Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 25
DIAM-DIAM
Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun
suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. Dia tidak merasa heran bahwa
orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling
dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar
dari tempat jauh.
Kalau saja
pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran
karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu,
akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!
Yang sangat
menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu
mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar
jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum
karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapatkan kesan bahwa penyanyinya
bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja.
Suara
nyanyian itu terdengar penuh mengejek, akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula
semangat kegagahan. Kata-katanya sendiri merupakan filsafat sederhana yang
sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga.
Hutan sungai
tetap murni tak berubah apa bila tiada tangan kotor orang menjamah, mengapa
tempat tinggal orang kacau belaka!
Mengapa
mereka saling bunuh tiada habisnya?
Katakan
manusia berakal budi katakan manusia makhluk tertinggi aku lebih kagum melihat
burung dan kelinci.
Katakan
dusun kota indah dan damai, aku lebih cinta hutan dan sungai!
Baru saja
kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang
dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh
pakaiannya. Bajunya lebar panjang berkembang-kembang, kepalanya ditutup oleh
kopyah. Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan
Cu. Tubuhnya tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek.
Lagaknya
kelihatan angkuh dan tinggi hati. Tapi sepasang matanya yang mengeluarkan
cahaya berapi itu menandakan bahwa dia bersemangat besar serta memiliki
kepandaian dan tenaga dalam yang sudah tinggi.
"Ehhh,
bocah!" katanya dengan lagak sombong. "Siapa kau yang dapat meniup
suling menyanyikan lagu itu?"
Kwan Cu
tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia pun bangkit berdiri dengan
tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban.
Yang membuat
Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya
berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh kaum wanita dan
alangkah lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar sangat
lucu. Memang aneh sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.
"Bocah
tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?"
"Aku
tidak tuli dan juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta
maka aku mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini."
"Apa
katamu? Aku lucu?" la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada
dan tersenyum puas. "Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu,
lagi gagah!"
Kwan Cu
menggerakkan hidungnya seperti kalau sedang mencium bau yang tidak enak.
"Lucu memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ahh,
kau bahkan kelihatan seperti seorang perempuan!"
Pemuda aneh
itu mengangkat alisnya. "Apa?! Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda
masih hijau berani lancang mulut. Kau kira berhadapan dengan siapa? Akulah
seorang pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, tetapi juga terpelajar. Aku
seorang Bun-bu Coan-jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?" la
menggerakkan kedua tangannya ke arah pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu
telah memegang sepasang poan-koan-pit (senjata yang berupa sepasang alat
menulis atau pensil Tiongkok).
"Hemmm,
itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali digunakan oleh anak-anak
yang sedang belajar menulis," kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu
timbul kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.
"Belajar
menulis telingamu!" Pemuda itu memaki gemas. "Dengan pit di tangan
kanan aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi!
Dengan pit di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh
ahli silat Siang Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian.
Kalau aku menjadi ahli silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa
musuh dan pit pada tangan kanan ini dapat mengantarkan lawanku ke neraka!"
Kwan Cu
tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa
terpingkal-pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena
dia dapat mengerti bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu
sesungguhnya hanyalah dibuat-buat belaka.
Di balik
kelucuan dan kesombongan ini, dia melihat seorang pemuda berjiwa luhur dan
berwatak aneh. Juga garis-garis pada jidatnya menandakan bahwa pemuda ini
semuda itu telah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami kehancuran batin
yang penuh kecewa dan duka.
"Kenapa
kau tertawa lagi, Tolol?" bentak pemuda berkopyah itu.
Kwan Cu
memperlihatkan sulingnya. "Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau.
Namun dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai
orang lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Engkau masih pernah apakah dengan
Hang-houw-siauw Yok-ong?"
Pemuda itu
tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo.
Kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget ketika melihat
betapa. sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.
"Hemm,
kau tentulah Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!" katanya tiba-tiba dan
lenyaplah untuk sesaat kelucuan mukanya.
Kwan Cu
terkejut. "Ehh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana pula kau dapat mengetahui
namaku?" Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan
kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.
"Sulingmu
adalah pemberian suhu."
Berseri-seri
wajah Kwan Cu. "Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong,
locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu,
saudara yang gagah perkasa?"
"Panggil
saja aku Hok Peng. Sekarang berhati-hatilah, aku akan menyerangmu dengan
poan-koan-pit!" Baru saja kata-kata ini selesai diucapkan, dia sudah menyerang
Kwan Cu dengan hebatnya!
Kwan Cu
kaget dan cepat melompat ke belakang. "Gilakah kau? Tiada hujan tiada
angin menyerangku?" tanyanya mendongkol sekali.
"Kau
berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, kini hendak kulihat apakah
kau patut menerima hadiah itu!" jawab pemuda aneh itu dan kembali dia
menyerang dengan hebat. Pada waktu dia menyerang, gerakannya amat cepat dan
tubuhnya ringan sekali, melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.
Kwan Cu
merasa kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan
melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun sangat lihai dan
tidak boleh dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya
dengan suling di tangannya.
Pada saat
dia melihat Hok Peng menusuk ke arah iganya dengan totokan yang lihai, dia
cepat-cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit kanan lawannya
dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi sebetulnya bukan
demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya menjaga
kalau-kalau pit di tangan kiri lawannya bergerak.
Benar saja,
Hok Peng berseru, "Bagus sekali!"
Karena
merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa beratnya sehingga
lengan kanannya tergetar, dengan kecepatan kilat selagi kedua kakinya masih
terapung seperti terbang, pit kirinya kemudian menusuk leher Kwan Cu.
Kwan Cu yang
sudah menduga lebih dulu karena melihat gerakan pundak kiri Hok Peng, segera
melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya cepat memapaki pit itu dengan
jari-jemari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya
Kong-ciak Sin-na yang lihai!
Hok Peng
tertawa mengejek dan secepatnya menarik kembali pit kirinya. Pada saat itu
kedua kakinya telah menginjak tanah lagi dan dengan gerakan saling susul, kedua
pitnya kini melakukan serangan bertubi-tubi. la betul-betul mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk menguji pemuda yang pernah dipuji-puji oleh Hang-houw-siauw
Yok-ong dan yang telah menerima hadiah suling dari gurunya itu.
Kwan Cu
tidak mau kalah dan menggerakkan sulingnya secara cepat sekali. Diam-diam dia
mempelajari semua gerakan ilmu silat dari Hok Peng dan Kwan Cu harus mengaku
bahwa pemuda aneh dan lucu itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat
sekali.
Kalau
dibandingkan, kepandaian Hok Peng ini bahkan masih mengatasi kepandaian An Kai
Seng atau Wi Wi Toanio. Bahkan kalau dibandingkan pula dengan murid-murid tokoh
besar, masih lebih menang sedikit dari pada Lu Thong. Kiranya hanya Sui Ceng
seorang yang akan sanggup menghadapinya dengan kepandaian seimbang.
Bagi Kwan Cu
sendiri, walau pun dia mengakui akan kelihaian sepasang senjata Hok Peng, namun
sekali melihat saja dia sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat
lawannya. Ini berkat pengetahuannya tentang pokok dasar dari pada segala
pergerakan tubuh dalam bersilat yang diwarisinya dari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng.
Kalau
tadinya Hok Peng menyerang sambil tersenyum-senyum mengejek, kini berkali-kali
dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar merasa aneh dan tidak mengerti
bagai mana semua jurus simpanan yang dia pelajari dan yang biasanya berupa jurus
ampuh yang tidak sembarangan dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan
mudah dapat dipatahkan oleh Kwan Cu.
"Kau
lihai sekali!" serunya sampai tiga kali. "Coba kau terima ini!"
Sekarang dia
mengubah caranya bersilat. Sepasang poan-koan-pit di tangannya itu kini
bergerak secara aneh dan luar biasa, datang dari depan bagaikan gelombang
samudera dan menerjang bertubi-tubi dari atas laksana hujan badai. Hok Peng
telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua pelajarannya, ilmu silat
yang boleh dimainkan dengan kedua tangan kosong mau pun dengan senjata yang
sepasang, yang oleh gurunya dinamakan Ilmu Silat Badai dan Ombak.
Kwan Cu pun
tercengang menghadapi serangan hebat ini. Dari kedua tangan Hok Peng
seakan-akan keluar tenaga mukjijat yang luar biasa sekali, sedangkan sepasang
pit itu menyambar-nyambar, sungguh hebat sekali ilmu silat pemuda aneh ini.
Satu kali
ini Kwan Cu benar-benar menemui lawannya, lawan yang sangat tangguh dan lihai.
Apa bila tadi dengan pandangan matanya yang awas serta dengan pengertiannya
yang mutlak tentang pokok dasar segala gerakan silat Kwan Cu dapat menghadapi
Ilmu Silat Badai dan Ombak ini, dia menjadi terkejut sekali. Ilmu silat ini
dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga dia tidak sempat untuk
mempelajari sarinya.
Terpaksa
Kwan Cu melawan dengan ilmu silatnya pula, dan dia tidak sekali-kali berani
berlaku ayal, karena dia pun merasa penasaran kalau sampai kalah oleh pemuda
aneh ini. Cepat-cepat Kwan Cu mengerahkan lweekang-nya dan mainkan ilmu pukulan
Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mainkan
sulingnya, kini dengan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat.
Bukan main
hebatnya pertempuran ini. Keduanya sama lincah, sama cepat dan sama kuat. Makin
kagum hati Kwan Cu, karena pemuda ini tahu bahwa kalau dia tidak pernah
mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pasti dia akan kalah.
Seratus jurus lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara
mereka.
Sebaliknya,
Hok Peng kini benar-benar terkejut. Dia telah memainkan seratus jurus ilmu
silatnya yang dahsyat, namun tetap saja dia tidak mampu mengalahkan lawannya.
Ilmu Silat Badai dan Ombak ada seratus dua puluh jurus dan kini dia sudah
mainkan seratus jurus, masih tinggal dua puluh jurus lagi.
Tiba-tiba
dia teringat, betapa semenjak tadi Kwan Cu tidak pernah membalasnya, hanya
mengelak dan menangkis saja, sedangkan dari kedua lengan pemuda itu mengepul
uap putih yang memiliki pengaruh hebat atas hawa pukulannya.
Aduh,
celaka, pikirnya.
Tidak salah
lagi! Kwan Cu tentu sedang mempelajari ilmu silatnya dan kalau sampai dia terus
mainkan semua ilmu Silat Badai dan Ombak yang masih dua puluh jurus lagi, sama
halnya dengan menghadiahkan ilmu silat itu kepada Kwan Cu!
Tiba-tiba
Hok Peng menghentikan serangannya dan melompat mundur. Wajahnya pucat dan dia
menyimpan kembali poan-koan-pitnya, lalu tersenyum pahit.
"Aku
sudah kena kau akali! Kau tentu sudah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
"Bagaimana
kau bisa tahu?" Kwan Cu balas bertanya karena dia pun merasa amat suka dan
kagum kepada pemuda lucu ini.
"Siapa
pun juga yang tidak memiliki Im-yang Bu-tek Sin-kun (Ilmu Silat sakti dari
Im-yang Bu-tek Cin-keng), tidak akan mungkin mampu menahan serangan-seranganku
tadi tanpa membalas sedikit pun. Dan kau tentu sudah mencatat di dalam hatimu
sebanyak seratus jurus ilmu silatku tadi."
Kwan Cu
tersenyum. "Hok Peng, sahabat baik. Kau sudah beruntung sekali bisa
menjadi murid Hang-houw-siauw Yok-ong, apa ruginya membagi sedikit kepadaku?
Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku takluk padamu."
Merah wajah
Hok Peng. "Sudahlah, bertemu dengan orang semacam kau apa gunanya
membicarakan tentang ilmu silat? Suhu sendiri kiranya belum tentu dapat
mengalahkan engkau, karena kata suhu, siapa yang mewarisi ilmu dari Im-yang
Bu-tek Cin-keng, tak akan terlawan oleh siapa pun juga. Baiknya Badai dan Ombak
masih ada dua puluh jurus lagi yang belum kau lihat. Aku akan menggembleng yang
dua puluh jurus itu dan siapa tahu kalau kelak yang dua puluh jurus ini akan
dapat mengalahkan engkau."
"Ehh,
saudara Hok Peng, apakah kau begitu haus akan kemenangan? Kau benar-benar murka
sekali, kurang apa lagi kepandaianmu? Kau menjadi murid seorang sakti seperti
Yok-ong locianpwe, pandai ilmu silat, pandai ilmu pengobatan, dan pandai meniup
suling dan bernyanyi."
Mulut Hok
Peng cemberut. "Sayang sekali, dalam ilmu pengobatan otakku terlalu keras
sehingga hanya dapat mempelajari sedikit saja, ada pun mengenai menyuling, kau
lebih pandai. Kalau tidak begitu, bagaimana suhu memberikan sulingnya padamu?
Ahh, Kwan Cu, setelah kita saling mengukur kepandaian, aku tidak kecewa
melihatmu. Hanya saja masih ada penasaran dalam hatiku melihat betapa kau
benar-benar tidak kenal budi dan kebaktian terhadap gurumu."
Kwan Cu
terkejut dan marah. "Ehh, omongan apa yang kau keluarkan ini? Membuta tuli
menuduh orang lain tanpa alasan. Boleh jadi aku Lu Kwan Cu memang seorang bodoh
dan kasar, akan tetapi bagaimana kau bisa bilang aku tidak kenal budi dan
kebaktian?"
"Tentu
saja kau tidak kenal budi dan kebaktian. Gurumu tewas dalam penasaran besar,
dikeroyok orang-orang yang curang, mengapa kau diam saja dan enak-enak seperti
tidak terjadi apa-apa, bukankah ini menandakan bahwa kau tak kenal..."
"Tahan
lidahmu, Hok Peng! Aku sekarang juga sedang mencari-cari mereka yang sudah
membunuh suhu-ku dan aku pasti akan membalaskan sakit hati suhu sekaligus
menagih hutang nyawa mereka!"
Hok Peng
tersenyum, dan matanya yang tajam memandang penuh selidik. "Bagus, kau
tidak bohong. Aku tarik kembali tuduhanku bahwa kau tak kenal budi dan
kebaktian, akan tetapi kau ternyata tolol."
"Ahh,
apakah kau masih belum puas dan ingin mengajak berkelahi lagi?" tanya Kwan
Cu gemas.
"Aku
bukan sembarangan menuduh saja. Kau memang tolol kalau belum juga tahu siapa
adanya orang-orang yang mengeroyok dan membunuh gurumu Ang-bin Sin-kai
itu."
"Mereka
adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw!" kata Kwan Cu.
Hok Peng
melengak. "Eh, ehh, jadi kau sudah tahu pula? Memang tiga orang locianpwe
itulah pembunuhnya, dengan jalan mengeroyok secara tak tahu malu dan curang
sekali! Kalau begitu kau memang tidak tolol, hanya bodoh sekali."
"Hemm,
apa lagi yang menyebabkan kebodohanku?" tanya Kwan Cu, kali ini tidak
marah lagi karena memang semua kata-kata yang lucu dari Hok Peng beralasan dan
agaknya orang ini boleh sekali dijadikan kawan baik.
"Karena
kau tentu akan membuang waktu dengan sia-sia kalau kau mencari-cari mereka itu,
padahal mereka berada di..."
"Puncak
Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw!" Kwan Cu menyambung cepat.
Kembali Hok
Peng melengak. Sepasang matanya yang bundar seperti kelereng itu lantas
bergerak-gerak memandang, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Hemm,
jadi kau sudah tahu pula? Baik, baik, bagus! Akan tetapi tetap saja kau masih
bodoh. Jalan yang terdekat ada mengapa mengambil jalan jauh? Bukankah itu bodoh
namanya?"
"Hok
Peng yang baik, dalam hal ini aku mengaku bodoh. Memang aku belum kenal jalan
dan aku hanya melalui jalan menurut keterangan orang-orang yang kutemui. Aku
mohon petunjukmu, jalan manakah yang terdekat ke Tai-hang-san itu?"
"Kalau
dilihat dari jauh, memang agaknya puncak Tai-hang-san berada di sisi utara dan
agaknya kalau mau ke puncak, jalan dari utara adalah jalan terdekat. Akan
tetapi kalau kau lanjutkan kepercayaanmu ini, percayalah bahwa sampai waktu
Gouw-gwe Cap-gouw tiba, kau belum dapat sampai ke puncak. Jalan dari utara ini
banyak sekali halangannya, terhalang oleh jurang-jurang berbahaya dan oleh
hutan-hutan lebat yang akan membikin kau tersesat jalan sehingga akhirnya kau
akan terlambat. Kalau kau mengambil jalan dari timur, dari kaki pegunungan
terus menanjak ke barat, kau akan sampai di sana dengan cepat dan kiranya masih
belum terlambat jika sekarang juga kau melanjutkan perjalanan. Akan ramai
sekali di sana " Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu pergi
sambil bernyanyi-nyanyi, tidak mempedulikan lagi kepada Kwan Cu.
"Hok
Peng, terima kasih, kau baik sekali!" Kwan Cu berseru girang ke arah
pemuda itu yang sama sekali tidak mempedulikan seruannya.
Akan tetapi
Kwan Cu juga tak mengharapkan jawaban dari pemuda yang aneh itu, sebab dia
maklum bahwa orang-orang seperti Yok-ong dan muridnya ini adalah orang-orang
yang wataknya memang aneh dan lain dari pada orang-orang biasa.
Dengan cepat
Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia mengubah arah
perjalanannya, tidak lagi hendak mendaki Bukit Tai-hang-san dari utara,
melainkan dari timur seperti yang dinasehatkan oleh Hok Peng.
***************
Pada waktu
yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari
jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang
kelihatannya aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek
yang aneh dan gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang
ini berjalan dengan gerakan cepat seperti terbang.
Di antara
sekian banyaknya orang-orang gagah yang naik ke Tai-hang-san, terdapat pula
Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya
lebih ditakuti dari pada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam
(penjahat), karena Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut.
Meski pun
tokoh selatan ini sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja
kelihatan keras dan sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang
ada orang berani menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka
tajamnya. Nenek sakti ini naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja,
namun dua orang muda yang berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang
agar jangan sampai tertinggal oleh Kiu-bwe Coa-li!
Dua orang
muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama menuju tempat
tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri dari dunia
ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.
Akan tetapi,
ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti ini,
Kiu-bwe Coa-li terlihat sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui
Ceng sebab gadis yang sejak kecil ikut gurunya ini tentu saja sudah kenal baik
akan watak gurunya yang aneh.
"Kau
datang padaku ada apakah, Sui Ceng?" tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa
mempedulikan Kun Beng yang juga berlutut di depannya.
"Teecu...
teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan... dan teecu telah... telah bertemu
dengan dia ini."
Kiu-bwe
Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik saja
sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.
"Siapa
dia?" tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya.
Nenek sakti
ini benar-benar hebat sekali, hebat serta menakutkan, pikirnya. Lebih aneh dari
pada suhu-nya sendiri, Pak- lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.
"Maafkan
teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah," kata Kun Beng tanpa
berani mengangkat mukanya, "teecu adalah The Kun Beng."
"Ahh,
jadi kau adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat
mukamu!"
Kun Beng
terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat sinar
mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. Dia tidak tahan menatap sinar
mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.
"Apa
maksudmu datang bersama Sui Ceng ke sini?" tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.
"Teecu...
teecu bersama Ceng-moi hendak... hendak mohon kepastian tentang... tentang
perjodohan..." Sesudah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah
mukanya, demikian pula Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
Tiba-tiba
saja tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu
cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur
cepat ke arah tubuh Kun Beng.
"Suthai!"
Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini, yakni
sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!
Sembilan
ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat
menyambar, lalu sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu
tanpa dapat dielakkan lagi!
Kun Beng
merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan cepatnya. Dia tidak dapat
mengelak atau menangkis lagi, maka cepat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya
yang dikumpulkan ke arah pundak sambil menahan napas untuk menerima datangnya
totokan ini.
Kekhawatiran
Sui Ceng sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-li hanya
mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga sebesar
itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya.
Oleh karena
itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia terhitung memiliki
kepandaian yang seimbang dengan muridnya sehingga patut menjadi suami muridnya.
Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!
Ketika jalan
darah pada pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa seluruh
tubuhnya tergetar. Akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga
lweekang-nya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka. Kiu-bwe
Coa-li menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau
cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan
bicarakan tentang perjodohan!"
Sui Ceng
mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis ini biar
pun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani
membantah. Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe
Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang.
Sebelum
menghadap gurunya, Sui Ceng telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan
selama ini hubungan mereka semakin rapat. Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang
mengecewakan dalam diri tunangannya.
Kun Beng
merupakan seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah
rasa cinta di dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya.
Mendapatkan Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang
ada pemuda seperti Kun Beng.
Oleh karena
hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja dia menjadi kaget
mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat muka
dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li.
Biar pun
bibirnya tidak mengeluarkan sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi
hati muridnya, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata,
"Sui
Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Sekarang pinni (aku) menghadapi
urusan yang jauh lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya terlalu
memandang rendah kepadaku sehingga dia mengirimkan undangan untuk mengadakan
pertemuan di puncak Tai-hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia
mengundangku karena mengingat bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini
berarti bahwa aku mencampuri urusan kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan
dengan orang-orang yang anti dan pro kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar
urusan lama, dia akan mengingatkan aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu
ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu, aku memang kalah pada waktu itu, akan
tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak orang." Kiu-bwe Coa-li menghentikan
kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa dia marah sekali.
"Kalau
begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?" tanya Sui Ceng.
"Aku
tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan
kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku
memilih kaisar bangsa sendiri, betapa pun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki
Sianjin memandang rendah kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang
menjadi penjilat kaisar asing dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau
dan aku harus pergi ke Tai-hang-san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam
pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian pasti akan hadir juga sehingga
sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan tua bangka itu."
Ucapan
Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tidak boleh dibantah lagi. Sui Ceng
menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah.
Celaka,
pikirnya. Kalau benar suhu-nya pergi ke Tai-hang-san, tentu suheng-nya Gouw Swi
Kiat akan berada di sana pula. Bagaimana jika suheng-nya itu menceritakan semua
peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Kui Lan? Tentu suhu-nya akan marah
besar dan akan celakalah dia. Tidak saja akan dimusuhi oleh suheng-nya, bahkan
kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu tunangannya akan berubah benci
kepadanya.
Akan tetapi
Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul akan
watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Sangat tidak mungkin suheng-nya itu mau
membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain, meski pun kepada suhu sendiri
tentu tidak.
Urusan ini
meski pun menjelekkan nama Kun Beng, namun yang akan lebih rusak nama dan
kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang wanita ialah
yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat dari pada seorang pria. Dan Swi
Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan
Swi Kiat yang tahu akan urusan itu?
Kun Beng
merasa lega hatinya. Ia tidak takut kalau hanya Swi Kiat yang memusuhinya,
karena selain dia memiliki kepandaian yang tak kalah oleh Swi Kiat, juga dengan
adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa berbuat apakah? Setelah
berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng
ke Tai-hang-san.
Sesudah
mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan
tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe
Coa-li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan
tidak menegur siapa pun juga, biar pun ada yang sudah mereka kenal.
"Menghadapi
urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan tetapi menutup
mulut rapat-rapat!"
Kiu-bwe
Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak
bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan
seorang diri dengan cepatnya.
Puncak
Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan mega-mega putih dan memang
kelihatannya berada di sebelah utara. Akan tetapi benar seperti yang dikatakan
oleh Hok Peng, perjalanannya dari timur sangat mudah dan selalu puncak itu
kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga dalam
perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau jalannya tersasar.
Ketika dia
tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba
dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang sedang duduk di
bawah pohon, menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang
panjang dilonjorkan menghalang jalan.
Kwan Cu
benar-benar merasa terkejut dan dia menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari
jauh dia tidak melihat ada orang duduk di situ, bagaimana tiba-tiba saja ada
kakek yang duduk dengan dua kaki menghalang jalan? Hampir saja dia menginjak
kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.
"Bocah-bocah
jaman sekarang amat kurang ajar!" Kakek itu berkata menggerutu sambil
menggaruk-garuk kepalanya. "Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja
tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!"
Kwan Cu yang
sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang cepat
membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja
ingin mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja
menunjukkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ hingga dia
tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah
menegurnya!
Ketika
melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu merasa kaget dan heran. Yang duduk
itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali
seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini.
Bangsa
apakah dia? Apa bila dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia adalah
seorang bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi kenapa
kulit mukanya begitu hitam? Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih serta
halus, hanya pada bagian muka yang amat hitam sehingga sulit untuk mengenal
muka ini, kecuali sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh.
Kwan Cu
merasa seperti pernah melihat mata seperti ini. Akan tetapi, oleh karena muka
yang luar biasa warnanya itu, dia tidak dapat mengenal lagi.
"Ang-bin
Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat, akan tetapi tidak meninggalkan warisan
budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormati
orang yang lebih tua," Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.
Kembali Kwan
Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau dan
kasar, kini berubah menjadi halus dan tenang, suara yang telah pernah
didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia
mengenalnya, akan tetapi betapa pun dia memeras otak, tetap saja dia tidak
dapat ingat lagi siapa adanya orang tua ini.
"Hari
ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah watak
manusia," lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja
menempeleng kepalanya sendiri.
"Bodoh
benar, mengapa aku begini pelupa?" pikirnya.
Serta-merta
dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada
batang pohon itu sambil berkata dengan girang,
"Locianpwe,
mohon ampun sebesarnya atas kekurang ajaran teecu yang semenjak tadi tidak
mengenali Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai
yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh."
Tiba-tiba
tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini
merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia
percaya penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi
mulia, tidak mungkin mau mencelakakan dirinya. Bahkan dia sama sekali tak
mengerahkan lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini
malah akan dianggap sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar
orang dan di lain saat tubuhnya telah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.
Ternyata
bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di belakang semak-semak belukar,
mendekam di sana tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya,
dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh.
Tindakan
kaki ini berat sekali sehingga pohon-pohon serasa tergetar. Dengan telinganya
yang tajam dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah empat orang, dan
agaknya salah seorang sengaja menjatuhkan kaki dengan pengerahan tenaga luar
biasa, ada pun yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara derap kakinya,
demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.
Sebentar
saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu menggigil
dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka ini.
Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya tidak lain adalah
Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh
suhu-nya! Ini yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya menjadi
panas sekali.
Orang ke dua
adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam seluruhnya seperti Hek-i
Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil. Kembali dada Kwan Cu
tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada malam hari dekat
kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh. Tanpa terasa
lagi Kwan Cu meraba sakunya dan teringat bahwa dia masih menyimpan sepotong
robekan kain dari jubah hitam hwesio ini.
Ada pun
orang ke tiga dan ke empat adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi
Kwan Cu tidak mengenal mereka. Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka
karena bagaikan bayang-bayang yang cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi,
naik ke atas gunung.
Kakek
bermuka hitam itu berdiri dan menghela napas panjang.
"Heran sekali,
Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai juga
datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai setan
berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hemm, bahkan
Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini..." Kakek ini berjalan
perlahan keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.
Pemuda ini
lalu bangkit berdiri dan mengikutinya. Tiba-tiba kakek itu berpaling padanya
dan berkata,
"Kwan
Cu, bagaimana kau bisa mengenalku?"
"Sesungguhnya
teecu takkan mungkin dapat mengenal Locianpwe kalau saja Locianpwe tidak
menolong teecu dengan suara asli itu." Kwan Cu mengaku terus terang.
Hang-hauw-siauw
Yok-ong tertawa dan memandang ke atas.
"Memang
itulah baiknya orang menyamar. Kita bisa mengenal orang lain tanpa dikenal.
Bukankah itu menyenangkan sekali? Eh, Kwan Cu, bagaimana dengan
kepandaianmu?"
"Teecu
hanya bisa mainkan satu dua jurus pukulan, tiada harganya untuk diketahui oleh
Locianpwe. Teecu hanya mohon petunjuk dan pimpinan."
"Ha-ha-ha,
semenjak dulu kau memang pandai merendah. Sikap yang amat baik sekali, anakku.
Kau tadi menjadi panas melihat mereka lewat, ada apa? Juga apa maksudmu
berkeliaran di tempat ini?"
"Locianpwe,
terus terang saja teecu hendak ke Tai-hang-san untuk menuntut balas atas
kematian suhu. Teecu hendak membalas dendam terhadap mereka yang mengeroyok
suhu secara pengecut, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Toat-beng
Hui-houw!"
Yok-ong
tersenyum lebar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang itu sudah
menjadi hak dan kewajibanmu. Akan tetapi, apakah kepandaianmu sudah begitu
tinggi sehingga kau seorang diri berani menghadapi mereka bertiga?"
"Teecu
datang bukan bermodalkan kepandaian, tapi bermodal semangat, kebenaran dan
kebaktian terhadap suhu."
"Agaknya
kau telah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, bukan? Kulihat
sinkang (tenaga sakti) di dalam tubuhmu sudah tinggi sehingga dalam sekejap kau
tadi dapat menindas hawa kemarahanmu ketika kau melihat Hek-i Hui-mo. Bagus,
memang kau patut menerima ilmu yang tinggi, bakatmu amat besar. Akan tetapi
harus kau ketahui bahwa tiga orang yang kau sebutkan tadi bukanlah lawan yang
boleh dibuat main-main."
"Teecu
mengerti, Locianpwe, akan tetapi dalam memenuhi tugas ini, teecu menyediakan
selembar nyawa untuk taruhan. Tidak lain teecu hanya mohon petunjuk dari
Locianpwe, mengingat akan baiknya hubungan antara Locianpwe dengan mendiang
suhu."
Hang-houw-siauw
Yok-ong tertawa bergelak. "Kau memang cerdik dan pandai membawa diri.
Sudah kuketahui hal ini sejak kau masih kecil. Coba keluarkan sulingmu!"
Kwan Cu
kagum. Kakek ini tanpa melihat sudah tahu bahwa suling pemberiannya dahulu
masih dia bawa terus. Dengan cepat dia mencabut keluar suling hijau itu. Mata
Yok-ong bersinar girang.
"Coba
kau serang aku sampai sepuluh jurus. Hendak kulihat apakah kau tidak hanya
membuang nyawa sia-sia dengan niatmu membalas dendam ini."
Kwan Cu tak
berani membantah, akan tetapi dia ragu-ragu. Ilmu silat apa yang harus dia
keluarkan untuk menyerang Yok-ong? Untuk mengeluarkan ilmu silat ciptaannya
sendiri, dia tidak berani karena hal ini akan menimbulkan sangkaan bahwa dia
menyombongkan diri dan memamerkan ilmu ciptaannya.
Kwan Cu
maklum sedalam-dalamnya akan isi dari pada kepandaiannya. Dia lihai bukan
karena mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi, akan tetapi lihai karena
dia sudah menghirup pengertian tentang pokok dasar segala gerakan silat dari
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga menghadapi musuh dengan ilmu silat
betapa tingginya pun dia takkan merasa kaget dan mampu mengenal ilmu silat itu
sampai ke dasarnya, bahkan dengan sekali melihat saja, dia dapat meniru segala
macam ilmu silat itu. Jadi kalau dia disuruh menyerang, sebenarnya ilmu
silatnya tidak aneh, lebih-lebih bagi seorang ahli silat kelas tinggi seperti
Hang-houw-siauw Yok-ong.
"Harap
maafkan teecu kalau berlaku kurang ajar!" katanya.
Dia lalu
menyerang dengan sulingnya, dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Hun-khai
Kiam-hoat. Dengan kebutan lengan bajunya, Yok-ong menangkis sampai tiga jurus,
lalu berkata,
"Jangan
pergunakan Hun-khai Kiam-hoat, kau takkan bisa menang menghadapi mereka.
Gunakanlah ilmu silat lain yang sudah kau pelajari!" celanya.
Kwan Cu
mendongkol juga. Ilmu silat tinggalan Ang-bin Sin-kai dicela orang, ini sangat
menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia tak berani menyerang seorang locianpwe
yang dia hormati dan sayang, maka dia lalu berkata,
"Teecu
baru-baru ini mempelajari ilmu silat ini, harap Locianpwe tidak
mencelanya!"
Tiba-tiba
gerakan sulingnya diubah. Kini dia memainkan jurus-jurus dari Ilmu Silat Ombak
dan Badai yang pernah dilihatnya ketika dia melawan Hok Peng.
"Ayaaa...!"
Yok-ong terkejut bukan main dan untuk beberapa lama dia hanya mengelak saja,
membiarkan Kwan Cu mainkan terus ilmu silat yang sesungguhnya adalah ilmu silat
ciptaannya sendiri itu!
Diam-diam
hati Kwan Cu menjadi geli dan dia mengerahkan ingatannya untuk mainkan terus
ilmu silat itu sampai tiga puluh jurus! Tiap jurus dia mainkan sebaik-baiknya
seperti seorang murid baru yang memperlihatkan latihan-latihannya kepada
gurunya.
"Tahan...!"
Yok-ong berteriak sambil berdiri dengan muka berkerut dan mata terbelalak.
"Kwan Cu, bocah nakal. Jangan kau mempermainkan aku. Hayo katakan, dari
mana kau bisa mainkan ilmu silat ini?"
Kwan Cu
menjura. "Maafkan teecu, Locianpwe. Sesungguhnya beberapa hari yang lalu
teecu kebetulan bertemu dengan Hok Peng Loheng dan mendapatkan ilmu silat ini
dari dia."
“Bagaimana?
Aku masih belum mengerti. Apakah Hok Peng mengajarkan ilmu silat ini
padamu?"
"Tidak
sama sekali, Locianpwe. Hok-loheng memaksa teecu untuk main-main dan dia
mempergunakan ilmu silat ini mendesak teecu sehingga saking tertarik, teecu
diam-diam mempelajari segala macam ilmu silat yang dia keluarkan."
"Hemm,
kau tentu sudah mengalahkannya."
"Sesungguhnya
di antara teecu dan dia tidak ada yang kalah atau menang, kemenangan teecu
adalah berupa pelajaran ilmu silatnya itu Locianpwe." .
Yok-ong
menggeleng-geleng kepala seperti orang tidak percaya. "Kau bertempur
dengan dia, diserang dengan ilmu silat ini dan dalam pertempuran itu kau telah
bisa mempelajari ilmu silatnya?"
"Teecu
sekedar meniru-niru saja, Locianpwe. Teecu hanya mempergunakan mata dan
ingatan."
"Sampai
berapa jurus dia menyerangmu?"
"Sampai
seratus jurus, Locianpwe."
"Dan
kau hafal semua?"
Yok-ong
terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,
"Maaf,
Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya gerakan teecu tak
karuan. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu
jangan memainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apa lagi yang harus teecu mainkan? Baiknya
teecu lalu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng
Loheng...… "
"Cukup!
Kalau tidak melihat sendiri, aku tak akan percaya! Kau bertempur, melihat dan
hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas
yang maha berat, meski pun aku percaya bahwa kau mempunyai kecerdikan yang
tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak
memberi sedikit petunjuk, sungguh pun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah,
kau lihat baik-baik bagai mana aku mainkan sulingku."
Ia bergerak
maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda
ini menghendaki tentu saja dia bisa menggagalkan perampasan suling ini, akan
tetapi dia tak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga
suling yang dipegangnya dapat dirampas.
Yok-ong lalu
memainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu
perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, mirip seperti orang
menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri
dan sebaliknya. Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek
ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia
karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!
Ia melihat
kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang tadi
dimainkannya amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya.
"Itulah
ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat
mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun
takkan dia keluarkan karena aku telah memesan agar ilmu silat itu jangan
sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur,
melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain
dan kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat
dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan
semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kau
mainkan tiga puluh enam jurus tadi?"
"Akan
teecu coba-coba, mohon Locianpwe memberi petunjuk."
Kwan Cu
telah memiliki pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu
silat. Tiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan
gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari dari
pada sejurus gerakan silat hanya sederhana saja. Yang berbelit-belit sehingga
membingungkan orang adalah kembangannya.
Ia mulai
bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga
puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan
kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.
Yok-ong
berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lamanya. Sepasang
matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai
jurus terakhir.
"Apakah
aku bermimpi?" Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan
Cu, "Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini
ada dewa! Orang biasa saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun
untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng, akan tetapi kau sekali
melihat saja sudah memilikinya! Hebat, hebat...!"
Kwan Cu
merasa dadanya sesak dan panas, juga suling yang dipakai bermain tadi amat
panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya sudah
mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk isi
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sesungguhnya permainan silat yang membuat
darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan
tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di hadapan Yok-ong, dia pun segera
meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di
depan Yok-ong.
"Terima
kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman."
"Kau
pakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita tengah menghadapi urusan besar sekali
dan bukan hal yang bisa dibuat main-main. Kau ulas mukamu agar berubah
warnanya."
Kwan Cu
menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong
mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, lalu dia membantu
Kwan Cu memupuri muka pemuda itu dengan ‘bedak’ istimewa ini.
Kwan Cu
merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu telah menjadi
kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan
tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasakan apa pun yang tidak enak.
Kalau saja
dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan langsung melonjak saking
kagetnya sebab mukanya sekarang telah menjadi lain sekali. Pada sekitar mata
dan bibir membengkak, ada pun kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang
direbus!
"Kelak
kalau semua urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu
digosok-gosokkan pada mukamu, maka kedok itu akan lenyap mencair," kata
Yok-ong.
"Locianpwe,
mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat
berbahaya?"
"Kau
tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara
para tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu
fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti
penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin
mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud yang
buruk dan keji sekali. Dia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan
rakyat, dan dengan diam-diam dia sudah mengurung gunung ini kalau semua tokoh
sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung
bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk."
"Keparat
curang!" kata Kwan Cu marah.
"Akan
tetapi baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku juga sudah mencari
jalan keluar yang sangat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar hendak
melaksanakan keinginannya yang keji. Sekarang mari kita naik ke puncak!"
Maka
berangkatlah dua orang ini ke puncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,
"Aku
sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tidak ada gunanya kalau dia mencampuri
urusan besar ini. Andai kata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan
melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan
sia-sia semua usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, apa bila ada orang
menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku
bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama)."
Kwan Cu
mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti
ini, sungguh pun untuk maju seorang diri pun dia tak merasa gentar. Hanya
dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya
dan lebih matang pertimbangannya.
***************
Puncak
Tai-hang-san merupakan dataran dari batu karang yang cukup luas. Di sana sini
terdapat batu karang pendek dan lebar sehingga merupakan tempat duduk yang amat
enak dan baik. Pohon-pohon menghias puncak, akan tetapi di bagian dataran itu,
semua pohon telah dirobohkan dan dibuang oleh Kiam Ki Sianjin hingga dataran
itu merupakan tempat yang luas, yang sekiranya cukup untuk menampung ratusan orang
yang hendak mengadakan rapat raksasa.
Dari jauh
sudah kelihatan bahwa orang-orang yang mendatangi puncak itu terbagi atas dua
kelompok. Di bagian kiri terdapat kelompok mereka yang membantu kaisar. Di situ
sudah berkumpul banyak sekali orang, sedikitnya ada seratus orang.
Di antara
para pemimpin yang duduk di bagian depan, di atas batu-batu karang, terlihat
Kiam Ki Sianjin, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio dari Tibet, Toat-beng Hui-houw
kakek yang berkuku panjang dan berwajah seperti siluman itu. Kelihatan pula
Coa-tok Lo-ong, sute dari Hek-i Hui-mo, yakni hwesio yang tinggi kurus berjubah
hitam, seorang tokoh besar yang tak kalah lihainya oleh Hek-i Hui-mo, karena
hwesio ini merupakan ahli racun nomor satu di dunia!
Masih banyak
pula tokoh-tokoh besar, di antaranya Mo Beng Hosiang serta Mo Keng Hosiang yang
keduanya lebih terkenal sebagai Bu-eng Siang-hiap, lalu Kam Cun Hong panglima
dari Si Su Beng, Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, Bin Kong Siansu ketua
Kim-san-pai. Di samping tokoh-tokoh besar ini, terdapat banyak sekali anak-anak
murid mereka yang bersikap gagah.
Pada bagian
kanan terdapat sekelompok orang yang jauh lebih kecil jumlahnya apa bila
dibandingkan dengan kelompok di sebelah kiri. Pada bagian kanan inilah kelompok
dari mereka yang menentang kaisar atau mereka yang membantu perjuangan rakyat
dalam melawan penjajah. Mereka ini hanya terdiri dari sepuluh orang saja!
Kwan Cu
memandang penuh perhatian dan dia mengenal semua orang di golongan ini.
Tiba-tiba dadanya berdebar dan panas penuh cemburu dan iri hati ketika dia
melihat Bun Sui Ceng berdiri di sebelah The Kun Beng di dekat Kiu-bwe Coa-li.
Tak jauh dari situ terlihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Gouw Swi Kiat. Di
sebelah ujung berdiri pula Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang sudah amat
tua usianya, disertai empat orang tosu, yakni murid-muridnya atau tokoh-tokoh
dari Kun-lun-pai.
Kwan Cu
mencari-cari dengan matanya. Ia heran tidak melihat adanya Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu. Dengan sikap tenang pemuda ini mengikuti Yok-ong naik ke puncak
dan berdiri di sebelah timur, tidak jauh dari kedua kelompok itu. Yok-ong
sengaja tidak mau mendekati sefihak karena dia mempunyai siasat lain.
Semua orang
yang melihat naiknya seorang kakek bermuka hitam seperti pantat kuali serta
seorang pemuda dengan muka merah tidak karuan seperti udang direbus, menjadi
terheran-heran. Tak seorang pun di antara mereka mengenal dua orang ini, bahkan
Sui Ceng yang berwatak jenaka itu tersenyum geli melihat dua orang ini. Ia
berbisik kepada Kun Beng dan menudingkan telunjuknya ke arah Kwan Cu dan
Yok-ong. Dengan hati panas Kwan Cu melihat Kun Beng tersenyum geli pula.
Akan tetapi
diam-diam dia merasa sangat kagum juga melihat fihak yang anti penjajahan ini,
karena sesungguhnya fihak mereka hanya ada sepuluh orang sedangkan fihak lawan
ada seratus orang. Semuanya kelihatan tenang-tenang dan gembira saja, sedikit
pun tak terlihat gentar. Yang lucu sekali adalah Siangkoan Hai karena kakek ini
mengeluarkan kotak berisi biji catur, kemudian menggurat-gurat tanah dan
mengajak Seng Thian Siansu bermain catur!
Sebagai
seorang ketua Kun-lun-pai, Seng Thian Siansu sudah kenal baik dengan Bian Kim
Hosiang ketua Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Karena itu dia
mengangguk ke arah dua orang tua itu dan berkata dengan suara nyaring.
"Bian
Kim dan Bin Kong Ji-wi Beng-cu, sambil menunggu upacara dibuka marilah temani
pinto main catur dengan Pak-lo-sian. Bukankah lebih menggembirakan dari pada
harus menunggu-nunggu?"
Bian Kim
Hosiang dan Bin Kong Siansu buru-buru membalas penghormatan itu dengan menjura
kepada ketua Kun-lun-pai yang usianya lebih tua dari pada mereka dan yang biasa
mereka hormati itu.
"Seng
Thian Lo-siansu, pinceng menghaturkan terima kasih atas ajakan Siansu ini. Akan
tetapi pinceng takut berdekatan dengan pembunuh-pembunuh keji yang tak tahu
aturan, yang hanya memiliki nama besar sebagai tokoh utara, akan tetapi
ternyata seorang yang biadab dan curang!"
Makian ini
terang-terangan ditujukan kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena tokoh besar
utara adalah Pak-lo-sian. Akan tetapi yang dimaki hanya tertawa bergelak saja
dan berkata kepada Seng Thian Siansu,
"Siansu,
kenapa mengajak fihak yang terang-terangan menjadi penjilat kaisar? Sudahlah,
mari kita bermain catur, jangan memancing datang anjing kelaparan hingga
kegembiraan kita akan lenyap."
Keadaan
menjadi tegang. Akan tetapi kedua fihak tak melanjutkan saling maki ini sebab
pada saat itu, dari bawah gunung melayang dua bayangan orang yang gerakannya
cepat sekali. Mereka ini ternyata adalah Kwa Ok Sin, ketua Bun-bu-pai ada pun
orang ke dua adalah nenek yang aneh dan menyeramkan, yakni Liok-te Mo-li, ibu
dari Kong Hoat yang pernah bertemu dengan Kwan Cu.
"Ha,
saudara Kwa yang baik, marilah kita bermain catur!" kata Pak-lo-sian
girang melihat ketua Bun-bu-pai ini, seorang yang walau pun kepandaiannya tidak
seberapa tinggi, akan tetapi disegani oleh semua orang kang-ouw karena dia
menjadi ketua dari perserikatan orang-orang gagah dan sastrawan, yang terkenal
adil dan bijaksana.
"Kwa-enghiong,
terima kasih bahwa kau sudi memenuhi undanganku," berkata Kiam Ki Sianjin
sebelum Kwa Ok Sin menjawab ajakan Pak-lo-sian. "Silakan duduk di
sini."
Kwan Ok Sin
bingung. la lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Tak
kusangka bahwa Cu-wi sekalian telah membentuk dua kelompok hingga membuat
siauwte menjadi serba salah. Biarlah siauwte berdiri di tempat yang tidak
berfihak."
Tiba-tiba
dia melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah yang duduk nongkrong di atas
batu, di tengah-tengah antara dua kelompok itu, agaknya seperti dua orang dusun
yang aneh sekali dan yang sikapnya seperti penonton.
"Ji-wi
siapakah dan mengapa di sini?" tanya Kwa Ok Sin dengan heran.
Di antara
seluruh tokoh kang-ouw, agaknya Kwa Ok Sin boleh dibilang orang yang paling
dikenal dan mengenal orang. Hampir seluruh tokoh kang-ouw sudah dikenal oleh
Kwa Ok Sin, baik tokoh persilatan mau pun tokoh kesusastraan, maka melihat
kakek muka hitam dan pemuda muka merah itu, heranlah hati Kwa Ok Sin. Selamanya
belum pernah dia bertemu muka dengan dua orang ini. Jangankan bertemu muka,
mendengar pun belum pernah adanya orang-orang yang begini aneh mukanya.
Yok-ong
tersenyum dan menjawab dengan suara kaku sekali, suara kasar dari orang dusun
yang bodoh.
"Aku
dan cucuku ini she Koai (Aneh), petani-petani di Gunung Tai-hang-san. Sekarang
di atas gunung orang mengadakan keramaian, tentu saja kami datang untuk
menonton." Setelah berkata demikian Yok-ong tertawa ha-ha-he-he-he dengan
lagak amat lucu.
Kwa Ok Sin
adalah seorang yang berpemandangan luas dan bermata tajam. Dia dapat menduga
bahwa si muka hitam ini tentulah seorang kakek yang luar biasa, maka dia tidak
berani berlaku lancang, lalu menoleh kepada Kwan Cu.
Akan tetapi
pemuda ini juga sudah siap sedia. Begitu orang menoleh kepadanya, dia lalu
meringis dan menyeringai, kemudian tertawa ha-ha-he-he-he pula seperti sikap
Yok-ong.
"Cu-wi
sekalian!" kata Kwa Ok Sin kepada orang-orang kedua fihak. "Kebetulan
sekali di sini terdapat tempat untuk penonton, maka ijinkan siauwte berdiam di
sini saja sebagai penonton."
Ia lalu
duduk di atas batu hitam, dan mengajak Liok-te Mo-li duduk pula. Nenek ini
melirik ke arah Yok-ong dan Kwan Cu, akan tetapi tidak berkata sesuatu, hanya
menghampiri sebuah batu besar yang berada di ujung lapangan, agak jauh dari
tempat itu.
Dengan tumit
kakinya, dia mencongkel batu itu yang tiba-tiba saja melayang ke atas dan cepat
nenek ini mengulur tangannya, menepuk batu itu sehingga mencelat ke atas lagi.
Demikian sambil berjalan kembali, Liok-te Mo-li mempermainkan batu besar itu
sampai ia tiba di dekat Kwa Ok Sin, lalu menurunkan batu itu untuk dipakai
tempat duduk.
Semua orang,
baik di fihak Kiam Ki Sianjin mau pun di fihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai,
melihat betapa nenek buruk rupa ini mempermainkan batu besar yang beratnya
paling sedikit ada tiga ratus kati itu dengan demikian mudahnya, diam-diam
memuji.
Nenek ini
selamanya menyembunyikan diri sehingga jarang ada yang mengenal dirinya,
kecuali beberapa orang tokoh besar yang berada di situ. Karenanya semua orang
lalu menduga-duga, siapakah gerangan nenek yang datang bersama ketua Bun-bu-pai
itu.
Setelah melihat
bahwa para undangan telah mulai berkumpul dan terutama sekali semua orang
terpenting sudah hadir, Kiam Ki Sianjin segera berdiri sambil mengangkat kedua
tangan memberi hormat kepada seluruh yang hadir.
"Cu-wi
sekalian, selamat datang di puncak dan banyak terima kasih atas perhatian Cu-wi
sekalian yang sudi memenuhi undangan pinto."
Semua orang
yang berada di sana segera mencurahkan perhatiannya kepada Kiam Ki Sianjin,
kecuali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu yang masih saja asyik
bermain catur.
Kiam Ki
Sianjin lalu melanjutkan kata-katanya,
"Tanpa
diatur terlebih dahulu, Cu-wi sekalian yang datang di sini ternyata telah
memilih fihak masing-masing, dan sudah tentu saja yang berada di fihak kami
adalah mereka yang membenci perang dan yang menghendaki keamanan dan
perdamaian. Oleh karena itu, hendaknya dari fihak pembantu pemberontak yang
pada saat ini menjadi tamu, suka mengajukan seorang ketua agar supaya dapat
berunding dengan kami." Kiam Ki Sianjin menujukan kata-katanya ini kepada
fihak Kiu-bwe Coa-li dan kawan-kawannya.
Kiu-bwe
Coa-li hanya mengangkat cambuknya dan menggerakkannya di atas kepala.
"Tar!
Tar! Tar!!"
Kiu-bwe
Coa-li tak menjawab sesuatu, bahkan membuang muka tidak mau memandang kepada
Kiam Ki Sianjin. Hanya terdengar bunyi ledakan cambuknya sebagai imbalan dari
kata-kata yang dikeluarkan oleh Kiam Ki Sianjin tadi.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu tertawa-tawa lalu berdiri.
"Pak-lo-sian,
kau yang menang, lakukanlah tugasmu sebaiknya," kata Seng Thian Siansu
yang sudah amat tua itu sambil tersenyum.
Pak-lo-sian
menghadapi Kiam Ki Sianjin. Jarak antara mereka cukup jauh, ada dua puluh
tombak. Sambil tertawa Pak-lo-sian berkata,
"Kiam
Ki Sianjin, fihak kami tidak pandai bicara seperti kau! Kiu-bwe Coa-li hanya
bicara melalui cambuknya, dan terpaksa aku dan Seng Thian Siansu tadi
bertanding catur untuk menentukan siapa yang harus mewakili fihak kami. Memang
benar kami telah membantu perjuangan rakyat dan bangsa kami, sekarang kami
sudah datang di sini, ada omongan apa lekas keluarkan, kami mendengar!"
Sesudah
berbicara demikian, Pak-lo-sian tertawa-tawa dan duduk lagi. Sikapnya seperti
seorang anak kecil yang lucu.
"Tidak
setuju!" tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai berteriak.
"Pinto tidak setuju kalau Pak-lo-sian atau Kiu-bwe Coa-li menjadi wakil
fihak pembantu pejuang. Dua orang itu adalah manusia-manusia curang dan
pengecut, tidak pantas menjadi wakil, tak boleh dipercaya omongannya!"
"Betul,
aku pun sependapat dengan Bin Kong Toheng!" berkata Bian Kim Hosiang ketua
Bu-tong-pai.
Merah wajah
Kiu-bwe Coa-li, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
"Kau
monyet-monyet tua dari Bu-tong-pai, datang-datang mengeluarkan hawa busuk dari
mulut. Majulah kalau kalian berani!" bentak nenek ini dengan marah sekali.
"Siapa
takut padamu, siluman wanita yang keji?" Bin Kong Siansu berteriak.
Akan tetapi
Kiam Ki Sianjin cepat memegang lengannya dan berkata, "Harap saja Siansu
tidak merusak suasana dan dapat menyabarkan hati. Urusan pribadi dapat diurus
kemudian, sekarang urusan negara yang harus didahulukan."
Di lain
fihak, Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga menyabarkan hati Kiu-bwe Coa-li dengan
kata-kata, "Setan perempuan, apa sih sukarnya menghancurkan kepala dua
orang kura-kura tua itu nanti kalau urusan besar ini sudah beres? Sabarlah,
nanti kita bagi seorang satu!"
Suasana yang
sudah menegang menjadi tenang kembali. Kiam Ki Sianjin lalu berkata kepada
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Pak-lo-sian,
bagus jika kau menjadi wakil fihakmu. Nah, dengarlah baik-baik. Fihak kami
tidak menghendaki pertempuran yang terus-menerus di antara kita sendiri. Kaisar
yang bijaksana sudah memberi kekuasaan kepadaku untuk memaafkan mereka yang
pernah memberontak, asal saja mulai sekarang pemberontakan itu dihentikan. Bagi
kami yang menyadari keadaan dan yang mentaati kehendak Thian, sangat tidak enak
kalau harus membunuhi bangsa sendiri, walau pun mereka itu
pemberontak-pemberontak keji. Oleh karena itulah, sengaja kami mengundang
kalian datang untuk berdamai dan menghabisi pemberontakan-pemberontakan yang
hanya melemahkan keadaan negara dan bangsa saja."
Ucapan ini
disambut oleh tertawa mengejek dari Kiu-bwe Coa-li dan kembali pecutnya
mengeluarkan bunyi bergeletar nyaring sekali. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa
sambil mendongak ke atas.
"Kiam
Ki Sianjin, kau memutar balikkan kenyataan, kau bukan mentaati kehendak Thian,
bahkan ingin mengingkari dan hendak memutar jalannya sejarah! Rakyat yang
berjuang melawan penindasan kekuasaan penjajah asing kau sebut sebagai
pemberontak! Ada pun pemberontak asing yang hendak menjajah, bahkan yang kini
telah menjadi penjajah kau sebut-sebut sebagai kaisar yang bijaksana! Kiam Ki
Sianjin, di manakah mukamu sebagai orang Han? Hai, saudara-saudara sekalian
yang sekarang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, apakah kalian bukan orang-orang
Han? Patutkah orang-orang gagah melihat bangsa sendiri ditindas, tidak membantu
perjuangan rakyat yang mulia, sebaliknya membantu kaisar asing penjajah hina
dan suka menjadi anjing penjilatnya?"
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai berkata dengan penuh nafsu. "Cukup! Pak-lo-sian, kami
mengundang kalian bukan untuk mengumbar nafsumu, bukan pula untuk saling
memaki. Kami mengajak berunding, berdamai dan menghabisi semua
pertempuran."
"Mudah
saja untuk menghabiskan pertempuran, asalkan tuntutan rakyat dipenuhi,"
kata Pak-lo-sian.
"Apakah
tuntutan rakyat itu? Coba terangkan!"
"Tuntutan
rakyat ialah menyeret turun kaisar asing, mengusir semua penjajah dari tanah
air dan mengangkat seorang kaisar bangsa sendiri. Kalau kalian semua yang
berada di sini insyaf dan membantu perjuangan rakyat, hal ini kiranya akan
mudah dilakukan dan habislah semua pertempuran!"
"Pak-lo-sian,
kau terlalu sekali! Apa kau kira akan dapat memperlihatkan kekuasaanmu di sini?
Kau benar-benar hanya mengeluarkan ucapan tanpa kau pikir baik-baik. Kau berani
mencoba untuk menyeret kami membantu pemberontak?" Kiam Ki Sianjin marah.
"Basmi saja
pentolan-pentolan pemberontak itu!" teriak seorang anak murid di fihak
yang pro kaisar. Akan tetapi para tokoh besar yang menghargai kedudukan
sendiri, tidak mau sembarangan mengeluarkan kata-kata.
Teriakan
murid yang berangasan itu disambut oleh kawan-kawannya dan sebentar saja fihak
itu menjadi ramai, senjata-senjata dihunus, siap menyerbu kalau ada perintah.
Akan tetapi Kiam Ki Sianjin mengangkat tangan mencegah mereka sehingga keadaan
menjadi tenang kembali.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai serta kawan-kawannya hanya tersenyum-senyum mengejek, akan tetapi
Sui Ceng, Swi Kiat, Kun Beng, dan empat orang tosu dari Kun-lun-pai telah
kelihatan merah mukanya akibat menahan rasa marah.
"Pak-lo-sian,
kau lihat sendiri betapa pernyataanmu yang tanpa dipikir itu membangkitkan rasa
marah pada kawan-kawan kami. Pertentangan faham ini kiranya hanya akan beres
menurut ketentuan senjata!" kata Kiam Ki Sianjin, yang kemudian
disambungnya sambil tersenyum. "Kecuali kalau kalian suka mengubah
pendirian."
"Pendirian
kami sudah mantap, kami membenarkan perjuangan rakyat. Ada pun tentang
penggunaan senjata di sini, kau yang mengundang kami dan kami datang bukan
untuk berkelahi."
"Kau
takut?" Kiam Ki Sianjin mengejek.
"Siapa
takut kepadamu, tua bangka? Biar ada sepuluh Kiam Ki Sianjin, aku tidak
takut!" tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li membentak marah.
"Tidak
ada masalah takut atau tidak takut," kata Pak-lo-sian dengan suara seperti
orang bernyanyi, "yang ada hanya dua kenyataan pahit. Pertama, kami
diundang ke sini untuk berunding, bukan untuk berkelahi. Ke dua, apa bila tuan
rumah sudah begitu tidak tahu malu untuk mengajak berkelahi, itu pun hanya
memperlihatkan betapa rendah akhlaknya. Kami hanya berkawan sepuluh orang,
sedangkan fihakmu ada seratus orang!"
Merah muka
Kiam Ki Sianjin. "Tidak usah banyak mulut, Pak-lo-sian, memang kita sudah
menjadi musuh lama. Pendeknya, kau berani atau tidak untuk memutuskan
pertentangan faham ini di ujung senjata?"
"Aku
datang bukan untuk berkelahi, kalau sudah tidak ada omongan lain, aku akan
pergi dengan kawan-kawanku!"
Pak-lo-sian
biar pun tua dan aneh wataknya, namun dia amat cerdik. la melihat bahwa fihak
lawan amat besar jumlahnya, penuh dengan orang-orang pandai pula, maka kalau
sampai terjadi pertempuran, fihaknya akan menghadapi bahaya. Dia sendiri dan
Kiu-bwe Coa-li agaknya akan dapat meloloskan diri, akan tetapi yang lain-lain
bagaimana?
"Ha-ha-ha,
Pak-lo-sian, kau hendak melarikan diri?" Kiam Ki Sianjin berteriak
mengejek. "Pak-lo-sian, kalau kau lari, terpaksa kami akan mengejarmu dan
mencegah kau turun gunung sebelum persoalan ini dibereskan!"
Sekarang
marahlah Pak-lo-sian. "Kiam Ki Sianjin, majulah kau, biar hanya kita
berdua yang memutuskan hal ini di ujung senjata!"
Keadaan
menjadi amat tegang dan mendadak terdengar suara Kwa Ok Sin yang cepat berdiri
dan berseru,
"Cu-wi
sekalian, harap tenang dulu. Sangat memalukan apa bila kita sebagai orang yang
menjunjung kegagahan, bercekcok mulut seperti anak kecil yang hendak berkelahi!
Apa sudah tidak ada jalan lain ke arah perdamaian antara kedua fihak? Bagaimana
pun jalan pikiran dan faham masing-masing, harus diingat bahwa kita adalah
segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan."
Semua orang
berdiam diri. Tiba-tiba dari bawah puncak terdengar seruan keras,
"Cocok...!
Memang pertempuran tak perlu dilanjutkan!"
Dari bawah
puncak ‘menggelundung’ naik tubuh seorang hwesio yang gendut dan bulat, dan
ternyata dia ini bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!
Tangan Kwan
Cu kembali menggigil melihat hwesio bundar ini. Sekarang musuh besar gurunya
telah lengkap berada di tempat itu. Akan tetapi dia harus menekan dulu semua
perasaannya karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan besar, persoalan
yang dulu pun diributkan oleh kongkong-nya, oleh gurunya sehingga mereka
berkorban jiwa.
Dengan
berbisik, tadi Kwan Cu bertanya kepada Yok-ong mengenai semua orang-orang yang
berada di situ. Sesudah dia tahu siapa adanya hwesio tinggi kurus berjubah
hitam yang pernah dilihatnya di malam hari, yakni Coa-tok Lo-ong sute dari
Hek-i Hui-mo, dan melihat pula bahwa ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai berada
di fihak Kiam Ki Sianjin, terbukalah mata Kwan Cu.
Sekarang
tahulah dia akan rahasia peristiwa pembunuhan di kelenteng atas diri Bian Ti
Hosiang dan Bin Hong Siansu dari Kim-san-pai. Kini dia sudah dapat menduga
bahwa pembunuh kedua pendeta ini pasti Coa-tok Lo-ong yang membunuh secara
diam-diam, kemudian meninggalkan kesalahan itu pada pundak Kiu-bwe Coa-li
beserta Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dengan cara ini fihak Kiam Ki Sianjin tentu
saja bisa menarik Bu-tong-pai dan Kim-san-pai untuk membantu mereka menghadapi
Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!
"Locianpwe,
mengapa yang datang hanya mereka sepuluh orang itu? Di mana adanya tokoh-tokoh
dan pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang lainnya?" Kwan Cu bisik-bisik
bertanya kepada Yok-ong.
Raja tabib
itu tersenyum, "Kiam Ki Siajin memang sangat cerdik. Selain merencanakan
untuk membasmi musuh-musuh besar di sini juga dia hendak memancing keluar semua
pemimpin sehingga dengan mudah dia akan mengetahui siapa-siapa adanya pemimpin
pejuang rakyat. Akan tetapi aku mendahuluinya dan aku memperingatkan mereka
yang menjadi pemimpin pejuang sehingga tak seorang pun di antara mereka mau datang
ke sini memperlihatkan diri."
Diam-diam
Kwan Cu memuji kecerdikan Hang-houw-siauw Yok-ong. Tetapi raja tabib itu
mencegah dia membuka mulut lagi, karena melihat munculnya Jeng-kin-jiu, keadaan
di sana tentu menjadi lebih ramai.
Begitu tiba
di puncak, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas
dan berkata keras,
"Cu-wi
sekalian dari kedua fihak. Stop semua pertempuran yang tidak ada artinya! Untuk
apa mengotorkan tangan, bertempur melawan golongan sendiri hanya karena pengaruh
urusan pemerintahan yang kotor. Orang-orang macam kita ini apa perlunya
mencampuri urusan kota raja? Lebih baik pulang kembali ke gunungnya
masing-masing, bertapa dan memperdalam ilmu. Pinceng sendiri karena terseret
oleh pengaruh busuk di kota raja, sampai bentrok dan salah tangan menewaskan
seorang bekas sahabat baik. Ahhh, kalau diingat-ingat, sampai sekarang pinceng
merasa menyesal setengah mati. Apakah Cu-wi hendak mengulangi kejadian seperti
itu? Kaisar boleh turun dan naik, kerajaan musnah dan timbul, akan tetapi
kesatuan kaum persilatan jangan sekali-kali sampai terseret dan menjadi
berantakan dan pecah belah! Nah, pinceng sudah selesai bicara, harap Cu-wi suka
memikirkan dengan kepala dingin."
"Jeng-kin-jiu,
omongan busuk apa yang kau keluarkan itu?" tiba-tiba saja Hek-i Hui-mo
melompat maju sambil melototkan matanya kepada Jeng-kin-jiu. "Dahulu kita
bersama melindungi kaisar, sekarang kau akan menjadi orang yang mengkhianati
kawan sendiri? Apakah kau tidak lebih baik membantu kami agar dosamu tidak
bertumpuk-tumpuk?"
"Agaknya
dia ketakutan melihat Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li!" mengejek Toat-beng
Hui-houw sambil tertawa yang terdengar seperti ringkik kuda.
"Jeng-kin-jiu,
sia-sia saja kau mencoba menginsyafkan mereka. Lebih baik jangan turut
mencampuri urusan ini!" seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah naik
darah melihat sikap fihak lawan.
Jeng-kin-jiu
menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu duduk di atas
batu karang, kelihatannya berduka sekali. Kwa Ok Sin lalu berkata dengan keras,
"Kalau
dua fihak tetap menghendaki kekerasan, siauwte sebagai ketua Bun-bu-pai hanya
mengharap agar kedua fihak memperhatikan peraturan orang-orang gagah. Adu
senjata ini harus dilakukan dengan cara yang adil seperti dalam pibu."
"Tentu
saja," kata Kiam Ki Sianjin. "Yang mati tidak boleh dibuat dendam,
yang terluka tidak boleh menyalahkan lawan. Fihak yang kalah selanjutnya harus
menurut serta taat kepada fihak yang menang!"
"Bagus,
Kiam Ki Sianjin. Biarlah ini hari kita mengadu kepandaian sampai seribu
jurus!" bentak Kiu-bwe Coa-li sambil melompat maju dan mengayun-ayun
cambuknya dengan lagak menantang.
"Nanti
dulu, Kiu-bwe Coa-li. Bukankah tadi sudah diusulkan oleh Kwa-enghiong agar kita
menggunakan peraturan? Nah, akulah yang akan memilih kawan-kawan di fihakku,
siapa yang akan maju menghadapi fihakmu."
Setelah
berkata demikian, Kiam Ki Sianjin mempersilakan kawan-kawannya yang hendak
turun tangan. Serentak majulah dari fihaknya para tokoh besar yang memliki
kepandaian tinggi seperti Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng
Hosiang, Kam Cun Hong, Hek-i Hui-mo, Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, Coa-tok
Lo-ong dan masih ada beberapa orang anak murid Bu-tong-pai, Kim-san-pai dan
juga murid-murid dari para tokoh itu sendiri.
Ada pun
fihak Pak-lo-sian tentu saja hanya ada sepuluh orang itu yang kesemuanya siap
membela nama baik mereka. Bahkan Sui Ceng lalu berkata kepada gurunya.
"Suthai,
biarkan teecu yang maju lebih dahulu. Kalau teecu tidak dapat menang, barulah
Suthai yang maju."
Kiu-bwe
Coa-li tersenyum pahit. "Sui Ceng, apakah kau tahu bahwa pertandingan kali
ini adalah untuk mempertahankan nyawa? Lawan terlalu banyak. Hanya menang lima
kali saja belum ada artinya, dan kalau sekali kalah harus ditebus dengan
nyawa."
"Teecu
tidak takut!" kata Sui Ceng gagah. Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kun Beng
dan pemuda ini pun berkata gagah,
"Teecu
juga tidak takut dan akan mendampingi Ceng-moi."
Mendengar
ini, Swi Kiat menjadi merah mukanya. Pemuda ini gemas sekali, akan tetapi juga
berduka mengingat akan adiknya, Kui Lan. Namun pada saat yang genting seperti
itu, dia tidak mau memikirkan tentang urusan pribadi dan dia pun bersiap-sedia
untuk menghadapi fihak lawan yang amat banyak jumlahnya itu.
Yok-ong
memberi isyarat kepada Kwan Cu, lalu berkata,
"Ah,
kalau akan diadakan perang, lebih baik aku pergi. Hayo cucuku, kita pergi dari
sini," katanya ketakutan.
Kwan Cu
tidak mengerti akan maksud Yok-ong, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu dan
mengikuti kakek itu turun dari puncak. Orang-orang merasa geli melihat mereka,
akan tetapi tidak ada yang ambil peduli.
Setelah tiba
di belakang batu karang besar, Yok-ong lalu berkata, "Kwan Cu, mari kita
periksa jalan keluar untuk mereka, supaya nanti dapat dipergunakan dengan
baik."
Raja tabib
ini berlari cepat sekali, diikuti oleh Kwan Cu. Setiba mereka di lereng,
Yok-ong menunjuk ke bawah, "Kau lihat, serdadu kaisar telah mengurung
bukit ini."
Benar saja,
di kaki bukit itu, barisan besar sedang bergerak-gerak seperti semut. Kwan Cu
terkejut dan gemas sekali.
"Tak
usah khawatir, aku sudah mendapatkan jalan keluar. Lihatlah goa itu, kelihatan
kecil hanya dapat dimasuki orang dengan jalan merangkak. Akan tetapi di
dalamnya lebar sekali dan goa itu merupakan terowongan yang menembus bukit dan
keluar di sebelah selatan pegunungan ini. Kalau kita semua mengambil jalan ini,
takkan ada orang yang dapat mengejar atau mencegat kita. Kau ingatlah
baik-baik, seorang di antara kita harus dapat menolong mereka keluar dari sini.
Mengerti?"
Kwan Cu
mengangguk. Memang, melihat keadaan lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata
terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan
putus asa. Biar pun di fihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian
Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula
orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan
lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti
akan kalah.
Setelah
memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini
menonton ke tempat itu dari balik batu karang.
"Locianpwe,
kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat," kata Kwan Cu.
"Begitu
pun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula," jawab Raja Tabib itu.
Keduanya
lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.
"Ehh,
kalian berani datang lagi?" Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.
"Cucuku
ini yang terus memaksa, katanya hendak melihat orang bermain senjata untuk
menambah kegembiraan," jawab Yok-ong ketolol-tololan.
"Hemm,
jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu,"
kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
Yok-ong dan
Kwan Cu memperlihatkan muka ketakutan, akan tetapi tetap saja duduk di tempat
yang tadi.
Kalau di
fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap, adalah orang-orang dari
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim
Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai bukanlah
penjilat-penjilat kaisar. Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli
tentang urusan kerajaan.
Mereka
berdua datang hanya karena marah terhadap Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe
Coa-li, karena dua orang tokoh itu sudah membunuh dua orang sute mereka.
Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan
Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan.
Maka,
melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua
orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.
Ada pun
tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada para murid
mereka untuk maju lebih dahulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan
tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh
maju.
Kiam Ki
Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini
menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang
melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,
"Pinceng
dua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong
mengeluarkan jago-jagonya!" Sambil berkata demikian, dua saudara ini
menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Melihat
bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, maka dua orang murid
Kun-lun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru
besar mereka, yakni Seng Thian Siansu yang sesungguhnya datang untuk menuntut
balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka ia mengangguk menyetujui. Begitu
pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.
Majulah dua
orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Sesudah saling
memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan
hebatnya.
Ilmu silat
dari Kun-lun-pai memang sudah sangat terkenal, maka kepandaian dari dua orang
muridnya ini juga amat lihai. Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan
cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat.
Ada pun Mo
Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini
dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian
(Pian Pemecah Gunung). Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua,
mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh.
Mo Keng Hosiang
bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan.
Pian-nya amat kuat, dan tiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar
sehingga serangan kedua lawannya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng
Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!
"Celaka,
dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh...," kata Kwan Cu perlahan
kepada Yok-ong.
Diam-diam
raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda itu
diam-diam meraih dua butir batu kecil.
"Jangan,
Kwan Cu. Di dalam pertandingan yang adil, tidak selayaknya kita turun tangan
membantu, biar pun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak
benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tidak boleh dilanggar oleh siapa
pun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur."
Kwan Cu
tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya
penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya
tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik
dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng
Hosiang!
Murid ke dua
dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka
dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Dia berhasil menusuk
pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga
kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang
sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya
terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa
lagi.
Fihak kaki
tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak
girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat.
Sebelum
Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun
Sui Ceng sudah berkelebat. Kini nona ini sudah berdiri dengan pedang di tangan,
menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.
Pak-lo-sian
tak dapat berbuat lain kecuali melompat dan menyambar dua jenazah murid
Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka
tidak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.
"Bu-eng
Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua
boleh maju bersama!" tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan
dadanya.
Melihat
bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, kedua orang
hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.
"Nona,
pinceng berdua tak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang di antara
kami sebagai lawanmu!" kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.
"Gundul
sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar
lebih ramai!"
Mendengar
ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.
"Semua
orang yang berada di sini mendengar bahwa engkaulah yang minta kami maju
bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik," kata Mo Beng Hosiang
dengan mata merah.
"Tutup
mulut dan majulah!" seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.
Mo Keng
Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau pun melukai gadis yang begini
cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya
menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar
dalam segebrakan saja.
Melihat
datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga sangat kuat, Sui Ceng
tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati
Mo Keng Hosiang ketika pian-nya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa
seakan pian-nya yang berat itu membentur sehelai bulu saja kemudian tenaganya
lenyap dengan sendirinya.
Kekagetannya
bertambah saat terdengar suara bergeletar dan pipinya lantas terasa amat pedas
dan perih. Dia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, dan
itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah
mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.
Bukan main
marahnya Mo Keng Hosiang ketika dia mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan
membuta dia lalu mengayun pian-nya dan menyerang bagai badai mengamuk. Juga Mo
Beng Hosiang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju
dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.
"Ji-wi
Beng-yu, hati-hatilah, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!" kata
Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa
dimainkan oleh Kiu-bwe Coa-li.
Bu-eng Siang-hiap
terkejut dan kini mereka tak berani memandang ringan. Dengan amat hati-hati
mereka lalu bergerak seperti saat menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai
tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka
berdua, sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan dengan tangan kilatnya.
Akan tetapi,
ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh
seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di
tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi.
Dia pun
menggunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu. Sabuknya yang lemas
menghadapi pian, berusaha menangkap dan merampas senjata itu, ada pun pedangnya
menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio
itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.
"Dia
hebat... dia hebat sekali...," tak terasa pula mulut Kwan Cu
berbisik-bisik dan kedua matanya memandang kagum.
Melihat
lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum. "Bagus, Kiam Ki Sianjin akan
mengalami hajaran pertama!"
Belum habis
kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali. Dengan
ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan sekarang sabuk itu
meninggalkan pian kemudian menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng
Hosiang.
Ujung sabuk
merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh
Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan
ginkang-nya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke
atas lantai batu karang.
"Ngekkk!"
Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi!
Sementara
itu, pedang di tangan Sui Ceng tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke
arah kepalanya, cepat ia mengerakkan tubuhnya, miring dan dari samping
pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, pian-nya telah
terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui
Ceng!
Gadis ini
tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali lagi
dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu
juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.
Lima
orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui
Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangannya Kam Cun
Hong, panglima dari Si Su Beng.
"Curang...!"
Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat
untuk membantu Sui Ceng.
Akan tetapi
sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan
serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang
lawan roboh mandi darah!
"Mundur!"
teriak Kiam Ki Sianjin.
Tiga orang
perwira itu segera melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin
menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat
kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,
"Siapa
di antara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?”
Terdengar
suara ketawa bagaikan kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah
menyeramkan itu melompat keluar.
"Kiam
Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya. Aku sudah mengenal kuda betina liar
ini!"
Melihat
majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali.
Sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan
yang naik dari dadanya.
"Toat-beng
Hui-houw, siluman jahanam! Andai kata kau tidak muncul, aku pun pasti akan
mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan
tenteram!” Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang
menyerang dirinya.
"Sui
Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!" seru Kiu-bwe
Coa-li.
Akan tetapi
mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini? Dengan pura-pura tidak
mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring, gadis ini
menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya laksana burung walet
menyambar dan tubuhnya diselimuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.
Sesudah
dahulu dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dan berjumpa dengan Kiu-bwe Coa-li,
kakek yang seperti siluman ini merasa gentar, dan dia melatih diri sehingga
memperoleh kemajuan pesat. Apa bila dibandingkan dengan dahulu ketika dia
menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang
sudah maju pesat dan jauh sekali.
Namun dia
tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini
adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak
Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang
pun dia tidak akan berani mengganggu Sui Ceng.
Akan tetapi
sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau
kematian tidak boleh diurus panjang dan andai kata guru gadis ini akan membela,
masih banyak kawan-kawannya yang gagah dan tangguh, oleh karena itu hati
Toat-beng Hui-houw menjadi besar.
Serangan
pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus
mengejar dan menyerangnya, dia kemudian menggereng bagaikan harimau sambil
menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan
kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan
hanya dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini dapat menjadi kaku
lantas dipergunakan sebagai senjata.
Pedang Sui
Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng
merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini
benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh
besar ini begitu memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya
menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.
"Pergilah!"
Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu.
"Brettt!"
sabuk itu putus menjadi dua!
"Ceng-moi,
hati-hatilah...!" Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa
senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.
Akan tetapi
Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Sekarang ia mempergunakan pedangnya
dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya
dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk
dapat mengalahkan musuh besarnya ini. Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar
pedang yang bergulung-gulung.
Diam-diam Toat-beng
Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Jika sekiranya akhir-akhir ini
dia tak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknya akan sulit dan lamalah baginya
untuk mengalahkan gadis ini.
Kemarahan
dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat
tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas
dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan
kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.
Toat-beng
Hui-houw marah sekali. Beberapa kali dia mengeluarkan suara gerengan yang
menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat
sekali, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya.
Memang mudah
saja baginya. Hanya dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang
lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau
tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.
"Sui
Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!" kata Kiu-bwe Coa-li karena dia merasa
ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.
"Biarkan
teecu maju membantunya!" kata Kun Beng.
Akan tetapi
Pak-lo-sian melarangnya.
"Tak
boleh berlaku curang, biar pun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus
mati sebagai orang-orang gagah!"
Terpaksa Kun
Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa
tunangannya didesak terus.
Juga Kwan Cu
yang mengerti bahwa tidak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan
Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.
"Locianpwe,
andai kata nona itu terluka oleh kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang
mengandung bisa berbahaya, masih dapatkah dia tertolong?"
Yok-ong
mengangguk. "Memang racun di setiap kuku jari Toat-beng Hui-houw itu dapat
mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku sudah mempunyai semacam obat
penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal
saja lukanya tidak amat berat."
Kwan Cu
segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan-lahan dia
mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah
akan tetapi tidak keburu.
Orang-orang
di kedua fihak juga melihat hal ini. Akan tetapi oleh karena pemuda muka merah
yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak
dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, maka tak ada seorang pun
yang memperhatikannya. Apa lagi keadaan sangat tegang dan semua mata memandang
ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.
Sui Ceng
benar-benar terdesak hebat. Dia memang nekat dan biar pun dia mendengar
perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng
sudi mundur dan mengaku kalah? Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah
membunuh ibunya.
"Kalau
aku tidak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!"
pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.
Tiba-tiba
Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti
harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang
Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengarlah suara nyaring.
"Krakkk!"
dan pedang itu patah-patah menjadi tiga!
Sui Ceng
masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan
tangan kiri ke dada lawan!
Toat-beng
Hui-houw tertawa lebar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui
Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw
untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng!
Nona ini
maklum akan datangnya serangan maut. Segera dia miringkan tubuhnya, akan tetapi
kalah cepat. Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng
mengerahkah lweekang, lantas meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas,
akan tetapi dia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali
sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku sudah memasuki
luka pada pundaknya.
"Ha-ha-ha,
kau boleh menyusul ibumu!" seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri
tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir.
Kiu-bwe
Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat untuk menolong
tunangannya.
Tiba-tiba
kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,
"Tidak
adil...! Tidak adil...!"
Ia berlari
terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui
Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan
juga marah.
"Mau
apa kau?!" bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu.
Pemuda ini
tahu bahwa dorongan itu pasti akan melukai dirinya. Akan tetapi karena dia
mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng,
maka dia pura-pura tidak tahu.
"Reeettt!”
Robeklah baju pada pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan
Toat-beng Hui-houw.
"Toat-beng
Hui-houw, kau sungguh terlalu! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau
melukainya?!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Sebenarnya
bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang mukanya aneh itu, akan
tetapi oleh karena pemuda itulah yang sudah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia
membelanya.
Toat-beng
Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku
panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,
"Ehh,
kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?"
Walau pun
bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa
di kukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan
atau sekaligus mampus. Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah
terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan?
la tidak
tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia
dapat dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga
bisa itu untuk sementara dapat tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari
pusarnya menuju ke pundak yang tergurat kuku berbisa tadi.
Dengan kedua
tangan tuding sana tuding sini, Kwan Cu mengeluarkan suara mengomel panjang
pendek dan berteriak-teriak, "Mana ada pertandingan macam ini? Masa
seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah? Tidak adil
sekali. Harusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan
pemuda dan bocah juga melawan bocah. Ini baru enak ditonton. Masa kakek yang
kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini
halus?"
Kwan Cu
menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak
seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia cepat berlari-lari ke
arah Yok-ong.
"He,
kau mau bawa dia ke mana?" teriak Kun Beng yang segera mengejar.
"Dia
mati, harus dikubur baik-baik," jawab Kwan Cu tanpa menoleh.
Yok-ong
menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini segera menotok
tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis
itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.
"Berikan
dia padaku!" kata Kun Beng.
"Eh, ehh,
ehh, kau ini pemuda mau apakah? Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku
menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut?
Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!"
Kwan Cu
segera membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian
Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa
lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang
petani bodoh masih memiliki peri kemanusiaan yang begitu besar.
Kwan Cu tadi
ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi kesempatan
kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapa
pun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan
dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia
menurunkan gadis itu di atas tanah.
"Kau
baik sekali, orang muda," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Sayang
dia tak akan dapat tertolong lagi," kata Kiu-bwe Coa-li.
Suaranya
tenang-tenang saja, akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik.
Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di
situ.
Akan tetapi
Kwan Cu tak mempedulikan mereka semua, sekarang dia lalu mendekatkan mukanya
pada leher Sui Ceng.
"Petani
busuk, kau mau apa?!" Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan
hendak memukul.
"Diamlah
kau! Kenapa begitu ribut?" bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada anak
muridnya dengan alis dikerutkan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment