Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 06
Beng San
yang menduga bahwa orang ini tentulah guru lawannya, segera melangkah maju dan
memukul. Namun orang itu menggerakkan lengan kirinya dan tahu-tahu kedua tangan
Beng San sudah terlibat ujung lengan, seperti dibelenggu tak dapat terlepas
pula.
Kakek yang
luar biasa ini adalah seorang sakti, seorang di antara beberapa tokoh yang
dianggap merajai dunia persilatan, disebut orang Siauw-ong-kwi (Raja Iblis
Kecil). Untuk daerah utara nama ini amat ditakuti orang. Memang kepandaian Raja
Iblis Kecil ini hebat sekali, terutama ilmunya menggunakan ujung tangan bajunya
yang dapat menangkap, menusuk, menyabet, sungguh senjata yang lebih ampuh dari
pada senjata-senjata pilihan.
Beng San
masih kanak-kanak. Meski pun di dalam dirinya terkandung tenaga dahsyat dan ilmu
silat tinggi sekali, namun dia memiliki semua itu di luar kesadarannya sehingga
dia belum dapat mengatur dan menggunakannya sebagaimana mestinya. Bagaikan
sebuah intan cemerlang, Beng San adalah intan yang masih mentah, belum digosok.
Maka tentu saja berhadapan dengan seorang tokoh besar seperti Siauw-ong-kwi
ini, dia tidak berdaya sama sekali.
Siauw-ong-kwi
menoleh kepada muridnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa Giam Kin tidak terluka
apa-apa, hanya benjut-benjut saja dan benjol-benjol saja, dia bernapas lega.
Dipandangnya Beng San sekali lagi, sekarang dengan mata membayangkan kekaguman
dan keheranan.
Sudah
sepatutnya kalau di dalam hati tokoh besar ini timbul kekaguman kepada bocah
ini, bocah yang kini mukanya menjadi merah hangus kehitaman akibat kemarahan di
dalam hatinya. Muridnya, Giam Kin, jika dibandingkan dengan bocah-bocah
sepantarnya, sudah merupakan seorang anak yang luar biasa cerdik dan pandainya.
Apa lagi sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi apa bila dibandingkan
dengan anak-anak sepantarnya. Mengapa sekarang Giam Kin kalah dan dipukuli oleh
bocah muka hitam ini?
"Kau
siapa?" tanyanya tanpa melepas ujung tangan baju yang mengikat dua
pergelangan tangan Beng San. Akan tetapi ikatan itu tidak terlalu erat sehingga
Beng San juga tidak mengalami rasa sakit, hanya bocah ini amat marah saja.
"Beng
San!" jawabnya berani sambil menatap muka kakek itu dengan mata melotot.
Memang
menakutkan juga muka bocah ini kalau begitu. Biar pun raut wajahnya tampan,
matanya lebar dan alisnya hitam berbentuk pedang, akan tetapi kalau wajah itu
berwarna merah kehitaman dan matanya yang lebar dipelototkan, tentu mukanya ini
akan membikin takut setiap orang di waktu malam gelap!
"Mukamu
seperti iblis!" Siauw-ong-kwi tertawa mengejek.
"Memang
aku iblis!" jawab Beng San, kini sambil menyeringai karena dia mengucapkan
kata-kata itu bukan dengan marah, melainkan bermaksud menggoda kakek itu.
Akan tetapi
Siauw-ong-kwi tidak marah, malah tertawa bergelak dan makin kagum kepada anak
ini.
"Kau
anak siapa?"
Tanpa
ragu-ragu Beng San menjawab, "Aku anak Iblis Huang-ho."
Siauw-ong-kwi
menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar bocah ini aneh sekali dan luar biasa
keberaniannya.
"Siapa
gurumu? Tentu bukan iblis juga, kan?" tanyanya.
Beng San memang
belum pernah membohong, kecuali kalau dia sedang main-main. Dan sekarang dia
hendak menghadapi kakek guru Giam Kin yang lihai ini dengan main-main.
Diam-diam dia marah kepada kakek ini yang masih saja membelenggu kedua
tangannya dengan ujung lengan baju. la menganggap kakek ini jahat, dan apa
salahnya membohongi dan mempermainkan seorang jahat?
Ketika
dahulu dididik di kelenteng, dia memang selalu diajarkan agar jangan membohong,
jangan menipu dan merugikan orang lain. Sekarang dia, andai kata benar membohong,
toh tak akan merugikan kakek ini, sebaliknya dia yang telah dibikin rugi,
dibelenggu tanpa dapat melepaskan diri.
"Guruku
lihai sekali. Kalau dia datang, sekali ketok kepalamu akan benjut-benjut!"
Siauw-ong-kwi
tertawa bergelak. Tentu saja dia berani mengejek karena di dunia ini, siapa
orangnya yang akan mampu sekali ketok membikin kepalanya benjut? Sedangkan yang
kepandaiannya boleh disejajarkan dengan dia pun hanya beberapa gelintir manusia
saja.
"Ha-ha-ha,
kenapa kau bisa pastikan dia akan menang dari aku?"
"Guruku
biar pun iblis, tapi amat lihai dan gagah, tidak seperti kau ini kakek tua
beraninya hanya menyerang dan membelenggu seorang anak kecil!"
Merah wajah
Siauw-ong-kwi disindir begini. Di dunia ini, jarang sekali ada orang berani membantah
kata-katanya, apa lagi mengeluarkan ejekan dan sindiran seperti bocah ini!
"Bocah
edan, siapa sih gurumu itu?"
"Kakek
pikun!" Beng San balas memaki. "Lepaskan dulu kedua tanganku, baru
aku mau memberi tahu."
"Kalau
tidak kulepas?"
"Biar
kau bunuh aku, takkan sudi aku mengenalkan nama besar guruku kepada seorang
kakek pengecut yang beraninya hanya kepada anak-anak kecil."
"Suhu,
kenapa melayani monyet gila itu? Gasak saja kepalanya, habis perkara!"
tiba-tiba Giam Kin berseru melihat suhu-nya bercakap-cakap dengan Beng San.
Beng San
tertawa mengejek. "Gurunya pengecut, muridnya lebih pengecut lagi. Kalau
kau memang berani, hayo kita bocah sama bocah mengadu kepalan tangan, dan biar
gurumu menandingi guruku."
Siauw-ong-kwi
adalah seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja selain ilmunya tinggi,
juga batinnya sudah amat kuat. Akan tetapi sekarang menghadapi Beng San dan
mendengar sindiran-sindiran dan ejekan-ejekannya, perutnya terasa panas juga.
Beberapa
kali dia disebut pengecut. Kalau yang mengucapkan kata-kata ini seorang tokoh
kang-ouw, tentu dia takkan mau mengampuninya lagi. Aka tetapi terhadap Beng San
dia kewalahan. Makin dia turun tangan, tentu pandangan bocah ini terhadapnya
juga makin rendah. Apa bila dipikir-pikir memang memalukan sekali bahwa dia,
seorang tokoh besar, membelenggu seorang bocah yang masih ingusan.
"Bocah
keparat, siapa pengecut?" la menggerakkan tangannya dan sekaligus
terlepaslah kedua tangan Beng San dari libatan ujung tangan baju. "Nah,
kau sudah terlepas, hayo sekarang datangkanlah itu gurumu yang berbau tahi
anjing! Siapa cecunguk yang menjadi gurumu itu?"
Semenjak
tadi Beng San sudah berpikir mengenai ini. Sebetulnya dia mempunyai banyak
guru, pikirnya. Pertama-tama tentu saja para hwesio di Kelenteng Hok-thian-si
di Propinsi Shan-si yang menjadi gurunya karena telah mengajarkan tentang
membaca dan menulis. Kemudian dia pernah pula belajar tiga macam ilmu dari
Hek-hwa Kui-bo sehingga nenek itu boleh juga disebut gurunya. Setelah itu, yang
terakhir dan yang sudah mengakuinya sebagai murid, adalah kedua orang suhu-nya
yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam. Akan tetapi, Beng San adalah seorang bocah yang
cerdik.
Dia tidak
mau menyebut nama kedua orang gurunya ini karena maklum bahwa keduanya
mempunyai rahasia, yaitu keduanya menyimpan sepasang kitab Im-yang Sin-kiam
yang sudah terampas oleh Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Kalau dia menyebut
nama Phoa Ti dan The Bok Nam, jangan-jangan kakek aneh ini akan memaksa
membawanya kepada dua orang yang sudah mati itu dan buntutnya akan menjadi
panjang. Maka dia mengambil keputusan dan menjawab.
"Guruku
yang kau anggap berbau tahi anjing itu berjuluk Song-bun-kwi!"
Berubah
wajah Siauw-ong-kwi ketika mendengar disebutnya nama ini. Akan tetapi hanya
sebentar saja karena dia segera tertawa bergelak.
"Kakek
tua bangka baju putih itu gurumu? Hah, jangan kau bohong. Dia yang hampir gila
karena anaknya yang goblok, mana dia punya murid lagi? Andai kata benar, aku
pun tidak takut pada..."
"Siauw-ong-kwi,
dia tidak bohong, dia benar muridku!" Tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
Suara ini seperti suara guntur terdengar dari jauh sekali, akan tetapi
tiba-tiba bertiup angin dan sebelum gema suara lenyap, orang yang bicara tadi
sudah berdiri di situ.
Inilah
Song-bun-kwi, kakek baju putih yang mukanya masih merah segar padahal usianya
sudah tujuh puluh tahun itu. Inilah si Setan Berkabung, tokoh besar dari dunia
barat yang amat ditakuti orang, bukan hanya karena kepandaiannya yang tinggi,
akan tetapi terutama sekali karena hatinya yang kejam tak kenal ampun.
Cepat sekali
tangan Siauw-ong-kwi bergerak dan tahu-tahu kedua lengan tangan Beng San sudah
dicengkeramnya.
"Song-bun-kwi,
mau apa kau muncul di dunia? Kalau niatmu buruk, muridmu pasti akan kubunuh
lebih dulu, baru kau akan kukirim ke neraka!" kata Siauw-ong-kwi
mengancam.
Song-bun-kwi
mengeluarkan suara yang mirip suara wanita menangis seperti yang pernah
didengar oleh Beng San ketika manusia aneh ini dahulu datang merampas
Yang-sin-kiam dari The Bok Nam kemudian bertempur melawan Hek-hwa Kui-bo.
Mendadak saja tubuh kakek itu melayang ke arah Giam Kin.
Anak yang
sudah banyak juga pengalamannya di dunia kang-ouw ini tahu bahwa kakek yang
menangis itu adalah seorang lawan, maka ia pun memapaki dengan pukulan tangan
kanannya.
"Kin-ji
(Anak Kin), jangan!" teriak Siauw-ong-kwi.
Akan tetapi
terlambat. Pukulan tangan kanan Giam Kin sudah bersarang ke dalam perut
Song-bun-kwi dan... tangan kecil itu seperti sudah menancap ke dalam perut,
tidak dapat dicabut pula! Giam Kin berdiri dengan mata mendelik. Tubuhnya kaku
tak dapat bergerak. Ternyata dia telah ‘ditangkap’ oleh perut manusia aneh itu.
"He-he-heh,
Siauw-ong-kwi. Dulu di puncak salju Gunung Altai-san kita sudah bertanding dua
hari dua malam, sedikitnya sehari penuh aku baru akan dapat mengalahkanmu. Aku
tak ada waktu untuk melayani kau orang buruk. Bocah setan bernama Beng San itu
bukan muridku, akan tetapi aku membutuhkannya. Hayo kau lempar dia kepadaku,
akan kutukar dengan muridmu yang tidak becus apa-apa ini. Satu... dua...
tiga...!"
Siauw-ong-kwi
maklum bahwa manusia seperti Song-bun-kwi tidak pernah main-main dan ucapannya
harus dianggap sebagai keputusan terakhir. Sebab itu cepat dia melemparkan
tubuh Beng San ke arah kakek itu. Berbareng pada saat itu juga, perut
Song-bun-kwi melembung dan terlemparlah tubuh Giam Kin ke arah Siauw-ong-kwi.
Beng San
melayang ke arah Song-bun-kwi dan dengan mudahnya kakek ini menangkap
lengannya, terus sambil mengeluarkan suara menangis kakek ini membawanya lari
seperti terbang cepatnya pergi dari tempat itu. Ada pun Siauw-ong-kwi ketika
menerima tubuh Giam Kin, sangat terkejut dan mengutuk.
“Song-bun-kwi
iblis jahat!"
la melihat
bahwa tubuh Giam Kin mati separoh yaitu bagian kanan. Ternyata bahwa ketika
melemparkan anak ini dari perut, kakek itu mengalir hawa pukulan melalui tangan
kanan Giam Kin sehingga membuat tubuh Giam Kin bagian kanan menjadi lumpuh dan
mati!
Inilah
kekejaman hati Song-bun-kwi yang memang luar biasa. Walau pun Siauw-ong-kwi
juga termasuk orang aneh yang tidak peduli akan kejahatan, akan tetapi masih
tidak mau melukai Beng San ketika dia melemparkan anak itu.
Melihat
keadaan muridnya, segera Siauw-ong-kwi menempelkan telapak tangannya pada
telapak tangan kiri muridnya. Dengan pengerahan lweekang-nya dia ‘mendorong’
keluar hawa pukulan Song-bun-kwi dari sebelah kanan tadi, keluar dari tubuh
muridnya. Setelah berusaha kurang lebih lima menit barulah dia berhasil.
Keadaan Giam Kin normal kembali dan sambil menggeleng kepala menyusuti peluh di
keningnya, Siauw-ong-kwi mengeluh.
"Berbahaya
sekali setan tua bangka itu..." Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu
mengajak muridnya pergi dari situ.
Tua bangka
itu sekarang lihai luar biasa, pikirnya, jangan-jangan dia telah mendapatkan
sumber Im-yang. Dia merasa khawatir dan berjanji akan menyelidiki akan hal ini,
dan jika ternyata dugaannya betul, dia harus berusaha merampasnya….
***************
Di puncak
Tai-hang-san terdapat sebuah dataran yang luas. Tanahnya subur akan tetapi
seperti dibuat oleh manusia. Dataran itu tidak ditumbuhi pohon, namun hanya
diselimuti rumput-rumput pendek yang hijau dan segar. Di atas rumput inilah
Beng San diturunkan oleh Song-bun-kwi setelah melalui perjalanan ratusan li
jauhnya.
"Kakek
Song-bun-kwi, aku bukanlah muridmu dan aku mengaku di depan Siauw-ong-kwi hanya
untuk menakut-nakuti dia. Apakah kesalahan begitu saja membuat kau bingung
sampai tidak tahu harus berbuat apa terhadap aku?" Beng San mencela kakek
itu dengan suara kesal. Memang hatinya mengkal dan dia kesal melihat kakek itu
di sepanjang jalan diam saja dan tidak memberi tahu mengapa dia dibawa ke
tempat sejauh itu.
Untuk
beberapa lamanya kakek baju putih itu memandang dengan mata liar berputaran,
mata orang yang tidak waras otaknya. Dan tiba-tiba dia tertawa dengan suara
menangis. "Hi-hi-hi, kau takut aku membunuhmu?"
Dengan suara
tetap Beng San menjawab, "Tidak! Mengapa aku harus takut? Kau tidak akan
membunuhku!"
Mata
Song-bun-kwi melotot lebar penuh ancaman. "Bocah! Janganlah kau main-main
di depan Song-bun-kwi. Nyawa manusia bagiku tidak ada bedanya dengan nyawa
semut, apa lagi nyawamu...!"
"Hanya
nyawa seekor semut kecil, bukan? Terima kasih!" ejek Beng San dengan
berani. "Akan tetapi aku juga tidak main-main. Kau sendiri yang memberi
tahu bahwa kau tidak akan membunuhku."
"Apa?
Aku yang memberi tahu? Setan, bilanglah dengan jelas, jangan main
teka-teki."
Beng San
tetap tertawa menggoda. "Ini bukan teka-teki. Kau mau mencoba menebaknya?
Tak mungkin bisa. Hayo tebak, ada orang yang segala-galanya besar sendiri,
siapa itu?"
Karena
terbawa hanyut oleh kegembiraan Beng San, atau mungkin karena Song-bun-kwi
sudah terlalu tua sehingga cocok dengan kata-kata orang bahwa orang yang sudah
terlalu tua kembali seperti kanak-kanak, Song-bun-kwi bersorak.
"Ahh,
gampang saja itu. Orang yang besar sendiri adalah raksasa. Hayo, betul
tidak?"
Beng San
meruncingkan bibirnya. "Uuuhhh, salah sama sekali! Bukan begitu
jawabnya."
"Ahh,
kalau begitu orang utara. Tubuhnya besar-besar melebihi orang selatan."
Beng San
tetap menggelengkan kepalanya.
"Orang
dari Shan-tung! Tinggi-tinggi!" kata pula Song-bun-kwi.
Akan tetap
Beng San menggeleng lagi.
"Habis
orang apa? Terima kalah aku.”
"Orang
yang besar sendiri?" berkata Beng San. "Kau inilah, atau aku,
pendeknya setiap orang!"
Song-bun-kwi
melongo, lalu marah. "Jangan main-main kau, jangan tipu aku.”
"Siapa
main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang tentu besar
sendiri. Kalau kau tidak besar sendiri, siapa yang membesarkanmu? Apa ada yang
meniup lubang hidungmu sambil menyumpal lubang-lubang lain di tubuhmu supaya
kau melembung dan membesar?" Beng San tertawa terkekeh-kekeh.
Song-bun-kwi
tiba-tiba tertawa pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang
lain lagi. Thian (Tuhan) membuat semua anggota tubuh kita dengan sempurna. Akan
tetapi mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap ke
bawah. Hayo kalau kau memang pintar, jawablah!”
Song-bun-kwi
mengerutkan keningnya. Wah, soal pelik nih, pikirnya. Hanya teka-teki tapi
sampai membawa-bawa nama Thian. Setelah memutar otak, akhirnya dia menjawab
juga dengan suara sungguh-sungguh.
"Hidung
memiliki dua lubang, kiranya Thian berkehendak untuk membuat keseimbangan. Ada
yang kiri, tentu ada yang kanan sebagai wakil dari Im dan Yang. Dengan
menghadap ke bawah lubangnya, maka manusia dapat menggunakannya lebih baik
untuk mencium, karena jika lubangnya tidak di bawah, tentu sulit dipergunakan untuk
membedakan bau." Dia berhenti dan berpikir lagi, tapi tak dapat
melanjutkan.
"Hanya
begitu?" Beng San mendesak, senyumnya tidak membesarkan hati si penebak.
"Ya,
habis apa lagi? Tebakanku sekali ini pasti betul, bukan?" tanya
Song-bun-kwi penuh harap.
"Betul
apanya? Kau ngawur!"
Song-bun-kwi
melengak, kecewa. "Jadi salah lagi? Habis, bagaimana jawabannya?"
"Dengarlah
baik-baik," kata Beng San dengan lagak seorang dewasa yang memberi tahu
seorang anak-anak. "Thian memberi hidung dengan dua lubangnya menghadap ke
bawah dengan maksud yang amat baik. Jika hidungmu diberi lubang yang menghadap
ke atas, di waktu hari hujan dan kau sedang kehujanan, bukankah air hujan akan
membanjiri lubang hidungmu sehingga membuat kau tersedak, lalu berbangkis dan
pilek terus-terusan? Nah, itulah sebabnya makanya lubang hidungmu dihadapkan ke
bawah.”
Beng San
tertawa. Setelah membayangkan orang dengan lubang hidung menghadap ke atas dan
kehujanan, Song-bun-kwi lalu tertawa juga terkekeh-kekeh sambil berkata,
"Kau benar... kau benar..."
"Sekarang
ada sebuah lagi pertanyaan yang sangat gawat," kata Beng San, wajahnya
bersungguh-sungguh. Wajahnya yang kini sudah putih lagi itu berseri, sepasang
matanya memancarkan kenakalan, akan tetapi keningnya berkerut.
"Sebuah
teka-teki yang menyangkut rahasia Thian!"
Song-bun-kwi
kaget dan memandang heran, tak percaya, "Bocah, anak manusia bernama Beng
San, janganlah kau keluarkan omongan gila. Aku sendiri tidak berani
mengutik-utik rahasia Thian."
"Aku
bersungguh-sungguh, Song-bun-kwi. Kalau kau bisa menjawab teka-teki yang satu
ini berarti kau telah bertemu dengan rahasia Thian!"
"Ehh,
bocah aneh. Lekas keluarkan teka-tekimu yang hebat itu."
"Kakek
Song-bun-kwi, kau sendiri sudah tua bangka dan tidak lama lagi tentu kau akan
mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Sebagai Song-bun-kwi (Setan
Berkabung), kau tentu sudah tahu apa artinya orang mati, dan sudah sering kali
melihat keluarga yang kematian. Nah, sekarang teka-tekinya begini. Apa sebab
orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu! Nah,
pikirlah baik-baik, karena kau sendiri kelak juga akan mati dan dimandikan
orang."
Kini
Song-bun-kwi benar-benar mengerahkan otaknya untuk mencari jawaban teka-teki
yang terdengar amat pelik. la menghubung-hubungkan jawaban dari teka-teki ini
dengan Agama Buddha, dengan ajaran Nabi Locu dan Nabi Khong-cu. Setelah
mengumpulkan semua bahan-bahan yang dia ingat, dia lalu menjawab.
"Pertama,
badan manusia yang mati ditinggalkan rohnya pasti kotor dan agar roh itu dapat
memasuki nirwana dengan baik, badannya harus pula dibersihkan dari segala
kotoran. Kedua, badan manusia bila mati berarti kembali ke asalnya. Karena
ketika dilahirkan dari tempat asal badan manusia dalam keadaan bersih, maka
kembalinya harus pula bersih. Ketiga, badan manusia mati dimandikan sampai
bersih sebagai tanda bahwa si mati telah dibersihkan dari segala dosa dan
kesalahan. Keempat, mayat manusia dimandikan hingga bersih untuk memberi
penghormatan kepada Dewa Bumi yang akan menerima mayat itu. Ke lima, mayat
dimandikan sampai bersih untuk mengusir semua penyakit serta hawa busuk agar
tidak sampai menular kepada orang-orang yang masih hidup. Keenam, mayat itu
dimandikan untuk menyatakan bahwa betul-betul dia telah mati, karena kalau belum,
terkena siraman air tentu dia akan siuman kembali. Ke tujuh, memang semenjak
dahulu mayat dimandikan sampai bersih sebelum dimasukkan peti dan dikubur, oleh
karena itu sampai sekarang pun orang harus melanjutkan kebiasaan itu dan inilah
yang dinamakan mentaati peraturan." Sampai di sini Song-bun-kwi berhenti
karena sudah habis semua pengertiannya, dikuras untuk menjawab teka-teki itu.
Mendengarkan
jawaban ini, makin lama semakin bersinar mata Beng San, nampaknya girang
sekali. Ketika kakek itu berhenti, dia mendesak. "Hanya tujuh jawabnya?
Apakah masih ada lagi? Boleh tambah kalau masih ada!"
"Sudah
habis. Tentu salah satu dari tujuh jawabanku itu benar. Hayo, sekarang katakan,
apakah jawaban-jawaban itu ada yang cocok?!"
Beng San
tertawa. "Benar kata dalam kitab kuno bahwa mencari sesuatu haruslah
dicari di tempat yang dekat-dekat dulu, baru mencari ke tempat yang jauh. Kalau
tidak demikian dan langsung mencari di tempat jauh padahal yang dicari itu
dekat saja, kau akan tersasar makin jauh dari pada yang kau cari. Nah, kau juga
begitu, Kakek Song-bun-kwi. Jawaban itu dekat dan sederhana, akan tetapi kau
melantur sampai jauh dan memberi jawaban bertele-tele."
"Apa
tidak ada yang cocok?" tanya Song-bun-kwi cemas.
"Bukan
tidak cocok saja, malah menyeleweng jauh dari jawaban teka-teki yang dimaksud.
Semua jawabanmu salah!"
Agak berubah
wajah Song-bun-kwi, kini penuh penasaran. "Betulkah semua salah? Bocah
siluman, kalau begitu hayo katakan apa jawabnya yang betul. Kalau kau menipu,
sekali tampar otakmu akan hancur cerai-berai!"
"Siapa
sudi menipumu? Dengarlah baik-baik, Song-bun-kwi. Teka-teki itu bunyinya
begini: Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan
lebih dulu? Nah, sekarang jawabannya, sederhana saja, begini: Orang mati
sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu karena 'Dia tidak
bisa mandi sendiri!' Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu tidak dimandikan
orang, dan dengan begitu dia belum mati. Nah, betul tidak?"
Song-bun-kwi
menjadi pucat mukanya yang merah itu, tangannya sudah diangkat hendak menampar
kepala Beng San. Akan tetapi tiba-tiba tangannya itu dia selewengkan, tidak
memukul kepala Beng San, melainkan memukul sebuah batu di dekat Beng San. Batu
itu meledak dan hancur. Beng San tidak merasa takut, hanya kaget dan kagum.
"Anak
setan, anak iblis, anak siluman," Song-bun-kwi memaki, kemudian kakek itu
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Beng San, kau tadi
bilang bahwa kau tahu aku tidak akan membunuhmu. Malah kau bilang aku sendiri
yang memberi tahumu. Nah, sekarang kau jawablah teka-teki dariku. Mengapa kau
kubawa ke sini? Hayo jawablah, taruhannya kepalamu!"
"Kau
menculikku sampai ke sini karena kau menghendaki sesuatu dari aku, menghendaki sesuatu
yang ada hubungannya dengan kitab Yang-sin-kiam yang kau rampas dari suhu The
Bok Nam."
Mendengar
jawaban ini, Song-bun-kwi mencelat sampai beberapa meter jauhnya saking
herannya. Kemudian dia mendekat lagi, wajahnya membayangkan keheranannya.
"Bocah siluman, bagaimana kau bisa tahu?"
"Kau
sendiri yang telah memberi tahu, Kakek, bukan melalui mulutmu akan tetapi
melalui perbuatanmu. Orang macam kau ini, kalau hendak membunuhku mengapa harus
susah payah, jauh-jauh membawaku ke sini? Bila mau membunuhku tentu aku sudah
kau bunuh begitu saling bertemu. Nah, karena kau belum juga membunuhku, malah
membawaku jauh-jauh ke tempat ini, sama saja dengan kau memberi tahu kepadaku
bahwa kau takkan membunuhku, akan tetapi menghendaki sesuatu dari aku. Mengingat
bahwa aku Beng San selama hidupku tidak pernah ada urusan denganmu, kecuali
pertemuan kita ketika kau merampas kitab Yang-sin-kiam dulu, sudah tentu sekali
bahwa kau membawaku ini ada hubungannya dengan kitab itu."
Song-bun-kwi
memandang kagum. "Kau bocah yang luar biasa. Kau cerdik sekali. Bicara
dengan kau sama saja dengan bicara kepada orang tua. Baiklah, kini aku berterus
terang kepadamu. Dalam dunia kang-ouw terkenal adanya sepasang ilmu pedang yang
disebut Im-yang Sin-kiam. Ilmu pedang Im dan Yang ini adalah ciptaan Pendekar
Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu sebagai pecahan dari Ilmu Im-yang
Bu-tek Cin-keng. Sudah tentu Im-yang Sin-kiam ini menarik perhatian semua tokoh
persilatan yang kemudian berusaha mendapatkannya. Akhirnya aku mengetahui bahwa
sepasang kitab itu berada di tangan Phoa Ti dan The Bok Nam yang terkenal
dengan julukan Thian-te Siang-hiap. Aku tahu bahwa pada akhir-akhir ini mereka
saling berlawanan sendiri, maka aku mempergunakan kesempatan itu untuk mencari
mereka. Akhirnya aku berhasil merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam seperti
yang telah kau saksikan pada waktu itu. Celakanya sebelum aku sempat
mendapatkan Im-sin-kiam dari tangan Phoa Ti, aku telah didahului oleh nenek
siluman Hek-hwa Kui-bo yang sudah memukul Phoa Ti dan merampas kitabnya."
Sampai di
sini Song-bun-kwi menarik napas panjang. Dia nampak kecewa dan menyesal. Beng
San mengangguk-angguk.
"Sayang
aku masih belum mampu mengalahkannya sehingga dia dapat lari membawa kitab
Im-sin-kiam. Mencoba untuk merampas kitab itu dari tangannya bukanlah hal yang
mudah, pula dia tidak bodoh dan tak akan mau memperlihatkan diri. Nah, aku lalu
ingat kepadamu, Beng San. Kau yang berada di sana bersama Phoa Ti dan The Bok
Nam. Kau tentu mendapat warisan ilmu silat dari mereka. Siapa tahu Im-sin-kiam
telah kau warisi dari Phoa Ti. Sekarang kau harus buka rahasia Im-sin-kiam itu
kepadaku, Beng San."
Beng San
mengerutkan keningnya. Biar pun baru belasan tahun usianya, akan tetapi dia
sangat cerdik dan pada akhir-akhir ini sudah sering kali berhadapan dengan
orang-orang jahat sehingga membuat dia waspada dan hati-hati.
"Kakek
tua, mengapa kau begitu serakah? Kau sudah mendapatkan kitab Yang-sin-kiam,
kenapa masih ingin mendapatkan kitab Im-sin-kiam pula?”
"Bocah
bodoh, masa kau tidak tahu? Yang-sin-kiam memang hebat dan sukar ada tokoh lain
yang akan dapat mengalahkan aku. Akan tetapi celakanya, Yan-sin-kiam tidak akan
berdaya kalau bertemu dengan Im-sin-kiam, sebaliknya Im-sin-kiam juga takkan
berdaya menghadapi Yang-sin-kiam. Ibarat api dan air, baru berguna kalau
keduanya disatukan dan bekerja sama. Hayo, Beng San anak baik, kau beri tahukan
kepadaku bagaimana pelajaran Im-sin-kiam yang kau terima dari Phoa Ti."
Beng San
menggelengkan kepala. “Sayang, Kakek Song-bun-kwi. Aku tidak bisa."
Ia tidak mau
menjawab berterang, karena anak ini memang agak sukar apa bila disuruh
membohong. Dengan jawaban ‘aku tidak bisa’, di dalam hatinya dimaksudkan bahwa
dia tidak bisa membuka rahasia itu, bukannya tidak bisa menceritakan isi
Im-sin-kiam!
Song-bun-kwi
memandangnya dengan mata liar dan amat tajam menusuk, seperti hendak menjenguk
isi hati Beng San. Tiba-tiba dia membentak, "Berdiri!"
Beng San
bangkit berdiri dan tiba-tiba kakek itu menyerangnya dengan pukulan tangan
kanan yang dikepal keras dan menumbuk ke arah dadanya. Penyerangan ini
dilakukan sungguh-sungguh, akan tetapi gerakannya sengaja diperlambat sehingga
mudah diikuti. Namun demikian, andai kata dibiarkan saja, dada Beng San tentu
akan pecah berantakan kalau terkena pukulan itu.
Beng San
sudah mempelajari Yang-sin-kiam dengan tekun. Tubuhnya sudah mempunyai daya
tahan dan daya gerak yang otomatis. Apa lagi setelah matanya melihat bahwa
serangan itu adalah sebuah jurus dari Yang-sin-kiam, dengan amat mudahnya dia
tahu bagaimana harus melawan dan melayaninya. Untuk melayani serangan
Yang-sin-kiam, paling tepat memang menggunakan jurus Im-sin-kiam, karena dengan
demikian segala daya serangan itu selalu lumpuh, juga akan membuka
kelemahan-kelemahan.
Akan tetapi
Beng San tidak mau berlaku bodoh. Dengan mengumpulkan semangat dia ‘menutup’
pikiran dan ingatannya akan Im-sin-kiam, dan mencurahkan ingatannya kepada
Yang-sin-kiam sehingga menghadapi penyerangan ini, dia kemudian menggunakan
jurus Yang-sin-kiam yang sesuai untuk menghindarkan diri.
Karena dia
sudah hafal benar akan seluruh gerakan Yang-sin-kiam, maka tidaklah terlalu
sukar bagi Beng San untuk menghindarkan serangan itu karena dia sudah tahu ke
mana serangan itu akan menuju dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Tentu
saja andai kata kakek itu mempergunakan kecepatan, amat sukar bagi Beng San
yang masih belum berpengalaman dan belum terlatih itu untuk menghadapinya.
Setelah
menyerang sebanyak tiga jurus yang semuanya dapat dihindarkan oleh Beng San
dengan mudahnya, Song-bun-kwi menjadi makin kagum dan juga amat penasaran. Tiga
macam jurus yang dia gunakan tadi, walau pun dia lakukan dengan lambat yang
memang dia sengaja, tapi belum tentu ada tokoh persilatan yang akan mampu
memecahkannya. Hanya orang yang telah mengenal betul Ilmu Silat Yang-sin-kiam
baru bisa memecahkan semudah yang dilakukan Beng San.
Dari kagum
dan heran ia menjadi penasaran sekali, lalu ia melanjutkan penyerangannya
secara bertubi-tubi, mengeluarkan seluruh jurus Yang-sin-kiam yang kesemuanya
hanya memiliki delapan belas jurus pokok.
Sebetulnya,
baik Yang-sin-kiam mau pun Im-sin-kiam setiap jurus pokoknya masih dapat pula
dipecah menjadi tiga sehingga jumlah seluruhnya adalah lima puluh empat jurus.
Akan tetapi oleh karena hanya ingin melihat apakah betul-betul bocah itu sudah
hafal akan jurus-jurus Yang-sin-kiam, kakek ini hanya mengeluarkan jurus-jurus
pokok saja. Hebatnya, delapan belas jurus pokok itu dengan amat mudahnya dapat
dihindarkan dan dipecahkan oleh Beng San!
Serangan-serangan
yang dilakukan oleh Song-bun-kwi ini bukan semata-mata hendak melihat apakah
Beng San betul-betul sudah hafal akan Yang-sin-kiam, tetapi maksudnya yang
tersembunyi adalah hendak memancing supaya bocah ini dalam keadaan terdesak mau
menggunakan Im-sin-kiam. Sesudah dia melihat bahwa semua gerakan yang dipakai
Beng San untuk menghindarkan serangan-serangan itu adalah jurus-jurus
Yang-sin-kiam pula, dia baru percaya akan keterangan anak itu tadi bahwa Beng
San hanya mewarisi Yang-sin-kiam saja.
Hatinya
mengkal sekali. Tiba-tiba dia tertawa bergelak, lalu menangis.
"Ha-ha-ha-hi-hi!
Tebakanmu tadi keliru, Beng San. Aku membawamu ke mari memang hendak
membunuhmu. Kau hafal akan Yang-sin-kiam, ini tidak baik. Hanya aku seorang
yang boleh tahu akan Yang-sin-kiam, maka kau harus mati saat ini juga! Sayang
kau tak becus Im-sin-kiam..." Kakek ini mengangkat tangannya ke atas dan
Beng San sudah siap sedia hendak menyelamatkan diri sedapat mungkin.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di sana telah berdiri seorang bocah perempuan
berusia kurang lebih sepuluh tahun. Beng San sampai bengong terlongong melihat
bocah ini. Bukan karena bocah baju merah itu cantik manis dan mungil sekali,
dengan sepasang mata seperti bintang, dengan rambut hitam panjang yang
bergantung di pundak, akan tetapi dia bengong saking kagum menyaksikan gerakan
yang bukan main cepatnya itu.
Bocah itu
berdiri memandang kepadanya dan tersenyum! Senyumnya membuat matahari
seakan-akan bersinar semakin terang. Tidak hanya bibir dan gigi yang mengambil
peran dalam senyum ini, bahkan mata dan hidungnya juga ikut tersenyum. Beng San
tak dapat menahan hatinya untuk tidak membalas dengan senyum lebar.
Song-bun-kwi
menurunkan tangannya dan menghela napas. "Bocah edan, mengganggu orang tua
saja." la lalu menoleh dan memandang kepada anak perempuan baju merah itu,
lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, sepuluh jari tangan itu bergerak-gerak
pula.
Anak
perempuan itu kembali tersenyum, melirik ke arah Beng San, mengangguk kepada
Song-bun-kwi lalu meloncat pergi, cepat dan cekatan laksana burung walet.
"Kurang
ajar, tentu anak penggembala itu yang mengajaknya main-main sampai ke
sini!" Song-bun-kwi bersungut-sungut dan betul saja dari jauh terdengar
bunyi kerbau menguak. "Keparat, harus mampus semua!" Sekali Song-bun-kwi
berkelebat kakek ini sudah lenyap dari situ.
Semua
kejadian ini membuat Beng San duduk terlongong. Bocah perempuan| yang aneh dan
ternyata gagu itu, yang begitu cepat gerakan-gerakannya, lalu kakek yang aneh
ini. Benar-benar dia terheran-heran dan amat kagum sampai lupa bahwa dia belum
lolos dari ancaman bahaya besar dari si kakek yang seperti gila itu. la hanya
mendengar suara kerbau-kerbau menguak beberapa kali disusul jerit menyeramkan,
lalu sunyi.
Tiba-tiba
dia mencium bau harum dan ketika menengok… di belakangnya sudah berdiri Hek-hwa
Kui-bo, wanita tua yang masih cantik itu, dengan sapu-tangan suteranya yang
beraneka warna sedang dibuat main-main di tangan kiri.
"Kui-bo...!"
tak terasa lagi Beng San berseru untuk menyembunyikan rasa kagetnya.
Wanita itu
tersenyum manis. "Bagus, anak baik. Kau masih ingat kepadaku yang menjadi
gurumu?"
"Kau
bukan guruku," jawab Beng San, suaranya dingin.
Hek-hwa
Kui-bo memandang tajam. Di dalam hatinya wanita ini sudah amat heran melihat
bocah ini masih belum mati, padahal dahulu dia sengaja memberi pelajaran tiga
macam ilmu menguasai tenaga Yang-kang untuk membunuh Beng San.
"Hei
bocah yang tidak kenal budi. Bukankah dahulu aku pernah memberi pelajaran ilmu
kepadamu?"
"Memang
betul, kau memberi pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee padaku. Akan
tetapi itu bukan berarti bahwa kau adalah guruku karena aku tak pernah
mengangkat kau sebagai guru. Pula aku tidak tahu apa gunanya
pelajaran-pelajaran itu."
Sepasang
mata Hek-hwa Kui-bo bersinar dan senyumnya melebar. Hatinya girang sekali
karena sekarang ia merasa yakin bahwa anak ini tidak tahu akan maksud buruknya
ketika menurunkan tiga macam ilmu itu.
"Anak
baik, kau tidak tahu bahwa pelajaran yang kuturunkan padamu itu adalah
pelajaran yang menjadi dasar ilmu silat tinggi. Aku suka kepadamu, Beng San,
dan aku suka punya murid seperti kau ini. Kalau aku tidak suka kepadamu, masa
aku turunkan ilmu-ilmu itu kepadamu? Justru kedatanganku ini juga karena
perasaan sukaku kepadamu itulah. Kau sedang terancam bahaya, bila Song-bun-kwi
iblis itu kembali, kau tentu akan dibunuhnya. Karena itu, hayo kau ikut aku
pergi sekarang juga."
Tanpa
menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo menangkap tangan bocah itu dan di lain
saat Beng San merasa dirinya melayang, persis seperti ketika dia dibawa pergi
oleh Song-bun-kwi. la tidak melawan dan menyerahkan diri saja, maklum bahwa
melawan pun tidak akan ada gunanya.
Lagi pula,
dia belum tahu apa maksud sebenarnya wanita ini, meski pun dia merasa pula
bahwa memang dia terancam oleh Song-bun-kwi. Kiranya dibawa pergi Hek-hwa
Kui-bo belum tentu bahayanya sebesar kalau dia berada bersama Song-bun-kwi.
Tiba-tiba
Hek-hwa Kui-bo menarik tangan Beng San sambil meloncat ke belakang sebuah batu
besar yang berada di pinggir jalan. Nenek ini bersembunyi di belakang batu
sambil memegang tangan Beng San erat-erat.
"Kui-bo,
ada apa...?" Suara Beng San terhenti ketika tangan nenek itu yang sebelah
lagi menotok lehernya dari belakang.
Beng San
marah dan hatinya mendongkol sekali. Dia tidak dapat bergerak, tidak dapat
membuka suara, hanya mampu mendengar dan melihat.
Pada saat
itu dia mendengar suara melengking dari jauh, suara tangis memilukan. Segera
dia mengenal suara ini ketika makin lama suara itu makin mendekat. Bukan lain
suara yang aneh dari Song-bun-kwi! Sebentar saja kakek aneh ini sudah lewat
jalan itu, dekat batu tanpa menoleh ke kanan kiri. Wajahnya muram, mukanya
tunduk dan tubuhnya yang kecil kurus itu seperti bongkok.
Setelah
kakek ini lewat jauh dan tak kelihatan lagi, Hek-hwa Kui-bo menarik lagi tangan
Beng San sambil menepuk belakang lehernya membebaskan totokan.
"Kui-bo,
kenapa kau takut pada Song-bun-kwi?" Beng San mengejek untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. la sudah maklum akan watak nenek ini yang tak mau
dikatakan takut, maka dia sengaja berkata demikian.
"Bodoh,
siapa takut? Aku sedang tidak ada waktu bermain-main dengan tua bangka itu.
Hayo ikut!"
Hek-hwa
Kui-bo lalu membawa lari lagi anak itu, kini ia sengaja menuju ke arah dari
mana Song-bun-kwi tadi datang. Jelas bahwa ia memang sengaja hendak menjauhkan
diri dari Song-bun-kwi.
"Kui-bo,
apa itu?" Beng San menuding ke arah lereng gunung yang mereka lalui.
"Apa
lagi kalau bukan bekas tangan si tua bangka?" jawab Hek-hwa Kui-bo dingin,
malah ia lalu terkekeh dan berkata. "Tua bangka sudah mau mampus tetapi
masih suka main bunuh orang. Heh-heh-heh!"
Ketika
melihat lebih dekat dan lebih jelas, Beng San bergidik. Yang tadi dari jauh dia
lihat bertumpuk-tumpuk dan disambari burung-burung hitam di lereng itu bukan
lain adalah bangkai belasan ekor kerbau dan mayat tiga orang anak penggembala
yang baru berusia belasan tahun seperti dia.
Tidak salah
lagi, tentu dalam kemarahannya tadi Song-bun-kwi telah pergi meninggalkan dia
sebentar untuk membunuhi tiga orang penggembala dengan kerbau-kerbau mereka
ini. Alangkah kejamnya hati si Setan Berkabung itu.
"Tua
bangka keji si Song-bun-kwi!" Beng San tak terasa memaki.
Hek-hwa
Kui-bo tertawa. Giginya yang masih kuat itu putih berkilat sebentar.
"Apa
kau bilang? Keji? Hi-hi-hi, tidak ada artinya itu. Dulu, puluhan tahun yang
lalu, untuk merampas seorang mempelai wanita dia membunuh mempelai pria,
seluruh keluarga dan semua tamu yang hadir pada malam pesta pernikahan
itu."
Beng San
melototkan matanya, ngeri dia membayangkan. ”Mengapa para tamu dibunuh
semua?"
”Goblok kau!
Song-bun-kwi tidak sebodoh kau. Tentu saja untuk menutup mulut mereka."
Beng San
bergidik. Dua orang ini, kakek Song-bun-kwi dan nenek Hek-hwa Kui-bo, selain
setingkat ilmu kepandaiannya, agaknya setingkat pula kekejamannya. Mulailah ia
berpikir tentang diri Hek-hwa Kui-bo. Kenapa wanita iblis ini membawanya pergi?
Betulkah hanya untuk menolongnya dari ancaman Song-bun-kwi? Mustahil! Orang
sekeji ini hatinya mana bisa mempunyai maksud baik?
Beng San
terkejut ketika dia teringat bahwa yang mencuri kitab Ilmu Im-sin-kiam adalah
Hek-hwa Kui-bo ini! Celaka, pikirnya. Manusia jahat ini tentu tidak akan jauh
bedanya pula dengan Song-bun-kwi. Tentu akan mencoba untuk mendapatkan isi
kitab yang satu lagi darinya.
Benar saja
dugaannya. Pada waktu mereka tiba di tempat yang sunyi, di tengah sebuah hutan
yang penuh dengan pohon-pohon tua, Hek-hwa Kui-bo melepaskan tangannya, lalu
tersenyum-senyum dan memandang kepada Beng San.
"Beng
San, aku tahu bahwa kau telah menjadi ahli waris dari Phoa Ti dan The Bok Nam,
telah mempelajari dua macam ilmu silat, Yang-sin-kiam dan Im-sin-kiam. Kau memang
anak baik dan patut menjadi murid orang pandai. Karena itu aku ingin sekali
memimpinmu lebih lanjut agar kelak kau menjadi seorang jagoan yang tak terlawan
di dunia ini. Nah, sekarang coba kau hadapi serangan-seranganku ini dengan
Yang-sin-kiam yang sudah kau pelajari dari The Bok Nam!"
Tanpa
menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo yang amat bernafsu untuk segera
melihat Ilmu Silat Yang-sin-kiam, segera menyerang anak itu dengan jurus-jurus
dari Ilmu Silat Im-sinkiam, yang kitabnya dia rampas dari Phoa Ti.
Biar pun
amat terdesak, Beng San yang memang cerdik itu maklum bahwa dia hendak
dipancing. Dia segera menghadapi serangan-serangan itu dengan ilmu yang sama,
yaitu Im-sin-kiam, dan sengaja menutup semua ingatannya akan Ilmu Silat
Yang-sin-kiam, juga sebaliknya dari yang dia lakukan ketika dia berhadapan
dengan Song-bun-kwi.
Akan tetapi
Hek-hwa Kui-bo tidak kecewa, malah tersenyum manis dan berkata, "Aha, kau
hendak menggunakan Im-sin-kiam lebih dulu? Baik, lakukanlah dengan sempurna
supaya aku dapat membimbingmu kalau keliru."
Setelah
berkata demikian, ia menyerang terus dengan Im-sin-kiam sampai delapan belas
pokok jurus Im-sin-kiam ia mainkan seluruhnya. Diam-diam Hek-hwa Kui-bo kagum
sekali melihat gerakan-gerakan Beng San yang biar pun kurang terlatih namun
amat sempurna.
"Hayo
sekarang kau gunakan Yang-sin-kiam, ingin kulihat apakah juga sebaik
Im-sin-kiam yang kau pelajari!" serunya sambil mendesak lagi dengan
Im-sin-kiam.
Akan tetapi
Beng San tetap menghadapinya dengan ilmu silat yang sama. Beberapa kali Hek-hwa
Kui-bo membentaknya, akan tetapi dia tetap tidak mau mengubah ilmu silatnya.
Akhirnya Hek-hwa Kui-bo menjadi jengkel dan berhenti menyerang.
”Ehh, bocah
kepala batu, kenapa kau tetap tldak mentaati perintahku?"
”Kau ini
aneh-aneh saja, Kui-bo. Bisaku ya cuma itu tadi.”
”Apa kau
tidak mempelajari Yang-sin-kiam dari The Bok Nam.”
Beng San
tidak mau menjawab pertanyaan ini, bahkan jawabannya menyimpang, "Aku
hanya bisa melayanimu dengan yang tadi, yang lain-lain tidak bisa.”
Keparat,
pikir Hek-hwa Kui-bo. Kalau begitu anak ini hanya mempelajari Im-sin-kiam. Ah,
untung dia kurampas tadi dari Song-bun-kwi, kalau tidak, tentu Song-bun-kwi
akan dapat menguras Im-sin-kiam dari anak ini. Di dunia ini mana boleh ada
orang lain kecuali dia sendiri yang mengenal Im-sin-kiam?
”Setan
kecil, jika begitu kau harus mampus di depan mataku.” Hek-hwa Kui-bo kemudian
mengangkat tangan memukul kepala Beng San.
Bocah ini
mana mau menerima mati begitu saja. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, lalu
meloncat dan lari.
Hek-hwa
Kui-bo mengeluarkan suara ketawa terkekeh, kemudian mengejarnya. Beberapa
loncatan saja sudah cukup bagi Hek-hwa Kui-bo untuk menyusul Beng San. Sekali
lagi ia memukul, kini menggunakan sapu tangan suteranya yang menyambar ke arah
belakang kepala Beng San.
Ujung sapu
tangan itu mengancam jalan darah maut. Dalam detik-detik selanjutnya tentu Beng
San takkan dapat terlepas dari cengkeraman maut kalau saja pada saat itu tidak
terdengar seruan keras.
"Tahan!"
Ujung sapu tangan itu tertangkis oleh sebatang suling dan keduanya terhuyung
mundur.
Hek-hwa
Kui-bo kaget sekali melihat kelihaian lawan, akan tetapi ia menjadi lebih kaget
ketika melihat bahwa yang menangkis sapu tangannya dengan suling tadi ternyata
adalah Song-bun-kwi! Celaka, pikirnya. Kalau anak ini dapat terampas lagi oleh
kakek ini, berarti Im-sin-kiam akan terjatuh ke dalam tangan Song-bun-kwi dan
kalau terjadi hal demikian, takkan berarti pulalah Im-sin-kiam di tangannya.
Dengan penuh
kemarahan Hek-hwa Kui-bo menerjang lagi, sekali ini dia menggerakkan sapu
tangannya hendak menghancurkan kepala Beng San yang berdiri bengong melihat
tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berada di situ menolongnya.
"Plak!
Plakkk!"
Dua kali
ujung sapu-tangan bertemu dengan ujung suling. Pada saat keduanya terhuyung
mundur lagi karena dorongan tenaga dahsyat dari masing-masing lawan,
Song-bun-kwi meloncat ke depan dan sulingnya menusuk ke arah leher Beng San.
Bocah ini tak dapat mempertahankan dirinya lagi, demikian cepatnya tusukan itu.
"Aihhh,
tahan!"
Hek-hwa
Kui-bo mengerakkan sapu tangannya yang panjang dan kembali nyawa Beng San
tertolong, kali ini oleh sapu tangan Hek-hwa Kui-bo. Dan keduanya bertanding
lagi.
Memang aneh
pertandingan itu. Mungkin orang takkan percaya bila tidak melihat sendiri. Mana
di dunia ini ada orang bertanding karena seorang anak kecil, bukan
memperebutkan anak itu melainkan berdulu-duluan... membunuhnya!
Beberapa
kali Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi kaget dan heran melihat betapa lawan
masing-masing selalu hendak menyerang Beng San. Akan tetapi, karena curiga dan
salah sangka, mengira bahwa masing-masing itu ingin menjadikan Beng San sebagai
pembuka rahasia masing-masing, maka mereka dengan sungguh-sungguh dan sengit
saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebat. Pertempuran ini
merupakan kelanjutan dari pertempuran saat mereka memperebutkan kitab dan
masing-masing dapat merampas kitab dari dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok
Nam.
Sementara
itu, melihat betapa dua orang tua yang aneh dan kejam itu saling serang, Beng
San mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Baru saja dia lari belum
jauh, Song-bun kwi sudah membentak.
"Anak
iblis, kau hendak lari ke mana?!" Secepat kilat tubuhnya melayang dan
sulingnya menyerang dari belakang.
Akan tetapi
serangan ini kembali digagalkan oleh ujung sapu tangan di tangan Hek-hwa
Kui-bo.
"Bukan
orang lain, akulah yang akan membunuhnya!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil
memandang kepada Song-bun-kwi dengan mata melotot.
"Kau?!
Membunuhnya? Apakah sebabnya kau hendak membunuhnya?" Pikiran kakek ini
seakan-akan baru terbuka, dan dia pun bertanya heran.
"Dia
tidak boleh hidup di bawah satu kolong langit denganku. Mungkin bagimu berguna,
tetapi bagiku tidak!" jawab Hek-hwa Kui-bo marah. Akan tetapi nenek ini
pun bertanya heran, "Dan kau... mengapa pula hendak membunuhnya?"
Song-bun-kwi
tersenyum gemas, merasa diejek. Dikiranya nenek ini sudah tahu bahwa Beng San
hanya mempelajari Ilmu Silat Yang-sin-kiam saja dan sudah mencuri ilmu ini.
"Bocah setan itu tidak boleh hidup di atas satu permukaan bumi denganku,
tiada gunanya bagiku dibiarkan hidup!"
Heran dan
kagetlah Hek-hwa Kui-bo mendengar ini. Tadinya ia pun sebaliknya mengira bahwa
Beng San hanyalah mempelajari Im-sin-kiam saja dan ilmu ini sudah dioper oleh
Song-bun-kwi, mengapa sekarang kakek ini bicara sebaliknya? Dia memang cerdik,
maka tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah
iblis, dia mau memperdayakan kita!" Sambil berkata demikian tubuhnya
melesat ke depan untuk mengejar Beng San.
Song-bun-kwi
juga bukan seorang bodoh. Sekilas saja dia seperti telah disadarkan. Kalau
Hek-hwa Kui-bo tadinya tidak membutuhkan anak itu dan hendak membunuhnya, tentu
akibat anak itu mengaku hanya mempelajari Im-sin-kiam saja. Tapi sebaliknya,
kepadanya membohong hanya mempelajari Yang-sin-kiam. Celaka, anak itu harus dia
tangkap!
la pun
melesat ke depan dan kini dua orang sakti itu berlomba untuk memperebutkan Beng
San, bukan untuk membunuhnya seperti tadi!
Kasihan
sekali Beng San. Biar pun dia tanpa disengaja dan disadarinya telah mewarisi
sepasang ilmu silat pedang yang luar biasa hebatnya, namun sebagai seorang anak
kecil menghadapi dua orang sakti itu, apakah dayanya? Beng San melarikan diri
secepatnya, menyelinap di antara pohon-pohon raksasa yang amat tua.
Tiba-tiba
kakinya tersandung akar pohon sehingga tubuhnya terguling. Beng San merasa
terjatuh di atas sesuatu yang lunak dan ketika dia dengan terengah-engah
memandang, ternyata dia jatuh ke atas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila
dengan kedua mata meram.
Kakek ini
berpakaian serba hitam, karena itu tadi hampir tidak kelihatan. Di punggungnya
nampak gagang sepasang pedang yang tipis. Jenggot kakek ini luar biasa, panjang
sekali sampai ke perutnya. Telinganya lebar seperti telinga gajah, tubuhnya
kurus dan mulutnya sudah ompong sama sekali, tidak ada sebuah pun giginya,
Nampaknya sudah tua sekali.
Selagi Beng
San bengong dan lupa bahwa dua orang pengejarnya sudah amat dekat di
belakangnya, kakek itu berkata, suaranya halus lirih seperti berbisik.
"Anak,
kau peganglah sepasang pedang ini, dengan tangan kiri mainkan Im-sin-kiam dan
tangan kanan mainkan Yang-sin-kiam, tentu kau dapat menahan mereka."
Beng San
sudah putus asa menghadapi dua orang sakti yang mengejarnya. Melawan dengan
nekat pun dia tidak punya harapan. Akan tetapi sekarang, setelah mendengar
bisikan kakek ini dan tangannya tahu-tahu telah memegang sepasang pedang,
hatinya menjadi berani dan besar. Apa lagi ketika dia melihat bahwa sepasang
pedang yang tidak sama panjangnya itu berkilau-kilauan seperti mengeluarkan
api.
Pada saat
itu, hampir berbareng, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi tiba di depan Beng San.
Baiknya mereka sekarang bukan berlomba untuk membunuhnya, namun berlomba untuk
menangkapnya, maka keduanya tidak mau menggunakan senjata masing-masing yang
ampuh.
Melihat dua
orang itu sudah datang dan tangan mereka diulur untuk mencengkeramnya, Beng San
meloncat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tubuhnya tak dapat terlepas dari
tubuh kakek tua renta itu.
Terdengar
bisikan di belakang kepalanya, "Lawanlah mereka dengan tenang, pergunakan
Im-yang Sin-kiam, aku yang mendorongmu dengan tenaga serta mengatur kecepatan
gerakan-gerakanmu."
Sudah
terlalu sering Beng San bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang berwatak aneh dan
berkepandaian tinggi, maka biar pun keadaan kakek tua renta ini amat aneh,
tetapi tidak amat mengherankan Beng San. Serta merta bocah cerdik ini dapat
menduga bahwa kakek ini pun seorang sakti, maka dia pun mentaati semua
petunjuknya.
Begitu
mendengar bisikan ini, dia lalu mempersiapkan sepasang pedangnya, dan dengan
gerakan-gerakan Im-sin-kiam di tangan kiri dan Yang-sin-kiam di tangan kanan,
dia lalu memainkan ilmu silat pedang yang sudah dihafalkannya benar-benar itu
dengan kedua tangan.
Hasilnya
luar biasa sekali. Segera terdengar seruan-seruan kaget, dan Hek-hwa Kui-bo
bersama Song-bun-kwi meloncat mundur. Hampir saja tangan mereka berdua terbabat
oleh pedang-pedang yang berkilauan dan mendatangkan hawa panas dan dingin
sekali itu.
Beng San
merasa betapa kedua pundaknya ditempel oleh kedua telapak tangan kakek itu tadi
dan betapa di dalam kedua lengannya seperti ada tenaga lembut yang menjalar
sampai ke tangannya. Semangatnya menjadi besar dan dia tersenyum mengejek
ketika melihat dua orang lawannya itu sudah menggerakkan suling dan sapu
tangan. Kedua pedangnya bergerak dengan jurus-jurus terlihai Im-yang Sin-kiam,
pedang kiri bertemu dengan suling Song-bun-kwi sedangkan pedang tangan kanan
beradu dengan ujung sapu tangan Hek-hwa Kui-bo.
Terdengarlah
suara keras dan Hek-hwa Kui-bo memekik kaget, sedangkan Song-bun-kwi melompat
ke belakang. Ternyata bahwa ujung sapu tangan Hek-hwa Kui-bo dan ujung suling
Song-bun-kwi telah terbabat oleh pedang-pedang itu.
"Liong-cu
Siang-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga)...!" Hek-hwa Kui-bo berseru.
"Ayaaaaa!
Kalau begitu dia ini Lo-tong (Bocah Tua) Souw Lee...!" Song-bun-kwi
berteriak kaget sambil memandang kepada kakek tua renta yang berdiri di
belakang Beng San.
Hek-hwa
Kui-bo mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, lalu berkata, "Betul sekali!
Ehh, Song-bun-kwi, agaknya kita berdua yang selalu mujur. Hayo kita gempur dia
dan segala yang kita dapat nanti kita bagi rata dan adil."
"Bagus!
Kui-bo, dengan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut kita pasti akan
menjagoi dunia. Ha-ha-ha!"
Dua orang
itu kemudian menggerakkan suling dan sapu tangan, menerjang maju dengan
gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya. Ujung sapu tangan itu mengeluarkan
bunyi berdetar-detar seperti sebuah cemeti sedangkan suling itu mengeluarkan
suara tangisan yang mengerikan.
Tergetar
juga hati Beng San menghadapi kedahsyatan dua orang itu. Sepasang pedang di
tangannya hampir saja terlepas kalau tidak ada tenaga mukjijat mengalir masuk
melalui pundaknya yang dipegang oleh kakek tua renta itu.
"Anak
baik, ingat...," bisik kakek itu di belakangnya, "kita harus dapat
mengusir mereka... bukan hanya demi keselamatanmu, apa lagi keselamatanku, akan
tetapi demi... demi keamanan dunia... Jangan sampai terjatuh ke tangan dua
iblis ini..." Terpaksa kakek itu menghentikan kata-katanya karena dua
orang itu sudah mulai dengan terjangan mereka yang dahsyat.
Beng San
menggerakkan kedua pedang di tangannya. la belum pernah bertempur, juga ilmu
Silat Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang dia miliki hanya dia latih dan hafalkan
secara teorinya saja, belum pernah dipergunakan untuk bertempur.
Memang tidak
dapat disangkal bahwa anak ini bakatnya baik sekali. Gerakan-gerakannya dalam
memainkan semua jurus Im-yang Sin-kiam yang digabungkan itu luar biasa dan amat
tepat.
Namun
menghadapi dua orang kawakan seperti Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tentu
saja dia merupakan sebuah timun melawan dua buah duren! Andai kata dia sendiri
harus melawan mereka, biar pun dia diberi sepasang pedang Liong-cu-kiam, dalam
satu jurus saja dia pasti akan terjungkal tanpa nyawa lagi.
Baiknya
dalam pertandingan ini Beng San tidak maju sendiri, atau dapat dikatakan bahwa
dia ‘dipakai’ oleh kakek tua renta itu, dipergunakan pengetahuannya mengenai
Im-yang Sin-kiam-sut. Beng San hanya mempergunakan Im-yang Sin-kiam dan tentu
saja tanpa disadarinya sendiri, dia pun menggunakan tenaga Im dan Yang, dua
tenaga ampuh yang memang sudah bersarang di dalam tubuhnya.
Dua hal yang
dimilikinya ini, Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam dan tenaga Im Yang, sekarang
dengan hebat digunakan oleh kakek yang mendorongnya itu sehingga sepasang
pedang di tangan Beng San berkeredepan dan menyambar-nyambar laksana dua ekor
naga sakti yang bermain-main di angkasa raya.
Ketika
bertemu dengan pedang, berkali-kali sapu tangan dan suling di tangan Hek-hwa
Kui-bo dan Song-bun-kwi membalik. Dua orang itu terkejut bukan main.
Mereka
maklum bahwa anak ini ‘dipergunakan’ oleh kakek itu. Akan tetapi sama sekali
mereka tak pernah mengira bahwa anak itu dapat mainkan Im-sin-kiam dan
Yang-sin-kiam yang digabung menjadi satu sehingga mereka yang hanya mengerti
sebagian-sebagian saja dari ilmu pedang pasangan itu menjadi sibuk dan
kewalahan. Mereka maklum bahwa tentu saja dalam hal ini bukan Beng San yang
berjasa, melainkan kakek tua renta itu.
Memang kakek
tua renta itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi andai kata
di sana tidak ada Beng San yang menambah kehebatan kakek itu dengan Im-yang
Sin-kiam, dua orang sakti tadi yakin bahwa mereka berdua pasti akan dapat
mengalahkan kakek itu.
Beng San
betul-betul bingung ketika melihat bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
dua orang tua itu selalu berubah-ubah, bahkan kemudian sama sekali dia tidak
mengenal gerakan-gerakan itu. Hal ini memang betul demikian, karena dua orang
itu sengaja tidak memainkan Ilmu Silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang
dikenal baik oleh Beng San. Andai kata dia sendiri harus menghadapi jurus-jurus
yang sama sekali asing baginya itu, tentu dia akan terjungkal dengan sendirinya
karena pusingnya.
Baiknya
dengan ‘tuntunan’ kakek itu melalui penyaluran hawa pada kedua pundaknya, dia
masih mampu dengan cepat dan tepat memainkan Im-yang Sin-kiam untuk menghadapi
semua serangan lawan, bahkan balas menyerang dengan tak kurang dahsyatnya.
Pertempuran
itu berjalan seru dan hebat. Apa bila Beng San terdesak, tiba-tiba kakek di
belakangnya berseru nyaring dan... jenggotnya yang panjang melambai sampai ke
perut itu lalu bergerak menyambar-nyambar ke depan, mengeluarkan suara angin
bersiutan dan rambut ini yang tadinya halus sekali seakan-akan telah berubah
menjadi cemeti baja yang menyambar ke arah kedua lawannya!
Setelah hari
mulai menjadi gelap, Beng San melihat dua orang lawannya berpeluh dan uap
keputihan mengebul di atas kepala mereka. Ia pun mendengar kakek di belakangnya
terengah-engah napasnya, dua tangan yang mencengkeram pundaknya mulai
menggetar. Napas kakek itu mulai meniup-niup kepalanya, terasa panas sekali.
Dia sendiri
belum lelah, maklum karena semenjak pertempuran dimulai, dia seakan-akan selalu
‘menggunakan’ tenaga kakek itu. Peranannya sendiri hanyalah sebagai orang yang
mengeluarkan Im-yang Sin-kiam saja.
Song-bun-kwi
mulai tertawa-tawa dan mengejek. "Heh-heh-heh, Lo-tong, napasmu sudah
empas-empis, jangan-jangan akan putus nanti."
"Souw
Lee, kau sudah tua bangka mau mampus, lebih baik menyerah dan mati dengan tubuh
utuh dari pada harus mati dengan kepala remuk," kata Hek-hwa Kui-bo.
Dua orang
tokoh ini mau mengajak berbicara dan membujuknya, bukan karena mereka merasa
amat kagum kepada kakek tua renta yang ternyata masih amat lihai ini. Memang,
betapa pun jahat dan kejam hati seorang tokoh kang-ouw yang sakti dan aneh,
namun ciri khas orang-orang kang-ouw masih ada kepadanya, yaitu mengagumi serta
menghargai kegagahan dan kelihaian orang.
"Song-bun-kwi!
Hek-hwa Kui-bo…!” Kakek ini berkata terengah-engah. "Sebelum leherku
patah, jangan harap kalian berdua akan mendapatkan Liong-cu Siang-kiam dan
Im-yang Sin-kiam-sut. Tanpa yang dua itu pun kalian sudah cukup jahat dan sudah
terlalu banyak menyebar kekejaman di dunia."
Song-bun-kwi
mengeluarkan bentakan marah dan sulingnya mendesak makin hebat. Juga Hek-hwa
Kui-bo memutar sapu tangannya yang mengeluarkan beberapa macam warna yang
bersinar-sinar, mengurung diri Beng San dan kakek itu.
Tiba-tiba
Beng San merasa betapa kedua tangan kakek di pundaknya itu menjadi dingin
sekali. Dia tidak mengerti apa sebabnya, tidak tahu bahwa dalam kelihaiannya
kakek tua renta itu sudah berlaku cerdik, menggunakan tenaga Im untuk menarik
keuntungan dari pertempuran itu.
Beng San
mulai mengerti akan maksud kakek itu ketika dia meminta kepadanya supaya jangan
mengalah. Dia sekarang tahu bahwa Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang sudah
dia pelajari dari dua orang gurunya yang telah meninggal dunia, ternyata amat
dirindukan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, seperti halnya sepasang pedang ini. Ia
mengerti bahwa dua orang tua yang kini mengeroyoknya itu adalah orang-orang
jahat yang kalau sampai dapat merampas ilmu dan pedang, akan menjadi makin
ganas dan jahat lagi.
Sekarang
saja sudah dapat membayangkan kekejian hati mereka. Dua orang tokoh besar dalam
dunia persilatan, tetapi tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk mengeroyok
dan mendesak seorang anak-anak dan seorang kakek tua!
"Song-bun-kwi
dan Hek-hwa Kui-bo, kalian benar-benar keji dan jahat!" Baru saja Beng San
mengeluarkan kata-kata ini, kakek di belakangnya mengeluarkan teriakan keras
lalu roboh telentang, mulutnya mengeluarkan darah, matanya mendelik dan tak
sadarkan diri.
Beng San
menjadi merah kehitaman mukanya. la kaget dan menoleh, mukanya menjadi makin
hitam saking marah. la mengira bahwa kakek itu tentu telah jatuh karena pukulan
dari dua orang lawannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kakek
sakti di belakangnya itu roboh oleh karena dia!
Ketika tadi
dia memaki Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tanpa dia sadari, Beng San yang
marahnya memuncak itu sudah menyalurkan hawa ‘Yang’ di tubuhnya, membuat mukanya
menjadi merah hitam. Tenaga Yang di badannya memang hebat sekali, tidak
sewajarnya. Tenaga inilah yang memukul kakek itu melalui kedua tangan yang
diletakkan di pundaknya. Kakek itu sedang menggunakan tenaga Im, maka pukulan
tenaga Yang dari tubuh Beng San yang amat kuat itu tak tertahankan olehnya,
membuat dia terjungkal dan pingsan.
Andai kata
tenaga dahsyat dari tubuh Beng San ini tadi dikeluarkan pada waktu kakek itu
mempergunakan tenaga Yang, tentu kehebatan kakek ini akan bertambah dan mungkin
sekali mereka berdua mampu mengusir Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Namun, apa
hendak dikata, anak itu memang belum mengerti akan keadaan dirinya sendiri dan
belum tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan kekuatan dan kepandaian yang
dia miliki secara kebetulan itu.
Untung bagi
Beng San bahwa dua orang sakti di depannya itu memang tidak mempunyai maksud
untuk membunuhnya pada saat itu, karena keduanya membutuhkannya. Hek-hwa Kui-bo
dengan suara ketawanya yang menyeramkan sudah maju menubruknya.
"Kui-bo,
perlahan dulu," Song-bun-kwi berseru dan juga menubruk ke depan, mendorong
tubuh Hek-hwa Kui-bo.
Wanita tua
itu marah sekali. Dengan bentakan keras dia membalik badan dan menyerang
Song-bun-kwi dengan sapu tangannya.
Tentu saja
Song-bun-kwi tidak rela kepalanya terancam hancur oleh ujung sapu tangan yang
amat ampuh itu. Cepat sulingnya digerakkan menangkis dan di lain saat dua orang
ini sudah saling gempur.
Kalau tadi
dua tokoh ini bersatu dalam menghadapi sepasang pedang di tangan Beng San yang
dibantu oleh kakek Lo-tong Souw Lee, sekarang mereka bertempur satu sama lain.
Bertempur mati-matian untuk saling memperebutkan Beng San berikut sepasang
pedang Liong-cu Siang-kiam.
Pertandingan
itu makin lama semakin seru dan dahsyat, sedangkan cuaca makin lama semakin
menjadi gelap. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo memang sama-sama memiliki ilmu
kepandaian yang setingkat, apa lagi masing-masing telah mendapat kitab
Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Berulang kali mereka menukar ilmu untuk
merobohkan lawan, namun selalu sia-sia.
Yang
terheran-heran adalah Beng San. Kadang-kadang dia tidak dapat melihat dua orang
itu yang lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka, akan tetapi ada kalanya
pula dia melihat mereka dengan jelas karena mereka itu berkelahi dengan
gerakan-gerakan yang luar biasa, amat lambat seperti orang main-main saja.
Akhirnya dia
tidak dapat melihat mereka sama sekali ketika matahari sudah bersembunyi dan
cuaca telah menjadi hitam gelap. Hanya desir angin pukulan mereka saja yang
masih terdengar dan terasa.
Tiba-tiba
Beng San merasa tangannya dipegang orang dari belakang, kemudian dia ditarik
perlahan ke belakang. Ketika dia menengok, di dalam gelap itu dia masih melihat
tubuh kakek tua renta yang sekarang telah berdiri dan mengajak dia pergi dari
tempat itu.
Beng San
maklum akan maksud hati kakek ini. Tentu melihat dua orang sakti itu sedang
saling gempur sendiri, kakek itu lantas mengajaknya menggunakan kesempatan ini
untuk melarikan diri di dalam gelap.
Benar saja
dugaannya. Tidak lama kemudian dia merasakan tubuhnya seperti terbang,
sedangkan tangannya masih terus digandeng oleh kakek itu. Diam-diam dia kagum
sekali. Ternyata bahwa kakek tua ini dalam berlari cepat tidak kalah oleh
Song-bun-kwi mau pun Hek-hwa Kui-bo.
Beng San
mendengar teriakan-teriakan marah dari Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo.
Lapat-lapat dia mendengar mereka memaki-maki dan menyuruh dia berhenti. Akan
tetapi suara dua orang yang mengejarnya itu makin lama semakin jauh, agaknya
mereka sesat jalan, tidak tahu ke mana larinya Beng San bersama kakek tua itu.
Barulah lega
hati Beng San setelah suara mereka tidak terdengar lagi. Juga kakek tua itu
kini tidak berlari terlalu cepat lagi, hanya mengajak Beng San berjalan melalui
hutan-hutan yang besar.
"Apakah
bulan sudah keluar, anak yang baik?" tanya kakek itu, berhenti dan
berdongak ke atas.
Beng San
terheran. Apakah kakek itu tak dapat melihat sendiri? Kenapa harus bertanya?
"Belum,
hanya langit penuh bintang."
"Hemmm,
coba kau lihat baik-baik, di mana letak Bintang Kak-seng (Bintang
Terompet)?"
"Aku
tidak tahu yang mana itu bintang Kak-seng," jawab Beng San.
"Kalau
begitu, di mana letaknya Bi-seng (Bintang Ekor)?"
Beng San
makin bingung. Matanya menatap bintang-bintang di langit yang tiada terhitung
banyaknya.
"Yang
mana Bi-seng aku pun tidak tahu."
Kakek itu
menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Kiranya kau memang belum
tahu apa-apa. Ahh, sudahlah. Katakan saja bintang apa yang kau ketahui?"
Beng San
kemudian menuding ke atas dan berkata, "Bintang-bintang Gu-seng (Bintang
Kerbau) itu aku kenal!"
Memang
dahulu pernah dia mendengar dari seorang hwesio di Kelenteng Hek-thian-tong
tentang Bintang Kerbau ini, sekumpulan bintang terdiri dari enam buah menyerupai
kepala kerbau dengan tanduknya.
Kakek itu
nampak girang. "Bagus! Coba kau tunjukkan, di mana Gu-seng itu?"
"Tuh,
di sana!"
"Huh,
aku tak dapat melihat. Kau pegang tanganku dan tunjukkan di mana arah
letaknya."
Berdebar
jantung Beng San. Kiranya kakek ini buta! la menatap wajah kakek itu. Tadinya
dia menyangka bahwa kakek itu bermata sipit sekali, tidak tahunya memang selalu
meram tak dapat dibuka, seorang buta!
Timbul rasa
kasihan di dalam hatinya, akan tetapi juga kekagumannya makin membesar. Seorang
kakek tua renta lagi buta, akan tetapi bukan main lihainya! Dia lalu memegang
tangan kanan kakek itu dan menudingkan tangan itu ke arah kumpulan Bintang
Gu-seng.
"Hemmm,
kalau begitu kita harus ke kanan," kata kakek itu sambil menggandeng tangan
Beng San dan berlari lagi. "Beng San, kau ikutlah aku. Biarkan aku
menggosok intan yang masih mentah ini!"
Beng San
tidak mengerti maksud kata-kata kakek itu dan hendak bertanya, akan tetapi
kakek itu sudah berlari lagi dengan amat cepatnya. Karena maklum bahwa kakek
ini tidak jahat seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, maka dia tidak banyak
membantah dan menurut saja dibawa lari secepatnya….
***************
Mereka duduk
berhadapan di atas batu-batu hitam yang halus di atas puncak yang tinggi,
demikian tingginya sehingga seolah-olah dengan tangannya orang akan dapat
menyentuh bintang-bintang di langit. Inilah tempat sembunyi kakek itu yang
disebut Ban-seng-kok (Puncak Selaksa Bintang), sebuah di antara puncak-puncak
di Pegunungan Cin-ling-san. Akan tetapi puncak Ban-seng-kok ini adalah puncak
yang tersembunyi karena di kelilingi jurang-jurang yang tak mungkin dilintasi
manusia.
Hanya
Lo-tong Souw Lee si anak tua itulah yang sudah mendapatkan jalan rahasianya
dengan merayap melalui jurang-jurang yang sangat dalam. Tidak mengherankan apa
bila orang tua ini mempergunakan Ban-seng-kok sebagai tempat bersembunyi atau
tempat bertapa. Puncak ini memang indah sekali, penuh dengan pohon-pohon liar,
bunga-bunga beraneka macam, hawanya sedang dan udaranya bersih.
Setelah
melakukan perjalanan lima hari lima malam lamanya, pada senja hari tadi Beng
San dan kakek itu tiba di tempat ini, dan malam ini mereka duduk di luar pondok
kecil tempat tinggal Souw Lee. Beng San kagum bukan main menyaksikan
pemandangan yang amat indah di waktu malam ini. Angkasa sedemikian bersihnya
sehingga dia dapat melihat bintang-bintang yang memenuhi langit.
"Beng
San, entah apa dosa-dosamu dahulu terhadap Thian maka sekecil ini kau sudah
bernasib malang, menjadi perebutan tokoh-tokoh kang-ouw. Hemmm, kau si kecil
dan aku si tua bangka benar tak ada bedanya, dibenci dan dicari oleh mereka
yang selalu kurang puas...," demikianlah kakek tua yang buta itu berkata
kepada Beng San.
Ketika
mendengar ucapan kakek itu Beng San sadar dari lamunannya.
"Kakek
Souw Lee, tak perlu diherankan kalau orang memperebutkan sepasang pedangmu yang
hebat itu. Hanya anehnya, mengapa agaknya mereka juga hendak membunuhmu? Ada
pun aku... ahh tak tahu aku mengapa mereka mati-matian hendak memperebutkan
pelajaran-pelajaran yang tidak ada artinya itu?"
"Tidak
ada artinya kau bilang, Heh-heh-heh, Beng San. Dalam hal ini kau lebih buta
dari pada mataku. Aku mengikuti ketika kau berhadapan dengan Song-bun-kwi,
kemudian kau menghadapi Hek-hwa Kui-bo. Kau cerdik sekali sudah menipu mereka.
Kecerdikanmu itu menarik hatiku. Memang, tak salah kalau Phoa Ti dan The Bok
Nam mewariskan Im-yang Sin-kiam-sut kepadamu." Kakek itu mengangguk-angguk
dan Beng San membelalakkan matanya saking herannya.
"Kakek
Souw, kenapa kau bisa mengetahui semua itu?"
Kakek buta
itu tertawa lagi. "Siapa yang tidak tahu bahwa Im-sin-kiam dan
Yang-sin-kiam terjatuh ke dalam tangan Thian-te Siang-hiap? Hanya tidak pernah
kusangka sekarang sudah terjatuh ke dalam tangan sepasang iblis itu! Kebetulan
sekali aku mendengar ketika kau diserang oleh Song-bun-kwi. Angin gerakannya
dan angin gerakan tanganmu biar pun lemah dapat terdengar olehku, dan tahulah
aku bahwa kalian memainkan ilmu silat yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Setelah kalian berbicara baru aku tahu bahwa itulah Yang-sin Kiam-sut. Pantas
begitu hebat." Kembali dia mengangguk-angguk. "Kemudian kau dibawa
pergi Hek-hwa Kui-bo. Aku diam-diam mengikuti dan sesudah melihat sikap iblis
wanita itu kepadamu, baru aku dapat mengetahui bahwa dua orang itu ternyata
telah merampas kitab-kitab itu, seorang satu."
"Betul
sekali," Beng San menarik napas panjang. "Mereka sudah merampas
kitab, bahkan membunuh dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam. Bagiku, apa sih
gunanya kedua ilmu itu? Kalau lapar tidak bisa mengenyangkan perut, kalau haus
tidak bisa memuaskan kerongkongan. Paling-paling bisa digunakan untuk menipu
orang dan main gebuk!"
Kakek buta
itu tertawa bergelak. "Ha-hah-hah! Ketahuilah Beng San. Dua atau tiga
puluh tahun yang lalu, aku sendiri pun akan memaksa kau mengeluarkan dua ilmu
itu kepadaku. Mungkin sekali aku pun akan memaksamu, kalau perlu menyiksa malah
membunuhmu."
Beng San
menjadi marah. Ternyata dia salah kira. Disangkanya kakek ini orang baik, tidak
seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, kiranya begini bicaranya!
"Huh,
Kakek Souw. Tadinya aku kira hatimu melek, tidak tahunya sama butanya dengan
kedua matamu. Kau yang sudah berilmu tinggi itu dan belum kau ketahui apa semua
itu kegunaannya, masih saja menginginkan ilmu yang lain dengan cara memaksa
orang lain? Hemmm, sebetulnya apa sih artinya memiliki ilmu silat setinggi
langit?"
"Ho-ho-ho,
anak bodoh. Apa bila aku tidak mempunyai ilmu silat tinggi, apakah tadi tidak
mampus di tangan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Kalau aku tidak memiliki ilmu
silat lumayan, apakah dari dulu-dulu tidak sudah mampus? Kepandaian silat
tinggi menjamin keselamatan kita, Beng San. Di dunia kang-ouw, ilmu kepandaian
adalah hal yang paling penting dimiliki, karena hanya dengan kepandaian tinggi
kita bisa terhindar dari kematian di tangan orang lain."
"Uhhh!"
Beng San mencela. "Mana bisa ada aturan demikian? Kakek tua, mati atau
hidup bagaimana bisa tergantung kepada ilmu silat? Kau yang pandai ilmu silat
tinggi, apa bila sebentar lagi mati karena tua, apakah bisa bertukar kulit
menjadi muda kembali? Salah, kakek Souw. Menurut kitab-kitab kuno yang pernah
kubaca dan kupelajari, mati dan hidup bukanlah urusan kita untuk menentukan.
Kalau Thian menghendaki kematian kita, walau pun kita memiliki nyawa rangkap
selaksa, toh akan mati juga tak usah menanti orang lain membunuh kita.
Sebaliknya, apa bila Thian menghendaki kita masih harus hidup, biar ada selaksa
orang berusaha membunuh kita, kiranya tak akan ada yang berhasil.”
"Ya
Tuhan...!" Kakek itu menangkap tangan Beng San dengan kedua tangan
menggigil. "Anak baik... kau mengetahui semua itu dari mana?"
Ucapan yang
penuh keheranan dan kekaguman ini membuat Beng San menjadi malu. "Dari
hwesio-hwesio di Kelenteng Hong-thian-tong. Semenjak kecil aku menjadi pelayan
di kelenteng itu dan menerima jejalan pelajaran filsafat dari kitab-kitab
kuno."
Kakek buta
itu menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Alangkah
ganjilnya. Seorang anak kecil mempelajari ilmu batin dan mendapatkan inti
sarinya untuk dipakai dalam hidup. Manusia-manusia tua bangka seperti aku dan
yang lain-lain, justru mempelajari ilmu kebatinan untuk mendapatkan kekuatan
mempertinggi kepandaian silat. Benar-benar menyeleweng... benar-benar
tersesat..." Kakek ini lalu merangkul Beng San dan menangis terisak-isak!
Tentu saja
anak sekecil Beng San belum mengerti betul apa sebetulnya yang dipikirkan dan
apa artinya kata-kata kakek ini. la malah mengira bahwa kakek itu telah
melakukan perbuatan keliru dan kini merasa menyesal.
Maka untuk
menghiburnya, dia mengutip ujar-ujar kuno lagi, "Kakek Souw, pernah para
suhu mengatakan kepadaku bahwa insyaf dan menyesal terhadap kesesatan diri
sendiri termasuk kebajikan pula. Jauh lebih baik insyaf dan menyesal dari pada
membanggakan dan menyombongkan diri sendiri."
Kakek itu
makin terharu, lalu mengusap-usap kepala Beng San. "Anak baik... anak baik...
kuharap dalam beberapa pekan ini kau suka mengulang semua pelajaran yang pernah
kau pelajari dari para suhu (guru) di Kelenteng Hok-thian-tong itu. Phoa Ti dan
The Bok Nam benar ketika memilih kau sebagai ahli waris. Sayang mereka tidak
ada waktu untuk menurunkan dasar-dasar ilmu silat. Beng San, kau harus menurut
kata-kataku, kau harus tekun melakukan siulian (semedhi). Semua itu untuk
memperkuat tubuh dalammu serta mengimbangi ilmu-ilmu tinggi yang sudah kau
miliki. Bila tidak demikian, kau akan celaka, sebelah dalam tubuhmu akan rusak
binasa."
Tadinya Beng
San tidak begitu tertarik. Akan tetapi oleh karena kakek itu bermaksud baik dan
memang di dunia ini dia sebatang kara, untuk menyenangkan hati kakek buta itu
dia pun menyanggupi.
Demikianlah,
mulai malam itu juga, Beng San mengeluarkan semua hafalannya tentang kitab suci
di jaman dahulu. Sebaliknya, dia menerima petunjuk-petunjuk dari kakek sakti
itu mengenai semedhi, latihan napas, Iweekang, khikang, dan lain-lain yang
berhubungan dengan ilmu silat.
Terjadi
perubahan amat besar pada diri kakek buta itu setelah setiap hari dia mendengar
kata-kata filsafat dari kitab-kitab kuno yang diucapkan oleh Beng San. Dia
nampak lebih tenang, wajahnya selalu berseri dan berkali-kali dia menyatakan
bahwa sekarang dia rela mati, tidak takut mati lagi.
Beng San
memang banyak menghafal kitab-kitab yang dulu pernah dia baca di Kelenteng
Hok-thian-tong. Selain kitab-kitab Agama Buddha seperti Dhammapada dan
lain-lain, dia juga membaca dan menghafal isi kitab Upanisad dan kitab-kitab
Su-si Ngo-keng pelajaran Nabi Khong Cu.
Kurang lebih
seratus hari kemudian, Beng San sudah mempelajari semua ilmu yang tiap hari
diturunkan oleh kakek buta itu kepadanya. Tentu saja yang dia pelajari dan
hafalkan hanya teorinya, ada pun mengenai prakteknya, baru sedikit-sedikit yang
dia latih di bawah petunjuk kakek Souw Lee.
Pagi hari
itu kakek Souw Lee berkata. "Beng San anak baik. Semua pengertianku
tentang ilmu batin yang dihubungkan dengan ilmu silat, tentang siulian,
Iweekang serta khikang, semua telah kuajarkan kepadamu. Hanya tinggal kau tekun
melatih diri saja. Berkat hawa Im-Yang di dalam tubuhmu yang amat luar biasa,
ditambah bakat dan ketekunanmu, kau tentu akan mendapat kemajuan pesat dan
besar, jauh lebih besar dari pada aku sendiri. Mulai hari ini, kau harus pergi
meninggalkan aku."
Beng San
kaget. Dia sudah mulai betah tinggal di tempat sunyi itu bersama kakek Souw
Lee. Mengapa sekarang disuruh pergi? Hampir Beng San menangis ketika dia
berkata, "Kakek Souw, mengapa kau mengusirku? Apa salahku? Kakek yang
baik, biarkanlah aku berada di sini mengawanimu..."
Kakek Souw
Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Anak baik, banyak persamaan nasib
antara kita. Kau harus meninggalkan aku, demi untuk kebaikanmu sendiri, dan
juga untuk kemajuanku. Aku hendak bertapa untuk menebus semua penyelewenganku
yang dahulu, membersihkan pikiran dan hati. Dan kau, kau masih muda, kau harus
mencari kemajuan dalam hidupmu. Kalau kau tinggal di sini, amat berbahaya. Kau
tahu, banyak tokoh jahat yang amat lihai mencari aku.”
"Kenapakah,
Kakek Souw Lee? Kenapa mereka mencarimu?"
Souw Lee
mengeluarkan sepasang pedangnya. "Karena inilah, karena sepasang Liong-cu
Siang-kiam inilah. Untuk jaman ini, sepasang pedang ini termasuk pedang keramat
yang ampuh dan jarang bisa mendapatkan tandingnya. Pedang ini dahulu pusaka
dari seorang pendekar besar bernama Sie Cin Han yang berjulukan Pendekar Bodoh.
Kau lihat yang panjang ini dan pada gagangnya terdapat huruf JANTAN, nah,
inilah yang dipakai oleh pendekar itu. Ada pun yang pendek dan berhuruf BETINA
ini dulu dipakai oleh pendekar wanita yang terkenal berjuluk Ang I Niocu (Nona
Baju Merah). Akan tetapi, hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu.
Kemudian, setelah beberapa keturunan, sepasang pedang ini lenyap. Banyak tokoh
kang-ouw mencari, akan tetapi tidak seorang pun tahu di mana lenyapnya pedang
itu. Akhirnya akulah yang mendapatkannya, kucari dari gudang istana
kaisar!"
"Ahhh...!"
Beng San berseru kaget dan kagum.
"Semenjak
itulah aku selalu dicari-cari oleh para tokoh kang-ouw. Yang lain-lain tidak
ada artinya bagiku, tetapi orang-orang seperti Song-bun-kwi, Hek-Hwa Kui-bo,
Siauw-ong-kwi dan Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mereka itu amat berbahaya.
Karena itu akhirnya aku menyembunyikan diri di sini. Aku pun sudah mendengar
tentang Thian-te Siang-hiap yang telah mendapatkan Im-yang Sin-kiam dan ingin
aku mencari mereka untuk merampasnya. Akan tetapi Thian menghukum aku, agaknya
dosaku terlalu banyak. Aku sudah terlalu tua sampai kedua mataku buta, namun
belum juga aku dibebaskan dari dunia ini."
Kakek itu
menarik napas panjang dan dia lalu berdongak ke atas, seakan-akan dengan
matanya yang buta dia hendak mencari-cari Thian di atas!
"Kakek
Souw, biarlah aku menemanimu di sini. Aku suka tinggal di sini dan aku suka
melayanimu."
Kembali Souw
Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Tidak bisa, Beng San. Hal itu akan
berbahaya sekali. Tadinya Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo menyangka aku sudah
mati karena tua. Setelah aku dilihat oleh mereka, apakah mereka dan yang
lain-lain akan mau sudah begitu saja sebelum merampas Liong-cu Siang-kiam ini?
Ahh, mereka tentu akan muncul sewaktu-waktu dan aku tidak mau melihat kau
terbawa-bawa, apa lagi memang kau pun dikehendaki mereka."
”Pergi ke
manakah? Aku sebatang-kara..." Suara Beng San terdengar sedih dan bingung.
"Tak
perlu gelisah. Bukankah sebelum kau bertemu denganku, kau pun sudah sebatang
kara? Aku akan memberi surat, kau berikan suratku ini kepada seorang sahabat
baikku, yaitu Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Kau tentu akan mendapatkan
perlindungan di sana dan kau akan aman. Akan tetapi ingat, biar pun terhadap
seorang sahabat lama seperti Lian Bu Tojin, aku tak percaya kepadanya mengenai
persoalan Im-yang Sin-kiam-sut dan tentang Liong-cu Siang-kiam. Ingat, semua
pelajaran yang sudah kuturunkan kepadamu itu merupakan kunci untuk membuka
pintu gerbang persilatan bagimu. Kau harus melatih siulian dan pernapasan.
Dengan latihan yang tekun, kau akan mampu menguasai tenaga dalam Im dan Yang di
dalam tubuhmu yang sangat kuat itu. Kau akan dapat mengatur tenaga itu menurut
sesukamu dan disesuaikan dengan Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut. Akan tetapi,
jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain, kau simpan rahasia itu.
Sekali-kali tidak boleh diketahui orang lain sebelum sempurna latihanmu. Apa
bila engkau melanggar pesanku ini dan sampai rahasiamu diketahui orang, ahhh...
sudah pasti kau akan menghadapi seribu satu macam bencana."
Beng San
ragu-ragu. "Kakek Souw, aku tidak mengenal ketua Hoa-san-pai itu.
Bagaimana kalau aku tidak betah tinggal di sana? Bagaimana kalau dia tidak mau
menerimaku?"
“Mustahil
dia takkan mau menerimamu. Dia orang baik dan suratku akan menjamin dirimu. Kau
boleh bekerja apa saja di sana. Atau, andai kata kau tidak suka di sana setelah
kau melihat keadaan, kau boleh saja pergi turun gunung, tapi jangan muncul di
tempat umum. Lebih baik kau kembali menjadi kacung di Hok-thian-tong,
bersembunyi sambil melatih diri sampai menjadi kuat betul. Setelah itu, baru
kau boleh datang ke sini. Kau sudah kuberi tahu goa Ular yang berada di lereng
itu. Nah, di sanalah kau cari pedang ini. Sementara ini sebelum kau kuat, kau
tidak boleh membawa pedang ini. Apa lagi sekarang masih aku perlukan untuk
menjaga diri. Kelak, pedang ini kuberikan padamu. Nah, kau berangkatlah, Beng
San. Letak Hoa-san-pai sudah kuterangkan kepadamu.”
Sedih hati
Beng San. Akan tetapi apa daya? la harus memenuhi permintaan kakek ini. la
datang sebagai tamu, kalau tuan rumah sudah mengusirnya, apa yang dapat dia
lakukan?
Setelah
menerima sehelai surat yang ditulis secara cakar ayam oleh kakek buta ini, Beng
San lalu pergi dari tempat itu. Dia turun melalui jalan rahasia yang
ditunjukkan oleh kakek itu kepadanya….
***************
Setelah
keluar dari tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, Beng San lalu melakukan
perjalanan cepat. Kebetulan dia lewat di dusun tempat tinggal hartawan Kwi di
mana dia dahulu bersama Tan Hok menghadapi serbuan ular yang dikerahkan Giam
Kin.
Heran sekali
dia melihat dusun yang tiga bulan yang lalu sudah amat sunyi itu sekarang sama
sekali kosong. Rumah gedung Kwi-wangwe? Sudah menjadi puing bekas terbakar! Dia
menduga bahwa ini tentulah perbuatan Tan Hok yang merasa marah sekali kepada
hartawan pelit itu. Dugaannya hanya sebagian saja betul.
Memang
ketika Beng San dahulu mengejar Giam Kin, Tan Hok terus mengamuk. Betapa pun
juga gagahnya, dia tentu akan celaka dikeroyok oleh tukang-tukang pukul yang
amat banyak itu, jika saja tidak keburu datang serombongan orang Pek-lian-pai
yang kebetulan lewat di situ.
Tentu saja
para anggota Pek-lian-pai ini mengenal Tan Hok yang menjadi murid Tan Sam,
seorang tokoh Pek-lian-pai. Segera mereka menyerbu dan membantu Tan Hok
sehingga tuan tanah dan hartawan itu bersama semua kaki tangannya yang selalu
mempraktekkan penindasan dan kekejaman dapat dibasmi, harta bendanya dirampas
sedangkan rumah gedungnya dibakar. Tan Hok lalu pergi ikut rombongan ini
meninggalkan dusun itu.
Memandangi
rumah gedung hartawan Kwi yang sudah menjadi tumpukan puing itu, Beng San
terkenang kepada Tan Hok. Dia amat suka kepada pemuda raksasa muda itu yang
jujur dan gagah, apa lagi yang senasib pula dengannya, tiada orang tua dan
tiada tempat tinggal. Akhirnya dia menghela napas dan meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan merah di depannya. Mata Beng San terbelalak pada saat
melihat seorang anak perempuan berpakaian merah berdiri di sana,
tersenyum-senyum ramah dan matanya bersinar-sinar seperti bintang pagi. Beng
San terbelalak bukan saking kagum melihat gadis cilik yang mungil ini sekarang,
tetapi saking gelisah dan takutnya.
Dia maklum
bahwa bocah ini ada hubungannya dengan Song-bun-kwi, entah muridnya entah
anaknya atau pelayannya. Akan tetapi yang jelas, tiga bulan yang lalu bocah ini
muncul, lalu muncul pula Song-bun-kwi.
"Kau
siapakah? Siapa namamu dan kau datang ke sini mau apa?" Beng San bertanya,
suaranya halus karena tak mungkin orang dapat bersikap galak terhadap seorang
anak manis yang tersenyum-senyum ramah dengan matanya yang bersinar gemilang
itu.
Anak berbaju
merah itu tersenyum lebar dan seketika Beng San teringat akan wajah Kwa Hong.
Biar pun ada perbedaan besar antara Kwa Hong dan anak ini, yaitu Kwa Hong galak
sekali tapi anak ini ramah tamah dan penuh senyum, akan tetapi kalau tersenyum
mereka ini itu sama. Sama manisnya, bahkan bentuk wajahnya hampir sama. Apa
lagi pakaian mereka. Agaknya dua orang anak itu mempunyai kesukaan yang sama
terhadap warna merah.
Ditanya oleh
Beng San, anak itu hanya tertawa-tawa, kemudian ia menggandeng tangan Beng San,
ditarik-tarik ke sebuah pohon. Memang di sekitar rumah gedung hartawan Kwi
terdapat banyak pohon bunga yang beraneka warna. Sebagian besar dari
pohon-pohon ini ikut terbakar, akan tetapi pohon besar di sebelah kanan gedung
itu masih berdiri tegak dan pada saat itu di puncak pohon terdapat banyak
kembangnya yang berwarna kuning.
Setelah tiba
di bawah pohon itu, anak perempuan tadi melepaskan tangan Beng San, lalu sambil
tersenyum ia menunjuk ke atas, ke arah kembang. Dengan jari-jari tangannya yang
mungil serta terpelihara bersih itu, dia memberi tanda supaya Beng San
mengambilkan bunga untuknya!
Ada rasa
perih menusuk hati Beng San oleh gerakan-gerakan jari tangan ini. Ia menjadi
terharu. Memang ketika pertama kali bertemu dengan anak perempuan ini serta
melihat Song-bun-kwi memberi tanda dengan tangan, dia sudah menduga bahwa anak
ini gagu.
Sekarang
melihat anak ini mengajak dia ‘berbicara’ dengan gerakan-gerakan tangan, dia
menjadi terharu sekali. Akan tetapi di samping keharuan ini, dia pun amat
terheran-heran karena dia sudah pernah menyaksikan sendiri betapa gadis ini
sangat lihai. Gerakannya cepat laksana burung, dan untuk mengambil bunga di
pohon sedemikian saja tentu akan dapat dilakukannya sendiri, mengapa sekarang
minta dia yang memetikkannya?
Betapa pun
juga, melihat sepasang mata itu memandang penuh permintaan, dengan sinar yang
lembut dan luar biasa itu, dia tidak kuasa menolaknya. la pun mengangguk sambil
tersenyum, lalu seperti seekor kera, Beng San memanjat pohon itu naik ke atas.
Gerakannya
ringan dan dia merasa amat mudah memanjat pohon Itu. Sebentar saja dia sudah
sampai di puncak, lalu memetik setangkai bunga yang dianggapnya paling segar
dan baik.
Sepasang
mata anak itu bersinar-sinar ketika dia menerima kembang dari tangan Beng San.
Dengan cekatan dipakainya kembang itu di atas rambutnya yang hitam, kemudian ia
memasang gaya di depan Beng San, membalik ke sana ke mari seakan-akan hendak
memamerkan kecantikannya dengan hiasan bunga di kepalanya itu. Setelah
berputaran di depan Beng San, kemudian dia berdiri menghadapi Beng San, dan
sepasang matanya seolah bertanya bagaimana pendapat Beng San setelah ia memakai
kembang.
Mau tak mau
Beng San tersenyum. Alangkah akan bahagianya kalau dia bisa mempunyai adik atau
seorang teman semanis ini, semanja ini, yang begitu mengharukan sikap dan
gerak-geriknya. Dia lalu tersenyum dan mengangkat ibu jari tangan kanannya
tinggi-tinggi, tanda bahwa gadis cilik itu benar-benar jempol.
Gadis cilik
itu mengerti gerakan ini. Sambil mengeluarkan suara yang mirip tawa, dia
memegang kedua tangan Beng San, lalu mengajak Beng San berputar-putar menari di
bawah pohon. Bukan main gembiranya gadis cilik itu, dia menari-nari dengan
gerakan lincah sehingga mau tidak mau Beng San ikut pula menari-nari dan
tertawa-tawa.
Selama
hidupnya belum pernah dia merasakan kegembiraan seperti kali ini dan tak terasa
pula dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. Kegembiraan dan kebahagiaan
yang luar biasa mendatangkan keharuan yang tak dapat ditahannya pula.
Tiba-tiba
gadis itu berhenti, memandang kepada Beng San dengan matanya yang bening, penuh
keheranan dan pertanyaan. Kemudian jari-jari tangannya diangkat ke atas, dengan
halus diusapnya dua butir air mata itu dari pipi Beng San, lalu dia
menggeleng-gelengkan kepala perlahan, seakan-akan hendak berkata bahwa Beng San
tidak boleh menangis.
Dalam
keadaan yang aneh ini, di mana tidak ada sepatah pun kata-kata keluar dari
mulut kedua orang anak itu, Beng San seakan-akan dapat mengerti semua,
seakan-akan dapat menjenguk isi hati dan membaca pikiran gadis cilik itu, bahwa
gadis itu dapat pula merasai kesengsaraan dirinya, kesunyiannya, bahkan mereka
itu senasib sependeritaan serta ada kecocokan yang membuat keduanya menaruh
kasihan satu kepada yang lain.
Dari jauh
terdengar suara melengking tinggi, suara tangisan. Gadis cilik berbaju merah
itu menjadi pucat, tangannya dingin menggigil dan cepat sekali ia menarik
tangan Beng San, diajaknya berlari-lari ke arah bekas rumah gedung yang sudah
menjadi tumpukan puing. Dengan gerakan tiba-tiba gadis itu mendorong tubuh Beng
Sang menerobos ke bawah tumpukan kayu-kayu hangus sambil menunjuk-nunjuk supaya
anak itu bersembunyi.
Tadinya Beng
San bingung tidak mengerti, akan tetapi setelah suara melengking itu makin
dekat, dia mengerti apa artinya itu. Song-bun-kwi datang! Cepat dia lalu
menyelundup ke bawah kayu dan arang, bersembunyi di bawah puing. Akan tetapi
dasar dia seorang anak yang tabah dan nakal, dalam bersembunyi dia mengintai ke
luar.
Suara
melengking seperti orang menangis itu makin lama makin keras, lalu tiba-tiba
saja berhenti, dan tahu-tahu di depan gadis itu sudah berdiri seorang
laki-laki, Song-bun-kwi dengan muka kelihatan tak senang! Mukanya merah dan
matanya melotot, dua tangannya menggerak-gerakkan jari-jari tangan sambil
menatap wajah gadis cilik itu.
Anak
perempuan itu nampak takut-takut, berkali-kali menggeleng kepalanya. Kembang di
rambutnya ikut bergoyang-goyang dan ini agaknya yang menarik perhatian
Song-bun-kwi. Sekali renggut dia telah menjambak rambut anak itu dan ditariknya
kembang tadi.
Anak itu
terpelanting dan tentu akan terbanting keras kalau saja tidak cepat-cepat
poksai (bersalto) sehingga ia hanya terhuyung-huyung dan kaget saja. Matanya
memperlihatkan sinar duka ketika kembang tadi hancur di tangan Song-bun-kwi.
Agaknya
Song-bun-kwi tertarik sesuatu. Tanpa mempedulikan lagi anak perempuan itu, ia
memandang ke atas tanah. Tiba-tiba dia membanting kaki. Demikian kerasnya
bantingan kaki ini sampai Beng San yang berada di tempat yang jauhnya ada
sepuluh meter dari situ merasa betapa tanah di bawahnya tergetar sehingga
reruntuhan kayu di atasnya rontok ke bawah.
Kakek itu
nampak semakin marah. Sambil menuding-nuding ke bawah kembali dia bicara dengan
gerakan jari tangannya, agaknya ia memarahi anak perempuan itu atau bertanya
tentang sesuatu. Anak itu kembali menggeleng-geleng kepalanya sambil
menggerakkan jari tangannya.
Mendadak
Song-bun-kwi menjambak rambut anak itu, mengguncang-guncang kepalanya sampai
rambut anak itu terurai lepas, dan setelah itu kepala itu ditempeleng keras.
Anak itu terpelanting roboh, akan tetapi cepat meloncat bangun.
Kedua mata
anak itu mencucurkan air mata, mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh...
Hampir tak tertahankan lagi oleh Beng San. Kemarahannya memuncak dan andai kata
dia tidak ingat akan ajaran-ajaran Lo-tong Souw Lee, pasti dia sudah meloncat
keluar dan membela anak perempuan itu.
Walau pun
dia dipukul mampus, asal dia sudah dapat memaki-maki Song-bun-kwi atas
kekejamannya terhadap anak itu, puaslah dia. Giginya dikertakkan, bibirnya
digigit sampai terasa sakit.
Saking
marahnya, Song-bun-kwi sampai lupa bahwa anak perempuan itu gagu, dan dia
membentak, "Beng San, di mana dia?!" Kembali dia mengancam dengan
tangan hendak menggampar anak itu.
Tiba-tiba
anak itu mengedikkan kepala dan seakan-akan rasa takutnya telah lenyap sama
sekali. Matanya mengeluarkan sinar berapi, mulutnya setengah terbuka, kedua
tangannya dikepal, napasnya terengah-engah, dan dengan beraninya dia maju
menantang kakek itu. Mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh, akan tetapi
nadanya berbeda dengan tadi, kini penuh tantangan!
Beng San
tadinya kagum bukan main. Tapi sekarang dia melongo karena melihat betapa kakek
itu mendadak menjadi lemas, menjatuhkan diri berlutut kemudian memeluk anak itu
sambil menangis tersedu-sedu!
Dan anak
perempuan itu pun hilang kemarahannya. Dia memeluk kepala kakek itu sambil
menangis tanpa bersuara. Pemandangan yang luar biasa mengharukan melihat kakek
itu berlutut memeluk si gagu sambil menangis mengeluarkan suara yang tidak
karuan, akan tetapi sayup-sayup terdengar juga oleh Beng San.
"...
kau seperti ibumu... seperti ibumu..."
Dan anak
perempuan yang tadi dijambaki dan ditempeleng kakek itu, yang tadinya amat
marah seperti hendak melawan, sekarang menangis dan memeluk kepala kakek itu
penuh kasih sayang.
“Bi Goat,
lekaslah beri tahu di mana adanya anak setan itu," Song-bun-kwi berkata
sambil mengelus-elus kepala anak perempuan yang gagu itu.
Anak itu
menggelengkan kepalanya. Kakek itu kemudian menudingkan telunjuknya di atas
tanah seperti hendak mendesak dengan pertanyaan bahwa ada bekas kaki Beng San
di situ.
Semua
kejadian ini terlihat oleh Beng San dan dengan hati berdebar dia mengintai
terus. Anak perempuan yang bernama Bi Goat itu menggerak-gerakkan tangannya,
kemudian menuding ke arah selatan. Kakek itu pun berdiri, menatap wajah itu
tajam penuh selidik, agaknya tidak percaya. Tetapi anak itu menentang pandang
matanya dengan tabah dan berani. Akhirnya kakek itu menggandeng tangan Bi Goat
dan diajak berjalan pergi dan situ ke arah selatan.
Diam-diam
Beng San memperhatikan terus. Ia melihat kakek itu dengan sudut matanya memperhatikan
Bi Goat. Anak itu menoleh dan memandang ke arah bunga-bunga di atas pohon,
agaknya teringat ketika Beng San memetikkan bunga untuknya tadi. Akan tetapi
lirikan ini cukup untuk membuat Song-bun-kwi curiga.
Tubuhnya
berkelebat dan sulingnya diputar. Bunga dan daun terbang berhamburan dan ketika
tubuh kakek itu sudah kembali ke sebelah Bi Goat, pohon tadi telah gundul dan
andai kata di dalamnya bersembunyi Beng San, tentu akan kelihatan jelas. Kakek
itu lalu mengangguk-angguk kepada Bi Goat dan melanjutkan perjalanan sambil
menggandeng tangan anak gagu itu.
Beng San
bergidik. Bukan main lihainya kakek itu. Kalau saja tadi Bi Goat melirik ke
tempat dia bersembunyi, sekali saja, tentu kakek itu akan dapat menemukannya.
Ia tahu bahwa dialah yang sedang dicari.
Bukan hanya
Song-bun-kwi yang mencarinya dan membutuhkannya, juga bukan Hek-hwa Kui-bo.
Menurut dugaan Lo-tong Souw Lee, setiap orang kang-ouw apa bila mendengar bahwa
Beng San mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu di mana adanya Lo-tong Souw
Lee, pasti akan berusaha menangkap anak ini.
Tidak hanya
hendak memaksanya membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, akan tetapi juga hendak
memaksanya membuka rahasia tempat persembunyian kakek yang buta itu. Untung
anak gagu itu ternyata amat baik, dan sengaja melindunginya.
Diam-diam
Beng San berterima kasih sekali kepada Bi Goat. Juga dia amat kasihan pada anak
gagu itu yang agaknya diperlakukan dengan kejam dan keras oleh Song-bun-kwi
Malah menurut dugaannya, anak itu dilarang bermain dengan siapa pun juga.
Buktinya,
dahulu ketika anak itu diajak bermain-main oleh beberapa anak penggembala,
Song-bun-kwi marah-marah. Penggembala-penggembala itu bersama kerbau-kerbaunya
lantas dibunuhnya semua! Beng San menarik napas panjang dan diam-diam dia
berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau dia mempunyai kepandaian melawan
Song-bun-kwi, dia akan menolong anak gagu itu.
Tentu saja
Beng San sama sekali tidak tahu bahwa renungannya ini sebetulnya sangat
menggelikan. Mengapa? Karena anak itu, yang bernama Kwee Bi Goat, bukan lain
adalah anak Song-bun-kwi. Bukan murid, bukan pula anak angkat, melainkan anak
kandung dari isterinya sendiri yang telah meninggal dunia, selagi Bi Goat
berusia kurang dari tiga tahun.
Ternyata Bi
Goat, anak cantik mungil berbaju merah itu, yang senyumnya begitu manis, ramah
dan menawan, adalah anak kandung Song-bun-kwi, Setan Berkabung yang kejam luar
biasa….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment