Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 12
Dengan bekal
pakaian dan uang pemberian orang-orang Pek-lian-pai kepadanya, Beng San dapat
melakukan perjalanan sebagai seorang pelancong yang pantas. Benar saja, dengan
berpakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia sama sekali tidak mengalami
gangguan-gangguan di tengah perjalanan. Lima belas hari kemudian dia telah
sampai di daerah Hoa-san dan beberapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya
tiba di puncak Hoa-san yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-san-pai.
Hatinya berdebar pada saat dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika
delapan tahun yang lalu itu.
Dari jauh
dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali tosu mendirikan
bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja. Beng San sengaja mengambil
jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-san-pai dari belakang, menuju ke taman
bunga di mana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan
Kui Lok.
Apakah
mereka berada pula di sini? Dan bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai? Ah, di
antara Hoa-san Sie-eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu ayah Kwa
Hong, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka jika mereka
melihat aku? Bermacam pikiran dan dugaan berkecamuk dalam pikiran Beng San,
membuat hatinya berdebar tegang ketika dia mendekati taman bunga di belakang
kelenteng Hoa-san-pai.
Tiba-tiba
Beng San melompat ke belakang pohon, lalu menyelinap menyembunyikan diri.
Dengan gerakan yang tanpa menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi
ke atas sebatang pohon besar yang sangat lebat daunnya. Dia bukan seorang yang
suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang
tajam luar biasa itu memaksa dia bersembunyi dan mengintai.
Di tengah
taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di
atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah. Di depannya berdiri
seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah
sekali mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak
setengah marah.
Pemandangan
yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersembunyi sambil berwaspada
adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang
juga berada di taman itu. Akan tetapi gadis ini kelakuannya sangat
mencurigakan, yaitu ia sedang mengintai sepasang muda-mudi itu dari balik
rumpun kembang dan batu penghias taman!
Diam-diam
Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang
wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan keangkuhan dan
kegembiraan sekaligus. Pakaiannya indah, akan tetapi serba putih seperti orang
sedang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu
di kepala serta sebatang pedang yang tergantung di pinggang.
Ada pun dara
jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh
langsing tinggi. Gerakannya lemah gemulai tetapi mengandung kegesitan dan
kekuatan yang tidak terlepas dari pandang mata seorang ahli. Mukanya bulat
telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan serta halus terpelihara. Sepasang
matanya seperti mata burung hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan kemesraan
dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak.
Pakaiannya
berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia
memang menyukai warna merah. Juga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang
dipasang di belakang punggungnya sehingga di balik segala kecantik jelitaannya
ini membayang keangkeran dan kegagahan.
Setelah
melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat menahan ketawanya. Mudah saja
dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok. Telinganya yang lebar
itu takkan dia lupakan. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja ini siapa
lagi kalau bukan si kuntilanak? Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain
orang memiliki mata seperti itu?
Juga gadis
ke dua yang bersembunyi sambil mengintai, yang tadinya menimbulkan rasa
kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa
yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh
yang padat langsing, kulitnya halus dan tak seputih Kwa Hong, akan tetapi juga
tak dapat dikatakan hitam. Kulit berwarna kegelapan yang malah menambah
kemanisannya.
Wajahnya
juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras. Seperti Kui Lok,
gadis ini juga berpakaian serba putih, tapi tidak putih polos, melainkan putih
berkembang. Di punggungnya, seperti juga Kwa Hong, dia membawa sebatang pedang
yang dironce putih pula.
"Hemmm,
seperti menonton sandiwara wayang saja," pikir Beng San geli.
Apakah yang
sedang terjadi dengan anak-anak yang dahulu nakal-nakal ini? Teringat dia bahwa
dia sendiri pun memperlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti
yang dilakukan oleh Thio Bwee. Mengingat ini, tak terasa lagi Beng San tertawa
lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya.
Kui Lok
mengangkat mukanya yang tampan. Mulutnya yang selalu tersenyum mengejek itu
berkata, "Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa sejak dulu aku selalu
mencintamu, bukan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai kakak beradik, akan
tetapi sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi,
aku cinta...”
"Sudahlah,
Lok-ko, jangan kau ulang-ulang lagi," Kwa Hong berkata sambil memandang
tajam, kemudian mendadak matanya bersinar nakal ketika dia berkata, "Tak
enak bicara cara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di rumput
supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu."
Kui Lok
memandang ke bawah. Tidak bersih tanah itu, biar pun ditumbuhi rumput hijau,
tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan
diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya
dan dia duduk di tanah, kelihatan dia seperti berlutut di depan orang yang
lebih tinggi tingkatnya!
Wajah Kwa
Hong yang jelita itu nampak berseri ketika memandang ke bawah, kepada muka yang
tampan dan penuh penyerahan, penuh harapan dan penuh ketaatan itu. Dan
sebaliknya, Kui Lok yang sekarang harus menengadah memandang wajah cantik
jelita di sebelah atasnya.
"Lok-ko,"
kata Kwa Hong sambil tersenyum semanis-manisnya, "aku tak suka bila setiap
kali bertemu kau selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan
mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku
untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat memastikan
siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, ayahku bermaksud menjodohkan
aku dengan Ki-ko, tapi itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilih sendiri,
tetapi kelak!"
"Baiklah,
Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku tak akan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku
memujamu... alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kalau kupandang dari
bawah, wajahmu mengalahkan kecemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di
waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi
mukamu yang indah, mendengar suaramu yang merdu bagaikan..."
"Sssttttt...
ada orang...!" Kwa Hong yang amat tajam pendengarannya itu bangkit berdiri
dari duduknya.
Sebetulnya
dalam hal ini Kui Lok takkan kalah olehnya, akan tetapi karena pemuda itu tadi
baru mabuk asmara, maka menjadi kurang hati-hati. Mereka berdua meloncat ke
satu arah, yaitu arah gerombolan kembang dan sempat melihat tubuh Thio Bwee
berlari pergi sambil menutupkan kedua tangan di depan muka. Keduanya berdiri
bengong, dan keduanya memerah muka.
"Celaka,
Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!" Kwa Hong membanting-banting
kaki kanannya. "Semua ini salahmu, Lok-ko! Kau tentu tahu betapa dia
mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan seperti ini. Bukankah ini berarti
kau menyiksa batinnya?"
Kui Lok
tunduk dan berkata membela diri, "Apa dayaku, Hong-moi? Apa dayaku apa
bila tidak ada wanita lain di dunia ini yang merobohkan hatiku?"
"Bodoh
kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok menjadi...
ehhh... menjadi jodohmu."
"Tapi
kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih..."
Kembali Kwa
Hong membanting kakinya dengan gemas. "Sudah cukup! Kau pergilah dari
sini, Lok-ko. Setelah Enci Bwee melihatnya, apakah kau ingin lain orang melihat
sikapmu yang memalukan tadi? Sudah cukup kataku!"
Kui Lok
menarik napas panjang, lalu ia berkata lemah, "Aku hanya mengharapkan
belas kasihanmu..." dan dia pun pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa
Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan duduknya gelisah.
Semua ini
dilihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak
karuan rasanya. Dia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga
merasa terharu dan khawatir. la yang selama hidupnya belum pernah mimpi tentang
cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan yang amat
mengharukan hatinya.
Ah, betapa
membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam
pohon itu. Kui Lok dicintai Thio Bwee, sebaliknya pemuda ini mencinta Kwa Hong
yang agaknya tidak menerimanya! Dan menurut pendengarannya tadi, ayah Kwa Hong
malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki. Alangkah berbelit-belit
cinta asmara menggoda hati muda.
Selagi dia
berpikir bagaimana dia harus berbuat selanjutnya di tempat itu, dia mendengar
suara orang mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat
seorang pemuda dengan tergesa-gesa memasuki ke taman itu.
Pemuda ini
tinggi kurus. Wajahnya tampan membayangkan kekerasaan dan keangkuhan hati. Pada
pinggang kirinya tergantung sebatang pedang pula dan pakaiannya juga serba
putih seperti yang dipakai Kui Lok dan Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja,
Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.
"Aduh,
akan ramai kali ini..." Beng San tersenyum.
Sementara
itu, Thio Ki berjalan terburu-buru menuju ke tempat duduk Kwa Hong. Setelah
menengok ke kanan kiri dengan hati-hati, pemuda ini segera menjatuhkan diri
berlutut di depan Kwa Hong! Gadis itu membelalakkan kedua matanya, memandang
pemuda yang tak mengucapkan sepatah pun kata di depannya itu.
"Ehh,
ehhh... apa-apa kau ini, Ki-ko (Kakak Ki)?"
"Kwa
Hong-moi, jangan kau menyiksa hati kami kakak beradik yang sudah tak berayah
lagi."
Kwa Hong
mengerutkan keningnya. “Aihhh... apa maksudmu, Ki-ko? Apakah kesalahanku
terhadap kau atau terhadap enci Bwee?"
Dengan muka
membayangkan kekerasan hatinya, biar pun dia sedang berlutut, Thio Ki memandang
tajam kepada gadis itu. "Kau tahu betapa aku mencintamu dan bahwa Kwa
Supek juga sudah setuju akan perjodohan antara kau dan aku. Dan kau pun tahu
bahwa adikku Bwee-moi mencinta Lok-te (adik Lok)."
Kwa Hong
tersenyum mengejek, keningnya masih berkerut. "Hemmm, habis mengapa?”
Suaranya penuh tantangan.
"Janganlah
kau merusak hatiku dan hati adikku dengan bermain cinta dengan Kui Lok."
Kwa Hong
menjadi marah, berdiri dan membanting kakinya. Agaknya kebiasaan di waktu kecil
ini, yaitu membanting kaki kalau marah, masih melekat pada diri Kwa Hong.
"Ah, enci Bwee setelah tak tahu malu mengintai orang, lalu lari
merengek-rengek kepadamu minta bantuan?"
Thio Ki juga
bangun berdiri, menghadapi gadis itu. Sikapnya keras akan tetapi suaranya
mengandung kasih sayang, "Hong-moi, adikku sudah tak berayah lagi, kini
aku sebagai kakaknya menjadi pengganti ayah."
"Hemmm,
apa saja yang ia ceritakan padamu?"
"Tadi
dia melihat Kui Lok menyatakan cintanya kepadamu di sini. Betulkah itu?
Ingatlah, Hong-moi. Aku mencintamu sepenuh jiwaku sedangkan adikku mencinta Kui
Lok dengan sepenuh hatinya pula. Bukankah sudah tepat sekali kalau di antara
kita para cucu murid Hoa-san-pai terjalin ikatan ini? Kau dengan aku sedangkan
Kui Lok dengan adik Bwee? Bukankah ikatan ini akan memperkuat kedudukan
Hoa-san-pai yang selalu diganggu oleh musuh?"
"Ki-ko!
Enak saja kau bicara. Urusan perjodohan mana ada aturannya main paksa? Kalian
semua goblok dan yang dipikir hanya urusan asmara saja. Aku... seujung rambut
pun tak pernah memikirkan urusan begitu. Aku lebih suka memikirkan pembasmian
musuh-musuh besar kita. Cih, sungguh tidak tahu pribudi kalian bertiga!"
"Hong-moi...
katakanlah sejujurnya... apakah kau mencinta Lok-te?"
"Kalau
memang aku mencinta siapa pun juga, kau dan semua orang peduli apa?" Kwa
Hong membentak dengan kedua pipi merah dan dua titik air mata membasahi pipinya
itu. "Akan tetapi aku tidak mencinta siapa-siapa! Lok-ko boleh datang di
sini dan seperti gila menyatakan cinta, apakah itu salahku? Aku sendiri tidak
mencinta siapa-siapa, kau pun tidak, Lok-ko pun tidak. Nah, jelaskah
sekarang?"
Thio Ki
menjadi agak pucat mukanya. "Begitukah? Jadi kalau begitu, Kui Lok yang
sudah merusakkan semua ini. Aku harus mencarinya dan memberi hajaran
kepadanya!" Dengan sigap Thio Ki membalikkan tubuh dan pergi dari situ
meninggalkan Kwa Hong.
Untuk
beberapa saat Kwa Hong berdiri melongo. Matanya bergerak liar dan mukanya
menjadi agak pucat, kemudian gadis ini pun berlari meninggalkan taman bunga.
Tinggal Beng San yang kini termenung seorang diri di atas pohon. la masih
merasakan ketegangan semua yang telah dia dengar dan lihat dari tempat
persembunyiannya. Hebat, pikirnya. Urusan orang-orang muda ini bisa
mengakibatkan hal yang amat hebat!
Mengingat
akan sikap Thio Ki yang keras hati itu, mudah diduga bahwa tentu akan terjadi
pertempuran antara saudara seperguruan sendiri, antara Thio Ki dan Kui Lok yang
secara kasarnya memperebutkan Kwa Hong! Masih ada kemungkinan buruk lagi, yaitu
bukan hal yang aneh kalau Thio Bwee memusuhi Kwa Hong pula karena dianggap
merampas pria yang dicintainya.
Berkali-kali
Beng San menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri. "Nah, kau
sudah tahu sekarang? Hatimu mudah tertarik wajah cantik. Baru saja turun gunung
sudah terpikat oleh gadis yang bernama Eng itu. Sekarang melihat Kwa Hong dan
Thio Bwee hatimu berdebar dan amat tertarik. Kau lihat kesengsaraan mereka itu?
Lihat Thio Ki dan Kui Lok, dua orang muda gagah perkasa, tidak kekurangan
sesuatu, sekarang sebagai saudara seperguruan menjadi saling bermusuhan. Semua
ini hanya gara-gara hati lemah menghadapi wajah cantik."
Akan tetapi
perhatiannya segera tertarik oleh bergeraknya daun-daun di pohon-pohon.
Pergerakan bukan oleh meniupnya angin biasa, melainkan tiupan angin yang
ditimbulkan oleh kepandaian seseorang yang bergerak cepat sekali, melintas tak
jauh dari depannya. Sekali lagi dia dikejutkan oleh kepandaian yang tinggi dari
orang baru ini.
Ah, sudah
banyak dia melihat orang-orang muda berkepandaian tinggi. Pertama kali nona
Eng, kedua kalinya orang muda yang sekarang lewat ini. la juga merasa seakan
pernah melihat orang muda ini, entah di mana. Seorang pemuda yang bertubuh
kecil berwajah tampan sekali, kulit mukanya pucat putih, pakaiannya kuning.
Muka yang pucat itu, mata yang selalu memandang rendah, mulut yang tidak pernah
berhenti tersenyum lebar, angkuh dan sombong. Di mana dia pernah melihat orang
ini?
Dengan hati
penuh kecurigaan, Beng San lalu melesat, diam-diam mengikuti bayangan orang itu
yang berlari cepat ke depan. la mengikuti terus orang muda yang berjalan cepat
itu, setelah keluar dari taman lalu membelok ke kanan dan menuju ke sebuah
lereng yang sunyi.
Lereng ini
indah sekali, penuh dengan padang rumput menghijau dan di sana-sini terdapat
pohon yang kembangnya berwarna kuning dan merah. Inilah sebuah taman alam yang
luas dan sunyi, dan bagi Beng San bahkan lebih indah dari pada taman bunga yang
baru ditinggalkannya tadi.
Dengan
hati-hati dia terus mengikuti orang itu. Di tempat yang agak terbuka ini ia
harus berhati-hati karena yang diikuti adalah orang yang berkepandaian tinggi.
Ia mengikuti dari jauh dan terpaksa berhenti untuk menyelinap di belakang pohon
apa bila yang diikutinya itu melintasi tempat yang terbuka.
Akhirnya dia
melihat orang itu berhenti di tempat yang penuh pohon kembang dan orang itu
mengintai. Beng San cepat menyelinap mendekati dan kini dia pun dapat melihat
apa yang diintai oleh pemuda yang di depannya itu. Ternyata bahwa Thio Bwee,
gadis yang tadi mendengarkan percakapan antara Kui Lok dan Kwa Hong, duduk di
atas sebuah batu besar hitam di tempat sunyi itu dan menangis terisak-isak
dengan amat sedihnya. Beng San menjadi terharu juga.
Ia telah
mengenal Thio Bwee ketika kecil, malah pernah dia menggendong Thio Bwee dan Kwa
Hong ketika terculik oleh orang jahat. la maklum sedalamnya apa yang dirisaukan
oleh hati gadis muda itu. Siapa orangnya takkan merasa sedih dan malu kalau
melihat laki-laki yang dicintainya berlutut memohon cinta kasih seorang gadis
lain?
"Nona
yang baik, harap kau jangan menangis, jangan bersedih. Dunia ini bukan hanya
setelapak tangan lebarnya dan tidak kurang banyaknya pria yang baik dan setia,
bahkan lebih baik dari orang she Ku itu..."
Mendengar
suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi-jadi. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu
mengangkat muka dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya.
Ia meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka orang sambil membentak.
"Siapa
kau...?! Kurang ajar, berani lancang mulut? Pergi dari sini!" la mengusir
pemuda tampan yang bermuka pucat dan tersenyum-senyum itu.
"Kita
orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukannya
orang sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-san-pai, aku pun murid
seorang sakti. Namaku Giam Kin, dan nama guruku kiranya tak kalah besarnya oleh
nama kakek gurumu, Lian Bu Tojin." Pemuda tampan yang pucat itu berkata
sambil tersenyum memikat. "Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud
jahat, aku hanya kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona
manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih setia
dalam cinta dari pada Kui Lok..."
"Tutup
mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah
ini termasuk wilayah kekuasaan kami dari Hoa-san-pai, kau sudah masuk tanpa
ijin. Pergilah sebelum pedangku bicara!" Mendadak Thio Bwee bersikap gagah
dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan
berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani.
Ada pun Beng
San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu
menyebutkan namanya. Giam Kin? Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula
dia melihat muka yang pucat itu, tapi bila dan di mana?
la memandang
terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya
berhadapan dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi dia pun ingin menyaksikan
sampai di mana kepandaian Thio Bwee dan terutama kepandaian pemuda aneh itu.
Melihat Thio
Bwee menghunus pedang, Giam Kin hanya tertawa mengejek. "Bagus sekali!
Memang betapa pun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi
sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan pedang. Nona Thio yang manis, biarlah
kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelincahanmu bermain
pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu..."
"Keparat,
lihat pedang!" Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar
putih menyambar ke arah dada Giam Kin.
Diam-diam
Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang baru
dimainkan oleh nona ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula
agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang
dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang dan
dapat kembali berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan semakin pucat.
"Bagus!
Kau benar-benar nona manis yang berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan
senjata pula!" Sambil berkata begitu pemuda ini meraba pinggangnya dan
mengeluarkan sebatang benda yang aneh.
Tak salah
lagi, benda ini tentulah sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada
tempat peniupnya, akan tetapi bentuknya bagaikan ular! Giam Kin memegang di
bagian yang runcing, yaitu bagian ekor ular dengan cara seperti memegang gagang
pedang.
"Ahh,
diakah...??" Beng San tiba-tiba teringat.
Terbayanglah
dia akan ratusan ekor ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika
seorang bocah bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang
dulu pernah dia pukul, bocah yang mengerikan, pandai memanggil datang ratusan
ekor ular berbisa. Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh besarnya!
Pada waktu
kecil pun dia sudah amat jahat, dengan ular-ularnya membunuh para petani
kelaparan secara kejam sekali. Apa lagi sekarang. Orang semacam ini harus
menjadi musuhnya. Akan tetapi Beng San tak mau lancang turun tangan. la melihat
bahwa Thio Bwee bukan seorang yang lemah. Berarti memandang rendah kalau dia
turun tangan sekarang. Apa lagi, bukankah dia sedang berusaha menyembunyikan
kepandaiannya?
la dengan
tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi
selalu siap menolong apa bila gadis itu terancam bahaya. Betapa pun juga dia
merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin mau mencelakai gadis ini, apa lagi
membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan kecantikan
Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya?
Pedang di
tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng
San ketika dia melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat
ilmu pedangnya. Akan tetapi jika gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai
lagi. Gerakan-gerakan suling berbentuk ular yang dimainkan sebagai pedang itu
benar-benar hebat dan aneh, penuh dengan gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak
mengherankan apa bila perlahan-lahan Thio Bwee terdesak hebat, terkurung oleh
gulungan sinar yang diakibatkan oleh gerakan suling ular.
Betul saja
dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia
kehendaki, kiranya sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya,
dia hanya main-main dan tidak ada hentinya mulutnya tersenyum sambil terus
mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.
"Kau
lihatlah, nona manis. Bukankah aku juga cukup lihai untuk menjadi sahabat
baikmu. Simpanlah pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku
pun suka berlutut asal kau mau menjadi sahabat baikku..."
Mendengar
ini, Beng San diam-diam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah
jatuh oleh kecantikan wajah seorang wanita. Lucu dan tak waras lagi otaknya,
lebih patut disebut edan!
Beng San
masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya
bahwa Giam Kin juga jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu
bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak mata keranjang dan tentu dia akan
‘mencinta’ setiap orang wanita yang cantik dan manis, apa lagi seperti Thio
Bwee!
Apa bila
ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati
Thio Bwee. Biar pun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam
gagang pedang dengan lebih erat lalu menyerang nekat sambil membentak.
"Murid
Hoa-san-pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!"
Pedang di
tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sehingga sukar diketahui bagian
tubuh lawan yang mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga
Giam Kin menghadapi jurus ini. Inilah jurus dari Hoa-san Kiam-hoat yang disebut
jurus Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu). Ujung pedang di tangan Thio
Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi
lawan yang demikian lihai seperti Giam Kin.
Sebagaimana
telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-ong-kwi, itu orang sakti
dan jagoan nomor satu dari daerah utara. Tidaklah mengherankan apa bila Giam
Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Menghadapi serangan jurus
Kwan-kong-sia-ciok tadi, hanya sedetik saja dia terkesiap dan terkejut, akan
tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuhnya ke
belakang. Tubuhnya menggelundung terus ke sana ke mari seperti seekor binatang
trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus Kwan-kong Sia-ciok yang
dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali.
Tiba-tiba
tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya sedangkan suling ularnya
bergerak menyambar-nyambar dari bawah mengarah pada kaki Thio Bwee. Serangan
dari bawah ini berbahaya sekali, terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke
atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadang-kadang menyerang kaki,
kadang meloncat ke atas menyerang pundak.
Thio Bwee
menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satu-satunya baginya hanya
mengeluarkan jurus ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu
jurus Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Dengan jurus ini sinar pedangnya
berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh tubuhnya.
"Ha-ha-ha-ha,
nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu? Memutuskan sehelai rambut pun aku
tidak mau, apa lagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau
suka menerima aku menjadi sahabatmu, bukanlah itu baik sekali?" Sambil
berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat menahan pedang
Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi!
Thio Bwee
mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia,
pedangnya seperti berakar pada senjata lawannya. Diam-diam Beng San yang
menonton pertempuran ini mengangguk-angguk, maklum dan kagum akan kehebatan
Iweekang dari pemuda pucat itu.
"Ha,
nona jelita. Kau lihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling
melekat tak mau lepas. Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka...?"
kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali. Tangan kirinya bergerak
maju dan secara kurang ajar dia lalu mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang
berkulit halus!
Gadis itu
marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah
kalah tenaga, begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya dapat terbetot
oleh lawan dan terlepas dari tangannya. Betapa pun juga, murid Hoa-san-pai ini
tidak mau menyerah begitu saja. la cepat menubruk maju mengirim pukulan-pukulan
dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali.
Memang Thio
Bwee amat hebat, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya
yang sudah hampir kalah. Kenekatan gadis ini sama sekali tidak pernah terduga
oleh Giam Kin yang masih memandang rendah, maka begitu melihat datangnya
pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia melangkah mundur sehingga
pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee.
Pada saat
itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan. "Siapa berani
bermain gila di Hoa-san?!"
Giam Kin
melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, lalu tersenyum nakal
memandang kepada dua orang yang baru datang. Yang seorang adalah seorang
laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali. Biar pun sudah lebih empat
puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah. Yang seorang wanita,
belum tiga puluh tahun, cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini
keren dan berpengaruh.
Sekali
pandang saja Beng San dengan girang dapat mengenal bahwa laki-laki itu adalah
Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-eng-cu Liem
Sian Hwa, dua orang dari Hoa-san Sie-eng yang tersohor.
Yang tadi
membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya. Sebaliknya Kwa Tin
Siong bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu meski pun mukanya pucat
dan tersenyum-senyum selalu, namun bukanlah orang sembarangan.
Di lain
pihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya,
"Siapa berani main gila? Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang
Hoa-san-pai sendiri. Suheng-nya gagah perkasa dan tampan, sumoi-nya cantik
jelita dan lihai, aihhh… benar-benar mengagumkan..." Ia tertawa lagi dan
aneh sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka
saling lirik.
Kwa Tin
Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata. "Sahabat di depan siapakah,
dari partai mana dan apa alasannya bermain-main senjata dengan murid
keponakanku?"
Kini Giam
Kin mengangkat kedua tangan menghormat, tetapi sikapnya masih penuh sifat
main-main dan mengejek. "Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi pesanan
suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoa-san-pai dan melihat-lihat. Siapa tahu
begitu sampai di sini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan nona cilik
murid Hoa-san-pai, ingin berkenalan secara baik-baik..."
Liem Sian
Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan
mata, lalu berkata lagi, "Orang muda she Giam, siapakah nama gurumu yang
mulia?"
"Ha-ha-ha,
orang-orang Hoa-san-pai, kalian bermata tajam. Memang guruku orang mulia,
kecil-kecil dia masih raja di utara... Ha-ha-ha..."
Kalau Liem
Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget
betul. Cepat dia menjura, memberi hormat sambil berkata, "Apakah yang
dijuluki orang Siauw-ong-kwi...?"
Giam Kin
tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya. "Kau juga berani
menyebut suhu-ku Setan Kecil? Awas kau, Hoa-san It-kiam, kalau guruku mendengar
kau tak akan berkepala lagi!"
Kwa Tin
Siong tersenyum masam. "Kurasa Siauw-ong-kwi locianpwe tidak berpandangan
sesingkat kau, orang muda. Kau datang terlampau pagi, perayaan baru akan
diadakan satu pekan lagi. Harap kau nanti datang pada waktunya dan sementara
itu harap jangan main-main dan membikin takut pada anak-anak murid Hoa-san-pai.
Bukankah kau datang dengan maksud baik?"
"Baik
sekali, tentu, maksudku baik sekali. Sayang terlampau pagi, biar sepekan
kemudian aku datang lagi. Sampai berjumpa kembali, nona manis." Giam Kin
lantas membalikkan tubuhnya, kemudian meniup sulingnya secara aneh.
Tiba-tiba
Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, dan Thio Bwee membelalakkan mata saking kagetnya
pada saat dari mana-mana datang ular-ular besar kecil mengikuti di belakang
pemuda aneh itu. Makin lama makin banyak sehingga Giam Kin diikuti puluhan ekor
ular seperti bebek-bebek mengikuti penggembalanya!
"Hebat...
berbahaya sekali dia...,” terpaksa Sian Hwa mengakui.
Kwa Tin
Siong menarik napas panjang pula. "Sudah lama aku mendengar nama gurunya,
Siauw-ong-kwi. Baru muridnya saja sudah demikian lihainya, apa lagi gurunya.
Apa sih kehendak Setan Raja Kecil dari utara itu dengan mengirim muridnya ke
sini?"
Kemudian dia
menoleh kepada Thio Bwee yang berdiri dengan muka pucat. "Bwee-ji, kau
seorang diri di sini sedang mengerjakan apa? Bagaimana bisa bertempur dengan
dia?" Di dalam suara Kwa Tin Siong terkandung kasih sayang dan perhatian,
biar pun suaranya terdengarnya kereng dan galak.
"Aku...
aku sedang berlatih, Supek. Dia datang dan bicaranya kurang ajar, ingin belajar
kenal. Aku... aku lalu menyerangnya."
Hemmm, pikir
Beng San yang mendengar jawaban ini. Urusan asmara memang runyam! Sampai-sampai
Thio Bwee berani membohong kepada supek-nya. Setelah berpikir begitu, tubuhnya
melesat pergi mengejar Giam Kin yang sudah tidak kelihatan lagi, hanya suara
sulingnya yang aneh itu masih terdengar sayup-sayup sampai.
Giam Kin
berjalan seenaknya sambil meniup suling. Hatinya senang. la telah melihat Kwa
Hong dan Thio Bwee. Cantik-cantik dan manis-manis cucu murid Hoa-san-pai,
pikirnya. Apa lagi Kwa Hong! Tidak rugi aku mewakili suhu ke Hoa-san. Seorang
di antara mereka harus kudapatkan.
Tiba-tiba
pemuda ini menunda sulingnya, lalu menari-nari dan berloncat-loncatan di antara
ular-ular yang kini menjadi bingung dan lari ke sana ke mari. Anehnya,
ular-ular itu yang terinjak-injak, bahkan ada yang terinjak sampai mati sekali
pun, tidak ada yang berani menggigit Giam Kin.
Seperti
orang gila pemuda tampan bermuka pucat ini menari-nari dan tertawa-tawa, pasti
akan menimbulkan rasa seram dan ngeri pada yang melihatnya. Siapa tak akan
merasa seram melihat seorang pemuda yang mukanya pucat seperti muka mayat itu
menari-nari di antara ular-ular yang buas dan tertawa-tawa seperti setan?
"Giam
Kin, kau benar-benar sudah gila!" terdengar suara teguran, suara yang
besar dan bergema di seluruh tempat itu.
Giam Kin
terkejut, menghentikan tariannya dan menengok ke arah suara datang. Matanya
terbelalak kaget dan mulutnya ternganga ketika dia melihat seorang laki-laki
berdiri tak jauh dari situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan
bertolak pinggang, Yang membuat dia kaget setengah mati adalah muka orang itu,
muka yang hitam seperti pantat kwali, tidak kelihatan apa-apanya kecuali
sepasang matanya yang tajam seperti mata iblis!
"Ssseeeee...
tan… kau… setan..." Giam Kin tergagap.
Laki-laki
itu tertawa. "Kau dan perkatanmu yang patut disebut setan!"
Dalam kaget
dan gugupnya, Giam Kin kemudian meniup sulingnya. Ular-ular yang tadinya
kacau-balau, mendadak menjadi marah dan menyerbu ke arah laki-laki bermuka
hitam itu. Ular besar kecil, sebagian besar ular-ular berbisa yang amat
berbahaya, mendesis-desis dan berlenggak-lenggok menyerbu.
Laki-laki
muka hitam itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke depan dan... seperti
daun-daun kering disapu ular-ular itu bergulung-gulung menjadi satu dan
terlempar ke belakang, seekor pun tidak ada yang dapat mendekatinya!
Giam Kin
mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya melayang ke depan. Sekaligus pemuda
murid Siauw-ong-kwi ini mengirim serangan maut dengan suling ularnya, secara
berturut-turut menikam leher dan menotok ulu hati.
"Heh-heh-heh,
bocah nakal dan gila, jangan kau berani lagi mengacau di sini." Orang itu
berkata perlahan.
Dengan
sekali tangkis saja dia membuat suling itu menyeleweng dan tubuh Giam Kin
terhuyung-huyung. Sebelum Giam sempat mempertahankan diri, tangan kira orang
itu melayang.
"Plakk…!"
pipi kanan Giam Kin sudah ditamparnya.
Giam Kin
menjerit, merasa pipinya bagai terbakar. Pada pipi itu tampak jelas membayang
bekas jari tangan menghitam! Sambil memaki-maki dan menjerit-jerit Giam Kin
kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti suara
ketawa orang bermuka hitam yang menyeramkan tadi.
Setelah Giam
Kin pergi jauh, muka yang tadinya hitam seperti pantat kwali itu perlahan-lahan
berubah menjadi putih dan biasa kembali. Beng San tersenyum seorang diri. la
tadi memang sengaja menggunakan hawa dalam tubuhnya yang mengandung Yang-kang
untuk mendatangkan warna hitam pada mukanya agar tidak dikenal oleh Giam Kin
dan sengaja dia menakut-nakuti pemuda edan itu agar tidak berani lagi
mengganggu Thio Bwee. Setelah melihat Giam Kin pergi, dia pun meloncat dan
tubuhnya melesat ke arah puncak Hoa-san…..
***************
Pada bagian
lain dari puncak itu, dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah.
Mereka ini adalah Thio Ki dan Kui Lok. Setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di
dalam taman, Thio Ki yang memiliki watak keras hati langsung mengejar dan
mencari Kui Lok. Sekarang kedua orang jago muda Hoa-san-pai ini berhadapan muka
di tempat sunyi, sikap mereka saling mengancam.
"Thio-heng
(kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku ke sini hanya untuk menegur yang
bukan-bukan itu?" Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.
"Sudah
tentu!" jawab Thio Ki marah. "Kui-te (adik Kui), kita ini masih
terhitung saudara seperguruan dan karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya
kalau aku yang memberi peringatan apa bila kau menyeleweng dari kebenaran!
Sungguh tidak patut apa bila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati
Hong-moi, sungguh tidak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid
Hoa-san-pai!"
Kui Lok
tersenyum mengejek, malah sengaja tertawa masam. "He-heh-heh, bagus sekali
ucapanmu, Suhengl Di dunia ini, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis
kepada Hong-moi? Ha-ha-ha, kau sendiri pun selalu bermuka-muka dan bersikap
manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?” Kui Lok
menantang.
"Aku
lain!" bentak Thio Ki. "Aku cinta kepadanya dan... dan... Kwa Supek
agaknya setuju kalau aku berjodoh dengan Hong-moi."
Kui Lok
tertawa mengejek. “Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta?
Dan mengenai persetujuan Kwa Supek, hemmm... kita lihat dulu nanti, Suheng.
Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju, dan kau belum bertunangan secara
resmi."
Thio Ki yang
berwatak keras itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang
dibangkitkan oleh rasa cemburu, "Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku
melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang kau bersikap terlalu
manis!"
Kui Lok
adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam urusan
ini dia pun tidak mau mengalah dan sudah menjadi marah pula.
"Thio-heng,
kau sungguh keterlaluan sekali. Ada hak apa kau melarang aku? Kau adalah suheng
dari Hong-moi, aku pun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah
kita berlomba secara jujur, siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi,
dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan hendak main menang
sendiri?"
"Cukup!
Di sana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi
cahaya harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong."
"Ehh..ehh..ehhh,
enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?"
Thio Ki
mencabut pedangnya. "Terpaksa aku melupakan persaudaraan!"
"Bagus!
Orang she Thio, kau kira aku takut padamu?"
Kui Lok juga
sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda itu sudah saling
berhadapan dengan pedang terhunus, bersiap untuk saling serbu, saling tikam dan
saling bunuh.
Beginilah
orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa akan persaudaraan, lupa
kewaspadaan dan tak tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa
Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih seorang di antara mereka? Namun,
tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan nyawa.
"Bagus...
bagus... Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang. Biarkan
aku menontonnya, tentu indah dilihat." Beng San muncul dari balik sebatang
pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.
Kui Lok dan
Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi
terkejut dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera
biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San
yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel.
Namun karena
mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa
diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tidak senang
dengan datangnya seorang asing ini.
"Kau
siapa? Mau apa lancang masuk ke sini?" tanya Thio Ki mengerutkan
keningnya. Juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk
memperlihatkan ketidak senangan hatinya.
Beng San
tertawa, wajahnya berseri-seri. "Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya
sudah lupa lagi kepadaku. Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku
Beng San."
Thio Ki dan
Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan di antara mereka.
Terang bahwa mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi
seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan.
"Uuuhhhhh...
Beng San...?" Thio Ki berkata dengan suara menghina.
"Hemmm,
kau di sini? Mau apa kau ke sini? Kau mengintai kami, ya?" berkata Kui Lok
dengan nada mengancam.
"Ah,
tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku jadi
ingin melihatnya. Dahulu pun kalian sangat pandai, apa lagi sekarang, tentu
indah permainan pedang kalian."
Kembali Kui
Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San
sudah mendengar pertengkaran mereka tadi!
"Kau
tadi sudah lama mengintai kami? Juga mendengar apa yang kami bicarakan?"
Thio Ki menuntut.
Beng San
tersenyum. "Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau
burung."
la sengaja
mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata ‘Hong’
dapat diartikan sebagai angin atau juga nama burung hong!
Thio Ki yang
keras hati itu timbul kembali keangkuhannya. "Beng San, kau sangat kurang
ajar. Orang macam kau ini mengapa berani muncul di sini tanpa ijin? Kau patut
dipukul."
"Benar,
Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar dia minggat dari sini!" kata Kui
Lok yang teringat betapa dahulu bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San.
Dua orang
pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan
memukul pundak Beng San. Bagaimana pun juga, sebagai jago-jago muda dari
Hoa-san mereka tidak sudi membunuh orang yang lemah, hanya memukul untuk
memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.
"Ehh,
ehh, ehhh... kenapa main pukul? Aku tidak bersalah apa-apa..."
Beng San
terhuyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja
serangan-serangan yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak
dia rasakan, akan tetapi dia pura-pura kesakitan dan terhuyung-huyung ke
belakang.
Thio Ki dan
Kui Lok tidak peduli. Mereka mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai
pemuda itu melarikan diri.
Beng San
pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil
berteriak-teriak, ”Jangan pukul... jangan pukul!"
"Ki-ko
dan Lok-ko, siapa yang kalian pukuli itu?" Tiba-tiba Kwa Hong sudah
berdiri di situ. Wajah dara ini agak pucat, apa lagi ketika ia melihat bahwa di
tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang pedang terhunus.
Memang
ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan kirinya
sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang. Kedatangan Kwa Hong
itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang
pemuda itu mengadu nyawa. Maka pada waktu melihat mereka memegang pedang, ia
menjadi khawatir sekali. Hanya ia merasa terheran-heran mengapa dua orang
pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak pandai ilmu
silat.
Thio Ki dan
Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur. Setelah dua orang
pemuda yang keranjingan itu mundur, barulah Beng San berani menurunkan kedua
tangan dari mukanya. la memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya.
Dua pasang mata bertemu, dari pihak Beng San penuh kekaguman.
Sekarang dia
dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia
bayangkan. Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang beningnya
melebihi mata ikan emas, rambut yang hitam mengkilap, alis yang panjang kecil
dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil,
mulut yang manis, ah... bukan main, sekarang Kwa Hong si kuntilanak itu sudah
berubah menjadi seorang dara yang jelita. Di pihak Kwa Hong, sinar mata gadis
ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia mengenal
Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.
"Kau...
kau... ehh, si bunglon...!"
Beng San
cemberut. "Benar," katanya dingin, "dan kau si kuntilanak masih
tetap galak..."
Thio Ki dan
Kui Lok melangkah maju, hendak memukul lagi. Akan tetapi Kwa Hong yang sudah
maklum akan maksud mereka, segera mendahului.
"Aha,
Beng San. Benar-benar kaukah ini? Eh, Ki-ko dan Lok-ko, apakah kalian lupa? Dia
ini Beng San. Hi-hi-hi, benar Beng San...!" Serta merta Kwa Hong melangkah
maju dan memegang tangan Beng San, mengamat-amati wajah pemuda itu yang
seketika menjadi agak kemerahan.
"Hi-hi-hi,
kau Beng San yang bisa berubah-ubah mukamu. Benar, kau sudah menjadi... orang
sekarang. Ahh, hampir aku pangling kalau tidak melihat matamu. Kau dari mana?
Hendak ke mana? Ada keperluan apa datang ke sini?"
Bingung juga
Beng San dihujani petanyaan dari mulut yang manis itu. "Aku... aku sengaja
datang, mendengar bahwa Hoa-san-pai akan mengadakan perayaan seratus tahun. Aku
datang sampai ke sini, lalu melihat dua saudara Thio dan Kui bertari pedang.
Mereka agaknya tidak mengenalku, dan menyangka aku orang jahat maka aku hendak
dipukuli. Baiknya kau keburu datang... ehhh, Nona Hong...”
Kwa Hong
tertawa. Lega bahwa dua orang suheng-nya itu tidak jadi mengadu nyawa. la
seorang yang cerdik sekali. Tentu dua orang suheng itu tadinya memang sudah
hendak bertempur, buktinya sudah mencabut pedang. Kalau hanya menghadapi
seorang lemah seperti Beng San, tidak mungkin kedua jago muda itu menghunus
pedang. Tentu selagi mereka hendak bertempur, tiba-tiba datang Beng San, kemudian
membuat mereka marah dan memukulinya.
"Bagus
sekali kau datang, Beng San. Apakah kau sudah bertemu dengan ayah? Dengan
sukong? Mereka tentu terheran-heran melihat kau datang. Baik sekali kau mau
datang, jadi tidak melupakan hubungan lama." Dengan ramah-tamah Kwa Hong
bicara.
Dua orang
kakak seperguruannya memandang dengan hati penuh cemburu dan iri hati. Tak
pernah Kwa Hong memperlihatkan sikap demikian manis terhadap mereka.
"Ki-ko
dan Lok-ko, masa kalian tidak mengenalnya. Lihat itu sepasang matanya, mana ada
orang lain bermata seperti dia? Mestinya kalian mengenalnya dan tidak
memukulnya. Dia jauh-jauh sudah datang untuk menghadiri perayaan, menjadi
seorang tamu, masa harus dipukuli? Kalian benar-benar sembrono sekali. Apa bila
terdengar oleh ayah atau sukong, bukankah kalian mendapat marah?"

Tiba-tiba
Kwa Hong berhenti bicara karena mendengar suara kaki mendatangi, dan tidak lama
kemudian muncullah Thio Bwee, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa. Mereka bertiga
ini baru saja kembali dari tempat di mana mereka bertemu dengan Giam Kin.
Karena baru saja ada seorang pemuda membuat onar, kini melihat bahwa tiga orang
anak murid Hoa-san-pai berdiri berhadapan dengan seorang pemuda asing lagi,
segera Kwa Tin Siong menjadi curiga dan cepat menghampiri sambil memandang
tajam.
"Siapakah
saudara muda yang asing ini?" tanyanya.
Kwa Hong
lari menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja.
"Ki-ko dan Lok-ko, jangan beri tahu ayah dulu! Ayah, coba lihat baik-baik,
dan Bibi juga. Kau pun lihatlah baik-baik Enci Bwee, perhatikan dia dan coba
katakan, siapa dia ini?"
Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa memandang penuh perhatian, akan tetapi dua orang
anggota Hoa-san Sie-eng ini tak dapat mengenali pemuda tampan berbadan tegap
yang berpakaian seperti seorang pelajar itu. Terlalu banyak persoalan dan
urusan yang sangat meruwetkan pikiran, membuat mereka sama sekali tak dapat
ingat lagi kepada Beng San.
Akan tetapi
tidak demikian dengan Thio Bwee. Seperti juga Kwa Hong, gadis ini dahulu pernah
ditolong oleh Beng San. Biar pun ia tak pernah mengenangkan Beng San, namun
kiranya wajah pemuda ini tak dapat ia lupakan begitu saja.
"Bukankah
kau... kau saudara Beng San?" tanyanya penuh ragu karena biar pun ia masih
mengenal pemuda yang bermata tajam dan aneh ini, namun dia tetap ragu-ragu
melihat pemuda ini seperti seorang terpelajar.
la tidak
ingat bahwa Beng San yang dulu, yang berpakaian buruk itu, memang semenjak
kecil adalah seorang yang pandai baca tulis, jauh lebih pandai dari pada dia
sendiri mau pun para murid Hoa-san-pai yang lain. Karena itulah sukong-nya,
Lian Bu Tojin, sayang kepada Beng San dan dijadikan kacungnya dan diberi
pelajaran tentang kebatinan To.
Kwa Hong
tertawa. "Enci Bwee masih ingat." la memuji.
Beng San
juga tersenyum sambil menjura kepada Thio Bwee sebagai penghormatan.
"Ahh,
benar... kau Beng San...!" Kwa Tin Siong juga teringat sekarang setelah
mendengar kata-kata Thio Bwee. Juga Liem Sian Hwa teringat dan memandang kagum
ketika Beng San menjura untuk memberi hormat kepada mereka.
Kwa Tin
Siong lalu teringat akan peristiwa dahulu, ketika kedua orang saudara Bun dari
Kun-lun-pai tewas di Hoa-san-pai dan bagaimana sikap Beng San yang membela
pihak Kun-lun. Walau pun ucapan bocah ini dahulu ternyata cocok dengan
keadaannya, yakni bahwa Ngo-lian-kauw yang melakukan fitnah sehingga dua partai
besar itu bermusuhan, akan tetapi sikap bocah ini dahulu sudah mencurigakan.
Kenapa ia membela Kun-lun-pai sedangkan bocah itu mondok di Hoa-san?
"Beng
San, kau dulu yang sudah meninggalkan kami, sekarang kau datang ke sini dengan
maksud apakah?" tanya Kwa Tin Siong, suaranya membayangkan kecurigaan.
Kwa Hong
memandang ayahnya dengan kening berkerut dan dia menoleh ke arah Beng San,
pandang matanya penuh kekhawatiran. Akan tetapi pemuda itu tersenyum penuh arti
kepadanya, meminta supaya dara itu jangan khawatir. Kemudian dia menjura kepada
Kwa Tin Siong dan berkata.
"Kwa-enghiong,
mohon maaf sebanyaknya bila kedatangan saya ini merupakan gangguan terhadap
Lo-enghiong sekalian. Sesungguhnya kedatangan saya ke Hoa-san ini memiliki dua
maksud. Pertama, karena saya merasa amat rindu kepada Lian Bu Totiang dan para
Lo-enghiong sekalian, kedua kalinya, karena dalam perjalanan saya mendengar
bahwa sebentar lagi Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun, maka saya sengaja
datang hendak memberi selamat dan menonton keramaian. Betapa pun juga, saya
masih belum lupa akan kebaikan budi Lian Bu Totiang sekalian yang dulu sudah
sudi menerima saya menjadi kacung di sini." Ucapan Beng San terang sekali
amat merendahkan diri.
Dua orang
pemuda Hoa-san-pai mendengarkan sambil bersikap angkuh. Hanya bekas kacung,
perlu apa diladeni? Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mendengarkan dengan hati
senang menyaksikan sikap yang amat sopan santun dari Beng San, sedangkan Thio
Bwee dan Kwa Hong memandang dengan mata berseri. Dua orang dara ini mana bisa
melupakan ketika Beng San memanggul mereka seorang satu di kedua pundak ketika
menyeberangi rawa-rawa?
Dan sekarang
Beng San telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan tegap, bahkan bagi Kwa
Hong, di dalam lubuk hati kecilnya, dia mengakui bahwa dibandingkan dengan dua
orang suheng-nya, dalam hal ketampanan Beng San jauh lebih menang!
Dulu, dalam
pergaulannya dengan Beng San, Kwa Hong memandang Beng San sebagai seorang anak
perempuan nakal memandang seorang bocah laki-laki yang dianggapnya nakal pula.
Akan tetapi sekarang, pandang matanya adalah pandang mata seorang dara remaja
terhadap seorang jejaka. Tentu jauh berbeda.
"Bagus
sekali kalau kau masih ingat kepada kami, Beng San. Tetapi kedatanganmu agak
terlampau pagi. Perayaan baru diadakan sepekan kemudian. Biarlah sementara itu
kau berada di sini. Mari kubawa kau pergi menghadap suhu."
Beramai-ramai
mereka semua kembali ke puncak. Hanya Thio Ki beserta Kui Lok yang merasa tidak
puas. Pertama karena urusan di antara mereka belum juga diselesaikan, kedua
kalinya mereka merasa iri hati dan cemburu menyaksikan Beng San anak jembel itu
sebagai tamu, apa-lagi ketika melihat sikap Kwa Hong yang tersenyum-senyum dan
amat manis terhadap Beng San.
Beng San
dengan hati terharu melihat bahwa Lian Bu Tojin, kakek tua ketua Hoa-san-pai
yang baik hati itu sekarang kelihatan sangat tua. Mukanya berkerut-kerut tanda
bahwa di hari tuanya kakek ini menderita tekanan batin yang hebat. Beng San
dapat menduga bahwa yang menyebabkan ini semua tentulah pertentangan dengan
pihak Kun-lun-pai itu. la cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
"Totiang
yang mulia, teecu Beng San datang menghadap dan memberi hormat, semoga Totiang
selalu bahagia dan panjang usia."
Lian Bu
Tojin, ketua Hoa-san-pai, kelihatan lebih tinggi dan lebih kurus dari pada
delapan tahun yang lalu. Tongkat bambu yang butut masih selalu dipegangnya dan
tangan kirinya mengelus-elus jenggotnya yang panjang, dan yang sekarang sudah
hampir putih semua. la mengangguk-angguk dan tersenyum senang.
"Ah,
Beng San, kau mengingatkan pinto akan kejadian dahulu." la menarik napas
panjang. "Ternyata kau jauh lebih waspada dari pada pinto. Kalau saja
pinto dahulu mendengarkan omonganmu ketika kau masih kecil... ahh, kau benar,
memang Hoa-san-pai telah menjadi kotor, menanam permusuhan. Baiknya kau pergi
dari sini, kalau tidak, kiranya kau pun akan terseret." Tosu itu menarik
napas berulang-ulang dan nampaknya berduka.
Beng San
merasa kasihan sekali. "Totiang, tidak baik kalau bersedih dalam usia tua!
Teecu teringat akan ujar-ujar dalam To-tek-keng yang berbunyi: ‘Aku menderita
karena memiliki diri. Andaikan tak memiliki diri, penderitaan apa yang dapat
kualami?’ Bukankah demikian, Totiang?”
Tosu tua itu
tertawa. “Bagus! Kalimat dalam ujar-ujar nomor tiga belas! Memang demikian
adanya, Beng San. Mala petaka menimpa manusia hanya semata-mata karena manusia
selalu mementingkan diri sendiri. Karena manusia mementingkan diri pribadi maka
selalu hendak menang, selalu ingin senang sendiri, enak sendiri tanpa
mempedulikan keadaan lain orang. Ingatkah kau akan beberapa kalimat dalam
ujar-ujar nomor dua puluh tiga?"
Beng San
berpikir dan menghubungkan kalimat-kalimat dalam ujar-ujar yang dulu sudah dihafalnya
baik-baik itu dengan keadaan yang dihadapi oleh tosu in. la lalu menjawab,
"Apakah
yang Totiang maksudkan itu kalimat-kalimat yang berbunyi:
‘Angin keras
takkan berlangsung sepenuh pagi,
hujan lebat
takkan berlangsung sepenuh hari.
Siapakah
penyebab ini selat edar pada langit dan bumi?
Kalau langit
dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti,
apa lagi
seorang manusia?’
Demikian
yang teecu ingat, Totiang."
"Ha-ha-ha,
bagus sekali, Beng San. Ahh, memang kau lebih benar. Seribu kali lebih baik
mempelajari filsafat tetapi mengerti, sadar, serta menuruti inti sarinya
disesuaikan dalam hidup, dari pada mempelajari segala macam ilmu kasar seperti
ilmu silat yang akhirnya hanya mendatangkan mala petaka dan permusuhan
belaka...” Kembali dia menarik napas panjang. Kemudian wajahnya kembali berseri
ketika dia bertanya, "Bagaimana, anak yang baik, bagaimana kabarnya dengan
Lo-tong Souw Lee? Apakah jago tua yang sakti itu pun masih kuat menentang
kehendak alam?"
"Tidak
ada kekekalan di dunia ini, Totiang. Lo-tong Souw Lee sudah kembali ke tempat
asalnya, beberapa bulan yang lalu."
"Ahhh,
ke sanalah jua tujuan akhir dari hidup. Siapa kuat melawannya? Baik dia raja
mau pun jembel, semua akan berakhir sama. Pertentangan? Pertempuran
mati-matian? Yang kalah akan mati, apakah kiranya yang menang akhirnya takkan
mati juga? Menang kalah hanyalah soal sementara, kalau sudah seperti Lo-tong
Souw Lee, di mana pula letaknya kemenangan dan kekalahan? Aaahhh, kalau manusia
ingat akan hal ini..."
Beng San
merasa betapa kata-kata ini amat mendalam artinya dan dia yang sejak kecil
memperhatikan filsafat, jadi termenung. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi.
Pada saat menghadap ini, Beng San menghadap seorang diri, karena semua murid
Hoa-san-pai pun maklum bahwa tanpa diundang mereka sama sekali tidak boleh
mengganggu kakek itu.
"Kedatanganmu
ini apakah hanya untuk menengok kami?" mendadak kakek itu bertanya setelah
sadar dari lamunannya.
"Teecu
mendengar berita bahwa Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahunnya yang ke
seratus, maka teecu sengaja datang ke mari untuk memberi selamat dan juga
menonton keramaian."
"Tidak
diperingati berarti tidak menghormati kepada pendiri Hoa-san-pai. Diperingati
pasti akan memancing datangnya kekeruhan. Pada jaman yang keruh ini, setiap
peristiwa akan memancing datangnya peristiwa lain yang selalu memusingkan. Beng
San, pinto memiliki firasat bahwa dalam perayaan sepekan kemudian ini pasti
akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Pertentangan antara kami dan Kun-lun-pai
semakin menjadi-jadi, makin diperpanas oleh para anak murid kedua pihak. Aku
mendengar desas-desus bahwa Pek Gan Siansu sendiri akan datang. Baik sekali
kalau demikian, kami orang-orang tua tentu akan dapat membikin perhitungan
secara damai. Kau seorang anak yang mendalam pengertianmu, Beng San. Pinto
girang sekali kau datang, kau tinggallah di sini dan kau menjadi saksi dari
usaha kami orang-orang tua mencari jalan damai. Dengan hadirmu di sini, pinto
merasa lebih tenang."
Beng San
merasa heran sekali. Apa gerangan yang mendatangkan perasaan ini di dalam hati
Lian Bu Tojin? la merasa bangga dan juga berterima kasih sekali, karena itu
tanpa ragu-ragu dia berkata, "To-tiang, percayalah, teecu yang bodoh pasti
akan membantu dan menyokong pendirian Totiang yang mulia ini.”
"Beng
San, apakah kau sudah mewarisi kepandaian Lo-tong Souw Lee?" pertanyaan
ini tiba-tiba diajukan.
Ketika Beng
San mendongak, ia terkejut sekali melihat sepasang mata tua itu mencorong
dengan tajamnya memandang matanya penuh selidik. Celaka, pikirnya. la hendak
menyembunyikan kepandaiannya, dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong kepada
kakek ini.
"Semenjak
kecil teecu amat suka mempelajari filsafat. Selama teecu berkumpul dengan
Lo-tong Souw Lee, kiranya semua petuah dan wejangan orang tua itu telah teecu
pelajari dengan baik." Jawabannya menyimpang dan dia berpura-pura tidak
tahu menahu tentang maksud pertanyaan tadi yang tentu saja dimaksudkan
pelajaran ilmu silat.
"Kau
tidak mempelajari ilmu silat?" Sifat pertanyaan ini menggirangkan hati
Beng San. la tak usah berbohong lagi sekarang.
"Teecu
memang pernah mempelajari satu dua macam pukulan, akan tetapi tidak pantas
disebut-sebut di depan Totiang."
Kakek itu
menarik napas panjang. "Kau benar. Ilmu silat tidak patut dibicarakan,
karena pada akhirnya hanya mendatangkan keributan belaka. Andai kata
Hoa-san-pai dulu tidak mengembangkan ilmu silat, kiranya sampai sekarang pun
Hoa-san-pai takkan mempunyai musuh..."
Mulai hari
itu, Beng San diperkenankan tinggal di Hoa-san, malah mendapat kehormatan untuk
tinggal satu rumah dengan Lian Bu Tojin. Kakek ini sangat suka bercakap-cakap
dengan Beng San yang juga amat rajin. tidak melupakan pekerjaannya yang dahulu,
yaitu dia dengan tekun membersihkan tempat tinggal kakek itu, melayani segala
keperluan Lian Bu Tojin. Pada suatu hari, Lian Bu Tojin yang melihat Beng San
mencuci lantai rumahnya, menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan
berkata.
"Sayang
kau tidak suka ilmu sitat, Beng San. Kalau kau suka, pinto tentu akan merasa
senang dan lega sekali menarik kau menjadi murid pinto. Kau memenuhi
syarat-syarat untuk menjadi murid terbaik. Kau mengenal bakti, mengenal
pribudi, mengenal kesetiaan dan wawasanmu tepat, pandanganmu jauh dan luas.
Pinto benar-benar mengharapkan bantuanmu dalam menghadapi cobaan pada beberapa
hari yang akan datang ini. Kiranya pandanganmu dan kata-katamu akan dapat
membantu banyak untuk meredakan semua ketegangan.”
"Akan
teecu coba sekuat tenaga teecu, Totiang," demikian jawaban Beng San,
jawaban yang keluar dari lubuk hatinya.
Sementara
itu, sikap Thio Ki dan Kui Lok masih tetap angkuh sekali terhadap Beng San. Kwa
Hong dan Thio Bwee bersikap manis, akan tetapi juga kelihatan memandang rendah.
Tentu hal ini karena mereka berempat merasa menjadi murid-murid Hoa-san-pai
yang mempunyai ilmu silat tinggi, sedangkan Beng San itu pemuda apakah?
Lemah dan
‘hanya pandai membersihkan lantai’, kata Thio Ki. Bahkan Kui Lok pernah
menyatakan kekhawatirannya bahwa Beng San yang pandai menjilat-jilat itu kelak
akan membujuk Lian Bu Tojin untuk menurunkan ilmunya.
"Ha-ha-ha,
andai kata dia pandai menjilat dan berhasil membujuk, tanpa memiliki dasar ilmu
silat, mana dia bisa berlatih?"
Kadang-kadang
kalau Beng San berada di taman, keempat orang murid Hoa-san-pai ini berlatih
silat dengan sungguh-sungguh. Memang hebat ilmu pedang mereka, setiap orang
memiliki gaya masing-masing dan keampuhan tersendiri. Agaknya mereka sengaja
ingin memamerkan kepandaian mereka di depan Beng San dan pemuda ini cukup
cerdik untuk memperlihatkan muka kagum. Malah pada suatu hari, setelah melihat
Thio Ki dan Kui Lok bermain pedang, dia berkata.
"Aduh...
aduh, sampai silau mataku, pening kepalaku... tarian pedang saudara Thio dan
saudara Kui hebat bukan main! Hebat, seperti kilat menyambar-nyambar!"
Thio Ki dan
Kui Lok girang juga mendengar pujian ini. Biar pun mereka kadang-kadang masih
merasa iri hati dan cemburu melihat sikap Kwa Hong yang manis terhadap Beng
San, namun mereka tidak berani memukuli lagi karena Kwa Hong mengancam
demikian.
"Kalau
kalian berani mengganggu Beng San lagi, aku akan melaporkan kepada sukong.
Kalian tahu, sukong amat sayang kepadanya!"
Bangunan
darurat yang didirikan oleh para tosu Hoa-san-pai sudah hampir selesai. Waktu
yang ditentukan kurang dua hari lagi. Beng San selalu turun tangan membantu
para tosu sehingga para tosu juga merasa suka kepada pemuda yang sopan,
merendah dan ringan tangan ini. Sore hari itu sebelum gelap bulan sudah muncul,
merupakan bola merah yang amat besar dan indah. Beng San baru saja mandi
setelah sehari sibuk membantu para tosu menghias halaman depan.
"Beng
San, mengapa kau sembunyi saja?" tiba-tiba dia mendengar suara. Ternyata
Kwa Hong yang datang, lalu gadis ini bisik-bisik, "Di mana sukong?"
Gadis ini memang paling takut terhadap Lian Bu Tojin.
"Totiang
berada di dalam, sedang siulian," bisik Beng San kembali.
Kwa Hong
menaruh jari di depan bibirnya, lalu memberi isyarat supaya Beng San keluar.
Setibanya di luar ia berkata, "Beng San, semenjak datang kau sibuk dengan
sukong atau dengan para supek menghias puncak. Kau sama sekali tidak peduli
kepadaku. Kenapa?"
Beng San
tersenyum. la lalu menatap wajah yang hebat itu, wajah yang sekarang agak
cemberut memandang kepadanya, sepasang mata yang bening bercahaya memandang
penuh selidik.
"Nona
Hong..."
"Apa
itu nona-nonaan segala? Sudah kukatakan beberapa kali, aku memanggil kau Beng
San saja, kau pun tidak boleh pakai nona-nonaan segala macam!"
"Habis,
bagaimana?"
"Semua
orang memanggil aku Hong Hong, kau pun harus begitu."
”Baiklah Hong
Hong... tentang pertanyaanmu tadi, sebagai tamu tentu saja aku harus melayani
totiang dan membantu para tosu di sini. Tentang kau... bukankah kau sudah ada
tiga orang teman baik? Aku... aku bodoh dan lemah, mana kau suka bicara dengan
aku?"
"Rendah
hati! Selalu rendah hati, ke mana kenakalanmu yang dulu? Aku lebih suka kau
seperti dulu. Berani dan sombong! Eh, Beng San, tahukah kau?" Gadis itu
mendekat dan bicaranya bisik-bisik, "Menghadapi perayaan seratus tahunan
ini, sukong dan ayah telah menganjurkan kami semua ciak-jai (makan sayur
pantang barang berjiwa). Wah, setengah mati aku. Harus satu bulan penuh
ciak-jai, mana aku kuat? Tadi aku melihat di sana... ada kelinci gemuk sekali.
Hayo kau temani aku ke sana, aku yang tangkap kelinci, kau yang memanggangnya,
aku yang makan."
Menghadapi
seorang dara seperti ini, mana bisa orang bersikap dingin dan pendiam? Demikian
pun Beng San. Timbul kenakalannya yang dahulu. Kalau dituruti saja gadis ini,
bisa-bisa dia disuruh menggunduli kepalanya sendiri!
"Enaknya
kau ini! Kalau kau ingin makan daging, pergi kau tangkap sendiri, kau masak
sendiri. Sesudah matang, barulah kau panggil aku dan beri bagian. Sebagai tamu
sudah sepantasnya aku menerima jamuanmu."
"Eh,
banyak bantahan, bodoh kau! Bukannya karena aku tidak bisa memanggang sendiri.
Aku minta bantuanmu karena kalau sampai ketahuan sukong, aku tidak akan
mendapat marah. Bukankah kau yang memanggang daging dan bukan aku? Kau
tolonglah aku, aku sudah kemecer (ingin sekali)...!"
Beng San
tersenyum menggoda "Kalau aku tidak mau...?"
Mulut yang
manis itu cemberut. "Kalau tak mau, aku akan maki kau... bung..." la
berhenti dan tidak melanjutkan makiannya. Beng San tahu bahwa dia akan dimaki
bunglon, maka dia tertawa.
"Nona...
ehh, Adik Hong. Kau ini aneh. Punya teman baik tiga orang di sini, kenapa tidak
mengajak mereka? Kenapa kau mengajak aku bersekongkol. Ajaklah mereka bertiga
itu."
"Huh,
kau tahu apa? Mereka bertiga itu tidak mempunyai nyali."
"Tidak
punya nyali? Apa maksudmu?"
"Mana
mereka berani untuk melanggar larangan sukong? Hayolah, kau jangan putar-putar
omongan. Kau mau atau tidak?"
Tentu saja
tidak mungkin bilang ‘tidak mau’ terhadap desakan seorang dara seperti Kwa
Hong.
"Baiklah...
baiklah..." Beng San berkata dan serentak Kwa Hong memegang lengannya
terus menariknya dan mengajaknya lari cepat sekali.
"Ehh...
ehh... bagaimana ini... ihh, Nona... ehh, Hong Hong, aku jatuh nanti..."
Beng San berteriak-tenak lirih.
"Cepat
sedikit kenapa sih? Kau ini laki-laki atau perempuan?"
Jantung Beng
San berdebar. Teringat dia akan gadis baju hijau bernama Eng. Kenapa sama benar
pendapat Eng dan Hong? Eng dahulu juga bertanya seperti itu.
"Kau
lihat saja sendiri. Aku ini laki-laki atau perempuan?" balasnya seperti
dulu pula ketika dia menjawab pertanyaan Eng.
Gadis baju
hijau itu dahulu mengatakan bahwa dia bukan laki-laki bukan perempuan, tapi
banci. Apa yang akan dikatakan Kwa Hong?
Kwa Hong
tertawa, lalu membetot lagi tangan Beng San diajak lari melalui tempat yang
tersembunyi. "Tentu saja kau laki-laki, tapi laki-laki yang lemah melebihi
perempuan."
"Kau
tidak suka? Kau kecewa melihat aku lemah seperti perempuan?"
"Tidak...
tidak...! Aku malah suka melihat kau lemah seperti ini. Laki-laki yang memiliki
kepandaian selalu banyak tingkah, berlagak pandai dan gagah sendiri. Cih,
menjemukan malah. Kalau kau berkepandaian tentu kau pun akan berubah tingkahmu,
tentu berlagak dan sombong seperti... seperti..."
"Seperti
Kui Lok dan Thio Ki?" Beng San menyambung.
Kwa Hong
melepaskan tangannya. Kini mereka berdiri berhadapan di bawah sinar bulan
purnama, saling pandang.
"Kenapa
kau berkata begitu?" tuntut Kwa Hong.
"Mudah
saja. Kau hanya melihat dua orang itu di sini, tentu merekalah yang kau jadikan
perbandingan. Akan tetapi kau keliru, Adik Hong yang manis. Banyak di dunia ini
laki-laki berkepandaian yang tidak sombong seperti mereka."
"Coba
ulangi lagi..."
"Ulangi
apa?"
"Sebutanmu
terhadapku tadi..."
"Adik
Hong yang manis?"
Kwa Hong
tertawa girang, matanya berseri memandang kepada Beng San. Pemuda ini merasa
kagum dan heran akan kepolosan hati gadis ini. Masih seperti kanak-kanak saja,
begitu girang kalau dipuji. Ia tidak ingat sama sekali betapa Kwa Hong tidak
senang, malah nampak marah dan bosan ketika dipuji-puji oleh Kui Lok dan Thio
Ki. Kini gadis itu tertawa-tawa memandang padanya, dengan mukanya yang menjadi
merah dan matanya yang bersinar-sinar.
"Beng
San, tidak bohongkah kau?"
"Bohong
tentang apa?"
"Bahwa
aku manis... betulkah itu?"
Beng San
merasa geli. Wanita memang amat aneh, kadang-kadang seperti kanak-kanak,
sewaktu-waktu malah seperti kaum ibu. "Tentu saja kau manis, kau cantik
sekali, Hong Hong. Ketika melihatmu, hampir aku tidak mengenalmu lagi."
"Kau
dulu bilang aku seperti kuntilanak...”
Beng San
tertawa ditahan. "Habis, kau pun memaki aku seperti bunglon sih. Apa
mukaku benar-benar seperti bunglon? Hayo katakan!"
Kwa Hong
berhenti melangkah, menoleh dan memandang kepada Beng San.
"Tidak,
dulu memang kau buruk sekali, lebih buruk dari pada seekor bunglon! Akan tetapi
sekarang... hemmm, jika saja kau pandai silat, kiranya kau lebih gagah dan
ganteng dari pada Lok-ko atau pun Ki-ko.”
Muka Beng
San menjadi merah juga menerima pujian yang begini terus terang dari Kwa Hong.
Gadis ini memang polos dan jujur bukan main. Mereka berlari lagi.
”Hayo
cepatan sedikit, takut kemalaman," kata Kwa Hong sambil mempercepat
larinya.
”Nah, itu
dia...”
Mata Kwa
Hong yang tajam sudah melihat beberapa ekor kelinci berlari-larian menyusup
rumpun ilalang. Cepat ia mengejar. Akan tetapi binatang-binatang itu meski pun
kakinya pendek-pendek, ternyata dapat berlari cepat dan gesit sekali. Ditubruk
sana menyusup sini, dicegat sini lari ke sana. Sambil tertawa-tawa Kwa Hong
seperti anak kecil mengejar-ngejar kelinci dan memilih yang paling gemuk.
Beng San
menjadi gembira juga melihat ini. Timbul sifat kanak-kanaknya dan dia pun ikut
tertawa-tawa serta mengejar ke sana-sini. Tetapi kelinci yang paling gemuk lari
ke tengah hutan, dikejar Kwa Hong. Beng San juga mengejarnya. Kelinci itu
memang amat gemuk lagi pula masih muda dan bulunya putih bersih. Tentu enak
lunak dan sedap dagingnya.
Di bawah
sebatang pohon besar Kwa Hong berhasil menangkap kelinci, dipegang pada dua
telinganya. Gadis itu tertawa-tawa gembira, sambil tangannya memegangi binatang
yang meronta-ronta itu.
"Nah,
akhirnya dapat yang gemuk ini. Beng San, nih kau bawa dan kau yang bertugas
menyembelih dan memanggangnya!”
Sambil
tertawa Beng San menerima kelinci itu. Tiba-tiba terdengar auman keras sekali
sampai bumi yang mereka pijak seakan bergetar, daun-daun pohon bergoyang-goyang
dan yang kering rontok berhamburan. Kwa Hong menjadi pucat dan segera mencabut
pedangnya.
"Beng
San... cepat kau panjat pohon ini," la mendorong-dorong tubuh Beng San
arah batang pohon, dia sendiri menjaga keselamatan Beng San dengan pedang di
tangan.
”Kenapa aku
mesti memanjat pohon?"
"Rewel
kau! Ada harimau... biar aku melawannya, tetapi kau... kau harus memanjat
pohon. Susah kalau melawan dan sekaligus melindungimu..." Gadis itu
berbisik, matanya tetap memandang ke arah gerombolan alang-alang yang sudah
mulai bergerak-gerak.
Beng San
tersenyum geli dan juga kagum disertai terima kasih. Betapa pun galaknya, gadis
ini ternyata berhati baik terhadapnya. Seorang diri hendak menghadapi harimau,
sedangkan dia disuruh menyelamatkan diri di atas pohon! Gadis mana segagah ini?
Karena Kwa
Hong sedang mencurahkan perhatiannya ke arah gerombolan alang-alang, gadis ini
tidak melihat betapa dengan amat mudahnya, sambil membawa kelinci itu, Beng San
sebentar saja sudah duduk di atas dahan pohon yang tinggi. Dugaan Kwa Hong
segera terbukti. Seekor harimau perlahan-lahan muncul dari belakang gerombolan
alang-alang itu. Beng San sampai terkejut melihatnya. Harimau yang besar
sekali, sebesar anak sapi. Kepalanya besar, matanya sipit berkilauan, taringnya
sengaja diperlihatkan dan kulitnya loreng-loreng agak putih.
"Hati-hatilah
kau... Hong-moi (adik Hong)...!" kata-kata ini keluar dari hati Beng San.
Pemuda ini
belum pernah menghadapi seekor harimau yang kelihatan begitu mengerikan, tentu
saja dia menjadi gelisah sekali. Biar pun dia sudah maklum bahwa dirinya memiliki
bekal ilmu yang tinggi dan tenaga yang hebat, namun karena belum pernah
berhadapan dengan binatang buas sebesar itu, dia merasa khawatir akan
keselamatan Kwa Hong.
Kwa Hong
mengangkat tangan kiri ke arah Beng San dengan maksud supaya pemuda itu tenang
dan jangan khawatir. Hatinya lega mendengar suara Beng San dari atas, tanda
bahwa pemuda itu sudah berada di atas pohon. Akan tetapi, agaknya gerakan
tangan kirinya itu menjadi isyarat bagi sang harimau untuk bergerak. Dengan
suara geraman hebat, tubuhnya yang tadi agak mendekam sekarang meloncat tinggi
menerkam ke arah Kwa Hong dengan tenaga yang dahsyat.
”Awas...!”
Beng San berseru, seluruh urat di tubuhnya menegang.
Dia sudah
siap dengan kelinci di tangan untuk turun tangan menolong seandainya gadis itu
terancam bahaya. Akan tetapi, lega hatinya ketika dia melihat betapa dengan
gerakan yang amat lincah gadis itu sudah dapat meloncat ke samping dan tubuh
harimau yang besar itu lewat cepat menubruk tempat kosong. Pedang gadis itu
berkelebat, tapi meleset tidak dapat menusuk perut harimau karena ekor harimau
yang panjang itu menyabet dan menangkis!
Dengan
geraman mengerikan harimau itu sudah membalik dan kembali menubruk, lebih
dahsyat dari pada tadi. Akan tetapi, begitu melihat gerakan Kwa Hong tadi, Beng
San lantas lenyap kekhawatirannya. Sekarang dia malah memandang kagum. Dia
mendapat kenyataan bahwa gerakan gadis ini benar-benar lincah dan cepat sekali.
Dari
gerakan-gerakan itu dia bisa mendapat kenyataan bahwa kepandaian Kwa Hong tidak
kalah oleh Thio Bwee mau pun Kui Lok dan Thio Ki. Namun, walau telah diserang
empat lima kali, belum juga Kwa Hong mampu menusuk harimau itu. Tusukannya
selalu meleset saking cepatnya harimau itu mengelak, atau menangkis dengan
cakar atau pun ekornya.
"Bacok
kaki belakangnya...!" Beng San yang mulai khawatir lagi memberi nasihat.
Harimau
melompat lagi. Gadis itu yang agaknya sadar akan akal yang diteriakkan Beng
San, tidak meloncat ke pinggir untuk mengelak seperti tadi, malah menerobos ke
depan, ke bawah tubuh harimau yang sedang melompat tinggi menubruknya.
Kemudian, sebelum tubuh harimau tiba di tanah, gadis ini sudah menggerakkan
kaki membalik, pedangnya berkelebat dan harimau itu roboh dengan paha belakang
sebelah kanan robek oleh sabetan pedang!
la
menggereng, mencoba untuk merangsek lagi, tapi karena luka itu gerakannya
menjadi kurang cepat. Dengan mudah Kwa Hong mengelak dan mengirimkan
bacokan-bacokan bertubi-tubi ke arah kedua kaki belakang.
Setelah
binatang buas itu roboh tak berdaya karena dua kaki belakangnya hampir putus,
dengan mudahnya Kwa Hong menusukkan leher dan perutnya. Harimau itu
mengeluarkan auman terakhir, tubuhnya berkelojotan lalu diam tak bergerak lagi.
la mati mandi darah di depan kedua kaki dara perkasa itu!
Beng San
melorot turun, lalu bertepuk tangan. "Hebat... hebat... kau gagah sekali,
Hong Hong..."
"Kau
tadi menyebutku Hong-moi..."
Beng San
mengingat-ingat. Betul saja, dalam kekhawatirannya tadi dia sudah menyebut adik
Hong kepada gadis itu. Wajahnya langsung memerah.
"Memang
aku lebih tua, sudah pantas menyebutmu Hong-moi. Boleh, kan?"
"Tentu
saja boleh. Kau malah sudah berjasa. Kalau tidak kau ingatkan untuk menyerang
kaki belakangnya, agaknya akan lama untuk dapat merobohkannya. Ehhh, mana
kelinci tadi?"
Beng San mengambil
kelinci yang tadi dikempitnya di antara kedua pahanya ketika dia bertepuk
tangan. Gadis itu tertawa dan membersihkan pedang pada bulu harimau.
"Hayo
kita pulang, sudah hampir gelap dan perutku makin lapar saja oleh perkelahian
tadi."
"Bangkai
harimau itu kan dagingnya enak sekali dan dapat menambah kuat tubuh. Pula,
kulitnya juga indah sekali, sayang kalau dibiarkan saja membusuk di sini."
"Bawalah
kalau kau mau. Tapi... terlalu banyak daging itu, tidak akan habis. Kalau
sukong melihatnya, bukankah akan terbuka rahasiaku?"
"Jangan
khawatir, kau yang membunuhnya karena diserang harimau, aku yang makan
dagingnya."
"Dan
aku akan mendapat bagian dengan diam-diam." Kwa Hong tertawa-tawa.
"Kau amat cerdik, Beng San... ehhh, tidak enak juga kalau kau menyebutku
adik tapi aku menyebut namamu begitu saja. Kau bilang lebih tua, sebetulnya
berapa sih usiamu? Aku sudah delapan belas tahun!"
Beng San
tertawa. "Sedikitnya aku dua tahun lebih tua dari padamu. Kau seharusnya
menyebut kakak kepadaku."
"Hemmm,
San-ko (kakak San)... hemmm, enak juga terdengarnya. Baiklah Beng San koko, kau
bawa bangkai harimau itu. Tapi dagingnya terlalu banyak, tidak akan termakan
habis olehmu biar pun dibantu olehku secara diam-diam."
"Jangan
khawatir, selebihnya dapat kubuat dendeng. Kau punya banyak garam, kan?"
"Bisa
kucuri dari dapur para supek tukang masak!" Kwa Hong tertawa nakal.
"Aha,
kulihat kau hanya maju dalam ilmu silat, Agaknya segala petuah sukong-mu
tentang kebajikan tak pernah kau taati, buktinya kau mau nyolong garam."
Keduanya
tertawa lagi dan Beng San segera memanggul bangkai harimau itu setelah
menyerahkan kelinci kepada Kwa Hong.
"Ehh,
tidak kusangka kau kuat juga. Bangkai harimau ini sedikitnya ada lima puluh
kilo!” Kwa Hong memandang kagum.
Beng San
terhuyung-huyung, kelihatan keberatan. Baru kini ia teringat bahwa ia hendak
menyembunyikan kepandaian. Hampir saja dia lupa kalau Kwa Hong tidak memujinya.
la cepat-cepat beraksi dan kelihatan amat berat menggendong bangkai itu.
"Wah,
berat sekali..."
Kwa Hong
tersenyum, "Tapi kau kuat menggendongnya. Hemmm, kiranya kau tak begitu
lemah seperti yang kukira. Sayang kau tidak belajar ilmu silat."
"Tadi
kau bilang lebih baik aku tidak bisa silat," Beng San memperingatkan.
Kwa Hong
mengangkat kedua pundaknya, gerakan yang manis dipandang.
"Bukan
begitu maksudku... entahlah, yang tak kusuka adalah sikap angkuh dan jumawa,
menganggap diri sendiri paling pandai dan kuat. Sikap inilah yang tak kusuka,
sikap yang banyak terdapat di kalangan orang kang-ouw."
"Kau
benar," Beng San nnengangguk-angguk, "dan kiranya sikap yang demikian
itu pula, sikap mau menang sendiri dan tidak mau mengalah sedikit pun juga,
yang menimbulkan keributan-keributan dan permusuhan-permusuhan di antara
golongan yang satu dengan golongan yang lainnya."
Dua orang
muda itu makin lama merasa makin cocok. Watak Beng San yang sederhana, jujur,
sabar dan kadang-kadang dapat pula lincah jenaka dapat mengimbangi watak Kwa
Hong yang lincah, gembira dan ada kalanya keras tapi ada kalanya halus lembut
penuh kemesraan. Tidak mengherankan bahwa dalam beberapa hari itu mereka nampak
makin akrab dalam pergaulan.
Kwa Hong
yang mempunyai hati terbuka, secara terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya
bergaul dengan Beng San sehingga tentu saja dua orang pemuda Hoa-san-pai, Kui
Lok dan Thio Ki, merasa dada mereka seperti mau meledak saking panas hatinya.
Akan tetapi, Beng San adalah seorang tamu di Hoa-san-pai, lebih lagi agaknya
sukong mereka suka kepada Beng San, juga Kwa Hong selalu melindunginya. Di lain
pihak, Thio Bwee bernapas lega melihat bahwa Kwa Hong ternyata tidak menaruh
perhatian kepada Kui Lok, pemuda idaman hatinya itu….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment