Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 10
Beng San
berjalan cepat siang malam. Hanya kalau sudah hampir tidak kuat lagi saking
lelahnya maka dia baru mengaso. la bermaksud pergi ke Shan-si, untuk
bersembunyi di Kelenteng Hok-thian-tong di mana dahulu dia pernah bekerja
sebagai kacung.
Dia harus dapat
menyembunyikan dirinya untuk beberapa tahun lamanya, demikian kata pesan
Lo-tong Souw Lee. Sesudah tubuhnya kuat betul dan ilmu-ilmu silat itu sudah dia
latih sebaiknya, baru dia boleh memperlihatkan dirinya. Dan ucapan pesanan
kakek buta itu sungguh tepat sekali. Buktinya setiap kali dia memperlihatkan
diri, pasti timbul hal-hal yang hebat.
Lebih baik
dia kembali ke daerah Sungai Huang-ho dan untuk sementara bersembunyi di
kelenteng Hok-thian-tong. Terbayang olehnya para hwesio di kelenteng itu yang rata-rata
amat sabar dan baik. Kurang lebih sebulan kemudian sampailah dia di tepi Sungai
Huang-ho. Dari tepi sungai itu ke utara, kurang lebih tiga puluh li lagi adalah
Shan-si di mana terdapat kelenteng yang ditujunya. la sudah lelah sekali dan
hari sudah menjelang senja.
Beng San
mencari tempat yang enak di tepi sungai, di bawah sebatang pohon. Ia lalu
mengumpulkan daun-daun dan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun
malam nanti, apa bila hawa udara terasa dingin dan jika banyak nyamuk akan mengganggunya.
Sebagian dari daun-daun kering dia jadikan tilam tempat dia tidur.
Perutnya
yang lapar tidak dipedulikannya. Beng San sudah terlentang di bawah pohon,
mengenangkan pengalaman-pengalamannya selama dalam perjalanan ini. Ada hal yang
amat berkesan di hatinya, yaitu ke mana saja dia berjalan, dia selalu melihat
para petani bersikap penuh semangat menentang pemerintah Mongol yang sudah
banyak membikin sengsara rakyat.
Beng San
mulai mendengar nama besar pemimpin-pemimpin rakyat disebut-sebut orang. Yang
paling terkenal dan sering kali dia dengar adalah nama besar Ciu Goan Ciang
yang menurut para petani itu mempunyai kepandaian seperti dewa, malah memiliki
kesaktian yang ajaib-ajaib.
Diam-diam
Beng San mengenang semua itu dan mengingat-ingat kembali apa yang dia dengar
dari Tan Hok, lalu menghubung-hubungkan semua peristiwa antara Hoa-san-pai dan
Kun-lun-pai berhubung dengan suasana pemberontakan terhadap pemerintah Mongol
ini.
Beng San
adalah seorang anak kecil yang sejak dahulu hanya mempelajari ilmu filsafat dan
kebatinan, malah akhir-akhir ini mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tentang
politik dia sama sekali tidak mengerti.
"Aku
tak akan pusing-pusing dengan segala urusan itu kalau aku sudah berada di dalam
bangunan Kelenteng Hok-thian-tong yang luas," pikirnya.
Dia
mengenang kembali masa dia kecil bekerja sebagai kacung di kelenteng itu.
Suasana di dalam kelenteng hanya tenteram, aman dan damai. Apa bila melihat
orang luar, tentu hanya orang-orang yang datang hendak bersembahyang, yaitu
orang-orang yang datang dengan maksud baik, dengan hati bersih dan bermaksud
memohon belas kasihan Yang Maha Kuasa melalui para dewa yang dipuja
masing-masing pendatang.
Alangkah
senangnya, pikirnya. Hidupnya akan tenteram sehingga dia dapat meneruskan
latihan-latihannya dengan aman.
Saking lelah
dan laparnya, begitu matahari terbenam Beng San sudah tidur pulas. Enak sekali
dia tidur, tidak tahu bahwa dia telah tidur setengah malaman, bahwa bulan
hampir purnama sudah naik tinggi, dan bahwa tadi dia lupa membuat api unggun.
Tidak tahu dia betapa bahayanya kalau tertidur tanpa api unggun di tempat
terbuka seperti itu, di dekat Sungai Huang-ho lagi yang daerahnya masih liar
dan dekat dengan hutan-hutan besar.
Dia
terbangun sambil menepuk pahanya. Di bagian celana yang robek, nyamuk menggigit
pahanya dan mengisap darah sepuasnya.
"Nyamuk
keparat!"
Beng San
bangun duduk ketika mendengar suara nyamuk berngiung-ngiung di sekeliling
kepalanya. Dia kini teringat bahwa dia belum membuat api unggun. Dia menoleh ke
arah tumpukan kayu dan daun yang kelihatan jelas di bawah terang sinar bulan
purnama yang menerobos di antara celah-celah daun pohon.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika selain tumpukan kayu ini dia melihat barang lain lagi
yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Sepasang barang berkilauan
bagai lampu. Sepasang mata... dan segera terlihat olehnya bahwa mata yang
mencorong itu adalah mata seekor binatang yang sebesar lembu muda dan berkulit
loreng-loreng! Harimau yang besar sekali! Beng San menggigil.
Biar pun
anak ini sudah memiliki kepandaian yang tinggi dalam tubuhnya, akan tetapi dia
masih belum menyadari betul akan hal ini. Tentu saja dengan kepandaiannya, dia
takkan sukar melawan harimau ini atau setidaknya, akan mudah dia menyelamatkan
diri dengan meloncat ke atas pohon. Kepandaiannya memungkinkan dia melakukan
hal-hal ini.
Akan tetapi
dia sudah lumpuh, ketenangannya lenyap. Dia tidak boleh terlalu disalahkan.
Siapa orangnya tak akan menggigil kebingungan dan ketakutan kalau begitu bangun
dari tidur sudah menghadapi seekor harimau sebesar ini yang berdiri hanya dalam
jarak tiga meter di depannya!
Harimau itu
memang sejak tadi sudah mengintainya. Kini melihat bocah itu bergerak, dia
segera mengaum dan meloncat, menerkam ke arah Beng San. Beng San terkesima dan
tidak dapat bergerak, terpukau seperti kena sihir. Hanya matanya yang lebar itu
terbuka melotot memandang, merasa ngeri karena seakan-akan sudah tampak olehnya
gigi taring yang runcing serta kuku yang melengkung mengerikan.
Akan tetapi
tiba-tiba saja tubuh harimau itu terhenti di tengah udara, malah terjengkang ke
belakang, berkelojotan dan roboh mandi darah. Tepat pada dadanya tertancap
sebatang kayu hampir tembus ke punggungnya. Siapakah yang ‘menyate’ harimau
ini?
Beng San
menengok ke kanan kiri, ke belakang dan alangkah herannya ketika dia melihat
munculnya bayangan merah. Dara cilik berpakaian merah, si gagu bernama Bi Goat
itu telah berada di depannya.
Beng San
sampai bengong terlongong, akan tetapi dia segera tersenyum ramah. Tidak
mungkin dia tidak akan gembira kalau bertemu dengan bocah ini, dara cilik
cantik manis yang gagu, yang menimbulkan rasa sayang, rasa kasihan dan terharu,
yang membuat dia timbul rasa hendak melindungi, hendak membelanya.
"Kau...?"
tegurnya sambil berdiri.
Akan tetapi
apa bila dahulu Bi Goat tersenyum-senyum gembira, kemudian mengajak dia bermain-main,
kini sikapnya jauh berbeda. Gadis cilik ini nampak penuh ketakutan dan
kekhawatiran, wajahnya yang biasanya hampir selalu kemerahan itu kini agak
pucat. Dia menudingkan telunjuk kiri ke arah bangkai harimau, telunjuk kanan ke
arah belakangnya agak ke atas, kemudian menuding ke dada Beng San. Lalu dia
meloncat dan menendangi bangkai harimau yang sudah tewas itu.
Beng San
memandang bingung, juga kagum betapa setiap kali kaki kecil itu menendang
harimau, bangkai harimau yang besar itu pasti tersepak maju ke depan. Sungguh
dahsyat tenaga kaki kecil ini, pikirnya.
"Adik
Bi Goat, kau hendak bilang apa? Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu.
Kau telah membunuh harimau itu, hebat sekali kepandaianmu!"
Akan tetapi
Bi Goat nampak tidak sabar karena Beng San tidak mengerti maksud gerak
tangannya tadi. la membanting-banting kakinya, memegang dengan tangan Beng San
dan ditarik, diajak pergi.
"Ehh,
ehh, malam-malam kau hendak mengajakku ke manakah?" Beng San terheran dan
menolak.
Kembali Bi
Goat menuding-nuding ke belakangnya dan pada waktu itu dari jauh terdengar
suara melengking tinggi bagaikan orang menangis. Seketika muka Beng San menjadi
pucat. Celaka, kiranya Song-bun-kwi berada dekat situ. Kiranya Bi Goat ini tadi
memberi isyarat bahwa Song-bun-kwi berada dekat dan menyuruh dia pergi
bersembunyi.
Tentulah
gadis cilik ini tadi hendak menyatakan bahwa karena suara auman harimau tadi,
maka Song-bun-kwi akan menyusul ke situ dan Beng San akan celaka. Sebelum Beng
San meyakinkan dugaannya, Bi Goat sudah menarik tangannya, diajak lari cepat
sekali ke arah utara.
"Betul,
ke utara. Tiga puluh li dari sini ada kelenteng besar, kita bisa sembunyi di
sana," katanya sambil ikut berlari cepat.
Akan tetapi
tiba-tiba Bi Goat menyeretnya meloncat ke dalam... sungai. Gadis cilik itu
tentu saja sudah hafal akan gerak-gerik ayahnya yang luar biasa. Dia gagu,
tetapi cerdik sekali. Setelah kedua orang anak itu terjun ke dalam Sungai
Huang-ho, baru Beng San tahu akan maksud hati Bi Goat.
Gadis ini
mengajaknya bersembunyi di bawah alang-alang yang tumbuh di pinggir sungai itu.
Untung sekali Bi Goat tidak terlambat dalam tindakannya ini karena baru saja
mereka bersembunyi di balik alang-alang dan merendam diri ke dalam air sungai,
di situ sudah berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Song-bun-kwi sudah
berdiri bagaikan patung memandangi bangkai harimau dan bekas tempat tidur Beng
San. Kakek sakti ini terdengar menggerutu seorang diri.
"Hemmm,
membunuh harimau dengan timpukan sia-san (panah gunung). Bagus, Bi Goat. Tapi
kenapa lari pergi? Hemmm, ada orang lain di sini, siapa...?" Dengan
langkah lebar kakek itu lalu berjalan mengejar ke utara, langkahnya lebar
jalannya kelihatan perlahan saja akan tetapi sebentar saja lenyap dari situ.
Beng San
hendak keluar dari belakang rumput alang-alang, akan tetapi mendadak leher
bajunya ada yang mencengkeram dan dia ditarik kembali ke balik alang-alang.
Ternyata yang mencengkeramnya adalah Bi Goat. Sebelum dia memprotes, telapak
tangan yang kecil dari tangan kanan gadis itu sudah membungkam mulutnya.
Beng San
terheran-heran, juga merasa geli. la merasa seperti anak kecil dihadapan gadis
ini. Akan tetapi, segera dia mendapat kenyataan betapa cerdiknya gadis ini dan
betapa gegabah dan bodohnya dia sendiri.
Bagaikan
seorang iblis, tahu-tahu Song-bun-kwi sudah datang lagi ke tempat tadi, berdiri
seperti patung memandangi harimau. Ia bergidik dan merasa bulu tengkuknya
meremang! Seandainya dia mengeluarkan suara dan mulutnya tidak dibungkam oleh
tangan gadis gagu itu, ahh, tentu Si Iblis Berkabung itu sudah akan
mendapatkannya.
la menoleh untuk
memandang Bi Goat dengan terima kasih. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya
ketika dia sudah kehilangan gadis cilik itu. Entah ke mana perginya Bi Goat
yang tadi berada di sebelahnya!
Selagi dia
merasa kebingungan, mendadak sekali ada orang yang menarik pundaknya ke bawah
sampai kepalanya terbenam ke dalam air. la gelagapan, akan tetapi kembali ada
tangan kecil yang menyusupkan setangkai alang-alang yang berlubang ke mulutnya.
Baiknya Beng
San juga tergolong anak yang cerdik, maka seketika dia dapat menangkap maksud
perbuatan aneh dari Bi Goat ini. Tentu dia disuruh bersembunyi dengan seluruh
tubuhnya di dalam air dan tangkai alang-alang itu dapat dipergunakan untuk
bernapas.
Maka dia pun
mengisap hawa dari tangkai itu yang menyembul ke atas, bersembunyi di antara
rumpun alang-alang. Dengan girang dan berterima kasih dia memegang tangan kiri
Bi Goat. Dua orang anak itu sambil berendam ke dalam air saling berpegang
tangan, hati mereka berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran.
Di dalam air
Beng San tidak tahu apa yang terjadi di atas, tapi andai kata tahu dia pasti
akan bergidik kengerian. Beberapa detik setelah kepalanya terbenam air, Iblis
Berkabung itu menggunakan tangannya mencengkeram remuk sebuah batu, lalu dia
menyambitkan pecahan batu ini ke sekelilingnya, juga ke permukaan air dan ke
dalam alang-alang! Andai kata kepala dua orang anak tadi masih bersembunyi di
dalam alang-alang, tentu akan terkena sambitan pecahan batu yang cukup ampuh
untuk menembus kulit kepala!
Setelah
mereka berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke
permukaan air. Dia lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar
dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling
berpandangan.
Tiba-tiba
nampak gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum.
Hati Beng San serasa diremas-remas. Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia
memondong gadis cilik itu, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu
yang sudah menolong nyawanya, yang biar pun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan
sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat
menggigil kedinginan.
"Kasihan
kau, Bi Goat. Kau dingin? Biar kubuatkan api unggun."
Bi Goat
segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan
kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri.
Ahhh, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini
dan gagu pula lagi? Kenapa dia begini kurang hati-hati?
Kalau dia
membuat api unggun, sama saja seperti memberi tahukan tempatnya kepada
Song-bun-kwi. Meski pun kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti
cukup untuk memanggil kembali kakek yang lihai sekali itu.
"Bagaimana
baiknya? Kau kedinginan, Bi Goat."
Gadis cilik
itu hanya menggeleng kepala, lalu memberi isyarat kepada Beng San untuk
melanjutkan perjalanan ke utara.
"Kau
tentu ikut denganku, bukan? Bi Goat, kau ikut bersamaku, ya?"
Bi Goat
mengangguk, meloncat ke dekat sungai yang ada pasirnya, lalu ujung sepatunya
bergerak-gerak seperti menari. Beng San memandang dan alangkah herannya ketika
dia melihat huruf-huruf besar yang indah dibuat oleh gerakan ujung sepatu itu.
Huruf-huruf itu berbunyi: Harus sampai di kelenteng sebelum matahari terbit.
Beng San
memegang kedua pundak Bi Goat, dipandangnya wajah itu penuh kekaguman.
"Kau hebat! Biar pun gagu, kau pandai menulis dengan kaki malah! Hebat, Bi
Goat, kau hebat...!"
Gadis cilik
itu hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Beng San diajak lari cepat. Di
waktu dua orang anak ini berlari, Beng San merasa betapa dinginnya telapak
tangan Bi Goat dan anak itu nampak kedinginan betul. Hal ini tidak mengherankan
karena pakaian gadis itu basah kuyup, ditambah berlari-larian di dalam udara
yang begitu dinginnya lewat tengah malam itu.
Beng San
mendapat akal. Dia sendiri tidak bisa menderita dingin karena dengan hawa di
tubuhnya dia bisa menyalurkan hawa panas membuat tubuhnya hangat. Diam-diam dia
mengerahkan tenaga dalamnya, melalui telapak tangan Bi Goat dia menyalurkan
hawa panas ke tubuh Bi Goat untuk mengusir hawa dingin.
Mendadak Bi
Goat mengeluarkan suara. "Uhhh!"
Ia cepat
melepaskan pegangannya, malah meloncat mundur dengan muka kaget. Melihat gerak
kaki tangannya, gadis cilik ini sudah siap menghadapi pertempuran, matanya yang
bening menatap wajah Beng San penuh kecurigaan.
Beng San
maklum bahwa gadis cilik ini salah sangka. Diam-diam dia pun merasa kagum
sekali. Ternyata penyaluran hawa panas tadi terasa pula oleh Bi Goat. Ternyata
bocah ini sudah mahir tentang hawa di dalam tubuh, dapat merasakan serangan
tenaga dalam!
"Bi
Goat, aku tidak apa-apa, hanya ingin membantumu menghangatkan tubuh," Beng
San berkata.
Bi Goat
memandang terus, mengangguk-angguk dan nampaknya kagum sekali. Agaknya baru
sekarang gadis cilik ini mendapat kenyataan bahwa Beng San juga memiliki ilmu
kepandaian. la lalu menggandeng tangan Beng San lagi dan sama sekali tidak
melawan ketika sambil berjalan pemuda itu menyalurkan hawa panas yang
diterimanya dengan gembira, karena tidak lama kemudian gadis cilik itu merasa
tubuhnya hangat, sama sekali tidak menderita kedinginan lagi.
Hari telah
menjadi terang ketika dua orang anak ini sambil bergandengan tangan tiba di
perbatasan Shan-si. Kelenteng Hok-thian-tong berdiri di luar sebuah dusun,
hanya dua li jauhnya dari Sungai Huang-ho. Dengan gembira dan penuh harapan
Beng San mengajak Bi Goat lari menuju ke tempat itu.
Betapa
kagetnya ketika akhirnya sampai di tempat yang dituju, ia melihat bahwa apa
yang dulunya merupakan bangunan-bangunan kelenteng yang besar, tua dan kuat,
kini hanya tinggal tumpukan puing-puing belaka. Bangunan-bangunan itu ternyata
telah menjadi abu, telah habis dimakan api! Sekelilingnya sunyi, tak kelihatan
seorang pun manusia. Melihat keadaan tempat itu, agaknya baru beberapa pekan
saja Kelenteng Hok-thian-tong dilanda kebakaran. Beng San berdiri bengong.
Bi Goat yang
sejak tadi sudah nampak gelisah karena belum juga mereka mendapatkan tempat
berlindung, kini memandang kepada Beng San yang kelihatan sedih. Dia segera
menarik-narik tangan Beng San dan menunjuk ke arah puing, seolah-olah bertanya.
"Celaka
sekali, Bi Goat," kata Beng San perlahan. "Agaknya terjadi sesuatu
yang hebat dengan Kelenteng Hok-thian-tong. Ahhh, bagaimana nasibnya para
hwesio dan ke mana perginya mereka itu?"
Dasar Beng
San memang seorang yang memiliki hati penuh pribudi, maka sebentar saja dia
sudah lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan ancaman yang mengelilingi
dirinya dan kini malah menaruh kasihan serta memperhatikan nasib lain orang.
Dengan suara
ah-ah-uh-uh-uh, Bi Goat menudingkan telunjuknya ke arah dada Beng San dan dada
sendiri, lalu menuding ke arah belakang. Jelas kelihatan dia memperingatkan
Beng San akan bahaya yang mengancam mereka.
Barulah dia
sadar akan ancaman bahaya hebat berupa Song-bun-kwi yang setelah malam terganti
pagi tentu akan lebih memudahkan kakek itu mencari mereka. la ingat bahwa tak
jauh dari kelenteng itu terdapat sebuah dusun dan dia sudah kenal dengan
beberapa orang tua di dusun itu, yaitu ketika dia dahulu menjadi kacung
Kelenteng Hok-thian-tong. Tentu mereka itu akan suka memberi tempat kepadanya
untuk bersembunyi.
Setelah
berpikir demikian Beng San lalu menarik tangan Bi Goat, diajak berlari menuju
ke dusun itu. Hari masih pagi dan dusun itu sunyi sekali. Hal ini mengherankan
hati Beng San karena dahulu para petani di dusun itu sudah pada bangun, malah
sudah berangkat ke sawah sebelum matahari terbit. Sekarang kenapa sebuah rumah
pun belum membuka pintunya?
Sambil
menggandeng tangan Bi Goat, Beng San berlari-lari di sepanjang jalan kampung
yang sunyi itu. Jangankan manusia, seekor anjing pun tidak tampak di situ.
Keadaan sunyi menyeramkan. Beng San seperti mendapat firasat bahwa tentu sudah
terjadi hal-hal yang mengerikan di dusun ini, seperti yang telah menimpa
Kelenteng Hok-thian-tong.
Dia segera
menuju ke rumah kakek Sam, pemilik warung kecil di sudut kampung yang sudah
dikenalnya. Kakek Sam seorang duda tua, amat peramah dan baik kepadanya. la
dapat mempercayai penuh kakek itu dan kiranya tidak ada tempat persembunyian
yang lebih baik dan aman kecuali rumah kakek Sam itu.
Diketuknya
pintu rumah yang masih tertutup itu. Biasanya pagi-pagi sekali kakek Sam sudah
membuka warungnya, sekarang pintu rumahnya pun masih tertutup. Beng San tak
sabar lagi, ingin dia segera bertemu dengan kakek Sam untuk minta keterangan
tentang keadaan kampung yang sunyi ini, dan tentang kebakaran Kelenteng
Hok-thian-tong.
"Tok-tok-tok!"
Untuk ke
empat kalinya dia mengetuk, kali ini agak keras. Belum juga ada jawaban dari
dalam dan tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari jauh. Beng San menjadi pucat
mukanya.
Bi Goat
memegang tangannya dan cepat dia mendorong pergi Beng San sehingga anak ini
terhuyung. Dengan muka gelisah Bi Goat menuding-nudingkan jari telunjuknya
seperti mengusir pergi Beng San dan pada saat itu pintu rumah terbuka dan...
Beng San
meloncat mundur dengan mata terbelalak. Ratusan ekor ular menyerbu keluar dari
pintu rumah yang baru terbuka itu!
"Celaka!
Bi Goat, mundur...!" teriaknya sambil meloncat lagi menjauhkan diri.
Dahulu
pengalaman dengan ular-ular ini pernah dia alami bersama Tan Hok. Dia masih
bergidik bila mengenangkannya. Sekarang kembali dia berhadapan dengan ratusan
ekor ular yang menjijikkan. Bi Goat membalikkan tubuh, sama sekali tidak
kelihatan takut kepada barisan ular itu. la mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh dan
menudingkan telunjuknya kepada Beng San, lalu ke arah belakangnya dari mana
masih terdengar lengking tangis sayup sampai.
Celaka
betul, pikir Beng San. Dari belakang datang Song-bun-kwi mengejar, dan di depan
menghadang barisan ular ini. Bagaimana dia bisa lari lagi pergi meninggalkan Bi
Goat? Mungkin Bi Goat tak akan diganggu Song-bun-kwi, akan tetapi ular-ular
ini?
Sekali lagi
Bi Goat memberi isyarat supaya dia bersembunyi dan gadis ini mengeluarkan
sesuatu dari balik bajunya. Dengan benda yang baru diambilnya itu di tangan, Bi
Goat melangkah maju dan dengan enaknya ia berjalan di antara barisan ular itu
yang begitu gadis ini mendekat lalu diam tak bergerak, malah yang di depan
cepat-cepat menyingkir, agaknya merasa takut sekali. Beng San terheran-heran
dan dia hanya melihat sebuah benda mengkilap di tangan Bi Goat. Agaknya benda
itulah yang membikin takut barisan ular itu.
Suara
lengking tinggi makin jelas terdengar dan kini Beng San tak perlu
mengkhawatirkan diri Bi Goat lagi. Selain gadis cilik itu memiliki benda yang
melindunginya dari ular-ular itu, juga Bi Goat memiliki kepandaian yang cukup
tinggi sehingga tidak usah khawatir akan dapat dicelakai orang. Apa lagi
Song-bun-kwi sudah datang mendekat, siapa yang berani mengganggu anak ini?
Berpikir
demikian, Beng San lalu berkata. "Bi Goat, selamat tinggal!"
Dan dia lalu
lari terus ke utara menjauhkan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari dusun
itu, dia melihat beberapa orang serdadu Mongol di belakang rumah yang paling
pinggir. Anehnya, serdadu itu segera menyelinap dan menyembunyikan diri ketika
melihat Beng San lari lewat.
Beng San
tidak peduli dan lari terus sampai ke pinggir Sungai Huang-ho, kemudian lari di
sepanjang tepi sungai menuju ke barat. Setelah dia berlari belasan li jauhnya
dan mulai mengendorkan larinya karena mengira bahwa dia sudah selamat terhindar
dari ancaman Song-bun-kwi, tiba-tiba dia mendengar lengking itu sudah dekat di
belakangnya!
Beng San
menjadi kaget setengah mati dan dia lalu mempercepat lagi larinya. Napasnya
sampai hampir putus dan napasnya terengah-engah ketika di sebuah tikungan ia
melihat iringan-iringan gerobak. Ada tujuh buah gerobak banyaknya, gerobak yang
mengangkut karung-karung gandum.
Iring-iringan
gerobak gandum ini adalah gandum-gandum yang merupakan ‘pajak’ dari para
petani, dan dipungut oleh pembesar setempat untuk dikirimkan ke kota,
disetorkan kepada pembesar atasan. Para petani bisanya menangis apa bila
melihat pawai gerobak ini sebab di situlah adanya hasil jerih payah mereka
selama setengah tahun, hasil cucuran keringat mereka setiap hari. Boleh
dibilang mereka tidak ke bagian apa-apa lagi kecuali sedikit yang mereka makan
untuk menyambung hidup.
Beng San
melihat belasan orang tentara Mongol mengawal tujuh gerobak gandum ini dan di
setiap gerobak terdapat seorang kusirnya. Karena lengking tangis di belakangnya
telah makin keras tanda bahwa Song bun-kwi makin dekat, Beng San pun tidak
berpikir panjang lagi.
Diam diam
dia menyelinap di antara gerobak-gerobak itu. Tanpa diketahui para pengawal,
dia lalu meloncat ke dalam gerobak dan bersembunyi di antara karung-karung
gandum yang hampir sebesar dia, penuh dengan gandum yang baik dan bersih.
Dia
mengintai dari dalam gerobak dan melihat bahwa gerobak itu dikusiri seorang
bocah seumur dengannya, yang memakai caping (topi tani) lebar menutupi mukanya.
Bocah ini nampak melengut saking ngantuknya. Memang mudah untuk mengusiri
gerobaknya oleh karena gerobak yang dikusirinya ini adalah gerobak ke tiga
sehingga kuda yang menarik gerobak itu tak usah dikendalikan lagi, hanya
tinggal mengikuti yang depan.
Setelah
iring-iringan ini berjalan dua tiga li jauhnya, tiba-tiba terdengar
bentakan-bentakan di luar kemudian gerobak-gerobak itu berhenti. Terdengar
suara Song-bun-kwi yang galak berpengaruh.
"Aku
mencari seorang anak laki-laki bermuka hitam, kadang-kadang putih,
kadang-kadang hijau, Apakah dia turut dengan kalian?"
Terdengar
suara makian kotor sebagai jawaban dan seorang di antara para pengawal itu
membentak, "Tua bangka gila, hayo pergi jangan ganggu kami!"
Akan tetapi
ucapan ini disusul dengan pekik mengerikan, disusul pekik ke dua dan ke tiga.
Kemudian terdengar orang-orang minta ampun disusul suara ketawa kakek
Song-bun-kwi, ketawa yang seperti orang menangis.
"Anjing-anjing
Mongol berani kurang ajar terhadapku? Mau tahu siapa aku? Song-bun-kwi inilah
aku!"
Kembali
terdengar seruan-seruan ketakutan dan minta ampun.
"Ampun,
Locianpwe, ampunkan kami... di sini tidak ada anak laki-laki yang Locianpwe
maksudkan tadi..."
"Hah,
siapa percaya mulut anjing Mongol? Biar kuperiksa sendiri!"
Song-bun-kwi
menyingkap tenda gerobak satu demi satu, tapi tidak melihat adanya Beng San.
Tujuh buah gerobak itu hanya berisi gandum belaka, berkarung-karung banyaknya
dan bertumpuk-tumpuk memenuhi gerobak-gerobak itu. Dengan marah dan kecewa
sekali Song-bun-kwi pergi dari situ sambil mengeluarkan bunyi lengkingnya yang
meninggi bagai orang menangis.
Buru-buru
para pengawal gerobak-gerobak gandum ini menolong tiga orang teman-teman mereka
yang mati oleh pukulan Song-bun-kwi, dimasukkan ke dalam gerobak kemudian
iring-iringan itu segera melanjutkan perjalanannya.
Ke manakah
perginya Beng San? Bagaimana Song-bun-kwi tidak dapat menemukannya? Kalau saja
Song-bun-kwi tidak begitu tergesa-gesa, kiranya pada gerobak ke tiga dia akan
melihat sebuah karung gandum yang agak berbeda dari pada yang lain karena di
dalam karung ini bukan berisi gandum, melainkan berisi seorang manusia, Beng
San!
Anak yang
amat cerdik ini telah lebih dulu bersembunyi. Ia mendapatkan karung kosong di
situ, maka segera dimasukinya dan ditutup dari dalam. Di antara puluhan karung
gandum itu sepintas lalu memang tak akan dapat terlihat perbedaannya.
la bernapas
lega ketika Song-bun-kwi sudah pergi dan gerobak-gerobak itu telah berjalan
kembali. Akan tetapi dia tidak berani segera meninggalkan rombongan ini, maklum
bahwa watak Song-bun-kwi takkan putus asa begitu saja. la segera mencari akal
dan keluar dari karung gandum.
Benar saja
dugaan Beng San. Belum juga tiga li gerobak-gerobak itu berjalan, mendadak
terdengar lagi lengking tangis, dan tak lama kemudian rombongan ini berhenti.
"Apa
yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe? Ada keperluan apa gerangan Locianpwe
kembali?" terdengar kepala penjaga bertanya dengan suara gemetar.
"Buka
semua tenda gerobak, hendak kuperiksa lagi!"
Para
pengawal sibuk membuka tenda gerobak. Song-bun-kwi lalu meneliti dengan penuh
perhatian. Pada gerobak ke tiga dia berhenti dan tiba-tiba dia menyambar sebuah
karung gandum. Begitu dia mengangkat karung gandum ini, jelas kelihatan bahwa
yang di dalam karung bukanlah gandum, melainkan seorang manusia yang
bergerak-gerak!
"Ha-ha-ha-hi-hi!
Beng San bocah setan, kau hendak lari ke mana?" Sambil tertawa-tawa
gembira Song-bun-kwi menggendong karung berisi manusia itu dan berlari cepat
sekali seperti terbang meninggalkan rombongan itu.
Para
pengawal ini saling pandang dengan heran. Bagaimana di antara berkarung-karung
gandum itu terdapat manusianya? Dengan tergesa-gesa mereka melanjutkan
perjalanan dan sebentar-sebentar para pengawal menengok ke belakang dengan
perasaan ngeri dan takut. Nama besar Song-bun-kwi memang membikin takut semua
orang dari golongan mana pun juga. Tiba-tiba gerobak ke tiga menyeleweng dari
iring-iringan. Kudanya membelok ke kiri dan melintang di tengah jalan.
"Keparat,
kusirnya tertidur agaknya!" bentak kepala pengawal sambil berlari
menghampiri dan menahan kuda yang hendak binal ini.
Ketika dia
memandang, dia kaget sekali melihat bahwa gerobak ke tiga ini memang tidak ada
kusirnya! Ke mana perginya kusir yang masih muda itu? Tadi dia masih nampak
melengut, melindungi mukanya dari sinar matahari.
Semua
pengawal menjadi bingung dan bertanya-tanya, kemudian mereka menjadi pucat
ketika kepala pengawal berseru, "Celaka, jangan-jangan yang dibawa pergi
Song-bun-kwi adalah dia!"
Kekhawatiran
mereka segera terbukti. Pada saat itu terdengar lengking panjang. Sebelum
mereka sempat berunding apa yang harus mereka lakukan, Song-bun-kwi sudah
datang membawa karung yang tadi, dilemparkannya karung yang sekarang berisi
mayat manusia itu ke arah para pengawal, kemudian tubuh Song-bun-kwi
berkelebatan ke sana ke mari.
Beberapa
belas menit kemudian pada waktu kakek ini pergi, di situ sudah tidak ada lagi
manusia hidup. Semua pengawal dan kusir, bahkan semua kuda yang menarik
gerobak, rebah tak bernyawa lagi. Beginilah kejamnya hati Song-bun-kwi si Iblis
Berkabung!
Apakah yang
terjadi? Ke mana perginya Beng San? Kalau saja Beng San tahu apa lagi melihat
apa yang menjadi akibat dari perbuatannya, kiranya dia tak akan suka melakukan
akalnya itu.
Tadi setelah
selamat dan tidak dapat ditemukan Song-bun-kwi ketika dia bersembunyi di dalam
karung gandum, dia merasa pasti bahwa kakek iblis itu akan kembali. Maka cepat
dia mengambil keputusan menggunakan siasat ini. Dari dalam gerobak dia merayap
ke depan dan sekali terkam dia dapat menangkap kusir gerobak yang masih muda
itu, lalu menyumpal mulutnya dan mengikat kaki tangannya.
Kemudian dia
memasukkan kusir ini ke dalam karung dan dia sendiri duduk di tempat kusir,
memakai topi caping lebar menutupi mukanya. Dengan hati berdebar tidak karuan
Beng San menyaksikan sendiri dari balik topinya ketika Song-bun-kwi datang lagi
dan membawa pergi karung gandum berisi kusir tadi.
la merasa
beruntung sekali bahwa kakek iblis itu tidak membuka karung di tempat itu.
Setelah kakek itu pergi, cepat Beng San mencari kesempatan dan diam-diam
menyelinap turun dari gerobak, lalu lari memasuki sebuah hutan yang lebat dan
liar di pinggir Sungai Huang-ho.
Karena takut
kalau-kalau dapat dikejar dan ditangkap Song-bun-kwi, Beng San berlari terus
menyusup-nyusup hutan liar itu. Setelah hari menjadi sore, barulah dia
berhenti. la telah sekali, lelah dan lapar. Agaknya mala petaka masih banyak
mengelilingi dirinya.
Baru saja
dia terlelap hendak tidur, dia mendengar suara berisik dan ketika dia membuka
matanya, dia telah dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar yang
kelihatan bengis dan jahat. Semua orang itu memegang golok yang besar dan tajam
berkilau!
"Eh,
eh... ada apa... mau apa...?" Beng San berseru gagap dan merayap hendak
bangun.
"He-he-heh!"
Seorang di antara mereka yang bermulut lebar dan berkumis lebat, tertawa
bergelak, dari mulutnya menitik keluar air liur, menjijikkan sekali.
"Kawan-kawan, daging bocah kurus ini kiranya lumayan juga untuk teman
gandum dan arak. He-heh-heh!"
"Apa...?!"
Beng San meloncat ke belakang, mukanya pucat. "Kalian ini manusia hendak
makan daging manusia? Apakah kalian ini iblis?"
"Sekarang
ini jamannya orang makan orang, He-he-heh, apa anehnya kalau kami hendak makan
engkau, bocah? Setiap hari baik di kota atau di dusun kau melihat orang makan
orang, Ha-ha-ha, orang digerogoti habis dagingnya oleh orang lain.
He-heh-heh!"
Para
pengurung yang wajahnya amat liar dan bengis-bengis itu merapat maju. Beng San
menengok ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya sudah terkurung betul-betul,
tidak ada jalan keluar atau lari lagi. la menjadi bingung dan akhirnya timbul
amarahnya. Masa dia harus menyerah mentah-mentah saja untuk dijadikan mangsa
orang-orang liar ini?
Tidak, dia
harus melawan! Latihannya ilmu silat sudah banyak maju, setiap saat terluang
tidak pernah dia lupa untuk melatih diri. Kiranya sekarang inilah ujian baginya
apakah dia selama ini melatih diri cukup keras atau tidak. Mendadak terdengar
bentakan-bentakan keras. Sinar putih berkelebatan dari kanan kiri. Di antara
orang-orang liar itu ada beberapa orang terjungkal dan beberapa batang senjata
rahasia menancap pada batang pohon.
"Ahh,
Pek-lian-pai yang datang...! Kawan-kawan, lari...!" seru kepala gerombolan
liar itu.
Mereka lari
cerai-berai sambil menyeret teman-teman mereka yang tadi terjungkal roboh.
Sebentar saja di sana tidak kelihatan lagi seorang pun orang jahat, hanya di
sana-sini kelihatan paku-paku yang kepalanya berbentuk bunga teratai putih.
Itulah Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), senjata rahasia dan tanda anggota
perkumpulan Pek-lian-pai. Beng San girang sekali. Tentu Tan Hok dan
teman-temannya yang datang menolongnya. la celingukan ke kanan kiri, lalu
memanggil.
"Tan-twako...,
aku Beng San di sini...!"
Dari dalam
hutan yang sudah mulai gelap itu bermunculan belasan orang. Ada laki-laki, ada
pula wanita dan pakaian mereka serba ringkas. Yang laki-laki kelihatan gagah,
ada juga yang menakutkan. Tiga orang wanita di antara mereka kelihatan cantik
dan gagah, sudah setengah tua akan tetapi masih cantik dan gesit
gerak-geriknya. Mereka ini segera mendekati Beng San, seorang di antaranya
bertanya ramah.
"Kau
tadi memanggil Tan-twako, siapakah yang kau maksudkan?"
Beng San
melihat bahwa penanyanya seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, gagah dan
keren.
"Aku
maksudkan pemimpin rombongan Pek-lian-pai yang bernama Tan Hok, dia adalah
sahabat baikku."
Terdengarlah
seruan-seruan heran dan kaget di antara belasan orang Pek-lian-pai itu. Si
pemimpin sendiri segera mengeluarkan seruan girang.
"Aha,
kiranya kau yang bernama Beng San? Tentu saja kami mengenal baik Tan Hok yang
memimpin rombongan Pek-lian-pai dari selatan itu. Sudah kuduga bahwa kau tentu
Beng San seperti yang pernah diceritakan oleh saudara Tan Hok, maka tadi kami
tidak ragu-ragu untuk mengusir perampok-perampok pemakan manusia itu.”
Beng San
segera memberi hormat dan berkata, "Banyak terima kasih kuucapkan kepada
kakak-kakak yang gagah perkasa. Semakin yakinlah hatiku sekarang bahwa
Pek-lian-pai memang perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi, Twako, kenapa
kalian yang belum mengenalku telah menolongku dan begini baik kepadaku?"
Beng San merasa
sungkan bukan main karena beberapa orang Pek-lian-pai itu sudah mengeluarkan
roti dan air minum untuknya.
"Kau
makanlah dahulu, nanti akan kami ceritakan sejelasnya. Bukan hanya karena kau
adalah kenalan saudara Tan Hok saja maka kami menolongmu, akan tetapi ada hal
yang lebih penting lagi. Makanlah dulu, Adik Beng San."
Karena
perutnya memang lapar sekali, tanpa malu-malu lagi Beng San kemudian makan
hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini,
orang-orang gagah Pek-lian-pai, dia merasa aman dan tidak takut akan ancaman
Song-bun-kwi.
Akan tetapi
setelah mengumpulkan paku-paku Pek-lian-pai dari tempat itu, para anggota
Pek-lian-pai itu seorang demi seorang lalu pergi dari tempat itu seperti
setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga
rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani musuh yang jauh lebih
banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi berbicara
dengan Beng San, yang masih duduk dan menghadapi anak itu.
"Ke
mana perginya teman-teman tadi?" Beng San bertanya sehabis makan, oleh
karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apa lagi setelah keadaan
menjadi makin gelap.
"Ahh,
sudah menjadi kebiasaan klta tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur
musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah ini," pemimpin
Pek-Lian-pai itu berkata.
Beng San
mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat roti yang
sudah kosong. "Sekali lagi terima kasih, Twako... ehh, siapakah nama Twako?"
"Namaku
Ciu Tek," jawab orang itu singkat.
"She
Ciu...? Kalau begitu Twako ini tentunya masih terhitung keluarga dengan
pemimpin yang terkenal Ciu Goan Ciang?"
Orang itu
nampak gugup, akan tetapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan
mukanya.
"Aaahhh...
orang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang? Ehh, Adik
Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau juga pernah bertemu
dengannya dan di mana dia sekarang?"
"Semua
orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang.
Tentu saja aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang. Akan tetapi aku
belum pernah bertemu muka dengannya dan tentu saja aku juga tidak tahu di mana
tempatnya. Ciu-twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang amat penting yang
menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat
penting itu?"
"Amat
penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku
ingin mendapat kepastian terlebih dahulu agar jangan mengecewakan dua orang
sakti itu. Adikku yang baik, coba kau buka baju atasmu, ingin aku melihat
pundak dan dadamu,” kata Ciu Tek.
Beng San
membiarkan saja pemimpin orang-orang Pek-lian-pai itu membantu ia melepas
bajunya yang sudah rombeng itu, yang dilakukannya karena dia ingin segera
mendengar apa yang akan diceritakan oleh pemimpin Pek-lian-pai itu.
Dengan
sebatang obor yang baru dinyalakannya, Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng
San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke
arah pundak Beng San.
"Bagus,
kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak mungkin salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat
di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!"
Beng San
menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya. "Ciu-twako, apa kau bilang?
Aku anak siapa? Harap kau jelaskan, jangan main-main."
Suara Beng
San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa
keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia
adalah anak mereka! Mereka siapa?
"Adik
Beng San, jawablah dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir
Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?"
Beng San
mengangguk, membasahi, bibirnya dengan lidah. "Aku... aku sudah lupa akan
segala... aku terdampar oleh ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di
kelenteng... aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik,
lekas kau beri penjelasan, apa artinya semua ini?"
Ciu Tek
memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira, "Adik Beng San,
kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah
lama mencari-carimu ke mana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau di sini.
Ahh, girang sekali hatiku!"
Beng San
hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu
baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu
dengan ayah bundanya kembali? Bagaimanakah wajah ayah bundanya itu? Ia sudah
lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan
she-nya sendiri saja dia sampai lupa.
"Ciu-twako...
di mana... di mana... adanya mereka itu...?" Dengan sukar sekali Beng San
mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air
mata.
"Sabarlah,
Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada
mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu."
Ciu Tek
memberi isyarat dengan suitan. Muncullah seorang temannya, seorang anggota
Pek-lian-pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa
pedang.
"Kui-moi,
kau antarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga,"
kata Ciu Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada
wanita itu. Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian
dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.
"Ciu-twako,
jadi aku she... she Ouw? Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku
sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho? Ahhh,
Twako yang baik, ceritakanlah, aku sudah tidak sabar menanti." Seperti
anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan
memandang terharu.
"Adikku
yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian
tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari
bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya
Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk
Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik)."
Beng San
mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah
pendekar-pendekar gagah, terkenal di kalangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan
kaget dan herannya kalau kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya.
Hemmm, orang
tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-san-pai itu.
Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang
gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!
"Ciu-twako,"
katanya dengan suara gemetar, "jika ayah bundaku begitu terkenal dan
lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?"
"Ketika
itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu
sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan
kau yang masih kecil bermain-main di dekat sungai lalu terseret banjir dan
lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah
lenyap..."
Beng San
termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan
hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya,
hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari.
Ingatannya
hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, ketika dia menjadi kacung di
kelenteng dan diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu.
Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu.
Dan sekarang
kelenteng itu sudah habis di makan api, tak seorang pun hwesio dapat dia
temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari
kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak disangka
sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak
tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.
"Tidurlah,
Adik Beng San. Tidurlah yang nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah
bundamu."
Akan tetapi
mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan
bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka.
Malah sekarang pun telah berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk
menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur. Kadang-kadang dia hampir tak dapat
percaya.
Dia akan
bertemu dengan ayah bundanya? Ahhh, terlalu baik, terlampau luar biasa baik
nasibnya, sampai-sampai sukar untuk bisa mempercayainya. Tak sabar lagi dia
menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa
artinya menunggu. Malam itu terasa amat panjang olehnya.
Akhirnya
fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara
burung malam, jengkerik diseling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang
seram menambah kegelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah
berubah menjadi suara burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah
kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinanti-nantikan akhirnya
menjelang tiba.
Ciu Tek
mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan
memberi sebagian kepada Beng San. Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya,
menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya,
yang lain-lain dia tidak peduli lagi.
Akhirnya,
setelah matahari mulai menerobos cahayanya di antara daun-daun pohon, dari jauh
terdengar derap kaki kuda dan tidak lama kemudian muncullah dua orang. Seorang
laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, matanya
sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh
seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Sambil tersenyum-senyum dua orang ini menghampiri Beng San dan Ciu Tek. Beng
San segera bangkit berdiri, memandang bergantian pada dua orang itu. Lehernya
terkancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi kerongkongannya.
"Adik
Beng San, itulah mereka, ayah beserta ibumu. Sambutlah," berkata Ciu Tek
sambil tersenyum. "Baik-baiklah kau dengan ayah ibumu, aku harus
pergi."
Ciu Tek
segera meninggalkan tempat itu tanpa pernah mendapat jawaban Beng San yang
seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri
memandang dua orang yang baru datang itu.
"Beng
San, ahh... kau sudah begini besar... ahh, sampai pangling aku... hampir
delapan tahun kau lenyap... ahh, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng
San. Betulkah kau Beng San anakku? Betulkah ada tahi lalat di pundakmu?"
kata wanita itu dengan suara terputus-putus. Sapu tangannya digosok-gosokkan di
matanya yang bercucuran air mata.
Laki-laki
itu pun melangkah maju, suaranya besar parau. "Tak salah lagi, inilah anak
kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kau lepas bajumu..."
Gemetar
seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya di saat itu, dia sendiri tidak
tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya hingga baju itu
terbuka dan tampak dada beserta pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi lalat)
kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu lalu menubruk dan
merangkulnya.
"Ahh,
kau betul Beng San anakku...” Diciuminya pipi dan leher Beng San.
Anak ini
merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu, bisik hati
nuraninya, kan dia ibuku? Tapi entah, tanpa disengaja dia menjauhkan mukanya
dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal serta beraroma harum minyak
wangi itu, memandang sepasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang
dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak
terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika dia
tersenyum.
"Beng
San, anakku… mari sini, Nak... biarkan ibumu memelukmu..."
Beng San
bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya
merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat
menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula dia pun menangis
terisak-isak.
"Ayah...
Ibu...? Kenapa... kenapa…?" bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan
ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah
mendekat pula.
"Kenapa…?
Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San...?" Ibunya bertanya.
Sebetulnya
hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa
Hong dan kenapa ibunya begini... pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung
seperti yang dia gambar-gambarkan tadi malam?
Akan tetapi
mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya
berbisik. "Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai
sembilan tahun?"
"Membiarkan
terlunta-lunta? Ahhh, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah mencari-carimu
setengah mati, malah mengerahkan semua kawan Pek-lian-pai untuk
mencarimu," kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio. "Ah, pakaianmu
begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku.
Mari kugantikan kau dengan pakaian baru." la berlari ke arah kudanya dan
mengambil satu stel pakaian dari sutera indah berwarna biru muda untuk Beng
San.
Tanpa
disengaja Beng San tersipu-sipu malu. "Biarlah, Ibu, biar kupakai
sendiri."
Beng San
menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang pohon besar.
Cepat-cepat dia memakai pakaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian
lamanya. Dia hanya merangkapkan pakaian baru itu di luar pakaiannya yang lama.
Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.
"Ahh,
coba lihat. Alangkah tampannya anak kita..." Sambil tertawa ibu muda ini
berlari dan memeluk lagi leher Beng San.
Beng San
mendapat kenyataan betapa ayahnya semenjak tadi hanya diam saja. Agaknya
ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. Dia merasa tidak enak
kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Ternyata
ibunya memang pandai bicara.
Dia teringat
akan Kwa Hong. Memang, kalau dibandingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara
dari pada Kui Lok atau Thio Ki. Bahkan Thio Bwee yang amat pendiam juga lebih
pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara dari
pada kaum laki-laki?
"Ayah,
aku pernah bertemu dengan Tan-twako, pemimpin Pek-lian-pai. Kenapa dia tidak
tahu bahwa aku adalah anak Ayah dan Ibu?"
Ayahnya
nampak bingung. "Tan-twako...? Siapa itu... ahh, ingat aku. Kau maksudkan
Tan Hok?"
"Ketahuilah,
Beng San," Ibunya menyambung cepat. "Tan Hok itu adalah pemimpin dari
Pek-lian-pai cabang selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku
mempunyai hubungan dengan Pek-lian-pai cabang utara. Memang belum lama ini kami
telah bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan
timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata benar, terima kasih
kepada para sianli (dewi) di kahyangan."
Hemmm,
ibunya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyembah Kwan
Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan
berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia terasa dirinya asing.
”Sekarang
ceritakanlah semua pengalamanmu semenjak kau terbawa hanyut oleh Sungai
Huang-ho, anakku,” Ibunya berkata sambil duduk di sebelahnya, memegangi
tangannya dengan sikap yang penuh kasih sayang.
Terharu juga
Beng San melihat sikap Ayahnya yang terus diam saja, hanya membuat api unggun
dan memanggang daging yang agaknya tadi sengaja dibawa. Hal yang amat kecil ini
saja tidak terluput dari perhatian Beng San. Mengapa justru ayahnya yang
memanggang daging? Bukankah seharusnya ibunya yang melakukannya? Kenapa ibunya
agaknya tak mengacuhkan dan kenapa ayahnya kelihatan takut-takut kepada ibunya?
"Beng
San, kenapa melamun? Aku minta kau ceritakan pengalamanmu."
Ketika
hendak mulai bercerita, Beng San tiba-tiba teringat bahwa keadaan dirinya amat
berbahaya. Dia lalu teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee. Karena dia mengerti
tentang Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu di mana keberadaan Lo-tong Souw Lee,
dirinya menjadi terancam, dicari oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Kalau
kini dia menceritakan semua itu kepada ayah bundanya, bukankah itu sama saja
dengan menimpakan semua bahaya ini ke pundak orang tuanya juga?
"Aku
tidak tahu bagaimana asal mulanya, aku sudah tak ingat lagi," ia mulai
menuturkan pengalamannya, "tahu-tahu aku sudah berada di Kelenteng
Hok-thian-tong dan menjadi kacung melayani para hwesio di sana."
la menarik
napas panjang karena teringat lagi pada kelenteng yang terbakar itu. "Aku
tidak ingat apa-apa lagi, yang kuingat hanya bahwa aku hanyut oleh air bah
Sungai Huang-ho dan bahwa namaku Beng San."
"Kasihan
kau, anakku..." Bhe Kit Nio memeluknya dan kembali air matanya bercucuran.
Beng San
merasa amat heran betapa mudahnya air mata mengucur dari sepasang mata ibunya.
"Lalu
bagaimana lanjutannya, Nak?"
Sementara
itu, Ouw Kiu sudah pula duduk di situ, mendengarkan cerita Beng San sambil
memegang ujung ranting yang dipergunakan untuk menusuk dan memanggang daging.
Matanya yang bersinar suram itu lebih banyak menatap daging di dalam api,
jarang sekali menatap wajah Beng San, bahkan agaknya menghindari pandang mata
Beng San yang tajam luar biasa itu.
Beng San
kemudian menuturkan dengan suara perlahan semua pengalamannya, bahkan
menuturkan dengan bangga bahwa dia telah diangkat sebagai murid dan ahli waris
oleh mendiang Phoa Ti dan The Bok Nam yang tewas di dalam jurang. Ketika dia
bercerita sampai di sini, ayahnya nampak tenang saja, akan tetapi ibunya
berseru kaget.
"Apa?!"
Kau diambil murid Thian-te Siang-hiap? Kalau begitu kau menjadi ahli warisnya
dan mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut?" Sepasang mata ibunya terbelalak
memandangnya, alisnya diangkat dan mulutnya terbuka.
Kembali Beng
San merasa bahwa ibunya ini dalam segala gerak-geriknya nampak terlalu
dibuat-buat. Dia lebih bangga akan sikap ayahnya yang pendiam dan seakan-akan
tidak peduli, patut menjadi sikap seorang gagah perkasa, sungguh pun corak
ayahnya ini lebih banyak menakutkan dari pada gagah. Betapa pun juga, dia
merasa bangga bahwa ibunya juga mengenal nama Thian-te Siang-hiap dan tahu akan
Im-yang Sin-kiam-sut.
"Ahh,
aku hanya baru mempelajari teorinya saja, Ibu, prakteknya sih masih jauh dari
pada sempurna. Aku masih sedang melatihnya, baru pada tingkat permulaan."
"Bagus,
anakku. Ahhh, kau anakku yang beruntung, anakku yang bernasib baik!" Ibunya
memeluknya serta mencium keningnya. Kembali Beng San merasa pipinya merah dan
panas, hatinya malu dan jengah.
"Teruskanlah,
Nak, teruskan penuturanmu."
"Ahh,
Ibu, kau bilang aku beruntung dan bernasib baik. Sebaliknya dari pada itu,
setelah menerima warisan ilmu itu, hidupku seperti terkutuk. Aku dipakai
rebutan oleh orang-orang jahat, malah sudah beberapa kali hampir saja aku
dibunuh karena warisan ini,” Beng San berkata menyesal.
"Ehhh...??
Siapa berani mengganggumu, siapa sih berani mau membunuhmu? Keparat,
kuhancurkan kepalanya nanti!" Nyonya muda itu mengepal tinjunya yang kiri
sedangkan tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Sikapnya mengancam dan gagah
sekali.
Untuk
sejenak hati Beng San jadi terhibur. Bangga dia melihat sikap orang yang menjadi
ibunya ini, yang demikian ganas hendak membelanya.
"Ahh,
Ibu... itulah celakanya... selama ini yang selalu mengejar-ngejarku dan
mengancam keselamatanku adalah orang-orang yang layak disebut iblis, tokoh
besar yang amat sakti dan tinggi kepandaiannya, sukar sekali dilawan..."
"Hemmm,
siapa mereka? Katakan!" Ouw Kiu yang sejak tadi hanya diam saja tiba-tiba
mengeluarkan suaranya yang parau.
Kembali Beng
San merasa bangga karena ayahnya ini pun agaknya marah mendengar bahwa dia
hendak diganggu orang. Baru kini dia merasa alangkah enak dan senangnya
mempunyai ayah ibu, ada orang yang melindungi dan membelanya!
"Pertama
adalah Song-bun-kwi, ke dua Hek-hwa Kui-bo, dan masih banyak lagi, mungkin
semua orang di dunia kang-ouw hendak menangkapku karena mereka ingin merebutkan
Im-yang Sin-kiam-sut."
Beng San
memandang tajam ayah bundanya. Dia tak akan heran kalau melihat mereka kaget
dan khawatir. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat ayahnya bahkan
hanya mengangguk-angguk dan ibunya malah tertawa nyaring!
"Ha-ha-ha,
Beng San. Cuma orang-orang macam Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo saja kau
anggap hebat? Ahh, tadinya kukira iblis neraka yang mengganggumu. Kalau hanya
mereka itu, andai kata ibumu ini tidak kuat melawannya, pasti mereka akan
diganyang mentah-mentah oleh ayahmu! Jangan khawatir, anakku. Kau belum tahu
bahwa ayah dan ibumu juga bukan orang lemah, apa lagi ayahmu. Hemmm, kiranya
pasangan kami tak kalah terkenalnya. Kebetulan sekali kau segera dapat kami
temukan, kalau tidak, ahhh... sangat berbahaya. Kau harus lekas beri tahukan
Im-yang Sin-kiam-sut kepada kami. Di bawah pimpinan ayahmu, kau akan dapat
kemajuan pesat dan akan kuat membantu kami menghadapi musuh-musuhmu itu."
Namun Beng
San masih ragu-ragu. Betulkah ayah bundanya akan mampu menghadapi Hek-hwa
Kui-bo atau Song-bun-kwi? la tak mau menyeret ayahnya atau ibunya sehingga jiwa
mereka terancam pula.
la
menggeleng kepala dan berkata, "Biarlah, Ibu. Biar aku sendiri saja yang
mengerti ilmu sial itu, agar Ayah jangan ikut terancam keselamatannya.”
“Hemmm,
agaknya kau belum percaya akan kepandaian ayahmu. Biarlah lain waktu kau akan
melihat sendiri buktinya. Sekarang, kau lanjutkan dulu ceritamu."
Beng San
lalu menceritakan pengalamannya ketika dia ditolong oleh Lo-tong Souw Lee dan
kemudian menerima latihan-latihan dari kakek buta itu serta mendapat
penjelasan-penjelasan bagaimana dia selanjutnya harus melatih diri agar dapat
mempelajari Im-yang Sin-kiam-sut yang sudah dihafalnya di luar kepala itu.
"Ahhh...
kau malah bertemu dengan dia juga? Apakah Liong-cu Siang-kiam masih ada
padanya?" tanya ibunya, nampak kaget dan terheran-heran.
"Masih
ada. Bagaimana Ibu bisa tahu tentang Liong-cu Siang-kiam dan apakah Ibu juga
mengenal Lo-tong Souw Lee?"
"Hi..hi..hi,
bocah bodoh. Siapa tidak tahu tentang Liong-cu Siang-kiam yang dicuri kakek itu
dan menghebohkan orang seluruh negara? Dan tentang Lo-tong Souw Lee sendiri...
ahhh, dia itu adalah sahabat baik ayahmu!"
"Sahabat
baik Ayah?" Beng San menengok kepada ayahnya yang kini telah memandang
panggang dagingnya dengan muka muram lagi. "Akan tetapi dia sudah sangat
tua, dan malah sudah buta, sedangkan Ayah... Ayah masih muda..."
"Dalam
persahabatan orang tidak melihat perbedaan usia," ibunya membantah,
"ayahmu sahabat baik Lo-tong Souw Lee. Kalau bukan sahabat baik, apakah
ayahmu tidak sudah pergi mencarinya untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam
seperti tokoh-tokoh lain? Karena sahabat baik, ayahmu segan melakukan itu.
Sekarang kebetulan sekali, Beng San. Kalau Lo-tong Souw Lee sudah berlaku amat
baik kepadamu, kepada anak kami, sudah selayaknya kalau kami juga membelanya
dari ancaman orang-orang kang-ouw. Aku usulkan supaya kita bertiga pergi
mengunjunginya, di sana kau boleh memperdalam Ilmu Im-yang Sin-kiam-sut di
bawah asuhan ayahmu sementara kita bersama menjaga keselamatan orang tua yang
sudah buta itu." Ibunya lalu meraba pundak ayahnya dan bertanya,
"Ehh, bagaimana pendapatmu?"
Ouw Kiu
menoleh dan tersenyum masam kepada isterinya. "Boleh... boleh..."
"Beng
San, kau katakan di mana tempat sembunyinya kakek tua buta itu? Kita segera
pergi mengunjunginya sekarang juga."
Beng San
ragu-ragu. Benarkah kedua orang tuanya akan dapat melindungi Lo-tong Souw Lee?
Apa bila tidak benar, berarti mengunjunginya sama dengan memancing datangnya
bahaya untuk kakek yang sudah buta itu. la harus melihat gelagat, jangan sampai
malah membahayakan keselamatan Lo-tong Souw Lee dan juga keselamatan ayah
bundanya.
Tiba-tiba
Beng San merasa terkejut sekali. Telinganya mendengar sesuatu, perasaannya
tersentuh dan tahulah dia bahwa ada orang pandai di dekat sana. Sebelum dia
dapat bicara, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Sin-siang-hiap
(Sepasang Pendekar Sakti)! Serahkan anakmu kepadaku!"
Dan
tiba-tiba saja di situ sudah muncul Hek-hwa Kui-bo dengan sikap mengancam
sekali. Beng San memandang dengan mata terbelalak kaget dan penuh kekhawatiran.
Ibunya
segera melompat mendekatinya dan memeluknya. "Jangan takut, lihat saja
bagai mana ayahmu menggempurnya," bisiknya.
Ouw Kiu,
ayah Beng San, berdiri dengan malas-malasan, memandang kepada Hek-hwa Kui-bo
dan berkata. "Hek-hwa Toanio, harap kau jangan mengganggu anakku."
Sambil berkata demikian Ouw Kiu merangkapkan kedua tangan memberi hormat.
Hek-hwa
Kui-bo mengeluarkan suara menyindir. Tiba-tiba tubuhnya melayang dan kedua
tangannya sudah melakukan pukulan, mendorong ke arah dada Ouw Kiu. Dengan
tenang Ouw Kiu membuka kedua lengannya dan sepasang telapak tangannya menyambut
serangan nenek itu. Terdengar suara keras dan... tubuh nenek itu mencelat ke
belakang lalu terhuyung-huyung, mukanya berubah pucat. Sedangkan Ouw Kiu masih
berdiri tegak sambil tersenyum tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.
Sambil
mengeluarkan suara pekik yang mengerikan, tubuh Hek-hwa Kui-bo berkelebat dan
lenyap dari situ. Keadaan kembali sunyi dan Beng San memandang kepada ayahnya
penuh kekaguman, matanya melotot dan mulutnya melongo.
Demikian
mudah ayahnya mengalahkan Hek-hwa Kui-bo. Padahal nenek itu amat ditakuti oleh
seluruh dunia kangouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya.
Saking girang, kagum dan bangganya, dia lari menghampiri ayahnya, memeluk pinggang
ayahnya sambil terisak-isak. Baru kali ini dia berpelukan dengan ayahnya yang
hanya mengelus-elus rambut kepalanya.
Sekarang
Beng San tak ragu-ragu lagi untuk mengajak kedua orang tuanya mengunjungi
Lo-tong Souw Lee. Mereka bertiga melakukan perjalanan cepat melalui sepanjang
Sungai Huang-ho sambil melihat-lihat keindahan pemandangan. Memang, lembah
Sungai Huang-ho menjadi tamasya alam yang amat indahnya di waktu airnya tidak
mengamuk. Akan tetapi kalau musim hujan tiba dan sungai itu mengamuk, semua
pemandangan indah akan lenyap dan berubah menjadi keadaan yang mengerikan.
Dengan
gembira ayah ibu dan anak ini melakukan perjalanan. Hati Beng San tenang dan
tentram. Ayahnya demikian lihai, tentu ibunya juga. la takut apa? Bahkan ketika
mereka bertiga pada suatu hari, beberapa pekan kemudian, tiba-tiba berhadapan
muka dengan Song-bun-kwi, Beng San masih enak-enak dan malah tersenyum
mengejek.
"Ehh,
Song-bun-kwi, kalau sekarang kau masih berani menggangguku, barulah kau boleh
membanggakan diri sebagai seorang jagoan. Hayo, kau lawanlah ini Ayahku dan
Ibuku. Sin-siang-hiap!"
Ayah dan
ibunya dijuluki Sin-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Sakti, karena bukankah
kedua-duanya memakai julukan yang ada huruf saktinya? Ayahnya berjuluk Naga
Sakti Terbang, ibunya berjuluk Pedang Sakti Cantik, jadi keduanya mendapat
julukan Sepasang Pendekar Sakti!
Song-bun-kwi
berdiri bengong, seperti terheran-heran melihat anak yang selama ini selalu
dicari-carinya akan tetapi tak tersangka-sangka dapat bertemu dengannya di tepi
Sungai Huang-ho. Dan anak ini begini enak-enak dan tenang saja, tidak lari
seperti dulu.
Sementara
itu, Beng San menoleh kepada orang tuanya dan bukan main herannya ketika dia
melihat orang tuanya itu nampak pucat sekali saat berhadapan dengan
Song-bun-kwi. Lebih-lebih lagi herannya ketika dia melihat tubuh ayahnya
menjadi gemetar, dua kakinya menggigil. Ibunya juga pucat dan hanya meraba
gagang pedang tanpa mencabutnya.
"Sin-siang-hiap?
Ha-ha-ha, Sin-siang-hiap?" Song-bun-kwi mengeluarkan suara mengejek dan
tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus dia telah mengirim dua serangan ke arah
Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio.
Kedua orang
suami isteri ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja mereka keserempet angin
pukulan Song-bun-kwi sampai terlempar beberapa meter dan bergulingan menjauh.
Kiranya mereka memang sengaja menggunakan Ilmu Trenggiling Turun Gunung itu,
untuk menggelindingkan tubuhnya sampai jauh, kemudian sama-sama meloncat bangun
dan... melarikan diri!
Beng San
merasa heran dan amat marah. Akan tetapi kemarahannya lebih besar lagi. Ia
menerjang maju sambil memaki, "Iblis tua, berani kau memukul ayah
bundaku?!"
Song-bun-kwi
mengelak dan hendak menangkap tangan Beng San, akan tetapi alangkah kagetnya
pada saat tangan itu menyelinap ke bawah dan tahu-tahu pahanya kena dipukul
oleh Beng San! Ia merasa seakan-akan tulang pahanya hendak patah dan terasa
dingin seperti kemasukan es. la kaget sekali, maklum bahwa dia kena pukulan
Im-sin-kiam dari bocah itu. Bukan main keder hatinya. Andai kata latihan anak
itu sudah lebih matang, sangat boleh jadi pahanya akan patah! Hebat sekali,
anak ini tak boleh dibuat main-main, pikirnya.
la lalu
mengamuk dengan pukulan-pukulan aneh kalang-kabut. Kasihan sekali Beng San.
Benar bahwa dia sudah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sekali, akan tetapi justru
karena terlalu tinggi ilmu itu, sebelum dia melatihnya dengan sempurna,
kepandaian silatnya jadi amat terbatas.
Menghadapi
seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, mana dia dapat menandinginya? Dalam
beberapa belas jurus saja dia sudah roboh tertotok jalan darahnya, tidak mampu
bergerak lagi karena lumpuh kaki tangannya!
Sambil
tertawa-tawa Song-bun-kwi mengempit tubuh Beng San dan membawanya berlari pergi
dari tempat itu, terus berlari di sepanjang tepi Sungai Huang-ho sampai dia
tiba di daerah tepi sungai yang bertebing tinggi dan curam. Beng San masih tak
dapat bergerak sedikit pun juga, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya dan berusaha membebaskan diri dari totokan.
"Heh,
bocah setan!" Song-bun-kwi berkata sambil tertawa-tawa. "Akhirnya kau
terjatuh juga di tanganku. Hayo sekarang lekas kau berikan Im-yang Sin-kiam-sut
kepadaku dan beri tahu pula di mana tempat sembunyinya si maling Lo-tong Souw
Lee itu."
Beng San
lumpuh hanya kaki tangannya, akan tetapi dia dapat mempergunakan panca
inderanya, dapat pula bicara. Akan tetapi terhadap Song-bun-kwi dia tidak sudi
membuka mulut, maka dia hanya memandang lalu menggelengkan kepalanya.
"Bocah
bandel, apakah kau lebih sayang Im-yang Sin-kiam-sut dan lebih sayang kakek
buta mau mampus itu dari pada nyawamu? Lihat ke bawah itu, air Sungai Huang-ho
amat dalam dan deras di bawah itu. Kalau kau tetap membandel aku akan melempar
engkau ke sana!"
Dia memegang
tubuh Beng San sedemikian rupa di atas tebing sehingga muka anak itu menghadap
ke bawah, langsung melihat air yang mengalir deras dan berombak-ombak mengerikan.
Dari atas, air itu kelihatan seperti air yang mendidih.
Tiba-tiba,
entah dari mana datangnya perasaan ini, Beng San merasa ketakutan sekali
melihat air itu. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan yang amat
sangat menyesakkan dadanya. Semua bulu di tubuhnya meremang dan mukanya menjadi
pucat kehijauan.
la melihat
air yang bergolak itu seperti ribuan muka iblis yang sangat menakutkan, yang
akan menerkamnya, akan menghanyutkannya. Saking takutnya dia sampai tak dapat
lagi mendengar ancaman-ancaman serta bujukan-bujukan Song-bun-kwi sehingga dia
sama sekali tidak menjawab, hanya terbelalak memandang ke arah air di bawah
itu.
"Iblis
cilik, kalau begitu kau harus mampus. Agar rohmu tidak menjadi setan penasaran
yang menggangguku, dengar apa sebabnya aku membunuhmu. Hal pertama karena kau
tidak mau membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut dan tempat sembunyi Lo-tong Souw
Lee, dan kedua karena kau mengetahui rahasia Yang-sin-kiam yang kumiliki. Nah,
jadilah setan Sungai Huang-ho!" Song-bun-kwi lalu melempar tubuh Beng San
ke bawah!
Beng San
mengeluarkan pekik mengerikan saking takutnya. Dan pada saat itu terdengar
pekik lain, pekik yang melengking tinggi dari bayangan merah yang berkelebat
cepat ke tempat itu. Di lain saat, bayangan merah yang ternyata adalah Bi Goat
si bocah gagu itu telah melemparkan segulung tambang ke bawah.
Dengan
gerakan istimewa, tambang yang meluncur seperti ular ini berhasil menggulung
tubuh Beng San pada bagian ujungnya sehingga tubuh Beng San tergantung di
udara, tidak terbanting ke air dan batu-batu karang. Bukan hal kebetulan saja
Bi Goat membawa tambang, karena tadinya memang Song-bun-kwi mengajaknya berkeliaran
di tepi sungai, di tebing-tebing tinggi itu untuk mencari sarang burung dan
mereka memerlukan tambang yang panjang untuk mencari sarang ini di
tempat-tempat yang sukar.
"Bi
Goat, kurang ajar kau!" Song-bun-kwi berteriak.
Sekali
renggut dia sudah merampas ujung tambang itu, kemudian dengan sekali dorong
tubuh Bi Goat telah terjengkang. Song-bun-kwi lalu mengulur tambang itu
sehingga tubuh Beng San sekarang terapung di air yang mengamuk.
Beng San
masih menjerit-jerit ketakutan, apa lagi sekarang setelah dia dipermainkan air
yang berombak-ombak itu. la meronta-ronta, tanpa disadari dia sudah bebas dari
totokan dan sekarang dia mencoba untuk berenang sambil menjerit-jerit. Akan
tetapi tentu saja usahanya ini sia-sia karena tambang itu masih mengikat pinggangnya
dengan erat.
Pada saat
dia melihat ke atas sambil terengah-engah, dia melihat Bi Goat berlutut sambil
bergerak-gerak seperti menangis di depan Song-bun-kwi, telunjuknya
menuding-nuding ke arah bawah, ke air di mana Beng San dipermainkan maut.
"Bi
Goat... tolong...!" Beng San menjerit sekerasnya dan suaranya nyaring
sekali.
Sekarang Bi
Goat melompat berdiri, menjambak-jambak rambut dan membanting-banting kaki di
depan Song-bun-kwi yang hanya tertawa dan menggelengkan kepala. Kemudian
Song-bun-kwi menjenguk ke bawah dan berteriak, suaranya dikerahkan dengan
kekuatan khikang mengatasi suara air sehingga dapat terdengar oleh Beng San.
"He,
Beng San iblis cilik! Bagaimana apakah kau menyerah? Kalau kau mau memenuhi
permintaanku tadi, kau akan kunaikkan dan tidak jadi mampus ditelan air!"
Beng San
memang takut, takut bukan main, malah takut yang tidak sewajarnya, mungkin
karena dahulu di waktu kecil dia pernah mengalami pula ketakutan sehebat ini
ketika dia hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho. Akan tetapi jiwa satria masih
bersemayam dalam tubuhnya.
Dia tidak
suka melanggar janjinya, janji terhadap Phoa Ti dan The Bok Nam yang sudah
mati, bahwa dia akan memegang teguh rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, termasuk
janjinya terhadap Lo-tong Souw Lee takkan menceritakan tempat sembunyi kakek
itu. Lebih baik mati dari pada melanggar janji sendiri.
Demikianlah
pendirian seorang satria, seorang pendekar. Beng San tidak takut mati, akan
tetapi sekarang dia benar-benar takut. Setiap pucuk ombak air merupakan cakar
iblis yang hendak mencekik dan mencengkeramnya.
"Song-bun-kwi,
kau boleh minta apa saja, tapi yang dua itu tidak mungkin!" jawabnya di
antara suara air.
Song-bun-kwi
marah. Ia mengangkat tambang dan melepaskannya kembali sampai tubuh Beng San
tenggelam ke dalam air, mengangkat lagi, melepaskan lagi. Berkali-kali tubuh
Beng San timbul tenggelam di antara deru suara air yang mengalir deras.
Beng San
takut setengah mati, takut dan juga gelagapan sukar bernapas. Entah bagai mana,
sekarang baginya tidak ada Song-bun-kwi lagi, tidak ada siapa-siapa, yang
teringat olehnya hanyalah air, air, air! la merasa dihanyutkan air yang luar
biasa kerasnya, merasa takut dan tiba-tiba dia teringat akan ayahnya, akan
ibunya, akan kakaknya!
"Ayahhhhh...!"
la berteriak-teriak membayangkan wajah ayahnya.
"Ibuuuuu...!"
Kembali dia berteriak-teriak ketika mendapat kesempatan, yaitu pada waktu
Song-bun-kwi menarik tambang ke atas.
"Kakak...!
Kakak Kui...!” Ia menjerit lagi.
Pada saat
itu Bi Goat juga berteriak-teriak menangis, berusaha mencegah Song-bun-kwi
menyiksa Beng San. Akan tetapi Song-bun-kwi malah memaki dan menendangnya. Bi
Goat berkali-kali menengok ke bawah. Ketika ia melihat betapa Beng San
menjerit-jerit dengan muka ketakutan setiap kali tubuhnya timbul di permukaan
air, dia mengeluarkan teriakan melengking tinggi lalu Bi Goat melompat ke
bawah. Air sungai muncrat tinggi ketika tubuh Bi Goat menimpanya dan tertelan air
yang mendidih itu.
Walau pun
tadinya memaki-maki dan menendang Bi Goat, namun begitu melihat anak itu dengan
nekat terjun ke bawah, Song-bun-kwi menjadi sangat bingung dan terkejut sekali.
Keselamatan anaknya berbahaya sekali, terancam maut yang mengerikan.
Cepat dia
menggerakkan tambang yang dipegangnya dan ujung yang melibat tubuh Beng San
segera terlepas. Kemudian dengan gerakan yang aneh tambang itu meluncur ke arah
jatuhnya Bi Goat. Tepat setelah tubuh anak baju merah ini timbul di permukaan
air, tali itu melibat pinggangnya dan sekali sendal saja tubuh Bi Goat melayang
kembali ke darat!
Akan tetapi
ketika Song-bun-kwi kembali menjenguk ke bawah, tubuh Beng San sudah lenyap.
Tentu setelah tidak terikat oleh tambang lagi, anak itu sudah terbawa hanyut
oleh air yang begitu derasnya. Bi Goat menangis, menggosok-gosok kedua matanya
dengan punggung tangan, pakaiannya basah kuyup.
"Sudah,
diamlah. Dia anak jahat, apa bila tidak dilenyapkan dari muka bumi kelak hanya
akan menimbulkan geger saja. Sakitkah badanmu? Apakah tidak terluka?"
Song-bun-kwi
yang mendadak merasa kasihan kepada anaknya, mendekati Bi Goat lalu
memondongnya, merangkulnya. Bi Goat hanya menangis di pundak ayahnya yang aneh
itu. Perlahan-lahan Song-bun-kwi yang memondong anaknya pergi dari situ,
seperti orang melamun. Ia merasa lega karena mengira bahwa Beng San, anak yang
menjadi orang ke dua setelah dia yang mengerti akan Ilmu Silat Yang-sin
Kiam-sut, sekarang tentu telah mati tenggelam di dasar Sungai Huang-ho.
Betulkah
Beng San sudah mati seperti yang diharapkan dan diduga oleh Song-bun-kwi?
Agaknya kakek yang sakti ini lupa bahwa mati hidup seseorang tergantung
sepenuhnya kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Apabila Tuhan belum menghendaki
kematian seseorang, jangankan baru dia terancam bahaya maut seperti Beng San.
Meski pun orang itu diancam bahaya maut dengan hujan api sekali pun, dia akan
selamat dan terluput dari bahaya maut yang mengancamnya itu. Sebaliknya, apa
bila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, biar pun dia akan berlari ke
ujung dunia atau berlindung ke dalam gedung baja, maut tetap akan mencabut
nyawanya tanpa dapat ditawar-tawar atau diperpanjang sedikit pun lagi.
Kelihatannya
memang Beng San sudah tidak berdaya, dan memang anak ini juga sudah kehabisan
akal. Bagaikan seorang yang sudah berubah ingatannya, Beng San terbawa hanyut
oleh air dan setiap kali kepalanya tersembul di permukaan air, jauh dari tempat
dia hanyut tadi, dia lalu memekik-mekik memanggil ayahnya, ibunya, dan seorang
yang dia panggil Kui-ko (kakak Kui).
Akhirnya
saking lelah dan banyaknya minum air sungai, Beng San tidak ingat diri lagi dan
tahu-tahu ketika siuman kembali, dia mendapatkan dirinya sudah menggeletak di
dalam sebuah perahu kecil. Tubuhnya sudah terbaring di situ, telanjang bulat dan
terbungkus dengan selimut hangat.
Ketika dia
melirik, dia mendapatkan pakaian bututnya sedang dijemur di pinggiran perahu
sedangkan di kepala perahu kecil itu duduk berjongkok seorang laki-laki tua
bertopi lebar. Laki-laki ini mukanya kurus, penuh gurat-gurat hidup tanda
banyak menderita. Laki-laki itu duduk tak bergerak. Matanya sayu melamun ke
permukaan air, melihat tali pancingnya yang bergerak-gerak perlahan, terbawa
aliran air yang tenang di bagian itu. Di dekatnya kelihatan tiga ekor ikan
sebesar betis yang sudah mati, tetapi masih segar.
Beng San
diam saja, berusaha mengingat-ingat. Mula-mula dia teringat akan air besar yang
menghanyutkan, yang mengerikan dan sekaligus dia membayangkan kembali wajah
seorang laki-laki tua yang berpakaian sebagai petani, yang bermata tajam dan
bermulut selalu tersenyum, wajah yang amat disayangnya, wajah ayahnya.
Lalu
menyusul wajah yang menimbulkan rasa mesra dalam hatinya, wajah seorang wanita
yang agung, berkulit hitam manis, berambut hitam panjang digelung di belakang
leher. Wajah yang bermata sayu dan lembut, yang selalu bicara halus penuh kasih
sayang kepadanya, wajah ibunya!
Dan terakhir
terbayang olehnya wajah seorang anak laki-laki yang nakal, yang sering kali
menggodanya akan tetapi yang menjadi temannya bermain sejak kecil, wajah
kakaknya yang bernama Tan Beng Kui. Dan dia sendiri bernama Tan Beng San!
Kini ia
teringat semua, malah dusunnya ia ingat pula bentuk dan macamnya. Ada telaga
kecil di dekat sungai, telaga yang banyak ikannya, dan sering kali dia dan
kakaknya diajak memancing ikan di telaga itu oleh ayahnya. Hanya nama ayah
ibunya dan nama dusun itu dia tidak tahu.
Berdebar
hati Beng San teringat akan ini semua. la tidak tahu bahwa dulu dia kehilangan
ingatan oleh air Sungai Huang-ho dan sekarang dia mendapatkan kembali
ingatannya, oleh air Sungai Huang-ho pula. Yang membuat Beng San berdebar-debar
adalah karena sekarang dia teringat pula akan Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio yang
mengaku menjadi ayah bundanya!
Bagaimana
bisa terjadi demikian? Apakah betul mereka itu adalah kedua orang tuanya? Ataukah
bayangan lelaki petani dan wanita berwajah agung itu adalah orang tuanya yang
sesungguhnya? Dan Tan Beng Kui?
Beng San
masih bingung, lalu kepalanya membayangkan Bi Goat. Gadis cilik yang gagu itu,
yang menangis dan berusaha menolongnya, yang kemudian secara nekat meloncat ke
air untuk menolongnya tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Teringat
akan ini, membayangkan wajah Bi Goat menangis untuk dirinya, berganti-ganti
dengan wajah ayahnya, wajah ibunya, dan wajah kakaknya, tanpa terasa lagi Beng
San mengeluh dan dua titik air mata yang panas mengalir keluar membasahi
pipinya.
"He,
kau sudah bangun?"
Tukang
pancing itu mendengar keluhannya. Dia berdiri lalu menghampiri. Perahu kecil
itu goyang-goyang ketika si tukang pancing berjalan. Ternyata dia seorang kakek
yang berusia lima puluh tahunan, bertubuh kurus. Wajahnya kering terbakar
matahari dan penuh guratan, matanya sayu tetapi kadang-kadang lincah berseri.
Mulutnya yang ompong membayangkan ketenangan batin seorang yang sudah banyak
makan asam garam dunia.
Beng San
cepat bangkit dari tidurnya, mengusap air matanya kemudian menjatuhkan diri
berlutut, "Kakek yang baik, agaknya kau yang telah menolongku dari dalam
air."
Kakek itu
memegang pundak Beng San. "Tadi kukira kau ikan besar yang tersangkut di
pancingku. Aku sudah girang sekali, mengira mendapat ikan yang besar sekali,
tapi ketika kutarik..."
"Kau
kecewa karena hanya aku...” sambung Beng San tak dapat menahan kata-katanya ini
karena melihat sikap tukang pancing itu lucu dan jenaka.
"Ha-ha-ha,
tidak demikian. Aku malah lebih gembira, pertama karena tanpa kusengaja aku
dapat menolong seseorang dari kematian, ke dua, aku bakal mendapatkan kawan
baik untuk bekerja sama mencari ikan. Eh, anak nakal, siapa namamu dan kenapa
kau hendak menyaingi ikan-ikan di air, berkeliaran di dalam air Sungai
Huang-ho?"
Melihat
sikap kakek itu dan mendengar kata-katanya yang jenaka, sebuah plkiran baik
menyelinap ke dalam otak Beng San. Mengapa tidak? Akan aman dia kalau berada di
dekat kakek ini, menyamar sebagai tukang ikan, setiap hari di perahu mencari
ikan. la bisa menyembunyikan diri dari Song-bun-kwi dan yang lain-lain.
Tentu mereka
itu tidak ada yang mengira bahwa Beng San, anak yang mewarisi Im-yang Sin-kiam
dan yang mengetahui tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee telah menjadi
nelayan.
"Kakek
yang baik hati, namaku Siauw-kui (Setan Kecil), sebatang kara di dunia ini.
Kalau kau mau mengambil aku sebagai pembantumu, ahh, kakek yang baik, setiap
malam aku akan bersembahyang kepada dewa-dewa sungai supaya kau diberi umur
panjang dan banyak rejeki."
Kakek itu
tertawa bergelak, terlihat mulutnya yang tidak bergigi. "Ha-ha-ha, siapa
butuh umur panjang? Tentang rejeki, asal kau mau benar-benar membantuku, tentu
banyak ikan dapat diangkat ke perahu."
Kakek itu
adalah seorang nelayan tua bernama Gan Kai, seorang duda tua yang juga hidup
sebatang kara, malah tidak mempunyai rumah tinggal, rumahnya ya perahu kecil
itulah! Maka sungguh tepat sekali bagi Beng San untuk tinggal bersama kakek Gan
ini, karena selain terjamin hidupnya, dia pun dapat bersembunyi dan setiap saat
dapat berlatih ilmu silat dengan amat tekunnya.
la mengambil
keputusan untuk berlatih dengan giat. Setelah sempurna kepandaiannya, dia akan
mengunjungi Lo-tong Souw Lee, kemudian dia akan mencari ayah bundanya, dan juga
kakaknya. la tidak tahu lagi nama orang tuanya, juga dia tidak tahu lagi nama
dusunnya, tetapi asal dia menjelajahi dusun-dusun di pinggir sungai di sekitar
Kelenteng Hok-thian-tong, masa tidak akan dapat dia temukan?
Otaknya
berpikir, hatinya berharap, namun takdirlah yang menentukan…..
***************
Setiap orang
yang mengingat-ingat masa lampau, mengenang kembali masa lampau beberapa tahun
yang lalu, akan mendapat kesan betapa cepatnya jalannya sang waktu. Penulis
sendiri tiap kali mengenangkan masa kanak-kanaknya yang sudah puluhan tahun
yang lalu, selalu merasa seakan-akan masa itu baru terjadi kemarin-kemarin ini,
serasa masih membayang di pelupuk mata ketika bermain-main dengan anak-anak
lain, mencari ikan-ikan kecil di sungai, atau tiduran di punggung kerbau, atau
bermain-main di bawah air hujan!
Memang waktu
berlalu amat cepatnya, sampai-sampai tidak terasa oleh manusia di dunia. Begitu
pula dengan jalannya cerita ini. Baru saja kita mengikuti pengalaman-pengalaman
Beng San, sebentar kita tinggalkan, ehhh, tahu-tahu delapan tahun sudah lewat
dengan amat pesatnya!
Selama itu,
Tiongkok mengalami kekacauan terus-menerus. Bahkan kekacauan ini juga
mempengaruhi keadaan penghidupan dalam istana. Pangeran-pangeran yang berkuasa
saling memperebutkan kekuasaan, saling berkomplot dengan para pembesar bu
(militer), saling jatuh-menjatuhkan sehingga dalam jangka waktu kurang lebih
dua puluh lima tahun (1307-1332) saja pemerintah Goan (Mongol) ini sudah
berganti kaisar sebanyak delapan kali!
Ketika
cerita ini terjadi, raja terakhir yang menduduki tahta adalah Kaisar Sun Ti. Di
bawah tekanan Kaisar Sun Ti inilah penghidupan rakyat pribumi (Han) amat
tertindas dan tidak tertahankan lagi. Mulailah timbul pemberontakan di
sana-sini, yang terbesar dan terkenal adalah Partai Teratai Putih
(Pek-lian-pai) yang pada awal mulanya hanyalah merupakan pemberontakan dari
para petani di utara yang sudah tidak kuat lagi menderita penindasan para
hartawan dan bangsawan setempat. Lama kelamaan partai ini menjadi makin kuat,
bahkan lalu diikuti atau dimasuki pula oleh orang-orang gagah dunia kang-ouw
sehingga merupakan kesatuan yang amat ditakuti oleh bangsawan-bangsawan Mongol.
Pemberontakan-pemberontakan
kecil pecah di sana sini, satu dihancurkan timbullah dua, sehingga semenjak
Kaisar Sun Ti naik tahta, kaisar ini tidak pernah mengenal apa yang disebut
aman dan damai di Tiongkok.
Banyak
pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan tercatat namanya dengan tinta emas di
lembaran sejarah, misalnya Liu Hok Tung, Kok Ci Seng, Thio Se Cheng, Tan Yu
Liang, dan masih banyak lagi orang-orang gagah yang memimpin rakyat untuk
menghalau kaum penjajah Mongol dari tanah air mereka.
Tiga puluh
tahun lebih pemberontakan-pemberontakan ini berjalan, semakin hari semakin
hebat sehingga akhirnya, seperti tercatat dalam sejarah,
pemberontakan-pemberontakan inilah yang akhirnya menumbangkan kekuasaan Mongol
yang menjajah daratan Tiongkok hampir seratus tahun lamanya.
Seperti
telah disebutkan di atas, waktu delapan tahun berjalan dengan amat cepatnya dan
saat itu keadaan masih penuh dengan kekacauan yang diakibatkan oleh
pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Goan-tiauw….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment