orang pendeta yang sudah hampir tewas
itu, menceritakan bahwa dia pun diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian.
Karena dua orang pendeta itu memang mendengar percakapan antara Kiu-bwe Coa-li
dan Pak-lo-sian di luar jendela yang tentu sudah diatur pula oleh si jubah
hitam dan Siok Tek Tojin, maka mereka percaya penuh dan tidak ragu-ragu membuat
sehelai surat yang ditujukan kepada fihak Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tentu
saja mereka menulis bahwa mereka terbunuh oleh Kiu-bwe Coa-li dan
Pak-lo-sian!"
Kiam Ki
Sianjin membentak, "Orang muda, jangan kau sembarangan bicara! Bagaimana
kau berani mengacaukan urusan ini? Sudah ada bukti surat dan saksinya Siok Tek
Tosu bahwa Kiu-bwe Coa-li berdua Pak-lo-sian membunuh Ji-wi Beng-yu dari
Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Bagaimana kau dapat mengarang cerita busuk tanpa
bukti-bukti?"
"Bukti?
Locianpwe menghendaki bukti? Belum selesai ceritaku! Setelah si jubah hitam itu
lari di malam gelap, dia bertemu dengan seorang yang berhasil mencuri sedikit
kain dari jubahnya. Inilah sobekan kain itu!"
Kwan Cu
mengeluarkan kain yang dahulu dia ambil dari jubah Coa-tok Lo-ong, kemudian
kembali berkata lagi sambil tersenyum sindir, "Orang berjubah hitam itu
sekarang hadir di sini! Tanyakan padanya apakah ini bukan kain dari jubahnya!
Dan bukti ke dua, ketika dia mengeluarkan asap obat bius di kelenteng itu sama
benar dengan obat bius yang tadi merobohkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian,
kedua Locianpwe yang mulia. Nah, dialah orangnya yang telah membunuh dua orang
tokoh Kim-san-pai dan Bu-tong-pai kemudian menggunakan nama kedua orang
Locianpwe itu dengan maksud mengadu domba!"
Baru saja
ucapan ini habis dikatakan, Coa-tok Lo-ong mengeluarkan seruan keras,
"Jadi kaukah orang muda yang kurang ajar itu?" Tiba-tiba terdengar
suara ledakan keras dan asap hitam mengebul di dekat Kwan Cu.
"Para
Locianpwe, awas!"
Dengan cepat
sekali Kwan Cu mendorong tubuh Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dua orang
ketua itu segera terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Mereka
mengalami kekagetan hebat, akan tetapi mereka selamat, terbebas dari pengaruh
asap hitam yang jahat. Ada pun Yok-ong yang melihat ini, cepat membagi-bagi pil
penawar racun di antara Pak-lo-sian sekawanannya sehingga mereka tak usah takut
menghadapi serangan asap itu.
Kwan Cu
sendiri segera menahan napas, kemudian meniupkan hawa murni dari tenaga
sinkangnya sehingga dia tidak sampai mengisap asap, dan di samping itu, dia pun
lalu menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut sehingga seluruh bagian
tubuhnya mengebulkan uap putih yang menolak asap hitam ini.
Cepat Kwan
Cu melompat dan tahu-tahu sudah berada di depan Coa-tok Lo-ong. "Kau sudah
mengaku sendiri? Bagus!" bentak pemuda ini.
Coa-tok
Lo-ong marah luar biasa, cepat dia lalu memukul dengan tangannya. Ia merasa
menyesal sekali kenapa ular hidupnya sudah mati diremas oleh Jeng-kin-jiu tadi.
Dengan mati-matian dia lalu menyerang Kwan Cu dengan tangan kosong.
Akan tetapi
tentu saja Kwan Cu tak mau memberi kesempatan lagi. Ia mainkan Ilmu Silat
Pek-in Hoat-sut yang lihai itu dan dalam beberapa jurus saja, sebuah pukulan
tangan kiri Kwan Cu tanpa mengenai kulit dadanya telah membikin Coa-tok Lo-ong
terlempar dalam keadaan pingsan! Kwan Cu melompat dan menangkap lehernya, lalu
melontarkan tubuh penjahat itu ke arah Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu.
"Ji-wi
Locianpwe, inilah pembunuh dari orang-orangmu!"
Bin Kong
Siansu dan Bian Kim Hosiang kini tidak ragu-ragu lagi. Cepat sekali keduanya
bergerak, dan dalam sekejap mata saja tubuh Coa-tok Lo-ong menjadi sasaran
senjata mereka hingga tewas pada saat itu juga!
Hek-i Hui-mo
menggereng keras melihat sute-nya tewas dan ia lantas menyerang kedua
ciangbunjin ini. Karena marahnya, Hek-i Hui-mo segera menggerakkan
Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan kebutannya, yang satu menyerang Bian
Kim Hosiang, yang ke dua menyerang Bin Kong Siansu.
Kedua orang
ciangbunjin ini adalah tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi, maka tentu
saja mereka cepat menangkis. Akan tetapi tangkisan mereka membuat keduanya
terjengkang. Demikian hebat dan luar biasa tenaga dari Hek-i Hui-mo!
Hek-i Hui-mo
membentak, "Kalian membunuh sute-ku, harus membayar kembali dengan
nyawa!"
Akan tetapi
mendadak ada angin besar yang datang dari pukulan luar biasa, menahan sepasang
senjata yang hendak membunuh kedua ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ini.
Pukulan ini datangnya dari Kwan Cu yang sudah menghadang di depannya.
"Hek-i
Hui-mo, kau masih ada perhitungan denganku!" kata Kwan Cu.
Hek-i Hui-mo
marah sekali. Ingin dia sekali serang menghancurkan kepala pemuda yang sudah
membuka rahasia sute-nya, bahkan yang sudah merobohkan sute-nya sehingga
sute-nya itu tewas di dalam tangan kedua ciangbunjin dari Bu-tong-pai dan
Kim-san-pai. Akan tetapi dia pun ingin sekali tahu siapa adanya pemuda muka
merah yang aneh ini.
"Kau
siapakah? Mengapa memusuhi kami?"
"Dengarlah
dulu aku mendongeng!" kata Kwan Cu dengan suara keras hingga terdengar
oleh banyak orang. "Hek-i Hui-mo ini semenjak dahulu terkenal sebagai
seorang pendeta Tibet yang selalu menimbulkan kekacauan. Di Tibet sendiri dia
telah mengacau agama di sana, bahkan mendirikan golongan yang disebut Golongan
Jubah Hitam, dibantu oleh sute-nya Coa-tok Lo-ong yang jahat. Dahulu pernah dia
mengancam jiwa seorang anak kecil untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, kemudian dia pernah pula menawan pujangga besar Tu Fu untuk
dipaksanya membaca kitab kuno Im-yang Bu-tek Cin-keng. Baiknya kitab itu palsu,
sama palsunya dengan hatinya sendiri. Kemudian, sebagai anjing penjilat
pemberontak she An, bersama-sama Jeng-kin-jiu dan Toat-beng Hui-houw, dia
membunuh pendekar besar Ang-bin Sin-kai secara curang."
"Dia
itu murid Ang-bin Sin-kai! Dia Lu Kwan Cu !" tiba-tiba Kiam Ki Sianjin
berseru keras dan kaget.
Memang pada
saat tadi Kwan Cu memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan tubuhnya mengebulkan
uap putih, Kiam Ki Sianjin sudah curiga. Kini mendengar omongan Kwan Cu, dia
tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini tentulah Kwan Cu adanya!
Mendengar
ini, Kwan Cu tersenyum. Dia merogoh saku dan mengeluarkan seguci kecil arak
yang tadi memang telah dia terima dari Yok-ong. Dituangnya arak ini di tangan,
lalu dibuat mencuci mukanya yang sebentar saja berubah, tak lagi kemerahan
seperti udang direbus, melainkan menjadi muka seorang pemuda yang tampan dan
gagah.
"Memang
aku Lu Kwan Cu, datang untuk membalas dendam!" katanya.
"Kwan
Cu...!" terdengar teriakan kaget dan ini adalah suara Sui Ceng.
Gadis ini
menjadi bengong dan tanpa terasa lagi matanya basah oleh air mata. Hatinya
tidak karuan rasanya. Tidak disangka-sangkanya bahwa Kwan Cu-lah pemuda itu,
tidak dinyana-nyana bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Dan
dia pernah memandang rendah kepada Kwan Cu, dan... dan Kwan Cu pernah
menyatakan cinta kasih hatinya secara terang-terangan!
Teringatlah
Sui Ceng akan pengalaman yang sudah-sudah dan tahulah dia bahwa ketika mereka ditawan
oleh bajak sungai, Kwan Cu sengaja berlaku ketolol-tololan. Tak terasa lagi
merahlah mukanya dan hatinya berdebar tidak karuan.
Hek-i Hui-mo
menjadi pucat, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Jadi
bocah gundul yang dulu menjadi permainan para tokoh besar itu, sekarang sudah
menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya? Dia mengeluarkan seruan keras
dan kedua senjatanya cepat menyerang Kwan Cu.
Kali ini
Kwan Cu tidak mau main-main lagi. Sekali tangannya bergerak cepat, tercabutlah
Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin. Dengan pedang ini dia
bersumpah hendak membalas dendam.
Jeng-kin-jiu
sudah tewas oleh bekas kawan-kawannya sendiri dan hal ini menggirangkan
hatinya, karena Kwan Cu memang menaruh hati sayang terhadap hwesio itu. Dia
girang karena pada akhir hidupnya, Jeng-kin-jiu membuktikan bahwa sesungguhnya
ia memiliki dasar watak yang gagah perkasa dan baik.
Toat-beng
Hui-houw sudah tewas di tangan Sui Ceng, hal ini pun menyenangkan hatinya
karena memang gadis itu lebih berhak membalaskan sakit hati ibunya. Sekarang
musuh besar gurunya tinggal Hek-i Hui-mo. Maka, sesudah mencabut pedangnya dia
lalu mainkan ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat sambil mulutnya berbisik,
"Suhu,
dengan ilmu pedang Suhu, teecu akan membalaskan sakit hati suhu! Saksikanlah
dari tempat istirahatmu, Suhu!"
Tentu saja
Hek-i Hui-mo sudah tahu dan kenal akan ilmu pedang peninggalan Ang-bin Sin-kai
ini, maka dia memandang rendah. Betul bahwa tingkat kepandaiannya dahulu
setingkat dengan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah pemuda itu mainkan
pedangnya, dia kaget setengah mati. Baru beberapa gebrakan saja, sinar pedang
Liong-coan-kiam sudah berhasil membabat putus sebagian dari rambut kebutannya.
Bukan main!
Meski pun ilmu pedang ini tidak ada bedanya dengan yang dimainkan oleh Ang-bin
Sin-kai, akan tetapi gerakannya jauh berlainan. Gerakan ilmu pedang di tangan
pemuda ini jauh lebih cepat dan kuat, berlipat ganda kuatnya sehingga biar pun
Hek-i Hui-mo sudah mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tangannya tergetar
setiap kali tongkatnya terbentur oleh pedang itu yang cepatnya bukan main
sehingga beberapa kali hampir saja Hek-i Hui-mo terlambat mengelak atau
menangkis!
"Eh,
eh, ehh, kiranya kau benar-benar Hang-houw-siauw Yok-ong!" terdengar
Pak-lo-sian berseru dan tertawa bergelak.
Mendengar
ini, Kiam Ki Sianjin cepat menengok dan ternyata bahwa kakek muka hitam yang
amat lihai dan yang tadi mengalahkan Kiam Ki Sianjin dalam mengadu lweekang,
sekarang seperti Kwan Cu telah mencuci bersih mukanya dan dia itu bukan lain
adalah Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Tabib!
Gentarlah
hati Kiam Ki Sianjin melihat ini. Pemuda itu saja sudah amat lihai dan sukar
dikalahkan, sekarang di fihak musuh ada pula Yok-ong, maka kalau pertempuran
tetap dilakukan seorang melawan seorang, fihaknya tentu akan kalah.
Apa lagi
pada saat itu dia melihat Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu tengah berlari
menghampiri Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li. Dua orang
ciangbunjin ini lalu berkata dengan muka merah,
"Kami
berdua yang bermata buta dan bertelinga tuli telah salah sangka, mendakwa Ji-wi
yang putih bersih sehingga kami patut dihukum mampus."
"Ah,
tidak apa, Ji-wi Bengyu. Kalian menjadi korban tipu muslihat dari para
penjilat," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Akan tetap
Kiu-bwe Coa-Li mengejek, "Sungguh memualkan perut, dua ciangbunjin yang
bernama besar ternyata masih mudah saja diberi makan tai oleh anjing-anjing
itu!"
Mendengar
ini, dua orang tua ini menjadi pucat dan kemudian, makin merah wajahnya. Mereka
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Semua
anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai melihat ini, beramai-ramai lalu datang
dan ikut berlutut pula!
"Kami
orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, bersedia menerima binasa untuk dapat
menebus dosa!" kata kedua orang ketua ini.
Melihat ini,
Kiu-bwe Coa-li merasa terharu. "Ji-wi jangan seperti anak kecil.
Orang-orang yang berdosa adalah penjilat-penjilat penjajah, mereka berada di
depan kita dan secara terang-terangan mereka memusuhi kita. Mengapa tidak
lekas-lekas memukul mereka?"
Serentak
orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai bangkit berdiri dan memandang pada Kiam
Ki Sianjin dan kawan-kawannya dengan mata penuh kemarahan. Melihat ini, Kiam Ki
Sianjin lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk dan meniupnya keras
sekali. Itulah tanda bagi semua tentara yang memasang baihok (barisan sembunyi)
untuk mulai bergerak!
Maka
keluarlah barisan yang mengepung bukit itu dari segenap jurusan. Dengan senjata
di tangan mereka berbaris rapi dan mulai menyerbu ke atas. Kiam Ki Sianjin dibantu
oleh kawan-kawannya juga segera mencabut senjata dan turut menyerbu!
Kwan Cu
masih bertempur ramai dengan Hek-i Hui-mo. Melihat hal ini dia lalu berseru,
"Yok-ong
Locianpwe, harap jangan melawan dan segera menyelamatkan kawan-kawan berlari
lebih dulu. Biar teecu yang menahan mereka!"
Begitu
ucapan ini habis dikeluarkan, dia lalu menggerakkan pedangnya secara luar biasa
sekali dan tangan kirinya juga mainkan Pek-in Hoat-sut dengan jurus-jurus yang
paling berbahaya.
Mana Hek-i
Hui-mo kuat menahan serangan dari seorang yang sudah mengisap semua pelajaran
tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Tenaga yang digunakan oleh Kwan Cu
pada saat itu adalah tenaga sepenuhnya, maka terdengarlah suara keras. Tongkat
Kepala Naga putus oleh pedang Liong-coan-kiam yang terus menyabet hingga
pinggang Hek-i Hui-mo terbabat putus menjadi dua!
Kemudian
Kwan Cu mengamuk hebat. Pertama-tama yang diserbunya adalah Kiam Ki Sianjin
karena di antara semua lawan, yang terberat adalah kakek ini. Kiam Ki Sianjin
dibantu oleh banyak kawannya lalu mengurung Kwan Cu dan sebagian pula menyerbu
kepada Yok-ong dan kawan-kawannya.
Akan tetapi,
Yok-ong cepat memberi tanda kepada Pak-lo-sian dan yang lain-lain untuk
mengikuti dia mundur. Sambil mundur, mereka ini tidak tinggal diam saja.
Yok-ong
menggunakan kaki dan tangannya merobohkan setiap orang yang berani dekat.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil tertawa terbahak-bahak menggunakan kedua
kakinya. Biar pun kedua tangannya tak dapat digerakkan, namun sepasang kakinya
berpesta-pora dan menendang para pengeroyok. Siapa pun juga yang kena
tendangannya pasti lantas terpental jauh untuk bangun di depan Giam-lo-ong
(Raja Maut)! Demikian pula Kiu-bwe Coa-li yang mengamuk dengan sepasang
kakinya.
Seng Thian
Siansu yang sudah tua dan remuk tangan kanannya, hanya menggunakan tangan
kirinya menangkap-nangkapi para pengeroyok dan melempar-lemparkan mereka.
Sedangkan Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat juga mengamuk hebat membabati para
tentara yang tentu saja bukan menjadi lawan mereka yang seimbang. Dua orang
murid Kun-lun-pai juga mengamuk, demikian pula Bian Kim Hosiang, Bin Kong
Siansu, beserta para murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Akan tetapi
jumlah tentara yang naik banyak sekali sehingga apa bila pertempuran itu
diteruskan, tenaga mereka pasti akan kalah juga.
"Lari,
ikut padaku!" kata Yok-ong.
Raja Tabib
ini lalu membawa semua kawannya menuju ke jalan rahasia yang tadi pernah dia
perlihatkan kepada Kwan Cu. Karena mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi
dan ilmu lari cepat, apa lagi para tentara juga gentar menghadapi mereka,
sebentar saja Yok-ong sudah dapat membawa mereka memasuki goa dan melarikan
diri melalui jalan terowongan di bawah tanah.
Kwan Cu
masih mengamuk hebat. Tidak terbilang banyaknya orang yang roboh di bawah
amukan pedangnya. Lama-lama dia merasa tidak tega melihat banyaknya orang
tewas. Entah sudah berapa puluh musuh yang binasa, mayat mereka
bertumpuk-tumpuk dan bergelimpangan. Darah membanjir membuat hatinya ngeri.
Akan tetapi dia tidak sempat merobohkan Kiam Ki Sianjin yang amat kosen.
"Untuk
apa membunuhi orang-orang yang hanya menjadi alat?" pikirnya, maka dia
mulai mundur. Akan tetapi, di mana-mana dia terkurung oleh tentara yang
banyaknya seperti semut itu.
Di bawah
hujan senjata yang luar biasa banyaknya itu, mendadak meluncur anak-anak panah
yang cepat sekali datangnya. Kwan Cu salah hitung.
Dia mengira
bahwa semua panah itu datang dari tentara biasa yang memang semenjak tadi kalau
ada kesempatan lalu menghujankan anak panah mereka. Akan tetapi semua anak
panah itu dengan hanya sekali sampok saja dengan tangan kirinya, sudah runtuh
berhamburan.
Kali ini,
dia pun menggunakan tangan kirinya menyampok. Namun alangkah terkejutnya ketika
dia merasa kulit lengan kirinya sakit dan berdarah, tanda bahwa yang melepaskan
adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar.
Lebih kaget
lagi ketika anak-anak panah seperti itu makin gencar datangnya. Pada saat Kwan
Cu melihat ke arah pelepas anak-anak panah itu, dia melihat bahwa pelepas anak
panah itu adalah Kiam Ki Sianjin dan Kam Cun Hong, perwira tinggi kepercayaan
Si Su Beng. Memang dalam hal ilmu silat, kepandaian panglima she Kam ini tidak
terlalu hebat, akan tetapi dalam ilmu memanah, dia ahli dan lihai sekali.
Kwan Cu
sibuk menangkis, akan tetapi tetap saja ada sebatang anak panah meleset dari
lengannya dan menancap di dadanya sebelah kiri dekat pundaknya! Baiknya
tubuhnya telah terisi oleh sinkang yang luar biasa, maka dia masih keburu
menolak anak panah itu sehingga menancap tidak sampai menembusi dagingnya dan
tak melukai anggota tubuh sebelah dalam.
Namun, ini
sudah cukup mengejutkan Kwan Cu yang cepat melompat dan menggunakan ilmu
ginkang-nya. Dia melompati kepala para pengeroyoknya dan sebentar saja dia
telah lenyap!
Kiam Ki
Sianjin memimpin teman-teman dan anak-anak buahnya melakukan pengejaran, namun
pemuda itu tidak kelihatan lagi karena dia telah masuk ke dalam jalan
terowongan di bawah tanah, mengejar rombongan Yok-ong yang sudah lari terlebih
dulu.
Dengan amat
berang dan kecewa, Kiam Ki Sianjin mengobrak-abrik hutan, membakari
alang-alang, dan akhirnya menjelang senja dia menarik mundur pasukannya dan
kembali ke kota raja dengan hati penasaran, kecewa, dan juga gentar.
***************
Yok-ong
berhasil membawa rombongannya keluar dari kurungan tentara kerajaan dan mereka
muncul di dalam sebuah hutan yang besar di sebelah kiri Bukit Tai-hang-san,
sebelah selatan kota Tai-goan. Setelah menghaturkan terima kasih, Bian Kim
Hosiang dan Bin Kong Siansu memimpin anak murid masing-masing untuk pulang ke Bu-tong-san
dan Kim-san.
Ada pun
Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Bun Sui Ceng, The Kun Beng, dan Gouw Swi
Kiat masih menanti di situ dengan hati gelisah karena Kwan Cu belum juga
muncul. Setelah menanti beberapa lama, Seng Thian Siansu bersama dua orang
muridnya juga berangkat, dan menerima obat dari Yok-ong.
Seng Thian
Siansu merasa amat terharu dan berterima kasih sekali, lalu pulanglah dia ke
Kun-lun-san. Tiga orang ketua partai besar ini berjanji akan mendidik anak-anak
murid mereka, karena negara membutuhkan orang-orang gagah untuk menghadapi
keganasan penjajah.
Di antara
mereka yang menunggu munculnya Kwan Cu, yang kelihatan gelisah sekali adalah
Yok-ong karena kakek ini merasa suka sekali terhadap Kwan Cu. Akan tetapi
sebenarnya, hati Sui Ceng lebih gelisah dari pada Yok-ong, cuma saja gadis ini
tentu saja menyembunyikan perasaannya.
Mereka
menanti munculnya Kwan Cu sambil tiada hentinya memuji dan membicarakan murid
Ang-bin Sin-kai itu. Tahulah mereka semua bahwa pemuda itu tentu telah mewarisi
ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Tak lama
kemudian, muncullah Kwan Cu dari goa itu.
"Kwan
Cu... kau terluka...?" Sui Ceng berseru lebih dulu tanpa dapat menahan
mulutnya ketika melihat baju pemuda itu penuh darah dan sebatang anak panah
menancap pada dada kirinya. Juga Yok-ong menghampiri dan hendak memeriksa lukanya.
Akan tetapi
Kwan Cu menggeleng kepalanya.
"Tidak
apa... tidak apa, hanya luka sedikit. Biarlah sementara waktu anak panah ini
tidak dicabut dulu."
Ucapan ini
cukup memberi tahukan bahwa anak panah itu mengandung racun. Memang, jika
dicabut maka racun yang berada di ujung anak panah akan lebih lekas menjalarnya
dan berbahaya sekali, akan tetapi kalau dibiarkan dulu dan dengan pengerahan
tenaga lweekang, racun itu tidak mudah menjalar.
Yok-ong
merasa heran mengapa pemuda itu belum mau diobati. Akan tetapi Kwan Cu tidak
mengacuhkan lukanya, bahkan lalu berkata,
"Aku
telah khawatir sekali jika Cu-wi telah pergi dari sini. Aku ingin sekali
menyampaikan sesuatu mengenai diri Sui Ceng."
Semua orang
melongo. Sui Ceng menjadi merah mukanya dan Kun Beng memandang dengan rasa
cemburu.
"Apa
kehendakmu mengenai diri muridku?" Kiu-bwe Coa-li bertanya dengan marah.
"Suthai,
aku pernah ditinggali pesan oleh ibu dari Sui Ceng, yakni Pek-cilan Thio Loan
Eng, bahwa aku harus melindungi Sui Ceng. Sekaranglah waktunya aku harus
mentaati pesan itu. Terang-terangan kukatakan bahwa perjodohan antara Sui Ceng
dan Kun Beng harus dibatalkan!"
Sui Ceng
menjadi pucat, juga Kun Beng menjadi pucat, sedangkan Swi Kiat memandang dengan
mata bersinar-sinar sambil menduga-duga mengapa Kwan Cu mengemukakan hal yang
memang menjadi isi hatinya.
"Kwan
Cu, sepak terjangmu tadi sungguh mengagumkan hatiku, akan tetapi omonganmu
sekarang ini benar-benar membikin aku marah sekali," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Katakanlah alasan-alasannya mengapa kau bicara begitu."
Melihat Kwan
Cu ragu-ragu, Pak-lo-sian yang juga merasa tersinggung karena Kun Beng adalah
anak muridnya, mendesak, "Kwan Cu, lekas ceritakan kenapa kau menghendaki
demikian."
Kwan Cu
memandang kepada Kun Beng, lalu kepada Swi Kiat, kemudian dia berbicara dengan
suara lantang, "Bukan hak dan kewajiban teecu untuk menceritakan alasan
itu. Lebih baik Kun Beng dan Swi Kiat yang bercerita tentang diri Kun Beng dan
Gouw Kui Lan."
Pucatlah
wajah Kun Beng dan tubuhnya gemetar. Melihat hal ini, hati Sui Ceng menjadi
berdebar. Ia sudah jatuh cinta pada tunangannya ini dan sekarang hal apakah
yang akan didengarnya?
Swi Kiat
menggigit bibirnya, karena hal ini menodakan nama baik adiknya, nama baik
keluarganya. Sakit hatinya mendengar Kwan Cu membongkar rahasia ini. Tadinya
dia hendak mengurus hal ini dengan Kun Beng secara diam-diam, jangan sampai
terdengar oleh orang lain.
Pak-lo-sian
membanting kakinya di atas tanah. "Kalian muridku berdua! Mengapa diam
saja? Hendak menyembunyikan rahasia dari gurumu?"
Kun Beng
hanya menundukkan kepalanya, tidak berani bergerak. Swi Kiat lalu menelan ludah
beberapa kali, kemudian terpaksa dia menuturkan dengan suara gemetar tentang
perbuatan Kun Beng terhadap Kui Lan, adiknya.
Mendengar
ini, semua orang merasa kaget bukan main. Sui Ceng menjadi pucat sekali dan air
matanya mengalir turun membasahi pipinya.
Kiu-bwe
Coa-li lalu bangkit dan berkata, "Sui Ceng, tidak ada apa-apa lagi yang
perlu dibicarakan. Perjodohanmu putus sampai di sini! Hayolah kita pergi!"
Kiu-bwe Coa-li lalu melompat dan berlari pergi dari situ.
Sui Ceng
ragu-ragu, lalu menghampiri Kwan Cu. Sambil menggigit bibir dia berkata,
"Kau iri hati, kau... kau...!" Tangannya menampar dan...,
"Plakk!" pipi Kwan Cu sudah ditamparnya.
Pemuda itu
hanya memandangnya dengan tenang. Dengan terisak Sui Ceng lalu berlari mengejar
gurunya.
Pak-lo-sian
marah bukan main. "Kun Beng, murid semacam engkau ini harus binasa,
sungguh memalukan nama baik gurumu!"
Kakinya
menendang, akan tetapi bukan Kun Beng yang terjungkal, melainkan Swi Kiat!
Pemuda ini sudah menubruk sambil memasang dirinya sehingga dia mewakili
sute-nya. Tubuhnya terlempar bergulingan. Pak-lo-sian terkejut sekali, akan
tetapi Swi Kiat yang patah tulang pundaknya terkena tendangan, telah maju
berlutut,
"Suhu,
mohon mengampuni nyawa sute. Dia… dia adalah suami adik teecu, dia harus
mengawini Kui Lan!"
Melihat ini
semua, Kun Beng tiba-tiba berdiri dan sambil tertawa bergelak, dia melompat dan
sebentar kemudian lenyap dari situ. Mendengar suara ketawa ini, semua orang
jadi bergidik, dan Yok-ong berkata seorang diri, "Kasihan... suara ketawa
itu menunjukkan bahwa batinnya terpukul hebat dan mungkin otaknya terkena
getaran."
Ini hanya
berarti bahwa ada kemungkinan Kun Beng menjadi gila!
Pak-lo-sian
marah dan mengejar Kun Beng, diikuti oleh Swi Kiat. Akan tetapi mereka tak
dapat menemukan jejak Kun Beng lagi.
Yok-ong lalu
menghampiri Kwan Cu dan alangkah kagetnya ketika dia melihat pemuda itu
menangis terisak-isak. Ternyata bahwa Kwan Cu merasa menyesal setengah mati
melihat akibat dari pada pembongkaran rahasia itu. Ia dapat merasa betapa Sui
Ceng terluka hatinya, Kiu-bwe Coa-li kecewa, Pak-lo-sian Siangkoan Hai malu dan
marah, Swi Kiat berduka dan Kun Beng mungkin... gila!
"Locianpwe...
aku... aku berdosa besar..."
"Sudahlah,
hati yang menanggung cinta kasih memang membikin orang menjadi buta dan
sembrono. Biar kuobati lukamu."
Akan tetapi
Kwan Cu menggeleng kepalanya dan pergi sambil menundukkan mukanya. Yok-ong tahu
akan kekerasan hati pemuda ini, maka dia lalu memasukkan sebungkus obat di
kantong pemuda itu sambil berkata,
"Pakai
obat ini pada lukamu, pasti akan sembuh."
Akan tetapi
Kwan Cu tidak menjawab dan terus berjalan dengan kepala tunduk. Mukanya pucat
dan kakinya limbung. Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera pergi
karena tahu bahwa dia tidak dapat menghibur pemuda yang luka hatinya itu.
Kwan Cu
berjalan terus tanpa tujuan, memasuki hutan yang besar itu. Dadanya yang
terluka sakit sekali rasanya, akan tetapi dia tidak ambil peduli. Kematian
bukan apa-apa baginya pada saat itu. Rasa panas di pipinya lebih menyakitkan
hati dari pada rasa panas pada luka di dadanya. Anak panah itu masih menancap
pada dadanya, tapi tidak dipedulikannya pula.
"Kwan
Cu...!"
Ia menengok
dan melihat Sui Ceng berdiri di depannya. "Kau... kau kenapa?"
Kwan Cu
melihat air mata mengalir di pipi gadis itu. la menarik napas panjang,
"Kau tentu tak mau mengampuni aku...," katanya lemah.
"Lukamu
itu...! Mengapa belum diobati?"
Kwan Cu
menundukkan mukanya dan tiba-tiba saja timbul pikiran yang sangat aneh di
kepalanya. Dengan tangan dia menekan anak panah itu yang tentu saja masuk
semakin dalam ke dadanya! Ia merasa sakit sekali, akan tetapi dengan senyum
aneh dia berkata, "Lebih baik aku mati saja."
Rasa sakit
tak tertahankan lagi dan Kwan Cu roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Tubuhnya sebetulnya kuat sekali dan biar pun anak panah itu menancap makin
dalam, dia takkan apa-apa kalau batinnya tidak menerima pukulan hebat akibat
peristiwa tadi.
Ketika
siuman kembali, dia melihat dirinya duduk dan bersandar pada pohon. Bajunya
yang atas sudah tidak ada, entah ke mana. Ia bertelanjang sebatas pinggang ke
atas. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semua ini, karena dia melihat Sui
Ceng telah duduk di depannya dan sedang merawat luka di dadanya. Anak panah itu
telah dicabut dari dadanya dan kini dengan sapu tangannya, Sui Ceng tengah
membersihkan lukanya.
Darah muda
Kwan Cu memanaskan seluruh tubuhnya. Alangkah cantiknya wajah yang berada dekat
di depannya. Alangkah indahnya rambut yang terurai itu, bibir yang merah dan
penuh, mata yang masih membayangkan tangis.
"Sui
Ceng... kau baik sekali..."
Gadis itu
tidak menjawab, hanya menggigit bibir sambil menahan isak. Akan tetapi kedua
tangannya masih tetap bekerja membersihkan darah dari luka yang membiru itu.
"Sui
Ceng... alangkah... alangkah cantiknya engkau..."
Dua tetes
air mata mengalir di pipi gadis ini, matanya dikejap-kejapkan sebab pandangan
matanya terganggu dan bibirnya gemetar.
"Sui
Ceng, sekali lagi... aku... aku cinta kepadamu...," suara Kwan Cu menjadi
bisik-bisik akibat kepalanya sudah berdenyut-denyut pula, pandangan matanya
berkunang-kunang. "Kau... kau ampunkan aku, Sui Ceng, aku... aku berdosa
besar..."
Air mata
dari mata gadis itu turun semakin banyak dan kini bukan hanya bibirnya yang
gemetar, bahkan sepuluh jari tangannya yang merawat luka ikut menggigil. Akan
tetapi ia tetap membungkam dan matanya tak pernah melirik wajah Kwan Cu.
"Sui
Ceng...," suara Kwan Cu lemah dan lirih sekali, "biarkan... aku
mati... aku lebih suka mati dari pada menyakiti hatimu..." Dan tiba-tiba
kepala Kwan Cu terkulai, dia pingsan lagi untuk kedua kalinya!
Melihat ini,
Sui Ceng menjadi kaget setengah mati. Dia memeluk tubuh pemuda itu dan
menggoyang-goyangnya. "Kwan Cu... dengarlah... aku! Jangan mati, Kwan
Cu...!"
Namun Kwan
Cu tetap tidak bergerak. Tanpa dia ketahui sendiri, tubuh Kwan Cu sudah
memiliki kekuatan yang aneh berkat latihan-latihan lweekang menurut petunjuk
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Racun yang dipasang pada ujung anak panah yang
dilepaskan oleh Kiam Ki Sianjin, adalah racun pemberian dari Coa-tok Lo-ong dan
sangat ganas. Kalau saja di dalam tubuh Kwan Cu tidak mengalir hawa murni dari
sinkang yang sudah dilatihnya, pasti racun itu akan cepat menjalar dan
menewaskannya.
Berkat
kekuatan ini Kwan Cu siuman kembali. Dia mendengar suara orang
memanggil-manggil namanya dari jauh. Suara itu makin lama makin dekat dan
ketika dia membuka matanya, dia melihat Sui Ceng menangis sambil memanggil-manggil
namanya.
Ia tidak
tahu bahwa tadi wajahnya sudah pucat seperti mayat dan detak nadinya sudah
berhenti, maka gadis itu mengira bahwa dia sudah mati! Padahal, hentian detak
nadi ini adalah akibat dari pengerahan lweekang yang sudah tak dapat diukur
tingginya lagi. Tadi sebelum pingsan Kwan Cu menahan sakit dan mengerahkan
lweekang-nya sehingga dia berhasil menghentikan jalan darahnya, maka pada saat
Sui Ceng meraba urat nadi, tidak merasa ada detaknya lagi.
"Sui
Ceng, terima kasih... kau...kau menangis untukku...," katanya.
Sui Ceng
memandang muka yang tadinya berada di atas pangkuannya itu. Melihat Kwan Cu
‘hidup kembali’ dia pun cepat-cepat menurunkan kepala pemuda itu di atas tanah
dan berkata, "Kwan Cu, jangan kau mati..."
Kwan Cu
tersenyum. "Tidak, Sui Ceng. Kalau kau menghendaki aku hidup, katakanlah
bahwa kau memaafkan aku."
"Aku...
aku maafkan kau, Kwan Cu."
Sinar
gembira membayang pada wajah Kwan Cu. Dia mengerahkan tenaga dan berhasil
bangkit duduk. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkannya bungkusan obat
pemberian dari Yok-ong.
"Yok-ong
locianpwe memberikan obat ini untukku. Campurlah dengan air dan masukkan ke
dalam luka di dadaku."
Sui Ceng
cepat menerima bungkusan itu dan pergi mencari air yang mudah didapat di dalam
hutan itu, lalu tanpa banyak cakap ia mengobati luka di dada Kwan Cu.
Luar biasa
manjurnya obat dari Yok-ong ini, karena begitu obat itu dijejalkan ke dalam
luka, rasa panas lenyap dan obat yang tadinya berwarna putih bersih setelah
terkena air itu, kini perlahan-lahan berubah hitam.
Tidak lama
kemudian, darah kehitaman keluar dari luka itu. Kwan Cu bersila, meramkan mata
sambil mengempos semangatnya, mempergunakan hawa murni dalam tubuh untuk
mendorong keluar semua racun yang mengotori darahnya sehingga darah hitam yang
keluar dari lukanya makin deras. Akhirnya keluarlah darah merah. Setelah ini
baru Kwan Cu menghentikan penggunaan tenaga dalamnya, lalu membuka matanya dan
memakai pakaiannya lagi.
Sejak tadi
Sui Ceng memandang kepada pemuda itu dengan air muka sebentar kagum sebentar
duka.
"Sui
Ceng, kau benar-benar berhati mulia seperti ibumu. Tadi kau sudah pergi dengan
gurumu, mengapa bisa datang di tempat ini?"
Sui Ceng
menjawab dengan kepala tunduk. " Aku... aku merasa menyesal sekali sudah berlaku
kasar padamu, telah... telah menampar mukamu. Kau maafkan aku, Kwan Cu."
Kwan Cu
tertawa bergelak. "Sepatutnya kau membunuhku, Sui Ceng, tak hanya sekedar
menamparku. Kalau ada orang yang minta maaf, akulah orangnya, bukan kau."
Hening
sesaat. Keduanya duduk di bawah pohon dan setelah kini sembuh dari sakitnya,
Kwan Cu merasa sungkan dan kikuk. Merah mukanya kalau dia teringat betapa tadi
dia kembali mengeluarkan kata-kata menyatakan cinta kasih kepada gadis ini.
Keheningan suasana itu membuat Kwan Cu lebih kikuk, maka agar jangan sampai Sui
Ceng merasa kikuk pula, dia mulai membuka percakapan,
"Sui
Ceng, bagaimana kau bisa memisahkan diri dari gurumu?"
"Aku
sengaja meninggalkan suthai dan sudah mendapat perkenannya. Suthai kembali ke
gunung dan kelak aku akan menyusulnya."
"Jadi
kau sengaja pergi dari Kiu-bwe Coa-li suthai untuk menyusulku?"
Sui Ceng
mengangguk. Hening lagi sesaat. Beberapa kali Kwan Cu menggerakkan bibir, akan
tetapi sukarlah kata-kata keluar dari mulutnya. Akhirnya dia memberanikan diri
dan bertanya,
"Sui
Ceng, setelah kini kau menyusulku, apakah yang hendak kau katakan? Kita
terlibat dalam urusan yang amat tidak enak, dan aku... aku..."
"Kwan
Cu, bagaimana kau bisa tahu tentang... Kun Beng dan adik Swi Kiat?"
tiba-tiba Sui Ceng bertanya sambil memandang tajam.
“Untuk
inikah kau menyusulku, Sui Ceng?"
"Ya,
untuk mengajukan pertanyaan ini. Aku penasaran sekali dan ingin mendengar kisah
itu sejelasnya."
Untuk
beberapa lama Kwan Cu menatap wajah gadis yang kemerah-merahan dan mata yang
berkaca-kaca itu, maka tertusuklah hatinya. Dengan suara perlahan dia bertanya,
"Sui
Ceng, kau... kau amat mencinta Kun Beng...?"
Merah sekali
wajah Sui Ceng. Gadis ini tahu bahwa Kwan Cu sangat mencintanya dan tentu saja
akan hancur hati pemuda ini kalau ia mengaku bahwa ia mencinta Kun Beng. Akan
tetapi tidak ada lain jalan bagi Sui Ceng untuk menyangkal dan pula ia tidak
suka menyangkal, karena gadis ini berwatak jujur.
Dengan air
mata berlinang dan suara terputus-putus Sui Ceng menjawab,
"Bagaimana
aku tidak... tidak akan mencintanya? Dia adalah tunanganku, dan dia adalah
jodohku yang dipilih sendiri oleh mendiang ibu, akan tetapi dia... dia..."
Sampai di sini Sui Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya lemas dan
tiba-tiba ia sudah berada dalam pelukan Kwan Cu.
Karena amat
berduka dan patah hati, Sui Ceng merasa mendapatkan hiburan dan dia
menyandarkan kepalanya di dada Kwan Cu sambil menangis. Usapan tangan Kwan Cu
pada kepalanya mendatangkan hiburan besar baginya seakan-akan ia sedang berada
di pangkuan ibunya sendiri.
Kwan Cu
merasa sangat terharu dan kasihan sekali, "Sui Ceng, jangan berduka,
adikku, tenangkanlah hatimu... kau sekarang bukan tunangan Kun Beng lagi, tak
perlu lagi kau memikirkan dia. Dia tidak berharga bagimu dan aku... aku
mencintamu dengan segenap jiwaku, Sui Ceng. Jangan engkau khawatir, marilah
kita membangun hidup baru, rumah tangga bahagia, dan menjauhkan diri dari
segala hal yang menjengkelkan hati. Aku akan selalu melindungimu Sui
Ceng..."
Tubuh gadis
itu tersentak, akan tetapi dia tidak mengangkat kepalanya dari dada Kwan Cu.
Untuk sesaat pikirannya bekerja keras. Harus dia akui bahwa kalau sekiranya
tidak ada Kun Beng di dunia ini, dia akan menerima pernyataan cinta kasih Kwan
Cu dengan hati terbuka.
Dia sudah
mengetahui bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan mulia, bahkan jauh lebih
baik dari pada Kun Beng. Akan tetapi, hati Sui Ceng sudah tertambat kepada The
Kun Beng tunangannya itu. Dia amat mencinta Kun Beng dan pula, bukankah pemuda
itu pilihan ibunya sendiri?
"Sui
Ceng, jangan kau takut." Kwan Cu menghibur karena dia mengira bahwa gadis
itu berdiam diri dengan hati takut menghadapi kemurkaan gurunya. "Jangan
kau takut pada siapa pun juga. Biar pun Kiu-bwe Coa-li suthai akan marah
kepadamu, akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah orangnya yang sanggup
membelamu dengan taruhan nyawa. Tak seorang pun di dunia ini akan dapat
mengganggumu selama aku masih hidup!"
Akan tetapi
tiba-tiba Sui Ceng melepaskan diri dari pelukan Kwan Cu dan memandang kepada
pemuda itu dengan muka pucat. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Tidak!
Tidak...! Jangan begitu, Kwan Cu. Janganlah kau menyeretku ke dalam lembah
kehinaan!"
Kwan Cu
terkejut sekali. Ia mengulur tangan hendak memegang lengan Sui Ceng, akan
tetapi gadis itu menarik tangannya.
"Jangan
sentuh aku lagi. Tidak patut kita bersentuhan, kau tidak berhak dan aku... aku
harus menjaga kesusilaan. Memang aku tidak takut pada suthai, akan tetapi, aku
harus mentaati kehendak ibuku. Apakah kau ingin melihat aku mengingkari pesan
ibu? Tidak, Kwan Cu. Bagiku, aku adalah jodoh dan tunangan Kun Beng, pilihan
ibu. Kalau sampai terjadi perpecahan sehingga ikatan itu putus, aku bersumpah
selamanya tidak akan mau menikah. Kecuali... kecuali kalau Kun Beng sudah
menikah dengan orang lain." Kembali Sui Ceng menangis dengan sedih.
Kwan Cu
menarik napas panjang. "Betapa pun juga, aku kagum kepadamu, Sui Ceng.
Cinta kasihmu terhadap Kun Beng benar-benar tulus dan murni, hanya pemuda itu
yang tidak tahu diri. Kau amat setia dan mulia, maka aku kembali telah merusak
kesucianmu. Dengarlah, Sui Ceng, sekali-kali aku tidak membuka rahasia Kun Beng
karena iri hati kepadanya. Memang aku ingin melihat kau berbahagia. Kalau Kun
Beng tidak melakukan perbuatan terkutuk itu, akulah orangnya yang akan membantu
perjodohan kalian. Akan tetapi, ternyata Kun Beng memperlihatkan bahwa dia
tidak patut menjadi suamimu, maka aku kasihan kepadamu dan berusaha
menggagalkan perjodohan itu."
Sui Ceng
mengangguk-angguk terharu. "Aku tahu, Kwan Cu, dan karena itu aku datang
mencarimu. Sekarang ceritakanlah bagaimana kau bisa mengetahui akan hal
itu?"
Kwan Cu lalu
menuturkan pengalamannya saat dia menolong Kui Lan dari cengkeraman An Kong dan
menceritakan pula bahwa kini Kui Lan berada di kelenteng Kwan-im-bio di dusun
Kau-ling di sebelah utara Tang-shan, yakni kelenteng yang diketuai oleh Ngo
Lian Suthai.
Sebagaimana
sudah dituturkan pada bagian depan, Ngo Lian Suthai kenal baik dengan Kwan Cu
dan ketua nikouw itu terluka oleh bajak sungai yang mencuri patung. Semua ini
diceritakan dengan sejujurnya oleh Kwan Cu hingga akhirnya dia berkata dengan
suara penuh kedukaan dan kehancuran hati,
"Sui
Ceng, sebelum aku tahu bahwa kau telah dijodohkan dengan Kun Beng, aku sudah
menaruh hati suka kepadamu. Kau sudah mendengar semua ceritaku, maka tentu kau
juga menaruh hati kasihan kepada Kui Lan gadis yang malang itu."
"Kasihan?
Dia adalah seorang gadis lemah iman yang bodoh! Gadis seperti itu tidak ada
harganya!"
Apa bila
lain orang yang mendengar omongan ini, tentu hanya akan menuduh bahwa Sui Ceng
merasa sakit hati kepada Kui Lan karena tunangannya direbut. Akan tetapi Kwan
Cu lain lagi dan dia dapat melihat kebenaran kata-kata ini.
"Memang,
Kui Lan terlampau lemah, mudah sekali menuruti ajakan iblis yang menggoda.
Betapa pun juga, keadaannya harus dan patut dikasihani."
Tiba-tiba
Sui Ceng bangkit berdiri. "Selamat tinggal, Kwan Cu. Mungkin selamanya
kita tak akan bertemu lagi."
"Ehh,
kau hendak ke mana?"
"Aku
akan menemui Kui Lan dan akan kuusahakan supaya Kun Beng mengambilnya sebagai
isteri yang sah!"
Kwan Cu
semakin kagum. "Kau hebat sekali, Sui Ceng. Benar-benar kau berbudi luhur
seperti ibumu."
Tiba-tiba
saja pemuda ini teringat akan kata-kata Sui Ceng tadi yang menyatakan bahwa
gadis ini dapat mengambil keputusan lain mengenai perjodohannya kalau saja Kun
Beng menikah dengan orang lain. Dengan demikian berarti bahwa kalau sampai
terjadi Kun Beng menikah dengan Kui Lan, maka dia memiliki banyak harapan
terhadap Sui Ceng! Karena itu cepat-cepat dia berkata,
"Tunggu
dulu, aku pun akan pergi ke sana! Aku yang mula-mula menolong Kui Lan dan aku
pula yang berkewajiban untuk menolongnya mendapatkan Kun Beng kembali. Awas
kepala Kun Beng kalau dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan
tidak mau mengawini Kui Lan."
Kedua orang
muda itu lalu berangkat dengan cepat, menuju ke kuil Kwan-im-bio di dusun
Kau-ling. Karena kedua orang muda yang perkasa ini mempergunakan ilmu lari
cepat, tidak sampai lama mereka tiba di dusun itu. Akan tetapi mereka kecewa
karena ternyata bahwa Ngo Lian Suthai telah pergi merantau membawa Kui Lan yang
diakuinya sebagai muridnya.
"Ehh,
bagaimana mungkin?" tanya Kwan Cu kepada nikouw yang menyambut mereka.
"Aku tahu benar bahwa Ngo Lian Suthai terluka hebat, bagaimana dia bisa
pergi?"
Nikouw itu
tersenyum. "Taihiap, manusia yang baik selalu mendapat perlindungan Thian.
Ngo Lian Suthai telah mendapat penyembuhan, berkat pertolongan Yok-ong
locianpwe."
Kwan Cu
melengak. Jadi sebelum bertemu dengan dia di Tai-hang-san, Yok-ong malah sudah
menyembuhkan Ngo Lian Suthai? Aneh sekali kakek Raja Tabib itu, di mana saja
dan pada waktu tenaganya diperlukan selalu muncul akan tetapi tidak banyak
bicara.
"Ke
mana perginya Ngo Lian Suthai?"
"Sukar
untuk menentukan tempatnya. Akan tetapi kalau tidak salah, dulu Ngo Lian Suthai
pernah menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya membantu perjuangan rakyat di
wilayah Pao-ting. Dan suthai selalu merasa sejiwa dengan mereka itu, maka tidak
akan meleset jauh kalau kiranya Taihiap menyusul ke sana."
Kwan Cu
menghaturkan terima kasih, lalu bersama Sui Ceng menuju ke Pao-ting yang pada
waktu itu memang menjadi sebuah di antara pusat-pusat pasukan pejuang rakyat
yang berusaha menggulingkan pemerintah Tartar. Pao-ting letaknya di sebelah
selatan kota raja, maka kedua orang muda itu melakukan perjalanan yang cukup
lama, sampai makan waktu sebulan lebih. Hal ini adalah karena di tengah
perjalanan, mereka sering kali berhenti untuk membantu perjuangan rakyat.
Makin
kagumlah hati Sui Ceng melihat sepak terjang Kwan Cu. Sekarang gadis ini tahu
betul bahwa kepandaian Kwan Cu benar-benar luar biasa hebatnya, malah jauh
melebihi kepandaian tokoh-tokoh besar, di antaranya gurunya sendiri, Kiu-bwe
Coa-li! Diam-diam dia mengharapkan supaya Kun Beng suka menikah dengan Kui Lan,
karena hal ini akan memungkinkan hatinya menyetujui pinangan Kwan Cu
terhadapnya.
Dia memang
mencinta Kun Beng. Akan tetapi kalau tunangannya itu memang sudah menikah
dengan Kui Lan, tentu dia akan dapat melupakannya dan kiranya tak akan sulit
baginya untuk membalas cinta kasih seorang pemuda seperti Kwan Cu.
***************
Pada suatu
hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan
kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah.
Kwan Cu dan Sui Ceng telah bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan
tetapi ternyata tidak ada sebatang pun anak panah yang mengenai mereka dan
ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu hanya
menancap pada tanah di sekeliling mereka.
Sui Ceng
terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu,
karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan
tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke
atas sambil berkata tenang,
"Sahabat
dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?"
Sebetulnya,
sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat
orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng
yang sesungguhnya masih belum sembuh benar dari pada lukanya yang diderita
dalam pertempuran di puncak Tai-hang-san.
Baru saja
kata-kata ini selesai dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun
empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng
terkejut. Akan tetapi baik dia mau pun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini.
Sesudah
mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini segera
memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai
wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah di
mana.
Orang itu
adalah seorang pemuda yang ganteng serta bersikap sopan santun. Pakaian dan
gerak-geriknya yang halus menunjukkan bahwa ia adalah seorang sastrawan muda.
Sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu.
Ada pun orang
ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek
bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Adapun orang ke empat yang berdiri paling
depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.
Melihat
bahwa sebagian besar yang datang merupakan orang-orang tua, Kwan Cu cepat
menjura dan bertanya,
"Entah
apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan
kami?"
"Apakah
kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?" tanya nikouw itu
sambil memandang tajam.
Juga tiga
orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng
sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di
puncak Tai-hang-san.
"Siauwte
memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini
siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?"
Mendengar
bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya ramai
disebut-sebut oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, sebab anak-anak murid
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah menceritakan peristiwa menggemparkan yang
terjadi di atas puncak Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata
menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang
pemuda sederhana yang terlihat tidak memiliki kepandaian ini sudah dapat
mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?
"Pinni
adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai."
"Aku
bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai," jawab kakek kecil bongkok.
"Aku
yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai,"
jawab kakek tinggi besar bermuka hitam.
Mendengar
ini, Kwan Cu merasa heran sehingga dia memandang lebih tajam. Ternyata bahwa
kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biar pun
pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.
Kong Seng
Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.
"Pinceng
memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Bila pinceng memakai jubah
pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si
akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan
hebat?"
Kwan Cu
kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka
dia cepat menjura dan berkata,
"Kong
Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum
sekali."
Tiba-tiba
terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri. "Aku yang rendah adalah
Lai Siang Pok."
Mendengar
nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu
berkata, "Ehh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari
oleh Hek-i Hui-mo?"
Pemuda itu
tersenyum dan wajahnya semakin menarik. "Bun-lihiap benar-benar bermata
tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan
Hek-i Hui-mo adalah guruku." Setelah berkata demikian Lai Siang Pok lalu
menundukkan muka dan menutup mulut.
Diam-diam
Sui Ceng berpikir, sampai di mana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo
ini. Teringat dia akan semua pengalamannya pada waktu dia masih kecil, ketika
gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo.
Seperti
pernah dituturkan di bagian depan, dahulu Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan
pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang
Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab
itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh
pujangga Tu Fu.
Kemudian,
sesudah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang
Pok dan dipaksa untuk menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah tewas oleh
Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?
Kwan Cu
tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum sambil
bertanya,
"Setelah
memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan sahabat ini
pula, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai."
Akan tetapi
mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, bahkan sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu
berkata,
"Lu-taihiap,
tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu di sini, bukan?"
Muka Kwan Cu
menjadi merah disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya
panggilan ini memang dengan hati tulus, sebab siapakah kini yang tidak
menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di
puncak Tai-hang-san?
"Siauwte
tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai," jawab Kwan Cu.
"Pinni
sengaja datang untuk bertanya, kenapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani
mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio?"
Sui Ceng
mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut bukan main. "Mempermainkan dan
mengganggu bagaimana, Suthai?" tanyanya penasaran.
Lui Kong
Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dulu pada waktu mudanya nikouw ini tentu
berwajah cantik, ada pun senyumnya masih membayangkan kegenitan mirip yang
dipunyai oleh Wi Wi Toanio.
"Taihiap,
muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah
timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya.
Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan paham bahwa dia adalah
seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak
patut."
Bukan main
marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.
"Suthai,
kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak
pernah mempermainkan wanita!"
Akan tetapi
ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya jadi
berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari
An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa
kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan
baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.
"Wi Wi
Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena
An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, yaitu musuh besar kongkong-ku dan
guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia
membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap
mengganggu?" setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke
arah Sui Ceng......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment