Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 26
KUN BENG
menundukkan mukanya yang menjadi sedih luar biasa. Pak-lo-sian maklum akan
kedukaan hati muridnya ini, maka dia menghibur, "Lihat, petani muda ini
agaknya hendak berusaha mengobatinya."
Memang
benar, Kwan Cu telah menempelkan bibirnya pada luka di pundak Sui Ceng. la
membuka mulutnya lalu menggunakan giginya menggigit kulit di sekitar luka! la
menggigit keras-keras, kemudian mengumpulkan pil putih yang telah
dihancurkannya dengan ludah dan dikumpulkan di ujung lidah, lalu sambil
mengerahkan lweekang-nya, dia meniupkan hancuran obat itu ke dalam luka!
Hal ini
tentu saja tak terlihat oleh siapa pun juga, bahkan Kiu-bwe Coa-li dan
Pak-lo-sian Siangkoan Hai saling pandang lalu mengangkat pundak. Dalam
pandangan kedua orang ini, pemuda petani yang aneh ini hanya menggigit pundak
itu saja!
"Eh,
apa yang kau lakukan itu?" Kembali Kun Beng bertanya sebab pemuda itu
tidak kuat melihat si muka merah seakan-akan mencumbu kekasihnya dan menciumi
pundaknya!
Kwan Cu
mengangkat mukanya. Dengan muka yang merah ketololan itu dia tersenyum
menyeringai. Orang-orang melihat betapa gigi dan bibir pemuda ini berlepotan
darah!
"Aku
sudah usir setannya, sudah usir setannya!"
Kun Beng tak
dapat menahan sabarnya lagi. Ia mengira bahwa pemuda muka merah ini gila dan
dalam gilanya telah menggigit dan bahkan minum darah dari Sui Ceng. Dengan
pengerahan tenaga sekuatnya dia lalu menendang pantat Kwan Cu yang masih duduk
berjongkok. Tubuh Kwan Cu bagaikan sebuah bal karet lalu melayang kembali ke
tengah lapangan di mana Toat-beng Hui-houw masih berdiri memandang semua itu.
Tubuh Kwan
Cu yang melayang-layang tadi kini turun dan seperti yang tidak disengaja, tubuh
pemuda muka merah ini melayang turun tepat di atas kepala Toat-beng Hui-houw.
Sebetulnya kakek bermuka harimau ini mendongkol sekali dan jika menurutkan
hatinya, sekali pukul saja dia dapat menghancurkan tubuh pemuda yang
dianggapnya tolol itu.
Akan tetapi
tadi dia sudah mendengar celaan dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ketika dia
melukai pemuda muka merah itu, maka kini dia tidak mau melanjutkan
perbuatannya. Lagi pula dia memang melihat sendiri betapa pemuda tani ini
terlempar kepadanya bukan karena kehendak sendiri, melainkan karena ditendang
oleh pemuda murid Pak-lo-sian itu.
Maka dia
lalu mengulurkan tangan. Sekali sambar dia sudah memegang leher baju Kwan Cu
dan melontarkan tubuh pemuda itu ke tempatnya yang tadi, yakni di dekat
Yok-ong, juga dekat Kwa Ok Sin, Jeng-kin-jiu, dan Liok-te Mo-li.
Sambil
berteriak-teriak ketakutan tubuh Kwan Cu terputar-putar di udara dan meluncur
ke dekat Liok-te Mo-li. Nenek ini mengulur tangan dan menangkapnya, lalu
melepaskannya di dekat Yok-ong sambil berkata,
"Orang
muda, kau bersemangat besar. Aku kagum sekali!"
Kwan Cu
tidak banyak cakap, segera duduk di dekat Yok-ong, diam-diam menerima obat
pemunah bisa dan menelannya menurut petunjuk Yok-ong.
"Kau
lancang sekali, hampir-hampir terbuka rahasia kita," kata Yok-ong.
"Teecu
tidak bisa membiarkan Sui Ceng tewas," jawab Kwan Cu.
Sementara
itu, Pak-lo-sian menegur muridnya. "Kun Beng kau benar-benar tidak tahu
budi. Lihat, nona Bun tertolong nyawanya karena perbuatan pemuda muka merah
tadi, dan kau bahkan menendangnya. Sungguh sangat memalukan aku yang menjadi
gurumu!"
Kun Beng
terkejut dan ketika dia melihat, benar saja, Sui Ceng telah siuman kembali dan
warna biru hitam pada pundaknya telah lenyap! Kiu-bwe Coa-li sedang memeriksa
jalan darah muridnya dan dia pun mengangguk puas.
"Aneh
sekali, nyawamu tertolong oleh suatu keajaiban, Sui Ceng." kata nenek ini
sambil memandang ke arah Kwan Cu yang masih duduk merengut.
Kun Beng
menjadi girang dan juga amat malu. Ia lalu melompat ke tengah lapangan dan
menghadapi Toat-beng Hui-houw.
"Sahabatku
kalah olehmu, marilah kau coba mengalahkan aku!"
Pak-lo-sian
mengomel, "Kun Beng benar-benar berani mati dan gegabah sekali. Mana dia
bisa menangkan siluman itu? Swi Kiat, suruh dia kembali!"
Gouw Swi
Kiat cepat mentaati perintah suhu-nya dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah
meloncat di sebelah Kun Beng. Akan tetapi sebelum dia sempat menyampaikan pesan
suhu-nya, Toat-beng Hui-houw yang menyangka bahwa dia hendak dikeroyok dua,
telah tertawa bergelak dan siap untuk menyerang. Dia tidak gentar menghadapi
kedua orang pemuda ini dan dia dapat menduga bahwa mereka ini adalah
murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Toat-beng
Hui-houw, kau mundurlah. Jasamu sudah cukup. Karena sekarang yang maju adalah
murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, biarkan pinceng yang menghadapinya." Yang
berkata demikian ini adalah Bian Kim Hosiang, ketua Bu-tong-pai.
Kata-kata
ini sungguh sangat mengherankan oleh karena biasanya, seorang ciangbunjin
(ketua partai) tidak mau turun tangan dengan begitu mudahnya, apa lagi
menghadapi seorang anak murid partai lain, kecuali kalau menghadapi ketua lain
partai.
Akan tetapi
dalam hal ini, tindakan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong pai ini dapat pula
dimengerti. Ia merasa sakit hati sekali terhadap Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan
Kiu-bwe Coa-li yang disangka membunuh sute-nya secara pengecut sekali. Maka
kini dia hendak membalas dendam, hendak mengalahkan murid Pak-lo-sian dan
kemudian sesudah itu, kalau Pak-lo-sian merasa sakit hati baru dia akan
melayani Dewa Utara itu.
"Benar,
pinto juga ingin merasai kelihaian murid Pak-lo-sian!" kata Bin Kong
Siansu ketua Kim-san-pai.
Seperti
halnya Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, juga ketua Kim-san-pai ini
berpikiran sama. Melihat bahwa yang maju adalah dua orang murid Pak-lo-sian,
maka dia juga ikut maju untuk memberi hajaran sebagai pembalasan.
Swi Kiat
menjadi bingung ketika tiba-tiba dua orang pendeta dari fihak lawan itu
tiba-tiba melayang dan menghadapi dia serta sute-nya. Dia tidak keburu
menyampaikan pesanan suhu-nya, karena kalau fihak lawan sudah keluar dan dia
bersama sute-nya kembali, hal itu akan mendatangkan rasa malu yang luar biasa.
Tentu saja dia dan sute-nya dianggap takut dan melarikan diri dari dua orang
pendeta ini.
Swi Kiat
yang menjadi bingung itu melirik ke arah suhu-nya dan Pak-lo-sian mengerti akan
kebingungan hati muridnya. Kakek ini belum tahu duduknya perkara. Biar pun tadi
beberapa kali dua orang ketua dari Bu-tong dan Kim-san itu menyindir dan
memakinya, namun dia tidak sekali-kali mengira bahwa dia disangka membunuh
murid-murid mereka secara curang. Dia sudah kenal kepada dua orang ketua ini
dan tahu bahwa mereka bukanlah orang-orang jahat dan kejam. Maka dia lalu
berkata sambil tersenyum.
"Anak-anak
bodoh! Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai hendak memberi pelajaran pada kalian,
mengapa tidak lekas-lekas menerimanya?"
Mendengar
ini, Swi Kiat lenyap keraguannya dan dia lalu siap sedia dengan senjatanya yang
lihai, yaitu sepasang kipas yang disebut Im-yang Siang-san. Murid pertama dari
Pak-lo-sian ini memang sudah mewarisi keahlian bersilat kipas dengan Ilmu Silat
Im-yang San-hoat yang amat lihai. Ada pun Kun Beng memang sejak tadi sudah
mengeluarkan tombaknya.
Bian Kim
Hosiang tertawa mengejek. "Biar pun murid-murid kami terbunuh secara
curang mempergunakan ilmu kotor atau ilmu siluman, akan tetapi kami tidak
serendah itu dan kami akan merobohkan kalian secara jujur."
Sambil
berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sehelai sapu tangan yang
panjang. Ia menggulung-gulung sapu tangan itu menjadi gulungan kain, kemudian
sekali dia menggerakkan tangan, gulungan kain itu menjadi kaku seperti sebatang
toya!
Benar-benar
seperti Kauw-ce-thian (raja monyet dalam dongeng kuno yang mempunyai wasiat
tongkat kim-kauw-pang) memainkan tongkat wasiatnya! Dengan senjata buatan
sendiri ini, ternyata bahwa Bian Kim Hosiang tidak saja telah memandang ringan
kepada lawannya, juga dia telah memperlihatkan bahwa tenaga lweekang-nya besar
bukan main. Sambil memutar toya kain ini Bian Kim Hosiang menghadapi Kun Beng
yang bersenjata tombak.
Sedangkan
Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai, orangnya lebih sabar dari pada ketua
Bu-tong-pai, juga kepandaiannya tidak kalah. Bin Kong Siansu terkenal sebagai
tokoh besar yang telah memperkembangkan dan memperbaiki Ilmu Pedang Kim-san
Kiam-hoat yang sudah tersohor lihai itu sehingga sekarang Ilmu Pedang Kim-san
Kiam-hoat boleh direndengkan dengan ilmu-ilmu pedang dari partai-partai besar,
bahkan ada pula yang menyatakan bahwa ilmu pedang ini satu sumber dengan ilmu
pedang dari Thian-san-pai yang banyak dikagumi orang. Tosu ini lantas
menghadapi Swi Kiat dan mengulur tangan mencabut keluar sebatang pedang tipis.
"Orang
muda, majulah untuk menerima hukuman dari dosa yang diperbuat oleh
gurumu," katanya perlahan.
Swi Kiat
tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata ini, akan tetapi melihat
betapa Kun Beng sudah mulai bertanding melawan Bian Kim Hosiang, dia pun
menjura kepada ketua Kim-san-pai itu, lalu dengan sepasang kipasnya dia
melakukan serangan hebat.
Bin Kong
Siansu menggerakkan pedangnya dan sekali saja pedangnya itu bergerak, dua sinar
berkelebat ke arah sepasang kipas di tangan Swi Kiat. Tentu saja pemuda ini
amat terkejut dan tidak membiarkan kipasnya rusak dalam segebrakan saja.
Sebagai
seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, dia pun sudah dapat melihat bahwa
pedang lawannya tadi melakukan semacam gerak tipu yang mirip Goat-kan Ji-jit
(Bulan Mengejar Dua Matahari) dan hendak menusuk bolong sepasang kipasnya. Maka
cepat dia mengelak dan kini sepasang kipasnya mulai digerakkan dalam permaianan
silat kipas yang amat lihai dari suhu-nya, yakni Im-yang San-hoat.
Sepasang
kipas ini dimainkan dengan gerakan yang saling bertentangan, misalnya kalau
kipas kanan menyambar dari kanan, maka kipas kiri menyambar dari kiri, atau
kalau yang pertama menyambar dari atas, yang ke dua menyusul dengan serangan
dari bawah dan sebagainya. Yang amat menyulitkan adalah betapa lawan tidak
dapat menduganya, yang kanan ataukah yang kiri yang menjadi penyerang
sesungguhnya dan mana pula yang hanya pancingan belaka.
Namun Bin
Kong Siansu ketua Kim-san-pai sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Tingkatnya masih melebihi Swi Kiat, demikian pula ginkang serta lweekang-nya.
Oleh karena itu, dengan pedangnya yang digerakkan secara cepat dan kuat, dia
dapat menggagalkan semua serangan balasan dari pemuda itu, bahkan sebaliknya
dia segera menggencet lawannya.
Bagaimana
dengan Kun Beng? Sama saja keadaannya dengan suheng-nya. Kepandaian ketua
Bu-tong-pai sudah sejajar dengan kepandaian tokoh-tokoh besar lainnya. Biar pun
Bian Kim Hosiang hanya mempergunakan toya terbuat dari pada kain, akan tetapi
setiap kali tombak di tangan pemuda itu terpukul oleh senjata yang aneh ini,
Kun Beng merasa telapak tangannya sakit-sakit.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai tahu benar bahwa kedua orang muridnya tidak akan sanggup mencapai
kemenangan. Hal ini pun tidak dianggap memalukan, karena dia sudah tahu bahwa
dia sendiri kiranya tidak akan mudah mengalahkan ketua-ketua dari Kiam-san-pai
dan Bu-tong-pai itu, apa lagi kedua muridnya itu boleh dibilang sudah patut
dipuji, karena menghadapi dua orang ciangbunjin itu mereka masih dapat
mempertahankan diri sampai lima puluh jurus!
Lagi pula,
semenjak tadi sebagai guru, Pak-lo-sian memperhatikan semua gerakan ilmu silat
dua muridnya dan dia tidak melihat adanya kesalahan-kesalahan. Mereka terdesak
bukan karena kalah lihai ilmu silat yang mereka pelajari, hanya karena tingkat
mereka masih kalah tinggi, baik dalam hal tenaga dalam mau pun kecepatan atau
pengalaman bertempur.
Ia pun tidak
gelisah ketika pada saat hampir yang bersamaan pundak Swi Kiat tersabet pedang
sehingga pemuda ini terhuyung-huyung lalu roboh mandi darah dan Kun Beng
mengeluh kesakitan ketika pangkal pahanya terpukul oleh toya kain yang
kadang-kadang keras seperti baja itu sehingga pemuda ini pun roboh. Pak-lo-sian
dapat melihat bahwa luka-luka yang diderita oleh dua orang muridnya itu tidak
berbahaya.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika dia melihat dua orang pendeta itu memburu maju sambil
mengangkat senjata untuk membinasakan kedua orang muridnya. Pucatlah wajah
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Dia adalah
seorang tokoh besar yang tak mau berlaku curang atau menyalahi peraturan. Meski
pun kedua orang muridnya terancam bahaya maut, akan tetapi baginya lebih baik
kematian dua orang muridnya atau walau pun dia sendiri akan mati, dia tidak
nanti akan melanggar peraturan yang jujur.
Kwan Cu melihat
kedua orang pemuda itu menghadapi bahaya maut, otomatis hendak bergerak. Akan
tetapi dia kalah dulu oleh Liok-te Mo-li, wanita seperti setan yang pernah
dijumpainya, yakni ibu dari Kong Hoat, nelayan muda yang ‘cengeng’ itu.
Nenek ini
melompat dan ginkang-nya memang amat hebat sehingga sekali melompat dia telah
berada di tengah lapangan.
"Traaang!"
Pedang di
tangan Bin Kong Siansu sampai mengeluarkan bunga api ketika terbentur oleh
tongkat hitam yang dipegang Liok-te Mo-li ketika nenek ini menangkis tusukan
pedang ketua Kim-san-pai yang diarahkan ke tenggorokan Swi Kiat, sedangkan
tongkat itu lantas bergerak lagi amat cepatnya menangkis toya kain di tangan
Bian Kim Hosiang!
Ketua
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai terkejut sekali. Tenaga nenek ini ternyata bukan
main hebatnya dan melihat wajah nenek ini, mereka merasa bulu tengkuk mereka
berdiri.
Memang Liok-te
Mo-li berwajah menyeramkan, apa lagi pada saat itu ia sedang marah, maka
wajahnya menjadi lebih hebat lagi. Kedua orang tokoh besar dunia kang-ouw itu
terheran-heran karena selamanya mereka belum pernah melihat nenek aneh ini.
"Siapakah
kau dan kenapa kau mencampuri urusan pertandingan yang dilakukan secara
jujur?" membentak Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dengan marah.
Liok-te
Mo-li tertawa. Suara tawanya juga amat menyeramkan, karena biar pun perlahan
saja namun amat menusuk anak telinga.
"Hi-hi-hi!
Aku mendengar bahwa kalian adalah ketua-ketua partai besar Bu-tong-pai dan
Kim-san-pai, mengapa seganas itu hatimu? Aku tidak peduli tentang pertempuran
antara kedua fihak dan kedatanganku ini adalah karena undangan dari Kiam Ki
Sianjin. Akan tetapi, biar pun di dalam undangan disebutkan akan diadakan
musyawarah besar, namun kenyataan apa yang kulihat? Pertandingan-pertandingan
yang berat sebelah! Tadi kulihat kakek seperti siluman yang kukunya panjang itu
menghina seorang nona muda, dan kini kulihat pula dua ekor monyet tua menghina
dua orang muda dan hendak membunuhnya! Aku tidak memihak kepada siapa pun, akan
tetapi melihat orang-orang muda dihina oleh orang-orang tua bangka, aku Liok-te
Mo-li tidak nanti tinggal diam saja!"
Dua orang
ketua partai ini terkejutlah mendengar nama ini. Nama ini sudah amat terkenal
sebagai nama yang amat menakutkan karena sepak terjang Liok-te Mo-li memang
aneh dan kadang-kadang mendirikan bulu roma saking hebatnya.
Sebelum
mereka sempat membuka mulut, mendadak dari rombongan Kiam Ki Sian-jin melompat
dua orang, yakni Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong. Dua orang kakak beradik
seperguruan dari Tibet ini memandang dengan marah. Terdengar suara Kiam Ki
Sianjin yang memang menyuruh dua orang kawannya ini maju.
"Ji-wi
Bengcu (dua ketua) dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai harap mengundurkan diri dan
biarkan Hek-i Hui-mo dan sute-nya menghadapi nenek yang usil tangan dan gatal
mulut ini!"
Karena
kedatangan ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ke tempat itu memang hanyalah
bertujuan membalaskan sakit hati mereka atas kematian murid mereka dan mereka
tidak ingin melibatkan diri dalam permusuhan dengan golongan atau orang-orang
lain, maka keduanya lalu mengangkat pundak dan mengundurkan diri.
Ada pun
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke depan
dan menyambar tubuh dua orang muridnya yang terluka untuk dirawat.
Hek-i Hui-mo
sudah pernah bertemu dengan Liok-te Mo-li, bahkan dulu dia juga pernah
bertempur dengan nenek ini pada saat Liok-te Mo-li membasmi gerombolan perampok
di daerah Tibet dan karena kepala perampok itu terhitung ‘anak buah’ dari Hek-i
Hui-mo maka terjadi bentrok di antara mereka. Namun pertempuran itu masih belum
diketahui mana yang kalah dan siapa yang menang karena Liok-te Mo-li sudah keburu
melarikan diri setelah melihat fihak Hek-i Hui-mo mengerahkan seluruh anak
buahnya untuk maju mengeroyoknya.
"Hemm,
Hek-i Hui-mo, siluman jahat! Dengan adanya kau di sini, mudah sekali diambil
kesimpulan fihak mana yang tidak benar! Manusia macam kau tentu selalu membantu
yang jahat," kata Liok-te Mo-li. "Kau hendak mengeroyokku seperti
dulu? Kau sekarang sudah mengekor kepada bala tentara kerajaan? Nah, terimalah
hadiahku ini!"
Sambil
berkata demikian, Liok-te Mo-li yang tiba-tiba naik darahnya melihat Hek-i
Hui-mo, menggerakkan kedua tangannya sambil mengempit tongkatnya. Sinar lembut
melayang dari kedua tangannya dan langsung menyerang Hek-i Hui-mo, Coa-tok
Lo-ong dan para kawan mereka yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin.
Hek-i
Hui-mo, Coa-tok Lo-ong, dan para tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin dan
lain-lain cepat mengebutkan ujung lengan baju dan ada yang mengelak ketika
jarum-jarum halus itu menyambar. Akan tetapi ada beberapa orang yang kurang
tinggi kepandaiannya tidak sempat lagi menghindarkan diri.
Tiga orang
perwira pengikut Kiam Ki Sianjin menjerit dan roboh dengan muka berubah pucat.
Nyawa mereka sukar ditolong karena jarum-jarum ini sudah memasuki tubuh dan
bergerak melalui jalan darah, langsung menyerang urat-urat nadi yang berbahaya!
"Aduh
celaka, Liok-te Mo-li tidak dapat menahan nafsu dan membuat gara-gara!"
kata Kwa Ok Sin sambil berdiri dan membanting-banting kakinya.
Jeng-kin-jiu
juga menggeleng-gelengkan kepala, akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu karena
hal itu sudah terjadi tanpa dapat dicegah lagi.
"Tiga
orang itu takkan dapat diselamatkan lagi," kata Yok-ong perlahan kepada
Kwan Cu.
Pemuda ini
sudah hendak bangun dan membantu Liok-te Mo-li ketika melihat nenek ini
dikeroyok oleh Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, akan tetapi tiba-tiba pundaknya
sudah dipegang oleh Yok-ong yang berbisik,
"Kau
jangan bergerak. Mereka itu terlalu lihai, aku sendiri pun tidak berani
sembarangan bergerak. Liok-te Mo-li mencari penyakit sendiri dan memperbesar
permusuhan. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti."
Walau pun
Kwan Cu tidak takut sedikit pun juga menghadapi tokoh-tokoh besar di fihak Kiam
Ki Sianjin, akan tetapi dia pikir bahwa omongan Yok-ong ini benar juga, maka
dia berdiam diri saja. Betapa pun juga, sepak terjang Liok-te Mo-li tidak dia
setujui, biar pun nenek ini membela keadilan, akan tetapi dia terlalu ganas
sehingga sekali turun tangan ia telah menewaskan tiga orang perwira yang
sebetulnya tidak tahu apa-apa.
Sementara
itu, Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong telah maju dan ikut mengeroyok Liok-te
Mo-li. Tentu saja nenek ini menjadi sibuk sekali. Memang kepandaiannya sudah
tinggi, akan tetapi kepandaian Hek-i Hui-mo juga tidak boleh dibuat main-main.
Apa lagi selama beberapa tahun ini kepandaian Hek-i Hui-mo sudah meningkat
tinggi sekali, setelah dia mempelajari ilmu silat aneh dari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang palsu seperti yang dia dengar dibacakan oleh pujangga Tu
Fu.
Selain itu,
dia dibantu oleh Coa-tok Lo-ong yang tingkat kepandaiannya juga tidak lebih
rendah dari pada suheng-nya dan Liok-te Mo-li. Kalau hanya menghadapi salah
seorang di antara dua tokoh Tibet ini, agaknya pertandingan akan berjalan lebih
seimbang dan ramai, akan tetapi dikeroyok dua seperti itu, Liok-te Mo-li benar-benar
amat terjepit dan terdesak.
Sepasang
senjata Hek-i Hui-mo amat berbahaya, yakni seuntai tasbih di tangan kiri dan
sebatang Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) di tangan kanan. Dia lalu
melakukan serangan bertubi-tubi dengan kedua senjatanya, dan setiap serangan
cukup keras untuk menghancurkan batu karang.
Ada pun
Coa-tok Lo-ong mainkan senjatanya yang mengerikan, yakni sebatang tongkat yang
sebetulnya adalah seekor ular berbisa yang masih hidup! Ular hidup ini tadinya
dia simpan di dalam saku bajunya yang lebar dan ular itu tak bisa bergerak
karena memang pusat tulang belakangnya sudah ditekan sebelum digulung dan
dikantongi.
Sekarang dia
buka totokan pada tubuh ular itu dan dengan memegangi ekornya dia lalu
memainkan ular itu dengan hebatnya! Dapat dibayangkan sendiri betapa
berbahayanya senjata seperti ini karena selain dikerahkan dengan penyaluran
tenaga lweekang hingga dapat dipakai untuk memukul serta menotok, juga ular itu
sendiri bergerak-gerak sambil mengeluarkan semburan bisa sehingga sukar sekali
dihadapi.
Baiknya
tenaga Liok-te Mo-li amat besar sehingga ketika dia memutar tongkatnya, angin
menderu dan debu beterbangan, tubuhnya terbungkus oleh sinar tongkat dan debu.
Akan tetapi dia sudah amat tua, keuletan tenaganya terbatas dan sebentar saja
setelah dapat mempertahankan diri selama delapan puluh jurus, ia mulai
terengah-engah.
Liok-te
Mo-li terkejut menghadapi kenyataan betapa majunya kepandaian Hek-i Hui-mo dan
bahwa sute dari pendeta Tibet ini pun lihai sekali. Ia maklum bahwa akhirnya ia
akan kalah dan roboh juga, maka diam-diam ia mengeluarkan sesuatu dari saku
jubahnya.
Tanpa terasa
lagi Kwan Cu memegangi tangan Yok-ong yang dekat dengan lengannya. Kwan Cu
memandang ke arah Liok-te Mo-li dengan wajah ngeri, sebaliknya Yok-ong terkejut
bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya diremas oleh tangan Kwan Cu.
Ia merasa betapa
tulang-tulang tangannya seperti akan remuk. Dari tangan pemuda itu keluar hawa
yang luar biasa sekali sehingga raja tabib ini merasa seluruh lengannya lumpuh,
sebentar panas sekali dan sebentar pula dingin bukan main.
Dia melongo
dan memandang kepada Kwan Cu, lalu dia mencoba mengerahkan seluruh hawa murni
dan tenaga lweekang dari tubuhnya untuk melawan tenaga yang keluar dari tangan
Kwan Cu. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika lweekang-nya tidak kuat
menghadapi tekanan itu!
Akan tetapi
perlawanannya menginsyafkan Kwan Cu bahwa tanpa disengaja dia sudah memijit
tangan Yok-ong dengan pengerahan tenaga sakti Im-yang Bu-tek Sinkang yang dia
pelajari dari kitab rahasia itu, maka cepat-cepat dia melepaskan pegangannya.
Untuk mengalihkan perhatian Yok-ong, dia segera berbisik,
"Locianpwe,
apakah yang dikeluarkan oleh Liok-te Mo-li itu?"
Sebenarnya
dia sudah melihat nyata bahwa nenek itu mengeluarkan daun Liong-cu-hio, daun
aneh yang amat mengerikan itu, daun yang mengandung bisa luar biasa sekali dan
boleh disebut raja dari sekalian bisa!
Benar saja,
perhatian Yok-ong tertuju kepada nenek itu dan sekali pandang saja muka Yok-ong
menjadi pucat.
"Ahhh,
mungkinkah dia memegang Liong-cu-hio? Celaka sekali...!"
Dia hendak
melompat dan mencegah nenek itu mempergunakan daun itu, namun sudah terlambat.
Sambil tertawa-tawa aneh Liok-te Mo-li tiba-tiba melontarkan belasan helai daun
itu ke arah lawannya dan orang-orang yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin!
Coa-tok
Lo-ong dan Hek-i Hui-mo adalah tokoh-tokoh kenamaan yang sudah tidak asing lagi
dengan segala macam bisa, maka mencium bau aneh dari daun-daun itu, mereka
cepat melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Kemudian, dengan tongkatnya,
Hek-i Hui-mo mengemplang dari atas, tepat mengenai pergelangan tangan kiri
nenek itu.
"Krakk!"
remuklah pergelangan lengan itu sedangkan ular di tangan Coa-tok Lo-ong juga
berhasil memagut leher nenek itu.
Liok-te
Mo-li menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi jeritnya lalu disusul oleh
suara ketawanya yang mendirikan bulu roma dan tiba-tiba saja tangan kanannya
menyebarkan beberapa helai daun lagi sambil menggigit tongkatnya! Lalu,
dibarengi suara ketawanya yang menyayat hati, sebelum dua orang lawannya sempat
menyerang, secepat kilat dia mengemplang kepalanya sendiri dengan tongkat yang
dipegangnya. Dia roboh dengan kepala pecah dan tidak bernyawa lagi.
Akan tetapi,
akibat dari penyebaran daun-daun itu hebat bukan main. Teriakan-teriakan ngeri
terdengar ramai sekali di rombongan Kiam Ki Sianjin. Belasan orang perwira
serta anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai roboh dengan tubuh hangus!
Sekali
terkena sambitan daun itu, hanguslah bagian tubuh yang terkena dan sebentar
kemudian seluruh tubuh menjadi hangus bagaikan terbakar! Yang hebat lagi, orang
lain yang hendak menolong, baru saja menjamah tubuh kawan yang hangus itu,
menjerit dan tangannya menjadi hangus pula!
Tentu saja
para tokoh yang berkepandaian tinggi, dapat menyelamatkan diri dan dapat
mengelak dari sambaran daun-daun itu, akan tetapi kali ini kerugian mereka
benar-benar hebat sekali sehingga di fihak Kiam Ki Sianjin menjadi gempar. Kiam
Ki Sianjin sendiri marah bukan main. Ia menantang pihak Pak-lo-sian Siangkoan
Hai.
"Pak-lo-sian
jangan enak-enakan mengandalkan campur tangan dari luar! Hayo lekas keluarkan
lagi jago-jagomu!"
Coa-tok
Lo-ong kemudian mempergunakan sebatang pisau kecil untuk menusuk-nusuk
daun-daun Liong-cu-hio itu, lalu daun-daun itu dibungkus dengan hati-hati dan
disimpan dalam saku baju. Ia kelihatan girang sekali mendapatkan daun-daun yang
berbahaya ini.
"Lebih
celaka lagi kalau daun-daun itu disimpan oleh manusia seperti itu," kata Yok-ong
perlahan. Wajah orang tua ini kelihatan gelisah sekali melihat akibat
pertempuran yang demikian mengerikan.
Pak-lo-sian
sudah menanggalkan baju luarnya. Dia melihat betapa dua orang muridnya telah
terluka. Sui Ceng sudah terluka pula. Dua orang murid Kun-lun-pai yang masih
ada tidak boleh diandalkan, maka dia hendak maju sendiri.
"Nanti
dulu, Pak-lo-sian. Ingat bahwa kau adalah wakil kami, sebab itu kau harus maju
terakhir. Biarkan pinto maju lebih dulu untuk membalas kematian murid-murid
pinto," kata Seng Thian Siansu.
Pak-lo-sian
menggeleng kepalanya. "Tidak bisa, Siansu. Kau adalah orang tertua, maka
berilah kesempatan kepadaku yang lebih muda."
"Omongan
apa yang kalian keluarkan ini? Akulah yang akan maju lebih dahulu,"
berkata Kiu-bwe Coa-li.
"Tidak
bisa!" bantah Pak-lo-sian.
"Tar!
Tar! Tarrr!" Cambuk Kiu-bwe Coa-li berbunyi.
"Aku
maju lebih dulu dan habis perkara!" Kata-katanya ini disusul oleh
gerakannya yang amat cepat dan tahu-tahu ia telah berada di tengah lapangan.
Melihat
majunya Kiu-bwe Coa-li yang dianggap sebagai pembunuh murid mereka, naik darah
Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu dan serentak mereka maju lagi sebelum
didahului oleh orang lain. Hal ini amat menggirangkan hati Kiam Ki Sianjin
sehingga dia memberi isyarat mencegah Hek-i Hui-mo yang hendak maju. Memang
inilah maksud dari Kiam Ki Sianjin, yakni hendak mengadukan mereka. Ia tahu
betul akan kelihaian Kiu-bwe Coa-li.
"Bagus,
sekarang kami mendapat kesempatan membalas kematian murid-murid kami!"
seru Bian Kim Hosiang yang cepat menyerang.
Kini Bian
Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai ini tidak lagi menggunakan toya yang dibuatnya
dari kain, melainkan dia menyambar sebuah toya kuningan yang asli, yakni
senjatanya yang sejak tadi dibawa-bawa oleh seorang muridnya. Serangan toyanya
amat hebat dan sambaran senjatanya ini mendatangkan angin yang berbunyi
mengaung.
Namun
Kiu-bwe Coa-li tidak menjadi gentar, bahkan sambil mengeluarkan suara ejekan
dari hidungnya, dia mengelak dan membalas. Sembilan ekor cambuknya menari-nari
di udara, masing-masing mengeluarkan suara yang nyaring dan mengurung tubuh
ketua Bu-tong-pai itu dari segala jurusan dengan totokan-totokan mautnya!
Sebentar saja dua orang tokoh besar itu sudah saling menyerang sambil
mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua kepandaian mereka yang amat
tinggi.
Bin Kong
Siansu ketua Kim-san-pai juga amat benci pada Kiu-bwe Coa-li yang dianggap
membunuh sute-nya secara curang, karena itu dia pun lantas menggerakkan
pedangnya mengeroyok.
Perlu
diketahui bahwa dua orang pendeta yang tewas secara aneh, yakni Bin Hong Siansu
adalah sute dari Bin Kong Siansu, sedangkan yang kedua, yakni Bian Ti Hosiang
adalah murid kepala dari Bian Kim Hosiang. Mereka merupakan orang-orang penting
dari kedua partai persilatan itu, karena itu kematian mereka mendatangkan
kegemparan dan dendam yang hebat.
Sejak tadi,
Pak-lo-sian sudah beberapa kali mendengar ucapan kedua orang ketua partai
persilatan itu, maka diam-diam dia merasa sangat heran dan tidak mengerti
mengapa mereka menyebut dia dan Kiu-bwe Coa-li sebagai pernbunuh-pembunuh
curang. Kini dia melihat Kiu-bwe Coa-li dikeroyok dua orang, maka dia menjadi
penasaran dan cepat dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran, menggunakan
kipasnya untuk menangkis pedang di tangan Bin Kong Siansu sambil berseru.
"Bin
Kong Siansu, tahan dulu!"
Bin Kong
Siansu menjadi makin marah melihat majunya Pak-lo-sian. Memang Kiu-bwe Coa-li
dan Pak-lo-sian yang dicari-carinya maka dia bersama ketua Bu-tong-pai datang
di situ.
"Kebetulan
sekali, kau harus mampus bersama siluman wanita itu!" bentaknya sambil
menyerang.
"Nanti
dulu, Siansu. Kau dan Bian Kim Hosiang agaknya amat membenci kami berdua, ada
apakah?"
"Masih
berpura-pura? Benar-benar tua bangka jahanam tak tahu malu. Kau dan Kiu-bwe
Coa-li secara curang dan tak bermalu sudah membunuh sute-ku dan murid kepala
dari Bu-tong-pai, sekarang masih pura-pura bertanya lagi?" jawab ketua
Kim-san-pai sambil menyerang terus.
"Ehh,
ehh, omongan kosong apa yang kau keluarkan ini?" tanya Pak-lo-sian dan
lagi-lagi dia menangkis.
"Kami
ada bukti dan saksi, tak perlu banyak mulut lagi. Kalau kau berani, terimalah
ini!" Bin Kong Siansu menyerang untuk ketiga kalinya dan kali ini
serangannya sangat hebat sehingga terpaksa Pak-lo-sian melayaninya.
"Kalau
kau menyerangku sebagai seorang yang berfihak kepada penjilat kaisar, aku akan
mengadu nyawa denganmu. Akan tetapi kau menyerangku karena salah sangka, aku
tak mau melayanimu." Sambil berkata begitu, Pak-lo-sian hendak
meninggalkan lawannya.
"Pengecut
tua bangka, kau hendak mempermainkan orang dengan siasatmu! Bin Kong Siansu,
jangan percaya mulut tua bangka yang memang ahli siasat dan akal bulus
ini!" tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi dan tahu-tahu seekor ular
melayang langsung menyerang ke arah kepala Pak-lo-sian.
Tokoh utara
ini cepat mengebut dengan kipasnya sehingga kepala ular itu terdorong oleh
angin kipas dan dia cepat melanjutkan dengan menotokkan ujung gagang kipas ke
arah penyerangnya. Coa-tok Lo-ong, penyerang itu, cepat mengelak karena dia
maklum akan kelihaian lawannya.
Bin Kong
Siansu tadinya juga merasa heran mendengar penyangkalan Pak-lo-sian. Akan
tetapi ucapan dari Coa-tok Lo-ong ini membuat dia tidak ragu-ragu lagi dan
segera dia membantu Coa-tok Lo-ong, memutar pedang kemudian menyerang
Pak-lo-sian. Dengan demikian, Siangkoan Hai dikeroyok dua!
Bagaimana
Bin Kong Siansu bisa ragu-ragu lagi? Surat peninggalan yang ditandatangani oleh
sute-nya dan murid kepala Bu-tong-pai sudah menjadi bukti yang nyata, apa lagi
masih ada saksi hidup yang kini pun berada dan hadir di tempat itu, yakni Siok
Tek Tojin. Maka dia percaya penuh akan kata-kata Coa-tok Lo-ong dan menganggap
bahwa orang yang begitu curang membunuh sute-nya, tentu takkan segan-segan
untuk menggunakan siasat guna mencoba menyangkal perbuatannya itu.
Melihat
Pak-lo-sian telah dikeroyok dua oleh Bin Kong Siansu dan Coa-tok Lo-ong, Hek-i
Hui-mo lalu melompat pula dan membantu Bian Kim Hosiang ikut mengeroyok Kiu-bwe
Coa-li. Pertempuran menjadi makin ramai dan hebat dengan masuknya Hek-i Hui-mo
ini.
"Tidak
adil...! Sungguh tak adil...!" bentak Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang
cepat-cepat ‘menggelundung’ naik dan menyerbu ke tempat pertempuran. "Adu
kepandaian macam apa ini? Sungguh tak tahu malu, kiranya hanya main keroyokan
saja."
"Ehh,
Jeng-kin-jiu, kau mau apakah?" tiba-tiba berkelebat bayangan dan di
hadapannya sudah menghadang Kiam Ki Sianjin dan Toat-beng Hui-houw. "Apa
kau mau membantu fihak pemberontak yang mengacaukan negara?"
"Aku
tidak membantu mana-mana! Aku hanya menghendaki agar supaya
pertempuran-pertempuran yang berat sebelah ini dihentikan! Aku sudah menyesal
sekali dahulu dapat diperkuda oleh An Lu Shan sehingga aku kesalahan tangan
membunuh Ang-bin Sin-kai sahabat baikku. Sekarang ini, kalian tokoh-tokoh besar
di dunia kang-ouw, yang mewakili semua orang gagah di dunia, yang katanya
memiliki kedudukan batin lebih tinggi dari pada orang biasa, apakah hanya untuk
seorang raja saja kalian sampai mengadu nyawa mati-matian?"
"Habis
apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin sambil tersenyum mengejek.
"Kiam
Ki Sianjin, pada saat kau masih mengeram di dalam goa di gunungmu, aku sudah
berada di istana. Akan tetapi kau sekarang bersikap seakan-akan engkau sudah
menjadi seorang jenderal! Alangkah sombongmu. Dengarlah baik-baik, jika memang
kau seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kalau saja pibu (adu kepandaian)
ini memang akan diteruskan, berlakulah jujur dan tidak secara pengecut. Biarkan
seorang lawan seorang, jangan main keroyokan. Aku sudah ribuan kali bertempur
dan ratusan kali menghadapi pibu, akan tetapi selama hidupku baru kali ini
menyaksikan pibu yang demikian tidak tahu malu!"
"Jeng-kin-jiu,
kau adalah orang luar. Walau pun aku sudah memanggilmu ke sini, akan tetapi
ternyata kau menarik diri sendiri dan menjadi penonton dan orang luar. Kau
peduli apa? Kau lihat sendiri, mereka bertempur atas kehendak mereka, tidak ada
orang yang memaksa. Kalau mereka memang suka berdamai, mengapa mereka memaksa
hendak mengadakan adu kepandaian? Sudahlah, kami juga tidak mau menyeret engkau
dalam pertandingan ini, lebih baik kau keluar dan turun dari gunung ini."
"Tak
mungkin! Aku bisa membiarkan kalian bertanding kalau memang adil, akan tetapi
aku paling benci kecurangan dan ketidak adilan. Tidak boleh aku berpeluk tangan
saja melihat hal ini terjadi di depan mataku!" Sambil berkata demikian,
Jeng-kin-jiu siap untuk menyerang dan membantu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian
yang dikeroyok dan didesak hebat oleh para pengeroyoknya.
Akan tetapi,
pada saat itu pula terdengar dua kali ledakan dan asap tebal sekali berwarna
hitam campur putih segera memenuhi tempat itu.
Jeng-kin-jiu
yang berada agak jauh dari ledakan ini, kaget dan cepat melompat mundur ke
dekat Kwa Ok Sin kembali karena mencium bau yang amat keras. Akan tetapi semua
orang yang berada di dekat gelanggang pertempuran, kecuali Coa-tok Lo-ong dan
Hek-i Hui-mo, menjadi terhuyung-huyung dan bernapas terengah-engah lantas roboh
terguling! Mereka yang roboh adalah Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai,
Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu!
Apakah yang terjadi?
Tidak seorang pun mengetahuinya, bahkan Yok-ong hanya berseru perlahan kepada
Kwan Cu. "Itulah asap berbisa obat pembius yang sering dipergunakan oleh
penjahat dari See-than (negeri barat)! Heran, dari mana datangnya asap
itu?"
Akan tetapi
meski pun Kwan Cu juga tidak melihat siapa yang mempergunakannya, dia telah
tahu dengan baik bahwa yang mengeluarkan obat bius itu tentulah Coa-tok Lo-ong,
sute dari Hek-i Hui-mo sebab dulu di kuil tempat tinggal Siok Tek Tojin, dia
sudah pernah mencium bau asap itu.
Hek-i Hui-mo
tertawa bergelak ada pun Coa-tok Lo-ong cepat menciumkan obat penawar di depan
hidung Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong
Siansu. Dalam beberapa detik saja mereka ini telah siuman kembali dan menjadi
amat terheran-heran.
Akan tetapi,
Hek-i Hui-mo cepat menghampiri tubuh Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, lalu
menotok mereka sehingga sebelum orang lain bisa mencegahnya, kedua tulang
pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li sudah terlepas sambungannya! Mereka untuk
beberapa lama tidak akan dapat bersilat sebelum tulang itu disambung kembali!
"Ji-wi
Pai-cu dari Bu-tong dan Kim-san, sekarang musuh-musuh besar Ji-wi sudah roboh.
Tidak membalas dendam sekarang, Ji-wi mau tunggu kapan lagi?" kata Kiam Ki
Sianjin kepada ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Akan tetapi
kedua orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam partai mereka ini, tentu saja
merasa malu untuk membinasakan lawan yang sudah roboh karena pengaruh obat
bius. Melakukan hal itu dianggap amat rendah. Akan tetapi jika tidak membunuh
mereka sekarang, bukanlah hal yang mudah untuk merobohkan dua orang tokoh besar
itu selagi mereka sadar. Karenanya, dua orang ketua partai ini menjadi
ragu-ragu dan bersangsi.
"Kalau
Ji-wi tidak tega, biarlah aku yang membunuh mereka!" Coa-tok Lo-tong
berkata sambil melompat maju ke arah Kiu-bwe Coa-li dan serentak dia
menggerakkan ularnya ke arah tenggorokan Kiu-bwe Coa-li!
“Bangsat
rendah, pergilah kau!"
Tiba-tiba
Coa-tok Lo-ong merasa ada sambaran angin yang dahsyat sekali dari samping.
Karena dia tidak dapat mengelak lagi, dia membatalkan serangannya terhadap
Kiu-bwe Coa-li dan mempergunakan tangan kirinya untuk menangkis.
"Dukkk!"
Dua tangan
beradu dan Coa-tok Lo-ong terlempar sampai dua tombak lebih, akan tetapi
Jeng-kin-jiu yang menyerangnya juga terpental ke belakang sampai empat kaki!
Ternyata bahwa kehebatan tenaga dua orang tokoh ini hampir sama, akan tetapi
ternyata bahwa tenaga raksasa dari Jeng-kin-jiu masih lebih unggul. Berkat
tingginya lweekang mereka, adu tenaga tadi tidak mendatangkan luka di dalam
tubuh.
"Jeng-kin-jiu,
kau bukan orang luar lagi sekarang, akan tetapi pembantu pemberontak!"
bentak Hek-i Hui-mo yang segera mengayun tongkat kepala naga dan menyerang
kepala Jeng-kin-jiu.
"Bangsat
Hek-i Hui-mo, apakah kau lupa akan perundingan kita dulu?" seru
Jeng-kin-jiu sambil menangkis ayunan tongkat itu dengan toyanya.
Pertemuan
tongkat dan toya yang digerakkan dengan tenaga raksasa ini menimbulkan suara
keras hingga orang-orang yang berada di dekat situ merasai getaran yang hebat.
Seperti
diketahui, dulu memang Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu keduanya membantu An Lu
Shan. Bahkan ketika tokoh-tokoh besar yang berjiwa patriot seperti Ang-bin
Sin-kai, Pak-lo-sian dan yang lain-lain datang menyerbu istana, mereka inilah
yang melindungi An Lu Shan dan menyelamatkan nyawa kepala pemberontak itu.
Akan tetapi
kemudian, melihat betapa rakyat Han berjuang terus, bahkan dipimpin oleh
orang-orang pandai, mata Jeng-kin-jiu baru terbuka bahwa hal yang ia lakukan
bukanlah main-main belaka. Ia boleh disuruh menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw
yang bagaimana pandai pun, akan tetapi menghadapi gelombang perjuangan rakyat
bangsanya sendiri, dia bergidik dan merasa ngeri.
Oleh karena
ini dia lalu mengadakan perundingan dengan kawan-kawannya, yakni Hek-i Hui-mo,
Toat-beng Hui-houw serta yang lain-lain, menyatakan kekhawatirannya karena
ternyata bahwa yang mereka lindungi adalah musuh rakyat jelata, bukan musuh
Kaisar Tang sebagaimana yang tadinya mereka kira.
Jeng-kin-jiu
semenjak itu lalu mengasingkan diri di atas gunung, menyesali perbuatannya yang
sudah membikin banyak orang gagah gugur termasuk Ang-bin Sin-kai. Sebaliknya,
Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain kembali kena dibujuk oleh
Kiam Ki Sianjin sehingga mereka kini kembali membantu kaisar asing. Hal ini
adalah karena Hek-i Hui-mo memang berdarah Tibet, maka dia tidak peduli akan
perjuangan bangsa Han.
Kini dua
orang tokoh besar yang sama gemuknya dan sama pula lihainya itu bertanding.
Jika tadinya Kwan Cu sudah mau melompat maju melihat Coa-tok Lo-ong menggunakan
asap obat bius, kini dia mengurungkan niatnya lagi. Kejadian itu semua terjadi
demikian cepat dan kini pundak Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertotok,
menggeletak dalam keadaan masih pingsan.
Melihat
betapa fihak Pak-lo-sian kini tinggal Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang
amat tua itu, Kwan Cu sudah ingin sekali membantu mereka, akan tetapi kembali
niatnya ini terpaksa dia tunda karena kini dia asyik menyaksikan pertarungan
antara Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo. Hatinya berdebar tegang.
Dua orang
ini juga termasuk pengeroyok-pengeroyok dan pembunuh-pembunuh Ang-bin Sin-kai.
Apa lagi dia masih ingat betul bagaimana ketika dia masih kecil, dua orang
tokoh besar ini pun pernah menawan dan ikut menyiksanya saat mereka
memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Akan tetapi
tiba-tiba terasa olehnya semacam perasaan yang aneh. Walau pun dia akui bahwa
dua orang yang bertempur itu adalah musuh-musuh dan pembunuh gurunya, jadi
keduanya juga musuh yang harus dia balas, namun melihat mereka berdua saling
serang itu hati Kwan Cu condong kepada Jeng-kin-jiu dan dia mengharapkan
kemenangan bagi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!
Hal ini
sebetulnya tidak mengherankan bagi kita, karena ketika pertama kali muncul di
dunia ramai, memang anak ini ditemukan oleh Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai,
sebagai satu-satunya orang yang selamat dari kapal yang tenggelam oleh badai
dan ombak. Lalu, bahkan Jeng-kin-jiu yang memberi nama Kwan Cu padanya
sedangkan Ang-bin Sin-kai yang memberi nama keturunan Lu.
Biar pun
tokoh-tokoh aneh itu tidak menyatakan, akan tetapi setidaknya Jeng-kin-jiu dan
Ang-bin Sin-kai adalah seperti ‘ayah-ayah angkat’ bagi Kwan Cu. Tentu saja dia
lebih sayang kepada Ang-bin Sin-kai karena pengemis sakti ini selain menjadi
gurunya, juga sikapnya lebih baik terhadapnya.
Pada waktu
Kwan Cu memperhatikan jalannya pertempuran, ternyata bahwa betapa pun lihainya
Jeng-kin-jiu dengan toyanya, akan tetapi tongkat dan tasbih Hek-i Hui-mo masih
lebih lihai lagi. Memang, dulu ketika mereka masih memperebutkan Kwan Cu dan
rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat atau ketangguhan ilmu silat
mereka seimbang.
Akan tetapi,
semenjak mendengar isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng salinan yang dibaca oleh
pujangga Tu Fu, Hek-I Hui-mo lalu mendapat kemajuan yang hebat dan juga aneh,
seperti halnya Kiu-bwe Coa-li yang juga ikut mendengarkan. Tadi ketika dikeroyok
kalau saja tidak keburu Coa-tok Lo-ong melepaskan asap berbisa yang amat ampuh,
agaknya tidak akan ada yang sanggup mengalahkan atau merobohkan Kiu-bwe Coa-li.
Kwan Cu yang
melihat betapa Jeng-kin-jiu ternyata masih kalah setingkat, menjadi ikut
penasaran. Dalam hal tenaga, agaknya Jeng-kin-jiu tidak kalah, akan tetapi ilmu
tongkat dari Hek-i Hui-mo benar-benar aneh dan ditambah pula dengan tasbihnya
yang laksana tangan maut menyambar-nyambar, keadaan Jeng-kin-jiu menjadi amat
terdesak.
Tiba-tiba
Kwan Cu mengeluarkan seruan tertahan, seruan yang mengandung kemarahan besar.
Akan tetapi dia tidak berbuat sesuatu, karena kesadarannya mengingatkan bahwa
yang bertempur adalah musuh-musuh besar gurunya.
Dia
mengeluarkan seruan ketika melihat kecurangan yang terjadi dalam pertempuran
itu. Tanpa disangka-sangka, Coa-tok Lo-ong menyerang Jeng-kin-jiu dengan
senjata rahasia yang amat halus dan tidak dapat dilihat oleh mata.
"Itu
jarum-jarum Coa-tok-ciam...," Yok-ong juga berseru perlahan.
Jeng-kin-jiu
bukanlah seorang yang disebut tokoh nomor satu di selatan kalau dia tidak tahu
akan serangan gelap ini. Biar pun jarum-jarum itu sangat halus dan tidak
kelihatan oleh mata, akan tetapi dia masih dapat mendengar suara angin senjata
rahasia ini dan cepat-cepat dia mengebutkan tangan baju sebelah kiri. Ia tidak
dapat berbuat lain karena pada saat itu, Hek-i Hui-mo sedang melakukan serangan
yang hebat dan mendesaknya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
menyingkirkan diri.
Oleh karena
ini, biar pun dia dapat mempergunakan ujung lengan baju menyampok jatuh banyak
jarum-jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) tetapi sama sekali dia tidak dapat
membebaskan diri dari ancaman jarum-jarum yang dilontarkan dalam gelombang ke
dua. Tiga batang jarum hitam yang amat halus sudah mengenai tubuhnya, sebatang
di paha, sebatang di pundak dan sebatang lagi merasuki punggungnya.
Kalau orang
lain yang terkena jarum-jarum ini, tentu akan roboh pada saat itu juga. Akan
tetapi Jeng-kin-jiu adalah seorang yang tubuhnya sudah dipenuhi oleh hawa murni
dan tenaga lweekang-nya sudah dapat dia salurkan sampai ke ujung-ujung kuku.
Karena itu, begitu merasa tiga bagian tubuhnya itu gatal-gatal dan sakit, dia
cepat mempergunakan Ilmu Pi-khi Koan-hiat (Menutup Hawa Menghentikan Jalan
Darah) sehingga racun dari Coa-tok-ciam yang memasuki tubuhnya tidak dapat
menjalar, namun hanya mengeram di sekitar jarum itu saja.
Sambil
mengeluarkan gerengan seperti seekor singa terkurung, Jeng-kin-jiu lalu memutar
toyanya dengan tenaga raksasa, segera maju dan menyerang membabi-buta. Terutama
sekali dia mengejar Coa-tok Lo-ong yang sudah melukainya dengan cara sangat
curang itu.
Coa-tok
Lo-ong terkejut sekali karena tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu sudah tiba di
depannya dan memukul dengan kerasnya. Dia mengelak dan berbareng dari samping
menyabetkan ularnya ke arah dada Jeng-kin-jiu.
Akan tetapi,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mengulur tangan kiri, menangkap kepala ular itu
dan sekali remas saja, hancurlah kepala ular itu! Berbareng dengan itu, kembali
dia mengirim serangan dengan toyanya.
COA TOK LO
ONG cepat menyingkir dan sebentar saja Jeng-kin-jiu yang mengamuk seperti singa
gila itu telah dikurung oleh Hek-i Hui-mo dan lain-lain. Bahkan kini para
perwira ikut pula mengepungnya. Akan tetapi ternyata mereka ini mengantar nyawa
secara sia-sia saja karena hanya dalam sekejap mata tangan Jeng-kin-jiu telah
menghancurkan kepala beberapa orang pengeroyok.
"Mundur
semua...!" berseru Kiam Ki Sianjin yang kini ikut mengepung pula.
"Biarkan para cianpwe yang membunuh anjing gila ini!"
Akan tetapi
semua keributan ini sebetulnya tak ada gunanya. Pada saat dia mengamuk,
terpaksa untuk menyalurkan tenaga lweekang pada gerakan-gerakannya, kadang kala
Jeng-kin-jiu harus melepaskan Ilmu Pi-khi Koan-hiat sehingga racun itu mulai
menjalar di tubuhnya.
Maka
tiba-tiba dia merasa kedua matanya gelap. Sambil meramkan mata, hwesio yang
kosen ini masih saja mengamuk terus, dan dia hanya melindungi tubuh dan
melakukan serangan semata-mata menurutkan pendengaran telinganya saja.
Akan tetapi
hal ini tidak berlangsung lama. Racun telah sampai di jantungnya dan tanpa
mengeluarkan keluhan sedikit pun, Jeng-kin-jiu lalu roboh dan tewas dengan toya
masih berada dalam genggaman tangannya! Melihat hal ini, semua orang tertegun
dan untuk beberapa lama keadaan menjadi sunyi.
"Inilah
orang yang benar-benar gagah perkasa, patut ditiru oleh kita semua. Demikianlah
hendaknya sikap seorang gagah dan namanya takkan terlupa oleh keturunan
kita!" kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang berulang-ulang.

Pada saat
pertempuran tadi terjadi, Sui Ceng telah menghampiri gurunya dan berlutut di
depan tubuh gurunya dengan muka sedih. Demikian pula Kun Beng dan Swi Kiat
telah berlutut di depan Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Dua tokoh
besar ini sudah siuman dari pingsannya dan kini mereka hanya memandang
murid-murid mereka dengan senyum tawar. Mereka tak berdaya, dan meski pun
mereka dengan bantuan murid-murid mereka dapat duduk, akan tetapi kedua pundak
mereka tak dapat digerakkan lagi sehingga tak mungkin mereka sanggup menghadapi
lawan dalam pertempuran.
"Sekarang
boleh dilakukan hukuman terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang telah
membunuh murid-murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!" Coa-tok Lo-ong berkata
nyaring tanpa mengenal malu sambil memandang pada dua orang ketua partai
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
"Asal
mereka telah mengaku dan memberi tahu kenapa mereka melakukan pembunuhan secara
curang terhadap muridku, pinto sudah puas dan bersedia memaafkan mereka,"
kata Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Mendengar ucapan ini, Bian Kim Hosiang
juga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai yang mendengar omongan itu lalu tertawa bergelak. Biar pun kedua
pundak dan lengannya tidak dapat digerakkan lagi, namun tubuhnya masih kuat dan
sekali menggerakkan kaki, dia sudah melompat berdiri, kedua muridnya berdiri di
kanan-kirinya. Sikapnya masih gagah, hanya kedua lengannya saja yang tergantung
tak berdaya.
"Kedua
orang Ciangbunjin dari Bu-tong serta Kim-san agaknya sudah gila, buta atau
memang sudah kembali menjadi anak-anak kecil. Aku Siangkoan Hai, selama hidup
tidak pernah berbuat curang, sungguh pun sudah berkali-kali aku dicurangi orang
seperti yang baru saja kualami ini. Maka dua orang Ciangbunjin harap membuka
mata lebar-lebar dan mempergunakan pula otaknya!"
"Benar,
kalian sudah ditipu oleh jahanam-jahanam tak tahu malu seperti Coa-tok Lo-ong,
tapi masih keenakan saja, mana orang-orang macam kalian ini pantas menjadi
ketua dari partai-partai besar?" kata Kiu-bwe Coa-li yang juga sudah berdiri.
Sui Ceng
berdiri di sebelahnya dan kini cambuk berekor sembilan itu dipegang oleh Sui
Ceng. Biar pun gadis ini masih agak lemah dan pundaknya masih terasa sakit, ia
dengan gagah berdiri di samping gurunya, siap membelanya mati-matian.
Mendengar kata-kata
Kiu-bwe Coa-li yang tanpa disengaja mendakwa kepada Coa-tok Lo-tong, sute dari
Hek-i Hui-mo ini berubah mukanya. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin yang mendalangi
semua itu, menjadi khawatir sekali. Tokoh-tokoh besar yang pro rakyat kini
sudah tidak berdaya, tidak membasmi mereka sekarang mau tunggu kapan lagi?
Kalau mereka ini sudah tewas, berapa besar kekuatan pemberontak?
"Pak-lo-sian
dan Kiu-bwe Coa-li, biar pun kalian sekarang sudah dikalahkan, aku masih
membuka kesempatan bagimu. Apa bila kalian suka tunduk dan berjanji akan
membantu kami atau akan membujuk agar supaya para pemimpin pemberontak
mengundurkan diri, kami akan memberi ampun kepada kalian dan murid-murid serta
kawan-kawanmu."
"Bangsat
tua, siapa sudi mendengar omongan-omonganmu? Mau bunuh lekas bunuh, habis
perkara!" kata Kiu-bwe Coa-li dan biar pun kedua lengannya sudah lumpuh
dan tak dapat digerakkan lagi, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya
berkilat, ada pun sepasang kakinya siap pula untuk mengirim tendangan maut.
"Kiam
Ki Sianjin, anjing penjilat belang! Apa sih sayangnya kalau tulang-tulangku
yang keropos ini dihancurkan? Aku akan mati sebagai seorang gagah, bukan
seperti kau yang kelak mampus seperti anjing penjilat kelaparan yang tidak
dipakai lagi oleh majikanmu, penjajah asing!" Pak-lo-sian Siangkoan Hai
mencaci.
Mendengar
ini, naik darah Kiam Ki Sianjin dan dia lalu mencabut pedangnya. Dia adalah
seorang tokoh besar yang berjulukan Pak-kek Sian-ong, bagaimana dia dapat
menelan mentah-mentah hinaan ini?
"Kalau
begitu mampuslah kalian!" bentaknya.
Akan tetapi
tiba-tiba Seng Thian Siansu melompat dan pedangnya menangkis pedang di tangan
Kiam Ki Sianjin.
"Nanti
dulu, Kiam Ki Sianjin. Biar pun kawan-kawanku telah kalah oleh akal busuk, akan
tetapi di fihakku masih ada aku orang tua. Kalau aku sudah kalah, boleh kalian
berbuat sesuka hatimu terhadap kami. Hayo, majulah, aku menyediakan selembar
nyawaku yang tidak berharga!"
Walau pun
sudah sangat tua dan lemah, ketua Kun-lun-pai ini berdiri dengan gagahnya. Pedangnya
sudah siap di tangan, melakukan gerakan Sian-jin Tit-louw (Dewa Menunjuk
Jalan), membuka kuda-kudanya dengan tenang sekali.
Seng Thian
Siansu adalah ketua Kun-lun-pai, yaitu seorang tua yang banyak dikenal dan
disegani orang. Sebagai seorang ciangbunjin dari partai yang amat besar, dia
dihormati sekali dan karenanya kali ini setelah dia yang maju, dari fihak Kiam
Ki Sianjin tidak ada yang berani mengeroyok.
Akan tetapi
mereka ini tidak menjadi gentar, karena para tokoh ini maklum bahwa Seng Thian
Siansu yang sekarang berbeda dengan Seng Thian Siansu sepuluh atau dua puluh
tahun yang lalu. Kakek ini sudah terlalu tua dan kabarnya sudah beberapa kali
menderita sakit tua sehingga amat lemah dan tidak memiliki tenaga besar lagi.
Toat-beng
Hui-houw hendak mencari jasa, maka sambil tertawa-tawa dia melompat maju
menghadapi Seng Thian Siansu.
"Aku
mohon pengajaran dari Siansu yang namanya tersohor di kolong langit,"
katanya sambil menyeringai dan menggerakkan kedua tangan sehingga sepuluh
kukunya terulur panjang.
Kemudian
dengan gerakan cepat sekali dia maju menyerang dengan kedua tangannya yang
digerakkan seperti seekor harimau mencakar. Tak ketinggalan pula kedua kakinya
mengirim tendangan bertubi-tubi sehingga dia betul-betul terlihat seperti
seekor harimau menyerang.
Seng Thian
Siansu adalah seorang ketua dari partai besar, tentu saja kepandaiannya amat
tinggi. Dia adalah ahli waris dari ilmu silat Kun-lun-pai dan tentang
kepandaian, dia jauh lebih menang dari pada Toat-beng Hui-houw. Akan tetapi sayang
sekali, sudah ada belasan tahun dia termakan oleh usia tua sehingga tenaganya
sebagian lenyap dan juga kegesitannya berkurang banyak. Bagaikan sebatang
pedang pusaka yang ampuh, apa dayanya kalau sudah dimakan karat?
Maka begitu
pedangnya yang menangkis serangan Toat-beng Hui-houw terbentur oleh kuku tangan
kakek seperti siluman ini, dia lantas merasa telapak tangannya tergetar dan
pedangnya terpental. Dengan cepat Seng Thian Siansu terkurung dan terdesak
hebat oleh Toat-beng Hui-houw yang menyerang sambil tertawa-tawa mengejek.
Akan tetapi
dia salah kira kalau dapat dengan mudah mengalahkan kakek yang usianya sudah
tinggi sekali itu. Ilmu pedang dari Seng Thian Siansu sudah mencapai tingkat
yang mendekati kesempurnaan, maka daya tahannya juga sangat luar biasa.
Sayang
sekali, seperti sudah dituturkan di atas, tenaga kakek ini sudah amat terbatas,
demikian pula kecepatannya. Sebentar saja dia sudah mulai terengah-engah, akan
tetapi dengan semangat penuh dia masih terus mempertahankan diri.
Kwan Cu sudah
bergerak hendak melompat, akan tetapi kembali Yok-ong mencegahnya.
"Bagaimana
kita bisa membantu kalau mereka bertempur satu lawan satu?" katanya.
Kwan Cu
menjadi bingung. Semenjak tadi dia hendak membantu fihak Pak-lo-sian, akan
tetapi kesempatan baik belum ada. Tentu saja dia pun harus tunduk pada Yok-ong
yang mengemukakan alasan-alasan kuat. Sebagai orang gagah dia pun harus bisa
memegang aturan.
Sekarang
Seng Thian Siansu benar-benar terdesak hebat. Pada suatu saat, Toat-beng
Hui-houw yang merasa penasaran sekali mengapa sebegitu lama belum juga dia
mampu mengalahkan kakek tua renta itu, membentak keras dan tahu-tahu kedua
tangannya bisa menangkap tangan ketua Kun-lun-pai itu yang memegang pedang.
Seng Thian
Siansu merasa tangan kanannya sakit sekali bagaikan terjepit oleh jepitan baja.
Kuku-kuku kedua tangan Toat-beng Hui-houw amblas ke dalam tangannya dan
menghancurkan tangan itu. Akan tetapi, sambil menahan sakit, ketua Kun-lun-pai
ini lalu menggunakan tangan kirinya untuk memukul sambil mengerahkan seluruh
sisa tenaga terakhir ke arah dada Toat-beng Hui-houw.
"Blekkk!"
Toat-beng
Hui-houw mengeluarkan gerengan seperti seekor macan terpukul. Tubuhnya
terhuyung dan dia muntahkan darah segar. Biar pun tenaga kakek Kun-lun-pai itu
tidak begitu besar, akan tetapi karena rasa sakit pada tangan kanannya,
tenaganya bertambah dan pukulan itu hebat sekali.
Akan tetapi,
dia sendiri terpaksa harus melepaskan pedangnya dan tangan kanannya sudah bukan
berupa tangan lagi. Jari-jemarinya putus dan tangan itu hancur! Seng Thian
Siansu maklum bahwa selain tangan kanannya hancur, juga darahnya telah
kemasukan racun yang keluar dari kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw, karena
itu dia lalu duduk bersila meramkan mata, menanti datangnya maut dengan tenang.
Sebaliknya,
Toat-beng Hui-houw akhirnya roboh pingsan. Pada saat semua orang masih bengong
melihat pertempuran yang berakibat hebat itu, mendadak Sui Ceng melompat,
menyambar pedang Seng Thian Siansu yang jatuh di atas tanah dan sebelum ada
orang yang dapat mencegahnya, gadis ini mengayun pedang itu dan putuslah leher
Toat-beng Hui-houw!
Sesaat semua
orang terkesima, akan tetapi segera gegerlah orang-orang yang berada di fihak
Kiam Ki Sianjin. Beberapa orang melompat maju, bahkan Kiam Ki Sianjin sendiri
berseru,
"Curang
sekali...!"
Setelah
memenggal kepala Toat-beng Hui-houw, Bun Sui Ceng lalu tertawa nyaring dan
berkata, "Ibu, terbalaslah sudah dendam hatimu terhadap siluman ini!"
Kemudian dengan air mata mengucur gadis ini berdiri dengan gagahnya menghadapi
Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya.
"Bukan
Seng Thian Siansu yang curang, akan tetapi aku sendiri, Bun Sui Ceng, yang
sengaja memenggal kepala siluman ini untuk membalas sakit hati ibuku yang dulu
tewas di tangannya. Siapa yang tidak terima, boleh maju! Untuk perbuatanku
tadi, aku sanggup menghadapi segala akibatnya!"
"Tangkap
dia!"
"Bunuh
dia!"
"Basmi
semua pemberontak!"
Teriakan-teriakan
ini terdengar saling susul dan semua orang yang berada di fihak Kiam Ki
Sianjin, kecuali orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, serentak bergerak
hendak menggempur Sui Ceng dan yang lain-lain.
"Tahan
dulu...!"
Tiba-tiba
ada bayangan yang melayang dan menyambar-nyambar amat cepatnya, diikuti oleh
bayangan lain yang juga amat gesitnya. Bayangan pertama adalah Kwan Cu yang
tidak dapat menahan hatinya lagi, apa lagi ketika melihat betapa Sui Ceng
berada dalam bahaya hendak dikeroyok.
Begitu tiba
di tempat itu, Kwan Cu segera menggerakkan kedua tangannya ke arah para
pengeroyok. Dengan amat cepat, tanpa dapat terlihat oleh lain orang, dia telah
memukul mundur semua orang dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut.
Kiam Ki
Sianjin beserta kawan-kawannya hanya merasa adanya angin yang kuat sekali
mendorong mereka mundur beberapa tindak dan ternyata tahu-tahu pemuda dusun
yang tadi dianggap tolol telah berdiri menghadapi mereka sambil bertolak
pinggang.
Ada pun
bayangan kedua adalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Berbeda dengan Kwan Cu, raja
tabib ini dengan cepat luar biasa bagaikan burung menyambar-nyambar, telah
dapat menyambar tubuh Thian Seng Siansu, kemudian berturut-turut ia juga
menyambar tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, dibawa ke
belakang, kemudian tanpa mempedulikan sesuatu dia mengobati tokoh-tokoh yang
terluka ini.
Pertama-tama
dia mempergunakan obat untuk mengobati luka pada tangan Seng Thian Siansu
karena keadaan kakek ini yang paling hebat. Sesudah menotok beberapa jalan
darah, Yok-ong cepat memberi obat pada tangan yang rusak itu dan memasukkan pil
ke dalam mulut kakek ini yang memandangnya dengan penuh keheranan dan
kekaguman.
Setelah itu,
barulah Yok-ong memeriksa pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li. Karena dia sangat
lihai dalam ilmu pengobatan, tulang pundak yang sudah terlepas dan kalau
menurut ahli pengobatan lainnya baru akan sembuh sedikitnya dua pekan, sebentar
saja Yok-ong sudah dapat menyambungnya dengan baik!
"Sayang
masih tidak boleh mengerahkan tenaga lweekang di kedua lengan pada hari ini,
harus menanti sampai dua hari," kata Yok-ong kepada dua orang tokoh itu.
"Ehh,
muka hitam! siapakah kau yang sudah berpura-pura dungu dan bodoh, menyamar
sebagai petani ini?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan heran sekali.
Pak-lo-sian
tertawa. "Ha-ha-ha, di dunia ini yang sanggup mengobati orang dengan cara
seperti ini hanyalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Bukankah kau Yok-ong?"
Akan tetapi
Yok-ong tak menjawab, hanya menudingkan telunjuk ke depan dan mukanya berubah
terheran-heran sehingga dia menjadi bengong. Pak-lo-sian serta Kiu-bwe Coa-li
juga memandang ke depan. Mereka melihat betapa Sui Ceng sudah mundur, juga kini
Sui Ceng, Kun Beng, Swi Kiat dan dua orang anak murid Kun-lun-pai, juga
memandang dengan bengong ke tengah lapangan adu silat tadi. Memang apa yang
mereka lihat amat mengherankan hati mereka.
Kwan Cu
dengan tangan bertolak pinggang sedang menghadapi Kiam Ki Sianjin beserta
kawan-kawannya. Pemuda ini kelihatan marah sekali, akan tetapi mukanya terlihat
amat lucu karena muka yang berwarna merah seperti udang direbus itu tidak dapat
digerakkan sehingga seperti topeng saja.
"Kalian
ini para pengkhianat bangsa dan anjing-anjing penjilat selalu memutar balikkan
duduknya perkara. Diri sendiri pengecut dan curang mengatakan orang lain yang
curang. Sungguh tak tahu malu!"
Karena Kwan
Cu sengaja mengubah suaranya, Kiam Ki Sianjin tidak mengenalnya. Akan tetapi
karena melihat betapa pukulan anak muda ini benar-benar lihai, dia berlaku
sangat hati-hati dan menjawab,
"Bocah
dusun! Bagaimana kau dapat berkata begitu? Memang fihak Pak-lo-sian curang
sekali, jika tidak curang, kenapa gadis itu membunuh Toat-beng Hui-houw yang
sedang tak berdaya?"
"Nona
itu membunuh siluman Toat-beng Hui-houw bukan untuk mengeroyok dan bukan untuk
berlaku curang. Kalian sudah mendengar sendiri bahwa ibunya dulu terbunuh oleh
Toat-beng Hui-houw! Pembalasan dendam tidak boleh dicampur-aduk dengan
perbuatan curang. Andai kata kalian menganggapnya mengeroyok, biarlah hal itu
dianggap sebagai pembalasan pula karena bukankah kalian tadi juga mengeroyok
ketika kedua locianpwe Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian maju?"
"Setan
kecil! Apa bila kau memang murid seorang pandai dan mengaku sebagai seorang
gagah atau pendamai, ternyata kau berat sebelah! Mungkin sekali Toat-beng
Hui-houw membunuh ibu gadis itu, namun siapa tahu kalau memang ibu gadis itu
ternyata adalah penjahat besar?"
Kwan Cu
tertawa dan dia menjura kepada Kiam Ki Sianjin dengan penghormatan yang
sifatnya mengejek.
"Harap
Locianpwe suka mendengarkan dongenganku sebentar. Toat-beng Hui-houw itu adalah
suheng dari Tauw-cai-houw, saikong yang berwatak keji dan suka makan daging
anak-anak kecil. Maka, pada suatu hari pendekar wanita Pek-cilan Thio Loan Eng
yang namanya sudah tersohor di seluruh penjuru dunia, menewaskan bangsat keji
itu dengan pedangnya. Bukankah hal itu telah cukup adil? Lalu siluman tua ini,
Toat-beng Hui-houw, melakukan pembalasan terhadap Pek-cilan Lihiap. Ini pun
boleh-boleh saja karena dia memang suheng dari Tauw-cai-houw. Akan tetapi
tahukah Locianpwe bagaimana cara Toat-beng Hui-houw membalas dendam? la menawan
Pek-cilan Lihiap, kemudian selagi pendekar wanita itu masih hidup, dia
menggigit lehernya dan mengisap darahnya sampai habis!"
Terdengar
seruan-seruan kaget. Dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai beserta anak
murid mereka bergidik mendengar perbuatan yang sangat keji dan di luar batas
peri kemanusiaan ini! Bun Sui Ceng menjadi pucat dan dia mengeluarkan
pertanyaan tanpa disadarinya.
"Siapa
dia yang mengerti semua peristiwa itu?"
Pertanyaan
ini terdengar pula oleh Kiam Ki Sianjin yang juga menjadi penasaran, maka
tanyanya.
"Orang
muda, siapakah namamu dan apa kehendakmu sekarang?"
"Namaku?
Namaku ialah Ang-bin Siauw-bu-beng (Si Kecil Tak Bernama Yang Bermuka Merah).
Dan kehendakku? Tak lain kedatanganku ini untuk mendongeng!"
Semua orang,
baik dari fihak Kiam Ki Sianjin mau pun dari fihak Pak-lo-sian Siang-koan Hai,
tak ada seorang pun yang pernah mendengar nama julukan Ang-bin Siauw-bu-beng,
maka mereka memandang dengan heran. Apa lagi ketika Kwan Cu menyatakan bahwa
kedatangannya untuk mendongeng!
Sui Ceng
hampir tak dapat menahan ketawanya karena ia merasa amat lucu. Bagaimana bisa
di tengah-tengah medan pertandingan mati-matian yang telah mengorbankan begitu
banyak nyawa orang, pemuda muka merah yang buruk rupa ini bahkan datang hendak
mendongeng? Sungguh menggelikan.
Akan tetapi
Kiam Ki Sianjin marah bukan main. Dia adalah seorang ahli silat kelas satu,
masa sekarang dia boleh dipermainkan begitu saja oleh seorang badut muda?
"Jangan
kau main-main, lekas pergi kalau kau tidak ingin remuk tulang-tulangmu. Siapa
sudi mendengar ocehan dan dongenganmu?"
Sambil
berkata demikian, dia mendorong dengan kedua tangannya dengan sikap seperti
orang mau mengusir. Akan tetapi, sebenarnya dalam dorongannya ini dia
mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang luar biasa dahsyatnya.
Kwan Cu
hanya merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah kedua tangannya lantas
diangkat seperti orang yang mencegah orang lain hendak memukulnya.
Kiam Ki
Sianjin terkejut bukan main. Tadi dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang dan dia
tahu bahwa jangankan pemuda aneh ini, walau pun batu yang beratnya beribu kati
akan terguling bila terkena dorongannya ini. Baru angin dorongannya saja sudah
mengandung tenaga sedikitnya tiga ratus kati.
Akan tetapi,
pemuda itu dengan merendahkan tubuh sambil mengangkat kedua tangan, ternyata
dari angkatan tangan ini keluar sebuah tenaga tersembunyi yang dari bawah
mendorong tangan Kiam Ki Sianjin ke atas sehingga dorongan tenaga Jian-mo-kang
lewat di atas kepala Kwan Cu mengenai angin kosong! Daun-daun pohon yang berada
di sebelah belakang Kwan Cu seperti tertiup angin pada waktu terkena sambaran
tenaga Jian-mo-kang yang menyeleweng ke atas ini sehingga rontoklah banyak daun
pohon itu!
"Locianpwe,
ampunkan selembar nyawaku. Jangan bunuh aku dahulu sebelum boanpwe (aku yang
rendah) selesai mendongeng," kata Kwan Cu sambil tersenyum. "Tadi
sudah kuceritakan dongeng mengenai Toat-beng Hui-houw sehingga kita semua kini
tahu akan macam orang itu dan kiranya sudah sepatutnya kalau nona yang lihai
itu membunuhnya.
Sebelum
mendongeng mengenai para locianpwe yang kini masih hidup, aku akan mulai dengan
yang sudah tewas, yakni Jeng-kin-jiu Locianpwe. Dia itu sekarang memang telah
tewas sebagai seorang gagah, akan tetapi sangat disayangkan bahwa kematiannya
itu merupakan penebusan dosa dari penyelewengan hidupnya. Sungguh amat disayangkan.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang tokoh besar dari selatan yang
biar pun amat aneh akan tetapi belum pernah berlaku curang dan jahat. Akan
tetapi, seperti yang dikatakan oleh guru besar Khong Cu, musuh manusia yang
paling berbahaya adalah diri sendiri!
Melihat kehidupan mulia dan enak, Jeng-kin-jiu
sudah kena dibujuk dan menjadi kaki tangan An Lu Shan, bahkan mengajar para
pangeran, sama sekali tak peduli bahwa majikannya itu adalah penindas
bangsanya. Kemudian, lebih celaka lagi, dengan kawan-kawannya yang sama-sama
menyeleweng batinnya, dia melakukan pengeroyokan dan membunuh seorang pendekar
besar yang namanya akan tetap wangi selama dunia ini berkembang, yaitu Ang-bin
Sin-kai Lu Sin!
Ada pun
Liok-te Mo-li nenek yang aneh itu, memang dia gagah perkasa dan lihai sekali,
juga di waktu lampau dia selalu membasmi orang-orang jahat. Sayang dia terlalu
ganas dan kejam, menyebar maut seenaknya saja, maka akhirnya ia pun tewas
akibat kecurangan orang-orang jahat pula!"
Mendengar
ucapan-ucapan Kwan Cu semakin mengacau, apa lagi melihat betapa kedua musuh
besarnya, yakni Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertolong dan telah
diobati oleh seorang kakek muka hitam yang aneh, Bian Kim Ho siang dan Bin Kong
Siansu menjadi marah dan keduanya melompat maju.
"Kiu-bwe
Coa-li dan Pak-lo-sian, dua manusia durhaka! Jangan kalian bersembunyi di balik
kegilaan badut kecil ini. Kalian sudah sembuh? Hayo kita bertanding lagi sampai
salah seorang di antara kita mampus!" bentak Bian Kim Hosiang.
"Fihak
Pak-lo-sian sudah kalah semua, di sana tidak ada jagonya lagi. Menurut
perjanjian mereka harus mengaku kalah kemudian mentaati perintah dan kehendak
kami!" Kiam Ki Sianjin berkata keras, tanpa mempedulikan lagi kepada
pemuda muka merah itu.
Pak-lo-sian
dan Seng Thian Siansu saling pandang, lalu tersenyum pahit.
"Kiam
Ki Sianjin, kami adalah orang-orang gagah yang sekali mengeluarkan ludah takkan
dijilat lagi!"
Seng Thian
Siansu mengangguk-anggukkan kepalanya yang semua rambutnya sudah putih. Mereka
memang sudah tidak berdaya.
Kiu-bwe
Coa-li sudah tak dapat menggerakkan dua lengannya, demikian pula Pak-lo-sian
Siangkoan Hai. Seng Thian Siansu sendiri tangannya sudah remuk, tak mungkin
mampu berkelahi lagi. Murid-murid Pak-lo-sian juga terluka, demikian pula Sui
Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li. Ada pun dua orang murid Kun-lun-pai
kepandaiannya masih sangat jauh di bawah tingkat lawan. Mereka terpaksa harus
mengaku kalah.
"Jadi
kau sudah mengaku bahwa fihakmu kalah, Pak-lo-sian?" Kiam Ki Sianjin
bertanya dengan muka kegirangan.
"Memang...
kami..."
Tiba-tiba
Kwan Cu melanjutkan kata-kata Pak-lo-sian ini dengan cepat.
"Kami
belum lagi kalah! Aku Ang-bin Siauw-bu-beng mewakili fihak Pak-lo-sian Cianpwe
menjadi jagonya!"
Mendadak
Yok-ong melompat di dekat Kwan Cu. Semua orang lagi-lagi tertegun karena
gerakan kakek muka hitam itu sedemikian cepatnya sehingga sekali melihat saja
tahulah semua orang bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siauw-bu-beng,
tak boleh kau meninggalkan Lohu! Kalau kau yang muda berani maju, mengapa aku
tidak?"
Yok-ong
adalah seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah hampir sempurna, maka tentu
saja dia pun dihinggapi penyakit ‘gatal tangan’ seperti ahli-ahli silat lainnya
apa bila melihat adu kepandaian, apa lagi menghadapi begitu banyak jago-jago
silat. Maka dia tak dapat menahan hatinya untuk ‘main-main’ sebentar, dan di
samping ini dia juga merasa khawatir melihat Kwan Cu menghadapi para tokoh
besar itu. Dia tahu bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
berapa tinggikah kepandaian seorang bocah yang masih belum matang?
Yok-ong lalu
menjura kepada Kiam Ki Sianjin setelah mengejapkan mata kepada Kwan Cu.
"Kiam
Ki Sianjin, sudah lama sekali aku mendengar namamu yang menjulang setinggi
awan. Sekarang, sungguh amat menyenangkan bertemu dengan kau yang hadir sebagai
kaki tangan kaisar. Aku tak akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini, dan
mohon petunjukmu dalam ilmu pukulan."
Kwan Cu
maklum akan ‘penyakit’ ahli silat yang menghinggapi diri Yok-ong, maka sambil
memainkan mata kepada dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, dia berkata,
"Ji-wi
Locianpwe harap mundur dulu, nanti saja kalau tiba giliran kita, Ji-wi maju
lagi!"
Kata-kata
ini memanaskan perut Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai. Kalau saja yang
mengeluarkan kata-kata main-main ini bukan seorang bocah, tentu dia sudah
mengirim serangan. Akan tetapi Bin Kong Siansu sudah menarik tangannya diajak
mundur.
Kwan Cu juga
mundur. Akan tetapi dia berdiri tidak jauh di belakang Yok-ong, karena dia
merasa curiga dan khawatir kalau-kalau Yok-ong akan dicurangi pula.
Walau pun
Kiam Ki Sianjin dapat menduga bahwa kakek muka hitam ini lihai, akan tetapi
sebagai seorang tokoh besar dia tidak sudi bertanding melawan orang yang tak
terkenal, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Sahabat
telah mengetahui namaku yang rendah, tapi sebaliknya aku belum tahu dengan
siapa aku berhadapan. Ini tidak adil sekali."
Yok-ong
tertawa, suara ketawanya halus dan merdu seperti ketawa seorang yang amat
sopan.
"Kiam
Ki Sianjin, yang akan bergerak adalah tangan kaki kita, perlu apa
memperkenalkan nama? Akan tetapi karena kau mendesak, baiklah. Namaku adalah
Hek-bin Lo-bu-beng (Si Tua Tak Bernama Yang Bermuka Hitam)!"
Kwan Cu
tertawa geli. Kiranya kakek Raja Tabib ini meniru dia, menambah kata-kata Muka
Hitam di depan nama julukan baru, yakni Lo-bu-beng.
Kiam Ki
Sianjin menjadi merah mukanya. "Hemm, kau dan bocah itu sengaja tidak mau
memperkenalkan nama. Akan tetapi tak apalah. Apakah kau maju sebagai jago dari
fihak pemberontak?"
"Sesukamu,
boleh saja kau menganggap begitu. Akan tetapi sebetulnya lebih tepat kalau
dikatakan bahwa aku maju sebagai wakil dari mereka yang tertindas. Kiam Ki
Sianjin, keluarkanlah pedangmu, aku sudah lama mendengar bahwa kau adalah
seorang ahli pedang yang jempolan!"
Kiam Ki
Sianjin diam-diam berpikir dan mencari akal. Kalau orang ini sudah tahu bahwa
dia pandai main pedang, tentulah orang ini sudah bersedia terlebih dahulu
menghadapi pedangnya, dan boleh dipastikan bahwa kakek muka hitam ini tentulah
seorang ahli pula dalam penggunaan senjata pula.
"Tak
perlu menggunakan senjata," katanya, "mari kita mengadu tenaga
lweekang saja. Apakah kau berani menerima?"
Kiam Ki
Sianjin adalah seorang yang semenjak muda meyakinkan ilmu lweekang sampai
tingkat tinggi dan dalam hal kepandaian ini, kiranya dia tidak usah kalah oleh
lima tokoh besar, yakni Pak-lo-sian, Jeng-kin-jiu, Ang-bin Sin-kai, Hek-i
Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li. Karena itu, mengira bahwa Si Muka Hitam ini ahli
senjata, dia lalu memilih adu tenaga lweekang supaya mendapat kemenangan dengan
mudah.
Yok-ong
pura-pura terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Ayaaa...
mengapa kau mengajak yang aneh-aneh?"
"Berani
tidak?" tanya Kiam Ki Sianjin mendesak.
Kiam Ki
Sianjin merasa girang karena melihat si muka hitam kelihatannya ragu-ragu dan
terkejut. Jika si muka hitam menolak, berarti orang itu mengaku kalah dan boleh
dihukum menurut sesuka hati yang menang.
"Apa
boleh buat, kau tuan rumah dan aku tamu yang harus menghormati kehendak tuan
rumah. Dengan cara bagaimana kau hendak mengajakku mengadu kekuatan itu?"
tanya Yok-ong.
"Tidak
berbahaya, sama sekali tidak berbahaya! Kita mengadu telapak tangan dan saling
mendorong, siapa yang jatuh di atas tanah dia yang kalah!" kata Kiam Ki
Sianjin sambil tertawa-tawa.
Semua orang
terkejut. Memang ada banyak cara mengadu lweekang, akan tetapi yang paling
berbahaya adalah adu lweekang dengan menempelkan telapak tangan dan saling
mendorong. Dalam adu lweekang semacam ini, sembilan bagian orang yang kalah
akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang hebat sekali. Akan tetapi
anehnya, si muka hitam agaknya tidak mengerti akan bahaya itu dan dengan
tertawa-tawa dia berkata,
"Aha,
tidak tahunya kau akan mengajak aku main-main seperti anak kecil saja. Baiklah,
memang aku pun tidak mempunyai niat buruk di dalam hatiku. Kalau menang baik,
kalau kalah paling-paling hanya terdorong jatuh, apa susahnya?"
"Sahabat
Lo-bu-beng, hati-hatilah! Dia memiliki tenaga Jian-mo-kang!" kata
Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang juga merasa khawatir kalau-kalau si muka hitam
yang amat pandai mengobati itu akan binasa di bawah tangan Kiam Ki Sianjin yang
lihai.
Yok-ong
menoleh dan tersenyum kepada jago tua dari utara itu. "Biarlah, kami hanya
bermain-main dan saling dorong saja, bukan saling pukul. Apa sih
bahayanya?"
Akan tetapi
pada waktu dia menoleh, Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga dan meluruskan
kedua lengan ke depan, lalu membentak, "Lo-bu-beng, bersiaplah!"
Yok-ong
memutar tubuhnya dan bukan hanya dia, juga tokoh-tokoh lain yang hadir di situ
maklum bahwa kembali Kiam Ki Sianjin sudah menggunakan kesempatan untuk mencari
kedudukan yang lebih menguntungkan.
Dalam adu
tenaga seperti ini, siapa yang mengerahkan tenaga dan meluruskan lengan
terlebih dulu, dia berada dalam kedudukan menyerang, sedangkan yang menempelkan
tangan dan meluruskan lengan terakhir berada dalam kedudukan menahan.
Akan tetapi
agaknya si muka hitam ini tidak tahu akan hal ini, bahkan tanpa menarik napas
panjang seperti orang yang hendak mengumpulkan tenaga lweekang, akan tetapi
sambil tertawa-tawa dia lantas memasang kuda-kuda dengan tumit diangkat,
kemudian meluruskan tangan menempelkan telapak tangan ke telapak tangan Kiam Ki
Sianjin.
Begitu kedua
telapak tangan menempel, Kiam Ki Sianjin lalu mengempos semangat dan napasnya,
segera mendorong sambil mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang dahsyat. Tadi
sudah dituturkan mengenai kehebatan tenaga Jian-mo-kang ini, yang hanya angin
pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan batu seberat tiga ratus kati
dan kalau tangan itu menempel pada batu yang beratnya seribu kati, batu itu
akan terdorong roboh.
Akan tetapi,
pada saat tangannya menempel pada telapak tangan Yok-ong, dia merasa betapa
telapak tangan si muka hitam itu lunak dan halus sekali seperti kapas! Ia terkejut
dan tahu bahwa lawannya menggunakan Bian-ciang-kang (Telapak Tangan Kapas) yang
menggunakan tenaga ‘lemas’ untuk menghadapi tenaga ‘keras’.
Menghadapi
tenaga ini, Kiam Ki Sianjin kehilangan kekuasaan tenaganya, seakan-akan semua
tenaga Jian-mo-kang yang dikerahkan itu ‘amblas’ dalam telapak tangan lawan,
atau seperti sepotong besi yang berat masuk ke dalam air!
Cepat dia
hendak menarik kembali telapak tangannya untuk mengubah gencetan dari arah
lain. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika telapak tangannya itu telah
‘menempel’ pada telapak tangan si muka hitam, tidak dapat ditarik lepas!
Telapak tangan lawannya itu seakan-akan mengeluarkan daya luar biasa yang
menyedot kulit telapak tangannya sendiri.
Sebagai
seorang ahli silat dan ahli lweekeh, Kiam Ki Sianjin maklum bahwa lawannya
adalah seorang ahli dalam menggunakan tenaga ‘Im-kang’, maka kalau dia
melanjutkan usahanya menarik kembali tangannya, dia malah akan kehilangan
keseimbangan tenaga dalamnya.
Dengan nekat
dia kemudian mendorong lagi. Kini dia mengimbangi kekuatan lawan, jika lawan
menggunakan tenaga Yang-kang, dia pun mengerahkan tenaga Yang-kang, kalau
tenaga Im-kang, dia pun mengerahkan lweekang mempergunakan tenaga Im-kang.
Sebaliknya,
diam-diam Yok-ong juga memuji bahwa tenaga lweekang dari lawannya itu
benar-benar hebat dan sudah tinggi sekali, tidak kalah jauh oleh tenaganya
sendiri. Maka dia segera mengerahkan tenaganya dan menggunakan tenaga yang
mendorong lawan.
Kini tenaga
Yang dari kedua fihak bertanding hebat, disalurkan melalui lengan tangan, terus
ke telapak tangan sehingga dari keempat telapak tangan yang beradu itu mengepul
uap putih, sedangkan masing-masing merasa betapa telapak tangan mereka menjadi
panas sekali!
Keringat dingin
memenuhi dahi Kiam Ki Sianjin, sedangkan Yok-ong hanya merah saja wajahnya.
Dari sini saja sudah dapat dilihat bahwa tenaga si muka hitam itu sudah lebih
tinggi. Apa lagi kalau orang lain yang melihatnya, karena wajah Yok-ong yang
tertutup warna hitam itu tidak berubah sama sekali!
Memang, Kiam
Ki Sianjin sudah merasa betapa telapak tangannya seakan-akan terbakar dan kalau
dia teruskan, tentu kedua telapak tangannya akan hangus. Akan tetapi, untuk
menarik mundur sudah tidak ada waktu lagi, maka dia berlaku nekat dan
mengerahkan seluruh tenaga Jian-mo-kang.
Hek-i Hui-mo
melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, menjadi gelisah sekali. Ia lalu melangkah maju
kemudian dengan tangan kirinya dia mendorong punggung Kiam Ki Sianjin. Dengan
perbuatannya ini, biar pun dia membantu, namun dia sama sekali tidak menyentuh
lawan atau si muka hitam, sehingga dia tidak akan disebut curang.
Akan tetapi,
bantuannya ini bagi orang lain akan kelihatan aneh dan bahkan merugikan Kiam Ki
Sianjin, namun sesungguhnya dari telapak tangannya yang menempel punggung Kiam
Ki Sianjin, dia menyalurkan tenaga lweekang-nya yang setingkat dengan Kiam Ki
Sianjin, membantu orang tua ini menghadapi si muka hitam.
Akibat
bantuan ini segera kelihatan. Tubuh Yok-ong terdorong ke belakang seperti sudah
terdorong oleh tenaga raksasa! Juga dia merasa telapak tangannya panas sekali.
Ada pun Kiam
Ki Sianjin menjadi lega sekali karena rasa panas di tangannya berkurang banyak.
Tentu saja Yok-ong tidak kuat menahan serangan dua tenaga ahli lweekeh yang
dipersatukan atau disambung ini dan dia tahu bahwa dia akan kalah.
Kwan Cu
menjadi mendongkol dan merasa marah sekali. Ia melangkah maju dan hendak
mendorong punggung Yok-ong seperti yang sudah dilakukan oleh Hek-i Hui-mo,
namun Yok-ong menggerakkan kepalanya, digelengkan berkali-kali sehingga Kwan Cu
terpaksa mundur kembali.
Tiba-tiba
saja terdengar Yok-ong berseru keras dan nyaring sekali. Dengan pengerahan
tenaga seadanya, dalam sedetik ia dapat mendorong tangan Kiam Sianjin.
Memang hebat
sekali tenaga lweekang dari raja tabib ini, karena biar pun yang menahan di
depannya ada dua orang, akan tetapi pengerahan seluruh tenaganya ini untuk
sesaat dapat membuat Kiam Ki Sianjin dan Hek-i Hui-mo terdorong ke belakang!
Sesungguhnya hal ini adalah berkat obat-obat penguat tubuh yang diminum oleh
raja tabib ini, sehingga dia memang mempunyai kekuatan tubuh luar biasa sekali.
Akan tetapi,
pengerahan tenaga tadi hanyalah siasat belaka dari Yok-ong karena dia pun
maklum bahwa kalau terus dilanjutkan, akhirnya dia akan kalah juga. Setelah dia
berhasil mendorongkan kedudukan lawan dan kini kedua lawannya mengerahkan
seluruh tenaga, tiba-tiba dia mengarahkan kedua tangan ke bawah lalu melepaskan
tempelan tangannya dan tubuhnya mengelak ke bawah terus ke kanan.
Hebat luar biasa
akibat akal ini. Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga sebesarnya, dibantu
pula oleh Hek-i Hui-mo yang mendorong punggungnya. Sekarang dilepas secara
tiba-tiba, tak dapat dicegah lagi dia terdorong ke depan. Apa lagi masih ada
Hek-i Hui-mo yang mendorong punggungnya, maka di lain saat kedua orang tokoh
besar ini terjungkal ke depan, jatuh bangun dan saling tindih!
Baiknya
mereka adalah ahli-ahli yang berkepandaian tinggi, maka cepat mereka dapat
menarik kembali tenaga mereka dan hanya mengalami benjut-benjut saja. Namun
semua batu yang tertimpa tangan mereka pada remuk!
Kwan Cu
bertepuk tangan gembira dan sebentar saja Pak-lo-sian juga terkekeh-kekeh,
diikuti pujian dari semua orang di fihaknya.
"Kiam
Ki Sianjin sudah kalah...!" Kwan Cu berseru berulang-ulang sambil
bertepuk-tepuk tangan.
Dengan muka
merah sekali Kiam Ki Sianjin dan Hek-i Hui-mo bangun berdiri mengibas-ngibaskan
pakaian mereka yang terkena debu, untuk beberapa lama tak mampu bicara.
Kemudian Hek-i Hui-mo melangkah maju dan dengan alis berdiri dia menudingkan
jari telunjuknya kepada Yok-ong.
"Siluman
muka hitam! Tidak bisa kau dibilang menang, karena kemenanganmu itu hanya
karena siasat busukmu belaka!"
Yok-ong
tidak meladeninya karena raja tabib ini adalah seorang yang sangat berhati-hati
menjaga kesehatannya. Setelah mengalami adu tenaga yang sedemikian hebatnya,
dia tidak mau banyak bicara, hanya berdiri diam dan mengatur pernapasan
mengumpulkan kembali tenaganya.
Melihat ini,
Kwan Cu maklum bahwa kakek sakti ini perlu diberi waktu untuk beristirahat
lebih dulu karena fihak lawan masih amat kuat. Ia yang segera maju dan mencela
Hek-i Hui-mo.
"Locianpwe,
kau disebut ahli silat nomor satu dari barat, akan tetapi mengapa kau tadi
membantu Kiam Ki Sianjin dan sekarang bahkan menyalahkan kakekku? Sudahlah,
nanti akan datang giliranmu, sekarang lebih baik kau tiru perbuatan kakekku,
mengumpulkan tenaga untuk pertandingan selanjutnya. Sekarang aku akan
melanjutkan pembicaraanku dengan kedua ciangbunjin (ketua) dari Bu-tong-pai dan
Kim-san-pai."
Hek-i Hui-mo
sudah mengertak gigi dan hendak menyerang Kwan Cu, akan tetapi kedua orang
ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah melompat maju dan berkata kepada Hek-i
Hui-mo,
"Memang
benar apa yang dikatakan oleh Siauw-ang-mo (Setan Kecil Merah) ini. Biarkan
kami berdua mendengarkan kata-katanya lebih lanjut," kata Bin Kong Siansu.
Kemudian dia menghadapi Kwan Cu dan berkata,
"Anak
muda, kau tadi bilang mewakili Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian musuh besar kami,
sebenarnya bagaimana maksudmu? Kami jauh-jauh datang sengaja hendak memberi
hukuman kepada mereka yang secara curang dan terlalu telah membunuh dan
menghina orang dari partai kami, apakah kau hendak menghalangi?"
Kwan Cu
tersenyum dan menjura dengan hormat. "Mana berani boanpwe menghalangi niat
dari Ji-wi Ciangbun yang lihai? Boanpwe sekali-kali tak akan merintangi apa
bila Ji-wi hendak membunuh atau membalas dendam kepada Kiu-bwe Coa-li dan
Pak-lo-sian dua Cianpwe itu. Hanya saja, hukuman itu hendaknya dilaksanakan
setelah boanpwe selesai mendongeng."
"Keparat!
Kau berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, tapi masih berani
melawak dan hendak mempermainkan kami?" bentak Bian Kim Hosiang yang
adatnya memang keras.
"Sama
sekali tidak melawak apa lagi mempermainkan, akan tetapi dengarlah saja, Ji-wi
Locianpwe tentu akan suka mendengar dongeng ini." Sebelum orang membantah
pula, Kwan Cu cepat melanjutkan omongannya,
"Kurang
lebih sebulan yang lalu, di sebuah kuil di selatan kota raja terjadi hal yang
amat aneh. Kuil itu dijaga oleh seorang tojin yang bernama Siok Tek Tojin, dan
pada hari itu di dalam kuil datanglah seorang hwesio pendek bundar membawa
pedang beserta seorang tosu. Mereka bermalam di kuil itu."
"Dia
adalah Bian Ti Hosiang murid kepala Bu-tong-pai!" seru Bian Kim Hosiang.
"Tosu
itu tentulah sute-ku Bin Hong Siansu!" Bin Kong Siansu juga berseru.
"Kebetulan
sekali terkaan Ji-wi Locianpwe memang sangat tepat," Kwan Cu melanjutkan
kata-katanya sambil tersenyum. "Pada malam hari, dua orang pendeta itu
terbunuh orang di dalam kamarnya."
"Benar!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li yang membunuh mereka secara
pengecut!" teriak Bian Kim Hosiang dengan mata merah memandang kepada dua
orang tokoh besar itu.
Kwan Cu
tersenyum dan mengangguk-angguk. "Memang pembunuhnya mengaku bahwa mereka
adalah Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li."
Kiu-bwe
Coa-li melompat dengan marah. "Buang kentut busuk! Kalau kedua tanganku
dapat digerakkan, kepala kalian sudah hancur!"
Juga
Pak-lo-sian melompat dan berkata marah, "Bohong sama sekali!"
Kwan Cu
menengok dan berkata, "Sabar... sabar... boanpwe belum lagi habis
bercerita. Memang pembunuh-pembunuh keji itu telah mengaku bernama Pak-lo-sian
dan Kiu-bwe Coa-li. Mereka membunuh secara curang sekali, dan menggunakan obat
bius sehingga dua orang pendeta itu pingsan lalu mereka dibunuh. Kebetulan
sekali, pembunuh yang aslinya melarikan diri di dalam gelap dan kehilangan
sepotong jubah hitamnya! Ada pun orang kedua adalah Siok Tek Tojin yang
bersekongkol dengan penjahat jubah hitam itu."
Terdengar
seruan kaget di antara orang-orang yang berdiri dekat Kiam Ki Sianjin. Siok Tek
Tojin melompat maju dengan golok di tangan.
"Jahanam
kau! Kau berani membawa-bawa nama pinto dengan obrolan kosong itu?"
Tanpa
menanti apa-apa lagi Siok Tek Tojin menusukkan goloknya ke arah dada Kwan Cu.
Tusukan ini cepat sekali dan kuat. Akan tetapi Kwan Cu tidak mengelak mau pun
menangkis, hanya memandang dengan mulut tersenyum bodoh.
Semua orang
di fihak Pak-lo-sian terkejut, bahkan Sui Ceng mengeluarkan jerit tertahan
karena disangkanya bahwa pemuda muka merah yang membantu fihaknya itu pasti
akan terkena tusukan. Jangankan Sui Ceng, bahkan Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li
sendiri menyangka bahwa pemuda aneh itu tentu akan tertusuk golok.
Siok Tek
Tojin sudah gembira sekali. Apa lagi melihat pemuda itu menoleh kepada Sui Ceng
sambil berbareng mengeluarkan kata didahului dengan bentakan,
"Aha!
Nona, kau baik sekali mengkhawatirkan keselamatanku!"
Kalau
dibicarakan memang sungguh aneh sekali dan semua orang yang berada di situ
tentu tidak akan percaya kalau tidak melihat dengan mata mereka sendiri. Pemuda
itu tidak mengelak, bahkan kini kepalanya menengok ke belakang dan dadanya
terbentang tanpa perlindungan menerima tusukan golok.
Yok-ong
makin membelalakkan matanya dan menahan napas. Akan tetapi, setelah ujung golok
dekat dengan dada Kwan Cu, tiba-tiba berbareng dengan bentakan.
"Aha!"
tadi, dan golok itu lalu menyeleweng ke pinggir seolah-olah terdorong oleh
tenaga tidak kelihatan yang menyampoknya dari samping!
Siok Tek
Tojin merasa heran bukan main dan dia juga penasaran. Apakah dia diserang
penyakit demam sehingga tangannya lemah dan menggigil? Sekarang dia menyerang
lagi, bukan menusuk, bahkan membacokkan goloknya yang menyeleweng tadi ke arah
leher Kwan Cu.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment