Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 14
Liu Ta
menjadi merah mukanya, mengangguk dan duduk kembali. Beng Tek Cu juga merah
mukanya dan melanjutkan,
"Tadi
sudah pinto katakan, pendapat pinto keluar dari hati yang jujur, tak peduli
diterima atau tidak oleh yang mendengarkan. Pinto ulangi lagi, pokok pangkal
urusan permusuhan ini terjadi karena gara-gara Kwee Sin. Menurut Lian Bu
totiang, pada saat itu Kwee Sin ditolong dan dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo,
guru dari ketua Ngo-lian-kauw. Dari sini saja sudah terbukti bahwa lagi-lagi
Kwee Sin yang bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw dan akhir-akhir ini kita
semua bahkan sudah mendengar sepak terjangnya membantu Ngo-lian-kauw. Oleh
karena itu, menurut pendapat pinto begini, usul Pek Gan Siansu untuk mengakhiri
permusuhan dengan ikatan jodoh antara murid Kun-lun-pai dan murid Hoa-san-pai
adalah usul yang amat sempurna dan boleh dipuji dan dihormati. Akan tetapi
sudah tentu saja luka di hati pihak Hoa-san-pai takkan terobati kalau di
samping usul baik ini pihak Kun-lun-pai tidak mengambil tindakan yang tegas
terhadap bekas anak muridnya, Kwee Sin. Maka sebaiknya pihak Hoa-san-pai
memberi syarat bahwa Kwee Sin harus dapat diantar ke Hoa-san-pai oleh pihak
Kun-lun mati atau hidup, dan setelah itu barulah diadakan perundingan tentang
ikatan jodoh. Nah, pinto sudah bicara, terserahlah!" la duduk kembali
sambil menghapus keringatnya dengan ujung lengan baju.
Liu Ta
meloncat berdiri, memandang kepada Pek Gan Siansu. "Siansu, harap kau
orang tua izinkan saya bicara untuk membersihkan nama baik Kun-lun yang
dicoreng hitam oleh orang sombong!"
Pek Gan
Siansu sejak tadi sudah menjadi muram wajahnya. Hatinya kecewa bukan main bahwa
maksud baiknya ternyata tidak mendapatkan sambutan yang baik pula. Ia sudah
ribut lebih dulu di Kun-lun dengan muridnya Bun Lim Kwi sebelum datang ke
Hoa-san. la sudah menggunakan banyak kata-kata bujukan supaya Lim Kwi mentaati
kehendaknya dan mau dijodohkan dengan salah satu anak murid Hoa-san-pai demi
untuk memperbaiki dan melenyapkan ketegangan.
Ketua
Kun-lun-pai ini maklum, alangkah beratnya hal ini bagi Lim Kwi. Akan tetapi
karena ketaatan dan kebaktiannya, pemuda itu akhirnya tunduk. Tetapi siapa kira
di sini kembali dia menghadapi pertentangan-pertentangan yang agaknya akan
berakibat tidak baik.
Sekarang
melihat pihaknya dibantu orang, tentu saja dia hanya dapat mengangguk sambil
berkata, "Boleh saja, Liu-enghiong, hanya kuharap kau tetap tak melupakan
maksud baik yang kubawa jauh-jauh dari Kun-lun."
"Lian
Bu totiang," kata tokoh Khong-tong ini sambil menjura kepada ketua
Hoa-san-pai. "Harap saja Totiang tidak mendengarkan omongan mereka yang
memanaskan suasana. Pek Gan Siansu sudah datang membawa maksud yang amat mulia
dan sikap yang sudah amat mengalah. Jika hendak bicara tentang pokok pangkal
pertentangan, aku sama sekali tidak setuju bila dalam hal ini Kun-lun-pai
dipersalahkan. Boleh orang menyalahkan Kwee Sin, namun harus diingat bahwa Kwee
Sin sudah tidak diakui sebagai murid Kun-lun-pai lagi oleh ketuanya. Jika
diingat lagi tentang soal sakit hati, mana yang lebih sakit hatinya? Dua orang
murid Kun-lun-pai terang-terangan telah terbunuh di Hoa-san oleh murid-murid
Hoa-san-pai. Sedangkan pihak Hoa-san-pai yang tewas, apakah ada yang terbunuh
oleh Kun-lun-pai? Semua ini adalah gara-gara satu orang saja, Kwee Sin yang
bukan orang Kun-lun-pai lagi. Maka, menurut pendapatku usul yang amat mulia
dari Pek Gan Siansu ini sudah sewajarnya jika diterima oleh Totiang sehingga
permusuhan berakhir sampai di sini saja."
Ang Kim Seng
yang memang sudah tak senang kepada Beng Tek Cu, lalu menyambung omongan Liu Ta
dengan suara keras.
"Sudah
terang musuh besar Hoa-san-pai bukanlah Kun-lun-pai, melainkan Kwee Sin dan
Ngo-lian-kauw. Mengapa pihak Hoa-san-pai tidak pergi menangkap sendiri Kwee Sin
dan memusuhi Ngo-lian-kauw? Apakah takut karena di sana ada Hek-hwa Kui-bo?” Ia
tertawa mengejek sambil melirik ke arah Beng Tek Cu.
Beng Tek Cu
adalah seorang tosu, artinya seorang yang memeluk Agama To. Akan tetapi dasar
dia berwatak keras, jujur dan galak, maka mendengar omongan ini dia pun
serentak bangun berdiri dan berkata.
"Siapa
bicara tentang takut dan berani? Jika mengira Hoa-san-pai takut, bisa dia
buktikan, tak usah Hoa-san-pai, pinto saja juga tidak mengenal takut! Kita
berunding tentang cengli (peraturan), bukan mau menang sendiri apa lagi
mengadu-adu golongan. Terang sudah bahwa Kwee Sin adalah orang termuda dari
Kun-lun Sam-hengte, jadi terang dia murid Kun-lun-pai. Kalau dia melakukan
kejahatan, biar pun dia dinyatakan bukan murid Kun-lun lagi, namun sudah
sewajarnya kalau Kun-lun-pai bertanggung jawab dan menghukumnya. Ataukah barang
kali Kun-lun-pai memang diam saja kalau namanya dirusak oleh seorang anak
muridnya yang menyeleweng? Hemmm, kami dari Bu-tong-pai memiliki satu aturan
khusus, yaitu bila ada seorang anak murid yang menyeleweng dan melakukan
kejahatan menodai nama baik Bu-tong-pai, tidak boleh ada orang lain yang
bertindak, kami sendiri dari pihak pimpinan akan menghukumnya!"
"Bu-tong-pai
mana bisa disejajarkan dengan Kun-lun-pai?!" bentak Liu Ta sambil bangkit
berdiri, matanya membelalak.
"Memang
tidak bisa, apa lagi kalau dibandingkan dengan Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai.
Kami dari Bu-tong-pai menang jauh dalam hal memegang peraturan!" Beng Tek
Cu ganti membentak sambil membusungkan dada, menantang.
"Beng
Tek Cu manusia sombong! Kau-kira aku takut kepada Bu-tong-pai?” bentak Liu Ta
sambil melangkah maju.
"Jagoan
Khong-tong-pai adalah tukang pukul, mana kenal takut? Baru takut kalau sudah
kalah!" Beng Tek Cu mengejek.
"Wakil
Bu-tong-pai sombong! Hal ini lebih baik diselesaikan di ujung pedang!" Ang
Kim Seng dan Ang Kim Nio berteriak sambil berdiri dan meraba gagang pedangnya.
Keadaan
sudah menjadi tegang sekali. Bahkan kini para pengikut masing-masing pihak
sudah siap untuk bertempur begitu mendapat perintah pimpinan masing-masing.
Pek Gan
Siansu dan Lian Bu Tojin memandang penuh kekhawatiran. Di lubuk hati kedua
orang kakek ini sebetulnya sama sekali tidak menghendaki permusuhan yang makin
hebat dan berlarut-larut. Mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu
silat tinggi, juga memiliki ilmu batin yang kuat, maka tentu saja lebih luas
pandangan dan tidak menyukai digunakannya kekerasan, apa lagi sampai menyangkut
dan menyeret golongan-golongan lain.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa keras sekali. Yang tertawa ini adalah Giam Kin. Pemuda
ini sudah berdiri, ular yang tadi didudukinya sekarang merayap naik dan
melingkar-lingkar di tubuhnya.
"Ha-ha-ha-ha,
memang seharusnya begitu! Belum pernah aku melihat partai persilatan mengadakan
perayaan tanpa pertunjukan silat! Lian Bu totiang dan Pek Gan Siansu! Kita
adalah laki-laki gagah, tidak seperti perempuan, tidak pandai banyak bicara,
lebih pandai mempergunakan kepalan dan pedang. Ada urusan? Tidak perlu bicara
bertele-tele, tarik pedang gunakan kepalan mencari keputusan siapa yang menang
siapa yang kalah. Yang menang dialah yang benar, yang kalah tentu saja salah!
Ha-ha-ha!"
Souw Kian
Bi, Pangeran Mongol yang pesolek tampan itu juga berdiri dan bertepuk-tepuk
tangan. "Tepat sekali! Ucapan Giam-taihiap adalah ucapan seorang jantan.
Memang lebih baik diadakan pertandingan, ruangan cukup lebar! Semua dibagi
menjadi dua golongan, pihak Hoa-san-pai dan pihak Kun-lun-pai. Masing-masing
mengeluarkan seorang jagonya secara bergiliran, lalu diadakan pertandingan.
Yang kalah harus mengakui kesalahannya. Bukankah ini tepat sekali bagi kita
orang-orang yang biasa membawa pedang?"
Sebagian
besar orang-orang muda yang hadir di situ menjadi gembira. Tentu saja mereka
setuju jika diadakan pibu (adu kepandaian), maka dari sana-sini terdengar
sorakan tanda setuju. Bagi orang-orang yang sudah biasa bermain pedang untuk
menyelesaikan sesuatu urusan, tentu saja mereka tidak suka mendengarkan banyak
kata-kata yang muluk-muluk. Apa lagi di waktu keadaan negara sekacau itu, di
mana hukum seakan-akan tidak berlaku lagi dan hukum yang mereka kenal hanyalah
siapa menang dia benar, dan siapa kalah dia salah. Hukum rimba selalu berkuasa
di dalam kekacauan.
Pek Gan
Siansu dan Lian Bu Tojin menjadi serba salah. Mereka juga adalah ketua-ketua
dari partai persilatan yang besar. Tentu saja mereka pun sukar untuk melangkah
mundur, sulit untuk menyatakan sikap ragu-ragu menghadapi perlombaan adu
kepandaian. Dalam dunia kang-ouw sudah jelas bahwa siapa mundur dalam
menghadapi pibu, dia dianggap takut dan pengecut!
Apa lagi
sekarang Thio Ki beserta Kui Lok sudah melompat maju dengan tangan meraba
gagang pedang, keduanya berlomba berkata, "Akulah jago pertama yang maju
membela nama baik Hoa-sanpai!"
Dan Bun Lim
Kwi yang tadinya bermuka muram, sekarang nampak berseri-seri mukanya. Matanya
yang lebar itu bersinar-sinar. Ia memandang kepada suhu-nya dengan pandang mata
penuh permohonan agar diberi ijin untuk mempertahankan nama baik Kun-lun-pai.
Agaknya pertandingan sebagai gantinya perjodohan untuk menyelesaikan perkara
itu tak dapat dihindarkan lagi.
Tiba-tiba
seorang pemuda berlari-lari keluar dari kelompok pengikut yang berada paling
belakang. Pemuda ini bukan lain adalah Beng San. Melihat keadaan sudah begitu
gawat, pemuda ini tak dapat menyembunyikan dirinya lagi.
Ia tidak
peduli akan pandangan orang banyak kepadanya, juga dia menahan hatinya agar
tidak menengok ke arah dua orang yang pada saat itu mengeluarkan seruan heran.
Yang seorang adalah Thio Eng.
Begitu gadis
berbaju hijau ini melihat Beng San berlari-lari menghampiri dua orang ketua
yang sedang bersitegang, gadis ini berseru. "Saudara Tan...”
Dia dapat segera
menahan keheranannya dan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya memandang
dengan mata terbuka lebar ke arah Beng San yang dengan tersaruk-saruk berlari
mendekati dua orang kakek ketua itu.
Orang ke dua
yang berseru heran tertahan adalah pemuda teman Souw Kian Bi. Pemuda ini sampai
bangkit dari bangkunya ketika memandang Beng San. Tentu saja perbuatan dua
orang ini tidak menyolok benar sebab pada saat itu semua tamu juga
memperhatikan Beng San, apa lagi setelah pemuda ini berteriak-teriak.
"Ji-wi
Locianpwe (kedua orang tua gagah), harap tahan dulu! Saya mempunyai dua benda
untuk diberikan kepada Ji-wi!" Beng San yang masih ingin menyembunyikan
kepandaian dirinya sengaja lari tersaruk-saruk dan terengah-engah.
Pek Gan
Siansu memandang heran, dan Lian Bu Tojin tersenyum, lalu berkata halus.
"Beng
San, kau hendak memberi apakah kepada kami?"
Sementara
itu, para tamu sudah saling pandang dan saling bertanya. Siapakah pemuda yang
berpakaian sastrawan itu? Apa maunya bocah ketolol-tololan itu?
Beng San
dengan gugup merogoh-rogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan dua lipat
kertas. Pemuda ini cukup cerdik untuk tidak mau menyebut-nyebut nama Ciu Goan
Ciang. Ia maklum bahwa di situ banyak mata-mata pemerintah dan dia ingat pula
bahwa Souw Kian Bi adalah seorang Pangeran Mongol, maka katanya.
"Ji-wi
Locianpwe, pada saat saya hendak naik ke Hoa-san, di tengah jalan saya dititipi
dua pucuk surat ini untuk Ji-wi dari seorang gagah. Pesannya agar supaya saya
memberikan surat ini kepada Ji-wi untuk mencegah terjadinya pertempuran dan
permusuhan. Silakan Jiwi menerima dan membacanya." Ia menyerahkan sebuah
surat kepada Lian Bu Tojin dan sebuah lagi kepada Pek Gan Siansu.
Tentu saja
kedua orang tua itu menjadi heran sekali, akan tetapi dengan tenang mereka
menerima surat-surat itu. Bahkan Lian Bu Tojin sendiri juga amat terheran
karena belum pernah Beng San menyebut-nyebut mengenai dua surat ini. Wajah
mereka yang tadinya terheran itu menjadi semakin heran dan berubah merah ketika
mereka sudah membuka lipatan surat-surat itu.
Pek Gan
Siansu menujukan matanya yang putih itu kepada Beng San sambil berkata, “Orang
muda, apa maksudmu dengan kelakar ini?"
Juga Lian Bu
Tojin menjadi heran sekali setelah membuka surat, malah segera menegur,
"Beng San, mengapa kau mempermainkan kami seperti ini? Katakanlah, apa
maksudmu dengan main-main ini?"
Beng San
terkejut sekali, lebih-lebih lagi kagetnya ketika dia melihat dua orang kakek
itu membalik kertas surat kepadanya dan setelah dia memandangnya, ternyata
bahwa yang dipegang oleh kedua orang kakek itu adalah sehelai kertas yang tidak
ada tulisannya lagi! Pada kertas hanya ada bekas-bekas tulisan-tulisan yang
sudah tak dapat terbaca karena tulisan-tulisan tinta itu telah lenyap tersapu
air menjadi sehelai kertas kosong!
Otaknya yang
cerdik cepat bekerja dan tahulah dia sekarang bahwa ini adalah gara-gara
pertemuannya dengan gadis baju hijau! la pernah terjatuh ke dalam air dan tentu
saja, ah, alangkah bodohnya, surat itu telah basah oleh air dan tintanya
tersapu hilang!
Jika orang
lain yang berada dalam keadaan seperti Beng San, kiranya dia akan kehabisan
akal dan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, tidak demikian dengan pemuda ini.
Sedetik kemudian dia sudah dapat mengatasi keadaannya dan dapat pula mencari
akal. Melihat dua orang ketua itu memandangnya dengan penuh penasaran dan
pertanyaan, dia malah tertawa lebar.
"Ji-wi
Locianpwe tentu menghendaki penjelasan, bukan?"
"Jelaskanlah
maksudmu main-main ini!" Pek Gan Siansu menegur.
"Beng
San, kau bicaralah," kata Lian Bu Tojin.
Kembali Beng
San tertawa. "Ji-wi (kalian berdua) adalah ahli-ahli kebatinan, masa tidak
tahu akan maksud orang gagah yang memberi surat? Kertas itu kosong dan bersih?
Apa yang lebih sempurna dari pada kosong dan bersih? Kalau Ji-wi dapat
mengosongkan hati dan membersihkan pikiran, kiranya segala keruwetan dunia akan
bisa dipecahkan dengan mudah. Bukankah Nabi Locu dan Nabi Khong-cu sama-sama
menganjurkan supaya kita dalam menghadapi segala hal dapat mengosongkan hati
dan pikiran?"
Pek Gan
Siansu dan Lian Bu Tojin saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Mata hati
mereka kini seperti terbuka. Memang tadi mereka terlalu menurutkan perasaan
hati dan jalannya pikiran, maka hampir saja keduanya tak dapat menguasai
keadaan lagi.
Sekarang
keduanya serentak mengangkat tangan ke arah pengikut dan pembela masing-masing
sambil berkata, "Biarkan orang muda ini bicara sampai habis!"
Perbuatan
ini mereka lakukan karena di sana-sini terdengar suara ejekan serta celaan
terhadap Beng San yang dianggap sebagai orang gila.
Beng San
menjadi lega. Langkah pertama sudah dia ambil dan agaknya telah berhasil pula.
Kemudian dia berkata lagi, suaranya lantang, "Ji-wi Locianpwe, terima
kasih kalau jiwi sudi mendengarkan kata-kata saya selanjutnya. Tetapi lebih
dahulu saya peringatkan bahwa mungkin apa yang akan saya katakan ini tidak enak
didengarnya. Bukankah Nabi Lo-cu pernah bersabda demikian…” Setelah mengambil
satu tarikan napas panjang, Beng San mulai membacakan sabda yang dia maksudkan.
“Kata-kata
jujur tak enak didengar,
kata-kata
enak didengar tidak jujur.
Orang yang
mengerti tidak mau cekcok,
yang suka
cekcok tidak mengerti.
Orang yang
tahu tidak sombong,
yang sombong
tidaklah tahu.
Orang
bijaksana tidak kikir,
Ia
menyumbang sehabis-habisnya,
namun ia
makin menjadi kaya.
la memberi
sehabis-habisnya,
namun ia
makin berlebihan.
Jalan yang
ditempuh langit
selalu
menguntungkan, tidak pernah merugikan.
Jalan yang
ditempuh orang bijaksana selalu memberi,
tidak pernah
merebut.”
Kembali dua
orang kakek itu mengangguk-angguk dan Lian Bu Tojin sambil tersenyum berkata
lirih, "Syair dalam To-tek-keng bagian terakhir."
Beng San
makin senang melihat bahwa Lian Bu Tojin sudah bisa tersenyum dan wajah Pek Gan
Siansu kembali sabar seperti tadi.
"Ji-wi
Locianpwe hampir saja lupa akan sifat-sifat kebajikan dan hampir saja
membiarkan terjadinya kekerasan yang nantinya amat patut disayangkan. Bukankah
Nabi Locu pernah pula mencela kekerasan?”
Dengan suara
lantang kembali Beng San membacakan ujar-ujar dari kitab To-tek-keng.
“Di waktu
hidup, manusia lemah dan lemas,
kalau mati
menjadi kaku dan keras.
Segala benda
hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas
kalau mati
menjadi kering dan getas (mudah patah)
Maka dari
itu,
KAKU KERAS
adalah teman kematian,
LEMAH LEMAS
adalah teman kehidupan.
Inilah
sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak
Pohon kayu
keras mudah menjadi tumbang dan patah.
Oleh karena
itu,
Yang kuat
keras akan tumbang menduduki tempat bawah,
yang lemah
dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas.”
Dua orang
kakek itu kembali saling panjang dan mengangguk-angguk. Memang semua ujar-ujar
To-tek-keng yang diucapkan Beng San untuk mengingatkan mereka ini sangat cocok
dengan isi hati mereka tadi sebelum mereka dibikin panas oleh orang-orang yang
lebih muda.
"Heee!
Apakah kita ini disuruh mendengarkan bualan penjual obat?" seorang muda
yang duduk di belakang, yang tadi sudah ‘panas’ sekarang berteriak mengejek.
“Kita semua
mau dijadikan banci-banci yang tidak memiliki kejantanan!" Giam Kin
tertawa menghina. "Urusan hendak dibicarakan melalui segala macam syair
busuk oleh seorang sastrawan jembel. Apakah kedua pihak sudah tidak punya nyali
lagi untuk mengandalkan kepandaian sendiri?"
"Ha-ha-ha!
Betul itu." Souw Kian Bi menambah minyak ke dalam api. "Aku tidak
mengerti yang manakah yang sebetulnya tidak berani, Kun-lun-pai ataukah
Hoa-san-pai?"
Mendengar
suara-suara mengejek ini, habis sudah kesabaran Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa.
Kebencian nona ini terhadap Kun-lun-pai memang sudah amat mendalam. Hal ini
tidak aneh karena nona ini merasa sakit hati sekali kepada bekas tunangannya,
Kwee Sin yang dianggapnya sudah membunuh ayahnya, kemudian malah membunuh dua
orang suheng-nya, Thio Wan It dan Kui Keng.
Tadi pun dia
sudah kurang sabar melihat gurunya hendak berunding secara damai. Kini dengan
api dan minyak yang dinyalakan oleh Giam Kin dan Souw Kian Bi melalui mulut
mereka yang berbisa, nona jagoan Hoa-san-pai ini telah meloncat maju sambil
mencabut pedang.
"Keparat
Souw Kian Bi! Siapa yang takut? Hoa-san-pai tidak pernah takut, meski harus
menghadapi seorang manusia macammu sekali pun!" Nona ini memang juga amat
benci kepada Souw Kian Bi yang pernah menghinanya dahulu.
Souw Kian Bi
tersenyum-senyum sedangkan para tamu lain berdebar tegang dan tambah gembira.
Pangeran Mongol ini menggerakkan pundaknya.
"Nona
manis, kita semua sekarang sedang mengurus persoalan antara Hoa-san-pai dan
Kun-lun-pai, mengapa kau memilih aku untuk ditantang? Kalau kau tidak berani
terhadap Kun-lun-pai, jangan mencari musuh lain. Ha-ha-ha!"
"Setan
busuk, siapa takut? Boleh orang-orang Kun-lun-pai maju, aku Kiam-eng-cu Liem
Sian Hwa takkan mundur setapak!" Sepasang pedangnya sudah siap di kedua
tangan dan mukanya yang cantik itu menjadi merah, matanya berapi-api.
Beng San
melototkan matanya ke arah Giam Kin dan Souw Kian Bi. Hatinya ingin sekali
memberi hajaran kepada dua orang itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya, lalu
berkata lagi keras-keras.
"Ji-wi
Locianpwe, harap suka mendengarkan kata-kataku sampai habis!"
Pek Gan
Siansu dan Lian Bu Tojin memang amat tertarik oleh ucapan Beng San tadi, maka
mereka segera memberi tanda dengan tangan, mencegah orang-orang itu supaya
tidak ribut sendiri.
Lian Bu
Tojin bahkan membentak Sian Hwa, "Sian Hwa kau duduklah kembali, jangan
lancang mendahului pinto!"
Keadaan
menjadi tenang kembali dan Beng San melanjutkan kata-katanya dengan suara
nyaring.
"Ji-wi
Locianpwe sebagai dua ciangbunjin (ketua) partai besar, hendaknya bertindak wajar
dan sesuai dengan ujar-ujar yang mulia itu. Urusan antara kedua partai Ji-wi
seyogianya diurus mempergunakan kelemasan, yaitu dengan secara damai dan
mengusut keadaan yang sebenarnya. Asal sudah didapatkan siapa ‘salah’, kemudian
yang salah mengakui kesalahannya, bukankah semua masalah akan menjadi beres?
Pembunuhan tidak dapat diselesaikan dengan pembunuhan lain lagi, karena hal itu
akan menjadi makin berlarut, dendam dan sakit hati akan bertumpuk-tumpuk tiada
habisnya."
Kembali
kedua orang kakek itu mengangguk-angguk dan semua tamu sekarang mulai
memperhatikan Beng San. Siapakah pemuda ini? Aneh dan berani sekali sungguh pun
kelihatan tidak memiliki kepandaian silat sama sekali.
"Tadi
ada beberapa orang saudara yang menyinggung-nyinggung bahwa biang keladi dari
pokok persoalan ini adalah Kwee Sin orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte.
Pendapat itu keliru! Pek-lek-jiu Kwee Sin memang mempunyai kelemahan dan
kesalahan, namun bukanlah dia yang melakukan pembunuhan terhadap ayah
Liem-lihiap!"
Kembali suasana
menjadi ramai. Akan tetapi dengan isyarat tangan, kedua orang ketua partai itu
dapat menenteramkan suasana.
"Baik
Kun-lun-pai mau pun Hoa-san-pai adalah partai-partai yang terkena fitnah jahat
dan yang menyebar fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu
domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mengapa demikian? Tentunya mudah
sekali diduga. Ada orang-orang atau pihak tertentu yang tidak ingin melihat dua
partai besar ini bersatu dan umumnya mereka pun tidak ingin melihat rakyat
bersatu padu, lebih senang melihat perpecahan-perpecahan di mana-mana. Orang
gagah yang menitipkan surat kepadaku berkata bahwa apa bila Kun-lun-pai dan
Hoa-san-pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan mau bersatu, maka
dua partai itu akan merupakan kekuatan yang maha hebat dan dapat dipergunakan
untuk menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang
menderita, negara sedang kacau-balau, pergerakan patriotik kini bangkit di
mana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk menanam sahamnya
dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau
perlu bahkan selembar nyawanya untuk tanah air. Masa dalam waktu seperti ini,
Ji-wi Locianpwe hendak membawa anak murid masing-masing untuk saling gempur dan
saling bermusuhan? Di manakah letaknya jiwa ksatria Ji-wi Locianpwe? Di manakah
letak jiwa patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku pendekar-pendekar bangsa
tidak turut berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan
saling bunuh? Semestinya Ji-wi malah bekerja sama membangun dan menghalau
musuh, ehh, siapa kira, tanpa disadari Ji-wi malah bekerja sama untuk merusak
dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati
kehendak mereka. Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam
dan karenanya kita menjadi lemah sehingga kelak mereka mudah menguasai
kita!"
Kini
ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang semenjak tadi
memandang Beng San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat.
Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata seorang pemberontak terhadap
pemerintah Mongol!
"Ketahuilah,
Ji-wi Locianpwe," Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu.
"Ji-wi telah kena dipermainkan oleh pihak Ngo-lian-kauw! Ngo-lian-kauw
yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai Pek-lian-pai dan yang mendorong
Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan
sambil menyamar, jadi dalam hal ini, pihak Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai
tidak salah. Seharusnya Ji-wi memusuhi Ngo-lian-kauw!"
Berubah air
muka dua orang kakek itu. "Tapi..., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku
salah dan malah pergi dengan orang-orang Ngo-lian-kauw? Kenapa pula dia
melakukan semua itu? Beng San, apa bila kau sedang berusaha membersihkan diri
Kwee Sin, kau kurang berhasil," kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala
dengan sangsi.
"Toyu,
memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak
kuanggap muridku lagi. Andai kata kau suka mengulurkan tangan kepada
Kun-lun-pai dan mengajak kami bersama kalian menggempur Ngo-lian-kauw,
percayalah, aku sendiri tidak akan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala manusia
durhaka bernama Kwee Sin!” kata Pek Gan Siansu gemas.
"Baguslah
kalau begitu." Lian Bu Tojin berseru girang. "Pek Gan Siansu,
mendengarkan kesanggupanmu, pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-san-pai tidak
menganggap Kun-lun-pai sebagai lawan, bahkan sebagai kawan untuk bersama-sama
membasmi kaum Ngo-lian-kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!"
Orang-orang
yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua partai ini bersorak girang,
tetapi mereka yang menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.
"Enak
benar bocah ini!" Souw Kian Bi membentak marah. "Ji-wi ciangbunjin
(dua ketua) dari Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai yang sudah tua-tua mengapa mudah
saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini? Ji-wi harus ingat bahwa bocah ini
bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja? Enak benar dia kalau kelak
ternyata bahwa kata-katanya itu bohong semua, bukankah ji-wi akan ditertawai
oleh seluruh kolong langit? Dua orang ketua yang besar dan terkenal sudah
diingusi oleh seorang bocah tak bernama. Apa lagi mendengar kata-katanya bocah
ini, sudah sepatutnya dia kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai
sebagai pemberontak! Ji-wi Lo-cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian di
sini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-san ciangbunjin. Akan tetapi, dia
harus bisa membuktikan dulu omongannya. Dia harus bisa membuktikannya dengan
membawa Kwee Sin ke sini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan
pengakuan Kwee Sin. Bukankah ini adil namanya?"
Dalam kata-kata
ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi
adalah orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi
pemberontak.
Dua orang
kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya, "Orang muda, kau tadi
bicara tentang orang gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia
itu?"
Beng San
yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan
sejujurnya, “beliau she Ciu."
Mendengar
ini, dua orang kakek itu menjadi pucat mukanya. Mereka cepat membungkuk tanda
menghormat.
Sebaliknya,
Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak, "Awaslah siapa saja yang
merasa berdosa, aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo,
saudara Tan, kita pergi!"
Beng San
dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan
yang dia yakini adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang
she Tan ini memandang kepadanya dengan mata melotot, lalu membuang ludah dengan
sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti Souw Kian Bi.
Para tamu
yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini malah
membantu pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap
mengancam, malah ada yang ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan
tempat itu tanpa pamit.
Pek Gan
Siansu menarik napas panjang. "Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan
berani dari pada kita orang-orang tua... ahh, Lian Bu toyu, aku benar merasa
menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi pengganggu perayaan ulang
tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak
kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang
tua akan merasa berterima kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala
ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai saksi utama. Lim Kwi, hayo kita
pergi!"
Bu Lim Kwi,
pemuda gagah ini mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh
lima tindak, tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.
"Orang
she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!"
Hebat sekali
gerakan Bu Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan
tidak menghiraukan bayangan hijau yang datang menyambar ke arahnya, akan tetapi
tahu-tahu…
"Traanggg...!"
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental
karena tangkisannya, menggunakan pedang yang tadinya tergantung pada
pinggangnya. Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan kanannya, sedangkan tangan
kirinya tetap saja memondong pedang pusaka Kun-lun-pai!
Bentrokan
pedang ini tidak berhenti sampai di situ saja karena wanita baju hijau itu,
Thio Eng, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat
sampai lima kali. Terdengar bunyi pedang bertemu sampai lima kali dan pertemuan
yang terakhir itu demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng mau pun Bun Lim Kwi
terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik
dan selama itu Pek Gan Siansu menoleh pun tidak!
Melihat dua
orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak
tanpa memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari kemudian berdiri di
tengah-tengah antara mereka.
"Eng-moi
(adik Eng)... tahan pedang."
"Tan-ko
(kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang
terpendam bertahun-tahun lamanya!" Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya
digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api kemarahan.
"Tidak,
Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi? Eng-moi, ingatlah, kau
menjadi tamu di sini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu
tanpa memandang muka tuan rumah."
Thio Eng
terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik oleh orang sakti, tentu
saja ia mengenal aturan kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San.
Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kun-lun-pai itu bernama Bun Lim Kwi
putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Ayahnya,
Thio San, dibunuh oleh kedua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka,
inilah musuh besarnya. Saking marahnya, ia tadi sampai lupa bahwa dia dan
pemuda musuh besarnya itu kini sedang menjadi tamu Hoa-san-pai, maka tidak
selayaknya dia menyerangnya di tempat itu.
Akan tetapi
Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang
hebat tadi dapat ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya telah memuncak sehingga
peringatan Beng Sen tidak berapa dipedulikannya.
"Maafkan
aku, Tan-ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku
sendiri. He, orang she Bun. Jika kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai
seorang di antara kita mati di sini!" tantangnya mendesak kembali.
Bun Lim Kwi
menjawab dengan nada duka, "Nona, aku tidak mengenalmu... bagaimana kau
bisa memusuhiku...?" Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali. Sepasang
matanya memandang wajah Thio Eng penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga
untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.
"Ayahmu
membunuh ayahku." Thio Eng menyerang lagi
"Adik
Eng, jangan berkelahi di sini. Kau tamu...!" Beng San coba membujuk.
Akan tetapi
Thio Eng yang sudah marah sekali telah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun
Lim Kwi.
Tiba-tiba
mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar.
Gerakan bayangan marah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor burung garuda
saja. Sambil melayang bayangan merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang
berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang digerakan sekaligus
sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang
Lim Kwi yang hendak menangkis.
"Trang...
tranggg...!"
Thio Eng dan
Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur. Ternyata pedang di tangan mereka
itu ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini.
Sementara
itu, dengan gerakan cepat hampir tidak dapat diikuti pandang mata, bayangan
merah itu telah menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang
besar di punggungnya.
Sepasang
mata bersinar-sinar tajam, sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah
cantik seperti bidadari akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan
hati yang mengerikan. Seorang gadis cantik jelita sebaya Kwa Hong, berpakaian
serba merah indah dari sutera merah panjang melambai-lambai. Sepatunya juga
merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja.
meruncing. Seorang nona yang berpakaian serba merah dan luar biasa cantik, akan
tetapi juga nampak gagah perkasa!
"Benar
ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya
sendiri!" Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan
tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah
merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin,
menjura dan berkata.
"Ayahku
karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili
keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada
Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada semua orang
gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pemegang gelar Raja
Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun
kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak
gunung Thaisan. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu
totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan
jelas, membuat semua tamu melongo kagum.
"Ayaaa,
kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagus,
sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!" kata-kata ini
lantas disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul. Mereka adalah dua
orang hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk
diam saja.
Seperti
diceritakan di bagian depan, di dalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk
para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek
petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang kakek ini duduk diam dan
menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah
ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat
dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan
tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.
Nona itu
menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia
tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam
laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio
memegang tongkat, lalu berkata.
"Agaknya
Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Dulu kalian berdua pernah
dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang
ingin menonton pameran tongkat hitam dan putih kalian itu?" Suaranya masih
nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun
juga.
Dua orang
hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan
dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara
ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini
adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai
yang memiliki ilmu tongkat tingkat tinggi.
Memang, oleh
karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio
(Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena
julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja
hitam sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja putih. Mereka
telah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena
memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang
tamu kehormatan.
"Ha-ha-ha,
Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian ayahmu untuk
menjual lagak di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil,
akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu
hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedangmu dalam lima jurus pula.
Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio.
Terang bahwa
hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin
mengalahkan nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi,
sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.
Nona itu
mencibirkan mulutnya. “Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja yang
menakutkan, bagiku tongkat-tongkat macam ini hanya dapat untuk menakut-nakuti
anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku ke sini bukan
untuk melayani segala macam hwesio tua bangka tak tahu malu."
Benar-benar
galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang
hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!
Dua orang
hwesio itu marah sekali, akan tetapi sebagai orang-orang tua mereka dapat
menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu kemarahan di tempat umum.
“Bagus,
kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kau layani kami selama
lima jurus, Nona."
Baru saja
kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu
sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San
kaget dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri, bahkan Lian Bu Tojin
berseru.
"Harap
Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!"
Tak disangka
sama sekali bahwa ucapan ini justru diterima dengan marah oleh nona itu.
Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak.
"Srattt...!"
Semua orang
menjadi silau ketika nona itu sekarang sudah mencabut keluar sepasang pedang
yang luar biasa tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat,
terdengar suaranya,
"Lian
Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!"
Kemudian dia
menari! Ya, menari di antara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu.
Gerakannya indah bukan main, sama sekali tidak seperti orang bersilat,
melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar
seperti bunga, dan ikat pinggangnya yang merah bergulung-gulung pula laksana
hidup. Tubuhnya yang langsing bergerak-gerak dengan indahnya.
Beng San
sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum
bahwa biar pun nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justru
di dalam keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu.
Hanya dengan
tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat
dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat
lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah
keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan
senyum simpul yang manis menarik.
"Heee,
mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San
berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh
jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.
Nona baju
merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam
lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian
ketika roboh oleh ayah dalam lima jurus."
Tiba-tiba
sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, setelah saling bentur mengeluarkan
api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi
kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur
mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan...
"Trang…!
Tranggg…!"
Tongkat
mereka ternyata telah terbabat putus saat mereka dalam gugup tadi tak sempat
mengerahkan tenaga.
Si nona baju
merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan
mata dia sudah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian dia berkata
keras, "Selamat tinggal!"
Tubuhnya
lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah melesat keluar dari tempat itu.
Dua orang
hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat
ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan keluar dengan langkah
lebar.
Sementara
itu, setelah tadi berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu
yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan,
keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya,
pergi tanpa pamit.
Lian Bu
Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam
Kin juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin
Siong masih berusaha keras untuk melanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan
dapat juga dibagi-bagikan biar pun keadaan pesta tidak semeriah tadi.
Kwa Hong
dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San
yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini juga sudah lenyap entah ke mana pula
larinya. Kwa Hong yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang,
sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya ketika ia
melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!
"Ahh,
dia aneh sekali...," pikir dara ini kecewa, “aneh dan gagah bukan main.
Alangkah beraninya dia tadi... hemmm, sayang tidak pandai ilmu silat..."
la melamun
membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian
sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Pada saat dengan kecewa ia
hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik dengan sepotong kertas di atas
meja. Cepat diambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisan tangan
yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.
BENG SAN
BERJANJI MENCARl KWEE SIN.
Cepat Kwa
Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin
Siong berubah.
"Anak
itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semua. Bagaimana mungkin dia dapat
membawa Kwee Sin ke sini?" Betapa pun juga dia memperlihatkan surat itu
kepada gurunya yang menarik napas panjang.
"Memang
bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini telah berhutang budi
kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke
sini, budinya bertumpuk. Tapi... dapatkah kiranya dia berhasil?"
"Meragukan
sekali, Suhu," berkata Kwa Tin Siong. Juga Liem Sian Hwa dan para murid
Hoa-san-pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu
ke Hoa-san.
Akan tetapi
tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar.
"Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin
ke sini!"
Semua mata
memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada
anaknya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi.
Apa yang
menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, serentak tanpa
pamit? Ada banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di
tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang mengguncangkan hati dan
membuat bingung pikirannya.
Mula-mula
pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu
cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu
adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda
itu kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi melihatnya lalu
membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu
penyelidikannya.
Hal ke dua
adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng
untuk mengamat-amati pemuda itu, tapi sekarang dia bisa menduga bahwa Thio Eng
tentu akan berusaha untuk membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi
terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apa lagi kalau yang hendak membunuh itu Thio
Eng, gadis yang... ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini
pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.
Hal ketiga
yang benar-benar mengguncangkan hatinya adalah kemunculan nona she Cia berbaju
merah tadi. Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi
semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh serta
tarian-tariannya. Sama sekali bukan!
Akan tetapi
ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti
mengeluarkan api, yang sebuah panjang dan satu lagi pendek, yang membuat
matanya silau, adalah... Liong-cu Siang-kiam yang dicuri orang dari tangan
Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya?
Berdebar
tidak karuan hati Beng San bila ingat akan hal ini. la harus merampas sepasang
pedang itu kembali dan... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas
kalau dia teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri
pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai
isteri! Dia mengambil isteri nona Cia yang seperti bidadari tadi? Hebat!
Hal ke empat
yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin,
jago termuda dari Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang
menjadi biang keladi segala peristiwa permusuhan itu. Dia merasa yakin bahwa
jika dia bisa mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai untuk mempertanggung
jawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, maka segala permusuhan akan
menjadi beres.
Melihat
sikap Kwee Sin pada saat datang ke Hoa-san-pai, Beng San masih cukup percaya
bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang
kepadanya.
Empat hal
yang sama pentingnya inilah yang membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang
waktu di Hoa-san, biar pun jauh di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus
meninggalkan Hoa-san... ehh, sesungguhnya, pergi meninggalkan Kwa Hong begitu
saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit jerih payah usahanya yang
diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah
Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil
baik…..
****************
Kita ikuti
perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan
Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi menjatuhkan diri
berlutut di depan suhu-nya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang
kepada muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng
kepalanya, lalu mengelus jenggotnya.
"Lim
Kwi, aku tahu bahwa walau pun selama ini kau diam saja tak pernah membantah
semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat
kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kau
keluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong
(ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan.
Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong.
Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir
sekali bahwa pikiranmu berbeda."
"Ampunkan
teecu yang tidak berbakti ini, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu
memaksa diri untuk berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran
teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang dulu telah
terbunuh orang. Setelah mendengar semua kata-kata yang sudah diucapkan orang di
Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum
dilaksanakan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke
dalam hati."
"Hemmm,
lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau kini sudah
menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai
pendapat sendiri. Sekarang katakan, apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau
akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang
Hoa-san-pai?"
Kakek itu
mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.
"Tak
akan sekali-kali teecu berani melanggar garis yang sudah diambil oleh Suhu.
Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu juga takkan membantah
tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi... Suhu,
apakah kematian ayah beserta paman harus teecu diamkan dan biarkan begitu saja?
Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"
"Hemmm,
orang muda... betapa jauh perkiraanmu tentang roh! Bila tak keliru wawasanku,
roh ayahmu dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal, mengapa tadinya
mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka
akan lebih menyesal lagi kalau kelak melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka
sewaktu hidup. Tetapi, aku tak akan berkeras mencegah dan merusak hatimu,
muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kau lakukan?"
"Teecu
tadi sudah banyak mendengar mengenai Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu
berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini
semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri..."
”Hemmm,
jangan kau menyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mau mengakui dia
sebagai muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.
"Baiklah,
Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi
ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah
dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka
sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."
"Hemmm,
kau hendak mengajak dia bertanding?"
"Kalau
perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, teecu hendak mengajak dia pergi ke
Hoa-san secara baik-baik agar segala persoalan menjadi beres dan dapat
diketahui siapa salah siapa benar."
"Ha-ha-ha,
kau hendak berlomba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau
takkan menang, Lim Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya
sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia
merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-san-pai
secara langsung.
Bun Lim Kwi
memandang gurunya, tak percaya dengan kata-kata gurunya barusan.
"Lim
Kwi, jangan kau pandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah
banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan
sikapnya jelas menonjolkan keluar biasaannya. Dia bukan manusia biasa dan
percayalah kepadaku, apa bila kau bertemu kembali dengan dia, kau boleh
mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang
sendiri ke Kun-lun dan menanti beritamu di sana. Semoga kau tak akan
menyeleweng dari jalan kebenaran dan selamanya dapat bersikap sebagai seorang
enghiong dari Kun-lun-pai yang mesti kau junjung tinggi nama besarnya."
Setelah
berkata demikian, sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan
Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la
segera berlutut dan diam-diam merasa amat kagum.
Gurunya itu
biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai
mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai
dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya. Setelah berlutut memberi
hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang.
“Aku masih
harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu,” pikirnya.
Kemudian dia
teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? Ia banyak
mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul
bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar
lagi bahwa Kwee Sin sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara
Kerajaan Mongol.
Ngo-lian-pai
atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu,
maka takkan mudah mencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita
atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mongol. Di mana lagi kalau
tidak di kota raja?
Bun Lim Kwi
maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja. Akan tetapi dia sudah
bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman
bahaya, berangkatlah dia menuju ke kota raja.
Tetapi baru
saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok
bayangan hijau berkelebat dibarengi bentakan, "Orang she Bun, kau
bersiaplah menebus dosa ayahmu!"
Dan di
depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi telah menyerangnya
di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan muka agak pucat sudah berdiri
menghadangnya dengan pedang tajam melintang di dada, pedang yang ujungnya sudah
buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.
Bun Lim Kwi
menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram.
"Nona,"
dia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar,
“kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang
ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"
Thio Eng,
gadis baju hijau itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan
sinar kemarahan. "Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku
ketika aku masih kecil."
"Nona,
kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, kenapa kau memusuhi aku? Apa
salahku dalam hal ini?” bantahnya.
"Aku
hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah
anaknya yang harus mempertanggung jawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tidak
usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita
lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan pedang di tangannya
sudah gemetar.
Tiba-tiba
saja Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini,
melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya
mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada
rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini
senasib dengan dirinya, ayahnya dibunuh orang, kemudian hidup menderita dendam.
Dia
tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini. Akan tetapi dia
menyalahkan sikap Thio Eng. Andai kata dia berpendapat seperti nona ini lalu
memusuhi anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi
dicalonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh
pembunuh ayahnya!
Juga timbul
ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus
diselidiki secara teliti. Andai kata benar ayah dan pamannya membunuh ayah
gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.
"Nona,
apa bila ayah dan pamanku benar-benar sudah membunuh ayahmu, sudah dapat
dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku
adalah dua orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama bersih tak
ternoda."
Wajah yang
agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, bahkan matanya kini
berkilat-kilat.
"Apa
kau kata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar
dari langit sekali pun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti
kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayahku adalah seorang patriot
besar, seorang pejuang. Siapakah di antara para pejuang yang belum pernah
mendengar nama besar Thio San? Kesalahannya sudah tentu terletak pada ayah dan
pamanmu. Kun-lun Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang
baik-baik!"
Setelah
berkata demikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu. Serangan yang hebat,
cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan
menghindarkan diri.
"Tahan
dulu, Nona..."
Namun nona
yang sudah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi
maklum bahwa menghadapi nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain
pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia tetap bertangan kosong.
Terpaksa dia mencabut keluar pedangnya yang juga sudah buntung ujungnya, lantas
menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.
"Nona,
aku... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama persis dengan keadaanku. Aku
maklum akan penderitaanmu, akan dendammu..."
Thio Eng
menahan pedangnya, mendengarkan dengan pandang mata heran.
"Nona,
percayalah, aku tidak menyalahkan kau kalau kau mendendam sakit hati. Aku pun
demikian. Ayahku terbunuh orang. Tapi, berilah kesempatan padaku untuk
membereskan urusanku. Kau sudah mendengar semua di Hoa-san tadi. Biarkan aku
mencari susiok... eh, mencari Kwee Sin sampai dapat sehingga urusan pembunuhan
terhadap orang tuaku bisa diselesaikan. Setelah itu, nah... setelah itu kalau
kau hendak membalas dendammu kepadaku, silakan. Aku akan memberikan kepalaku
kepadamu."
"Cih,
siapa sudi mendengar obrolanmu.”
"Sungguh,
Nona. Entahlah... hatiku tidak mengijinkan aku marah kepadamu. Aku kasihan
kepadamu yang bernasib buruk. Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andai kata
sakit hatimu itu dapat dipuaskan karena kematianku sebagai penebus dosa ayahku,
biarlah aku berkorban. Tapi tunggulah sampai aku selesai mengurus urusanku
sendiri."
"Bohong!
Kau hanya mencari alasan untuk melepaskan diri dariku. Hemmm, orang she Bun,
jangan harap aku dapat kau bodohi. Atau kau pengecut... tidak berani menghadapi
pedangku!"
Betapa pun
juga, Lim Kwi adalah seorang pemuda. Dia memang penyabar sekali, dan memang
sudah menjadi dasar wataknya yang jujur dan sabar, berani mengalah. Akan tetapi
karena sekarang didesak sedemikian rupa oleh nona ini, apa lagi karena dianggap
pengecut, sifat jantannya menonjol. la cepat menggerakkan pedangnya menangkis
dan berkata.
"Nona
Thio, sungguh aku tidak ingin bertempur denganmu. Jangan kau memaksaku!"
Namun Thio
Eng terus mendesak dan sebentar saja dua orang muda itu sudah bermain pedang
dengan hebatnya. Serangan-serangan Thio Eng benar-benar sangat berbahaya.
Sebagai murid Swi Lek Hosiang, tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Ilmu
pedangnya sudah masak dan juga ilmu pedang yang berasal dari daerah pantai
timur ini mempunyai gaya tersendiri, mempunyai keistimewaan sendiri. Permainan
pedangnya cepat, tangkas, lincah, serta mengandung tenaga yang bergelombang,
seperti gelombang samudera yang memecah di pantai timur!
Akan tetapi
Bun Lim Kwi adalah murid termuda Kun-lun-pai yang sangat disayangi oleh
gurunya. Hampir seluruh ilmu pedang yang dimiliki Pek Gan Sian-Su diturunkan
kepada muridnya ini sehingga dalam permainan Kun-lun Kiam-hoat boleh dibilang
di masa itu Bun Lim Kwi menjadi orang ke dua di Kun-lun setelah gurunya
sendiri.
Bahkan
tingkat ilmu pedang yang dimiliki oleh paman dan ayahnya, juga yang dimiliki
oleh Kwee Sin, masih kalah setingkat olehnya. Tentu saja ia masih banyak
membutuhkan pengalaman pertempuran untuk mematangkan ilmunya. Gaya permainannya
tenang dan kuat seperti batu karang di pantai laut, akan tetapi juga
kadang-kadang kalau dia mau dia bisa melancarkan serangan yang mematikan.
Betapa pun
juga, menghadapi Thio Eng dia tidak tega untuk melakukan serangan maut, hanya
mempertahankan dan melindungi tubuhnya, serta kadang-kadang memancing dan
menggertak untuk mengurangi daya tekanan lawan. Hatinya merasa sedih sekali
dengan kenekatan gadis ini yang agaknya tak dapat ditahannya lagi. Bun Lim Kwi
maklum bahwa percuma saja dia membujuk, maka dia mengambil keputusan untuk
merobohkan gadis ini tanpa melukai berat atau kalau mungkin meninggalkannya
lari.
Yang pertama
tadi, yaitu merobohkan tanpa melukai agaknya lebih mudah dipikirkan dari pada
dilakukan. Tingkat kepandaian gadis ini boleh dibilang seimbang dengan
tingkatnya sendiri, mana mungkin dia merobohkannya tanpa melukai?
Setelah
berpikir demikian, Bun Lim Kwi mengambil keputusan untuk lari meninggalkannya
saja, tak peduli dia dicap pengecut atau takut. Karena soalnya bukan dia takut,
akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan gadis yang sekaligus menarik
cinta kasihnya dan juga menimbulkan kasihan di hatinya ini.
"Maaf,
Nona Thio, aku tak dapat melayanimu lebih lama lagi!"
Pedangnya
berkelebat cepat dan pedang nona itu tertangkis dengan kerasnya sehingga
terpental. Thio Eng kaget sekali sebab merasa telapak tangannya sakit. Baiknya
dia masih dapat menjaga sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan. Ketika
dia telah dapat menguasai keadaannya, pemuda itu sudah meloncat jauh dan
berlari cepat.
"Orang
she Bun, kau hendak lari ke mana?!" bentaknya marah dan cepat dia
mengejar.
Dari
bertanding pedang, dua orang muda ini sekarang melakukan perlombaan lari cepat.
Dalam ilmu ini keduanya juga memiliki tingkat yang seimbang. Thio Eng sulit
sekali untuk dapat menyusul lawannya, juga amat sukar bagi Lim Kwi untuk
memperjauh jarak antara dia dan pengejarnya. Gadis itu seakan-akan menjadi
bayangannya, terus mengikuti ke mana pun juga dia lari atau meloncat.
Ada sejam
mereka berkejaran. Lim Kwi mulai merasa gelisah. la memasuki hutan-hutan dan
sengaja mengambil jalan pegunungan yang amat sukar dengan harapan agar gadis
itu akhirnya membiarkan dia pergi. Akan tetapi, dengan penuh semangat Thio Eng
terus mengejar.
Karena
merasa tak sanggup lari pergi dari gadis itu, Bun Lim Kwi membalikkan tubuhnya
dan kembali dia membujuk.
"Nona
Thio, kenapa kau bertekat hendak membunuhku sekarang juga? Tidak kasihankah kau
kepadaku yang juga mempunyai semacam sakit hati dan penasaran seperti yang kau
derita? Aku minta waktu tiga bulan, Nona. Berilah tiga bulan agar aku lebih
dahulu dapat menyelesaikan urusanku sendiri. Setelah itu, aku akan mencarimu
dan terserah kalau kau hendak membalaskan sakit hati ayahmu."
Tertegun
juga hati Thio Eng mendengar ini. Pemuda ini lihai, belum tentu ia akan dapat
menang kalau mereka bertempur. Juga buktinya tadi, walau pun dia sudah
mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, sampai sedemikian lamanya
belum juga dia mampu menyusulnya. Kiranya pemuda ini merupakan tandingan yang
seimbang dan belum tentu kalah kalau melawan.
Mengapa
pemuda ini tidak mau melawan dan bahkan memberi janji akan suka dibunuh tiga
bulan kemudian? Bukankah ini aneh sekali? Akan tetapi pikiran ini hanya
sebentar saja memenuhi kepalanya, segera terganti oleh rasa dendam yang sudah
ditanggungnya semenjak ia kecil.
Kemarahannya
datang lagi. Pedangnya bergerak menyerang disusul bentakan. ”Tak usah banyak
cakap, seorang di antara kita harus mati!"
Bun Lim Kwi
merasa sedih sekali sehingga dia agak terlambat mengelak. Pedang yang menusuk
lehernya itu kini menyerempet pundaknya. Baju Lim Kwi robek berikut kulit dan
sedikit dagingnya.
Darah mulai
mengucur deras membasahi baju. Kembali Thio Eng tertegun, akan tetapi segera ia
menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi sudah bersiap dan pedangnya menangkis.
Kembali dua orang ini bertempur hebat sampai lenyap tubuh mereka terbungkus
gulungan dua sinar pedang.
Dua orang
itu saking hebatnya mecurahkan perhatiannya di ujung senjata masing-masing,
tidak tahu bahwa sesosok bayangan datang mendekat. Setelah melihat jelas siapa
yang sedang bertempur, bayangan ini mengeluarkan segenggam benda lalu dengan
kecepatan kilat dia menyambitkan benda-benda kecil dalam genggaman itu ke arah
Bun Lim Kwi.
Pemuda
Kun-lun ini tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan gelap ini karena
benda-benda itu ternyata adalah jarum-jarum halus sekali yang ketika melayang
ke arah tubuhnya tak mengeluarkan bunyi sedikit pun. Tahu-tahu dia merasa
punggungnya panas dan gatal-gatal, tubuhnya kaku-kaku, sehingga tanpa dapat
ditahannya lagi dia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangannya!
Thio Eng
heran bukan main. Masih sempat dia menarik kembali pedangnya dan dengan mata
terbelalak dia melihat betapa Bun Lim Kwi sudah roboh telentang dalam keadaan
mengerikan. Muka pemuda yang tampan itu menjadi biru menghitam, tubuhnya kaku
tak bergerak lagi.
Pada saat
gadis ini mengangkat muka, dia melihat seorang pemuda sudah berdiri sambil
tersenyum-senyum di hadapannya. Pemuda ini bukan lain adalah Giam Kin! Tahulah
Thio Eng sekarang bahwa diam-diam Giam Kin membantunya dan menyerang Lim Kwi
dengan senjata rahasia yang aneh.
"Nona
Eng, puaskah kau sekarang melihat musuhmu menggeletak di depan kakimu? Nah,
jangan buang waktu lagi, segera kau penggal lehernya!" kata Giam Kin
sambil tersenyum lebar.
Akan tetapi
alangkah herannya ketika dia melihat nona itu dengan mulut cemberut serta mata
berapi malah membentak.
"Kenapa
kau mencampuri urusanku?! Kenapa kau membunuhnya?"
"Ehh,
Nona. Bukankah dia musuhmu? Tadi kulihat kau tidak kuat mengalahkannya, maka
aku membantumu."
"Siapa
sudi bantuanmu? Siapa butuh pertolonganmu? Lagi pula, kau menyerang secara
pengecut!" Gadis itu dengan marah lalu meloncat dan lari pergi dari situ.
Giam Kin
berdiri terpaku di tempatnya. Dia menyeringai, tersenyum kemalu-maluan dan juga
penasaran. Akhirnya dengan marah dia lalu menoleh ke arah tubuh Lim Kwi yang
masih menggeletak di situ, meludahinya dan mengomel, "Sialan!"
Dengan hati
murung Giam Kin lalu pergi dari situ juga. la tertarik oleh kecantikan Thio
Eng, akan tetapi berbeda dengan menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Thio Eng
dia tak berani bersikap sembrono. Selain gadis ini memiliki kepandaian yang
cukup lihai, juga dia harus mengingat guru gadis itu, Thai-lek-sin Swi Lek
Hosiang yang tidak boleh dipandang ringan.
Belum lama
Giam Kin pergi, tubuh Bun Lim Kwi bergerak-gerak dan terdengar ia merintih
perlahan. Pada waktu itu Beng San sedang berlari-lari cepat dalam usahanya
mengejar Thio Eng dan mencari Bun Lim Kwi.
"Celaka,
terlambat...!" katanya ketika dari jauh ia melihat tubuh pemuda murid
Kun-lun itu menggeletak di situ. Cepat dia memeriksa dan alangkah kagetnya
melihat betapa seluruh tubuh pemuda ini membiru, napasnya kempas-kempis.
Beng San
adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu yang hebat, akan tetapi dia
bukanlah seorang ahli pengobatan. Betapa pun juga, setelah mendapat kenyataan
bahwa di punggung pemuda ini terdapat jarum-jarum halus yang menancap, dia
dapat menduga bahwa tentu Bun Lim Kwi terkena racun yang amat berbahaya.
Dicabutnya jarum-jarum halus berjumlah tujuh buah itu, kemudian dengan
hati-hati dia membungkus jarum-jarum itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.
"Terlalu
sekali Thio Eng. Benarkah nona itu sampai hati menggunakan senjata rahasia
begini ganas dan keji?" Dia merasa penasaran.
Tanpa
ragu-ragu lagi Beng San lalu menempelkan bibirnya pada luka-luka di punggung
Lim Kwi, kemudian mengecupnya kuat-kuat. Darah-darah yang menghitam dapat dia
isap keluar dan diludahkan, akan tetapi dia hanya berhasil mengeluarkan darah
beracun yang berada di sekitar luka.
Segera Beng
San menggunakan kepandaiannya. Dengan menempel kedua pundak Bun Lim Kwi dengan
kedua telapak tangannya, dia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya,
menggunakan tenaga Im Yang berganti-ganti untuk mendorong hawa beracun dari
tubuh Bun Lim Kwi. Karena dia tidak tahu tergolong apakah racun itu, Im atau
Yang, dia tidak tahu harus mempergunakan tenaga apa untuk melawannya.
Baiknya hawa
mukjijat di dalam tubuh Beng San memang hebat sekali. Pada waktu dia
menggunakan tenaga Im, banyak darah hitam segera mengucur keluar dari luka-luka
di punggung Lim Kwi. Akhirnya muka pemuda ini tidak biru lagi dan napasnya agak
lega. Akan tetapi dia masih kaku dan pingsan.
Beng San
teringat akan ular pemberian Giam Kin kepada ketua Hoa-san-pai, "Ah,
kenapa aku begini bodoh? Hoa-san belum terlalu jauh, kalau kubawa ke sana dan
minta Lian Bu Tojin memberikan ular-ular itu untuk menolong, bukankah Lim Kwi
akan dapat tertolong segera?" Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memondong tubuh
Lim Kwi dan mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali naik ke
puncak Hoa-san.
Setelah tiba
di puncak, dia segera berjalan seperti biasa menuju ke tempat tinggal Lian Bu
Tojin. la melihat bahwa di tempat pesta itu masih ada sedikit tamu. Supaya
tidak menarik perhatian orang, Beng San lalu menggunakan kepandaiannya meloncat
dan menyelinap menuju ke belakang, kemudian memasuki bangunan itu dari
belakang.
Beberapa
orang tosu melihatnya dan menegur heran. "Beng San, kau dari mana dan...
eh, Siapa itu...?"
Para tosu
terheran-heran, apa lagi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa orang yang
dipondong Beng San itu bukan lain adalah Bun Lim Kwi, murid Kun-lun-pai yang
tadi datang bersama Pek Gan Siansu.
"Harap
para Totiang tenang-tenang saja dan tolonglah panggilkan Lian Bu totiang,
katakan aku Beng San mohon bertemu, ada urusan amat penting.”
Para tosu
segera melaporkan kepada Lian Bu Tojin yang masih duduk di ruangan depan
menanti habisnya para tamu. Begitu mendengar laporan, tosu tua ini cepat
mengundurkan diri dan menuju ke belakang, membiarkan Kwa Tin Siong dan Liem
Sian Hwa melayani para tamu.
Akan tetapi
Kwa Hong yang berada di dekatnya ketika ada tosu memberi laporan, segera
mengikutinya. Hal ini terlihat oleh Thio Bwee, Kui Lok dan Thio Ki yang segera
mengikuti pula dari belakang.
"Beng
San, kenapakah dia itu...?" Lian Bu Tojin menegur dengan kaget setelah
melihat Bun Lim Kwi menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan amat payah.
"Totiang
yang baik, saya memohon belas kasihan Totiang. Tolonglah Bun Lim Kwi yang teecu
(saya) ketemukan sudah menggeletak dalam keadaan begini di lereng bukit.
Melihat keadaannya, teecu rasa dia terkena senjata beracun dan... teecu
teringat akan pemberian Giam Kin. Bukankah ular-ular kecil itu adalah ular
penolak racun?"
Lian Bu
Tojin tidak menjawab, tetapi dia cepat memeriksa tubuh Bun Lim Kwi. Sebagai
seorang ketua partai persilatan besar tentu saja kakek ini mengerti pula
mengenai ilmu pengobatan. Wajahnya berubah ketika dia memeriksa pemuda itu.
"Dia
telah terkena racun yang amat berbahaya," katanya. "Pinto sendiri
tidak mempunyai penolak racun yang akan dapat melawan racun ini."
"Totiang,
bukankah Giam Kin telah memberi hadiah ular-ular penolak racun itu?"
Kakek itu
mengangguk-angguk, akan tetapi ia nampak ragu-ragu. "Hemmm, pinto pernah
mendengar kemanjuran Ngo-tok-coa, akan tetapi belum pernah membuktikannya
sendiri. Memang kata orang Ngo-tok-coa dapat menyembuhkan segala macam penyakit
akibat keracunan, akan tetapi pinto belum pernah melihat kenyataannya, bahkan
ularnya pun baru kini pinto melihatnya. Keadaan pemuda ini benar-benar hebat dan
amat berbahaya, kalau tidak mendapatkan obat yang cocok, dia takkan kuat
bertahan sampai dua pekan." Tosu itu nampak ragu-ragu dan khawatir.
"Totiang,
kalau begitu, tolonglah Totiang berikan Ngo-tok-coa kepada teecu untuk dipakai
mengobati Lim Kwi," Beng San berkata gelisah.
"Baiklah...
memang seharusnya begitu...," kata kakek itu.
Tiba-tiba
Thio Ki berkata dengan suara tak senang, "Sukong, dia itu adalah anak
murid Kun-lun-pai, seorang musuh besar. Luka atau matinya bukan merupakan
urusan kita dari Hoa-san-pai!"
Thio Bwee
dan Kui Lok menyatakan persetujuannya, malah Kui Lok menyambung, "Inilah
tanda bahwa Thian akan selalu menghukum mereka yang jahat. Kun-lun-pai sudah
terlalu amat jahat terhadap kita, maka dia ini murid Kun-lun-pai juga mengalami
nasib seburuk ini. Sukong, dia ini musuh kita, tak ada perlunya kita
menolongnya."
Akan tetapi
Kwa Hong yang selama ini amat bersemangat dalam permusuhan golongan Hoa-san-pai
terhadap Kun-lun-pai, agaknya berpikiran lain. Entah bagaimana, gadis ini sudah
menaruh simpati besar terhadap Beng San dan berlawanan dengan suara hatinya
kalau menentang pemuda ini.
"Teecu
tidak setuju dengan kedua Suheng," katanya kepada kakek ketua Hoa-san-pai
itu. "Walau pun dia ini musuh besar kita, akan tetapi dia terluka di
Hoa-san, tentu orang luar akan menyangka bahwa kita yang melukainya dengan cara
yang begini keji."
"Peduli
apa dengan segala fitnah? Pokoknya kita tidak melakukan penyerangan gelap dan
habis perkara. Biarkan orang lain menuduh!" Thio Ki bersikeras dengan
sikapnya.
"Apa lagi
Beng San ini selalu memperlihatkan sikapnya memihak golongan Kun-lun-pai.
Dahulu, bertahun-tahun yang lalu juga dia sudah memperlihatkan sikap membela
Kun-lun, sekarang pun dia mati-matian hendak menolong orang Kun-lun. Sukong,
kita harus sangat berhati-hati terhadap orang ini dan jangan mendengarkan
omongannya!" kata Kui Lok.
Semua ucapan
cucu-cucu muridnya ini berkesan juga dalam hati Lian Bu Tojin. Dengan pandang
mata tajam dia bertanya kepada Beng San, "Beng San, mengapa kau selalu
berpihak kepada Kun-lun? Kenapa kau bersusah payah hendak menolong Lim Kwi
murid Kun-lun ini?"
Beng San
sudah marah sekali mendengar ucapan Thio Ki dan Kui Lok tadi. Makin marah dia
setelah mendengar pertanyaan Lian Bu Tojin yang jelas-jelas sudah terpengaruh
oleh ucapan-ucapan itu.
"Lian
Bu totiang, saya harap Totiang suka ingat akan beberapa hal ini. Pertama,
seorang yang sudah menjunjung tinggi keadilan, menilai baik buruk seseorang
dari perbuatannya, bukanlah dari keturunannya! Meski pun Lim Kwi seorang murid
Kun-lun, tapi kesalahan apakah yang pernah dia lakukan terhadap Hoa-san-pai?
Kedua, seorang yang tahu akan Ke-Tuhan-an tahu pula bahwa soal keturunan adalah
hasil pekerjaan Tuhan. Bun Lim Kwi menjadi anak keluarga Bun bukanlah karena
kehendaknya, melainkan karena kehendak Tuhan. Maka apa bila ada orang
menyalahkannya karena keturunannya, sama artinya dengan orang itu menyalahkan
hasil pekerjaan Tuhan! Ke tiga, seorang kuncu (budiman) selama hidupnya takkan
meninggalkan peri kemanusiaan dan akan menolong siapa saja yang membutuhkan
pertolongan. Lian Bu totiang, saya menolong Lim Kwi karena dua hal, pertama
karena saya selalu teringat akan hal-hal yang saya sebutkan tadi, kedua
kalinya, kiranya Totiang ingat juga akan pesan terakhir Bun Si Teng kepada saya
di dekat ajalnya. Pesan orang yang sudah meninggal dunia adalah pesan keramat
yang harus kita hargai, asal saja pesan itu demi kebaikan. Nah, sekarang
hendaknya Totiang segera mengambil keputusan, Totiang suka menolongnya ataukah
tidak?"
Wajah kakek
itu menjadi merah. Dia merasa terpukul oleh ucapan-ucapan pemuda itu. Sambil
menoleh kepada cucu-cucu muridnya, ia pun berkata lirih, "Ambilkan
Ngo-tok-coa itu..."
Thio Ki,
Thio Bwee, dan Kui Lok tidak bergerak dari tempatnya, malah memandang marah
kepada Beng San. Akan tetapi Kwa Hong segera berlari dan tak lama kemudian dia
sudah kembali membawa tabung-tabung bambu yang berisi dua ekor ular kecil.
Lian Bu
Tojin menerima dua tabung itu dan berkata kepada Beng San. "Inilah dua
ekor Ngo-tok-coa itu, Beng San. Pinto hanya menggunakan cara yang biasa untuk
mengambil racun ular ini, kemudian meminumkannya sebagian dan sebagian lagi
digosokkan pada luka-lukanya. Namun karena pinto belum membuktikan dan
menyatakan sendiri khasiat racun Ngo-tok-coa, maka hasilnya pinto tidak berani
menanggung."
"Totiang,"
kata Beng San dengan hormat dan berterima kasih, "keadaan Lim Kwi sudah
payah. Kalau Totiang suka berusaha mengobati, itu saja sudah merupakan budi
besar, tentang riwayatnya hanya terserah kepada Thian."
Lian Bu
Tojin lalu membuka tutup tabung, menangkap ular pada belakang lehernya.
"Buka
mulutnya," katanya kepada Beng San yang cepat membuka mulut Lim Kwi.
Dengan
menekan pada leher dan belakang kepala ular itu, keluarlah cairan menguning
dari mulut dan gigi ular, menetes-netes ke dalam mulut Lim Kwi. Kwa Hong sudah
datang membawa secangkir air yang segera dipergunakan oleh Lian Bu Tojin untuk
diminumkan pula sehingga racun tadi dapat masuk ke dalam perut.
Setelah
racunnya habis dan dilepas, ular itu menjadi lemas dan tidak dapat berkutik
lagi. Ular ke dua dikeluarkan dan seperti tadi, racunnya dikeluarkan, ditadahi
cangkir kemudian dengan tangannya Lian Bu Tojin menggosok-gosokkan racun ini di
punggung Lim Kwi. Pengerahan tenaga dalamnya dapat mendorong racun ini masuk
tubuh melalui luka-luka kecil itu. Setelah selesai, Lian Bu Tojin dengan napas
agak terengah-engah lalu mundur dan mencuci tangannya.
Beng San
merasa berterima kasih sekali. Dari napas kakek itu dia maklum bahwa tadi Lian
Bu Tojin telah mengerahkan seluruh Iweekang-nya dan dia merasa kagum akan budi
kakek ini. Ia tidak pedulikan lagi kepada tiga orang cucu murid Hoa-san yang
memandang semua itu dengan mulut cemberut dan sinar mata penuh kemarahan
kepadanya. Hanya Kwa Hong yang dengan setulus hati membantu pengobatan tadi dan
diam-diam dia pun berterima kasih sekali kepada nona ini.
Tubuh Bun
Lim Kwi bergerak dan mulutnya mengeluh. Semua orang memandang dengan penuh
perhatian. Girang hati Beng San ketika melihat betapa tubuh yang kaku tadi kini
mulai menjadi lemas, warna kehitaman lenyap dan makin lama muka itu menjadi
makin pucat. Lalu tubuh itu berhenti bergerak dan Lim Kwi kelihatan seperti orang
tidur nyenyak, hanya napasnya agak terengah-engah.
Lian Bu
Tojin lalu mendekat dan memeriksa pergelangan tangan dan detak jantungnya.
"Celaka...!"
Tosu itu berteriak kaget, wajahnya berubah pucat. "Keparat betul Giam
Kin!" Saking marahnya tosu ini mengeluarkan makian.
"Bagaimana,
Totiang?" Beng San berseru heran dan kaget.
Kakek
menggeleng-geleng kepala dan memandang sedih ke arah Bun Lim Kwi.
"Tidak
baik, tidak baik... racun ular itu bukan menyembuhkan, malah menambah payah.
Agaknya bukan Ngo-tok-coa..." Mendadak kakek itu menghentikan ucapannya,
wajahnya makin pucat pada saat dia berbisik, "... ngo-tok (lima racun)...?
Ahhh, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ngo-lian-kauw, bukannya ular-ular
obat yang diberikan, malah ular beracun berbahaya."
Kalau Beng
San menjadi kaget bukan main, adalah Thio Ki dan Kui Lok sekarang girang
sekali.
"Beng
San, lekas bawa pergi dia dari sini, tidak ada tempat untuk mengubur mayat
orang Kun-lun!” kata Kui Lok.
Pada saat
itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat Lian Bu
Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit sehingga di puncak Hoa-san sudah menjadi
sunyi.
"Bagaimana,
Suhu?" tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa
yang terjadi atas diri Bun Lim Kwi.
"Kita
ditipu Giam Kin," kakek itu menjawab. "Dua ekor ular itu bukanlah
ular obat. Setelah dipergunakan racunnya malah membuat dia makin parah."
"Bagaimana
baiknya sekarang? Totiang, Kwa lo-enghiong, tolong beri petunjuk padaku,"
kata Beng San, nampak gelisah sekali.
Kwa Hong
menjadi terharu melihat sikap Beng San. Akan tetapi gadis ini diam saja dan
hanya menahan air mata yang hendak keluar dari matanya.
"Tidak
ada obat di dunia ini dapat menolongnya... kecuali Thian turun tangan
sendiri...," kata Lian Bu Tojin.
"Hanya
ada satu jalan...," tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata.
Semua mata
ditujukan kepada jago Hoa-san-pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan
pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah utara.
"Ahh,
dia...?" Kui Lok dan Thio Ki berkata dengan nada mentertawakan.
"Ayah,
tidak mungkin...," kata Kwa Hong penuh kekhawatiran memandang kepada Beng
San. Ada pun Lian Bu Tojin hanya menggeleng-geleng kepala saja.
"Kwa-enghiong,
siapakah dia itu? Siapa yang dapat menolong Lim Kwi dan apakah yang kau
maksudkan dengan satu jalan tadi?" Beng San mendesak, akan tetapi Kwa Tin
Siong hanya menggeleng kepala.
Beng San
segera mendesak Lian Bu Tojin. "Totiang, harap berbelas kasihan dan
berilah petunjuk. Siapakah dia yang dimaksudkan oleh Kwa-enghiong dan yang bisa
menolong Lim Kwi?"
"Tidak
ada, tidak ada... tak mungkin ditolong lagi...," kata kakek ini pula.
Melihat
bahwa Kwa Tin Siong dan ketua Hoa-san-pai agaknya hendak menyembunyikan nama
orang yang kiranya dapat menolong Lim Kwi, Beng San lalu menoleh kepada Kwa
Hong, "Adik Hong, maukah kau memberi penjelasan kepadaku?"
Bukan main
panasnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar pemuda itu menyebut ‘adik’ kepada
Kwa Hong. Menurut pendapat mereka, pemuda ini tidak patut menyebut ‘adik’,
seharusnya menyebut nona.
"Sebenarnya
bukan karena Ayah dan Sukong tidak mau memberi tahu, San-ko. Akan tetapi memang
tiada gunanya mendatangi orang itu, malah amat berbahaya. Ketahuilah, di kaki
gunung ini sebelah utara terdapat seorang sakti yang amat aneh, terkenal
disebut Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Namanya saja sudah
menerangkan bahwa dia itu adalah seorang ahli obat sampai disebut Setan Obat.
Akan tetapi, sebutan Toat-beng sudah jelas pula bahwa dia mempunyai satu
kesukaan, yaitu mencabut nyawa orang. Menurut kabar, dia dapat menyembuhkan
segala macam penyakit, akan tetapi begitu orangnya sembuh, dia lalu turun
tangan membunuhnya. Karena inilah maka Ayah dan Sukong tidak tidak mau menyebut
namanya."
"Apa
dia gila...?" Beng San berseru marah dan heran.
Kwa Tin Siong
menarik napas panjang sebelum berkata. "Sama sekali kami tidak tahu
bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba
untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan
kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah
amat terkenal di dunia kang-ouw."
Lian Bu
Tojin mengarigguk-angguk. "Dia sama terkenalnya dengan Bu-tek Kiam-ong Cia
Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu. Kalau Ciu
Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih
keturunan dari Yok-ong (Raja Obat). Sayangnya... hemmm, dia mempunyai kebiasaan
yang sangat keji dan aneh itu."
Beng San
tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang
masih pingsan dan lemas.
"Beng
San, kau hendak ke mana?" tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang
kepada pemuda ini.
"Ke
mana lagi, Kwa-enghiong? Ke kaki gunung sebelah utara itu untuk minta
pertolongan Toat-beng Yok-mo.”
"San-ko!
Kau akan dibunuhnya!" seru Kwa Hong, wajahnya pucat. Sikap gadis ini amat
menarik perhatian sampai ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran.
Beng San
menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit. "Apa boleh buat, tapi akan
kuusahakan supaya dia dapat menyembuhkan Lim Kwi."
"Beng
San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-lun-pai maka kau
bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?" Lian Bu Tojin bertanya,
mata kakek ini memandang kagum.
"Totiang,
menolong orang lain dengan pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah
pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah
artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?"
Setelah
berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja
dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu.
Semua mata
mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya,
menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.
"Siancai...
siancai... selama hidupku baru kali ini pinto melihat orang dengan budi pekerti
sebaik dia... kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang
yang patut dihormati, dialah yang patut disebut seorang gagah!"
Setelah
berkata demikian kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment