Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 04
ANAK ini
menurut saja dan ketika dia mulai membaca pelajaran itu, dia merasa kepalanya
sampai berdenyutan saking merasa aneh dan terheran-heran! Dulu dia pernah
menerima pelajaran siulian (semedhi) dari Pek-cilan Thio Loan Eng, juga sudah
pernah menerima pelajaran melatih napas, akan tetapi apa yang dia baca di kitab
ini benar-benar luar biasa sekali!
Dulu ketika
dia belajar siulian dari Loan Eng, dia diharuskan duduk dengan sikap tegak,
kedua kaki bersila dengan mata diarahkan kepada ujung hidung sendiri sambil
mengatur pernapasan dan mengosongkan pikiran. Sekarang apa yang dibacanya?
Beraneka
macam aturan tentang semedhi terdapat dalam kitab ini. Ada semedhi dengan
berdiri jungkir balik, yaitu kepala di atas lantai dan kedua kaki diangkat ke
atas, ada pula yang menggantung di atas pohon, dan berbagai macam cara yang
aneh-aneh lagi! Dan latihannya bernapas juga luar biasa anehnya!
Menurut
pelajaran yang diterima dari Loan Eng dulu, menyedot dan mengeluarkan napas
harus selambat-lambatnya dan sepanjang-panjangnya, pada waktu meyedot hawa
harus dikumpulkan di dada sehingga dada mengembung dan perut menipis, kemudian
di waktu mengeluarkan napas, dada harus dikosongkan dan seluruh hawa murni dari
dada harus ditarik ke dalam perut untuk memperkuat tian-tan sehingga dada
mengempis dan perut mengembung. Akan tetapi di dalam Im-yang Bu-tek Cin-keng
ini bahkan sebaliknya!
Kwan Cu
benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dasar dia berbakat baik sekali dalam
ilmu silat, maka ketika dia membaca ini, malam harinya ketika Gui Tin telah
mendengkur, anak ini lalu bersemedhi dengan cara yang tadi dibacanya di dalam
kitab itu, juga melatih pernapasan seperti yang dibacanya siang tadi!
Hasilnya
bukan main! Kwan Cu hampir gila karenanya! Jika saja dia tidak memiliki tulang
yang baik dan bahan bersih dalam dirinya, mungkin otaknya sudah menjadi miring.
Pada saat dia bersemedhi menurut kedudukan yang dipelajari dari dalam kitab,
yakni dengan kepalanya yang gundul di atas lantai dan kedua kakinya di atas
bersandar tembok, dia merasa kepalanya berdenyut-denyut karena semua darah
mengalir ke bawah dengan cepat.
Kemudian,
pada waktu dia hendak mengosongkan pikiran serta mengheningkan panca inderanya,
beraneka macam bayangan setan terbayang di depan matanya, dan berbagai macam
hal yang ngeri-ngeri teringat olehnya. Juga latihan pernapasan dengan cara itu
membuat perutnya merasa muak dan dadanya sakit.
Akan tetapi
karena dia memang keras hati, dia melanjutkan latihannya sampai beberapa hari.
Terjadilah hal yang aneh dalam dirinya. Ia merasa ada tenaga saling
tarik-menarik di dalam dadanya dan perjalanan darahnya mengalir sebentar cepat
sebentar lambat.
Ketika dia
telah melatih selama sebulan, dia sudah dapat membiasakan diri dengan cara baru
ini dan pada suatu tengah malam, dia mendengar buku-buku tulang pada seluruh
tubuhnya berbunyi keletak-keletuk! Dia tidak tahu bahwa karena latihannya ini,
dia sudah melenyapkan hasil latihannya yang dahulu.
Perasaan
tidak enak dan tarik menarik tenaga di dalam dadanya adalah pertempuran antara
tenaga latihan yang berlawanan. Dan ternyata bahwa cara latihan menurut kitab
rahasia itu lebih kuat sehingga dalam waktu beberapa hari saja tenaga latihan
cara baru ini dapat mengalahkan tenaga latihan yang dahulu!
Karena tiada
waktu untuk melatih diri dengan ilmu silat seperti yang diuraikan di dalam
kitab itu, maka Kwan Cu lalu membaca saja kitab itu seperti orang membaca buku
cerita! Akan tetapi dia membaca tidak sembarang membaca, melainkan menghafal
isi kitab itu sedikit demi sedikit.
Enam bulan
telah lewat. Kini Gui Tin telah menyelesaikan pekerjaannya menterjemahkan ilmu
perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Terjemahan itu diambil oleh An Lu
Shan untuk dipraktekkan, ada pun kitab aslinya masih berada di dalam kamar,
karena Gui Tin harus menterjemahkan ilmu-ilmu yang lain!
Dan pada
petang hari itu terjadilah hal yang hebat! Baru saja Gui Tin menutup kitab itu
setelah mulai menterjemahkan bagian pertama dari ilmu silat, tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar kamar dan tak lama kemudian pintu kamar itu
terbuka lebar.
Seorang
laki-laki bertubuh gemuk dengan baju terbuka di bagian dada sehingga nampak
dadanya itu brewok, juga mukanya penuh brewok, meloncat masuk! Gui Tin dan Kwan
Cu melihat betapa beberapa orang penjaga yang tadinya menjaga di luar pintu
kamar itu kini menggeletak malang melintang dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Laki-laki
brewok ini melihat kitab yang sudah dimasukkan ke dalam peti hitam dan ditaruh
di atas meja. Tanpa banyak cakap, dia melompat ke dekat meja, memegang peti
hitam itu dan berpaling kepada Gui Tin.
"Gui-siucai,
inikah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang lagi kau terjemahkan?" tanyanya
kepada Gui Tin dengan suaranya yang parau dan kasar sekali.
Gui Tin
mengangguk dengan wajah pucat. Orang itu menyambar peti dan juga tangan
kanannya menyambar Gui Tin yang terus dikempitnya dan hendak pergi dari situ.
"Jangan
kau culik guruku!"
Mendadak
orang itu merasa ada sambaran keras dari belakang menuju ke arah pundak
kanannya! Sambaran ini merupakan angin pukulan yang hebat, maka dia terkejut
sekali. Terpaksa dia melepaskan tubuh Gui Tin dan mengangkat tangan menangkis.
Ternyata
yang menyerang adalah Kwan Cu! Melihat gurunya hendak dibawa orang, anak ini
menjadi nekad dan memukul ke arah pundak orang itu dengan maksud merampas
gurunya. Tidak tahunya bahwa pukulan itu mengandung tenaga lweekang yang
didapat dari melakukan latihan siulian itu, maka juga hebat sekali datangnya.
Akan tetapi,
orang itu lihai sekali. Dengan keras lengannya menangkis dan tubuh Kwan Cu
terpental membentur tembok!
Orang itu
tertawa dan hendak menyambar tubuh Gui Tin. Akan tetapi pada saat itu dari luar
terdengar suara teriakan berkali-kali.
“Tangkap
penjahat!”
Orang yang
mencuri kitab itu melompat keluar dan disambut oleh An Lu Shan, An Lu Kui dan
Li Kong Hoat-ong sendiri dan di belakang mereka ini masih terdapat puluhan
orang perwira!
Ketika
melihat orang brewokan ini, Li Kong Hoat-ong, An Lu Shan dan An Lu Kui menjadi
terkejut sekali. Sebaliknya si brewok ini hanya tertawa saja menghina, sama
sekali tidak merasa gentar dan bahkan suara ketawanya menyatakan bahwa dia
memandang rendah semua orang itu.
“Ahhh, tidak
tahunya Hek-mo-ong Lo-taihiap yang datang berkunjung,” kata An Lu Shan sambil
menjura.
“An-ciangkun,
kau seorang perwira, untuk apakah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Apa lagi
Gui-siucai telah menterjemahkan bagian ilmu perangnya, yang lain-lain kau tak
perlu lagi. Oleh karena itu aku datang untuk mengambilnya, dan sekalian membawa
Gui-siucai pergi bersamaku.”
An Lu Shan
tidak berani membantah dan terlalu banyak berbicara. Dia sudah kenal akan
kelihaian Hek-mo-ong (Raja Iblis Hitam) ini yang di daerah utara namanya hanya
sebelah bawah Pak-lo-sian Siangkoan Hai saja. Akan tetapi, Li Kong Hoat-ong
tentu saja menjadi marah melihat lagak orang.
“Hek-mo-ong,
sudah lama aku mendengar namamu tetapi baru sekarang aku mendapat kehormatan
untuk bertemu muka. Tidak tahunya Hek-mo-ong yang memiliki nama besar itu hanya
seorang sombong yang tidak memandang muka orang lain dan hendak berlaku
sewenang-wenang tanpa kesopanan sedikit pun juga.”
Wajah
Hek-mo-ong tak berubah, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat
ketika dia berpaling kepada Li Kong Hoat-ong.
“Hemm…” Dia
mengeluarkan suara dari hidung, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah
kau adalah Li Kong Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu
apa kau mencampuri urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong,
habis kau mau apakah?”
“Hek-mo-ong,
kau benar-benar tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh
berbuat sesuka hatimu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih
mau banyak lagak?”
“Li Kong
Hoat-ong, apa kehendakmu?!” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman
maut.
“Tinggalkan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari
sini!” berkata Li Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi
ini telah meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan pada
tangan kanan dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri!
An Lu Shan
hendak mencegah akan tetapi dia sudah terlambat, karena telah terdengar suara
ketawa ngakak seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar
suara keras, disusul oleh melayangnya daun pintu yang sudah dicabut oleh
Hek-mo-ong dan kini menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong!
Li Kong
Hoat-ong cepat menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengarlah
suara keras lain. Daun pintu itu sudah pecah menjadi beberapa potong dan
pecahannya menyambar ke kanan kiri!
An Lu Shan
dan An Lu Kui cepat-cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain
yang kurang cepat sudah terkena sambaran potongan serta pecahan daun pintu ini
sehingga terdengar jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus
baju perang bagaikan pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada
saat itu juga!
Pertempuran
segera terjadi dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh
para perwira menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding,
siapa yang dapat dan berani memisahkan mereka? Sekejap saja yang nampak
hanyalah berkelebatnya pedang serta tongkat pada kedua tangan Li Kong Hoat-ong,
serta tubuh Hek-mo-ong yang berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali.
Sebentar
saja kelihatan betapa hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena meski pun dia
bertangan kosong, akan tetapi tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat
mengenai tubuhnya. Tiap kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan
yang dahsyat, yang tidak saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga
membuat bangunan di situ seakan-akan tergetar-getar!
Berkat
tubuhnya yang kuat, Kwan Cu yang tadi terlempar akibat tangkisan Hek-mo-ong dan
membentur tembok, tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong
gurunya bangun. Gui Tin cepat menyingkir ke tepi karena gentar melihat
pertempuran yang amat dahsyat itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton
dekat-dekat.
Anak ini
telah menghafal isi pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan
biar pun pengetahuannya terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah
mendatangkan dorongan sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua
tokoh besar ini! Ia diam-diam merasa gembira sekali bisa menyaksikan
pertandingan yang begitu hebatnya, dan biar pun dia merasa ngeri juga, akan
tetapi dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu.
Setelah
bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja
Iblis Hitam ini mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan
baginya untuk merobohkan lawan tidak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup
oleh hawa pukulannya saja.
Li Kong
Hoat-ong maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja. Pada
saat dia membacok dengan pedangnya dan berbarengan mengemplang dengan
tongkatnya, tiba-tiba Hek-mo-ong berseru keras sekali.
Kwan Cu yang
tadinya berdiri sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran
seruan ini yang menyerang serta melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya!
Demikian pula orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, semua merasa
seolah-olah lumpuh!
Berbareng
dengan pekik yang dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan,
bahkan menubruk maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia
membiarkan kepalanya dipukul tongkat!
Terdengar
suara keras pada saat tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan
Hek-mo-ong merasa kepalanya sedikit pening, akan tetapi dia berhasil
mencengkeram pedang yang patah menjadi dua potong! Sebelum rasa terkejut Li
Kong Hoat-ong hilang, Hek-mo-ong sudah menyeruduk maju dan menubruk dengan
kepalanya ke dada Li Kong Hoat-ong.
Terdengar
pekik mengerikan dan tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat
dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya sudah
remuk akibat terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga
setelah tubuhnya roboh terlentang!
Keadaan
menjadi sunyi, kemudian dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak ada
seorang pun berani bergerak.
“Ha-ha-ha!
An-ciangkun, lebih baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan
meributkan urusan kitab ini,” kata Hek-mo-ong.
An Lu Shan
maklum bahwa tiada gunanya menyerang orang luar biasa ini. Akan tetapi dia tahu
bahwa apa bila Gui Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya.
Hanya Gui Tin dan muridnya saja yang tahu bahwa ia telah mempelajari ilmu
perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar
mengetahuinya…, mungkin rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama
bertahun-tahun akan gagal!
Oleh karena
itu dia lalu menjura dan berkata,
“Lo-enghiong,
kami tak akan meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga
suka berlaku adil. Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau
jangan membawa pergi Gui-siucai, karena sebenarnya masih banyak sekali
penjelasan tentang terjemahan yang kami perlukan darinya. Apa bila kami sudah
selesai dengan dia, boleh Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan
kami harap saja Lo-enghiong tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan
ribu anak buah barisan kami yang telah teratur dan menjaga berlapis-lapis di
benteng ini.”
Hek-mo-ong
terdiam sejenak. Ia juga tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang
pandai sekali mengatur barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan
ribu tentara dan hal ini tidak boleh dibuat sembarangan.
Biar pun
kepandaiannya tinggi dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi jika harus
membobolkan pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas tentu dia akan
kehabisan tenaga dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya, mengapa dia harus bertindak
tergesa-gesa? Masih banyak waktu untuk mempelajari kitab itu, pikirnya.
Setelah
berpikir begitu, dia mengangguk. “Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena
sudah kesalahan tangan membunuh gurumu, namun seperti kalian menyaksikan
sendiri, gurumulah yang mulai lebih dulu.”
“Tidak
mengapa, Lo-enghiong. Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lajim di dalam
pertempuran kalau tidak menang, tentu kalah dan mati,” jawab An Lu Shan.
Kembali
Hek-mo-ong tertawa. Kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir.
kedua matanya mendelik dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini. Akan
tetapi dia membatalkan niatnya, lalu tertawa dan sekali tubuhnya berkelebat,
dia sudah melompat keluar dari rumah itu.
Pada saat
dia berlari keluar dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu sudah
terkurung rapat oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Dia merasa
girang bahwa tadi dia tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik
Gui-siucai, pikirnya.
Mengapa An
Lu Shan berlaku demikian lemahnya? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan
pasukannya untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak sedemikian bodoh untuk
mengorbankan anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik.
Pada waktu
dia tadi melihat peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa
Hek-mo-ong tidak akan dapat hidup lama di dunia ini. Selain peti itu mengandung
rahasia sehingga kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang
menyambar ke luar, juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat.
Jika tangan
Hek-mo-ong telah terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya,
pasti Raja Iblis Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya? Dia tahu ke
mana harus mencari Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik
supaya mendatangi tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung
Hek-mo-san. Bila iblis itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu.
Dan dia
sengaja menahan Gui Tin, sebab selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja
yang pernah membaca Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biar pun kitab itu sekarang berada
di tangan Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan!
Karena itu,
setelah Hek-mo-ong pergi, An Lu Shan lalu mengumpulkan orang-orangnya yang
paling cakap untuk pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis
itu, sekalian kalau iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil
kembali peti kitab tadi.
Akan tetapi,
setelah serbuan Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,
berturut-turut terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu
Shan.
Pada
keesokan harinya, baru saja dia beserta yang lain-lain selesai mengubur jenazah
Li Kong Hoat-ong dan sedang duduk berunding di dalam ruangan tengah, tiba-tiba
datang penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas
tersengal-sengal bahwa ada seorang tokouw (pertapa wanita) yang sangat galak
dan memaksa masuk ke dalam benteng. Siapa saja yang menghalanginya lantas
dirobohkan dengan amat mudah!
An Lu Shan
dan An Lu Kui bergegas keluar, diikuti oleh beberapa orang perwira. Betapa
kaget hati mereka ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa.
Seorang tokouw yang tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh
seorang gadis berusia delapan belas tahun, jalan mendatangi.
Tangan
kirinya menggandeng seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik
mungil, tangan kanannya memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Dia
berjalan maju terus dan setiap kali ada prajurit yang hendak menghalanginya,
dia menudingkan ranting itu kepada prajurit yang menghadang dan prajurit itu roboh
sambil memekik keras dan ternyata bahwa prajurit itu telah tewas!
Berdiri bulu
tengkuk An Lu Shan saat menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa
ini! Siapakah iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba
untuk melarang orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia
sendiri lalu cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam
dia menyuruh barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apa bila tokouw
itu datang dengan maksud kurang baik.
Sambil
tersenyum-senyum mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi lantas
memasuki benteng dan menuju ke ruangan besar di mana An Lu Shan duduk menanti.
Dengan melihat bendera yang berkibar di atas ruangan itu, mudah saja bagi
tokouw ini untuk mencari di mana adanya komandan benteng. Dia melangkah masuk
dengan sikap tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja.
Setelah
masuk ke dalam ruangan itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu
Shan. Perwira ini segera berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi
sebelum dia membuka mulut, terdengar seruan nyaring.
“Ehh, adik
Ceng...! Kau di sini...?”
“Hee...!
Bukankah kau adalah Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng
tangannya oleh tokouw itu.
Kwan Cu yang
kebetulan keluar bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun
Sui Ceng, puteri dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang telah
banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, dia
tersaruk-saruk maju menghampiri dan menjura.
“Dunia ini
ternyata sempit sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara
ini akan dapat bertemu muka dengan Kiu-bwe Coa-li Suthai dari ujung selatan!”
Tokouw itu
nampak tertegun, kemudian ia mengerutkan keningnya. Setelah memandang beberapa
lama, dia lalu tersenyum dan berkata dingin, “Hemm, tubuhmu sudah reyot dan
lelah, akan tetapi matamu masih tajam sekali, Gui-siucai. Kita bertemu baru
satu kali ketika masih muda, namun kau betul-betul tidak melupakan muka orang.”
“Siapa dapat
melupakan wajah dan bentuk badan Kii-bwe Coa-li Suthai dari selatan?” jawab Gui
Tin sambil tersenyum pula.
Sementara
itu, pada saat mendengar bahwa tokouw yang berada di depannya itu adalah
Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan) yang namanya amat terkenal dan
ditakuti oleh semua orang kang-ouw, An Lu Shan menjadi terkejut sekali sehingga
dia merasa betapa belakang lehernya menjadi dingin. Ia cepat maju dan menjura
dan berkata,
“Ah, tak
tahunya Locianpwe yang datang mengunjungi tempatku yang bobrok ini. Mohon
banyak maaf karena siauwte tidak tahu maka tidak keluar menyambut.”
Tokouw itu
mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya.
“Anak buahmu
sudah menyambut baik-baik, mengapa kau bersungkan? Lagi pula, siapa sih yang
mengharapkan sambutan? Aku bukan kaisar!”
Muka An Lu
Shan menjadi merah. Akan tetapi biar pun dia disindir, toh hatinya senang juga
mendengar bahwa tokouw ini tidak suka kepada kaisar.
“Maaf,
maafkan!” katanya merendah. “Bolehkah kiranya siauwte mengetahui kedatangan
Locianpwe ini membawa maksud mulia yang manakah?”
“Tidak
bermaksud apa-apa, hanya minta kau menyerahkan padaku kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng.”
Hemm, ini
hebat, pikir An Lu Shan. Jadi kitab itu sudah demikian digilai oleh orang-orang
pandai di dunia. Baiknya dia telah mendahului mempelajari bagian ilmu
perangnya.
“Bagaimana?”
tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li mendesak sambil menggerak-gerakkan ranting di tangannya.
Ternyata
bahwa itu bukan ranting biasa, melainkan gagang sebatang pecut yang panjang dan
halus sekali. Pecut itu terdiri dari sembilan helai tali yang halus akan tetapi
kuat dan merupakan senjatanya yang luar biasa. Oleh karena tali-tali yang
sembilan helai ini bisa bergerak-gerak hidup bagaikan ular-ular kecil, maka dia
lalu dijuluki Ular Betina Berekor Sembilan!
Satu saja
dari sembilan helai tali ini ia gerakkan untuk menotok jalan darah seperti yang
diperlihatkan tadi terhadap para prajurit yang menghadangnya cukup untuk
membunuh seorang manusia. Dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya
kepandaian tokouw ini!
“Locianpwe,
sungguh kebetulan sekali. Kalau saja siauwte tidak kehilangan guru siauwte
dalam urusan ini, tentu siauwte sudah tertawa geli mendengar Locianpwe datang
hendak minta kitab itu.”
“Apa yang
telah terjadi?” Sepasang alis tokouw itu bergerak-gerak dan kedua matanya
demikian tajam sehingga An Lu Shan tidak kuat untuk menentang lama-lama.
“Baru
terjadi kemarin, Locianpwe. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kau minta itu
telah dirampas orang dan suhu-ku Li Kong Hoat-ong bahkan sampai tewas melawan
orang itu.”
“Lekas
bilang, siapa yang merampasnya?” seru tokouw itu yang sama sekali tidak peduli
tentang kematian Li Kong Hoat-ong.
“Dia adalah
Hek-mo-ong yang tinggal di Hek-mo-san...”
Secepat
kilat Kiu-bwe Coa-li memutar tubuhnya menghadapi Gui Tin.
“Betulkah
demikian?”
Gui Tin
hanya mengangguk dan diam-diam sastrawan ini tidak suka melihat sikap tokouw
ini. Apa lagi setelah dia melihat bahwa tokouw ini sudah membunuh banyak
penjaga di luar benteng!
Kiu-bwe
Coa-li hendak pergi, akan tetapi ternyata Sui Ceng yang tadi masih digandeng,
telah melepaskan gandengan tangannya dan anak itu sekarang nampak
bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki gundul.
“Sui Ceng,
mari!” seru tokouw ini dan sekali ia mengulur tangannya, ia mendorong Kwan Cu
sehingga anak ini menggelundung seperti bola.
Akan tetapi
Kwan Cu cepat melompat lagi dan menuding kepada Kiu-bwe Coa-li sambil berkata,
“Mengapa kau begitu galak? Aku tidak suka melihat adik Ceng menjadi murid
seorang galak! Ketahuilah, adik Ceng sudah diserahkan kepadaku untuk kujaga dan
bila kau memperlakukan buruk padanya...”
Melihat
betapa anak laki-laki gundul yang didorongnya itu tidak apa-apa, bahkan barusan
mengeluarkan ucapan yang mengancam kepadanya untuk membela Sui Ceng, Kiu-bwe
Coa-li menengok dan memandang terheran-heran. Hebat sekali anak gundul ini,
pikirnya. Dia lalu ia berbisik kepada Sui Ceng dan anak perempuan ini berkata,
“Engko Kwan
Cu, guruku ini baik sekali kepadaku! Ehh, aku ingin tanya, betul-betulkah
penuturan mereka tentang Hek-mo-ong?”
Kwan Cu
maklum bahwa tokouw ini masih tidak percaya penuh kepada An-ciangkun dan
Gui-siucai, maka menggunakan Sui Ceng untuk bertanya kepadanya. Dengan
demikian, itu berarti bahwa tokouw itu lebih percaya kepadanya! Hanya dalam
sekejap mata saja anak yang berkepala gundul dan berotak cerdik ini bisa
menghubung-hubungkan sesuatu dan menarik kesimpulannya pada saat itu juga!
“Adik Ceng,
biasanya, orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain itu mempunyai watak
yang tak dapat dipercayai pula. Karena hendak mengukur watak orang lain seperti
wataknya sendiri, maka dia selalu merasa khawatir kalau dibohongi orang!”
Sui Ceng
tentu saja tidak mengerti akan maksud jawaban yang menyimpang dari pada
pertanyaannya tadi, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li merasa sekali akan sindiran yang
amat tepat ini. Anak gundul itu seakan-akan dapat membaca pikirannya!
“Keparat
gundul!” bisiknya.
Sekali dia
menarik tangan muridnya, kemudian menggerakkan tubuhnya, berkelebatlah
bayangannya dan lenyaplah tokouw ini dari hadapan mereka! Kali ini, ketika berlari
cepat keluar dari benteng, bayangannya hampir tidak dapat terlihat oleh para
penjaga!
“Hebat...!”
An Lu Shan berkata. “Celakalah Hek-mo-ong kalau bertemu dengan dia!”
Baru saja
keadaan mereda setelah tokouw itu pergi, tiba-tiba terdengar suara di atas
genteng, suara yang kecil tinggi. “Omitohud! Pinceng hanya datang mengganggu
saja!”
Dan
tiba-tiba genteng di atas ruangan itu pecah beterbangan, lalu tubuh seorang
hwesio yang gemuk seperti gajah menerobos turun dari lubang di atas genteng
itu! Walau pun tubuhnya besar dan gemuk, hampir sama dengan tubuh Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu, akan tetapi ketika kaki hwesio ini menyentuh lantai sama
sekali tidak terdengar suara apa pun, sungguh pun An Lu Shan yang masih duduk
dapat merasakan betapa bangkunya tergetar dan dia terpental sedikit ke atas!
Pada saat
semua mata memandang, ternyata bahwa hwesio ini berkulit agak kehitaman,
bermata lebar dan misainya tergantung menutupi dagunya. Jubahnya hitam
seluruhnya, hitam arang sehingga membuat mukanya yang berkulit kehitaman itu
kelihatannya agak bersih. Tangan kiri hwesio gemuk ini memegang serangkaian
tasbih, tangan kanannya memegang sebatang tongkat berkepala naga terbuat dari
logam kuning seperti emas.
“Hek-i
Hui-mo...,” terdengar Gui Tin berkata.
Hwesio ini
segera menjura kepada sastrawan ini.
“Gui-siucai,
kau masih tetap muda. Ha-ha-ha-ha, agaknya nasib akan menjodohkan kita sehingga
tak lama lagi pinceng akan berkumpul dengan Gui-siucai, bersama mempelajari isi
kitab!”
Setelah
suaranya yang halus mengeluarkan kata-kata ini, mendadak dia menggerakkan
tongkatnya ke depan An Lu Shan dan…
“Brakk!”
meja di depan An Lu Shan menjadi hancur sama sekali tertimpa tongkat itu, biar
pun dia hanya memukulkan perlahan saja.
An Lu Shan
terkejut luar biasa dan mencelat ke belakang, bersiap sedia karena maklum bahwa
dia kini berhadapan dengan tokoh besar dari barat, yaitu hwesio Tibet yang
telah menyeleweng dan sekarang mengadakan permusuhan besar dengan hwesio Tibet
aliran jubah kuning. Oleh karena penyelewengan inilah maka nama Hek-i Hui-mo
(Iblis Terbang Berjubah Hitam) amat terkenal.
“An-ciangkun,
pinceng tidak mau membuang banyak waktu. Lekas kau serahkan Im-yang Bu-tek
Cin-keng kepada pinceng!” kini suaranya berbeda sekali karena terdengar amat
ketus dan galak, mengandung ancaman hebat.
Akan tetapi
An Lu Shan sudah menjadi mendongkol sekali. Kalau sekiranya yang datang
bukanlah tokoh besar yang amat berbahaya ini, tentu dia akan menyerang
mati-matian dan menyuruh seluruh barisannya untuk maju mengeroyok.
“Hemm,
celaka sekali,” katanya, “kenapa hari ini aku betul-betul sial? Losuhu,
ketahuilah bahwa kemarin kitab itu sudah dicuri oleh Hek-mo-ong, bahkan baru
tadi Kiu-bwe Coa-li juga datang menanyakan. Sekarang Kiu-bwe Coa-li telah
menyusul ke Hek-mo-san.”
Seperti juga
Kiu-bwe Coa-li tadi, kini hwesio itu berpaling kepada Gui Tin dan bertanya.
“Betulkah itu, Gui-siucai?”
“Memang
betul demikian,” kata Gui Tin.
“Baiklah,
kau beristirahat dulu baik-baik di sini, Gui-siucai. Kalau sudah terdapat kitab
itu, pinceng akan menjemputmu di tempat ini!”
Sesudah
berkata demikian, sekali dia menggerakkan kakinya, tubuhnya yang gemuk itu
telah melayang naik dan menerobos melalui lubang yang tadi! Betul-betul hebat
ginkang dari hwesio gemuk ini, karena itu tidak mengherankan apa bila
julukannya adalah Iblis Terbang!
Celaka,
pikir An Lu Shan. Sekarang benar-benar hebat! Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah
dikejar oleh demikian banyak orang lihai. Tidak ada harapan sama sekali baginya
untuk mendapatkan kitab itu kembali!
Sesungguhnya,
yang pertama kali mendapatkan kitab itu adalah suhu-nya, yaitu Li Kong
Hoat-ong. Maka setelah suhu-nya itu meninggal, An Lu Shan menganggap kitab itu
telah menjadi haknya. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan besar untuk
mengambil kembali kitab itu dari tangan Hek-mo-ong yang lihai, tidak tahunya
kini muncul banyak tokoh yang masih jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada
Hek-mo-ong sendiri! Habislah harapannya dan diam-diam dia mengerling ke arah
Gui Tin. Untuk apa sastrawan tua ini dibiarkan hidup?
“Ia harus
mati!” demikian An Lu Shan mengambil keputusan.
Kalau dia
mati, biar pun seorang di antara tokoh-tokoh besar itu berhasil mendapatkan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, namun apa gunanya? Tak seorang pun selain
Gui-siucai mengerti akan bahasa tulisan kitab itu. Kalau sastrawan ini dibiarkan
hidup sehingga ada orang lain yang mampu membaca kitab rahasia itu, bukankah
hal itu berbahaya sekali?
Sekarang dia
sudah mempunyai barisan yang kuat dan siasat-siasat perang yang lihai. Apa bila
sampai ada yang mengerti rahasianya kemudian siasat-siasatnya itu dipecahkan
orang, bukankah itu akan celaka sekali?
Sementara
itu, terdengar Kwan Cu mengomel, “Benar-benar orang-orang tua itu sudah miring
otaknya semua! Kitab palsu diperebutkan!” Baru saja dia bicara demikian, Gui
Tin membentaknya dan baru Kwan Cu sadar bahwa dia telah berbicara terlalu
banyak. Ia menyesal sekali dan mendekap mulutnya sendiri.
Akan tetapi
An Lu Shan sudah bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri mereka.
“Coba
katakan, apa artinya ucapan tadi, Kwan Cu? Kitab palsu, apakah maksudmu?”
Kwan Cu tak
dapat menjawab, hanya berdiri memandang kepada komandan itu dengan mata terbuka
lebar-lebar.
Akan tetapi
An Lu Shan sudah menaruh kecurigaan dan tidak percaya akan keterangan ini.
Memang dia hendak mencari-cari alasan untuk melenyapkan guru serta murid ini.
Dia memegang tangan Kwan Cu dan menekannya keras-keras.
“Hayo kau
mengaku terus terang, benarkah kitab itu palsu?”
Kwan Cu
merasa tangannya sakit sekali, akan tetapi pada saat dia mengerahkan tenaga
lweekang-nya yang selama ini dilatih menurut petunjuk kitab itu, mendadak An Lu
Shan melepaskan pegangannya sambil berteriak kesakitan. Dari lengan anak itu
seakan-akan menolak hawa yang panas sekali.
“Keparat!
Kau bahkan sudah mempelajari isi kitab itu, ya? Hayo lekas katakan terus
terang!”
Kwan Cu
hanya tertawa, dan suara ketawanya ini mengobarkan kemarahan komandan itu.
Sekali dia mengayun tangannya, dada Kwan Cu telah dipukulnya.
Bila menurut
keadaan biasa, tentu dada anak ini akan pecah dan binasa di saat itu juga. Akan
tetapi, tubuh anak ini hanya terlempar jauh dan kembali seperti ketika dia
tertangkis oleh Hek-mo-ong, tubuhnya lalu membentur dinding. Anehnya, dia tidak
apa-apa, karena ketika dipukul dia kerahkan hawa murni yang dikumpulkan di
bagian dada yang terpukul sambil menahan napas sehingga tubuhnya seakan-akan
terisi hawa yang kuat dan tidak terluka!
Melihat
keanehan ini, semakin yakinlah An Lu Shan. Ia lalu menubruk maju dan kini dia
memegang lengan Gui-siucai.
“Kau
berbicaralah terus terang!”
Akan tetapi
Gui Tin menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mau menjawab pertanyaan ini. An
Lu Shan menggunakan tenaganya menekan dan…
“Krakk!”
terdengar suara dan ternyata tulang lengan Gui Tin telah remuk! Sastrawan tua
ini berjengkit kesakitan. Namun dia tetap menutup mulut.
“Jangan kau
sakiti guruku!” tiba-tiba Kwan Cu berseru keras.
Sekali
melompat, dia telah berada di depan An Lu Shan dan merenggutkan lengan An Lu
Shan yang menekan lengan Gui Tin. An Lu Shan merasakan sambaran angin datang
dari serangan Kwan Cu, maka cepat dia mengelak dan kakinya menyambar. Sekali
lagi Kwan Cu terlempar jauh.
An Lu Shan
sudah marah sekali. Dia berteriak memanggil penjaga-penjaga dan berkata keras,
“Tangkap mereka, rangket sampai mereka mengaku tentang kitab itu!”
Lima orang
tentara yang biasa menjalankan perintah menyiksa tawanan atau lebih tepat
disebut algojo-algojo, segera menyerbu dan sebentar saja Gui Tin dan Kwan Cu
sudah ditangkap, lalu diseret keluar! Seorang di antara mereka mengeluarkan
sebatang cambuk hitam dan mulailah guru dan murid ini dihajar, dicambuki
seperti dua ekor binatang yang mogok kerja.
Darah
mengalir dari kulit tubuh mereka yang tertimpa oleh cambuk. Tidak hanya pakaian
mereka yang butut itu yang terobek, bahkan kulit dan muka mereka juga
pecah-pecah mengeluarkan darah.
“Kwan Cu...”
Giu-siucai mengeluh dengan tubuh lemah terkulai, menggantung di tangan seorang
algojo yang memegangnya. “Carilah kitab aslinya, kau pelajari baik-baik, jangan
seperti aku... lemah... kepandaian bu penting sekali agar dapat menghadapi
orang-orang macam ini.”
Akan tetapi
dia tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya karena sebuah tendangan tepat
sekali mengenai ulu hatinya sehingga orang tua ini tiba-tiba merasa napasnya
terhenti dan dia megap-megap seperti ikan dilempar di darat.
“Kejam!
Kalian ini bukan manusia. Kejam!”
Kwan Cu
meronta dan berhasil melepaskan diri, lalu menubruk gurunya. Akan tetapi satu
ketokan dengan belakang golok membuat ia roboh terguling dan tangannya telah
dicekal lagi, lalu dicambuki sampai pakaiannya hancur dan anak ini menjadi
setengah telanjang!
Gui Tin
sudah payah sekali. Dan betapa pun kuat tubuh Kwan Cu, tanpa memiliki ilmu
silat, dia tidak berdaya dan agaknya guru dan murid ini tentu akan menemui
kematian di tangan para algojo ini yang sudah mendapat perintah dari An Lu Shan
untuk membunuh mereka.
Akan tetapi,
pada waktu itu terdengar bunyi gembreng dan tambur dari luar benteng dan
masuklah satu rombongan orang yang disambut dengan penghormatan besar oleh para
penjaga.
Penyiksaan
terhadap Gui Tin dan Kwan Cu otomatis dihentikan. An Lu Shan bersama An Lui Kui
nampak tergesa-gesa menyambut kedatangan tamu agung itu. Ternyata bahwa yang
datang adalah Menteri Lu Pin yang mendapat tugas dari kaisar untuk menaikkan
pangkat An Lu Shan!
Dari jauh Lu
Pin melihat kakek dan bocah pengemis itu dicambuki, maka begitu bertemu dengan
An Lu Shan yang menjalankan penghormatan, dia lalu bertanya,
“Siapakah
mereka itu dan mengapa dicambuki?”
“Ahh,
Taijin. Mereka itu adalah dua orang penipu besar. Mereka adalah guru dan murid
yang mengaku sebagai sastrawan dan yang kami perintahkan untuk menterjemahkan
sebuah kitab kuno. Tiada tahunya mereka menipu kami dan menyatakan bahwa kitab
itu palsu adanya.”
“Kitab kuno?
Apakah An-ciangkun maksudkan bahwa kitab itu adalah Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
Pucatlah
muka An Lu Shan mendengar ini. “Ahh, Taijin sudah mendengar pula tentang kitab
itu? Agaknya semua orang tahu akan kitab itu.”
“Tentu saja.
Siapa yang tak mendengar akan kitab yang diperebutkan oleh semua orang di
negeri ini? An-ciangkun, apakah kau benar-benar sudah menemukan kitab itu?
Kalau benar begitu, kenapa tidak kau antarkan ke kota raja?” Menteri tua ini
memandang penuh curiga dan selidik.
“Itulah
Lu-taijin. Kami memang telah mendapatkan kitab, akan tetapi kami masih merasa
ragu-ragu apakah kitab itu kitab yang asli, karena banyak kitab-kitab yang
dipalsukan orang. Dan karena itu pula kami segera memerintahkan kepada
sastrawan tua itu untuk menterjemahkannya. Tidak tahunya, dia menipu kami dan
kitab itu dinyatakan palsu.”
“Mana kitab
itu?”
An Lu Shan
menarik napas panjang. Kini dia merasa puas dan lega bahwa kitab itu telah
dirampas orang! Jauh lebih baik kitab itu jatuh ke dalam tangan para tokoh
kang-ouw dari pada jatuh ke dalam tangan pemerintah! Ia kemudian menuturkan
bahwa kitab itu telah dirampas orang. Menteri Lu Pin menghela napas dan
menyatakan sayangnya. Lalu dia menyuruh orang membawa datang dua orang pengemis
yang disiksanya tadi.
Setelah Gui
Tin dan Kwan Cu diseret di hadapan Menteri Lu Pin, kebetulan sekali Gui Tin
siuman dari pingsannya. Keadaannya sudah payah sekali, akan tetapi begitu dia
melirik dan bertemu muka dengan Menteri Lu Pin, dia segera membuang muka dan
meludah ke atas tanah.
Lu Pin
memandang dengan penuh perhatian. “Ahh, bukankah kau ini Gui-twako?”
Gui Tin
tetap saja membuang muka dan pandangan matanya penuh hinaan terhadap menteri
itu.
“Benarkah
kau Gui Tin...? Benarkah aku berhadapan dengan Gui-twako?” Menteri Lu Pin
kembali bertanya, bahkan kini dia turun dari tempat duduknya yang tadi
disediakan oleh seorang pengawalnya, lalu dihampirinya Gui Tin.
“Aku tidak
sudi berkenalan dengan manusia she Lu!” mendadak Gui Tin berkata dengan suara
keras dan marah sekali sehingga kembali dadanya terasa sakit dan dia pun roboh
pingsan!
“Lekas
tolong dia!” kata Lu Pin. “Dia adalah kenalan lama dariku. Hayo cepat tolong
dan rawat dia baik-baik?”
An Lu Shan
menjadi kaget sekali melihat bahwa menteri ini kenal baik dengan Gui Tin,
karena itu dia cepat menyuruh orang-orangnya untuk menolong Gui Tin dan Kwan
Cu. Kemudian Menteri Lu Pin lalu dibawa ke rumah gedung An Lu Shan yang berada
di luar benteng. Memang komandan An ini telah membawa keluarganya dari kota
raja ke tempat itu, akan tetapi karena merasa tak enak untuk tinggal bersama
keluarga dalam benteng, dia lalu membuah sebuah rumah gedung di luar benteng.
Lu Pin lalu
menyuruh An Lu Shan untuk membawa Gui Tin dan muridnya ke rumah itu pula untuk
dirawat. Akan tetapi keadaan Gui Tin demikian parah sehingga dia tak pernah
siuman lagi, kecuali satu kali di tengah malam ketika dia meninggalkan pesan
kepada Kwan Cu bahwa anak ini harus mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
“Kwan Cu.”
bisiknya di atas pembaringan. “Untuk mendapatkan kitab itu, satu-satunya jalan
hanya membaca dan mempelajari kitab sejarah yang masih kusimpan di dalam goa di
hutan siong di lereng Bukit Liang-san. Di dalam dusun di lereng bukit sebelah
barat, asal kau tanyakan di mana tempat tinggal Gui-lokai (pengemis tua she
Gui), tentu semua orang akan dapat memberi tahu. Goa itu kosong dan aku
menyimpan peti besi di bawah tanah. Bukalah dan carilah kitab sejarah yang
tulisannya sama dengan isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pelajari sejarah
itu dan kemudian kau carilah kitab itu. Dunia kacau balau, kekerasan dan
kekuatan selalu memegang peranan penting, kalau tidak dilawan oleh kekerasan
dan tenaga pula, kita tidak berdaya. Taatilah pesanku ini, Kwan Cu.”
Kwan Cu
mengangguk-angguk sambil mencegah keluarnya air matanya. Ia tidak mudah
terharu, tetapi melihat keadaan gurunya yang sangat dikasihinya ini, dia merasa
kasihan juga.
Gui Tin
meninggal dunia dan berkat pengaruh Lu Pin, dia dimakamkan dengan pantas di
dusun itu. Ada pun Kwan Cu yang bersembahyang di depan makam bekas gurunya ini,
merasa sunyi sekali. Tiba-tiba dia disuruh datang menghadap Menteri Lu Pin.
Setelah dia
berhadapan dengan menteri ini, Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa wajah menteri
ini benar-benar sangat agung dan mendatangkan rasa sayang. Gerak-geriknya halus
seperti Gui-siucai, dan amat peramah pula.
“Anak,
apakah kau murid dari Gui-twako?”
“Benar,
Taijin.”
“Apa saja
yang kau pelajari dari gurumu itu?”
“Membaca,
menulis, dan mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” Kwan Cu menjawab
terus terang.
Mendengar
jawaban yang lancar serta melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan
tidak merendah ini, Lu Pin merasa suka juga.
“Anak baik,
siapakah namamu?”
“Nama hamba
Kwan Cu.”
“Nama
keluargamu?”
“Hamba she
Lu”
Menteri Lu
Pin tercengang.
“Siapa orang
tuamu?”
“Hamba tidak
tahu. Nama dan she hamba juga hamba terima sebagai pemberian orang lain kepada
hamba,” kata Kwan Cu terus terang.
Mau tidak
mau Lu Pin tertawa juga. “Ahh, aneh sekali. Siapakah orangnya yang memberi she
Lu kepadamu?”
“Hamba
menerima she Lu itu dari pemberian seorang tua yang gagah perkasa, Ang-bin
Sin-kai.”
“Ang-bin
Sin-kai?!” Lu Pin benar-benar terkejut. “Ehhh, anak baik, masih ada hubungan
apakah antara kau dan dia?”
“Tidak ada
hubungan apa-apa, Taijin. Hanya Ang-bin Sin-kai hendak mengambil murid kepada
hamba, akan tetapi hamba tidak mau.”
Lu Pin
tertawa gembira. “Dia orang aneh, akan tetapi kau seorang bocah yang lebih aneh
lagi. Dan namamu itu, Kwan Cu, pemberian siapa pula?”
“Nama hamba
diberi oleh seorang hwesio gemuk bernama Kak Thong Taisu.”
Kembali
menteri tua itu tertegun. “Ahh, benar-benar kau bocah aneh sekali. Masih
sekecil ini sudah mengalami hal yang tidak sembarangan anak dapat mengalaminya.
Diberi she oleh Ang-bin Sin-kai, diberi nama oleh Kak Thong Taisu, menjadi
murid dari Gui-siucai, kini kau bercakap-cakap dengan aku! Ah, Lu Kwan Cu,
apakah kau tidak ingat lagi siapa adanya ayah bundamu?”
Kwan Cu
menggelengkan kepalanya. “Ayah hamba adalah langit dan ibu hamba adalah bumi.
Saudara-saudara hamba adalah semua manusia di dunia ini,” Kwan Cu menjawab
sambil meniru ujar-ujar yang pernah dibacanya.
Bukan main
terharunya hati Lu Pin mendengar ini. Ia melambaikan tangannya dan ketika Kwan
Cu mendekat, menteri tua ini lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya yang
gundul.
Sebagaimana
diketahui, Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang putera dan seorang cucunya
amat tidak berkenan dalam hatinya. Kini melihat Kwan Cu, timbul sukanya.
“Kwan Cu,
marilah kau ikut dengan aku saja ke kota raja. Kau akan kudidik dengan ilmu
kesusastraan, dan sungguh pun aku tidak sepandai mendiang gurumu, akan tetapi
kau akan berhasil dengan cita-citamu. Kau tinggallah bersama aku, kau kuanggap
sebagai cucuku sendiri, Kwan Cu.”
Terharu
sekali hati Kwan Cu. Belum pernah ada orang yang sikapnya demikian halus dan
ramah tamah kepadanya, apa lagi seorang pembesar tinggi seperti Menteri Lu Pin
ini.
“Hamba boleh
menyebut kongkong kepada Taijin?”
“Tentu saja,
karena dalam pandanganku, kau adalah cucuku sendiri, Kwan Cu.”
Saking
girangnya Kwan Cu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan menteri tua itu
dan tak tertahankan pula dua titik air mata kemudian mengalir turun ke pipinya
yang kurus. “Kongkong...” katanya.
Lu Pin juga
merasa terharu, segera dipeluknya anak itu. “Kau harus berganti pakaian,
cucuku, dan besok kau ikut aku ke kota raja.”
“Tidak,
Kongkong. Tidak sekarang. Biarlah kelak aku akan mencari Kongkong. Sekarang aku
mempunyai tugas lain yang lebih penting.”
“Tugas...?”
Menteri Lu Pin membelalakkan matanya. “Kau...? Tugas apa dan dari siapa,
cucuku?”
“Tugas yang
telah dipesankan oleh mendiang Gui-lopek, dan tugas itu adalah...” Anak ini
menengok ke kanan kiri, kemudian melanjutkan dengan perlahan, “tugas mencari
kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.”
Kembali
untuk ke sekian kalinya menteri tua itu tertegun. Kemudian dia menghela napas.
“Memang kau seorang anak ajaib! Benar-benar kau bocah ajaib! Baiklah, aku juga
tahu bahwa orang-orang aneh seperti Ang-bin Sin-kai dan kau tak akan mudah
dibantah. Kau pergilah, akan tetapi ingat bahwa aku selalu menanti kau sebagai
kongkong-mu!”
Sesudah
berkata demikian, Menteri Lu Pin lalu memberi bekal sekantong uang emas kepada
Kwan Cu, dan memberitahukan An Lu Shan agar semua anak buahnya jangan
mengganggu anak ini. Sesudah berpamit dan menghaturkan terima kasihnya, Kwan Cu
bersembahyang lagi di hadapan makam Gui Tin, lalu pergilah anak ini, menuju ke
Goa Liang-san untuk mencari simpanan kitab-kitab mendiang gurunya…..
***************
Sesudah
berhasil merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dengan hati gembira sekali
Hek-mo-ong berlari cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak gunung
Hek-mo-san. Ia tinggal bersama dua orang adiknya dan isteri serta ipar-iparnya
di dalam satu rumah besar di kampung yang cukup ramai, di mana dia dianggap
sebagai seorang tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang sejak bertahun-tahun
yang lalu, Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup
aman di dalam kampung ini.
Ketika dia
melangkah masuk ke dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya yang
juga dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar, yang
menyambutnya bersama isteri-isterinya yang cantik. Isteri Hek-mo-ong sendiri
masih muda, lagi cantik dan genit sekali. Melihat kegembiraan Hek-mo-ong,
mereka beramai-ramai mengajukan pertanyaan.
Akan tetapi
Hek-mo-ong hanya menjawab sambil tertawa-tawa. “Lekas bikin masakan yang enak,
keluarkan arak yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi
aku Hek-mo-ong akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian,
Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li!
Sebentar lagi, kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku,
mengakui keunggulan Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!”
Adik-adiknya,
ipar-iparnya, juga isterinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, karena
itu mereka tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya
sendiri. Maka, segera makanan dan arak disediakan lalu mereka makan minum
dengan gembira sekali.
Setelah
makan kenyang, barulah Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya,
meletakkannya di atas meja sambil berkata bangga.
“Lihat,
inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
“Twa-pek (Uwa),
mengapa kitab seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi
putera dari saudara termuda.
“Kau tahu
apa?!” bentak ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Kotak itu hanya
tempat saja, tentunya.”
Karena tidak
sabar lagi, mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Pada
waktu peti itu dibuka, kedua orang adik Hek-mo-ong menjenguk dari kanan kiri.
Hek-mo-ong tertawa-tawa, lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti
itu.
“Ser! Serr!
Serrr…!”
Berturut-turut,
tujuh batang anak panah yang secara pandai dipasang oleh An Lu Shan itu
menyambar ke atas cepat sekali. Kalau saja bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang
membukanya akan mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu.
Akan tetapi
Hek-mo-ong sudah mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Begitu melihat
menyambarnya cahaya hitam dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua
tangannya bergerak menangkis sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan
kiri.
Celaka
sekali, kedua adiknya yang menjenguk dari kanan kiri itu tidak sempat mengelak
dan tepat sekali muka mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh
tak berkutik lagi. Muka itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan.
Tentu saja
isteri-isteri mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat dua orang itu.
Hek-mo-ong sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi
sesudah mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi
kegembiraannya.
“Sudah,
jangan menangis lagi. Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka
baik-baik, dan kalian ini tidak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku
saja sebagai pengganti suami-suamimu.”
Tidak
seorang pun berani membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai
ukuran orang macam apa adanya Hek-mo-ong ini! Tanpa menghiraukan perkabungan
dan sambil tertawa-tawa, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab
yang baru saja dirampasnya itu.
Akan tetapi,
mendadak dia menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit.
Kedua tangannya bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa
betapa bagian-bagian tubuh itu terasa amat panas dan sakit.
“Celaka... keparat
An Lu Shan... aduh...!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu
terlempar ke atas lantai.
Isterinya
beserta ipar-iparnya memburu dan menubruknya.
“Aduh...”
Hek-mo-ong menjerit-jerit, ada pun mulutnya mulai berbusa. “Awas... peti itu...
jangan disentuh... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya
berbusa dan dia tidak bernapas lagi!
Apa bila
orang lain, tentu sudah semenjak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia
memegang-megang peti, kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar
seperti Hek-mo-ong, biar pun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan
tanpa mencuci atau membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di
tangannya terbawa masuk ke perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga
racun itu agak lama merobohkannya.
Isteri-isteri
dari tiga orang itu beserta anak-anak dan keluarganya, tentu saja menangis dan
sebentar saja di situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Pada waktu dua orang
adik Hek-mo-ong tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada
Hek-mo-ong. Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis
sepuasnya!
Dengan
dibantu oleh para tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, keluarga itu
lalu mengurus tiga jenazah itu. Dan atas perintah isteri Hek-mo-ong, peti hitam
itu lalu dibakar, ada pun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang yang
diletakkan di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti
mati Hek-mo-ong ditempatkan di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling
besar.
Pada
keesokan harinya, pada waktu orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio
mengebulkan asapnya bergulung-gulung, seorang tokouw datang ke tempat itu!
Tangan kanan tokouw itu memegang cambuk berbulu sembilan helai, sedangkan
tangan kirinya menggandeng tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik
manis. Tokouw ini bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng!
Pada saat
Kiu-bwe Coa-li melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang
menangis dan berkabung, dia mengerutkan keningnya. Ada pun keluarga Hek-mo-ong
segera menyambut tokouw ini, bagai layaknya menyambut seorang pertapa wanita
yang mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati.
“Silakan
duduk, Suthai,” kata mereka.
Kiu-bwe Coa-li
tidak menjawab, melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya
mencari-cari sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali.
“Di mana
Hek-mo-ong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara kereng.
Ditanya
demikian, isteri dari Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis.
“Suthai yang
mulia, suamiku telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi.
Kiu-bwe
Coa-li tertegun dan memandang tajam. “Yang mana petinya?” tanyanya pula.
Karena tidak
menyangka buruk, isteri Hek-mo-ong lalu menunjuk ke arah peti mati yang berada
di tengah-tengah sambil berkata, “Itulah peti mati suamiku.”
Dengan
langkah perlahan Kiu-bwe Coa-li lalu menghampiri peti itu. Sui Ceng tak senang
melihat peti mati, maka semenjak tadi dia sudah melepaskan tangannya dari
gandengan gurunya. Sekarang anak ini duduk di atas sebuah bangku dan memandang
ke arah meja sembahyang dengan perasaan heran serta kagum melihat hiasan-hiasan
dalam upacara sembahyang itu.
Kiu-bwe Coa-li
mendekati peti mati Hek-mo-ong, kemudian mengulur tangan kirinya dan
menepuk-nepuk peti mati itu beberapa kali secara perlahan. Semua orang
menyangka bahwa pendeta wanita itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka
menjadi terharu dan girang. Tidak seorang pun di antara mereka pernah mengira
bahwa tepukan-tepukan perlahan itu adalah serangan-serangan pukulan lweekang
yang dahsyat bukan main!
Ternyata
bahwa Kiu-bwe Coa-li masih belum percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan
diam-diam menyerang isi peti mati itu. Kemudian dia melirik ke arah peti mati
yang berada di kanan kiri peti mati Hek-mo-ong.
“Siapa yang
berada di dalam dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong.
“Mereka
adalah kedua adik suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesunggukan. Dan
kembali ramai orang-orang menangis di tempat itu.
Pada saat
itu terdengarlah suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok.
Ternyata, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu
sudah berdiri seorang hwesio gemuk bundar berpakaian serba hitam yang
berkali-kali menyebut nama Buddha.
“Omitohud!”
Kemudian, sambil mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis
neraka telah mendahului pinceng (aku) dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.”
“Hemm, Hek-i
Hui-mo, alat penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” berkata Kiu-bwe
Coa-li dengan senyum mengejek.
Hwesio itu
yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha!
Kiu-bwe Coa-li, kau benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!”
Setelah
berkata demikian, hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti
mati Hek-mo-ong. Akan tetapi yang dia pakai sembahyang bukannya hio yang
dibakar, melainkan tiga batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa
heran sekali, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu
sebenarnya bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut
Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam)!
Mulut hwesio
ini berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia
menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu! Orang-orang
lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira
hwesio gemuk ini main sulap.
Akan tetapi
Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah
menyambitkan jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti
mati dan telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti
juga dia sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya
akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati!
“Sebelum
mati, suamimu membawa sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah ditaruhnya
peti itu? Peti itu adalah milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan
kepadaku!” Kata Kiu-bwe Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong.
“Peti celaka
itu!” seru isteri Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh
suamiku dan adik-adiknya! Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!”
Terdengar
seruan tertahan dan tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li bersama Hek-i Hui-mo sudah
bergerak dan berdiri di depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas
sekali.
“Sudah
dibakar?!” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong
terkejut sekali.
“Dan isinya,
kitab itu... apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya
mengancam.
Kalau nyonya
itu menganggukkan kepala, tak salah lagi dia tentu akan mati dalam sekali pukul
oleh dua orang tokoh kang-ouw yang amat mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu
menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti
mati Hek-mo-ong.
“Itulah dia
kitab setan itu, yang tadinya berada di dalam peti hitam.”
Tubuh
Kiu-bwe Coa-li berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu. Akan tetapi
tahu-tahu di dekat kitab itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga
batang jarum hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke
belakang dan menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum!
“Aha, Hek-i
Hui-mo! Kau hendak main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang
mata tajam dan cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya.
“Kiu-bwe
Coa-li, kita datang di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tidak
boleh kau mau menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng!”
Dua orang
tokoh besar itu berdiri saling pandang dengan sikap mengancam. Keduanya sama
jauhnya dari meja sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih
dahulu berarti bahaya maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya
bergerak, tentu akan mengirim serangan.
Ada pun
keluarga Hek-mo-ong, ketika sadar dan tahu bahwa dua orang ini sebenarnya sama
sekali bukanlah orang-orang suci yang datang hendak menghibur mereka, bahkan
sebaliknya adalah orang-orang jahat yang datang hendak mengacau, menjadi panik
dan makin bersedih. Terdengar tangisan-tangisan dan sebentar saja keadaan di
situ menjadi gaduh sekali.
Tiba-tiba
terdengar suara orang mencela, “Hee, kalian ini apakah sudah gila? Menangis
tidak karuan padahal seharusnya bersyukur! Hayo diam semua jangan menangis,
kalau tidak akan kutampar mulutnya siapa yang menangis!”
Semua orang
terheran dan kaget sehingga suara tangisan benar-benar lenyap. Memang, seperti
biasanya di dalam sebuah kematian, sebagian besar tangisan orang hanyalah air
mata buaya belaka, yaitu tangis palsu asal keluar air mata saja agar
membuktikan bahwa mereka benar-benar berduka!
Ternyata
yang baru saja menegur adalah seorang kakek berpakaian seperti pengemis yang
tubuhnya kurus tinggi. Sesudah semua orang berhenti menangis, kakek ini lantas
bernyanyi! Suara nyanyinya yang parau itu mengucapkan kata-kata yang cukup
aneh!
Ahh, Hek-mo-ong!
Kau
benar-benar amat berbahagia!
Kau telah
kembali ke asalmu semula,
tidak
seperti kami yang masih menjadi manusia!
Ahh, kau
benar-benar berbahagia, Hek-mo-ong!
Kiu-bwe
Coa-li dan Hek-i Hui-mo yang tadinya saling pandang dan sudah bersiap-siap untuk
memperebutkan kitab di atas meja sembahyang itu, seketika air mukanya berubah
ketika melihat pengemis kurus kering ini.
“Ang-bin
Sin-kai, engkau juga datang? Kau tidak mau ketinggalan pula?” Kiu-bwe Coa-li
menyindir.
“Ha-ha-ha-ha,
tua bangka dari timur mana mau mengalah? Ada tulang baik dan daging gemuk,
tentu datang anjing!” Hek-i Hui-mo juga menyindir.
Akan tetapi
baik Hek-I Hui-mo mau pun Kiu-bwe Coa-li kini lebih waspada dan bersiap lagi
mengawasi gerak-gerik Ang-bin Sin-kai, menjaga jangan sampai pengemis kurus itu
mendahului mereka mengambil kitab di atas meja!
“Kau benar,
Setan Hitam! Memang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak boleh terjatuh ke dalam
tanganmu yang kotor!” Ang-bin Sin-kai yang dimaki itu tersenyum-senyum saja.
Mendadak
menyambar angin keras dan tubuh seorang lain yang gemuk bundar seperti tubuh
Hek-i Hui-mo, datang bagaikan ‘menggelundung’! Ternyata dia adalah Jeng-kin-jiu
Kak Thong Tiasu, tokoh pertama dari selatan.
“Omitohud,
bakal ramai sekarang!” katanya sambil matanya yang bundar itu jelalatan ke
kanan kiri. “Pengemis bangkotan, kau juga sudah ada di sini?” katanya kepada
Ang-bin Sin-kai.
Pembaca
tentu masih ingat akan hwesio gemuk ini, karena pada permulaan cerita ini, dia
sudah muncul bersama Ang-bin Sin-kai dan mengadu kepandaian di pinggir pantai
Laut Po-hai, maka tak perlu kiranya dituturkan pula betapa hebat dan lihai
kepandaian hwesio gemuk ini!
“Bagus,
bagus! Dengan munculnya si gundul gendut ini, benar-benar menggembirakan!”
berkata Ang-bin Sin-kai yang segera menyambar sebuah bangku dan menduduki
bangku itu. Matanya terus mengincar ke arah kitab yang terletak di atas meja
sembahyang.
Empat tokoh
besar ini telah mengetahui kepandaian masing-masing dan tak seorang pun di
antara mereka berani lancang bergerak untuk mengambil kitab itu. Sudah jelas
bahwa mereka semua datang untuk memperebutkan kitab itu, namun karena kitab itu
berada di atas meja dan mereka berempat sudah berada di sana, siapakah yang
berani lancang turun tangan lebih dulu? Oleh karena itu, Ang-bin Sin-kai
memilih tempat duduk, karena dia tahu bahwa menanti sambil berdiri saja amat
melelahkan.
Tidak
tahunya, akalnya ini diketahui pula oleh yang lain-lain, maka yang tiga orang
lagi pun segera menyambar bangku dan ikut duduk! Empat orang itu kini duduk tak
bergerak mengelilingi meja sembahyang dalam jarak yang sama jauhnya.
Masing-masing memutar otak mencari akal bagaimana dapat mengambil kitab itu!
Tiba-tiba
Kiu-bwe Coa-li berseru nyaring dan tahu-tahu pecutnya yang berbulu sembilan
helai itu menyambar ke arah meja. Ia hendak mencoba mengambil kitab itu dengan
ujung cambuknya.
Akan tetapi,
sebelum pecut itu mencapai kitab, sebatang tongkat berkepala naga datang
menyambar dan menangkis pecut itu sehingga terpental kembali! Ternyata Hek-i
Hui-mo yang duduknya paling dekat dengan Kiu-bwe Coa-li telah menangkis dan
menggagalkan niat wanita sakti itu!
“Eh, ehh,
nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li,” kata hwesio dari Tibet ini sambil tertawa
terkekeh.
Pada saat
Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu juga
memandangnya dengan senyum penuh arti. Senyum yang menyatakan bahwa mereka berdua
ini pun tidak akan tinggal diam saja kalau wanita tua itu turun tangan.
“Hemm, berat
nih...,” pikir Kiu-bwe Coa-li, lalu ia duduk kembali sambil mengerling ke kiri
kanan. “Apakah kalian begitu pengecut tidak berani mendahului turun tangan
mengambil kitab itu?” tanyanya.
Akan tetapi,
tiga orang kakek itu tidak menjawab, hanya duduk saja sambil tersenyum-senyum.
Benar-benar keadaan mereka lucu sekali, kini hanya duduk diam saja, bagaikan
empat orang kawan lawan yang baru bertemu dan mengobrol mengitari meja!
“Bagus,
baiknya aku belum terlambat!” mendadak terdengar suara halus dan datanglah
seorang kakek bertubuh pendek kecil diikuti oleh dua orang anak laki-laki di
tempat itu.
Semua orang
menengok dan ternyata kakek ini adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, tokoh besar
dari utara! Ada pun dua orang anak kecil itu adalah murid-muridnya, yakni Gouw
Swi Kiat dan The Kun Beng.
Dua orang
anak-anak ini sudah sering kali mendengar dari suhu mereka tentang empat orang
tokoh yang kini duduk mengelilingi meja sembahyang. Maka, mereka tidak berani
mendekat, lalu menghampiri Ben Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li, karena melihat
anak perempuan yang mungil dan cantik duduk di tempat agak jauh sambil
menonton.
“Bagus, tua
bangka dari utara sekarang sudah datang, kaulah yang boleh mulai mencoba
mengambil kitab itu. Bukankah untuk itu kau datang?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
Akan tetapi
Siangkoan Hai Si Dewa Dari Utara bukanlah seorang bodoh. Hanya melihat
sekelebatan saja, dia tahu bahwa empat orang ini tidak berani mengambil kitab,
karena kalau seorang mengambil, yang lain tentu akan mencegahnya. Ia tertawa
terkekeh-kekeh sambil memandang mereka berempat itu berganti-ganti.
“Heh-heh-heh!
Dunia ini ternyata tak lebih lebar dari pada setapak tangan. Tak kusangka bahwa
aku di sini akan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Jen-kin-jiu Kak Thong Taisu
dari selatan! Hek-i Hui-mo dari barat dan Ang-bin Sin-kai dari timur! Hebat
benar! Apakah seluruh dunia sudah terbakar oleh api neraka sehingga iblis-iblis
dan setan-setan datang berkumpul di sini? Dan berkumpul mengelilingi meja
kematian pula! Heh-heh-heh! Orang yang berada di dalam peti mati ini
benar-benar seorang yang beruntung dan terhormat. Kaisar sendiri kalau mati tak
mungkin dapat mengundang datang setan-setan dari barat, timur dan selatan!”
“Ehh, tua
bangka kecil, kau lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai.
“Ha-ha-ha!”
Jeng-kin-jiu tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri
sendiri?”
Disindir
oleh dua orang kakek itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia
menghampiri peti mati di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang yang
lain segera memandang dengan penuh perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian
Siangkoan Hai memandang peti mati itu, lalu berkata lagi,
“Ingin aku
melihat orang yang mendapat kehormatan demikian besar!” sambil berkata
demikian, dua tangannya bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan
suara keras, tutup peti itu telah dibukanya!
Semua keluarga
yang mati berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar,
cepat-cepat pergi dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena
kedatangan lima orang yang seperti iblis-iblis berkeliaran itu.
Pemandangan
yang nampak di dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh
racun jahat yang memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini sudah menjadi hitam
kebiruan. Akan tetapi sekarang, kepalanya telah pecah sedangkan di ulu hatinya
menancap jarum hitam! Inilah akibat dari pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li
yang tadi meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Hui-mo!
“Siancai,
siancai...!” Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali.
“Benar-benar Hek-mo-ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.”
Bun Sui
Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, segera berdiri
menonton semua itu. Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan
yang mengerikan itu. Bahkan Sui Ceng dengan senyuman yang membuat pipi kirinya
dekik, melirik ke arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu berkata,
“Guru kalian
itu bertubuh kecil, akan tetapi berkepala besar. Orang sombong seperti dia mana
bisa mendapatkan kitab?”
Mendengar
ucapan ini, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas lalu menjawab, “Kau bocah ingusan
tahu apa? Lihat betapa suhu kami akan merampas kitab itu!”
“Huh!
Sebelum dia menyentuh kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong
oleh tangan guruku!” kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah.
“Betulkah?”
seru Swi Kiat penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah terlebih dulu oleh
tanganku?” Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik
itu.
“Suheng,
kenapa mencari perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya
sendiri. Kita lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suheng-nya.
Mendengar
ini, Sui Ceng melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hatinya Sui Ceng
merasa jauh lebih suka kepada Kun Beng dari pada Swi Kiat.
Sementara
itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang tak mau membuang-buang banyak waktu untuk
menanti sambil memandangi kitab yang amat diinginkannya itu, tiba-tiba melompat
dan sekali sambar saja dia sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali.
Serentak empat orang tokoh yang lain bangun dan bergerak menyerang.
“Lepaskan
kitab itu!” seru Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya.
Siangkoan
Hai cepat mengelak, akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari
Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang
ini tentu saja tak bisa dipandang ringan, sebab kepandaian mereka setingkat
dengan kepandaian Siangkoan Hai.
Dengan kaget
Siangkoan Hai mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang
secepatnya, namun masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh
Ang-bin Sin-kai mengenai pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung!
Pada saat
itu, Kiu-bwe Coa-li telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu
Dewi Kwan Im Merampas Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah dapat
dirampas olehnya!
Kiu-bwe
Coa-li yang sudah dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan
hendak melarikan diri sambil membawa muridnya itu. Akan tetapi sebelum ia tiba
di depan Sui Ceng, di depannya telah menghadang Hek-i Hui-mo!
“Enak saja
kau mau membawa pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini
dan tasbihnya di tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li!
Serangan
hebat ini dapat mendatangkan maut, karena meski pun hanya berupa tasbih, namun
senjata aneh ini bukan main lihainya, merupakan segundukan cahaya putih yang
bulatan tasbih itu menghantam ke arah jalan darah di dada.
Kiu-bwe
Coa-li cepat menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan
bunga api berpijar ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar
mundur dan sebelum Kiu-bwe Coa-li sadar, ia hanya merasa kitab itu dibetot
orang dan terlepas dari pegangannya!
Ketika ia
menoleh, ternyata bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin
Sin-kai! Kakek pengemis ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu
tinggi-tinggi, seperti sikap seorang kanak-kanak yang menggoda kawan-kawannya.
“Jembel tua,
kau serahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil
mengulur tangan hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, ada pun
tangan kanannya menonjok dada pengemis tua itu!
Pada saat
yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga
tidak tinggal diam dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!
Ang-bin
Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan
walau pun dia melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya.
Maka dia cepat berseru, “Tahan serangan!”
Berkata
begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali.
Empat orang
yang menyerangnya tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu
pun hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada
di atas meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu?
“Hayo, siapa
berani mengambil kitab itu, dialah jagoan sejati!” Ang-bin Sin-kai tertawa dan
kembali menduduki bangkunya yang tadi.
Empat orang
yang lain merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk
lagi mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang
maklum bahwa apa bila dia memberanikan diri mengambil kitab itu, tentu akan
langsung diserang oleh empat orang lainnya dan hal ini tidak mungkin, karena
bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorang pun di antara mereka berani
turun tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan
tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa masam!
Terdengar
suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua
orang anak ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar terlihat lucu
sekali! Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol
sekali. Benar suhu-nya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya,
seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti
patung.
Dari sikap
mereka ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat
periang yang sama, ada pun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.
“Suhu, apa
sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?”
seru Swi Kiat kepada suhu-nya.
“Hush, diam
kau. Tahu apa kau tentang urusan ini?” bentak suhu-nya dan Swi Kiat makin mendongkol.
“Sayang
kepandaianku masih belum sempurna. Kalau tidak, aku sama sekali tidak takut
menghadapi mereka!” ia mengomel.
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak.
“Pak-lo-sian,
muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke
dua itu, yang lunak seperti air!” katanya.
Keluarga
dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tak karuan rupa,
kemudian kini duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran,
takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberikan diri maju sambil
membungkuk-bungkuk.
“Mau apa
kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.
“Kami
bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak
boleh?” tanya nyonya itu dengan suara gemetar.
Di antara
kelima orang tokoh yang aneh serta menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh
dibilang memiliki watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini,
maka sambil menggerakkan tangan dia berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan
bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja
sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.”
Setelah
mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu segera memberi tanda kepada
keluarganya dan beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali supaya jangan
mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu
untuk dikuburkan.
Akan tetapi,
lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun
tangan, akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat
itu!
Hari sudah
mulai senja. Tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada gurunya,
“Suthai, perutku lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan,
bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!”
Kiu-bwe
Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas,
akan tetapi terhadap muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar.
Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan
menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja. Secara luar biasa
sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan
mengangkat piring itu yang terus dilontarkan ke belakang dimana muridnya
berdiri!
Hebat sekali
demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu
melayang tanpa kuenya jatuh sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan
kedua tangannya dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini
sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring
itu tanpa ada kue yang jatuh.
Bocah ini
lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat makan
kue, dia melirik ke arah Kun Beng dan tiba-tiba saja dia menyodorkan piring kue
mangkok itu kepada Kun Beng.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment