Sunday, July 15, 2018

Cerita Silat Serial Raja Pedang Jilid 04



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
             Serial Raja Pedang

                       Jilid 04


Akan tetapi anak itu bukannya lari, malah dengan perlahan sekarang ia memutar arahnya menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon. Dari atas pohon Kwa Hong dapat melihat dengan jelas sekali gerakan-gerakan semua ular itu dan hampir saja ia menjerit-jerit saking geli dan jijiknya. Tubuh Kwa Hong gemetar.

Selama hidupnya belum pernah anak yang tabah ini menderita ketakutan seperti di saat itu. Baru sekarang dia melihat bahwa anak laki-laki yang usianya hanya satu dua tahun lebih tua dari padanya itu sama sekali tidak dikejar oleh ular-ular itu, juga sama sekali tak diganggu, malah lebih patut dikatakan bahwa ular-ular itu adalah binatang peliharaannya. Buktinya, sekarang anak laki-laki itu berdiri dikelilingi ular-ular dalam jarak satu meter.

Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti menyuling. Dia menengok ke atas dan tertawa nakal melihat Kwa Hong bersembunyi di situ. Kemudian dia mulai meniup sulingnya lagi dan... ular-ular itu kini merayap ke arah pohon dan berebutan mereka mencoba untuk merayap naik! Bukan main takut, geli dan jijiknya hati Kwa Hong.

"Heeeiiiii!" teriaknya kepada anak laki-laki itu. "Suruh mereka pergi...! Usir mereka, jangan perbolehkan naik ke pohon...!"

Akan tetapi anak itu dengan sepasang mata memancarkan sinar kenakalan, malah makin memperkeras bunyi sulingnya dan ular-ular itu seperti gila dalam usahanya merayap naik ke atas pohon. Beberapa ekor di antaranya yang agaknya biasa menaiki pohon, sudah berhasil naik, mengeliat-geliat makin mendekati Kwa Hong.

Hampir saja Kwa Hong pingsan saking jijiknya. Tubuhnya terasa kaku-kaku dan tangan kakinya serasa lumpuh. la memeluk erat cabang pohon dan memandang ke arah ular-ular yang merayap naik itu dengan wajah pucat.


Tapi dasar Kwa Hong berhati keras seperti baja, dia tidak menangis, padahal rasa jijik dan takut membuat ia ingin sekali menjerit-jerit. Apa lagi ketika ada seekor ular yang bersisik kehitaman dan agak panjang sudah berhasil merayap dekat dan kini, ular itu menjilat-jilat ke arah kakinya.

Kwa Hong meramkan matanya yang berkunang-kunang dan menjejakkan kakinya ke arah ular itu. Akan tetapi ular itu malah merayap ke arah kakinya, lalu naik melibat betisnya. Terasa dingin dan menggeliat-geliat di betis kiri! Tanpa tertahankan pula saking ngeri dan jijiknya, Kwa Hong menjerit dan... roboh terguling dari atas cabang pohon!

Pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong sudah berada dalam pondongan Koai Atong! Orang aneh ini dengan ginkang-nya yang tinggi melompat dan sudah melampaui kumpulan ular, kemudian dia hendak membawa lari Kwa Hong.

"He, tunggu dulu, jangan lari!" terdengar anak laki-laki itu membentak dan... aneh sekali, Koai Atong berhenti dan membungkuk dengan hormat kepada anak itu.

"Orang gendeng, kenapa kau berani lancang tangan? Apa kau kira aku sendiri tidak bisa menolongnya ketika dia jatuh dari pohon?" Anak laki-laki itu nampak marah dan menegur Koai Atong.

"Maaf, Tuan Muda, maaf. Dia ini adalah sahabatku, kukira tadi akan celaka, maka aku pun menolongnya. Maaf..."

Koai Atong nampaknya takut-takut dan menghormati sekali, bagaikan seorang anak kecil bertemu dengan anak lain yang lebih jagoan.

Anak laki-laki bermuka putih itu tersenyum mengejek. "Apa kau ingin dihajar lagi oleh suhu (guru)?"

Kwa Hong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Setelah sekarang Koai Atong berada di situ bersama dia, dia tidak takut lagi untuk menghadapi ular-ular itu. Apa lagi ia merasa mendongkol bukan main karena selain anak itu sudah mengganggunya, juga sikap anak itu terhadap Koai Atong benar-benar keterlaluan sekali, di samping keheranannya melihat betapa Koai Atong agaknya amat takut dan menghormat kepada bocah bermuka puth.

"Keparat tak kenal mampus!" teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke muka anak itu. "Penjahat macam engkau harus dibasmi!" Sambil berkata demikian Kwa Hong menyerang dengan kedua tangannya karena pedangnya sudah patah ketika ia menyerang Hek-hwa Kui-bo dahulu itu.

"Enci Hong, jangan...!” Koai Atong mencegah dan memegang lengan Kwa Hong.

Hal ini membuat Kwa Hong menjadi makin naik darah. la merenggutkan lengannya dan membentak.

"Kau boleh takut kepadanya, akan tetapi aku tidak!" Dan ia terus meloncat maju, memukul ke arah dada anak itu.

Bocah yang bermuka pucat itu hanya tersenyum mengejek. Sulingnya yang berbentuk ular itu bergerak ke depan dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong telah menjadi kaku tidak dapat bergerak lagi. Dalam segebrakan saja, dan dengan gerakan yang tak terduga cepatnya, bocah muka putih itu telah menotoknya!

Koai Atong melangkah maju dan sekali tepuk pada pundak Kwa Hong, orang aneh ini telah membebaskan totokannya.

"Enci Hong, jangan lawan Tuan Muda...," orang aneh itu mencegah lagi.

Akan tetapi anak yang berwatak keras seperti Kwa Hong, mana mau sudah begitu saja setelah ia merasa diperhina orang? la menjadi marah sekali dan dengan nekat ia lalu maju menyerang lagi.

"Ehh, budak perempuan, kau masih belum kapok?" Anak laki-laki yang bermuka pucat itu kembali menggerakkan sulingnya.

Akan tetapi mendadak suling itu menyeleweng ke kiri dan tubuh Kwa Hong juga terdorong mundur, seakan-akan ia tadi didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan. Anak laki-laki itu melangkah mundur dan berkata.

"Suhu... dia yang menyerang teecu..."

Ketika Kwa Hong sudah berdiri tegak, dia melihat seorang laki-laki tua bertubuh sedang, berpakaian sederhana seperti petani dengan baju yang berlengan panjang, sudah berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Sepasang mata orang tua ini bergerak-gerak liar ke sana ke mari.

Yang mengherankan hati Kwa Hong adalah sikap Koai Atong yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, sedangkan anak laki-laki tadi pun berdiri membungkuk-bungkuk. Kakek itu seakan-akan tidak melihat orang lain. Dia menoleh ke arah rombongan ular di belakang anak itu, lalu tangan kirinya bergerak.

Kwa Hong tidak tahu bagaimana terjadinya, demikian cepat gerakan ujung lengan baju orang tua itu, akan tetapi tahu-tahu seekor ular besar telah dibelit ujung lengan baju itu, kepala ular dipegangnya, kemudian... dengan lahapnya orang tua itu menggigit tubuh ular, mengambil dagingnya dan makan daging berdarah itu dengan enak sekali! Ular itu hanya berkelojotan di tangannya, menggeliat-geliat tanpa dapat melawan.

Pemandangan ini amat mengerikan hati Kwa Hong yang berdiri memandang dengan mata terbelalak. Setelah menghabiskan tiga gumpalan daging, kakek itu lalu melemparkan ular yang tadi berkelejotan dan mencoba untuk lari dari situ.

Ular-ular yang lain diam tidak ada yang berani bergerak. Sekali lagi dengan cara seperti tadi, yaitu dengan ujung lengan bajunya, kakek itu menangkap seekor ular berkulit hijau yang tampaknya berbisa sekali, lalu makan daging ular hidup ini seperti tadi pula.

Setelah melemparkan sisa ular itu barulah kakek ini berpaling kepada Koai Atong, dan dia pun bertanya, "Anak besar gila, mana gurumu?"

"Hamba... hamba tidak tahu di mana, Locianpwe. Hamba sedang hendak kembali mencari suhu...”

Kakek itu tidak peduli lagi kepada Koai Atong, lalu memandang kepada Kwa Hong dengan matanya yang tajam dan bergerak-gerak liar. Kwa Hong merasa ngeri, akan tetapi anak yang tabah ini balas memandang dengan matanya yang bening.

"Anak bernyali besar, siapa ayahmu?"

"Ayah bernama Kwa Tin Siong, berjuluk Hoa-san It-kiam," jawab Kwa Hong.

Kakek itu mendengus. "Huh, anak murid Hoa-san-pai. Apa becusnya? Akan tetapi nyalimu besar, tulangmu pun baik."

Tiba-tiba dia membalik kepada anak muka putih tadi.

"Kin-ji, lain kali kau tidak boleh mengganggu anak yang bernyali besar ini. Tak tahu malu, kau!"

"Ampun, Suhu..."
"Hayo usir semua cacing ini!"

Anak bermuka putih yang bernama Kin itu segera meniup sulingnya dan semua ular itu merayap pergi. Sebentar saja bersihlah tempat itu, bahkan dua ekor ular yang sudah hilang sebagian dagingnya tadi pun kini sudah merayap pergi memasuki semak-semak.

"Koai Atong, mengapa kau membawa-bawa anak ini?" bentak lagi kakek itu kepada Koai Atong.

Koai Atong mengangguk-anggukkan kepalanya. "Enci Hong ini... dia sahabat baik teecu, hendak teecu susulkan kepada ayahnya di Hoa-san..."

"Baik, kau tidak lekas pergi menanti apa lagi?"

Koai Atong memberi hormat berkali-kali dan berkata, "Terima kasih, Locianpwe... terima kasih..." la lalu berdiri, menyambar lengan Kwa Hong dan membawanya lari dari tempat itu.

Kwa Hong berkali-kali bertanya tentang kakek aneh itu, akan tetapi Koai Atong tidak mau menjawab. Setelah mereka lari sepuluh li lebih jauhnya, barulah Koai Atong melepaskan tangan Kwa Hong dan berhenti, napasnya terengah-engah.

"Aduh... hampir saja... hampir saja celaka..."

Mungkin karena rasa takut dan ngerinya yang sangat besar, orang aneh yang biasanya bersikap seperti kanak-kanak ini sekarang agak lebih normal sikapnya.

"Ada apa, Koai Atong? Siapakah kakek itu? Siapa pula bocah yang memelihara ular itu?" Kwa Hong bertanya.

Koai Atong berkali-kali menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas tanah. "Dia adalah Siauw-ong-kwi, tokoh terbesar dari utara, amat lihai dan ganas. Kau lihat tadi makanannya saja ular hidup. Bocah itu muridnya, lihai sekali, biar pun masih kecil tapi kepandaiannya tidak kalah olehku! Namanya Giam Kin. Hati-hatilah kau kalau bertemu dengan dua orang itu."

Setelah perasaan takutnya agak reda, timbul kembali sifat kanak-kanak dari Koai Atong. Ia mulai tertawa-tawa dan berkata, "Menyenangkan sekali ular-ular itu, ya? Kalau kita bisa menyuling seperti dia, waaah, senangnya!"

Kwa Hong bergidik. "Menyenangkan apa? Menjijikkan. Hih, hanya anak setan yang suka bermain-main dengan segala macam ular. Eh, Koai Atong, sekarang hayo lekas antar aku ke Hoa-san. Kalau kau tidak mau, aku pun tidak sudi lagi menjadi temanmu."

"He-he-heh, Enci Hong. Tentu saja kuantar. Biarlah kalau suhu akan marah karena lama aku tidak kembali, palihg-paling akan digebuk pantatku. Hayo, mari kugendong kau!"

Dengan cepat sekali Koai Atong menggendong Kwa Hong di punggungnya dan orang aneh ini lalu menggunakan kepandaiannya untuk cepat berlari menuju ke Hoa-san.

Diam-diam Kwa Hong makin ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Kalau Koai Atong yang sudah begini lihai masih takut pada orang tua itu, sampai berapa hebat kepandaian Siauw-ong-kwi? Dan anak bermuka putih itu, benarkah lebih lihai dari pada Koai Atong?

Tentu saja dia tidak tahu bahwa tak mungkin anak bernama Giam Kin itu lebih lihai dari pada Koai Atong. Hanya karena Koai Atong amat takut kepada Siauw-ong-kwi, maka dia berkata demikian…..


                  **************


Pada masa itu, kekuasaan bangsa Mongol yang sedang menjajah daratan Tiongkok mulai menyuram. Di mana-mana timbul kekacauan serta pemberontakan-pemberontakan kecil yang merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Goan.

Sungai-sungai besar seperti Sungai Yang-ce atau Sungai Huang-ho, yang tadinya adalah pusat pengangkutan dan perdagangan, kini penuh dengan perampok-perampok dan para bajak sungai. Bajak dan perampok ini demikian beraninya sehingga, kalau dulu mereka hanya mengganggu perahu kecil yang tidak terjaga kuat, tetapi sekarang mereka ini tidak segan-segan untuk membajak perahu besar yang dijaga, bahkan mereka ini berani pula mengganggu perahu-perahu pembesar Goan.

Kota dan dusun yang terdapat di sepanjang Sungai Yang-ce, tidak luput dari gangguan para bajak dan rampok ini. Oleh karena itu, maka keadaannya sekarang menjadi sepi. Para pedagang tidak berani lagi melakukan perjalanan seorang diri, para pengiring barang tidak berani lagi kalau tidak terjaga oleh serombongan piauwsu (pengawal barang) yang kuat. Bahkan para pembesar yang melakukan perjalanan, selalu membawa pasukan yang bersenjata lengkap.

Dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce termasuk Propinsi Hu-pek, tadinya merupakan dusun yang ramai dan makmur, terkenal akan ikannya yang besar-besar dan banyak serta hasil hutannya yang amat kaya. Biasanya di dusun ini banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari lain daerah sehingga di pinggir sungai banyak diikat perahu-perahu besar dan di darat banyak terdapat kuda dan kereta.

Akan tetapi akhir-akhir ini dusun Kui-lin juga ikut menjadi sunyi sekali. Tak ada pedagang luar daerah yang berani datang melakukan perjalanan yang berbahaya. Para pedagang di Kui-lin sendiri selain mengalami perdagangan yang sepi, juga sering mendapat gangguan dari para penjahat sehingga mereka yang mempunyai cukup modal berbondong-bondong berpindahan ke kota-kota besar. Banyak pula yang menderita gulung tikar sehingga dusun Kui-lin sekarang menjadi dusun yang sunyi, hanya ditinggali para nelayan dan petani yang tidak punya apa-apa untuk dirampok lagi.

Maka agak mengherankan kalau orang melihat adanya sebuah warung arak yang menjual bermacam-macam makanan setiap hari dibuka di pinggir sungai di dusun itu. Akan tetapi sebetulnya tidak aneh karena yang memiliki warung itu adalah Phang Kwi si mata satu, seorang tokoh yang terkenal dalam dunia penjahat sehingga sebagai orang segolongan dia tidak pernah diganggu oleh para perampok dan bajak yang menjadi kawannya sendiri. Malah hampir semua langganan warung arak ini terdiri dari penjahat-penjahat belaka.

Suatu pagi yang sunyi, Phang Kwi masih enak-enak tidur mendengkur, warungnya belum dibuka. Hari baru pukul enam. Biasanya kalau belum jam delapan lewat, setelah matahari naik tinggi, Phang Kwi belum mau membuka warungnya.

Sudah setengah tahun dia membuka warung di tempat ini dan tak pernah ada orang yang berani mengganggunya. Tidak hanya takut akan kepalan tangan yang keras dari si mata satu, akan tetapi juga takut kalau si mata satu itu melaporkan kepada kepala mereka yang kesemuanya sudah dikenal baik oleh Phang Kwi.

Pernah ada tiga orang anggota bajak tidak mau membayar setelah makan dan minum di warung itu. Phang Kwi tidak mau melayani mereka, hanya melaporkan kepada kepala bajak yang dikenalnya baik. Tiga orang anggota bajak itu dihajar oleh kepalanya sendiri dan Phang Kwi mendapatkan uangnya. Semenjak itu, Para bajak dan rampok tidak berani lagi mengganggunya.

Akan tetapi pada pagi hari ini, selagi Phang Kwi masih tidur, pintu warungnya digedor orang! Enam orang penunggang kuda yang bersikap kasar-kasar turun dari kuda mereka masing-masing di depan warung. Dari mulut mereka terlontar sumpah serapah mengutuk buruknya jalan dan dinginnya hawa.

Seorang di antara mereka, yaitu pemimpinnya, adalah seorang bermuka merah, bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar dan sekantong piauw. Dia inilah yang disebut Ang-bin Piauw-to (Golok Piauw Muka Merah), seorang kepala perampok yang terkenal kejam dan lihai ilmu silatnya.

"Dar-dar-dar-dar!”

“Buka pintu, Phang Kwi, kura-kura yang malas!" seorang di antara anggota rombongan ini menggendor pintu sambil memaki-maki.

Phang Kwi amat kaget di dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mendengarkan dengan penuh perhatian, tukang warung ini mengomel panjang pendek.

"Bedebah... setan alas... Sepagi ini mengganggu orang yang sedang enak tidur. Minta dihancurkan kepalanya setan itu!"

Dengan langkah lebar dan muka merengut, Phang Kwi menuju ke pintu warungnya dan membuka daun pintunya. Akan tetapi mukanya yang merengut itu disambut gelak tawa oleh enam orang itu.

"Ha-ha-ha, kura-kura malas she Phang baru munculkan kepalanya!"

"Hei, Phang tua, ada tuan-tuan besar datang kau tidak lekas sambut, orang macam apa kau ini?"

"Phang Kwi, kau cuci muka dulu dan cuci tangan, baru keluarkan arak hangat."

Phang Kwi mulai hilang kerut mukanya, apa lagi ketika dia melihat pimpinan rombongan yang bermuka merah. Segera dia menjura dan berkata, "Ahai, kiranya Ang-twako yang datang berkunjung. Silakan masuk dan duduk. He, teman-teman, kalian baik-baik saja? Mana oleh-olehnya untuk aku?"

"Oleh-oleh apa? Jaman sedang sukar begini. Tapi nanti sebentar..."

"Sssttt, Lo-tan, tutup mulutmu!" Si muka merah membentak dan pembicara itu pun tidak melanjutkan kata-katanya.

Beramai-ramai mereka memasuki warung arak dan Phang Kwi sibuk melayani mereka, menghangatkan arak dan menghangatkan beberapa macam kue. Tentu saja dia tidak jadi marah sebab mereka ini adalah teman-teman baiknya, teman-teman ‘seperjuangan’ ketika dia dahulu masih menjadi anak buah dan pembantu Ang-bin Piauw-to di dalam hutan.

Memang Phang Kwi ini dulunya juga bukan orang baik-baik. Selain pernah menjadi anak buah Ang-bin Piauw-to menjadi perampok, pernah pula dia menjadi anggota bajak sungai.

"Mana daging ikan?" Si muka merah bertanya pada saat melihat bahwa hidangan yang dikeluarkan hanya roti kering dan beberapa macam kue saja. "Aku mendengar daerahmu ini mengeluarkan ikan yang enak."

“Wah, sukar sekarang ini, Twako. Para nelayan hanya mencari ikan untuk perut mereka sendiri saja. Aku pun hanya bisa membeli kalau memesan lebih dulu."

“Masa begitu? Biar kami mencari di pinggir sungai!"

Tiga orang anggota perampok segera pergi keluar. Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di pinggir sungai ketika secara kasar para perampok ini merampas ikan-ikan yang baru saja didapatkan oleh beberapa orang nelayan.

Seorang nelayan muda yang berusaha untuk membela haknya mendapat hadiah bacokan sehingga dia rebah mandi darah. Nelayan-nelayan lain menjadi ketakutan dan mereka ini hanya bisa menarik napas panjang dan mengertak gigi sambil menolong kawan mereka ketika tiga orang ini pergi membawa ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa.

Sementara itu, Phang Kwi mendekati Ang-bin Piauw-to sambil berbisik, "Ang-twako, apa yang dimaksudkan oleh Lo-tan tadi?"

Ang-bin Piauw-to tersenyum. "Sebetulnya bukan rahasia, hanya tak enak jika dibicarakan di luar warungmu. Kami sedang menanti lewatnya rombongan pedagang yang membawa barang dua kereta banyaknya. Mereka akan lewat di dusun ini, entah siang nanti entah sore hari.”

Berseri Phang Kwi. "Hebat. Akan tetapi mengapa mereka itu berani bepergian di waktu begini? Benar-benar aneh. Tentu ada pengawal-pengawal yang kuat..."

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan suara mengejek. "Hah, apa artinya pengawalan dari lima orang piauwsu (pengawal) Pek-coa Piauwkok?"

"Bagaimana pun juga, harap Twako berhati-hati. Apa bila orang sudah berani melakukan perjalanan di saat seperti sekarang ini, tentu mereka itu mempunyai andalan."

"Sudahlah, kalau kau takut jangan ikut-ikut. Kalau kau mau membantu tentu kau akan mendapat bagian."

"Siapa takut? Dengan Twako di sini siapa yang takut lagi? Ha-ha-ha!"

Tiga orang perampok yang sudah mendapatkan ikan tadi datang, dan makin gembiralah kawanan perampok ini. Mereka makan minum sambil menikmati daging ikan yang empuk dan gurih.

Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan tampak seorang tua bongkok bermuka lucu turun dari seekor keledai yang tua pula. Keledai itu sudah tua, tidak ada rambutnya lagi karena dimakan gudig. Telinga kirinya tinggal sepotong, telinga kanan panjang sekali, punggungnya juga bongkok seperti penunggangnya itu. Di dekat keledai berdiri seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka bodoh dan bermata sayu.

"Heh-heh-heh, sedap sekali baunya Gurih, enak...!"

Kakek itu terbongkok-bongkok berjalan lebih dulu memasuki warung arak, dengan wajah tampak gembira. Akan tetapi pemuda tadi nampaknya tidak segembira kakek itu. Melihat bahwa di antara tujuh orang yang sedang makan minum itu ada seorang yang berdiri menyambutnya, kakek itu tahu bahwa yang berdiri itu tentulah pemilik warung, maka dia segera berkata.

"Hei, sahabat. Lekas kau sediakan ikan yang gemuk, dimasak seperti yang sedang kalian makan itu. Wah, baunya gurih sekali. Cepatan, untuk dua orang!"

Phang Kwi memandang dengan muka mendongkol. Melihat pakaian mereka, sudah jelas bahwa kakek dan pemuda itu adalah orang-orang miskin, apa lagi jika dilihat bahwa yang ditunggangi kakek itu hanya seekor keledai tua, tanpa muatan apa-apa di punggungnya. Sekarang Phang Kwi sedang menjamu makan teman-teman lamanya, dan dia pun sudah minum banyak arak, tentu saja keberaniannya bertambah dan kegalakannya memuncak.

"Jangan mengemis di sini, aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada kalian!" katanya sambil bertolak pinggang.

Pemuda yang bermuka bodoh dan bermata sayu itu tiba-tiba melempar sebuah kantong di atas meja, suaranya gemerincing. Kakek itu sambil tertawa-tawa membuka kantong.

"Kami tidak mengemis. Heh-heh-heh, kami membeli, sahabat."

Bukan hanya mata Phang Kwi yang melotot lebar, enam pasang mata Ang-bin Piauw-to dan kawan-kawannya juga melebar. Kantong yang dibuka oleh kakek itu ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak!

"Orang tua, ikan tidak ada lagi," kata Phang Kwi, masih terheran-heran.

"Sahabat tua, kalau tidak menjadi celaan marilah duduk makan bersama kami. Ikan di sini cukup banyak." Tiba-tiba Ang-bin Piauw-to berkata dengan ramah kepada kakek itu.

Si kakek menutup lagi kantongnya, memasukkannya dalam saku baju pemuda tadi dan sambil tertawa-tawa, dia lalu maju menghampiri meja para perampok dan duduk di dekat Ang-bin Piauw-to. Pemuda tinggi besar itu duduk di sampingnya.

"He-heh-heh, kalian orang-orang mengerti aturan. Memang bertemu di jalan harus saling menyalam, tapi bertemu di meja makan harus saling menawarkan makanan. Ha-ha-ha!"

Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu ‘menyikat’ masakan ikan dan arak yang dihidangkan. Juga pemuda itu dengan gembulnya, seakan-akan dia tak pernah makan masakan yang sesedap itu, mencontoh perbuatan kakek tadi.

Para perampok saling melirik. Diam-diam mereka mendongkol sekali karena dua orang itu, meski pun yang satu tua bangka dan kurus bongkok sedangkan satunya lagi pemuda tinggi besar, akan tetapi takaran makannya ternyata tidak berbeda, keduanya gembul luar biasa.

"Silakan minum lagi, sahabat tua." Ang-bin Piauw-to terus mengisi cawan arak di depan kakek itu.

Phang Kwi maklum akan maksud kawannya ini. Sambil tersenyum ia juga mengisi cawan arak di depan pemuda itu, sehingga kakek dan pemuda itu tanpa mereka ketahui telah ‘diloloh’ oleh kawanan perampok.

Makin banyak minum arak, kakek itu makin gembira dan terus tertawa-tawa. Akan tetapi sebaliknya, pemuda raksasa itu semakin pendiam. Sementara itu, para perampok makin sering saling lirik dan tersenyum-senyum karena maklum bahwa dengan ‘umpan’ ikan dan arak mereka akan mendapatkan ‘ikan besar’.

Yang membuat mereka mendongkol adalah kekuatan minum arak dua orang itu. Biar pun telah cukup banyak menenggak arak, mereka belum juga roboh atau mabuk. Akan tetapi, Ang-bin Piauw-to bersikap sabar dan mengajak kakek itu mengobrol.

"Kek, kau dan orang muda ini datang dari mana dan hendak ke manakah? Kiranya sudah sepatutnya kita berkenalan."

"He-heh-heh, tentu saja, tentu saja. Sudah makan bersama belum saling mengenal. Aku she Tan bernama Sam, dan dia ini pembantuku bernama Hok, tidak punya she (nama keturunan) maka kuberi saja she-ku kepadanya, maka dia kini bernama Tan Hok. Kami tidak punya tempat tinggal tertentu, langit biru atap kami, bumi lantai kami, he-heh-heh..."

Semua perampok tertawa. Dalam hal tempat tinggal kakek dan pembantunya itu ternyata senasib dengan mereka.

"Apa pekerjaanmu, Kek?" Ang-bin Piauw-to bertanya lagi.

Kakek yang bernama Tan Sam itu tertawa lagi. "He-heh-heh, tukang pancing... ya benar, kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan gemuk?"

Berubah wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya bahwa mungkin juga kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andai kata betul bajak sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat?

"Tan-lopek, kalau begitu, kau mencari rejeki di sepanjang Sungai Yang-ce?" Dia mencoba untuk menyelidik.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di lautan, di darat, di mana saja ada ikan besar, tentu akan kudatangi untuk kupancing. Bukankah begitu Hok-ji (anak Hok)?" Kakek itu menepuk-nepuk pundak pembantunya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu, hanya mengangguk diam.

"Jika begitu," sambung Ang-bin Piauw-to dengan bernafsu sedangkan para anak buahnya mendengarkan penuh perhatian karena maklum apa yang dipikirkan oleh kepala mereka, "tentu kau sudah kenal baik dengan Lui Cai si Bajul Besi, dan dengan Kiang Hun si Naga Sungai, juga Thio Ek Sui si Cucut Mata Merah?"

Tiga nama kepala bajak yang paling terkenal disebut oleh kepala rampok ini.

Akan tetapi kakek itu memandangnya dengan matanya yang sipit berseri seakan-akan mendengarkan orang melawak. "Mereka itu betul-betul manusia ataukah badut-badut? Kok namanya aneh sekali. Bajul Besi? Wah, belum pernah aku melihatnya, mendengar pun belum. Kalau bajul biasa yang panjangnya tiga kali orang saja aku pernah melihatnya, malah bajul buntung (buaya tak berekor = penjahat) sering kali aku lihat, tapi bajul besi? Belum, belum pernah setua ini aku melihatnya. Lalu yang ke dua, Naga Sungai? Heran sekali, tentang naga-naga ini kiranya belum pernah ada orang melihat aslinya. Pernah aku melihat gambar-gambarnya beserta patung-patungnya, akan tetapi kalau bertemu kiranya hanya dalam... mimpi! Sepanjang pendengaranku, naga itu adanya hanya di laut, kalau ada naga sungai, agaknya hanya... belut saja!" Kakek itu tertawa-tawa, akan tetapi para perampok itu mana berani mentertawakan Kiang Hun Si Naga Sungai?

"Kemudian apa lagi tadi? Cucut Mata Merah? Ha-ha-ha-ha, tentu selamanya ikan itu tak pernah mendapatkan mangsa, terlalu lapar dan menangis sehingga matanya merah. Atau boleh jadi semalam suntuk dia pelesir di rumahnya naga sungai, tidak tidur maka matanya merah. He-heh-heh... ehh, Hok-ji, apakah kau pernah mendengar pula tentang bajul besi dan lain-lain itu?"

Tan Hok, yang semenjak datangnya belum pernah mengeluarkan kata-kata itu, sekarang memandang ke langit-langit ruangan dan menuding sambil berkata, "Itu... buaya kecil."

Semua orang memandang dan meledaklah ketawa mereka. Yang disebut buaya kecil itu bukan lain adalah seekor cecak yang merayap di atas. Tiba-tiba cecak itu, mungkin akibat kaget karena mendengar orang-orang tertawa riuh, melepaskan kotoran dan... kebetulan sekali tahi cecak jatuh ke dalam cawan arak Ang-bin Piauw-to!

"Keparat...!" Ang-bin Piauw-to memaki marah.

"Ha-ha-he-heh, sobat muka merah, buaya kecil memberi hadiah kepadamu. He-heh-heh! Tan Sam tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali, suara ketawa Tan Hok yang semenjak tadi muram saja. Ketawanya keras dan mendadak, akan tetapi matanya tetap sayu.

"Yang kecil memberi hadiah yang besar, aneh…”

Ang-bin Piauw-to dengan sangat marah mengambil sebatang senjata piauw. Senjata ini kecil saja, panjangnya satu dim, ujungnya runcing, kepalanya bundar dengan ronce-ronce merah. Begitu tangannya digerakkan, senjata ini melayang ke atas ke arah cecak.

“Aduh bagusnya, barang apa yang melayang itu?" Si kakek menunjuk dengan jarinya ke arah piauw yang melayang menyambar cecak.

"Cappp…!"

Senjata runcing itu menancap, bukan di badan cecak melainkan di pian, hanya beberapa sentimeter jauhnya dari binatang yang amat ketakutan dan kaget itu.

"Ha-ha-ha, tidak kena... tidak kena...!"

Semua orang terheran, lebih lagi Ang-bin Piauw-to. Jarak antara tempat dia duduk dan cecak itu takkan lebih dari pada lima meter, mengapa sambitannya tidak kena? Biasanya, dalam jarak seratus langkah, belum pernah piauw-nya tidak mengenai sasaran, apa lagi sasaran tak bergerak seperti cecak itu.

Kawan-kawannya mengira bahwa dia terlalu banyak minum. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to sendiri tidak merasa demikian. Mungkin aku terlalu marah, pikirnya. la mengambil piauw ke dua dan….

"Serrrrr... cappp!"

Kembali piauw-nya menancap pian dan kali ini ekor cecak itu terbawa piauw tertancap pada papan, sedangkan cecaknya sendiri yang sudah buntung lari dan lenyap.

"Ha-ha-ha-ha!" Tan Sam tertawa sambil tiada hentinya sejak tadi dia menudingi cecak itu. "Buaya kecil menjadi bajul buntung kecil, Ha-ha-ha, cocok benar. Sayangnya dia masih berlari dengan empat kaki, kalau dengan dua kaki pasti lebih lucu lagi!"

"Buaya kecil dicaplok buntutnya oleh yang besar, sudah biasa!" berkata Tan Hok seperti bicara pada diri sendiri, wajahnya tetap bodoh dan matanya sayu.

Dua orang perampok marah bukan main. Terang bahwa si kakek itu mengejek, dan bocah itu malahan menghina. Seorang perampok yang bertubuh pendek kecil mencengkeram ke arah pundak Tan Sam, sedangkan perampok lain yang bertubuh tiriggi besar, tapi tidak sebesar tubuh Tan Hok raksasa muda itu, mengangkat kepalan tangannya yang besar untuk memukul kepala Tan Hok.

Kakek dan pemuda itu agaknya tidak berdaya. Mereka tentu akan celaka kalau terkena serangan-serangan tadi. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to membentak.

"Mundur kalian!"

Sesudah dua orang anak buahnya mundur, dengan senyum mengejek Ang-bin Piauw-to berkata, "Dua orang ini adalah tamu agung kita, jangan diganggu dulu." Dalam kata-kata ini terkandung ejekan atau sindiran bahwa belum tiba saatnya untuk ‘turun tangan’.

Kemudian dia berpaling kepada Tan Hok sambil bertanya. "Orang muda, kau tadi hendak maksudkan bahwa aku adalah buaya besar? Begitukah?"

Hening sejenak. Para kawanan perampok mendelik ke arah Tan Hok yang memandang bodoh, sedangkan Tan Sam hanya tersenyum-senyum sambil mainkan matanya.

Jawaban Tan Hok sungguh tidak disangka-sangka orang yang tentu saja mengharapkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Akan tetapi dengan suaranya yang lantang pemuda raksasa itu menjawab, "Tuan bermuka merah, kau ini merasa menjadi buaya ataukah bukan?"

"Tentu saja bukan!"

"Kalau bukan ya sudah, kenapa masih ribut-ribut lagi?"

Phang Kwi si pemilik warung tak dapat menahan ledakan ketawanya, akan tetapi seketika dia berhenti tertawa seperti jangkerik terinjak ketika Ang-bin Piauw-to melotot kepadanya. Kepala perampok ini menoleh ke arah Tan Sam dan berkata.

"Kakek Tan Sam, tadi kau mentertawakan perbuatanku menyambit cecak dengan piauw, mengapa?"

Tan Sam tertawa lagi, tertawa bebas dan lepas. "Selain cecak itu menjadi lucu kehilangan buntutnya, juga aku heran kenapa kau tidak mengarah kepalanya, melainkan buntutnya!"

Diam-diam Ang-bin Piauw-to menjadi malu sekali sampai mukanya menjadi makin merah. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa sambitannya yang kedua kalinya tadi sebenarnya memang gagal. Tadi dia mengarah kepala binatang itu, aneh sekali entah mengapa kali ini dia selalu gagal. Bukan kepala yang terkena, melainkan buntutnya.

"Orang tua she Tan, apakah kau juga pandai menyambit dengan piauw?"

Kakek itu longang-longok, nampak bingung. "Piauw itu apa sih?"

Semua perampok tertawa besar.

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan dua batang piauw-nya dari kantong. "Inilah yang disebut piauw. Ketahuilah, nama julukanku adalah Ang-bin Piauw-to, karena aku sangat pandai menyambit piauw dan main silat dengan golok."

Kakek dan pemuda itu mengambil piauw tadi seorang satu, melihat-lihat dan nampaknya kagum.

"Hok-ji, apa kau bisa menyambitkan piauw ini?" tanya kakek itu kepada pembantunya.

"Apa sukarnya menyambit? Tinggal melempar saja!" katanya.

Kembali perampok tertawa lebar.

"Bertaruh... bertaruh...!” kata beberapa orang serentak.

“Boleh sekali...!" Tan Sam terkekeh. “Mari bertaruh menyambit dengan piauw ini. Berapa taruhannya?"

Ang-bin Piauw-to hendak mempermainkan dua orang itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan seadanya perak yang disimpan di dalam kantongnya, lalu menaruhnya di atas meja. "Hanya ini milikku, hayo keluarkan perakmu. Biar aku kalian keroyok berdua."

"Baik." Kakek itu mengeluarkan sejumlah perak yang sama banyaknya, menaruh di atas meja, lalu memandang kepala rampok itu. "Mengeroyok bagaimana maksudmu?"

"Kita pasang sehelai daun pada dinding itu, kemudian dalam jarak lima puluh langkah kita masing-masing melempar sebatang piauw ke arah daun yang dijadikan sasaran. Kau dan pembantumu masing-masing menyambit satu kali, andai kata ada seorang di antara kalian yang bisa mengenai daun, dianggap kena, meski pun yang seorang lagi menyeleweng sambitannya. Aku hanya menyambit satu kali saja."

"Akur!" Kakek itu nampak gembira bukan main dan mengedip-ngedipkan matanya kepada pemuda raksasa dengan muka yang jelas memperlihatkan keyakinan akan memenangkan pertandingan ini. "Kau sambitlah lebih dulu."

Daun sebesar telapak tangan ditempelkan pada dinding warung itu dan jarak lima puluh langkah diukur. Para perampok dan pemilik warung dengan gembira berdiri di kanan kiri, agak jauh dari tempat sasaran. Sesudah mengeluarkan piauw-nya, kepala perampok itu sambil tersenyum-senyum lalu berkata.

"Lihat sambitanku!"

Tangan kanannya bergerak dan piauw itu lalu meluncur seperti anak panah, cepat sekali sampai hampir tidak kelihatan, tahu-tahu telah menancap di tengah daun. Tepuk tangan kawan-kawannya menyambut keahlian ini. Tan Sam mulai plonga-plongo, saling pandang dengan pembantunya.

"Waaah, kok bisa kebetulan kena di tengah-tengahnya...," ia mengeluh.

Para perampok tertawa.

"Kakek bodoh, mana ada ucapan kebetulan? Memang Twako berjuluk Ang-bin Piauw-to, seratus kali sambit pasti seratus kali kena!" kata seorang anggota perampok. "Hayo lekas kau sambitkan piauw-mu, dan kau juga, badut muda!"

Tan Sam memandang pada pembantunya. "Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan sekali kena di tengah-tengahnya. Hok-ji, marilah kita menyambit berbarengan saja, secara untung-untungan, tidak kena daun juga tidak apa-apa asal bisa kena kaki bajul buntung!" Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung, "Satu... dua..." Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.

"... tiga...!"

Dua buah piauw meluncur ke depan. Akan tetapi terdengar suara gelak terbahak ketika para perampok melihat bahwa dua buah piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus dan mengenai dinding, jauh di kanan kiri daun.

"Aduh...!"

"Aaauuuuuhhh...!"

Terdengar dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata telah terkena hantaman piauw yang membalik! Untungnya hanya terkena kepala piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

Anehnya, yang terkena hantaman piauw ini ialah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan Sam dan Tan Hok! Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar piauw, mereka terpaksa menahan kesakitan dan menahan kemarahan.

Ang-bin Piauw-to tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.

"Nanti dulu!" kata kakek Tan Sam "Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku kalau belum bisa menang!"

Kepala perampok itu memandangnya dengan heran. Apakah otak kakek ini sudah miring, pikirnya, "Boleh, berapa taruhannya?”

"Semua perak di atas meja itu,” tantang Tan Sam.

"Bagus, perlu ditambah?"

"Sesukamu, kalau masih ada padamu, keluarkan semua."

Sekarang para perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya.

Melihat perak yang amat banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluarkan sebagian potongan emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.

"Bagaimana cara pertandingan?" tanya Tan Sam. "Apakah masih seperti tadi!"

“Boleh saja,” jawab Ang-bin Piauw-to yang merasa yakin akan kemenangannya.

"Akan tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tidak pandai menyambitkan piauw."

"Siapa bilang? Piauw-mu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang. Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kanannya dengan ukuran jarak tertentu, masa tidak akan kena?"

Para perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.

"Nah, kau lihat. Aku mulai!" kata Ang-bin Piauw-to sambil mengayun tangannya.

"Nanti dulu!" Tan Sam mencegahnya.

"Aku mau melihat dulu piauw-mu, apakah sama dengan piauw yang kau berikan padaku ini."

"Tentu saja sama!" jawab kepala rampok itu marah sambil menunjukkan piauw-nya yang beronce merah.

"Ahh, tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai piauw-mu, kan celaka." Sambil berkata demikian kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah pada piauw-nya sehingga piauw itu berubah gundul dan buruk.

Tentu saja para perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang digunakan kepala rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang kakek itu malah mencopoti ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?

"Bagus, kau pintar, orang tua," kata Ang-bin Piauw-to mengejek. "Sekarang sudah jelas, piauw yang beronce punyaku, yang gundul punyamu. Nah, siapa menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut?”

"Tidak usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku, baru adil namanya."

Karena yakin akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok yang berkepala batu, Ang-bin Piauw-to tidak banyak membantah.

"Berbareng pun baik," katanya mengejek sambil bersiap-siap.

Daun baru sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau Ang-bin Piauw-to mengincar sasaran daun, adalah kakek itu tidak menghadapi daun, bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar. Sambil
tertawa-tawa para perampok menyingkirkan diri jauh-jauh supaya jangan terkena piauw kakek yang kesasar lagi.

"Aku menghitung sampai tiga, baru lepas," kata kakek itu. Lawannya mengangguk sambil tersenyum mengejek.

"Satu... dua... tiga...!!"

“Serrr…!"

Piauw meluncur dari tangan Ang-bin Piauw-to, cepat dan lurus ke arah daun yang telah ditempel pada dinding. Di samping ini, juga piauw di tangan kakek itu telah dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung.

Piauw ini berjungkir-balik dan berputar-putar. Mula-mula menuju arah kanan, akan tetapi piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya.

Di dekat daun, kedua piauw itu bersilang, lalu terdengar suara nyaring dan dua piauw itu menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi jauh dari daun!

Semua orang bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, tiba-tiba menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka setelah memandang jelas ke arah daun yang sekarang terpaku oleh piauw itu. Apa yang mereka lihat?

Ternyata piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah piauw yang tidak beronce merah, sedangkan piauw yang menyeleweng ke sisi adalah piauw beronce! Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan kakek Tan Sam!

"Ha, bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!" Tan Hok memuji dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas meja yang tadi dipertaruhkan.

Para perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Sraaattt!"

Tiba-tiba nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-bin Piauw-to sudah mencabut golok besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya nampak berkilauan pada waktu dikelebatkan.

"Jangan ambil!" seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi.

Nampaknya pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok itu meluncur terus dan…

"Crakk!" meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan jatuh ke atas lantai.

Tan Hok dan Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para perampok tertawa bergelak.

"Twako, untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku," kata anggota perarnpok yang tadi hendak menyerang Tan Sam. "Aku harus membalasnya untuk kakiku."

"Betul, Twako, anjing tua ini pun bagianku!" berkata pula perampok yang kakinya terkena hantaman piauw Tan Sam tadi. Ang-bin Piauw-to hanya tersenyum, kemudian melangkah mundur dan mengambil perak yang tersebar di lantai.

"Ahhh, jangan... jangan bunuh mereka di sini. Warungku tak akan laku lagi,” Phang Kwi mencegah khawatir.

"Diam!" bentak kepala perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan.

Dengan mulut menyeringai dua orang perampok itu telah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan sikap amat mengancam. Tan Hok tampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.

"He, kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu... aku yang menang mengapa diambil...?"

"Kau dan pembantumu akan kami bunuh!" bentak perampok yang menghadapinya.

"Aduh... kenapa begitu? Jangan...!" si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok.

"Celaka, Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di bumi..."

Melihat sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.

“Kau takut? Hayo lekas minta ampun!"

Tan Sam melirik ke arah pembantunya. "Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita memberi hormat minta ampun." Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok.

Terjadilah hal aneh. Dua orang perampok yang menghadapi kakek dan pembantunya ini tiba-tiba terhuyung mundur, seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang perampok itu makin marah.

Memang, di dunia ini hanya orang-orang bodoh saja yang berani bersikap sombong dan membanggakan kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, sebenarnya makin bodohlah dia. Bodoh karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai.

Andai kata dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan membutakan mata mereka.

"Keparat, jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!" bentak perampok yang mengancam Tan Hok. "Hayo kalian berlutut minta ampun, baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!"

Kembali Tan Sam melirik ke arah Tan Hok. "Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut."

Keduanya lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.

"Aduhhh...!"

“Ahhhhh...!"

Rasa ulu hati dua orang perampok itu seperti disodok toya baja saja. Mereka terjengkang ke belakang, roboh dan memuntahkan darah segar.

"Celaka!"

Ang-bin Piauw-to baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Iweekang yang tinggi!

Akan tetapi, juga karena kesombongannya, dan hendak mengandalkan jumlah kawan yang banyak, kepala perampok ini lalu mencabut goloknya sambil memberi aba-aba.

"Keroyok! Bunuh dua ekor anjing ini!"

Kawan-kawannya, juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. Dia tertawa dan berseru.

"Perampok-perampok jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggota Pek-lian-pai seperti aku, siapa lagi yang akan membasminya?"

Kedua tangannya segera bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar jerit-jerit kesakitan ketika para perampok itu terkena oleh sambaran Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), kecuali Ang-bin Piauw-to dan Phang Kwi yang dapat mengelak.

Makin terkejut hati Ang-bin Piauw-to mendengar disebutnya perkumpulan Pek-lian-pai yang sedang memberontak untuk meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol itu. Namun dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang kakek Tan Sam. Ada pun Phang Kwi maju dengan ruyungnya menyerbu Tan Hok.

Sungguh-sungguh amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Semua gerakannya tidak seperti orang yang pandai silat, hanya mempunyai langkah-langkah kaki berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini sungguh luar biasa sekali, baik tenaga luar mau pun tenaga dalamnya.

Ruyung di tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat tenaga dan... ruyung itu patah! Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok yang keras bagaikan serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai tulangnya patah-patah. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan.

Berbeda dengan Tan Hok, kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya. Lebih cepat dari pada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan kakek itu dikejar sinar golok. Serangan kepala perampok itu baru berlangsung dua puluh jurus, terdengar suara keras, goloknya terlempar menancap dinding dan tubuh kepala perampok itu terjengkang ke belakang. Mukanya pucat sebab dia telah menderita luka pada dadanya oleh tamparan kakek yang lihai ini...

Pada saat itu, tiba-tiba bertiup angin dari luar warung dan berkelebatlah bayangan yang membawa bau yang amat harum. Pada lain saat Tan Sam dan Tan Hok telah berhadapan dengan seorang perempuan yang amat cantik.

Mukanya putih halus dengan sepasang pipi kemerahan. Mata yang mengeluarkan cahaya bening akan tetapi tajam, membayangkan pengertian yang mendalam. Bibir yang merah, kadang-kadang membayangkan kekerasan penuh wibawa, tetapi lebih sering tersenyum penuh pikatan. Pendeknya seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah.

Sukar menaksir berapa usianya. Melihat wajahnya yang segar dan bentuk tubuhnya yang padat, kiranya patut kalau dia ini berusia delapan belas tahun. Akan tetapi melihat sinar matanya, agaknya ia jauh lebih tua dari pada itu.

Pakaian yang menutup tubuhnya terbuat dari sutera halus berwarna merah kuning hijau biru diselang-seling indah sekali. Sepatunya yang sangat kecil berwarna merah dengan dasar dilapisi besi. Sebatang golok kecil dan tipis tergantung di punggungnya, dari depan hanya tampak gagangnya tersembul di belakang pundak kanan, sedangkan tangan kirinya memegang sehelai selendang merah dari sutera pula.

Kedatangan wanita ini amat cepatnya dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian amat tinggi. Tan Hok dan Tan Sam bengong terheran-heran ketika tiba-tiba wanita cantik itu menudingkan telunjuknya yang runcing halus ke muka mereka sambil membentak.

”Orang-orang Pek-lian-pai benar sombong, mengandalkan kepandaian sendiri menghina golongan lain. Hemmm, kalau tidak diberi hajaran akan menjadi makin besar kepala!"

Baru saja suaranya yang halus merdu berhenti, tubuhnya yang langsing sudah berkelebat ke arah Tan Sam. Dalam sejurus saja dia telah mengirim tiga macam serangan kepada kakek itu, yakni tusukan ke arah mata dengan dua jari tangan kiri disusul totokan dengan tangan kanan ke arah dada dan tendangan kaki kiri melayang pula!

Tan Sam tidak berani main-main seperti ketika menghadapi para perampok kasar tadi. Dari gerakan wanita ini maklumlah bahwa dia kini bertemu dengan lawan tangguh yang memiliki jurus-jurus ilmu silat yang aneh dan keji.

Cepat dia bergerak mengelak dan menangkis, membuyarkan tiga macam serangan itu. Alangkah kagetnya ketika dia merasa lengan tangannya terasa pedas dan gatal ketika dia menangkis totokan tangan kanan wanita itu. Di lain pihak, wanita cantik itu sendiri pun kaget dan terheran-heran melihat tiga serangannya dapat dibuyarkan kakek ini.

"Nona, tahan dulu. Mengapa kau memusuhi orang Pek-lian-pai?" bertanya Tan Sam yang merasa penasaran.

Akan tetapi mukanya berubah pucat ketika melihat wanita itu sudah mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah lima bunga teratai dengan lima warna di atas satu tangkai. Lima macam teratai ini terbuat dari logam yang keras dan tangkainya merupakan gagang senjata.

"Ehh... kiranya... Ngo-lian Kauwcu (ketua Agama Lima Teratai)...," hanya sampai di sini Tan Sam dapat berkata karena senjata aneh berupa lima teratai itu telah digerakkan ke arahnya.

Tan Sam mencoba untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba saja kepalanya menjadi pening, matanya silau dan pundaknya sudah terpukul sebuah di antara lima teratai itu. Kakek ini mengeluh dan roboh terlentang, mukanya berubah hitam dan napasnya berhenti.

Melihat gurunya tewas, Tan Hok pemuda tinggi besar itu menjadi kaget sekali.

“Siluman betina... Kau membunuh orang?”

Wanita itu tersenyum dan berkilatlah deretan giginya yang putih seperti mutiara teratur. Matanya yang bening tajam itu mengerling dan bergerak cepat menjelajahi tubuh Tan Hok yang tinggi besar dan kuat berotot, kelihatan membayangkan kekaguman.

"Ehh, bocah raksasa, siapa namamu?” pertanyaan ini diajukan dengan suara halus dan sikap genit.

"Namaku Tan Hok dan aku harus membalas kematian..."

"Sudahlah, kau ikut aku saja menjadi muridku. Tentu kelak kau akan menjadi jagoan besar yang tak ada bandingannya...”

“Siluman kau!" Tan Hok menerjang dengan kemarahan meluap, kepalan tangannya yang besar itu menghantam ke arah kepala wanita itu.

Akan tetapi dengan sikap tenang wanita cantik itu mengangkat tangan kirinya menangkis. Sepasang lengan bertemu dan aneh sekali jika dilihat. Lengan wanita itu kecil dan berkulit tipis halus, namun begitu bertemu dengan lengan Tan Hok yang besar dan kuat berotot seakan-akan terus menempel.

Tan Hok merasa tenaganya lenyap. Dia mencoba untuk menarik kembali lengannya, tapi tanpa hasil. Sebaliknya tangan wanita itu meraba dagunya yang keras, kemudian tangan kanan ini meluncur terus ke bawah. Di lain saat tubuh Tan Hok sudah roboh lemas karena jalan darahnya tertotok secara halus, akan tetapi luar biasa akibatnya.

Tan Hok berusaha menggerakan tubuh, akan tetapi semua urat di tubuhnya tidak mau menuruti kehendaknya, dia tetap lemas tak berdaya. Akan tetapi mata dan mulutnya dapat dia gerakkan, maka dia lalu memaki-maki tidak karuan.



cerita silat karya kho ping hoo



Ada pun para perampok ketika tadi mendengar kakek Tan Sam menyebut nama Ngo-lian Kauwcu, tiba-tiba menjadi kaget dan juga girang. Ang-bin Piauw-to segera memimpin para anak buahnya yang sudah terluka untuk berlutut di depan wanita cantik itu.


"Ah, kiranya Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas) yang menolong nyawa kami yang rendah dan bodoh. Siauwte bertujuh menghaturkan terima kasih kepada Thian-li..."

"Sudahlah, cukup! Jangan banyak mengobrol," wanita itu mencegah sambil melambaikan tangan.

Wanita ini memang Kim-thouw Thian-li, ketua dari perkumpulan Ngo-lian-kauw, seorang wanita yang berkepandaian amat tinggi. Usianya sudah tiga puluhan, akan tetapi ia masih nampak seperti seorang gadis remaja. Sebagai murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo, tentu saja kepandaiannya amat hebat.

"Lebih baik kau merangket si mulut kasar ini supaya dia jangan memaki-maki seperti itu," katanya sambil menuding ke arah Tan Hok yang masih memaki-maki kepadanya.

"Baik Thian-li. Biar kubunuh si keparat ini!" kata Ang-bin Piauw-to yang cepat mencabut goloknya yang menancap pada dinding.

"Tak usah dibunuh, dirangket saja biar tidak memaki lagi. Paksa dia supaya mau menjadi muridku."

Ang-bin Piauw-to terheran, akan tetapi tentu saja dia tak berani membantah. Diambilnya sebatang cambuk dan mulailah dia mencambuki tubuh tinggi besar yang rebah miring itu.

Sementara itu Kim-thouw Thian-li kemudian mengambili paku-paku itu, tanpa ada yang ketinggalan, malah dia merampas pula kantong paku Pek-lian-ting dari mayat Tan Sam. Sambil tersenyum puas ia menyimpan paku-paku dalam kantong itu di balik bajunya, lalu ia kembali kepada Tan Hok yang sedang digebuki.

Makin kagumlah ketua Ngo-lian-kauw ketika melihat kepala perampok itu terengah-engah mengeluarkan keringat sedangkan cambuk itu sudah hancur, akan tetapi tubuh orang itu tidak terluka sama sekali, hanya bajunya yang hancur rusak memperlihatkan tubuh yang amat kuat.

"Hemmm, tebal kulitnya, ya? Coba biarkan aku yang mencambukinya!"

Kim-thouw Thian-li menerima cambuk yang tinggal gagangnya itu dari tangan Ang-bin Piauw-to, kemudian memukulkan gagang itu perlahan ke arah punggung Tan Hok. Kali ini pemuda tinggi besar itu mengaduh-aduh kesakitan.

"Jika kau tidak mau menerima menjadi muridku, kau akan kupukul lagi sampai tidak dapat kau tahan lagi sakitnya," kata Kim-thouw Thian-li, sedangkan para perampok itu melihat dengan heran.

"Lebih baik kau bunuh. Mau bunuh lekas bunuh, kenapa masih cerewet lagi?" Tan Hok memaki dengan suara lemah karena dia merasakan nyeri yang sangat hebat, akan tetapi matanya masih melotot berani.

"Kurang ajar kau, minta dibunuh apa susahnya?"

Ang-bin Piauw-to yang sudah menjadi marah sekali telah mengangkat goloknya hendak dibacokkan ke leher Tan Hok. Akan tetapi Kim-thouw mengibaskan selendangnya dan... golok itu terlempar dari tangan kepala rampok.

"Jangan lancang!" Kim-thouw Thian-li membentak, matanya yang bening mengeluarkan cahaya berkilat. Kagetlah kepala rampok itu dan cepat dia berlutut.

"Kau dan teman-temanmu harus mentaati perintahku.”

"Kami mentaati, Thian-li," jawab kepala rampok itu. "Mulai sekarang, anggaplah kami telah menjadi anak buah Thian-li.”

Kim-thouw Thian-li tertawa manis. "Baik, aku ingin melihat apakah kalian cukup setia. Tak jauh dari sini, di puncak Gunung Hek-niauw-san, ada sebuah kelenteng. Semua hwesio di kelenteng itu adalah anak murid Siauw-lim-pai. Kau ke sanalah dan lakukan ini..."

Wanita ini kemudian mengajak kepala rampok menjauhi Tan Hok dan berbisik-bisik sambil menyerahkan beberapa buah Pek-lian-ting yang tadi ia kumpulkan. Kepala rampok hanya mengangguk-angguk, kemudian bersama kawan-kawannya dia meninggalkan warung itu. Phang Kwi tidak ikut karena dia memang bukan anak buah Ang-bin Piauw-to lagi.

Kim-thouw Thian-li melirik ke arah tukang warung itu. "Kenapa kau masih belum pergi ikut yang lain?"

Phang Kwi cepat memberi hormat "Maaf, Thian-li, saya adalah pemilik warung ini, bukan anak buah Ang-bin-twako..."

"Hemmm, kalau begitu lekas singkirkan mayat kakek itu. Kubur dia jauh-jauh."

Phang Kwi mendongkol sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Baiknya mayat kakek itu tidak besar dan tak berapa berat, maka dia segera memanggulnya dan dibawa ke belakang. Setelah Phang Kwi pergi, wanita itu berlutut mendekati Tan Hok. Senyumnya makin manis dan matanya bersinar-sinar aneh. Dirabanya dada Tan Hok yang bidang dan kuat.

"Orang yang kuat dan gagah," katanya perlahan setengah berbisik." Tan Hok, kenapa kau berkeras kepala ? Kau ikutlah aku dan kau akan hidup penuh kesenangan. Aku kasihan kepadamu..."

Tan Hok adalah seorang pemuda yang selain masih hijau, juga jujur dan bodoh. Dia tidak dapat mengerti akan maksud yang tersembunyi di balik kata-kata dan sikap wanita itu. Dia menganggap bahwa orang itu betul-betul kasihan padanya. Hal ini mengingatkan dia akan keadaannya, bahwa gurunya, yaitu satu-satunya orang di dunia ini yang ada hubungan dengan dia telah mati. Maka matanya lalu basah dan dia menangis!

Kim-thouw Thian-li mengusap-usap pipi pemuda itu, dan berkata, "Jangan berduka, anak manis. Biar kusembuhkan kau dan kau ikutlah aku."

Jari tangannya yang halus itu menotok pundak dan punggung, dan di lain saat Tan Hok sudah pulih kembali tenaganya dan dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi ketika dia melihat wanita itu merangkulnya dan hendak membantunya berdiri dengan sikap yang mesra, dia merasa juga bahwa hal ini tidak sewajarnya dan bukan sepatutnya. Maka dia meronta dan melepaskan diri.

"Tan Hok, mari kau ikut pergi ke tempatku. Mulai detik ini kau selain menjadi muridku, juga menjadi... teman baikku," kata Kim-thouw Thian-li dengan senyum dan lirikan mata yang genit memikat.

Tan Hok tidak mengerti maksudnya, "Aku tidak bisa ikut denganmu, juga aku tidak mau ikut. Kau sudah membunuh guruku, mana bisa aku menjadi muridmu? Apa lagi menjadi teman baik. Mulai sekarang, kau adalah musuhku."

Kim-thouw Thian-li kaget dan kecewa. "Orang goblok! Aku kasihan dan suka kepadamu, ingin menolongmu. Masa kau tidak mau terima?"

Tan Hok berulang kali menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., sekarang aku kalah olehmu, tapi lain kali mungkin aku bisa menang untuk membalas perbuatanmu terhadap suhu...”

Dari kecewa wanita itu menjadi marah. "Keparat, kau memang lebih suka mampus. Kalau kau memberatkan gurumu, nah, kau ikutlah dia ke neraka!" Setelah berkata demikian, Kim-thouw Thian-li menyerang dengan totokan maut.

Tan Hok yang menganggap wanita ini musuh besarnya, sudah bersiap-siap dan cepat menangkis. Kim-thouw Thian-li penasaran dan melakukan serangan bertubi-tubi. Tingkat kepandaian wanita ini sudah lebih tinggi dari pada Tan Sam, mana mungkin Tan Hok bisa melawannya? Baru tiga jurus saja pemuda ini sudah terjungkal oleh sebuah tendangan. Kim-thouw Thian-li melangkah maju, ia menggerakkan selendangnya hendak memukul ke arah kepala Tan Hok.

"Kim Li, tahan...! Jangan bunuh orang...!" tiba-tiba terdengar suara keras dari luar warung dan seorang pemuda yang tampan dan gagah melompat masuk.

Kim-thouw Thian-li menahan serangannya. Cepat sekali muka yang beringas itu kembali penuh senyum dan lirikan manis. la segera berpaling, kemudian menyambut kedatangan pemuda itu dengan girang.

"Kwee-koko (Kakak Kwee), kau sudah menyusul ke sini? Ahhh, aku sedang menghajar seorang jahat!" Dengan langkah terayun menarik wanita itu menghampiri pemuda muka putih itu sambil tersenyum-senyum, lalu memegang lengannya.

Pemuda itu menoleh ke arah Tan Hok, mukanya memperlihatkan rasa malu karena sikap mencinta wanita itu diperlihatkan di depan orang lain.

"Pergilah dan ubah jalan hidupmu, jadilah orang baik-baik," kata pemuda itu kepada Tan Hok.

Dengan mata masih melotot penuh kemarahan, Tan Hok lalu pergi meninggalkan warung. Hatinya panas dan mendongkol sekali kepada wanita itu yang selain sudah membunuh gurunya, melukainya, juga melakukan fitnah kepada dirinya terhadap pemuda muka putih yang menolongnya itu. Sebaliknya, meski dia menganggap pemuda tampan itu pun bukan orang baik-baik, namun Tan Hok seorang yang jujur dan tahu akan budi orang, maka dia merasa berhutang nyawa kepada pemuda yang dia tahu bernama keturunan Kwee itu.

Setelah bayangan Tan Hok lenyap, Kim-thouw Thian-li menggandeng tangan pemuda itu sambil menyandarkan tubuhnya. Diajaknya pemuda itu duduk menghadapi meja.

"Kwee-koko, kenapa kau menyusul ke sini? Dan janganlah muram selalu, bukankah ada Siauw-moi (Adinda) di sisimu? He, tukang warung! Lekas sediakan arak yang terbaik dan masaklah daging apa saja yang ada. Cepat!"

Pemuda itu seperti orang kehilangan semangat, dia menurut saja ditarik dan diajak duduk bersanding di atas kursi menghadapi meja. Wajahnya yang tampan nampak muram, akan tetapi matanya agak bersinar ketika dia menghadapi pelayanan Kim-thouw Thian-li yang ramah dan penuh cinta kasih mesra.

Siapakah pemuda yang bermuka putih tampan ini? Bukan lain orang, dia ini adalah orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama Kwee Sin berjuluk Pek-lek-jiu (Tangan Geledek)! Dia inilah tunangan Kim-eng-cu Liem Sian Hwa, anak murid Hoa-san itu.

Biar pun yang termuda di antara murid Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai, namun Kwee Sin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia sudah mewarisi ilmu pedang Kun-lun yang terkenal di dunia persilatan. Kini usianya baru dua puluh dua tahun.

Semenjak kecilnya Kwee Sin yang sudah tak berayah ibu itu tinggal di puncak Kun-lun melayani suhu-nya Karena inilah maka dia menjadi murid terkasih dari ketua Kun-lun-pai. Hanya kadang-kadang gurunya yang sudah tua dan menganggap Kwee Sin seperti putera sendiri itu memberikan kesempatan kepada Kwee Sin untuk turun gunung dan meluaskan pengalaman di dunia ramai.

Perkenalan Kwee Sin dengan ketua Ngo-lian-kauw itu belum lama. Terjadi baru beberapa bulan yang lalu ketika Kwee Sin sedang turun gunung memenuhi tugas yang diserahkan padanya oleh suhu-nya, yaitu mencari tahu keadaan dunia ramai tentang pemberontakan terhadap pemerintah Mongol.


                  ***************


Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai, pada waktu mudanya juga seorang pejuang, seorang patriot. Maka sekarang mendengar tentang adanya pergerakan orang-orang gagah yang menentang kekuasaan pemerintahan penjajah, semangatnya lalu terbangun, dia menjadi gembira sekali.

Akan tetapi dia sudah terlalu tua untuk turun gunung sendiri. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Karena itulah dia lalu menyuruh muridnya itu untuk turun gunung melakukan penyelidikan.

"Setelah kau turun gunung melakukan penyelidikan, jangan lupa untuk singgah di rumah calon mertuamu di dusun Lam-bi-chung," pesan ketua Kun-lun-pai ini kepada muridnya. "Aku sudah tua, ingin melihat kau menikah tahun ini juga."

Kwee Sin menjadi merah mukanya. Selalu mukanya yang putih tampan itu menjadi merah sekali setiap kali orang bicara atau mengingatkan dia akan tunangannya, Liem Sian Hwa. Merah karena jengah, jengah disebabkan bahagia setiap kali dia terbayang akan wajah tunangannya itu, yang cantik sederhana, bersemangat dan gagah perkasa.

Dia sendiri seorang yang berjiwa pendekar, maka memiliki tunangan yang namanya amat terkenal sebagai seorang lihiap (pendekar wanita), orang terkemuka dari Hoa-san Sie-eng yang dikagumi dan disegani, tentu saja dia merasa amat bahagia. la telah membayangkan betapa kelak dengan Sian Hwa di sisinya, mereka akan merupakan sepasang pendekar yang akan menjadi pembela kebenaran dan keadilan serta menjunjung tinggi nama baik Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Anak-anak mereka tentu akan menjadi pendekar-pendekar besar pula.

Setelah bersiap-siap, dan tidak lupa membawa pedangnya yang selama ini membuat dia terkenal, pemuda ini kemudian turun gunung dengan penuh kegembiraan. la terus menuju ke arah selatan dan timur, menjelajahi kota-kota besar, mendengar-dengar dan mencari keterangan.

Ia banyak mendengar tentang pergerakan patriotik dari perkumpulan-perkumpulan rahasia yang timbul bagaikan jamur di musim hujan, terutama sekali tentang sepak terjang orang Pek-lian-pai yang paling gigih melakukan perlawanan kepada pemerintah penjajah. Maka tidak mengherankan apa bila dia merasa simpati terhadap perkumpulan itu dan ingin dia mengadakan hubungan. Namun, perkumpulan Pek-lian-pai ini ternyata amat rahasia, tidak mudah diketahui siapa pemimpinnya dan di mana dia dapat menemui anggotanya.

Pada suatu hari Kwe Sin tiba di Sin-yang dan dia pun mengunjungi tempat tinggal kedua suheng-nya, yaitu Bun Si Teng dan Bun Si Liong, orang pertama dan ke dua dari Kun-lun Sam-hengte. Selagi dia enak-enak berjalan dan tiba di jalan perempatan di luar kampung tempat tinggal kedua suheng-nya, dari jauh ia melihat seekor kuda hitam yang ditunggangi seorang laki-laki setengah tua berbaju putih datang membalap dari jurusan timur. Pada saat itu juga, dari sebelah utara datang pula berlari cepat seekor kuda yang ditunggangi seorang anak laki-laki berusia belasan tahun, antara tiga belas atau empat belas tahun yang bertubuh kekar dan gagah.

Kwee Sin terkejut sekali melihat datangnya dua ekor kuda yang berlari seperti terbang ini pada saat yang sama. Tikungan jalan perempatan dari timur dan utara itu tertutup oleh segerombolan pohon sehingga kedua penunggang kuda itu tentu saja tidak dapat melihat kedatangan masing-masing, dan mungkin juga tidak dapat mendengar derap kaki kuda yang lain karena berisik oleh derap kaki kuda sendiri. Kwee Sin yang datang dari selatan melihat dengan jelas akan hal ini dan timbul kekhawatiran hatinya kalau-kalau dua ekor kuda itu akan bertemu dan beradu di perempatan.

Hal yang dia khawatirkan terjadi. Dua ekor kuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja telah mendekati perempatan. Setelah berada dalam jarak dekat sekali, Kwee Sin berseru, "Awas...!“

Dua ekor kuda itu sudah dekat dan tak mungkin dapat dicegah lagi terjadinya tabrakan yang mengerikan. Dua orang penunggang kuda itu, lelaki setengah tua berpakaian putih dan pemuda remaja yang berkuda putih, melihat pula akan ancaman bahaya ini.

"Ouw-ma (kuda hitam), naik...!” Laki-laki setengah tua itu berseru.

Mendadak kudanya mengeluarkan ringkikan keras dan tubuhnya melompat tinggi sekali melangkahi kuda putih yang berlari cepat. Namun setinggi-tingginya lompatan kuda yang mendadak itu, biar pun dapat melangkahi seekor kuda, agaknya di antara empat kakinya tentu akan rnenendang penunggang kuda putih, anak laki-laki tadi.

Kwee Sin merasa ngeri dan tidak berdaya untuk menolong. Matanya terbuka lebar dan jantungnya berdebar.

Hanya sedetik kejadian itu. Kuda hitam itu melompati kuda putih, keempat kakinya hampir menyentuh punggung kuda putih, akan tetapi masih selamat melompati kuda putih yang menerobos di bawahnya. Debu mengebul tinggi dan... Kwee Sin tidak melihat lagi anak laki-laki yang tadi duduk di atas punggung kuda putih.

"Celaka...!" serunya, mengira bahwa anak tadi tentu sudah terkena tendangan kuda dan terlempar dalam keadaan tewas atau sedikitnya terluka hebat.

Akan tetapi dia segera melongo saking kagum dan herannya setelah melihat bahwa anak itu ternyata secara lihai sekali, ketika kudanya dilompati kuda lain, telah menggantungkan dirinya di bawah perut kuda dan sekarang dalam keadaan selamat dia telah membalikkan tubuhnya duduk kembali di atas punggung kuda.

Namun anak itu agaknya kaget juga. Dia menahan kendali kudanya dan menghentikan kuda itu wajahnya agak pucat. Akan tetapi laki-laki setengah tua itu hanya menoleh sambil tertawa bergelak, terus mencambuk kudanya, membalap makin cepat.

"Kurang ajar, berhenti kau!" Kwee Sin langsung melompat hendak mengejar penunggang kuda hitam.

"Kwee-susiok (Paman Guru Kwee), jangan kejar dia!" Tiba-tiba anak laki-laki tadi berseru.

Kwee Sin kaget dan menghentikan larinya. Dia menoleh dan memandang anak itu lebih teliti.

"Ehh, kiranya kaukah ini, Lim Kwi?" Dia berlari menghampiri dengan girang. "Pantas saja begini lihai menunggang kuda, kiranya kau."

Anak itu melompat turun dan memberi hormat. Dia memang Bun Lim Kwi, putera tunggal Bun Si Teng, jago pertama dari Kun-lun Sam-hengte! Sebagai seorang pedagang kuda, tentu saja Bun Si Teng dan adiknya, Bun Si Liong, selain memiliki ilmu silat tinggi sebagai keturunan Kun-lun-pai, juga telah mempelajari ilmu memelihara kuda sekaligus juga ilmu menunggang kuda. Bun Lim kwi tentu saja juga mempelajari ilmu ini, maka tadi berkat ilmunya menunggang kuda, dia terluput dari maut yang mengerikan.

"Lim Kwi, kau dari mana dan kenapa kau nampak amat berduka? Pula, kenapa kau tadi mencegah aku mengejar bangsat itu?" Kwee Sin mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.

"Kwee-susiok, memang ada pertaliannya antara pertanyaan-pertanyaanmu tadi. Paman Bun Si Liong terluka parah oleh seorang anggota Pek-lian-pai, dan saya sedang pergi ke Twi-ciu membeli obat untuk paman. Dan orang tadi... melihat kepandaian dan pakaiannya yang serba putih, dia itu pun agaknya salah seorang anggota Pek-lian-pai yang memusuhi kami..."

"Ahhh..." Kwee Sin berkata penasaran. "Jika betul dia itu memusuhi keluargamu, kenapa engkau malah mencegah aku mengejar untuk memberi hajaran kepadanya? Apakah luka ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) amat parah?"

"Kwee-susiok, anggota-anggota Pek-Lian-pai lihai sekali dan selagi pamanku terluka, tidak baik kiranya memperluas permusuhan dengan mereka."

Jawaban anak berusia belasan tahun ini diam-diam membuat Kwee Sin kagum bukan main. Benar-benar seorang anak yang sudah memiliki pandangan luas, pikirnya.

"Bagaimana lukanya, ji-suheng?"

Bun Lim Kwi menarik napas panjang. "Berat juga, syukur dapat tertolong oleh tabib yang pandai. Biarlah nanti Susiok mendengar sendiri tentang persoalannya dari ayah..."

"Benar juga kau, hayo kita lekas pergi ke rumahmu, ingin aku menengok Ji-suheng."

Keduanya lalu cepat memasuki kampung di mana Bun Lim Kwi dan ayahnya tinggal. Rumah keluarga Bun cukup besar, malah memiliki pekarangan belakang yang amat luas, karena di situ dibangun kandang-kandang besar untuk binatang peliharaan dan dagangan mereka, yaitu kuda.

Sebagai seorang pedagang kuda, Bun Si Teng telah berhasil dan makin lama kudanya makin banyak. Hampir semua orang gagah yang membutuhkan kuda, atau para saudagar kuda dari lain daerah, selalu datang menemuinya karena selain keluarga Bun jujur dan tidak pernah menghargai kuda mereka terlalu tinggi, juga kuda mereka selalu adalah kuda-kuda pilihan saking pandainya Bun Si Teng memilih kuda.

Di depan gedung yang cukup besar itu terdapat beberapa batang pohon yang rindang dan mendatangkan suasana yang teduh dan enak di halaman rumah itu. Beberapa ekor ayam yang gemuk-gemuk sibuk mematuki gabah serta dedak yang berceceran di halaman itu hingga suasana di tempat yang teduh itu aman dan damai, tidak membayangkan sesuatu yang menyedihkan.

Hanya sejenak saja Kwee Sin dapat merasakan ketenteraman suasana ini. Ketika teringat akan keadaan ji-suheng-nya seperti yang ia dengar dari Lim Kwi, ia segera tergesa-gesa memasuki gedung.

Kedatangan Kwee Sin dan Lim Kwi disambut oleh nyonya Bun Si Teng, ibu Lim Kwi yang tergesa-gesa bertanya, "Bagaimana Kwi-ji (anak Kwi), sudah dapatkah obatnya?"

Lim Kwi mengangguk, dan saat itulah nyonya ini melihat kehadiran Kwee Sin di belakang anaknya. la segera menyambutnya dengan muka sedih, dan Kwee Sin lantas menyatakan keinginannya untuk menengok Bun Si Liong yang terluka. Beramai-ramai mereka bertiga masuk ke ruangan dalam.

Di dalam kamar Bun Si Liong, orang gagah ini tengah rebah telentang dengan muka pucat sedangkan Bun Si Teng, kakaknya, duduk di dekat pembaringan dengan wajah muram.

"Ah, kau datang, Kwee-sute? Kebetulan sekali!" kata Bun Si Teng, agak berseri wajahnya seperti mendapat pengharapan baru.

"Siauwte mendengar tentang terlukanya Ji-suheng, bagaimana keadaannya?" Kwee Sin menghampiri pembaringan.

Bun Si Liong membuka mata dan memandang kepada Kwee Sin, tersenyum duka.

"Kita kecewa, Sute... ternyata Pek-lian-pai bukan orang-orang baik..."

"Soal itu biarlah nanti kita berhitungan dengan mereka, Ji-suheng. Yang perlu sekarang kau berobatlah dulu agar segera sembuh," menghibur adik seperguruan ini.

Dia mendapat kenyataan bahwa selain menderita pukulan yang melukai sebelah dalam dada, suheng-nya ini pun menderita luka parah pada pundak dan lambungnya akibat kena senjata rahasia paku yang terkenal sering digunakan oleh perkumpulan Pek-lian-pai, yaitu Pek-lian-ting.

Nyonya Bun Si Teng sibuk memasak obat untuk adik iparnya, sedangkan Bun Si Teng lalu menceritakan dengan singkat kepada Kwee Sin tentang terjadinya peristiwa itu.

"Beberapa pekan yang lalu di sini datang seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pek-lian-pai yang membutuhkan dua puluh ekor kuda yang baik. Karena merasa simpati mendengar nama baik Pek-lian-pai sebagai perkumpulan para patriot, aku dan Liong-te (adik Liong) dengan senang hati memilihkan dua puluh ekor kuda terbaik dengan harga serendah-rendahnya. Malah orang yang mengaku bernama Thio Sian itu, pada waktu itu menyatakan sangat kagum melihat kuda tungganganku sendiri. Aku pun dengan rela hati menyerahkan kuda itu kepadanya sebagai tanda persahabatan. Orang she Thio itu minta kepada kami berdua supaya suka mengantarkan kuda ke dalam hutan yang tiga puluh li jauhnya dari sini. Karena ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, aku sendiri bersama Liong-te berangkat pada tiga hari yang lalu untuk mengantar kuda-kuda itu ke sana. Tetapi celaka sekali..."

Bun Si Teng yang bertubuh tinggi besar seperti pahlawan Kwan In Tiang di jaman dahulu ini mengepalkan tinjunya yang besar dan mengertak gigi. Kwee Sin mendengarkan penuh perhatian.

"Baru saja kami memasuki hutan menggiring dua puluh ekor kuda, tiba-tiba muncul lima orang berpakaian putih-putih dan mereka langsung menyerang kami dengan paku-paku Pek-lian-ting. Tentu saja kami dapat menyelamatkan diri dari serangan gelap ini. Namun sebelum kami dapat bertanya mengapa mereka melakukan hal itu, mereka sudah maju mengeroyok. Terpaksa kami berdua melakukan perlawanan. Kelima orang itu bersenjata golok dan ilmu silat mereka cukup lihai, akan tetapi aku dan Liong-te tidak gentar. Kami dapat melayani mereka dengan baik, malah dapat mendesak mereka dengan gabungan ilmu pedang kami."

Kwee Sin mengepal tinju dan amat tertarik. la cukup maklum akan kelihaian kedua orang suheng-nya, apa lagi kalau mereka menggabungkan ilmu pedang mereka, kiranya takkan mudah dikalahkan orang, biar pun dengan pengeroyokan. Twa-suheng-nya, Bun Si Teng, amat pandai bersilat pedang dan ditambah lagi dengan permainan sebatang busur besar di tangan kiri merupakan seorang gagah yang sukar dicari bandingnya.

Ada pun Bun Si Liong yang bertubuh tegap serta bermuka hitam itu, tangan kanannya memegang pedang sedangkan di tangan kiri memegang golok. Ilmu pedangnya dicampur dengan ilmu golok sehingga gerakan-gerakannya sangat sukar diduga lawan. Kalau dua orang ini bergabung menjadi satu, bukan main kuatnya.

"Lalu bagaimana, Twa-suheng? Bagaimana Ji-suheng sampai bisa terluka ?" tanya Kwee Sin penasaran.

"Menyakitkan hati benar!" Bun Si Teng menggebrak meja. "Orang-orang Pek-lian-pai itu memang pengecut dan jahat. Setelah kami mulai mendesak, mendadak terdengar suara ketawa seorang wanita. Ketawanya nyaring dan merdu, akan tetapi sama sekali tidak kelihatan orangnya. Kau tahu sendiri, Ji-suheng-mu biar pun gagah perkasa, selalu amat takut dan gugup kalau berhadapan dengan wanita. Mendengar suara ketawa ini agaknya dia gugup sekali, maka ketika dari tempat yang tak diketahui datang menyambar banyak paku-paku Pek-lian-ting, dia kurang cepat dan terluka oleh sebatang paku."

"Ahhh...!" Kwee Sin berseru, penasaran dan juga heran.

"Paku-paku yang menyambar kali ini dilepas oleh orang yang berilmu tinggi," kata Bun Si Teng menjelaskan. "Pada waktu aku menangkis paku-paku itu dengan pedangku, telapak tanganku sampai tergetar. Melihat adikku terluka, aku memutar senjata dan mengamuk dengan nekat. Untuk sementara mereka itu tak dapat mengganggu Liongte. Akan tetapi... lagi-lagi terdengar suara wanita itu yang berseru agar supaya lima orang pengeroyok itu mendesak aku, kemudian wanita yang bersembunyi itu juga menyuruh para pengeroyok itu agar mendesak dari satu jurusan, dari depan saja dan jangan mengepung. Kemudian agaknya dia sendiri yang menghujankan paku-paku Pek-lian-ting kepadaku. Aku menjadi terdesak hebat, malah berada dalam keadaan yang berbahaya. Ketika itulah seorang di antara para pengeroyok mendapat kesempatan untuk menyerang Adik Liong yang sudah terluka. Liong-te masih dapat melawan, akan tetapi lagi-lagi sebatang paku melukainya, kini di bagian lambungnya dan yang pertama tadi melukai pundaknya. Luka-luka ini yang ternyata kemudian mengandung racun, membuat dia seperti lumpuh sehingga dia kena pukulan pada dadanya."

"Keparat...!" Kwee Sin berkata gemas.

"Melihat keadaan adikku terancam, aku kemudian menyerbu ke arah adikku dan berhasil merobohkan penyerangnya itu dengan busurku. Entah dia mampus atau tidak, akan tetapi setidaknya kepalanya tentu retak!" kata Bun Si Teng gemas. "Kemudian aku mengambil keputusan untuk menyelamatkan Liong-te, karena musuh terlampau kuat. Aku berhasil menyambar tubuh Liong-te dan kubawa lari pulang. Kuda-kuda itu mereka rampas dan ketika pada keesokan harinya aku membawa beberapa orang murid mengunjungi hutan, di situ sudah tidak ada seorang pun anggota Pek-lian-pai."

Kwee Sin menepuk pahanya dengan marah. "Ahh, kalau tahu begitu, si kurang ajar tadi tidak akan kulepaskan begitu saja!"

Bun Si Teng memandang heran. "Siapa yang kau maksudkan, Sute?"

Kwee Sin lalu menceritakan tentang penunggang kuda yang tadi hampir saja mencelakai Bun Lim Kwi. Mendengar ini berkerut alis Bun Si Teng.

"Hemmm, kalau begitu, selain bermaksud merampas kuda, mereka juga sengaja hendak memusuhi keluargaku. Ah, kebetulan kau datang, Sute. Aku telah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa manusia bernama Thio Sian itu berada di dusun Hek-siong-san, tak jauh dari sini. Aku tadinya hendak mencarinya di sana untuk membuat perhitungan. Sekarang kebetulan kau datang sehingga hatiku agak lega meninggalkan rumah. Siapa tahu selagi aku pergi, mereka datang membikin kacau sedangkan Liong-te masih belum sembuh. Kau bisa mewakili aku menjaga di rumah."

"Twa-suheng, kurasa Twa-suheng saja yang menjaga rumah, biarlah aku yang mewakili Suheng mencari jahanam Thio Sian itu di Hek-siong-san. Sekarang sudah terang bahwa Pek-lian-pai amat curang. Jika Suheng sendiri yang pergi ke sana, jangan-jangan mereka akan mengatur jebakan karena mereka sudah mengenalmu. Akan tetapi kalau aku yang pergi, mereka belum mengenalku, maka kiranya akan lebih leluasa bagiku untuk bergerak. Hanya saja, harap Suheng memberi gambaran yang jelas tentang rupa orang she Thio itu."

Mendengar kata-kata Kwee Sin ini, Bun Si Teng lalu mengangguk-angguk. Tidak dapat disangkal pula, ucapan Kwee Sin ini memang benar sekali. Selain itu, dia sudah percaya akan kepandaian sute-nya ini yang tidak berbeda jauh dengan kepandaiannya sendiri. Betapa pun juga, menjaga di rumah kiranya merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya, pula amat berbahaya karena selain harus melindungi anak isterinya, dia harus pula melindungi adiknya yang sedang sakit.

"Baiklah, Kwee-sute. Akan tetapi kau harus hati-hati benar karena biar pun mengenai kepandaian silat kiranya kau tak usah khawatir menghadapi mereka, namun mereka itu licik dan curang sekali. Untuk mengenal orang she Thio itu mudah saja. Perawakannya kurus tinggi, kumisnya kecil panjang dan di atas pipi kanannya terdapat sebuah tahi lalat merah. la bicara dengan lidah utara."

Setelah mendapat penjelasan dari suheng-nya, Kwee Sin lalu pergi melakukan tugasnya, mencari musuh besar suheng-nya itu ke dusun Hek-siong-san. Dusun itu kecil saja, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi Kwee Sin untuk mencari Thio Sian. Agaknya tidak ada yang mengenal orang ini di Hek-siong-san.

Akhirnya ia pun mendapat keterangan tentang orang ini dari seorang pemilik warung arak. "Orang tinggi kurus berkumis kecil dan ada tahi lalatnya merah di pipi kanan? Ahh, benar, dia pernah membeli arak di sini, malah tadi aku lihat dia lewat di sini menuju ke timur."

Mendengar keterangan ini, Kwee Sin mengucapkan terima kasihnya dan cepat-cepat dia melakukan pengejaran ke timur. Di sebelah timur dusun ini terdapat sebuah hutan kecil. Tanpa ragu-ragu Kwee Sin memasuki hutan ini, biar pun hari sudah mulai senja.

Hutan pohon siong yang menghitam kulitnya itu nampak gelap. Ia melihat hutan itu sunyi saja, bahkan tak nampak seekor pun binatang hutan. Tiba-tiba ia mencium bau asap dan melihat asap membumbung tinggi dari sebelah kiri.

Berindap-indap dia mendekati dan dengan girang dia melihat seorang lelaki menghadapi api unggun. Laki-laki ini cocok dengan gambaran diri Thio Sian dan hatinya lebih girang lagi karena melihat laki-laki ini seorang diri saja, tidak ada orang lain di situ. Dengan berani dan gagah Kwee Sin lalu meloncat mendekati dan berdiri dengan tangan bertolak pinggang.

"Orang she Thio, bersiaplah membuat perhitungan atas perbuatanmu yang pengecut dan curang!" bentaknya sambil mencabut keluar pedangnya.

Orang tinggi kurus itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dengan tenang.

"Susah payah kau mencari-cari aku di Hek-siong-san, kemudian mengejar ke sini atas keterangan tukang penjual arak. Dapat bertemu setelah aku membakar daun-daun kering ini. Ehh, orang muda yang gagah, apa perlunya kau mencari aku Thio Sian?"

Kwee Sin kaget sekali. Kiranya orang yang dicari-carinya ini telah lebih dulu tahu akan kedatangannya. Benar berbahaya. Diam-diam dia mengerling ke kanan kiri untuk mencari kalau-kalau orang ini sudah memasang jebakan. Ia merasa gentar juga, namun sebagai seorang pendekar dia tidak mau memperlihatkan ini.

"Jangan kau bersikap pura-pura," katanya mengejek. "Kau sudah berani menipu Kun-lun Sam-hengte, menipu dua suheng-ku, malah melukai ji-suheng-ku dengan pengeroyokan pengecut. Ketahuilah, aku Kwee Sin takkan membiarkan orang macam engkau menghina ji-suheng begitu saja!"

Orang itu sambil tersenyum lalu menjura. "Eh, kiranya Pek-lek-jiu Kwee-enghiong yang datang. Sudah lama mendengar nama besar Kwee-enghiong, dan aku yang bodoh Thio Sian juga sudah beruntung sekali berkenalan dengan kedua saudara Bun yang gagah..."

Mendongkol sekali hati Kwee Sin. "Orang she Thio, jangan berpura-pura menjual mulut manis. Awas pedangku!"

Kwee Sin merasa dipermainkan dan khawatir kalau-kalau sedang dijebak, maka cepat ia mengirim serangan.

"Ehh, ehh, benar-benar berdarah panas!" Orang itu dengan mudahnya mengelak.

Kwee Sin mendesak lagi dengan pedangnya sehingga mau tak mau Thio Sian mencabut goloknya dan menangkis.

"Kau hendak menguji kepandaian? Baiklah, tak ada halangannya di tempat sunyi ini kita bermain-main, biar kita penuhi syarat perkenalan dengan bertanding lebih dulu.”

Di lain saat kedua orang itu sudah bertanding seru. Diam-diam Kwee Sin harus mengakui kehebatan lawannya yang memiliki ilmu golok yang amat cepat dan kuat. Susah payah dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu mendesak lawannya.

Dia mulai gelisah. Kalau ada seorang lagi saja teman lawannya, dia tentu celaka dan takkan dapat menang. Oleh karena itu dia mulai melakukan pukulan-pukulan tangan kiri, yaitu pukulan Pek-lek-jiu yang amat ampuh.

"Ayaaa... kau benar-benar hendak mengambil nyawa orang yang tak berdosa?" Thio Sian nampak terkejut dan cepat mengelak. "Mari kita bicara dulu."

Tapi Kwee Sin mana mau berhenti? Malah menyerang makin gencar dengan pedang dan pukulan-pukulannya. Tiba-tiba Thio Sian juga melakukan serangan dengan tangan kirinya. Dia melakukan pukulan-pukulan jarak jauh untuk menandingi Pek-lek-jiu dari jago muda Kun-lun-pai itu.

Pada saat itu cuaca sudah mulai gelap. Pertempuran sudah berlangsung hampir seratus jurus. Berkali-kali Thio Sian minta dihentikan, namun Kwee Sin tidak mau peduli. Tiba-tiba berkelebat bayangan kecil berwarna merah ke arah Thio Sian.

Thio San terkejut, cepat menangkis dengan goloknya. Bayangan itu ternyata sehelai sapu tangan yang membuat Thio Sian mengeluarkan seruan kaget, dan tahu-tahu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Aahhhhh... kau... kau bersekutu dengan dia...?" la mengeluh dan tiba-tiba tangan kirinya melayangkan beberapa buah Pek-lian-ting ke arah Kwee Sin.

Penyerangan ini tiba-tiba datangnya. Kwee Sin sudah berusaha menghindarkan diri, tapi sebatang paku Pek-lian-ting dengan tepat sekali menancap di jalan darah dekat lehernya. Pandang matanya gelap dan Kwee Sin mengeluh perlahan, lalu roboh pingsan!

Ketika Kwee Sin membuka matanya sambil mengeluh kesakitan, dia menjadi heran dan kaget sebab mendapatkan dirinya sudah rebah di atas pembaringan dalam sebuah kamar yang berbau harum. Lehernya terasa panas dan sakit sekali, sampai terasa berdenyut kepalanya. Namun dia memaksa diri bangun duduk.

Terdengar suara pintu kamar berderit terbuka, lalu tertutup lagi. Kwee Sin menoleh dan... matanya terbelalak lebar ketika dia melihat seorang wanita muda cantik sekali memasuki kamar itu sambil tersenyum manis.

"Kau... kau siapakah...?" Kwee Sin hendak melompat turun.

Wanita itu melangkah ringan dan cepat, tahu-tahu sudah berada di pinggir pembaringan, lalu menjura dan berkata, dengan kata-kata yang sopan dan merdu.

"Harap Taihiap tenang dan jangan kaget, biarlah Siauw-moi memberi penjelasan...”

“Tapi... tapi tak pantas sekali kita... berada di sini..."

"Sssssttt..." Manis sekali ketika wanita itu menaruh telunjuk di depan mulut dan bibirnya mengeluarkan suara ini untuk mencegah pemuda itu membuat berisik.

"Taihiap, jangan ribut-ribut, bila terdengar para pelayan losmen dan para tamu, kita malah akan mendapat malu. Dengarlah Siauw-moi bicara..." Wanita itu dengan sikap sopan tapi amat manis menarik lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan sambil memberi isyarat dengan tangannya supaya Kwee Sin berbaring kembali. "Kau berbaringlah, lukamu masih belum sembuh dan perlu beristirahat."

Karena memang kepalanya berdenyut-denyut dan pening, Kwee Sin terpaksa menurut dan membaringkan badan, biar pun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia seorang gagah, bagaimana sekarang bisa berada sekamar dengan seorang gadis cantik jelita? Sungguh memalukan dan mencemarkan namanya!

"Taihiap, secara terpaksa sekali aku membawamu ke dalam losmen ini. Kau terluka hebat oleh paku Pek-lian-ting. Kau pingsan, lukamu parah, tepat mengenai jalan darah besar di leher. Tanpa mendapat pengobatan yang cepat dan tepat, keadaanmu akan berbahaya sekali. Di dalam hutan yang sunyi, bagaimana aku dapat menolongmu? Karena itu secara terpaksa sekali aku membawamu ke losmen ini, menyewa sebuah kamar."

"Tapi... tapi...," Kwee Sin memprotes, "kenapa hanya sekamar? Padahal, kau dan aku... laki-laki dan wanita, sungguh tak patut..."

Wajah wanita itu menjadi merah sekali, terutama di kedua pipinya, membuat ia nampak makin jelita.

"Maaf, Taihiap. Aku... aku terpaksa mengaku bahwa kita... kita ini suami isteri..."

"Ahhh!" Kwee Sin terkejut dan hendak bangun, tetapi lehernya sakit sekali dan dia rebah kembali.

"Terpaksa, Taihiap. Kalau aku tidak mengaku demikian, sudah tentu akan menimbulkan kecurigaan. Aku mengaku suami isteri yang berpesiar, lalu kau mendapat kecelakaan jatuh dari kuda. Setelah aku mengaku bahwa kita adalah suami isteri, tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau menaruh curiga.”

Kwee Sin diam saja. la merasai kebenaran omongan wanita ini. la melirik dan melihat wanita itu menyusuti dahi dengan sehelai sapu tangan merah. Tiba-tiba dia teringat dan dia memaksa diri duduk.

“Kau... kaukah yang menyerang dan merobohkan Thio Sian dan yang rnenolongku?" la memandang tajam, ragu-ragu.

Kedua pipi wanita itu merah lagi ketika mengangguk, tersenyum dan berkata perlahan, "Sudah sepatutnya kita saling tolong-menolong, apa lagi menghadapi seorang penjahat besar seperti tokoh Pek-lian-pai itu. Ketika aku melihat seorang Pek-lian-pai bertempur melawanmu, tanpa ragu-ragu lagi aku memihak padamu, Taihiap. Tidak tahu, siapakah nama Taihiap yang mulia?"

Sambil duduk Kwee Sin cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Ahh, kiranya Nona adalah penolongku. Terima kasih banyak bahwa Nona sudah menolong dan menyelamatkan nyawaku. Aku yang bodoh ini bernama Kwee Sin, dan apakah aku boleh mengetahui nama besar Lihiap (Nona Pendekar)?"

"Aku bernama Kim Li, she (nama keluarga) Cou. Kwee-taihiap, karena aku sudah terlanjur mengaku sebagai suami isteri, untuk melenyapkan kecurigaan orang, kuharap kau jangan menyebut lihiap... sebut saja namaku, dan... dan kalau boleh aku lebih suka menyebutmu Kwee-koko (Kakanda Kwee)..."

Berdebar jantung Kwee Sin, tetapi pada saat itu juga lehernya terasa nyeri bukan main sampai kepalanya berdenyut-denyut. la meramkan matanya dan mengeluh perlahan.

Wanita itu yang bukan lain adalah Kim-thouw Thian-li atau Ngo-lian Kauwcu, ketua dari Ngo-lian-pai, segera menghampiri. Dengan mesra dan halus ia menaruh tapak tangannya di atas kening Kwee Sin dan berkata merdu.

"Kau mulai terserang demam, Kwee-koko. Akan tetapi tidak apa-apa, kau tidurlah, biarlah kumasakkan obat untukmu."

Dengan sangat teliti wanita ini merawat Kwee Sin. Sikapnya penuh kasih dan mesra, selama dua hari dua malam tak pernah meninggalkan kamar itu, tak pernah tidur.

Biar pun sedang menderita demam, Kwee Sin masih ingat akan semua ini dan diam-diam dia merasa amat terharu dan berterima kasih sekali. Belum pernah selama hidupnya dia mempunyai seorang yang begini baik terhadap dirinya, bahkan tunangannya sendiri, nona Liem Sian Hwa, belum pernah bersikap sedemikian manis dan penuh kasih.

Kwee Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam menghadapi godaan wanita. la belum dapat membedakan antara kasih sayang yang murni dengan kasih sayang seperti yang dikandung dalam hati seorang wanita seperti Kim-thouw Thian li.

Tak dapat disangkal bahwa meski pun masih muda, pengalaman Kwee Sin dalam dunia kang-ouw sudah banyak sekali. Namun tentang cinta kasih, dia benar-benar masih hijau dan hatinya masih bersih sehingga dia menganggap sikap wanita itu sebagai cinta yang benar-benar murni.

Betapa pun juga, ternyata Kim-thouw Thian-li benar-benar jatuh hati kepada pemuda jago Kun-lun-pai ini. Melihat sikap Kwee Sin yang bersih dan jujur, yang selalu sopan dan tidak sekali-kali mau melanggar kesusilaan, wanita ini merasa malu dan takut sendiri untuk bersikap terlalu genit.

Namun dengan kepandaiannya membujuk rayu, ia berhasil juga mendatangkan rasa haru di dalam hati Kwee Sin. Mulailah di dalam hati pemuda ini timbul penyesalan, kenapa dia tidak diikatkan jodoh dengan seorang gadis seperti Coa Kim Li ini!

Pada hari ke tiga, Kwee Sin sudah sembuh kembali. Dia lalu menghaturkan terima kasih kepada Coa Kim Li atau yang sesungguhnya berjuluk Kim-thouw thian-li itu.

"Adik Kim Li," katanya terharu, "aku merasa berhutang budi kepadamu. Apa bila aku Kwee Sin tak mampu membalas budimu, biarlah Thian yang akan membalasnya. Sekarang kita harus berpisah, aku akan melanjutkan perjalananku dan aku tak berani mengganggu kau lagi."

Kim-thouw Thian-li tersenyum manis, akan tetapi sinar matanya menunjukkan kedukaan hatinya. "Kwee-koko, kenapa kita harus berpisah? Apakah salahnya jika kita melakukan perjalanan bersama-sama? Koko, aku... entah kenapa, selama hidupku belum pernah aku mempunyai seorang... sahabat seperti kau. Aku... agaknya akan sukar sekali bagiku untuk berpisah dari sampingmu."

Kwee Sin makin terharu, apa lagi ketika dia melihat dua butir air mata jernih turun dari sepasang mata yang indah itu. Dipegangnya kedua tangan Kim Li, dan dengan suaranya yang menggetar dia berkata, "Kim Li, percayalah, aku pun mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan itu. Kau satu-satunya wanita yang selama hidupku amat baik kepadaku. Akan tetapi kurasa tidak sepatutnya kalau kau seorang gadis gagah perkasa melakukan perjalanan bersama seorang laki-laki. Akan tercemar nama baikmu. Ke dua..."

"Kwee-koko, peduli apa dengan anggapan umum? Apakah kita orang-orang gagah masih perlu mendengarkan gonggongan anjing-anjing di tepi jalan?"

Kwee Sin tersenyum pahit. "Benar kata-katamu, akan tetapi mau tidak mau kita harus menghindarkan dugaan yang bukan-bukan. Selain itu, yang ke dua... aku harus berterus terang kepadamu. Kim Li moi-moi, aku... aku sebenarnya sudah... sudah bertunangan..."

Aneh, sama sekali wanita itu tidak nampak kaget atau pun kecewa. Memang, bagi orang seperti Kim-thouw Thian-li, laki-laki yang disukainya tetap laki-laki, tak peduli dia itu belum bertunangan mau pun sudah beristeri atau sudah menjadi ayah. Akan tetapi, dengan ilmu kepandaiannya, ia bisa membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.

"Siapa... siapa dia itu, Koko? Tentu gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa?"

"Tentang kecantikannya, aku tidak dapat bilang dia amat cantik, setidaknya... ehhh, tidak secantik engkau. Tentang kepandaiannya, tentu saja dia lihai karena dia itu adalah orang termuda dari Hoa-san Sie-eng."

"Ahhh, dia Kim-eng-cu Liem Sian Hwa...?"

"Kau sudah mengenalnya, Kim Li?"

"Siapa yang tidak tahu bahwa orang termuda dari Hoa-san Sie-eng adalah Kiam-eng-cu?" Bibir yang merah itu berjebi. "Hemmm, kukira bidadari dan kahyangan yang sakti!"

Merah muka Kwee Sin. Dia teringat bahwa Kim Li memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Liem Sian Hwa dan yang sudah jelas tidak kalah olehnya sendiri. Buktinya, Thio Sian yang lihai itu juga roboh oleh wanita ini. Menurut pengakuan Kim Li, Thio Sian dapat dibunuhnya di dalam hutan itu dan ditinggalkan begitu saja.

"Dia memang seorang gadis sederhana saja..." akhirnya dia berkata untuk mengusir rasa jengahnya.

“Jadi kau sekarang hendak pergi ke sana? Di mana sih rumah tunanganmu itu, Koko?"

"Di Lam-bi-chung. Terpaksa aku harus singgah ke sana memenuhi pesan suhu. Setelah singgah sebentar aku akan kembali ke Kun-lun."

"Bagus! Tujuan perjalananku juga melalui Lam-bi-chung. Kita bisa melakukan perjalanan bersama, Koko. Dekat sana ada Telaga Pok-yang, amat indah apa lagi pada awal musim chun (semi) seperti sekarang ini. Kwee-koko, kalau begitu, marilah kita berangkat. Aku tak akan mengganggumu, jika kau singgah di Lam-bi chung, aku akan menjauhkan diri!"

Sikap yang amat gembira dari Kim Li ini rnembuat Kwee Sin tak dapat menolak lagi. Apa lagi kalau diingat bahwa dia memang akan senang sekali melakukan perjalanan bersama gadis ini. Kalau tadi dia mengajukan keberatan, itu hanya karena dia hendak menjaga nama baik gadis itu. Maka, sekarang mendengar bahwa gadis itu pun hendak melakukan perjalanan sejurusan dengannya, dia menjadi girang bukan main.

"Li-moi, kau sebetulnya hendak pergi ke manakah?" tanyanya serius.

Akan tetapi gadis itu hanya tertawa saja, tertawa manis sambil menampar lengan Kwee Sin. "Banyak tanya mau apa sih? Lebih baik lekas berkemas dan segera berangkat!"

Kwee Sin tertawa senang melihat gadis itu berlari-lari ke belakang untuk mencari pelayan dan memberi tahu bahwa mereka hendak pergi meninggalkan losmen.

Dan memang benar dugaan Kwee Sin. Perjalanan yang dia lakukan bersama Coa Kim Li benar-benar sangat menggembirakan hatinya. Alangkah jauh bedanya dengan perjalanan yang dia lakukan seorang diri sebelum dia bertemu dengan gadis ini...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12