Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 24
MULAI timbul
amarah Kwan Cu. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang berakhlak bejat,
menurutkan nafsu hati dan dendam tanpa mengingat bahwa pihaknya sendirilah yang
salah besar.
Empat orang
adik seperguruannya tidak akan binasa di tangan Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan
Ang-bin Sin-kai kalau tidak melakukan kejahatan luar biasa, dan Pek-eng Sianjin
sendiri pun tidak akan mengalami hinaan dari Kwan Cu kalau saja dia bertindak
di atas jalan yang benar. Sekarang, sebaliknya dari pada menginsyafi
kedosaannya, kakek ini bahkan secara amat curang dan tidak tahu malu telah
mengeroyok Kwan Cu dan sudah terang menghendaki kematian pemuda ini.
"Kau
mencari penyakit sendiri!" seru Kwan Cu dan dia pun mulai melakukan
serangan balasan.
Pek-eng
Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup tinggi,
demikian pula tiga orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung Kwan Cu
dari empat jurusan dan melakukan serangan-serangan hebat.
Tetapi Kwan
Cu yang gesit dan tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi itu, melayani
mereka dengan amat tabah. Sulingnya bergerak-gerak bagai naga menyambar
sehingga setiap serangan lawan kalau tidak dielakkannya tentu dapat ditangkis.
Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, dia bergerak menurut Ilmu Silat
Kong-ciak Sin-na dan mencoba untuk merampas senjata lawan.
Namun
keempat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati
sekali ketika Pek-eng Sianjin berseru,
“Awas,
jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!"
Kwan Cu
mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata
mereka. Bila dia memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan
mudah dia akan dapat menggulingkan para pengeroyok ini dengan menggunakan ilmu
pukulan Pek-in Hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk menotok jalan darah di
tubuh lawan.
Akan tetapi,
Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Ia belum kenal siapa adanya tiga orang
kawan Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan tangan kejam terhadap
orang-orang yang belum diketahui kejahatannya.
Karena
kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu berseru
keras dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang
bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka.
Sebentar
Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan
kadang-kadang melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang di
antara mereka. Pemuda ini mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan ginkang-nya
yang paling tinggi.
Pengepungan
itu menjadi kacau balau dan permainan senjata mereka kini tidak teratur lagi.
Mereka membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, akan
tetapi tidak pernah mendapatkan sasaran.
Pek-eng
Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan amat marah tiba-tiba saja menubruk
dengan pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kirinya yang
mencengkeram hendak memeluk leher. Inilah suatu serangan yang disebut Pek-mo
Jio-beng (Iblis Putih Merebut Nyawa), hebatnya bukan main.
Pedang itu
digerakkan dengan khikang sepenuhnya sehingga ujung pedang jadi tergetar,
selain cepat juga amat kuatnya dapat menembus dinding baja. Sedangkan tangan
kiri itu mencengkeram dengan gerakan Kin-na-jiauw yang dilakukan melalui pengerahan
tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata kulit atau daging manusia, bahkan batu
karang yang keras juga akan hancur terkena cengkeraman ini.
Walau pun
amat lihai, sesungguhnya ilmu serangan ini adalah semacam gerak tipu yang hanya
dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat dan hendak mengadu jiwa dengan
lawannya. Gerakan Pek-mo Jio-beng ini tidak dapat ditarik kembali, sekali
dikeluarkan, kalau lawannya tangguh tentu akan kena dipeluk untuk mati bersama,
kalau lawannya kurang tangguh pasti takkan dapat mengelakkan diri dari dua
serangan yang merupakan sepasang tangan maut itu!
Kwan Cu
mendengar suara angin serangan yang amat dahsyat ini, yang dilakukan oleh
Pek-eng Sianjin dari belakang. Pemuda ini pun tahu bahwa lawan ini telah
berlaku nekat dan telah mengeluarkan serangan dari kepandaian simpanan. Biar
pun pemuda ini tidak melihat dengan matanya, namun telinga dan perasaannya yang
amat tajam sudah dapat membedakan bahwa Pek-eng Sianjin melakukan serangan
dengan pedang serta tangan kiri.
Kwan Cu tidak
menjadi gugup. Pada saat itu, tombak di tangan Te-eng Sianjin menusuk perutnya
dari depan. Kwan Cu yang lebih memperhatikan serangan dari arah belakang,
mengangkat kaki kanan memapaki tombak ini dari samping. Gerakan semacam ini
tidak sembarang ahli silat tinggi berani melakukannya, karena kalau meleset
sedikit saja, tentu kaki akan beradu dengan ujung tombak dan betapa pun
kuatnya, sepatu berikut kulit kaki tentu akan tertembus atau terluka.
Namun
tendangan Kwan Cu ini tepat sekali datangnya, mengenai bawah mata tombak
sehingga tombak itu terpental. Dengan meminjam tenaga tusukan tombak, Kwan Cu
lalu membanting kaki ke kanan sehingga tubuhnya juga miring ke kanan, berbareng
dia juga memukulkan sulingnya ke belakang punggung hingga tepat menangkis serangan
pedang di tangan Pek-eng Sianjin. Ada pun pukulan tangan kiri Pek-eng Sian-jin
hanya lewat di samping tubuhnya sebelah kiri.
Akan tetapi
keadaan Kwan Cu yang tubuhnya miring dan kelihatannya berada dalam kedudukan
berbahaya ini tidak mau disia-siakan oleh tiga orang kawan Pek-eng Sianjin.
Te-eng Sianjin sudah menggerakkan tombaknya pula, menusuk dengan sekuat tenaga.
Thian-eng Sianjin membacok dengan pedangnya, demikian pula Loan Kek Hosiang
yang melakukan bacokan hebat dengan pedangnya! Agaknya sudah tidak ada harapan
bagi Kwan Cu untuk menghindarkan diri dari tiga serangan hebat ini.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan seruan terkejut dari tiga orang itu
yang wajahnya menjadi pucat sekali. Apa yang terjadi? Kwan Cu yang tubuhnya
sudah miring itu, secepat kilat menangkap tangan kanan Pek-eng Sian-jin, lalu
memencet keras hingga pedang lawannya terlepas.
Kemudian,
sekaligus Kwan Cu mengerahkan tenaga lweekang sehingga badan Pek-eng Sianjin
diangkat oleh tangan kirinya, langsung dibanting ke depan menjadi perisai yang
menangkis semua serangan tiga orang itu!
Tombak
Te-eng Sianjin tepat sekali menancap di perut Pek-eng Sianjin sampai tembus,
pedang Thian-te Sianjin melukai pundaknya dan yang lebih lagi, pedang di tangan
Loan Kek Hosiang membabat putus lengan kanan yang dipegang oleh Kwan Cu!
Seketika itu juga tewaslah Pek-eng Sianjin, setelah mengeluarkan pekik yang
menyeramkan tadi!
Sesudah
melepaskan lengan yang sudah putus, Kwan Cu tidak mau berbuat kepalang
tanggung. Tubuhnya bergerak cepat, suling di tangannya menyambar-nyambar,
lantas robohlah tiga orang kawan Pek-eng Sianjin tadi dalam keadaan tertotok
jalan darahnya!
Para anak
murid Pek-eng Kauw-hwe yang kini sudah datang mendekat berdiri dengan wajah
pucat, sama sekali tak berani bergerak atau bersuara. Tak pernah mereka sangka
bahwa pemuda itu ternyata demikian lihainya!
"Kalian
lihat, beginilah nasib orang yang berhati curang dan jahat. Pek-eng Sianjin
telah mencari kematiannya sendiri. Aku masih tidak tega untuk membunuh
orang-orang lain dan biarlah kematian Pek-eng Sianjin ini menjadi peringatan bagi
kalian semua supaya mengubah watak dan berbuat kebaikan sesuai dengan jalan
kebenaran. Rakyat sedang membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk mengusir
penjajah, kenapa kalian tidak membantu perjuangan suci itu bahkan sebaliknya
menimbulkan kekacauan? Pikirkanlah kata-kataku ini baik-baik!" Sesudah
berkata demikian, tubuh pemuda ini berkelebat dan dalam sekejap mata lenyap
dari situ.
Setelah
terlongong-longong untuk beberapa waktu dan tidak berani bergerak atau pun
membuka suara, barulah para anggota Pek-eng Kauw-hwe itu beramai-ramai menolong
tiga orang tua yang lumpuh tertotok dan mengurus jenazah Pek-eng Sianjin yang
amat mengerikan itu. Lengannya putus, isi perutnya berantakan keluar dan
pundaknya hampir putus pula.
***************
Oleh karena
itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang sangat baik. Dia mengirim surat kepada
semua partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Thian-san-pai,
Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Juga dia mengundang tokoh-tokoh besar
seperti Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari
Kun-lun-pai dan fihak-fihak lain yang kelihatannya anti kaisar penjajah.
Undangan itu
untuk mengadakan pertemuan atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit
Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw (Bulan lima tanggal lima belas), di mana
akan dirundingkan dan diperdebatkan pendirian mereka yang bertentangan.
Tentu saja
secara diam-diam Kiam Ki Sianjin mengumpulkan tokoh-tokoh yang sekiranya akan
berdiri pada fihaknya, yakni seperti Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng
Hosiang yang disebut Bu-eng Siang-hiap dan yang tadinya membantu putera An Lu
Shan dan sesudah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su Beng, kemudian
menyerah serta membantu pula kepada Si Su Beng.
Masih banyak
tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam
Ki Sianjin bermaksud mengundang semua tokoh dan apa bila fihak yang anti kaisar
masih tak mau mengalah, di puncak Tai-hang-san itu akan dijadikan tempat
pembasmian bagi mereka!
Banyak para
ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada Kiam Ki
Sianjin untuk meminta penjelasan setelah menerima surat itu. Di antara mereka
yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai dan Bin Hong
Siansu tokoh ke dua dari Kim-san-pai.
Sebagaimana
sudah dituturkan pada bagian depan, dua orang tokoh ini kebetulan sekali
bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-jin dan sudah mencoba kepandaian
pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk kembali ke tempat
masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah bertemu dengan
Kiam Ki Sianjin.
Meski pun
mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar kota
raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.
"Bin
Hong Toyu, bagaimana pendapatmu mengenai bocah yang mengaku sebagai murid
Ang-bin Sin-kai itu?" di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya.
Mereka
melakukan perjalanan sambil mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuh
mereka bergerak bagaikan terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan
lelah, bahkan masih bisa bercakap-cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu
kepandaian mereka.
Bin Hong
Siansu menghela napas panjang. "Kita harus mengakui bahwa kita sudah tua
dan ketinggalan jaman. Secara jujur harus kuakui bahwa selama hidup aku belum
pernah melihat seorang pemuda yang demikian lihainya."
"Kalau
begitu, fihak yang anti kaisar tentu jauh lebih kuat dari pada fihak yang
membantu kaisar," kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai
itu.
"Belum
tentu demikian. Biar pun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan bisa
mengatasi Hek-i Hui-mo atau Toat-beng Hui-houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum
tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur menggunakan meja, hal
yang amat aneh!" jawab Bin Hong Siansu. "Bagiku sendiri, kurasa
pendirian Kiam Ki Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tidak mau membantu
kaisar, hal itu berarti bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar
kepada rakyat. Apa bila pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditindas dan
keadaan negara aman kembali, tentu rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah
pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya
perebutan kedudukan kaisar, semua sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.
Mengapa harus membangkang terhadap keputusan nasib yang telah ditentukan oleh
Thian?"
Bian Ti
Hosiang mengerutkan kening. "Pinceng masih belum bisa mengambil keputusan,
terserah kepada suheng Bian Kim Hosiang saja."
Memang di
dalam hatinya, hwesio Bu-tong-pai ini masih ragu untuk menyetujui pendapat tosu
dari Kim-san-pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan
tetapi karena dia juga tahu bahwa suheng-nya sering kali menyatakan tidak
sukanya terhadap pemerintah penjajah, maka dia sendiri tidak berani mengambil
keputusan.
Perjalanan
dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa
gelap sekali, agaknya akan turun hujan.
"Kita
harus mencapai tempat bermalam," kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.
"Benar,
agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada goa
untuk berlindung di hutan ini?"
"Jangan
khawatir," kata Bin Hong Siansu, "di luar hutan ini terdapat sebuah
hutan dan di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang
mengepalai sebuah kuil."
Mereka lalu
mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari hutan
mereka tiba di sebuah dusun. Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah kuil
yang cukup besar, disambut oleh seorang tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata
seperti mata burung.
Bian Ti
Hosiang yang berpandangan awas dapat menduga bahwa tosu yang menyambut mereka
ini berhati kejam. Akan tetapi karena tuan rumah adalah kawan dari Bin Hong
Siansu, apa lagi menyambut mereka dengan amat ramah, dia pun tidak
memperlihatkan kecurigaannya.
Dengan ramah
Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan dan
bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan dengan tuan rumah,
Bian Ti Hosiang segera tahu bahwa tosu ini adalah seorang yang memuji-muji
kaisar dan memuji-muji Kiam Ki Sianjin pula.
Malam hari
itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang berlainan. Hal
ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati kedua tamunya dan
ingin menyediakan tempat yang enak bagi para tamunya.
"Di
sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan
sungkan-sungkan," katanya berkali-kali sambil tersenyum.
Menjelang
tengah malam, pada waktu Bian Ti Hosiang masih duduk bersemedhi di atas tempat
tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia membuka
mata dan memandang, terkejutlah dia melihat asap bergulung-gulung masuk dari
jendela itu! Dia cepat melompat turun, akan tetapi segera terguling karena
tercium olehnya bau yang harum dan keras sekali. Ia pun maklum bahwa asap itu
adalah asap beracun yang dapat membius orang, akan tetapi sebentar saja dia
telah roboh pingsan.
Ketika dia
sadar kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua
tangan ke belakang dan ketika dia hendak mengerahkan lweekang-nya, ternyata
bahwa seluruh tubuhnya sudah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok
orang secara lihai sekali. Asap telah menghilang, akan tetapi hwesio ini masih
merasa pening. Dengan tubuhnya yang sangat lemah karena jalan darahnya tidak
lancar, dia bergulingan dan dengan susah payah dapat juga dia duduk dan
menyandarkan punggungnya pada tiang pembaringan. Kemudian dia berseru,
"Penjahat
manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu terlebih
dahulu?" Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,
"Kiu-bwe
Coa-li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?" suara itu bertanya,
kemudian dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.
"Sudah,
hanya tosu dari Kim-san-pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana,
Pak-lo-sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?"
"Ha-ha-ha,
sudah heres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu,"
kata suara pertama yang besar dan parau.
Diam-diam
Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Apakah betul dua
orang yang berada di luar jendela itu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan
Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa lihainya
itu melakukan perbuatan seperti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya
yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka sambil mengerahkan
lweekang-nya dia cepat berseru,
"Bin
Hong Toyu! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini...!"
Belum lama
gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin Hong
Siansu.
"Bian
Ti Hosiang, ada terjadi apakah…?" Tosu dari Kim-san-pai ini bertanya.
Akan tetapi
sebagai jawaban pertanyaan ini, mendadak dari jendela menghembus asap tebal,
asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.
"Bin
Hong Siansu, berhati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepatlah kau
pergi!" teriak Bian Ti Hosiang.
Mendengar
ini Bin Hong Siansu terkejut sekali dan cepat melompat keluar dari kamar itu.
Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu yang sudah penuh oleh asap hitam, dia
roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul yang tidak
kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu mempunyai kepandaian
tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan
lagi.
Bin Hong
Siansu terhuyung-huyung dan tanpa disadarinya mengisap asap itu, lalu roboh
pingsan. Demikian pula Bian Ti Hosiang, biar pun sudah berusaha dengan
merebahkan tubuhnya di atas lantai supaya jangan kena mengisap asap itu,
akhirnya dia pun pingsan karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa
mengapung rendah itu.
Di dalam
kamar yang penuh asap itu lantas berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia
menghampiri Bian Ti Hosiang, memukul pelipis hwesio ini dengan perlahan
kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan
hal ini, dia lalu tertawa bergelak dan sekali berkelebat saja, dia telah
menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam gelap.
Akan tetapi
belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba berkelebat
bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan
berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurnya.
"Siapakah
Losuhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?"
Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba
di dusun ini sepulangnya dari Leng-san dan hendak memulai perjalanannya untuk
mencari musuh-musuh besar gurunya.
Dia
memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang berlari dengan
gerakan luar biasa cepatnya itu ternyata adalah seorang hwesio yang tubuhnya
tinggi kecil, bermuka amat menyeramkan dan berpakaian serba hitam, mengingatkan
dia akan pakaian Hek-i Hui-mo!
Ketika
hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara hwesio ini demikian tinggi
dan kecil, lebih mirip seperti suara wanita!
"Bedebah,
perlu apa kau bertanya-tanya? Minggirlah!"
Tangan
hwesio itu segera mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam
Eng-jiauw-kang (Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali!
Kwan Cu
tidak berani berlaku lambat karena ketika angin pukulan ini datang menyambar,
ia mencium bau yang amat amis. Ia menduga dengan hati bergidik bahwa tangan
hwesio ini tentulah mengandung racun berbahaya pula.
Dengan
sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, hwesio itu yang juga
tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat
mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi. Kwan Cu diam-diam
menggunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia sudah berhasil
menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal
di dalam tangannya.
Kwan Cu
hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan hwesio itu dapat berlari
cepat. Dia tidak mengenal hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah
kalau dia terus mengejar. Maka dia lalu melompat ke arah kuil yang berada di
dekat situ, dari mana hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain
hitam itu dikantonginya dan dia melakukan ini tanpa disadarinya.
Dengan
hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum yang
menyesakkan dada ketika dia mendekati kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur napas
dan mengerahkan tenaga lweekang yang didapatinya ketika bersemedhi di atas
Pulau Pek-hui-to untuk mengusir racun dan ‘menyaring’ napas yang memasuki
paru-parunya, kemudian dia melakukan pengintaian. Dan dia melihat pemandangan
yang amat aneh di dalam sebuah kamar di kuil itu.
Setelah Bian
Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sadar dari pingsannya, mereka merasa betapa kepala
mereka seperti akan pecah. Karena totokan yang membikin tubuh Bian Ti Hosiang
lumpuh telah bebas dan ikatan tangannya juga telah dilepaskan orang, maka dia
bisa mengerahkan lweekang dan alangkah terkejutnya ketika dia merasa kepalanya
sakit sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tahulah dia bahwa dia telah
menderita luka yang luar biasa hebatnya dan bahwa nyawanya tak akan tertolong
lagi. Demikian pula dengan Bin Hong Siansu!
Tiba-tiba
masuklah Siok Tek Tojin. Sebelah tangan kirinya lumpuh dan dia masuk sambil
terpincang-pincang.
"Aduh,
Ji-wi Bengyu, celaka..." katanya terengah-engah. "Hampir saja pinto
sendiri tewas oleh dua orang siluman itu! Entah apa sebabnya Pak-lo-sian
Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li datang menyerbu dan menyebar kebinasaan!"
"Kau...
juga bertemu dengan mereka…?" Bian Ti Hosiang yang masih merasa ragu-ragu
bertanya sambil menahan sakit.
"Tentu
saja! Lihat, pundak kiriku ditotok dan sampai sekarang pinto masih belum dapat
membebaskannya dan separuh tubuhku lumpuh. Pak-lo-sian yang melakukan ini
sambil berkata bahwa dosa pinto tak terlalu besar maka pinto diampuni.
Kesalahan pinto hanya karena berani menerima Ji-wi sebagai tamu!"
"Apakah
mereka juga bilang mengapa mereka menyerang kami?" tanya Bin Hong Siansu
penasaran sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah itu. Kemudian
tiba-tiba dia muntahkan darah hitam dan jatuh pingsan pula!
Siok Tek
Tojin menjadi bingung. Dengan tangan kanannya dia mencoba menyadarkan tosu dari
Kim-san-pai itu. Akhimya dengan napas terengah-engah Bin Hong Siansu dapat
sadar juga, akan tetapi dia sudah tidak kuat duduk lagi. Ada pun Bian Ti
Hosiang sambil meramkan mata bersandar pada tiang pembaringan, lalu berkata
terengah-engah,
"Lekas
ceritakan... apa yang mereka katakan..."
Dengan suara
hampir menangis Siok Tek Tojin berkata,
"Kiu-bwe
Coa-li yang berkata bahwa Ji-wi harus dibunuh karena Ji-wi telah mengadakan
hubungan dengan Kiam Ki Sianjin di istana."
Akan tetapi
keadaan kedua orang pendeta itu sudah payah sekali sehingga sukar untuk
mendengarkan dengan jelas. Hal ini diketahui pula oleh Siok Tek Tojin, maka
pendeta ini cepat-cepat pergi mengambil kertas, pit dan tinta bak lalu berkata,
"Ji-wi,
harap sudi menuliskan sedikit kata-kata keterangan tentang peristiwa pembunuhan
ini agar pinto bisa membawanya ke Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tanpa ada
penjelasan Ji-wi, pinto khawatir sekali kalau-kalau ada salah sangka terhadap
diri pinto."
Kedua orang
pendeta ini segera maklum akan maksud Siok Tek Tojin. Karena luka yang diderita
oleh Bin Hong Siansu jauh lebih hebat dari pada Bian Ti Hosiang, maka hwesio
Bu-tong-pai itulah yang menggerakkan tangan menerima pit itu dan dengan
pelayanan Siok Tek Tojin, dia kemudian menuliskan beberapa huruf di atas kertas
dengan tangan gemetar.
TEECU BERDUA
DISERANG OLEH KIU-BWE COA-LI DAN PAK-LO-SIAN
Kemudian
tulisan itu ditanda tangani oleh Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu. Setelah
menanda tangani surat itu, keduanya lalu mengeluh dan akhirnya roboh pingsan
tanpa pernah siuman kembali!
Ada pun Kwan
Cu yang mengintai dari luar, melihat dan mendengar semua ini. Dari jauh dia pun
tahu bahwa dua orang pendeta yang terluka itu tidak akan tertolong lagi, karena
sinar mukanya sudah suram, tidak ada cahaya lagi. Ia teringat akan hwesio
tinggi kurus yang berpakaian hitam tadi, maka dia tidak menanti sampai Bian Ti
Hosiang menuliskan keterangan, cepat dan tanpa terdengar oleh siapa pun juga
dia lalu meloncat keluar dan mengejar ke arah bayangan hitam yang telah
melarikan diri.
Pemuda ini
merasa terheran-heran. Dia mengenal dua orang pendeta itu yang pernah
dijumpainya di rumah tinggal Kiam Ki Sianjin. Memang mereka itu mencurigakan
dengan kunjungan mereka di rumah Kiam Ki Sianjin, pembantu utama kaisar
penjajah, namun mengapa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh mereka?
Ia telah
mengenal watak dua orang tokoh besar itu, yang kebesaran namanya berendeng
dengan mendiang suhu-nya, yang termasuk dalam Lima Tokoh Besar di dunia
kang-ouw. Kenapa sekarang mereka melakukan pembunuhan secara curang? Kenapa
pula mereka mempergunakan asap beracun?
Bagaikan
kilat menyambar masuklah dugaan di dalam hati Kwan Cu bahwa agaknya ada orang
yang hendak merusak nama baik Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Jika dugaannya
benar, maka yang hendak merusak nama mereka itu bukan lain adalah hwesio berjubah
hitam tadi! Dia harus dapat mengejar dan menyusulnya untuk mencari keterangan
lebih jelas!
Akan tetapi
dia sudah tertinggal jauh. Selain malam gelap sekali, dia juga tidak tahu arah
mana yang kemudian diambil oleh hwesio aneh itu. Sampai fajar menyingsing Kwan
Cu mengejar dengan cepat, akan tetapi sia-sia. Dia tidak melihat bayangan
hwesio aneh itu dan dengan putus asa dia lalu menghentikan pengejarannya.
Ketika dia
mengenangkan kembali apa yang telah terjadi dan dilihatnya di dalam kuil tua
itu, dia terkejut. Tosu yang menjadi tuan rumah itu berkata bahwa dia menjadi
saksi dan sudah bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian! Bahkan dia
sendiri juga ditotok oleh Pak-lo-sian. Inilah aneh sekali!
Benarkah hal
itu terjadi? Kalau tidak benar, ini hanya berarti bahwa tosu itu juga menjadi
anggota komplotan hwesio jubah hitam dan dia sengaja berpura-pura untuk
memperkuat usaha memburukkan nama dua orang tokoh besar itu!
Mendapat
pikiran ini, Kwan Cu tidak mempedulikan bahwa tubuhnya sudah mulai lelah, bukan
karena setengah malam mengejar-ngejar bayangan yang tak tentu arahnya, akan
tetapi karena dia kurang tidur. Ia berlari-lari lagi, kini lebih cepat, kembali
ke kuil di mana dia menyaksikan peristiwa yang aneh itu.
Setelah tiba
di kuil dan masuk ke dalam kamar yang pernah dilihatnya, Kwan Cu hanya
mendapatkan jenazah Bian Ti Ho-siang dan Bin Hong Siansu, sudah dingin dan
dengan wajah membayangkan penasaran. Ada pun tosu yang menjadi pengurus kuil
sudah tidak kelihatan mata hidungnya.
Dia memasuki
kamar-kamar lain, memanggil-manggil, akan tetapi tidak seorang pun ada yang
menjawab. Saat dia melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa semua pakaian tosu itu
tidak ada di kamar, tanda bahwa tosu itu telah pergi membawa semua pakaiannya.
Ini berarti
bahwa tosu itu bukan sekedar pergi keluar ke tempat yang dekat, tetapi tentu
akan melakukan perjalanan jauh. Tentunya untuk menyampaikan warta pembunuhan
ini ke Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!
Kwan Cu
menghadapi urusannya sendiri yang dianggap lebih penting dari pada urusan ini.
Urusan ini hanya merupakan teka-teki yang membingungkannya, akan tetapi tak ada
sangkut-pautnya dengan dia. Maka dia lalu mengurus dua jenazah itu, mengubur
mereka dengan baik-baik di halaman kuil, lalu melanjutkan perjalanannya sambil
mengenangkan tugas-tugasnya yang amat berat yang masih harus dilaksanakannya.
Pertama-tama
ia harus mencari musuh besar kongkong-nya yang hanya tinggal seorang lagi saja,
yakni An Kai Seng, keturunan An Lu Shan yang masih belum dia ketahui di mana
tempat tinggalnya. Ada pun musuh besar gurunya adalah Jeng-kin-jiu, Toat-beng
Hui-houw, dan Hek-i Hui-mo, tiga orang tokoh besar yang tidak boleh dipandang
ringan dan yang masih selalu meragukan hatinya apakah dia akan sanggup
menghadapi dan mengalahkan mereka.
Di antara
tiga orang tokoh besar ini, ia merasa paling benci kepada Toat-beng Hui-houw.
Tidak saja kakek yang seperti siluman ini juga mengeroyok dan ikut membunuh
Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia mendengar pula akan kejahatan kakek ini dan
terutama sekali karena dia masih ingat betapa Pek-cilan Thio Loan Eng, wanita
gagah yang dia kasih sayangi seperti kepada ibu sendiri, telah menjadi korban
keganasan kakek itu. Dia harus membalas dendam dan membunuh Toat-beng Hui-houw,
tidak saja untuk membalaskan kematian suhu-nya, akan tetapi juga untuk
membalaskan dendam Pek-cilan Thio Loan Eng.
Teringat
akan Pek-cilan Thio Loan Eng, terbayanglah wajah Sui Ceng di depan matanya dan
Kwan Cu menghela napas. Otomatis kedua kakinya mogok berjalan dan dia malah
menjatuhkan diri di bawah pohon, beristirahat dan melanjutkan lamunannya
tentang Sui Ceng.
Selain
mencari musuh-musuh besar gurunya, kongkong-nya serta Pek-cilan Thio Loan Eng,
juga dia masih menghadapi urusan ini yang baginya tidak kalah pentingnya. Dia
harus mencegah berlangsungnya perjodohan antara Kun Beng dan Sui Ceng. Dia
harus melakukan ini demi kebaikan Sui-Ceng, demi kebaikan Kui Lan yang
disia-siakan oleh Kun Beng dan demi kebaikan... dirinya sendiri.
"Aku
cinta kepadanya... ahhh, gila benar, aku cinta mati-matian kepada Bun Sui
Ceng!" Kwan Cu menggaruk-garuk kepalanya.
Dahulu dia
tidak mempunyai perasaan seperti ini, akan tetapi semenjak dia bersumpah di
depan gadis raksasa secara main-main untuk menghindarkan desakan gadis itu,
bahwa dia sudah mempunyai seorang gadis pujaan, yakni yang bernama Bun Sui
Ceng, sejak itu entah mengapa dia selalu terkenang kepada Sui Ceng.
Selalu
terbayang gadis cilik yang lincah, jenaka dan manis itu. Sekarang, sesudah dia
bertemu muka dengan Sui Ceng yang sudah menjadi seorang gadis dewasa yang
cantik jelita, hatinya jatuh betul-betul.
Akan tetapi
helaan napasnya makin berat ketika dia teringat bahwa gadis itu bagaimana pun
juga sudah bertunangan dengan Kun Beng, pertunangan yang sah karena disahkan
oleh mendiang Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng dan Pak-lo-sian
Siang-koan Hai guru dari Kun Beng! Kalau menghalangi perjodohan itu berarti dia
akan berhadapan dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan mungkin juga dengan
Kiu-bwe Coa-li yang tentu akan melindungi nama baik muridnya!
"Beraaaaat...!"
pikir pemuda ini sambil menarik napas panjang dengan wajah berduka,
"Kenapa begitu memasuki dunia ramai aku harus berhadapan dengan
tokoh-tokoh besar yang dahulu pun sudah membikin susah padaku ketika aku masih
kecil?"
Lamunannya
semakin menjauh. Kenangannya membawanya kepada masa kecilnya dan ketika dia
teringat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, serta Kiu-bwe Coa-li mengurungnya, mendesaknya
dan memaksanya serta menghinanya, Kwan Cu tersenyum gembira dan matanya
bersinar-sinar.
"Biarlah,
biar aku mencoba kepandaian mereka semua itu, hitung-hitung untuk menagih
hutang mereka dahulu ketika aku masih kecil. Hitung-hitung aku mengangkat nama
suhu Ang-bin Sin-kai yang patut disebut jago nomor satu di antara Lima Tokoh
Besar dunia kang-ouw!"
Dengan
adanya pikiran ini, Kwan Cu menjadi gembira kembali dan dia lalu melanjutkan
perjalanannya, mencari keterangan mengenai An Kai Seng, musuh besar
kongkong-nya atau keturunan terakhir An Lu Shan, pemberontak yang sudah banyak
menghancurkan kehidupan rakyat jelata itu.
***************
Kota
Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota yang
besar di Propinsi Shan-tung, juga sangat ramai karena selain kotanya besar
serta penduduknya banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat
perdagangan. Kapal-kapal besar keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak
pedagang besar mendapat penghasilan baik sekali.
Oleh karena
itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah dibuka orang
hotel-hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-barang
dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.
Di antara
sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya yang
paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya Tan
Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak
gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan serta perahu-perahu
yang disewakan untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh
jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini mempunyai
kepandaian ilmu silat yang kabarnya amat tinggi.
Sebagai
seorang hartawan, tentu saja dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu,
akan tetapi semua orang kang-ouw yang datang ke kota itu tentu mendengar dan
menyaksikannya sendiri. Selain ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu
menjadi lebih terkenal karena dia telah menikah dengan seorang wanita yang
telah lama menjadi sebutan orang sebagai bunga kota Jeng-tauw.
Wi Wi
Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas
tahun ketika dikawin oleh Tan-wangwe, seorang gadis yang mempunyai kecantikan
luar biasa sehingga banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui
Hui yang tersohor cantik jelita, kekasih dari pada Kaisar Kerajaan Tang yang
sudah roboh oleh An Lu Shan.
Selain
memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tak seperti gadis Han
umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum.
Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan berkepandaian
lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san, sering
keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah.
Semenjak
belum menikah, dia sudah mempunyai lagak yang sangat genit. Akan tetapi karena
yang berlagak genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi
pula, maka dalam pandangan orang-orang lelaki dia bahkan terlihat makin cantik
dan menarik!
Semua orang
tahu belaka bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya adalah
seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal
ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini
sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi
tidak ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han
yang kaya raya.
Memang An
Kai Seng orangnya cerdik sekali. Meski pun dia keturunan An Lu Shan yang pernah
menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi, akan tetapi An
Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali.
Oleh karena
itu, sesudah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta
rampasan dari rakyat dan bekas pemerintah Tang. Kemudian dia keluar dari
istana, dan menyatakan kepada semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi
pedagang!
Padahal
bukan begitu keadaannya. Dia keluar dari istana sambil membawa harta benda yang
besar sekali untuk mencari kebebasan, agar supaya dia jangan terlibat oleh
urusan pemerintahan yang tidak menarik hatinya.
Sesudah
hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Dia
seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia laksana
kuda tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya
di dalam ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama.
Kemudian dia
mendengar berita tentang kekacauan di istana, juga tentang pembunuhan terhadap
An Lu Shan oleh puteranya sendiri, kemudian mengenai pembunuhan yang dilakukan
oleh Si Su Beng terhadap putera mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri
sendiri yang sudah lari dari istana dan mulailah dia berhati-hati menjaga harta
bendanya.
Mulailah dia
berdagang dan mendapatkan untung besar sekali karena semenjak kecil dia memang
mempelajari ilmu surat sehingga terhitung seorang bun-bu coan-jai (pandai ilmu
silat dan surat).
Alangkah
kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu Kui
dan An Kong. Dan dia mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An
hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!
An Kai Seng
ketakutan hebat. Dia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota raja,
mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan nama
sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han
dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh
masyarakat di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih
bujang. Maka tenanglah hatinya.
Apa lagi
setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil mengawininya, Kai Seng
merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu bahwa dia adalah keturunan
An Lu Shan? Dan andai kata ada orang yang tahu, apa yang ditakutinya? Dia
hartawan, berkuasa dan memiliki banyak kawan ahli-ahli silat, bahkan boleh
dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah kaki
tangannya!
Semua
pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia sendiri sudah
memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya yang
hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk
mengganggunya!
Akan tetapi,
kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia lalu menyebar kaki
tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat
keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin
Sin-kai yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu.
Juga untuk
menjaga keamanannya, selain dia dan isterinya terus memperdalam ilmu silat
mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli dua batang pedang yang bagus
dengan harga mahal sekali. Setiap hari dia dan isterinya tidak pernah berpisah
dari pedang ini. Selain itu, dia juga memelihara guru-guru silat yang
berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini
menjadi pengawal pribadinya!
Berkat
kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik, An Kai
Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biar pun dia
belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, tetapi dia dapat
menggambarkan keadaan pemuda itu, dari bentuk badan, pakaiannya dan wajahnya.
Sekali saja bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An
itu.
Dalam hal
ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi, bahkan
sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang yang
cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari
Tibet.
Coa-tok
Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, oleh karena itu dapat
dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya
merupakan ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu
pedang dari Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat
dari guru silatnya yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat
dari Mongol.
Akan tetapi,
sesudah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihi
dirinya dalam segala-galanya, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan
kegenitan gadis ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio
temyata masih mengatasi kepandaiannya!
Sebagai
murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio sudah mempelajari Ilmu Silat Thian-san
Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika suami isteri ini secara
main-main mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak sanggup menandingi
Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali karena selain
sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri isterinya
dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.
Walau pun
tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi,
namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai
Seng sendiri, apa lagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi
Toanio. Karena itu, tujuh orang pengawal ini sangat tunduk dan menghormati
majikannya, tidak hanya karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena
Kai Seng sangat royal terhadap para pengawalnya ini.
Pada suatu
hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam
sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan,
tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.
"Siauw-ya
(Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini sudah
kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!"
An Kai Seng
dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat enak
itu seakan-akan berubah pahit.
"Selidiki
apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!"
Pelayan itu
lalu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk
melakukan tugasnya, lebih dulu ia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari
majikannya dan memanggil mereka.
"Cu-wi
Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya."
Tujuh orang
pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung dan amat
ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, di mana Kai
Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan yang
sungguh-sungguh.
Tak lama
kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena dia
sudah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari
majikannya itu.
"Siauw-ya,
ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba sudah melihatnya sendiri dan dia
bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian
yang dia tuliskan di buku hotel."
"Cukup,
keluar kau!" bentak Kai Seng.
Pelayan itu
keluar sambil mengomel panjang pendek. Dia sangat mengharapkan hadiah, akan
tetapi ternyata majikannya kelihatan terkejut dan bahkan terlihat pucat
mendengar omongannya tadi.
Memang,
mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu, pemuda
yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan berkepandaian tinggi
sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia menjadi lega kembali
setelah isterinya menghibumya.
"Mengapa
kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapa pun
lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan
pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apa lagi, kita sudah mengatur
siasat sehingga andai kata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat
mencari kita."
Malam hari
itu Kai Seng tidak dapat tidur dan kelihatan gelisah sekali sehingga Wi Wi
Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.
"Orang
macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak
berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan
pedangku," kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani
itu.
"Jangan,
isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dan orang-orang
yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal
lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh
olehnya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali."
"Hemmm,
aku belum menyaksikan seberapa lihainya kongkong dan pamanmu itu. Akan tetapi
aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andai kata pemuda yang
bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!"
Kai Seng tak
berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah. Memang, suami
ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah pengaruh.
Akan tetapi sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan
isterinya yang sejak sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, Kai Seng harus bangun lagi ketika pintu kamamya digedor
pelayan dari luar.
“Siauw-ya...
lekas bangun...!”
Wi Wi Toanio
dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka pintu.
"Ada apa?" tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu
merasa tidak enak.
Yang
menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan
itu kelihatan gugup ketika mewartakan. "Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar
berani mati datang ke sini, sekarang dia sedang dihadapi oleh tujuh
kauwsu."
Muka
hartawan muda itu semakin pucat. "Lekas kau beri tahukan kepada semua
pelayan agar supaya apabila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak
berada di rumah. Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau
cepat-cepat mengundang semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan
mereka dan katakan bahwa di rumahku kedatangan seorang penjahat yang
mengacau."
"Baik,
Siauw-ya!" kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya
kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. "Baru kedatangan seorang
seperti pemuda yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan
setan!"
"Wi Wi,
lekas kau bertukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!" kata
Kai Seng.
DIA sendiri
juga cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang memang
sudah disiapkan sejak kemarin. Saking gugupnya, dia sampai terbalik memakai
celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan
semakin lambat mengenakan pakaian samarannya itu.
Inilah hasil
perundingan dengan tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu
diambil keputusan bahwa bila Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang, Kai Seng
dan Wi Wi Toanio akan menyamar sebagai pelayan, kemudian melihat perkembangan
selanjutnya.
Dengan
senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang
kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena
memang dari kegugupannya ketika mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan
pengakuan dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.
"Ehh,
kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?" katanya
menegur untuk menutupi rasa malunya.
Wi Wi Toanio
mainkan bibirnya. "Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai pelayan? Aku
bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan pada tertawa geli jika
melihatku. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian
ini."
Kai Seng
menggeleng-geleng kepalanya. "Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik
kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!"
"Biar
pun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia
tidak kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut
menghadapinya? Dia tidak akan mengapa-apakan aku."
"Bukankah
kau isteriku?" Kai Seng berkata jengkel.
Wi Wi Toanio
tersenyum dan berkata menghibur, "Siapa bilang aku bukan isterimu? Akan
tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!"
Kai Seng
merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh
isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia,
keturunan An Lu Shan. Isterinya tentu tidak akan diganggu oleh musuh besar itu.
"Kalau
begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu sudah dapat mengusimya."
Kai Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih tetap
berlaku ayal-ayalan.
“Kau
keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa
baru saja bangun tidur, belum cuci muka dan belum apa-apa sudah disuruh keluar
bertemu orang?”
Kai Seng
makin mendongkol. Baginya, sehabis bangun tidur isterinya bahkan semakin cantik
saja. Akan tetapi dia tak berani membantah karena memang bagi seorang wanita,
sukarlah untuk disuruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur, sebelum puas
berhias dan mengganti pakaian.
“Jangan
terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.
Pada saat
Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi
seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya
bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk
dan miskin sekali, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah saja. Namun
dia tidak berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.
“Sudah kukatakan
berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang kau cari itu. Dia
benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan, bukan An,”
kata kauwsu tertua yang masih terus mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan
alasan.
“Siapa pun
juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani mati
mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang
kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya
ringan ini.
Pemuda itu
yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Dia telah menemukan jejak
musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono.
Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biar pun dia
mendengar bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-she Tan,
namun dia masih tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang
mengubah namanya.
Apa lagi dia
telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu, dan
ketika dia menggunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk menyelidik,
dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini sesuai
benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai
Seng. Kwan Cu memang berlaku sangat teliti dan tidak mau buru-buru turun
tangan, hendak mencari kepastian lebih dulu.
“Aku tidak
peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi aku
hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu Kwan
Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.
“Hemm, kau
berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah
berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang pergi ke luar kota!”
kata kauwsu tertua.
“Aku tidak
percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya
sendiri di dalam rumah ini.”
Kauwsu
termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Kau ini
bocah masih ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan
hendak memasuki rumah secara paksa pula, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak
merampok?”
Kwan Cu
tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.
“Kalian
hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau majikanmu itu
benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak merampok. Akan
tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan kepalanya!”
“Bangsat
rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda.
Oleh karena
memandang rendah, secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan
kanannya.
“Bagus,
seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan Cu.
Ia cepat
mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang pantat
kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua
tombak lebih, lalu jatuh mengeluarkan suara keras. Debu mengebul dan makin
banyak lagi debu mengebul saat sambil meringis kesakitan, kauwsu itu bangun
berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya untuk menghilangkan debu dari
celananya saja, akan tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang
terasa sakit sekali!
Melihat
betapa dalam segebrakan saja kauwsu itu bisa dilemparkan dengan mudah oleh
pemuda ini, semua kauwsu segera mengerti bahwa lawan ini benar-benar
berkepandaian tinggi. Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya
dan gemerlapanlah sinar golok dan pedang yang berada di tangan tujuh orang
kauwsu itu.
“Hm, hm, hm,
bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing (kebutan
bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu menyindir lagi.
Akan tetapi
dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih banyak lagi karena dengan
gerakan berbareng, tujuh orang kauwsu itu sudah menubruk dan menghujankan
senjata mereka ke tubuh Kwan Cu.
Melihat
gerakan mereka, maka semakin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan
ginkang-nya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang menggunakan tangan kaki untuk
menangkis serangan, dia berkata lagi.
“Aha, tidak
saja pelayan-pelayan bergolok dan berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah
tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti
bangsawan-bangsawan di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk
melindungi dirinya!”
Para kauwsu
itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti
burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka
makin gencar. Ada pun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadi kecil hatinya
karena pemuda itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan
ada salah seorang di antara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.
Akan tetapi
sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan oleh angin kenyataan. Pada
saat semua senjata merangseknya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para
pengeroyoknya ke kiri, kira-kira satu tombak jauhnya dari mereka.
Para kauwsu
itu cepat membalikkan tubuh dan segera mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri
paling dekat, cepat menubruk dan mempergunakan gerak tipu Sian-jit Tit-lou
(Dewa Menunjuk Jalan) menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat
sekali.
Alangkah
girangnya hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas ke dalam
dada Kwan Cu sampai dekat gagangnya! Akan tetapi sebentar saja dia
membelalakkan matanya penuh keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah,
bahkan pemuda itu tersenyum-senyum mengejek.
Ketika dia
melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya amblas antara dada dan
lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh lawannya. Ia tadi tidak
melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena pemuda itu tidak
mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu begitu cepat
sehingga tidak sempat terlihat olehnya!
Kai Seng
yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih tinggi
dari pada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah
terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerakan
Khai-ciang Kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tak
dapat dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya
sehingga salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini
memerlukan ketajaman mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!
Kauwsu muda
itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang kini terjepit
oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu
tersenyum-senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia
mengerahkan tenaganya. Pada saat melihat para pengeroyok lain sudah mengejar
dan menggerakkan senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan
membarengi mengayun tangan menjamah dagu kauwsu muda itu.
“Aduuhhh...
awaaassss, jangan tusuk aku!” Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke arah para
kawannya sendiri.
Para kauwsu
lainnya terkejut sekali dan cepat mereka menurunkan senjata agar jangan sampai
menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah mereka. Dengan cepat mereka
melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda itu tidak jadi menubruk
kawan-kawannya dan...
“Ngekkk!”
Dia
terbanting ke atas tanah, untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah.
Akan tetapi kali ini amat kerasnya sehingga pecahlah kulit pantatnya,
menimbulkan rasa sakit dan perih.
Akan tetapi
kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang
sakitnya, dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa
sakit bukan main sehingga dia merasa seolah-olah dagunya itu kini menjadi tebal
seperti baru saja di sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena
kedua-duanya terasa sangat sakit, tangan kanannya mengaruk-garuk dagu, tangan
kirinya memencet-mencet pantat, lakunya persis seperti seekor kera kepanasan!
Enam orang
kauwsu yang lain segera menubruk dan amat marah melihat seorang kawan mereka
dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau
membuang banyak waktu lagi.
Dia memang
tidak ingin membunuh secara serampangan saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng
seorang, orang-orang lain tidak masuk hitungan pembalasan dendamnya. Apa lagi
para pelayan ini dianggapnya tak bersalah apa-apa, hanya menurut perintah
majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani karena tidak memiliki
kebebasan.
Melihat
datangnya enam orang itu, cepat-cepat Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Kong-ciak
Sin-na. Kedua tangan dan kakinya bergerak aneh dan cepat sekali seperti sepak
terjang seekor merak sakti sedang marah.
Dalam
beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merampas semua senjata dan tidak lupa
pada saat merampas senjata, dia mengirim totokan, tendangan atau pukulan siku
yang membuat enam orang kauwsu itu terlempar ke kanan kiri, terbanting lantas
roboh seperti keadaan kauwsu termuda.
Tujuh orang
kauwsu itu hanya dapat mengaduh-aduh. Bahkan ada pula yang tidak dapat
mengeluarkan suara sama sekali, yakni mereka yang terkena totokan siku di
bagian ulu hati sehingga sesak napas.
Kwan Cu
melemparkan semua senjata yang dirampasnya dan cepat melompat ke arah ruangan
depan untuk melakukan pemeriksaan dan hendak mencari orang yang menjadi majikan
para pengeroyok tadi. Akan tetapi, sebelum dia melewati pintu ruangan depan,
tiba-tiba dia mendengar sambaran angin.
Cepat ia
mengelak sambil mengerahkan tenaga, mengulur tangan kanan, menggunakan sebuah
gerak tipu dari Kong-ciak Sin-na untuk merampas pedang yang dengan cepat telah
ditusukkan kepadanya. Akan tetapi dia amat terkejut melihat pedang itu cepat
sekali ditarik kembali dan tidak dapat dirampasnya, bahkan pedang itu kini
menyerangnya lagi dengan bacokan ke arah paha!
Kwan Cu
melompat mundur lantas memandang. Penyerangnya adalah seorang pelayan pula yang
masih muda dan yang memegang sebuah pedang yang berkilauan cahayanya. Ia
tercengang dan diam-diam memuji dalam hatinya bahwa hartawan yang bernama Kai
Seng itu benar-benar sangat hati-hati dan mempunyai banyak jago-jago yang tidak
boleh dipandang ringan.
“Ahh...
ternyata masih ada lagi kaki tangan jahanam she An yang begini lihai?” Kwan Cu
berseru.
“Majikan
kami she Tan, bukan she An. Kau orang kurang ajar lebih baik lekas minggat
kalau tidak ingin mampus!” bentak pelayan itu yang sebenarnya bukan lain adalah
An Kai Seng sendiri!
Sedikit pun
Kwan Cu tidak menduga bahwa pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya ini adalah
An Kai Seng, orang yang sedang dicari-carinya. Kalau saja sebelumnya dia tidak
dikeroyok oleh kauwsu-kauwsu yang berkepandaian tinggi dan juga berpakaian
sebagai pelayan, tentu dia akan bercuriga terhadap pelayan muda itu.
Tak pantas
seorang pelayan berkepandaian setinggi itu. Akan tetapi, melihat kepandaian
tujuh orang kauwsu yang mengeroyoknya, dia tidak merasa aneh lagi akan
kepandaian pelayan muda berpedang ini. Agaknya memang musuh besarnya, An Kai
Seng, sudah mendengar tentang usahanya untuk membalas dendam dan telah bersiap
sedia menjaga diri, memelihara jago-jago silat yang pandai.
Ketika
pelayan muda itu memutar pedangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali,
diam-diam Kwan Cu terkejut. Ia tidak boleh menyamakan pelayan ini dengan tujuh
orang pelayan yang tadi mengeroyoknya, karena ilmu pedang yang dimainkan
pelayan muda ini benar-benar lihai sekali dan terang bahwa itu adalah ilmu
pedang yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi kelas satu.
Diam-diam
Kwan Cu merasa bersyukur bahwa dia sudah mempelajari ilmu silat dari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena kalau saja dia hanya menerima latihan dari
Ang-bin Sin-kai, agaknya belum tentu dia dapat mengalahkan pemuda ini, apa lagi
kalau hanya bertangan kosong.
Baru
berusaha untuk mencari musuh besar kongkong-nya saja ia telah berjumpa dengan
orang-orang yang demikian lihai, apa lagi kalau dia kelak bertemu dengan
musuh-musuh suhu-nya. Sungguh tugasnya tidak ringan dan mudah, baiknya dia
telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga
dia boleh merasa tenang dalam menghadapi lawan-lawannya.
Karena
maklum bahwa kalau dia hanya mempergunakan tangan kosong serta mainkan
Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut saja agaknya akan memakan waktu lama
sebelum dia mengalahkan pelayan ini, Kwan Cu segera mencabut sulingnya. Dia
tidak mau lagi membuang banyak waktu menghadapi segala macam pelayan, betapa
pun pandainya pelayan ini. Tenaga serta waktunya harus dihemat untuk menghadapi
musuh-musuhnya kelak, karena dia tidak ingin membinasakan orang-orang yang
tidak punya permusuhan dengannya.
"Jangan
kau mengorbankan nyawa untuk bangsat An Kai Seng, keturunan orang Tartar yang
sudah banyak membikin sengsara rakyat itu!" Kwan Cu berkata sambil memutar
sulingnya.
Setelah kini
dia menggunakan senjata, benar saja pelayan muda itu menjadi sibuk sekali.
Gerakan pedangnya kacau-balau karena suling lawannya seperti telah berubah
menjadi banyak sekali dan mengurung serta mendesak dirinya dari segala jurusan.
Setelah Kwan
Cu dapat menangkap inti sari ilmu pedang lawannya yang amat ganas itu,
tiba-tiba ia melakukan serangan kilat, menangkis pedang lawan dengan sulingnya
sambil dibarengi dengan gerakan menggaet, ada pun tangan kirinya memukul ke arah
pangkal lengan kanan lawan yang memegang pedang.
"Lepaskan
senjata!" serunya nyaring sambil mengerahkan tenaganya.
Pedang dan
suling bertemu di udara dan betapa pun pelayan muda itu mengeluarkan seluruh
tenaganya, dia tetap tidak mampu menarik kembali pedangnya yang seolah-olah
sudah berakar pada suling itu. Tiba-tiba dia merasa pangkal lengannya sakit dan
lumpuh sehingga pedangnya terpaksa dia lepaskan!
Akan tetapi
pelayan itu adalah An Kai Seng yang tentu saja merasa khawatir kalau-kalau
pemuda ini akan terus menurunkan tangan maut kepadanya. Oleh karena itu, dia
cepat mempergunakan tangan kirinya memukul dada Kwan Cu sambil mengerahkan
tenaga lweekang-nya.
Tadinya Kwan
Cu hanya akan merasa puas setelah merampas pedang saja. Akan tetapi melihat lawannya
tlba-tiba memukul dengan pukulan maut yang amat berbahaya, dia lalu berseru,
"Pergilah!"
Pukulan
tangan kiri ke arah dadanya itu sama sekali tidak ditangkisnya, hanya dengan
tangan kirinya dia menyampok sambil mengeluarkan tenaga Pek-in Hoat-sut.
Pelayan muda
itu menjerit, lantas tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh bergulingan sampai
tiga tombak lebih! Baiknya Kwan Cu memang tidak berniat mencelakakan orang ini,
maka dia hanya jatuh dan terbanting babak belur saja, tidak mengalami luka di
dalam tubuhnya. Akan tetapi, pukulan pada pangkal lengannya tadi sudah membuat
lengannya kaku dan tubuhnya yang terbanting terasa sakit-sakit.
"Bangsat
kecil, jangan kurang ajar!" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan sinar
yang berkeredepan menyambar ke arah tenggorokan Kwan Cu.
Pemuda ini
terkejut sekali karena gerakan pedang yang menyerangnya ini bahkan lebih gesit,
cepat, serta kuat dari pada pedang pelayan muda yang baru saja dikalahkannya
tadi. Bukan main, benar-benar musuh besar kongkong-nya ini sudah memelihara
banyak sekali orang pandai, pikirnya sambil mengelak cepat dan menangkis pedang
itu dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan Kwan Cu merasa betapa tenaga
lweekang dari penyerang ini bahkan lebih besar dari pada tenaga si pelayan muda
tadi!
Dia cepat
memandang dan seketika itu juga dia melongo. Di hadapannya berdiri seorang
wanita muda yang berpakaian indah dan ketat, cantik jelita bukan main, seperti
seorang bidadari turun dari kahyangan.
Tidak saja
wajahnya yang putih halus kemerah-merahan itu memiliki tarikan yang sangat
menarik hati dan memikat. Akan tetapi bentuk potongan tubuhnya sangat
menggairahkan pula, juga sepasang mata wanita ini berkilauan penuh gairah
hidup, bibirnya yang manis itu tersenyum simpul dan Kwan Cu mencium bau harum
yang membuatnya berdebar.
Memang
wanita ini cantik sekali, lebih cantik dari pada Gouw Kui Lan, malah masih
lebih cantik dari pada Bun Sui Ceng sekali pun! Belum pernah Kwan Cu melihat
gadis secantik ini, maka biar pun dia bukan seorang mata keranjang, namun dia
tetap seorang pria dan melihat seorang wanita demikian cantik manisnya,
setidaknya dia menjadi tertegun.
"Ehhh,
mengapa kau memandang saja kepadaku begitu kurang ajar? Siapakah kau dan
mengapa kau membikin kacau di sini?" Wanita cantik itu menegur, akan
tetapi dengan mata berkedip-kedip bangga dan mulut tersenyum manis sekali.
Muka Kwan Cu
menjadi merah sekali. la menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang
terguncang, lalu tanpa berani memandang langsung supaya tidak terpesona oleh
wajah itu, dia menjawab,
"Namaku
Lu Kwan Cu dan aku datang hendak mencari An Kai Seng. Akan tetapi para pelayan
itu menyerangku sehingga aku terpaksa merobohkan mereka."
Tiba-tiba
Kwan Cu mengangkat muka dan memandang pula, kini bukan karena kagum dan untuk
menikmati wajah cantik itu, akan tetapi karena dia teringat akan keterangan
orang bahwa musuh besarnya An Kai Seng itu mempunyai isteri yang amat cantik.
Inikah isterinya itu?
"Siapakah
kau dan di mana adanya An Kai Seng?"
Wanita itu
tertawa kecil sehingga giginya yang bagaikan mutiara berderet itu kelihatan
sebentar, lalu tertutup kembali oleh sepasang bibirnya yang merah dan halus.
"Aku
tidak kenal dengan segala An Kai Seng, dan tidak tahu dia berada di mana."
Baru bicara sampai di sini, wanita itu melirik ke arah pelayan muda tadi yang
sudah berdiri lagi sambil meringis kesakitan. Aneh sekali, wanita ini tersenyum
geli dan memandang pula kepada Kwan Cu. "Hemm, kau malah sudah mengalahkan
pelayanku itu?"
Sambil
berkata demikian, wanita itu menudingkan jari telunjuknya ke arah pelayan tadi.
Otomatis Kwan Cu ikut menengok ke arah pelayan muda tadi yang kini sudah
berjalan terhuyung-huyung keluar dari pekarangan rumah.
Akan tetapi,
gerakan lehernya untuk menengok itu mendatangkan kesempatan baik bagi wanita
cantik tadi yang terus saja menusuk dengan pedangnya ke arah lambung Kwan Cu!
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat dia menggerakkan lengan, miringkan tubuh
dan cepat pula menyampok pedang dengan sulingnya. Kembali terdengar suara keras
dan pedang itu juga terpental kembali.
"Kau
curang!" Kwan Cu menegur dengan hati mendongkol. Jika saja dia kurang
hati-hati, serangan menggelap tadi tentu akan mendatangkan bahaya besar
baginya.
"Siapakah
kau?"
Wanita itu
tersenyum mengejek dan sepasang matanya bergerak genit. Melihat dua mata ini,
hati Kwan Cu berdebar dan dia mengaku bahwa sepasang mata ini lebih tajam dan
lebih berbahaya dari pada sepasang pedang mustika! Maka dia cepat-cepat
mengalihkan pandang dan tidak berani lagi menatap secara langsung!
"Kau
datang ini hendak mencari orang atau hendak berkenalan dengan aku? Mengapa
tanya-tanya nama segala macam?"
Celaka,
pikir Kwan Cu. Perempuan ini tidak saja memiliki gaya dan kecantikan luar biasa
yang dapat merobohkan hati laki-laki, juga lidahnya amat tajam dan pandai
sekali bicara. Kwan Cu yang masih amat muda dan belum berpengalaman dalam
menghadapi wanita, masih belum tahu bahwa seorang wanita seperti ini mempunyai
kecerdikan dan muslihat yang lebih pandai dari pada seorang ahli perang.
Dengan muka
merah sekali sampai ke telinga-telinganya, Kwan Cu membentak, "Jangan
sembarangan bicara! Aku datang hendak menghancurkan kepala An Kai Seng dan kau
lebih baik lekas menyingkir karena aku tidak suka menjatuhkan tangan kepada
seorang wanita, apa lagi kalau kau tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan An
Kai Seng."
"Sudah
kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan An Kai Seng, yang ada di sini hanya
Tan-wangwe, akan tetapi kau tidak percaya. Habis apa yang hendak kau
lakukan?" tanya wanita itu sambil menatap wajah Kwan Cu yang tampan dan
tenang.
"Aku
harus melihat dulu orang yang bernama Kai Seng itu, hendak kulihat apakah dia
orang yang kucari-cari ataukah bukan?"
"Jadi
kau mau apa?" Wanita itu berkata menantang.
"Aku
akan masuk dan memeriksa seluruh isi rumah ini."
Wanita itu
tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.
"Kau...
kau mengagumkan!"
Kwan Cu
melengak dan tidak paham apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Akan tetapi
wanita itu segera menyambung kata-katanya, kini dengan bentakan keras dan
dengan pedang dilintangkan di depan dadanya.
"Dan
kau sangat sombong! Kau mau menggeledah rumah orang begitu saja? Baru dapat kau
lakukan kalau kau sudah dapat mengalahkan pedangku!" Ucapan ini ditutup
dengan tusukan pedang yang sangat lihai, dan tusukan ini disusul oleh
serangan-serangan lain yang cepat sekali.
Kwan Cu
sudah dapat menduga akan kehebatan ilmu pedang wanita ini, maka dia tidak
berlaku ayal dan cepat menggerakkan sulingnya menangkis dan mengelak.
Serentetan serangan dari enam jurus dengan sangat mudahnya sudah dapat
dihindarkan oleh Kwan Cu.
"Kau
hebat!" Wanita itu memuji. "Coba kau tahan yang ini!"
Dengan
gerakan tubuh yang amat indah bagaikan orang menari, dia lalu menggerakkan
pedangnya pula, kini melakukan penyerangan dengan pedangnya. Serangan ini
memang istimewa, dalam sejurus serangan ini terdapat tiga bagian yang dilakukan
dengan tenaga berlainan dan dengan tujuan berlainan pula.
Tusukan
pertama dilakukan dengan pengerahan tenaga mengikat, babatan ke dua yang
menyusul dengan tenaga mengait, dan serangan ke tiga adalah tusukan ke arah
kening di antara mata dengan dibarengi oleh pukulan tangan kiri dan lanjutan
pemutaran pedang di depan mata lawan untuk mengacaukan lawan sehingga andai
kata lawan masih dapat menghindarkan diri dari tiga kali serangan pedang, dia
akan terkena oleh pukulan tangan kirinya!
"Hemm,
inilah In-liong Sam-hian (Naga Awan Muncul Tiga Kali)! Kalau begitu kau murid
Thian-san!" seru Kwan Cu.
Cepat sekali
dia mengerahkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari serangan yang
susul-menyusul dan dia tahu hal ini amat berbahaya. la pernah mendengar dari
Ang-bin Sin-kai mengenai ilmu-ilmu silat yang paling ampuh dan berbahaya dari
berbagai cabang persilatan dan justru ilmu pedang inilah yang pernah dia dengar
dari suhu-nya. Jika dulu dia hanya mendengar teorinya saja, setelah dia
mempelajari ilmu kesaktian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, sekarang sekali
melihat saja tahulah dia bahwa ini adalah ilmu silat dari Thian-san-pai.
Wanita itu
pun nampak terkejut dan kagum ketika Kwan Cu selain dapat menghindarkan diri
dari serangannya yang dipilihnya paling hebat itu, juga dapat menduga tepat
bahwa dia adalah anak murid Thian-san-pai. Akan tetapi dia hanya tertawa
mengejek dan cepat melakukan serangan bertubi-tubi!
Kwan Cu
merasa tidak perlu membuang waktu melayani wanita ini, akan tetapi karena ilmu
pedang dari wanita itu memang lihai sekali, maka dia menjadi bingung. Apa bila
dia tinggalkan, memang mudah saja baginya untuk melompat dan terus lari ke
dalam rumah. Akan tetapi, lawannya ini tentu akan mengejarnya sehingga dia
tidak leluasa melakukan penggeledahan.
Di samping
ini, dia pun harus bertindak hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau di dalam
rumah dipasangi perangkap, karena ternyata bahwa pemilik rumah ini adalah orang
yang menjaga diri baik-baik sehingga di situ terdapat banyak ahli silat yang
pandai. Lagi pula, salahnya adalah karena dia tidak mau melukai perempuan ini,
bukan hanya karena dia merasa tak enak hati untuk melukai seorang perempuan
yang belum diketahuinya siapa dan dianggapnya tiada dosa, juga dia merasa tidak
tega.
Tidak dapat
disangkal pula bahwa kecantikan serta gaya wanita ini sedikit banyak sudah menarik
hatinya. Kalau dia mau, memang agaknya dalam sepuluh jurus saja dia mampu
merobohkan, akan tetapi tanpa melukainya adalah hal yang tidak begitu mudah.
Akhirnya dia
mendapatkan akal. Dengan sulingnya dia melakukan serangan kilat dan…
"Breeettt!"
robeklah baju wanita itu di bagian pinggang!
Wanita itu
terkejut sekali karena suling lawannya seakan-akan telah mengenai tubuhnya,
akan tetapi ternyata bahwa lawannya tak mau melukainya, dan suling itu
diselewengkan sedikit sehingga bukan kulitnya yang robek melainkan bajunya.
Akan tetapi serangan tadi benar-benar hebat sekali karena amat dekat dengan
kulitnya sehingga bukan hanya baju luarnya, malah baju dalamnya ikut robek dan
kulit pinggangnya yang putih itu kelihatan!
Karena
mengalami kekagetan hebat, wanita itu menjadi tertegun dan Kwan Cu tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini. Tangan kirinya bergerak dengan Ilmu Silat
Kong-ciang Sin-na, sedangkan tangan kanan menggerakkan suling menotok ke arah
pinggang.
Dalam
sekejap mata saja pedang wanita itu sudah dirampasnya dan kedua kaki wanita itu
menjadi kaku tidak dapat digerakkan lagi akibat totokan suling tadi! Sambil
tersenyum Kwan Cu melemparkan pedang itu ke atas sehingga sambil mengeluarkan
bunyi nyaring, pedang itu menancap pada langit-langit rumah. Sampai setengah
lebih tergantung di situ sambil bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga
sambitannya.
Wanita itu
menangis! Tangan kirinya menutupi pinggang yang pakaiannya terbuka dan tangan
kanan diremas-remasnya, akan tetapi kedua kakinya tetap tak dapat bergerak.
"Kubunuh
kau manusia kurang ajar!" teriaknya berkali-kali.
Akan tetapi
Kwan Cu tidak melayaninya dan hanya tersenyum sambil berlari memasuki rumah.
Dia merasa kasihan dan juga geli. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan
dengan cepat, teliti dan hati-hati, Kwan Cu menjadi kecewa.
Semua
pelayan yang dia temui di dalam gedung itu mengatakan bahwa majikan mereka
bernama Tan Kai Seng dan ketika itu sedang keluar rumah. Kwan Cu tidak suka
berlaku kejam kepada para pelayan ini, akan tetapi untuk memuaskan hatinya yang
kecewa dia memilih seorang pelayan laki-laki yang berwajah bodoh.
Cepat dia
mencabut pedangnya, yakni pedang Liong-coan-kiam yang selama itu hanya
disembunyikan di balik baju. Sekali sabet saja meja besar dan tebal di ruangan
dalam itu terbabat dan terbelah menjadi dua. Kemudian dia memegang leher baju
pelayan itu dan menempelkan pedangnya di atas hidung.
"Kalau
kau tidak menjawab sejujurnya, pedang ini akan memutuskan hidungmu. Tidak itu
saja, aku akan membikin semua kaki tanganmu buntung supaya selama hidup kau
tidak akan dapat bekerja dan akan menjadi pengemis yang tidak dapat makan
sendiri!"
"Ampun...
Siauwya...," kata pelayan itu sambil menggigil ketakutan.
"Nah,
katakan siapa sebetulnya majikanmu itu!"
"Hamba
tidak membohong, Siauwya majikan hamba bernama Tan Kai Seng..."
"Di
mana dia?"
"Tadi...
tadi dia berada di sini..."
"Jangan
bohong! Mana dia?" Kwan Cu membentak.
Dia
mengerahkan sedikit tenaga pada tangan kirinya yang menggencet pundak pelayan
itu. Pelayan itu meringis kesakitan, pundaknya serasa ditusuk jarum.
"Am...
ampun, Siauwya... hamba tidak membohong. Tadi... tadi majikan hamba berada di
sini, bahkan tadi keluar..."
Kwan Cu
berpikir, kemudian membentak lagi, "Yang mana dia? Yang mana? Hayo cepat
katakan!"
"Dia...
dia yang tadi melawan Siauwya."
"Apa?!
Yang muda-muda dan berpakaian pelayan, memegang pedang...?".
Pelayan itu
hanya mengangguk dengan tubuh menggigil ketakutan. Sesudah membuka rahasia
majikannya, kini dia menjadi semakin ketakutan karena dia tahu bahwa apa bila
majikannya mengetahui akan pengkhianatannya, dia akan menerima hukuman berat.
Kwan Cu terkejut
mendengar ini dan dia merasa menyesal sekali. Tadi dia sudah curiga terhadap
pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya itu. Diakah An Kai Seng keturunan An Lu
Shan? Mungkin sekali!
"Dan
gadis muda yang pandai main pedang itu, siapa dia?"
"Dia
adalah Wi Wi Toanio, isteri majikan hamba..."
Baru saja
mendengar ini, Kwan Cu cepat melompat keluar lagi. Hemm, yang tahu akan rahasia
hartawan muda bernama Kai Seng ini tentu hanya isterinya. Mungkin sekali An Kai
Seng sudah mengubah she-nya menjadi Tan, dan hal ini tentu saja tidak diketahui
oleh semua pelayan. Hanya isterinya yang tentu tahu akan hal ini!
Pada saat
tiba di ruang depan, dia melihat wanita muda yang cantik tadi masih berdiri,
sedang mengatur napas dan ternyata bahwa wanita itu telah berhasil membebaskan
diri dari totokannya. Ia kaget dan memuji karena hanya dengan tenaga lwekang
yang sudah tinggi saja orang dapat membebaskan totokan begitu cepatnya.
Ketika Wi Wi
Toanio melihat Kwan Cu keluar lagi, dia cepat hendak melarikan diri. Akan
tetapi dengan sekali lompatan, Kwan Cu sudah berada di depannya.
"Jadi
kaukah Wi Wi Toanio isteri dari An Kai Seng?" Kwan Cu bertanya dengan mata
bersinar mengancam.
"Suamiku
bernama Tan Kai Seng!" Wi Wi Toanio berkata dan mencoba untuk tersenyum,
sungguh pun hatinya berdebar penuh rasa takut. Ia telah merasai sendiri betapa
lihainya orang yang mau membunuh suaminya ini.
Kwan Cu
menengok ke arah pelayan muda yang tadi sudah dikalahkannya, akan tetapi
seperti yang sudah diduganya, pelayan muda itu kini tidak kelihatan lagi mata
hidungnya. Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan Wi Wi Toanio mempergunakan
kesempatan selagi Kwan Cu menengok, untuk cepat melompat melarikan diri keluar.
"Kau
hendak lari ke mana?" Kwan Cu segera mengejar dan di lain saat pemuda ini
telah memegang pergelangan tangan Wi Wi Toanio.
"Lepaskan
aku! Lepaskan!" la meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan tangannya,
akan tetapi sia-sia, karena pegangan Kwan Cu amat kuatnya.
"Katakan
dulu, siapa sebetulnya suamimu itu? Apakah dia bukan An Kai Seng keturunan An
Lu Shan?" tanya Kwan Cu perlahan sambil mempererat pegangannya hingga
wanita muda itu merasa seluruh lengannya sakit sekali.
Pada saat
itu pula, para pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, sudah keluar dan
memandang dari pintu dengan muka pucat. Sementara itu, pelayan yang tadi
diperintah oleh Kai Seng untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya, sudah
datang diiringkan oleh belasan orang laki-laki yang sudah memegang senjata
tajam. Mereka ini menyerbu dari luar dan siap menolong Wi Wi Toanio yang
dipegang tangannya oleh Kwan Cu.
Melihat ini,
Wi Wi Toanio segera melakukan siasatnya yang amat cerdik. Dia kemudian
merapatkan tubuhnya, tidak lagi mempedulikan rasa sakit pada tangannya dan
sengaja merapatkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu, lalu berteriak-teriak.
"Kau
manusia kurang ajar! Kau hendak berlaku kurang sopan terhadapku? Lihat,
lihatlah semua orang! Inilah orang yang mengaku bernama Lu Kwan Cu, seorang
yang katanya pendekar muda berilmu tinggi! Akan tetapi dia hendak membujukku,
mengajakku minggat bersama. Alangkah rendahnya!"
Kwan Cu
merasa betapa tubuh wanita itu merapat dan dia kembali mencium bau yang amat
harum. Ketika mendengar teriakan ini, dia terkejut sekali, wajahnya menjadi
merah sampai ke telinganya dan otomatis dia melepaskan pegangannya dan segera
melangkah mundur.
"Kau
bohong! Aku tidak berlaku kurang ajar, hanya mau tahu di mana perginya Kai Seng
itu!" katanya mendongkol.
Sambil
memijat-mijat pergelangan lengannya Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Dia lalu
berkata pula perlahan, "Kalau kau memang gagah, carilah sendiri!"
Lalu ia berjalan pergi.
Kwan Cu
merasa bingung. Tentu saja dia dapat menangkap wanita itu, dibawa ke tempat
sunyi untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya hartawan muda itu dan di mana
tempat bersembunyinya. Akan tetapi kalau teringat akan teriakan nyonya muda
tadi, dia menjadi merasa malu dan tidak enak sekali. Kalau sampai dia
menangkapnya, tentu semua orang akan membenarkan kata-kata Wi Wi Toanio dan
namanya akan menjadi busuk di dunia kang-ouw!
Sementara
itu, kawan-kawan Kai Seng yang terdiri dari jago-jago silat di kota itu, sudah
datang dan menyerbu Kwan Cu. Terpaksa pemuda ini lalu menggerakkan sulingnya.
Dia tidak mau membuang banyak waktu dan sebentar saja terdengar suara keras,
senjata-senjata tajam terlempar jauh dan orang-orang itu lantas
berteriak-teriak kesakitan, roboh seorang demi seorang.
Setelah
belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi
bayangan Wi Wi Toanio. Dia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita
itu. Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan
suami isteri itu di kota dan akhirnya ia mendapat keterangan bahwa mereka telah
melarikan diri dengan perahu mereka ke laut!
Kwan Cu
merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan sekian lama dia mencari, tetapi setelah
bertemu, dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan
telah dia kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya
sehingga dia tidak membunuhnya, bahkan tidak mau melukainya karena mengira
bahwa dia adalah seorang pelayan biasa.
“Biarlah,
aku pasti akan bisa menemukannya kembali," katanya sambil menghela napas.
Terbayanglah
wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang merdu, bentuk
tubuhnya yang menggairahkan serta keharuman yang menawan hati masih tercium
oleh hidungnya. Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar seorang
wanita yang cantik, pandai dan... berbahaya sekali.
***************
Seperti
biasa, pada waktu menganggur ini dia memeriksa seluruh saluran darah di dalam
tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya. Dengan perlahan-lahan
dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia lalu menyempurnakan jalan
darahnya.
Setelah
mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan darahnya sudah sempurna, dia lalu
mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya. Tidak ada hiburan yang
lebih menyenangkan baginya dari pada meniup sulingnya. Otaknya telah penat
berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhu-nya dan
kongkong-nya.
An Kai Seng
telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya, karena tentu
saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga dirinya lebih baik, apa lagi
dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan
waktu lama untuk dapat menemukannya kembali.
Terlebih
dahulu dia akan mencari musuh-musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan
pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal
lima belas) akan diadakan musyawarah besar di puncak Tai-hang-san dan di
sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh yang membunuh gurunya itu.
Pada waktu
itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi, jadi dia masih mempunyai waktu
beberapa pekan. Oleh karena itu Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju
ke Tai-hang-san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya
beristirahat bila dia merasa lelah benar seperti siang hari itu.
Tanpa
disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang sering kali dimainkan oleh
Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat. Dia begitu saja mainkan lagu ini karena
ketika tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu. Sulingnya
adalah pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu di mana adanya orang pandai
itu sekarang.
Memikirkan
Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu akan sanggup
menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu bila sekiranya Raja Tabib itu
berada di tempat terjadinya mala petaka yang menimpa diri kedua orang pendeta
itu. Sambil menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia
akan peristiwa pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan
teka-teki baginya itu.
Tiba-tiba
terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh
Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali sehingga Kwan Cu
harus mengakui bahwa suara itu amat empuk. Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan
tiupan sulingnya dan sekarang terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian
orang itu, menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw
Yok-ong.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment