Sunday, July 15, 2018

Cerita Silat Serial Raja Pedang Jilid 16



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
             Serial Raja Pedang

                       Jilid 16


Sesungguhnya dugaan-dugaan mereka bahwa yang menolong mereka adalah dua orang rahasia dari pimpinan pejuang, adalah keliru. Penolong mereka pada waktu itu bukan lain adalah Beng San sendiri. Seperti diketahui, pemuda ini juga turut mengintai di ruangan itu dan melihat semua apa yang telah terjadi. Diam-diam Beng San siap sedia untuk membantu kedua orang saudara Phang itu. Akan tetapi melihat bahwa keduanya cukup tangguh untuk melawan Kwee Sln dan Kim-thouw Thian-li, dia merasa tidak enak juga untuk membantu.

Ketika Kim-thouw Thian-li bersuit memanggil anak buahnya, Beng San cepat berkelebat menghadang. Dua belas orang anak buah Ngo-lian-kauw itu semua dia robohkan dengan totokannya yang lihai sebelum orang-orang itu sempat melihatnya!

Ketika dia kembali mengintai, Beng San terkejut melihat dua orang saudara Phang sudah roboh pingsan. Cepat dia mengambil dua buah batu kerikil dan disambitkan ke arah lampu penerangan sehingga padam. Di dalam geiap itulah Beng San cepat melompat masuk, merobohkan Kim-thouw Thian-li dan Kwee Sin, kemudian sekaligus dia membawa keluar tubuh Kwee Sin dan dua orang saudara Phang! Kepandaian pemuda ini sudah demikian tingginya, tenaganya luar biasa besarnya sehingga dengan mudah saja dia dapat membawa tubuh ketiga orang itu sambil berlari-lari dan berlompatan.

Setelah meletakkan tubuh dua orang saudara Phang ke atas rumput di kebun kelenteng, Beng San kemudian cepat membawa Kwee Sin keluar dari kota raja dengan kecepatan luar biasa. Setengah malam suntuk dia berlari terus dengan cepat, tidak berani berhenti karena dia maklum bahwa kehilangan Kwee Sin pasti akan menggegerkan kota raja dan sudah pasti Kim-thouw Thian-li akan mengerahkan anak buahnya melakukan pengejaran.

Setelah malam berganti pagi dia sudah berada jauh sekali dari kota raja dan barulah dia berhenti dalam sebuah hutan. Kwee Sin diturunkan dan segera dibebaskan dari totokan. Tetapi Kwee Sin merasa tubuhnya lemas dan belum kuat berdiri. Dengan amat terheran-heran Kwee Sin melihat bahwa orang yang menculiknya hanyalah seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang pelajar. Bukan main kagum dan heran hatinya, apa lagi ketika pemuda itu menjura di depannya sambil berkata.

"Harap Kwee-enghiong suka memaafkan aku yang secara paksa sudah membawa kau keluar dari kota raja."

"Siapakah kau? Dan apa maksudmu membawaku ke tempat ini?"

Beng San tersenyum. "Agaknya Kwee-enghiong tidak akan mengenal aku, walau pun aku menyebutkan nama. Aku membawa Kwee-enghiong keluar dari kota raja tidak lain dengan maksud membawamu ke Hoa-san-pai. Ketahuilah bahwa hampir saja Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai mengadakan pertempuran hebat di antara ketua mereka, baiknya aku masih sempat mencegah mereka dan aku berjanji akan membawamu ke Hoa-san-pai. Urusan permusuhan antara kedua partai itu semua adalah kau yang menjadi biang keladinya, maka apa bila kau dapat mengaku terus terang tentang semua kejadian yang lalu, kukira permusuhan itu dapat dilenyapkan dan akan ternyatalah bahwa sebetulnya bukan kau yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang Hoa-san-pai."

Kwee Sin makin terheran. "Bagaimana kau bisa tahu akan semua itu? Pihak Hoa-san-pai sudah yakin bahwa aku yang membunuh ayah nona Liem, aku pula yang menyebabkan kematian dua orang dari Hoa-san Sie-eng, mengapa kau bisa katakan bahwa bukan aku yang melakukan pembunuhan-pembunuhan?"

"Aku memiliki teman-teman di Pek-lian-pai dan dari mereka inilah aku sudah mendengar kejadian yang sebenarnya."

"Ahh... jadi kau... kau ini juga seorang peju... eh, seorang pemberontak?" tanyanya gagap.

Beng San tersenyum mendengar kata-kata pejuang itu segera diganti pemberontak.

"Itulah kesalahanmu, Kwee-enghiong. Kau terpikat oleh Kim-thouw Thian-li dan jatuh di bawah pengaruhnya sehingga kau membantu Kerajaan Mongol, memusuhi para pejuang yang kau anggap pemberontak. Sayang sekali... sayang seorang gagah seperti kau dapat terjerumus sedemikian dalam. Aku bukan seorang anggota Pek-lian-pai biar pun aku amat kagum akan perjuangan mereka. Aku melakukan penculikan atas dirimu ini hanya untuk mencegah agar Kun-lun-pai tidak saling serang dengan Hoa-san-pai."

Kwee Sin kini telah pulih tenaganya dan dengan gagah dia berdiri lalu berkata, "Baiklah. Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan kesalahan dan perbuatannya. Marilah, bawalah aku ke Hoa-san-pai, biar aku akan menanggung semua hukuman yang akan dijatuhkan kepadaku."

Dua orang ini kemudian berjalan menuju ke Hoa-san-pai. Diam-diam Beng San masih mengagumi sikap Kwee Sin dan makin menyesallah dia kalau teringat betapa pendekar Kun-lun-pai ini roboh hanya karena terpengaruh kecantikan seorang wanita jahat seperti Ngo-lian Kauwcu itu. Di lain pihak, Kwee Sin tiada habis terheran-heran apa bila melihat Beng San. Seorang pemuda yang masih hijau, kelihatan amat lemah-lembut dan seperti seorang ahli sastra, bagaimana dapat memiliki kepandaian sehebat itu?

Apa lagi sekarang setelah mereka melakukan perjalanan biasa, pemuda itu sama sekali tak kelihatan memiliki kepandaian tinggi. Benar-benarkah pemuda ini yang telah menculik dirinya? Hampir dia tak dapat mempercayainya. Pada malam ke dua, pada saat keduanya bermalam di dalam sebuah hutan, Kwee Sin menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas pohon besar.

"Hiante, hutan ini kelihatannya penuh binatang liar, lebih baik kita bermalam di atas pohon ini saja agar tidak terancam keselamatan kita. Kau naiklah ke sini."

Dia sengaja hendak mencoba kepandaian pemuda yang dia sangsikan itu. Andai kata dugaannya keliru dan ternyata pemuda ini tidak memiliki kepandaian, untuk apa dia harus mengalah dan menerima begitu saja untuk dibawa ke Hoa-san?

Beng San tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Lebih enak tidur di bawah sini. Kalau Kwee-enghiong ingin tidur di atas pohon, silakan." Setelah berkata demikian, Beng San merebahkan diri bersandar pohon dan tak lama kemudian saking lelahnya, dia sudah tidur pulas.

Kwee Sin penasaran. Benarkah bocah seperti ini mempunyai kepandaian? Jangan-jangan hanya pandai lari cepat saja. Setelah dia mengaso dan mengumpulkan tenaga, menjelang fajar dilihatnya Beng San masih tidur enak di bawah pohon. Kwee Sin lalu mengerahkan tenaganya, menggunakan ginkang-nya yang sudah tinggi tingkatnya itu meloncat dari atas pohon, jauh ke cabang pohon lain yang berdekatan, kemudian dengan cepat dan tanpa mengeluarkan suara dia berlari terus kembali ke kota raja!

Kurang lebih dua li dia berlari. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang terbelalak ke depan. Kiranya di depannya, di tengah jalan itu, Beng San sudah berdiri sambil tersenyum dan menjura.

"Kwee-enghiong, seorang laki-laki sudah berjanji kenapa hendak ditariknya kembali?”

Merah muka Kwee Sin. Sudah terang kini bahwa ilmu ginkang pemuda ini jauh melebihi tingkatnya sampai-sampai dia tidak tahu bagaimana caranya pemuda itu bisa berada di situ, padahal tadi dia tinggalkan dalam keadaan pulas! Akan tetapi karena dia merasa penasaran dan memang maksud hati yang sesungguhnya adalah untuk menguji apakah orang muda ini cukup berharga untuk memaksanya pergi ke Hoa-san, Kwee Sin lantas berseru keras.

"Orang muda, kau memaksaku pergi ke Hoa-san, apakah yang kau andalkan? Sebagai seorang gagah, tentu saja aku tak akan menarik kembali kata-kataku bahwa aku berani mempertanggung jawabkan perbuatanku. Akan tetapi aku tidak berjanji untuk menuruti kehendakmu, kecuali kalau kau mampu mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, Kwee Sin mengeluarkan pedangnya yang ternyata masih berada di sarung pedangnya, entah siapa yang menyarungkannya kembali ketika dia dibawa lari oleh pemuda itu.

Beng San agak kaget, tapi lalu maklum. Tentu saja sebagai seorang pendekar, Kwee Sin merasa malu kalau berkunjung ke Hoa-san-pai di bawah paksaan seseorang yang tidak diketahui sampai di mana kepandaiannya.

"Ah, Kwee-enghiong kenapa berkata demikian? Aku memang seorang yang tak memiliki kepandaian, akan tetapi demi menjaga keutuhan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, aku sudah berjanji akan mencari dan membawamu ke Hoa-san-pai untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu. Andai kata kau hendak menggunakan kekerasan membangkang, terpaksa aku pun melupakan kebodohan sendiri!"

"Bagus! Aku memang hendak mencoba sampai di mana kepandaianmu maka kau berani hendak memaksa Pek-lek-jiu Kwee Sin sesuka hatimu." Kwee Sin menggerakkan pedang hendak menyerang.

Pada saat itu pula terdengar suara seorang laki-laki, "Nona, aku tidak ingin bertempur denganmu..."

Suara itu diikuti munculnya seorang pemuda yang berlari cepat ke tempat itu. Pada saat pemuda ini melihat Beng San, segera dia berhenti berlari dan berkata girang. "Saudara Beng San...!"

Akan tetapi alangkah kagetnya dan girangnya ketika pemuda itu menoleh ke arah Kwee Sin. Sejenak dia tertegun, lalu berseru gagap, "Kau... kau... Kwee-susiok (paman guru Kwee)..."

Kwee Sin menunda serangannya dan menoleh. "Ehh, bukankah kau Lim Kwi?"

Di dalam suara pendekar Kun-lun ini terkandung keharuan dan kedukaan besar. Paman guru dan keponakan ini saling pandang penuh pertanyaan, penuh perasaan haru campur duka bingung sehingga tak tahu harus berkata apa.

Pada waktu itu terdengar seruan seorang wanita. "Jahanam Bun, hendak lari ke mana kau?"

Dan muncullah Thio Eng, gadis baju hijau yang berlari cepat mengejar Bun Lim Kwi. Begitu sampai di situ, tanpa menoleh lagi kepada orang-orang lain, Thio Eng segera menusukkan pedangnya ke arah dada Bun Lim Kwi. Pemuda ini masih tertegun dalam petemuannya dengan paman gurunya, juga memang dia sudah merasa sedih sekali oleh kejaran Thio Eng, maka agaknya tusukan pedang itu tidak dihiraukannya lagi dan tentu akan mengenai sasaran.

"Traanggg…!"

Pedang Thio Eng terpental oleh tangkisan Kwee Sin yang tentu saja tidak membiarkan murid keponakannya yang dia cinta itu ditikam begitu saja oleh seorang gadis. Berkilat mata Thio Eng ketika dia memandang kepada Kwee Sin, kemudian dia mengerling ke arah Beng San. Kaget dan heran wajah gadis ini ketika mengenal Beng San, akan tetapi hatinya sudah terlalu panas dan marah sehingga dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menegur Beng San.

"Siapakah kau? Mengapa kau mencampuri urusanku dengan musuhku ini?"

Kwee Sin tersenyum mengejek. "Nona cilik, ada urusan boleh diurus, mengapa kau begini galak hendak merenggut nyawa Lim Kwi? Ketahuilah, aku adalah paman gurunya, maka tak mungkin aku mendiamkan saja melihat kau hendak membunuh dia."

Sejenak gadis itu tertegun mendengar orang ini mengaku paman guru Bun Lim Kwi, lalu matanya bersinar-sinar. "Bagus...!" la menoleh kepada Beng San lalu berkata, "Tan-koko (kakak Tan), bukankah dia ini Kwee Sin? Dan mengapa kau berada di sini pula?"

"Adik Eng, aku... aku hendak mengundang dia ke Hoa-san-pai."

Gadis itu teringat akan janji Beng San kepada ketua Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, lalu katanya gemas, "Kurasa tidak baik kau berdekatan dengan paman dan keponakan jahat ini. Mereka bukanlah orang baik. Kwee Sin ini pun bukan manusia baik-baik. Lebih baik kubinasakan sekalian!"

Kembali pedangnya berkelebat dan sebuah serangan yang amat cepat dan ganas lantas menyambar ke arah Kwee Sin dan Lim Kwi secara beruntun. Hebat sekali serangan ini sehingga Kwee Sin terpaksa mundur sambil menangkis keras. Kembali pedang Thio Eng terpental.

"Adik Eng yang baik, jangan... jangan terburu nafsu, segala urusan dapat dirunding! Urusanmu dengan saudara Bu Lim Kwi tentu diketahui baik oleh Kwee-enghiong ini, lebih baik kita mendengarkan keterangannya."

"Benar," kata Kwee Sin. "Nona, katakanlah lebih dulu kenapa kau mati-matian berusaha hendak membunuh keponakanku Lim Kwi? Apakah dosanya? Coba kau jelaskan, tentu aku akan mempertimbangkan baik-baik. Kalau memang dia yang bersalah, dia harus siap menerima hukuman."

Thio Eng tersenyum dingin dan mengejek, seakan-akan sinar matanya berkata, "Seorang seperti kau mana dapat memiliki pertimbangan yang adil?" Akan tetapi mulutnya berkata, "Hemmm, ingin benar aku mendengar bagaimana pertimbangan adil kalian yang sudah mencelakakan hidupku. Ayahku dibunuh oleh dua orang saudara Bun murid Kun-lun-pai, yaitu ayah dan paman jahanam Bun Lim Kwi ini, apakah sudah tidak adil kalau sekarang aku hendak membalas dendam kepadanya untuk menebus dosa ayah dan pamannya itu? Kau sebagai paman gurunya, tentu akan membelanya, akan tetapi aku Thio Eng tidak takut mati dalam usaha membalas dendam ayahku!

Kwee Sin mengerutkan kening. "Kau she Thio? Siapakah nama ayahmu? Apakah Thio San?"

Di dalam kemarahannya, makin yakinlah Thio Eng bahwa musuh-musuhnya memang dua orang yang berdiri di depannya ini. "Betul, Thio San ayahku yang terbunuh oleh dua orang saudara keparat Bun dari Kun-lun-pai di dalam sebuah hutan."

Kwee Sin tiba-tiba menjadi muram wajahnya. Teringat dia akan peristiwa itu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika dia bertempur melawan Thio San, kemudian mendadak muncul Coa Kim Li yang menurunkan tangan jahat membunuh Thio San.

"Ahh, salah... kau keliru menyangka, Nona... kau begitu yakin bahwa ayah Lim Kwi yang membunuh ayahmu, apakah kau melihatnya sendiri pembunuhan itu?"

Dalam pandang mata Thio Eng mulai tampak sinar keraguan. "Aku... aku mendapatkan ayah telah menggeletak mati dalam hutan, aku menangisi dan... dan aku melihat pula dua orang saudara Bun di hutan itu, kukira... siapa lagi yang membunuh ayah? Orang she Kwee, aku takkan percaya begitu saja pembelaanmu terhadap para suheng-mu, kecuali kalau kau mengatakan siapa pembunuh ayahku. Apakah kau tahu siapa orangnya yang membunuh ayahku?"

Kwee Sin mengangguk. "Tentu saja aku tahu..." la menarik napas dan wajahnya kelihatan berduka sekali. "Semua salahku... ahhh, betapa besar dosaku, semua gara-garaku..."

Wajah Thio Eng yang cantik itu nampak beringas. "Bagus, jadi kaulah yang menyebabkan kematian ayahku? Nah, terimalah pembalasanku!" Thio Eng menyerang lagi. Kali ini Kwee Sin tidak menangkis hanya mengelak ke kanan.

"Adik Eng, jangan begitu. Biarkan dia memberi penjelasan dulu sampai selesai." Beng San berlari mendekati Thio Eng dan memegang lengan gadis itu.

Thio Eng hanya mendengus, akan tetapi dia tidak melanjutkan serangannya dan menanti Kwee Sin memberi penjelasan.

"Dengarlah baik-baik ceritaku, sembilan sepuluh tahun yang la!u..."

Kwee Sin lalu menceritakan semua pengalamannya dahulu ketika dia membantu kedua suheng-nya mencari seorang bernama Thio San yang mereka anggap sebagai seorang penipu. Seperti telah kita ketahui, Thio San seorang tokoh Pek-lian-pai hendak membeli kuda dari Bun Si Teng dan minta agar supaya rombongan kuda itu diantar ke sebuah hutan. Akan tetapi setibanya di tengah hutan, dua orang saudara Bun itu diserang oieh lima orang anggota Pek-lian-pai yang dibantu oleh seorang wanita tak dikenal.

Bun Si Liong lalu terluka dan Kwee Sin yang mendengar hal ini menjadi marah lalu pergi mencari Thio San di Hek-siong san. Dianggapnya bahwa Thio San adalah seorang yang menipu kedua suheng-nya, tidak saja merampas dua puluh ekor kuda, malah juga telah melukai Bun Si Liong. Akhirnya di dalam hutan pohon siong itu, Kwee Sin bertemu dengan Thio San dan dalam pertempuran ini mendadak muncul Kim-thouw Thian-li yang berhasil merobohkan Thio San dengan sapu tangan merahnya.

"Aku sendiri terluka oleh Pek-lian-ting yang dilepas oleh Thio San di leherku, sehingga aku roboh pingsan lalu dibawa pergi oleh Kim-thouw Thian-li dan mungkin ketika itu Thio San telah tewas dan ditinggalkan di dalam hutan itu. Nah, demikianlah cerita yang sebenarnya. Mendiang Bun-suheng keduanya sama sekali tidak bertanggung jawab dan tidak tahu menahu tentang kematian ayahmu, Nona Thio. Ayahmu dahulu telah bertempur melawan Kim-thouw Thian-li."

Dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, Thio Eng memandang kepada Bun Lim Kwi yang kelihatan lega dan kebetulan pemuda ini pun memandang kepadanya dengan sayu tapi mulutnya tersenyum. Thio Eng menjadi merah wajahnya, merasa telah berlaku keterlaluan terhadap Bun Lim Kwi, teringat olehnya sikap Lim Kwi kepadanya dan betapa ia sudah merobohkan Lim Kwi atas bantuan Giam Kin.

"Kalau... kalau begitu... aku telah salah tangan..."

"Hampir saja, Nona. Hampir tamat hidupku di tanganmu, sayang bagimu, aku masih hidup berkat pertolongan saudara Beng San yang budiman ini...," jawab Lim Kwi.

Thio Eng menoleh kepada Beng San, terheran lalu mengangguk-angguk. "Hemm, kiranya kau yang telah menolongnya, Tan-ko?"

”Aku mendapatkan dia menggeletak dengan luka berbisa. Aku hanya membawanya dan minta tolong lain orang untuk menyembuhkannya. Eh, adikku yang baik, apakah kau telah menyerangnya dengan senjata beracun yang keji itu?"

Makin merah muka Thio Eng. "Jangan menuduh sembarangan! Aku adalah murid suhu Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mana sudi sudi menggunakan racun? Ini gara-gara si Giam Kin iblis cilik itu yang menyerang dengan mendadak. Syukurlah kau telah menolongnya, Tan-ko, kalau tidak... ahh, aku tentu berdosa membunuh orang tak berdosa. Siapa duga kalau bukan ayahnya yang membunuh ayahku? Ketika itu aku masih kecil... aku melihat mayat ayah menggeletak di hutan, aku menangis dan ditolong oleh suhu dan aku melihat ayahnya di hutan itu pula..."

Mendadak gadis itu menudingkan ujung pedangnya ke arah Kwee Sin sambil membentak. "Kiranya kau manusia she Kwee yang menyebabkan kematian ayahku. Kau yang sudah menyerangnya dengan bantuan si iblis wanita dari Ngo-lian-kauw!"

la hendak menyerang Kwee Sin, akan tetapi Beng San memegang lengannya. "Nanti dulu, adik Eng, kau jangan keburu nafsu. Kau sudah mendengar sendiri tadi. Kwee-enghiong ini mencari ayahmu untuk membela keadilan karena suheng-nya dilukai dan sejumlah kuda dirampas. Aku telah mendengar bahwa sebetulnya ayahmu, Thio San itu, adalah seorang patriot sejati. Sebagai seorang tokoh Pek-lian-pai mana dia mau merampas kuda? Semua ini adalah fitnah pihak Ngo-lian-kauw belaka yang berusaha atau bahkan bertugas untuk mengadu domba antara Pek-lian-pai dengan pihak Kun-lun atau pihak Kun-lun dengan pihak Hoa-san dan lain-lain."

"Orang muda, bagaimana kau bisa tahu akan hal itu?" tiba-tiba suara Kwee Sin terdengar keras penuh selidik, sepasang matanya memandang tajam seperti ingin menjenguk isi hati Beng San.

Beng San mengangkat pundak, "Kwee enghiong, tentu saja orang sebodoh aku mana bisa tahu akan itu semua? Tentu ada yang memberi tahu, yaitu orang-orang Pek-lian-pai sendiri."

Thio Eng masih kelihatan kurang puas. "Tan-ko biar pun dia kena fitnah, tapi sudah terang bahwa orang ini tidak baik, buktinya dia membantu Ngo-lian-kauw dan membantu pihak jahat."

"Adik Eng, di dunia banyak terjadi kesalahan-kesalahan yang tak disengaja sebelumnya. Buktinya kau sendiri, kau mengejar-ngejar saudara Bun Lim Kwi, hendak membunuhnya bahkan sudah hampir membunuhnya karena bantuan serangan curang dari Giam Kin. Bukankah keadaan Kwee-enghiong dahulu juga hampir serupa? Karena salah paham, mengira ayahmu menipu suheng-suheng-nya, dia lalu mencari dan menantangnya. Akan tetapi dalam pertempuran ayahmu dirobohkan secara pengecut oleh ketua Ngo lian-kauw. Nah, jika kau sekarang menumpahkan semua kesalahan kepadanya, apakah nanti orang lain juga tidak akan menimpakan semua kesalahan kepadamu tentang urusanmu dengan saudara Bun Lim Kwi? Ingatlah, dendam-mendendam bukanlah sifat yang baik. Urusan pembunuhan tak mungkin dapat diselesaikan dengan pembunuhan lainnya, karena hal itu akan berekor panjang, tali-temali dan saling berkait hingga akhirnya beberapa keturunan akan terus saling bermusuhan. Justru untuk menjaga agar jangan terjadi demikian itulah maka di Hoa-san-pai tempo hari aku berjanji akan mencari Kwee-enghiong. Dan sekarang Kwee-enghiong sudah berada di sini, tentu sebagai seorang jantan Kwee-enghiong akan berani mempertanggung jawabkan kesemuanya kepada Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai."

Thio Eng kalah bicara, dengan bersungut-sungut menyimpan kembali pedangnya. Kwee Sin menjadi kagum. Kalau tadinya dia hendak menguji kepandaian Beng San, sekarang terbuka pikirannya dan dia merasa bahwa dia akan membuat dirinya sendiri tak berharga sebagai seorang jantan apa bila dia tidak berani pergi ke Hoa-san. Akan tetapi kalau dia pergi ke Hoa-san, tentu dia akan menemui kesulitan besar. Dalam keraguannya dia lalu menoleh kepada Bun Lim Kwi.

"Lim Kwi, bagaimana pendapatmu. Biarlah kau mewakili ayahmu dan pamanmu dalam hal ini, berilah pendapatmu bagaimana aku harus bertindak?" Suara Kwee Sin gemetar, tanda bahwa di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main.

"Kwee-susiok, segala perbuatan sudah terlanjur, menyesal pun takkan ada gunanya tanpa bukti penyesalanmu itu. Kalau Susiok suka mendengarkan pendapat keponakanmu, mari kita pergi menghadap suhu di Kun-lun-pai, menjelaskan semua kesalahan dan selanjutnya mentaati semua perintahnya. Biar saya yang akan menemani Susiok andai kata Susiok harus menghadap ke Hoa-san-pai. Ingatlah, Susiok, semuanya ini demi kebaikan, bukan hanya kebaikan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai agar jangan bermusuhan terus, akan tetapi pada hakekatnya untuk kebaikan perjuangan bangsa kita yang sedang berusaha untuk merobohkan pemerintah penjajah."

Kata-kata Bun Lim Kwi sangat bersemangat, kemudian pemuda ini menuturkan secara singkat mengenai pertemuan di Hoa-san-pai tempo hari yang hampir saja mengakibatkan pertempuran besar-besaran kalau saja tidak dilerai oleh Beng San. Kwee Sin mendengar dengan rasa kagum. Juga Beng San girang sekali mendengar ini.

"Bagus sekali jika begitu, saudaraku Bun Lim Kwi! Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau pergilah bersama Kwee-enghiong ke Hoa-san-pai. Terserah saja kalau kau hendak singgah ke Kun-lun-pai terlebih dahulu, pokoknya Kwee-enghiong harus dapat mengakhiri permusuhan antara dua partai besar ini. Aku sendiri masih banyak urusan yang harus diselesaikan." Ucapan Beng San ini keluar dari hati yang jujur.

Memang dia merasa girang sekali akan hasil usahanya. Mencari dan membawa Kwee Sin ke Hoa-san-pai sudah berhasil dan dia percaya bahwa Bun Lim Kwi pasti akan menjaga nama baik Kun-lun-pai dan membawa bekas paman gurunya itu ke Hoa-san. Soal ke dua, yaitu tentang permusuhan antara Lim Kwi dan Thio Eng, juga sudah selesai dengan adanya penjelasan dari Kwee Sin tadi bahwa pembunuh ayah Thio Eng ternyata adalah Kim-thouw Thian-li.

Tinggal dua soal lagi yang tak kalah pentingnya, bahkan teramat penting baginya, yaitu, pertama mencari nona Cia yang nyata-nyata telah memegang Liong-cu Siang-kiam, dan ke dua mencari Tan Beng Kui yang dia yakin adalah kakak kandungnya.

Bun Lim Kwi menyanggupi permintaan Beng San dan bersama Kwee Sin dia kemudian meninggalkan tempat itu setelah lebih dulu menjura kepada Thio Eng dan berkata, "Nona Thio, aku bersyukur kepada Thian bahwa kau telah insyaf sekarang bahwa aku bukanlah musuh besarmu dan... dan... semoga kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih... baik..."

Kwee Sin sebelum pergi sempat berkata kepada Beng San, "Orang muda, sebetulnya aku masih penasaran. Kau ini... murid siapakah? Dan sampai di manakah kepandaianmu..."

Beng San buru-buru menjawab, "Ahhh, Kwee-enghiong jangan main-main. Mana aku memiliki kepandaian apa segala? Sudahlah, selamat jalan, Kwee-enghiong, dan bila ada jodoh kelak kita pasti akan bertemu kembali."

Thio Eng hanya memandang saja ketika paman dan keponakan itu pergi, kemudian ia pun menoleh kepada Beng San. "Tan-ko, aku sendiri heran..."

"Hemmm, heran apa lagi? Sudah terang pemuda she Bun itu sangat gagah perkasa, tampan, lagi bukan musuh besarmu dan dia... hemmm, dia suka padamu, apa lagi yang diherankan?"

Wajah Thio Eng menjadi merah sekali, lalu berubah pucat.

"Tan-ko, janganlah kau main-main. Siapa pedulikan dia? Yang aku herankan adalah kau. Kau ini seorang sastrawan muda, nampak lemah dan memang aku tahu kau tidak becus apa-apa. Mengapa kau berani mati mencampuri urusan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, urusan tokoh-tokoh persilatan? Pula, bagaimana kau sampai dapat berhasil membawa Kwee Sin pergi dari kota raja?"

"Aku pernah bekerja sebagai kacung di Hoa-san-pai, tentu saja aku tidak senang melihat Hoa-san-pai bermusuhan dengan Kun-lun-pai. Tentang Kwee Sin, agaknya dia sudah insyaf akan kesalahannya dan dengan suka rela dia ikut aku ke Hoa-san, apa anehnya? Adik Enig, setelah kau sekarang mendengar bahwa pembunuh ayahmu bukan Bun Lim Kwi, melainkan Kim-thouw Thian-li ketua Ngo-lian-kauw, apa yang hendak kau lakukan?"

"Tentu saja aku akan mencari siluman betina itu dan membunuhnya!" jawab Thio Eng dengan gemas.

Beng San teringat betapa gadis ini pernah menyerangnya ketika dulu dia menolong Tan Hok di luar tahu gadis ini, dan teringat pula dia betapa gadis ini adalah murid Thai-lek Swi Lek Hosiang yang dahulu pernah dia lihat membantu Pangeran Mongol Souw Kian Bi. Pula ketika Thio Eng bertempur melawan Lim Kwi, bukankah gadis ini dibantu pula oleh Giam Kin? Untuk mengetahui hatinya, Beng San sengaja memancing.

"Adik Eng, kurasa kau sembrono sekali apa bila hendak mencari Kim-thouw Thian-li. Aku mendengar bahwa dia adalah ketua Ngo-lian-kauw yang berada di kota raja, mempunyai kedudukan tinggi dan berpengaruh besar. Bagaimana kau bisa masuk kota raja dengan selamat? Kurasa tidak baiklah kalau kau menurutkan hati dendam dan nafsu membalas. Kiranya akan lebih baik jika kau menyalurkan dendam hatimu itu dengan jalan yang lebih baik lagi."

"Hem, hemm, kau memang tukang memberi kuliah. Kuliah apa lagi yang akan kau berikan sekarang? Jalan lebih baik apa yang kau maksudkan?"

Thio Eng memandang dengan tajam, tapi mulutnya tersenyum manis. Kembali Beng San merasa jantungnya berdetak-detak menyaksikan sikap dan senyum ini, teringat dia akan pengalamannya dahulu dengan Thio Eng di atas perahu.

"Begini, Eng-moi. Aku mendengar bahwa mendiang ayahmu, Thio San, adalah seorang tokoh Pek-lian-pai, seorang pejuang yang rela mengorbankan nyawa demi perjuangan bangsanya. Karena itu, sudah selayaknya kalau kau sebagai puterinya melanjutkan jejak langkah ayahmu, turut membantu para pejuang yang sedang berusaha membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Bila pada waktu sekarang ini musuhmu, Kim-thouw Thian-li merupakan kaki tangan pemerintah Mongol, maka jika kau membantu para pejuang, bukankah itu sama halnya dengan kau memusuhinya? Nah, kau pikirkan baik-baik, dari pada mengantarkan nyawa sia-sia ke kota raja dan usahamu membalas dendam belum tentu berhasil, lebih baik kau membantu Pek-lian-pai dan para pejuang lainnya."

Berkerut kening yang halus itu. “Mudah saja kau bicara. Suhu tak akan membiarkan aku terbawa-bawa dalam peperangan. Orang-orang yang berpihak pada pemerintah banyak yang jahat, akan tetapi para pejuang itu juga bukan orang baik-baik. Demikian kata suhu. Apa mendiang ayahku akan tewas kalau dia tidak menjadi tokoh Pek-lian-pai? Hemmm, Tan-ko, aku tidak mau terseret dalam urusan perang dan pemberontakan."

Beng San merasa kecewa. Tahulah dia sekarang. Kiranya Thio Eng tidak mau berpihak dalam urusan perjuangan, sesuai dengan perintah suhu-nya. Agaknya Swi Lek Hosiang sudah terkena bujukan orang-orang licin semacam Souw Kian Bi sehingga dia tidak mau membantu para pejuang.

”Jadi kau hendak nekat pergi ke kota raja?" tanyanya, khawatir.

"Aku hendak mencari dan membunuh musuh besarku, kemudian apa bila masih panjang umurku, aku akan mengikuti perebutan gelar Raja Pedang di Thai-san. Tan-ko, terutama sekali aku mengharapkan akan dapat bertemu kembali dengan kau."

Ia pun melangkah maju dan memegang lengan Beng San, menekannya dengan jari-jari gemetar, lalu lari cepat meninggalkan tempat itu. Beng San menarik napas panjang. Ia pun lalu berlari cepat menuju ke arah yang sama dengan gadis itu. Memang dia harus kembali ke kota raja untuk mencari orang yang dianggap kakaknya, dan sekarang dia masih harus menjaga agar Thio Eng tidak sampai tertimpa mala petaka di tempat yang sangat berbahaya itu.

Ilmu lari cepat Beng San sudah tentu lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Thio Eng, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul gadis itu. Diam-diam dia mengikuti dari belakang dalam jarak yang tidak terlalu jauh, akan tetapi juga tidak terlalu dekat sehingga gadis itu takkan dapat melihatnya.

Ternyata olehnya bahwa Thio Eng mengambil jalan lain dan yang lebih dekat ke kota raja. Jalan yang melalui hutan dan gunung yang sunyi lagi sukar. Di kaki sebuah gunung kecil, di pinggir jalan yang sunyi sekali.

Dengan heran dia melihat sebuah rumah yang membuka warung arak. Dilihatnya gadis itu berhenti, memasuki warung ini dan terdengar memesan arak dan makanan. Beng San menelan ludah karena dia pun merasa dahaga ingin minum.

Akan tetapi karena dia tidak ingin gadis itu melihatnya, terpaksa dia hanya bersembunyi di bawah sebuah pohon besar tak jauh dari situ dan mengambil keputusan akan singgah di warung ini setelah Thio Eng selesai makan dan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, sudah dua jam dia menunggu belum juga tampak Thio Eng keluar dari warung itu. Masa makan sampai sedemikian lamanya? la memang tidak berani dekat-dekat karena khawatir terlihat oleh Thio Eng, akan tetapi karena dianggapnya terlalu lama sehingga tidak wajar lagi, dia lalu bangkit berdiri dan berjalan perlahan-lahan menuju ke warung itu.

Ternyata warung itu kosong, tidak kelihatan Thio Eng mau pun penjaga warung. Ia pun menjadi curiga dan pada saat dia hendak membuka mulut, dia mendengar suara orang dari dalam.

"Celaka sekali kau ini! Apa matamu sudah buta? Dia ini kan murid Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang?" Suara ini suara seorang wanita.

Beng San menjadi tidak sabar lagi karena kegelisahannya akan keselamatan Thio Eng. Segera dia berseru. "Di mana tukang warung?"

Sambil berkata demikian, dia melangkah masuk dan hendak terus memasuki ruangan dalam dari mana dia mendengar suara tadi. Hampir saja dia bertumbukan dengan dua orang yang ke luar dari pintu dalam, seorang laki-laki dan seorang wanita. Tiga pasang mata berpandangan dan ketiga orang ini berubah mukanya.

"Hemmm, kiranya kalian ini...?" Beng San berkata dengan senyum pahit, teringat akan pengalamannya dahulu ketika dua orang ini mengaku-ngaku dia sebagai anak!

Dua orang itu memang suami isteri yang dahulu pernah mengakui Beng San sebagai anak, yaitu adalah Hui-sin-liong Ouw Kiu yang tinggi besar dengan muka pucat dan kumis melintang bersama Bi-sin-kiam Bhe Kit Nio si pesolek cantik genit. Suami isteri penjahat ini segera mengenal Beng San. Keduanya terkejut bukan main, akan tetapi Bhe Kit Nio masih sempat berseru sambil menubruk Beng San.

"Aduh, anakku... ke mana saja kau pergi selama ini?"

"Ahhh, Beng San anakku. Akhirnya kau pulang juga...!" Ouw Kiu segera menyambung seruan isterinya.

Akan tetapi Beng San mengelak dari tubrukan-tubrukan itu dan berkata marah. ”Aku bukan anak kalian. Tak perlu bermain sandiwara lagi, karena aku sudah tahu bahwa dulu kalian bersama Hek-hwa Kui-bo sengaja hendak menipuku. Hayo lekas katakan, di mana adanya nona baju hijau yang tadi makan di sini?"

Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio saling pandang, kemudian Ouw Kiu membentak marah, "Anak durhaka kau!"

Kepalan tangannya yang besar dan berat itu melayang ke arah kepala Beng San. Tapi dengan amat mudahnya Beng San miringkan kepala mengelak.

"Kita lenyapkan dulu bedebah ini.” Tiba-tiba Bhe Kit Nio kehilangan kemesraannya dan mencabut pedang, terus menyerang Beng San dengan hebat.

Lihai juga kiranya perempuan yang berjuluk Bi-sin-kiam (Pendekar Sakti Yang Cantik) ini, sekaligus pedangnya sudah melakukan serangan tiga jurus banyaknya, mengarah leher, dada, dan pusar!

Pada saat yang sama, Ouw Kiu sudah mengirim serangkaian serangan lagi yang sangat dia andalkan, yaitu tendangan berantai yang dia beri nama Ban-liong-twi (Tendangan Selaksa Naga)! Kedua kakinya bergerak susul-menyusul dalam tendangan yang cepat dan kuat. Entah sudah berapa banyaknya lawan roboh oleh ilmu tendangan yang sangat dibanggakan dan diandalkan oleh Ouw Kiu ini.

Pengeroyokan dua orang suami isteri ini yang mengeluarkan kepandaian masing-masing sudah terang dimaksudkan untuk membunuh Beng San yang dahulu diakui sebagai anak kandung ini!

Beng San menjadi gemas dan marah. la anggap sepasang suami isteri ini amat jahat dan palsu, apa lagi jika dia ingat bahwa mereka juga sudah menangkap Thio Eng, mungkin dengan maksud keji pula. Betapa pun juga, sebelum mempelajari ilmu silat, Beng San adalah seorang anak yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan filsafat dari kitab-kitab suci, semenjak kecil telah menerima petuah dan pelajaran batin dari para hwesio, maka membunuh manusia baginya merupakan pantangan besar.

Pada waktu dia melihat datangnya serangan-serangan dua orang itu yang sangat hebat mengancam jiwanya, dia menggunakan Ilmu Silat Khong-ji-ciang (Tangan Kosong) yang dulu dia warisi dari kakek Phoa Ti, digabung dengan Ilmu Silat Pat-hong-ciang yang dia warisi dari kakek The Bok Nam. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil mengetuk pergelangan tangan Bhe Kit Nio sehingga pedangnya terlepas, mencelat dan menyambar ke arah suaminya sendiri.

Pada saat itu, Ouw Kiu sedang sibuk dengan ilmu tendangannya, maka pedang isterinya itu dengan keras menyambar lengan kanannya sehingga bagian atas sikunya hampir putus. Ouw Kiu berteriak kesakitan, akan tetapi melanjutkan tendangannya ke arah perut Beng San.

Pemuda ini menggeser kaki ke kiri, tangannya bergerak dan sekali sampok tendangan Ouw Kiu itu menyeleweng dan... mengenai perut isterinya sendiri. Bhe Kit Nio menjerit dan tubuhnya terlempar ke belakang, lalu terbanting dengan napas kempas-kempis!

Ouw Kiu terkejut bukan main, tapi juga gentar menghadapi pemuda yang lihai itu. Sekali melompat dia telah mendekati isterinya, lalu dengan sebelah tangan membangunkannya. Dua orang suami isteri yang sudah terluka itu kemudian tergesa-gesa lari pergi sambil saling bantu, terhuyung-huyung.

Beng San tidak pedulikan mereka lagi, cepat dia berlari masuk. Dalam ruangan yang agak gelap itu dia melihat tubuh seorang gadis yang menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan pingsan.

"Eng-moi...,.!" serunya sambil meloncat maju.

Alangkah terkejut dan herannya ketika dia sudah dekat dengan gadis itu, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu sama sekali bukan Thio Eng si gadis baju hijau, melainkan seorang gadis cantik lain yang berbaju merah!

"Hong-moi…!” tak terasa lagi Beng San berseru kaget.

Gadis ini adalah Kwa Hong yang entah sejak kapan dan bagaimana tahu-tahu bisa berada di tempat itu dalam keadaan pingsan. Pada saat mendapat kenyataan bahwa Kwa Hong pingsan karena tertotok, cepat-cepat Beng San membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan. Setelah jalan darahnya bebas dan kepalanya dibasahi air, Kwa Hong lalu siuman kembali.

"Kau... kau...?!" teriaknya, kaget, heran dan juga girang.

"Benar aku Beng San. Hong-moi, mengapa kau bisa berada di sini dan mengapa pula pingsan?"

Ditanya begini tiba-tiba Kwa Hong menangis dan segera Beng San merangkulnya karena tubuh gadis itu masih lemas sehingga tiba-tiba terguling, tentu akan jatuh ke bawah dipan kalau tidak dipeluknya. Setelah merasa dipeluk pemuda itu, tangis Kwa Hong makin keras dan gadis ini menyembunyikan mukanya di dada Beng San.

Tentu saja Beng San menjadi bingung, hatinya juga berdebar-debar. Dia merasa betapa canggung dan ‘tidak beres’ adegan ini, akan tetapi untuk memisahkan diri dia pun tidak tega.

Semenjak kecil dahulu dia memang merasa amat suka kepada Kwa Hong, sekarang dara itu tanpa malu-malu menangis di dadanya, siapa orangnya tidak berdebar jantungnya? Hati kasihan bercampur sayang mendorong Beng San untuk mengelus elus dan membelai rambut yang hitam halus itu.

"Sudahlah, Hong-moi, mengapa menangis? Lebih baik kau ceritakan pengalamanmu,” ia menghibur.

"Semua orang membenci aku… ahhh, semua orang membenciku..."

Beng San makin heran. "Ehh, apa yang kau katakan ini, Hong-moi? Siapa bilang semua orang membencimu? Yang terang aku tidak membencimu, aku... aku... suka dan sayang kepadamu."

Ucapan ini biar pun keluar dari kejujuran hatinya, akan tetapi kiranya takkan diucapkan kalau saja keadaan Kwa Hong tidak seperti itu dan memang dia hendak menghiburnya. Akan tetapi ucapan ini mendatangkan perubahan hebat pada diri Kwa Hong.

Gadis ini merenggutkan kepalanya dari dada Beng San, matanya yang masih basah dan indah itu memandang tajam, berkedip-kedip lalu bertanya, "Betulkah itu? Coba katakan lagi, betulkah kau suka dan sayang kepadaku?"

Mendadak wajah Beng San menjadi merah sekali. Ah, pikirnya, mengapa ragu-ragu dan malu-malu? Bukankah memang dia suka dan sayang kepada Kwa Hong?

"Tentu saja, Hong-moi. Tentu saja aku suka dan sayang kepadamu."

Aneh! Tiba-tiba Kwa Hong tersenyum lebar, sehingga tampak giginya yang putih dan rapi biar pun matanya masih merah dan basah. "Kalau begitu aku tidak sedih lagi, San-ko. Lihatlah aku bisa tertawa! Orang sedunia boleh benci kepadaku, asal kau suka dan cinta. Hi-hi-hi, San-ko, lucu, ya? Semenjak dahulu aku... aku suka sekali kepadamu, aku cinta seorang yang lemah, tolol tapi gagah perkasa. Ehhh, siapa tahu, kiranya kau... kau pun mencintaku…" Sampai di sini Kwa Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Kagetlah Beng San. Ketika tadi dia mengatakan suka dan sayang, sama sekali dia tidak berpikir tentang cinta, tentang cintanya pemuda-pemudi yang diakhir dengan perjodohan.

"Ini... ini...," ia tergagap.

"San-ko, kau mau bilang apa?" Kwa Hong sudah turun dari dipan, tubuhnya sudah tidak selemas tadi, tenaganya sudah hampir pulih. Dengan mesra gadis ini memegang tangan Beng San.

"Kau... kau belum menceritakan pengalamanmu, Hong-moi."

Gadis itu cemberut ketika diingatkan kepada ini. "Sesudah perayaan di Hoa-san, ayah hendak memaksaku supaya aku suka dengan Thio-suheng. Aku tidak mau, biar pun suhu juga mendesakku. Kemudian ketika ayah membentak-bentak dan menanyakan mengapa aku menolak Thio-suheng, dengan marah pula aku berterus terang kepada ayah bahwa aku suka padamu, San-ko!"

Celaka, pikir Beng San. Masa di depan semua orang gadis ini terang-terangan mengaku kepadanya? Bisa runyam nih!

"Lalu bagaimana, Hong-moi?"

"Melihat semua orang marah dan benci kepadaku, malam harinya aku lalu minggat dari Hoa-san, dan aku hendak menyusul ke kota raja. Aku tahu bahwa untuk mencari Kwee Sin, kau tentu pergi ke kota raja."

"Kenapa kau menyusul aku?"

"Ah, tidak senang di Hoa-san kalau semua orang marah kepadaku, di samping itu, aku... ah, aku tidak tega membiarkan kau sendiri mencari Kwee Sin di kota raja. Kau tentu akan menemui bahaya, maka aku menyusul untuk membantu." Gadis itu memandang mesra, kemudian melanjutkan, "Siapa duga, sesampainya di sini, suami isteri iblis tukang warung itu, ketika aku membeli makanan dan minuman, agaknya dalam minuman diberi racun yang memabukkan. Aku pingsan tak ingat apa-apa lagi, dan tahu-tahu kau telah berada di sini menolongku. Ahh, Beng San-ko... benar-benar aneh. Lagi-lagi kau yang lemah tidak berkepandaian apa-apa muncul sebagai penolong, menolong orang-orang yang memiliki kepandaian. Aneh dan ajaib..."

"Hong-moi, selain kau masih ada lagi seorang gadis lain yang masuk dalam perangkap penjahat-penjahat itu. Tadi kulihat nona Thio Eng memasuki warung ini dan tidak keluar lagi. Biarlah aku mencari dan menolongnya dulu."

la lalu melangkah ke dalam sebuah kamar tak jauh dari ruangan itu dan benar saja, di dalam kamar ini dia melihat Thio Eng rebah di lantai tidak pingsan lagi, akan tetapi kaki tangannya diikat tali kuat-kuat dan mulutnya disumpal kain!

Cepat-cepat Beng San melepaskan tali pengikat kaki tangan gadis itu dan membuang pula kain penyumbat mulut. Akan tetapi, siapa kira, begitu terbebas Thio Eng melompat bangun dan…

"Plak! plak!" dua kali pipi Beng San ditampar dari kanan kiri!

Selagi Beng San melongo saking herannya, gadis itu sambil menudingkan telunjuknya berteriak. "Tidak usah kau tolong aku! Tidak usah kau peduli keadaanku lagi, biarkan aku mampus dan teruskan kau berkasih-kasihan dengan siluman itu!"

Kebetulan sekali Kwa Hong juga sudah masuk ke kamar ini dan dengan kemarahan meluap-luap Thio Eng menudingkan telunjuknya ke arah Kwa Hong. Gadis Hoa-san-pai ini menjadi merah sekali mukanya, merah karena malu dan juga karena marah. Kiranya semua yang ia ucapkan tadi telah didengar oleh gadis baju hijau ini!

Yang repot adalah Beng San. Wah, celaka nih, pikirnya.

"Ehh, ehhh... sabar dulu... Eng-moi, kita bicara di ruangan depan..."

Kwa Hong yang masih merah mukanya itu mendahului meloncat keluar dari kamar. Juga Beng San yang berdebar-debar hatinya cepat-cepat keluar dari kamar itu, memutar otak bagaimana dia harus bertindak untuk menguasai keadaan yang amat gawat dan sulit ini...

Tiba-tiba dia mendengar sambaran angin. Cepat dia menoleh dan kiranya Thio Eng yang sudah meloncat keluar. Gadis ini menggerakkan jari tangan menotok jalan darahnya. Tentu saja gerakan ini terlampau jelas bagi Beng San dan sekiranya mau, pemuda ini dengan mudah akan dapat mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia sengaja diam saja, membiarkan hiat-to (jalan darah) di tubuhnya tertotok. la mengeluh dan roboh lemas.

"Perempuan keji, kau apakan San-ko?" Kwa Hong membentak marah sekali dan gadis ini melangkah maju.

Akan tetapi Thio Eng sudah mencabut pedangnya yang tadi dia dapatkan di dalam kamar, dengan sikap menantang ia berdiri menghadapi Kwa Hong dan berkata dingin.

"Kau perempuan tak tahu malu! Mestinya tinggal di rumah mentaati perintah ayah sebagai seorang anak yang berbakti, eh, malah minggat dan mengejar-ngejar laki-laki! Perempuan macam engkau ini patut mampus di ujung pedangku!"

"Keparat!" Kwa Hong juga mencabut pedangnya yang tadi sudah dapat ia ketemukan di sudut ruangan itu. "Peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kau-kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau cemburu! Ya, kau cemburu dan iri hati melihat kami saling mencinta. Cih, tak tahu malu!"

"Tutup mulutmu!" Thio Eng makin marah, mukanya sebentar merah sebentar pucat.

"Laki-laki tak berbudi semacam ini, siapa menaruh hati? Mulutnya terlalu manis, satu hari mencinta gadis, lain hari mencinta lain orang gadis. Seperti engkau, dia pun juga harus mampus!"

Kwa Hong pucat mukanya dan mengerling ke arah Beng San. Mungkinkah Beng San juga pernah menyatakan cinta kasih kepada gadis ini? Akan tetapi hatinya sudah terlampau panas, sepanas hati Thio Eng.

Tanpa dapat dicegah lagi dua orang gadis ini sudah saling terjang, bertanding pedang dengan hebatnya seperti dua ekor harimau betina memperebutkan seekor kelinci!

“Trang-tring-trang-tring…!” bunyi pedang mereka dan bunga api berkilat di dalam ruangan yang sunyi itu.

Thio Eng adalah murid tunggal Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, kepandaiannya tentu saja hebat. Kwa Hong adalah cucu murid Lian Bu Tojin yang sudah menerima latihan langsung dari ketua Hoa-san-pai ini sendiri, maka ilmu pedangnya juga tak boleh dipandang ringan.

Betapa pun juga, menghadapi Thio Eng, ia menemukan lawan terlalu berat dan segera ia mendapat kenyataan bahwa biar pun ilmu pedangnya tak usah mengaku kalah dari ilmu pedang lawannya, namun dalam hal tenaga Iweekang ia toh kalah banyak. Setiap kali dua pedang bertemu, tangannya tergetar dan makin lama ia semakin terdesak oleh gadis baju hijau itu.

Beng San merasa batinnya tersiksa bukan main menyaksikan pertempuran ini. Dengan amat terheran-heran dia tadi mendengarkan percakapan antara dua orang gadis itu dan benar-benar dia tak mengerti. Mengapa dua orang gadis yang disukai dan disayanginya ini seperti bertempur karena dia?

Beng San masih terlampau hijau untuk bisa menangkap bahwa sesungguhnya dua orang gadis ini mencintanya dan sekarang mereka bertanding karena iri hati dan cemburu, atau secara kasarnya, untuk memperebutkan dia. Dalam kekecewaan hatinya bahkan Thio Eng mempunyai nafsu untuk membunuh Kwa Hong dan dia pula. Dengan penuh kekhawatiran dia melihat betapa Kwa Hong makin terdesak hebat. Setiap saat ujung pedang di tangan Thio Eng mengancam keselamatan nyawanya.

"Eng-moi! Hong-moi! Sudahlah, jangan berkelahi!"

Tiba-tiba Thio Eng dan Kwa Hong tergetar mundur ketika pedang mereka saling bertemu dan pada saat itu Beng San sudah berdiri di antara mereka.

Diam-diam Thio Eng merasa kaget sekali. Dia terheran-heran kenapa pemuda itu begitu cepat sudah dapat bebas dari pengaruh totokannya. “Apakah totokanku tadi kurang tepat sehingga pengaruhnya juga kurang lama?” pikirnya.

Tentu saja dia dan Kwa Hong tidak tahu bahwa mereka tadi keduanya mundur tergetar bukan disebabkan pertemuan pedang mereka, melainkan karena getaran hawa dorongan tangan Beng San yang sengaja melerai mereka.


Kiranya dalam kebingungannya tadi, terbayang oleh Beng San ketika Thio Eng di dalam perahu pernah menangis dalam pelukannya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, maka perasaannya membisikkan dugaan yang membuat dia segera melompat dan mencegah perkelahian itu. Memang sejak tadi dia tidak terpengaruh totokan karena begitu tertotok, dia telah menghentikan jalan darahnya dan hanya pura-pura roboh lemas.



"Eng-moi dan Hong-moi, jangan berkelahi...," katanya pula.

"Kau mau bicara apakah? Hayo bicara cepat, atau kau hendak membantu dia ini?" bentak Thio Eng yang sudah tidak sabar lagi

"Bukan, Eng-moi, bukan begitu..."

"Hemmm, San-ko, apakah kau hendak membela siluman hijau ini?" Kwa Hong bertanya dengan suara dingin.

"Tidak, tidak sekali-kali... ahhh...” Beng San menggeleng-gelengkan kepalanya, mukanya merah sekali lalu berganti kehijau-hijauan karena dia merasa marah, menyesal, malu dan bingung.

"Kalian berdua jangan salah paham, aku... aku tidak berat sebelah... aku sayang dan suka kepada Eng-moi, sama seperti aku juga sayang dan suka pada Hong-moi. Aku tidak pilih kasih, kalian berdua kuanggap seperti adikku sendiri, maka jangan... jangan bertempur..."

Seketika pucat wajah Kwa Hong, sepucat wajah Thio Eng.

"San-ko... jadi kau... kau tadi...?" Kwa Hong tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya jatuh berderai.

"Setan, sudah kuduga! Kau palsu! Di perahu dulu itu...? Ah, laki-laki tak berbudi!" Agaknya Thio Eng tidak sesabar Kwa Hong karena segera ia menggerakkan pedangnya menusuk dada Beng San.

Akan tetapi kali ini Beng San tidak berpura-pura lagi, cepat dia mengelak sambil berkata. ”Di perahu aku berbuat apa? Eng-moi, aku hanya kasihan dan suka kepadamu, juga aku suka dan sayang pada Hong-moi, tapi keduanya kuanggap seperti dua orang teman baik, atau sebagai adik-adikku yang akan kubela, bu... bukan... sebagai kekasih..."

"Ah, kau mempermainkan aku..." Kwa Hong menjadi malu sekali kalau ia ingat betapa tadi ia telah menyatakan cinta kasihnya begitu terus terang, tidak hanya didengar oleh Beng San, malah juga oleh Thio Eng. Pikiran ini membuat ia marah bukan main dan otomatis pedangnya juga digerakkan menyerang Beng San.

Dua orang gadis yang dikecewakan hatinya itu kini hanya mempunyai satu kandungan hati, yaitu membunuh laki-laki yang mereka cinta dan yang kini mereka benci karena tidak membalas cinta kasih mereka. Dua pedang yang tadinya saling gempur itu kini saling bantu untuk berlomba dalam merenggut nyawa Beng San.

Aduh, Beng San bergidik. Benar-benar berbahaya permainan cinta. Cinta kasih dua orang dara ini sama bahayanya dengan dua ujung pedang mereka. Ia terpaksa mengeluarkan kepandaiannya, sekali tangannya bergerak dia telah dapat merampas dua pedang itu dari tangan Thio Eng dan Kwa Hong.

Kedua orang gadis itu seketika melongo karena tidak tahu bagaimana caranya tahu-tahu pedang mereka sudah terampas dan kini Beng San dengan muka sedih mengembalikan pedang mereka, mengangsurkan dengan gagang pedang di depan. Kwa Hong dan Thio Eng seperti mendapat komando lalu merenggut pedang masing-masing dari kedua tangan Beng San dan otomatis kedua pedang mereka sudah menyerang lagi!

Tapi kembali dengan gerakan aneh, tahu-tahu pedang mereka sudah berpindah tangan. Lagi-lagi Beng San mengangsurkan pedang itu terbalik sambil berkata,

"Adik-adikku yang baik, kasihanilah aku. Aku benar-benar sayang kepada kalian."

Mendadak dua orang gadis itu bercucuran air mata.

"San-ko... kiranya kau... kau tidak hanya mempermainkan cinta orang... tetapi juga telah mempermainkan orang dengan berpura-pura tolol dan bodoh..." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Kwa Hong membalikkan tubuh dan lari pergi.

"Orang she Tan... jadi kau... sejak di perahu dulu... kau sudah mempermainkan aku? Ah, alangkah kejamnya kau..." Sambil menangis Thio Eng juga berlari pergi dari situ dengan terhuyuhg-huyung dan lemas.

Tinggal Beng San yang berdiri melongo, memandangi dua pedang di kedua tangannya, berulang-ulang menarik napas panjang dan menjadi bingung. Apakah artinya itu semua? Benarkah dua orang gadis itu mencintanya? Ah, tak mungkin rasanya. Mencinta dia, cinta sebagai seorang kekasih yang mengharapkan dia menjadi suami mereka?

Aneh! Dengan kedua pedang masih dipegangnya, segera terbayanglah wajah gadis gagu, tersenyum-senyum kepadanya dengan wajah diliputi kesayuan. Kemudian terngiang pula di telinganya pesan mendiang Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mengawini perampas Liong-cu Siang-kiam kalau pencurinya itu wanita. Maka terbayang pula wajah puteri Cia yang cantik jelita, gadis yang luar biasa ilmu pedangnya itu.

Hatinya terasa perih kalau teringat kepada dua orang gadis tadi. Akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Mereka cinta kepadanya, itu bukanlah kesalahannya. Tak mungkin dia mengimbangi cinta kasih setiap orang gadis. Dan memang sesungguhnya hatinya masih bersih dari perasaaan ini. Agaknya hanya kepada gadis gagu itulah dia dapat mencinta, atau... kepada puteri pencuri pedangkah?

"Setan!" Beng San memaki diri sendiri mengusir bayangan semua gadis itu.

Sepasang pedang rampasannya dia simpan, dijadikan satu dan disembunyikan di balik jubahnya. "Tak mungkin aku memikirkan gadis-gadis itu, paling perlu sekarang aku pergi mencari kakakku di kota raja."

Makin diingat semakin yakinlah hatinya bahwa pemuda she Tan yang dahulu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Souw Kian Bi itu tentulah Tan Beng Kui, kakaknya. Masih ingat betul dia akan muka kakaknya itu. Hanya satu hal yang amat meragukan. Andai kata benar pemuda itu kakaknya, bagaimana dia bisa menjadi seorang yang kedudukannya begitu tinggi dan menjadi sahabat si Pangeran Mongol. la harus menemui Tan Beng Kui atau pemuda itu dan bicara secara terang-terangan.

Dengan cepat Beng San lalu kembali ke kota raja, berusaha sekuat hatinya untuk dapat melupakan peristiwa yang dia alami dengan Kwa Hong dan Thio Eng. Setibanya di kota raja, dia mendengar berita yang amat mengejutkan hatinya.

la sengaja bermalam di rumah penginapan di mana dulu dia mengintai lima orang gagah itu, dan mendengar berita bahwa empat orang kakek gagah itu, ialah Kim-mouw-sai Lim Seng jago Kwi-bun, Kang-jiu Bouw Hin jago Bi-nam murid Siauw-lim-pai dan dua orang kakek Phang pejuang dari Hun-lam, telah tewas semua dikeroyok prajurit-prajurit kerajaan yang dipimpin oleh Tan-ciangkun (Panglima Tan)!

Jadi kakaknya sendiri yang telah memimpin barisan serta membunuh empat orang tokoh pejuang gagah perkasa! Sebetulnya apakah yang terjadi di situ?

Seperti telah diketahui di bagian depan, Phang Khai dan Phang Tui dua orang kakek itu, gagal menangkap Kwee Sin. Bahkan mereka sendiri hampir celaka kalau tidak tertolong oleh penolong rahasia. Setelah mereka sadar dan mendapatkan diri mereka berada di halaman kelenteng di mana mereka bermalam, keduanya menjadi sangat terheran-heran dan juga marah terhadap seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati mereka.

Pada malam ketiga, seperti sudah dijanjikan, mereka mengunjungi rumah penginapan itu dan mengadakan pertemuan dengan Kang-jiu Bouw Hin, Kim-mouw-sai Lim Seng, serta nyonya Liong yang jadi perantara dan orang kepercayaan Ji-enghiong dan Si-enghiong, yaitu dua orang tokoh perjuangan yang menjadi pemimpin-pemimpin dari gerakan rahasia atau jelasnya menjadi kepala jaringan mata-mata yang bergerak di dalam kota raja!

Bouw Hin dan Lim Seng sudah hadir di situ lebih dulu. Nyonya Liong belum juga datang. Terhadap Bouw Hin dan Lim Seng, kedua orang kakek Phang tidak mau menceritakan pengalaman mereka di gedung Kwee Sin.

Akhirnya datang juga nyonya Liong yang kelihatan gelisah dan berduka. Semua ini tidak terlepas dari pandang mata dua kakek Phang yang penuh selidik. Mereka melihat betapa mata yang bening itu sekarang nampak sayu dan ada bekas-bekas air mata. Begitu memasuki kamar itu, nyonya Liong segera memberikan pesannya dengan suara perlahan dan tergesa-gesa.

"Kalian lekas pergi dari sini, keadaan berbahaya. Saudara Bouw Hin dan Lim Seng harap segera berangkat ke tempat markas para pendekar yang dipimpin oleh saudara Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang. Katakan bahwa Ji-enghiong sendiri yang memesan agar mereka memutar pasukan ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan besar Panglima Kok Ci Seng, dan ji-wi Saudara Phang-lopek harap segera mencari pasukan saudara Tan Hok dan minta pasukannya membantu teman-teman di barat yang mengalami pukulan hebat. Harap kalian cepat-cepat pergi dan jalankan tugas dengan baik, keadaan amat gawat di sini." Sambil berkata demikian, nyonya itu memandang kepada dua orang saudara Phang itu dengan sinar mata menyesal.

Phang Tui yang tidak sabar lalu berkata, "Tentu saja semua tugas itu kami terima dengan baik dan akan kami jalankan seperti biasa. Akan tetapi ada satu hal yang kami minta supaya nona Lee bicara terus terang dan memberi penjelasan yang sewajarnya."

Mendengar Phang Tui menyebutnya nona Lee, ‘nenek’ itu mengeluarkan suara tertahan. "Phang-lopek, apa... apa maksudmu...?"

Dalam kegugupannya, nenek ini lupa akan penyamarannya. Suaranya tidak parau seperti biasanya melainkan merdu dan halus, suara seorang wanita muda!

Kini Phang Khai berdiri di samping adiknya, suaranya terdengar kereng penuh tuntutan. "Nona Lee, tak usah kau berpura-pura lagi, kami sudah tahu bahwa kau adalah seorang nona muda yang menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi dan Tan-ciangkun. Semua itu tidak apa dan kami takkan peduli karena kenyataannya kau bekerja untuk perjuangan kita. Akan tetapi apa artinya pengkhianatanmu kepada kami dan memberi tahu kepada Kwee Sin akan ancaman kami hendak menangkapnya? Katakanlah, apa artinya semua ini? Siapa sebenarnya engkau ini? Seorang teman pejuang ataukah seorang pengkhianat, ataukah seorang mata-mata musuh?" Suara Phang Khai lerdengar penuh ancaman.

Tubuh ‘nenek’ itu gemetar. "Phang-lopek, ahhh... tiada kesempatan lagi. Terlalu panjang untuk diceritakan, juga rahasia... ahhh, kalian percayalah kepadaku. Pergilah cepat-cepat meninggalkan kota raja, aku tidak sempat bercerita... entah lain kali, sudahlah, pergilah kalian...”

"Kau harus terangkan lebih dulu!" Phang Tui membentak.

Sedangkan dua orang lain, yaitu Bouw Hin dan Lim Seng, hanya memandang dengan heran. Mereka belum tahu apa yang telah terjadi dan melihat sikap dua orang saudara Phang itu, timbul pula kecurigaan mereka terhadap nyonya Liong yang sekarang jelas adalah seorang nona muda she Lee adanya.

"Tidak...tidak bisa, tak sempat lagi..."

"Kalau begitu, kami akan memaksamu!" Phang Tui dan Phang Khai bergerak dan siap menghadapi ‘nenek’ itu dengan pedang di tangan.

Pada saat itu terdengar suara gerakan orang di luar dan terdengarlah bentakan keras, "Tangkap mata-mata pemberontak!" Sinar senjata rahasia melayang masuk kamar dan terdengar suara keras disusul padamnya lampu penerangan.

Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan menerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.

“Tan Ciangkun, kau sudah ada di sini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat dari pada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!" Orang yang bicara ini mainkan pedangnya dengan hebat sekali.

Empat orang pejuang itu biar pun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat menghadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Dalam beberapa jurus kemudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara ‘nenek Liong’.

Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru. "Ayaaaaa, celaka..., bodoh benar aku...”

Phang Khai berseru pula. "Aduhhh... kalau begitu aku pantas mampus!"

Penerangan dinyalakan dan ternyata empat orang pejuang itu sudah tewas semua.

Tentu saja Beng San hanya mendengar berita tentang kematian empat orang mata-mata pemberontak di tempat itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa yang membuka rahasia mereka itu adalah seorang tokoh yang amat terkenal di kota raja yaitu Lee-siocia.

Beng San membayangkan wajah nona cantik yang menemui Kwee Sin di malam itu, lalu teringat pula dia akan nyonya Liong. Diam-diam dia berpikir keras, tetapi tidak juga dapat mengerti apa maksudnya semua itu. Pada waktu dia mendengar pula bahwa pemimpin penyerbuan yang akhirnya menewaskan empat orang mata-mata pemberontak itu adalah Tan-ciangkun, diam-diam Beng San menjadi sedih sekali.

"Hemmm, ternyata kakakku telah menjadi kaki tangan Mongol, agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi yang jahat itulah. Celaka sekali, kalau orang-orang Han seperti kakakku dan Kwee Sin menjadi kaki tangan penjajah, seperti ribuan orang lainnya yang dapat dipikat dengan harta dan pangkat, lalu bagaimana rakyat bisa terhindar dari penindasan penjajah? Aku harus mengingatkan Kui-ko," demikian Beng San mengambil keputusan di dalam hatinya.

Malam hari itu juga dia berada di depan rumah gedung besar tempat tinggal Tan-ciangkun yang terjaga kuat oleh prajurit-prajurit tinggi besar. Sengaja Beng San memilih waktu pada malam hari agar dapat bicara dengan bebas, dan memilih waktu tuan rumah telah selesai tugas dan sedang beristirahat. la menduga-duga apakah kakaknya itu sudah berkeluarga dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gedung tempat tinggalnya itu betul-betul megah dan mewah.

Melihat Beng San longak-longok di depan pintu gerbang, seorang penjaga menghampiri dan membentaknya.

Beng San malah melangkah maju menghampiri penjaga itu dan berkata ramah. "Harap kau suka memberi tahukan kepada Tan-ciangkun bahwa adiknya Tan Beng San datang hendak bertemu."

Penjaga itu tertegun, memandang lebih teliti lalu memberi hormat karena dia pun melihat persamaan wajah antara pemuda ini dengan komandannya.

"Silakan Kongcu masuk dan menanti di ruang tamu, saya akan melaporkan kedatangan Kongcu," katanya.

Tidak lama kemudian Beng San dipersilakan masuk dan penjaga itu sendiri pergi keluar. Beng San memasuki ruangan dalam dengan hati berdebar tegang. Dia akan berhadapan dengan Beng Kui, orang yang selama ini selalu dirindukan, yang selalu dia bayangkan dan dia impikan. Kakak kandungnya!

"Ada keperluan apakah kau datang ke sini?" Suara yang angkuh dan dingin, makin seram karena suasana di ruangan itu remang-remang dan dingin, lagi sunyi.

Beng San mengangkat muka. Dihatnya orang yang dianggap kakak kandungnya itu duduk di kursi menghadapi meja besar di ruangan yang kosong, pakaiannya dari sutera warna biru. Matanya bersinar-sinar tajam dan mulutnya menyeringai seperti orang mengejek dan memandang rendah.

Sejenak Beng San tidak dapat berbicara, berdiri tegak di depan meja. Kemudian setelah saling berpandangan, ia berkata, "Kau... bukankah kau kakakku Tan Beng Kui? Bukankah aku ini adik kandungmu? Kui-ko, di mana ayah dan ibu? Apa yang telah terjadi padaku waktu aku kecil.”

Suara Beng San mulai menggetar saking terharunya. Sikap dingin kakaknya tak membuat hatinya kecil, tidak mengusir keharuannya bertemu dengan kakaknya ini.

"Aku tidak memiliki adik seperti kau," jawaban ini terdengar dingin sekali sehingga amat mengagetkan hati Beng San. "Pergilah, kau jangan menggangguku."

Beng San menjadi marah, mukanya berubah merah. "Kenapa kau hendak menyangkal? Kenapa hendak membohong dan merahasiakan? Aku yakin bahwa kau adalah kakakku Beng Kui. Kui-ko, apakah kau sudah lupa? Bukankah di punggungmu ada dua tahi lalat? Apa kau lupa bahwa jidat ayah ada goresan bekas luka dan lupa betapa lemah lembut ibu kita? Kui-ko..."

"Diam!" Beng Kui menggebrak meja sambil bangkit berdiri. Kedua matanya memancarkan api kemarahan. "Andai kata dahulu aku mempunyai seorang adik, maka adikku itu sudah mati hanyut di air bah. Lebih baik mempunyai adik mati dibawa banjir dari pada seorang pengacau yang goblok, seorang yang tolol akan tetapi bersikap pintar sendiri, membiarkan dirinya terseret dalam pemberontakan jahat. Sudahlah, kau pergi dari sini, aku tidak kenal kau!”

"Tapi... tapi, aku..." Beng San tergagap, "... aku ingin mengetahui di mana ayah ibuku..." Hampir dia menangis karena sikap kakaknya ini benar-benar di luar dugaannya. Teringat dia ketika di Hoa-san-pai dahulu kakaknya ini pun membuang ludah ketika melihat dia.

"Sudah mati semua.. mati ditelan Sungai Huang-ho..."

Bercucuran air mata di kedua pipi Beng San yang sekarang menjadi pucat. "Di mana... dikuburnya? Aku... aku ingin menyambangi makam mereka... ingin bersembahyang... ah, ayah ibu…"

Kini suara Beng Kui juga terdengar serak dan menggetar. "Di dekat Kiu-liong-kiauw di Shan-si..."

Mendengar suara kakaknya ini, makin terharulah Beng San. la melangkah maju. "Kui-ko... kakak kandungku... tak maukah kau memelukku..?"


Pada saat itu terdengar suara nyaring penjaga dari luar, "Pangeran Souw datang hendak berkunjung kepada Tan-ciangkun!"

"Pergilah!" kata Beng Kui. "Kau hanya mengacau dan merusak kedudukanku. Aku tidak mau kenal kau lagi. Pergi sekarang, melalui pintu belakang ini, jangan kau datang lagi, kalau nekat, akan kutangkap dan kujatuhi hukuman sebagai pemberontak!"

Seketika menjadi panas hati Beng San. Tidak disangkanya kakak kandungnya sejahat ini moralnya.

"Kau... anjing Mongol, kau sudah membunuh para orang gagah di rumah penginapan dan sekarang kau mengancam hendak membunuh adik kandung sendiri?"

"Tutup mulutmu dan pergilah! Siapa sudi bicara dengan segala macam pemberontak?! Pergi!"

Dengan dada panas seperti hendak dibakar rasanya, Beng San melangkah pergi melalui pintu yang ditunjuk tadi. Begitu keluar, dia tiba di taman belakang dan seorang penjaga sudah siap mengantarnya keluar.

Setelah tiba di tempat gelap, dengan kepandaiannya Beng San menyelinap dan meloncat masuk lagi, langsung dia melayangkan tubuhnya naik ke atas genteng dan di lain saat dia telah mengintai ke dalam ruangan di mana tadi kakaknya menyambut kedatangannya. la melihat Pangeran Souw Kian Bi tertawa-tawa memasuki ruangan itu, disambut dengan penuh kehormatan oleh Tan Beng Kui.

"Ha-ha-ha-ha, Tan-ciangkun, mengapa kau main kucing-kucingan? Bukankah dia itu adik kandungmu yang betul-betul dan yang selama bertahun-tahun ini kau cari-cari?" Pangeran itu tertawa. "Alangkah lucunya kalau kuingat bahwa ketika kecilnya dulu pun aku pernah melihatnya. Ha-ha-ha, adikmu itu tolol akan tetapi berani, sayang... dia mau diperalat oleh pemberontak-pemberontak."

"Hemmm, siapa yang sudi mempunyai adik macam dia? Pangeran, satu kali ini saja aku mengampuni dia karena mengingat keturunan. Akan tetapi jika lain kali dia berani muncul, di dalam hatiku aku sudah menganggap dia seorang anggota pemberontak, bukan adik lagi. Lain kali tanganku sendiri akan menggunakan pedang memenggal lehernya."

"Bagus! Tentu saja aku sudah ketahui semua isi hati dan kesetiaanmu pada pemerintah, Ciangkun. Sekarang marilah kita bicarakan hal penting. Kau tentu tahu bahwa usahaku dengan pasukan melakukan pengejaran atas Kwee-ciangkun yang dilarikan orang-orang Pek-lian-pai tidak berhasil. Tadinya kusangka adikmu yang tolol itu yang berubah lihai dan melarikannya, eh, kiranya dia masih berada di sini. Jadi terang kalau di belakangnya ada tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Maka aku lalu mengerahkan lima orang perwira dan membawa sepasukan yang kuat, dibantu oleh dua cianpwe (orang tua gagah), pergi menyusul ke Hoa-san. Perbuatan kekerasaan menculik Kwee-ciangkun yang telah menjadi perwira ke Hoa-san, cukup dijadikan alasan bahwa Hoa-san-pai hendak membantu pemberontak."

Tan Beng Kui mengangguk-angguk. "Bagus sekali tindakan Pangeran. Akan tetapi kenapa tidak memimpin sendiri atau setidaknya mewakilkan padaku untuk membereskan urusan besar itu."

Souw Kian Bi tertawa bergelak, menyambar cawan arak yang dibawa masuk pelayan lalu diminumnya sekali teguk. "Ha-ha-ha, untuk urusan itu sudah cukup ditangani dua cianpwe itu. Lebih penting sekali adalah urusan di sini, yang terjadi di depan mata kita, Ciangkun."

"Urusan apakah itu?"

"Tan-ciangkun, kita benar-benar sudah dipermainkan oleh musuh. Dari surat-surat yang kudapatkan di tubuh mata-mata pemberontak itu, jelas bahwa kota raja ini penuh dengan jaringan mata-mata yang dipimpin oleh dua orang yang disebut-sebut sebagai Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke empat). Ternyata kedua orang tokoh mata-mata yang ini sudah berada di sini bertahun-tahun lamanya."

"Aku pun sudah mengetahui tentang surat itu. Akan tetapi apakah surat-surat itu dapat dipercaya? Kenapa tidak disebutkan siapa orangnya dan di mana rumahnya? Pangeran, jangan-jangan surat itu hanyalah siasat untuk membingungkan kita saja."

Pangeran itu menggelengkan kepalanya. "Hemmm, wawasanku tidak sesederhana itu, Ciangkun. Tadinya aku sendiri menganggap demikian, akan tetapi setelah aku renungkan dan kuhubung-hubungkan semua kejadian yang lalu, aku malah hampir yakin bahwa aku tahu siapa adanya Ji-enghiong dan Si-enghiong pemimpin mata-mata itu."

"Bagus sekali kalau begitu. Biar pun baru dugaan, lebih baik kita tangkap dulu orangnya, paksa supaya mengaku. Apa sukarnya?" Tan Beng Kui berkata cepat dengan girang.

"Hemmm, kiranya kau masih belum dapat menduga siapa mereka itu? Benar-benar aku heran kalau kau yang biasanya amat cerdik ini masih tidak dapat menduga siapa adanya Ji-enghiong dan Si-enghiong itu?"

"Dalam hal ini aku harus mengakui kekuranganku, Pangeran. Siapakah dua orang tokoh pemberontak itu? Harap suka memberi tahukan dan biarlah aku akan turun tangan sendiri menangkap mereka."

"Seorang di antaranya adalah Kwee Sin."

"Apa...?!" Wajah Beng Kui berubah sekali dan dia benar-benar terkejut mendengar ini. "Pangeran, harap kau jangan main-main!"

"Tidak, Ciangkun. Dugaanku ini tidak mungkin keliru, seorang di antara mereka itu, entah Ji-enghiong entah Si-enghiong, adalah Kwee Sin. Dan yang seorang lagi, sudah tentu adalah Lee Giok..."

"Tidak mungkin!" Beng Kui sampai melompat dari bangkunya, kemudian dia pun tertawa bergelak. "Sekali ini Souw-taijin benar-benar main-main. Lee-siocia adalah puteri keluarga bangsawan Lee yang sudah terkenal, juga dia telah banyak membantu kita. Mana bisa dia dituduh kepala mata-mata? Ahh, aku mana bisa percaya akan hal ini?"

"Tuduhanku bukan hanya serampangan saja, Tan-ciangkun, akan tetapi juga berdasarkan perhitungan. Selama ini segala rahasia kita bocor sehingga gerakan para pemberontak dapat cepat dan semakin mengancam kedudukan kita. Akan tetapi kejadian kali ini, coba Ciangkun pikir. Kwee Sin lenyap, katakanlah diculik musuh-musuhnya akan tetapi kenapa nona Lee Giok terlihat menyamar sebagai seorang nenek dan mengadakan pertemuan dengan dua orang kakek yang mencoba untuk menculik Kwee Sin, kemudian nona Lee Giok bahkan diam-diam menghilang dari kota raja? Dan menurut penyelidikan, nona Lee Giok mengejar Kwee Sin ke Hoa-san."

"Begitukah? Tetapi, bisa jadi kalau nona Lee Giok bermaksud menolong Kwee Sin dari tangan para pemberontak."

Souw Kian Bi tertawa. "Betul ada kemungkinan itu, akan tetapi biarlah kita sama lihat saja. Aku sudah mengutus pasukan itu menyusul dan membawa mereka berdua kembali ke kota raja, kalau perlu menghancurkan Hoa-san-pai."

"Hoa-san-pai adalah partai yang kuat, banyak terdapat orang pandai di sana dan Lian Bu Tojin sendiri mempunyai kesaktian yang tinggi. Mana bisa dihancurkan begitu saja oleh sebuah pasukan?" tanya Tan Beng Kui.

"Ha-ha-ha, kau tidak tahu siapa adanya dua orang cianpwe itu? Seorang adalah Hek-hwa Kui-bo dan orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi Locianpwe. Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak cukup kuat untuk menghancurkan Hoa-san-pai?"

"Hebat! Benar-benar aku takluk kepadamu, Pangeran. Bagaimana kau dapat menarik dua orang locianpwe itu untuk membantu kita menumpas Hoa-san-pai?"

Souw Kian Bi tertawa girang sekali. Jarang dia bisa mendapat pujian Tan Beng Kui yang biasanya amat cerdik dan banyak membuat jasa itu.

"Baiklah, aku berterus terang kepadamu. Hek-hwa Kui-bo dapat ditarik karena permintaan muridnya, Kim-thouw Thian-li..."

"Hemmm, tentu kekasih Kwee Sin itu, bukan? Bagus!"

"Selain kekasih Kwee Sin, Kim-thouw Thian-li dengan Ngo-lian-kauw yang dipimpinnya, harus diakui sudah sangat banyak jasanya terhadap kita, apa lagi dalam hal mengadu domba golongan-golongan pemberontak. Ada pun Siauw-ong-kwi Locianpwe, biar pun dia seorang pertapa yang aneh, tetapi dia berasal dari utara, tentu saja suka membantu kita. Aapa lagi dia ditangisi muridnya yang ingin mendapatkan seorang gadis anak murid dari Hoa-san pai."

"Kau maksudkan si Raja Ular Giam Kin itu, Pangeran?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?" Souw Kian Bi tertawa. "Siluman cilik itu sudah tergila-gila kepada murid Hoa-san-pai yang bernama Thio Bwee. Ha-ha-ha!"

Tan Beng Kui juga tertawa sehingga dua orang berpangkat ini tertawa bergelak. Suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu.

Beng San dengan hati gemas dan kaget cepat pergi dari situ untuk menyusul ke Hoa-san. Hoa-san-pai terancam bahaya besar, pikirnya. Dia harus cepat pergi ke Hoa-san untuk membantu Hoa-san-pai dari kehancuran. Juga kalau betul apa yang dia dengar dari Souw Kian Bi tadi bahwa Kwee Sin adalah seorang pemimpin pasukan mata-mata pejuang, dia harus menyelamatkannya.

Diam-diam Beng San bingung, juga terharu. Betulkah Kwee Sin seorang pejuang? Malah menjadi pemimpin di kota raja, di ‘mulut harimau’? Dan nona muda Lee Giok itu? Betulkah dia pemimpin pejuang pula? Ahhh, rasanya tak masuk di akal….


                  ***************




cerita silat karya kho ping hoo


Biar pun mulutnya memaki-maki Kwee Sin yang berlutut di depannya bersama Bun Lim Kwi, akan tetapi di dalam hatinya Pek Gan Siansu menjadi terharu sekali dan juga girang bahwa bekas muridnya ini sekarang mau menyerahkan diri dan bersedia membersihkan nama baik Kun-lun-pai.


"Kau murid murtad, kembalikan pedang kami!" kata Pek Gan Siansu setelah mendengar penuturan Bun Lim Kwi dan mendengar permohonan ampun Kwee Sin yang menangis di depan suhu-nya.

Dengan air mata berlinang Kwee Sin meloloskan pedangnya yang dahulu dia terima dari gurunya. Dengan berlutut dan dengan kedua tangan dia mengembalikan pedang itu.

Pek Gan Siansu memegang pedang dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dalamnya dan…

"Pletakkk!" pedang itu patah menjadi dua potong.

Dilemparkannya potongan pedang ke atas tanah sambil berkata, "Semenjak saat ini kau bukan anak murid Kun-lun-pai lagi. Karena kau sudah dianggap sebagai orang luar yang mencemarkan nama baik Kun-lun-pai dan mengadu Kun-lun-pai terhadap Hoa-san-pai, maka kau adalah tangkapan ketua dan hendak kami antarkan ke Hoa-san-pai. Gara-gara perbuatanmulah pinto kehilangan murid-murid terkasih yang dulu terkenal dengan nama Kun-lun Sam-heng-te! Karena kaulah maka hubungan baik Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai menjadi pecah-belah. Lim Kwi, bersiaplah, kau dan aku sendiri akan mengantarkan orang tangkapan ini ke Hoa-san-pai untuk menebus dosa."

Bun Lim Kwi yang sudah beberapa lamanya melakukan perjalanan berdua dengan Kwee Sin, sudah mendengar penuturan bekas murid Kun-lun-pai ini, dengan suara terharu terus memintakan ampun dan mengingatkan gurunya bahwa sebenarnya Kwee Sin tak pernah melakukan semua perbuatan jahat itu, yang melakukan semua itu adalah orang-orang dari Ngo-lian-kauw.

"Dia sudah begitu rendah untuk jatuh oleh rayuan siluman wanita Ngo-lian-kauw, dengan sendirinya semua perbuatan Ngo-lian-kauw yang tidak ditentangnya menjadi tanggung jawabnya juga." Hanya demikian jawaban Pek Gan Siansu singkat.

Lim Kwi tidak berani membantah lagi dan berangkatlah tiga orang ini ke Hoa-san.

Lian Bu Tojin, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa bersama tosu Hoa-san-pai menyambut kedatangan Pek Gan Siansu, Lim Kwi, dan Kwee Sin.

"Lian Bu Tojin," kata Pek Gan Siansu setelah mereka saling memberi hormat, "bekas murid yang durhaka ini sekarang sudah datang untuk mempertanggung jawabkan semua kesalahannya kepada Hoa-san-pai. Silakan kau mengambil keputusan dan mengadili dia. Kau mau menghukum dia atau apa saja, tidak ada hubungannya lagi dengan kami dari Kun-lun-pai. Maka, dengan datangnya dia ini, kuharap kau suka menghabiskan segala permusuhan dan suka menerima usulku untuk menjodohkan muridku Bun Lim Kwi dengan seorang di antara anak muridmu."

"Pek Gan Siansu, urusan perjodohan adalah urusan baik dan hal ini dapat dibicarakan lain hari. Sekarang yang penting adalah mengadili orang yang selama ini menjadi biang keladi segala keributan. Pinto hendak mendahulukan pengadilan ini."

Ketua Hoa-san-pai itu lalu memberi tanda dengan tepukan tangan dan memerintahkan beberapa orang tosu untuk membawa Kwee Sin ke dalam ‘ruang pengadilan’. Ruangan pengadilan ini berada di tengah-tengah, merupakan ruang yang lebar dan biasanya di sinilah para anak murid Hoa-san-pai Yang melakukan penyelewengan diadili dan dijatuhi hukuman.

Lian Bu Tojin sudah duduk di atas bangku. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa berdiri di kanan kirinya, lalu berturut-turut muncul Thio Ki, Thio Bwee dan Kui Lok yang berdiri di belakang ketua Hoa-san-pai itu. Di pinggir ruangan itu berjajar murid-murid Hoa-san-pai tingkat paling tinggi dan keadaan di situ amatlah angkernya.

Sebagai tamu, Pek Gan Siansu dan Bun Lim Kwi mendapat tempat duduk di samping. Wajah kakek Kun-lun-pai ini nampak muram, demikian pula Bun Lim Kwi. Hal ini tidak mengherankan oleh karena orang yang hendak diadili ini adalah bekas murid Kun-lun-pai.

Oleh seorang tosu penjaga, Kwee Sin dibawa masuk dan disuruh berlutut di depan ketua Hoa-san-pai. Akan tetapi Kwee Sin tak mau berlutut, dan hanya menjura dengan memberi hormat sambil berkata,

"Saya Kwee Sin menghaturkan hormat kepada ketua Hoa-san-pai. Terhadap Hoa-san-pai saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, oleh karena itu saya terpaksa menolak untuk berlutut sebagai seorang pesakitan, saya hanya suka menghadap sebagai seorang yang hendak ditanyai tentang hal-hal yang menjadikan salah paham dan menimbulkan keributan." Suara Kwee Sin tetap dan sama sekali tidak gugup, hanya pandang matanya yang berani menentang siapa saja di situ, tetapi dia selalu menghindarkan pandang mata ke arah Liem Sian Hwa.

Kwa Tin Siong bertugas mewakili gurunya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mendengar ucapan Kwee Sin itu, dengan muka keren dia berkata, "Kwee Sin, kau dengan enak menyatakan tidak mempunyai kesalahan apa-apa kepada Hoa-san-pai. Kalau begitu coba kau jawab dan terangkan soal-soal yang terjadi selama ini, yang sekarang hendak kami tuduhkan kepadamu. Pertama, bukankah ayah sumoi Liem Sian Hwa tewas dalam tanganmu atau setidaknya akibat perbuatanmu? Ke dua, pada saat kau diantar oleh dua orang suheng-mu ke sini beberapa tahun yang lalu, kemudian kau ternyata bersekongkol dengan Ngo-lian-kauw dan malah menipu kami, lari bersama Hek-hwa Kui-bo sehingga terjadi bentrok antara suheng-suheng-mu dengan kami pihak Hoa-san-pai. Bukankah hal ini menjadikan permusuhan dan disebabkan oleh kecuranganmu? Ke tiga, kau lalu lari berkomplot dengan Ngo-lian-kauw, kemudian kau juga menyerbu ke Hoa-san-pai, berhasil membunuh dua orang sute-ku dan melukai kami dengan bantuan Ngo-lian-kauw beserta Hek-hwa Kui-bo pula. Ke empat, kau kini menjadi pembesar di kota raja di samping pihak Ngo-lian-kauw, membiarkan kami dan Kun-lun-pai bermusuhan, saling bunuh-membunuh, sengaja kau diam saja dan membiarkan permusuhan berlarut-larut. Bukankah ini sesuai dengan siasat pemerintah dan memang kau sengaja bermaksud mengadu domba serta menghancurkan Hoa-san-pai? Nah, sekarang coba kau jawab empat macam tuduhan ini lalu katakan bagaimana kau berani bilang tidak bersalah terhadap Hoa-san-pai?"

Wajah Kwee Sin menjadi pucat. Akan tetapi dia berdiri tegak dan matanya bersinar penuh semangat.

”Sekali penyesalan yang layak kutebus dengan nyawa. Demi keutuhan hubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, biarlah pada saat ini aku Kwee Sin, seorang bekas murid Kun-lun-pai..." sampai di sini suaranya menggetar karena terharu, "...aku akan berterus terang. Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong, baiklah aku akan menjawab dan menerangkan pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan itu satu demi satu. Pertanyaan pertama tentang kematian Liem Lo-enghiong, seperti juga dahulu pernah kunyatakan, kematiannya sama sekali bukan sebab perbuatanku. Aku tidak membunuhnya, bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Hal ini berani kunyatakan dengan sumpah sebagai bekas murid Kun-lun..."

"Jangan sebut-sebut nama Kun-lun-pai," kata Pek Gan Siansu, tenang namun berwibawa.

"Maafkan teecu..." Kwee Sin cepat berkata, suaranya parau, kemudian dia menghadapi Kwa Tin Siong lagi. "Aku berani bersumpah sebagai seorang laki-laki, demi kehormatan dan namaku, aku tidak membunuh Liem Lo-enghiong."

Kwa Tin Siong dan yang lain-lain pernah mendengar dari Beng San tentang hal ini, akan tetapi karena menurut anggapan mereka tetap saja Kwee Sin yang telah menjadi biang keladinya, Kwa Tin Siong mendesak terus, "Kalau kau begitu yakin bahwa kau bukan pembunuhnya, sudah tentu kau tahu siapa pembunuhnya yang menggunakan pukulan Pek-lek-jiu? Liem-sumoi menuduh bahwa ayahnya kau bunuh karena ada tanda luka bekas pukulan Pek-lek-jiu, diperkuat dugaan bahwa tentu kau malu dan marah terlihat oleh ayahnya ketika kau berpesiar bersama ketua Ngo-lian-kauw."

Wajah Kwee Sin yang tadinya pucat berubah merah sebentar, lalu pucat lagi.

"Tadinya aku tidak tahu siapa pembunuhnya, baru kemudian ini aku mengetahui semua bahwa memang orang menggunakan namaku dengan maksud mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."

"Siapa orang itu?"

Kwee Sin tampak ragu-ragu, akan tetapi kemudian berkata, "Pembunuh ayah nona Liem adalah Kim-thouw Thian-li ketua Ngo-lian-kauw bersama anak buahnya yang menyamar sebagai anggota-anggota Pek-lian-pai!"

Sunyi seketika, hanya terdengar isak tangis Liem Sian Hwa dan disusul bisikannya, "Aku, harus membasmi Ngo-lian-kauw..."

Akan tetapi kesunyian itu segera dipecahkan oleh suara Kwee Sin yang melanjutkan lagi keterangannya dan kini semua orang kembali mendengarkannya penuh perhatian.

"Keterangan untuk menjawab tuduhan ke dua dapat kujelaskan dengan sumpah pula bahwa ketika aku datang ke sini diantar oleh kedua orang suheng-ku, aku benar-benar bermaksud hendak memberi keterangan seperti yang kulakukan pada ini hari. Akan tetapi, Cuwi sekalian di sini telah mengetahui betapa aku yang hendak mengakhiri hidupku untuk menebus dosa, tidak berdaya ketika disambar pergi oleh Hek-Hwa Kui-bo. Terhadap kepandaian nenek itu, aku yang bodoh bisa berbuat apakah? Dan memang aku mengakui bahwa sejak itu aku bekerja di kota raja sebagai perwira, ada pun hal ini adalah rahasia pribadiku dan tak perlu kuterangkan kepada siapa pun juga."

Pek Gan Siansu mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya. Kakek itu merasa terpukul mendengar betapa bekas muridnya tanpa malu-malu mengaku sudah bekerja sebagai perwira di kota raja, berarti bekerja sebagai anjing penjajah. Padahal dahulu dia tahu betul betapa besar semangat Kwee Sin untuk menentang penjajah dan membantu perjuangan kaum patriot.

"Tentang pertanyaan ketiga, terang aku mengakui bahwa memang ada niat di hatiku untuk melakukan pembalasan dendam atas kematian dua orang suheng-ku di tempat ini. Pada waktu itu kupikir bahwa dua orang suheng-ku itu sama sekali tidak bersalah. Mereka datang hanya untuk mengantar aku dan memaksa aku menjelaskan duduknya perkara. Siapa kira dua orang suheng ku itu, orang-orang gagah perkasa yang berbudi, menemui kematian di sini secara menyedihkan. Karena itulah aku datang melakukan pembalasan, dibantu oleh pihak Ngo-lian-kauw. Sebagai pengganti nyawa dua orang suheng ku, aku berhasil merenggut nyawa dua orang murid Hoa-san-pai, bukankah itu sudah pantas?"......

Sampai di sini Kwee Sin tersenyum pahit, jelas dia memperlihatkan sikap menyesal bukan main.

"Sekarang pertanyaan ke empat, memang aku menjadi pembesar di kota raja. Terhadap permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, aku tak dapat berbuat apa-apa karena kedudukanku sebagai perwira. Dan untuk hal ini pun aku mempunyai rahasia pribadi yang tak dapat kujelaskan sekarang mau pun kelak karena rahasia itu akan kubawa mati. Nah, para orang gagah dari Hoa-san-pai, aku Kwee Sin sudah menjelaskan semua."

Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan Lian Bu Tojin, kemudian dia maju dan berkata pula, suaranya nyaring jelas, "Kwee Sin, kami rasa pengakuan-pengakuanmu itu cukup jujur, kecuali mengenai rahasia pribadi yang kau sembunyikan. Kami kira kau akan cukup jujur pula untuk mengakui bahwa perbuatanmulah yang jadi biang keladi semua permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Selamanya dua partai ini menjadi sahabat-sahabat baik, malah telah ada ikatan kekeluargaan antara kedua partai melalui sumoi dan engkau. Akan tetapi, dengan tak kenal malu kau telah melakukan perhubungan gelap yang sangat hina dengan siluman betina Kim-thouw Thian-li dari Ngo-lian-kauw sehingga terlihat oleh ayah sumoi dan mengakibatkan ayah sumoi dibunuh oleh Kim-thouw Thian-li. Kemudian kau bukannya insyaf, malah kau melanjutkan hubungan itu dengan pihak Ngo-lian-kauw, ditambah lagi menduduki jabatan perwira di kota raja. Sekarang hendak kami tanya, bagai mana pertanggungan jawabmu terhadap semua ini? Ingat, bahwa karena perbuatanmu yang rendah itu, telah banyak jatuh korban, baik di pihak Hoa-san-pai mau pun dari pihak Kun-lun-pai. Dan tanpa ada pertanggungan jawabmu, kiranya dua pihak akan terus turun tangan."

Dengan sikap gagah Kwee Sin mengangkat dada dan berkata nyaring, "Sejak kecil aku dididik oleh Kun-lun-pai untuk menjadi seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran." Sampai di sini suaranya menggetar terharu dan dia mengerling ke arah Pek Gan Siansu yang duduk tak bergerak seperti patung. "Sudah tentu saja aku mengakui semua kesalahanku, yaitu bahwa karena hubunganku dengan Kim-thouw Thian-li maka terjadi keributan dan permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Para orang gagah Hoa-san-pai, aku Kwee Sin mengaku berdosa dan terserah hukuman apa yang hendak kalian jatuhkan kepadaku."

Kembali Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan gurunya, kemudian dia menerima sebatang pedang dari tangan Lian Bu Tojin, pedang pusaka Hoa-san-pai! Dengan tenang dan suara tegas Kwa Tin Siong berkata, "Kesalahanmu terhadap Hoa-san-pai menimbulkan banyak korban nyawa anak murid Hoa-san-pai, karena itu seperti keharusan hukum kang-ouw, hutang nyawa bayar nyawa. Kwee Sin, mengingat akan hubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, Suhu memberi keringanan kepadamu dan mempersilakan kau menjatuhkan hukuman bayar hutang nyawa dengan tanganmu sendiri."

Kwee Sin memandang ke arah pedang itu, lalu menerimanya dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Gan Siansu. "Suhu, perkenankanlah teecu mohon kemurahan hati Suhu untuk terakhir kali. Teecu yang banyak berdosa terhadap Suhu, mohon supaya Suhu yang menjalankan hukuman ini sebagai penebus dosa teecu."

Wajah Pek Gan Siansu agak pucat. Sebetulnya di lubuk hatinya, kakek ini amat sayang kepada Kwee Sin, akan tetapi karena kenyataannya membuktikan bahwa Kwee Sin telah melakukan penyelewengan, dia pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyesal.

"Kau bukan muridku lagi, aku tidak berhak mencampuri urusan hukuman."

Mendengar ini, Kwee Sin bangkit berdiri dengan air mata berlinang, lalu berkata perlahan, "Kwee Sin memang sudah terlalu berdosa, patut mengakhiri hidupnya..."

Pedang berkelebat ke arah lehernya.

"Kwee-enghiong...!" Jerit melengking ini terdengar dibarengi oleh berkelebatnya bayangan kuning yang ternyata adalah seorang gadis cantik berbaju kuning.

Akan tetapi terlambat datangnya, pedang di tangan Kwee Sin sudah membabat lehernya. Jeritan tadi hanya mengagetkan Kwee Sin sehingga gerakan pedangnya agak tertahan dan batang lehernya tidak putus. Akan tetapi luka di lehernya cukup hebat, membuat dia roboh terguling bermandi darah.

Gadis itu menangis dan menubruknya, memeluk dan mengangkat tubuh bagian atas yang dipangkunya. "Kwee-enghiong... kau... kau... ahhh, mengapa kau mau menuruti kemauan orang-orang yang mau enak sendiri? Kwee-enghiong... kau dengarkan aku, kau dengar aku... aku Lee Giok, aku cinta padamu, ahhh… jangan kau tinggalkan aku..."

Nona baju kuning ini bukan lain adalah Lee Giok yang sudah kita kenal suka menyamar sebagai nyonya Liong, mendekap kepala yang berlumuran darah itu sambil menangis. Dia kemudian kelihatan beringas dan marah, diletakkan kembali Kwee Sin ke atas tanah lalu dia meloncat berdiri menghadapi orang-orang Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai yang bengong menyaksikan itu semua.

"Kalian orang-orang kejam! Kalian orang-orang buta tak mengenal orang! Kalianlah yang memaksa Kwee-enghiong membunuh diri!"

Liem Sian Hwa makin sakit hatinya melihat betapa sekarang, selain Kim-thouw Thian-li, ada lagi seorang gadis cantik yang mencinta Kwee Sin dan datang-datang memaki-maki, maka ia pun membentak, "Siluman dari mana datang-datang hendak mencampuri urusan kami?" la melangkah maju dan mencabut pedangnya.

Lee Giok dengan mata berapi memandang Sian Hwa. "Hemm, kau tentulah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa yang dulu menjadi tunangan Kwee-enghiong, bukan? Orang yang mabuk akan dendam, yang memikirkan diri sendiri, yang sempit pandangan. Orang seperti kau ini mana patut disandingkan Kwee-enghiong yang gagah perkasa?"

"Cih, asal buka mulut saja," Sian Hwa balas memaki. "Dia begitu hina untuk berhubungan dengan ketua Ngo-lian-kauw, dan merendahkan diri dengan menjadi kaki tangan penjajah, menjadi pengkhianat bangsa. Dan kau masih memuji-mujinya. Kiranya kau pun tidak akan jauh sifatnya dengan orang-orang macam dia dan Kim-thouw Thian-li!"

"Bodoh! Goblok orang-orang macam kalian!" Lee Giok memaki, air matanya bercucuran. "Ahhh... buta kalian! Dia ini adalah Si-enghiong..."

Tiba-tiba Pek Gan Siansu yang merasa curiga akan semua adegan itu, bertanya. "Siapa itu Si-enghiong (Pendekar keempat)?"

"Nona Lee... ehh, Siok-moi... aku...?”

Mendengar suara ini Lee Giok tidak pedulikan semua orang dan cepat berlutut.

“…kau hati-hatilah... mereka sudah tahu... sudah mulai mencurigai... kita sudah… mereka ketahui… awas... lekas peringatkan dia..."

"Siapa?" Lee Giok bertanya, suaranya tergetar, air matanya mengucur deras.

"Ji-enghiong..."

"Siapa dia? Siapa Ji-enghiong? Lekas kau katakan, sampai sekarang aku sendiri belum tahu siapa Ji-enghiong. Lekas katakan..."

"Dia... dia... dia… ahhhhh...” Kwee Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sudah kehilangan nyawanya.

Lee Giok memeluk dan menangis tersedu-sedu, tak peduli bahwa darah dari leher Kwee Sin membasahi muka dan pakaiannya. Semua orang terharu juga melihat kejadian ini dan tanpa terasa mata Sian Hwa juga menjadi basah.

Pek Gan Siansu tidak tega hatinya. "Lim Kwi, kau rawatlah baik-baik jenazah Kwee Sin. Biar pun dia bukan muridku lagi tapi..."

Lim Kwi yang pada dasarnya berwatak penuh welas asih dan dia memang suka kepada Kwee Sin, segera melangkah maju hendak mengangkat jenazah Kwee Sin.

Akan tetapi Lee Giok membentak. "Jangan sentuh dia!"

Dia lalu bangkit berdiri, dadanya turun naik, napasnya memburu, matanya berkilat-kilat. Wajahnya pucat dan menjadi mengerikan karena berlepotan darah Kwee Sin.

"Kalian tidak berharga untuk menyentuhnya! Kalian ini pengecut-pengecut tak tahu malu. Bermata dua tapi buta tak melihat, tidak dapat membedakan mana yang palsu mana yang tulen, tidak tahu mana yang baik mana yang buruk. Kalian tidak tahu siapa dia yang kalian paksa bunuh diri ini? Dia adalah orang ke dua di kota raja yang memimpin para pejuang melakukan gerakan di bawah tanah. Dia ini adalah orang kepercayaan Ciu-taihiap. Kalian tahu mengapa dia melakukan hubungan dengan Kim-thouw Thian-li? Hal itu disengaja, karena merupakan rencana dari atasan. Kalau tidak mendekati Kim-thouw Thian-li, mana dia bisa memasuki kota raja, mendapat kepercayaan orang-orang yang berkuasa di kota raja? Dia sengaja mengorbankan perasaannya, sengaja menghubungi Kim-thouw Thian-li sehingga para pembesar di kota raja percaya kepadanya, sehingga dengan aman dan mudah dia dapat mengorek rahasia-rahasia ketentaraan dan bisa membantu dan memberi petunjuk kepada saudara-saudara seperjuangan yang bergerak di luar kota raja! Jasanya untuk perjuangan sudah banyak sekali, dia seorang patriot sejati yang tidak segan-segan mengorbankan perasaan, mengorbankan kekasih, mengorbankan segalanya untuk tanah air dan bangsa. Dan kalian ini... orang-orang yang hanya ingat akan kepentingan diri sendiri, tidak peduli akan perjuangan bangsa, malah ribut saling gontok-gontokan antara saudara sendiri, orang-orang macam kalian ini sekarang memaksa dia membunuh diri? Celaka... celaka... semoga Thian mengutuk kalian semua!"

Lee Giok menangis lagi dan semua orang yang berada di situ terpaku dengan muka pucat dan sinar mata bingung. Tidak terkecuali Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin yang saling pandang dengan muka pucat dan sedih. Mereka masih ragu-ragu akan kebenaran semua keterangan nona yang tidak mereka kenal itu.

Keterangan ini aneh luar biasa, terlalu asing sehingga kelihatan agak mustahil. Kwee Sin menjadi pemimpin pejuang di kota raja? Dan semua kelakuannya yang dipandang rendah itu adalah siasat untuk perjuangan?

Akan tetapi keterangan mereka itu lenyap seketika setelah terjadi hal berikutnya…..

Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan, "Tangkap pemberontak! Tangkap mata-mata pemberontak!" Dan serta merta muncullah rombongan pasukan tentara pemerintah yang bersenjata lengkap, jumlahnya seratus orang lebih!

Bukan main kaget hati Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin ketika melihat bahwa di antara pasukan itu terdapat seorang wanita cantik berusia empat puluh tahun lebih, membawa sapu tangan sutera beraneka warna dan seorang kakek berbaju kuning. Betapa tidak akan kaget hati mereka karena wanita yang sebenarnya sudah berusia enam puluh tahun itu adalah Hek-hwa Kui-bo, sedangkan kakek itu adalah tokoh utara yang paling terkenal, yaitu Siauw-ong-kwi Si Raja Setan Cilik, guru dari Giam Kin pemuda pemelihara ular.

Pemuda itu sendiri juga tampak tersenyum-senyum, matanya liar menyambar-nyambar ke arah Kwa Hong dan Thio Bwee. Di sampingnya terlihat pula seorang wanita cantik yang bersikap genit, berpakaian indah dan pesolek. Kim-thouw Thian-li!

Begitu melihat tubuh Kwee Sin yang menggeletak mandi darah di atas tanah, Kim-thouw Thian-li melompat mendekati. Tadinya orang mengira bahwa dia tentu akan menangis menggerung-gerung menyedihi kematian kekasihnya itu. Akan tetapi siapa kira, setelah melihat bahwa Kwee Sin betul-betul sudah mati, ia lalu meludah ke arah tubuh itu sambil berkata.

"Cih, keparat keji! Bertahun-tahun kau menipuku, kusangka betul-betul setia, kiranya kau pemimpin mata-mata anjing pemberontak!" Kakinya diangkat, kemudian dia menendang muka mayat itu.

"Kim-thouw Thian-li siluman betina, jangan kau hina dia!" Lee Giok marah sekali. Dia lalu melompat dan memukul kepala ketua Ngo-lian-kauw itu. Kim-thouw Thian-li menangkis.

"Plakk!" Dua lengan halus bertemu dan keduanya terhuyung mundur.

Diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget, sama sekali tak menyangka bahwa nona yang biasa menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga. Pantas ia menjadi pemimpin mata-mata seperti yang disangka oleh Pangeran Souw Kian Bi, pikirnya.

"Hemmm, kau inikah yang selama ini diam-diam menjadi Ji-enghiong?" ejek Kim-thouw Thian-li dengan suara dingin.

Lee Giok nampak terkejut sekali. "Apa kau bilang ba... bagaimana kau bisa tahu tentang Ji-enghiong?"

"Hi-hi-hi-hi, mata-mata hina…! Kami sudah tahu bahwa Kwee Sin si keparat itu adalah Si-enghiong, dan kau adalah Ji-enghiong? Kalian memimpin mata-mata pemberontak di kota raja."

Tiba-tiba Lee Giok tertawa girang sekali. "Bagus, bagus! Jadi kau sudah tahu sekarang? Memang betul, Kim-thouw Thian-li, Kwee-enghiong adalah pemimpin mata-mata pejuang yang memang bernama Si-enghiong. Jadi selama ini dia bekerja untuk kepentingan para pejuang. Pembesar-pembesar di kota raja telah dipermainkan termasuk kau. Kau kira dia betul-betul cinta kepada siluman macammu? Cih, tak tahu malu. Dan aku... aku memang Ji-enghiong. Nah, kau mau apa?"

Bukan main marahnya Kim-thouw Thian-li mendengar ejekan-ejekan ini. Dengan gerak mata cerdik Kim-thouw Thian-li memandang kepada pihak Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai.

"Cuwi sekalian dari Hoa-san-pai serta Kun-lun-pai, wanita ini adalah seorang pemimpin pemberontak, terpaksa aku dan teman-teman hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kubawa ke kota raja."

Akan tetapi sementara itu Liem Sian Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Inilah Kim-thouw Thian-li, perempuan yang bukan saja merenggut nyawa ayahnya, akan tetapi bahkan yang merampas tunangannya pula. Sekarang mendengar wanita ini hendak membujuk gurunya dan Pek Gan Siansu, ia lantas menerjang dan memaki. "Siluman keji, kau telah membunuh ayahku. Rasakan pembalasanku!"

Pedangnya segera berkelebat menusuk. Kim-thouw Thian-li tertawa dan mengelak, cepat mengeluarkan golok dan membalas serangan Sian Hwa.

Sementara itu, Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin terbangun semangat mereka setelah mendengar dan melihat sendiri kenyataan bahwa Kwee Sin betul-betul seorang pemimpin pejuang, ditambah pula oleh sikap Lee Giok yang gagah perkasa dan patriotik. Dua orang kakek ini begitu bertukar pandang sudah mengambil keputusan yang sama, yaitu akan membela Lee Giok demi penghargaan mereka terhadap perjuangan Kwee Sin.

Sekarang melihat bahwa Sian Hwa telah bertempur melawan Kim-thouw Thian-li dan hal ini tak mungkin mereka hentikan atau cegah mengingat bahwa Sian Hwa tentu akan nekat membalas dendam, melihat pula bahwa bentrokan antara mereka dan pihak pemerintah sudah tidak dapat dicegah lagi, lalu keduanya melangkah maju, siap menghadapi segala kemungkinan. Thio Ki dan Kui Lok juga meloncat maju membantu bibi guru mereka.

"Siluman Ngo-lian-kauw, kaulah pembunuh ayah kami!" teriak mereka sambil menerjang maju.

Kim-thouw Thian-li masih tertawa-tawa dan menghadapi tiga orang itu dengan mainkan goloknya.

"Lian Bu Totiang, apa kau membiarkan saja anak-anak muridmu memberontak?"

Hek-hwa Kui-bo meloncat maju ke hadapan ketua Hoa-san-pai. Loncatannya luar biasa sekali, kedua kakinya seperti tidak bergerak tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan kakek Hoa-san-pai itu. Semua orang yang melihat ini menjadi kagum dan juga keder.

Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan sikapnya yang kereng dan pedang pusaka yang tadi dipergunakan Kwee Sin membunuh diri di tangan kanannya, memandang nenek yang kelihatannya muda itu sambil berkata.

"Hek-hwa Kui-bo, enak saja kau memutar balikkan fakta. Adalah kau yang membiarkan muridmu Kim-thouw Thian-li itu untuk melakukan perbuatan fitnah dan mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, membiarkan muridmu membunuh anak-anak murid Hoa-san-pai dan malah kau selalu membantunya. Sekarang kau datang ke mari pura-pura mencela kepada pinto. Heh, meski pun kau lihai, akan tetapi kejahatanmu pasti tak akan membawa kau kepada kebahagiaan dan keselamatan."

"Hi-hi-hi, tosu bau. Kaulah yang akan mampus, masih banyak tingkah lagi.”

Dengan mengeluarkan suara melengking aneh, Hek-hwa Kui-bo menggerakkan tangan. Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan cepat ia menyerang ketua Hoa-san-pai itu.

Lian Bu Tojin maklum akan kelihaian wanita ini, maka dia tidak berani berayal, cepat-cepat menangkis dan balas menyerang. Seperti juga pada saat ketua Hoa-san-pai ini mengejar Hek-hwa Kui-bo ketika nenek ini menculik Kwee Sin, sekarang Lian Bun Tojin mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang yang dimiliki nenek ini hebat bukan main, kelihatan tidak mengandung tenaga besar akan tetapi hawa pedangnya dingin dan cepat.

Inilah Ilmu Pedang Im-sin-kiam yang dipelajari nenek ini dari kitab yang ia rampas atau curi dari Phoa Ti. Biar pun Lian Bu Tojin sudah mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya, namun tetap saja semua kekuatan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut seakan-akan ditelan oleh hawa dingin ilmu pedang Hek-hwa Kui-bo. Betapa pun juga, Lian Bu Tojin adalah seorang pendeta yang mengutamakan kehidupan suci serta bersih, maka daya tahan di dalam tubuhnya amat kuat dan tidak mudah bagi Hek-hwa Kui-bo untuk merobohkannya secara cepat.

"Heh-heh-heh, nona-nona manis, mari kita main-main sebentar!" Giam Kin ternyata sudah melompat maju dan dengan sikap ceriwis sekali pemuda ini mengulur kedua tangannya untuk menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee.

Dua orang gadis ini membentak dan memaki, sambil mengelak dan mencabut pedang lalu dengan gemas mereka mengeroyok Giam Kin.

Sementara itu, semenjak tadi Bun Lim Kwi memandang ke arah Giam Kin, maka ketika mendengar Kwa Hong dan Thio Bwee memaki-maki dan menyebut nama pemuda muka pucat itu, darahnya segera naik. Jadi inikah orang yang bernama Giam Kin, yang secara pengecut pernah menyerang dan merobohkannya ketika dia bertempur melawan Thio Eng dahulu itu? Hampir saja nyawanya melayang karena pemuda muka pucat yang jahat itu.

"Suhu, dialah orangnya yang hampir saja menewaskan teecu dengan serangannya yang amat curang. Teecu hendak membalas," bisiknya kepada Pek Gan Siansu.

Ketua Kun-lun-pai ini mengangguk, berkata perlahan. "Sudah sepatutnya sekarang kita membantu Hoa-san-pai menghadapi orang-orang jahat itu."

Dengan girang Bun Lim Kwi mencabut pedangnya dan menerjang Giam Kin yang sedang melayani dua orang gadis Hoa-san-pai dengan enak sambil menggoda mereka dengan omongan kasar dan kotor itu.

"Nona berdua harap mundur, biarkan aku memberi hajaran kepada manusia bermulut kotor ini!" bentak Bun Lim Kwi sambil memutar pedangnya.

Akan tetapi karena amat marah kepada Giam Kin, Kwa Hong dan Thio Bwee mana mau meninggalkannya? Dengan begitu Giam Kin segera terkepung dan dikeroyok tiga orang. Giam Kin sibuk sekali. Biar pun dia amat lihai namun dikeroyok oleh tiga orang ini, apa lagi ilmu silat Bun Lim Kwi memang hebat, segera dia terdesak dan sibuk menangkis ke sana ke mari.

"Hemm, curang... curang...! Kulihat ilmu pedang Kun-lun-pai ikut membela Hoa-san-pai!" Suara ini keluar dari mulut Siauw-ong-kwi yang sudah melangkah maju hendak menolong muridnya.

Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat dan Pek Gan Siansu sudah berdiri di depannya dengan pedang pusaka Kun-lun-pai di tangan.

"Perlahan dulu, Siauw-ong-kwi. Biarkan saja bocah sama bocah, tua bangka seperti kau lawannya juga tua bangka seperti aku!"

Siauw-ong-kwi membelalakkan matanya dan tertawa. "Ha-ha-ha, sejak kapan Kun-lun-pai menjadi pembantu para pemberontak?"

"Sejak orang-orang seperti engkau membantu penjajah menindas rakyat," jawab ketua Kun-lun-pai tenang.

"O-ho, Pek Gan Siansu, artinya kau menantang Siauw-ong-kwi?"

"Pinto tidak menantang siapa pun juga. Akan tetapi, Siauw-ong-kwi, semenjak dulu pinto sudah mengenal nama Siauw-ong-kwi sebagai seorang aneh yang tidak suka melanggar kepantasan, seorang tokoh utama di utara yang tak berlepotan lumpur kejahatan. Kiranya sekarang kau terseret ke dalam perangkap penjajah, bahkan kau membiarkan muridmu berlaku keji dan jahat tanpa menghukumnya. Muridmu secara curang pernah berusaha membunuh muridku, sekarang kau hendak membantunya pula. Mana pinto dapat diamkan saja?"

"Bagus Pek Gan Siansu, di antara kita terdapat perbedaan paham, kau sebagai antek pemberontak dan aku sebagai antek pemerintah. Mari, mari... kita bermain-main sebentar, sudah lama tanganku gatal-gatal untuk merasai lihainya pedang Kun-lun-pai!"

Dua orang ini segera bergerak dan bertandinglah keduanya. Pedang Pek Gan Siansu tak usah disangsikan lagi amat hebat gerakannya, kuat dan meski digerakkan secara lambat, namun sinar pedangnya saja cukup untuk merobohkan lawan yang kuat.

Pada lain pihak, Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh paling lihai dari utara. Ilmu silatnya aneh, berinti ilmu tangkap yang menjadi dasar ilmu gulat Mongol, sekarang dia mainkan dengan kedua ujung tangan bajunya yang panjang sehingga bila dipandang sekelebatan tampaknya seolah-olah Siauw-ong-kwi memainkan sepasang pedang.

Jangan dipandang rendah sepasang ujung lengan baju ini. Walau pun terbuat dari kain lemas biasa, namun mengandung tenaga Iweekang yang hebat, kuat untuk menangkis pedang. Kadang-kadang lemas mengancam lawan dengan jeratan maut, kadang-kadang kaku seperti pedang baja atau seperti toya besi!

Kim-thouw Thian-li yang melihat betapa kedua pihak sudah saling gempur segera bersuit keras dan pasukan pemerintah itu sambil berteriak-teriak hiruk-pikuk serentak bergerak menyerbu ke atas. Para tosu Hoa-san-pai yang melihat hal ini tanpa menanti perintah lagi segera memapaki dan terjadilah perang kecil yang cukup hebat di puncak Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ternyata keadaan amat tidak menguntungkan pihak Hoa-san-pai.

Jumlah pasukan pemerintah tidak saja lebih besar, juga mereka ini memang pasukan pilihan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Souw Kian Bi, pasukan yang terbentuk dari serdadu-serdadu yang kosen dan ahli golok, lebih terkenal disebut Barisan Golok Maut. Sebentar saja belasan orang tosu Hoa-san-pai roboh terbacok golok dan keadaannya amat terdesak.

Keadaan pertempuran yang dihadapi para jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai itu juga amat buruk. Menghadapi Sian Hwa yang dibantu dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, ketua Ngo-lian-kauw, Kim-thouw Thian-Ii ternyata jauh lebih lihai. Permainan goloknya biar pun lihai dan aneh, masih belum mampu menindih ilmu pedang tiga orang murid Hoa-san-pai ini.

Akan tetapi sekarang Kim-thouw Thian-li sudah mengeluarkan selendang merahnya yang mengandung hawa beracun, dan pada saat yang amat tak terduga-duga ia mengebutkan selendang merah itu. Bau harum semerbak menyambar. Thio Ki dan Kui Lok yang masih kurang pengalaman, kurang cepat menghindar dan robohlah mereka bergulingan dalam keadaan pingsan.

Liem Sian Hwa yang menjadi marah sekali lalu mempergunakan kesempatan itu. Selagi Kim-thouw Thian-li tertawa-tawa kegirangan dan memerintahkan beberapa serdadu untuk menawan dua orang pemuda ini, setelah tadi berhasil menggulingkan tubuh menghindar dari hawa beracun, dia cepat melompat tinggi kemudian dari atas ia menggunakan gerak tipu Hui-liong Jip-hai (Naga Terbang Memasuki Lautan), dan pedangnya bergerak cepat menyerang lawannya. Tidak percuma nona ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya cepat sekali, sehingga bayangan tubuhnya dan sinar pedang menjadi satu.

Kim-thouw Thian-li kaget bukan main, cepat menangkis dengan golok sambil miringkan tubuh berusaha menyelamatkan dirinya. Akan tetapi tetap saja ujung pedang Sian Hwa secara kilat sudah menyerempet pundaknya sehingga baju pada bagian pundak terbabat robek berikut kulitnya yang putih halus dan darah bercucuran keluar.

"Keparat, rasakan pembalasanku!” Kim-thouw Thian-li berseru keras.

Dia cepat-cepat memberi bubuk obat pada pundaknya yang terluka, kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia menerjang Liem Sian Hwa dengan nafsu membunuh.

Sian Hwa memutar pedang mempertahankan, diri, namun maklum bahwa ia kalah tenaga dan bingung menghadapi ilmu golok yang aneh dan ganas itu. Betapa pun juga, dengan mengertakkan giginya nona pendekar ini melakukan perlawanan nekat. Hatinya gelisah sekali melihat betapa dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, sudah menjadi orang-orang tawanan, diikat kaki tangan mereka dan dibawa mundur oleh beberapa orang serdadu musuh.

Kwa Tin Siong juga sudah melihat betapa dua orang murid keponakannya ini tertawan. Akan tetapi dia pun hanya dapat bergelisah saja karena semenjak pertempuran hebat itu dimulai, Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong ini sudah menerjang maju dan dikeroyok oleh lima orang perwira pasukan musuh secara berganti-ganti. Sudah banyak lawan roboh oleh pedangnya yang lihai, akan tetapi dikeroyok begitu banyak lawan tangguh, dia menjadi terdesak juga dan tidak berdaya menolong dua orang keponakan yang tertawan itu.

Kini melihat betapa sumoi-nya didesak hebat oleh Kim-thouw Thian-li yang ganas, dia berkhawatir sekali. Sambil berseru keras pedangnya diputar seperti ombak menggelora sehingga dua orang pengeroyoknya roboh dan yang lain terpaksa mundur dengan gentar. Kesempatan ini digunakan oleh Kwa Tin Siong untuk melompat dan menerjang Kim-thouw Thian-li.

"Sumoi, jangan khawatir, mari kita bunuh siluman betina ini!" serunya dan pedangnya yang masih berlepotan darah itu menerjang kuat.

"Hi-hi-hi, seorang sumoi dan suheng-nya yang tak bermalu!" Sambil menangkis Kim-thouw Thian-li mentertawakan mereka. "Di luar mengaku sebagai sumoi dan suheng, di mulut memaki-maki Kwee Sin yang serong, tetapi ini bagaimana? Ha-ha-hi-hi-hi, tak bermalu, muka tebal! Siapa tidak tahu bahwa kalian sudah bertahun-tahun main gila? Di depan guru bersikap alim, katanya saudara seperguruan, tapi di belakang guru? Hi-hi-hi, hanya kamar kosong menjadi saksi percintaan kotor sumoi dan suheng!"

Kata-kata yang dikeluarkan Kim-thouw Thian-li ini keras dan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang di situ. Wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi pucat saking marah mereka. Liem Sian Hwa hampir saja pingsan saking marahnya sehingga gerakan pedangnya malah menjadi lambat dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh pingsan.

Kwa Tin Siong membentak, "Siluman betina, mampuslah!"

Pedangnya langsung menyambar, akan tetapi dengan enak Kim-thouw Thian-li dapat pula menangkisnya.

"Ha-ha-ha-ha, malu kan? Kalian saling cinta, siapa tidak tahu akan hal ini? Haiii...! Lian Bu Tojin, kau tosu tua bangka sudah buta, tidak tahu di belakangmu dua orang muridmu main gila?" Tapi ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena serangan hebat yang dilakukan Kwa Tin Siong.

Ucapan Kim-thouw Thian-li yang nyaring ini hebat akibatnya. Lian Bu Tojin yang ketika itu sedang bertanding mati-matian melawan Hek-hwa Kui-bo, seketika tergetar tubuhnya dan pada saat dia menengok ke arah Kwa Tin Siong, dia kurang keras menangkis serangan kebutan sapu tangan sutera yang digerakkan oleh Hek-hwa Kui-bo.

"Plakkk!"

Ujung sapu tangan menghantam dadanya dan Lian Bu Tojin terhuyung mundur dengan muka pucat. Akan tetapi sambil menahan napas kakek ini masih dapat terus melompat ke dekat Kim-thouw Thian-li yang masih mendesak Kwa Tin Siong dengan golok dan dengan mulut yang melontarkan kata-kata menghina tentang dia dan sumoi-nya.

Lian Bu Tojin cepat menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan. Kim-thouw Thian-li berusaha mengelak, namun terlambat.

"Dukkk!"

Punggung Kim-thouw Thian-li kena digempur hingga tubuhnya mencelat terguling-guling dan roboh tak bergerak. Darah merah mengalir dari mulut perempuan ini.

Lian Bu Tojin dengan mata mendelik menghadapi Kwa Tin Siong. "Tin Siong, betulkah kau... kau... betulkah apa yang diucapkan siluman tadi? Betul kau... kau mencinta Sian Hwa?" tanyanya, suaranya yang biasanya lemah lembut itu sekarang kaku parau sebab kemarahannya sudah memuncak.

Selama hidupnya Kwa Tin Siong tak pernah berbohong kepada suhu-nya. Dengan kepala tunduk dia menjawab, "Teecu memang cinta kepada Sumoi, Suhu. Akan tetapi cinta yang bersih... tidak seperti yang dimaksud oleh siluman itu..."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha, cinta kasih antara laki-laki gagah dan perempuan cantik, mana bisa bersih-bersihan? Ha-ha-ha-ha-ha, pintar juga Kwa Tin Siong! Dari pada sumoi-nya tidak laku menjadi perawan tua... Ha-ha-ha-ha-ha duda dan perawan tua, sudah cocok!" Bukan main hebatnya penghinaan ini yang keluar dari mulut Giam Kin.

"Blukkk!"

Dalam kemarahannya, Bun Lim Kwi menggunakan kesempatan saat Giam Kin memecah perhatiannya untuk melontarkan penghinaan ini. Dia berhasil memukul pundak Giam Kin dengan tangan kirinya. Inilah pukulan Pek-lek-jiu dan andai kata orang lain yang terpukul pasti akan roboh binasa.

Akan tetapi Giam Kin adalah orang yang sudah mempunyai kepandaian tinggi. Pukulan ini benar merobohkannya, akan tetapi sambil roboh dia sempat menyambitkan segenggam jarum-jarum halus ke arah Bun Lim Kwi.

Jago muda Kun-lun-pai ini dahulu ketika bertempur melawan Thio Eng pernah roboh dan hampir tewas oleh jarum-jarum berbisa ini. Maka dengan kaget dia melompat jauh untuk menghindar sambil berseru kepada Thio Bwee dan Kwa Hong.

"Ji-wi lihiap, awas!"

Baiknya jarum-jarum itu memang tidak disambitkan ke arah dua orang nona yang ikut mengeroyok Giam Kin ini, maka mereka tak terancam oleh senjata rahasia yang jahat itu. Sementara itu, Kwa Hong yang juga mendengar ucapan-ucapan keji Kim thouw Thian-li tadi, sekarang berdiri dengan muka pucat dan memandang ke arah ayahnya yang ditegur oleh Lian Bu Tojin dan ke arah bibi gurunya yang masih rebah pingsan.

Ada pun Lian Bu Tojin ketika mendengar pengakuan dari Kwa Tin Siong dan kemudian mendengar ucapan Giam Kin, tubuhnya menjadi limbung.

"Huaaak…!”

Dari mulutnya tersembur darah segar. Inilah akibat pukulan selendang sutera Hek-hwa Kui-bo tadi. Kemudian orang tua ini menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang lalu dibacokkan ke arah tubuh Liem Sian Hwa yang menggeletak di atas tanah.

"Suhu…! Ampunkan Sumoi..."

Kwa Tin Siong menubruk maju, menghalangi tubuh sumoi-nya. Lian Bu Tojin kaget dan menahan pedangnya, akan tetapi karena dia sudah terluka gerakannya kurang kuat dan pedang itu tetap masih membacok ke arah leher muridnya yang tertua. Terpaksa Kwa Tin Siong menangkis dengan tangan kirinya.

"Crakkk!"

Pedang pusaka Hoa-san-pai yang amat tajam dan ampuh itu tanpa ampun lagi membabat putus lengan kiri Kwa Tin Siong sebatas pergelangan tangan! Kwa Tin Siong masih terus berjongkok, memondong tubuh Liem Sian Hwa dengan tangan kanannya. Dia berdiri lalu berjalan pergi terhuyung-huyung dengan langkah limbung, tapi cepat sekali dia sudah lari turun gunung.

"Ayah...!" Kwa Hong menjerit dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba dia pun roboh terguling.

Ternyata dalam keadaan kacau itu, selagi semua orang mencurahkan perhatian ke arah peristiwa itu, Giam Kin sudah meloncat maju dan menotoknya roboh. Kejadian ini seperti menjadi tanda bahwa pertempuran di mulai lagi. Bun Lim Kwi menggerakkan pedang menyerang Giam Kin, dibantu Thio Bwee dan kembali mereka bertempur.

"Beraninya kau melukai muridku!" Hek-hwa Kui-bo yang tadi maju menolong Kim-thouw Thian-li yang terluka oleh pukulan Lian Bu Tojin, sekarang melayang maju menyerang ketua Hoa-san-pai itu.

Akan tetapi Lian Bu Tojin sudah menderita luka batin yang amat hebat, sekarang kakek ini malah duduk bersila dan meramkan matanya. Agaknya kakek Hoa-san-pai ini sudah menderita kesedihan terlalu besar karena persoalan murid-muridnya sehingga sekarang dia sengaja menanti pukulan maut lawannya tanpa mau membela diri.

Pada saat itu, terdengar sorak-sorak gemuruh di sekeliling tempat pertempuran. Tiba-tiba muncullah ratusan orang gagah perkasa yang dipimpin oleh seorang tinggi besar. Semua orang menjadi kaget sekali bahkan Hek-hwa Kui-bo sendiri sampai menahan pukulannya.

Akan tetapi setelah menengok dan melihat bahwa yang datang adalah orang-orang yang biasanya disebut pejuang atau yang oleh pemerintah dianggap pemberontak, Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan dengus menghina dan ia melanjutkan pukulannya.

"Lian Bu Tojin, bersiaplah untuk mampus!"

Pedangnya menusuk ke arah dada sedangkan ujung selendang sutera menotok ke arah ubun-ubun kepala Lian Bu Tojin. Dua serangan mematikan yang agaknya akan segera menamatkan nyawa ketua Hoa-san-pai. Akan tetapi pada saat itu tampak dua sinar hitam menyambar.

"Tranggg…!"

Pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo terpukul ke samping sedangkan sinar hitam kedua telah menyambar ke arah siku kirinya, membuat tangan kirinya menjadi lemas dan hawa Iweekang yang tersalur ke arah selendang itu lenyap sehingga selendangnya berubah lemas seperti kain biasa. Sekaligus sambaran dua benda hitam yang ternyata hanya dua buah kerikil itu telah melumpuhkan serangan maut Hek-hwa Kui-bo dan menolong nyawa Lian Bu Tojin!

Hek-hwa Kui-bo kaget dan marah sekali, cepat memutar tubuh dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan lain adalah Beng San. Pemuda ini tersenyum kepadanya.

"Apakah selama ini kau baik-baik saja, Hek-hwa Kui-bo?"

Hek-hwa Kui-bo tertegun dan meragu. Serasa ia mengenal muka pemuda ini, akan tetapi kalau diingat akan kepandaian pemuda ini yang luar biasa tadi ia ragu-ragu dan merasa tidak pernah mengenal seorang pemuda dengan kepandaian demikian hebatnya.

”Kau siapakah?"

"Hek-hwa Kui-bo, lupakah kau kepadaku? Ingatlah akan pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee
dan Ci-hwee..."

"Ahhh, kau Beng San siluman cilik...," dengan marah Hek-hwa Kui-bo teringat akan kitab Im-yang Sin-kiam. "Bagus, kau serahkan Yang-sin Kiam-sut kepadaku!"

Berbareng dengan bentakan ini dia langsung menyerang dengan pedangnya. Beng San mengelak dan melihat bahwa nenek itu menyerangnya dengan Ilmu Pedang Im-sin-kiam, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi karena dia sendiri tidak bersenjata, sukar juga baginya untuk balas menyerang nenek yang kepandaiannya hebat itu sehingga dia hanya main mundur, mengelak ke kanan kiri, meloncat ke sana ke mari.

Sementara itu, rombongan orang gagah yang ternyata dipimpin oleh Tan Hok itu sudah menggempur pasukan pemerintah sehingga perang tanding menjadi semakin ramai. Akan tetapi keadaannya sekarang berubah sama sekali. Apa bila tadi para tosu Hoa-san-pai melakukan perlawanan sia-sia dan banyak di antara mereka yang roboh binasa, sekarang keadaannya berbalik.

Tidak saja para anggota Pek-lian-pai yang datang ini rata-rata memiliki kegagahan dan kepandaian, juga jumlah mereka jauh lebih besar sehingga pasukan pemerintah ditekan hebat dan benar-benar terdesak. Sebentar saja banyak serdadu Mongol roboh dan yang lainnya mulai lemah semangat.

Pertempuran yang hebat dan seru adalah pertempuran antara Pek Gan Siansu dengan Siauw-ong-kwi. Dua orang tokoh besar ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat. Mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi, akan tetapi seperti sudah sering kali terjadi, apa bila dua orang tokoh besar bertempur dan saling mengeluarkan kepandaian, mereka tidak mau saling mengalah.

Mereka bertempur sejak permulaan tadi sampai sekarang, tak pernah berhenti dan sudah mengeluarkan kepandaian masing-masing sampai dua ratus jurus lebih. Betapa pun juga, ilmu kepandaian Pek Gan Siansu adalah ilmu yang bersumber pada ilmu bersih dan asli keturunan Kun-lun-pai, maka dasarnya amat kuat.

Sebaliknya, Siauw-ong-kwi mendapatkan kepandaiannya dari kumpulan bermacam ilmu silat dan baginya tidak ada pilihan apakah ilmu silat itu kotor mau pun bersih sifatnya, semua dipelajari sejak muda dan dari kumpulan ilmu-ilmu silat inilah dia menciptakan ilmu silatnya sendiri yang ganas dan lihai, yaitu dengan senjata kedua ujung lengan bajunya yang panjang.

Mungkin karena kalah murni sumber ilmu kepandaiannya, maka setelah lewat dua ratus jurus, perlahan-lahan Siauw-ong-kwi mulai terdesak oleh sinar pedang Pek Gan Siansu yang hebat itu. Terpaksa dia diam-diam harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut memang benar-benar lihai sekali.

"Ha-ha-ha, Pek Gan Siansu, ilmu pedang Kun-lun benar-benar bukan omong kosong saja. Kulihat barisan pemberontak sudah menyerbu, terpaksa aku tidak suka melayanimu lebih lama lagi. Nanti saja pada pertemuan mendatang kita lanjutkan untuk menentukan siapa sebenarnya Raja Pedang!"

"Siauw-ong-kwi, kau terlalu memuji. Kepandaianmu juga pinto lihat banyak lebih lihai dari pada dulu. Dalam pertemuan di Thai-san nanti kiranya pinto takkan kuat menghadapimu."

Ucapan kakek Kun-lun-pai ini memang dengan sejujurnya. Tadi dia dapat menindih lawannya dengan ilmu pedangnya yang lebih murni dan lebih kuat, akan tetapi dalam hal tenaga dan keuletan, kalau pertempuran ini terus dilanjutkan, dia pasti akan kalah oleh Siauw-ong-kwi yang belasan tahun lebih muda itu.

Siauw-ong-kwi kemudian melesat ke arah muridnya. Ketika itu Giam Kin sudah terdesak hebat oleh Bun Lim Kwi yang dibantu oleh Thio Bwee. Sekali kebutkan ujung lengan bajunya, Siauw-ong-kwi sudah membuat pedang Lim Kwi dan Thio Bwee terpental ke belakang, malah Thio Bwee terhuyung beberapa tindak. Sedangkan Lim Kwi yang lebih tinggi ilmunya hanya tergetar tangannya, tetapi sudah cukup untuk memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk meloncat ke belakang dan menyusul gurunya lari pergi.

Hek-hwa Kui-bo masih saja mengejar-ngejar Beng San dengan Ilmu Pedang Im-sin-kiam. Hatinya terasa makin penasaran karena dia belum juga dapat merobohkan pemuda ini. Sebetulnya, jangankan merobohkan, ujung pedangnya bahkan belum pernah mencium ujung baju pemuda itu yang dengan gesit melompat ke sana ke mari dengan gerakan tidak karuan seperti orang ketakutan, namun setiap lompatannya merupakan kelitan yang amat sempurna dan tepat untuk menghindari serangan-serangan jurus Im-sin Kiam hoat.

Orang-orang yang berada di situ tadinya sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing, maka kedatangan Beng San tidak menarik perhatian. Tetapi sekarang mereka mendapat kesempatan menonton, maka mereka merasa amat heran dan juga khawatir menyaksikan pemuda itu terus dikejar-kejar oleh Hek-hwa Kui-bo.

Pek Gan Siansu adalah seorang tokoh besar yang tajam penglihatannya. Melihat keadaan Beng San, sama sekali dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu pemuda aneh ini memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi karena dia pun maklum akan keganasan Hek-hwa Kui-bo, maka dia segera berkata, "Ha-ha-ha, sungguh lucu bukan main. Hek-hwa Kui-bo dengan pedangnya mengejar-ngejar seorang pemuda. Memalukan betul!"

Oleh karena Hek-hwa Kui-bo sendiri maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli waris Im-yang Sin-kiam, sekarang melihat pertempuran sudah berhenti dan para serdadu sudah lari cerai-berai, apa-lagi Siauw-ong-kwi sudah pergi juga, dia merasa tidak ada harapan kalau harus mengamuk seorang diri.

"Bocah, kalau memang kau ada kepandaian, kelak di Thai-san kita bertemu pula!" katanya gemas dan sekali berkelebat, nenek itu sudah pergi menyusul muridnya dan rekannya yang lain-lain, yang sudah lari lebih dahulu.

Hebat sekali akibat pertempuran itu. Banyak sekali, lebih dari empat puluh orang tosu Hoa-san-pai, menggeletak mati atau terluka. Juga ada beberapa belas orang Pek-lian-pai terluka dan serdadu-serdadu itu meninggalkan mayat dan teman-teman terluka sebanyak tujuh puluh orang lebih.

Di tempat itu penuh dengan mayat dan orang-orang terluka. Darah mewarnai rumput dan tanah, mengerikan sekali….

Lian Bu Tojin masih duduk bersila meramkan mata. Dia terluka hebat dan juga mendapat guncangan batin yang berat. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa tidak kelihatan, sudah lari turun gunung. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok sudah tertawan, dibawa lari oleh musuh. Tinggal Thio Bwee seorang yang sekarang berlutut di depan kakek Hoa-san-pai ini sambil menangis...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12