Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 05
Sebelum
mereka meninggalkan dusun itu, lebih dahulu Kwee Sin singgah di Sin-yang, ke
rumah Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Kim Li tidak mau turut dan hendak menanti
di luar kampung. Hal ini malah dianggap suatu kebetulan oleh Kwee Sin, karena
dia sendiri juga merasa sungkan dan malu terhadap kedua suheng-nya kalau mereka
ini tahu bahwa dia hendak melanjutkan perjalanan bersama seorang gadis cantik.
Bun Si Teng
dan Bun Si Liong yang sudah sembuh, merasa gembira dan lega melihat munculnya
Kwee Sin. Tadinya dua orang suheng ini merasa amat khawatir karena sudah
beberapa hari sute ini tidak muncul.
Bun Si Teng
malah sudah menyusul ke dalam hutan dan dapat dibayangkan betapa kaget dan
herannya ketika di tengah hutan itu dia mendapatkan mayat Thio Sian ditangisi
oleh seorang anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun! Selagi dia
terlongong dan heran karena tidak melihat sute-nya di dekat tempat itu,
terdengar suara keras, disusul berkelebatnya bayangan tinggi besar dan di lain
saat, mayat bersama gadis cilik itu telah lenyap dari situ.
Bun Sin Teng
kaget dan berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan. Akan tetapi dia
hanya melihat dari jauh seorang hwesio tinggi besar memondong gadis kecil itu
sambil mengempit mayat Thio Sian, berjalan dengan langkah lebar akan tetapi
cepat bagaikan terbang!
Melihat
tangan kiri hwesio itu memanggul sebatang dayung, Bu Si Teng menjadi pucat
karena dia pernah mendengar tentang seorang sakti yang menjadi orang nomor satu
di dunia timur, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Apa betul pertapa yang
puluhan tahun tak pernah turun gunung itu sekarang tiba-tiba muncul di situ?
Setelah
mendengar cerita Kwee Sin yang sudah berhasil merobohkan Thio Sian dengan
pertolongan seorang nona pendekar yang bernama Coa Kim Li, dua orang saudara
Bun itu menarik napas lega.
"Sungguh
sayang sekali bahwa kita dihadapkan dengan kenyataan yang mengecewakan dan amat
pahit. Pek-lian-pai yang tadinya kita anggap sebagai perkumpulan orang-orang
gagah yang berjiwa patriotik, kini ternyata hanyalah merupakan perkumpulan
orang-orang jahat belaka. Sute, kau harus memberi laporan yang jelas kepada
suhu, agar orang tua itu tenang hatinya dan tidak akan menyalahkan kita kalau
kita tidak membantu Pek lian-pai," kata Bun Si Teng kepada sute-nya.
Setelah
menyatakan bahwa dia hendak lekas-lekas kembali Kun-lun-pai sesudah singgah di
Lam-bi-chung seperti yang dipesankan suhu-nya, Kwee Sin pergi meninggalkan
dusun Sin-yang, berjalan cepat sekali keluar kampung untuk menjumpai sahabat
barunya, nona Coa Kim Li. Akan tetapi dia menjadi kaget dan kecewa, juga
gelisah karena tidak melihat nona itu yang tadi duduk menantinya di bawah
sebatang pohon.
"Aduh,
celaka ke mana dia? Jangan-jangan aku sudah dia tinggalkan. Jangan-jangan dia
kesal karena aku tadi terlalu lama di rumah suheng..."
la duduk di
bawah pohon itu dengan kening berkerut. Mendadak terdengar suara ketawa dari
belakang pohon. Kwee Sin cepat melompat dan menengok, wajahnya lantas berseri
dan matanya bersinar-sinar.
“Kim
Li...!" Saking girangnya melihat nona itu ternyata tidak pergi
meninggalkannya, Kwee Sin memegang kedua lengannya dan hampir saja dia
merangkulnya.
Kim Li
tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
"Kwee-koko,
kenapa kau tadi bermuram di bawah pohon?" Kim Li menggoda.
"Kukira
kau telah pergi meninggalkan aku."
“Ehh, jadi
kau sedih kalau kutinggalkan?”
"Sedih...?
Tentu saja... ehh, aku... aku..." Kwee Sin baru merasa bahwa tanpa disadarinya
dia telah kena umpan sehingga perasaan hatinya sudah dipancing keluar.
Kim Li
tertawa, menarik lengan Kwee Sin dan berkata, "Sudahlah, hayo kita
melanjutkan perjalanan."
Kwee Sin
tersenyum-senyum, membiarkan saja tangannya digandeng sehingga mereka berdua
berjalan sambil bergandengan tangan, bagai sepasang kekasih. Tanpa dia sadari,
Kwee Sin sudah mulai roboh, masuk ke dalam perangkap yang dipasang gadis cantik
itu. Terlalu pandai Kim-thouw Thian-li memikat dengan wajahnya yang cantik
ataukah terlalu hijau Kwee Sin dalam menghadapi kelihaian siasat wanita cantik?
Dengan
melalui perjalanan yang penuh kegembiraan bagi Kwee Sin, kegembiraan hidup yang
baru kali ini dia rasakan, akhirnya mereka tiba di Telaga Pok-yang. Mereka
berdua, seperti sepasang pengantin baru, berpesiar naik perahu di telaga ini.
Sering kali
Kwee Sin terheran-heran melihat bahwa gadis ini ternyata memiliki pengaruh
besar di mana-mana. Pada waktu hendak memasuki daerah telaga, tampak
serombongan tentara yang mencegat para pelancong, lalu memeriksa dengan teliti.
Memang daerah ini terkenal sebagai daerah para tokoh pemberontak, maka
pemerintah Mongol mengadakan penjagaan yang teliti. Akan tetapi ketika mereka
ini melihat Coa Kim Li, mereka memberi hormat dan tidak mengganggu gadis itu
bersama Kwee Sin.
Dalam
keheranannya, Kwee Sin bertanya apa sebabnya gadis ini seakan-akan memiliki
kekuasaan. Namun Kim Li hanya tersenyum dan berkata, "Cacing-cacing tanah
macam mereka masih dapat mengenal orang baik-baik, itu masih untung. Andai kata
tadi mereka berani mengganggu kita berdua, apakah mereka akan dapat hidup terus
dengan kepala menempel di leher?"
Karena
pandainya Kim Li menjawab dan menyimpan pertanyaan, pandainya ia merayu, Kwee
Sin tidak mendesak lebih jauh. Mereka berpesiar sampai puas di Telaga Pok-yang
yang amat indah itu. Sama sekali Kwee Sin tidak tahu bahwa gerak-geriknya di
telaga ini diketahui oleh calon mertuanya, Liem Ta ayah Liem Sian Hwa!
Dan seperti
sudah dituturkan di bagian depan, Liem Ta pulang sambil marah-marah dan
menyatakan di depan puterinya bahwa pertunangan dengan Kwee Sin diputuskan!
Pada saat
Kwee Sin menyatakan keinginannya kepada Kim Li untuk menengok ke dusun
Lam-bi-chung, ke rumah calon isterinya, Kim Li tersenyum pahit dan berkata,
"Guru adalah setingkat dengan ayah, kata-katanya harus ditaati. Engkau
hendak mentaati pesan gurumu, pergilah kau singgah ke rumah keluarga Liem. Akan
tetapi aku tidak bisa ikut pergi ke sana. Selamat berpisah, Kwee-koko. Harap
engkau tidak melupakan Coa Kim Li!" Setelah berkata demikian, sekali
meloncat gadis itu lenyap dari depan Kwee Sin.
Pemuda ini
menyesal sekali dan hendak mengejar, akan tetapi dia maklum bahwa tidak mungkin
dia mengejar Coa Kim Li yang berkepandaian lebih tinggi dari padanya. Dengan
kecewa, kehilangan kegembiraan dan malas-malasan, kemudian dia pergi seorang
diri ke Lam-bi-chung.
Karena masih
mengharapkan untuk dapat melihat Kim Li kembali ke Po-yang, dia tidak
meninggalkan telaga itu sebelum menanti sampai tiga hari. Ia baru pergi ke
Lam-bi-chung setelah pada hari ke empat dia masih belum melihat kembali Kim Li.
Dengan hati berat dia berjalan ke dusun Lam-bi-chung untuk menengok rumah Liem
Sian Hwa.
Akan tetapi,
apa yang dia dapatkan di rumah itu? Rumah yang tertutup dan tidak ada
penghuninya. Masih ada tanda-tanda berkabung di depan pintu rumah kosong itu.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika dia mendapat keterangan dari
para tetangga bahwa calon mertuanya, Liem Ta, telah didatangi penjahat dan
terbunuh ketika Liem Sian Hwa sedang pergi!
Sudah
dituturkan di bagian depan bahwa Liem Sian Hwa menyusul ke Pok-yang untuk
membuktikan dengan mata kepalanya sendiri penuturan ayahnya tentang Kwee Sin
dan seorang wanita. Sayang bahwa dia tidak bertemu dengan dua orang itu dan
ketika dia pulang, ayahnya sudah terluka dan tewas.
Kita kembali
kepada Kwee Sin yang menjadi kaget dan berduka sekali. Dia mendapat keterangan
lagi bahwa sesudah kematian ayahnya, Liem Sian Hwa lalu pergi bersama seorang
laki-laki gagah perkasa yang disebut suheng-nya. Kwee Sin dapat menduga bahwa
Liem Sian Hwa tentulah pergi bersama seorang di antara tiga orang suheng-nya,
yakni orang-orang dari Hoa-san Sie-eng.
"Betapa
pun juga, aku harus mencarinya," pikir Kwee Sin. "Kasihan sekali Sian
Hwa, aku harus menyatakan penyesalanku dan menghiburnya."
Dalam
berpikir demikian ini dia membayangkan wajah Sian Hwa. Akan tetapi heran sekali
wajah gadis itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah Kim Li yang
tersenyum-senyum dan membujuk rayu! Cepat dia mengerahkan tenaga mengusir wajah
Kim Li dan pipinya menjadi kemerahan.
“Ahh, kalau
saja tidak berlambat-lambat dengan Kim Li dalam perjalanan, kalau aku dapat
datang di Lam-bi-chung beberapa pekan lebih dulu, kiranya aku akan dapat
mencegah terjadinya pembunuhan atas diri calon mertuaku!” pikirnya.
Makin berat
rasa hati Kwee Sin ketika dia melanjutkan perjalanan meninggalkan Lam-bi-chung.
Tadinya dia sudah merasa kecewa dan murung karena Kim Li meninggalkannya secara
demikian saja tanpa memberi tahu di mana dan kapan dia dapat bertemu kembali
dengan gadis itu. Sekarang di tambah lagi dengan peristiwa menyedihkan yang
menimpa keluarga calon isterinya, hati Kwee Sin menjadi sedih dan dia lalu
mengambil keputusan untuk kembali saja ke Kun-lun-san.
Pada suatu
senja dia sampai di luar kota Leng-ki. Di jalan itu sunyi sekali, tidak tampak
seorang pun manusia. Kwee Sin berjalan dengan kepala tunduk. Dalam beberapa
hari ini wajahnya nampak kurus dan agak pucat.
Tiba-tiba
dia mendengar ada benda menyambar ke arahnya. Sebagai seorang jago muda yang
berkepandaian tinggi, keadaan tubuh pemuda ini selalu dalam keadaan siap siaga.
Cepat dia miringkan tubuhnya dan tangannya otomatis menangkis, menyampok
sambaran benda itu.
Sebelum
melihat ke arah benda yang dapat dia pukul jatuh, dia trengginas melompat ke
arah dari mana benda tadi menyambar, matanya tajam mencari-cari. Akan tetapi
tidak terlihat seorang pun manusia di sekitar tempat itu yang sudah mulai gelap
itu.
Kini
perhatiannya ditujukan ke arah benda yang menyambarnya tadi. Benda itu segumpal
kertas. Ketika dia memungutnya, ternyata kertas yang digumpal-gumpal itu berisi
tulisan singkat, tulisan tangan yang halus dan berbunyi:
PERGILAH KE
LOSMEN KECIL MALAM INI.
Tak ada
tanda-tanda yang dapat dia kenal pada kertas itu, entah siapa yang menulisnya.
Akan tetapi ketika hidungnya mencium wangi harum pada kertas itu, hatinya
berdebar penuh harapan. Harum kertas itu mengingatkan dia akan diri Coa Kim Li!
Pergi ke losmen kecil? Losmen manakah?
Kwee Sin
memandang ke depan. Di depan itu terdapat sebuah kota kecil, tentu di situlah
yang dimaksudkan adanya losmen kecil. Mengapa ke situ? Menemui siapa? Timbul
pula harapannya.
Tentu Coa
Kim Li berada di losmen itu. Akan tetapi kenapa meninggalkan pesan supaya dia
malam ini juga harus pergi ke sana? Kalau gadis itu betul-betul berada di sini,
kenapa tidak langsung menemuinya?
Akan tetapi,
jawaban atas semua pertanyaan ini yang merupakan kenyataan apa yang dia
dapatkan di losmen kecil dalam kota Leng-ki, benar-benar di luar dari pada
dugaannya semula. Dia mendengar bahwa tunangannya, Liem Sian Hwa, bersama Kwa
Tin Siong orang tertua dari Hoa-san Sie-eng sedang berada di losmen itu!
Timbul juga
kegembiraannya untuk menjumpai tunangannya dan pendekar Hoa-san-pai ini, akan
tetapi diam-diam dia menaruh hati curiga. Apa maksudnya surat yang dia terima
secara aneh di tengah jalan tadi? Siapakah si pengirim surat itu? Apakah Kwa
Tin Siong dan Liem Sian Hwa? Kalau memang mereka ini, tidak aneh karena dia
maklum bahwa jago-jago Hoa-san-pai memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi apa
maksudnya? Dengan cara yang penuh rahasia itu tentu mereka bermaksud supaya dia
mengunjungi mereka secara diam-diam dan rahasia pula.
Oleh karena
pikiran ini, Kwee Sin menunggu sampai datangnya malam yang sunyi dan secara
rahasia dia mendatangi losmen, langsung mencari jalan melalui taman bunganya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya pada saat
dia menyaksikan adegan yang membuat darahnya mendidih.
la melihat
Liem Sian Hwa terisak-isak berada dalam pelukan Kwa Tin Siong. Api cemburu
membakar jantung Kwee Sin. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung
mengeluarkan sisir perak yang menjadi tanda pengikat perjodohannya dengan Liem
Sian Hwa, kemudian dia melemparkan sisir perak itu ke arah dua orang yang
sedang berpelukan di taman. Setelah itu dia meloncat dan pergi menghilang di
dalam gelap.
Dengan hati
makin berat dan penuh kedukaan, penuh kekecewaan, Kwee Sin pada saat itu juga
meninggalkan kota Leng-ki, melanjutkan perjalanannya menuju ke Kun-lun-san. la
tidak beristirahat malam itu, semalam penuh dia terus saja berjalan, dalam
hatinya penuh penyesalan.
Selagi dia
berjalan sambil melamun di atas jalan raya yang sunyi, di waktu malam mulai
berganti fajar, dia mendengar suara kaki banyak kuda berlari cepat dari arah
belakang. la cepat minggir dan berdiri memandang.
Tujuh ekor
kuda dengan para penunggangnya berlari cepat sekali dan sebentar saja telah
melewatinya. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan gagah, yang tiga orang
berbaju putih. Seorang yang melarikan kuda paling depan adalah seorang wanita
cantik dan juga gagah. Hanya sekejap saja mereka melewati jalan itu, akan
tetapi di dalam cuaca yang remang-remang itu Kwee Sin masih dapat mengenal
wanita tadi.
"Kim
Li...!" teriaknya. Akan tetapi teriakannya tertelan oleh derap kaki kuda.
Betapa pun
juga dia masih sempat melihat wanita itu menoleh dan tersenyum ke arahnya, lalu
makin membalapkan kudanya tanpa memberi isyarat sesuatu.
Kwee Sin
penasaran. Tidak mungkin salah lagi, wanita itu tentulah Kim Li. Tidak saja dia
mengenal wajah yang cantik itu, mata yang tajam bersinar, akan tetapi ia pun
mengenal baik-baik senyum manis Kim Li, senyum yang selama ini menjatuhkan
hatinya. la lantas melupakan kelelahan dan kesedihannya, mempercepat larinya
dan mengejar ke arah para penunggang kuda yang makin lama semakin jauh itu.
Sepertl
telah dituturkan di bagian depan, Kwee Sin akhirnya memasuki dusun Kui-lin di
tepi Sungai Yang-ce, dan dia sempat mencegah Coa Kim Li atau Kim-thouw Thian-li
yang hendak membunuh Tan Hok.
Demikianlah
keadaan Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun Sam-heng te, dan bagaimana dia
sampai dapat berkenalan dengan Kim-thouw Thian-li yang dia kenal sebagai gadis
Coa Kim Li yang gagah perkasa, cantik jelita, dan menarik hatinya….
***************
Kita kembali
ke warung arak Phang Kwi di mana Kwee Sin bertemu kembali dengan Kim Li. Setelah
mencegah Kim Li membunuh Tan Hok, Kwee Sin bagai seekor kerbau menurut saja
dituntun oleh Kim Li duduk menghadapi meja dan menerima hidangan dari Phang Kwi
yang nampaknya takut sekali terhadap Kim Li.
"Minumlah,
Koko, minumlah arak ini dan bergembiralah. Setelah aku kembali berada di
sampingmu, tak perlu kau bermuram durja lagi. Wanita tidak setia seperti dia
itu lebih baik kau lupakan saja." Kim Li membujuk sambil mengisi penuh
cawan arak di depan Kwee Sin, lalu mengangkat cawan itu diberikannya kepada
Kwee Sin. Sikapnya amat menarik, matanya memandang penuh kasih dan mulutnya
tersenyum-senyum manis.
Kwee Sin
melengak. “Kau sudah tahu...?”
Kim Li
mengangguk dan baru ia melihat bahwa gadis itu sekarang membawa golok tipis
kecil yang terselip di punggungnya, selendang merah yang harum indah itu
tergantung di ikat pinggang. Bajunya berkembang terbuat dari sutera mahal yang
indah dan mencetak tubuhnya. Rambutnya yang panjang hitam digelung rapi,
dihiasi setangkai bunga teratai yang sangat aneh warnanya, karena ada merahnya,
ada putihnya, ada biru, kuning dan kehijauan, terbuat dari mutiara-mutiara
pilihan. Nampak cantik jelita dengan pipinya yang merah.
"Kalau
begitu... kau pula agaknya yang mengirim surat kepadaku...?"
Kembali Kim
Li mengangguk. "Melihat bahwa wanita pilihan gurumu itu tidak patut
menjadi pendampingmu selama hidup, aku tidak tega mendiamkan begitu saja. Aku
merasa kau perlu mengetahui dengan mata kepala sendiri."
"Kenapa
kau berlaku secara rahasia, tidak langsung menjumpai aku?"
Kim Li
memegang lengan Kwee Sin dengan sentuhan mesra. "Aku khawatir kalau aku
muncul, kau mengira aku cemburu."
Kwee Sin
menarik napas panjang dan Kim Li kembali membujuk, "Sudahlah, Koko, kau
lupakan saja dia. Setelah kita berkumpul lagi, mengapa susah-susah? Mari
minum!"
Karena
hiburan serta sikap manis dari gadis ini, Kwee Sin terhibur juga dan tidak lama
kemudian dua orang itu sudah minum sepuas-puasnya sambil bertukar pandang penuh
cinta kasih, malah Kwee Sin telah bangkit kembali kegembiraannya, mau melayani
senda gurau wanita itu.
Baik Kwee
Sin mau pun Kim Li sama sekali tak pernah mengira bahwa semua perbuatan mereka
semenjak tadi sudah diintai orang. Setelah mendapat pertolongan dari Kwee Sin,
dan walau pun kelihatannya tadi sudah pergi, akan tetapi diam-diam Tan Hok
merayap datang kembali secara diam-diam.
Dia amat
sakit hati terhadap Kim-thouw Thian-li yang sudah membunuh Tan Sam, akan tetapi
ia juga amat berterima kasih kepada Kwee Sin yang telah menolongnya. Alangkah
kecewa, marah, dan menyesalnya ketika dia melihat betapa Kwee Sin yang sekarang
dia tahu dari namanya ternyata seorang jago muda gagah perkasa dari Kun-lun-pai
itu, jatuh hati kepada Kim-thouw Thian-li.
Pemandangan
yang dia lihat di dalam warung arak itu membuat hatinya menjadi jemu dan
kesedihannya timbul. Tadinya dia hendak mengharapkan bantuan dari Kwee Sin,
kiranya pemuda Kun-lun-pai itu sudah bertekuk lutut di bawah kaki Kim-thouw
Thian-li, tak kuasa menentang kecantikan wanita berbahaya itu! Dengan hati
sedih Tan Hok malam-malam pergi dari tempat itu. Matanya yang biasanya sayu itu
kini menjadi basah air mata.
Sejak kecil
Tan Hok tidak pernah mengenal orang tuanya, hidup sebatang kara. Setelah Tan
Sam memungutnya, barulah dia mengenal sedikit kesenangan hidup. Sekarang Tan
Sam tewas dan dia tidak berdaya membalas dendam. Meski pun Tan Hok menjadi
murid dan kawan Tan Sam yang menjadi tokoh Pek-lian-pai dan luas pengalamannya,
namun pemuda ini memang pada dasarnya bodoh dan jujur, malah hatinya penuh oleh
kedukaan yang dideritanya semenjak kecil.
Bagaikan
sebuah layangan putus talinya, tanpa pegangan tanpa tujuan, Tan Hok berjalan ke
mana saja kakinya bergerak. Kadang-kadang dia menangis tanpa suara, kadang kala
dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil….
***************
Di masa itu
kehidupan rakyat jelata di Tiongkok amat sengsara. Keadaan pemerintahan
kacau-balau, para pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa peduli
akan keadaan rakyat sama sekali. Pembesar-pembesar saling memperebutkan
kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan kemuliaan
duniawi.
Pemerintah
penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah,
yang kaya raya menggunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang
berkuasa mempergunakan kedudukannya untuk mencekik si kecil.
Rakyat yang
terkekang oleh belenggu penjajahan bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan
perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang
menderita. Semua ini ditambah lagi dengan datangnya musim kering yang sangat
hebat sehingga kelaparan merajalela.
Di sebelah
utara Propinsi Shen-si rakyat amat menderita oleh panjangnya musim kering.
Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah tidak mungkin dapat ditanami.
Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, telaga-telaga kelihatan dasarnya,
pohon-pohon kehilangan daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan
makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan.
Rakyat pun
menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap
hari orang bersembahyang, minta hujan, minta perlindungan, minta-minta dengan
ratap tangis yang tak berdaya. Namun di lain tempat, di kota-kota besar, para
pembesar dan hartawan berpesta pora. Mereka seakan-akan berlomba menghamburkan
arak dan gandum, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat
kepada Tuhan!
Sayang,
Tuhan hanya dijadikan sebagai tempat pelarian bagi mereka yang menderita.
Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan
pertolongan dari kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam
keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa sama
sekali bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusialah
yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka
kehilangan Tuhan.
Bagaikan
orang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih
terang, kemudian kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor di kala malam gelap
tiba.
Penduduk di
daerah kering ini sudah banyak yang meninggalkan kampung halaman, dan
berbondong-bondong mengungsi ke selatan di mana daerahnya lebih mendingan apa
bila dibandingkan dengan daerah utara.
Akan tetapi
sungguh patut dikasihani para petani miskin ini. Di daerah baru mereka justru
dianggap sebagai pengganggu. Mereka itu baru bisa mendapatkan sekedar pengisi
perut setelah tenaga mereka diperas melebihi tenaga kuda. Tidak heran apa bila
dusun-dusun di utara ini banyak yang kosong ditinggalkan penduduknya sehingga
merupakan daerah mati.
Pada suatu
pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah
dusun yang cukup besar. la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap,
banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan penduduknya. Ia sudah merasa lapar
sekali, akan tetapi tidak melihat sebuah pun rumah makan.
Pemuda ini
bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu agaknya sudah
pergi ke sawah, maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk
menemui penduduk dan minta diberi makan. Tetapi apa yang dia lihat di sawah
membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap.
Tiba-tiba
dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang
menggeletak di sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang-orang
yang mati kelaparan, bahkan ada yang sudah berbau busuk. Dengan hati cemas
ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah sawah di
mana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini
berdiri seperti patung, matanya terbelalak memandang penglihatan di tengah
sawah yang tanahnya mengering itu.
Di sana, di
tengah sawah, dia melihat seorang kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tak
karuan, jelas bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus bukan
main, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti
tengkorak hidup. Dengan dua tangannya kakek ini menggenggam tanah kering dan
berteriak-teriak.
"Thian
(Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta
tolong kalau Kau sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap
penderitaanku?" Dia menangis terguguk-guguk, kemudian matanya menjadi
beringas dan tiba-tiba saja dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha!
Ibu tanah... kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau
yang mengeluarkan air. Sekarang engkau tidak mau memberi air dan makanan, apa
salahnya kalau aku memakan kau? Ha-ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari
tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut!"
Sambil
tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh
amat menyayat hati melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan
kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air mata.
Mulutnya
sudah mengering karena dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu,
membuat dia tercekik, terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke
darat. Dia memegangi leher, memekik-mekik, berputaran lalu jatuh berkelojotan!
Tan Hok
cepat lari menghampiri dan... dia melihat kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek
itu mati dengan mata melotot lebar, dan mulut yang penuh tanah kering itu
ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan menutupi mukanya, tak terasa
air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
"Thian
Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini masih harus
menyaksikan ini semua...?"
la berlutut
dekat mayat kakek itu dan menangis. Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu
digalinya lubang di sawah itu dan dikuburnya mayat kakek tadi.
"Kakek,
mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini...," doanya.
Kemudian
pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat lainnya yang menggeletak di tepi
jalan. Selagi dia mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras
dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke arahnya.
Mereka itu
membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam
mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.
"Siluman
pemakan bangkai!"
"Bikin
mampus iblis jahat ini!"
Belasan
batang senjata bagai hujan datang menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi
terheran-heran. Akan tetapi, sekali sampok saja dengan lengannya yang besar dan
penuh tenaga itu, semua senjata lalu terpental dan terlempar disusul
teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan
terhadap orang-orang ini, yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang
mirip setan-setan kelaparan.
"Kalian
ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?" tanya Tan
Hok dengan suaranya yang menggeledek.
"Kaulah
setan pemakan bangkai!" seorang di antara mereka memberanikan diri memaki.
"Aku
tak pernah makah bangkai!" jawab Tan Hok.
Orang-orang
itu memandang penuh perhatian, agak ragu-ragu. "Habis, mayat-mayat tadi
kau apakan?"
"Aku
kubur mereka. Kalian lihat, ini yang terakhir." la menuding ke arah lubang
yang dia gali di mana mayat terakhir telah dia masukkan.
Orang-orang
itu lalu melongok ke dalam lubang. "Apa tubuhnya masih utuh? Apa tak ada
bagian yang dimakannya?" Demikianlah mereka bertanya-tanya.
Ketika
melihat bahwa mayat itu memang masih utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan
diri berlutut, ada yang menangis dan ada pula yang minta ampun.
Seorang
kakek yang mengepalai mereka lalu berkata, "Orang muda yang gagah, harap
ampunkan kami sekalian. Kami telah salah sangka..."
”Kasihan
kami orang-orang kelaparan...," kata orang ke dua.
Tan Hok
menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel, "Kalian ini orang-orang
gendeng, mengganggu saja!"
Dia lalu
lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu
tanpa diperintah membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak
kuat untuk dipakai bekerja berat.
Kakek yang
memimpin rombongan ini berkata, "Sudah banyak teman kami mati kelaparan
dan sepekan yang lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking
tidak kuat menahan laparnya. Kami klra kau itulah orangnya..."
Tergerak
juga hati Tan Hok mendengar ini, meski pun dia tidak dapat mengerti mengapa
orang-orang itu sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai
orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri ada orang makan tanah.
"Kalau
kalian kelaparan, kenapa tidak makan?”
Orang-orang
itu saling pandang, kemudian mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan
heran. Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, kakek tua itu menarik
napas panjang dan berkata,
"Orang
muda, kau menyuruh kami makan, tetapi apa yang dimakan? Musim kering terlalu
hebat, tanah menjadi kering, semua tanaman habis. Yang mempunyai simpanan
gandum hanyalah pembesar-pembesar dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti
kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi ke selatan, hanya
kami yang tak punya apa-apa terpaksa tinggal di sini."
"Jadi
ada pembesar dan orang kaya di sini?"
"Pembesar
sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Tapi yang paling kaya dan
paling kikir adalah Kwi-wangwe (hartawan Kwi), tuan tanah terkaya di
sini."
"Kenapa
tidak minta makan padanya?"
"Uuuhhh
minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja
tidak mau memberi. Kami bahkan diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya,
anjing kaki empat dan kaki dua."
"Ada
anjing kaki dua?" Tan Hok benar-benar terheran.
Kembali
orang-orang itu saling pandang. Agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang
muda yang tinggi besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi
kekurangan otak.
"Orang
muda, Kwi-wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia
dilindungi oleh tukang-tukang pukulnya. Malah semua pembesar di kota-kota yang
berdekatan juga melindunginya. Siapa berani terhadapnya?"
"Hemmm,
aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she
Kwi itu. Aku akan paksa dia keluarkan makanan untuk kita."
Bangkit
semangat orang-orang itu. Mereka sudah tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah
seorang yang kuat dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak
bodoh.
"Orang
muda, penjagaan di rumah Kwi-wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?"
Kakek itu masih mencoba untuk menakutinya.
"Aku
Tan Hok tak kenal takut. Mendiang suhu bilang bahwa orang tidak perlu takut
kalau membela si lemah dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya
berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil namanya. Mari, antarkan
aku!"
Sikap dan
ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu, dan
rombongan ini lalu menuju ke rumah Kwi-wangwe. Di sepanjang jalan yang sunyi
rombongan ini terus bertambah besar dan akhirnya semua sisa penduduk dusun itu
yang berjumlah dua puluh orang lebih berada di dalam rombongan.
Orang-orang
yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya sesudah mereka dibela
oleh pendekar muda Tan Hok. Betapa pun juga, setelah mereka sampai di depan
gedung besar milik Kwi-wangwe, gedung dan pagar tembok yang tinggi tebal, dan
melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar tembok,
keberanian mereka mendadak lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang
Tan Hok.
Melihat
sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok. "Hayo kalian maju dan
nyatakan kehendak hati kalian. Takut apa?" serunya.
Kakek tadi
bersama dua orang temannya lalu memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.
"Anjing-anjing
kelaparan, mau apa kalian ribut-ribut di sini?!" bentak seorang tukang
pukul sambil melintangkan toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali.
"Kami
hampir mati kelaparan...," kata kakek itu merendah, "Kami hendak
mohon belas kasihan Kwi-wangwe, mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung
nyawa..."
"Pengemis-pengemis
kelaparan, pergi kalian! Kwi-wangwe mana ada waktu buat melayani kalian? Sedang
ada tamu agung dan sibuk. Pergi!"
"Kasihanilah
kami... biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan
tenaga...," kakek itu mendesak.
"Setan,
tidak lekas pergi?!"
Empat orang
tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan toya
menerjang maju. Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan
ketika para petani itu dipukul. Percuma saja mereka mencoba melawan karena
mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang pukul ini,
apa lagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.
"Kejam
sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang."
Tan Hok
melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang
tukang pukul itu langsung roboh. Toya mereka ada yang patah dan ada pula yang
terlempar jauh.
Bukan main
kaget hati mereka. Apa lagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka
begitu mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.
"Tolong...
ada pengacau...!" Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun.
Berbondong-bondong
dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah di antara mereka ada
yang berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa
golok, toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka berlari menyerbu
keluar.
Para petani
yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan amat mudahnya Tan Hok
merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik
menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Tan Hok
sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan
suaranya yang keras, "Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang
kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!"
Tentu saja
para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok.
Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke
arah tubuh tinggi besar itu, namun segera terdengar teriakan-teriakan
mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau.
Para
pengeroyok sibuk menyerang Tan Hok dari empat penjuru, namun pemuda gagah
perkasa ini selalu bisa melindungi tubuhnya dari ancaman senjata dengan jalan
mengelak atau menangkis. Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan
balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat semakin banyak
tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk
dengan senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung Kwi-wangwe itu.
"Saudara-saudara,
Tan-enghiong dikeroyok ketika membela kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam
saja? Hayo bantu!" Kakek petani berseru keras.
Memang
keberanian para petani itu mulai timbul setelah melihat betapa gagahnya Tan Hok
melawan para tukang pukul.
"Betul...
betul... hayo bantu Tan-enghiong...!"
Puluhan
orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para
tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan
diri sendiri. Yang dipukul jatuh, langsung bangkit lagi dan melawan penuh
kenekatan.
Mendapat
bantuan ini, tentu saja Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya lantas
mengamuk dan satu demi satu para tukang pukul dapat dia robohkan.
Pada saat
itu pula, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru, "Mundur
semua, biarkan Giam-siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!"
Itulah suara Kwi-wangwe.
Mendengar
perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh
teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok lalu memandang ke
dalam.
Mereka
melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang
berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di
anak tangga sambil memandang ke luar. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang
aneh.
Muka pemuda
ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang
tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada
matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling
ular.
Pada saat
itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa.
"Kwi-wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik
hati."
Bocah
laki-laki belasan tahun itu kemudian mengangkat sulingnya, ditiupnya suling
itu. Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang
samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. Tan Hok
yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling
itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat!
"Ular...!
Ular...!" Para petani berteriak-teriak ketakutan.
Tan Hok
kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular
merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan.
Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin ular-ular yang terdekat di tempat
itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor
ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.
Pada saat
ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil
menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu
pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan tiba-tiba
saja ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah, lalu menyerang para petani.
Segera
terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para
petani mencoba melawan, namun sia-sia karena jumlah ular terlampau banyak.
Melihat ini
Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka
orang muda ini menyambar sebatang toya, kemudian menerjang rombongan ular itu.
Dia menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala ular.
Akan tetapi
ular itu terlampau banyak dan tidak mungkin dia dapat melindungi dua puluh
lebih orang bernasib malang yang diserbu ular-ular itu. Apa lagi di antara
ular-ular itu, juga banyak terdapat ular-ular kecil berbisa yang amat gesit.
Sekali pagut saja ular-ular seperti ini mematikan korbannya.
Melihat
betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah
meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, maka makin
ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah
roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.
"Iblis
kecil berhati keji!"
Tan Hok
membalik tubuh dan melompat dengan toya di tangan, menyerang bocah kecil
penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah
sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh
besar dari utara yang amat jahat.
Serangan
dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba
Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka
Tan Hok. Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok
sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan toya yang dipegang di
tangan kanan.
Akan tetapi
sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan sambil
melempar toyanya, kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah
menggigit tangan kirinya. Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh
tubuhnya.
Sekali remas
saja hancur luluhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit
yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambii memekik-mekik Tan Hok
memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.
"Ha-ha-ha-ha,
orang sombong itu tidak akan waras lagi otaknya, dia sudah terkena racun
Kim-tok-coa (Ular Racun Emas)!" Giam Kin tertawa bergelak kemudian meniup
sulingnya lagi.
Ular-ular
yang tadinya sedang berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang
lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada
seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan
mayat para petani yang malang melintang.
Kwi-wangwe
beserta kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap
orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang amat
menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwi-wangwe mempersilakan Giam Kin masuk ke
dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihkan
halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani….
***************
Tan Hok
berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biar
pun dia sudah terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat
berlari cepat sampai puluhan li jauhnya. Akan tetapi akhirnya dia terguling
roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan.
Matahari
dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak
berdaya, seolah-olah hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning
keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok
menjadi merah kehitaman, apa lagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi
hitam seperti hangus terbakar.
Pada saat
itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi,
terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang
bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini.
Setelah
kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan
tahun usianya. Pakaiannya compang-camping, lebih patut menjadi pakaian seorang
jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih.
Betapa pun
juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang
berkulit aneh, yaitu berwarna kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang
matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam,
malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna
kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik
ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia.
Apa lagi
kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh! Nyanyiannya saja sudah tidak
karuan, iramanya pun bukan nyanyian, lebih pantas disebut ocehan orang gila
atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia
bernyanyi,
Heh perut
berhentilah merengek!
Tidak
malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja
keras tak pernah mengeluh
Kau tiada
guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu
hanya merengek minta diisi!
Kata-kata
aneh ini dia nyanyikan di sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang
kayu yang dipegang oleh kedua tangannya untuk membuat irama nyanyiannya yang
tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang
luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun
padat berisi dan kuat. Bocah ini bukan lain adalah Beng San.
Seperti
sudah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan
sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-ho yang tak tahu akan nama
keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan mendapat
Ilmu-ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo dimaksudkan
untuk memperbesar daya hawa ‘Yang’ dalam tubuh anak ini dan membunuhnya. Akan
tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan
malah menyelamatkan nyawa Beng San dari hawa pukulan Jing-tok-ciang dari Koai
Atong.
Kemudian
secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan
The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini
menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa
Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan dari The Bok Nam,
dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yang-sin-kiam.
Ada pun
Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu
Im-yang Sin-kiam yang merupakan pecahan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, yaitu
ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar
Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima
ratus tahun yang lalu.
Ilmu Im-yang
Sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira
secara tidak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng
San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal
betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah mempunyai ilmu yang
hebat. Anak ini hanya tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi
kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dari
perasaan panas atau dingin di tubuhnya.
Setiap kali
dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya akan
mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa ‘Im’ secara
otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi
kehijauan. Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah
merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa ‘Yang’ di tubuhnya bekerja.
Hanya apa
bila hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini,
tanpa dia sadari, apa bila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis
berubah merah kehitaman, sebaliknya apa bila dia merasa gembira, wajahnya
menjadi hijau!
Pada saat
itu hawa udara amat panasnya, maka tak heran kalau muka anak ini menjadi
kehijauan, tanda bahwa hawa ‘Im’ otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa
lapar sekali, sejak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi,
pepohonan gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil
bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.
"Ehh,
mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat aku
kubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!" Beng San mengomel
ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah.
Memang,
seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak hari kemarin melihat banyak
mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil
Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-filsafat kuno tentang peri kebajikan
dan peri kemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, hatinya
merasa tidak tega dan dia pun mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur
secara sederhana.
Dengan hati
agak kesal karena perutnya lapar dan selalu bertemu mayat, Beng San lalu
menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok
yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan
Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,
"Sayang...
sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati
di sini. Anehnya, orang mati kelaparan mengapa badannya masih tegap dan besar
seperti ini? Aneh...aneh..."
Namun Beng
San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia
lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat.
Orang tentu takkan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu
ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti
dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu
meter lebih dalamnya.
Melihat
tubuh tinggi besar yang masih dalam keadaan baik itu, Beng San merasa kasihan
apa bila menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalam.
Ternyata bagian bawah tanah itu merupakan tanah lempung yang kering, akan
tetapi halus dan berwarna kemerahan.
Setelah
menggali cukup dalam, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk,
mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari
seratus kilo, akan tetapi benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat
memondongnya dengan mudah.
Beng San
kaget sekali ketika merasakan betapa kulit tubuh Tan Hok amat panas. la masih
kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubuh
itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Dia menganggap
panas tubuh Tan Hok disebabkan terik sinar matahari.
Dengan
perlahan dan hati-hati Beng San lalu meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam
lubang. Mulutnya berbisik-bisik "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan
damai."
Kata-kata
ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara
menguburkan mayat.
Mendadak dia
kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya
seorang anak luar biasa yang tidak mengenal rasa takut, tentu dia akan lari
terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. ‘Mayat’ tadi
bergerak-gerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot
merah, sedangkan mulutnya berteriak-teriak.
"Lapar...
lapar...! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa
tanah sendiri tak boleh dimakan?"
Dan ‘mayat’
itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan... tanah itu dimakannya dengan
amat lahapnya.
Untuk
sejenak Beng San berdiri seperti patung, matanya terbelalak heran. Mula-mula
dia merasa ngeri juga. Akan tetapi ketika melihat betapa ‘mayat’ itu makan
tanah lempung merah dengan enaknya bagaikan orang makan daging panggang, air
liurnya memenuhi mulutnya.
Perutnya
memang amat lapar. Sekarang melihat orang makan demikian enaknya, meski pun
yang dimakan hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah,
ke arah tanah lempung yang tadi dia gali dan sekarang bertimbun di luar lubang.
Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah lempung merah
dan... membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.
"Wah,
enak..."
Dengan
terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu. Rasanya sih tidak bisa
dibilang enak, akan tetapi juga bukan tak enak, sebab tanah itu halus dan
berbau harum. Dan yang jelas, setelah memasuki perut tanah itu mendatangkan
rasa kenyang juga.
Sampai empat
gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali sebab sekarang
dia dapat mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek. Sama sekali dia tidak
tahu bahwa memang tanah lempung itu adalah sejenis tanah lempung yang halus dan
tak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat menguatkan badan.
‘Mayat’ itu
lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat yang duduk dalam lubang
kubur itu mendongak dan memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata merah.
Beng San tersenyum kepadanya dan mengangguk.
"Twako,
jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!"
Tiba-tiba
Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, kemudian tubuhnya meloncat keluar lubang
sambil berteriak geram, “Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!"
Serta merta
pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan
tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Beng San yang
kehijauan.
Semenjak
mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhu-nya, yaitu kedua kakek
Phoa Ti dan The Bok Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini
dalam pertempuran. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih
diri, mempelajar semua ilmu itu dengan teliti, namun tanpa diketahui apa
khasiatnya semua ilmu itu. Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari
pemuda raksasa yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun
otomatis gerak silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya bekerja.
"Husss,
nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukanlah urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?"
Sambil mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San
memiringkan kepalanya menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan
tangan kanannya dia angkat untuk menangkis cengkeraman tangan kiri lawannya
yang tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tangan kiri
Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San
yang kecil sehingga lima pasang jari-jari tangan saling genggam. Beng San
merasa betapa dari tangan Tan Hok mengalir hawa panas yang melebihi api. Otomatis
tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa ‘Im’ yang luar biasa kuatnya, sehingga
tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.
Hebat sekali
akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri
dengan tangan kiri mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot
kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil bagaikan orang terserang demam.
Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket dan tidak
dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang
dinginnya melebihi bukit es.
Makin lama
tubuh Tan Hok semakin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang
warnanya. Tiba-tiba ia muntahkan darah menghitam, juga dari luka di tangan
kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng San keluar darah hitam.
Tiga kali
dia muntahkan darah hitam, dan tubuh yang tadinya panas itu sekarang berubah
dingin. Matanya yang kemerahan dan liar berubah tenang.
"Aduh...
aduh... dingin...!"
Tubuh Tan
Hok yang tadinya kaku itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga
melompat mundur sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan
dalam jarak tiga empat meter, saling pandang.
Setelah
tangannya terlepas dari tangan Beng San, lenyaplah rasa dingin yang menusuk
jantung Tan Hok. Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apa lagi baru
sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada di situ.
Tiba-tiba
dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat
akan ular-ular yang tadinya mengeroyoknya. Melihat bahwa dia berada di sawah,
sedang berhadapan dengan seorang bocah bermuka hijau bermata tajam yang
memiliki tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali memandang
Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.
"Adik
kecil, kau siapakah? Setan atau manusia?"
Beng San
tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat. "Ha-ha-ha, Twako, kalau
satu di antara kita ini bukan manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia
biasa, akan tetapi kau... apakah kau bukan siluman?"
Tan Hok yang
mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini
bukanlah anak biasa. Tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya.
Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah yang telah menolong nyawanya,
yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat gigitan
ular Kim-tok-coa.
Tentu saja
di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini. Jangankan mengenai
penyembuhan yang tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang
kini telah berada di dalam dirinya saja dia tidak tahu apa artinya.
"Adik
yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?"
"Kau
aneh sekali sih! Sejak kemarin aku mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan
yang bergelimpangan di pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati
di sini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang untuk menguburmu. Eh,
tahu-tahu di dalam lubang kuburan kau hidup lagi, malah makan tanah, lalu
meloncat dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara
seperti orang waras. Orang dengan tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan
hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia."
Mendengar
hal ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat
pemuda raksasa itu bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut
duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak berkata-kata seperti dua buah patung
batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.
"Adik
yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai di
sini?"
Diberondong
pertanyaan-pertanyaan ini, Beng San tersenyum nakal, kemudian menjawab secara
memberondong pula. "Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa. Guru-guruku
sudah meninggal dan bisa sampai ke sini karena kedua kakiku berjalan."
Akan tetapi
agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah kembali bertanya dengan
sungguh-sungguh, "Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati?
Jadi kau hidup sebatang kara di dunia ini?"
Beng San
mengangguk. "Sejak dulu aku hidup sebatang kara."
"Tidak
punya tempat tinggal?"
Beng San
menggelengkan kepala.
"Ah,
adikku yang baik... sama benar nasib kita..." Tan Hok menubruk dan
merangkul Beng San sambil menangis.
Beng San
bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun ikut-ikut menangis!
Dua orang ini bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan
tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh tanah yang kehausan.
"Adik
Beng San, aku Tan Hok, dan baru saja ditinggal mati guruku..." Tan Hok
menangis sambil merangkul, "dan aku,... ehhh, celaka! Kau terkena
racun!"
Tiba-tiba
dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. "Mukamu kehijauan,
badanmu mengeluarkan hawa dingin sekali. Tentu kau sudah terkena hawa pukulan
yang mengandung racun dingin... celaka...!"
Beng San
tersenyum. "Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa."
"Betulkah?
Kau tidak merasa sakit?"
"Tidak."
"Aneh...
aneh... kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau..."
Tiba-tiba
saja dia melompat dan mukanya berubah. "Ular! Ahh, sekarang aku ingat.
Bocah siluman ular itu yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani
malang itu..."
Beng San
benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang
berubah-ubah dan aneh ini. "Siluman ular? Di mana dia?"
“Dia seorang
anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk
minta bantuan makanan dari hartawan Kwi yang kaya raya. Akan tetapi para petani
itu malah diserang oleh kaki tangannya. Aku lalu membantu dan muncullah siluman
ular, mendatangkan ratusan ekor ular yang mengeroyok para petani, Banyak yang
mati. Aku menyerang dan... aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita
harus pergi ke sana. Aku harus bunuh siluman itu!"
"Ratusan
ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!" Beng San bergidik dan kelihatan
ngeri, lalu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu
datang ke situ.
"Jangan
takut, ada aku di sini. Aku harus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo,
Adik Beng San, kau ikut atau tidak?" Tan Hok berdiri. "Kalau kau
takut, kau tinggal saja di sini, aku harus segera kembali ke dusun itu."
Tan Hok
sudah mulai lari.
"Nanti
dulu, Twako. Aku ikut!" Beng San segera mengambil dua batang ranting yang
tadi dia gunakan untuk menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.
Karena amat
bernafsu untuk segera kembali ke dusun dan membantu para petani yang dikeroyok
ular, Tan Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. Ia sampai
lupa bahwa di belakangnya ada Beng San, lupa bahwa apa bila dia berlari secepat
itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal jauh.
Setelah
berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat-cepat dia menengok.
Alangkah herannya melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi
masih berada di belakangnya.
“Ehh, kau
masih di belakangku?"
"Tentu
saja, bukankah kau mengajakku?"
Pada saat
itu Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang
memperhatikan Beng San. Dia terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke
gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.
Di depan
gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan
para petani yang dibantu seorang pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat
kaget ketika melihat pemuda raksasa yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi
oleh ‘Giam-kongcu’ itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka bersama seorang
anak laki-laki bermuka hijau.
"Anjing-anjing
keparat, hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!" Tan Hok
memaki sambil memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu
jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya. Yang lain-lain segera mencabut
senjata dan sebagian melapor ke dalam.
Sementara
itu, pada waktu melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah
bangkit amarahnya. "Di mana paman-paman tani semua? Sudah kalian bunuh,
ya? Awas, rasakan pembalasanku!"
Tan Hok lalu
mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak
berani menyerang karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok
sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul dan di dalam gedung terdengar
ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah datang
lagi mengamuk.
Mendadak
terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin
melengking tinggi dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Jantung Tan
Hok berdebar, maklum apa artinya tiupan suling itu.
Betul saja
dugaannya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali
ular menggeleser datang. Biar pun Tan Hok tidak begitu cerdik, namun karena dia
merasa jijik juga melihat banyak ular, Tan Hok kemudian berkelahi dengan cara
menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya ini bukan berdasarkan
kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu.
Akan tetapi
untung baginya, Giam Kin menjadi bingung untuk memimpin pasukan ularnya.
Bagaimana caranya ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang
berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang pukul? Baiknya setelah terjadi
keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak
tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tan Hok dapat
dibendung.
Sementara
itu, melihat demikian banyak ular yang datang melenggang-lenggok mendekati
dirinya, Beng San menjadi jijik dan takut bukan main. Dia tidak takut kalau
menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang banyak serta amat
menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.
Pada waktu
ular-ular dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar itu menyerbu ke
arahnya, Beng San segera lari sambil berteriak-teriak, "Ular...!
Ular...!"
Mendadak
tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah-tengah orang yang sedang berkelahi.
Bagaikan seekor burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang
sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya menginjak kepala orang, dia
meloncat lagi ke sana ke mari, melalui kepala-kepala orang itu hingga akhirnya
dia bisa meloncat ke atas genteng. Di situ dia berjongkok dengan tubuh
gemetaran sambil memandang ke bawah.
Semua orang,
terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San
ini. Melihat cara anak itu meloncat, jelas bahwa dia sama sekali tidak mengerti
ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa tubuhnya begitu ringan sehingga
seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang?
Tan Hok
tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul
sudah cukup membuat dia kerepotan juga. Kali ini pun Tan Hok berhasil merampas
sebatang toya dan langsung digunakannya untuk mengamuk. Sudah ada beberapa
orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.
Melihat sepak
terjang Tan Hok ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tidak
mungkin dia dapat menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu
menyerbu maka para tukang pukul Kwi-wangwe tentu akan digigit pula. la lalu
berseru.
"Paman-paman
mundur semua, biar ular-ularku menghabiskannya!"
Tukang-tukang
pukul itu memang sudah kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang
hebat, melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadapi. Setiap kali toya di
tangan pemuda raksasa itu menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak.
Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur meninggalkan Tan Hok.
Tan Hok
maklum bahwa ia akan dikeroyok ular, maka ia hendak mendahului menyerang Giam
Kin. Celakanya, anak aneh ini sudah meniup sulingnya yang mengeluarkan suara
melengking tinggi sehingga ular-ular itu sudah mulai menyerbu. Di lain saat Tan
Hok telah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan siap
menyerangnya.
Tan Hok
bergidik. Dia melintangkan toyanya, bingung harus menyerang yang mana dulu
karena dia telah dikurung dalam pagar ular.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat kau
mampus digigit ularku. Ha-ha-ha-ha!" kata Giam Kin setelah melepaskan
sulingnya. Kemudian dia mulai menyuling lagi, suara sulingnya
melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.
Beng San
yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini. Dialah yang merasa
paling sakit telinganya mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia
berteriak-teriak, "Siluman jahat, siluman busuk. Suara sulingmu sungguh
tidak enak. Dengarlah, aku lebih pandai menyuling dari pada suara sulingmu yang
seperti angin kotor itu"
Beng San
lalu meniru-nirukan bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khikang di
dalam tubuhnya sudah kuat sekali, maka ketika dia meniru bunyi melengking,
suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring!
Sekarang
terdengar bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara
mulut Beng San yang meniru-nirukan suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan
betapa ssudlah dia menjerit-jerit telinganya tidak terganggu lagi oleh suara
suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakan-teriakannya makin
kuat.
Kasihan
sekali ular-ular itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi
mereka, dorongan yang tak mungkin terlawan lagi. Akan tetapi, sekarang
binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak karuan, campur
aduk bising bukan main. Mereka mulai kacau, tidak tahu harus bagaimana, apa
lagi perasaan mereka tidak karuan dengan ‘perintah’ yang kacau-balau ini.
Makin lama
gerakan ular-ular itu semakin kacau. Mereka saling terjang sehingga akhirnya
semua ular-ular itu menjadi marah dan saling terkam! Mereka sama sekali tak mau
peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigiti kawan-kawan sendiri yang lebih
dekat.
Melihat hal
ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, ia pun memberi
perintah kepada para tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok. Sementara itu,
Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat bocah yang telah meniru bunyi
sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu.
Akan tetapi,
Tan Hok yang sudah marah sekali melihat adanya hartawan Kwi di situ. Dia lalu
memberontak dan cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.
"Kau
hartawan pelit, rasakan ini!"
Toyanya
mengemplang kepala hartawan itu yang cepat-cepat mundur ketakutan. Baiknya
masih ada beberapa orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya
itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya hanya menggebuk pundaknya. Namun
gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan mengaduh-aduh.
Dan sekejap kemudian, Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.
Giam Kin
sekarang dapat melihat adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main.
"Ehh,
bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcu-mu?" la memaki
sambil menuding dengan sulingnya ke arah Beng San.
Beng San
pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan
karena hawa udara tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir
mentertawakan Giam Kin.
"Aku
tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu. Kau mau apa sih?"
la tidak
takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti?
"Jembel
busuk, kau makanlah ini!"
Giam Kin
menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, ke arah Beng
San yang nongkrong di atas genteng.
Beng San
yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil
tertawa-tawa menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. Sinar itu
mengenai tangannya dan Beng San merasa ibu jari tangan kanannya agak sakit
seperti tertusuk jarum. Saat dia melihatnya, ternyata bahwa yang tadi dilemparkan
adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu
jarinya, sedangkan tubuh ular itu membelit tangannya.
Diam-diam
dia kaget. Akan tetapi dasar dia nakal dan tak sudi memperlihatkan rasa takut
atau sakit di depan Giam Kin. Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan teringatlah
dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong
yang dia maki ‘kuntilanak’, teringat dia betapa dia ikut makan daging ular
bersama ayah dan anak itu.
Sekarang,
melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin,
Beng San tanpa ragu-ragu lagi lalu... menggigit leher ular itu. Hanya dengan
sekali gigit saja maka putuslah leher ular.
”Kau kira
aku tidak berani memakannya? Ha-ha-ha!" Beng San mentertawakan Giam Kin
yang berdiri terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benar-benar
sudah menggigit mati ularnya.
Akan tetapi
dia pun segera menjadi girang karena mendadak muka Beng San berubah menjadi
kehijauan. Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini. Dia hanya merasa betapa
bekas gigitan ular itu amat panasnya, maka otomatis tubuhnya mengerahkan daya
"Im" yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau.
Hal ini
disalah artikan oleh Giam Kin. Biar pun anak ini maklum bahwa siapa yang tergigit
Kim-tok-coa itu, tentu akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti
terbakar, tetapi dia menganggap bahwa tanda kehijauan pada wajah anak jembel
itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh
itu.
"Hi-hi-hi,
kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Sekarang biar aku mempercepat
kematianmu!" Setelah berkata demikian, Giam Kin pun menggenjotkan kedua
kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas genteng. Suling ular di tangannya
bergerak cepat menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.
Beng San
segera mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, lalu dengan masih
berjongkok dia menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat
gerakan seperti menggunting ke arah suling.
"Krakkk!"
Suling di
tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke
bawah!
Tanpa
disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua
macam tenaga pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari
Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan baru suling di tangan seorang anak
semacam Giam Kin, andai kata yang menyerangnya tadi adalah seorang ahli silat
yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.
"Jembel
busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau...! Suhu, suling teecu
patah...!" Giam Kin lari sambil menangis.
Karena
dimaki-maki, Beng San pun menjadi marah. Apa lagi dia melihat bahwa anak itu
ternyata tidak becus apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja
suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu meloncat turun dan
mengejar Giam Kin.
Giam Kin
memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi, maka larinya
cepat sekali. Beng San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan
tetapi karena di luar kesadarannya dia telah ditempati tenaga Im dan Yang,
tenaga yang amat besar mukjijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh
dan larinya pun cepat sekali.
Maka
kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu
telah jauh meninggalkan dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang amat marah dan
penasaran itu sengaja berhenti dan menyerang dengan tiba-tiba, akan tetapi
setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San, dan setiap kali lengan
tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah
bengkak-bengkak!
Giam Kin
menjadi amat ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang
berteriak-teriak.
"Kau
berlutut dulu minta ampun baru kulepas!"
"Jembel
busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan membikin remuk kepalamu!" jawab
Giam Kin yang berlari terus.
Sampai dua
puluh li mereka berkejaran. Akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena
dipegang pundaknya oleh Beng San dari belakang.
"Hendak
lari ke mana engkau, siluman ular?"
Giam Kin melawan
dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis oleh Beng San yang langsung
membalas menampar pipinya.
"Plakkk!"
Giam Kin
roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan
kepalanya pening.
"Hayo
kau minta ampun dan berjanjilah lain kali tidak akan bermain-main dengan
ular-ular jahat!" bentak Beng San sambil bertolak pinggang.
"Tidak
sudi!"
"Kau
memang layak dipukul!"
Beng San
menjadi marah, kemudian dia memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu
menjerit-jerit dan menangis.
"Suhu,
tolong... suhu, tolong...!"
Tiba-tiba
Giam Kin mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Akan tetapi, Beng San tak
peduli dan memukuli terus.
"Kau
siluman kejam! Dengan ular-ularmu itu kau telah membunuh banyak orang. Lekaslah
berjanji tak akan main-main lagi dengan ular, atau... kupukul kepalamu sampai
remuk!" Beng San membentak-bentaknya.
"Heh,
bocah kasar, jangan main pukul kepada muridku!” Suara ini terdengar dari tempat
jauh.
Beng San
menengok ke kanan kiri, tapi tidak melihat orangnya yang berbicara.
"Setan,"
pikirnya. "Bocah siluman ular, gurunya juga iblis dan setan." Tapi
dia tidak takut dan hendak memukul pula.
Angin
bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang
saja, tetapi pakaiannya terlampau besar hingga nampak lucu. Apa lagi lengan
bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. Mukanya nampak sabar, alisnya
tebal dan sepasang matanya tajam.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment