Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 05
ANAK
laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa
mengeluarkan sepatah pun kata. Sui Ceng juga menyodorkan piringnya kepada Swi
Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka kemudian berjalan ke dalam rumah untuk
minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut
kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini.
Akan tetapi
Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan lantas mencela kepada Kun Beng,
“Suheng-mu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!”
Sebaliknya
Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.”
“Hm, memberi
kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya
karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!”
Dia
menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil
sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak
kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe
Coa-li)! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti engkau! Kelak kalau ada jodoh,
aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!”
Akan tetapi
Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka yang tidak senang. “Kalian
ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan sekali!” katanya
sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja dan menjadi
patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku hendak menantang kalian maju
melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat
mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu
lagi. Hayo, siapa berani maju lebih dulu?”
Sambil
berkata demikian, wanita sakti ini kemudian bangkit berdiri dan mengayun-ayun
cambuknya dengan sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat
orang laki-laki tolol.”
Melihat
sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun
Beng dan Swi Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang
seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?”
Karena
kata-kata ini diucapkan dengan keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian
Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari
bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan
Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, dia tidak pernah mau mengalah
terhadap siapa pun juga.
“Kiu-bwe
Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita
main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu
mengeluarkan sepasang kipas.
Inilah
senjata yang amat lihai dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas warna hitam
dan putih. Ia mempunyai ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hoat, yang
permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu
kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat
lihai ini, juga dia mempunyai ilmu silat tangan kosong yang jarang ada
bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang
memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, dia merasa rugi kalau harus
menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk
menghadapinya.
Dua orang
sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan
bergebrak ramai.
“Nanti
dulu!” berkata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya
yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di
tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan
perjanjian lebih dulu yang adil!”
“Apa
maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
“Kalau dalam
pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan
tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan
tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah
yang akan menghadapi lawan ke dua!” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu menerangkan.
Ang-bin
Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang
bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia segera melompat maju juga dan
sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak
mengusulkan sesuatu dalam rapat!
“Nanti dulu,
aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada
betulnya, akan tetapi masih kurang adil.”
“Cecak
kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” Jeng-kin-jiu bertanya sambil
tertawa lebar.
“Kalau
dibiarkan dua orang berhantam, biar pun ada yang menang, tentu si pemenang itu
sudah empas-empis napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus
menghadapi lawan ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh
tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan
pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan
dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”
“Hmm, hio
akan terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih.
Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Ang-bin
Sin-kai menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang
kembali untuk kedua kalinya.”
Semua orang
menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat-cepat menyalakan hio dan
ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang.
“Mulai!”
kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit
pertandingan!
“Lihat senjata!”
Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah
kipas yang dimainkan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali digunakan
untuk menangkis.
Seperti
diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka walau pun oleh pemegangnya
digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, saat tertangkis oleh kipas yang
mengebut akan bertolak kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku
lambat. Cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna
hitam sambil kerahkan tenaga gwakang.
Wanita sakti
itu cepat mengelak. Ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu
cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam
nyawa lawan!
“Satu
jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira
melihat dua orang kawan berhantam!
Serangan
Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu walau pun hanya bergagang satu,
akan tetapi karena ujungnya memiliki sembilan helai bulu panjang yang bergerak
masing-masing dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat
lihai.
Namun
Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya bisa
digerakkan hingga menimbulkan angin berputar. Dari mana pun juga bulu-bulu
pecut itu menyerang, selalu dia dapat mengebut senjata lawannya sehingga dia
terhindar dari bahaya maut. Ada pun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang
yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li.
“Guruku
pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya terus bergerak-gerak makan kue
mangkok. Dalam ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu
sehingga mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak lucu.
“Tak
mungkin! Guruku yang akan membikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat.
Sui Ceng
mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan
guruku, nyawanya tentu melayang ke akhirat!”
“Ssttt……!
Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja
siapa yang yang akan menang.”
Pertempuran
itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
dan Ang-bin Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu.
Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung
terus.
“Dua puluh
delapan jurus! Dua puluh sembilan…! Ahh, cukup! Hio-nya sudah padam lagi.
Tahan!”
Mendengar
ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai lalu melompat mundur sambil menahan
senjata masing-masing. Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li, sedangkan
Siangkoan Hai juga merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan
lawannya.
“Kau hebat,
Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya.
“Dalam babak
ke dua nanti kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li
dengan muka merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya.
“Hee, kau
jangan begitu bernafsu dan serakah, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela,
“Sekarang giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.”
Hek-i Hui-mo
dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga
Kiu-bwe Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi.
“Eh, ehh,
aku dulu!” Ang-bin Sin-kai berkata kebingungan setelah melihat dua orang yang
sama gundul, sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?”
“Cecak
kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i
Hui-mo Si Setan Hitam patut menjadi lawanku!”
Ketika
Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu
dan nyaring. Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan
jari tangan ke arah Jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo.
Memang lucu
sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor
babi kebiri yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan seram
dan galak, sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa.
Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi.
Akan tetapi,
ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya bukan main. Meja
sembahyang yang terkena sambaran pukulan mereka sampai bergerak-gerak, juga
lantai sampai tergetar dan beberapa macam barang yang letaknya terlalu tinggi
dan berada di atas meja, roboh terguling!
Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh
selatan ini adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah,
maka toya yang berat itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja
dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin
ribut!
Sebaliknya,
Hek-i Hui-mo juga memiliki tenaga besar, sedangkan Tongkat Kepala Naga
(Liong-thouw-tung) pada tangan kanannya, ditambah pula dengan tasbih di tangan
kiri, merupakan sepasang senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya
Jeng-kin-jiu.
“Tang! Tung!
Tang! Tung!” berkali-kali terdengar suara dibarengi bunga api berpencaran ke
sana ke mari kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya.
Menghadapi
pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini,
Sui Ceng, Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan
juga merasa ngeri. Mereka yang semenjak kecil telah terdidik ilmu dapat
membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan
batu karang, apa lagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu
dan Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan.
“Cukup! Hio
sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Pertandingan
kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang
digerakkan tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio
makin membesar dan cepat menghabiskan hio itu.
Kedua orang
hwesio itu menggelundung mundur dan saling menjura.
"Omitohud!
Jeng-kin-jiu benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa amat kewalahan
menghadapimu," kata Hek-i Hui-mo.
“Omitohud!
Apa bila dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat
dari pada tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji.
Sesudah
duduk kembali Ang-bin Sin-kai nampak termenung dan diam saja, agaknya dia
sedang memutar otaknya.
“Ehh,
pengemis bangkotan. Hayo kau maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan
gembira.
Memang
kelima orang ini adalah jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam
dunia ini tidak ada kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan
mengadu ilmu.
Akan tetapi
Ang-bin Sin-kai diam saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang
berpikir keras. Akhirnya dia mengangkat muka dan berkata dengan suara
bersungguh-sungguh, “Kita semua sudah melakukan kebodohan besar! Benar-benar
kita sudah tolol sekali, berebut mangkok butut yang kosong. Apa artinya kitab
itu? Ambillah siapa saja yang suka mengambil. Aku tidak butuh lagi.”
Semua orang
memandang heran.
“Ehh, apa
maksudmu, Ang-bin Sin-kai? Apa kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe
Coa-li.
Ang-bin
Sin-kai menggeleng-gelengkan kepala. “Pertempuran adalah bagus sekali untuk
menambah semangat di dalam kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa?
Apa artinya kitab itu tanpa penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai
seorang yang dapat menterjemahkan. Sekarang dia sudah mati, untuk apa kita
berebut kitab itu? Sekarang kitab itu tiada gunanya lagi!”
Mendengar
ucapan ini, bengonglah semua orang itu. Pikiran mereka baru terbuka dan mereka
pun saling pandang dengan tertegun.
Sambil
tertawa bergelak Ang-bin Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah.
Kalian lihat sendiri, siapa di antara kita yang dapat membaca kitab kuno ini?
Kalian tahu, aku seorang ahli sastra pula, dan aku tahu bahwa kitab ini usianya
masih lebih tua dari pada usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!”
Ia lalu
mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi.
Sambil membuka kitab itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang,
dan benar saja. Tulisan pada kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat
dibaca sama sekali. Hanya pada halaman terdepan ditulis dengan huruf besar dan
jelas ‘IM-YANG BU-TEK CIN-KENG’, akan tetapi selanjutnya tak ada satu huruf pun
yang dapat mereka baca.
“Ha-ha-ha!”
Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di
antara kita yang dapat membaca huruf pertama ini?”
Semua orang
memandang.
“Huruf
BENG!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bukan,
gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf
GO!” Ang-bin Sin-kai membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata
kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?”
Sambil
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena
setelah membuka-buka lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya
seperti gambar yang tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar
muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali.
“Aku tahu!
Anak kecil itu…” kata Kiu-bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan
berkata, “Sui Ceng, siapa namanya anak laki-laki murid Gui-suicai itu?”
“Namanya Lu
Kwan Cu!” kata Sui Ceng
Muka Ang-bin
Sin-kai berubah, “Anak kecil itu mana mengerti?”
“Belum
tentu!” kata Hek-i Hui-mo. “Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu
dia sudah mempelajari dari gurunya!”
Kembali
mereka bersitegang dan kini timbul harapan baru, maka mereka saling pandang
dengan penuh kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil
kitab itu lagi!
Ang-bin
Sin-kai mengangguk. “Baik! Sekarang diatur begini saja. Di sini ada tiga orang
anak murid Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Biarlah mereka membawa meja ini dan
kita berjalan di belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa
menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini.”
Demikianlah
The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang
itu bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Kecuali kitab itu yang berada di
tengah-tengah, semua barang di atas meja itu telah dilemparkan. Lalu
berangkatlah mereka.
Benar-benar
lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan
Swi Kiat memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang.
Dan di belakang ‘meja berjalan’ ini berjalanlah lima orang tua yang aneh!
“Hee, kenapa
meja ini menjadi berat?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia segera
membentak, “Bocah setan, jangan main-main!”
Kun Beng
yang juga menengok, terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu,
kini tidak lagi ikut memanggul meja, melainkan dia bergantung pada kaki meja
yang dipegangnya itu! Karena tubuhnya paling pendek, maka dia dapat begantung
sehingga boleh dibilang dia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi
Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi.
Benar-benar seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari
kelenteng yang diarak…..
***************
Kita ikuti
perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Meski
pun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh,
dan diperkuat pula dengan latihan-latihan semedhi semenjak dilatih oleh Loan
Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang sudah diterjemahkan oleh suhu-nya, yakni Gui Tin, namun
menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat
kesunyian.
Tadinya,
sesudah bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasa bahagia, dan
merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian sesudah dia berpisah dari
Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan
lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya
dan juga mencintainya. Maka dapatlah dibayangkan betapa sakit hatinya ketika
dia menyaksikan kematian Gui Tin.
Ketika dia
melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki
gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat ada sebuah rumah pondok yang reot
dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini.
Perutnya
terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni
Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan
purnama dan cahayanya terang sekali! Akan tetapi bagi Kwan Cu, bulan yang
bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan.
Kalau saja
dia tidak mempunyai hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis
tersedu-sedu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis. Dia keluar dari rumah
pondok reot itu dan duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika memandang
ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu
seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar kemudian
berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya.
Ia membuang
muka dan tak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang
semua daunnya sudah rontok, tinggal cabang-cabangnya saja dan membuat keadaan
menjadi makin sunyi.
Lu Kwan Cu
duduk dengan tangan kiri menunjang dagunya. Dia duduk termenung, tidak bergerak
seakan-akan dia telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu
tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak
sunyi dan sedih.
“Memang
betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan
jahat. Tergantung dari orang yang menggunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang
yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku
mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin
takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat
menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan
tetapi dimana aku harus mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar
aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.”
Selagi dia
duduk termenung, mendadak dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari
depan.
“Itu dia…!”
Ia mendengar suara seorang anak perempuan. “Hei… Kwan Cu...!”
Kwan Cu
mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu.
“Adik Ceng...!”
teriaknya girang.
Di dalam
kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan
rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat
betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki
yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah
mempermainkan dirinya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula
Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah
dikenalnya baik-baik.
“Anak baik!
Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.
“He, Kwan
Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” berkata Jeng-kin-jiu kak Thong
Taisu dengan suara gembira pula.
Kiu-bwe
Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini
terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji
dan manis.
Kwan Cu
adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu
bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini sudah diturunkan oleh tiga
orang anak-anak itu. Pada saat melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa
tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu!
“Cu-wi sekalian
datang mengejar teecu apakah hendak bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja.
“Benar-benar!
Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir
berbareng.
“Kau tentu
dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Kwan Cu,
kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu telah mengajarkan membaca
huruf-huruf aneh di dalam kitab itu, bukan?” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
berkata penuh gairah.
“Bagaimana
isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
“Lekas kau
baca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.
Hanya Hek-i
Hui-mo seorang yang tidak berbicara apa-apa, namun seluruh perhatiannya
dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya,
tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu
tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam
gudang kesusastraan lama dan apa bila perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku
tentang bahasa yang dipergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
“Tidak ada
gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu.
Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” berkata Kwan Cu
sambil menggelengkan kepala, kemudian memandang kepada lima orang itu dengan
sinar mata menyatakan kasihan!
Terdengar
seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih
dekat dengan sinar mata mengancam.
“Apa
katamu?”
“Jangan
bohong bocah!”
“Kuhancurkan
kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!”
Kwan Cu
menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi
semenjak dia dijejali buah coa-ko oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biar pun
menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja.
“Apa gunanya
aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul
palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.”
Di antara
lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai yang paling sayang kepada Kwan Cu.
Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia lalu
berkata, “Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa
besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli
silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali
saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu tak akan dapat
dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri
alasannya yang masuk akal!”
Kwan Cu
memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya,
setelah pengemis tua ini bicara dengan halus, dia melihat persamaan yang amat
mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!
“Locianpwe,
selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah
mempelajari sedikit ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar
dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi
seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan?
Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?”
Lima orang
tua itu saling pandang.
“Aku tahu,”
kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan
begitu?”
“Pinceng pun
tahu, memang betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,”
kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Tidak salah
lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang
semenjak tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis
pada jaman Kerajaan Shia.”
Berseri
wajah Kwan Cu. “Ehh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya.
“Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini
di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini
palsu!”
“Mengapa
demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur.
“Oleh karena
pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang tulen ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu
berani katakan bahwa kitab ini palsu!”
Lima orang
tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka
yang tiba-tiba menjadi amat kecewa.
“Tar! Tarr!”
Tiba-tiba
terdengar bunyi suara dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak
melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu
dan membelitnya!
“Hayo
katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu
ini! Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!”
Kwan Cu
merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin
mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan
pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini
tidak terasa amat mencekik lagi.
“Aku tidak
tahu.” Kata Kwan Cu.
“Bohong!”
bentak Kiu-bwe Coa-li.
Ia
menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat. Akan
tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan,
tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang
aneh!
Kekagetannya
ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan
ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher
anak itu sambil berkata,
“Kiu-bwe
Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata
demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia lalu memencet bulu pecut itu
dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu
terlepas lagi.
Kiu-bwe
Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia pun melihat
betapa tiga orang tua yang lainnya sudah mendekatinya dengan sikap mengancam
pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini
anak gundul inilah yang diperebutkan!
“Di mana
kitab aslinya?!” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu.
“Awas, jangan membohong!”
“Siapa yang
perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab
lapuk itu untuk apakah?” Kwan Cu berkata jengkel. “Guruku Gui Tin pernah
mengatakan bahwa memang ada kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng, akan tetapi
tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di
dalam sebuah pulau kosong yang sangat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah,
aku sudah bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat
bicara lain dan habis perkara!”
Memang hebat
sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, tapi
melihat ketabahan serta keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, sungguh luar biasa
sekali. Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan
ini mendekatinya.
“Kau hebat,
Kwan Cu...,” katanya.
Kwan Cu
hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng?
Aku hanya menimbulkan keributan belaka...”
Pada saat
itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya
awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba
menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas
meja kemudian melompat pergi!
“Bangsat tua
bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar.
Hebat sekali
serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang, kalau diulur terus ada
sepuluh kaki. Sembilan helai bulu pecut lantas meluncur ke arah bayangan Hek-i
Hui-mo dengan kecepatan luar biasa.
Namun, Hek-i
Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia
telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa
sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai.
“Trang!
Traaang!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu saat terhantam pecut
Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan
ke sana ke mari.
Hal ini
dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Sebaliknya, dalam kemarahannya Kiu-bwe Coa-li melakukan
serangan sepenuh tenaga.
Hek-i Hui-mo
tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Mendadak
menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari
atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkang-nya dan melompat jauh ke kiri.
Terdengar
suara keras karena ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon
menjadi tumbang. Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo.
Tentu saja
Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biar pun dia
lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng!
Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih meluncur ke
tubuhnya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung bagai belasan ekor tawon.
Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya.
Hek-i Hui-mo
cepat mengelak sambil berloncatan, akan tetapi tetap saja sebatang paku
menancap di pundaknya. Dia mengeluh dan menggigit bibirnya, kemudian mempercepat
larinya.
Ia di juluki
orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa
sekali. Apa lagi pada saat itu bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan
menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata. Empat
orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu?
Apa lagi
Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia
mempelajari kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut
apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai
menarik tangan anak gundul itu.
“Ang-bin
Sin-kai, nanti dulu!” berkata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa ke mana anak
itu?”
“Dia? Dia
adalah seorang anak yang sudah semenjak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab
Ang-bin Sin-kai. “Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik.
Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya
Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.”
“Siapa
bilang? Muridku masih kurahasiakan, tetapi kelak murid-murid kalian akan kalah
olehnya. Ha-ha-ha!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bagus!”
kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai
muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa di antara kita
yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing.”
Dia hendak
membawa pergi Kwan Cu, namun Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan
kata-katanya yang tajam dan mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi
mencampuri urusanmu mengambil murid, dan aku pun tak butuh dengan anak gundul
ini. Akan tetapi, aku masih curiga kepadanya. Bagaimana kalau dia tahu di mana
adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau hanya
pura-pura mengambil murid padanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab
itu? Aku kenal kecurangan lelaki macam kau!”
“Habis, kau
mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Anak ini
harus dibunuh! Dengan demikian barulah adil namanya jika kita saling berlomba
mencari kitab itu tanpa bantuan siapa pun juga.”
“Betul,
betul!” kata Siangkoan Hai.
Akan tetapi
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapa pun juga,
pinceng juga termasuk orang yang pernah menolong nyawa anak ini, bagaimana
sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya hendak direnggut orang? Apa lagi
pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau
kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai
untuk membela dan melindunginya. Sebaiknya diatur begini saja. Percayakah
kalian akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?”
“Aku
percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas.
“Aku pun
percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?”
“Biar dia
bersumpah bahwa dia tak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab
yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu.
“Bagus,
kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.
Akan tetapi
Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian
boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan
mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu.”
Tiba-tiba
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam
semua percakapan di dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia
paling cocok dan suka kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya
itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya.
“Suhu, teecu
pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta
oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.”
Ang-bin
Sin-kai membelalakkan sepasang matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Ehh,
bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?”
“Sekarang
teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus
setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?”
jawab Kwan Cu.
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak. “Boleh, boleh, biarlah aku bersumpah bahwa kalau aku
menggunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku si
pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke
dalam neraka jahanam!” Kemudian ucapannya ini disambungnya dengan suara
menyindir, “Andai kata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus
ditakuti?”
Kiu-bwe
Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah
Sui Ceng, memegang tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya
telah lenyap dari situ. Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi,
demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia
‘menggelundung’ pergi dari situ.
“Hayo kita
pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.
“Nanti dulu,
Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke
dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian dari kakek
angkatnya.
“Apa itu?”
tanya gurunya.
“Uang emas,
Suhu.”
Ang-bin
Sin-kai membuka kantong itu dan kedua matanya terbelalak melihat uang emas
sebanyak itu. “Ehh, dari mana kau dapatkan uang ini?”
“Dari
Kongkong (Kakek)!”
Mendengar
jawaban ini, Ang-bin Sin-kai jadi semakin tertegun. “Bocah aneh, siapa pula
kongkong-mu itu? Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?”
Lu Kwan Cu
tersenyum. “Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu
dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!”
Ia lalu
menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin
Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut
dan juga terharu sekali.
“Buang saja
uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.”
“Mengapa
dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?”
Kakek itu
melototkan matanya. “Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan?
Buang saja!”
“Sayang,
Suhu.”
“Eh, bocah
gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhu-mu?”
“Rakyat
banyak sekali yang menderita dan sengsara. Dari pada dibuang di sini, dan bila
ditemukan orang hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. bukankah
lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?”
Ang-bin
Sin-kai menarik napas panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku.
Sesukamulah.”
Maka
berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika ia
melihat betapa muridnya yang gundul itu sanggup mengikutinya, dia mempercepat
jalannya. Dan walau pun terlihat gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja,
bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk berlari cepat
agar bisa mengimbangi kecepatan suhu-nya…..
***************
Di pinggiran
sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang
besar, nampak pemandangan yang sangat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang anak
lelaki berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan
kaki terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah!
Baju anak
itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan hingga nampak perutnya yang
kecil, dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini diam
tidak bergerak dan kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan
tetapi wajahnya kelihatan berseri!
Ada pun di
bawah pohon, seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan duduk
bersandarkan batu. Tubuh pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang
menderita kelaparan. Apa lagi kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu,
tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya.
Ia memegang
seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular, ada pun tangan kirinya memegang
tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu
membuka mulutnya. Dan dari dalam mulut ular ini keluarlah suara mendesis-desis
dan mengebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini?
Anak itu
bukan lain adalah Kwan Cu, ada pun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah
kakek ini sudah menjadi gila, menggantung tubuh muridnya secara terbalik dan
makan ular beracun pula? Tidak demikianlah halnya.
Sesudah
membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan
murid ini melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka lalu
menuju ke bukit Liang-san.
Bagi Ang-bin
Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli. Maka, dia pun tidak
mau banyak bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke
Liang-san. Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada
Kwan Cu.
“Dari mana
kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?”
tanyanya.
“Teecu
pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.”
“Hemm,
seorang wanita yang baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji.
“Kemudian,
teecu menurut pada petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i
Hui-mo, yakni setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.”
Kali ini
Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Kau sudah membaca semua isi kitab palsu
itu?”
Kwan Cu
mengangguk. “Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang
teecu pelajari.”
“Coba kau
tidur terlentang,” gurunya memerintah.
Kwan Cu
menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang.
Ang-bin
Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kau
dapat dari pelajaran kitab palsu.”
Kwan Cu
mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni
menyedot napas dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Dia merasa
dadanya sakit, maka dia lalu melepaskan tenaganya itu.
Sebaliknya,
Ang-bin Sin-kai merasa betapa ada tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar
anak itu. “Sakitkah dadamu?”
Kwan Cu
mengangguk.
“Celaka
sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ahh, benar-benar kitab
itu palsu. Akan tetapi jika ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar
akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini
hebat, apa lagi aslinya. Kwan Cu, kau sudah mempelajari ilmu yang salah, karena
itu kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir
tenaga yang salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani
karena mesti melakukan latihan napas semedhi secara terbalik.”
Kemudian,
sejak hari itu kedua kaki Kwan Cu diikat, kemudian ikatan itu digantungkan pada
cabang pohon sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong!
“Dengan
begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan akan menyehatkan
paru-parumu yang sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan
perhatianmu dan tutup semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari
perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tidak enak sekali.
Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu supaya
aliran darahmu tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau
menjadi gila karena banyaknya aliran darah di bagian otak. Akan tetapi kalau
kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan
tubuhmu dari tenaga palsu itu!”
Demikianlah,
dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih
secara ini. Lebih hebat lagi, sering kali suhu-nya agaknya lupa untuk memberi
makan kepadanya sehingga pernah selama dua hari dua malam Kwan Cu tergantung
saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi
yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah
minta makan!
Akhirnya,
beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (semedhi) secara
tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga
pernapasannya menjadi normal kembali. Meski pun dalam keadaan tergantung, dia
telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya
supaya jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa
ringan sekali dan jalan pikirannya terang.
Kini dia
telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Bila dia hendak berlatih, gurunya
tidak lagi membantu. Dia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa
kain pengikat kakinya, lalu mengikat kedua kakinya pada cabang itu dan
menggantung dirinya!
Pada pagi
hari itu, ketika mereka sampai di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas,
seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon
dan gurunya duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai sudah tidur
mendengkur ada pun Kwan Cu sebentar saja juga sudah dapat mempersatukan panca
inderanya dan mengheningkan cipta.
Baik guru
mau pun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari
atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah
merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali!
Walau pun
gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan
sekali, namun kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tertidur dan Kwan Cu
tidak sedang bersemedhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar
daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini
telah mempunyai pendengaran yang amat tajam.
Tiba-tiba
terdengar Kwan Cu menjerit. “Suhu...!”
Ang-bin
Sin-kai melompat bangun dan betapa terkejutnya ketika dia melihat seekor ular
melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan
muridnya itu!
“Kwan
Cu...!” Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah
menangkap ular itu pada lehernya.
Sambil duduk
di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba
tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Dia
tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular!
Ia tidak
berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran
darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya
yang berarti anak itu takkan dapat ditolong lagi.
“Mudah-mudahan
tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni di dalam pusarnya,”
pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu.
Cara
satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah
ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di sana tidak ada mangkok atau apa saja
untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu
yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara
adalah dia harus dapat menyimpan darah ular itu di dalam mulutnya, lalu dia
akan menyemburkan darah itu dari mulutnya ke mulut Kwan Cu!
Demikianlah,
maka terlihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung bagaikan
mayat, dan kakek itu duduk sambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan,
meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk
mencari lobang guna menyedot darah ular itu.
Lidahnya
merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada
lidahnya. Akan tetapi dia terus menyedot hingga darah ular itu terkumpul ke
dalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus itu menggembung, karena mulutnya penuh
dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat
kakek itu nampak menyeramkan sekali.
Gerakan ular
itu makin lama makin lemah dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin
Sin-kai melemparkan bangkai ular, kemudian melompat lagi ke atas cabang. Dia
menggantungkan dua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan
membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya.
Pada waktu
dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena
melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka
lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut
muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian
dia mengerahkan hawa dari dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam
perut muridnya!
Kwan Cu yang
sudah siuman itu maklum pula akan maksud suhu-nya, maka dia lalu menerima darah
ular itu dan menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!”
seru Ang-bin Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah
berpindah ke mulut dan perut muridnya. “Tahan napas kemudian biarkan darah ular
itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!”
Kwan Cu
menurut pada petunjuk suhu-nya dan sebentar saja, dia merasa panas yang
menyerang tubuhnya mulai hilang. Ang-bin Sin-kai lalu menaruh telapak tangannya
pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa murni
untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi.
Setengah
hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah
mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya sudah tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai
baru menurunkan tubuh muridnya.
“Kau
selamat!” katanya dengan lega. “Akan tetapi aneh sekali kenapa kau tidak
muntah. Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular,
orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu.”
Kwan Cu
menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian
teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang
teecu merasa bahwa tubuh teecu sangat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan
racun ular itu ada khasiatnya yang lihai.”
“Mana
mungkin?” Gurunya menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko
(buah ular).”
“Teecu sudah
makan coa-ko, Suhu!”
“Hushh! Kau
kira mudah mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun semenjak dulu mencari
belum juga dapat.”
“Akan tetapi
teecu tidak membohong, Suhu.”
Lalu Kwan Cu
menuturkan betapa dia dulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah
ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu.
Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang
bernasib baik sekali.
“Hm, kalau
aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku tidak akan begitu
kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu,
kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang mana pun juga!”
Maka,
setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih dari tenaga yang didapatnya
dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih
muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah
ini merupakan tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki
kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat
tangan kosong…..
***************
Agar pembaca
tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, yaitu anak perempuan dari Pek-cilan
Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid Kiu-bwe Coa-li, baiklah
kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak dia
pergi meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para
anggota Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti.
Seperti
sudah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang
bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah
dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, karena itu timbul di dalam
pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong
Kiat.
Ketika masih
kecil, Ong Kiat ini merupakan kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka
menjadi tetangga dan di antara dua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka
dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok
Si dan berpisahlah mereka.
Dengan
terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati
ketika dia menikah dengan Bun Liok Si. Diam-diam dia maklum bahwa pemuda she
Ong itu cinta kepadanya.
Ong Kiat
yang sejak kecil juga belajar ilmu silat, kemudian menjauhkan diri dari dunia
ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh
Thian-san-pai. Selama itu mereka tidak pernah saling bertemu lagi.
Baru setelah
Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini
sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu
kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasanya, Loan Eng meninggalkan
puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri
pergi merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap
(pendekar wanita).
Memang sudah
menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk pergi merantau dan mempergunakan
kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat
terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan
Putih). Ia sering kali berpakaian warna putih dan karena kecantikannya disamakan
dengan bunga cilan yang harum, maka ia pun mendapat julukan ini. Selain itu,
Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias oleh
setangkai bunga cilan.
Seorang diri
Loan Eng menuju sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit
Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit
ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang
jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan
orang jahat ini lihai sekali.
Pek-cilan
Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti kata takut. Selain lihai ilmu
pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar.
Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam
tangannya dan biar pun ia sudah sering kali menghadapi orang-orang jahat serta
bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.
Setelah Loan
Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidak amanan daerah ini.
Banyak dusun yang sudah kosong ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya.
Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan
hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja.
Namun, Loan
Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Dia ingin sekali
mendatangi sarang gerombolan itu dan hendak membasmi gerombolan itu sampai
bersih.
Loan Eng
tidak mengetahui bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintai
dirinya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas
dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah pada waktu mata
mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang
langsing.
Setelah Loan
Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar
suitan keras sekali dan segera tampak berlompatan keluar anggota-anggota
gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang
laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang
belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang
sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang
muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan
Sin Houw (Harimau Sakti).
“Nona elok
dan gagah siapakah yang bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya
Sin Sai sambil memandang kagum, ada pun Sin Houw adiknya juga memandang dengan
mata penuh gairah.
“Namaku tak
perlu diketahui oleh gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku,
apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Jika betul,
cepat berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit
lagi.”
Semua orang
tertegun, karena mereka tidak mengira seorang wanita cantik akan berani
mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.
“Sai-ko, dia
ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil
berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng,
lalu dengan mulut menyeringai dia berkata, “Nona manis, walau pun kau bersikap
sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut
saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku
tidak akan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”
Sepasang
mata Loan Eng yang jeli dan bagus lantas bernyala. Sekali dia menggerakkan
tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan
kanan.
“Bagus sekali,
kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, apa bila tidak dapat
membasmi kalian anjing-anjing hina-dina ini, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!”
Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah
leher Sin Houw!
Melihat
sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, Sin Houw tidak berani memandang
ringan. Dari gerakan ini dia maklum bahwa pendekar wanita di depannya itu
mempunyai kepandaian tinggi, apa lagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak
terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang.
Cepat dia
menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang
lawannya terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng
sama sekali tidak terpental, bahkan telapak tangan kepala rampok muda ini yang
terasa sakit!
Dia berseru
keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya
karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika
goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan
menyerampang kedua kaki Loan Eng menggunakan gerak tipu Hong-sauw Pai-hio
(Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan
berbahaya.
Diam-diam
Loan Eng harus mengakui bahwa kepandaian kepala rampok muda ini tidak jelek,
maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih
yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu
goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Akan tetapi ilmu goloknya
masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng sehingga dalam beberapa
jurus saja Sin Houw sudah terdesak hebat.
Sin Sai
berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya
yang ternyata masih lebih tinggi dan lebih lihai dari pada kepandaian adiknya.
Juga para perampok diberi tanda sehingga sebentar saja Loan Eng dikeroyok
hebat.
Pendekar
wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan
pedangnya. Tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh
beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di
tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.
“Mundur...!”
teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.
“Kita
tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.
Mereka
lantas berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan
menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.
Akhirnya
mereka sampai di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng menjadi
terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah
gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan
pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!
Pek-cilan
Thio Loan Eng ragu-ragu. Dia memandang bangunan di depannya yang kini nampak
senyap. Tidak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua,
pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun?
Dia tidak
tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang
mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya
dan menggunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua
berada di dalam gedung yang besar dan memiliki pekarangan belakang yang luas
sekali ini.
“Hemm,
mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.
Sebagai
seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan sudah sering menghadapi
penjahat-penjahat, tentu saja dia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan
tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biar pun dia sudah bercuriga dan
menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, Loan Eng tak merasa takut.
Dihampirinya pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil
mengeluarkan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!
“Syuuut-syuuuut!
Syuuuuut!”
Banyak
sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau
saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh
anak panah ini. Akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali,
dan setelah tadi merobohkan pintu, dia melompat ke samping sehingga semua anak
panah itu mengenai tempat kosong.
Setelah
semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah
Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya, memasuki pintu yang sudah
tidak berdaun lagi itu. Dia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak
nampak seorang pun manusia.
Akan tetapi,
baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari
arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara
manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan.
“Tangkap
penjahat! Padamkan api...!”
Loan Eng
diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu
sarang gerombolan ini. Akan tetapi dia tidak tertarik, malah ingin terus
menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar
isak tangis dan dia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak
sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.
"Siapa
dia? Kenapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh
gerombolan," pikir Loan Eng. "Aku harus menolong dia." Setelah
berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan
menghampiri daun pintu kamar itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment