Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 11
Pada suatu
pagi yarig cerah, di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Cin-lin-san, di
depan sebuah goa yang dinamakan goa Ular, tampak seorang pemuda tengah berlutut
di depan seorang kakek yang sudah tua sekali.
Kalau baru
melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi
setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah
berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya.
Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya. Muka dan tubuhnya
hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Ada pun pemuda yang berlutut itu
nampaknya terharu sekali.
"Mohon
Locianpwe sudi memberikan maaf sebesarnya karena teecu telah meninggalkan
Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam
keadaan menderita," terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh
yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.
Kakek itu
bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering yang tertiup angin. Mulutnya
bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan. "Ahhh,
anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu.
Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan..."
Kakek itu
kemudian duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali
meraba-raba kemudian kakek itu berkata penuh kekaguman, "Hebat... dahulu
aku pun tak sekuat engkau sekarang. Bukan main…, ahhh, kalau saja aku
mendapatkan kesempatan melihat... ehh, maksudku mendengar kau main Liong-cu
Siang-kiam dalam Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, mati pun aku akan puas.
Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat
jauh...”
Kakek itu
lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilauan cahayanya, memberikan
sepasang pedang itu kepada pemuda tadi. Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat
tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu,
memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,
"Locianpwe,
betulkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-cu Siang-kiam, sepasang pedang
yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia
kang-ouw?"
Kakek buta
itu tersenyum. "Beng San, apakah kau sudah lupa lagi? Bukankah dahulu kau
pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya pada saat kau berhadapan dengan
Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Inilah Liong-cu Siang-kiam, pedang
peninggalkan sepasang pendekar yang sakti, yaitu pendekar sakti Sie Cin Hai
pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya dimiliki seorang pendekar yang
terkenal sebagai seorang raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini
hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak menggunakannya, sebab hanya kau yang
menjadi ahli waris Im-yang Sin-kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kau mainkan
Im-yang Sin-kiam-sut untukku..!"
Kakek itu
terengah-engah, nampaknya sangat tegang dan gembira sekali, perasaan yang
memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah.
Orang muda
itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan
sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh
ke tempat yang luas di depan goa itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat
dan sigap. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri,
depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main
di angkasa!
Mendadak
muka Lo-tong Souw Lee yang sangat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya
dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencengkeram ke depan dan dia
berteriak, penuh kepahitan, "Heeeiii, itu bukan Im-yang Sin-kiam... itu...
itu... ahhh, kau bukan Beng San... aduhai celaka, kau bukan Beng San...!"
Terdengar
suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-tong Souw Lee tidak
mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh.
"Beng
San... sia-sia aku menanti sampai tahunan... aduh, mataku yang buta...
celaka..."
Kakek ini
terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh
tertelungkup di depan goa itu. Dari puncak Cin-lin-san itu, bayangan pemuda
tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari
jurusan utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah
dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang.
Kurang lebih
tiga jam berikutnya, seorang pemuda lain kelihatan mendaki puncak dengan
tenang. Pakaiannya sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas. Mukanya
putih sehingga alisnya yang hitam gompyok berbentuk golok itu nampak lebih
hitam lagi, dan sepasang matanya bersinar tajam melebihi sinar pedang dan
mempunyai wibawa yang aneh. Tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah
bolong-bolong saking tuanya.
Dari gerak
kakinya yang tetap dan tak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru
datang mendaki puncak Cin-ling-san ini adalah seorang yang memiliki ketenangan
lahir batin. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak
kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw,
juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang
pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani.
Akhirnya,
dengan langkah yang tidak pernah mengendur namun tidak pula tergesa-gesa,
pemuda ini tiba di depan goa Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh
kakek yang menggeletak tertelungkup di depan goa, kedua kakinya langsung
bergerak sehingga tubuhnya berkelebat. Pada lain saat tahu-tahu dia telah berlutut
di dekat tubuh kakek itu lalu mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di
atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari
muka yang pucat dan kurus itu.
"Kakek
Souw... Kakek Souw... kau kenapakah?"
Kakek itu
menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan
akhirnya dia berkata dengan suara terisak, "Ahh... Beng San... sekarang
benar kau Beng San... kenapa aku begini bodoh...?” Kakek itu terisak-isak!
Beng San
terkejut sekali. Pada saat tadi mengangkat tubuh kakek ini, dia melihat bahwa
Lo-tong Souw Lee tidak terluka. "Ada apakah, Kakek Souw? Apa yang telah
terjadi...?"
"Ahh,
Beng San. Aku bodoh... orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk
menipuku... pedang Liong-Siang-kiam sudah diambil orang yang mengaku sebagai
kau... dia juga memiliki ilmu tinggi... masih muda... sayang aku tidak tahu
bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya... dia... dia memiliki
tenaga dalam yang hebat..."
Beng San
mampu menguasai hatinya. ”Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek
Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja? Aku tidak begitu
mengingininya..."
"Apa...?!"
Mendadak kakek itu berkata keras. "Sepasang pedang itu adalah punyamu!
Mengerti kau? Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan
nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti
datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri oleh
orang dan kau... kau bilang tidak mengingininya? Lepaskan aku,
lepaskan...!" Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya
lagi ke atas tanah.
Beng San
merasa menyesal sekali. Ia merasa sudah berbicara seenaknya dan lancang.
"Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Sama sekali bukan maksudku untuk
menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan
terlalu berduka akibat kehilangan Liong-cu Siang-kiam."
Tapi kakek
itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan,
hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis.
Menyedihkan sekali muka yang tua itu.
"Biarlah...
biar aku mampus... aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal
kasih sayang orang... biar aku mampus karena kau...”
Beng San
cepat menjatuhkan diri berlutut. "Kakek Souw, ampunkanlah aku... ampunkan,
aku sama sekali tak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus
aku lakukan, aku bersumpah akan memenuhi permintaanmu."
”Betul
kata-katamu itu?" Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.
"Betul,
Kakek Souw."
"Kau
berani bersumpah?”
Tanpa
ragu-ragu lagi Beng San bersumpah, "Aku bersumpah, disaksikan langit dan
bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apa bila aku tidak
memenuhi permintaan Kakek Souw."
Kakek itu
nampak lega sekali. Dia lalu bangun duduk dengan susah payah, dibantu oleh Beng
San.
"Aku
tidak akan minta kau berbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik.
Pertama-tama, aku minta agar kau berusaha mencari orang yang sudah mencuri pedang
Liong-cu Siang-kiam. Setelah orang itu dapat kau temukan, kalau dia laki-laki
kau harus membunuhnya. Kalau dia wanita..." Kakek itu berhenti,
batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Ya...?
Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?"
"Kalau
dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya."
"Apa...?!"
Beng San melompat tinggi seperti orang yang tersentak kaget karena diserang
ular. Sepasang matanya terbelalak lebar dan dia merasa bulu tengkuknya berdiri.
"Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras?
”Tentu saja
aku waras!" bentak kakek tua itu marah. "Kalau pencuri pedang itu
pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kau bunuh. Tapi
jika dia itu wanita, tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah... tak
patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau
kawin saja dengannya supaya Liong-cu Siang-kiam tidak terjatuh kepada orang
lain."
"Mana
ada aturan begini?" Beng San membantah. "Kalau perampas pedang itu
ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa
alasannya dia merampas pedang. Apa bila dia bukan orang jahat, bagaimana aku
akan dapat membunuhnya? Soal kedua, kalau dia itu wanita... dan seorang wanita
tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana
aku dapat mengawininya? Ahh, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi permintaanmu
tadi, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-cu Siang-kiam."
"Jadi
kau hendak melanggar sumpah?"
”Kakek Souw,
aku takkan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku juga tak bisa melakukan hal yang
bertentangan dengan peri kebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Apa
bila penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara
serampangan saja kau anggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih di
sini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!"
Tiba-tiba
kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti
segar kembali.
"Begitulah
seharusnya seorang laki-laki!" katanya gembira. "Rela mengorbankan
nyawa sendiri dari pada melakukan sesuatu yang tidak patut. Beng San, aku
girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-cu Siangkiam!"
kembali kakek itu tertawa-tawa.
Beng San
diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang
tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari
seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui
rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.
"Jangan
kira aku sudah gila, Beng San. Tadi pun sudah kujelaskan bahwa aku tak akan
meminta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kau pun tentu sudah dapat
menyelami watakku, bila tidak demikian, mana mungkin kau berani mengucapkan
sumpah tadi? Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan
Liong-cu Siang-kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan pemerintah
Mongol..." Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang.
"Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tetapi aku tidak suka
melihat sepak terjang kaisar dan para pembesar bangsaku. Karena itu aku mencuri
pedang. Dan sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus ikut membantu perjuangan
rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kau
lakukan itu tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil
perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi.
Bagaimaina?"
"Aku
akan berusaha memenuhi permintaan ke dua ini, Kakek Souw. Memang aku sendiri
merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-twako yang
memimpin serombongan pejuang Pek-lian pai.”
"Sekarang
permintaan ke tiga," kata kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa.
”Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk memainkan Im-yang
Sin-kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang.”
Beng San
tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, maka dia memandang heran.
Kakek yang napasnya sudah sengal-sengal itu menarik napas untuk menenangkan
dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata,
"Setiap
dua puluh lima tahun sekali, di puncak Thai-san diadakan perebutan kejuaraan
ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku
berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal. Itulah yang menjadi
sebab kedua mengapa aku mencuri Liong-cu Siang-kiam. Kurang lebih dua tahun
lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar
Raja Pedang dimenangkan oleh pendekar Cia Hui Gan dari selatan. Cia Hui Gan ini
kabarnya masih keturunan dari pendekar wanita Ang-i Niocu. Sejak itu ia
mendapat julukan Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah
terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi... kau... kau harus
mewakili aku, merebut gelar itu..."
Setelah
menjelaskan demikian panjang, napas Souw Lee semakin tersengal-sengal, akan
tetapi keadaan ini tidak makan waktu terlalu lama. Akhirnya napas yang
sengal-sengal itu menjadi tenang kembali, bahkan terlalu tenang.
"Kakek
Souw...!" Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas kakek tua itu sudah
berhenti!
Beng San
terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas
tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan. "Kakek Souw,
mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi harapanmu, aku
pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana
sebagaimana pesanmu yang terakhir."
Dengan sedih
dan penuh hormat pemuda ini kemudian mengurus jenazah kakek Souw, menguburnya
di bekas tempat pertapaannya, di Ban-seng-kok yang terletak di puncak Cin-ling-san.
Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-ling-san sebagai
seorang pemuda sebatang kara yang memikul tugas yang dipesankan oleh kakek Souw
Lee, tugas yang amat berat. Akan tetapi dengan penuh kepercayaan kepada diri
sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan kakek itu….
Manusia
boleh berdaya upaya, namun Tuhan jualah yang berkuasa. Sudah menjadi hak,
bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah
kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki
dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan
Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu.
Oleh karena
itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar
dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia
menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Kalau hati sudah
sungguh-sungguh dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa,
dan apa bila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa
ini, baik mau pun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha
Penentu, maka kita tidak akan terlalu merasa sengsara apa bila yang dikehendaki
dan diinginkannya tidak terkabul.
Sebenarnya
sudah terlalu banyak contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di
dunia sepanjang masa. Tidak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan
kembali pengalaman hidup diri kita sendiri.
Sudah betapa
seringkah terjadi di dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan
dengan apa yang kita inginkan? Berlawanan sama sekali dengan apa yang
sebenarnya kita kehendaki? Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk
menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita! Tidakkah sudah terlalu
sering kita merasa kecewa?
Ini keliru!
Ini salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah
semestinya begitu, betapa pun pahitnya bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus
menerima pahit getir sebagai gemblengan batin, dan mencari-cari dalam diri
sendiri kesalahan apa yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang
tidak kita kehendaki itu terjadi.
Karena,
segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di
luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri
kita sendiri. Apa bila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya
kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu
mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri
menyadari bahwa kita telah bertindak salah.
Semua
manusia, baik dia itu orang biasa mau pun orang besar dalam arti kata besar
kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk pada kekuasaan
Tertinggi.
Kaisar
Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh saja menyombongkan diri
sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dulu dibangun oleh Jenghis
Khan, kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke barat dan
ke selatan. Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh
Tuhan, dia dan bala tentaranya yang besar tak berdaya.
Pemberontakan
tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini
pasti ada sebabnya, seperti juga semua akibat tentu bersebab. Dinasti yang
tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar
Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah
kaisar ini meninggal dunia.
Setelah
Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan di antara
para raja muda dan pangeran. Apa bila seorang raja muda atau pangeran dapat
merebut singgasana, yang lain akan melakukan pemberontakan dan merebut
kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti kaisar yang hanya menduduki tahta
selama beberapa tahun saja. Apa lagi di antara tahun 1307 sampai tahun 1333, H
selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan kaisar sebanyak delapan kali!
Oleh karena
selalu terjadi ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan
perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar
istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak
memperhatikan mereka, lalu berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi
gudangnya sendiri-sendiri.
Pemerasan
terjadi di mana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini
masih ditambah lagi dengan bencana musim kering yang menimbulkan kekurangan
bahan makan sehingga tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan
yang hebat. Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan,
baik di daerah utara mau pun selatan.
Memang harus
diakui bahwa pemerintah Mongol mulai menginsyafi akan adanya bahaya
pemberontakan. Mereka segera dapat menindih serta membasmi para pemberontak
yang menentang di sana-sini secara kecil-kecilan. Akan tetapi mulai tahun 1351
kembali rakyat memberontak, malah kali ini sangat hebat karena mereka mendapat
pemimpin-pemimpin yang pandai.
Di antara
para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan
Ciang yang kelak akan menjadi raja pertama dari Dinasti Beng. Ada pun perkumpulan
rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan
Pek-lian-pai.
Belasan
tahun telah lewat dan keadaan pemerintah Mongol menjadi makin lemah. Perang
terjadi di mana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-ce-kiang,
sungai Huai dan Sungai Huang-ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak.
Memang di
antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja
sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi di dalam
menghadapi pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu.
Ada kalanya apa bila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi pula
bentrokan antara dua golongan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang
menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu membahu
melawan serdadu-serdadu Mongol!
Demikianlah
sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok pada masa Dinasti Goan yang dipimpin
oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir. Keadaan di seluruh negeri amat
kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian yang selalu
dirasakan rakyat apa bila negara dilanda perang.
Perubahan
besar ini sangat dirasakan oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih
seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini, setiap hari Beng San
hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya
bersama kakek nelayan. Tidak pernah dia mendengar tentang keadaan di lain
tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat.
Maka dapat
dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun
dari Pegunungan Cin-ling-san. Dia menyaksikan para petani yang tubuhnya sangat
kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan
para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan.
Ketika
memasuki sebuah dusun di mana justru sedang terjadi perang, dia menghadapi
kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepung dan hendak menangkap
dirinya karena dia dituduh anggota pemberontak.
Beng San
tidak mau melayani mereka. Dia hanya merobohkan beberapa orang tanpa
membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran
karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu
tahu-tahu sudah lenyap dari depan mata!
Semenjak
mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati. Dia selalu menjauhkan diri dari
para serdadu Goan yang berkeliaran di mana-mana dalam usaha mereka membasmi
pemberontak.
Betapa pun
juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di kota I-kiang yang
terletak di pantai Sungai Yang-ce di Propinsi Ho-pak. Kota ini masih ramai dan
terjaga kuat oleh pasukan pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok kota dan
di dalam kota sendiri, di antara para pedagang, para penduduk dan pendatang,
banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara
rahasia.
Beng San
tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki kota I-kiang dan
agak bergembira melihat keadaan kota yang ramai yang sama sekali tidak
menunjukkan bahwa keadaan di dalam negeri sedang kacau balau akibat perang. la
melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi
dan bakmi.
Akan tetapi
karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di
warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya
melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika
hidungnya mencium bau masakan dan arak.
"Aku
harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat
lapar," pikirnya.
Seperti dulu
di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau kota dia mencari
tempat penginapan di dalam sebuah kelenteng, oleh karena itu sekarang dia juga
mulai mencari-cari kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.
Akhirnya di
pinggir kota dia mendapatkan sebuah kelenteng besar, akan tetapi kelenteng ini
sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang
terukir. Meja sembahyang sudah tidak tampak lagi, juga tidak ada toapekong-nya.
Malah patung-patung yang menghias sekeliling kelenteng sudah rusak semuanya dan
tempat itu kotor sekali.
Tidak
kelihatan seorang pun hwesio di situ. Sebagai gantinya, halaman depan kelenteng
itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa
mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta.
Tanpa
ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang
mata belasan orang jembel yang duduk atau pun tiduran malang-melintang di
tempat itu.
Seorang
pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya. "Kau pengungsi dari
dusun? Ingin mencari tempat menginap di sini? Silakan, di sini banyak tempat...
banyak tempat. Belum makan? Marilah, bantu habiskan hidangan raja ini."
Pengemis itu
umurnya tidak akan lebih dari empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya
kotor, cambangnya tidak terpelihara, dan pakaiannya dari kain tebal yang sudah
kotor. Yang disebut ‘hidangan raja’ itu adalah beberapa potong roti kering yang
kelihatan keras dan sudah lama, kekuning-kuningan.
Melihat
keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya
sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai kelenteng.
"Kau
baik sekali, Saudara. Terima kasih."
"Hayo,
jangan sungkan-sungkan. Makanlah."
Beng San
mengambil sepotong roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan
tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang roti
yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu
mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.
"Arak
selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya... ehh, terpaksa diperbanyak dengan
air." la tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San.
Pemuda ini
ikut tersenyum pula, lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya
diisi.
"Sekarang
jaman sukar, sampai seorang petani lari ke kota bercampuran dengan kaum
jembel..." Orang itu menarik napas panjang dan memandang kepada Beng San.
Pemuda ini
tidak menjawab, menoleh ke kanan kiri dan bertanya. "Kenapa kelenteng ini
terlantar? Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah kelenteng yang besar
juga."
"Betul
dugaanmu itu," jawab pengemis, "memang kelenteng ini besar. Tapi
sayang semua hwesio-nya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi
dijebloskan penjara."
"Kenapa?"
Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada hwesio-hwesio dibunuh
dan dipenjara.
"Mereka
membantu pemberontak," kemudian pengemis itu bisik-bisik, "Sobat, kau
adalah petani, mengapa kau tidak ikut kawan-kawanmu? Apakah kedatanganmu ini
pun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota pemberontak? Atau barang
kali dengan anggota Pek-lian-pai?"
Beng San
menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para hwesio yang celaka itu.
"Apa
bila kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-lian-pai, katakan terus terang
saja, barang kali aku dapat membantumu..." Kembali orang itu berbisik.
"Tidak...
tidak... aku hanya pelancong yang kemalaman di kota ini. Terima kasih atas
kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian roti dan arak."
Beng San
bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera
membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis
tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam,
kemudian mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai.
Sambil duduk
mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu. Tanpa
disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia lalu terbayang akan
wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang silih berganti
terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah,
girang, terharu.
la tersenyum
geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang
selalu memakinya bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah
orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya.
Tetapi semua
bayangan ini lenyap tak membekas apa bila muncul wajah seorang anak perempuan
yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil
tersenyum-senyum, dengan sepasang matanya yang lebar dan bening, dengan tangan
bergerak-gerak memberi isyarat. Wajah Bi Goat, si bocah gagu!
Segera ia
menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di
manakah dia sekarang? Apakah masih ikut Song-bun-kwi si kakek iblis itu?
Beng San
telah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup
jelas dan mencurigakan sekali. Segera dia membuka mata dan memasang
pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di
halaman kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah
tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum.
Ada pun
suara-suara bisikan tadi terdengar dari sebelah dalam kelenteng, agak jauh dari
tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya, Beng San mampu menangkap suara
bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang
baik hati tadi berbisik.
"Betulkah
penyelidikanmu itu? Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum
Pek-lian-pai yang akan mengadakan hubungan dengan hartawan Ong! Hayo siap
semua, seorang melapor kepada Kui-ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung
gedung Ong-wangwe (hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga
baik-baik di sini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan. Ringkus
saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia
melawan, bunuh saja!"
Suara kaki
terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San pun menanti dengan
hati penuh curiga, akan tetapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya
pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding
tadi.
Kemudian di
dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang yang pandai ilmu silat, malah
memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Dia masih belum yakin betul
apakah yang dimaksudkan dengan ‘pemuda tani yang tampan’ tadi dia orangnya.
Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan
meringkusnya!
"Ehh,
ehh... mengapa kalian menangkap aku?" Beng San memprotes, penuh keheranan,
akan tetapi juga marah.
"Diam
kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!"
"Bohong!
Aku bukan petani, juga bukan pemberontak."
"Semua
petani adalah pemberontak, jangan melawan kaiau tidak ingin mampus!"
Seorang di
antara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San. Biar pun di dalam gelap,
pemuda ini dapat mengetahui datangnya pukulan. Ia mengelak, kedua lengannya
bergerak dan pada lain saat ketiga orang peringkusnya itu sudah terlempar
cerai-berai ke belakang. Dan ketika mereka bangun sambil mengaduh-aduh,
ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!
Dengan penuh
kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Di dalam gelap
dia masih melihat sosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota.
Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa seorang di antara mereka
adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh
kawan-kawannya meringkusnya.
Dia
mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Di suatu
tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara pemerintah.
Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan
perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan
cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini
merayap dan mengurung rumah gedung itu.
Beng San
tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung hartawan
Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia pun bersiap sedia
menolong karena maklum bahwa keluarga hartawan Ong itu pasti berada dalam
ancaman mala petaka.
Akan tetapi
para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa mereka sudah keliru. Dengan
tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan... rumah gedung itu telah
kosong! Tak seorang pun manusia tinggal di situ, agaknya burung-burung yang
hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya.
Untuk
melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang
berpakaian pengemis itu kemudian menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa
untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang
besar karena tak dapat mereka bawa. Beng San menyaksikan ini semua dan menarik
napas panjang.
Baru pertama
kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara pemerintah
yang tidak ada ubahnya seperti perampok-perampok itu. Dan diam-diam dia kagum
kepada Pek-lian-pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka.
Sambil
tertawa kecil Beng San lalu teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti
raksasa itu juga pernah menipu pasukan pemerintah penjajah. Agaknya yang
memimpin rombongan orang Pek-lian-pai di kota ini juga bukan seorang bodoh.
Dengan hati
puas melihat para kaki tangan pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu,
Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia
melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.
"Kasihanilah
orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)...," pengemis tua itu mengeluh.
Beng San
menghela napas panjang. "Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa,
uang sepeser pun tidak punya, roti sekerat pun tidak ada. Apa yang harus aku
berikan kepadamu?"
"Kasihan,
orang muda sengsara. Kalau begitu akulah yang harus memberikan sesuatu
kepadamu." la mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada
Beng San.
Sebelum
hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah
terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat
kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan
dibacanya tulisan di atas kertas.
Adik Beng
San,
Aku dan
kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah selatan kota. Datanglah,
kami mengharapkan bantuanmu.
Tertanda:
TAN HOK
Tan Hok di
sini? Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu,
kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu
berada di sini memimpin para pejuang! Dia menjadi semakin kagum akan kecerdikan
Tan Hok bersama kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah
berpisahan selama delapan tahun.
Surat itu
diremasnya hancur, lalu dia menyelinap di antara kegelapan malam menuju ke arah
selatan. Setelah dia tiba di sebelah selatan kota yang sunyi, dia melihat
banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak tampak seorang manusia pun.
Selagi dia
kebingungan, tidak tahu di mana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat
bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebatan di dekat kumpulan perahu.
Meski pun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang
tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seseorang yang
langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang
tinggi.
la segera
berjalan seperti biasa supaya orang itu tidak akan tahu bahwa dia pun tadi
mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh
dengan pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar
jangan sampai menimbulkan kecurigaan, yang akibatnya tanpa disengaja akan
merugikan Tan Hok serta kawan-kawannya.
Dalam
sekejap mata saja bayangan itu lenyap. Tidak lama kemudian, muncul bayangan
orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.
"Kasihanilah
orang tua kelaparan, Kongcu...," bayangan ini berkata.
Beng San
berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya.
Tanpa ragu-ragu lagi mendekati, "Lopek, di mana Tan-twako?" ia
bertanya langsung.
‘Kakek
pengemis’ itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan...
ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat
dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu
berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai!
Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok serta belasan orang temannya
berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik.
Mereka
bersikap sangat berhati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin,
padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah
lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah
mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat
wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan,
gagah, dan tinggi besar bagaikan raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu
menjulang satu kaki lebih di atas kepala semua teman-temannya.
"Tan-twako...!"
Beng San segera maju memberi hormat.
"Ha-ha-ha,
Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!"
Tan Hok
melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan
saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.
"Tan-twako,
harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang
menyelinap di antara perahu-perahu," bisik Beng San.
Tan Hok
menoleh kepada kakek yang tadi menyambut Beng San. "Betulkah itu Ciu-siok
(Paman Ciu)?"
Kakek itu
berkata dengan suara menghibur, "Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng
San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalau pun ada dan aku sendiri tidak
melihat, dia tak akan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita."
Tan Hok
kembali menghadapi Beng San. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kami
sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apa bila betul ada
orang yang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami
itu." Ia tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum.
Diam-diam
Beng San tak membenarkan pendapat ini. Gerak-gerik orang tadi terlalu cepat,
mungkin sekali takkan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya. Akan tetapi,
tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata,
khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.
"Adik
Beng San. Perbuatanmu di dalam kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu
sudah maju pesat. Sayang kau tidak sempat membalas anjing-anjing Mongol yang
hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan."
Beng San
kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata di mana-mana sampai tahu pula
tentang kejadian di dalam kelenteng tua di mana dia hendak ditangkap oleh para
serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega
mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum
tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
"Ah,
Tan-twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget
dan juga penasaran kenapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap. Maka
setelah berhasil meloloskan diri, aku kemudian lari pergi. Kau menyuruh orang
memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan
apakah yang dapat aku lakukan untukmu?"
"Sebelum
kau mendengar tentang bantuan yang dapat kau lakukan untuk kami, lebih dulu
akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San,
selama bertahun-tahun ini, ke mana saja kau pergi dan apakah kau sudah
mengetahui tentang keadaan perjuangan?"
Beng San
menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu.
"Aku... aku bekerja membantu seorang nelayan, dan baru saja aku memasuki
dunia ramai, aku tidak tahu apa-apa, Twako."
"Nah,
kau dengar baik-baik penuturanku…."
Dengan
panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan keadaan pemberontakan yang makin lama
semakin hebat itu. Menceritakan pula betapa rakyat yang dipimpin oleh
pendekar-pendekar besar melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mongol dan
kini sedikit demi sedikit sudah memperoleh kemajuan dan kemenangan.
Tan Hok
sendiri dengan teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai yang dia pimpin ini,
sekarang bekerja langsung di bawah pemimpin besar para pemberontak, Ciu Goan
Ciang! Malah pemuda raksasa ini mendapat kepercayaan dari Ciu Goan Ciang dan
melatihnya dengan beberapa macam ilmu silat tinggi. Kemudian Tan Hok
menceritakan mengenai keadaan para partai besar persilatan.
Ketika dia
bercerita tentang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, Beng San mendengarkan penuh
gairah. Di antara para partai persilatan, hanya dua partai besar ini pernah dia
ketahui, bahkan secara langsung dia pernah berhubungan dengan kedua partai itu.
la pernah berdiam di Hoa-san, mengenal ketuanya, mengenal pula murid-muridnya,
yaitu Hoa-san Sie-eng dan cucu-cucu muridnya, Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan
Kui Lok.
Ada pun
tentang Kun-lun-pai, biar dia tidak mempunyai hubungan langsung, namun dia
pernah membela murid Kun-lun yang bernama Pek-lek-jiu Kwee Sin. Pernah pula dia
melihat dua orang Kun-lun, Bun Si Teng dan Bun Si Liong, tewas di depan kakinya
dan menerima pesan Bun Si Teng agar dia membela dan melindungi anak jago
Kun-lun ini yang bernama Bun Lim Kwi. Semua ini masih terbayang di depan
matanya seakan-akan baru terjadi kemarin hari. Maka, tidak aneh kalau sekarang
dia mendengarkan penuturan Tan Hok dengan penuh perhatian.
Tan Hok
menarik napas panjang. ”Sayang…," dia melanjutkan ceritanya, “karena yang
dilancarkan oleh orang-orang Ngo-lian-kauw siasat liclk dan penuh kecurangan
dari ketua Ngo-lian-kauw, dua partai besar itu. Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai,
dapat diadu domba dan terpecah-belah, menjadi dua partai yang selalu
bermusuhan. Padahal kalau dua partai itu dapat ikut membantu perjuangan rakyat
menumbangkan kekuasaan penjajah, kedudukan para pejuang akan menjadi lebih kuat
lagi. Semua ini adalah gara-gara kelemahan hati jago muda Kwee Sin..."
Kembali Tan Hok menarik napas panjang.
"Bagaimana
dengan dia setelah dia dulu dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo?” Beng San tak sabar
lagi bertanya.
"Kau
tahu tentang itu?" Tan Hok bertanya heran, tapi lalu disambungnya,
"Kau memang anak aneh, ini sudah kuketahui sejak pertemuan kita yang
pertama. Kau tanya tentang Kwee Sin? Justru dia itu yang menjadi biang keladi
semua pertentangan, karena hatinya yang lemah, mudah roboh menghadapi bujuk
rayu dan kecantikan ketua Ngo-lian-pai. Pek-lek-jiu Kwee Sin, jago muda yang
berkepandaian tinggi itu setelah dilarikan oleh pihak Ngo-lian-pai, menjadi
makin binal dan tergila-gila kepada ketua Ngo-lian-pai yang berjuluk Kim-thouw
Thian-li. Hanya beberapa bulan setelah dua orang suheng-nya, yaitu dua saudara
Bun tewas dalam pertempuran di Hoa-san menghadapi murid-murid Hoa-san-pai, Kwee
Sin bersama kekasihnya, ketua Ngo-lian-pai dan beberapa orang tokoh lagi dari
Ngo-lian-kauw, bahkan diam-diam juga dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo, menyerbu
Hoa-san, berhasil melukai Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, malah berhasil
membunuh Thio Wan It dan Kui Keng. Mereka meninggalkan yang luka-luka dan
menyatakan bahwa mereka membunuh dua orang tokoh Hoa-san itu untuk menebus
kematian dua saudara Bun dari Kun-lun-pai."
Beng San
membelalakkan matanya "Hebat...!"
Dan hatinya
terasa perih penuh kasihan ketika dia teringat kepada Thio Ki, Thio Bwee, dan
Kui Lok yang kematian ayah mereka.
"Bagaimana
dengan ketua Hoa-san-pai, apakah dia tidak membantu murid-muridnya?"
"Tentu
saja Lian Bu Tojin turun tangan, akan tetapi dengan adanya Hek-hwa Kui-bo, dia
tidak berdaya banyak. Semenjak itu, permusuhan selalu terjadi antara
Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."
"Kenapa
Kun-lun-pai juga terbawa-bawa dalam hal ini? Bukankah Kwee Sin menyerbu
Hoa-san-pai atas kehendaknya sendiri dan bersama orang-orang Ngo-lian-kauw,
bukan atas kehendak Kun-lun-pai?"
"Hoa-san-pai
rupa-rupanya tidak mau tahu akan hal ini, karena ke mana mereka harus mencari
Kwee Sin? Kwee Sin semenjak itu lenyap bersama Ngo-lian-kauw dan celakanya,
secara rahasia Kwee Sin lalu ikut membantu Ngo-lian-kauw memusuhi partai-partai
yang membantu para pejuang! Apa bila dulu kedua partai besar itu, baik Hoa-san-pai
mau pun Kun-lun-pai, hidup tenang dan damai, sekarang keduanya mengumpulkan
bekas-bekas murid mereka dan membentuk kekuatan yang terdiri dari murid-murid
yang pandai, selalu siap untuk saling gempur."
Beng San
mendengarkan dengan kening berkerut. "Ah, sayang sekali..." hanya
demikian komentarnya.
Dia
benar-benar merasa menyesal sekali, mengapa permusuhan yang terang-terangan
disebabkan oleh Ngo-lian-kauw itu bisa sampai demikian berlarut-larut.
Akhirnya, karena rasa penasaran membuat dia berkata, "Jika kedua partai
sudah tahu bahwa permusuhan itu disebabkan oleh tipu muslihat ketua
Ngo-lian-kauw, kenapa mereka tidak memusuhi Ngo-lian-kauw saja?"
"Mereka
pun kedua pihak sudah mulai melakukan permusuhan dengan Ngo-lian-kauw, akan
tetapi dendam di antara Hoa-san dan Kun-lun agaknya lebih parah dan
mendalam."
Dengan
panjang lebar Tan Hok lalu menuturkan semua kejadian yang diketahuinya dan
diam-diam Beng San girang sekali bahwa dia bertemu dengan raksasa ini karena
ternyata pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw dan semua peristiwa yang
terjadi, sangat luas.
Kini menjadi
jelas bagi Beng San apa yang telah terjadi selagi dia pergi menyembunyikan diri
sebagai nelayan. Betapa pun luas pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw,
ketika ditanya tentang Song-bun-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan lain-lain tokoh sakti
itu, Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya.
"Orang-orang
seperti mereka itu bukan manusia biasa lagi. Tentu saja mereka tidak peduli
tentang perjuangan, oleh karena mereka termasuk orang-orang aneh yang selalu
berbeda dengan manusia biasa. Bagaimana bisa mengikuti jejak mereka? Andai kata
mereka ikut mencampuri urusan perjuangan, baik yang membela pejuang mau pun
yang mendukung Kerajaan Goan, tentu mereka lakukan dengan
sembunyi-sembunyi."
Agak kecewa
hati Beng San karena maksud pertanyaannya tentang orang-orang sakti itu
sebenarnya ditujukan untuk mengetahui berita tentang seorang anak perempuan
gagu!
"Twako,
setelah kau menceritakan semua itu kepadaku, agaknya tidak ada sesuatu yang
mendorong kau membutuhkan bantuanku. Jika yang kau maksudkan dengan bantuan itu
adalah permintaan seperti dulu agar aku masuk menggabungkan diri dengan
Pek-lian-pai, terpaksa aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Aku suka untuk
membantu perjuangan Pek-lian-pai, akan tetapi tidak suka terikat oleh sesuatu
perkumpulan kemudian terlibat ke dalam permusuhan-permusuhan yang saling
mendendam."
"Aku
bisa mengerti pendirianmu, Beng San. Tidak, pertolongan yang kubutuhkan darimu
ini lebih bersifat pribadi. Ketahuilah, aku sudah diserahi tugas yang sangat
penting oleh pemimpin kami, Ciu Goan Ciang taihiap. Dan sekarang, selagi aku
bingung bagaimana akan dapat melakukan tugas ini dengan sempurna, aku bertemu
dengan kau. Hatiku yakin bahwa hanya kau seoranglah yang tepat untuk
melaksanakan tugas ini."
Berdebar-debar
hati Beng San. Tugas dari pemimpin besar Ciu Goan Ciang? Bukan main! Dia merasa
sangat terhormat dan bangga sekali. Akan tetapi mukanya yang tampan tidak
membayangkan sesuatu.
"Pendekar
besar Ciu Goan Ciang amat menyesal dengan adanya gontok-gontokan antara
Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. la pun maklum apa yang menyebabkan permusuhan
antara dua golongan itu, bukan lain adalah karena siasat pemerintah Mongol yang
menggunakan Ngo-lian-kauw. Bulan depan Hoa-san-pai mengadakan pesta perayaan
hari ulang tahun ke seratus dari Hoa-san pai. Tentu banyak sekali tokoh-tokoh
besar dunia kang-ouw hadir. Menurut penyelidikan Pek-lian-pai, pada kesempatan
ini Kun-lun-pai akan datang kembali untuk membuat perhitungan. Karena
permusuhan itu telah berlarut-larut, maka muncullah sahabat-sahabat dan
musuh-musuh baru bagi kedua pihak. Ada golongan-golongan yang membantu
Hoa-san-pai, sebaliknya banyak pula yang pro kepada Kun-lun-pai. Karena itu
dapat diramalkan bahwa akan terjadi sesuatu yang hebat di puncak Hoa-san nanti.
Nah, pemimpin kami tidak setuju dengan adanya perpecahan di kalangan kita
sendiri, maka dia mempercayakan kepadaku untuk berusaha mendamaikan mereka. Aku
membawa surat bagi kedua ketua perkumpulan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tetapi
mudah saja diduga bahwa di dalam pertemuan besar itu, pasti di sana akan penuh
dengan orang-orang pihak Ngo-lian-kauw dan pihak pemerintah pasti akan menyebar
mata-matanya pula. Aku sedikit banyak telah dikenal di antara mereka, maka
mereka pasti akan menghalangiku sebelum aku sempat melakukan sesuatu untuk
mendamaikan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Juga orang-orangku sebagian besar
sudah dikenal. Oleh karena itu, Adik Beng San, engkaulah orangnya yang paling
tepat untuk mewakiliku melakukan tugas ini. Sanggupkah kau?"
Beng San
mengangguk-angguk. Tugas itu adalah tugas mulia. Tugas untuk mencegah
perpecahan antara bangsa sendiri, antara kedua partai besar yang memiliki nama
harum.
Apa lagi
kalau diingat bahwa di dalam Hoa-san-pai terdapat orang-orang yang di waktu
kecil sudah dia kenal baik, terutama Kwa Hong. Ada pun di pihak Kun-lun-pai
terdapat cucu murid yang harus dia bela, yaitu Bun Lim Kwi putera mendiang Bun
Si Teng yang sudah meninggalkan pesan terakhir kepadanya dan yang harus ia
hormati.
"Baiklah,
Twako. Aku akan berusaha melakukan tugasmu itu sebaiknya."
Tan Hok
nampak girang sekali. Akan tetapi tiba-tiba Beng San menggunakan dua kakinya
menginjak lampu merah yang diletakkan di tanah. Lampu seketika padam. Terdengar
jerit kesakitan dan robohnya tubuh orang-orang tak jauh dari situ. Disusul pula
mendesingnya senjata-senjata rahasia yang menghujani tempat perundingan ini.
Tan Hok
sudah cepat memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Senjata dicabut dan mereka
melesat ke kanan kiri, mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi kemudian
berkelebat bayangan putih yang makin lama semakin banyak sekali.
Kiranya
tempat itu sudah dikurung, puluhan orang banyaknya yang mengurung. Beberapa
orang anggota Pek-lian-pai yang bertugas menjaga di luar tadi sudah dirobohkan
musuh.
"Pemberontak-pemberontak
Pek-lian-pai, lebih baik kalian menyerah!" terdengar bentakan kasar
seorang yang bertubuh tinggi besar.
Tan Hok
melihat orang ini, lalu meloncat dari tempat persembunyiannya dan di lain saat
dua orang yang tubuhnya sama-sama tinggi besar ini sudah berperang tanding
dengan hebatnya. Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Tan Hok
bertemu dengan golok lawannya itu. Agaknya keduanya adalah ahli-ahli gwakang
yang memiliki tenaga seperti kerbau jantan kuatnya. Nyaring bunyi pertemuan
senjata itu dan kedua orang raksasa ini merasa betapa telapak tangan mereka
pedas dan sakit.
Beng San
yang masih duduk di tempat tadi karena tiba-tiba semua anggota Pek-lian-pai
sudah menghilang, melihat empat orang lain maju dari belakang Tan Hok, siap
dengan rantai-rantai besi. Rupa-rupanya mereka ingin menawan Tan Hok dalam
keadaan hidup. Sekali menggerakkan kakinya pemuda ini telah melesat ke depan.
Kaki tangannya bekerja laksana kilat, dan tanpa mengerti mengapa, empat orang
itu tahu-tahu sudah terlempar dan terjengkang ke belakang tanpa dapat bangun
lagi karena kaki tangan mereka patah tulangnya!
Setelah
melihat bahwa penyerang yang datang menyerbu itu adalah pengemis-pengemis yang
dibantu oleh serdadu Mongol, tahulah Beng San bahwa dia harus membantu para
anggota Pek-lian-pai. Tubuhnya lalu bergerak ke sana ke mari untuk membantu
setiap temannya yang terdesak. Untuk sementara ia meninggalkan Tan Hok karena
dari gerakan raksasa itu menghadapi lawannya, dia maklum bahwa Tan Hok akan dapat
menang. la lebih mementingkan membantu mereka yang terdesak.
Akan tetapi
segera dia mendapat kenyataan betapa sia-sia kalau melakukan perlawanan secara
nekat. Jumlah lawan sangat banyak, ada puluhan orang, malah mungkin tidak
kurang dari seratus orang. Sedangkan di pihak Pek-lian-pai hanya ada tujuh
belas orang termasuk dia sendiri. Dan pertandingan dilakukan di dalam gelap,
kacau-balau! Memang dengan sangat mudahnya Beng San mampu merobohkan belasan
orang lawan tanpa membunuh mereka yang merupakan pantangan baginya, akan tetapi
juga di antara para anggota Pek-lian-pai, sedikitnya sudah roboh lima enam
orang.
Sementara
itu, tepat seperti yang diduga oleh Beng San, pelan-pelan Tan Hok dapat
mendesak lawannya. Pada suatu saat, ketika lawannya sudah terdesak hebat,
perwira Mongol itu secara nekat tanpa mempedulikan datangnya hantaman dari
tangan kiri Tan Hok, membacok pundak Tan Hok sekuat tenaga dengan goloknya.
Andai kata
Tan Hok melanjutkan pukulannya yang pasti mengenai dada lawan, tak dapat
dicegah lagi golok itu pasti akan membabat putus pundaknya. Tan Hok tentu saja
tidak mau menukarkan pundaknya dengan sebuah pukulannya. Cepat dia menarik
tangan kiri dan menggerakkan pedang sekuat tenaga menangkis.
"Krakkk!"
Dua senjata
itu bertemu, api berbunga berhamburan dan kedua senjata itu patah! Sambil
menggeram marah kedua orang yang bertubuh raksasa ini melempar gagang senjata
ke bawah, lalu melanjutkan perkelahian mereka mempergunakan sepasang kepalan
tangan yang sebesar kepala orang berikut sepasang kaki yang kokoh kuat.
Hebat luar
biasa pertandingan ini. Terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan-kepalan itu
mengenai sasaran. Akan tetapi keduanya ternyata amat kuat tubuhnya, tidak roboh
oleh pukulan, hanya terengah-engah dan mendesis-desis, memaki-maki.
Akhirnya,
dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai lambung lawan, disusul dua kali
pukulan pada leher dan ulu hati, Tan Hok berhasil membuat lawannya roboh berdebuk
seperti pohon tumbang.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan yang gesit sekali ke arah Tan Hok. Pemuda raksasa ini
mengangkat tangan kanan menangkis datangnya pukulan yang sangat kuat dan cepat,
namun lebih cepat lagi pukulan itu ditarik kembali dan sebuah pukulan lain
secara gelap telah menghantamnya dari samping, tepat mengenai rusuknya. Tan Hok
mengeluh dan roboh tergelimpang, muntah-muntah darah!
Beng San
mendengar keluhan Tan Hok, cepat melompat mendekati. Kaget dia melihat temannya
itu sudah roboh terlentang. Segera dia mengempit tubuh yang tinggi besar itu
dengan tangan kirinya.
"Saudara-saudara,
lari...!" serunya cepat dengan suara yang nyaring luar biasa sehingga
mengagetkan kedua pihak yang sedang bertempur.
Para anggota
Pek-lian-pai yang hanya tinggal beberapa orang dan mempertahankan diri dengan
gigih dan nekat, melihat Tan Hok sudah roboh, menjadi kendor semangatnya. Apa
lagi ketika mendengar seruan Beng San, mereka lalu mencari kesempatan untuk
mundur.
Beng San
sendiri mengamuk. Dengan sebelah tangan menghadapi puluhan orang lawan, tangan
kiri mengempit tubuh Tan Hok, dia menahan serbuan orang-orang itu yang hendak
mengejar larinya sisa anggota Pek-lian-pai. Tak lama kemudian setelah melihat
bahwa di situ tidak ada lagi anggota Pek-lian-pai, Beng San lalu meloncat ke
belakang dan dengan beberapa loncatan lagi dia sudah dapat meninggalkan semua
pengeroyoknya. Cepat dia berlari ke dalam hutan, menyelinap di antara
pohon-pohon besar dan gelap.
Tiba-tiba
dari balik pohon muncul bayangan orang yang bertubuh langsing. Tanpa berkata
apa-apa orang itu melayangkan pukulan ke arah Beng San. Pukulan yang dilakukan
perlahan saja, namun memiliki kecepatan dan kekuatan yang amat hebat.
Terkejut
juga Beng San ketika merasa betapa angin pukulan ini tajam bagaikan mata
pedang. Maka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh.
Namun, dia
merasa bukan waktunya untuk melakukan pertandingan. Luka Tan Hok harus
diperiksa dan diobati, apa lagi dengan mengempit tubuh Tan Hok. Meski dia tidak
takut menghadapi lawan itu, akan tetapi amat berbahaya bagi keselamatan Tan Hok
sendiri. la mengerahkan tenaga di lengan kanan lalu menangkis pukulan itu.
Penyerang
itu mengeluarkan seruan kaget, demikian juga Beng San karena pemuda ini merasa
betapa lengannya bertemu dengan tenaga yang lunak halus dan mengandung hawa
mukjijat, membuat lengannya tergetar. Sementara itu, orang tadi sudah menyerang
lagi dengan dua kali pukulan.
Kembali Beng
San menangkis, kini dia menggabung tenaga Im dan Yang di tubuhnya sehingga
keadaan lengannya dijalari tenaga yang tiada bandingnya. Penyerangnya lantas
terpental ke belakang, mengeluarkan seruan tertahan lalu melesat pergi, lenyap
ditelan kegelapan malam.
Beng San
tidak peduli, hanya sedetik dia mengenal potongan tubuh orang itu. Tak salah
lagi, penyerangnya adalah orang yang dia lihat bayangannya malam tadi ketika
sedang mencari tempat persembunyian Tan Hok. Dan lengan itu begitu halus dan
lunak. Hanya ada dua macam keterangan untuk ini, pertama, pemilik lengan itu
seorang laki-laki yang sudah memiliki Iweekang yang sangat tinggi, ke dua,
pemilik lengan itu adalah seorang wanita!
Menjelang
fajar dia berhenti dan menurunkan tubuh Tan Hok di atas rumput. Ia memeriksa
luka pada bagian tulang rusuk setelah membuka baju pemuda raksasa itu. Beng San
mengerutkan kening.
"Kejam..."
katanya perlahan. Dua batang tulang rusuk patah dan kulitnya menghitam.
la maklum
bahwa hawa pukulan yang melukai Tan Hok mengandung tenaga Yang. Cepat dia
menempelkan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk yang sebelah lagi,
mengerahkan tenaga Im di tubuhnya dan dengan cara menyalurkan hawa di dalam
tubuh, dia mengobati luka Tan Hok.
Tentu saja
tidak dapat sekaligus sembuh, akan tetapi sejam kemudian dia merasa yakin bahwa
Tan Hok tertolong nyawanya. Racun hawa pukulan telah dia basmi dengan tenaga Im
tadi.
Tan Hok
mengeluh, membuka mata. Ketika melihat Beng San di sisinya, dia tersenyum.
"Kau hebat, Adik Beng San... sudah kuduga... kau lihai sekali..."
"Kau
yang hebat, Twako. Dua tulang rusukmu patah, masih bisa tersenyum," kata
Beng San, benar-benar bangga dan kagum.
Bangga
karena Tan Hok adalah seorang yang sama nama keturunannya dengan dia. Bukankah
dia, seingatnya, juga bernama keluarga Tan? Pantas saja dia dahulu begitu
bertemu sudah merasa sangat suka kepada Tan Hok dan sekarang dia merasa bangga
mempunyai sahabat satu nama keturunan, yang demikian gagahnya.
Sambil
meringis menahan rasa nyeri Tan Hok menggerakkan tangannya merogoh saku,
mengeluarkan dua lipat kertas. "Inilah dua surat itu, satu untuk ketua
Hoa-san-pai, satu untuk ketua Kun-lun-pai. Lekas, adikku, pergilah kau ke
Hoa-san, hadiri perayaan itu dan berikan ini kepada mereka. Jaga agar jangan
sampai terjadi pertandingan hebat..."
"Tapi
kau..., Twako...?"
"Aku
tidak apa-apa, kurasa tidak terluka sebelah dalam. Tidak merasa apa-apa, hanya
tulang rusuk, itu mudah... yang penting adalah kehadiranmu di sana dan
surat-surat ini."
"Baiklah,
Twako," berkata Beng San sambil menerima surat-surat itu dan menyimpannya,
"jaga baik-baik dirimu. Aku akan pergi ke Hoa-san, bukan sebagai seorang
Pek-lian-pai, tapi..."
"Hal
itu bukan soal yang penting asal kau bisa mencegah agar kedua partai itu tidak
saling bermusuhan, dapat insyaf dan kalau mungkin membantu perjuangan
kita."
Setelah
memesan banyak-banyak, kedua orang sahabat itu berpisah. Tan Hok yang gagah
perkasa itu biar pun menanggung nyeri hebat, masih dapat berjalan cepat untuk
menjauhkan diri dari bahaya pengejaran pasukan Mongol.
Ada pun Beng
San juga cepat menuju ke Hoa-san. la ingin datang di Hoa-san sebelum perayaan
hari ulang tahun diadakan. Terus terang saja dia ingin sekali bertemu dengan
‘anak-anak’ itu, terutama sekali si ‘kuntilanak’…..
****************
Baru kurang
lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara
burung-burung pagi yang mulai bernyanyi-nyanyi di antara daun-daun pohon,
tiba-tiba dia berhenti, memandang tajam ke kiri. Serentak bermunculan lima
orang dari balik batang pohon besar.
Kiranya
mereka adalah sisa-sisa anggota Pek-lian-pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin
oleh ‘pengemis’ tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis ini pun
terluka lengannya, berdarah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju
mendekat.
"Di
mana Tan-hiante?" tanya pengemis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi
minta sedekah seperti dulu.
"Dia
selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini.
Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya
patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam," kata Beng
San.
Kakek itu
mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum. "Kau masih muda,
sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau,
kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenam dengan Tan-hiante
yang masih hidup. Orang muda, dari Tan-hiante tentu kau sudah menerima tugas
pergi ke Hoa-san, bukan?"
Beng San
mengangguk. Kakek itu lalu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh
perhatian.
"Tak
baik..., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani
sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"
Beng San
kali ini menggeleng kepala.
"Lebih
tidak baik lagi. Tanpa uang akan mudah dicap pemberontak. Orang muda yang
gagah, kau terimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal.
Tak boleh kau tolak karena kau juga telah membantu perjuangan kami."
Tak enak
hati Beng San untuk menolak karena dia sudah mulai dapat menyelami watak
orang-orang ini. Ia menerima sebungkus besar pakaian dan sekantung uang perak,
lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.
Setelah di
situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya
sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu
stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas benar dan dia kini berubah sebagai
seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar!
Memandangi
pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa berpakaian pantas kalau
sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapa pun juga,
dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi
yang digendong di punggungnya, mengantongi bekal yang lumayan pula, dia merasa
lebih lega.
“Semua ini
akan melancarkan perjalananku,” pikirnya.
Dengan hati
ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san. Jalan yang
dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang
liar dan semakin jauh ke utara makin sunyi. Apa lagi dia harus membuka jalan di
antara tetumbuhan liar di pinggir sungai. la harus menyeberang!
Alangkah
sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tidak
mungkin itu. Ia berhenti di pinggir sungai, memandang ke sana ke mari,
mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan. Tiba-tiba
saja telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi,
merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar.
Beng San
berdiri terkesima pada saat dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau
mendayung perahu kecil di tengah sungai. Gadis itu mendayung perlahan, tapi
sengaja menimpakan dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang
mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air
sehingga air memercik ke atas, mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh.
Mulut yang
kecil mungil dan berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya amat
manis, dengan sepasang mata yang lebar serta hidung kecil mancung dan sepasang
pipi kemerahan. Rambut yang dibiarkan terurai kacau ke kanan kiri itu bahkan
menambah kemanisannya.
Malam
purnama sudah lalu,
bunga seruni
sudah rontok,
aku yang
merana seorang diri
kenapa belum
mendapatkan yang kucari?
Hanya
demikian kata-kata yang dinyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak
membosankan. Beng San yang mendengarkan dengan teliti dapat menangkap hal-hal
yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan
yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh
rahasia.
Agaknya
sudah cukup lama nona itu mencari sesuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah?
Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun,
masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari.
Siapakah
nona itu? Demikianlah Beng San berpikir. Siapa pun juga dia, bukankah dia
memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba!
"Ehh,
Nona yang berperahu...!” la memanggil.
Kalau saja
Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang
gadis yang berperahu seorang diri seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan
wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota, maka sikapnya
terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap
kurang ajar atau ceriwis.
Nona berbaju
hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat-cepat menengok. Sepasang
mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri
tersenyum, biar pun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan
hendak marah. la mengulangi kata-katanya.
"Nona
berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana
dengan perahu," la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus.
Sejenak nona
baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah
berkedip sehingga Beng San merasa makin tidak enak hatinya.
”Kuharap
saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini," katanya
lagi.
"Mengganggu
katamu?" Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. "Kau
laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"
Beng San
menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap
kurang ajar berdiri di situ dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tetapi setelah
mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama
bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.
"Ceriwis?
Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku...?" la bertanya penuh keheranan.
"Ya,
kau kurang ajar dan bermulut lancang! Berani memanggil-manggil seorang wanita
yang tidak kau kenal!"
Beng San
melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang
menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sesungguhnya
sifatnya berkelakar.
"Apabila
orang yang saling tidak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil,
alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak saling mengenal, setelah
dipanggil bukankah jadi kenal?"
"Kurang
ajar kau.” Gadis baju hijau itu makin marah.
"Kenapa
kurang ajar? Aku hanya minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh
menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"
"Apa
kau kira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kau kira aku mencari nafkah
dengan menyeberangkan segala orang?"
"Pakai
biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang," jawab Beng San sejujurnya
dan salah mengartikan kata-kata orang.
Sepasang
mata itu berkilat-kilat, malah bibir yang tadinya cemberut kini agak tersenyum,
seakan-akan dia mulai mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang
pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang
tegap itu sudah menimbulkan simpatinya sehingga menghapus cemberut di bibirnya.
"Kau
bawa uang banyak?"
"Banyak
sih tidak, kiranya kalau hanya seratus tail perak ada."
Dara baju
hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali
mendayung saja perahunya meluncur seperti anak panah ke pinggir!
Beng San
diam-diam terkejut sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan
seorang ahli ilmu silat tinggi. Apa lagi setelah Beng San melihat sebatang
pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah menggeletak di perahu,
tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.
"Kau
mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!"
Jarak antara
perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada sekitar satu meter
jauhnya, sedangkan tempat itu pun agak tinggi, ada dua meter dari perahu. Beng
San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia pura-pura tidak berani dan
berkata.
"Tolong
dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meloncat dari sini dan
setinggi ini, mana aku berani?" la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.
Gadis itu
tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San.
Silau dia akan kemanisan muka gadis ini.
"Hi-hi-hi,
kau ini laki-laki atau perempuan?"
Beng San
mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya. Biar pun dia sekarang sudah
dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol sekali mendengar
kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.
"Kau
melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?" Ia cemberut.
Dara baju
hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam
mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!
"Masa
seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun
akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau
banci."
Panas perut
Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus
mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang
laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu
akan dapat meloncat ke perahu itu.
"Tentu
saja aku laki-laki sejati!" katanya mendongkol. "Tidak seperti kau,
perempuan yang tukang merengek, hanya karena belum bisa mendapatkan yang
dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani
meloncat ke situ!"
Dara itu
seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya
terdengar ganjil, "Kalau begitu, kau loncatlah!"
Beng San
beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan
ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada
lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke bawah.
Alangkah
kagetnya ketika dia melihat gadis itu tiba-tiba mendayung perahunya ke depan
sehingga perahu itu seolah-olah telah mengelak dari loncatannya! Dengan
kepandaiannya meringankan tubuh tentu saja Beng San dengan mudah sekali akan
bisa bersalto ke arah perahu itu, akan tetapi dia memang sudah mengambil
keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya.
Apa boleh
buat, dia melanjutkan loncatannya dan tentu saja ke air. Sebelum tubuhnya
menimpa air dia sempat memaki.
"Siauw-kwi
(Setan cilik)...!" Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat
tinggi, tubuhnya terus tenggelam.
Meski pun
berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San tak akan begitu
sembrono untuk membiarkan dirinya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia
tidak mempunyai kepandaian bermain di dalam air. Baginya, permainan di dalam
air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan,
dan setiap hari hanya bermain dengan ikan dan air.
la sengaja
mengorbankan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan
kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kenakalan gadis itu. Dengan enak,
seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan
maksud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itu pun menjadi basah
kuyup.
Tiba-tiba
dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas
nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang amat enak dagingnya, gemuk dan
tidak berduri kecil. Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya
dia masukkan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan
diri lagi.
Kemudian dia
hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan
ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijauan menyelam.
Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan
seorang ahli dalam air!
Beng San
tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikirnya. Kiranya
bocah nakal ini masih berhati emas, kini berusaha menolongnya.
Benar saja
dugaannya. Ketika dia meronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tidak pandai
berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan
rambutnya telah kena dijambak dan ditarik ke atas! Mendongkol lagi hati Beng
San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan
rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang menarik ekor ikan
besar.
"Laki-laki
apa kau ini? Berenang pun tak pandai!" kata gadis itu mencemooh ketika
sudah timbul ke permukaan air. "Hayo lekas kau pegang pinggiran perahu dan
naik," perintahnya sedangkan dia sendiri dengan loncatan indah naik ke
perahu.
"Aku...
aku tidak bisa... tolonglah..." Beng San berpura-pura, kini perutnya sudah
panas lagi dan otaknya diputar untuk membalas dendam.
Gadis itu
bersungut-sungut menghina, akan tetapi ia ulurkan tangan juga mencengkeram
pundak Beng San, kemudian menarik pemuda itu ke atas perahu. Beng San terseret
naik. Dengan canggungnya dia mencoba melompat, namun tubuhnya terhuyung-huyung
dan akan jatuh menubruk gadis itu. Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan
otomatis ikan besar itu pun turut melayang dengan ekornya yang panjang menampar
pipi gadis baju hijau.
"liiiihhhhh...
apa ini...?!" teriak gadis itu kaget sambil menangkis.
Pipinya
memang tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari
ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi mukanya. Lendir ikan
yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.
"Uiuhhhhh..."
Gadis itu
hampir muntah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan
kepalanya ke dalam air dari pinggiran perahu sehingga untuk ke dua kalinya
kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking
geli hatinya.
Dara baju
hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka. Mukanya
basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan. Tapi aneh,
makin manis saja dia! Matanya memperlihatkan kemarahan ketika ia memandang ke
arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bungkusan pakaian.
"Dari
mana ikan itu?!" bentaknya.
"Tentu
saja dari air, masa ikan dari gunung?" Beng San menggoda.
"Jangan
main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa mendapatkan ikan di
air?" Gadis itu memandang penuh curiga.
Ah, bodoh
aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja.
"Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan
dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat
oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi."
Gadis itu
memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu dia berkata marah,
"Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok."
Beng San
tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecurigaan gadis itu,
dia mengangguk dan berkata perlahan, "Memang dia bodoh seperti aku."
"Air
ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan
ikan ini mentah-mentah!"
Beng San
membelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi
aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah,
malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama sekali tidak dapat
melihat sinar jahat dalam pandang mata yang bening itu.
"Ah,
mana bisa ikan dimakan mentah? Ikan ini enak sekali dagingnya, kalau
dipanggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apa lagi daging di
kepala dan ekornya, waaahh, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak
lapar? Kalau ada api di sini, aku bisa memanggang ikan ini, lumayan untuk kita
berdua, bisa melegakan perut lapar." Beng San terus saja bicara tentang
kelezatan daging ikan itu.
Si gadis
mendengarkan dan akhirnya tertarik juga. la mengangguk dan berkata, suaranya
masih aja ketus, "Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau
ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan
tulang-tulangnya. Tahu?"
Gadis itu
lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia
sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri rasanya hati Beng San ketika
melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga
pakaian yang dipakainya kini terbuat dari sutera hijau.
"Eh,
kenapa kau masih belum memanggang ikan itu?" bentaknya melihat Beng San
masih duduk terlongong.
"Bagaimana
aku bisa memanggang ikan?" Beng San tak bisa menyembunyikan suaranya yang
mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaian kering sedangkan dia
sendiri masih basah kuyup. "Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak
ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau
kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang."
"Cih,
tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri."
"Biasanya
yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau
menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.”
"Aku
tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis sabar!"
Beng San
makin merasa mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya
yang menggeletak di perahu, hal itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat
memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini,
biar pun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia?
Dengan
bersungut-sungut dia lalu meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya?
Apakah seindah gagang dan sarungnya? Siapa tahu? Hatinya berdebar.
Jangan-jangan sebuah di antara Liong-cu Siang-kiam!
Tapi sebelum
dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahu pedang itu sudah
di tangannya, "Mau apa kau dengan pedang ini?" bentaknya.
"Pisau
dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja aku mau
membersihkan ikan dan memotong-motongnya."
"Edan!
Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"
"Habis
apa gunanya benda tajam ini di sini? Tentu kau pergunakan sebagai alat dapur,
bukan?" Beng San berpura-pura tolol.
"Bodoh!
Agaknya matamu sudah dipenuhi dengan tinta dan huruf, sampai-sampai tidak
mengerti gunanya pedang."
Setelah
berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan…
"Sratttt…!"
sebatang pedang yang putih berkilauan saking tajamnya sudah tercabut dari
sarungnya.
"Aduh
tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil
halus itu!"
Ucapan
tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi
tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.
"Benarkah
jari tanganku kecil dan halus?" la mengulur tangan kirinya kepada Beng
San.
Beng San
memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan
menaksir. "Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan
hangat."
Mendadak
wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan dia menarik
kembali tangannya.
"Cih,
tidak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali
tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kau boleh pakai
untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."
Beng San
menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu
mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka
oleh pedang.
Dara baju
hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San.
Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan,
seperti orang melamun.
Tanpa
sengaja Beng San menengok, dua pasang mata lalu bertemu pandang. Mata gadis itu
setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan baru dia sadar sehingga mukanya
menjadi kemerah-merahan. Ketika sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang,
gadis itu membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum.
Beng San
juga diam saja, tapi hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap
wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam
lubuk hati gadis baju hijau ini.
"Ampun...
ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang membersihkan
ikan!" Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.
Beng San
memberikan ikan dan pedangnya. Dengan sangat cekatan gadis baju hijau itu mengerik
sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang
kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San yang kini mendapat giliran
menonton menjadi kagum.
"Pakaianmu
basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa kau tidak bertukar pakaian?" Sambil
memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.
Beng San
cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja,
penggantinya juga basah. Gara-gara kau...”
Gadis itu
tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika dia mengangkat muka memandang pemuda
itu. "Kau kan sudah membalas?"
Beng San
tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi
diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa? Kau
majukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!"
"Kau
tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan
balasan? Bodoh, pakaianmu basah, mengapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar
juga kering dan dapat dibuat pengganti."
Beng San
baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu
basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab,
dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu satu per satu lalu
menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini
yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai. Semua pakaian itu masih baik
sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.
"Heee,
aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo
buat api."
"Bagaimana?
Mana batu apinya?"
Gadis itu
nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat
dipakai untuk memotong ikan."
Sekali
pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja diletakkan di
pinggir perahu. Bunga api berpijar besar dan menyambar daun yang telah diberi
minyak, lalu menyala.
Beng San
berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo
(tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering
yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.
Tak lama
kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya
di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk
membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari
nona baju hijau itu berkembang-kempis.
"Aduh,
bukan main sedap baunya..."
"Itu
baru baunya, belum rasanya!" Beng San membanggakan. "Sekali kau
mencicipi, aku khawatir tak akan kebagian."
"Idih
sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka.
Beng San
girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la
tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik,
jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat
menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu. Ketika
panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah
kering. Beng San bingung.
"Aku
hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?"
"Jangan!"
Gadis itu membentak. "Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa
bertukar pakaian di sini."
Ketika gadis
itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San
membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir
kering itu, dan menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul.
Setelah menyimpan semua pakaian-pakaiannya, dibungkus lagi di dalam buntalan,
dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.
"Heee,
Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya.
Akan tetapi
ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak
memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!
"Tak
usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.
"Bagaimana
kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan
sewajarnya dan tidak mengandung maksud apa-apa.
Akan tetapi
nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa
memandang pemuda itu ia berkata. "Lancang! Kau kira aku...
mengintaimu?"
Beng San
tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ahh,
aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup
matang, boleh dimakan. Silakan."
Nona baju
hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu
menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan
keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan ikan
dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata
mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah
daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan
saja yang berserakan di lantai.
Setelah
mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata. "Kau baik sekali, Nona,
sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa
yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa
yang kau cari, aku berjanji akan membantumu."
Tiba-tiba
gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat
tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan
pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu tulang pundaknya akan
remuk kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin
kaget melihat sikap ini.
"Kau
she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.
"Bukan,
aku she Tan."
"Sayang..."
Gadis itu
melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang kemudian memandang
air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali
membayang di antara seri wajahnya yang manis. Beng San terheran, juga hatinya
berdebar. Pada waktu gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia
teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasakan serangan
seperti ini.
Tiba-tiba
dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika
dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah!
Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil
keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.
”Andai kata
aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu.
Gadis itu
tiba-tiba mencabut pedangnya dan…
"Srrrattt!"
Pedang sudah
menyambar ke permukaan air dekat perahu dan... seekor ikan sebesar lengan yang
tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara
kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, perlahan-lahan
hanyut terbawa aliran air.
"Kalau
kau orang she Bun, kau akan menjadi seperti itulah..." Gadis itu berkata
lagi tanpa menengok.
Beng San
memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa
bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang
aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi
kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia
jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk
menolongnya.
Gadis yang
jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara
gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong... ehh, ya. Bukankah dia sedang menuju ke
Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini?
Beng San
memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu
telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak
menyeberang.
la melirik
gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. Ia merasa
kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun yang agaknya
musuh besarnya.
"Sayang
aku bukan she Bun," dia mencoba menghibur.
Gadis itu
menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.
"Kau
maksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."
Beng San
tidak mau orang bicara tentang dirinya yang sengaja hendak dia sembunyikan
keadaannya, maka dia segera berkata, "Ehh, kenapa perahu ini tidak
menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."
Dara
berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa."
la segera
mendayung perlahan, tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar
saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di
tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai
patok. Mereka saling pandang, merasa bahwa saat perpisahan telah tiba.
Beng San
menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di
lantai perahu. "Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganmu.
Pertolongan menyeberangkan aku dan terutama sekali pertolongan yang kau berikan
ketika aku tenggelam. Nona, kini keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku
aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini
berperahu? Di mana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau
ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pulang dan
berdiam di rumah dengan ayah bundamu..." Ucapan yang keluar dari hati yang
tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran
seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda.
Mendengar
ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka
menengadah, sayu. Kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan dia mulai
menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu. Beng San terkejut
sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu.
Suaranya tergetar penuh keharuan ketika ia berhasil membuka mulut.
"Nona...
kau kenapakah...? Janganlah menangis, ahhh... maafkan kalau tadi aku berkata
lancang sehingga menyinggung perasaanmu..."
Tangis dara
itu makin menjadi-jadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia
menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari
lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.
Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat ia telah menjatuhkan diri di atas dada
Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.
"Tenanglah…
diamlah... Nona, jangan menangis. Ahhh, kau membuat aku ikut bersedih..."
Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat.
Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain
orang.
Sambil
menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus,
"Ibuku sudah meninggal... ayah terbunuh orang... aku yatim piatu, sebatang
kara tiada orang tiada tempat tinggal... selalu menerima hinaan orang... baru
kau... baru kau seorang yang baik kepadaku..."
"Hemmm,
kasihan..." dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air
mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang
juga sebatang kara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya. "Sabarlah,
Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun
sebatang kara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini."
Keduanya
saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut
yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali
ini dia mengalami keadaan seperti ini yang sangat membingungkan, yang membuat
jantungnya berloncatan tidak menentu.
"Kau
baik sekali... kau baik sekali...," berkali-kali gadis itu berbisik.
"Kau
pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan
melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu
berada di dalam ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she
Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana
orangnya."
Tiba-tiba
gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya.
Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.
"Aku
tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku..."
"Bagaimana
ini? Kau tentu punya nama, bukan?"
"Panggil
saja aku Eng... sudahlah, kau kenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng
yang sengsara, sebatang kara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang
baik hati, dan... alangkah sayangnya... orang she Tan yang baik hati tapi yang
lemah... ahh, kalau saja kau pandai silat... pergilah, pergilah tinggalkan aku
seorang diri..." la menangis lagi.
Beng San
bangkit berdiri, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, Nona Eng. Ataukah
lebih tepat kusebut Adik Eng? Nah, aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan
kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik."
la keluar
dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu
betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata
sayu......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment