Sunday, July 1, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sakti Jilid 25



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Sakti
                     Jilid 25


DIAM-DIAM Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. Dia tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh.

Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!

Yang sangat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapatkan kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja.

Suara nyanyian itu terdengar penuh mengejek, akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula semangat kegagahan. Kata-katanya sendiri merupakan filsafat sederhana yang sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga.

Hutan sungai tetap murni tak berubah apa bila tiada tangan kotor orang menjamah, mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!

Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?

Katakan manusia berakal budi katakan manusia makhluk tertinggi aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.

Katakan dusun kota indah dan damai, aku lebih cinta hutan dan sungai!

Baru saja kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh pakaiannya. Bajunya lebar panjang berkembang-kembang, kepalanya ditutup oleh kopyah. Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan Cu. Tubuhnya tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek.

Lagaknya kelihatan angkuh dan tinggi hati. Tapi sepasang matanya yang mengeluarkan cahaya berapi itu menandakan bahwa dia bersemangat besar serta memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang sudah tinggi.

"Ehhh, bocah!" katanya dengan lagak sombong. "Siapa kau yang dapat meniup suling menyanyikan lagu itu?"

Kwan Cu tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia pun bangkit berdiri dengan tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban.

Yang membuat Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh kaum wanita dan alangkah lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar sangat lucu. Memang aneh sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.

"Bocah tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?"

"Aku tidak tuli dan juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta maka aku mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini."

"Apa katamu? Aku lucu?" la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada dan tersenyum puas. "Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu, lagi gagah!"

Kwan Cu menggerakkan hidungnya seperti kalau sedang mencium bau yang tidak enak. "Lucu memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ahh, kau bahkan kelihatan seperti seorang perempuan!"

Pemuda aneh itu mengangkat alisnya. "Apa?! Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda masih hijau berani lancang mulut. Kau kira berhadapan dengan siapa? Akulah seorang pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, tetapi juga terpelajar. Aku seorang Bun-bu Coan-jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?" la menggerakkan kedua tangannya ke arah pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu telah memegang sepasang poan-koan-pit (senjata yang berupa sepasang alat menulis atau pensil Tiongkok).

"Hemmm, itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali digunakan oleh anak-anak yang sedang belajar menulis," kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu timbul kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.

"Belajar menulis telingamu!" Pemuda itu memaki gemas. "Dengan pit di tangan kanan aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi! Dengan pit di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh ahli silat Siang Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian. Kalau aku menjadi ahli silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa musuh dan pit pada tangan kanan ini dapat mengantarkan lawanku ke neraka!"

Kwan Cu tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa terpingkal-pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena dia dapat mengerti bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu sesungguhnya hanyalah dibuat-buat belaka.

Di balik kelucuan dan kesombongan ini, dia melihat seorang pemuda berjiwa luhur dan berwatak aneh. Juga garis-garis pada jidatnya menandakan bahwa pemuda ini semuda itu telah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami kehancuran batin yang penuh kecewa dan duka.

"Kenapa kau tertawa lagi, Tolol?" bentak pemuda berkopyah itu.

Kwan Cu memperlihatkan sulingnya. "Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau. Namun dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai orang lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Engkau masih pernah apakah dengan Hang-houw-siauw Yok-ong?"

Pemuda itu tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo. Kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget ketika melihat betapa. sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.

"Hemm, kau tentulah Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!" katanya tiba-tiba dan lenyaplah untuk sesaat kelucuan mukanya.

Kwan Cu terkejut. "Ehh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana pula kau dapat mengetahui namaku?" Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.

"Sulingmu adalah pemberian suhu."

Berseri-seri wajah Kwan Cu. "Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong, locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu, saudara yang gagah perkasa?"

"Panggil saja aku Hok Peng. Sekarang berhati-hatilah, aku akan menyerangmu dengan poan-koan-pit!" Baru saja kata-kata ini selesai diucapkan, dia sudah menyerang Kwan Cu dengan hebatnya!

Kwan Cu kaget dan cepat melompat ke belakang. "Gilakah kau? Tiada hujan tiada angin menyerangku?" tanyanya mendongkol sekali.

"Kau berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, kini hendak kulihat apakah kau patut menerima hadiah itu!" jawab pemuda aneh itu dan kembali dia menyerang dengan hebat. Pada waktu dia menyerang, gerakannya amat cepat dan tubuhnya ringan sekali, melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.

Kwan Cu merasa kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun sangat lihai dan tidak boleh dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya dengan suling di tangannya.

Pada saat dia melihat Hok Peng menusuk ke arah iganya dengan totokan yang lihai, dia cepat-cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit kanan lawannya dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya menjaga kalau-kalau pit di tangan kiri lawannya bergerak.

Benar saja, Hok Peng berseru, "Bagus sekali!"

Karena merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa beratnya sehingga lengan kanannya tergetar, dengan kecepatan kilat selagi kedua kakinya masih terapung seperti terbang, pit kirinya kemudian menusuk leher Kwan Cu.

Kwan Cu yang sudah menduga lebih dulu karena melihat gerakan pundak kiri Hok Peng, segera melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya cepat memapaki pit itu dengan jari-jemari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya Kong-ciak Sin-na yang lihai!

Hok Peng tertawa mengejek dan secepatnya menarik kembali pit kirinya. Pada saat itu kedua kakinya telah menginjak tanah lagi dan dengan gerakan saling susul, kedua pitnya kini melakukan serangan bertubi-tubi. la betul-betul mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menguji pemuda yang pernah dipuji-puji oleh Hang-houw-siauw Yok-ong dan yang telah menerima hadiah suling dari gurunya itu.

Kwan Cu tidak mau kalah dan menggerakkan sulingnya secara cepat sekali. Diam-diam dia mempelajari semua gerakan ilmu silat dari Hok Peng dan Kwan Cu harus mengaku bahwa pemuda aneh dan lucu itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali.

Kalau dibandingkan, kepandaian Hok Peng ini bahkan masih mengatasi kepandaian An Kai Seng atau Wi Wi Toanio. Bahkan kalau dibandingkan pula dengan murid-murid tokoh besar, masih lebih menang sedikit dari pada Lu Thong. Kiranya hanya Sui Ceng seorang yang akan sanggup menghadapinya dengan kepandaian seimbang.

Bagi Kwan Cu sendiri, walau pun dia mengakui akan kelihaian sepasang senjata Hok Peng, namun sekali melihat saja dia sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat lawannya. Ini berkat pengetahuannya tentang pokok dasar dari pada segala pergerakan tubuh dalam bersilat yang diwarisinya dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Kalau tadinya Hok Peng menyerang sambil tersenyum-senyum mengejek, kini berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar merasa aneh dan tidak mengerti bagai mana semua jurus simpanan yang dia pelajari dan yang biasanya berupa jurus ampuh yang tidak sembarangan dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan mudah dapat dipatahkan oleh Kwan Cu.

"Kau lihai sekali!" serunya sampai tiga kali. "Coba kau terima ini!"

Sekarang dia mengubah caranya bersilat. Sepasang poan-koan-pit di tangannya itu kini bergerak secara aneh dan luar biasa, datang dari depan bagaikan gelombang samudera dan menerjang bertubi-tubi dari atas laksana hujan badai. Hok Peng telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua pelajarannya, ilmu silat yang boleh dimainkan dengan kedua tangan kosong mau pun dengan senjata yang sepasang, yang oleh gurunya dinamakan Ilmu Silat Badai dan Ombak.

Kwan Cu pun tercengang menghadapi serangan hebat ini. Dari kedua tangan Hok Peng seakan-akan keluar tenaga mukjijat yang luar biasa sekali, sedangkan sepasang pit itu menyambar-nyambar, sungguh hebat sekali ilmu silat pemuda aneh ini.

Satu kali ini Kwan Cu benar-benar menemui lawannya, lawan yang sangat tangguh dan lihai. Apa bila tadi dengan pandangan matanya yang awas serta dengan pengertiannya yang mutlak tentang pokok dasar segala gerakan silat Kwan Cu dapat menghadapi Ilmu Silat Badai dan Ombak ini, dia menjadi terkejut sekali. Ilmu silat ini dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga dia tidak sempat untuk mempelajari sarinya.

Terpaksa Kwan Cu melawan dengan ilmu silatnya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku ayal, karena dia pun merasa penasaran kalau sampai kalah oleh pemuda aneh ini. Cepat-cepat Kwan Cu mengerahkan lweekang-nya dan mainkan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mainkan sulingnya, kini dengan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat.

Bukan main hebatnya pertempuran ini. Keduanya sama lincah, sama cepat dan sama kuat. Makin kagum hati Kwan Cu, karena pemuda ini tahu bahwa kalau dia tidak pernah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pasti dia akan kalah. Seratus jurus lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka.

Sebaliknya, Hok Peng kini benar-benar terkejut. Dia telah memainkan seratus jurus ilmu silatnya yang dahsyat, namun tetap saja dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Ilmu Silat Badai dan Ombak ada seratus dua puluh jurus dan kini dia sudah mainkan seratus jurus, masih tinggal dua puluh jurus lagi.

Tiba-tiba dia teringat, betapa semenjak tadi Kwan Cu tidak pernah membalasnya, hanya mengelak dan menangkis saja, sedangkan dari kedua lengan pemuda itu mengepul uap putih yang memiliki pengaruh hebat atas hawa pukulannya.

Aduh, celaka, pikirnya.

Tidak salah lagi! Kwan Cu tentu sedang mempelajari ilmu silatnya dan kalau sampai dia terus mainkan semua ilmu Silat Badai dan Ombak yang masih dua puluh jurus lagi, sama halnya dengan menghadiahkan ilmu silat itu kepada Kwan Cu!

Tiba-tiba Hok Peng menghentikan serangannya dan melompat mundur. Wajahnya pucat dan dia menyimpan kembali poan-koan-pitnya, lalu tersenyum pahit.

"Aku sudah kena kau akali! Kau tentu sudah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng!"

"Bagaimana kau bisa tahu?" Kwan Cu balas bertanya karena dia pun merasa amat suka dan kagum kepada pemuda lucu ini.

"Siapa pun juga yang tidak memiliki Im-yang Bu-tek Sin-kun (Ilmu Silat sakti dari Im-yang Bu-tek Cin-keng), tidak akan mungkin mampu menahan serangan-seranganku tadi tanpa membalas sedikit pun. Dan kau tentu sudah mencatat di dalam hatimu sebanyak seratus jurus ilmu silatku tadi."

Kwan Cu tersenyum. "Hok Peng, sahabat baik. Kau sudah beruntung sekali bisa menjadi murid Hang-houw-siauw Yok-ong, apa ruginya membagi sedikit kepadaku? Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku takluk padamu."

Merah wajah Hok Peng. "Sudahlah, bertemu dengan orang semacam kau apa gunanya membicarakan tentang ilmu silat? Suhu sendiri kiranya belum tentu dapat mengalahkan engkau, karena kata suhu, siapa yang mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tak akan terlawan oleh siapa pun juga. Baiknya Badai dan Ombak masih ada dua puluh jurus lagi yang belum kau lihat. Aku akan menggembleng yang dua puluh jurus itu dan siapa tahu kalau kelak yang dua puluh jurus ini akan dapat mengalahkan engkau."

"Ehh, saudara Hok Peng, apakah kau begitu haus akan kemenangan? Kau benar-benar murka sekali, kurang apa lagi kepandaianmu? Kau menjadi murid seorang sakti seperti Yok-ong locianpwe, pandai ilmu silat, pandai ilmu pengobatan, dan pandai meniup suling dan bernyanyi."

Mulut Hok Peng cemberut. "Sayang sekali, dalam ilmu pengobatan otakku terlalu keras sehingga hanya dapat mempelajari sedikit saja, ada pun mengenai menyuling, kau lebih pandai. Kalau tidak begitu, bagaimana suhu memberikan sulingnya padamu? Ahh, Kwan Cu, setelah kita saling mengukur kepandaian, aku tidak kecewa melihatmu. Hanya saja masih ada penasaran dalam hatiku melihat betapa kau benar-benar tidak kenal budi dan kebaktian terhadap gurumu."

Kwan Cu terkejut dan marah. "Ehh, omongan apa yang kau keluarkan ini? Membuta tuli menuduh orang lain tanpa alasan. Boleh jadi aku Lu Kwan Cu memang seorang bodoh dan kasar, akan tetapi bagaimana kau bisa bilang aku tidak kenal budi dan kebaktian?"

"Tentu saja kau tidak kenal budi dan kebaktian. Gurumu tewas dalam penasaran besar, dikeroyok orang-orang yang curang, mengapa kau diam saja dan enak-enak seperti tidak terjadi apa-apa, bukankah ini menandakan bahwa kau tak kenal..."

"Tahan lidahmu, Hok Peng! Aku sekarang juga sedang mencari-cari mereka yang sudah membunuh suhu-ku dan aku pasti akan membalaskan sakit hati suhu sekaligus menagih hutang nyawa mereka!"

Hok Peng tersenyum, dan matanya yang tajam memandang penuh selidik. "Bagus, kau tidak bohong. Aku tarik kembali tuduhanku bahwa kau tak kenal budi dan kebaktian, akan tetapi kau ternyata tolol."

"Ahh, apakah kau masih belum puas dan ingin mengajak berkelahi lagi?" tanya Kwan Cu gemas.

"Aku bukan sembarangan menuduh saja. Kau memang tolol kalau belum juga tahu siapa adanya orang-orang yang mengeroyok dan membunuh gurumu Ang-bin Sin-kai itu."

"Mereka adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw!" kata Kwan Cu.

Hok Peng melengak. "Eh, ehh, jadi kau sudah tahu pula? Memang tiga orang locianpwe itulah pembunuhnya, dengan jalan mengeroyok secara tak tahu malu dan curang sekali! Kalau begitu kau memang tidak tolol, hanya bodoh sekali."

"Hemm, apa lagi yang menyebabkan kebodohanku?" tanya Kwan Cu, kali ini tidak marah lagi karena memang semua kata-kata yang lucu dari Hok Peng beralasan dan agaknya orang ini boleh sekali dijadikan kawan baik.

"Karena kau tentu akan membuang waktu dengan sia-sia kalau kau mencari-cari mereka itu, padahal mereka berada di..."

"Puncak Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw!" Kwan Cu menyambung cepat.

Kembali Hok Peng melengak. Sepasang matanya yang bundar seperti kelereng itu lantas bergerak-gerak memandang, kemudian dia mengangguk-angguk.

"Hemm, jadi kau sudah tahu pula? Baik, baik, bagus! Akan tetapi tetap saja kau masih bodoh. Jalan yang terdekat ada mengapa mengambil jalan jauh? Bukankah itu bodoh namanya?"

"Hok Peng yang baik, dalam hal ini aku mengaku bodoh. Memang aku belum kenal jalan dan aku hanya melalui jalan menurut keterangan orang-orang yang kutemui. Aku mohon petunjukmu, jalan manakah yang terdekat ke Tai-hang-san itu?"

"Kalau dilihat dari jauh, memang agaknya puncak Tai-hang-san berada di sisi utara dan agaknya kalau mau ke puncak, jalan dari utara adalah jalan terdekat. Akan tetapi kalau kau lanjutkan kepercayaanmu ini, percayalah bahwa sampai waktu Gouw-gwe Cap-gouw tiba, kau belum dapat sampai ke puncak. Jalan dari utara ini banyak sekali halangannya, terhalang oleh jurang-jurang berbahaya dan oleh hutan-hutan lebat yang akan membikin kau tersesat jalan sehingga akhirnya kau akan terlambat. Kalau kau mengambil jalan dari timur, dari kaki pegunungan terus menanjak ke barat, kau akan sampai di sana dengan cepat dan kiranya masih belum terlambat jika sekarang juga kau melanjutkan perjalanan. Akan ramai sekali di sana " Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu pergi sambil bernyanyi-nyanyi, tidak mempedulikan lagi kepada Kwan Cu.

"Hok Peng, terima kasih, kau baik sekali!" Kwan Cu berseru girang ke arah pemuda itu yang sama sekali tidak mempedulikan seruannya.

Akan tetapi Kwan Cu juga tak mengharapkan jawaban dari pemuda yang aneh itu, sebab dia maklum bahwa orang-orang seperti Yok-ong dan muridnya ini adalah orang-orang yang wataknya memang aneh dan lain dari pada orang-orang biasa.

Dengan cepat Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia mengubah arah perjalanannya, tidak lagi hendak mendaki Bukit Tai-hang-san dari utara, melainkan dari timur seperti yang dinasehatkan oleh Hok Peng.


                   ***************


Pada waktu yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang kelihatannya aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek yang aneh dan gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang ini berjalan dengan gerakan cepat seperti terbang.

Di antara sekian banyaknya orang-orang gagah yang naik ke Tai-hang-san, terdapat pula Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya lebih ditakuti dari pada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam (penjahat), karena Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut.

Meski pun tokoh selatan ini sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja kelihatan keras dan sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang ada orang berani menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka tajamnya. Nenek sakti ini naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja, namun dua orang muda yang berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang agar jangan sampai tertinggal oleh Kiu-bwe Coa-li!

Dua orang muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama menuju tempat tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.

Akan tetapi, ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti ini, Kiu-bwe Coa-li terlihat sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui Ceng sebab gadis yang sejak kecil ikut gurunya ini tentu saja sudah kenal baik akan watak gurunya yang aneh.

"Kau datang padaku ada apakah, Sui Ceng?" tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa mempedulikan Kun Beng yang juga berlutut di depannya.

"Teecu... teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan... dan teecu telah... telah bertemu dengan dia ini."

Kiu-bwe Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik saja sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.

"Siapa dia?" tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya.

Nenek sakti ini benar-benar hebat sekali, hebat serta menakutkan, pikirnya. Lebih aneh dari pada suhu-nya sendiri, Pak- lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.

"Maafkan teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah," kata Kun Beng tanpa berani mengangkat mukanya, "teecu adalah The Kun Beng."

"Ahh, jadi kau adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat mukamu!"

Kun Beng terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat sinar mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. Dia tidak tahan menatap sinar mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.

"Apa maksudmu datang bersama Sui Ceng ke sini?" tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.

"Teecu... teecu bersama Ceng-moi hendak... hendak mohon kepastian tentang... tentang perjodohan..." Sesudah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah mukanya, demikian pula Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Tiba-tiba saja tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur cepat ke arah tubuh Kun Beng.

"Suthai!" Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini, yakni sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!

Sembilan ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat menyambar, lalu sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu tanpa dapat dielakkan lagi!

Kun Beng merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan cepatnya. Dia tidak dapat mengelak atau menangkis lagi, maka cepat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya yang dikumpulkan ke arah pundak sambil menahan napas untuk menerima datangnya totokan ini.

Kekhawatiran Sui Ceng sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-li hanya mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga sebesar itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya.

Oleh karena itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia terhitung memiliki kepandaian yang seimbang dengan muridnya sehingga patut menjadi suami muridnya. Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!

Ketika jalan darah pada pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa seluruh tubuhnya tergetar. Akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga lweekang-nya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka. Kiu-bwe Coa-li menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kau cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan bicarakan tentang perjodohan!"

Sui Ceng mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis ini biar pun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani membantah. Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang.

Sebelum menghadap gurunya, Sui Ceng telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan selama ini hubungan mereka semakin rapat. Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang mengecewakan dalam diri tunangannya.

Kun Beng merupakan seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah rasa cinta di dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya. Mendapatkan Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang ada pemuda seperti Kun Beng.

Oleh karena hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja dia menjadi kaget mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat muka dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li.

Biar pun bibirnya tidak mengeluarkan sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi hati muridnya, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata,

"Sui Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Sekarang pinni (aku) menghadapi urusan yang jauh lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya terlalu memandang rendah kepadaku sehingga dia mengirimkan undangan untuk mengadakan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia mengundangku karena mengingat bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini berarti bahwa aku mencampuri urusan kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang anti dan pro kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar urusan lama, dia akan mengingatkan aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu, aku memang kalah pada waktu itu, akan tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak orang." Kiu-bwe Coa-li menghentikan kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa dia marah sekali.

"Kalau begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?" tanya Sui Ceng.

"Aku tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku memilih kaisar bangsa sendiri, betapa pun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki Sianjin memandang rendah kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang menjadi penjilat kaisar asing dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau dan aku harus pergi ke Tai-hang-san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian pasti akan hadir juga sehingga sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan tua bangka itu."

Ucapan Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tidak boleh dibantah lagi. Sui Ceng menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah.

Celaka, pikirnya. Kalau benar suhu-nya pergi ke Tai-hang-san, tentu suheng-nya Gouw Swi Kiat akan berada di sana pula. Bagaimana jika suheng-nya itu menceritakan semua peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Kui Lan? Tentu suhu-nya akan marah besar dan akan celakalah dia. Tidak saja akan dimusuhi oleh suheng-nya, bahkan kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu tunangannya akan berubah benci kepadanya.

Akan tetapi Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul akan watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Sangat tidak mungkin suheng-nya itu mau membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain, meski pun kepada suhu sendiri tentu tidak.

Urusan ini meski pun menjelekkan nama Kun Beng, namun yang akan lebih rusak nama dan kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang wanita ialah yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat dari pada seorang pria. Dan Swi Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan Swi Kiat yang tahu akan urusan itu?

Kun Beng merasa lega hatinya. Ia tidak takut kalau hanya Swi Kiat yang memusuhinya, karena selain dia memiliki kepandaian yang tak kalah oleh Swi Kiat, juga dengan adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa berbuat apakah? Setelah berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng ke Tai-hang-san.

Sesudah mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan tidak menegur siapa pun juga, biar pun ada yang sudah mereka kenal.

"Menghadapi urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan tetapi menutup mulut rapat-rapat!"

Kiu-bwe Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan seorang diri dengan cepatnya.

Puncak Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan mega-mega putih dan memang kelihatannya berada di sebelah utara. Akan tetapi benar seperti yang dikatakan oleh Hok Peng, perjalanannya dari timur sangat mudah dan selalu puncak itu kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga dalam perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau jalannya tersasar.

Ketika dia tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang sedang duduk di bawah pohon, menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang panjang dilonjorkan menghalang jalan.

Kwan Cu benar-benar merasa terkejut dan dia menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari jauh dia tidak melihat ada orang duduk di situ, bagaimana tiba-tiba saja ada kakek yang duduk dengan dua kaki menghalang jalan? Hampir saja dia menginjak kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.

"Bocah-bocah jaman sekarang amat kurang ajar!" Kakek itu berkata menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!"

Kwan Cu yang sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang cepat membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja ingin mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja menunjukkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ hingga dia tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah menegurnya!

Ketika melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu merasa kaget dan heran. Yang duduk itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini.

Bangsa apakah dia? Apa bila dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia adalah seorang bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi kenapa kulit mukanya begitu hitam? Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih serta halus, hanya pada bagian muka yang amat hitam sehingga sulit untuk mengenal muka ini, kecuali sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh.

Kwan Cu merasa seperti pernah melihat mata seperti ini. Akan tetapi, oleh karena muka yang luar biasa warnanya itu, dia tidak dapat mengenal lagi.

"Ang-bin Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat, akan tetapi tidak meninggalkan warisan budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormati orang yang lebih tua," Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.

Kembali Kwan Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau dan kasar, kini berubah menjadi halus dan tenang, suara yang telah pernah didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia mengenalnya, akan tetapi betapa pun dia memeras otak, tetap saja dia tidak dapat ingat lagi siapa adanya orang tua ini.

"Hari ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah watak manusia," lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja menempeleng kepalanya sendiri.

"Bodoh benar, mengapa aku begini pelupa?" pikirnya.

Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada batang pohon itu sambil berkata dengan girang,

"Locianpwe, mohon ampun sebesarnya atas kekurang ajaran teecu yang semenjak tadi tidak mengenali Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh."

Tiba-tiba tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia percaya penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi mulia, tidak mungkin mau mencelakakan dirinya. Bahkan dia sama sekali tak mengerahkan lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini malah akan dianggap sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar orang dan di lain saat tubuhnya telah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.

Ternyata bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di belakang semak-semak belukar, mendekam di sana tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya, dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh.

Tindakan kaki ini berat sekali sehingga pohon-pohon serasa tergetar. Dengan telinganya yang tajam dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah empat orang, dan agaknya salah seorang sengaja menjatuhkan kaki dengan pengerahan tenaga luar biasa, ada pun yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara derap kakinya, demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.

Sebentar saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu menggigil dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka ini. Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya tidak lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh suhu-nya! Ini yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya menjadi panas sekali.

Orang ke dua adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam seluruhnya seperti Hek-i Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil. Kembali dada Kwan Cu tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada malam hari dekat kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh. Tanpa terasa lagi Kwan Cu meraba sakunya dan teringat bahwa dia masih menyimpan sepotong robekan kain dari jubah hitam hwesio ini.

Ada pun orang ke tiga dan ke empat adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi Kwan Cu tidak mengenal mereka. Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka karena bagaikan bayang-bayang yang cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi, naik ke atas gunung.

Kakek bermuka hitam itu berdiri dan menghela napas panjang.

"Heran sekali, Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai juga datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai setan berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hemm, bahkan Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini..." Kakek ini berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.

Pemuda ini lalu bangkit berdiri dan mengikutinya. Tiba-tiba kakek itu berpaling padanya dan berkata,

"Kwan Cu, bagaimana kau bisa mengenalku?"

"Sesungguhnya teecu takkan mungkin dapat mengenal Locianpwe kalau saja Locianpwe tidak menolong teecu dengan suara asli itu." Kwan Cu mengaku terus terang.

Hang-hauw-siauw Yok-ong tertawa dan memandang ke atas.

"Memang itulah baiknya orang menyamar. Kita bisa mengenal orang lain tanpa dikenal. Bukankah itu menyenangkan sekali? Eh, Kwan Cu, bagaimana dengan kepandaianmu?"

"Teecu hanya bisa mainkan satu dua jurus pukulan, tiada harganya untuk diketahui oleh Locianpwe. Teecu hanya mohon petunjuk dan pimpinan."

"Ha-ha-ha, semenjak dulu kau memang pandai merendah. Sikap yang amat baik sekali, anakku. Kau tadi menjadi panas melihat mereka lewat, ada apa? Juga apa maksudmu berkeliaran di tempat ini?"

"Locianpwe, terus terang saja teecu hendak ke Tai-hang-san untuk menuntut balas atas kematian suhu. Teecu hendak membalas dendam terhadap mereka yang mengeroyok suhu secara pengecut, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Toat-beng Hui-houw!"

Yok-ong tersenyum lebar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang itu sudah menjadi hak dan kewajibanmu. Akan tetapi, apakah kepandaianmu sudah begitu tinggi sehingga kau seorang diri berani menghadapi mereka bertiga?"

"Teecu datang bukan bermodalkan kepandaian, tapi bermodal semangat, kebenaran dan kebaktian terhadap suhu."

"Agaknya kau telah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, bukan? Kulihat sinkang (tenaga sakti) di dalam tubuhmu sudah tinggi sehingga dalam sekejap kau tadi dapat menindas hawa kemarahanmu ketika kau melihat Hek-i Hui-mo. Bagus, memang kau patut menerima ilmu yang tinggi, bakatmu amat besar. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa tiga orang yang kau sebutkan tadi bukanlah lawan yang boleh dibuat main-main."

"Teecu mengerti, Locianpwe, akan tetapi dalam memenuhi tugas ini, teecu menyediakan selembar nyawa untuk taruhan. Tidak lain teecu hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, mengingat akan baiknya hubungan antara Locianpwe dengan mendiang suhu."

Hang-houw-siauw Yok-ong tertawa bergelak. "Kau memang cerdik dan pandai membawa diri. Sudah kuketahui hal ini sejak kau masih kecil. Coba keluarkan sulingmu!"

Kwan Cu kagum. Kakek ini tanpa melihat sudah tahu bahwa suling pemberiannya dahulu masih dia bawa terus. Dengan cepat dia mencabut keluar suling hijau itu. Mata Yok-ong bersinar girang.

"Coba kau serang aku sampai sepuluh jurus. Hendak kulihat apakah kau tidak hanya membuang nyawa sia-sia dengan niatmu membalas dendam ini."

Kwan Cu tak berani membantah, akan tetapi dia ragu-ragu. Ilmu silat apa yang harus dia keluarkan untuk menyerang Yok-ong? Untuk mengeluarkan ilmu silat ciptaannya sendiri, dia tidak berani karena hal ini akan menimbulkan sangkaan bahwa dia menyombongkan diri dan memamerkan ilmu ciptaannya.

Kwan Cu maklum sedalam-dalamnya akan isi dari pada kepandaiannya. Dia lihai bukan karena mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi, akan tetapi lihai karena dia sudah menghirup pengertian tentang pokok dasar segala gerakan silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga menghadapi musuh dengan ilmu silat betapa tingginya pun dia takkan merasa kaget dan mampu mengenal ilmu silat itu sampai ke dasarnya, bahkan dengan sekali melihat saja, dia dapat meniru segala macam ilmu silat itu. Jadi kalau dia disuruh menyerang, sebenarnya ilmu silatnya tidak aneh, lebih-lebih bagi seorang ahli silat kelas tinggi seperti Hang-houw-siauw Yok-ong.

"Harap maafkan teecu kalau berlaku kurang ajar!" katanya.

Dia lalu menyerang dengan sulingnya, dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Hun-khai Kiam-hoat. Dengan kebutan lengan bajunya, Yok-ong menangkis sampai tiga jurus, lalu berkata,

"Jangan pergunakan Hun-khai Kiam-hoat, kau takkan bisa menang menghadapi mereka. Gunakanlah ilmu silat lain yang sudah kau pelajari!" celanya.

Kwan Cu mendongkol juga. Ilmu silat tinggalan Ang-bin Sin-kai dicela orang, ini sangat menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia tak berani menyerang seorang locianpwe yang dia hormati dan sayang, maka dia lalu berkata,

"Teecu baru-baru ini mempelajari ilmu silat ini, harap Locianpwe tidak mencelanya!"

Tiba-tiba gerakan sulingnya diubah. Kini dia memainkan jurus-jurus dari Ilmu Silat Ombak dan Badai yang pernah dilihatnya ketika dia melawan Hok Peng.

"Ayaaa...!" Yok-ong terkejut bukan main dan untuk beberapa lama dia hanya mengelak saja, membiarkan Kwan Cu mainkan terus ilmu silat yang sesungguhnya adalah ilmu silat ciptaannya sendiri itu!

Diam-diam hati Kwan Cu menjadi geli dan dia mengerahkan ingatannya untuk mainkan terus ilmu silat itu sampai tiga puluh jurus! Tiap jurus dia mainkan sebaik-baiknya seperti seorang murid baru yang memperlihatkan latihan-latihannya kepada gurunya.

"Tahan...!" Yok-ong berteriak sambil berdiri dengan muka berkerut dan mata terbelalak. "Kwan Cu, bocah nakal. Jangan kau mempermainkan aku. Hayo katakan, dari mana kau bisa mainkan ilmu silat ini?"

Kwan Cu menjura. "Maafkan teecu, Locianpwe. Sesungguhnya beberapa hari yang lalu teecu kebetulan bertemu dengan Hok Peng Loheng dan mendapatkan ilmu silat ini dari dia."

“Bagaimana? Aku masih belum mengerti. Apakah Hok Peng mengajarkan ilmu silat ini padamu?"

"Tidak sama sekali, Locianpwe. Hok-loheng memaksa teecu untuk main-main dan dia mempergunakan ilmu silat ini mendesak teecu sehingga saking tertarik, teecu diam-diam mempelajari segala macam ilmu silat yang dia keluarkan."

"Hemm, kau tentu sudah mengalahkannya."

"Sesungguhnya di antara teecu dan dia tidak ada yang kalah atau menang, kemenangan teecu adalah berupa pelajaran ilmu silatnya itu Locianpwe." .

Yok-ong menggeleng-geleng kepala seperti orang tidak percaya. "Kau bertempur dengan dia, diserang dengan ilmu silat ini dan dalam pertempuran itu kau telah bisa mempelajari ilmu silatnya?"

"Teecu sekedar meniru-niru saja, Locianpwe. Teecu hanya mempergunakan mata dan ingatan."

"Sampai berapa jurus dia menyerangmu?"

"Sampai seratus jurus, Locianpwe."

"Dan kau hafal semua?"

Yok-ong terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,

"Maaf, Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya gerakan teecu tak karuan. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu jangan memainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apa lagi yang harus teecu mainkan? Baiknya teecu lalu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng Loheng...… "

"Cukup! Kalau tidak melihat sendiri, aku tak akan percaya! Kau bertempur, melihat dan hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas yang maha berat, meski pun aku percaya bahwa kau mempunyai kecerdikan yang tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak memberi sedikit petunjuk, sungguh pun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah, kau lihat baik-baik bagai mana aku mainkan sulingku."

Ia bergerak maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda ini menghendaki tentu saja dia bisa menggagalkan perampasan suling ini, akan tetapi dia tak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga suling yang dipegangnya dapat dirampas.

Yok-ong lalu memainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, mirip seperti orang menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya. Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!

Ia melihat kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang tadi dimainkannya amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya.

"Itulah ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun takkan dia keluarkan karena aku telah memesan agar ilmu silat itu jangan sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur, melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain dan kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kau mainkan tiga puluh enam jurus tadi?"

"Akan teecu coba-coba, mohon Locianpwe memberi petunjuk."

Kwan Cu telah memiliki pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu silat. Tiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari dari pada sejurus gerakan silat hanya sederhana saja. Yang berbelit-belit sehingga membingungkan orang adalah kembangannya.

Ia mulai bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.

Yok-ong berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lamanya. Sepasang matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai jurus terakhir.

"Apakah aku bermimpi?" Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan Cu, "Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini ada dewa! Orang biasa saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng, akan tetapi kau sekali melihat saja sudah memilikinya! Hebat, hebat...!"

Kwan Cu merasa dadanya sesak dan panas, juga suling yang dipakai bermain tadi amat panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya sudah mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sesungguhnya permainan silat yang membuat darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di hadapan Yok-ong, dia pun segera meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-ong.

"Terima kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman."

"Kau pakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita tengah menghadapi urusan besar sekali dan bukan hal yang bisa dibuat main-main. Kau ulas mukamu agar berubah warnanya."

Kwan Cu menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, lalu dia membantu Kwan Cu memupuri muka pemuda itu dengan ‘bedak’ istimewa ini.

Kwan Cu merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu telah menjadi kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasakan apa pun yang tidak enak.

Kalau saja dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan langsung melonjak saking kagetnya sebab mukanya sekarang telah menjadi lain sekali. Pada sekitar mata dan bibir membengkak, ada pun kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang direbus!

"Kelak kalau semua urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu digosok-gosokkan pada mukamu, maka kedok itu akan lenyap mencair," kata Yok-ong.

"Locianpwe, mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat berbahaya?"

"Kau tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara para tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud yang buruk dan keji sekali. Dia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan rakyat, dan dengan diam-diam dia sudah mengurung gunung ini kalau semua tokoh sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk."

"Keparat curang!" kata Kwan Cu marah.

"Akan tetapi baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku juga sudah mencari jalan keluar yang sangat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar hendak melaksanakan keinginannya yang keji. Sekarang mari kita naik ke puncak!"

Maka berangkatlah dua orang ini ke puncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,

"Aku sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tidak ada gunanya kalau dia mencampuri urusan besar ini. Andai kata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan sia-sia semua usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, apa bila ada orang menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama)."

Kwan Cu mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti ini, sungguh pun untuk maju seorang diri pun dia tak merasa gentar. Hanya dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya dan lebih matang pertimbangannya.


                   ***************

Puncak Tai-hang-san merupakan dataran dari batu karang yang cukup luas. Di sana sini terdapat batu karang pendek dan lebar sehingga merupakan tempat duduk yang amat enak dan baik. Pohon-pohon menghias puncak, akan tetapi di bagian dataran itu, semua pohon telah dirobohkan dan dibuang oleh Kiam Ki Sianjin hingga dataran itu merupakan tempat yang luas, yang sekiranya cukup untuk menampung ratusan orang yang hendak mengadakan rapat raksasa.

Dari jauh sudah kelihatan bahwa orang-orang yang mendatangi puncak itu terbagi atas dua kelompok. Di bagian kiri terdapat kelompok mereka yang membantu kaisar. Di situ sudah berkumpul banyak sekali orang, sedikitnya ada seratus orang.

Di antara para pemimpin yang duduk di bagian depan, di atas batu-batu karang, terlihat Kiam Ki Sianjin, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio dari Tibet, Toat-beng Hui-houw kakek yang berkuku panjang dan berwajah seperti siluman itu. Kelihatan pula Coa-tok Lo-ong, sute dari Hek-i Hui-mo, yakni hwesio yang tinggi kurus berjubah hitam, seorang tokoh besar yang tak kalah lihainya oleh Hek-i Hui-mo, karena hwesio ini merupakan ahli racun nomor satu di dunia!

Masih banyak pula tokoh-tokoh besar, di antaranya Mo Beng Hosiang serta Mo Keng Hosiang yang keduanya lebih terkenal sebagai Bu-eng Siang-hiap, lalu Kam Cun Hong panglima dari Si Su Beng, Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Di samping tokoh-tokoh besar ini, terdapat banyak sekali anak-anak murid mereka yang bersikap gagah.


Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


Pada bagian kanan terdapat sekelompok orang yang jauh lebih kecil jumlahnya apa bila dibandingkan dengan kelompok di sebelah kiri. Pada bagian kanan inilah kelompok dari mereka yang menentang kaisar atau mereka yang membantu perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Mereka ini hanya terdiri dari sepuluh orang saja!


Kwan Cu memandang penuh perhatian dan dia mengenal semua orang di golongan ini. Tiba-tiba dadanya berdebar dan panas penuh cemburu dan iri hati ketika dia melihat Bun Sui Ceng berdiri di sebelah The Kun Beng di dekat Kiu-bwe Coa-li. Tak jauh dari situ terlihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Gouw Swi Kiat. Di sebelah ujung berdiri pula Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang sudah amat tua usianya, disertai empat orang tosu, yakni murid-muridnya atau tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai.

Kwan Cu mencari-cari dengan matanya. Ia heran tidak melihat adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Dengan sikap tenang pemuda ini mengikuti Yok-ong naik ke puncak dan berdiri di sebelah timur, tidak jauh dari kedua kelompok itu. Yok-ong sengaja tidak mau mendekati sefihak karena dia mempunyai siasat lain.

Semua orang yang melihat naiknya seorang kakek bermuka hitam seperti pantat kuali serta seorang pemuda dengan muka merah tidak karuan seperti udang direbus, menjadi terheran-heran. Tak seorang pun di antara mereka mengenal dua orang ini, bahkan Sui Ceng yang berwatak jenaka itu tersenyum geli melihat dua orang ini. Ia berbisik kepada Kun Beng dan menudingkan telunjuknya ke arah Kwan Cu dan Yok-ong. Dengan hati panas Kwan Cu melihat Kun Beng tersenyum geli pula.

Akan tetapi diam-diam dia merasa sangat kagum juga melihat fihak yang anti penjajahan ini, karena sesungguhnya fihak mereka hanya ada sepuluh orang sedangkan fihak lawan ada seratus orang. Semuanya kelihatan tenang-tenang dan gembira saja, sedikit pun tak terlihat gentar. Yang lucu sekali adalah Siangkoan Hai karena kakek ini mengeluarkan kotak berisi biji catur, kemudian menggurat-gurat tanah dan mengajak Seng Thian Siansu bermain catur!

Sebagai seorang ketua Kun-lun-pai, Seng Thian Siansu sudah kenal baik dengan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Karena itu dia mengangguk ke arah dua orang tua itu dan berkata dengan suara nyaring.

"Bian Kim dan Bin Kong Ji-wi Beng-cu, sambil menunggu upacara dibuka marilah temani pinto main catur dengan Pak-lo-sian. Bukankah lebih menggembirakan dari pada harus menunggu-nunggu?"

Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu buru-buru membalas penghormatan itu dengan menjura kepada ketua Kun-lun-pai yang usianya lebih tua dari pada mereka dan yang biasa mereka hormati itu.

"Seng Thian Lo-siansu, pinceng menghaturkan terima kasih atas ajakan Siansu ini. Akan tetapi pinceng takut berdekatan dengan pembunuh-pembunuh keji yang tak tahu aturan, yang hanya memiliki nama besar sebagai tokoh utara, akan tetapi ternyata seorang yang biadab dan curang!"

Makian ini terang-terangan ditujukan kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena tokoh besar utara adalah Pak-lo-sian. Akan tetapi yang dimaki hanya tertawa bergelak saja dan berkata kepada Seng Thian Siansu,

"Siansu, kenapa mengajak fihak yang terang-terangan menjadi penjilat kaisar? Sudahlah, mari kita bermain catur, jangan memancing datang anjing kelaparan hingga kegembiraan kita akan lenyap."

Keadaan menjadi tegang. Akan tetapi kedua fihak tak melanjutkan saling maki ini sebab pada saat itu, dari bawah gunung melayang dua bayangan orang yang gerakannya cepat sekali. Mereka ini ternyata adalah Kwa Ok Sin, ketua Bun-bu-pai ada pun orang ke dua adalah nenek yang aneh dan menyeramkan, yakni Liok-te Mo-li, ibu dari Kong Hoat yang pernah bertemu dengan Kwan Cu.

"Ha, saudara Kwa yang baik, marilah kita bermain catur!" kata Pak-lo-sian girang melihat ketua Bun-bu-pai ini, seorang yang walau pun kepandaiannya tidak seberapa tinggi, akan tetapi disegani oleh semua orang kang-ouw karena dia menjadi ketua dari perserikatan orang-orang gagah dan sastrawan, yang terkenal adil dan bijaksana.

"Kwa-enghiong, terima kasih bahwa kau sudi memenuhi undanganku," berkata Kiam Ki Sianjin sebelum Kwa Ok Sin menjawab ajakan Pak-lo-sian. "Silakan duduk di sini."

Kwan Ok Sin bingung. la lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata,

"Tak kusangka bahwa Cu-wi sekalian telah membentuk dua kelompok hingga membuat siauwte menjadi serba salah. Biarlah siauwte berdiri di tempat yang tidak berfihak."

Tiba-tiba dia melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah yang duduk nongkrong di atas batu, di tengah-tengah antara dua kelompok itu, agaknya seperti dua orang dusun yang aneh sekali dan yang sikapnya seperti penonton.

"Ji-wi siapakah dan mengapa di sini?" tanya Kwa Ok Sin dengan heran.

Di antara seluruh tokoh kang-ouw, agaknya Kwa Ok Sin boleh dibilang orang yang paling dikenal dan mengenal orang. Hampir seluruh tokoh kang-ouw sudah dikenal oleh Kwa Ok Sin, baik tokoh persilatan mau pun tokoh kesusastraan, maka melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah itu, heranlah hati Kwa Ok Sin. Selamanya belum pernah dia bertemu muka dengan dua orang ini. Jangankan bertemu muka, mendengar pun belum pernah adanya orang-orang yang begini aneh mukanya.

Yok-ong tersenyum dan menjawab dengan suara kaku sekali, suara kasar dari orang dusun yang bodoh.

"Aku dan cucuku ini she Koai (Aneh), petani-petani di Gunung Tai-hang-san. Sekarang di atas gunung orang mengadakan keramaian, tentu saja kami datang untuk menonton." Setelah berkata demikian Yok-ong tertawa ha-ha-he-he-he dengan lagak amat lucu.

Kwa Ok Sin adalah seorang yang berpemandangan luas dan bermata tajam. Dia dapat menduga bahwa si muka hitam ini tentulah seorang kakek yang luar biasa, maka dia tidak berani berlaku lancang, lalu menoleh kepada Kwan Cu.

Akan tetapi pemuda ini juga sudah siap sedia. Begitu orang menoleh kepadanya, dia lalu meringis dan menyeringai, kemudian tertawa ha-ha-he-he-he pula seperti sikap Yok-ong.

"Cu-wi sekalian!" kata Kwa Ok Sin kepada orang-orang kedua fihak. "Kebetulan sekali di sini terdapat tempat untuk penonton, maka ijinkan siauwte berdiam di sini saja sebagai penonton."

Ia lalu duduk di atas batu hitam, dan mengajak Liok-te Mo-li duduk pula. Nenek ini melirik ke arah Yok-ong dan Kwan Cu, akan tetapi tidak berkata sesuatu, hanya menghampiri sebuah batu besar yang berada di ujung lapangan, agak jauh dari tempat itu.

Dengan tumit kakinya, dia mencongkel batu itu yang tiba-tiba saja melayang ke atas dan cepat nenek ini mengulur tangannya, menepuk batu itu sehingga mencelat ke atas lagi. Demikian sambil berjalan kembali, Liok-te Mo-li mempermainkan batu besar itu sampai ia tiba di dekat Kwa Ok Sin, lalu menurunkan batu itu untuk dipakai tempat duduk.

Semua orang, baik di fihak Kiam Ki Sianjin mau pun di fihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai, melihat betapa nenek buruk rupa ini mempermainkan batu besar yang beratnya paling sedikit ada tiga ratus kati itu dengan demikian mudahnya, diam-diam memuji.

Nenek ini selamanya menyembunyikan diri sehingga jarang ada yang mengenal dirinya, kecuali beberapa orang tokoh besar yang berada di situ. Karenanya semua orang lalu menduga-duga, siapakah gerangan nenek yang datang bersama ketua Bun-bu-pai itu.

Setelah melihat bahwa para undangan telah mulai berkumpul dan terutama sekali semua orang terpenting sudah hadir, Kiam Ki Sianjin segera berdiri sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada seluruh yang hadir.

"Cu-wi sekalian, selamat datang di puncak dan banyak terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang sudi memenuhi undangan pinto."

Semua orang yang berada di sana segera mencurahkan perhatiannya kepada Kiam Ki Sianjin, kecuali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu yang masih saja asyik bermain catur.

Kiam Ki Sianjin lalu melanjutkan kata-katanya,

"Tanpa diatur terlebih dahulu, Cu-wi sekalian yang datang di sini ternyata telah memilih fihak masing-masing, dan sudah tentu saja yang berada di fihak kami adalah mereka yang membenci perang dan yang menghendaki keamanan dan perdamaian. Oleh karena itu, hendaknya dari fihak pembantu pemberontak yang pada saat ini menjadi tamu, suka mengajukan seorang ketua agar supaya dapat berunding dengan kami." Kiam Ki Sianjin menujukan kata-katanya ini kepada fihak Kiu-bwe Coa-li dan kawan-kawannya.

Kiu-bwe Coa-li hanya mengangkat cambuknya dan menggerakkannya di atas kepala.

"Tar! Tar! Tar!!"

Kiu-bwe Coa-li tak menjawab sesuatu, bahkan membuang muka tidak mau memandang kepada Kiam Ki Sianjin. Hanya terdengar bunyi ledakan cambuknya sebagai imbalan dari kata-kata yang dikeluarkan oleh Kiam Ki Sianjin tadi.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu tertawa-tawa lalu berdiri.

"Pak-lo-sian, kau yang menang, lakukanlah tugasmu sebaiknya," kata Seng Thian Siansu yang sudah amat tua itu sambil tersenyum.

Pak-lo-sian menghadapi Kiam Ki Sianjin. Jarak antara mereka cukup jauh, ada dua puluh tombak. Sambil tertawa Pak-lo-sian berkata,

"Kiam Ki Sianjin, fihak kami tidak pandai bicara seperti kau! Kiu-bwe Coa-li hanya bicara melalui cambuknya, dan terpaksa aku dan Seng Thian Siansu tadi bertanding catur untuk menentukan siapa yang harus mewakili fihak kami. Memang benar kami telah membantu perjuangan rakyat dan bangsa kami, sekarang kami sudah datang di sini, ada omongan apa lekas keluarkan, kami mendengar!"

Sesudah berbicara demikian, Pak-lo-sian tertawa-tawa dan duduk lagi. Sikapnya seperti seorang anak kecil yang lucu.

"Tidak setuju!" tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai berteriak. "Pinto tidak setuju kalau Pak-lo-sian atau Kiu-bwe Coa-li menjadi wakil fihak pembantu pejuang. Dua orang itu adalah manusia-manusia curang dan pengecut, tidak pantas menjadi wakil, tak boleh dipercaya omongannya!"

"Betul, aku pun sependapat dengan Bin Kong Toheng!" berkata Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai.

Merah wajah Kiu-bwe Coa-li, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.

"Kau monyet-monyet tua dari Bu-tong-pai, datang-datang mengeluarkan hawa busuk dari mulut. Majulah kalau kalian berani!" bentak nenek ini dengan marah sekali.

"Siapa takut padamu, siluman wanita yang keji?" Bin Kong Siansu berteriak.

Akan tetapi Kiam Ki Sianjin cepat memegang lengannya dan berkata, "Harap saja Siansu tidak merusak suasana dan dapat menyabarkan hati. Urusan pribadi dapat diurus kemudian, sekarang urusan negara yang harus didahulukan."

Di lain fihak, Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga menyabarkan hati Kiu-bwe Coa-li dengan kata-kata, "Setan perempuan, apa sih sukarnya menghancurkan kepala dua orang kura-kura tua itu nanti kalau urusan besar ini sudah beres? Sabarlah, nanti kita bagi seorang satu!"

Suasana yang sudah menegang menjadi tenang kembali. Kiam Ki Sianjin lalu berkata kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

"Pak-lo-sian, bagus jika kau menjadi wakil fihakmu. Nah, dengarlah baik-baik. Fihak kami tidak menghendaki pertempuran yang terus-menerus di antara kita sendiri. Kaisar yang bijaksana sudah memberi kekuasaan kepadaku untuk memaafkan mereka yang pernah memberontak, asal saja mulai sekarang pemberontakan itu dihentikan. Bagi kami yang menyadari keadaan dan yang mentaati kehendak Thian, sangat tidak enak kalau harus membunuhi bangsa sendiri, walau pun mereka itu pemberontak-pemberontak keji. Oleh karena itulah, sengaja kami mengundang kalian datang untuk berdamai dan menghabisi pemberontakan-pemberontakan yang hanya melemahkan keadaan negara dan bangsa saja."

Ucapan ini disambut oleh tertawa mengejek dari Kiu-bwe Coa-li dan kembali pecutnya mengeluarkan bunyi bergeletar nyaring sekali. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa sambil mendongak ke atas.

"Kiam Ki Sianjin, kau memutar balikkan kenyataan, kau bukan mentaati kehendak Thian, bahkan ingin mengingkari dan hendak memutar jalannya sejarah! Rakyat yang berjuang melawan penindasan kekuasaan penjajah asing kau sebut sebagai pemberontak! Ada pun pemberontak asing yang hendak menjajah, bahkan yang kini telah menjadi penjajah kau sebut-sebut sebagai kaisar yang bijaksana! Kiam Ki Sianjin, di manakah mukamu sebagai orang Han? Hai, saudara-saudara sekalian yang sekarang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, apakah kalian bukan orang-orang Han? Patutkah orang-orang gagah melihat bangsa sendiri ditindas, tidak membantu perjuangan rakyat yang mulia, sebaliknya membantu kaisar asing penjajah hina dan suka menjadi anjing penjilatnya?"

Pak-lo-sian Siangkoan Hai berkata dengan penuh nafsu. "Cukup! Pak-lo-sian, kami mengundang kalian bukan untuk mengumbar nafsumu, bukan pula untuk saling memaki. Kami mengajak berunding, berdamai dan menghabisi semua pertempuran."

"Mudah saja untuk menghabiskan pertempuran, asalkan tuntutan rakyat dipenuhi," kata Pak-lo-sian.

"Apakah tuntutan rakyat itu? Coba terangkan!"

"Tuntutan rakyat ialah menyeret turun kaisar asing, mengusir semua penjajah dari tanah air dan mengangkat seorang kaisar bangsa sendiri. Kalau kalian semua yang berada di sini insyaf dan membantu perjuangan rakyat, hal ini kiranya akan mudah dilakukan dan habislah semua pertempuran!"

"Pak-lo-sian, kau terlalu sekali! Apa kau kira akan dapat memperlihatkan kekuasaanmu di sini? Kau benar-benar hanya mengeluarkan ucapan tanpa kau pikir baik-baik. Kau berani mencoba untuk menyeret kami membantu pemberontak?" Kiam Ki Sianjin marah.

"Basmi saja pentolan-pentolan pemberontak itu!" teriak seorang anak murid di fihak yang pro kaisar. Akan tetapi para tokoh besar yang menghargai kedudukan sendiri, tidak mau sembarangan mengeluarkan kata-kata.

Teriakan murid yang berangasan itu disambut oleh kawan-kawannya dan sebentar saja fihak itu menjadi ramai, senjata-senjata dihunus, siap menyerbu kalau ada perintah. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin mengangkat tangan mencegah mereka sehingga keadaan menjadi tenang kembali.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai serta kawan-kawannya hanya tersenyum-senyum mengejek, akan tetapi Sui Ceng, Swi Kiat, Kun Beng, dan empat orang tosu dari Kun-lun-pai telah kelihatan merah mukanya akibat menahan rasa marah.

"Pak-lo-sian, kau lihat sendiri betapa pernyataanmu yang tanpa dipikir itu membangkitkan rasa marah pada kawan-kawan kami. Pertentangan faham ini kiranya hanya akan beres menurut ketentuan senjata!" kata Kiam Ki Sianjin, yang kemudian disambungnya sambil tersenyum. "Kecuali kalau kalian suka mengubah pendirian."

"Pendirian kami sudah mantap, kami membenarkan perjuangan rakyat. Ada pun tentang penggunaan senjata di sini, kau yang mengundang kami dan kami datang bukan untuk berkelahi."

"Kau takut?" Kiam Ki Sianjin mengejek.

"Siapa takut kepadamu, tua bangka? Biar ada sepuluh Kiam Ki Sianjin, aku tidak takut!" tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li membentak marah.

"Tidak ada masalah takut atau tidak takut," kata Pak-lo-sian dengan suara seperti orang bernyanyi, "yang ada hanya dua kenyataan pahit. Pertama, kami diundang ke sini untuk berunding, bukan untuk berkelahi. Ke dua, apa bila tuan rumah sudah begitu tidak tahu malu untuk mengajak berkelahi, itu pun hanya memperlihatkan betapa rendah akhlaknya. Kami hanya berkawan sepuluh orang, sedangkan fihakmu ada seratus orang!"

Merah muka Kiam Ki Sianjin. "Tidak usah banyak mulut, Pak-lo-sian, memang kita sudah menjadi musuh lama. Pendeknya, kau berani atau tidak untuk memutuskan pertentangan faham ini di ujung senjata?"

"Aku datang bukan untuk berkelahi, kalau sudah tidak ada omongan lain, aku akan pergi dengan kawan-kawanku!"

Pak-lo-sian biar pun tua dan aneh wataknya, namun dia amat cerdik. la melihat bahwa fihak lawan amat besar jumlahnya, penuh dengan orang-orang pandai pula, maka kalau sampai terjadi pertempuran, fihaknya akan menghadapi bahaya. Dia sendiri dan Kiu-bwe Coa-li agaknya akan dapat meloloskan diri, akan tetapi yang lain-lain bagaimana?

"Ha-ha-ha, Pak-lo-sian, kau hendak melarikan diri?" Kiam Ki Sianjin berteriak mengejek. "Pak-lo-sian, kalau kau lari, terpaksa kami akan mengejarmu dan mencegah kau turun gunung sebelum persoalan ini dibereskan!"

Sekarang marahlah Pak-lo-sian. "Kiam Ki Sianjin, majulah kau, biar hanya kita berdua yang memutuskan hal ini di ujung senjata!"

Keadaan menjadi amat tegang dan mendadak terdengar suara Kwa Ok Sin yang cepat berdiri dan berseru,

"Cu-wi sekalian, harap tenang dulu. Sangat memalukan apa bila kita sebagai orang yang menjunjung kegagahan, bercekcok mulut seperti anak kecil yang hendak berkelahi! Apa sudah tidak ada jalan lain ke arah perdamaian antara kedua fihak? Bagaimana pun jalan pikiran dan faham masing-masing, harus diingat bahwa kita adalah segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan."

Semua orang berdiam diri. Tiba-tiba dari bawah puncak terdengar seruan keras,

"Cocok...! Memang pertempuran tak perlu dilanjutkan!"

Dari bawah puncak ‘menggelundung’ naik tubuh seorang hwesio yang gendut dan bulat, dan ternyata dia ini bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Tangan Kwan Cu kembali menggigil melihat hwesio bundar ini. Sekarang musuh besar gurunya telah lengkap berada di tempat itu. Akan tetapi dia harus menekan dulu semua perasaannya karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan besar, persoalan yang dulu pun diributkan oleh kongkong-nya, oleh gurunya sehingga mereka berkorban jiwa.

Dengan berbisik, tadi Kwan Cu bertanya kepada Yok-ong mengenai semua orang-orang yang berada di situ. Sesudah dia tahu siapa adanya hwesio tinggi kurus berjubah hitam yang pernah dilihatnya di malam hari, yakni Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo, dan melihat pula bahwa ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai berada di fihak Kiam Ki Sianjin, terbukalah mata Kwan Cu.

Sekarang tahulah dia akan rahasia peristiwa pembunuhan di kelenteng atas diri Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu dari Kim-san-pai. Kini dia sudah dapat menduga bahwa pembunuh kedua pendeta ini pasti Coa-tok Lo-ong yang membunuh secara diam-diam, kemudian meninggalkan kesalahan itu pada pundak Kiu-bwe Coa-li beserta Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dengan cara ini fihak Kiam Ki Sianjin tentu saja bisa menarik Bu-tong-pai dan Kim-san-pai untuk membantu mereka menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!

"Locianpwe, mengapa yang datang hanya mereka sepuluh orang itu? Di mana adanya tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang lainnya?" Kwan Cu bisik-bisik bertanya kepada Yok-ong.

Raja tabib itu tersenyum, "Kiam Ki Siajin memang sangat cerdik. Selain merencanakan untuk membasmi musuh-musuh besar di sini juga dia hendak memancing keluar semua pemimpin sehingga dengan mudah dia akan mengetahui siapa-siapa adanya pemimpin pejuang rakyat. Akan tetapi aku mendahuluinya dan aku memperingatkan mereka yang menjadi pemimpin pejuang sehingga tak seorang pun di antara mereka mau datang ke sini memperlihatkan diri."

Diam-diam Kwan Cu memuji kecerdikan Hang-houw-siauw Yok-ong. Tetapi raja tabib itu mencegah dia membuka mulut lagi, karena melihat munculnya Jeng-kin-jiu, keadaan di sana tentu menjadi lebih ramai.

Begitu tiba di puncak, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata keras,

"Cu-wi sekalian dari kedua fihak. Stop semua pertempuran yang tidak ada artinya! Untuk apa mengotorkan tangan, bertempur melawan golongan sendiri hanya karena pengaruh urusan pemerintahan yang kotor. Orang-orang macam kita ini apa perlunya mencampuri urusan kota raja? Lebih baik pulang kembali ke gunungnya masing-masing, bertapa dan memperdalam ilmu. Pinceng sendiri karena terseret oleh pengaruh busuk di kota raja, sampai bentrok dan salah tangan menewaskan seorang bekas sahabat baik. Ahhh, kalau diingat-ingat, sampai sekarang pinceng merasa menyesal setengah mati. Apakah Cu-wi hendak mengulangi kejadian seperti itu? Kaisar boleh turun dan naik, kerajaan musnah dan timbul, akan tetapi kesatuan kaum persilatan jangan sekali-kali sampai terseret dan menjadi berantakan dan pecah belah! Nah, pinceng sudah selesai bicara, harap Cu-wi suka memikirkan dengan kepala dingin."

"Jeng-kin-jiu, omongan busuk apa yang kau keluarkan itu?" tiba-tiba saja Hek-i Hui-mo melompat maju sambil melototkan matanya kepada Jeng-kin-jiu. "Dahulu kita bersama melindungi kaisar, sekarang kau akan menjadi orang yang mengkhianati kawan sendiri? Apakah kau tidak lebih baik membantu kami agar dosamu tidak bertumpuk-tumpuk?"

"Agaknya dia ketakutan melihat Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li!" mengejek Toat-beng Hui-houw sambil tertawa yang terdengar seperti ringkik kuda.

"Jeng-kin-jiu, sia-sia saja kau mencoba menginsyafkan mereka. Lebih baik jangan turut mencampuri urusan ini!" seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah naik darah melihat sikap fihak lawan.

Jeng-kin-jiu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu duduk di atas batu karang, kelihatannya berduka sekali. Kwa Ok Sin lalu berkata dengan keras,

"Kalau dua fihak tetap menghendaki kekerasan, siauwte sebagai ketua Bun-bu-pai hanya mengharap agar kedua fihak memperhatikan peraturan orang-orang gagah. Adu senjata ini harus dilakukan dengan cara yang adil seperti dalam pibu."

"Tentu saja," kata Kiam Ki Sianjin. "Yang mati tidak boleh dibuat dendam, yang terluka tidak boleh menyalahkan lawan. Fihak yang kalah selanjutnya harus menurut serta taat kepada fihak yang menang!"

"Bagus, Kiam Ki Sianjin. Biarlah ini hari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!" bentak Kiu-bwe Coa-li sambil melompat maju dan mengayun-ayun cambuknya dengan lagak menantang.

"Nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li. Bukankah tadi sudah diusulkan oleh Kwa-enghiong agar kita menggunakan peraturan? Nah, akulah yang akan memilih kawan-kawan di fihakku, siapa yang akan maju menghadapi fihakmu."

Setelah berkata demikian, Kiam Ki Sianjin mempersilakan kawan-kawannya yang hendak turun tangan. Serentak majulah dari fihaknya para tokoh besar yang memliki kepandaian tinggi seperti Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang, Kam Cun Hong, Hek-i Hui-mo, Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, Coa-tok Lo-ong dan masih ada beberapa orang anak murid Bu-tong-pai, Kim-san-pai dan juga murid-murid dari para tokoh itu sendiri.

Ada pun fihak Pak-lo-sian tentu saja hanya ada sepuluh orang itu yang kesemuanya siap membela nama baik mereka. Bahkan Sui Ceng lalu berkata kepada gurunya.

"Suthai, biarkan teecu yang maju lebih dahulu. Kalau teecu tidak dapat menang, barulah Suthai yang maju."

Kiu-bwe Coa-li tersenyum pahit. "Sui Ceng, apakah kau tahu bahwa pertandingan kali ini adalah untuk mempertahankan nyawa? Lawan terlalu banyak. Hanya menang lima kali saja belum ada artinya, dan kalau sekali kalah harus ditebus dengan nyawa."

"Teecu tidak takut!" kata Sui Ceng gagah. Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kun Beng dan pemuda ini pun berkata gagah,

"Teecu juga tidak takut dan akan mendampingi Ceng-moi."

Mendengar ini, Swi Kiat menjadi merah mukanya. Pemuda ini gemas sekali, akan tetapi juga berduka mengingat akan adiknya, Kui Lan. Namun pada saat yang genting seperti itu, dia tidak mau memikirkan tentang urusan pribadi dan dia pun bersiap-sedia untuk menghadapi fihak lawan yang amat banyak jumlahnya itu.

Yok-ong memberi isyarat kepada Kwan Cu, lalu berkata,

"Ah, kalau akan diadakan perang, lebih baik aku pergi. Hayo cucuku, kita pergi dari sini," katanya ketakutan.

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud Yok-ong, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu dan mengikuti kakek itu turun dari puncak. Orang-orang merasa geli melihat mereka, akan tetapi tidak ada yang ambil peduli.

Setelah tiba di belakang batu karang besar, Yok-ong lalu berkata, "Kwan Cu, mari kita periksa jalan keluar untuk mereka, supaya nanti dapat dipergunakan dengan baik."

Raja tabib ini berlari cepat sekali, diikuti oleh Kwan Cu. Setiba mereka di lereng, Yok-ong menunjuk ke bawah, "Kau lihat, serdadu kaisar telah mengurung bukit ini."

Benar saja, di kaki bukit itu, barisan besar sedang bergerak-gerak seperti semut. Kwan Cu terkejut dan gemas sekali.

"Tak usah khawatir, aku sudah mendapatkan jalan keluar. Lihatlah goa itu, kelihatan kecil hanya dapat dimasuki orang dengan jalan merangkak. Akan tetapi di dalamnya lebar sekali dan goa itu merupakan terowongan yang menembus bukit dan keluar di sebelah selatan pegunungan ini. Kalau kita semua mengambil jalan ini, takkan ada orang yang dapat mengejar atau mencegat kita. Kau ingatlah baik-baik, seorang di antara kita harus dapat menolong mereka keluar dari sini. Mengerti?"

Kwan Cu mengangguk. Memang, melihat keadaan lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan putus asa. Biar pun di fihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti akan kalah.

Setelah memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini menonton ke tempat itu dari balik batu karang.

"Locianpwe, kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat," kata Kwan Cu.

"Begitu pun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula," jawab Raja Tabib itu.

Keduanya lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.

"Ehh, kalian berani datang lagi?" Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.

"Cucuku ini yang terus memaksa, katanya hendak melihat orang bermain senjata untuk menambah kegembiraan," jawab Yok-ong ketolol-tololan.

"Hemm, jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu," kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

Yok-ong dan Kwan Cu memperlihatkan muka ketakutan, akan tetapi tetap saja duduk di tempat yang tadi.

Kalau di fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap, adalah orang-orang dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai bukanlah penjilat-penjilat kaisar. Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli tentang urusan kerajaan.

Mereka berdua datang hanya karena marah terhadap Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, karena dua orang tokoh itu sudah membunuh dua orang sute mereka. Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan.

Maka, melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.

Ada pun tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada para murid mereka untuk maju lebih dahulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh maju.

Kiam Ki Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,

"Pinceng dua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong mengeluarkan jago-jagonya!" Sambil berkata demikian, dua saudara ini menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Melihat bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, maka dua orang murid Kun-lun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru besar mereka, yakni Seng Thian Siansu yang sesungguhnya datang untuk menuntut balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka ia mengangguk menyetujui. Begitu pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.

Majulah dua orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Sesudah saling memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan hebatnya.

Ilmu silat dari Kun-lun-pai memang sudah sangat terkenal, maka kepandaian dari dua orang muridnya ini juga amat lihai. Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat.

Ada pun Mo Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian (Pian Pemecah Gunung). Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua, mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh.

Mo Keng Hosiang bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan. Pian-nya amat kuat, dan tiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar sehingga serangan kedua lawannya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!

"Celaka, dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh...," kata Kwan Cu perlahan kepada Yok-ong.

Diam-diam raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda itu diam-diam meraih dua butir batu kecil.

"Jangan, Kwan Cu. Di dalam pertandingan yang adil, tidak selayaknya kita turun tangan membantu, biar pun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur."

Kwan Cu tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng Hosiang!

Murid ke dua dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Dia berhasil menusuk pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Fihak kaki tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat.

Sebelum Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun Sui Ceng sudah berkelebat. Kini nona ini sudah berdiri dengan pedang di tangan, menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.

Pak-lo-sian tak dapat berbuat lain kecuali melompat dan menyambar dua jenazah murid Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka tidak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.

"Bu-eng Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua boleh maju bersama!" tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan dadanya.

Melihat bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, kedua orang hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.

"Nona, pinceng berdua tak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang di antara kami sebagai lawanmu!" kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.

"Gundul sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar lebih ramai!"

Mendengar ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.

"Semua orang yang berada di sini mendengar bahwa engkaulah yang minta kami maju bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik," kata Mo Beng Hosiang dengan mata merah.

"Tutup mulut dan majulah!" seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.

Mo Keng Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau pun melukai gadis yang begini cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar dalam segebrakan saja.

Melihat datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga sangat kuat, Sui Ceng tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati Mo Keng Hosiang ketika pian-nya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa seakan pian-nya yang berat itu membentur sehelai bulu saja kemudian tenaganya lenyap dengan sendirinya.

Kekagetannya bertambah saat terdengar suara bergeletar dan pipinya lantas terasa amat pedas dan perih. Dia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, dan itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.

Bukan main marahnya Mo Keng Hosiang ketika dia mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan membuta dia lalu mengayun pian-nya dan menyerang bagai badai mengamuk. Juga Mo Beng Hosiang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.

"Ji-wi Beng-yu, hati-hatilah, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!" kata Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa dimainkan oleh Kiu-bwe Coa-li.

Bu-eng Siang-hiap terkejut dan kini mereka tak berani memandang ringan. Dengan amat hati-hati mereka lalu bergerak seperti saat menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka berdua, sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan dengan tangan kilatnya.

Akan tetapi, ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi.

Dia pun menggunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu. Sabuknya yang lemas menghadapi pian, berusaha menangkap dan merampas senjata itu, ada pun pedangnya menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.

"Dia hebat... dia hebat sekali...," tak terasa pula mulut Kwan Cu berbisik-bisik dan kedua matanya memandang kagum.

Melihat lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum. "Bagus, Kiam Ki Sianjin akan mengalami hajaran pertama!"

Belum habis kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali. Dengan ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan sekarang sabuk itu meninggalkan pian kemudian menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng Hosiang.

Ujung sabuk merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan ginkang-nya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke atas lantai batu karang.

"Ngekkk!" Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi!

Sementara itu, pedang di tangan Sui Ceng tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke arah kepalanya, cepat ia mengerakkan tubuhnya, miring dan dari samping pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, pian-nya telah terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui Ceng!

Gadis ini tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali lagi dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.

Lima orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangannya Kam Cun Hong, panglima dari Si Su Beng.

"Curang...!" Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat untuk membantu Sui Ceng.

Akan tetapi sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang lawan roboh mandi darah!

"Mundur!" teriak Kiam Ki Sianjin.

Tiga orang perwira itu segera melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,

"Siapa di antara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?”

Terdengar suara ketawa bagaikan kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah menyeramkan itu melompat keluar.

"Kiam Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya. Aku sudah mengenal kuda betina liar ini!"

Melihat majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali. Sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan yang naik dari dadanya.

"Toat-beng Hui-houw, siluman jahanam! Andai kata kau tidak muncul, aku pun pasti akan mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan tenteram!” Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang menyerang dirinya.

"Sui Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!" seru Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini? Dengan pura-pura tidak mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring, gadis ini menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya laksana burung walet menyambar dan tubuhnya diselimuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.

Sesudah dahulu dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dan berjumpa dengan Kiu-bwe Coa-li, kakek yang seperti siluman ini merasa gentar, dan dia melatih diri sehingga memperoleh kemajuan pesat. Apa bila dibandingkan dengan dahulu ketika dia menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang sudah maju pesat dan jauh sekali.

Namun dia tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang pun dia tidak akan berani mengganggu Sui Ceng.

Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau kematian tidak boleh diurus panjang dan andai kata guru gadis ini akan membela, masih banyak kawan-kawannya yang gagah dan tangguh, oleh karena itu hati Toat-beng Hui-houw menjadi besar.

Serangan pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus mengejar dan menyerangnya, dia kemudian menggereng bagaikan harimau sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan hanya dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini dapat menjadi kaku lantas dipergunakan sebagai senjata.

Pedang Sui Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh besar ini begitu memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.

"Pergilah!" Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu.

"Brettt!" sabuk itu putus menjadi dua!

"Ceng-moi, hati-hatilah...!" Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.

Akan tetapi Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Sekarang ia mempergunakan pedangnya dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk dapat mengalahkan musuh besarnya ini. Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung.

Diam-diam Toat-beng Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Jika sekiranya akhir-akhir ini dia tak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknya akan sulit dan lamalah baginya untuk mengalahkan gadis ini.

Kemarahan dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.

Toat-beng Hui-houw marah sekali. Beberapa kali dia mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat sekali, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya.

Memang mudah saja baginya. Hanya dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.

"Sui Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!" kata Kiu-bwe Coa-li karena dia merasa ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.

"Biarkan teecu maju membantunya!" kata Kun Beng.

Akan tetapi Pak-lo-sian melarangnya.

"Tak boleh berlaku curang, biar pun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus mati sebagai orang-orang gagah!"

Terpaksa Kun Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa tunangannya didesak terus.

Juga Kwan Cu yang mengerti bahwa tidak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.

"Locianpwe, andai kata nona itu terluka oleh kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang mengandung bisa berbahaya, masih dapatkah dia tertolong?"

Yok-ong mengangguk. "Memang racun di setiap kuku jari Toat-beng Hui-houw itu dapat mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku sudah mempunyai semacam obat penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal saja lukanya tidak amat berat."

Kwan Cu segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan-lahan dia mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah akan tetapi tidak keburu.

Orang-orang di kedua fihak juga melihat hal ini. Akan tetapi oleh karena pemuda muka merah yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, maka tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Apa lagi keadaan sangat tegang dan semua mata memandang ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.

Sui Ceng benar-benar terdesak hebat. Dia memang nekat dan biar pun dia mendengar perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng sudi mundur dan mengaku kalah? Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah membunuh ibunya.

"Kalau aku tidak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!" pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.

Tiba-tiba Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengarlah suara nyaring.

"Krakkk!" dan pedang itu patah-patah menjadi tiga!

Sui Ceng masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan tangan kiri ke dada lawan!

Toat-beng Hui-houw tertawa lebar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng!

Nona ini maklum akan datangnya serangan maut. Segera dia miringkan tubuhnya, akan tetapi kalah cepat. Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng mengerahkah lweekang, lantas meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas, akan tetapi dia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku sudah memasuki luka pada pundaknya.

"Ha-ha-ha, kau boleh menyusul ibumu!" seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir.

Kiu-bwe Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat untuk menolong tunangannya.

Tiba-tiba kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,

"Tidak adil...! Tidak adil...!"

Ia berlari terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan juga marah.

"Mau apa kau?!" bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu.

Pemuda ini tahu bahwa dorongan itu pasti akan melukai dirinya. Akan tetapi karena dia mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng, maka dia pura-pura tidak tahu.

"Reeettt!” Robeklah baju pada pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw.

"Toat-beng Hui-houw, kau sungguh terlalu! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau melukainya?!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Sebenarnya bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang mukanya aneh itu, akan tetapi oleh karena pemuda itulah yang sudah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia membelanya.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,

"Ehh, kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?"

Walau pun bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa di kukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan atau sekaligus mampus. Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan?

la tidak tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia dapat dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga bisa itu untuk sementara dapat tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari pusarnya menuju ke pundak yang tergurat kuku berbisa tadi.

Dengan kedua tangan tuding sana tuding sini, Kwan Cu mengeluarkan suara mengomel panjang pendek dan berteriak-teriak, "Mana ada pertandingan macam ini? Masa seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah? Tidak adil sekali. Harusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan pemuda dan bocah juga melawan bocah. Ini baru enak ditonton. Masa kakek yang kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini halus?"

Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia cepat berlari-lari ke arah Yok-ong.

"He, kau mau bawa dia ke mana?" teriak Kun Beng yang segera mengejar.

"Dia mati, harus dikubur baik-baik," jawab Kwan Cu tanpa menoleh.

Yok-ong menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini segera menotok tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.

"Berikan dia padaku!" kata Kun Beng.

"Eh, ehh, ehh, kau ini pemuda mau apakah? Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut? Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!"

Kwan Cu segera membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang petani bodoh masih memiliki peri kemanusiaan yang begitu besar.

Kwan Cu tadi ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi kesempatan kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapa pun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia menurunkan gadis itu di atas tanah.

"Kau baik sekali, orang muda," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

"Sayang dia tak akan dapat tertolong lagi," kata Kiu-bwe Coa-li.

Suaranya tenang-tenang saja, akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di situ.

Akan tetapi Kwan Cu tak mempedulikan mereka semua, sekarang dia lalu mendekatkan mukanya pada leher Sui Ceng.

"Petani busuk, kau mau apa?!" Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan hendak memukul.

"Diamlah kau! Kenapa begitu ribut?" bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada anak muridnya dengan alis dikerutkan.























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12