Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 03
Phoa Ti
mengusulkan agar kitab itu saling ditukar saja supaya keduanya bisa mempelajari
bersama. Akan tetapi The Bok Nam yang tidak ingin dikalahkan oleh sahabatnya
itu tidak setuju. Akhirnya terjadilah pertengkaran dan bahkan timbul
persetujuan di antara mereka bahwa siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang
berhak membaca kedua kitab lebih dulu. Mulai saat itulah mereka sering kali
mengadu ilmu, sampai berhari-hari.
Akan tetapi
tingkat mereka memang sama persis. Walau pun Phoa Ti sudah mempelajari Im-sin-kiam,
akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang-sin-kiam sehingga
kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat.
Hal ini
terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi kakek-kakek tetap
saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu
kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang.
Akibatnya,
saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke
dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri. Akhirnya Beng San datang dan
anak ini kemudian mereka pergunakan untuk melanjutkan ‘adu kepandaian’ itu.
“Demikianlah,
Beng San, muridku,” Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia
angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Baru sekarang
aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The
Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan
timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai.”
“Suhu
(guru), apakah selama ini tokoh-tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah
datang untuk merampas kitab?” tanya Beng San.
“Tidak, kami
sangat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai
empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau
kami atau seorang di antara kami sudah dapat mempelajari Im-Yang Sin-kiam-sut,
kiranya kami baru akan kuat menghadapi mereka.”
Beng San
teringat akan Hek-hwa Kui-bo, maka dia lalu berkata, “Suhu, belum lama ini teecu
(murid) bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan....”
Tiba-tiba
pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. Dengan tangannya yang hanya sebelah itu
dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya,
“Apa...?
Dia...? Celaka... tentu dia sudah mendengar akan hal kitab itu. Kalau tidak,
tak mungkin dia muncul... coba kau ceritakan tentang pertemuan itu.”
Dengan
singkat Beng San lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia bekerja di
dalam kelenteng sampai dia bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya
mendengarkan dengan hati tertarik, kadang kala sambil menggeleng kepala.
Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.
“Tidak salah
lagi, tentu setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im-sin-kiam dan
Yang-sin-kiam untuk mengadu kepandaian, kuntilanak itu tentu telah mendengar
dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan kitab Bu Pun Su thai-sucouw.
Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang
kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan kitab
Yang-sin-kiam itu kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang di
antara empat setan itu muncul, maka celakalah.....”
Demikianlah,
Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang kakek itu.
The Bok Nam
benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat
memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong-ji-ciang itu adalah
jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan kitab Im-sin-kiam.
Sebaliknya,
Phoa Ti juga mampu memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam,
jurus-jurus ilmu silat Pat-hong-ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she
The itu dari kitabnya, Yang-sin-kiam.
Beng San
adalah seorang anak yang cerdik bukan main. Sampai sepuluh hari dia menjadi
penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas
jurus dari Khong-ji-ciang serta lima belas jurus dari Pat-hong-ciang! Dia
melihat betapa makin hari kedua orang kakek itu makin lemah karena luka mereka
dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apa lagi sekarang dalam memberikan
petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Iweekang.
Yang membuat
senang hati Beng San adalah karena untuk menjalankan semua pelajaran
jurus-jurus yang harus dia bawa ke sana ke mari ini mengandung hawa-hawa murni
dari Yang-kang dan Im-kang, maka tentu saja kedua macam hawa yang memenuhi
dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur. Gerakan-gerakan dalam melakukan
jurus-jurus ilmu silat itu telah membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia
merasa tubuhnya makin enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak
mengganggunya sama sekali.
Pada hari
kesebelas dia melihat suhu-nya sudah amat lemah, sampai jatuh pingsan ketika
memberi petunjuk kepadanya. Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti
seperti juga ketidak sukaannya kepada The Bok Nam. Akan tetapi dia merasa
kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang
sikap Phoa Ti lebih baik dan lebih lemah lembut dari pada sikap The Bok Nam.
Di samping
tubuh suhu-nya yang masih pingsan itu, Beng San duduk termenung, memutar
otaknya. Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah
pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat
persamaan-persamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu. Jika
dipandang sepintas lalu dan dimainkan, jurus-jurus ilmu silat itu nampaknya
seperti saling bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat
disesuaikan.
Phoa Ti
siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya.
“Suhu, malam tadi teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara
beberapa jurus ilmu silat suhu dan kakek The itu. Contohnya jurus yang kemarin
itu, betapa sama gerakannya, hanya dibalik saja. Jika jurus suhu menggunakan
tangan kanan, adalah jurus kakek itu menggunakan tangan kiri. Kalau dalam jurus
suhu harus menyedot napas pada waktu memukul, dalam jurus kakek itu sebaliknya,
harus meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik
saja?”
Sejenak
kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan
suara seperti jeritan dan... dia memuntahkan darah segar dari mulut!
Beng San
cepat-cepat mengurut punggung kakek itu. Setelah agak reda napasnya, kakek itu
berkata lemah, “Aduh... kau hebat... aduh, aku bodoh sekali, Beng San. Kau
benar... kau benar... itulah sebabnya mengapa sekaligus harus mempelajari kedua
kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus...! Sekarang kau pergilah ke sana,
gunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus saja, tapi cukup... kau
balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah
kau pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, atau kau bikin kacau sesuka hatimu.
He-he-he... hendak kulihat apakah dia masih mampu memecahkan serangan dari
jurusnya sendiri yang dibikin rusak...”
“Andai kata
dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana suhu?”
“Dia...
uhhh... uhhh... dia harus menyerahkan kitabnya.....” sukar sekali bagi Phoa Ti
untuk mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak. “Lekaslah kau
pergi...”
Kakek Phoa
Ti hendak melontarkan tubuh Beng San ke jurang sebelah sana seperti yang
sudah-sudah, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya dapat memberi
isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat kakek The
Bok Nam.
Beng San
lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa
tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu. Ketika dia tiba di
atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas.
Apa sukarnya
kalau dia melarikan diri dari situ? Baik kakek Phoa Ti mau pun kakek The Bok
Nam takkan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah
karena luka-luka mereka yang amat parah.
Akan tetapi
aneh, sekali ini tak ada keinginan di hati Beng San untuk melarikan diri. Malah
dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji, karena dia mulai merasa
tertarik dengan ilmu silat. Apa lagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan
oleh cerita suhu-nya tentang kitab Im-yang Sin-kiam-sut yang kini diperebutkan
oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu.
Ketika
menuruni jurang di mana The Bok Nam berada, dia melihat kakek ini keadaannya
tidak lebih baik dari pada kakek Phoa Ti. Kakek itu menyambut kedatangan Beng
San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.
“Ha-ha-ha,
tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu ke sini, Beng
San?” biar pun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga.
Andai kata
kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang
takkan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San,
kedua tangannya terasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia
memakai tenaganya yang sebenarnya sudah hampir habis.
“Bukan dia
tidak bertenaga,” kata Beng San membela suhu-nya, “Hanya aku sendiri yang mau
memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan ke sana ke mari seperti bola.”
Kembali The
Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San bisa mengetahui bahwa keadaan
suhu-nya lebih buruk dari pada kakek tinggi besar ini.
“Nah, ilmu
cakar bebek apa lagi yang kau bawa sekali ini? Lebih baik Phoa Ti mengaku kalah
dan memberikan kitabnya kepadaku.”
Pada saat
itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok,
“The Bok Nam, seorang gagah sejati takkan menarik kembali janjinya. Kalau
engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan kitab itu...”
Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya.
The Bok Nam
menjadi pucat. “Celaka,” katanya. “Kakek Phoa Ti diserang....” Tiba-tiba dia
mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh.
Beng San
terkejut sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat.
Sekarang tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil
kurus seperti tengkorak hidup. Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun,
mukanya pucat bagaikan mayat sedangkan pakaiannya pun putih semua seperti orang
sedang berkabung. Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng.
Beng San
benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang
masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri di situ? Ketika dia melirik ke arah The
Bok Nam, kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat
hidup itu.
“Song... bun
kwi (Setan Berkabung), kau... kau curang... menyerang orang yang terluka...”
Akan tetapi
The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena tiba-tiba orang tinggi
kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai di dekatnya, langsung
mengguling-gulingkan tubuh The Bok Nam, dan kedua tangannya mencari-cari.
Sebentar
saja tangannya mencari-cari, dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan
mencabut keluar sebuah kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang
sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali hingga Beng San hampir
tak dapat mengikuti dengan matanya.
Melihat
betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The
Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat ia melompat
maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.
“Menyerang
dan merampas barang orang yang sedang sakit, tindakan begitu mana bisa disebut
perbuatan gagah? Sungguh tidak tahu malu sekali engkau, Song-bun-kwi!” Sikap
dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi orang muda, maka
tampak lucu sekali.
Akan tetapi
Song-bun-kwi terbelalak dan nampak mengerikan sekali. Matanya mendadak hanya
kelihatan putihnya saja bagaikan mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan
menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu.
Tiba-tiba
setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan
akhirnya dia benar-benar menangis! Namun hanya sebentar saja. Tangisnya lalu
terhenti dan dia berkata kepada Beng San, “Dua puluh tahun lebih tidak
mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha,
anak baik. Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang.” Setelah berkata
demikian, dia menggerakkan dua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari
jurang itu.
Beng San
melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini segera
mengingatkan dia kepada Hek-hwa Kui-bo. Diam-diam dia bergidik. Mengapa di dunia
ini ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja?
Beng San
mendengar The Bok Nam mengeluh. Ketika menengok, dia melihat orang tua itu
napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya.
Beng San
segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapatkan dari
suhu-nya, memeras daun itu dan memasukkannya ke dalam mulut The Bok Nam. Kakek
itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke
pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.
“Dua puluh
tahun berkukuh tak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, dan kini
terampas oleh Song-bun-kwi.... Hemmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang
tidak ingat kepada sahabat baiknya....”
Ia
terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng
San melihat kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.
“Orang tua,
dua puluh tahun kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua
isinya. Terampas orang lain apa ruginya?”
Tiba-tiba
kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya. “Kau betul... ehhh, Beng San,
kau betul... bantu aku duduk... ehh, pukulan Setan Berkabung itu hebat...”
Beng San
membantu kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh
pukulan jarak jauh Song-bun-kwi.
“Lekaslah
kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh isi kitab
Yang-sin-kiam.”
Karena
merasa kasihan kepada kakek ini yang dia tahu dari perasaannya tak akan dapat
hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.
“Suhu…!”
“Dengar
baik-baik. Yang-sin-kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang
lalu dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang
yang telah mempelajarinya. Nah, kauhafalkan satu demi satu.”
“Nanti dulu,
The-suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti suhu di sana…”
The Bok Nam
tercengang. “Kau menjadi muridnya.....? Ahhh, betul sekali sahabatku she Phoa
itu. Engkau harus pula mewarisi Im-sin-kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak
si Setan Berkabung ada tandingannya...”
Setelah
mendapat persetujuan kakek itu, Beng San lalu memanjat ke atas untuk melihat
kakek Phoa Ti. Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking
seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba di atas dia melihat dua bayangan
berkelebat di atas jalan kecil. Ternyata bahwa Song-bun-kwi sedang bertanding
melawan Hek-hwa Kui-bo!
Song-bun-kwi
bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara seperti menangis itu,
sedangkan Hek-hwa Kui-bo bersenjata sapu tangan suteranya. Pertempuran itu
berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan. Meski pun gerakan mereka
begitu ringan seperti terbang saja, tapi angin dari pukulan mereka
menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan
dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai.
Pertandingan
itu berlangsung tidak lama karena keduanya berkelahi sambil berlari-lari dan
sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu
lapat-lapat masih terdengar dari jauh.
Setelah
suara suling itu lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari
menuruni jurang. Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti
telah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong,
tetapi ternyata keadaan kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, telah
terluka hebat oleh pukulan Hek-hwa Kui-bo.
“Bagaimana,
suhu.....?” Beng San berbisik ketika melihat suhu-nya membuka mata.
“Ahhh,
celaka... celaka... Kitab Im-sin-kiam dirampas Hek-hwa Kui-bo.....” Phoa Ti
berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali, “Beng San, nyawaku
tidak akan dapat tinggal lebih lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka
berat. Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan padamu seluruh isi Im-sin-kiam yang
terdiri dari delapan belas pokok gerakan...”
Beng San tak
mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia
cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan kakek itu kepadanya.
Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena
tidak ada waktu baginya. Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya.
Hal ini
bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas, akan tetapi terutama
sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong-ji-ciang yang inti
sarinya memang bersumber kepada Im-sin-kiam sehingga mudahlah baginya untuk
menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu.
Betapa pun
juga, untuk menghafal delapan belas pokok gerakan itu dengan baik, ia harus
mempergunakan waktu setengah bulan. Setelah tamat, keadaan suhu-nya sudah payah
sekali.
Sebetulnya
Beng San tidak tega meninggalkan suhu-nya ini. Maka setelah tamat, biar pun
hatinya ingin sekali pergi ke The Bok Nam untuk menerima warisan Yang-sin-kiam,
namun dia tidak mau pergi, melainkan terus menjaga dan merawat suhu-nya.
“Ahh... Puas
hatiku... Im-sin-kiam telah kau hafalkan semua... sayang… alangkah baiknya
kalau kau pun dapat menghafal Yang-sin-kiam.”
“Suhu,
sebetulnya suhu The Bok Nam juga sudah mengangkat teecu sebagai murid dan
hendak menurunkan Yang-sin-kiam, akan tetapi... teecu tidak tega meninggalkan
suhu seorang diri...”
“Bagus! Anak
bodoh, mengapa tidak bilang dari kemarin? Hayo kau lekas pergi ke sana.
Lekas...!” Beng San tidak dapat membantah lagi dan ketika dia dengan gerakan
ringan memanjat tebing, dia mendengar di bawah suhu-nya itu tertawa-tawa
gembira.
The Bok Nam
menerima kedatangan Beng San dengan merengut. “Hemmm, murid apa kau ini? Kenapa
begitu lama tidak muncul?”
Beng San
menjatuhkan diri berlutut. “The-suhu, harap ampunkan teecu yang lama tidak
datang karena teecu harus menghafalkan Im-sin-kiam dari Phoa Ti suhu.”
Wajah yang
muram itu menjadi terang. “Aha, kiranya sahabatku Phoa Ti juga sudah sadar dan
insyaf. Siapa yang merampas kitabnya?”
Diam-diam
Beng San merasa kagum. Tanpa melihat kakek ini sudah tahu bahwa Phoa Ti
diserang orang dan dirampas kitabnya. “Hek-hwa Kui-bo yang merampasnya, suhu.”
Lalu dia
menceritakan secara singkat apa yang dilihatnya ketika dia keluar dari jurang
ini setengah bulan yang lalu.
The Bok Nam
menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw akan geger akibat terampasnya
kitab-kitab itu. Lekas, Beng San, kau pelajari Yang-sin-kiam..., aku sudah
hampir tak kuat lagi.”
Demikianlah,
sekali ini Beng San mempelajari Yang-sin-kiam dari gurunya yang kedua. Mungkin
karena dia sudah menghafal Im-sin-kiam, kali ini dia mempelajari ilmu itu
secara lebih mudah. Baru sepuluh hari dia sudah dapat menghafal delapan belas
pokok gerakan Yang-sin-kiam.
Sementara
itu, pada hari kesebelasnya dia mendapati The Bok Nam sudah kaku dalam keadaan
duduk bersila, sudah tidak bernyawa lagi! Beng San kaget dan terharu sekali,
dia menangis dengan sedihnya.
Segera dia
menggali lubang di jurang itu dengan kedua tangannya. Baiknya dia sudah melatih
silat dan gerakan-gerakan itu menambah besar tenaga di tubuhnya, sudah dapat
mempersatukan hawa Yang dan Im di tubuhnya, maka tak begitu sukarlah baginya
untuk menggali lubang di tanah dasar jurang yang tidak keras itu.
Setelah
mengubur jenazah The Bok Nam dan berlutut beberapa lama, anak itu kemudian
meninggalkan jurang, lalu menuruni jurang di seberang untuk menghadap gurunya
yang seorang lagi. Ia melihat orang tua itu rebah miring seperti biasa.
“Phoa-suhu,
teecu sudah berhasil mempelajari...” ia menghentikan kata-katanya karena
melihat keadaan suhu-nya yang diam tidak bergerak. Cepat dia melompat
mendekatinya dan....
“Suhu...!”
untuk kedua kalinya Beng San menangisi kematian seorang lagi yang sangat disayang
dan dihormatinya. Phoa Ti ternyata sudah meninggal dunia pula, agaknya belum
lama dia mati karena tubuhnya masih baik.
Seperti yang
dia lakukan pada jenazah The Bok Nam, Beng San juga mengubur jenazah Phoa Ti di
dasar jurang itu. Dia memberi hormat di depan makam suhu-nya itu, lalu dia
memanjat jurang keluar dari situ. Diambilnya sebuah batu besar dan
diletakkannya di tepi jalan sebagai tanda pengenal. Tanpa tanda ini akan sukar
sekali mencari di mana adanya jurang yang menjadi kuburan kedua orang tua itu.
Barulah anak
ini sadar bahwa dia tadi telah mengangkat sebuah batu yang amat besar dengan
mudah saja! Ia pun kaget berbareng girang bukan main. Karena maklum bahwa
pelajaran-pelajaran yang dia dapatkan dari kedua orang kakek itulah yang
mendatangkan tenaga besar dalam tubuhnya, dia lalu mengingat-ingat semua
pelajaran itu dengan baik.
Sambil
berjalan meninggalkan tempat itu dia berjanji kepada diri sendiri untuk melatih
diri dengan semua jurus itu setiap kali ada kesempatan baginya…..
***************
Pada malam
hari terang bulan, seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang
diri di belakang sebuah losmen. Taman bunga kecil milik losmen itu lumayan juga
dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apa bila orang tidak
mendengar isak tangis perlahan, isak tangis yang tertahan-tahan.
Gadis yang
menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat
orang gagah dari Hoa-san-pai. Memang aneh apa bila melihat gadis perkasa ini
menangis. Sebagai seorang pendekar wanita yang sangat terkenal namanya, walau
pun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, yang amat
memalukan baginya.
Oleh karena
itu, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan
bersama twa-suheng-nya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika
mereka bermalam di losmen kecil di kota Leng-ki ini, ia mendapat kesempatan
pada malam hari itu untuk keluar losmen, duduk di taman bunga yang sunyi
meratapi nasibnya yang buruk.
Siapakah
orang yang takkan merasa berduka? Ayahnya telah dibunuh orang dan menurut
bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan lain adalah tunangannya sendiri, bersama
seorang perempuan kekasih tunangannya itu!
Tunangannya
itu adalah pilihan gurunya dan sudah disetujui ayahnya, maka tentu saja ia
sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan
hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh ayahnya. Sekaligus ia
kehilangan ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang
musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun-lun-pai itu.
Ia tidak
gentar menghadapi Kwee Sin atau siapa pun juga untuk membalas sakit hatinya.
Akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh
besarnya, yang membunuh ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang
selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman
yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang
bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap.
Sunyi di
sekeliling tempat itu. Sian Hwa begitu terbenam dalam tangis dan kesedihannya
sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam
taman.
Pendekar ini
mendekati sumoi-nya dan menegur halus.
“Sumoi,
harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi,
paling perlu engkau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah,
sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu. Pasti kita
berdua akan dapat membongkar rahasia kematian ayahmu dan membalas dendam ini.”
Sian Hwa
terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu. Dengan sedu-sedan ia menubruk
kakak seperguruannya.
“Twa-suheng...,
ahhh..., alangkah buruk nasibku, suheng...” Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa
Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.
“Sudahlah
sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain engkau menangis
seorang diri di sini, nanti bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan.”
Tiba-tiba
Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya ke samping dan pada lain saat
tangannya menyambar ke depan.
“Keparat
pengecut!” bentaknya sambil melompat ke depan.
Sian Hwa
yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada. Dia tidak mendengar dan tak
melihat menyambarnya benda itu. Sekarang ia maklum bahwa ada orang jahat, maka
ia cepat melompat mengejar suheng-nya.
Akan tetapi
Kwa Tin Siong sudah kembali lagi. “Dia menghilang di dalam gelap,” katanya.
“Mari kita masuk, sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan ke arah kita tadi.”
Di dalam
ruangan losmen, di bawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu.
Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari
perak. Sisir rambutnya sendiri yang dahulu dipergunakan sebagai tanda pengikat
perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan kepadanya
dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir.
‘Putus
karena berlaku serong’.
Wajah Sian
Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan kemarahannya yang memuncak.
Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah
Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong!
Dan tunangannya itu, yang membunuh ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan
Pek-lian-kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan suheng-nya
sendiri.
Dengan isak
ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong
yang berdiri terlongong di ruangan itu. Pendekar ini menarik napas berulang
kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut. Baru kali ini
semenjak dia ditinggal mati isterinya, hati dan pikirannya digoda oleh
persoalan wanita, dan wanita itu adalah sumoi-nya sendiri.
Kemudian dia
teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati ayah ini pun timbul
kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang
pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anaknya
itu kelak.
Sebenarnya,
di dalam hatinya sudah ada rencana untuk mengikat tali perjodohan antara Kwa
Hong dengan putera sulung sute-nya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang
dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh sumoi-nya, dia pun merasa
berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan
dalam pertunangan seperti apa yang dialami oleh sumoi-nya itu.
Semalam itu
Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu
dengan Sian Hwa, dia melihat sumoi-nya itu pun merah sepasang matanya, tanda
bahwa sumoi-nya ini pun tidak tidur dan banyak menangis. Mereka tidak dapat
mengeluarkan kata-kata lagi karena peristiwa malam tadi masih menggores hati
dan perasaan mereka. Setelah sarapan, dengan cepat mereka melanjutkan
perjalanan ke Hoa-san yang tak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah
hari.
Lian Bu
Tojin, ketua Hoa-san-pai yang kini sudah berusia enam puluh tahun ini, seorang
kakek tinggi kurus, berjenggot panjang, bertongkat bambu, duduk di atas bangku
sambil mengusap-usap jenggotnya dan memandang murid bungsunya yang berlutut di
depan kakinya. Beberapa lama dia membiarkan muridnya itu menangis tersedu-sedu.
Sesudah melihat tangis Sian Hwa agak reda barulah dia berkata dengan suaranya
yang halus dan sabar.
“Sian Hwa,
kau tenangkanlah hatimu dan pergunakanlah pikiranmu. Dalam menghadapi segala
macam peristiwa, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan, kau harus
dapat menggunakan pikiranmu. Terlampau menuruti perasaan dapat menggelapkan
pikiran. Hati boleh sepanas-panasnya, akan tetapi kepala harus dingin sehingga
pikiran tidak dikuasai hati dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan
sebaiknya.”
“Teecu
menurut petuah suhu, akan tetapi, suhu... manusia she Kwee itu betul-betul
keji. Hanya karena ayah teecu melihat perbuatannya yang tidak tahu malu itu,
mengapa dia sampai hati membunuh ayah? Ahh..., teecu mohon perkenan suhu untuk
mencarinya dan membalas dendam ini.”
Lian Bu
Tojin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Darah muda..., darah muda…! Sian Hwa,
persoalanmu ini mengandung rahasia yang meragukan. Lagi pula, tak percuma kau
menjadi muridku. Bukankah dahulu sudah sering kuajarkan padamu bahwa di balik
segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, terdapat kekuasaan tertinggi yang
mengatur segalanya? Apa yang terjadi pada diri ayahmu sekali pun adalah hal
yang sudah semestinya begitu, tepat menurut kehendak kekuasaan itu. Manusia yang
melakukannya hanyalah menjadi lantaran belaka. Karena itu tugasmu memang harus
memegang kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan
penyelewengan, akan tetapi jangan sekali-kali kau dipengaruhi dan ditunggangi
oleh nafsu kebencian, nafsu membalas dendam, karena jika terjadi hal demikian,
namanya sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi, melainkan
menjadi budak nafsu sendiri yang termasuk kejahatan pula.”
“Teecu
menyerahkan urusan ini kepada suhu...,” Sian Hwa berkata lemah, terpukul oleh
petuah suhu-nya yang tentu saja sudah dimengertinya baik-baik itu.
“Sekarang
biarlah suheng-mu yang menuturkan semua apa yang telah terjadi.”
Kwa Tin
Siong lalu menceritakan kepada suhu-nya tentang semua pengalamannya sejak dia
berniat membantu Pek-lian-pai untuk menentang pemerintah penjajah, juga betapa
dia bertemu dengan Koai Atong yang membawa pergi anaknya dan mengenai
penyerangan orang-orang yang mengaku anggota Pek-lian-kauw terhadap dia dan
Sian Hwa.
Sebagai
penutup dia mengemukakan bahwa keadaan Kwee Sin memang mencurigakan sekali, dan
sangat boleh jadi Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng, Bun Si Liong, dan Kwee
Sin sudah pula mengadakan hubungan dengan kaum Pek lian pai.
“Hanya
sebuah hal yang teecu tidak mengerti, yaitu mengenai hubungan antara saudara
Kwee Sin dengan wanita Pek-lian-pai yang sangat mencurigakan itu, benar-benar
teecu tidak mengerti...” Demikian Kwa Tin Siong menutup penuturannya.
Dalam
penuturannya tadi, ia sengaja tidak menceritakan tentang kejadian di taman
bunga belakang losmen. Kwa Tin Siong adalah seorang gagah yang sudah banyak
pengalaman, maka mendengar bahwa tadi sumoi-nya pun tidak bercerita tentang hal
ini, dia tidak mau menyebut-nyebutnya pula karena dia tidak ingin menyinggung
perasaan Sian Hwa.
Ketua
Hoa-san-pai mengangguk-angguk, lalu dia berkata. “Memang keadaan Kwee Sin itu
mencurigakan sekali. Sekarang begini saja baiknya, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa.
Segala urusan yang menyangkut diri sahabat-sahabat, harus diselesaikan secara
musyawarah, secara damai dan seadil-adilnya. Tunggulah sampai Wan It dan Kui
Keng datang. Kalian juga boleh pergi mengunjungi Kun-lun Sam-hengte untuk minta
penjelasan langsung dari Kwee Sin. Dengan demikian, maka segala hal akan dapat
diselesaikan.”
Setelah
berkata demikian, ketua Hoa-san-pai ini bertanya lebih lanjut tentang Kwa Hong
yang pergi bersama Koai Atong.
“Itulah yang
sangat menggelisahkan hati teecu, Suhu. Koai Atong adalah seorang yang amat
aneh kelakuannya, seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya.
Teecu tidak tahu ke mana anak teecu itu dibawa pergi."
Lian Bu
Tojin tersenyum. "Tak usah khawatir. Kalau Koai Atong sudah berkeliaran di
sini, berarti bahwa gurunya, Ban-tok-sian Giam Kong juga sudah meninggalkan
Tibet dan kini berada di sini pula. Asal saja anakmu itu mengaku bahwa dia cucu
murid Hoa-san-pai, kiranya dia tidak akan mendapat kesukaran karena Ban-tok-sim
Giam Kong tentunya akan memandang muka pinto."
Tidak lama
Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menanti di Hoa-san. Hanya empat hari kemudian
berturut-turut datanglah Bu-eng-kiam Thio Wan It bersama dua orang anaknya,
yaitu yang sulung Thio Ki, anak laki-laki berusia dua belas tahun dan yang ke
dua Thio Bwee, anak perempuan berusia sepuluh tahun. Toat-beng-kiam Kui Keng
yang juga datang bersama anaknya laki-laki bernama Kui Lok Si, berusia sebelas
tahun.
Dua orang
pendekar Hoa-san ini sengaja datang bersama-sama anak-anak mereka untuk
menghadap Lian Bu Tojin, sekalian mengenalkan anak-anak itu dan memberi
tambahan pengalaman kepada anak-anak itu yang mereka harapkan kelak akan
menjadi pendekar-pendekar Hoa-san pengganti mereka.
Pertemuan
antara empat Hoa-san Sie-eng itu tentu akan menggembirakan sekali kalau saja
yang baru datang tidak mendengar tentang peristiwa kemalangan yang menimpa diri
Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong. Tin Siong kehilangan anak perempuannya dan
Sian Hwa kematian ayahnya.
Dua orang
pendekar Hoa-san itu, Thio Wan It dan Kui Keng, menyambut berita duka ini
sesuai dengan watak mereka masing-masing. Thio Wan It yang julukannya
Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) ini berwatak pendiam dan berangasan mudah
marah, akan tetapi jujur dan keras, berlawanan dengan perawakannya yang pendek
dan gemuk, muka bundar, bajunya selalu serba hitam.
Dengan kedua
tangan terkepal dia berkata. "Mari kita pergi mencari Kwee Sin, ingin aku
menghajar bocah kejam yang kurang ajar itu!"
Kui Keng si
Pedang Pencabut Nyawa, wajahnya tampan tubuhnya kecil, sikapnya selalu gembira
dan pakaiannya serba putih. Dia menyambut berita itu sambil tertawa.
"Urusan
Sumoi perlahan-lahan dapat diurus, kurasa yang lebih penting adalah mencari
puterinya Twa-suheng, siapa tahu anak nakal gila itu akan mengganggu Hong-ji.
Urusan dengan Kwee Sin itu berbelit-belit, mungkin ada hubungannya dengan
Pek-lian-pai, harus diselidiki dengan seksama.”
Sian Hwa
yang mencoba untuk menghibur kesedihannya, menyerahkan perundingan itu kepada
tiga orang suheng-nya, dia sendiri lalu menggandeng Thio Bwee, Thio Ki, dan Kui
Lok diajak ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) sambil berkata,
"Mari
anak-anak, hendak Bibi lihat sampai di mana kemajuan kalian di bawah asuhan
ayah-ayah kalian."
Memang
terhibur juga hati Sian Hwa bertemu dengan keponakan-keponakannya yang
menyenangkan itu. Thio Ki berwajah bundar seperti ayahnya, tampan dan sikapnya
sudah membayangkan kegagahan walau pun dia baru berusia dua belas tahun,
pendiam dan dadanya selalu terangkat.
Thio Bwee
yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi kecantikan ibunya, juga pendiam dan
manis sekali. Sepasang matanya tajam serius, dagu di bawah bibirnya yang manis
itu membayangkan kekerasan hatinya. Segera ia senang sekali dekat dengan
bibinya yang sering kali dipuji-puji ayahnya sebagai seorang pendekar wanita
Hoa-san-pai yang hebat iimu pedangnya.
Ada pun Kui
Lok, anak tunggal Kui Keng, berusia sebelas tahun, memiliki watak seperti
ayahnya, gembira dan agak nakal, akan tetapi juga bersifat angkuh, hal ini
mudah dilihat dari bentuk mulut dan matanya. Ketiga orang anak Ini nampak
gagah-gagah, cocok benar menjadi keturunan dari Hoa-san Sie-eng, empat orang
gagah dari Hoa-san-pai.
"Sayang,"
katanya kepada tiga orang anak itu, "kalau Hong-ji tidak dibawa pergi oleh
Koai Atong dan berada di sini bersama kalian, alangkah akan gembiranya.”
“Bibi,
sebagai anak Twa-supek, tentu kepandaian adik Hong hebat sekali, bukan?"
Thio Bwee bertanya kepada bibi gurunya.
Sian Hwa
mengangguk. "Tentu saja, akan tetapi kau pun tentu sudah banyak
mempelajari ilmu silat dari ayahmu. Coba, Bwee-ji, kau perlihatkan
padaku."
Thio Ki
sangat sayang kepada adiknya dan pemuda pendiam ini dapat mengerti isi hati
adiknya, maka dia lalu berkata kepada Sian Hwa sambil memandang ke arah Kui
Lok,
"Sukouw,
tentu adikku malu karena menurut sepatutnya, saudara Kui Lok ini yang harus
memperlihatkan kepandaiannya lebih dulu."
Dengan
kata-kata ini, Thio Ki yang baru berusia dua belas tahun itu telah
memperlihatkan sikapnya yang sungguh-sungguh dan memegang aturan. Kui Lok
adalah putera dari orang ketiga Hoa-san Sie-eng, maka kalau dihitung urutan
atau tingkatnya, masih lebih rendah dari pada mereka yang menjadi putera-puteri
Thio Wan It, yaitu orang kedua dari Hoa-san Sie-eng.
Diam-diam
Sian Hwa tidak senang menyaksikan sikap yang angkuh ini, akan tetapi karena dia
pun mengenal watak ji-suheng-nya yang keras dan jujur, ia anggap saja bahwa
sikap Thio Ki ini adalah warisan ayahnya.
"Betul
juga, Lok-Ji. Hayo kau yang mendahului, lekas kau perlihatkan apa yang sudah
kau pelajari dari ayahmu," katanya sambil tersenyum.
Kui Lok
tersenyum dan berkata merendah, tapi nada suaranya mengandung kebanggaan,
"Kepandaianku masih amat dangkal mana dapat disamakan dengan pewaris
kepandaian ji-supek (Uwak Guru ke Dua)?" Meski pun mulutnya berkata
demikian, akan tetapi tangan kirinya lantas bergerak dan tahu-tahu dia sudah
mencabut sebatang pedang pendek dari pinggangnya.
Memang tiga
orang anak pendekar Hoa-san-pai ini ke semuanya membawa pedang pada punggung
masing-masing. Itulah kiranya yang membuat mereka nampak gagah sekali.
Melihat
gerakan ini, Sian Hwa tersenyum dan bertanya heran. "Kau menggunakan
tangan kiri untuk bermain pedang?"
Agak merah
kedua pipi Kui Lok yang tadinya putih itu. "Betul, Sukouw, semenjak kecil
saya lebih enak menggunakan tangan kiri dari pada kanan, maka ayah sengaja
melatih ilmu pedang dengan tangan kiri."
"Kidal...,"
Thio Bwee berkata mencemooh karena gadis ini agak mendongkol juga melihat lagak
anak itu.
"Akan
tetapi, Sukouw...," sambung Kui Lok cepat-cepat untuk menjawab cemoohan
gadis cilik itu, "meski pun tangan kiri, kiranya tidak akan kalah dengan
tangan kanan..., ehhh, maksudku, tangan kananku sendiri, tentunya."
Sian Hwa
kembali tersenyum. Gadis ini maklum akan ejekan-ejekan itu, dan diam-diam ia
menyesal mengapa para suheng-nya itu hanya melatih ilmu silat, namun agaknya
kurang memperhatikan pendidikan watak sehingga anak-anak ini tak pandai
menguasai perasaan dan mudah tersinggung.
"Kau
mainlah, biar kami melihatnya."
Setelah
memberi hormat kepada Sian Hwa dan mengerling penuh tantangan kepada Thio Ki
dan Thio Bwee, Kui Lok mulai bersilat dengan pedangnya. la mainkan pedang
tunggal dan caranya memainkan pedang itu memang hebat, apa lagi karena dia
menggunakan tangan kiri sehingga menjadi kebalikan dari ilmu pedang yang
aslinya.
Diam-diam
Sian Hwa memperhatikan dan kagum juga akan kecepatan gerakan anak ini. Memang
permainan pedang Hoa-san-pai sangat mengutamakan kecepatan. Yang paling
mengagumkan hatinya adalah kekuatan yang digunakan dalam setiap serangan,
demikian sungguh-sungguh dan selalu mematikan. Tidak percuma anak ini menjadi
putera tunggal suheng-nya, Toat-beng-kiam si Pedang Pencabut Nyawa!
Setelah Kui
Lok menghentikan permainan pedangnya, Sian Hwa berseru, "Bagus sekali,
Lok-ji, kau tidak memalukan ayahmu!"
Gadis ini
bertepuk tangan sambil memberi pujian. Akan tetapi Thio Bwee dan Thio Ki diam
saja, tidak mau memberi pujian.
Tentu saja
Kui Lok maklum akan hal ini, maka sambil menyarungkan pedangnya dia pun
berkata, “Harap saja sekarang saudara Thio Ki dan nona Thio Bwee tidak
pelit-pelit lagi mengeluarkan kepandaian mereka."
"Mana
aku bisa melawan engkau? Kau hanya menggunakan tangan kiri, dan kalau aku pun
menggunakan tangan kiri, aku tak dapat bersilat, sebaliknya kalau aku
menggunakan tangan kanan, berarti aku licik, tentu saja tangan kanan lebih baik
dari pada tangan kiri," Thio Bwee menjawab sambil merengut.
Sian Hwa
tertawa. "Hi-hi-hi, Bwee-ji, jangan kau bicara begitu. Lok-ji menggunakan
tangan kiri karena memang semenjak kecil dia melatih dirinya dengan tangan
kiri. Tangan kirinya sama dengan tangan kananmu, sebaliknya tangan kanannya
sama dengan tangan kirimu. Hayo lekas kau memperlihatkan kepandaianmu kepada
bibimu, anak manis."
Thio Bwee
tidak berani membantah bibi gurunya. Gadis cilik ini pun kemudian mencabut
pedangnya dan bersilat secepat ia bisa untuk memamerkan kelincahannya di depan
bibi gurunya, terutama sekali di depan Kui Lok! Dan dia berhasil!
Memang,
dalam hal kelincahan, yakni dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh), gadis
ini menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kui Lok. Hal ini pun tidak aneh
karena sebagai puteri Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) yang mengandalkan
ilmu ginkang, tentu saja ayahnya juga telah menggembleng kedua anaknya itu
dalam ilmu ini.
Ilmu Pedang
Hoa-san Kiam-hoat memang tepat sekali jika dimainkan secepatnya. Tubuh gadis
cilik ini berloncatan ke sana ke mari bagaikan seekor burung walet saja, dan
pedang diputar sedemikian cepatnya sampai hampir tidak kelihatan.
Setelah Thio
Bwee berhenti bersilat, kembali Sian Hwa bersorak memuji. Tetapi sebagai
seorang ahli silat Hoa-san-pai, tentu saja gadis ini cukup maklum bahwa
kepandaian gadis cilik ini masih tidak mampu melawan ilmu pedang yang dimainkan
dengan tangan kiri oleh Kui Lok. Gerakan Kui Lok lebih matang, pula tenaga
bocah ini jauh lebih besar.
"Sekarang
kau, Ki-ji, kau mainlah beberapa jurus agar puas hatiku."
Thio Ki
orangnya pendiam dan serius sekali. la memberi hormat kepada Sian Hwa dan
berkata, "Jika ada kekeliruan, mohon Sukouw memberi petunjuk."
Terang bahwa
kata-kata ini hanya sebagai basa-basi atau sopan-santun belaka karena tanpa
menanti jawaban anak ini pun sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dia pun
sudah bermain pedang dengan kecepatan yang sama dengan adiknya tadi. Hanya kali
ini Sian Hwa melihat bahwa kepandaian Thio Ki lebih unggul dari pada adiknya,
juga kalau dibandingkan dengan Kui Lok, Thio Ki menang kecepatan biar pun
tenaganya seimbang, maka kalau ditarik kesimpulannya, di antara tiga orang anak
itu, Thio Ki yang paling tinggi tingkatnya.
"Bagus,
bagus! Wah, kalian memang hebat!" Sian Hwa memuji setelah Thio Ki berhenti
bersilat pedang.
"Ahhh,
Sumoi! Kalau kau pun terlalu tinggi memuji anak-anak itu, mereka bisa menjadi
besar kepala." Mendadak terdengar Kui Keng berseru gembira sambil
tertawa-tawa. Kui Keng memasuki ruangan itu bersama Thio Wan It dan Kwa Tin
Siong.
"Kui-susiok
(Paman Guru Kui), saudara Lok puteramu ini memandang rendah aku dan kakak
Ti!" tiba-tiba Thio Bwee berseru.
Semua orang
terkejut, termasuk Thio Wan It, akan tetapi Kui Keng hanya tersenyum, dan
sepasang matanya berseri. "Memandang rendah bagaimana?"
"Habis,
dia sengaja memamerkan kepandaian dan bermain pedang dengan tangan kiri,
bukankah itu menghina sekali?" kata gadis cilik itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Dia bermain dengan tangan kirinya karena memang dia itu kede (kidal)!
Ha-ha-ha!"
Semua orang
di situ tertawa dan Thio Bwee sengaja memperlihatkan muka heran.
"Aaah,
jadi dia ini kidal? Habis kalau makan, apakah juga menggunakan tangan kiri
juga, Susiok?" tanya pula Thio Bwee.
“Ha-ha-ha,
tentu saja tidak. Kalau makan tangan kanan dan kalau... membersihkan tubuh pakai
tangan kiri."
Kui Keng
tertawa-tawa lagi, karena memang orang ini sifatnya gembira sekali. Kui Lok
yang tadinya mendongkol karena ejekan Thio Bwee, sekarang ikut tertawa-tawa
seperti ayahnya dan kalau anak perempuan itu memandang kepadanya, secara diam-diam
dia menjulurkan lidahnya mengejek!
"Sudahlah,
anak-anak semua supaya pergi menghadap Sukong (Kakek Guru)," kata Thio Wan
It. "Ki-ji, kau yang paling tua, kau harus dapat memimpin dua orang
adikmu. Kalian bertiga tinggal baik-baik di Hoa-san, dan taati setiap petunjuk
serta perintah Sukong. Kami orang-orang tua akan turun gunung untuk waktu
kurang lebih dua bulan."
"Lok-ji,
kau harus yang akur bermain-main dengan kedua saudaramu, jangan nakal,"
Kui Keng memesan kepada puteranya pula.
Setelah
berpamit kepada Lian Bu Tojin, empat orang pendekar Hoa-san-pai ini lalu turun
gunung, meninggalkan ketiga orang anak itu di bawah pengawasan ketua
Hoa-san-pai. Pada waktu turun gunung, Kwa Tin Siong menjelaskan kepada Liem
Sian Hwa tentang keputusan perundingan mereka tadi, yaitu bahwa untuk
membereskan urusan Sian Hwa dengan Kwee Sin yang gerak-geriknya amat
mencurigakan, mereka akan langsung pergi mendatangi orang tertua dari Kun-lun
Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng yang kini menjadi pedagang kuda dan tinggal di
Sin-yang.
"Sesuai
dengan pesan suhu," demikian Kwa Tin Siong menutup penjelasannya,
"kita tidak boleh bertindak sembrono terhadap Kun-lun Sam-hengte yang
selama ini sudah memiliki nama baik sebagai pendekar-pendekar gagah dari
Kun-lun. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil tindakan terhadap Kwee Sin,
kita harus terlebih dahulu rnemberi tahu kepada kedua saudara Bun Si Teng dan
Bun Si Liong tentang kesesatan sute mereka Kwee Sin. Dengan cara demikian
berarti kita sudah cukup menghormat dan memandang muka pada Kun-lun-pai."
Sian Hwa
hanya mengangguk-angguk saja. Di dalam hati gadis ini merasa tidak cocok,
karena dia merasa gemas dan sakit hati sekali kepada bekas tunangannya yang
selain sudah membunuh ayahnya, juga sudah amat menghinanya itu. Kalau bisa,
ingin ia sekali berjumpa terus menyerang dan mencincang tubuh Kwee Sin….
***************
Kita tunda
dulu perjalanan Hoa-san Sie-eng yang hendak menjumpai Kun-lun Sam-hengte itu
dan mari kita mengikuti perjalanan Kwa Hong, bocah perempuan yang berwatak
lincah dan gembira, yang dibawa pergi oleh Koai Atong, orang lihai aneh seperti
telah dituturkan di bagian depan.
Sambil
tertawa-tawa Koai Atong menggandeng tangan Kwa Hong diajak pergi dari Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa yang tidak dapat mengejarnya. Kwa Hong merasa betapa
tubuhnya melayang-layang, kedua kakinya tidak menginjak tanah biar pun
kelihatannya ia berjalan digandeng orang aneh itu. Mula-mula ia merasa takut,
akan tetapi karena Koai Atong tertawa-tawa sambil berkata bahwa mereka akan bermain-main
di sebuah telaga yang indah, ia akhirnya menjadi tertarik juga.
Kemudian
ternyata oleh Kwa Hong bahwa orang aneh itu memang tidak berdusta. Tidak lama
kemudian tibalah mereka di tepi sebuah telaga yang amat indah, telaga kecil
yang pinggirnya penuh ditumbuhi bunga-bunga liar yang beraneka warna.
Di puncak
pohon-pohon banyak burung menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, sedangkan di dalam
air telaga yang penuh bayangan bunga dan pohon itu berloncatan ikan-ikan besar
kecil. Bukan main indahnya tempat itu, membuat Kwa Hong lupa akan
kekhawatirannya bahwa ia telah berpisah dari ayahnya.
"Bagus
sekali... nyaman sekali tempat ini...," ia berkata.
"Bagus,
ya? Aku pun senang bermain-main di sini," kata Koai Atong
berjingkrak-jingkrak.
"Hayo
kita main kejar-kejaran, kau boleh kejar aku, tapi yang dikejar tidak boleh
pergi dari sekitar telaga ini!"
Kwa Hong
seorang anak yang sangat cerdik. Tadi dia sudah digandeng Koai Atong yang
mempergunakan ilmu lari cepat yang luar biasa sekali. Sebagai seorang anak
pendekar, tentu saja dia mengerti bahwa orang aneh ini mempunyai kepandaian
ilmu lari cepat yang tinggi, mana bisa dia mampu mengejarnya?
Kwa Hong
tertawa dan berkata nakal. “Koai Atong, kau mau mengakali aku? Ihhh, apa kau
kira aku ini sebodoh orang lain? Dari pada kau mencoba mengakali aku, lebih
baik kau mengajarkan ilmu lari cepat tadi kepadaku."
"Ilmu
lari cepat? Apa itu? Aku tidak bisa... aku tidak boleh mengajarkan
apa-apa...," Koai Atong cepat-cepat berkata dengan muka ketakutan ketika
mendengar Kwa Hong minta diajari ilmu lari cepat. "Lebih baik kau minta
yang lain... ehh, kau mau burung itu? Katakan saja mana yang kau sukai, aku
akan menangkapnya untukmu...!" Dia tertawa-tawa sambil menunjuk ke atas,
ke arah burung-burung yang berloncatan di cabang-cabang pohon.
"Yang
kecil sekali itu, yang berbulu kuning!"
Kwa Hong
menunjuk ke arah seekor burung yang tampak paling lincah dan gesit di antara
burung-burung yang lainnya. Bukannya karena ia suka kepada burung kecil ini,
melainkan karena anak yang cerdik ini memang sengaja memilih burung yang paling
gesit supaya Koai Atong tidak dapat menangkapnya.
"Baik,
kau lihat, dia takkan bisa lari dariku."
Koai Atong
segera menggenjot tubuhnya yang tinggi besar itu, melayang ke arah puncak
pohon. Semua burung buyar pergi beterbangan karena takut, termasuk burung kecil
yang sudah terbang lebih dulu dengan amat cepatnya.
Kwa Hong
sudah hampir bersorak mengejek kegagalan Koai Atong. Akan tetapi tiba-tiba Koai
Atong tertawa keras dan tangan kirinya digerak-gerakkan ke depan. Dan aneh
sekali, tiba-tiba burung kuning kecil itu seperti ditarik benang yang diikatkan
pada kakinya karena binatang ini terbang kembali ke arah Koai Atong dengan
gerakan lemah!
Dengan enak
dan mudahnya orang aneh itu menangkap burung kuning tadi, lalu meloncat turun
dan menyodorkan burung kuning itu pada Kwa Hong. Hebatnya burung itu berdiri di
atas telapak tangannya, diam saja hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat
terbang pergi!
Kwa Hong
sampai melongo menghadapi pertunjukan ilmu tinggi yang seperti main sulap ini.
Akan tetapi dasar dia amat cerdik, dia tak mau memperlihatkan keheranannya,
malah tertawa-tawa dan mengambil burung itu yang berdiri di telapak tangan Koai
Atong.
la mengira
bahwa burung itu memang sudah tidak dapat terbang lagi, maka ia memegang
perlahan sekali. Siapa kira, begitu terlepas dari telapak tangan Koai Atong dan
berada dalam genggaman Kwa Hong, burung itu meronta dan...
“Brrrttt...!”
burung itu terbang pergi, cepat sekali!
Koai Atong
tertawa terbahak-bahak. Kwa Hong merengut.
"Koai
Atong, kau telah menipuku! Di tanganmu burung itu tidak bisa terbang, tapi
kenapa setelah kugenggam dia lalu terbang?"
"Ha-ha-ha,
mana bisa burung terbang tanpa pancalan kaki? Telapak tangan yang dibikin
lunak, disertai hawa menyedot, tentu membikin dia tak mampu terbang, apa
anehnya...? Ha-ha-ha!"
"Ahhh,
kau nakal! Mengapa kau tidak memberi tahu dari tadi?" Kwa Hong cemberut
dan marah-marah.
Melihat
temannya marah-marah, Koai Atong cepat berkata, "Sudahlah, biar
kutangkapkan lagi dia untukmu..." la sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi
Kwa Hong berkata, "Tidak, aku sudah tidak suka lagi. Tidak suka main-main
denganmu, aku hendak kembali kepada ayah."
"Waaah,
jangan marah. Belum puas kita bermain-main di sini. Mari kita pergi ke tempat
lain yang lebih indah. Kau mau ke puncak gunung bermain dengan awan? Atau ke
dalam hutan yang penuh binatang buas? Aku tahu banyak tempat indah...”
"Tidak,"
jawab Kwa Hong yang mendapatkan pikiran untuk pergi meninggalkan orang ini. la
mulai mendapat perasaan tak enak, takut kalau-kalau si gila ini tak mau
melepaskannya kembali. "Kalau kau bisa mencarikan ikan bersisik kuning
emas dari telaga ini, baru aku mau main main lagi.”
Koai Atong
memandang ke arah telaga. Banyak ikan-ikan kecil besar berloncatan, malah
kadang-kadang keluar jauh dari permukaan air, akan tetapi tidak ada yang
bersisik kuning emas, kesemuanya putih atau hitam.
"Mana
ada ikan bersisik kuning emas?" tanyanya ketolol-tololan.
"Tentu
saja ada, di dalam telaga. Ataukah barangkali kau tidak becus menangkapnya?
Kalau kau tidak becus, kau tidak berharga merijadi temanku bermain-main."
Koai Atong
nampak gugup. "Baik, baik... akan aku tangkapkan untukmu. Kau tunggu dan
lihatlah."
Tiba-tiba
tubuhnya yang tinggi besar itu berkelebat ke arah telaga dan...
“Byurrrrr…!”
Koai Atong telah terjun ke dalam air itu!
Wajah Kwa
Hong berubah. Celaka, kiranya dia pun setan air yang pandai bermain di air.
Inilah kesempatan baik, aku harus cepat pergi meninggalkan tempat ini.
Akan tetapi
sebelum kakinya bergerak, timbul perasaan malu dan kasihan di hatinya. Malu
kepada diri sendiri yang seakan-akan hendak menipu Koai Atong dan kasihan
kepada si gila itu. Dia amat baik kepadaku, sampai-sampai mau menyelami telaga
untuk mencarikan ikan, masa aku begitu rendah hati untuk menipu dan
meninggalkannya?
Kwa Hong
menjadi ragu-ragu. Anak ini sudah banyak dijejali filsafat tentang kebajikan
dan terutama mengenai kegagahan serta keadilan oleh ayahnya, maka dia menjadi
ragu-ragu untuk meninggalkan Koai Atong yang sengaja dia suruh menyelam di
telaga.
Selagi ia
ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara orang, "Nah, ini dia anak Hoa-san
It-kiam!"
Dan
muncullah seorang laki-laki yang membuat Kwa Hong menjadi pucat mukanya karena
mengenal orang ini sebagai orang yang pernah menculiknya. Lalu muncul dua orang
lain yang berpakaian sebagai pendeta-pendeta Agama To (tosu), akan tetapi tak
seperti para tosu biasanya, di atas rambut mereka terdapat hiasan bunga
teratai.
"Mana
bocah nakal yang gila itu?" tanya seorang di antara dua orang tosu tadi
sambil memandang ke kanan kiri.
“Susiok
berdua menjaga kalau dia muncul, biar teecu melarikan anak ini lebih
dulu!" kata si penculik itu sambil menubruk Kwa Hong.
"Koai
Atong, lekaslah kau keluar...! Tolong aku...!" Kwa Hong berteriak-teriak
sambil loncat mengelak dan lari mendekati telaga. Penculik itu sambil tertawa
lebar mengejar.
"Hendak
lari ke mana kau?"
Tiba-tiba
muncul kepala Koai Atong dari permukaan air dengan kedua tangan memegang dua
ekor ikan. Melihat Kwa Hong dikejar orang, kedua tangannya bergerak dan dua
ekor ikan itu dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah penculik yang sudah
tak keburu mengelak lagi.
“Aduhh...!
Auuuwww... aaaapppp!”
Ikan pertama
dengan tepat mengenai hidungnya dan entah karena kesakitan atau apa, ikan itu
lalu membuka mulut dan... menggigit hidung si penculik dan ketika si penculik
mengaduh-aduh, ikan ke dua melayang tepat ke... mulutnya yang celangap, terus
masuk sampai ke kerongkongannya.
Tentu saja
dia menjadi kebingungan seperti kakek kebakaran jenggotnya. Dengan susah payah
dia dapat melepaskan ikan yang menggigit hidungnya dan menarik keluar ikan ke
dua dari tenggorokannya. Hidungnya berdarah dan si penculik menyumpah-nyumpah,
apa lagi ketika melihat Kwa Hong tertawa cekikikan menyaksikan pemandangan yang
lucu itu.
Akan tetapi
melihat Koai Atong sudah meloncat naik dan kini orang aneh itu ikut tertawa
berdiri di dekat Kwa Hong, si penculik tidak berani maju lagi dan malah berlari
ke belakang dua orang tosu yang menjadi susiok-nya (paman gurunya).
Dua orang
tosu itu melangkah maju menghadapi Koai Atong.
"Koai
Atong," kata seorang di antara mereka yang mempunyai andeng-andeng (tahi
lalat) besar di pipi kanannya, "harap kau jangan ikut campur dan berikan
anak ini kepada kami."
Koai Atong
masih tertawa-tawa dengan Kwa Hong, sama sekali tidak mau melayani dua orang
tosu itu. Akan tetapi Kwa Hong yang maklum bahwa kedua orang tosu itu pun tidak
mempunyai maksud baik, dan agaknya teman dari si penculik tadi, segera berkata,
"Koai Atong, jangan dengarkan mereka. Ganyang saja!"
Koai Atong
tertawa lagi dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang basah kuyup itu. Air dari
pakaiannya memercik-mercik dan menyambar ke arah dua orang tosu itu. Tanpa
dapat dicegah lagi pakaian tosu itu pun terkena air, malah muka mereka menjadi
basah dan terasa sakit karena sambaran titik-titik air itu terasa seperti
jarum-jarum menusuk kulit. Mereka menjadi marah dan membentak.
"Orang
gila, kau mencari mampus?"
Serentak
kedua tosu itu mencabut keluar ikat pinggang mereka yang ternyata merupakan
joan-pian (cambuk lemas) berduri, nampaknya menakutkan sekali.
Akan tetapi
Koai Atong hanya tertawa saja dan begitu kedua orang menyerang, dia telah
memegang anak panahnya yang berujung kehijauan. Entah dari mana dia
mengeluarkan senjatanya ini.
Terdengarlah
suara yang keras. Dua orang tosu itu mengeluarkan seruan tertahan karena
joan-pian mereka yang diserangkan tadi telah bertemu dengan anak panah dan
membuat tangan mereka tergetar. Namun karena mereka percaya akan kepandaian
sendiri, apa lagi karena mereka maju berdua, dua orang tosu ini tidak gentar
dan segera mengurung, menghujankan sambaran joan-pian ke arah tubuh Koai Atong.
Orang aneh
ini menggerakkan anak panahnya sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang ia
menggerakkan tubuhnya yang basah dan mengirim titik-titik air yang menyambar ke
arah kedua orang lawannya. Kwa Hong bertepuk tangan memberi hati kepada
temannya.
"Hayo,
Koai Atong. Gasak mereka. Sikat saja!"
Pertempuran
berjalan seru sekali. Ternyata kepandaian dua orang tosu itu pun lihai bukan
main. Gerakan joan-pian mereka amat hebat, seperti dua ekor ular yang
menggeliat-geliat dan menyambar-nyambar.
Akan tetapi
semua serangan mereka dapat dihindarkan oleh Koai Atong dengan mudah.
Sebaliknya, dengan anak panahnya itu pun Koai Atong tidak mampu mendesak dua
orang lawannya, malah nampaknya Koai Atong dalam gerakan-gerakannya terlampau
lemah sedangkan dua orang lawannya itu makin cepat dan kuat daya serangannya.
Hal ini
tidak aneh karena dua orang itu rnenggunakan ilmu silat yang mengandung tenaga
Yang, sebaliknya Koai Atong memang memiliki kepandaian yang berdasarkan tenaga
Im yang lebih halus dan lemas. Akan tetapi hanya tampaknya saja dia kalah cepat
dan kalah kuat, padahal sesungguhnya tidak demikian karena dengan tenaga lemas
dia dapat pula menggunakan tenaga lawan untuk balas menyerang.
Pada jurus
ke lima puluh, mendadak dua orang tosu itu mengeluarkan bunyi melengking tinggi
yang aneh dan serempak mereka menggerakkan tangan kirinya ke depan. Hanya
tampak sinar beraneka warna menyambar ke arah Koai Atong.
Orang aneh
ini nampak kebingungan. Cepat-cepat dia memutar anak panahnya sambil
mengibaskan tangan kirinya seperti orang menghadapi sambaran banyak senjata
rahasia yang kecil. Akan tetapi tetap saja dia mengaduh ketika terasa pundak
kirinya gatal-gatal.
“Aduh,
curang... auhh, curang...!”
Dan orang
tinggi besar yang berjiwa kanak-kanak ini lalu menangis! Akan tetapi sambil
menangis dia lalu menyerang lebih hebat sehingga kedua lawannya terpaksa lebih
banyak main mundur saja karena memang bukan main berbahayanya sepak terjang
Koai Atong yang seperti seorang anak-anak sedang marah itu.
Kwa Hong
khawatir sekali melihat bahwa temannya menangis dan agaknya kesakitan.
"Tosu-tosu
bau! Kakek-kakek mau mampus! Tidak tahu malu, cih, tidak tahu malu. Sudah main
keroyokan masih berlaku curang!" Kwa Hong memaki-maki sehingga kedua orang
tosu itu menjadi merah mukanya.
"Diam,
anak setan!" bentak kakek yang bertahi lalat pipinya
“Kau yang
diam, tosu bau! Ahhh, kalau aku sudah besar, kucongkel tahi lalatmu di pipi itu
dan kuganti dengan tahi kerbau!" Kwa Hong memaki dan makian ini membuat
Koai Atong yang tadinya menangis menjadi tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha,
betul-betul! Ganti dengan tahi orang, lebih bau lagi!"
Akan tetapi
setelah dia tertawa, penyerangannya menjadi kurang kuat sehingga dia kena
didesak mundur lagi. Kwa Hong melihat ini menjadi makin khawatir. Koai Atong
boleh jadi lihai, akan tetapi dia kurang siasat dan seperti anak kecil saja,
pula kedua orang lawannya itu ternyata amat lihai.
Pada saat
itu, si penculik diam-diam mendekati Kwa Hong. la menganggap anak ini amat
mengganggu kedua orang susiok-nya. Lagi pula, ketika melihat orang aneh itu
terdesak, dia mendapat kesempatan untuk menangkap Kwa Hong. Setelah cukup
dekat, dia lantas menubruk anak itu.
Kwa Hong
yang sudah banyak belajar ilmu silat, cepat-cepat membanting diri ke belakang
sehingga tubrukan itu meleset dan... mendadak Koai Atong menggerakkan tangan
kirinya dari jauh dengan cara mendorong. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh
penculik itu terlempar masuk ke dalam air telaga!
Koai Atong
tertawa cekakakan, dan Kwa Hong mau tidak mau tertawa geli juga melihat betapa
si penculik yang sial itu sekali lagi menyumpah-nyumpah sambil berenang ke tepi
dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup. Akan tetapi Kwa Hong yang agaknya
lebih cerdik dari pada Koai Atong, segera teringat akan gerakan tangan kiri
orang aneh itu.
"Koai
Atong, gunakan tangan kirimu, putar-putar dan pukul..."
la ingat
betapa lihainya tangan kiri Koai Atong yang pernah memukul mundur rombongan
penculik, juga tadi baru saja diperlihatkan lagi pada waktu mendorong tubuh si
penculik ke dalam telaga.
Seperti
orang baru teringat, Koai Atong menghentikan suara ketawanya dan berkata,
"Wah, iya, aku sampai lupa. Ehhh, ini rasakan pukulanku, tosu-tosu hidung
kerbau!"
la
memutar-mutar tangan kirinya dengan gerakan lucu seperti orang... menyelinger
mobil, lalu mendorong dua kali ke depan.
Dua orang
tosu itu masih belum menduga bahwa gerakan yang aneh dan lucu ini adalah
gerakan pukulan Jing-tok-ciang, maka begitu mereka terdorong, mereka
mengeluarkan teriakan kaget, mundur terhuyung-huyung dengan muka pucat dan
napas sesak.
"Celaka...!"
Mereka berteriak.
Kemudian
mereka cepat-cepat melarikan diri bagai dikejar setan. Padahal yang mengejar
mereka bukan lain adalah si penculik yang lebih ketakutan lagi melihat
susiok-susiok-nya sudah lebih dulu melarikan diri.
"Kejar,
Koai Atong. Tangkap!" seru Kwa Hong berkali-kali.
Akan tetapi
Koai Atong hanya tertawa-tawa, lalu berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan
kegirangan, seperti seorang anak-anak bergirang karena menang dalam permainan.
"Bagus,
ya? Bagus, ya?" katanya kepada Kwa Hong. "Sayang ikan-ikan itu telah
dimakan monyet tadi. Ikan-ikan sisik kuning emas tulen tadi."
"Sudahlah,
aku sudah bosan. Aku mau kembali kepada ayah. Hayo, antarkan aku.”
“Kenapa
kembali? Habis aku bagaimana? Ehh, Enci... siapa namamu?"
Geli juga
hati Kwa Hong mendengar orang itu menyebut dirinya enci (kakak perempuan).
Orang setua ayahnya kok menyebut enci. Benar-benar gila!
"Namaku
Hong, she Kwa."
"Jangan
kembali dulu, Enci Hong. Aku masih senang bermain-main dengan kau. Mari aku
perlihatkan puncak yang ada bunga cengger ayam. Bagus sekali." Koai Atong
masih saja terus membujuk-bujuk seperti anak merengek-rengek.
"Tidak,
aku sudah lama pergi, takut ayah mengharap-harap kembaliku."
"Kau
takut dimarahi ayahmu? Jangan takut. Kalau dia berani marah, kupukul dia!"
Tiba-tiba
Kwa Hong memandang kepada Koai Atong dengan muka beringas dan mata berapi.
"Apa katamu?! Kau mau pukul ayah? Kau berani pukul dia? Kubunuh kau!"
Koai Atong
nampak kaget dan cepat dia berkata halus, "Ah, tidak..., tidak, Enci
Hong... aku tidak berani..."
Meski masih
kecil, sekarang Kwa Hong mengerti bahwa orang ini memang tidak normal, merasa
seperti seorang anak yang kecil, lebih kecil dari dia sendiri. Maka ia lalu
berkata dengan suara marah, menakut-nakuti.
"Kalau begitu,
lekas antar aku kembali kepada ayah. Kalau kau tidak mau, aku tidak suka lagi
menjadi temanmu."
“Oh, baik,
baik, Enci Hong, baik. Marilah..."
Koai Atong
memegang lengan tangan Kwa Hong dan seperti tadi, dia berlari cepat sekali
kembali ke dalam hutan di mana tadi mereka meninggalkan Kwa Tin Siong dan Sian
Hwa. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, mereka ttdak dapat menemui dua
orang itu yang sudah lama pergi. Hari telah menjadi senja dan Kwa Hong gelisah
bukan main.
"Kau
yang salah! Kenapa kau ajak aku pergi? Sekarang bagaimana? Ke mana aku harus
mencari ayah?" Gadis cilik ini rnembanting-banting kakinya sehingga Koai
Atong juga ikut bingung dan ketakutan.
"Habis
bagaimana baiknya? Salahnya ayahmu yang tidak mau menunggu di sini," Koai
Atong membela diri.
"Kau
persalahkan ayah? Lekas sekarang kita menyusul. Kau harus dapat membawa aku
bertemu dengan ayah, kalau tidak, awas kau...!"
Koai Atong
mengangguk-angguk. "Baiklah... mari kita susul ayahmu."
Mereka
keluar dari hutan itu, akan tetapi terpaksa mereka berhenti karena malam telah
tiba. Kwa Hong merasa bingung dan amat gelisah, ingin menangis. Akan tetapi ia
maklum bahwa kalau dia menangis, maka hal itu bahkan akan membuat Koai Atong
ikut menjadi bingung. Dia lalu menahan perasaannya dan bersikap seolah-olah ia
menjadi kakak yang memimpin sedangkan Koai Atong seperti adiknya.
"Aku
mau mengaso dan tidur di bawah pohon sini, kau buatkan api unggun dan menjaga
di sini," katanya.
Akan tetapi
Koai Atong begitu bodohnya, sehingga membuat api unggun saja tidak becus. Kwa
Hong terpaksa memberi petunjuk caranya membuat api dari dua kayu yang digosok
secara keras. Tentu saja dengan tenaga Iweekang-nya yang tinggi, beberapa kali
gosok saja Koai Atong sudah berhasil menimbulkan api.
Orang aneh
ini bersorak-sorak girang melihat api dan sekiranya dia tidak sedang bersama
Kwa Hong yang mencegahnya, tentu dia akan membuat api yang amat besar yang akan
membakar seluruh hutan! Dengan Koai Atong menjaga di dekatnya Kwa Hong merasa
aman dan anak ini segera tertidur.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwa Hong sudah sadar karena merasa dingin
sekali. Ketika dia menengok, ternyata orang aneh itu pun sudah tertidur
mengorok sambil duduk bersandar pohon. Seketika Kwa Hong merasa ketakutan
karena di dalam tidurnya, lenyaplah sifat kanak-kanak pada diri orang aneh itu,
kelihatan seperti seorang laki-laki yang setengah tua dan menakutkan.
Rasa takut
membuat Kwa Hong segera bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan Koai Atong
yang masih tertidur. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal bagaimana watak
orang aneh ini sebenarnya dan makin lama kelakuan Koai Atong makin aneh
menakutkan. Siapa tahu kalau-kalau akan timbul sifat jahatnya, demikian Kwa
Hong berpikir sambil pergi meninggalkan orang itu dengan maksud mencari sendiri
ayahnya.
Lama dia
berjalan sampai dia tiba di luar sebuah dusun ketika matahari telah mulai naik.
Kwa Hong mulai rnerasa lapar perutnya. Aduh, bagaimana ia harus mencari makan?
Rasa lapar hampir tidak tertahankan pada waktu pagi itu, perutnya melilit-lilit
dan terasa perih. Hampir ia menangis. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia
meninggalkan Koai Atong. Sekiranya ada orang aneh itu, tentu dapat ia suruh
mencari makanan.
Tiba-tiba
Kwa Hong terkejut ketika mendengar suara tinggi melengking yang amat aneh. la
menoleh ketakutan ke kanan kiri, akan tetapi tidak melihat sesuatu. Suara
melengking itu makin lama makin dekat dan akhirnya ia melihat seorang anak
laki-laki berwajah putih pucat datang berjalan perlahan sambil meniup sebuah
suling yang bentuknya seperti ular.
Anak itu
pakaiannya berwarna kuning. Bajunya terlalu panjang pada lengannya, bahkan
belakangnya sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tampan, matanya berkilat,
dan alisnya hitam, menambah wajah yang pucat itu menjadi makin pucat.
Kwa Hong
tertegun melihat anak yang aneh itu. Tadinya ia tidak melihat sesuatu ketika
anak itu masih jauh, akan tetapi setelah anak itu datang makin dekat, Kwa Hong
hampir menjerit karena ngerinya.
Di belakang anak
itu berjalan ratusan ekor ular besar kecil yang agaknya teratur sekali. Tidak
seekor pun menyeleweng jalannya, semua mengikuti jejak pemuda itu, ada yang
kepalanya menyusur tanah, ada yang mengangkat kepala dan berlenggang-lenggok,
akan tetapi kesemuanya mengikuti pemuda yang menyuling tadi seakan-akan
dikomandani oleh suara suling!
Kwa Hong
merasa ngeri bukan hanya karena melihat ular sedemikian banyaknya, akan tetapi
terutama sekali karena ia melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak tahu
bahwa di belakangnya ada ratusan ular yang mengikutinya, masih terus melangkah
enak-enakan sambil menyuling.
"Lari...!
Lekas kau lari... di belakangmu banyak ular...!" Kwa Hong
berteriak-teriak.
Anak ini
sendiri lalu meloncat ke arah sebatang pohon besar dan memanjat pohon dengan
ketakutan. Di atas pohon ia masih berteriak-teriak menyuruh anak laki-laki itu
segera lari.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment