Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 04
Akan tetapi
anak itu bukannya lari, malah dengan perlahan sekarang ia memutar arahnya
menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua
binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon. Dari atas pohon
Kwa Hong dapat melihat dengan jelas sekali gerakan-gerakan semua ular itu dan
hampir saja ia menjerit-jerit saking geli dan jijiknya. Tubuh Kwa Hong gemetar.
Selama
hidupnya belum pernah anak yang tabah ini menderita ketakutan seperti di saat
itu. Baru sekarang dia melihat bahwa anak laki-laki yang usianya hanya satu dua
tahun lebih tua dari padanya itu sama sekali tidak dikejar oleh ular-ular itu,
juga sama sekali tak diganggu, malah lebih patut dikatakan bahwa ular-ular itu
adalah binatang peliharaannya. Buktinya, sekarang anak laki-laki itu berdiri
dikelilingi ular-ular dalam jarak satu meter.
Tiba-tiba
anak laki-laki itu berhenti menyuling. Dia menengok ke atas dan tertawa nakal
melihat Kwa Hong bersembunyi di situ. Kemudian dia mulai meniup sulingnya lagi
dan... ular-ular itu kini merayap ke arah pohon dan berebutan mereka mencoba
untuk merayap naik! Bukan main takut, geli dan jijiknya hati Kwa Hong.
"Heeeiiiii!"
teriaknya kepada anak laki-laki itu. "Suruh mereka pergi...! Usir mereka,
jangan perbolehkan naik ke pohon...!"
Akan tetapi
anak itu dengan sepasang mata memancarkan sinar kenakalan, malah makin
memperkeras bunyi sulingnya dan ular-ular itu seperti gila dalam usahanya
merayap naik ke atas pohon. Beberapa ekor di antaranya yang agaknya biasa
menaiki pohon, sudah berhasil naik, mengeliat-geliat makin mendekati Kwa Hong.
Hampir saja
Kwa Hong pingsan saking jijiknya. Tubuhnya terasa kaku-kaku dan tangan kakinya
serasa lumpuh. la memeluk erat cabang pohon dan memandang ke arah ular-ular
yang merayap naik itu dengan wajah pucat.
Tapi dasar
Kwa Hong berhati keras seperti baja, dia tidak menangis, padahal rasa jijik dan
takut membuat ia ingin sekali menjerit-jerit. Apa lagi ketika ada seekor ular
yang bersisik kehitaman dan agak panjang sudah berhasil merayap dekat dan kini,
ular itu menjilat-jilat ke arah kakinya.
Kwa Hong
meramkan matanya yang berkunang-kunang dan menjejakkan kakinya ke arah ular
itu. Akan tetapi ular itu malah merayap ke arah kakinya, lalu naik melibat
betisnya. Terasa dingin dan menggeliat-geliat di betis kiri! Tanpa tertahankan
pula saking ngeri dan jijiknya, Kwa Hong menjerit dan... roboh terguling dari
atas cabang pohon!
Pada saat
itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong sudah berada dalam
pondongan Koai Atong! Orang aneh ini dengan ginkang-nya yang tinggi melompat
dan sudah melampaui kumpulan ular, kemudian dia hendak membawa lari Kwa Hong.
"He,
tunggu dulu, jangan lari!" terdengar anak laki-laki itu membentak dan...
aneh sekali, Koai Atong berhenti dan membungkuk dengan hormat kepada anak itu.
"Orang
gendeng, kenapa kau berani lancang tangan? Apa kau kira aku sendiri tidak bisa
menolongnya ketika dia jatuh dari pohon?" Anak laki-laki itu nampak marah
dan menegur Koai Atong.
"Maaf,
Tuan Muda, maaf. Dia ini adalah sahabatku, kukira tadi akan celaka, maka aku
pun menolongnya. Maaf..."
Koai Atong
nampaknya takut-takut dan menghormati sekali, bagaikan seorang anak kecil
bertemu dengan anak lain yang lebih jagoan.
Anak
laki-laki bermuka putih itu tersenyum mengejek. "Apa kau ingin dihajar lagi
oleh suhu (guru)?"
Kwa Hong tak
dapat menahan kesabarannya lagi. Setelah sekarang Koai Atong berada di situ
bersama dia, dia tidak takut lagi untuk menghadapi ular-ular itu. Apa lagi ia
merasa mendongkol bukan main karena selain anak itu sudah mengganggunya, juga
sikap anak itu terhadap Koai Atong benar-benar keterlaluan sekali, di samping
keheranannya melihat betapa Koai Atong agaknya amat takut dan menghormat kepada
bocah bermuka puth.
"Keparat
tak kenal mampus!" teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke muka anak
itu. "Penjahat macam engkau harus dibasmi!" Sambil berkata demikian
Kwa Hong menyerang dengan kedua tangannya karena pedangnya sudah patah ketika
ia menyerang Hek-hwa Kui-bo dahulu itu.
"Enci
Hong, jangan...!” Koai Atong mencegah dan memegang lengan Kwa Hong.
Hal ini
membuat Kwa Hong menjadi makin naik darah. la merenggutkan lengannya dan
membentak.
"Kau
boleh takut kepadanya, akan tetapi aku tidak!" Dan ia terus meloncat maju,
memukul ke arah dada anak itu.
Bocah yang
bermuka pucat itu hanya tersenyum mengejek. Sulingnya yang berbentuk ular itu
bergerak ke depan dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong telah menjadi kaku tidak dapat
bergerak lagi. Dalam segebrakan saja, dan dengan gerakan yang tak terduga
cepatnya, bocah muka putih itu telah menotoknya!
Koai Atong
melangkah maju dan sekali tepuk pada pundak Kwa Hong, orang aneh ini telah
membebaskan totokannya.
"Enci
Hong, jangan lawan Tuan Muda...," orang aneh itu mencegah lagi.
Akan tetapi
anak yang berwatak keras seperti Kwa Hong, mana mau sudah begitu saja setelah
ia merasa diperhina orang? la menjadi marah sekali dan dengan nekat ia lalu
maju menyerang lagi.
"Ehh,
budak perempuan, kau masih belum kapok?" Anak laki-laki yang bermuka pucat
itu kembali menggerakkan sulingnya.
Akan tetapi
mendadak suling itu menyeleweng ke kiri dan tubuh Kwa Hong juga terdorong
mundur, seakan-akan ia tadi didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan. Anak
laki-laki itu melangkah mundur dan berkata.
"Suhu...
dia yang menyerang teecu..."
Ketika Kwa
Hong sudah berdiri tegak, dia melihat seorang laki-laki tua bertubuh sedang,
berpakaian sederhana seperti petani dengan baju yang berlengan panjang, sudah
berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Sepasang mata orang tua ini
bergerak-gerak liar ke sana ke mari.
Yang
mengherankan hati Kwa Hong adalah sikap Koai Atong yang tiba-tiba menjatuhkan
diri berlutut, sedangkan anak laki-laki tadi pun berdiri membungkuk-bungkuk.
Kakek itu seakan-akan tidak melihat orang lain. Dia menoleh ke arah rombongan
ular di belakang anak itu, lalu tangan kirinya bergerak.
Kwa Hong
tidak tahu bagaimana terjadinya, demikian cepat gerakan ujung lengan baju orang
tua itu, akan tetapi tahu-tahu seekor ular besar telah dibelit ujung lengan
baju itu, kepala ular dipegangnya, kemudian... dengan lahapnya orang tua itu
menggigit tubuh ular, mengambil dagingnya dan makan daging berdarah itu dengan
enak sekali! Ular itu hanya berkelojotan di tangannya, menggeliat-geliat tanpa
dapat melawan.
Pemandangan
ini amat mengerikan hati Kwa Hong yang berdiri memandang dengan mata
terbelalak. Setelah menghabiskan tiga gumpalan daging, kakek itu lalu
melemparkan ular yang tadi berkelejotan dan mencoba untuk lari dari situ.
Ular-ular
yang lain diam tidak ada yang berani bergerak. Sekali lagi dengan cara seperti
tadi, yaitu dengan ujung lengan bajunya, kakek itu menangkap seekor ular
berkulit hijau yang tampaknya berbisa sekali, lalu makan daging ular hidup ini
seperti tadi pula.
Setelah
melemparkan sisa ular itu barulah kakek ini berpaling kepada Koai Atong, dan
dia pun bertanya, "Anak besar gila, mana gurumu?"
"Hamba...
hamba tidak tahu di mana, Locianpwe. Hamba sedang hendak kembali mencari
suhu...”
Kakek itu
tidak peduli lagi kepada Koai Atong, lalu memandang kepada Kwa Hong dengan
matanya yang tajam dan bergerak-gerak liar. Kwa Hong merasa ngeri, akan tetapi
anak yang tabah ini balas memandang dengan matanya yang bening.
"Anak
bernyali besar, siapa ayahmu?"
"Ayah
bernama Kwa Tin Siong, berjuluk Hoa-san It-kiam," jawab Kwa Hong.
Kakek itu
mendengus. "Huh, anak murid Hoa-san-pai. Apa becusnya? Akan tetapi nyalimu
besar, tulangmu pun baik."
Tiba-tiba
dia membalik kepada anak muka putih tadi.
"Kin-ji,
lain kali kau tidak boleh mengganggu anak yang bernyali besar ini. Tak tahu
malu, kau!"
"Ampun,
Suhu..."
"Hayo
usir semua cacing ini!"
Anak bermuka
putih yang bernama Kin itu segera meniup sulingnya dan semua ular itu merayap
pergi. Sebentar saja bersihlah tempat itu, bahkan dua ekor ular yang sudah
hilang sebagian dagingnya tadi pun kini sudah merayap pergi memasuki
semak-semak.
"Koai
Atong, mengapa kau membawa-bawa anak ini?" bentak lagi kakek itu kepada
Koai Atong.
Koai Atong
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Enci Hong ini... dia sahabat baik teecu,
hendak teecu susulkan kepada ayahnya di Hoa-san..."
"Baik,
kau tidak lekas pergi menanti apa lagi?"
Koai Atong
memberi hormat berkali-kali dan berkata, "Terima kasih, Locianpwe...
terima kasih..." la lalu berdiri, menyambar lengan Kwa Hong dan membawanya
lari dari tempat itu.
Kwa Hong
berkali-kali bertanya tentang kakek aneh itu, akan tetapi Koai Atong tidak mau
menjawab. Setelah mereka lari sepuluh li lebih jauhnya, barulah Koai Atong
melepaskan tangan Kwa Hong dan berhenti, napasnya terengah-engah.
"Aduh...
hampir saja... hampir saja celaka..."
Mungkin
karena rasa takut dan ngerinya yang sangat besar, orang aneh yang biasanya
bersikap seperti kanak-kanak ini sekarang agak lebih normal sikapnya.
"Ada
apa, Koai Atong? Siapakah kakek itu? Siapa pula bocah yang memelihara ular
itu?" Kwa Hong bertanya.
Koai Atong
berkali-kali menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas tanah. "Dia
adalah Siauw-ong-kwi, tokoh terbesar dari utara, amat lihai dan ganas. Kau
lihat tadi makanannya saja ular hidup. Bocah itu muridnya, lihai sekali, biar
pun masih kecil tapi kepandaiannya tidak kalah olehku! Namanya Giam Kin.
Hati-hatilah kau kalau bertemu dengan dua orang itu."
Setelah
perasaan takutnya agak reda, timbul kembali sifat kanak-kanak dari Koai Atong.
Ia mulai tertawa-tawa dan berkata, "Menyenangkan sekali ular-ular itu, ya?
Kalau kita bisa menyuling seperti dia, waaah, senangnya!"
Kwa Hong
bergidik. "Menyenangkan apa? Menjijikkan. Hih, hanya anak setan yang suka
bermain-main dengan segala macam ular. Eh, Koai Atong, sekarang hayo lekas
antar aku ke Hoa-san. Kalau kau tidak mau, aku pun tidak sudi lagi menjadi
temanmu."
"He-he-heh,
Enci Hong. Tentu saja kuantar. Biarlah kalau suhu akan marah karena lama aku
tidak kembali, palihg-paling akan digebuk pantatku. Hayo, mari kugendong
kau!"
Dengan cepat
sekali Koai Atong menggendong Kwa Hong di punggungnya dan orang aneh ini lalu
menggunakan kepandaiannya untuk cepat berlari menuju ke Hoa-san.
Diam-diam
Kwa Hong makin ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Kalau Koai Atong yang
sudah begini lihai masih takut pada orang tua itu, sampai berapa hebat
kepandaian Siauw-ong-kwi? Dan anak bermuka putih itu, benarkah lebih lihai dari
pada Koai Atong?
Tentu saja
dia tidak tahu bahwa tak mungkin anak bernama Giam Kin itu lebih lihai dari
pada Koai Atong. Hanya karena Koai Atong amat takut kepada Siauw-ong-kwi, maka
dia berkata demikian…..
**************
Pada masa
itu, kekuasaan bangsa Mongol yang sedang menjajah daratan Tiongkok mulai
menyuram. Di mana-mana timbul kekacauan serta pemberontakan-pemberontakan kecil
yang merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Goan.
Sungai-sungai
besar seperti Sungai Yang-ce atau Sungai Huang-ho, yang tadinya adalah pusat
pengangkutan dan perdagangan, kini penuh dengan perampok-perampok dan para
bajak sungai. Bajak dan perampok ini demikian beraninya sehingga, kalau dulu
mereka hanya mengganggu perahu kecil yang tidak terjaga kuat, tetapi sekarang
mereka ini tidak segan-segan untuk membajak perahu besar yang dijaga, bahkan
mereka ini berani pula mengganggu perahu-perahu pembesar Goan.
Kota dan
dusun yang terdapat di sepanjang Sungai Yang-ce, tidak luput dari gangguan para
bajak dan rampok ini. Oleh karena itu, maka keadaannya sekarang menjadi sepi.
Para pedagang tidak berani lagi melakukan perjalanan seorang diri, para
pengiring barang tidak berani lagi kalau tidak terjaga oleh serombongan piauwsu
(pengawal barang) yang kuat. Bahkan para pembesar yang melakukan perjalanan,
selalu membawa pasukan yang bersenjata lengkap.
Dusun
Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce termasuk Propinsi Hu-pek, tadinya merupakan
dusun yang ramai dan makmur, terkenal akan ikannya yang besar-besar dan banyak
serta hasil hutannya yang amat kaya. Biasanya di dusun ini banyak dikunjungi
pedagang-pedagang dari lain daerah sehingga di pinggir sungai banyak diikat
perahu-perahu besar dan di darat banyak terdapat kuda dan kereta.
Akan tetapi
akhir-akhir ini dusun Kui-lin juga ikut menjadi sunyi sekali. Tak ada pedagang
luar daerah yang berani datang melakukan perjalanan yang berbahaya. Para
pedagang di Kui-lin sendiri selain mengalami perdagangan yang sepi, juga sering
mendapat gangguan dari para penjahat sehingga mereka yang mempunyai cukup modal
berbondong-bondong berpindahan ke kota-kota besar. Banyak pula yang menderita
gulung tikar sehingga dusun Kui-lin sekarang menjadi dusun yang sunyi, hanya
ditinggali para nelayan dan petani yang tidak punya apa-apa untuk dirampok
lagi.
Maka agak
mengherankan kalau orang melihat adanya sebuah warung arak yang menjual
bermacam-macam makanan setiap hari dibuka di pinggir sungai di dusun itu. Akan
tetapi sebetulnya tidak aneh karena yang memiliki warung itu adalah Phang Kwi
si mata satu, seorang tokoh yang terkenal dalam dunia penjahat sehingga sebagai
orang segolongan dia tidak pernah diganggu oleh para perampok dan bajak yang
menjadi kawannya sendiri. Malah hampir semua langganan warung arak ini terdiri
dari penjahat-penjahat belaka.
Suatu pagi
yang sunyi, Phang Kwi masih enak-enak tidur mendengkur, warungnya belum dibuka.
Hari baru pukul enam. Biasanya kalau belum jam delapan lewat, setelah matahari
naik tinggi, Phang Kwi belum mau membuka warungnya.
Sudah
setengah tahun dia membuka warung di tempat ini dan tak pernah ada orang yang
berani mengganggunya. Tidak hanya takut akan kepalan tangan yang keras dari si
mata satu, akan tetapi juga takut kalau si mata satu itu melaporkan kepada
kepala mereka yang kesemuanya sudah dikenal baik oleh Phang Kwi.
Pernah ada
tiga orang anggota bajak tidak mau membayar setelah makan dan minum di warung
itu. Phang Kwi tidak mau melayani mereka, hanya melaporkan kepada kepala bajak
yang dikenalnya baik. Tiga orang anggota bajak itu dihajar oleh kepalanya
sendiri dan Phang Kwi mendapatkan uangnya. Semenjak itu, Para bajak dan rampok
tidak berani lagi mengganggunya.
Akan tetapi
pada pagi hari ini, selagi Phang Kwi masih tidur, pintu warungnya digedor
orang! Enam orang penunggang kuda yang bersikap kasar-kasar turun dari kuda
mereka masing-masing di depan warung. Dari mulut mereka terlontar sumpah
serapah mengutuk buruknya jalan dan dinginnya hawa.
Seorang di
antara mereka, yaitu pemimpinnya, adalah seorang bermuka merah, bertubuh tinggi
besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar dan sekantong piauw.
Dia inilah yang disebut Ang-bin Piauw-to (Golok Piauw Muka Merah), seorang
kepala perampok yang terkenal kejam dan lihai ilmu silatnya.
"Dar-dar-dar-dar!”
“Buka pintu,
Phang Kwi, kura-kura yang malas!" seorang di antara anggota rombongan ini
menggendor pintu sambil memaki-maki.
Phang Kwi
amat kaget di dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mendengarkan dengan penuh
perhatian, tukang warung ini mengomel panjang pendek.
"Bedebah...
setan alas... Sepagi ini mengganggu orang yang sedang enak tidur. Minta
dihancurkan kepalanya setan itu!"
Dengan
langkah lebar dan muka merengut, Phang Kwi menuju ke pintu warungnya dan
membuka daun pintunya. Akan tetapi mukanya yang merengut itu disambut gelak
tawa oleh enam orang itu.
"Ha-ha-ha,
kura-kura malas she Phang baru munculkan kepalanya!"
"Hei,
Phang tua, ada tuan-tuan besar datang kau tidak lekas sambut, orang macam apa
kau ini?"
"Phang
Kwi, kau cuci muka dulu dan cuci tangan, baru keluarkan arak hangat."
Phang Kwi
mulai hilang kerut mukanya, apa lagi ketika dia melihat pimpinan rombongan yang
bermuka merah. Segera dia menjura dan berkata, "Ahai, kiranya Ang-twako
yang datang berkunjung. Silakan masuk dan duduk. He, teman-teman, kalian
baik-baik saja? Mana oleh-olehnya untuk aku?"
"Oleh-oleh
apa? Jaman sedang sukar begini. Tapi nanti sebentar..."
"Sssttt,
Lo-tan, tutup mulutmu!" Si muka merah membentak dan pembicara itu pun
tidak melanjutkan kata-katanya.
Beramai-ramai
mereka memasuki warung arak dan Phang Kwi sibuk melayani mereka, menghangatkan
arak dan menghangatkan beberapa macam kue. Tentu saja dia tidak jadi marah
sebab mereka ini adalah teman-teman baiknya, teman-teman ‘seperjuangan’ ketika
dia dahulu masih menjadi anak buah dan pembantu Ang-bin Piauw-to di dalam
hutan.
Memang Phang
Kwi ini dulunya juga bukan orang baik-baik. Selain pernah menjadi anak buah
Ang-bin Piauw-to menjadi perampok, pernah pula dia menjadi anggota bajak
sungai.
"Mana
daging ikan?" Si muka merah bertanya pada saat melihat bahwa hidangan yang
dikeluarkan hanya roti kering dan beberapa macam kue saja. "Aku mendengar
daerahmu ini mengeluarkan ikan yang enak."
“Wah, sukar
sekarang ini, Twako. Para nelayan hanya mencari ikan untuk perut mereka sendiri
saja. Aku pun hanya bisa membeli kalau memesan lebih dulu."
“Masa
begitu? Biar kami mencari di pinggir sungai!"
Tiga orang
anggota perampok segera pergi keluar. Tidak lama kemudian terdengar suara
ribut-ribut di pinggir sungai ketika secara kasar para perampok ini merampas
ikan-ikan yang baru saja didapatkan oleh beberapa orang nelayan.
Seorang
nelayan muda yang berusaha untuk membela haknya mendapat hadiah bacokan
sehingga dia rebah mandi darah. Nelayan-nelayan lain menjadi ketakutan dan
mereka ini hanya bisa menarik napas panjang dan mengertak gigi sambil menolong
kawan mereka ketika tiga orang ini pergi membawa ikan-ikan besar sambil
tertawa-tawa.
Sementara
itu, Phang Kwi mendekati Ang-bin Piauw-to sambil berbisik, "Ang-twako, apa
yang dimaksudkan oleh Lo-tan tadi?"
Ang-bin
Piauw-to tersenyum. "Sebetulnya bukan rahasia, hanya tak enak jika
dibicarakan di luar warungmu. Kami sedang menanti lewatnya rombongan pedagang
yang membawa barang dua kereta banyaknya. Mereka akan lewat di dusun ini, entah
siang nanti entah sore hari.”
Berseri
Phang Kwi. "Hebat. Akan tetapi mengapa mereka itu berani bepergian di
waktu begini? Benar-benar aneh. Tentu ada pengawal-pengawal yang kuat..."
Ang-bin
Piauw-to mengeluarkan suara mengejek. "Hah, apa artinya pengawalan dari
lima orang piauwsu (pengawal) Pek-coa Piauwkok?"
"Bagaimana
pun juga, harap Twako berhati-hati. Apa bila orang sudah berani melakukan
perjalanan di saat seperti sekarang ini, tentu mereka itu mempunyai
andalan."
"Sudahlah,
kalau kau takut jangan ikut-ikut. Kalau kau mau membantu tentu kau akan
mendapat bagian."
"Siapa
takut? Dengan Twako di sini siapa yang takut lagi? Ha-ha-ha!"
Tiga orang
perampok yang sudah mendapatkan ikan tadi datang, dan makin gembiralah kawanan
perampok ini. Mereka makan minum sambil menikmati daging ikan yang empuk dan
gurih.
Pada saat
itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan tampak seorang tua bongkok bermuka lucu
turun dari seekor keledai yang tua pula. Keledai itu sudah tua, tidak ada
rambutnya lagi karena dimakan gudig. Telinga kirinya tinggal sepotong, telinga
kanan panjang sekali, punggungnya juga bongkok seperti penunggangnya itu. Di
dekat keledai berdiri seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti
raksasa, bermuka bodoh dan bermata sayu.
"Heh-heh-heh,
sedap sekali baunya Gurih, enak...!"
Kakek itu
terbongkok-bongkok berjalan lebih dulu memasuki warung arak, dengan wajah
tampak gembira. Akan tetapi pemuda tadi nampaknya tidak segembira kakek itu.
Melihat bahwa di antara tujuh orang yang sedang makan minum itu ada seorang
yang berdiri menyambutnya, kakek itu tahu bahwa yang berdiri itu tentulah
pemilik warung, maka dia segera berkata.
"Hei,
sahabat. Lekas kau sediakan ikan yang gemuk, dimasak seperti yang sedang kalian
makan itu. Wah, baunya gurih sekali. Cepatan, untuk dua orang!"
Phang Kwi
memandang dengan muka mendongkol. Melihat pakaian mereka, sudah jelas bahwa
kakek dan pemuda itu adalah orang-orang miskin, apa lagi jika dilihat bahwa
yang ditunggangi kakek itu hanya seekor keledai tua, tanpa muatan apa-apa di
punggungnya. Sekarang Phang Kwi sedang menjamu makan teman-teman lamanya, dan
dia pun sudah minum banyak arak, tentu saja keberaniannya bertambah dan
kegalakannya memuncak.
"Jangan
mengemis di sini, aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada kalian!"
katanya sambil bertolak pinggang.
Pemuda yang
bermuka bodoh dan bermata sayu itu tiba-tiba melempar sebuah kantong di atas
meja, suaranya gemerincing. Kakek itu sambil tertawa-tawa membuka kantong.
"Kami
tidak mengemis. Heh-heh-heh, kami membeli, sahabat."
Bukan hanya
mata Phang Kwi yang melotot lebar, enam pasang mata Ang-bin Piauw-to dan
kawan-kawannya juga melebar. Kantong yang dibuka oleh kakek itu ternyata berisi
potongan-potongan emas dan perak!
"Orang
tua, ikan tidak ada lagi," kata Phang Kwi, masih terheran-heran.
"Sahabat
tua, kalau tidak menjadi celaan marilah duduk makan bersama kami. Ikan di sini
cukup banyak." Tiba-tiba Ang-bin Piauw-to berkata dengan ramah kepada
kakek itu.
Si kakek
menutup lagi kantongnya, memasukkannya dalam saku baju pemuda tadi dan sambil
tertawa-tawa, dia lalu maju menghampiri meja para perampok dan duduk di dekat
Ang-bin Piauw-to. Pemuda tinggi besar itu duduk di sampingnya.
"He-heh-heh,
kalian orang-orang mengerti aturan. Memang bertemu di jalan harus saling
menyalam, tapi bertemu di meja makan harus saling menawarkan makanan.
Ha-ha-ha!"
Tanpa
malu-malu lagi kakek itu lalu ‘menyikat’ masakan ikan dan arak yang
dihidangkan. Juga pemuda itu dengan gembulnya, seakan-akan dia tak pernah makan
masakan yang sesedap itu, mencontoh perbuatan kakek tadi.
Para
perampok saling melirik. Diam-diam mereka mendongkol sekali karena dua orang
itu, meski pun yang satu tua bangka dan kurus bongkok sedangkan satunya lagi
pemuda tinggi besar, akan tetapi takaran makannya ternyata tidak berbeda,
keduanya gembul luar biasa.
"Silakan
minum lagi, sahabat tua." Ang-bin Piauw-to terus mengisi cawan arak di
depan kakek itu.
Phang Kwi
maklum akan maksud kawannya ini. Sambil tersenyum ia juga mengisi cawan arak di
depan pemuda itu, sehingga kakek dan pemuda itu tanpa mereka ketahui telah
‘diloloh’ oleh kawanan perampok.
Makin banyak
minum arak, kakek itu makin gembira dan terus tertawa-tawa. Akan tetapi
sebaliknya, pemuda raksasa itu semakin pendiam. Sementara itu, para perampok
makin sering saling lirik dan tersenyum-senyum karena maklum bahwa dengan
‘umpan’ ikan dan arak mereka akan mendapatkan ‘ikan besar’.
Yang membuat
mereka mendongkol adalah kekuatan minum arak dua orang itu. Biar pun telah
cukup banyak menenggak arak, mereka belum juga roboh atau mabuk. Akan tetapi,
Ang-bin Piauw-to bersikap sabar dan mengajak kakek itu mengobrol.
"Kek,
kau dan orang muda ini datang dari mana dan hendak ke manakah? Kiranya sudah
sepatutnya kita berkenalan."
"He-heh-heh,
tentu saja, tentu saja. Sudah makan bersama belum saling mengenal. Aku she Tan
bernama Sam, dan dia ini pembantuku bernama Hok, tidak punya she (nama
keturunan) maka kuberi saja she-ku kepadanya, maka dia kini bernama Tan Hok.
Kami tidak punya tempat tinggal tertentu, langit biru atap kami, bumi lantai
kami, he-heh-heh..."
Semua
perampok tertawa. Dalam hal tempat tinggal kakek dan pembantunya itu ternyata
senasib dengan mereka.
"Apa
pekerjaanmu, Kek?" Ang-bin Piauw-to bertanya lagi.
Kakek yang
bernama Tan Sam itu tertawa lagi. "He-heh-heh, tukang pancing... ya benar,
kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan
gemuk?"
Berubah
wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya
bahwa mungkin juga kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang
terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andai kata betul bajak
sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul
seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat?
"Tan-lopek,
kalau begitu, kau mencari rejeki di sepanjang Sungai Yang-ce?" Dia mencoba
untuk menyelidik.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di
lautan, di darat, di mana saja ada ikan besar, tentu akan kudatangi untuk
kupancing. Bukankah begitu Hok-ji (anak Hok)?" Kakek itu menepuk-nepuk
pundak pembantunya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu,
hanya mengangguk diam.
"Jika
begitu," sambung Ang-bin Piauw-to dengan bernafsu sedangkan para anak
buahnya mendengarkan penuh perhatian karena maklum apa yang dipikirkan oleh
kepala mereka, "tentu kau sudah kenal baik dengan Lui Cai si Bajul Besi,
dan dengan Kiang Hun si Naga Sungai, juga Thio Ek Sui si Cucut Mata
Merah?"
Tiga nama
kepala bajak yang paling terkenal disebut oleh kepala rampok ini.
Akan tetapi
kakek itu memandangnya dengan matanya yang sipit berseri seakan-akan
mendengarkan orang melawak. "Mereka itu betul-betul manusia ataukah
badut-badut? Kok namanya aneh sekali. Bajul Besi? Wah, belum pernah aku
melihatnya, mendengar pun belum. Kalau bajul biasa yang panjangnya tiga kali
orang saja aku pernah melihatnya, malah bajul buntung (buaya tak berekor =
penjahat) sering kali aku lihat, tapi bajul besi? Belum, belum pernah setua ini
aku melihatnya. Lalu yang ke dua, Naga Sungai? Heran sekali, tentang naga-naga
ini kiranya belum pernah ada orang melihat aslinya. Pernah aku melihat
gambar-gambarnya beserta patung-patungnya, akan tetapi kalau bertemu kiranya
hanya dalam... mimpi! Sepanjang pendengaranku, naga itu adanya hanya di laut,
kalau ada naga sungai, agaknya hanya... belut saja!" Kakek itu
tertawa-tawa, akan tetapi para perampok itu mana berani mentertawakan Kiang Hun
Si Naga Sungai?
"Kemudian
apa lagi tadi? Cucut Mata Merah? Ha-ha-ha-ha, tentu selamanya ikan itu tak
pernah mendapatkan mangsa, terlalu lapar dan menangis sehingga matanya merah.
Atau boleh jadi semalam suntuk dia pelesir di rumahnya naga sungai, tidak tidur
maka matanya merah. He-heh-heh... ehh, Hok-ji, apakah kau pernah mendengar pula
tentang bajul besi dan lain-lain itu?"
Tan Hok,
yang semenjak datangnya belum pernah mengeluarkan kata-kata itu, sekarang
memandang ke langit-langit ruangan dan menuding sambil berkata, "Itu...
buaya kecil."
Semua orang
memandang dan meledaklah ketawa mereka. Yang disebut buaya kecil itu bukan lain
adalah seekor cecak yang merayap di atas. Tiba-tiba cecak itu, mungkin akibat
kaget karena mendengar orang-orang tertawa riuh, melepaskan kotoran dan...
kebetulan sekali tahi cecak jatuh ke dalam cawan arak Ang-bin Piauw-to!
"Keparat...!"
Ang-bin Piauw-to memaki marah.
"Ha-ha-he-heh,
sobat muka merah, buaya kecil memberi hadiah kepadamu. He-heh-heh! Tan Sam
tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa keras sekali, suara ketawa Tan Hok yang semenjak tadi muram
saja. Ketawanya keras dan mendadak, akan tetapi matanya tetap sayu.
"Yang
kecil memberi hadiah yang besar, aneh…”
Ang-bin
Piauw-to dengan sangat marah mengambil sebatang senjata piauw. Senjata ini
kecil saja, panjangnya satu dim, ujungnya runcing, kepalanya bundar dengan
ronce-ronce merah. Begitu tangannya digerakkan, senjata ini melayang ke atas ke
arah cecak.
“Aduh
bagusnya, barang apa yang melayang itu?" Si kakek menunjuk dengan jarinya
ke arah piauw yang melayang menyambar cecak.
"Cappp…!"
Senjata
runcing itu menancap, bukan di badan cecak melainkan di pian, hanya beberapa
sentimeter jauhnya dari binatang yang amat ketakutan dan kaget itu.
"Ha-ha-ha,
tidak kena... tidak kena...!"
Semua orang
terheran, lebih lagi Ang-bin Piauw-to. Jarak antara tempat dia duduk dan cecak
itu takkan lebih dari pada lima meter, mengapa sambitannya tidak kena?
Biasanya, dalam jarak seratus langkah, belum pernah piauw-nya tidak mengenai
sasaran, apa lagi sasaran tak bergerak seperti cecak itu.
Kawan-kawannya
mengira bahwa dia terlalu banyak minum. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to sendiri
tidak merasa demikian. Mungkin aku terlalu marah, pikirnya. la mengambil piauw
ke dua dan….
"Serrrrr...
cappp!"
Kembali piauw-nya
menancap pian dan kali ini ekor cecak itu terbawa piauw tertancap pada papan,
sedangkan cecaknya sendiri yang sudah buntung lari dan lenyap.
"Ha-ha-ha-ha!"
Tan Sam tertawa sambil tiada hentinya sejak tadi dia menudingi cecak itu.
"Buaya kecil menjadi bajul buntung kecil, Ha-ha-ha, cocok benar. Sayangnya
dia masih berlari dengan empat kaki, kalau dengan dua kaki pasti lebih lucu
lagi!"
"Buaya
kecil dicaplok buntutnya oleh yang besar, sudah biasa!" berkata Tan Hok
seperti bicara pada diri sendiri, wajahnya tetap bodoh dan matanya sayu.
Dua orang
perampok marah bukan main. Terang bahwa si kakek itu mengejek, dan bocah itu
malahan menghina. Seorang perampok yang bertubuh pendek kecil mencengkeram ke
arah pundak Tan Sam, sedangkan perampok lain yang bertubuh tiriggi besar, tapi
tidak sebesar tubuh Tan Hok raksasa muda itu, mengangkat kepalan tangannya yang
besar untuk memukul kepala Tan Hok.
Kakek dan
pemuda itu agaknya tidak berdaya. Mereka tentu akan celaka kalau terkena
serangan-serangan tadi. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to membentak.
"Mundur
kalian!"
Sesudah dua
orang anak buahnya mundur, dengan senyum mengejek Ang-bin Piauw-to berkata,
"Dua orang ini adalah tamu agung kita, jangan diganggu dulu." Dalam
kata-kata ini terkandung ejekan atau sindiran bahwa belum tiba saatnya untuk
‘turun tangan’.
Kemudian dia
berpaling kepada Tan Hok sambil bertanya. "Orang muda, kau tadi hendak
maksudkan bahwa aku adalah buaya besar? Begitukah?"
Hening
sejenak. Para kawanan perampok mendelik ke arah Tan Hok yang memandang bodoh,
sedangkan Tan Sam hanya tersenyum-senyum sambil mainkan matanya.
Jawaban Tan
Hok sungguh tidak disangka-sangka orang yang tentu saja mengharapkan jawaban
‘ya’ atau ‘tidak’. Akan tetapi dengan suaranya yang lantang pemuda raksasa itu
menjawab, "Tuan bermuka merah, kau ini merasa menjadi buaya ataukah
bukan?"
"Tentu
saja bukan!"
"Kalau
bukan ya sudah, kenapa masih ribut-ribut lagi?"
Phang Kwi si
pemilik warung tak dapat menahan ledakan ketawanya, akan tetapi seketika dia
berhenti tertawa seperti jangkerik terinjak ketika Ang-bin Piauw-to melotot
kepadanya. Kepala perampok ini menoleh ke arah Tan Sam dan berkata.
"Kakek
Tan Sam, tadi kau mentertawakan perbuatanku menyambit cecak dengan piauw,
mengapa?"
Tan Sam
tertawa lagi, tertawa bebas dan lepas. "Selain cecak itu menjadi lucu
kehilangan buntutnya, juga aku heran kenapa kau tidak mengarah kepalanya,
melainkan buntutnya!"
Diam-diam Ang-bin
Piauw-to menjadi malu sekali sampai mukanya menjadi makin merah. Orang lain
tidak ada yang tahu bahwa sambitannya yang kedua kalinya tadi sebenarnya memang
gagal. Tadi dia mengarah kepala binatang itu, aneh sekali entah mengapa kali
ini dia selalu gagal. Bukan kepala yang terkena, melainkan buntutnya.
"Orang
tua she Tan, apakah kau juga pandai menyambit dengan piauw?"
Kakek itu
longang-longok, nampak bingung. "Piauw itu apa sih?"
Semua
perampok tertawa besar.
Ang-bin
Piauw-to mengeluarkan dua batang piauw-nya dari kantong. "Inilah yang
disebut piauw. Ketahuilah, nama julukanku adalah Ang-bin Piauw-to, karena aku
sangat pandai menyambit piauw dan main silat dengan golok."
Kakek dan
pemuda itu mengambil piauw tadi seorang satu, melihat-lihat dan nampaknya
kagum.
"Hok-ji,
apa kau bisa menyambitkan piauw ini?" tanya kakek itu kepada pembantunya.
"Apa
sukarnya menyambit? Tinggal melempar saja!" katanya.
Kembali
perampok tertawa lebar.
"Bertaruh...
bertaruh...!” kata beberapa orang serentak.
“Boleh
sekali...!" Tan Sam terkekeh. “Mari bertaruh menyambit dengan piauw ini.
Berapa taruhannya?"
Ang-bin
Piauw-to hendak mempermainkan dua orang itu, maka sambil tersenyum dia lalu
mengeluarkan seadanya perak yang disimpan di dalam kantongnya, lalu menaruhnya
di atas meja. "Hanya ini milikku, hayo keluarkan perakmu. Biar aku kalian
keroyok berdua."
"Baik."
Kakek itu mengeluarkan sejumlah perak yang sama banyaknya, menaruh di atas
meja, lalu memandang kepala rampok itu. "Mengeroyok bagaimana
maksudmu?"
"Kita
pasang sehelai daun pada dinding itu, kemudian dalam jarak lima puluh langkah
kita masing-masing melempar sebatang piauw ke arah daun yang dijadikan sasaran.
Kau dan pembantumu masing-masing menyambit satu kali, andai kata ada seorang di
antara kalian yang bisa mengenai daun, dianggap kena, meski pun yang seorang
lagi menyeleweng sambitannya. Aku hanya menyambit satu kali saja."
"Akur!"
Kakek itu nampak gembira bukan main dan mengedip-ngedipkan matanya kepada
pemuda raksasa dengan muka yang jelas memperlihatkan keyakinan akan memenangkan
pertandingan ini. "Kau sambitlah lebih dulu."
Daun sebesar
telapak tangan ditempelkan pada dinding warung itu dan jarak lima puluh langkah
diukur. Para perampok dan pemilik warung dengan gembira berdiri di kanan kiri,
agak jauh dari tempat sasaran. Sesudah mengeluarkan piauw-nya, kepala perampok
itu sambil tersenyum-senyum lalu berkata.
"Lihat
sambitanku!"
Tangan
kanannya bergerak dan piauw itu lalu meluncur seperti anak panah, cepat sekali
sampai hampir tidak kelihatan, tahu-tahu telah menancap di tengah daun. Tepuk
tangan kawan-kawannya menyambut keahlian ini. Tan Sam mulai plonga-plongo,
saling pandang dengan pembantunya.
"Waaah,
kok bisa kebetulan kena di tengah-tengahnya...," ia mengeluh.
Para
perampok tertawa.
"Kakek
bodoh, mana ada ucapan kebetulan? Memang Twako berjuluk Ang-bin Piauw-to,
seratus kali sambit pasti seratus kali kena!" kata seorang anggota
perampok. "Hayo lekas kau sambitkan piauw-mu, dan kau juga, badut
muda!"
Tan Sam
memandang pada pembantunya. "Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan
sekali kena di tengah-tengahnya. Hok-ji, marilah kita menyambit berbarengan
saja, secara untung-untungan, tidak kena daun juga tidak apa-apa asal bisa kena
kaki bajul buntung!" Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung,
"Satu... dua..." Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan
tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.
"...
tiga...!"
Dua buah
piauw meluncur ke depan. Akan tetapi terdengar suara gelak terbahak ketika para
perampok melihat bahwa dua buah piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus
dan mengenai dinding, jauh di kanan kiri daun.
"Aduh...!"
"Aaauuuuuhhh...!"
Terdengar
dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya
meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata
telah terkena hantaman piauw yang membalik! Untungnya hanya terkena kepala
piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri.
Anehnya,
yang terkena hantaman piauw ini ialah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan
Sam dan Tan Hok! Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya
mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan
Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar piauw, mereka terpaksa menahan
kesakitan dan menahan kemarahan.
Ang-bin
Piauw-to tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.
"Nanti
dulu!" kata kakek Tan Sam "Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku
kalau belum bisa menang!"
Kepala
perampok itu memandangnya dengan heran. Apakah otak kakek ini sudah miring,
pikirnya, "Boleh, berapa taruhannya?”
"Semua
perak di atas meja itu,” tantang Tan Sam.
"Bagus,
perlu ditambah?"
"Sesukamu,
kalau masih ada padamu, keluarkan semua."
Sekarang
para perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena
mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di
atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya.
Melihat
perak yang amat banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluarkan sebagian potongan
emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.
"Bagaimana
cara pertandingan?" tanya Tan Sam. "Apakah masih seperti tadi!"
“Boleh
saja,” jawab Ang-bin Piauw-to yang merasa yakin akan kemenangannya.
"Akan
tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tidak pandai
menyambitkan piauw."
"Siapa
bilang? Piauw-mu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang.
Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran
dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kanannya dengan ukuran jarak tertentu,
masa tidak akan kena?"
Para
perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.
"Nah,
kau lihat. Aku mulai!" kata Ang-bin Piauw-to sambil mengayun tangannya.
"Nanti
dulu!" Tan Sam mencegahnya.
"Aku
mau melihat dulu piauw-mu, apakah sama dengan piauw yang kau berikan padaku ini."
"Tentu
saja sama!" jawab kepala rampok itu marah sambil menunjukkan piauw-nya
yang beronce merah.
"Ahh,
tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai piauw-mu, kan
celaka." Sambil berkata demikian kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah
pada piauw-nya sehingga piauw itu berubah gundul dan buruk.
Tentu saja
para perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang digunakan kepala
rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi
ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang kakek itu malah mencopoti
ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?
"Bagus,
kau pintar, orang tua," kata Ang-bin Piauw-to mengejek. "Sekarang
sudah jelas, piauw yang beronce punyaku, yang gundul punyamu. Nah, siapa
menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut?”
"Tidak
usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku, baru adil
namanya."
Karena yakin
akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok
yang berkepala batu, Ang-bin Piauw-to tidak banyak membantah.
"Berbareng
pun baik," katanya mengejek sambil bersiap-siap.
Daun baru
sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau
Ang-bin Piauw-to mengincar sasaran daun, adalah kakek itu tidak menghadapi daun,
bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar.
Sambil
tertawa-tawa
para perampok menyingkirkan diri jauh-jauh supaya jangan terkena piauw kakek
yang kesasar lagi.
"Aku
menghitung sampai tiga, baru lepas," kata kakek itu. Lawannya mengangguk
sambil tersenyum mengejek.
"Satu...
dua... tiga...!!"
“Serrr…!"
Piauw
meluncur dari tangan Ang-bin Piauw-to, cepat dan lurus ke arah daun yang telah
ditempel pada dinding. Di samping ini, juga piauw di tangan kakek itu telah
dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung.
Piauw ini
berjungkir-balik dan berputar-putar. Mula-mula menuju arah kanan, akan tetapi
piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba
membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya.
Di dekat
daun, kedua piauw itu bersilang, lalu terdengar suara nyaring dan dua piauw itu
menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi
jauh dari daun!
Semua orang
bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, tiba-tiba
menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka
setelah memandang jelas ke arah daun yang sekarang terpaku oleh piauw itu. Apa
yang mereka lihat?
Ternyata
piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah piauw yang tidak
beronce merah, sedangkan piauw yang menyeleweng ke sisi adalah piauw beronce!
Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan kakek Tan
Sam!
"Ha,
bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!" Tan Hok memuji
dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas
meja yang tadi dipertaruhkan.
Para
perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata
apa.
"Sraaattt!"
Tiba-tiba
nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-bin Piauw-to sudah mencabut golok
besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya nampak
berkilauan pada waktu dikelebatkan.
"Jangan
ambil!" seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan
Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi.
Nampaknya
pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok
itu meluncur terus dan…
"Crakk!"
meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan jatuh ke atas
lantai.
Tan Hok dan
Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para perampok tertawa bergelak.
"Twako,
untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku," kata anggota perarnpok
yang tadi hendak menyerang Tan Sam. "Aku harus membalasnya untuk
kakiku."
"Betul,
Twako, anjing tua ini pun bagianku!" berkata pula perampok yang kakinya
terkena hantaman piauw Tan Sam tadi. Ang-bin Piauw-to hanya tersenyum, kemudian
melangkah mundur dan mengambil perak yang tersebar di lantai.
"Ahhh,
jangan... jangan bunuh mereka di sini. Warungku tak akan laku lagi,” Phang Kwi
mencegah khawatir.
"Diam!"
bentak kepala perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan.
Dengan mulut
menyeringai dua orang perampok itu telah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan
sikap amat mengancam. Tan Hok tampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya
tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.
"He,
kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu... aku yang menang mengapa
diambil...?"
"Kau
dan pembantumu akan kami bunuh!" bentak perampok yang menghadapinya.
"Aduh...
kenapa begitu? Jangan...!" si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok.
"Celaka,
Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di
bumi..."
Melihat
sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.
“Kau takut?
Hayo lekas minta ampun!"
Tan Sam
melirik ke arah pembantunya. "Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita
memberi hormat minta ampun." Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan
tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok.
Terjadilah
hal aneh. Dua orang perampok yang menghadapi kakek dan pembantunya ini
tiba-tiba terhuyung mundur, seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari
depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang perampok itu makin marah.
Memang, di dunia
ini hanya orang-orang bodoh saja yang berani bersikap sombong dan membanggakan
kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, sebenarnya makin bodohlah dia. Bodoh
karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai.
Andai kata
dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan
membutakan mata mereka.
"Keparat,
jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!"
bentak perampok yang mengancam Tan Hok. "Hayo kalian berlutut minta ampun,
baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!"
Kembali Tan
Sam melirik ke arah Tan Hok. "Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut."
Keduanya
lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.
"Aduhhh...!"
“Ahhhhh...!"
Rasa ulu
hati dua orang perampok itu seperti disodok toya baja saja. Mereka terjengkang
ke belakang, roboh dan memuntahkan darah segar.
"Celaka!"
Ang-bin
Piauw-to baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan
cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan
bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Iweekang yang tinggi!
Akan tetapi,
juga karena kesombongannya, dan hendak mengandalkan jumlah kawan yang banyak,
kepala perampok ini lalu mencabut goloknya sambil memberi aba-aba.
"Keroyok!
Bunuh dua ekor anjing ini!"
Kawan-kawannya,
juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah
kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. Dia
tertawa dan berseru.
"Perampok-perampok
jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggota Pek-lian-pai seperti aku, siapa
lagi yang akan membasminya?"
Kedua
tangannya segera bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar
jerit-jerit kesakitan ketika para perampok itu terkena oleh sambaran
Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), kecuali Ang-bin Piauw-to dan Phang Kwi yang
dapat mengelak.
Makin
terkejut hati Ang-bin Piauw-to mendengar disebutnya perkumpulan Pek-lian-pai
yang sedang memberontak untuk meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol itu. Namun
dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang
kakek Tan Sam. Ada pun Phang Kwi maju dengan ruyungnya menyerbu Tan Hok.
Sungguh-sungguh
amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Semua gerakannya tidak
seperti orang yang pandai silat, hanya mempunyai langkah-langkah kaki
berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini sungguh
luar biasa sekali, baik tenaga luar mau pun tenaga dalamnya.
Ruyung di
tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat
tenaga dan... ruyung itu patah! Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih
tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok
yang keras bagaikan serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai tulangnya
patah-patah. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan.
Berbeda
dengan Tan Hok, kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya.
Lebih cepat dari pada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan kakek itu dikejar
sinar golok. Serangan kepala perampok itu baru berlangsung dua puluh jurus,
terdengar suara keras, goloknya terlempar menancap dinding dan tubuh kepala
perampok itu terjengkang ke belakang. Mukanya pucat sebab dia telah menderita
luka pada dadanya oleh tamparan kakek yang lihai ini...
Pada saat
itu, tiba-tiba bertiup angin dari luar warung dan berkelebatlah bayangan yang
membawa bau yang amat harum. Pada lain saat Tan Sam dan Tan Hok telah
berhadapan dengan seorang perempuan yang amat cantik.
Mukanya
putih halus dengan sepasang pipi kemerahan. Mata yang mengeluarkan cahaya
bening akan tetapi tajam, membayangkan pengertian yang mendalam. Bibir yang
merah, kadang-kadang membayangkan kekerasan penuh wibawa, tetapi lebih sering
tersenyum penuh pikatan. Pendeknya seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh
yang indah.
Sukar
menaksir berapa usianya. Melihat wajahnya yang segar dan bentuk tubuhnya yang
padat, kiranya patut kalau dia ini berusia delapan belas tahun. Akan tetapi
melihat sinar matanya, agaknya ia jauh lebih tua dari pada itu.
Pakaian yang
menutup tubuhnya terbuat dari sutera halus berwarna merah kuning hijau biru
diselang-seling indah sekali. Sepatunya yang sangat kecil berwarna merah dengan
dasar dilapisi besi. Sebatang golok kecil dan tipis tergantung di punggungnya,
dari depan hanya tampak gagangnya tersembul di belakang pundak kanan, sedangkan
tangan kirinya memegang sehelai selendang merah dari sutera pula.
Kedatangan
wanita ini amat cepatnya dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah
seorang yang berkepandaian amat tinggi. Tan Hok dan Tan Sam bengong
terheran-heran ketika tiba-tiba wanita cantik itu menudingkan telunjuknya yang
runcing halus ke muka mereka sambil membentak.
”Orang-orang
Pek-lian-pai benar sombong, mengandalkan kepandaian sendiri menghina golongan
lain. Hemmm, kalau tidak diberi hajaran akan menjadi makin besar kepala!"
Baru saja
suaranya yang halus merdu berhenti, tubuhnya yang langsing sudah berkelebat ke arah
Tan Sam. Dalam sejurus saja dia telah mengirim tiga macam serangan kepada kakek
itu, yakni tusukan ke arah mata dengan dua jari tangan kiri disusul totokan
dengan tangan kanan ke arah dada dan tendangan kaki kiri melayang pula!
Tan Sam
tidak berani main-main seperti ketika menghadapi para perampok kasar tadi. Dari
gerakan wanita ini maklumlah bahwa dia kini bertemu dengan lawan tangguh yang
memiliki jurus-jurus ilmu silat yang aneh dan keji.
Cepat dia
bergerak mengelak dan menangkis, membuyarkan tiga macam serangan itu. Alangkah
kagetnya ketika dia merasa lengan tangannya terasa pedas dan gatal ketika dia
menangkis totokan tangan kanan wanita itu. Di lain pihak, wanita cantik itu
sendiri pun kaget dan terheran-heran melihat tiga serangannya dapat dibuyarkan
kakek ini.
"Nona,
tahan dulu. Mengapa kau memusuhi orang Pek-lian-pai?" bertanya Tan Sam
yang merasa penasaran.
Akan tetapi
mukanya berubah pucat ketika melihat wanita itu sudah mengeluarkan sebuah benda
yang ternyata adalah lima bunga teratai dengan lima warna di atas satu tangkai.
Lima macam teratai ini terbuat dari logam yang keras dan tangkainya merupakan
gagang senjata.
"Ehh...
kiranya... Ngo-lian Kauwcu (ketua Agama Lima Teratai)...," hanya sampai di
sini Tan Sam dapat berkata karena senjata aneh berupa lima teratai itu telah
digerakkan ke arahnya.
Tan Sam
mencoba untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba saja kepalanya menjadi pening,
matanya silau dan pundaknya sudah terpukul sebuah di antara lima teratai itu.
Kakek ini mengeluh dan roboh terlentang, mukanya berubah hitam dan napasnya
berhenti.
Melihat
gurunya tewas, Tan Hok pemuda tinggi besar itu menjadi kaget sekali.
“Siluman
betina... Kau membunuh orang?”
Wanita itu
tersenyum dan berkilatlah deretan giginya yang putih seperti mutiara teratur.
Matanya yang bening tajam itu mengerling dan bergerak cepat menjelajahi tubuh
Tan Hok yang tinggi besar dan kuat berotot, kelihatan membayangkan kekaguman.
"Ehh,
bocah raksasa, siapa namamu?” pertanyaan ini diajukan dengan suara halus dan
sikap genit.
"Namaku
Tan Hok dan aku harus membalas kematian..."
"Sudahlah,
kau ikut aku saja menjadi muridku. Tentu kelak kau akan menjadi jagoan besar
yang tak ada bandingannya...”
“Siluman
kau!" Tan Hok menerjang dengan kemarahan meluap, kepalan tangannya yang
besar itu menghantam ke arah kepala wanita itu.
Akan tetapi
dengan sikap tenang wanita cantik itu mengangkat tangan kirinya menangkis.
Sepasang lengan bertemu dan aneh sekali jika dilihat. Lengan wanita itu kecil
dan berkulit tipis halus, namun begitu bertemu dengan lengan Tan Hok yang besar
dan kuat berotot seakan-akan terus menempel.
Tan Hok
merasa tenaganya lenyap. Dia mencoba untuk menarik kembali lengannya, tapi
tanpa hasil. Sebaliknya tangan wanita itu meraba dagunya yang keras, kemudian
tangan kanan ini meluncur terus ke bawah. Di lain saat tubuh Tan Hok sudah
roboh lemas karena jalan darahnya tertotok secara halus, akan tetapi luar biasa
akibatnya.
Tan Hok
berusaha menggerakan tubuh, akan tetapi semua urat di tubuhnya tidak mau
menuruti kehendaknya, dia tetap lemas tak berdaya. Akan tetapi mata dan
mulutnya dapat dia gerakkan, maka dia lalu memaki-maki tidak karuan.
Ada pun para
perampok ketika tadi mendengar kakek Tan Sam menyebut nama Ngo-lian Kauwcu,
tiba-tiba menjadi kaget dan juga girang. Ang-bin Piauw-to segera memimpin para
anak buahnya yang sudah terluka untuk berlutut di depan wanita cantik itu.
"Ah,
kiranya Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas) yang menolong nyawa kami yang
rendah dan bodoh. Siauwte bertujuh menghaturkan terima kasih kepada
Thian-li..."
"Sudahlah,
cukup! Jangan banyak mengobrol," wanita itu mencegah sambil melambaikan
tangan.
Wanita ini
memang Kim-thouw Thian-li, ketua dari perkumpulan Ngo-lian-kauw, seorang wanita
yang berkepandaian amat tinggi. Usianya sudah tiga puluhan, akan tetapi ia
masih nampak seperti seorang gadis remaja. Sebagai murid tunggal dari Hek-hwa
Kui-bo, tentu saja kepandaiannya amat hebat.
"Lebih
baik kau merangket si mulut kasar ini supaya dia jangan memaki-maki seperti
itu," katanya sambil menuding ke arah Tan Hok yang masih memaki-maki
kepadanya.
"Baik
Thian-li. Biar kubunuh si keparat ini!" kata Ang-bin Piauw-to yang cepat
mencabut goloknya yang menancap pada dinding.
"Tak
usah dibunuh, dirangket saja biar tidak memaki lagi. Paksa dia supaya mau
menjadi muridku."
Ang-bin
Piauw-to terheran, akan tetapi tentu saja dia tak berani membantah. Diambilnya
sebatang cambuk dan mulailah dia mencambuki tubuh tinggi besar yang rebah
miring itu.
Sementara
itu Kim-thouw Thian-li kemudian mengambili paku-paku itu, tanpa ada yang
ketinggalan, malah dia merampas pula kantong paku Pek-lian-ting dari mayat Tan
Sam. Sambil tersenyum puas ia menyimpan paku-paku dalam kantong itu di balik
bajunya, lalu ia kembali kepada Tan Hok yang sedang digebuki.
Makin
kagumlah ketua Ngo-lian-kauw ketika melihat kepala perampok itu terengah-engah
mengeluarkan keringat sedangkan cambuk itu sudah hancur, akan tetapi tubuh
orang itu tidak terluka sama sekali, hanya bajunya yang hancur rusak
memperlihatkan tubuh yang amat kuat.
"Hemmm,
tebal kulitnya, ya? Coba biarkan aku yang mencambukinya!"
Kim-thouw
Thian-li menerima cambuk yang tinggal gagangnya itu dari tangan Ang-bin
Piauw-to, kemudian memukulkan gagang itu perlahan ke arah punggung Tan Hok.
Kali ini pemuda tinggi besar itu mengaduh-aduh kesakitan.
"Jika
kau tidak mau menerima menjadi muridku, kau akan kupukul lagi sampai tidak
dapat kau tahan lagi sakitnya," kata Kim-thouw Thian-li, sedangkan para
perampok itu melihat dengan heran.
"Lebih
baik kau bunuh. Mau bunuh lekas bunuh, kenapa masih cerewet lagi?" Tan Hok
memaki dengan suara lemah karena dia merasakan nyeri yang sangat hebat, akan
tetapi matanya masih melotot berani.
"Kurang
ajar kau, minta dibunuh apa susahnya?"
Ang-bin
Piauw-to yang sudah menjadi marah sekali telah mengangkat goloknya hendak
dibacokkan ke leher Tan Hok. Akan tetapi Kim-thouw mengibaskan selendangnya
dan... golok itu terlempar dari tangan kepala rampok.
"Jangan
lancang!" Kim-thouw Thian-li membentak, matanya yang bening mengeluarkan
cahaya berkilat. Kagetlah kepala rampok itu dan cepat dia berlutut.
"Kau
dan teman-temanmu harus mentaati perintahku.”
"Kami
mentaati, Thian-li," jawab kepala rampok itu. "Mulai sekarang,
anggaplah kami telah menjadi anak buah Thian-li.”
Kim-thouw
Thian-li tertawa manis. "Baik, aku ingin melihat apakah kalian cukup
setia. Tak jauh dari sini, di puncak Gunung Hek-niauw-san, ada sebuah
kelenteng. Semua hwesio di kelenteng itu adalah anak murid Siauw-lim-pai. Kau
ke sanalah dan lakukan ini..."
Wanita ini
kemudian mengajak kepala rampok menjauhi Tan Hok dan berbisik-bisik sambil
menyerahkan beberapa buah Pek-lian-ting yang tadi ia kumpulkan. Kepala rampok
hanya mengangguk-angguk, kemudian bersama kawan-kawannya dia meninggalkan
warung itu. Phang Kwi tidak ikut karena dia memang bukan anak buah Ang-bin
Piauw-to lagi.
Kim-thouw
Thian-li melirik ke arah tukang warung itu. "Kenapa kau masih belum pergi
ikut yang lain?"
Phang Kwi
cepat memberi hormat "Maaf, Thian-li, saya adalah pemilik warung ini,
bukan anak buah Ang-bin-twako..."
"Hemmm,
kalau begitu lekas singkirkan mayat kakek itu. Kubur dia jauh-jauh."
Phang Kwi
mendongkol sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Baiknya mayat kakek
itu tidak besar dan tak berapa berat, maka dia segera memanggulnya dan dibawa
ke belakang. Setelah Phang Kwi pergi, wanita itu berlutut mendekati Tan Hok.
Senyumnya makin manis dan matanya bersinar-sinar aneh. Dirabanya dada Tan Hok
yang bidang dan kuat.
"Orang
yang kuat dan gagah," katanya perlahan setengah berbisik." Tan Hok,
kenapa kau berkeras kepala ? Kau ikutlah aku dan kau akan hidup penuh
kesenangan. Aku kasihan kepadamu..."
Tan Hok
adalah seorang pemuda yang selain masih hijau, juga jujur dan bodoh. Dia tidak
dapat mengerti akan maksud yang tersembunyi di balik kata-kata dan sikap wanita
itu. Dia menganggap bahwa orang itu betul-betul kasihan padanya. Hal ini
mengingatkan dia akan keadaannya, bahwa gurunya, yaitu satu-satunya orang di
dunia ini yang ada hubungan dengan dia telah mati. Maka matanya lalu basah dan
dia menangis!
Kim-thouw
Thian-li mengusap-usap pipi pemuda itu, dan berkata, "Jangan berduka, anak
manis. Biar kusembuhkan kau dan kau ikutlah aku."
Jari
tangannya yang halus itu menotok pundak dan punggung, dan di lain saat Tan Hok
sudah pulih kembali tenaganya dan dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi
ketika dia melihat wanita itu merangkulnya dan hendak membantunya berdiri
dengan sikap yang mesra, dia merasa juga bahwa hal ini tidak sewajarnya dan
bukan sepatutnya. Maka dia meronta dan melepaskan diri.
"Tan
Hok, mari kau ikut pergi ke tempatku. Mulai detik ini kau selain menjadi
muridku, juga menjadi... teman baikku," kata Kim-thouw Thian-li dengan
senyum dan lirikan mata yang genit memikat.
Tan Hok
tidak mengerti maksudnya, "Aku tidak bisa ikut denganmu, juga aku tidak
mau ikut. Kau sudah membunuh guruku, mana bisa aku menjadi muridmu? Apa lagi
menjadi teman baik. Mulai sekarang, kau adalah musuhku."
Kim-thouw
Thian-li kaget dan kecewa. "Orang goblok! Aku kasihan dan suka kepadamu,
ingin menolongmu. Masa kau tidak mau terima?"
Tan Hok
berulang kali menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa...,
sekarang aku kalah olehmu, tapi lain kali mungkin aku bisa menang untuk membalas
perbuatanmu terhadap suhu...”
Dari kecewa
wanita itu menjadi marah. "Keparat, kau memang lebih suka mampus. Kalau
kau memberatkan gurumu, nah, kau ikutlah dia ke neraka!" Setelah berkata
demikian, Kim-thouw Thian-li menyerang dengan totokan maut.
Tan Hok yang
menganggap wanita ini musuh besarnya, sudah bersiap-siap dan cepat menangkis.
Kim-thouw Thian-li penasaran dan melakukan serangan bertubi-tubi. Tingkat
kepandaian wanita ini sudah lebih tinggi dari pada Tan Sam, mana mungkin Tan
Hok bisa melawannya? Baru tiga jurus saja pemuda ini sudah terjungkal oleh
sebuah tendangan. Kim-thouw Thian-li melangkah maju, ia menggerakkan
selendangnya hendak memukul ke arah kepala Tan Hok.
"Kim
Li, tahan...! Jangan bunuh orang...!" tiba-tiba terdengar suara keras dari
luar warung dan seorang pemuda yang tampan dan gagah melompat masuk.
Kim-thouw
Thian-li menahan serangannya. Cepat sekali muka yang beringas itu kembali penuh
senyum dan lirikan manis. la segera berpaling, kemudian menyambut kedatangan
pemuda itu dengan girang.
"Kwee-koko
(Kakak Kwee), kau sudah menyusul ke sini? Ahhh, aku sedang menghajar seorang
jahat!" Dengan langkah terayun menarik wanita itu menghampiri pemuda muka
putih itu sambil tersenyum-senyum, lalu memegang lengannya.
Pemuda itu
menoleh ke arah Tan Hok, mukanya memperlihatkan rasa malu karena sikap mencinta
wanita itu diperlihatkan di depan orang lain.
"Pergilah
dan ubah jalan hidupmu, jadilah orang baik-baik," kata pemuda itu kepada
Tan Hok.
Dengan mata
masih melotot penuh kemarahan, Tan Hok lalu pergi meninggalkan warung. Hatinya
panas dan mendongkol sekali kepada wanita itu yang selain sudah membunuh
gurunya, melukainya, juga melakukan fitnah kepada dirinya terhadap pemuda muka
putih yang menolongnya itu. Sebaliknya, meski dia menganggap pemuda tampan itu
pun bukan orang baik-baik, namun Tan Hok seorang yang jujur dan tahu akan budi
orang, maka dia merasa berhutang nyawa kepada pemuda yang dia tahu bernama
keturunan Kwee itu.
Setelah
bayangan Tan Hok lenyap, Kim-thouw Thian-li menggandeng tangan pemuda itu
sambil menyandarkan tubuhnya. Diajaknya pemuda itu duduk menghadapi meja.
"Kwee-koko,
kenapa kau menyusul ke sini? Dan janganlah muram selalu, bukankah ada Siauw-moi
(Adinda) di sisimu? He, tukang warung! Lekas sediakan arak yang terbaik dan
masaklah daging apa saja yang ada. Cepat!"
Pemuda itu
seperti orang kehilangan semangat, dia menurut saja ditarik dan diajak duduk
bersanding di atas kursi menghadapi meja. Wajahnya yang tampan nampak muram,
akan tetapi matanya agak bersinar ketika dia menghadapi pelayanan Kim-thouw
Thian-li yang ramah dan penuh cinta kasih mesra.
Siapakah
pemuda yang bermuka putih tampan ini? Bukan lain orang, dia ini adalah orang
termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama Kwee Sin berjuluk Pek-lek-jiu
(Tangan Geledek)! Dia inilah tunangan Kim-eng-cu Liem Sian Hwa, anak murid
Hoa-san itu.
Biar pun
yang termuda di antara murid Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai, namun Kwee Sin
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia sudah mewarisi ilmu pedang Kun-lun
yang terkenal di dunia persilatan. Kini usianya baru dua puluh dua tahun.
Semenjak
kecilnya Kwee Sin yang sudah tak berayah ibu itu tinggal di puncak Kun-lun
melayani suhu-nya Karena inilah maka dia menjadi murid terkasih dari ketua
Kun-lun-pai. Hanya kadang-kadang gurunya yang sudah tua dan menganggap Kwee Sin
seperti putera sendiri itu memberikan kesempatan kepada Kwee Sin untuk turun
gunung dan meluaskan pengalaman di dunia ramai.
Perkenalan
Kwee Sin dengan ketua Ngo-lian-kauw itu belum lama. Terjadi baru beberapa bulan
yang lalu ketika Kwee Sin sedang turun gunung memenuhi tugas yang diserahkan
padanya oleh suhu-nya, yaitu mencari tahu keadaan dunia ramai tentang
pemberontakan terhadap pemerintah Mongol.
***************
Pek Gan
Siansu, ketua Kun-lun-pai, pada waktu mudanya juga seorang pejuang, seorang
patriot. Maka sekarang mendengar tentang adanya pergerakan orang-orang gagah
yang menentang kekuasaan pemerintahan penjajah, semangatnya lalu terbangun, dia
menjadi gembira sekali.
Akan tetapi
dia sudah terlalu tua untuk turun gunung sendiri. Usianya sudah tujuh puluh
tahun lebih. Karena itulah dia lalu menyuruh muridnya itu untuk turun gunung
melakukan penyelidikan.
"Setelah
kau turun gunung melakukan penyelidikan, jangan lupa untuk singgah di rumah
calon mertuamu di dusun Lam-bi-chung," pesan ketua Kun-lun-pai ini kepada
muridnya. "Aku sudah tua, ingin melihat kau menikah tahun ini juga."
Kwee Sin
menjadi merah mukanya. Selalu mukanya yang putih tampan itu menjadi merah
sekali setiap kali orang bicara atau mengingatkan dia akan tunangannya, Liem
Sian Hwa. Merah karena jengah, jengah disebabkan bahagia setiap kali dia
terbayang akan wajah tunangannya itu, yang cantik sederhana, bersemangat dan
gagah perkasa.
Dia sendiri seorang
yang berjiwa pendekar, maka memiliki tunangan yang namanya amat terkenal
sebagai seorang lihiap (pendekar wanita), orang terkemuka dari Hoa-san Sie-eng
yang dikagumi dan disegani, tentu saja dia merasa amat bahagia. la telah
membayangkan betapa kelak dengan Sian Hwa di sisinya, mereka akan merupakan
sepasang pendekar yang akan menjadi pembela kebenaran dan keadilan serta
menjunjung tinggi nama baik Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Anak-anak mereka tentu
akan menjadi pendekar-pendekar besar pula.
Setelah
bersiap-siap, dan tidak lupa membawa pedangnya yang selama ini membuat dia
terkenal, pemuda ini kemudian turun gunung dengan penuh kegembiraan. la terus
menuju ke arah selatan dan timur, menjelajahi kota-kota besar, mendengar-dengar
dan mencari keterangan.
Ia banyak
mendengar tentang pergerakan patriotik dari perkumpulan-perkumpulan rahasia
yang timbul bagaikan jamur di musim hujan, terutama sekali tentang sepak
terjang orang Pek-lian-pai yang paling gigih melakukan perlawanan kepada
pemerintah penjajah. Maka tidak mengherankan apa bila dia merasa simpati
terhadap perkumpulan itu dan ingin dia mengadakan hubungan. Namun, perkumpulan
Pek-lian-pai ini ternyata amat rahasia, tidak mudah diketahui siapa pemimpinnya
dan di mana dia dapat menemui anggotanya.
Pada suatu
hari Kwe Sin tiba di Sin-yang dan dia pun mengunjungi tempat tinggal kedua
suheng-nya, yaitu Bun Si Teng dan Bun Si Liong, orang pertama dan ke dua dari
Kun-lun Sam-hengte. Selagi dia enak-enak berjalan dan tiba di jalan perempatan
di luar kampung tempat tinggal kedua suheng-nya, dari jauh ia melihat seekor
kuda hitam yang ditunggangi seorang laki-laki setengah tua berbaju putih datang
membalap dari jurusan timur. Pada saat itu juga, dari sebelah utara datang pula
berlari cepat seekor kuda yang ditunggangi seorang anak laki-laki berusia
belasan tahun, antara tiga belas atau empat belas tahun yang bertubuh kekar dan
gagah.
Kwee Sin
terkejut sekali melihat datangnya dua ekor kuda yang berlari seperti terbang
ini pada saat yang sama. Tikungan jalan perempatan dari timur dan utara itu
tertutup oleh segerombolan pohon sehingga kedua penunggang kuda itu tentu saja
tidak dapat melihat kedatangan masing-masing, dan mungkin juga tidak dapat
mendengar derap kaki kuda yang lain karena berisik oleh derap kaki kuda
sendiri. Kwee Sin yang datang dari selatan melihat dengan jelas akan hal ini
dan timbul kekhawatiran hatinya kalau-kalau dua ekor kuda itu akan bertemu dan
beradu di perempatan.
Hal yang dia
khawatirkan terjadi. Dua ekor kuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja
telah mendekati perempatan. Setelah berada dalam jarak dekat sekali, Kwee Sin
berseru, "Awas...!“
Dua ekor
kuda itu sudah dekat dan tak mungkin dapat dicegah lagi terjadinya tabrakan
yang mengerikan. Dua orang penunggang kuda itu, lelaki setengah tua berpakaian
putih dan pemuda remaja yang berkuda putih, melihat pula akan ancaman bahaya
ini.
"Ouw-ma
(kuda hitam), naik...!” Laki-laki setengah tua itu berseru.
Mendadak
kudanya mengeluarkan ringkikan keras dan tubuhnya melompat tinggi sekali
melangkahi kuda putih yang berlari cepat. Namun setinggi-tingginya lompatan
kuda yang mendadak itu, biar pun dapat melangkahi seekor kuda, agaknya di
antara empat kakinya tentu akan rnenendang penunggang kuda putih, anak
laki-laki tadi.
Kwee Sin
merasa ngeri dan tidak berdaya untuk menolong. Matanya terbuka lebar dan
jantungnya berdebar.
Hanya
sedetik kejadian itu. Kuda hitam itu melompati kuda putih, keempat kakinya
hampir menyentuh punggung kuda putih, akan tetapi masih selamat melompati kuda putih
yang menerobos di bawahnya. Debu mengebul tinggi dan... Kwee Sin tidak melihat
lagi anak laki-laki yang tadi duduk di atas punggung kuda putih.
"Celaka...!"
serunya, mengira bahwa anak tadi tentu sudah terkena tendangan kuda dan
terlempar dalam keadaan tewas atau sedikitnya terluka hebat.
Akan tetapi
dia segera melongo saking kagum dan herannya setelah melihat bahwa anak itu
ternyata secara lihai sekali, ketika kudanya dilompati kuda lain, telah
menggantungkan dirinya di bawah perut kuda dan sekarang dalam keadaan selamat
dia telah membalikkan tubuhnya duduk kembali di atas punggung kuda.
Namun anak
itu agaknya kaget juga. Dia menahan kendali kudanya dan menghentikan kuda itu
wajahnya agak pucat. Akan tetapi laki-laki setengah tua itu hanya menoleh sambil
tertawa bergelak, terus mencambuk kudanya, membalap makin cepat.
"Kurang
ajar, berhenti kau!" Kwee Sin langsung melompat hendak mengejar penunggang
kuda hitam.
"Kwee-susiok
(Paman Guru Kwee), jangan kejar dia!" Tiba-tiba anak laki-laki tadi berseru.
Kwee Sin
kaget dan menghentikan larinya. Dia menoleh dan memandang anak itu lebih
teliti.
"Ehh,
kiranya kaukah ini, Lim Kwi?" Dia berlari menghampiri dengan girang.
"Pantas saja begini lihai menunggang kuda, kiranya kau."
Anak itu
melompat turun dan memberi hormat. Dia memang Bun Lim Kwi, putera tunggal Bun
Si Teng, jago pertama dari Kun-lun Sam-hengte! Sebagai seorang pedagang kuda,
tentu saja Bun Si Teng dan adiknya, Bun Si Liong, selain memiliki ilmu silat
tinggi sebagai keturunan Kun-lun-pai, juga telah mempelajari ilmu memelihara
kuda sekaligus juga ilmu menunggang kuda. Bun Lim kwi tentu saja juga
mempelajari ilmu ini, maka tadi berkat ilmunya menunggang kuda, dia terluput
dari maut yang mengerikan.
"Lim
Kwi, kau dari mana dan kenapa kau nampak amat berduka? Pula, kenapa kau tadi
mencegah aku mengejar bangsat itu?" Kwee Sin mengajukan pertanyaan
bertubi-tubi.
"Kwee-susiok,
memang ada pertaliannya antara pertanyaan-pertanyaanmu tadi. Paman Bun Si Liong
terluka parah oleh seorang anggota Pek-lian-pai, dan saya sedang pergi ke
Twi-ciu membeli obat untuk paman. Dan orang tadi... melihat kepandaian dan
pakaiannya yang serba putih, dia itu pun agaknya salah seorang anggota
Pek-lian-pai yang memusuhi kami..."
"Ahhh..."
Kwee Sin berkata penasaran. "Jika betul dia itu memusuhi keluargamu,
kenapa engkau malah mencegah aku mengejar untuk memberi hajaran kepadanya?
Apakah luka ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) amat parah?"
"Kwee-susiok,
anggota-anggota Pek-Lian-pai lihai sekali dan selagi pamanku terluka, tidak
baik kiranya memperluas permusuhan dengan mereka."
Jawaban anak
berusia belasan tahun ini diam-diam membuat Kwee Sin kagum bukan main.
Benar-benar seorang anak yang sudah memiliki pandangan luas, pikirnya.
"Bagaimana
lukanya, ji-suheng?"
Bun Lim Kwi
menarik napas panjang. "Berat juga, syukur dapat tertolong oleh tabib yang
pandai. Biarlah nanti Susiok mendengar sendiri tentang persoalannya dari
ayah..."
"Benar
juga kau, hayo kita lekas pergi ke rumahmu, ingin aku menengok Ji-suheng."
Keduanya
lalu cepat memasuki kampung di mana Bun Lim Kwi dan ayahnya tinggal. Rumah
keluarga Bun cukup besar, malah memiliki pekarangan belakang yang amat luas,
karena di situ dibangun kandang-kandang besar untuk binatang peliharaan dan dagangan
mereka, yaitu kuda.
Sebagai
seorang pedagang kuda, Bun Si Teng telah berhasil dan makin lama kudanya makin
banyak. Hampir semua orang gagah yang membutuhkan kuda, atau para saudagar kuda
dari lain daerah, selalu datang menemuinya karena selain keluarga Bun jujur dan
tidak pernah menghargai kuda mereka terlalu tinggi, juga kuda mereka selalu
adalah kuda-kuda pilihan saking pandainya Bun Si Teng memilih kuda.
Di depan
gedung yang cukup besar itu terdapat beberapa batang pohon yang rindang dan
mendatangkan suasana yang teduh dan enak di halaman rumah itu. Beberapa ekor
ayam yang gemuk-gemuk sibuk mematuki gabah serta dedak yang berceceran di
halaman itu hingga suasana di tempat yang teduh itu aman dan damai, tidak
membayangkan sesuatu yang menyedihkan.
Hanya
sejenak saja Kwee Sin dapat merasakan ketenteraman suasana ini. Ketika teringat
akan keadaan ji-suheng-nya seperti yang ia dengar dari Lim Kwi, ia segera
tergesa-gesa memasuki gedung.
Kedatangan
Kwee Sin dan Lim Kwi disambut oleh nyonya Bun Si Teng, ibu Lim Kwi yang
tergesa-gesa bertanya, "Bagaimana Kwi-ji (anak Kwi), sudah dapatkah
obatnya?"
Lim Kwi
mengangguk, dan saat itulah nyonya ini melihat kehadiran Kwee Sin di belakang
anaknya. la segera menyambutnya dengan muka sedih, dan Kwee Sin lantas
menyatakan keinginannya untuk menengok Bun Si Liong yang terluka. Beramai-ramai
mereka bertiga masuk ke ruangan dalam.
Di dalam
kamar Bun Si Liong, orang gagah ini tengah rebah telentang dengan muka pucat
sedangkan Bun Si Teng, kakaknya, duduk di dekat pembaringan dengan wajah muram.
"Ah,
kau datang, Kwee-sute? Kebetulan sekali!" kata Bun Si Teng, agak berseri
wajahnya seperti mendapat pengharapan baru.
"Siauwte
mendengar tentang terlukanya Ji-suheng, bagaimana keadaannya?" Kwee Sin
menghampiri pembaringan.
Bun Si Liong
membuka mata dan memandang kepada Kwee Sin, tersenyum duka.
"Kita
kecewa, Sute... ternyata Pek-lian-pai bukan orang-orang baik..."
"Soal
itu biarlah nanti kita berhitungan dengan mereka, Ji-suheng. Yang perlu
sekarang kau berobatlah dulu agar segera sembuh," menghibur adik
seperguruan ini.
Dia mendapat
kenyataan bahwa selain menderita pukulan yang melukai sebelah dalam dada,
suheng-nya ini pun menderita luka parah pada pundak dan lambungnya akibat kena
senjata rahasia paku yang terkenal sering digunakan oleh perkumpulan
Pek-lian-pai, yaitu Pek-lian-ting.
Nyonya Bun
Si Teng sibuk memasak obat untuk adik iparnya, sedangkan Bun Si Teng lalu
menceritakan dengan singkat kepada Kwee Sin tentang terjadinya peristiwa itu.
"Beberapa
pekan yang lalu di sini datang seseorang yang mengaku sebagai utusan dari
Pek-lian-pai yang membutuhkan dua puluh ekor kuda yang baik. Karena merasa
simpati mendengar nama baik Pek-lian-pai sebagai perkumpulan para patriot, aku
dan Liong-te (adik Liong) dengan senang hati memilihkan dua puluh ekor kuda
terbaik dengan harga serendah-rendahnya. Malah orang yang mengaku bernama Thio
Sian itu, pada waktu itu menyatakan sangat kagum melihat kuda tungganganku sendiri.
Aku pun dengan rela hati menyerahkan kuda itu kepadanya sebagai tanda
persahabatan. Orang she Thio itu minta kepada kami berdua supaya suka
mengantarkan kuda ke dalam hutan yang tiga puluh li jauhnya dari sini. Karena
ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, aku sendiri bersama Liong-te
berangkat pada tiga hari yang lalu untuk mengantar kuda-kuda itu ke sana.
Tetapi celaka sekali..."
Bun Si Teng
yang bertubuh tinggi besar seperti pahlawan Kwan In Tiang di jaman dahulu ini
mengepalkan tinjunya yang besar dan mengertak gigi. Kwee Sin mendengarkan penuh
perhatian.
"Baru
saja kami memasuki hutan menggiring dua puluh ekor kuda, tiba-tiba muncul lima
orang berpakaian putih-putih dan mereka langsung menyerang kami dengan
paku-paku Pek-lian-ting. Tentu saja kami dapat menyelamatkan diri dari serangan
gelap ini. Namun sebelum kami dapat bertanya mengapa mereka melakukan hal itu,
mereka sudah maju mengeroyok. Terpaksa kami berdua melakukan perlawanan. Kelima
orang itu bersenjata golok dan ilmu silat mereka cukup lihai, akan tetapi aku
dan Liong-te tidak gentar. Kami dapat melayani mereka dengan baik, malah dapat
mendesak mereka dengan gabungan ilmu pedang kami."
Kwee Sin
mengepal tinju dan amat tertarik. la cukup maklum akan kelihaian kedua orang
suheng-nya, apa lagi kalau mereka menggabungkan ilmu pedang mereka, kiranya
takkan mudah dikalahkan orang, biar pun dengan pengeroyokan. Twa-suheng-nya,
Bun Si Teng, amat pandai bersilat pedang dan ditambah lagi dengan permainan
sebatang busur besar di tangan kiri merupakan seorang gagah yang sukar dicari
bandingnya.
Ada pun Bun
Si Liong yang bertubuh tegap serta bermuka hitam itu, tangan kanannya memegang
pedang sedangkan di tangan kiri memegang golok. Ilmu pedangnya dicampur dengan
ilmu golok sehingga gerakan-gerakannya sangat sukar diduga lawan. Kalau dua
orang ini bergabung menjadi satu, bukan main kuatnya.
"Lalu
bagaimana, Twa-suheng? Bagaimana Ji-suheng sampai bisa terluka ?" tanya
Kwee Sin penasaran.
"Menyakitkan
hati benar!" Bun Si Teng menggebrak meja. "Orang-orang Pek-lian-pai
itu memang pengecut dan jahat. Setelah kami mulai mendesak, mendadak terdengar
suara ketawa seorang wanita. Ketawanya nyaring dan merdu, akan tetapi sama
sekali tidak kelihatan orangnya. Kau tahu sendiri, Ji-suheng-mu biar pun gagah
perkasa, selalu amat takut dan gugup kalau berhadapan dengan wanita. Mendengar
suara ketawa ini agaknya dia gugup sekali, maka ketika dari tempat yang tak
diketahui datang menyambar banyak paku-paku Pek-lian-ting, dia kurang cepat dan
terluka oleh sebatang paku."
"Ahhh...!"
Kwee Sin berseru, penasaran dan juga heran.
"Paku-paku
yang menyambar kali ini dilepas oleh orang yang berilmu tinggi," kata Bun
Si Teng menjelaskan. "Pada waktu aku menangkis paku-paku itu dengan
pedangku, telapak tanganku sampai tergetar. Melihat adikku terluka, aku memutar
senjata dan mengamuk dengan nekat. Untuk sementara mereka itu tak dapat
mengganggu Liongte. Akan tetapi... lagi-lagi terdengar suara wanita itu yang
berseru agar supaya lima orang pengeroyok itu mendesak aku, kemudian wanita
yang bersembunyi itu juga menyuruh para pengeroyok itu agar mendesak dari satu
jurusan, dari depan saja dan jangan mengepung. Kemudian agaknya dia sendiri
yang menghujankan paku-paku Pek-lian-ting kepadaku. Aku menjadi terdesak hebat,
malah berada dalam keadaan yang berbahaya. Ketika itulah seorang di antara para
pengeroyok mendapat kesempatan untuk menyerang Adik Liong yang sudah terluka.
Liong-te masih dapat melawan, akan tetapi lagi-lagi sebatang paku melukainya,
kini di bagian lambungnya dan yang pertama tadi melukai pundaknya. Luka-luka
ini yang ternyata kemudian mengandung racun, membuat dia seperti lumpuh
sehingga dia kena pukulan pada dadanya."
"Keparat...!"
Kwee Sin berkata gemas.
"Melihat
keadaan adikku terancam, aku kemudian menyerbu ke arah adikku dan berhasil
merobohkan penyerangnya itu dengan busurku. Entah dia mampus atau tidak, akan
tetapi setidaknya kepalanya tentu retak!" kata Bun Si Teng gemas.
"Kemudian aku mengambil keputusan untuk menyelamatkan Liong-te, karena
musuh terlampau kuat. Aku berhasil menyambar tubuh Liong-te dan kubawa lari
pulang. Kuda-kuda itu mereka rampas dan ketika pada keesokan harinya aku
membawa beberapa orang murid mengunjungi hutan, di situ sudah tidak ada seorang
pun anggota Pek-lian-pai."
Kwee Sin
menepuk pahanya dengan marah. "Ahh, kalau tahu begitu, si kurang ajar tadi
tidak akan kulepaskan begitu saja!"
Bun Si Teng
memandang heran. "Siapa yang kau maksudkan, Sute?"
Kwee Sin
lalu menceritakan tentang penunggang kuda yang tadi hampir saja mencelakai Bun
Lim Kwi. Mendengar ini berkerut alis Bun Si Teng.
"Hemmm,
kalau begitu, selain bermaksud merampas kuda, mereka juga sengaja hendak
memusuhi keluargaku. Ah, kebetulan kau datang, Sute. Aku telah melakukan
penyelidikan dan mendengar bahwa manusia bernama Thio Sian itu berada di dusun
Hek-siong-san, tak jauh dari sini. Aku tadinya hendak mencarinya di sana untuk
membuat perhitungan. Sekarang kebetulan kau datang sehingga hatiku agak lega
meninggalkan rumah. Siapa tahu selagi aku pergi, mereka datang membikin kacau
sedangkan Liong-te masih belum sembuh. Kau bisa mewakili aku menjaga di
rumah."
"Twa-suheng,
kurasa Twa-suheng saja yang menjaga rumah, biarlah aku yang mewakili Suheng
mencari jahanam Thio Sian itu di Hek-siong-san. Sekarang sudah terang bahwa
Pek-lian-pai amat curang. Jika Suheng sendiri yang pergi ke sana, jangan-jangan
mereka akan mengatur jebakan karena mereka sudah mengenalmu. Akan tetapi kalau
aku yang pergi, mereka belum mengenalku, maka kiranya akan lebih leluasa bagiku
untuk bergerak. Hanya saja, harap Suheng memberi gambaran yang jelas tentang
rupa orang she Thio itu."
Mendengar
kata-kata Kwee Sin ini, Bun Si Teng lalu mengangguk-angguk. Tidak dapat
disangkal pula, ucapan Kwee Sin ini memang benar sekali. Selain itu, dia sudah
percaya akan kepandaian sute-nya ini yang tidak berbeda jauh dengan
kepandaiannya sendiri. Betapa pun juga, menjaga di rumah kiranya merupakan
kewajiban yang tidak kalah pentingnya, pula amat berbahaya karena selain harus
melindungi anak isterinya, dia harus pula melindungi adiknya yang sedang sakit.
"Baiklah,
Kwee-sute. Akan tetapi kau harus hati-hati benar karena biar pun mengenai
kepandaian silat kiranya kau tak usah khawatir menghadapi mereka, namun mereka
itu licik dan curang sekali. Untuk mengenal orang she Thio itu mudah saja.
Perawakannya kurus tinggi, kumisnya kecil panjang dan di atas pipi kanannya
terdapat sebuah tahi lalat merah. la bicara dengan lidah utara."
Setelah
mendapat penjelasan dari suheng-nya, Kwee Sin lalu pergi melakukan tugasnya,
mencari musuh besar suheng-nya itu ke dusun Hek-siong-san. Dusun itu kecil
saja, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi Kwee Sin untuk mencari Thio Sian.
Agaknya tidak ada yang mengenal orang ini di Hek-siong-san.
Akhirnya ia
pun mendapat keterangan tentang orang ini dari seorang pemilik warung arak.
"Orang tinggi kurus berkumis kecil dan ada tahi lalatnya merah di pipi
kanan? Ahh, benar, dia pernah membeli arak di sini, malah tadi aku lihat dia
lewat di sini menuju ke timur."
Mendengar
keterangan ini, Kwee Sin mengucapkan terima kasihnya dan cepat-cepat dia
melakukan pengejaran ke timur. Di sebelah timur dusun ini terdapat sebuah hutan
kecil. Tanpa ragu-ragu Kwee Sin memasuki hutan ini, biar pun hari sudah mulai
senja.
Hutan pohon
siong yang menghitam kulitnya itu nampak gelap. Ia melihat hutan itu sunyi
saja, bahkan tak nampak seekor pun binatang hutan. Tiba-tiba ia mencium bau
asap dan melihat asap membumbung tinggi dari sebelah kiri.
Berindap-indap
dia mendekati dan dengan girang dia melihat seorang lelaki menghadapi api
unggun. Laki-laki ini cocok dengan gambaran diri Thio Sian dan hatinya lebih
girang lagi karena melihat laki-laki ini seorang diri saja, tidak ada orang
lain di situ. Dengan berani dan gagah Kwee Sin lalu meloncat mendekati dan
berdiri dengan tangan bertolak pinggang.
"Orang
she Thio, bersiaplah membuat perhitungan atas perbuatanmu yang pengecut dan
curang!" bentaknya sambil mencabut keluar pedangnya.
Orang tinggi
kurus itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dengan tenang.
"Susah
payah kau mencari-cari aku di Hek-siong-san, kemudian mengejar ke sini atas
keterangan tukang penjual arak. Dapat bertemu setelah aku membakar daun-daun
kering ini. Ehh, orang muda yang gagah, apa perlunya kau mencari aku Thio
Sian?"
Kwee Sin
kaget sekali. Kiranya orang yang dicari-carinya ini telah lebih dulu tahu akan
kedatangannya. Benar berbahaya. Diam-diam dia mengerling ke kanan kiri untuk
mencari kalau-kalau orang ini sudah memasang jebakan. Ia merasa gentar juga,
namun sebagai seorang pendekar dia tidak mau memperlihatkan ini.
"Jangan
kau bersikap pura-pura," katanya mengejek. "Kau sudah berani menipu
Kun-lun Sam-hengte, menipu dua suheng-ku, malah melukai ji-suheng-ku dengan
pengeroyokan pengecut. Ketahuilah, aku Kwee Sin takkan membiarkan orang macam
engkau menghina ji-suheng begitu saja!"
Orang itu
sambil tersenyum lalu menjura. "Eh, kiranya Pek-lek-jiu Kwee-enghiong yang
datang. Sudah lama mendengar nama besar Kwee-enghiong, dan aku yang bodoh Thio
Sian juga sudah beruntung sekali berkenalan dengan kedua saudara Bun yang
gagah..."
Mendongkol
sekali hati Kwee Sin. "Orang she Thio, jangan berpura-pura menjual mulut
manis. Awas pedangku!"
Kwee Sin
merasa dipermainkan dan khawatir kalau-kalau sedang dijebak, maka cepat ia
mengirim serangan.
"Ehh,
ehh, benar-benar berdarah panas!" Orang itu dengan mudahnya mengelak.
Kwee Sin
mendesak lagi dengan pedangnya sehingga mau tak mau Thio Sian mencabut goloknya
dan menangkis.
"Kau
hendak menguji kepandaian? Baiklah, tak ada halangannya di tempat sunyi ini
kita bermain-main, biar kita penuhi syarat perkenalan dengan bertanding lebih
dulu.”
Di lain saat
kedua orang itu sudah bertanding seru. Diam-diam Kwee Sin harus mengakui kehebatan
lawannya yang memiliki ilmu golok yang amat cepat dan kuat. Susah payah dia
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi tetap saja dia tidak
mampu mendesak lawannya.
Dia mulai
gelisah. Kalau ada seorang lagi saja teman lawannya, dia tentu celaka dan
takkan dapat menang. Oleh karena itu dia mulai melakukan pukulan-pukulan tangan
kiri, yaitu pukulan Pek-lek-jiu yang amat ampuh.
"Ayaaa...
kau benar-benar hendak mengambil nyawa orang yang tak berdosa?" Thio Sian
nampak terkejut dan cepat mengelak. "Mari kita bicara dulu."
Tapi Kwee
Sin mana mau berhenti? Malah menyerang makin gencar dengan pedang dan
pukulan-pukulannya. Tiba-tiba Thio Sian juga melakukan serangan dengan tangan
kirinya. Dia melakukan pukulan-pukulan jarak jauh untuk menandingi Pek-lek-jiu
dari jago muda Kun-lun-pai itu.
Pada saat
itu cuaca sudah mulai gelap. Pertempuran sudah berlangsung hampir seratus
jurus. Berkali-kali Thio Sian minta dihentikan, namun Kwee Sin tidak mau
peduli. Tiba-tiba berkelebat bayangan kecil berwarna merah ke arah Thio Sian.
Thio San
terkejut, cepat menangkis dengan goloknya. Bayangan itu ternyata sehelai sapu
tangan yang membuat Thio Sian mengeluarkan seruan kaget, dan tahu-tahu tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang.
"Aahhhhh...
kau... kau bersekutu dengan dia...?" la mengeluh dan tiba-tiba tangan
kirinya melayangkan beberapa buah Pek-lian-ting ke arah Kwee Sin.
Penyerangan
ini tiba-tiba datangnya. Kwee Sin sudah berusaha menghindarkan diri, tapi
sebatang paku Pek-lian-ting dengan tepat sekali menancap di jalan darah dekat
lehernya. Pandang matanya gelap dan Kwee Sin mengeluh perlahan, lalu roboh
pingsan!
Ketika Kwee
Sin membuka matanya sambil mengeluh kesakitan, dia menjadi heran dan kaget
sebab mendapatkan dirinya sudah rebah di atas pembaringan dalam sebuah kamar
yang berbau harum. Lehernya terasa panas dan sakit sekali, sampai terasa
berdenyut kepalanya. Namun dia memaksa diri bangun duduk.
Terdengar
suara pintu kamar berderit terbuka, lalu tertutup lagi. Kwee Sin menoleh dan...
matanya terbelalak lebar ketika dia melihat seorang wanita muda cantik sekali
memasuki kamar itu sambil tersenyum manis.
"Kau...
kau siapakah...?" Kwee Sin hendak melompat turun.
Wanita itu
melangkah ringan dan cepat, tahu-tahu sudah berada di pinggir pembaringan, lalu
menjura dan berkata, dengan kata-kata yang sopan dan merdu.
"Harap
Taihiap tenang dan jangan kaget, biarlah Siauw-moi memberi penjelasan...”
“Tapi...
tapi tak pantas sekali kita... berada di sini..."
"Sssssttt..."
Manis sekali ketika wanita itu menaruh telunjuk di depan mulut dan bibirnya
mengeluarkan suara ini untuk mencegah pemuda itu membuat berisik.
"Taihiap,
jangan ribut-ribut, bila terdengar para pelayan losmen dan para tamu, kita
malah akan mendapat malu. Dengarlah Siauw-moi bicara..." Wanita itu dengan
sikap sopan tapi amat manis menarik lalu duduk di atas bangku di depan
pembaringan sambil memberi isyarat dengan tangannya supaya Kwee Sin berbaring
kembali. "Kau berbaringlah, lukamu masih belum sembuh dan perlu
beristirahat."
Karena
memang kepalanya berdenyut-denyut dan pening, Kwee Sin terpaksa menurut dan
membaringkan badan, biar pun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia seorang
gagah, bagaimana sekarang bisa berada sekamar dengan seorang gadis cantik
jelita? Sungguh memalukan dan mencemarkan namanya!
"Taihiap,
secara terpaksa sekali aku membawamu ke dalam losmen ini. Kau terluka hebat
oleh paku Pek-lian-ting. Kau pingsan, lukamu parah, tepat mengenai jalan darah
besar di leher. Tanpa mendapat pengobatan yang cepat dan tepat, keadaanmu akan
berbahaya sekali. Di dalam hutan yang sunyi, bagaimana aku dapat menolongmu?
Karena itu secara terpaksa sekali aku membawamu ke losmen ini, menyewa sebuah
kamar."
"Tapi...
tapi...," Kwee Sin memprotes, "kenapa hanya sekamar? Padahal, kau dan
aku... laki-laki dan wanita, sungguh tak patut..."
Wajah wanita
itu menjadi merah sekali, terutama di kedua pipinya, membuat ia nampak makin
jelita.
"Maaf,
Taihiap. Aku... aku terpaksa mengaku bahwa kita... kita ini suami
isteri..."
"Ahhh!"
Kwee Sin terkejut dan hendak bangun, tetapi lehernya sakit sekali dan dia rebah
kembali.
"Terpaksa,
Taihiap. Kalau aku tidak mengaku demikian, sudah tentu akan menimbulkan
kecurigaan. Aku mengaku suami isteri yang berpesiar, lalu kau mendapat
kecelakaan jatuh dari kuda. Setelah aku mengaku bahwa kita adalah suami isteri,
tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau menaruh curiga.”
Kwee Sin
diam saja. la merasai kebenaran omongan wanita ini. la melirik dan melihat
wanita itu menyusuti dahi dengan sehelai sapu tangan merah. Tiba-tiba dia
teringat dan dia memaksa diri duduk.
“Kau...
kaukah yang menyerang dan merobohkan Thio Sian dan yang rnenolongku?" la
memandang tajam, ragu-ragu.
Kedua pipi
wanita itu merah lagi ketika mengangguk, tersenyum dan berkata perlahan,
"Sudah sepatutnya kita saling tolong-menolong, apa lagi menghadapi seorang
penjahat besar seperti tokoh Pek-lian-pai itu. Ketika aku melihat seorang
Pek-lian-pai bertempur melawanmu, tanpa ragu-ragu lagi aku memihak padamu,
Taihiap. Tidak tahu, siapakah nama Taihiap yang mulia?"
Sambil duduk
Kwee Sin cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Ahh, kiranya
Nona adalah penolongku. Terima kasih banyak bahwa Nona sudah menolong dan
menyelamatkan nyawaku. Aku yang bodoh ini bernama Kwee Sin, dan apakah aku
boleh mengetahui nama besar Lihiap (Nona Pendekar)?"
"Aku
bernama Kim Li, she (nama keluarga) Cou. Kwee-taihiap, karena aku sudah
terlanjur mengaku sebagai suami isteri, untuk melenyapkan kecurigaan orang,
kuharap kau jangan menyebut lihiap... sebut saja namaku, dan... dan kalau boleh
aku lebih suka menyebutmu Kwee-koko (Kakanda Kwee)..."
Berdebar
jantung Kwee Sin, tetapi pada saat itu juga lehernya terasa nyeri bukan main
sampai kepalanya berdenyut-denyut. la meramkan matanya dan mengeluh perlahan.
Wanita itu
yang bukan lain adalah Kim-thouw Thian-li atau Ngo-lian Kauwcu, ketua dari
Ngo-lian-pai, segera menghampiri. Dengan mesra dan halus ia menaruh tapak
tangannya di atas kening Kwee Sin dan berkata merdu.
"Kau
mulai terserang demam, Kwee-koko. Akan tetapi tidak apa-apa, kau tidurlah,
biarlah kumasakkan obat untukmu."
Dengan
sangat teliti wanita ini merawat Kwee Sin. Sikapnya penuh kasih dan mesra,
selama dua hari dua malam tak pernah meninggalkan kamar itu, tak pernah tidur.
Biar pun
sedang menderita demam, Kwee Sin masih ingat akan semua ini dan diam-diam dia
merasa amat terharu dan berterima kasih sekali. Belum pernah selama hidupnya
dia mempunyai seorang yang begini baik terhadap dirinya, bahkan tunangannya
sendiri, nona Liem Sian Hwa, belum pernah bersikap sedemikian manis dan penuh
kasih.
Kwee Sin
adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam menghadapi godaan wanita. la belum
dapat membedakan antara kasih sayang yang murni dengan kasih sayang seperti
yang dikandung dalam hati seorang wanita seperti Kim-thouw Thian li.
Tak dapat
disangkal bahwa meski pun masih muda, pengalaman Kwee Sin dalam dunia kang-ouw
sudah banyak sekali. Namun tentang cinta kasih, dia benar-benar masih hijau dan
hatinya masih bersih sehingga dia menganggap sikap wanita itu sebagai cinta
yang benar-benar murni.
Betapa pun
juga, ternyata Kim-thouw Thian-li benar-benar jatuh hati kepada pemuda jago
Kun-lun-pai ini. Melihat sikap Kwee Sin yang bersih dan jujur, yang selalu
sopan dan tidak sekali-kali mau melanggar kesusilaan, wanita ini merasa malu
dan takut sendiri untuk bersikap terlalu genit.
Namun dengan
kepandaiannya membujuk rayu, ia berhasil juga mendatangkan rasa haru di dalam
hati Kwee Sin. Mulailah di dalam hati pemuda ini timbul penyesalan, kenapa dia
tidak diikatkan jodoh dengan seorang gadis seperti Coa Kim Li ini!
Pada hari ke
tiga, Kwee Sin sudah sembuh kembali. Dia lalu menghaturkan terima kasih kepada
Coa Kim Li atau yang sesungguhnya berjuluk Kim-thouw thian-li itu.
"Adik
Kim Li," katanya terharu, "aku merasa berhutang budi kepadamu. Apa
bila aku Kwee Sin tak mampu membalas budimu, biarlah Thian yang akan
membalasnya. Sekarang kita harus berpisah, aku akan melanjutkan perjalananku
dan aku tak berani mengganggu kau lagi."
Kim-thouw
Thian-li tersenyum manis, akan tetapi sinar matanya menunjukkan kedukaan
hatinya. "Kwee-koko, kenapa kita harus berpisah? Apakah salahnya jika kita
melakukan perjalanan bersama-sama? Koko, aku... entah kenapa, selama hidupku
belum pernah aku mempunyai seorang... sahabat seperti kau. Aku... agaknya akan
sukar sekali bagiku untuk berpisah dari sampingmu."
Kwee Sin
makin terharu, apa lagi ketika dia melihat dua butir air mata jernih turun dari
sepasang mata yang indah itu. Dipegangnya kedua tangan Kim Li, dan dengan
suaranya yang menggetar dia berkata, "Kim Li, percayalah, aku pun
mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan itu. Kau satu-satunya wanita yang
selama hidupku amat baik kepadaku. Akan tetapi kurasa tidak sepatutnya kalau
kau seorang gadis gagah perkasa melakukan perjalanan bersama seorang laki-laki.
Akan tercemar nama baikmu. Ke dua..."
"Kwee-koko,
peduli apa dengan anggapan umum? Apakah kita orang-orang gagah masih perlu
mendengarkan gonggongan anjing-anjing di tepi jalan?"
Kwee Sin
tersenyum pahit. "Benar kata-katamu, akan tetapi mau tidak mau kita harus
menghindarkan dugaan yang bukan-bukan. Selain itu, yang ke dua... aku harus
berterus terang kepadamu. Kim Li moi-moi, aku... aku sebenarnya sudah... sudah
bertunangan..."
Aneh, sama
sekali wanita itu tidak nampak kaget atau pun kecewa. Memang, bagi orang
seperti Kim-thouw Thian-li, laki-laki yang disukainya tetap laki-laki, tak
peduli dia itu belum bertunangan mau pun sudah beristeri atau sudah menjadi
ayah. Akan tetapi, dengan ilmu kepandaiannya, ia bisa membuat kedua pipinya
menjadi kemerahan.
"Siapa...
siapa dia itu, Koko? Tentu gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa?"
"Tentang
kecantikannya, aku tidak dapat bilang dia amat cantik, setidaknya... ehhh,
tidak secantik engkau. Tentang kepandaiannya, tentu saja dia lihai karena dia
itu adalah orang termuda dari Hoa-san Sie-eng."
"Ahhh,
dia Kim-eng-cu Liem Sian Hwa...?"
"Kau
sudah mengenalnya, Kim Li?"
"Siapa
yang tidak tahu bahwa orang termuda dari Hoa-san Sie-eng adalah
Kiam-eng-cu?" Bibir yang merah itu berjebi. "Hemmm, kukira bidadari
dan kahyangan yang sakti!"
Merah muka
Kwee Sin. Dia teringat bahwa Kim Li memiliki ilmu kepandaian yang sangat
tinggi, mungkin tidak kalah oleh Liem Sian Hwa dan yang sudah jelas tidak kalah
olehnya sendiri. Buktinya, Thio Sian yang lihai itu juga roboh oleh wanita ini.
Menurut pengakuan Kim Li, Thio Sian dapat dibunuhnya di dalam hutan itu dan
ditinggalkan begitu saja.
"Dia
memang seorang gadis sederhana saja..." akhirnya dia berkata untuk
mengusir rasa jengahnya.
“Jadi kau
sekarang hendak pergi ke sana? Di mana sih rumah tunanganmu itu, Koko?"
"Di
Lam-bi-chung. Terpaksa aku harus singgah ke sana memenuhi pesan suhu. Setelah
singgah sebentar aku akan kembali ke Kun-lun."
"Bagus!
Tujuan perjalananku juga melalui Lam-bi-chung. Kita bisa melakukan perjalanan
bersama, Koko. Dekat sana ada Telaga Pok-yang, amat indah apa lagi pada awal
musim chun (semi) seperti sekarang ini. Kwee-koko, kalau begitu, marilah kita
berangkat. Aku tak akan mengganggumu, jika kau singgah di Lam-bi chung, aku
akan menjauhkan diri!"
Sikap yang
amat gembira dari Kim Li ini rnembuat Kwee Sin tak dapat menolak lagi. Apa lagi
kalau diingat bahwa dia memang akan senang sekali melakukan perjalanan bersama
gadis ini. Kalau tadi dia mengajukan keberatan, itu hanya karena dia hendak
menjaga nama baik gadis itu. Maka, sekarang mendengar bahwa gadis itu pun
hendak melakukan perjalanan sejurusan dengannya, dia menjadi girang bukan main.
"Li-moi,
kau sebetulnya hendak pergi ke manakah?" tanyanya serius.
Akan tetapi
gadis itu hanya tertawa saja, tertawa manis sambil menampar lengan Kwee Sin.
"Banyak tanya mau apa sih? Lebih baik lekas berkemas dan segera
berangkat!"
Kwee Sin
tertawa senang melihat gadis itu berlari-lari ke belakang untuk mencari pelayan
dan memberi tahu bahwa mereka hendak pergi meninggalkan losmen.
Dan memang
benar dugaan Kwee Sin. Perjalanan yang dia lakukan bersama Coa Kim Li
benar-benar sangat menggembirakan hatinya. Alangkah jauh bedanya dengan
perjalanan yang dia lakukan seorang diri sebelum dia bertemu dengan gadis
ini...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment