Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 15
Kaki gunung
sebelah utara itu sangat indah pemandangannya. Penuh pohon berkembang dan
rumput menghijau, juga di situ mengalir sebuah sungai kecil yang amat jernih
airnya, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Kalau di pandang
dari lereng, tampak betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung ini,
menggirangkan hati Beng San yang menuruni lereng dengan cepat sekali.
Akan tetapi,
setelah tiba di kaki gunung, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Keadaannya
memang indah, akan tetapi amat menyeramkan. Begitu sunyi. Sunyi melengang
melebihi sunyinya kuburan. Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin,
kembang-kembang memenuhi ranting, rumput-rumput hijau yang tidak pernah
terinjak kaki nampak subur menggemuk, suara air gemercik seperti dendang lagu
yang tak kunjung henti. Akan tetapi, kesunyian itu adalah kesunyian yang
mencekam dan amat menyeramkan.
Tak ada
seekor pun burung kelihatan terbang, tiada seekor pun binatang kelihatan
berlari, bahkan tidak ada seekor pun jengkerik berbunyi. Tempat yang indah,
namun seakan-akan tempat yang mati, tempat yang terkutuk di mana hawa maut
selalu mengancam semua yang hidup!
Hanya
sebentar saja keseraman mencekam hati Beng San. Segera dia dapat menguasai
dirinya dan melangkah maju dengan tenang dan cepat. Dari atas tadi dia sudah
melihat ada sebuah pondok kayu di antara pohon-pohon dekat sungai dan sekarang
dia tujukan langkahnya ke arah pondok itu. Ia berjalan, makin dekat dengan
pondok makin banyaklah dia mendapatkan bukti yang menyebabkan keadaan daerah
itu demikian sunyi.
Di sepanjang
jalan, dan banyak yang sudah tertutup oleh rumput-rumput hijau, ia melihat
banyak sekali tulang-tulang berserakan, kerangka-kerangka binatang besar mau
pun kecil seakan-akan semua penghuni hutan itu telah tewas karena bencana yang
maha dahsyat. Makin dekat dengan pondok, dia mulai melihat kerangka-kerangka
manusia yang sudah kering, sudah rusak dan ada pula yang masih baru. Beng San
menekan debar jantungnya dan melangkah terus sampai ke depan pintu pondok.
Dilihatnya asap keluar dari jendela pondok itu dan tercium bau yang amat aneh
menusuk hidungnya. Bau yang luar biasa, disebut wangi namun ada bau tak
enaknya, seperti bau obat-obatan yang sedang dimasak.
"Teecu
Tan Beng San mohon untuk bertemu dengan Locianpwe keturunan Yok-ong yang
budiman.” Beng San berseru tanpa mengerahkan khikang-nya, dengan suara biasa
saja.
Terdengar
suara cekikikan di dalam pondok itu. "Hi-hi-hik! Tidak ada keturunan
Yok-ong (Raja Obat) yang budiman di sini. Yang ada Setan Obat, dan sama sekali
tidak budiman! Hi-hi-hik!"
Suara itu
menyeramkan sekali terdengar di tempat sesunyi itu.
"Teecu
mohon pertolongan locianpwe Setan Obat untuk menolong nyawa sahabat teecu yang
terluka dan terkena racun."
Kembali
terdengar suara ketawa seperti tadi, disusul kata-kata yang parau, "Tidak
ada Setan Obat penolong nyawa di sini, yang ada Setan Obat Pencabut Nyawa
(Toat-beng Yokmo)! Hi-hi-hik!"
Mendongkol
hati Beng San, juga dia merasa gelisah. Terang bahwa orang di dalam itu adalah
seorang yang mempunyai sifat suka mempermainkan nyawa orang pula.
"Kalau
begitu, biarlah teecu mohon bertemu dengan Toat-beng Yok-mo untuk bicara."
Pintu pondok
yang tertutup tiba-tiba terbuka mengeluarkan suara berderit, dan seorang kakek
bongkok berkepala botak keluar sambil membawa sebuah panci yang mengebulkan
uap. Panci itu dari besi dan di bawahnya sampai merah membara, akan tetapi
kakek itu memegang panci begitu saja, padahal dapat dibayangkan betapa
panasnya. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya kakek buruk rupa
ini. Matanya yang besar sebelah, sebelah lagi sipit seperti meram, memandang
kepada Beng San yang masih terus berdiri di depan pintu sambil memondong tubuh
Bun Lim Kwi yang pingsan.
"Hi-hi-hi,
orang muda nekat. Sudah tahu aku Setan Obat Pencabut Nyawa, masih nekat hendak
bertemu. Apakah kau mau menyerahkan jantungmu dan jantung temanmu yang sudah
hampir mati karena racun itu untuk kutambahkan ke dalam panci ini?"
Dia
menggerak-gerakkan panci sehingga isinya berlompatan ke atas. Beng San bergidik
ketika melihat isi panci itu adalah potongan-potongan daging berwarna merah
kebiruan. Benarkah itu jantung-jantung manusia?
"Toat-beng
Yok-mo locianpwe, aku datang ke sini untuk mohon pertolonganmu mengobati
temanku yang sakit ini," kata Beng San.
"Goblok!
Siapa mau mengobati? Aku hendak mengambil jantungmu dan jantung temanmu itu.
Aku mau lihat siapa berani menghalangi Setan Obat Pencabut Nyawa!" kata
orang itu sambil tertawa-tawa.
Beng San
memutar otaknya. Jelas sudah baginya bahwa orang ini apa bila bukan orang yang
luar biasa anehnya, tentulah seorang yang miring otaknya. Kalau melihat sikap
dan mendengar kata-katanya, tentu orang ini sombong bukan main dan selalu mengandalkan
kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk memanaskan
hatinya.
"Hemmm,
kiranya aku salah alamat. Ternyata kau bukanlah Yok-mo seperti yang sudah
didengung-dengungkan orang kang-ouw. Kau hanyalah tukang membunuh, sama sekali
tak becus mengobati orang. Janganlah kau pura-pura menggunakan dan memalsu nama
keturunan Yok-ong. Tak tahu malu.”
Mata kanan
yang lebar itu makin terbelalak sedangkan yang kiri semakin sipit. Mulutnya
menyeringai memperlihatkan gigi yang tinggal tiga buah atas bawah itu.
"Orang
muda, aku memang keturunan Yok-ong dan akulah Toat-beng Yok-mo. Mengobati orang
ini saja apa susahnya? Dia terkena racun kelabang yang digunakan orang di ujung
senjata rahasia. Tentu dia sudah terluka di punggungnya. Kemudian..." la
mengarahkan pandangnya kepada muka Bun Lim Kwi, “kemudian masih ditambah lagi
dengan racun Ular Merah, hebat sekali, tidak saja racun itu memasuki perutnya,
juga memasuki seluruh tubuh melalui luka. Hihh, tiga hari lagi dia bakal
mampus!"
Sampai
ternganga mulut Beng San mendengarkan kata-kata yang cocok ini. Dia mulai
percaya bahwa orang di depannya ini benar-benar seorang ahli dalam pengobatan.
Sekali melihat saja dia sudah dapat membuka rahasia penyakit yang diderita Lim
Kwi. Tetapi pemuda yang cerdik ini sengaja memperlihatkan senyum mengejek.
"Ahh,
kau hanya ngawur saja. Semua orang juga bisa bicara sesukanya tentang penyakit
orang. Tetapi aku tetap tidak percaya kalau kau dapat mengobati penyakitnya.
Apa lagi penyakit karena keracunan begini hebat, sedangkan orang masuk angin
biasa saja aku sangsi apakah kau bisa mengobati sampai sembuh!"
Kakek
bongkok ini membanting-banting kaki, marah sekali. "Anak setan! Jangankan
baru sakit macam ini, orang mati pun aku bisa bikin hidup lagi!"
"Uhh,
siapa percaya omongan ini? Jika kau bisa buktikan, bisa menyembuhkan temanku
ini, aku mau berlutut padamu dan mengakui bahwa kau benar-benar keturunan
Yok-ong yang pandai seperti dewa. Tetapi kalau kau tidak becus, kau tidak lain
hanyalah penjual lagak yang kosong melompong belaka.”
"Bawa
dia masuk, bawa dia masuk... buka matamu dan lihat bagaimana dalam waktu
singkat Toat-beng Yok-mo menyembuhkannya sama sekali!" kakek itu membentak
sambil terbongkok-bongkok masuk ke dalam pondoknya membawa panci itu.
Diam-diam
Beng San tersenyum girang. Akalnya sudah berhasil. Segera dia melangkah masuk
ke dalam pondok tanpa ragu-ragu lagi. Pondok itu ternyata cukup lega dan terang
karena bagian atapnya dapat dibuka sehingga cahaya matahari dapat menyinar
masuk. Akan tetapi kotor sekali, penuh dengan tulang belulang, daun kering,
akar-akaran yang bertumpuk di meja, di lantai dan di semua tempat. Di pojok
terdapat sebuah dipan bambu.
"Letakkan
di sini!"
Beng San
menurunkan tubuh Lim Kwi di atas dipan itu dan berdiri agak menjauhi untuk
memberi kesempatan kepada orang aneh itu memeriksa.
Akan tetapi,
kakek itu sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Dia bahkan langsung membuka
pakaian atas pemuda itu dengan cara kasar, yakni merobek baju yang dipakai Lim
Kwi begitu saja seperti orang merobek kertas tipis. Dengan kasar juga kakek ini
lalu membalikkan tubuh Lim Kwi sehingga tubuh pemuda itu menelungkup.
Sebentar dia
memeriksa luka-luka di punggung, kemudian mengeluarkan satu bungkusan dari saku
bajunya yang lebar. Ternyata itu adalah bungkusan jarum-jarum panjang terbuat
dari emas dan perak. Setelah memandang sejenak penuh perhatian, kakek ini
kemudian menusuk-nusukkan tujuh belas batang jarum di leher, kedua pundak
sepanjang punggung dan di antara tulang iga.
Beng San
memandang penuh perhatian. Dia kagum bukan main melihat cara kakek itu menusuk-nusukkan
jarum yang demikian cepat, bertenaga dan tepat mengenai jalan-jalan darah
tertentu.
Kakek
bongkok itu melangkah tiga tindak ke belakang, kemudian dari situ dia melompat
ke depan dan menggunakan jari telunjuknya menotok belakang kepala Lim Kwi.
Dengan gerakan cepat sekali kakek itu melangkah mundur lagi, melompat menotok
lagi lain jalan darah berkali-kali. Makin lama makin cepat dia bergerak
sehingga dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menotok hampir semua jalan
darah yang tidak tertusuk jarum-jarum emas dan perak di bagian belakang tubuh
Lim Kwi.
Sesudah
melakukan totokan-totokan selama setengah jam, dia terengah-engah serta dari
ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih. Dengan lemas dia lalu mencabuti
jarum-jarum itu, lalu membalikkan tubuh Lim Kwi hingga telentang. Beng San
berdecak kagum. Sekarang muka Lim Kwi sudah mulai merah, napasnya tidak lemah
seperti tadi.
Setelah
kakek bongkok itu beristirahat sejenak, kembali ia menggunakan jarum-jarumnya
menusuk-nusuk dan menancap-nancapkan seperti tadi di tujuh belas tempat, akan
tetapi kini di bagian depan badan Lim Kwi. Seperti tadi pula, dia menotok
terus-menerus dengan gerakan cepat.
Setelah
selesai dan mencabuti semua jarum, kakek itu terengah-engah menghadapi Beng
San, lalu berkata parau, "Hi-hi-hik, kau lihat? Penyakitnya sudah sembuh,
sebentar lagi semua racun di badannya akan keluar!"
Beng San
masih belum percaya, akan tetapi tiba-tiba terdengar Lim Kwi mengeluh dan
muntah-muntah. Yang dimuntahkan hanya cairan racun dan seluruh tubuhnya
seolah-olah mengebul panas. Anehnya, keringat yang keluar dari tubuhnya
berwarna agak biru, itulah racun yang keluar bersama keringatnya!
Dengan
tenang kakek itu lalu menjejalkan tiga buah butir pil hijau ke dalam mulut Lim
Kwi, mendorongnya dengan jari telunjuknya sehingga tiga butir pil itu terus
memasuki perut. Tidak sampai satu jam kemudian, Lim Kwi sudah tenang, mukanya
merah dan membuka matanya! la nampak heran sekali, akan tetapi ketika hendak
bangun duduk, dia pusing dan meramkan mata.
"Saudara
Bun Lim Kwi, kau rebahlah saja dulu. Baru saja kau disembuhkan oleh tabib dewa
Toat-beng Yok-mo keturunan Yok-ong!" seru Beng San girang bukan main. Akan
tetapi kegirangannya lenyap seketika terganti kekagetan ketika melihat kakek
itu sudah memegang sebatang pedang yang tajam dan runcing sambil tertawa-tawa.
"Ehh,
ehh... kau mau apa dengan pedang itu?" Beng San bertanya dan merasa seram.
"Hi-hi-hik!
Toat-beng Yok-mo namaku. Setan Obat Pencabut Nyawa Aku mengobati untuk
bertanding dengan penyakit, bukannya untuk menyembuhkan orang. Siapa yang
sembuh oleh obatku, harus kucabut nyawanya dengan pedangku. Tadi aku mengobati,
sekarang aku mencabut nyawa, hi-hi-hik, nyawamu dan nyawa dia."
"Kakek
yang baik, mengapa begitu? Mengobati orang sakit artinya memberi pertolongan
dan hal ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini,
harus saling tolong-menolong! Ada pun urusan mencabut nyawa, kurasa ini
bukanlah urusan manusia. Hanya Thian yang menitahkan Giam-lo-ong (Raja Maut)
yang mempunyai hak mencabut nyawa manusia. Kau sudah menolong temanku dari
bahaya maut, kenapa malah hendak membunuhnya sekarang?"
"Hi-hi-hik,
belum pernah ada orang yang kusembuhkan lalu kubiarkan tetap hidup. Tidak
terkecuali dia ini."
"Janganlah,
Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kau bunuh dia."
"Hi-hi-hik!
Aneh, aneh... tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia
ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan
baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya
dan jantungmu harus kau berikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum
pernah aku mendengar orang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah
betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?"
Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San.
Beng San
tenang-tenang saja. Ia tersenyum dan berkata, "Ucapan seorang laki-laki
tidak akan ditarik kembali, Locianpwe. Aku sudah bersusah payah berusaha
menolong dia ini, maka tak akan kulakukan setengah-setengah. Kalau memang kau
membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan
melepaskan dan tidak lagi mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil
jantungku, yaitu kalau kau bisa."
Ucapan
terakhir dari Beng San ini rupa-rupanya tidak diperhatikan oleh kakek yang
sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu. "Baik, boleh... aku berjanji
tak akan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang
segar kepadaku!"
"Kau
ambillah sendiri kalau dapat!" jawab Beng San, dan seluruh urat syaraf di
tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan kakek ini dengan seluruh tenaga dan
kemampuan yang dimilikinya.
"Hi-hi-hik,
orang muda yang aneh, yang sinting..."
Pedangnya
diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Mendadak Bun Lim Kwi meloncat
dari dipan itu dan menyerang kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.
"Siluman
tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!"
Dari
gerakan-gerakannya, ternyata pemuda Kun-lun-pai ini sudah sembuh sama sekali.
Serangannya hebat bukan main dan terpaksa kakek bongkok itu meloncat mundur
sambil terkekeh-kekeh tertawa.
"Hi-hi-hik,
bukankah manjur sekali pengobatanku?"
"Saudara
Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, tadi telah mengobatimu,"
kata Beng San mencegah.
"Aku
tahu, tapi dia siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan
saja!"
"Hi-hi-hik,
anak Kun-lun-pai, hi-hi-hik. Biarlah aku mencoba sampai di mana kehebatan
latihan dari Pek Gan Siansu si mata putih!" Sambil berkata begitu kakek
ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar. "Marilah, mari sini orang
muda Kun-lun-pai, boleh kau coba-coba, hi-hi-hik!"
Bun Lim Kwi
yang tadi telah sadar dan melihat betapa kakek ini hendak membunuh Beng San,
segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani kakek
aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.
"Siluman
jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Jika kau hendak membunuh dan
mengambil jantungku, kau cobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan
kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu. Saudara ini tidak
pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?"
"Hi-hi-hik,
orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku?
Hi-hi-hik, kau sambutlah ini."
Biar pun
bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba kakek
itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget sekali,
akan tetapi sebagai murid Kun-lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat
mengelak kemudian membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Beng San
memandang cemas. la maklum bahwa biar pun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya
tak akan mungkin dapat menangkan kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli
Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan
ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak.
Bingung dia
menghadapi peristiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan
bagaimanakah dia harus bertindak. Dia memang harus menolong Lim Kwi seperti
pernah dulu dipesankan oleh mendiang ayah pemuda itu, akan tetapi dengan
melawan kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang
tidak bijaksana?
Kakek itu
betapa pun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa
kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi dari cengkeraman maut. Kalau sekarang
mereka melawan kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tak
ingat akan budi kebaikan orang?
Tapi
sebaliknya kalau dipikirkan lagi, kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi
justru melawan untuk menolongnya. Karena itu, apakah sekarang dia harus diam
saja melihat Lim Kwi terdesak? Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali.
Pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apa bila keselamatan
pemuda itu terancam.
Bun Lim Kwi
benar-benar telah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan taruhan
nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan
Beng San kepadanya dan dia pun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah
dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah
ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini.
Dia merasa
amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan
kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi pun kagum akan pandangan gurunya yang
sangat tepat tentang diri Beng San. Memang pemuda luar biasa. Biar pun tidak
memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur.
Maka
sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati
dalam tangan kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa
lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Iweekang yang luar biasa
besarnya sedangkan ilmu silatnya juga amat aneh.
Pertempuran
berlangsung makin hebat. Kakek itu selalu tertawa-tawa dan seakan-akan
mempermainkan Lim Kwi. Dengan rasa penasaran pemuda Kun-lun ini lalu
mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari
gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin
pukulannya terasa panas!
"Hi-hi-hik!
Inikah Pek-Iek-ciang-hoat dari Kun-lun-pai?" Kakek itu tertawa mengejek
sambil memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka.
Dua pasang
tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu,
seorang pemuda dan seorang kakek bongkok, kini mengadu tenaga Iweekang.
Sebentar
saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin
dingin. Tenaga Pek-lek Ciang-hoat yang dia miliki terasa makin lemah dan hampir
buyar. Keadaannya sangat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini
maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya,
luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetap dia mengerahkan seluruh
tenaganya dan berlaku nekat.
"Yok-mo,
jangan bunuh dia...!"
Beng San
menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, lalu
menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata, "Saudara Bun, dia
penolongmu, jangan serang dia!"
Meski hanya
merupakan dua tepukan perlahan, akan tetapi sebenarnya Beng San sudah
mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini
tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus melaju ke arah kedua lengannya.
Akibatnya hebat sekali. Dua pasang lengan yang saling tempel itu langsung
terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak.
Lim Kwi tak
dapat mempertahankan diri dan roboh terguling di atas lantai, pingsan! Tadi dia
mengerahkan tenaga Iweekang seluruhnya dan setelah secara mendadak tenaganya
tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan. Ada pun kakek
bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.
"Ayaaa...!"
seru kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main.
Pada saat
itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih
yang menyambar ke arah Toat-beng Yok-mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan
seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang
mengkilap dan langsung menyerang kakek bongkok itu.
Toat-beng
Yok-mo mengeluarkan suara gerengan keras. Hanya dengan menggulingkan tubuh di
atas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya
dari gadis itu. Gadis itu terus melanjutkan serangannya yang membuat Beng San
berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-sin Kiam-sut yang
dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya!
Ada pun
Toat-beng Yok-mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang
luar biasa, sekarang menjadi makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis
ini. Ia memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dahulu, yaitu
Song-bun-kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya itu, dia maklum bahwa
kalau Song-bun-kwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti
binatang liar, kakek ini meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya.
Gadis itu
berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan
tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang
gadis baju putih itu. Keduanya seperti terpesona.
Tadi Beng
San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang
setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang
mata yang takkan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut
itu... Bi Goat, si bocah gagu!
"Bi
Goat...?!" Beng San setengah berlari menghampiri.
Gadis itu
yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula
menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan
bahagia memegang kedua pundak gadis itu.
"Bi
Goat... benar kau Bi Goat,” katanya dengan napas memburu.
Gadis itu
tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata
yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul
leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu!
"Bi
Goat... ahh, tak dinyana kita bertemu di sini... kenapa kau begini sedih?
Kenapa? Dan kau... kau berkabung? Bi Goat, apakah yang terjadi...?" Beng
San bertanya dengan suara gemetar.
Inilah orang
yang selama ini menjadi kembang mimpinya, yang tidak pernah lepas dari ingatannya,
orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini
menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis
itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.
"Bi
Goat... anak baik, sayang... jangan menangis..."
Beng San
makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia
lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng
San. la menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini
memakai pakaian berkabung.
Seingatnya,
Bi Goat paiing suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang
berpakaian serba putih? Apakah ayahnya, Song-bun-kwi telah mati? Teringat akan
ini, dia makin sedih dan hatinya terharu. Dia memeluk gadis itu penuh kasih
sayang.
Bi Goat
mereda tangisnya, kemudian diambilnya sehelai sapu tangan putih dari saku baju
sebelah dalam dan diberikannya sapu tangan sutera putih itu kepada Beng San. Di
atas sapu tangan sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang
hitam yang disulam indah dan berbunyi:
Kau
hanyut...
sungai
membawamu pergi jauh,
entah mati
ataukah masih hidup.
Aku
berkabung untukmu...
sampai kita
bertemu kembali,
entah di
dunia ataukah di akhirat.
Membaca
tulisan ini, Beng San makin terharu. Dipeluknya Bi Goat, didekapnya kepala itu
ke dadanya, dibisikkan mulutnya ke telinganya, "Bi Goat, alangkah mulia
hatimu... ahhh, alangkah suci cinta kasihmu..."
Sampai lama
dua orang muda ini diam, kediaman penuh bahagia, menikmati kebahagiaan yang
bergelora di dalam hati masing-masing. Beng San seakan-akan lupa akan diri Bun
Lim Kwi yang masih pingsan di atas tanah.
Tiba-tiba Bi
Goat melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Beng San, lalu
tertawa-tawa dengan mata masih basah oleh air mata. Dipandangnya Beng San dari
atas sampai ke bawah, berkali-kali seperti masih belum percaya bahwa dia
betul-betul sudah bertemu dengan Beng San!
Sikap
kekanak-kanakan ini makin mengharukan hati Beng San, mengingatkan dia bahwa
gadis ini tidak dapat bicara. Akan tetapi, juga telah membuyarkan cekaman rasa
keharuan tadi, membuat dia teringat akan keadaannya.
Kemudian Bi
Goat sambil tertawa-tawa memberi isyarat kepada Beng San supaya tinggal saja di
situ dan dia sendiri segera lari memasuki pondok Toat-beng Yok-mo. Entah apa
yang dilakukan di dalam, akan tetapi ketika dia keluar kembali ternyata ia
telah berganti pakaian!
Buntalan
kecil yang tadi menempel pada punggungnya ternyata adalah pakaian berwarna
merah berkembang-kembang indah sekali, yang sekarang dipakainya sebagai
pernyataan bahwa perkabungannya telah berakhir! Kedua orang itu kembali saling
berpegang tangan dan saling berpandangan.
"Kau
jelita, Bi Goat... kau hebat...,” hanya demikian Beng San dapat berkata lirih.
Bi Goat
tidak bisa bicara, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling remas itu
cukup mewakili kata-kata, menyatakan perasaan hati yang hanya dimengerti dan
hanya mampu dirasakan oleh mereka berdua.
"Bi
Goat, bagaimana kau bisa datang ke sini dan kenapa pula kau memusuhi Toat-beng
Yok-mo?" Beng San bertanya.
Mendengar
ini Bi Goat seperti kaget, seperti baru teringat akan hal penting. Dia menarik
tangannya dan menggurat-gurat dengan jari telunjuk ke atas tanah. Ternyata ia
menulis beberapa huruf sebagai pengganti kata-katanya.
‘Kami
tinggal di lereng Min-san. Kini aku harus mengejar Yok-mo. Kita pasti akan
bertemu kembali. Selamat berpisah!’
Demikianlah
bunyi tulisan itu dan sebelum Beng San sempat berkata-kata, gadis itu sudah
merangkul lehernya sekali lagi, lalu tertawa dan berlari cepat sekali pergi
dari situ. Sekejap mata saja sudah tidak kelihatan lagi.
"Bi
Goat...!"
Beng San
hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang mengeluh.
Ketika dia menengok, ternyata Bun Lim Kwi telah sadar kembali dan bangkit
berdiri.
"In-kong
(Tuan Penolong), syukur bahwa Thian masih melindungi kita..." kata Bun Lim
Kwi sambil menjura dengan hormat. "Tadi ada seorang gagah menolongku, di
manakah dia sekarang dan siapakah dia gerangan?"
Melihat
sikap pemuda itu demikian menghormatnya, dengan gugup Beng San membalas
hormatnya dan berkata, "Saudara Bun, kuharap dengan sangat jangan kau
menyebutku tuan penolong. Sudah sepatutnya jika manusia hidup di dunia ini
saling tolong menolong, maka apa artinya kita meributkan soal pertolongan?
Kalau kita hendak berbicara tentang pertolongan, maka takkan ada habisnya.
Katakanlah aku menolongmu, kemudian Yok-mo menolongmu pula, lalu kau juga
menolongku dari ancaman Yok-mo, dan terakhir sekali pendekar wanita murid
Song-bun-kwi tadi menolong kita. Sebutlah saja aku Beng San... ehhh, Tan Beng
San."
Bun Lim Kwi
nampak terheran-heran. "Murid Song-bun-kwi...? Sungguh aneh, bagaimana
muridnya mau menolongku... "
Beng San
tidak suka banyak bicara mengenai Bi Goat, maka dia segera membelokkan
percakapan, "Saudara Bun, aku mendapatkan kau menggeletak di hutan dalam
keadaan terluka hebat di punggungmu. Siapakah yang melukaimu?”
Bun Lim Kwi
menghela napas panjang, nampak berduka sekali. "Aku sendiri tidak tahu,
tapi yang jelas bukan dia..."
"Dia
siapakah?"
Kembali
pemuda Kun-lun-pai itu menarik napas panjang.
"Saudara
Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak
akan menyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan suhu pergi dari Hoa-san,
suhu terus pulang ke Kun-lun dan aku... hemmm, terus terang saja aku ingin
mencari bekas susiok-ku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang
menyerangku di puncak Hoa-san itu. Dia menuduh bahwa mendiang ayahku dan
pamanku membunuh ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh..."
Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali. "Aku tidak ingin
bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah... tapi dia mendesak terus, aku lari,
dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang
menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak
ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada di sini."
Beng San
mengerutkan keningnya dan hatinya diam-diam lega bahwa ternyata sekarang bukan
Thio Eng yang melakukan penyerangan menggelap menggunakan senjata rahasia
mengandung racun yang demikian keji. Ia sayang kepada Thio Eng, kasihan kepada
nona itu, maka dia senang mendengar bahwa bukan gadis itulah yang melakukan
penyerangan curang dan keji.
"Tentu
ada orang ke tiga yang berbuat curang," katanya. "Saudara Bun, aku
melihat kau menggeletak di hutan itu. Lalu kubawa kau kembali ke Hoa-san dan
Lian Bu Tojin sudah berusaha keras menolongmu, menggunakan ular-ular pemberian
Giam Kin. Celaka sekali, ular-ular itu sama sekali bukanlah Ngo-tok-coa yang
mengandung obat pemunah racun, malah sebaliknya. Setelah diobati dengan
ular-ular itu, kau bertambah payah. Ternyata Giam Kin yang jahat itu telah
menipu Hoa-san-pai."
Tercengang
juga Bun Lim Kwi mendengar ini. "Ah, memang tepat sekali wawasan suhu...
sebenarnya Hoa-san-pai adalah tempat orang-orang baik. Aku yang dianggap musuh
masih mereka usahakan untuk menolong... hemmm, kenyataan ini makin menguatkan
hasrat hatiku hendak mencari Kwee Sin sampai dapat. Dialah yang bertanggung
jawab menerangkan segala keruwetan ini, termasuk urusanku dengan nona Thio
Eng..."
"Tapi
akulah yang sudah berjanji untuk mencari Kwee Sin..."
"Tidak,
saudara Beng San. Kau sudah terlalu banyak menanam budi serta melakukan
kebaikan terhadap Kun-lun-pai dan kami berterima kasih sekali. Akan tetapi
untuk mencari Kwee Sin adalah tanggung jawabku karena dia adalah bekas murid
Kun-lun-pai juga. Aku hanya mohon petunjuk-petunjukmu."
Beng San
menjadi tertegun. la tidak tahu bahwa Lim Kwi teringat akan pesan suhu-nya agar
supaya mendengarkan nasihat Beng San. Dia sendiri menganggap Beng San hanya
sebagai seorang pemuda sastrawan yang berhati mulia dan sudah memberi
pertolongan kepadanya dengan taruhan nyawanya sendiri. Tentu saja Beng San
terheran mengapa seorang pemuda segagah Lim Kwi sampai tidak malu-malu minta
petunjuknya.
"Saudara
Bun, aku seorang lemah dan bodoh dapat memberi petunjuk apakah? Hanya kuharap
saja kau berlaku hati-hati. Penyerangan gelap atas dirimu itu sudah membuktikan
bahwa kau diincar oleh musuh-musuh gelap. Menurut kabar, Kwee Sin sudah memihak
pemerintah penjajah yang sedang hendak digulingkan oleh para pejuang, maka
mencari dia sama artinya dengan memasuki goa harimau dan lubang naga. Apa lagi
kalau mereka mengetahui bahwa kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menangkap
Kwee Sin, tentu kau dikurung bahaya."
Bun Lim Kwi
menjura dan memberi hormat. "Nasihat-nasihatmu akan kuingat selalu. Dan
semoga saja kelak Thian memberi kesempatan kepadaku untuk membalas semua budi
kebaikanmu, saudara Beng San. Perkenankan sekarang aku melanjutkan
perjalanan."
Beng San
menjadi semakin suka kepada pemuda Kun-lun-pai yang sangat sopan dan merendah
ini. Diam-diam dia membenarkan dirinya sendiri yang hendak memenuhi pesan
terakhir dari ayah pemuda ini. Mereka berpisah dan Beng San tidak menahannya
lebih lama lagi.
Beng San
masih selalu gelisah jika memikirkan perginya Bi Goat yang sedang mengejar
Toat-beng Yok-mo. la sendiri menghadapi banyak urusan penting. Di samping dia
harus mencari Kwee Sin, juga dia berkewajiban merampas kembali Liong-cu
Siang-kiam dan di sana masih ada pula orang yang dia duga adalah kakaknya dan
yang sekarang agaknya menjadi kaki tangan Mongol pula. Apa lagi sekarang muncul
Bi Goat yang melakukan pengejaran terhadap seorang berbahaya seperti Toat-beng
Yok-mo. Dia harus membantu dan melindungi gadis gagu itu.
Dengan cepat
Beng San berlari mengejar untuk menyusul Bi Goat. Akan tetapi sampai berjam-jam
dia tidak melihat bayangan gadis itu mau pun bayangan Toat-beng Yok-mo. Tentu
dua orang yang berkejaran itu telah mengambil jalan lain.
Beng San
kecewa. Rindu hatinya terhadap Bi Goat masih menebal, karena pertemuan yang
hanya sebentar itu tidak mencukupi baginya. Aku harus ke sana, pikirnya. Harus
ke Min-san. Dia teringat akan Song-bun-kwi dan menjadi ragu-ragu. Bukankah
orang sakti itu selalu memusuhinya? Bahkan bermaksud membunuhnya apa bila tidak
dapat merampas Im-sin Kiam-sut? Akan tetapi, dia sekarang bukanlah dia dahulu.
Dia tidak takut, kalau perlu dia akan melawan Song-bun-kwi, asal dia bisa dapat
bertemu dengan Bi Goat!
"Ah,
tugasku masih banyak. Kenapa aku selalu teringat dia? Setelah semua tugas
selesai dikerjakan, baru aku akan mencari Bi Goat."
Setelah
mencela diri sendiri Beng San menghentikan usahanya mencari dan mengejar Bi
Goat. Urusan untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam bukan urusan yang
terlalu mendesak, tak perlu dia tergesa-gesa. Akan tetapi urusan mencari Kwee
Sin adalah yang paling mendesak, kemudian urusan tentang kakaknya, Tan Beng
Kui. Dan dia maklum bahwa untuk mencari dua orang ini dia harus berani memasuki
kota raja.
Kwee Sin
kabarnya bekerja sama membantu Ngo-lian-kauw, yang menjadi kaki tangan Mongol.
Ada pun orang yang dia duga kakaknya itu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran
Mongol Souw Kian Bi. Setelah menetapkan hatinya, Beng San lalu mulai melakukan
penyelidikan untuk mencari Kwee Sin.
Di masa itu,
perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan di sana-sini terhadap
pemerintah penjajah makin lama semakin berkembang luas. Pemerintah Goan yang
didirikan oleh bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. Hampir di seluruh daerah
pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan para petani di bawah
pimpinan orang-orang gagah.
Pemberontakan-pemberontakan
ini bagaikan api yang makin lama semakin besar, makin lama makin menjalar ke
dekat kota raja. Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali
dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah kota raja
diperketat, mata-mata pun disebar di seluruh kota dan desa. Orang-orang dengan
kepandaian tinggi yang dapat ditarik ke pihak pemerintah Mongol dengan
pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di kota raja sebagai
pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan.
Sunyi malam
itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggiran kota raja sebelah selatan. Malam
belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi
dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat
kota raja. Hal ini tidak mengherankan karena sejak terjadinya
pemberontakan-pemberontakan, di sekitar kota raja selalu terjadi hal-hal yang
hebat.
Seakan-akan
terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang
keduanya secara rahasia melakukan tugasnya masing-masing. Semacam perang
rahasia antara para mata-mata pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para
pejuang yang berahasia itu sangat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya
pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar
masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap
dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka
ini.
Dua bayangan
manusia berkelebat cepat sekali di dalam kegelapan malam itu. Dengan ginkang
yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan
buruk, tapi cukup besar. Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan
merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan
pelancong yang hendak memasuki kota raja.
Dua bayangan
itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati
pagar tembok. Di luar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu
perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela
terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk. Kamar itu cukup
luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu seorang berpakaian tentara
berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh
kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah
seorang nenek tua bongkok berambut putih.
Ada pun dua
orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang kakek berpakaian seperti
petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah barang yang dibawa oleh dua
orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang kakek
petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk,
keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang di atas meja.
Tiga orang
itu segera bangkit dan memandang penuh perhatian ke arah dua buah kepala itu.
Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira pemerintah
Mongol yang berkuasa di kota tak jauh dari situ.
Segera nenek
itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkan ke dalam keranjang
lalu dia berkata, "Lebih dahulu kusingkirkan kepala anjing ini."
Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang.
Tentara dan
pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.
"Tentulah
ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-lam, bukan?"
bertanya pengemis itu.
Dua orang
kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab, "Benar, siauwte adalah
Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat
memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan."
Nenek yang
tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali
sambil mengomel, "Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat
mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi
adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang ke sini tanpa
menyamar?"
Phang Khai
tersenyum memandang nenek itu, lalu berkata, "Aku sudah lama mendengar
bahwa orang kepercayaan Si-enghiong (pendekar ke empat) adalah seorang wanita
muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, itu bagus sekali, akan
tetapi bagai mana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?"
Nenek itu
kelihatan terkejut. "Ah, Phang-lohiap benar-benar bermata tajam sekali.
Apakah penyamaranku masih kurang sempurna?" Suara nenek itu yang tadi
parau dan gemetar bagaikan suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring
dan seperti suara wanita muda.
Phang Khai
tertawa. "Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan
bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak
sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna
dan sinar mata? Sudahlah, andai kata anjing-anjing Mongol itu mengetahui kedatangan
kami, apa sih yang kami takuti? Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka,
kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa
kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan bangsa? Ha-ha-ha!"
Tentara itu
yang sejak tadi diam saja sekarang mencela, "Ucapan Phang-twako tak dapat
kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya sudah tak berarti lagi
asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-twako harus ingat bahwa tugas kita
dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan
musuh. Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh
takkan ragu-ragu buat mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita
sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal
ini, mengabdi kepada Si-enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan
secara rahasia agar supaya gerakan kita ini jangan sampai terbongkar. Seorang
saja tertangkap maka bisa membahayakan seluruh anggota gerakan. Bukankah celaka
kalau begini?
Phang Khai
dan Phang Tui memandang tajam kepada ‘tentara Mongol’ itu, lalu Phang Tui
menjura. "Betul sekali ucapan ini," katanya kagum.
Phang Khai
tiba-tiba berkata, "Saudara, maafkan aku!"
Dan
tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher,
dada dan perut orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena
dia maklum betapa lihainya petani tua ini. Akan tetapi secepat kilat kedua
tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat
mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru,
"Phang-twako harap jangan main-main!"
Phang Khai
menarik tangannya sambil tertawa bergelak. "Aha! Kiranya Bouw-enghiong
yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu
dapat mengelabui musuh!"
Orang itu
pun tertawa. Memang dia adalah Bouw Hin jago Bi-nam yang berjuluk Kang-jiu
(Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai sengaja menyerangnya untuk memancing
agar ilmunya Kang-jiauw-ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan. Segera
Phang Khai bisa mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar
sebagai tentara musuh ini.
"Bagus,
Phang-twako memang cerdik”, kata Bouw Hin sambil tertawa. "Tapi
Phang-twako tentu belum mengenal dia ini.” Ia menuding kepada pengemis tadi.
”Biarlah kuperkenalkan dia kepada ji-wi Phang-twako. Dia ini adalah she
Lim."
"Aha,
bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-mouw-sai (Singa Bulu Emas) dan
Kwi-bun?" kata Phang Tui.
Pengemis itu
berdiri dan menjura. “Ji-wi Phang-enghiong benar-benar bermata tajam."
Nona yang
menyamar sebagai seorang nenek itu berkata, "Maaf, aku sendiri tidak boleh
memperkenalkan diri. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang hendak ji-wi
sampaikan kepada Si-enghiong?"
"Hemm,
urusan ini penting sekali. Kami harus berjumpa sendiri dengan Sienghiong,"
kata Phang Khai.
‘Nenek’ itu
mengerutkan kening, lalu menggeleng kepalanya. "Phang-lopek apakah tidak
pernah mendengar dari teman-teman bahwa adalah hal yang amat tidak mungkin
orang menemui Si-enghiong? Si-enghiong, seperti juga Sam-enghiong (pendekar ke
tiga) adalah tokoh-tokoh rahasia yang tak boleh bertemu teman seperjuangan di
kota raja ini, karena hal itu sangat berbahaya. Sekali saja musuh membongkar
rahasia pribadi Sam-enghiong dan Si-enghiong, akan rusak binasalah semua usaha
kita yang berjuang di bawah tanah di kota raja ini. Segala kepentingan harap
Lopek beri tahukan aku saja karena akulah satu-satunya orang yang dapat
menghubungi Si-enghiong."
Phang Khai
menghela napas. "Aku sudah mendengar akan hal itu, tapi ini adalah urusan
yang amat penting." la tampak ragu-ragu.
Melihat
keraguan ini, Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara Mongol itu berkata,
nada suaranya tegas, "Siapa pun juga jangan harap dapat bertemu dengan
Si-enghiong, malah aku sendiri pun belum pernah bertemu dengannya, apa lagi
melihatnya atau mengenal siapa dia. Kalau ada urusan yang menyangkut
kepentingan perjuangan, lekas ji-wi Twako memberi tahu kepada Nyonya Liong ini.
Kalau berkeras hendak menemui Si-enghiong, lebih baik berita itu kalian bawa
pergi lagi saja." Biar pun kata-katanya keras, akan tetapi lucu juga nenek
yang nyata-nyata adalah penyamaran seorang nona muda ini disebut sebagai
‘nyonya Liong’.
Phang Khai
menjadi merah mukanya. "Maaf kalau tadi aku ragu-ragu. Sesungguhnya ada
banyak hal yang akan kusampaikan. Pertama-tama adalah mengenai pertemuan antara
Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai di puncak Hoa-san. Kami berdua menghadiri pertemuan
itu dan..."
Nyonya Liong
tersenyum, aneh kalau tersenyum karena seorang nenek setua itu giginya putih
berjajar rapi.
"Phang
lopek tidak perlu menceritakan hal ini. Ketahuilah bahwa Si-enghiong sendiri
juga hadir dalam pertemuan itu."
Kedua orang
saudara Phang ini tertegun dan saling pandang. Mereka adalah dua orang petani
yang ketika dalam pertemuan itu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan, akan
tetapi tidak melihat adanya orang yang patut menjadi Si-enghiong, pemimpin ke
empat dari pasukan mata-mata di kota raja. Mungkin dia bersembunyi di antara
rombongan para tamu yang tidak penting sehingga sukar dikenal, pikir mereka.
"Ahh,
kalau begitu hal itu tak perlu kami kemukakan lagi," kata Phang Khai.
"Sekarang
soal ke dua. Aku ingin memberi tahukan mengenai kedudukan teman-teman
seperjuangan kita. Saudara-saudara kita Su Souw Hwee beserta Tan Yu Liang
sekarang telah mendapat kemajuan dan memperluas gerakan pemberontakan di
sepanjang Sungai Huang-ho. Thio Si Cen sudah menyeberang Sungai Hui dan pasukan
saudara Tan Hok sudah mendekati kota raja dari pergerakannya di sepanjang
Sungai Yang-ce. Akan tetapi, aku mendapat berita bahwa gerakan Pek-lian-pai di
sebelah barat kota raja mendapat pukulan hebat dari bala tentara musuh dan
membutuhkan bantuan segera."
Nyonya Liong
mengangguk-angguk. "Kami sudah mengetahui sebagian besar beritamu. Gerakan
Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja memang sengaja dijadikan umpan agar
musuh mengerahkan banyak tenaga ke sebelah sana. Nanti kalau sudah tiba
saatnya, pasukan-pasukan kita dari selatan dan timur akan menyerbu."
Phang Khai
kagum sekali. "Ahh, sama sekali tidak pernah kusangka bahwa kalian dapat
bekerja sesempurna itu. Benar-benar menggembirakan sekali. Akhirnya, harap kau
dapat sampaikan kepada Si-enghiong bahwa kedatangan kami berdua ini selain
menyampaikan berita dan menerima tugas baru, juga bahwa kami mengambil
keputusan untuk mencari tahu tempat tinggal Kwee Sin murid Kun-lun-pai yang
menyeleweng itu. Harap saudara-saudara memberi tahu di mana kami dapat
menemukannya. Kami percaya bahwa Sam-wi (saudara bertiga) sudah pasti akan
dapat memberi petunjuk."
Nyonya Liong
tersenyum sambil memandang tajam. "Tentu saja kami tahu di mana murid
Kun-lun-pai itu yang sekarang sudah menjadi pembantu pemerintah dan bekerja
sama dengan orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi, pada saat seperti sekarang
ini, di mana tenaga semua rakyat dibutuhkan untuk perjuangan menghalau
penjajah, bagaimana Ji-wi masih ada kesempatan untuk mencampuri segala macam
urusan pribadi?
"Keliru...
keliru pendapat seperti itu!" Phang Tui yang sejak tadi membiarkan
kakaknya bicara mewakili mereka berdua, sekarang berkata dengan
sungguh-sungguh.
"Hoa-san-pai
dan Kun-lun-pai bertengkar terus sampai-sampai tidak ada waktu membantu kita.
Semua ini gara-gara si Kwee Sin seorang. Kami berdua berpendapat bahwa apa bila
kami dapat menangkap Kwee Sin, mati atau hidup dan membawanya ke Hoa-san, tentu
pihak Hoa-san mau pun pihak Kun-lun akan menghabisi permusuhan mereka dan apa
bila dua golongan itu sudah berdamai lalu suka membantu kita, bukankah
pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan yang amat berguna bagi perjuangan?"
Nyonya Liong
mengangguk-angguk, sedangkan kedua orang temannya juga menyatakan kebenaran
ucapan Phang Tui. “Jadi ji-wi berkeras hendak menangkap Kwee Sin terlebih
dulu?"
Ketika dua
orang kakek petani itu mengangguk, Nyonya Liong lalu berkata, "Baiklah
kalau begitu. Tempat tinggal Kwee Sin adalah di gedung ke lima sebelah barat
perempatan jembatan Naga, rumah yang di atasnya ada hiasan ukiran naga. Harap
jiwi berhati-hati karena selalu dia bersama dengan ketua Ngo-lian-kauw yang
berkepandaian tinggi. Ji-wi kerjakan dulu maksud hati ji-wi, setelah itu baru
kita mengadakan pertemuan lagi, tiga hari kemudian pada waktu seperti ini dan
bertempat di sini pula, dan pada waktu itulah saya akan menyampaikan
tugas-tugas baru bagi ji-wi. Nah, selamat berpisah."
Mereka lalu
berpisah dan keluar dari rumah secara diam-diam. Hanya nyonya Liong dan
Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara itu keluar secara biasa saja, dari
pintu depan tanpa ada yang menaruh curiga. Ketika dua orang saudara Phang itu
melompat ke dalam gelap keluar dari tembok yang mengeliingi rumah, mereka
melihat bayangan berkelebat di dekat mereka. Mereka kaget, akan tetapi bayangan
itu berbisik,
"Selamat
sampai bertemu kembali, ji-wi Phang-twako."
Ternyata
bayangan itu adalah si pengemis tadi, yaitu Kim-mouw-sai Lim Seng yang cepat
meloncat ke kiri dan menghilang di dalam gelap. Dua orang saudara Phang itu
merasa sangat kagum karena ginkang dari orang she Lim itu ternyata hebat
juga…..
***************
Lima orang
rahasia yang berkumpul dan mengadakan pertemuan rahasia di malam hari itu sama
sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-gerik mereka telah diintai oleh
Beng San. Pemuda ini dalam usahanya untuk mencari Kwee Sin, telah pula sampai
di kota raja dan kebetulan sekali bermalam di rumah penginapan sederhana itu.
Malam tadi
secara kebetulan dia yang berada di kamarnya mendengar desir angin yang hanya
terdengar oleh seorang yang memiliki Iweekang setinggi dia. Dia terkejut dan
tahu bahwa ada orang mempergunakan ilmu ginkang bergerak di luar rumah, maka
cepat dia keluar dari kamarnya secara diam-diam dan melihat ada dua bayangan
berkelebat, yaitu bayangan kedua orang saudara Phang. Demikianlah, secara
diam-diam dia mengintai dan mendengar segala percakapan yang dilakukan oleh
lima orang itu.
Hatinya
kagum bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa lima orang itu adalah
pejuang-pejuang, orang-orang gagah seperti Tan Hok yang rela mengorbankan
nyawanya demi perjuangan bangsa untuk menghalau penjajah. Akan tetapi, lebih
girang lagi hatinya karena tanpa sengaja dia mendapat petunjuk di mana dia bisa
mencari Kwee Sin.
Malam
berikutnya Beng San sudah mengikuti lagi perjalanan dua orang saudara Phang
yang menuju ke rumah gedung Kwee Sin seperti yang telah ditunjuk oleh nyonya
Liong pada kemarin malam. la mengenal dua orang ini sebagai tamu terhormat di
Hoa-san-pai, maka diam-diam dia tidak mau mengganggu mereka.
"Betapa
pun juga, mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai adalah tugasku,"
pikirnya. "Aku yang sudah berjanji dan akulah yang harus memenuhi janji
itu."
Dengan
ginkang mereka yang sudah tinggi, dua orang saudara Phang itu dapat memasuki
halaman rumah gedung itu dengan mudah. Mereka melompati pagar tembok dan merasa
girang karena ternyata rumah gedung ini tidak ada yang menjaga. Di lain saat
mereka sudah mengintai ke sebuah kamar di mana duduk seorang laki-laki yang
tampan dan gagah, berusia tiga puluh tahun lebih. Wajah yang tampan itu angker
dan agung, sedang menulis sesuatu di atas meja.
Tak jauh dari
situ duduk pula seorang perempuan cantik berpakaian mewah, memandang kepada
lelaki itu sambil tersenyum dan mengebut-ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas.
Laki-laki itu bukan lain adalah Pek-jiu Kwee Sin, orang termuda dari Kun-lun
Sam-hengte, jago muda Kun-lun-pai yang telah mengakibatkan keributan antara
Hoa-san dan Kun-lun. Ada pun perempuan cantik yang pesolek dan bersikap genit
itu bukan lain adalah Ngo-lian Kauwcu (ketua Ngo-Lian kauw) yang berjuluk
Kim-thouw Thian li (Dewi Kepala Emas) dan yang oleh Kwee Sin dikenal dengan
nama Coa Kim Li, gadis yang sudah merayu dan merobohkan hatinya.
”Sin-ko
(kanda Sin),” Kim-thouw Thian-li berkata dengan suara merdu, "malam ini
kau harus menemani aku. Di rumah amat sunyi, jangan kau sibuk dengan
pekerjaanmu. Tak usah kau membanting tulang, para pembesar sampai Hong-siang
(kaisar) sendiri cukup maklum betapa besarnya jasamu kepada pemerintah."
"Aku
banyak pekerjaan, Li-moi (adik Li). Biarlah besok siang kalau aku pulang dari
kantor, aku akan mengunjungi rumahmu. Kau adalah seorang ketua perkumpulan
besar seperti Ngo-lian-kauw, bagaimana bisa kesepian?" Kwee Sin tertawa
dan menunda tulisannya.
"Biar
pun ada seribu orang teman, mana bisa dibandingkan dengan kau seorang?"
Coa Kim Li berkata genit lalu menarik bangkunya mendekat.
Pintu kamar
diketok dari luar. Cepat-cepat Kim-thouw Thian-li menjauhkan bangkunya lagi.
Ketika pelayan masuk, Kwee Sin sudah bersikap kereng seperti tadi.
"Kwee-ciangkun,
di luar ada Lee-siocia (nona Lee) yang memohon menghadap Ciangkun (Panglima),"
pelayan itu memberi laporan dengan sikap hormat dan tanpa mengangkat muka.
"Baik,
minta nona Lee masuk ke ruangan ini," jawab Kwee Sin.
Pelayan itu
memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan.
"Huh,
Sin-ko, awas kau kalau di belakangku kau berani main gila dengan nona muda
itu!" tiba-tiba Kim-thouw Thian-li berkata lirih, matanya bersinar penuh
cemburu.
Kwee Sin
tersenyum pahit. "Kim Li-moi apa-apaan cemburu ini? Kau tahu aku bukan...
bukan mata keranjang dan kau tahu pula bahwa Lee-siocia adalah orang yang
mendapat kepercayaan semua panglima di kota raja, juga lihai ilmu silatnya.
Pertemuanku dengan dia tentu hanya berhubungan dengan pekerjaan, mengapa kau
malah menyangka yang bukan-bukan? Dia datang, kau pun di sini. Boleh kau
saksikan sendiri apa yang hendak dia sampaikan kepadaku!"
"Huh,
biar dia lihai, siapa takut padanya? Dan siapa sudi bertemu dengannya? Melihat
mukanya yang muda, jangan-jangan timbul seleraku untuk mencakar mukanya! Aku akan
bersembunyi di belakang pintu. Awas kau, sekali saja kau dan dia main gila,
kalian akan kubunuh!”
Dengan
gerakan cepat sekali tubuhnya berkelebat dan menghilang di balik pintu samping.
Kwee Sin menarik napas lega. Wajahnya nampak girang dan tersenyum pada saat
pintu depan terbuka dan seorang nona berpakaian kuning berjalan masuk.
"Nona
Lee, kau membawa kabar penting apakah?" Kwee Sin menyambut kedatangan nona
ini dengan suara nyaring gembira. "Apakah kali ini kau diutus oleh
Pangeran Souw? Ataukah Tan-ciangkun yang mengutusmu?"
Nona
berpakaian kuning itu sangat dikenal di kalangan atas kota raja. Dia bernama
Lee Giok, puteri dari seorang bangsawan di kota raja. Usianya baru sembilan
belas tahun. Wajahnya yang cantik itu nampak muram dan seperti diliputi
kesedihan, matanya tajam dan gagang pedang menonjol di pinggangnya. Biar pun ia
masih muda, namun ia sudah terkenal sebagai seorang yang amat berjasa dalam
menindas kaum pemberontak berkat ilmu silatnya yang tinggi dan otaknya yang
cemerlang.
Menghadapi
pertanyaan Kwee Sin, nona itu menghela napas, memandang kepada Kwee Sin dengan
matanya yang tajam, lalu katanya perlahan, "Kwee ciangkun, kalau memang
Kim-thouw Thian-li sudah berada di sini, mengapa ia malah bersembunyi dan
mengintai? Kuharap Ciangkun suka mempersilakan dia keluar karena kedatanganku
ini toh bukan hendak mengadakan pertemuan yang bukan-bukan!"
Tentu saja
Kim-thouw Thian-li merasa kaget sekali. Akan tetapi dia pun seorang wanita yang
cerdik. Dengan tenang ia muncul dari balik pintu dan tertawa.
"Hebat
benar kecerdikan nona Lee! Tadi memang saudara Kwee dan aku sengaja hendak
menguji kecerdikanmu yang sudah lama kudengar dibicarakan orang, kiranya
benar-benar kau cerdik. Hanya aku yang tolol, tidak ingat bahwa kepergianku
dari sini meninggalkan ganda harum. Ehm, benar lihai!"
Diam-diam
nona itu, Lee Giok terkejut juga. la dipuji cerdik, namun ketua Ngo-lian-kauw
itu dengan sendirinya telah pula membuktikan bahwa otaknya juga tidak kalah
cerdiknya. Memang tepat sekali kata-katanya tadi, dia dapat mengetahui bahwa
Kim-thouw Thian-li baru saja meninggalkan ruangan itu karena tercium olehnya
ganda harum seperti yang biasa ia cium kalau ia bertemu dengan ketua
Ngo-lian-kauw itu.
Setiap
wanita sudah tentu memiliki kesukaan masing-masing tentang wangi-wangian yang
dipakainya dan wangi-wangian yang dipakai oleh Kim-thouw Thian-li mempunyai
aroma yang khas.
"Kwee-ciangkun,
kedatanganku tak lain hanya untuk menyampaikan peringatan padamu. Ada berita
sampai kepadaku bahwa pada waktu ini di kota raja datang dua orang saudara
Phang dari Hun-lam yang sengaja mencari Kwee-ciangkun dan hendak memaksa supaya
Kwee-ciangkun, mati atau hidup, agar ikut mereka pergi ke Hoa-san."
Berubah
wajah Kwee Sin mendengar berita ini. "Nona, apakah kau maksudkan Phang Khai
dan Phang Tui Sepasang Naga dari Hun-lam?" katanya setengah berbisik.
Nona itu
mengangguk. Wajahnya tampak makin murung, kemudian ia membalikkan tubuh dan
berkata, "Tugasku sudah selesai, Ciangkun. Aku tak dapat lama-lama di
sini, khawatir kalau-kalau membuat orang lain mendongkol saja."
Tanpa
melirik kepada Kim-thouw Thian-li yang disindirnya itu, nona ini segera keluar
dari ruangan itu dengan langkah ringan dan cepat sekali.
"Hi-hi-hi,
baru mendengar ada dua orang tua bangka dari Hun-lam datang saja, kau sudah
kelihatan gelisah," kata Kim-thouw Thian-li.
Li Moi,
jangan kau anggap ringan dua orang kakek itu. Nama besar Phang-hengte (kakak
beradik Phang) dari Hun-lam sudah lama aku dengar. Aku memang tidak takut,
hanya sebab-sebab mengapa mereka hendak menangkapku inilah yang menggelisahkan
hati."
"Sin-ko,
mengapa kau begini bodoh? Mudah sekali diduga. Mereka tentunya bergabung dengan
para pemberontak maka hendak memusuhimu, atau mungkin sekali mereka itu disuruh
oleh perempuan she Liem yang tak tahu malu itu untuk...”
"Li-moi,
kau berjanji tidak akan menyebut-nyebut namanya!" Tiba-tiba Kwee Sin
berkata, jidatnya berkerut tak senang.
"Hi-hi-hi,
sudahlah. Hanya dua ekor anjing tua dari Hun-lam itu untuk apa diributkan? Biar
saja mereka datang, masih ada aku di sini, mereka bisa berbuat apa terhadap
dirimu?"
Phang Khai
dan Phang Tui adalah dua orang kakek ternama di Hun-lam. Mendengar mereka
dimaki anjing-anjing tua oleh wanita itu, tentu saja mereka tidak dapat menahan
kemarahan mereka lagi. Serentak mereka meloncat dan menerobos masuk ke dalam
ruangan itu.
"Kwee
Sin, kami dua saudara Phang dari Hun-lam datang ke sini untuk menjemput kau ke
Hoa-san!" kata Phang Khai sambil melirik penuh kemarahan ke arah Kim-thouw
Thian-li yang sudah berdiri dengan alis berkerut marah.
Kwee Sin
juga berdiri dan menjawab, "Ji-wi Phang-enghiong, dengan maksud apakah
ji-wi hendak mengajak siauwte pergi ke sana?"
"Murid
Kun-lun-pai yang murtad. Kau yang telah menjadi biang keladi permusuhan antara
Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Kau harus mempertanggung jawabkan semua
perbuatanmu terhadap Hoa-san-pai!" kata Phang Tui tak sabar lagi.
Kwee Sin
menghela napas. “Ji-wi Phang-enghiong, urusan itu adalah urusan pribadiku,
harap ji-wi sebagai orang luar jangan mencampurinya. Mengingat ji-wi adalah
tokoh-tokoh terkemuka dari Hun-lam, maka siauwte persilakan ji-wi pergi dengan
baik-baik."
"Setan,
siapa takut kepadamu? Kami sudah bersumpah untuk mebawamu ke Hoa-san, hidup
atau mati. Tui-te (adik Tui), kau tangkap dia, biar aku menjaga siluman
ini!"
Phang Tui
maju dan menubruk Kwee Sin dengan Ilmu Kim-na-jiu-hoat. Kedua lengannya
bergerak-gerak, yang kanan mencengkeram ke arah pundak kiri sedangkan tangan
kirinya menotok jalan darah di leher. Terpaksa Kwee Sin cepat menggeser kaki ke
belakang dan memutar lengan untuk menangkis. Tentu saja jago muda Kun-lun-pai
ini tidak mau begitu saja membiarkan dirinya ditangkap.
Sambil
mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-li menggerakkan kedua
tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang
sangat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan
sehelai sapu tangan merah yang panjang.
Phang Khai
maklum bahwa menghadapi wanita ketua Ngo-lian-pai ini tak perlu dia berlaku
sungkan lagi. Maka sekali dia menggereng, dia telah melakukan serangan dengan
pedang di tangan. Melihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan,
diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya
ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan
gojoknya.
"Traaanggg...!"
Phang Khai
lantas terdorong mundur satu langkah, sedangkan Kim-thouw Thian-li merasa
tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang
bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yang-kang
demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, ehhh, siapa
kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la
berlaku hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mendesak.
Ilmu pedang
dari dua orang saudara Phang itu adalah ilmu pedang keturunan warisan nenek
moyang mereka. Memang asalnya satu sumber dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, hanya
sudah banyak perubahan. Oleh karena itulah maka dalam hal urusan Hoa-san-pai,
dua orang kakek ini tidak mau melupakan sumbernya dan ingin membantu
Hoa-san-pai.
Seperti juga
ilmu pedang Hoa-san-pai, ilmu pedang Phang Khai amat indah dan cepat, hanya
bedanya apa bila ilmu pedang Hoa-san-pai mengutamakan tenaga Im, sebaliknya
ilmu pedang keluarga Phang ini mengutamakan tenaga Yang.
Ketua
Ngo-lian-pai itu, Kim-thouw Thian-yi, adalah murid dari Hek-hwa Kuibo, tentu
saja kepandaiannya hebat. Sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini Kim-thouw
Thian-li telah hidup dalam kesenangan, selalu menurutkan nafsu untuk mengejar
kesenangan duniawi, sehingga dia malas untuk berlatih dan memperkuat tenaga
dalamnya.
Sekarang
menghadapi seorang tokoh ilmu pedang seperti Phang Khai, biar pun tak akan
kalah dalam waktu singkat, juga amat sukar untuk mencapai kemenangan.
Pertempuran ini pun berlangsung makin hebat di ruangan itu.
Kwee Sin
juga sudah mencabut pedangnya ketika Phang Tui yang merasa penasaran itu
menyerangnya dengan pedang juga. Tadinya Phang Tui hendak menangkap Kwee Sin
hidup-hidup, maka dia bertangan kosong dan menggunakan ilmu yang amat dia
andalkan, yaitu ilmu tangkap Kim-na-jiu. Siapa kira, Kwee Sin selalu mampu
membuyarkan ilmu ini dengan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu, semacam ilmu pukulan
Kun-lun-pai yang dahsyat sekali. Desakan-desakan ilmu tangkap itu selalu
didesak mundur oleh pukulan Pek-lek-jiu, bahkan dia sendiri yang terancam
bahaya, maka dia lalu mempergunakan pedang. Kwee Sin juga seorang ahli pedang
Kun-lun-pai, maka pertempuran ini pun hebat. Tiba-tiba Kim-thouw Thian-li
mengeluarkan suara bersuit panjang sekali.
"Li-moi,
kau jangan mencelakai mereka..." Kwee Sin menegur lalu berkata nyaring,
"Ji-wi Phang-enghiong, harap sudahi pertempuran ini dan pergilah ji-wi
(kalian) dengan aman!"
Akan tetapi
dua orang jago kawakan seperti dua saudara Phang itu, sekali bekerja mana mau
berhenti setengah jalan? Kini mereka malah mendesak semakin hebat dalam usaha
mengalahkan musuh dengan segera dan dapat membawa Kwee Sin dari situ, baik
dalam keadaan hidup mau pun sudah mati! Tidak seperti Kwee Sin, mereka tidak
tahu apa artinya suitan yang dikeluarkan oleh Kim-thouw Thian-li tadi.
Kiranya
suitan itu adalah tanda rahasia bagi ketua Ngo-lian-kauw untuk memanggil anak
buahnya. Di mana ketuanya berada di situ pasti berkeliaran banyak para
pembantunya yang setia. Maka pada waktu itu, belasan orang tokoh Ngo-lian-kauw
memang sudah berkeliaran di sekitar rumah gedung tempat tinggal Kwee Sin, bersiap
untuk menghadap sewaktu-waktu ketua mereka memanggil.
Akan tetapi
sekali ini, walau pun Kini-thouw Thian-li bersuit sampai tiga empat kali, tidak
ada seorang pun anak buahnya yang muncul. la menjadi marah bukan main akan
tetapi juga gelisah. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang kakek itu datang
dengan banyak teman dan agaknya anak buahnya telah dirobohkan di luar!
Cepat dia
mengeluarkan sebuah sapu tangan yang beraneka warna, sapu tangan sutera yang
berbau harum sekali. Pada saat itu, pedang Phang Khai sudah menyambar cepat ke
arah lehernya. Kim-thouw Thian-li membuang tubuh ke kiri karena tak sempat
menangkis lagi sehingga pedang meluncur di atas pundaknya. Tangan kirinya yang
mencabut keluar sapu tangan tadi bergerak cepat, serangkum bau yang amat harum
menyambar. Phang Khai mencium ganda yang harum luar biasa. Seketika kepalanya
terasa pening, pandang matanya berkunang.
"Celaka...!"
Dia berseru
dan berusaha mengerahkan lweekang-nya untuk melawan hawa beracun itu. Akan
tetapi sia-sia saja. Tubuhnya limbung dan kakek gagah perkasa ini roboh
terguling dengan pedang masih di tangan!
Kim-thouw
Thian-li tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat dia melompat ke dekat Phang
Tui yang masih saling gempur dengan Kwee Sin sambil mengebutkan sapu tangannya.
Phang Tui juga tidak dapat menahan, roboh terguling dan pingsan. Kim-thouw
Thian-li sudah menggerakkan pedang hendak membacok mati dua orang itu, namun
Kwee Sin cepat berseru, "Jangan bunuh mereka!"
Kiranya Kwee
Sin tidak terpengaruh oleh racun itu, mengapa? Hal ini tidak aneh. Sudah
bertahun-tahun Kwee Sin berhubungan dengan Kim-thouw Thian-li, tentu saja dia
sudah banyak pula mengenal senjata-senjata rahasia wanita ini dan juga tahu
bagaimana cara menolaknya.
Kim-thouw
Thian-li amat marah. "Dua cacing tua ini datang hendak membunuhmu, masa
sekarang kau melarangku membunuh mereka?" Pedangnya masih tetap diayun
hendak dibacokkan. Pada saat itu dari luar menyambar angin keras. Dua sinar
hitam melesat cepat mengenai dua buah lampu di dalam ruangan itu. Seketika
penerangan menjadi padam dan keadaan di dalam ruangan itu menjadi gelap gulita.
"Ehh,
apa ini...?" Kwee Sin berseru kaget.
"Aduh...!"
Kim-thouw
Thian-li mengeluh dan roboh tanpa dapat bergerak lagi. Ternyata hiat-to (jalan
darah) di tubuhnya sudah kena ditotok orang dalam kegelapan itu dan ia pun
roboh tanpa bergerak lagi.
Kwee Sin merasa
tangannya dipegang orang. Cepat dia mengibaskan pegangan itu, tapi mendadak
kedua tangannya lemas tak bertenaga lagi. la pun sudah terkena totokan orang
yang amat lihai itu, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan berada di atas
pundak orang yang memanggulnya.
Biar pun
tubuhnya tidak mampu bergerak, pikiran Kwee Sin masih terang dan tahulah dia
bahwa dia telah dibawa lari orang, sudah diculik oleh seorang yang
berkepandaian tinggi. Berkali-kali orang yang memanggulnya itu meloncat tinggi,
melalui genteng rumah orang dan akhirnya melompati tembok kota raja. Orang ini
terus lari keluar dari kota raja dengan kecepatan yang mengagumkan.
Ada pun
Phang Khai serta Phang Tui yang tadinya roboh pingsan dengan tangan masih
mencengkeram gagang pedang masing-masing, merasa ada hawa dingin menyambar ke
muka mereka. Phang Khai lebih dulu siuman dari pingsannya. la merasa
terheran-heran ketika mendapatkan dirinya telah berada di kebun belakang
kelenteng tua di mana dia dan adiknya bersembunyi selama bertugas di kota raja.
Dilihatnya
Phang Tui juga menggeletak di rumput. Pedang mereka terletak di situ pula.
Cepat Phang Khai menolong adiknya dan mereka berdua tiada habisnya
terheran-heran bagaimana mereka yang tadinya roboh oleh hawa beracun Kim-thouw
Thian-li sekarang tahu-tahu sudah berada di kebun kelenteng dalam keadaan
baik-baik saja.
"Ahh,
tentu ada orang menolong kita," kata Phang Khai kagum.
"Twa-ko,
jangan-jangan Kwee Sin yang menolong kita! Beberapa kali dia telah mencegah
Kim-thouw Thian-li membunuh kita. Kiranya orang muda itu masih memiliki watak
setia kawan terhadap orang kang-ouw, tapi kenapa dia terjerumus ke dalam lumpur
kehinaan membantu pemerintah dan bersekongkol dengan iblis macam ketua
Ngo-lian-kauw itu?"
Phang Khai
menggeleng kepala. "Tak mungkin jika Kwee Sin yang menolong kita, malah
dalam hal ini terjadi sesuatu yang aneh. Kalau Kwee Sin yang menolong kita,
bagaimana dia bisa tahu bahwa kita bermalam di tempat ini? Padahal tempat kita
ini adalah rahasia kita sendiri. Selain itu tidakkah kau lihat betapa Kwee Sin
sangat takut kepada Kim-thouw Thian-li? Mana bisa dia menolong kita?"
"Memang
amat aneh." Phang Tui mengangguk-angguk mengerutkan kening. "Akan
tetapi, Twako, yang membikin aku hampir mati penasaran adalah gadis yang
bernama nona Lee itu. Kau tentu tahu pula apa yang kumaksud, bukan?"
"Tentu
saja. Dia boleh menyamar dengan bentuk bagaimana pun juga, tapi mana bisa dia
mengubah matanya? Nona Lee adalah si dia itulah. Hemmm, dia telah mengkhianati
kita, memberi tahu kepada Kwee Sin mengenai maksud kita. Orang semacam itu mana
bisa dijadikan kepercayaan Si-enghiong? Terang berbahaya sekali. Dengan
pengkhianatannya ini jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat,
seorang antek Mongol tak bedanya seperti Kwee Sin. Biarlah kau lihat saja
sikapku besok lusa malam pada saat kita bertemu dengan mereka."
Tiba-tiba
Phang Tui yang tadi termenung menepuk pahanya. "Waah, kenapa aku sampai
lupa?"
"Apa
maksudmu?" kakaknya bertanya.
"Twako,
terang bahwa tadi ada orang pandai menolong kita sehingga dalam keadaan pingsan
di ruangan gedung Kwee Sin kita bisa terbebas dari kematian. Siapakah kau kira
yang telah menolong kita tadi?"
"Mana
aku tahu? Aku pun pingsan seperti kau."
"Twako,
sudah lama kita mendengar bahwa dua orang pemimpin pejuang yang bertugas di
kota raja, yaitu Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke
empat) memiliki ilmu yang amat tinggi. Apakah bukan mereka yang telah
menolong?"
"Ahhh,
benar juga kata-katamu ini. Yang menolong kita tentulah orang yang mengerti
keadaan dan tugas kita. Siapa pula kalau bukan mereka? Tapi yang manakah di
antara kedua enghiong itu? Dan siapa pula sebenarnya mereka ini yang selalu
bekerja penuh rahasia?"
Dua orang
kakak beradik itu berhadapan dengan sebuah rahasia dan betapa pun mereka
memutar otak menduga-duga, tetap mereka tidak dapat memecahkannya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment